Ceritasilat Novel Online

Tenggelamnya Kapal Van Derwijck 2

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Bagian 2


engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako" Tidakkah engkau tahu bahwa
Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya" Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk
oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?"
"Oh engku, mengapa engku sampai hati membunuh Zainuddin dan membunuh kemenakan
engku sendiri?" "Tidak Hayati, kau harus tenangkan pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau
pandang dengan mata percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau
sadar, kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya,
karena cinta demikian berarti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan
membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak.
Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan getirnya hidup ini."
Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi Zainuddin, dia meniarap di ujung kaki
mamaknya meminta dikasihani. Tapi percuma, percuma menanamkan padi di sawah [61] yang
tak berair, percuma mendakikan akar sirih, memanjat bate Percuma, percuma meminta sisik
kepada limbat ...........
"Sekarang kau menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri," ujar mamaknya pula, sambil
menarikkan kakinya yang sedang dipagut oleh Hayati perlahan-lahan.
Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan
muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: Lebih baik engkau
tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang
banyak sekali. Tadi sore Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud jahat
kepadamu." 8. BERANGKAT SEMALAM-MALAMAN hari, setelah mendengarkan perkataan Mande Jamilah, dan setelah
mengingat perkataan-perkataan yang pedih-pedih, sindiran yang menyayat jantung dari Dt ......
mata Zainuddin tidak hendak tertidur. Pincangnya masyarakat Minangkabau, buruk nian
nasibnya. Tak ubahnya kedatangannya ke Minangkabau, bagai musafir yang mengharapkan
minuman dan melihat air di pertengahan padang pasir, demi setelah didatanginya ke sana,
sebuah pun tak ada yang nampak.
Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan ibunya. Kadang-kadangpuladia
menyadar untung malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang Minangkabau!
Tapi bukan itu agaknya yang menutup pintu baginya untuk bertemu dengan Hayati, agaknya
lantaran dia tak berwang. Orang tak melihat, bahwa sekedar belanja menunggu dapat
penghidupan tetap, dia masih menyimpan. Tetapi bukan itu yang jadi sebabnya, walau pun
wang berbilang, emas bertahil, namun pemisahan adat masih tebal di negeri itu.
Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan
tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa.
Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik,
maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina. Tetapi seorang yang dengan gelar
bangsawan nya, dengan titel datuk dan penghulunya mengawini anak gadis orang berapa dia
suka, kawin di sana, cerai di sini, tinggalkan anak di kampung anu dan cicirkan di kampung ini,
tidak tercela, tidak dihinakan. [63]
Seorang anak muda yang datang ke kampung, yang lahir dari pada perkawinan sah, dan ibunya
bukan pula keturunan sembarang orang, malah Melayu pilihan dari Bugis, dipandang orang lain.
Tetapi harta seorang ayah, yang sedianya akan turun kepada anaknya, dirampas, dibagi dengan
nama "adat" kepada kemenakannya. Kadang-kadang pula pemberian ayah kepada anaknya
semasa dia hidup, diperkarakan, dan didakwa ke muka hakim oleh pihak kemenakan, tidak
tercela, bahkan terpandang baik.
"Ke dalam masyarakat apakah saya telah terdorong dan kaki saya telah terjerumus," kata
Zainuddin dalam hatinya. Timbul kebencian yang sangat di dalam hatinya, tetapi kebencian itu
pun sirnalah sebentar itu juga, bila diingatnya bahwa ayahnya asal dari sana, dan dia pun asal
dari sana, meskipun orang lain tak mengakui. Lebih lagi, bukankah Hayati dilahirkan dalam
kalangan itu" Boleh dikatakan tiada terpicing matanya semalam itu. Setelah ayam berkokok tanda siang, dia
telah turun membasuh mukanya ke halaman dan mengambil udhuk, terus sembahyang subuh.
Tidak berapa saat kemudian, fajar pun terbitlah dari jihat Timur, kicau murai di pohon kayu, dan
kokok ayam di kandang, laksana serunai nafiri mengelu-elukan kedatangan maharaja siang
yang menang dalam peijuangan. Awan di Timur dan di Barat, berbagai-bagai rona nampaknya,
laksana menunjukkan perayaan alam yang terjadi tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore. Tidak lama
kemudian, sebelum tanah dan jalan raya yang meliku melekok melalui negeri-negeri kecil dari
Padang Panjang ke Sumpur, ditimpa cahaya matahari, maka puncak gunung Merapi dan
Singgalang telah kena cahaya lebih dahulu, amat indahnya laksana disepuh dengan emas
juwita. Di waku demikian, kelihatanlah orang-orang dusun keluar dari rumahnya, berselimut
kain sarung, dan perempuan-perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli. Tidak lama
kemudian matahari pun terbitlah.
Semua itu dilihat oleh anak muda itu, sambil menarik nafas panjang. Dia kelihatan berjalan
dengan gontainya, di halaman'yang luas dari rumah adat yang berderet-deret, setelah menjabat
tangan [64] Mande Jamilah yang mengantarkannya sampai ke halaman. Semuanya dengan
perasaan yang amat sayu. Dia melangkah, langkahnya tertegun-tegun. Di tentang rumah Hayati, sengaja ditekurkannya
kepalanya, karena sudah putus harapannya hendak bertemu, bunga harum berpagar duri, yang
dari sana penyakitnya, tetapi di sana pula obatnya.
Meski pun rum pun bambu yang berderet di tepi jalan membawa udara dan bunyi yang
menyegarkan pikiran, bagi orang sebagai Zainuddin semuanya itu hanyalah menambah
penyakit. Sebab negeri Batipuh, negeri yang ditujunya dari kampung kelahirannya, akan tinggal.
Halaman tempatnya bermain, akan tinggal. Surau tempatnya bermalam, akan tinggal. Dangau
tempat dia bermula menjalin janji dengan Hayati, dan ......akan tinggal Hayati sendiri.
Tiba-tiba, setelah kira-kira setengah jam dia meninggalkan kampung yang permai itu mengayun
langkah yang gontai, gonjong rumah-rumah telah mulai ditimpa cahaya pagi, disuatu pendakian
yang agak sunyi, di tepi jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang perempuan
berdiri, berbimbing tangan dengan seorang anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati sendiri dan
adiknya Ahmad, yang berdiri menunggunya.
Bergoncang sangat hatinya demi melihat anak perempuan itu. Lidahnya seakan-akan terkunci.
Tapi demi dilihatnya muka anak perempuan itu tenang saja, timbullah malu dalam hatinya
hendak menunjukkan kesedihan. Setelah lama dia tegak termenung menentang muka Hayati
barulah dapat dia berkata
"Rupanya ada juga niat hatimu hendak menungguku di sini, Hayati!"
"Memang, tuan Zainuddin, ah ..... engkau tak akan kubahasakan "tuan" lagi, memang
Zainuddin, sahabatku. Sejak saya mendengar sikap yang telah diambil oleh mamakku,
terancamlah perhubungan kasih sayang kita. Dan orang kampungku telah syak wasangka
kepada kita yang bukan-bukan. Sebab itu, saya datang [65] kemari melepasmu pergi, dan biar
engkau pergi sejauh-jauhnya pun, namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. Sekali seorang
anak perempuan yang jujur telah memberikan bujukan kepada seorang laki-laki yang
menghamparkan sayap pengharapan, maka selama hidupnya, kematianlah yang akan
menceraikan perjanjiannya itu.
Zainuddin, kekasihku, berangkatlah, biar jauh sekalipun, kulepaskan! Tapi harapanku hanya
sebuah engkau sekali-kali tak boleh putus asa, jangan diberi hatimu berpintu sehingga
kesedihan dan kedukaan masuk ke dalam.
Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis
salisedan. Tetapicintamenghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan
menempuh onak dan duri penghidupan. Berangkatlah! dan biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita."
"Hayati," ujar Zainuddin, "amat besar harganya perkataanmu itu bagiku. Saya putus asa, atau
saya timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya ini, semuanya bergantung
bukan kepada diriku, bukan pula kepada orang lain, tetapi kepada engkau sendiri. Engkaulah
yang sanggup menjadikan saya seorang gagah berani, tetapi engkau pula yang sanggup
menjadikan saya sengsara selamanya. Engkau boleh memutuskan harapanku, engkau pun
sanggup membunuhku."
"Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang
baru naik, di hadapan roh ibu bapa yang sudah sama-sama berkalang tanah, saya katakan:
Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah
memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawadan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar
Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi suamiku kelak, jika tidak sampai di
dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di
hadapan Tuhanku, dan di hadapan [66] arwah nenek moyangku," ujar Hayati.
"Berat sekali sumpahmu Hayati?"
"Tidak berat, demikianlah yang sebenarnya. Dan jika engkau, kekasihku, berjalan jauh atau
dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun, masa sepuluh
tahun, entah hitam negeri Batipuh ini baru engkau kembali ke mari, namun saya tetap
menunggumu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita kemana jua pun namun saya tetap
untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan suci, untukmu, kekasihku,
untukmu.......... Allah yang tahu bagaimana beratnya perasaan hatiku hendak melepasmu berangkat pada hari
ini, tapi apa yang hendak kuperbuat selain sabar. Tuhan telah memberi saya kesabaran, mogamoga kesabaran itu terns menyelimuti hatiku, menunggu di mana masanya kita menghadapi
dunia ini dengan penuh kesyukuran kelak."
Baru sekarang terbuka rahasia batin yang tersembunyi di hati Hayati, yang selama ini masih
dipandang oleh Zainuddin sebagai teka-teki. Sekarang, yakni seketika dia akan bercerai-cerai,
dan entah akan bertemu pula entah tidak. Dan pada muka Hayati kelihatan bagaimana hebat
peperangannya menahan hatinya.
"Baiklah Hayati, saya akan berangkat dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya
sebelum kau kelihatan berdiri di sini sudah hampir hilang. Cuma masih ada permintaanku
kepada engkau: Kirimi saya surat-surat, dan kalau tak berhalangan, surat-surat itu akan saya
balasi pula." "Akan saya kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku sebagaimana
pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan."
"Mana tahu, entah lama pula kita akan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam
hidupku, dan, akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika kumati. Berilah, meski pun
suatu barang yang semurah-murahnya bagimu, bagiku mahal semua." [67]
Termenung Hayati sebentar. Tiba-tiba dibukanya selendang yang melilit kepalanya, dicabutnya
beberapa helai rambutnya, diberikannya kepada Zainuddin: "Inilah, terimalah! Selamat
jalan........" Digamitnya adiknya Ahmad itu dengan tangannya dia pun berpaling muka, berjalan dengan
secepat-cepatnya menuruti jalan raya itu dan membelok ke jalan kecil yang menuju kampung
halamannya, sementara Zainuddin tak dapat berkata sepatah juga lagi.
Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh sebuah bendi yang sedang mendaki dan
kudanya berjalan dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang mengejutkannya,
sehingga terhenti dari tekurnya.
"Menumpang ke Padang Panjang," ujarnya.
9. DI PADANG PANJANG TIDAK berapa jauh jaraknya dusun Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di
kaki gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat
bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya rendah, sejam
atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati.
Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan menuju kota Padang, yang dari
sana dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana
dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang mengalir dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta
merawankan hati, suatu kampung yang amat disukai oleh penya'ir.
Mula-mula saja dia tinggal di Padang Panjang, telah dikirimkan sepucuk surat kepada mak Base,
yang di dalamnya ditulisnya serba ringkas bagaimana penanggungannya tinggal di
Minangkabau. Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua yang dikasihinya itu,
mengajaknya lebih baik pulang saja kembali ke Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi
Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak memperdalam
penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang
berguna. Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang
baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi
ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan
demikian, dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik, menjadi leider dari [69]
perkumpulan rakyat. Kadang-kadang dia hendak menjadi ahli sya'ir, mempelajari kesenian yang
dalam. Itulah tiga tabi'at, tiga kehendak yang mengalir dalam darahnya, yang terbawa dari
turunannya. Sebab ayah dari ibunya, yaitu Daeng Manippi, seorang beribadat, demikian juga
ayahnya di hari tuanya. Ibunya seorang perempuan pehiba hati, thabi'at ahli sya'ir.
Terlunta-luntalah keadaannya seketika dia mula-mula menjejak Padang Panjang itu, belum juga
tentu haluannya. Beberapa hari kemudian, hari Jum'at, di waktu orang-orang dari dusun, dari
Gunung, Batipuh Pitalah, Sumpur, Kota Lawas dan sekitar kota Padang Panjang pergi ke pasar,
datanglah Ahmad adik Hayati, membawa sepucuk surat buat Zainuddin, demikian bunyinya:
Kekasihku Tuan! Meski pun tak berapa jauh antaranya Batipuh dengan kota Padang Panjang, namun engkau
telah terptsah dar, padaku, engkau telah jauk Dan pada persangkaanku sukar pula kites akan
bertemu lugi, karena boleh dikatakan berpagar aur berkeliling, langkah senantiasa dicurigai oleh
keluaga Meski pun di Padang Panjang id ada rumah seorang sahabatku, Khadijah, tentu pula
saya tak dapat datang dengan leluasa ke sana, sebab saya telah diberhentikan dari sekolah.
Kalau tak ada sebab-sebab yang panting tak boleh keluar rumah.
Telah jauh engkau sekarang, kekasihku, alangkah besarnya kemalanganmu dan
kesengsaraanku. Alangkah gelapnya dunia di sekitarku.
Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasehat menyuruhmu berangkat
meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan
sanggup sabar menahan hati berpisah dengan engkau. Tetapi setelah wajahmu yang muram
itu, mata yang selalu membayangkan kedukaan, perkataan yang selalu menimbulkan kesedihan,
setelah semuanya hilang dari mataku barulah saya insaf bahwa saya ini seorang gadis yang
lemah hati yang tak kuat, tak sanggup menanggung kedukaan dan kewdihan kbih dari pada
mestinya. Saya nasehatkan supaya engkau berangkat, ialah karena perintah pertimbangan akal,
memikirkan akibat dan ancaman. Tetapi setelah engkau [70] pergi, perasaan hati yang tadinya
dikalahkan oleh pertimbangan telah memberontak kembali, wajahmu, mukamu, matamu,
semuanya kembali terbayang.
Payah saya menahan air mataku seketika melepasmu pergi. Takut saya akan menangis supaya
engkau jangan terlalu bersedih, sebab sudah amat cukuplah penghinaan yang engkau
tanggungkan dari pada mamakku. Dan seketika air mata tak tertahan lagi, itulah sebab saya
berpaling pulang dan tidak saya lihatkan engkau sampai sehilang-hilangnya dari mataku.
Sekarang, air mata yang tertahan itu, telah melimpah, bergelora menyebabkan kurus badanku.
Alangkah pahitnya perpisahan, alangkah sukarnya menghadapi semua soal ini. Sehari setelah
engkau pergi, saya pergi dengan mak-tengahku ke sawah hendak melihat lada yang baru
ditanam, sawah tempat kita bertemu tempo hari. Saya cari engkau di sana, engkau tak ada.
Saya naik ke dangau tempat kita berhenti, tempat mula-mula engkau mengetahui rahasia
hatiku, di situ pun engkau tak ada, engkau sudah jauh, engkau tak akan datang lagi. Oh, itu
dangau, dia seakan-akan berkata, bangku yang kita duduki seakan-akan berberita. Seketika
akan saya seberangi bandar tempat engkau jatuh, bandar itu masih tetap sebagai sediakala,
tetapi engkau sudah pergi. Di situlah saya insaf, bahwa hari yang telah lalu itu memang telah
lalu, hari yang dahulu memang telah pergi, mengulang jejak yang lama sudah sukar, yang
tinggal hanyalah peringatannya saia. Di sanalah, kekasihku, di waktu itulali air mataku tak
tertahan lagi, sehingga mak-tengah yang selama ini belum kenal benar akan rahasiaku, telah
mendapat rahasia itu semuanya, dan telah turut menangis lantaran tangisku. Tangis orang lain
itulah yang sedikit dapat meringankan tanggungan hatiku.
Sekarang dalam kesedihanku telah ada saya berkawan, duduk perkara yang sebenarnya telah
kunyatakan kepada mak-tengahku, mak-tengah Limah. Tapi dia pun hanya seorang perempuan,
pertolongannya hanyalah sekadar menangis pula
Setelah sampai di rumah, saya perbuat surat ini kepadama
Kakandaku Zainuddin, bilakah kita akan bertemu pula dengan leluasa, bilakah itu hari yang
beruntung, hari yang berlalu sebagai mimpi, akan datang kepada kita kembali.
Hayati. Hari Jum'at di mukanya, surat itu telah dibalas oleh Zainuddin, demikian bunyinya: [71]
Adinda Hayati! Nasib adinda adalah lebih beruntung dari pada nasibku; adinda masih dapat melihat dangau
tempat kata bertemu, sawah tempat kita bermain, halaman luas tempat adinda menlemurkan
padi, ketika dagang melarat ini dapat melihatmu duduk termenung menggoyang-goyang
panggalan dari talang masak; semuanya dapat kau lihat. Sedang saya sendiri, dari jauh menarik
nafas panjang dan mengeluh, sebab alam sekelilingku yang ramai bagi orang lain, sepi rasanyo
bggi diriku. Sejak meninggalkan Batipuh, terasa benar olehku bahwu saya ini seorang dagang di
sini, jauh dari kampung halaman, jauh dari tanah darah tertumpak Sedangkan di Batipuh saya
tak diakui orang sama, kononlah di dalam kola begini, yang hidup manusia "siapa lu, siapa
gua." Adinda Hayati! Petaruhmu seketika saya akan berangkat, masih kugenggam erat, masih
kupegang teguh. Begini sulit, begini gelap dan samar haluan yang akan kuturut, namun saya
tak pernah purus asa,sebab masih berdenging dalam telingaku rasanya petaruhmu, menyuruh
berani, menyuruh tetap hati, keras kemauan dan sabar menempuh kesulitan hidup. Kalau bukan
karena itu, telah putus asa saya menghadapi pahit hidup, mau agaknya saya menyesali nasib,
tersesat kepada dosa yang maha benar, yakni mengupat Tuhan, menyalahi takdir.
lanjimu, bahwa jasmani dan rohanimu, telah dipatrikan oleh kasih cinta dengan daku, adalah
modalku yang paling mahaL Biarlah dunia ini karam, biarlah alam ini gelap, biarlah ... biarlah
seluruh manusia melengongkan mukanya ke tempat lain bila bertemu dengan aku, biarlah
segenap kebencian memenuhi hati insan terhadap kepada diriku, dan saya menjadi tumpahan
kejemuan hati manusia, namun saya tak merasa berat menanggungkan itu sremuanya, sebab
kau telah bersedia untukmu.
Hayati! Kirimi saya surat banyak-banyak, terangkan kepadaku perkaraperkara, baik yang kecil
atau yang benar, bujuk aku, sesali aku, marahi kalau kau pandang baik. Ketahudah bahwu
dengan demikian, aku akan merasa keindahan dan kelazatan bercerai-cerai, ganti dari
keindahan bertemu. Dan biarlah Tuhan Allah memberi perlindungan bagi kita semuanya.


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zainuddin. Bersamaan dengan surat yang diterima Zainuddin itu, [72] Khadijah, sahabat Hayati, menerima
surat pula, demikian bunyinya:
Ija! Jangan kau bosan menerim suratku. Masih bertimpa-timpa saja kesedihan yang mendatangiku.
Kepada siapakah akan kuadukan hatiku, kalau bukan kepadamu jua" Sebab aku tahu, aku insaf
engkau seorang anak perempuan yang bermuka rung, yang beralam lebar, yang tak sudi
membiarkan kesedihan berkuasa di hatimu. Alangkah jauhnya perbedaan hati kata Ada yang
akan kuterangkan kepadamu. Zainuddin, anak muda yang telah berapa kali kuterangkan
kepadamu itu, telah tidak ada di Batipuh lagi, telah pergi. Perginya seakan-akan kena usir.
Semua orang membenci dia, orang yang tak tentu asal, hendak mengacau dalam kampung
orang beradat, demikian tuduhan mereka kepadanya. Tahukah engkau kemana dia pergi" Tak
jauh...... Dia di sini, didekatmu di Padang Panjang!
Meski pun dalam surat-suratmu, kerap kali engkau mentertawakan saya, mengatakan bahwa
kecintaan saya kepadanya hanyalah karena digila bayang-bayang, angan-angan yang mulamula timbul dalam hati seorang anak gadis yang berangkat besar; percayalah sahabatku,
bahwa Zainuddin orang baik, lurus, pendiam, penyantun dan amat pantas dikasihani. Engkau
tak menghargakan dia, sebab engkau belum berkenalan dengan dia.
Sangat ingin hatiku hendak ziarah kepadamu, hendak menjejak kota Padang Panjang. Tetapi
engkau sendiri telah tahu, bahwa sekolahku telah "tammat," mengajiku telah "khatam,"
"diplomanya" kudapat bukan dari guru, melainkan dari mamakku. Kalau tak ada keperluan
penting, saya tak boleh lagi ke mari.
Tetapi saya sabar, saya masih menunggu dengan penuh kepercayaan, bah wa pada suatu kali
kelak, saya akan menjejak rumahmu juga.
Moga-moga engkau beruntung dalam hidupmu, sahabatku!
Hayati. Padang Panjang ...........
Sebelum terjadi pemindahan pasar dari Pasar Usang ke Pasar Baru, adalah kota tersebut
menjadi pusat pemiagaan yang terbesar [73] di bawah Padang, sebagai kota Bukittinggi pada
hari ini. Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu, kota Padang Panjang
masih memegang kejayaan dalarn urusan perdagangan. Pada masa itu masih dapat dilihat tokotoko yang besar, kedai kain yang permai, berleret sepanjang Pasar di Atas dan Pasar di Bawah,
dekat jalan ke mesjid Raya menuju Lubuk Mata Kucing. Di sanalah saudagar-saudagar yang
temama berjuang hidup memperhatikan jalan wang dan turun-naiknya koers Wang.
Saudagarsaudagar yang temama, sebagai H. A. Majid, H. Mahmud, Bagindo Besar, H. Yunus,
adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian ramanya.
Krisis perniagaan yang terjadi sehabis perang dunia telah menyebabkan kota itu lengang,
saudagar-saudagar yang masyhur dan temama telah banyak yang meninggal dunia, yang
muda-muda banyak yang jatuh, sehingga dalam setahun dua saja, lenganglah negeri itu.
Saudagar-saudagar telah pindah ke Padang, Bukittinggi dan ada yang menyeberang ke negeri
lain. Maka rumah-rumah besar, toko-toko yang indah dan kedai-kedai kain yang dahulunya
dipenuhi oleh kain beraneka wama, kosonglah. Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai
negeri dialahkan garuda. Tetapi kesepian itu tidak dibiarkan lama oleh keadaan. Karena dalam tahun 1916 tuan
Zainuddin Labay mendirikan sekolah Diniyah, satu sekolah agama yang mula-mula di Sumatera
Barat, timbalan dari sekolah Adahiyah di Padang. Dalam tahun 1918 didirikan orang Sumatera
Thawalib yaitu murid-murid dati tuan guru Haji Rasul yang dahulunya belajar secara pondok,
model yang lama, telah diobah aturan pelajarannya dengan aturan sekolah pula, dengan
kebijaksanaan seorang guru muda, bemama Hasyim dari Tiku. Pada masa itu pula, Gubernemen
mendirikan Sekolah Normaal di Padang Panjang.
Maka lantaran itu ramailah Padang Panjang kembali, bukan ramai oleh perniagaan, tetapi ramai
oleh murid-murid mengaji, murid sekolah, murid sekolah Normaal yang datang dari seluruh
Sumatera. Sekolah Normaal tidak begitu kelihatan ramainya, karena [74] keluarnya hanya sekali
seminggu. Tetapi murid-murid sekolah agama itu telah memenuhi rumah-rumah yang kosong
tadi, sebab tidak termuat lagi di surau Jambatan besi, meskipun telah diperbesar.
Dalam tahun 1923 bergoncang pergaulan murid-murid sekolah-sekolah agama itu lantaran salah
seorang di antara guru-guru yang begitu banyak, pulang dari perlawatannya ke tanah Jawa
telah membawa faham "Merah" (Komunis), sehingga sebagian besar murid-murid kemasukan
faham itu. Dan lakon kota Padang Panjang yang lama telah dihabisi oleh gempa bumi-yang
dahsyat pada 28 Juni 1926.
Kota itu adalah kota kemajuan. Murid-murid sekolah agama yang belajar di sana, telah merobah
bentuk "orang siak" atau santeri pelutuk, yang tersisih dari masyarakat lantaran hanya
mengetahui kitab-kitab bahasa Arab, dengan kepala dicukur, kain pelekat kasar dan baju
gunting Cina. Semuanya telah ditukar dengan model yang baru, murid-murid telah boleh
berdasi, boleh berpakaian cara Barat, karena agama bukan pakaian, tetapi sanggup bertempur,
berjuang di dalam menjalankan agama. Dalam pada itu, oleh guru-guru diizinkan pula muridmurid mempelajari musik, mempelajah bahasa asing, sebagai Belanda dan Inggeris.
Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan Kuda dan Pasar Malam, bernama
keramaian adat negeri. Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di Sumatera Barat,
sebagai Batu Sangkar, Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam
pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris, menyandang kain sumbiri, sejak dari yang
muda, sampai kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai
tikuluk pucuk. Pendeknya bertemulah di kota tersebut tiga perjuangan bentuk masyarakat. Bentuk adat lama
yang dipertahankan oleh penduduk kampung, bentuk pakaian secara orang agama yang
modern di dalam kota, dan bentuk "angku-angku," yang pada masa sekarang [75] ini biasa
disebut "intelektuil," meskipun kadang-kadang sebutan itu tak mengenai kepada artinya yang
sebenamya. Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga pelajaran
bahasa Inggeris, dan memperdalam bahasa Belanda. Malam dia pergi kepada seorang sersan
pensiun di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadangkadang diikutinya pula sersan
itu bermain di medan yang ramairamai. Karena menurut keyakinannya adalah musik itu
menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan citacitanya seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar dahulu.
10. PACU KUDA DAN PASAR MALAM
HAYATI sedang menggarakan padi di halaman, duduk di atas kursi yang telah tua di bawah
lumbungnya "sitinjau laut," sebuah panggalan talang masak terpegang di tangannya. Tiba-tiba
datang lah seorang anak kecil, yang tadi kembali dari Kubu Kerambil membawa surat dari
Padang Panjang. Berdebar hati Hayati menerima surat itu, tetapi kuranglah debarnya setelah dilihatnya bahwa
alamat surat itu dari tulisan perempuan. Ia kenal tulisan itu, tulisan Khadijah sahabatnya.
Dia naik ke atas rumah, terus sekali naik anjung, di sanalah dibukanya sampul surat itu,
Demikian bunyinya: Sahabatku Hayati! Suratmu yang terkirim 2 Jum'at yang lalu telah mafhum saya isinya Engkau mengatakan ingin
sekali hendak bertemu dengan daku, hendak ziarah ke Padang Panjang, tetapi waktu yang
terluang belum ada, halangan amat banyak dari mamakmu.
Saya tahu itu, engkau ingin hendak ke Padang Panjang, menjejak tepi Guguk Malintang saja
pun jadilah, engkau hendak mengisap udara di negeri tempat tinggal kekasihmu Zainuddin.
Sayang, saya belum berkenalan dengan dia dan belum tahu bagaimana rupanya Bagairmnakah
agaknya bentuk anak muda yang telah beruntung beroleh hatimu, berokh jiwumu, yang telah
beruntung engkau ratapi, engkau puji dan engkau junjung dalam suratmu itu" Siapakah dia,
bagaimanakah agaknya rupanya, orang yang engkau izinkan mencintai Hayati, bunga melur
sunting Batipuh; limpapas rumah nan gedang itu" [77]
Hayati! Tentu orang yang sebagai Egkau ini banyak memperhatikan perjalanan tanggal bulan
muda dan bulan tua. Tentu engkau ingat, bahwa bulan di muka telah masuk bulan Juni.
Sudahkah direkatkan orang di stasiun Kubu Kerambil, atau di lepau di lubuk Bauk, programa
pacuan kuda dan pasar keramaian.
Alangkah ramainya pacuan dan keramaian kelak engkau boleh datang ke Padang Panjang,
tinggal di rumahku seminggu lamanya, lepaskan teragak hatimu, kecap udara pagi yang dibawa
angin dari puncak Singlalang, Merapt dan Tandikat. Bila hari panas kita pergi mandi-mandl ke
Lubuk Mata Kucing. Tentu ayah dan bundaku - karena kami di kota bukan di bawah pengaruh
mamak - akan memberi izin apalagi saudaraku Aziz yang bekerja di Padang dapat pula perlop
14 hari. Dialah jadi teman kita kelak.
Minta izinlah kepada mamakmu, datanglah ke Padang Panjang kamarku sendiri akan kuhiasi,
ditentang pintu akan kutanamkan bunga keranyam, bunga yang sangat engkau sukai, yang
rupanya kesat dan hanya daunnya saja yang harum, tidak pernah berbunga selama hidupnya
tetapi selalu kulihat engkau siramdipot bungamu di Batipuh.
Kepada Mak-tengah Limah, sampaikanlah salamku.
Khadijah. Sekarang keramaian pacuan kuda yang akan berlangsung itulah yang menjadi pembicaraan di
dalam kampung, apalagi pacu kuda disamakan dengan pasar keramaian. Orang telah bersediasedia pakaian yank baru, anak-anak muda menyediakan pakaian adat, perempuan-perempuan
menyediakan tikuluk punuk, atau pakaian biasa yang lazim di kampung. Akan hal Hayati sendiri,
karena perayaan itu terjadi hanya sekali setahun, bukan dia saja yang akan pergi, malah isi
kampung akan berduyun-duyun, [78] dia diberi izin oleh mamaknya tinggal di Padang Panjang
di rumah sahabatnya Khadijah itu, akan ditemani oleh Mak-tengahnya sendiri. Mak-tengah
Limah. Alangkah besar hati Hayati beroleh izin itu. Karena bukanlah niatnya hendak melihat kuda
berlari, saja, tetapi dalam batinnya hendakbertemu dengan kekasihnya Zainuddin, sekurangkurangnya bertemu di jalan. Dan bagi Mak-tengah Limah yang mengetahui hal ini didiamkannya
saja. Karena biarlah gadis malang itu melepaskan hatinya agak sejenak, sebab pertemuan
mereka selamanya akan terhalang juga.
Dibuatnya sepucuk surat kepada Zainuddin.
Abangku Zainuddin Lepas nafasku yang sesak nasanya, sebab saya telah diberi izin oleh rramak ke Padang Panjang,
bust lamanya 10 hari yaitu selanra pacuan kuda dan pasar keramaian. Saya akan tinggal di
rumah sahabatku Khadijah, seseorang sahabat yang setia. Alangkah beruntungnya kita, jika kita
dapat bertemu muka pada tiap-tiap hari pacuan dan keramaian, untuk mengobat hati kita dan
menghilangkan gundah yang bersarang. Agaknya hari Jum'at saya akan ke kota.
Hayati. Pada hari Jum'at yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati bersama Mak-tengahnya ke Padang
Panjang. Baru saja dia sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama seorang
saudara nya laki-laki yang selama ini bekerja di Padang. Seorang anak laki-laki yang gagah dan
tangkas pula, yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari lamanya. Aziz namanya.
Kedua bersahabat ini, Hayati dan Khadijah, amat berlain sekali pendidikan dan pergaulannya.
Yang seorang anak kampung, yang tinggal di dalam dusun dengan keadaan sederhana, hidup di
[79] dalam rumah yang dilingkungi adat dan berbentuk kuno. Kehidupan di kampung yang
aman itu menyebabkan jiwanya biasa dalam ketenteraman, berlain sekali dengan pembawaan
Khadijah dan lingkungan keluarganya. Khadijah orang kota, tinggal di rumah bentuk kota, kaum
kerabatnya pun telah dilingkungi oleh pergaulan dan hawa kota, saudara-saudaranya
bersekolah dalam sekolahsekolah menurut pendidikan zaman baru. Susunan perkakas yang ada
dalam rumahnya, tentu saja jauh lebih menarik dari pada keadaan di kampung.
Meski pun senantiasa Khadijah menunjukkan mukanya yang manis, kepada Hayati, namun
sehari dua itu, Hayati masih kaku, apalagi kalau bukan dengan saudara yang kandung, amat
berat rasanya berdekat-dekatan duduk dengan laki-laki lain, tetapi di rumah Khadijah, yang
bersaudara laki-laki itu, dan saudara laki-laki itu pun banyak pula mempunyai teman sahabat,
yang leluasa dalam rumah itu, semuanya menyebabkan Hayati lama sekali baru dapat
menyesuaikan diri dalam rumah tersebut. Dilihatnya pakaiannya, dilihatnya pakaian Khadijah,
dilihatnya pakaian gadis-gadis lain yang berkeliaran dalam rumah itu menandangi Khadijah,
terasa benar olehnya rendahnya. Dia -hanya memakai baju berkurung panjang, selendang yang
tiada pernah tanggal dari kepala, sedang kawan-kawannya yang lain, di antaranya Khadijah,
setengahnya memakai rok, setengahnya berbaju kebaya Bandung yang dijahit menurut model
yang paling baru. Tetapi kaku dan bingung itu hanya sehari dua hari, di hari yang ketiga sudah mulai agak hilang,
meskipuri masih berkesan.
Semalam sebelum datang waktunya orang berpacu, Khadijah telah mengatur perjalanan mereka
beresok, akan diambil beberapa kursi di tribune, mereka akan duduk menonton di sana. Tiga
orang anak gadis keluarganya dari Lubuk Alung dan dari Bukittinggi, akan turut, dan akan
ditemani oleh Aziz sendiri dan 4orang temannya pula, jadi sepasang-sepasang. [80]
Besoknya pagi-pagi, mereka telah bangun. Khadijah tengah asyik berhias di dalam kamarnya,
Hayati telah membuka bungkusannya pula, dikeluarkannya selendang sutera yang bersuji
tepinya, baju berkurung benang sering yang halus, sarung batik Pekalongan dan selop. Aziz
duduk di luar sambil bersiul; tidak berapa lama kemudian datanglah teman-temannya; yang
seorang mengepit pesawat "kodak," yang seorang pula membawa teropong kecil, untuk pelihat
kuda, yang berdua lagi kegagahan, yang seorang mengatasi yang lain.
Setelah selesai, keluarlah kedua gadis itu dari kamar masingmasing. Mak-tengah Limah pun
telah ke luar pula bersama ibu Khadijah, hendak melihat gadis-gadis itu. Demi setelah bertemu
di beranda muka, Khadijah terkejut melihat pakaian kawannya. Setelah tercengang beberapa
lamanya dia berkata: "Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati" Apakah kau hendak sebagai "lepat" dibungkus?"
Hayati melihat kepada Khadijah tenang-renang. Tercengang dia melihat pakaian yang dipakai
sahabatnya itu: Kebaya pendek yang jarang, dari poal halus, dadanya terbuka seperempat,
menurut mode yang paling baru. Kutang pun model baru pula, sehingga agak jelas pangkal
susu, dan tidak memakai selendang. Sarung ialah batik Pekalongan halus, berselop tinggi tumit
pula, di tangan memegang sebuah tas, yang di dalamnya cukup tersimpan cermin dan pupur.
Sedangkan dia sendiri, Hayati berpakaian jauh bedanya dari itu, pakaian cara kampung.
Merengut Khadijah sekali: "Lebih baik. kau pergi ke surau saja. Hayati, jangan ke pacuan!"
"Saya malu memakai pakaian demikian, Khadijah, tidak cocok dengan diriku, aku tak biasa."
"Itulah yang akan dibiasakan."
"Pakaian begini tak diadatkan di negeri kita."
"Dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim."
"Saya tidak mau membuka rambut." [81]
"Membuka rambut apakah salahnya" Bukankah panas kalau selalu ditutup saja?"
"Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang demikian," kata Hayati pula.
"Itu gampang pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari, berapa saja kau mau."
Setelah bertengkar-tengkar, yang hampir saja menyebabkan Hayati tak jadi pergi, tetapi
mengingat hendak bertemu dengan Zainuddin nanti, dipakainya juga pakaian itu. Mula-mula
mengalir keringat di dahinya karena belum biasa. Berat baginya hendak membuka selendang
yang telah melilit kepalanya, geli seluruh badannya akan menyinggung baju yang masih ganjil
baginya. Yang rumit pula, seketika dia meminta pikiran kepada Mak-tengahnya, dia hanya
menyerahkan kepadanya saja, tak menyuruh tak melarang. Mula-mula keluar dari rumah itu,
badannya bagai bayangbayang. Aziz yang menemaninya tersenyum simpul saja melihatkan.
Tetapi kian selangkah kian hilanglah malunya memakai pakaian yang belum biasa itu. Lamalama perasaan itu hilang juga. Sebab di jalan telah dilihatnya, bukan dia saja berpakaian
demikian. Demi ketika akan masuk ke pacuan, malunya telah hilang dan telah lupa, sebab telah karam
dalam sorak-sorai orang banyak.
Bukan main ramainya orang sekeliling gelanggang itu, laki-laki dan perempuan. Apakah yang
menarik hati orang kepada kuda berlari" Bukan orang hendak melihat kuda, tetapi manusia
hendak menonton manusia jua.
Tribune sudah hampir penuh, di sanalah orang yang mampu duduk bertaruh kuda,
mempermainkan wang. Penghulu-penghulu kepala, di sanalah kerapkali menekorkan kas negeri,
karena malu kalau tak ikut bertaruh atau tidak ikut menuangkan berendy. Tiba-tiba berbunyilah
lagu "Wilheimus," orang berdiri dari tempat duduk masing-masing, tuan Asisten-Residen
datang. Pacuan akan dimulai. [82]
Dari jauh, di antara manusia yang telah datang berduyun-duyun menuju tepi pagar pacuan,
kelihatan seorang anak muda berjalan dengan gontai dan tenangnya. Mukanya muram, rambut
nya telah panjang, rupanya kurang disisir meskipun bajunya bersih, tetapi tidak memakai dasi.
Bersarung, padahal orang muda yang lain berpentalon.
Dia pergi ke dekat pagar akan ke tribune, rupanya seakan-akan ada orang yang ditunggutunggunya. Tiba-tiba datanglah serombongan anak muda laki-laki dan perempuan akan masuk
ke tribune itu, berjalan sambil tertawa riang. Di antara orang sebanyak itu ada seorang anak
perempuan, yang dilihat oleh anak muda itu dengan mata tenang tak terpejam sedikit juga.
Dilihatnya, hampir dia tak percaya kepada dirinya. Di muka pintu itu benar bertemulah kedua
orang muda itu, yang perempuan terkejut dan terpaku tegak, dialah Hayati. Yang laki-laki
tergugup dan sangat terbingung, itulah Zainuddin.
"Kau........... Hayati?"
"Zai..........nuddin ......"
Tertegun langkah Hayati, sehingga langkah kawan-kawannya, yaitu Khadijah dan 3 orang gadisgadis muda yang lain itu tertegun pula. Apalagi Aziz dan teman-temannya.
"Mengapa terhenti Hayati?" tanya Khadijah, sainbil melihat tenangtenang kepada Zainuddin
dengan penglihatan menghina. "Kenapa tertegun" Dan siapakah ini?" tanya Khadijah sekali lagi.
"Inilah sahabatku, Zainuddin!"
"Oooo....ini orang yang kerap kali engkau sebut-sebut itu rupanya."
Ditariknya tangan Hayati ke dalam, disendengnya Aziz dengan sudut matanya, sambil
tersenyum. Aziz pun tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum pula. Mereka terus ke
dalam tribune. Zainuddin tinggal berdiri seorang dirinya. Jelas terdengar dan nampak nyata
blehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, tertawa terbahak-bahak, hanya Hayati
seorang yang berjalan menekurkan muka sehingga lantaran kebingungan hampir terlepas [83]
tas yang dipegangnya dari tangannya.
Rasa-rasanya pusing kepala Zainuddin melihat kejadian itu, mengalir keringat dingin di
keningnya. Dia tegak termangu, suara hinik-pikuk kelilingnya. seakan-akan tak didengarnya.
Kuda yang baru dilepas telah disorak-soraki orang berkal -kati. Sebentar kedengaran
"Again........Again." Sebentar kedengaran "Padang......Padang" dan seterusnya, namun
Zainuddin belum juga insyaf di mana dia sekarang.
Khadijah dan Aziz, dan kawan-kawannya yang lain tersenyum-senyum saja melihat Hayati.
Sambil mengeluarkan senyuman yang agak pahit artinya. Khadijjah berkata, sambil melihat
kepada Zainuddin yang berdiri di tepi pagar itu: "Itulah rupanya orang yang engkau puji-puji
itu, Hayati?" Seorang temannya berkata pula: "Rupanya alim betul kenalanmu itu!"
"Orang banyak berpikir memang begitu," kata yang seorang pula.
"Tapi model pula saya lihat baju buka ditutupkan kelepaknya dan tidak mcmakai dasi," kata
yang lain. "Sarungnya sarung Bugis," kata yang seorang.
"Memang dia orang Mengkasar," kata Khadijah pula.
"O, jadi bukan orang sini?" kata yang seorang.
Tiba-tiba datanglah seorang opas mengusiri orang yang tegak di tepi pagar, karena tak boleh
terlalu dekat. Zainuddin turut terusir dengan orang banyak...........


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihatkan kejadian itu, sedang keringat telah
mengalir di dahi Hayati, mukanya merah dan ditekurkannya ke bumi.
Orang banyak bersorak-sorak melihat kuda yang menang, anak-anak muda itu turut bersorak,
hanya Hayati saja yang terdiarn.
"Ai, mengapa mukamu merah Hayati?" tanya Khadijah. "Kepalaku sangat sakit," katanya, "lebih
baik kita segera pulang."
Tidak berapa saat mereka duduk dalam tribune itu mereka pun pulanglah .......
Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan, sebagaimana berlainnyakejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mencukupkan kehidupan dengan
per cintaan. Tetapi filsafat kedua belah pihak dalam perkara cinta, amat berbeda, laksana
perbedaan siang dengan malam, tegasnya perbedaan Adam dengan Hawa.
Laki-laki bilamana telah menentukan cintanya untuk seorang perempuan, maka perempuan itu
mesti jadi haknya seorang, tak boleh orang lain hendak ikut berkongsi dengan dia. Jika
perempu an itu cantik, maka kecantikannya biarlah diketaluii olehnya seorang. Jika suara
perempuan itu nyaring, biarlah dia seorang yang mendengamya. Sebab itu, kalau ada orang lain
yang hendak memuji kecintaannya, atau mengatakan suaranya nyaring, atau menyanjung budi
baiknya, semua itu tidaklah diterima oleh laki-laki yang mencintainya tadi. Bertambah banyak
orang memuji kecintaannya, bertambah timbullah cernburu dalam hatinya, sebab perempuan
itu untuk dia, buat dia, tak boleh buat orang lain. Tetapi takdirnya ada orang yang mencela,
mengatakan perempuan yang dicintainya itu buruk tidak serupa perempuan lain, kalau ada
orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya, sebab dia telah memberikan cinta hati
kepada seorang perempuan, yang kecantikannya tidak patut mendapat penghargaan setinggi
itu, kalau ada orang mencatat, merendahkan, maka semuanya itu bagi laki-laki yang bercinta
tadi, akan menambah patri cintanya dan menambah harga perempuan itu di matanya.
Tetapi cinta perempuan kepada laki-laki sebaliknya dari itu. iaki-laki pada pemandangan
perempuan adalah laksana dukuh [85] emas yang tergelung dilehernya, atau gelang bertatah
berlian yang melilit tangannya, perhiasan yang akan dibanggakannya kepada kawan sesama
gedangnya. Seburuk-buruk kecintaannya akan lupa dia keburukan itu, kalau laki-laki lain atau
perempuan lain memujinya dekat dia, mengatakan dia seorang laki-laki yang tangkas berbudi,
temama, termasyhur dan lain-lain sebagainya.
Maka nyatalah bahwa cinta perempuan kepada laki-laki lebih banyak berdasarkan ketakburan
dari pada kenafsuan. Pengakuan orang lain atas kemuliaan kecantikannya atau tunangannya
atau suaminya, bagi seorang perempuan adalah sebagai satu kemenangan di dalam
perjuangan. Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika Hayati termenung, mukanya tertekur,
kepalanya berasa sakit, melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai orang
lain memakai pakaian, seakan-akan orang yang tersisih. Selama ini, tidak ada dunia bagi Hayati
lain dari Zainuddin, belum ada keindahan alam yang dipandangnya selain Zainuddin. Kegagahan
laki-laki adalah perbuatan Tuhan, Zainuddinlahpatrinya. Kalau hendak mencari seorang pemuda
yang lurus dan yang baik hati, itulah Zainuddin. Orang cela manusia yang paling dicintainya,
karena mereka tiada kenal siapa dia. Dia mengeluh dan berkata seorang dirinya: "Mereka tiada
kenal bagaimana kemuliaan batin Zainuddin, mereka tak tahu bahwa di balik pakaian yang
kurang sempuma itu tersimpan hati yang baik.
Mereka cela dia, sebab mereka tiada kenal siapa dia. Kalau mereka tahu siapa dia, tentu akan
mereka hormati, sebab di sanalah tersimpan satu hati yang bersih dan jiwa yang besar."
Termenung dia seorang diri dalam kamarnya, teringat akan mimpi dan angan-angan Zainuddin
terhadap dirinya, teringat dia bahwa anak muda yang melarat itu tak berhenti dirundung
malang. Dahulu, dia sangat betas kasihan melihat nasib Zainuddin, [86] dari belas kasihan mendakilah
dia kepadacinta. Maka pada ketika itu, belas kasihan itu timbullah pala. kembali, sambil menarik
nafas yang panjang dan dalam, dia berkata: "Kasihan nasibmu Zainuddin."
Dari lurah belas kasihan mendaki ke puncak bukit cinta, sekarang telah menurun kembali
kepada lurah kasihan. Dan cinta bilamana telah menurun kepada belas kasihan, tandanya lamakelamaan dia akan berangsur turun.
Adikku Hayati Setelah sekian lamanya kita bercerai-cerai, masih saja teringat olehku seketika kau melepasku
pergi, di penajunan, di batas antara negeri Batipuh dengan Ekor Lubuk, di antara sawah rang
berjenjang, ketika matahari mulai naik. Masih terbayang muramnya muka kau, bagaimana
teguhnya sikap kau melepasku. Masih teringat, dan amat jelas, laksana detik suara jam yang
didengarkan oleh seorang yang matanya tak mau tidur tengah malam, bagaimana kau
menyuruhku sabar, menyuruh saya teguh menempuh bahaya hidup. Jika saya ingot semuanya
itu, saya bacai pula surat-surat kita, maka tidaklah sepi rasanya diri saya bercerai-cerai dan
berjauhan tempat tinggal dengan kau .........
Pergaulan kota telah mulai menjalar ke kampung-kampung, kedamaian dan kerukunan hidup
dalam kampung telah mulai diusik oleh nafsi-nafsi orang kota. Banyak orang tua-tua yang
mengeluh dan merasa takut, kalau kalau ketenteraman perentpuan dalant adatnya dan
kedantaian pentuda dalam sopannya okan terganggu oleh gelora zaman baru. Tetapi berlain
saya dengan mereka itu selama ini terhadap dirimu. Saya percaya bahwu engkau tak akan
terpengaruh oleh segala keadaan yang baru, tetapi akan tenteram dalam lingkungan adinda
tinggal, kenal dalam kalangan keluarga siapa adinda dilahirkan, kenal pula didikan agama yang
adinda terima, kenal pula bagaimana kerasnya engku Dt......... menjaga anak kemenakannya.
Maafkan saya Hayati, jika saya berbicara terus terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa
walaupun sebesar zarrah terhadap kepadamu. Cinta yang sejati, adikku, tidaklah bersifat
munafik, pepat di luar pancung di dalam [87].
Akan saya katakan perasaan hati terus terang, walau pun lantaran itu saya akan kau bunuh
misalnya, bahagialah saya lantaran tanganmu.
Hayati! .......... Apa yang saya lihat kemaren" Mengapa telah berobah pakaianmu, telah berobah
gayamu" Mana baju kurungmu." Bukankah adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk
pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan
"terlalu" dengan nama "mode': Kemaren, adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir
separoh dada adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke
tengah-tengah ramai. Kakanda percaya, bahwa yang demikian bukan kehendak Hayati yang sejati, Hayati hanya
terturut kepada kehendak perempuan zaman kini. Mereka katakan itulah kemajuan, padahal
kemajuan jauh dari itu. Apakah tujuan kemajuan itu kepada perobahan pakaian sampai begitu,
Hayati" Hayati, kehidupanku! Pakailah pakaianmu yang asli kembali, lekatkan pakaian dusunmu.
Maaflah Hayati, bahwa Hayati sangat cantik, dan kecantikannya itu bukannya dibantu pakaian,
tetapi ciptaan sejak dia dilahirkan.
Jangan marah Hayati. Kau hanya buat saya seorang, bukan buat orang lain. Biarlah orang lain
mengatakan kau perempuan dusun, tak kenal kemajuan pakaian zaman kini, kau Hayati ..........
kau hanya untukku seorang.
Zainuddin. Sedang dia asyik membaca surat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, masuklah Khadijah.
Hayati mencoba hendak menyembunyikan surat itu ke bawah bantalnya, tetapi direbut segera
oleh Khadijah dan dibacanya. Sehabis dibacanya, mukanya merah padam, bibirnya dicibirkan.
"Cis, alim betul orang yang engkau cintai ini. Maunya rupanya supaya kau coreng mukamu
dengan arang, pakai pakaian orang dusun Batipuh semasa 30 tahun yang lalu, alihkan
pertautan sarungmu ke belakang, tindik telingamu luas-luas, masukkan daun tebu yang
digulung, supaya bertambah besar dan luasnya, makan sirih biar gigimu hitam, berjalan dengan
kaki terangkat-angkat, junjung niru dan tampian. Di mana duduk puji dan sanjung dia, katakan
dia seorang laki-laki yang jempol. Alangkah beruntungnya engkau jika bersuami dia kelak.
Engkau akan dikurung dalam rumah, menurut adat orang Arab, tak boleh kena cahaya
matahari, turun sekali sejum'at. Dan bila engkau berjalan beriring-iringan dengan dia, tak boleh
laki-laki lain menentang mukamu, tutup muka dengan selendang, sebagai kuda bendi dengan
tutup matanya. Kalau dia hendak pergi ke mana-mana, kunci rumah dibawanya, engkau hanya
didapur saja." "Tak baik begitu, Khadijah. Tidaklah adat istiadatnya sampai seburuk yang engkau katakan itu.
Engkau belum kenal akan dia, tuduhanmu telah sengit saja."
"Kenal apakah lagi yang lebih dari membaaa surat ini?"
"Dia baik hati, Khadijah. Tetapi dia sedang dilamun percintaan. Tidakkah engkau tahu bahwa
orang yang dalam percintaan, kerap kali pencemburu?"
"Kalau demikian memang berlain sekali pendirian kita perkara cinta, Hayati. Kau terlalu
dibuaikan angan-angan. Kalau bagi saya, sekiranya datang malaikat dari langit, mengaku sudi
menjadi kecintaanku, dibawanya sebuah sangkar dari mas, cukup pakaian dari sutera ainal
benaat, bermahkotakan intan baiduri, tetapi kemerdekaanku dirampas, dan aku wajib tingggl
selamalamanya dalam sangkar mas itu; jika aku bernyanyi hanya untuk dia, jika aku bersiul
hanya buat didengarnya, aku diikat, dipaksa turut ikatan itu. Maka terima kasih bagi malaikat,
selamat jalan bagi sangkar mas, selamat pergi bagi mahkbta baiduri. Bagiku, bebas menurutkan
kata hati, di bawah perintah diri seorang, itulah tujuan yang paling tinggi di dunia ini."
Kemudian itu, disambungnya pula: "Heran saya dengan hatimu Hayati. Bagaimana engkau
pemurah betul membalas cinta manusia yang sekejam itu. Baginya semuanya haram, semuanya
tak boleh, semuanya terlarang. Akan jadi siapakah engkau nanti" Bagaimana wajah perjalanan
hidupmu di zaman yang akan datang, [89] saya bingung memikirkannya. Engkau puji
"kecintaan"mu itu setinggi langit. Bagi saya tak lain orang yang demikian daripada algojo
perampas kemerdekaan perempuan.
Hayati yang cantik! yang menerbitkan iri hati dalam kalangan kawan-kawannya. Akan
kemanakah hilangnya kelak kecantikan itu, akan jadi korban dari nafsu seorang yang kejam,
yang hendak mengikatnya menjadi permainannya. Hayati, Hayati ....... muda hanya sekali,
sahabatku! Coba kau pikirkan baikbaik hari kemudian. Berkali-kali engkau menyebut nama
Tuhan, seakan-akan kami yang lain ini tidak ber-Tuhan pada pemandanganmu. Padahal tidaklah
Tuhan sekeras itu aturannya, dia tidak memberati manusia lebih da:i pada kuat kuasanya. Dia
tidak menyuruh supaya kita semuanya jadi perempuan tua yang membungkuk-bungkuk pergi
ke surau pukul empat hari'kan siang, sebelum ayam berkoko, sebelum murai berkicau,
berselimutkan kain telakung ........ meraba-raba di dalam gelap. Jangan Hayati, mari kita ambil
kesempatan selagi badan muda, percayai diri sendiri, cari suami yang bisa menuntun kita, dan
tersenyum di dunia yang tak lama umurnya ini barang sekejap waktu ...."
Belum sempat Hayati menjawab, Khadijah telah keluar dari kamar itu. Tinggallah Hayati
seorang dirinya kebingungan tidak tentu apa yang akan dibuatnya; kadang-kadang dia tidur,
kadang-kadang dia tegak, kadang-kadang dia mengeluh, kadangkadang dia menghadap ke kiri,
dibacanya surat Zainuddin, kadang-kadang pula dia menghadap ke kanan, feringat perkataan
Khadijah. 11. BIMBANG AZIZ bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya, bergaul dengan teman sejawat yang
tidak berketentuan perangai, sehingga dia sendiri pun telah terturut-turut pula.
Bilamana hari telah malam, dia. pergi ke tempat pergurauan, melepaskan nafsu mudanya. Yang
lebih disukainya ialah menghabiskan wang dengan orang-orang yang tak berketentuan. Atau
mempermain-mainkan anak bini orang. Kalau kelihatan seorang gadis yang cantik rupanya, dia
telah sebagai cacing kepanasan, sebentar-sebentar dia serupa orang alim sangat, tetapi dengan
perangai demikian dia tidak tahan lama, beberapa menit saja dapat berobah menjadi seorang
yang duduk gelisah. Belum pernah dia beristeri, meskipun, telah berkali-kali disuruh orang
tuanya, karena menurut perkataannya kepada kawan-kawannya beristeri itu mengikat langkah,
menyebabkan hilang kebebasan. Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya serba susah.
Akan dipilih isteri orang kampung, terlalu bodoh, tidak tahu bagaimana kemauan hidup di
zaman sekarang. Isteri itu selain dari pandai mengatur rumah, pandai melekatkan pakaian yang
menarik hati, harus pandai pula bergaul. Tidak kaku, jika bertemu dengan laki-laki lain. Sedang
pada perempuan kampung semuanya itu tidak lengkap. Akan beristeri perempuan kota,
tingkahnya banyak, mintanya bukan sedikit. Dia mau menonton, mau ini, mau itu,
kadangkadang hendak mengatur langkah lakinya menurut sukanya. Apalagi gadis-gadis
sekarang - menurut persangkaan Aziz - tidak mempunyai cinta yang jujur, sebab pergaulannya
terlalu bebas. Dia sudah berkali-kah berjanji dengan gadis-gadis akan setia, sehidup semati,
sesakit sesenang, tetapi sebahagian besar yang berjanji itu, bersuami juga, dan hidup senang
dengan suaminya. [91] Janjinya ketika masih perawan seberat bumi dan langit. Dia sendiri pun demikian pula, berjanji
4 kali sehari, dengan anak gadis yang bermacam-macam pula perangainya, dia juga mungkir.
Jadi bagi Aziz, hidup adalah komidi belaka. Kejujuran tidak ada pada masyarakat, baik laki-laki
atau perempuan. Kejujuran adalah bergantung kepada wang.
Kawin tidak ada gunanya asal suka sama suka. Sebab itu hanya ijab dan kabul, yang
perempuan dibolehkan orane tuanya, baru boleh kawin, kalau tidak, tidak boleh. Yang demikian
adalah merampas kemerdekaan. Lebih baik turutkan saja kehendak hati sedang badan muda,
kalau sudah tua, yaitu kesempatan kesenangan tak ada lagi barulah perbaiki diri, baru kawin!
Tetapi sungguh pun begitu, kepada kaum keluarga ada juga segannya sedikit. Itulah sebabnya
dia tinggal di Padang, supaya jangan mengganggu pendengaran kaum kerabat kiri-kanan. Kalau
dia pulang sekali-sekali dan disebutkan kepadanya perkara kawin, tidaklah itu alasan yang
dikeluarkannya, hanyalah dijawabnya saja: "Belum hendak kawin, belum ada yang setuju."
Adiknya Khadijah telah bertunangan, seorang muda yang kaya, baru saja menerima pusaka
toko besar di Bukittinggi dan berpikiran modern pula. Tetapi dia hendak mencoba dahulu,
melunakkan hati saLidaranya supaya suka pula kawin. Yang maksud hatinya akan jodoh
saudaranya ialah Hayati. Mudah-mudahan keborosan dan pikiran muda saudaranya itu dapat
berobah jika mendapat isteri sebagai Elayati yang alim itu. Apalagi Hayati cantik benar,
perasaan kampungnya dapatlah dibentuk supaya lebih maju, jika kelak tinggal di kota. Apalagi
kota sebagai Padang. Dalam pergaulan beberapa hari di Padang Panjang, dalam melihat pacu kuda, pasar keramaian,
berjalan-jalan makan angin ke tempat-tempat yang indah dan pergaulan di atas rumah yang
bebas, tentu saja hati Aziz amat tertarik melihat kecantikan Hayati. Khadijah pun selalu
memperhatikan bagaimana tajam mata [92] saudaranya melihat gadis pingitan itu. Bilamana
bersama-sama makan, kerap kali Hayati tersipu-sipu karena tidak tahan dilihat dengan sudut
inata yang setajam itu. Bilamana Khadijah ke belakang atau yang lain tak ada, Aziz tiba, didapatinya Hayati duduk,
pandai pula dia mengeluarkan perkataan-perkataan yang lemak manis yang dapat menerbitkan
kegembiraan perempuan. Maklumlah, sudah biasa.
Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan, bahkan takut Hayati
berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi "memikat" adalah kepandaian Aziz
yang tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz
sebab dia saudara Khadijah; dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan
kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan!
Aziz amat pandai berpura-pura. Menurut pendapatnya, segala perempuan itu sama saja, samasama permainan laki-laki, yang mana pun boleh dipermain-mainkan.
Timbangannya terhadap Hayati berbeda dengan timbangan Khadijah. Bagi Khadijah..Hayati
pantas menjadi isteri Aziz, Hayati itu cantik betul, bagaimanakah akal supaya dapat jatuh
ketangannya. Sehari sesudah Khadijah berbicara panjang mencela dan mengejek Zainuddin itu, Hayati dibawa
oleh Khadijah ke dalam kamarnya. Diperhatikannya albumnya yang penuh dengan gambar
gambar ketika dia pergi pic-nic ke bukit-bukit, ke Lubuk Mata Kucing, ke kaki Singgalang, ke
belukar Anai, ke Ngarai di Bukittinggi, ketika tunangannya di rumah tempo hari. Sudah dua
bulan tunangannya itu ada. di Jakarta, menambah ilmunya dalam perkara dagang, dan
bilamana dia pulang akan ditentukan hari perkawinan mereka. Alangkah baiknya - kata Khadijah
- kalau hari perkawinan mereka dapat disamakan!
Khadijah mempetlihatkan sebentuk cincin berlian yang indah [93] memancarkan cahaya yang
gilang gemilang. Katanya: "Inilah tanda mata dari tunanganku. Selama ini belum saya suka
membukakan kepada engkau bahwa saya telah bertunangan, sebab saya sangka engkau belum
ada niatan hendak kawin. Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang
yang bukan jodohmu, saya katakanlah sekarang, bahwa hatiku tak seoang kalau tak saya
katakan kepadamu hal yang sebenarnya.
Saya cinta sekali kepada engkau, sahabatku! Alangkah beruntungnya kita, jika suami saya dan
suamimu dapat duduk sama rendah tegak sama tinggi kelak, sama-sama dapat mengaji asalusul, ke atas boleh ditengadahkan, ke bahwh boleh ditekurkan.
Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang
demikian, di zaman sebagai sekarang ini tak dapat dipakai. Kehidupan zanran sekarang
berkehendak kepada wang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan
gaji, gajinya cukup. Cinta walau pun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada wang!"
"Tidak, Khadijah!" jawab Hayati, "pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada wang.
Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman pikirannya, itulah
wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah
kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan."
"Itu hanya bayangan, Hayati, sekali lagi saya katakan, itu hanya bayangan," ujar Khadijah.
"Engkau boleh menahan hatimu dengan pakaian yang buruk dekat lakimu, boleh bersabar
dengan rumah yang tak sederhana, jika hanya berdua saja. Tetapi tak lama engkau dapat
menahan hati mendengarkan rayuan angin yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Tak lama
engkau dapat me - nahan hati, melihat mata orang yang rtiemandangmu dengan belas kasihan.
Ketika itu cinta itu akan berangsur surut, engkau mulamula menyesali nasib. Bila nasib telah
disesali, tentu lama-lama pindah penyesalan kepada yang menyebabkan datangnyanasibitu,
[94] ialah si suami. Suami pun demikian pula. Berapa banyak saya dengar, berita dari orang
yang telah bersuami, mengatakan bahwa ada laki-laki yang mengatakan isterinya sial,
mengatakan isterinya menyebabkan dia dapat naas."
"Bimbang," itulah yang timbul selama Hayati ada di Padang pajang. Jika dia akan masuk
ketempat tidurnya, terbayang air mata Zainuddin, terupa bujuk cumbu Khadijah, kadangkadang keras, kadang-kadang lunak, teringat senyum Aziz yang pandai menarik hati itu.
Sehabis pasar keramaian, dia pun bersiaplah hendak kembali ke kampungnya. Mereka berjanji
akan senantiasa ingat mengingat. Kain-kain telah dibungkus, beberapa helai baju kebaya
potongan Bandung telah dibikin dengan ongkos Khadijah sendiri.
Ketika dia akan naik ke bendi, Aziz serta Khadijah, dan ibunya, lama-sama melepas. Ketika
berjabat salam, lama sekali tangannya dipegang oleh Khadijah. Dengan sikap yang sungguhsungguh Khadijah berkata: "Jika ada mulutku yang ganjii kepadamu, kalau manis jangan lekas
diulur, kalau pahit jangan iekas diludahkan, pikirkan baik-baik dahulu."
Hayati tak menjawab, dia hanya menarik nafas panjang, dia bimbang! Dari cinta, turunlah dia
kepada belas kasihan, belas kasihan sekarang telah diserang pula oleh kebimbangan.......
Setelah bendinya jauh, orang-orang itu pun kembalilah ke nimah. Lama sekali Hayati dan Maktengah Limahnya menjadi pembicaraan. Mula-mula memuji sambil bergurau, memperkatakan
perangai Mak-tengah Limah tinggal di kota. bagaimana lakunya di atas rumah, bahwa dia tak
suka duduk di kursi yang terlalu besar itu. Sampai kepada Hayati yang cantik selalu, walau pun
pakaian apa yang dipakainya. Aziz pun telah turut pula memuji-mujinya.
"Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia," ujar Khadijah memutuskan pembicaraan
saudaranya sambii tersenyum! "Kalau kita berkerabat dengan dia, bukan main megahnya itu.
Barangkali orang yang akan disuruh pergi yang tak mau!" ujar ibunya sambil melihat Aziz
dengan sudut mata. [95] Aziz hanya menekur sambil mengulaikan kepalanya ke korsi dan kemudian menengadah ke


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loteng, seakan-akan tak terdengar olehnya.
"Bagaimana ini Uda," *) kata Khadijah pura, "peremiman seperti Hayati itu sudah sepantasnya
untuk kita. "). Uda, artinyu Abang (Padang). Uda, artinya ayah kecil (Tapanuli)
Rupa tak ada tolok bandingnya, pribahasanya amat tinggi, maklumlah orang kampung, adat
kota tidak pula kalah. Misalnya kalau jadi, bukan main keberuntungan kita."
"Sebetulnya di dalam pergaulan seminggu itu, banyak benar perangainya yang menarik hati
saya. Kalau dapat kita minta, alangkah baiknya," kata ibunya pula.
"Gadis kampung salahnyaterlalukaku kalau dibawa ke kota, " kata Aziz dengan suara lunak.
"Itu mudah diperbaiki. Kalau kita palut badannya dengan mas, diberi kesenangan yang
memuaskan, tentu dia akan berobah menjadi orang kota yang modern kelak," kata Khadijah.
"Barang kali telah ada tunangannya!"
"Ah, tunangan, dia belum ada tunangan. Semasa di kampung dia bercinta-cintaan dengan orang
Mengkasar. "Anak mengaji" yang tak tentu hilir mudiknya itu, kabarnya anak orang terbuang, mana boleh
jadi jodohnya." "Zainuddin tempo hari?"
"Itulah!" Lama-lama pembicaraan itu telah hampir akur, Aziz amat tertarik dengan kecantikan Hayati. Dia
sekarang hendak melepaskan pendapat yanglama, hidup membujang, dia hendak mengarnbil
Hayati menjadi isterinya. Tetapi tidaklah sampai pertirnbangannya, apakah- Hayati hendak jadi
isteri yang akan dibawa bersama-sama sehidup semati, isteri kawan bertempur menghadapi
kesulitan hayat, sebagaimana dipikirkan orang selama ini, tidak sampai ke [96] sana
pertimbangannya. Pertimbangannya ialah Hayati gadis cantik, orang kampung pingitan, dia
mesti mendapat Hayati. Tak dapat dengan jalan yang biasa dikerjakannya, yaitu haram, dengan
jalan halal baik juga. Dia sekarang ada pekerjaan, simpanan ibunya pun cukup, harta banyak.
Siapa orang tak akan suka dengan dia.
Setelah cukup perlopnya 14 hari, dia pun kembali ke Padang. Dia berjanji hendak hidup jujur,
melemparkan perangainya yang lama, supaya kalau-kalau dia meminta Hayati, akan diberikan
oleh karabatnya dengan tidak banyak berpikir.
Terlalu banyak was-was yang menimpa Zainuddin sejak surat itu dimasukkannya ke pos. Dia
merasa takut, kalau-kalau suratnya yang bersifat terus terang itu akan menggoncangkan hati
Ha yati. Apalagi setelah ditunggu-tunggu balasannya tak datang. Dan kemudian sekali, dilihatlihatnya Hayati tak ada lagi di Padang Panjang. Timbullah kedukaannya, kalau-kalau suratnya
itu menimbulkan marsh Hayati kepadanya, sehingga dikirimnyalah surat teralamat ke Batipuh,
meminta maaf dan keridaan, jika kata yang dahulu telah terlanjur.
Terobatlah hati itu kembali seketika ia mendapat balasan dari Hayati, mengatakan suratnya
yang dahulu tidak menerbitkan salah terimanya sedikit juga, dan masih mengharap-hartp surat
dari padanya, masih ingin hendak bertemu. Cuma seketika akan berangkat pulang kembali
belurn sempat memberi tahu, karena sangat sesaknya pekerjaan, sehingga tak sempat
membuat surat dengan tenang dan tenteram.
Ketika membaca surat itu, telah ada perasaan yang halus dalam jantung Zainuddin,
mengatakan bahwa surat itu sudah agak kdrang berisi dari yang dahulu. Tetapi perasaan yang
demikian tak sanggup tumbuh dengan subur, karena dari dalampun datang pula suara
mengatakan: "Manakah akan bisa jadi, seorang anak [97] perempuan yang sebaik hati itu, yang
telah bersumpah setia, akan undur dari janjinya! hanya-dalam beberapa hari saja."
Begitulah keadaan Zainuddin. Yang hidup laksana layanglayang yang tak dapat angin, tak tentu
turun naiknya, selalu gundah gulana disebabkan oleh pukulan cinta.
Bukan Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia. cinta kepada Aziz dengan arti cinta
yang ada kepada Zainuddin. Tapi yang dapat dilihat, sejak menjejak Padang Panjang, perasaan
Hayati yang dahulu, sudah berangsur hilang. Dia sudah tahu bagaimana kekurangan hidup di
kampung dan bagaimana kemewahan di kota. Sudah mulai masuk ke dalam hatinya perasaan
gembira, telah sempit rasanya dipakainya guntingan pakaian cara kampung, telah lebih senang
dia melihat sorak-sorai orang di kota. Pengajaran yang diberikan oleh Khadijah meskipun pada
hari pertama belum lekat, pada hari kedua, ketiga, dan seterusnya mulai mendalam masuk
jantung, mulai terasa benarnya. Sekarang telah terjawab olehnya pertanyaan jantungnya
sendiri, mengapa kerap kali benar orang bercerai dengan isterinya, kerap kali perempuan tak
setia kepada suami. Lain tidak pasal wang juga. Jika wang telah ada, segala-galanya dapat
didamaikan, kekurangan dapat -. disetnbunyikan, marah boleh dihapuskan dengan maaf.
Sudah mulai samar wajah Zainuddin dalam sanubari. Dia hanya akan tinggal laksana peringatan
dari kehidupan masa yang lalu, semasa masih anak-anak. Itu tidaklah heran, sudah lazim. Su
dah biasa anak gadis mencintai seorang muda, anak muda merindui seorang gadis, semasa
mereka masih belum dewasa. Setelah dewasa, tentu kehendak kaum keluarga juga yang akan
langsung Mereka biasanya tinggal kenal dan hormat-menghormati, sama menganggukkan
kepala jika bertemu tengah jalan, yang perempuan bersama suaminya, dan yang laki-laki
bersama isterinya. Tetapi bila angin 'lah reda, bila suara baju telah hening, Hayati duduk seorang dirinya dalam
rumahnya di Batipuh. Suara [98] oto tidak terdengar lagi dan pacu kuda sudah lama usai,
bilamana dapat dia bermenung dan berpikir agak sejenak, tampak jugalah Zainuddin
terbayangbayang, berjalan dengan langkahnya yang pelahan, dengan muka yang muram dan
kepala tertekur, kurus dan sedih, melarat dan sengsara, tidak ada tali tempat bergantung, tidak
ada tanah tempat berpijak. Kalau dia mengingat itu, dia menarik nafas panjang, laksana
seorang anak dagang ingat kampung halamannya y ang telah lama ditinggalkannya; atau
laksana seorang tua yang tersadar hari mudanya. Ketika itu barulah Hayati menangis,
menumpahkan rasa betas kasihnya, menimpahkan cinta yang sebenarnya. Dan bila dia
bermenung sebentar lagi, bayangan itu pun berangsur hilang dalam perarakan swan, berganti
dengan suatu bayangan putih kian lama kian jelas, yaitu warna kegembiraraan Khadijah,
keindahan kota, ketangkasan Aziz_ Terbayang cincin berlian kiriman tunangan Khadijah yang
dipakainya. Ter= bayang gadis kota yang tangkas dan cantik, dengan bedaknya yang selayang,
pipinya, yang dipermerah, rambutnya yang disanggul besar, pakaiannya yang tipis dan cantik,
kain sarungnya yang senteng di muka sedikit dan selop yang tinggi tumitnya.
Bila bayangan yang gembira itu dagang, musik yang merdu dari suara pergeseran pohon
bambu di belakang rumah, yang biasa membuaikan lagu kerinduan; kulik elang tengah hari di
udara, yang biasa menghidupkan irama orang yang tengah dirayu cinta; desir air -yang
mengalir dalam sungai yang biasa mengalirkan semangat harapan dari orang yang bercinta.
Kicau murai di bubungan atap rumah, siputu tekukur di dalam pohon surian. Bunyi merbah
memanggil pasangannya di rumpun teberau. Yang semuanya itu lagu dan nyanyian keindahan
alam anugerah Tuhan, semuanya hilang tak teringat lagi. Semuanya berganti dengan derum oto
mendaki bukit, derap telapak kuda berlari, sorak-sorai 'rang di gelanggang, bunyi musik dan
keroncong di malam gembira perkawinan. Semuanya adalah keindahan bikinan manusia yang
tiada memuaskan yang lekas membosankan. [99]
"Nikmat Ilahi ada di sekeliting tiap-tiap insan, ada di dusun, ada di kota, ada di gunung dan ada
di lurah, ada di daratan dan ada di lautan. Tetapi. nafsu tiada merasa puas, atau tidak ingat
nikmat yang di kelilingnya itu; dia hanya melihat kekurangannya. Yang senantiasa
diperhatikannya ialah nikmat yang ada di tempat lain, dan yang di tanggn orang lain. Kelak
kalau dia ada kesempatan pindah ke tempat yang dilihatnya itu, dia menyesal dan dia teringat
pulang, yaitu pada hari yang tiada berguna padanya penjelasan lagi .......
Sahabatku yang tercinta Hayati
Sangat sepinya terasa rumah tangga kami setelah engkau pergi Orang yang sebagai engkau ini,
di mana pun rumah yang engkau ziarahi; kegelapan rumah itu akan hilang kena cahaya
mukamu. Udaku Aziz telah kembali ke Padang, tidak berapa lama setelah engkau pulang.
Biarlah dengan terus-terang saya katakan bahwa kegembiraannya hilang saja setelah engkau
pergi. Ibu sendiri kerap menyebut namamu, memuji perangaimu dan memuji kecantikanmu.
Hayati! Adakah kau kenangkan juga nasihatku yang tutus ikhlas terhadap dirimu"
Agaknya tidak berapa hari lagi akan datan kemari salah seorang suruhan dari pihak kaum
kerabat kami, memintamu buat menjadi menantunya untuk udaku Aziz, menurut adat yang
lazim terpakai di negeri kita. Sungguh pun agaknya keluargamu tiada akan keberatan menerima
permintaan kami, hanya sebuah yang dirusuhkan oleh sahabatmu ini, yaitu kalau-kalau engkau
tak mau, atau engkau merasa terpaksa. Kalau demikian, tentu saja kehidupan dan perkawinan
tiadakan beruntung. Engkau mengatakan tempo hari, bahwa cintanm telah tertumpal kepada Zainuddin, sudah sukar
mengorak buhulnya, dan kehidupan Zainuddin bergantung kepada hidupmu. Maka dengan terus
terang sekali ini kukatakan, bahwu kalau engkau selidiki dengan seksama, sebenarnya bukanlah
Zainuddin cinta akan dikau kalau memang dia hendak mengambilmu jadi isterinya Zainuddin
adalah seorang ahli angan-angan, ahli syair. Orang yang demikian [100] mendirikan seorang
perempuan cantik dalam angan-angannya, untuk memperdalam irama aliran syairnya. Ahli
syair, atau ahli gambar mendirikan malaikat dan bidadari, yang akan dipantun dan
dilukiskannya. Tetapi dia tak boleh bertemu perempuan itu pada hakikat, cukup pada khayal
saja. Sebab perempuan yang berdiri dalam pikirannya itu sunyi dari pada aib dan cela, bersih
daripada dosa dan kesalahan. Tetapi perempuan yang ada pada hakikat, atau manusia yang
sejati, adalah cucu Hawa, Hawa yang beristana dalam syurga dan disuruh keluar dari sana
lantaran salah memakan buah khuldi. Kalau dia bertemu dengan engkau, dan didapatinya
hakikat perempuan pada diri engkau, yaitu hakikat manusia yang tiada sunyi dari pada khilaf
dan salah, maka cinta yang berdiri dalam angan-angannya itu akan segera sirna dan habis.
Karena tidak bertemu apa yang diangan-angannya bermula itu. Waktu itu berganti istana
keberuntungan cinta, dengan gubuk kutukan kebencian. Karena tidak malaikat saja pada diri
Insan. Insan adalah pergabungan kesucian dan kekotoran, kecuali kalau dia telah diangkat
menjadi Nabi dan Rasul, atau Waliullah yang keramat.
Sebab itu, selain dari pada memang sukar mungkin tercapai, lebih baik engkau hapuskan dari
sekarang argan-angan hendak kawin dengan Zainuddin, jangan sampai hatimu rusak binasa.
kelak. Biarkarlah nraksud tuan-trran tak sampai, biarkanlah selama-lamanya dia menyanyikan
engkau dalam syairnya, sebagai bidadari yang hilang, atau sebagai pengharapan yang putus di
tengah. Engkau kecewakan hatinya, artinya engkau memberi nikmat buat dia sebagai seorang
ahli budi dan ahli seni yang tinggi. Kerap sekali gelora ratap penyair, atau ilham lukisan
penggambar hilang tak menentu, bagai air mata jatuh ke dalam pasir, jika maksudnya sampai.
Jadi berarti engkau berikan nikmat kepada orang-seorang, dan engkau cabut dari pada
masyarakat umum. Meski pun baru dari pada banyak membaca dan mendengar petua orarg tua-tua, dapatlah
kukatakan kepadamu Hayati bahwasanya "cinta" tidaklah teguh untuk mempertalikan laki isteri.
Tali yang teguh ialah kemaslahatan ke dua belah pihak. Cinta ialah bunga melur yang indah
warna dan harum baunya dua hari genap ketiga, selama air masih cukup dalam jembangan,
selama tiga hari itu pula, subur dan indahlah hidupnya. Yang selalu mengancam akan suburnya
ialah kemiskinan. Kalau harta cukup, cinta menjadi, kalau harta tak ada pergaulan terancam.
Cinta itu, Hayati! Cinta atau rindu dendam kasih sayang dan asyik masyuk, biarlah selamanya
tinggal dalam khayal dan angan-angan pengarang hikayat, pengarang syair dan ahli pantu.n
Berkobar kalau berjauhan, terobat hati kalau berdamping. Tetapi karena dia hanya sebangsa
penyakit, akan sembuhlah dia setelah kesadaran datang.
Hidup di zaman sekarang berkehendak wang, Hayati. Walau pun saleh dan bagaimana tekur
kita, keadaan yang sekeliling kita tidak dapat melepaskan kita darir pada kungkungan, sedang
Zainuddin tiadakan sanggup menyelenggarakan hidupmu. Kalau lantaran keras seruan dunia itu,
Zainuddin tersesat memilih kehidupan dari pada jalan yang tiada halal, siapa yang berdosa"
Tidakkah engkau sendiri"
Pikirkan suratku ini. Meski pun hari ini engkau tolak, di belakang hari akan ternyata juga
kebenarannya ..... Khadijah. "Ya Rabbi, berilah petunjuk bagi hambamu ini," kata Hayati sambil menarik nafas panjang,
setelah membaca surat itu.
12. MEMINANG BAGI setengah orang, mencari isteri amat sukar dan payah, mesti bercinta-cintaan lebih dahulu.
Bagi setengah orang dipandangnya perempuan yang akan jadi isterinya itu laksana gunung
tinggi yang payah mendaki, seehingga dia mundur maju hendak menyatakan pinangannya
kepada perempuan itu atau kepada keluarganya. Padahal di pihak yang lain perempuan
senantiasa pula menunggu. Sehingga lantaran tunggu ketunggu, umur pun berjalan juga, citacita habis di tengah-tengah. Tiba-tiba datang orang lain yang tidak banyak perhitungan, tidak
banyak pikir, dia meminang lebih dahulu, sehingga maksudnya langsung, dan yang mempunyai
cita-cita bermula tinggal mengigit jari.
Di dalam rumah tangga Khadijah tidak lama orang timbang-menimbang, segera saja sepakat
hendak meminang Hayati untuk Aziz. Apalagi sudah berat pikiran mereka bahwa permintaan
mereka akan terkabul. Sebab segala syarat-syarat rasanya cukup, tidak ada yang kurang. Wang
ada, pangkat pun ada, terpandang pula dalam negeri. Duduk sama rendah tegak sama tinggi.
Bagai bulan dengan matahari.
Pada waktu yang telah ditentukan, setelah genap mupakat Aziz dengan keluarganya, disuruhlah
seorang suruhan yang bijak menyampaikan permintaan kepada kaum kerabat Hayati, membawa
"sirih nan secabik, pinang dan segetap." Sampai di Batipuh diterima dengan pribahasa yang
halus-halus oleh kaum Hayati; maklumlah mengadu malu dengan budi.
Dibentangkan orang lapik putih di tengah rumah nan gedang, di sana telah menyambut
perempuan-perempuan dan di dalamnya duduk bersama-sama Mak-tengah Limah. Menurut
adat pula, [103] segala permintaan itu belum akan dijawab pada hari yang sehari itu. Kalau rasa
akan terkabul, diberi tangguh orang yang datang agak seminggu. Tetapi kalau rasa tak akan
terkabul, dalam 3 hari saja hal itu telah dapat diputuskan.
Ketika meminta janji itu, sikerabat beralasan bahwa mamak-mamaknya belum cukup hadir,
padahal memang disengaja tidak hadir. Dikatakan bakonya perlu tahu, sapih belahan empat
jurai di kampung anu, hindu suku di dusun anu, perlu tahu lebih dahulu. Maksudnya ialah untuk
memperlihatkan ketinggian adatistiadat yang dipakai, meninggikan derajat pusaka yang dijawat
turun-temurun. Dan bila utusan itu pulang kembali ke Padang Panjang, baru saja dia sampai di halamaii, orang
di dalam rumah sudah dapat mengira-ngirakan bahwa maksud mereka rasa-rasakan hasil.
Aziz sejak hitungan ini di dalam rembukan boleh dikatakan tiap-tiap hari Sabtu sore telah tiba di
Padang Panjang, hari Minggu sore pula baru kembali. Mimpinya sudah banyak yang bagus,
maksudnya akan berhasil. Sedang Zainuddin duduk menghafalkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya sehabis
sembahyang Magrib, dia dikejutkan oleh suara tukang antar surat, menyerukan "Pos!"
Surat itu pun diterimanya, tetapi tangannya menggigil,teralamat dari Mengkasar.
Segera dibukanya, tentu saja datang dari mak Base yang tercinta. Tetapi bukan dari mak Base,
hanya dari Daeng Masiga, seorang tetangga yang dikenalnya betul-betul dan banyak per
hubungan dengan dia sebelum dia berangkat meninggalkan Mengkasar.
Isi surat itu demikian: [104]
Kullu man 'alaiha faan, wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram! *)
Ananda Zainuddin berselamat di Padang Panjang.
Dengan serba pendek saja Paman nyatakan, bahwa telah berlaku kadar Allah atas hamba-Nya
yang dha'if dan lemah, yaitu mak angkatmu Base, telah berlalu dari kalangan kita, kembali ke
tanah asalnya: "Dari sana dia datang, dan ke sana dia kembali." Inna lilLahi wu Inna Ilaihi
Raji'un. Penyakit yang diidapkannya tidaklah begitu berat. Tetapi maut tidaklalt membedakan berat
ringan penyakit, karena penyakit hanyalah sebab jua, dan ketentuan ajal juga yang mesti
beriaku . Saya sampaikan surat ini kepadamu, juga sebagai menerangkan wasiat dan peninggalan
Almarhumah, yaitu supaya kelak jika engkau ada nasib kembali ke Mengkasar ziarahlah ke
kuburannya, yang tiada orang yang memperdulikan kalau bukan engkau sendiri.
Lain dari itu, sesudah habis menyelesaikan utang piutang yang ditinggalkannya, akan saya
kirimlah Minggu di muka wang itu sama sekali dan yang terpegang di tangan saya sekarang
barulah Rp. 3200,- kontan.
Meminta juga pikiranmu, tentang harta bendamu, rumah dan setumpuk tanah peninggalan
ayahmu. Kalau engkau suka jual, kirimilah saga surat kuasa. Tetapi menurut pikiran saya,
karena sejauh jauh anak berjalan, entah ada juga Butta Jum Pandang menyerumu, lebih baik
tanah-tanah itu tak dijual. Sebelum engkau pulang, saya sanggup menjaganya, dengan tidak
mengharapkan apa-apa. Moga-moga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kita semuanya.........
Doeng Masiga *). Tiap-tiap orang yang di bumi akan lenyap, dan akan kekal wajah Tuhanmu, Yang Maha Tigggi dan Maha Mulia.
[105] Gemetar surat itu dalam pegangannya, berdebar darah yang mengalir dalam dadanya.
Telah habis lakon orang-orang yang berhubungan rapat dengan kehidupannya. Permainan
sudah habis, layar sudah ditutup, dan anak-anak tonil telah membuka pakaian permainan.
Tinggalah panggung penghidupan itu dalam kesunyiannya karena penonton telah pulang dan
hari telah larut malam. Demikianlah rasanya ibarat duka atas kepmatian mak Base yang
menimpa hati Zainuddin. Sebatang kara di dunia! Dia teringat sekolahnya yang tidak masak, pelajarannya yang tidak sempuma, di mana tinggal
tak tentu tujuan. Dia teringat waktu ayahnya masih hidup, teringat asuhan mak Base. Teringat
negeri Mengkasar yang tercinta, tempat darahnya tertumpah ditinggalkannya, karena mengejar
mimpi sejak dari kecil, tanah Minangkabau yang terkenal molek. Tetapi tidak juga dapat
disingkirkannya peringatan kepada masa dia diusir dari Batipuh, sebab dia tidak orang beradat,
orang pendatang dari jauh, meskipun ayah orang Minangkabau, namun dirinya tcrpandang
orang lain. Di Mengkasar lain, di Padang lain.
Ke mana dia hendak pergi lagi"
Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian layaknya otak Zainuddin memikirkan
nasibnya, nafasnya sesak, Matanya menjadi gelap. Dia teringat ...... teringat satu perbuatan
yang berbahaya sekali membunuh diri.
Sudah hilang pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya mengikatkan tali ke
atas paran yang melintang, supaya berakhir azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya
ini. "Engkau bodoh!" kata suatu suara yang datang dari sudut hatinya yang kecil, dengan tiba-tiba,
sehingga dia terkejut, dan tali itu terlepas dari tangannya.........
"Engkau bodoh!" tidakkah engkau ingat dunia perlu didiami" Tidakkah engkau kasihan umurmu
masih muda, dan kesempatanmu [106] buat berjuang masih ada" Tidakkah engkau ingat
bahwa harta benda yang selama ini engkau serahkan kepada Almarhumah yang berbudi itu
telah dalam tangan engkau" Engkau kira sedikitkah wang 3000 rupiah"
Tiga ribu rupiah!!!!!! Tiga ribu!!!!
Kesedihanmu telah berakhir. Dan selain dari sengsara sebanyak itu menimpa dirimu, jangan
engkau lupakan bahwa engkau pun dapat nikmat pula. Engkau mencintai dan engkau dicintai
........ Hayati!

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga ribu rupiah - Hayati!
......................................?"?"?"?"?"?"?"..
Jelas nian suara itu terdengar olehnya!
Direnggutkannya tali itu kembali ke bawah, dan baru sekarang senyuman kecil tersungging di
bibirnya. Dengan tiga ribu rupiah dia hendak hidup, hendak berjuang menghadapi dunia yang luas ini
berdua dengan Hayati. Sebab itu, dia hendak mencoba meminta Hayati kepada keluarganya.
Dalam angan-angan yang demikianlah matanya tertidur!. Bila dia bangun pagi-pagi, tersenyum
dia sekali lagi, senyum yang hanya sekali-kali menghiasi bibirnya, melihat tali yang bekas
direnggutkan, kitab yang berserak, bantal yang kusut dan kamar yang kotor. Meski pun
kesedihan hati kematian belum hilang, kegembiraan mendapat pikiran baru telah menandingi
kesedihan itu. Setelah selesai membereskan isi bilik kecilnya, dibuatnyalah dua pucuk surat.
Pertama kepada Daeng Masiga menunjukkan kesedihan hati atas kematian orang yang sangat
disayanginya itu, dan meminta supaya barang barang peninggalan mak Base mana yang dapat
dijual, juallah dan harganya itu ambil oleh Daeng Masiga sendiri. Tanah dan rumah diharap
supaya dipeliharakanbaik-baik, entah lain hari ada masanya kembali ke Mengkasar.
Setelah melipat surat itu, dia terkeluh sekali lagi berkata [107] "Ah, mak Base! Begitu baik
budimu kepadaku, engkau telah dahulu dari padaku."
Setelah itu mulailah surat yang penting itu, surat kepada mamak Hayati. Engku Dt........ dan
kepada keluarganya. Sudah biasa dia membuat surat-surat, apa saja macam isinya, tetapi yang sekali ini bingung dia.
Karena belum diketahuinya cara-cara membuat surat meminang anak orang. Setelah pikirannya
ditetapkannya, barulah dia menulis:
Yang mulia engku Dt...... dan segala kaum keluarga di sini
Sesungguhnya, dengan diri sendiri, tidaklah dapat saya datang menghadap kehariban engkuengku dan kaum kerabat di sini. Karena bahasa Minangkabau yang saya pakai tidak begitu
bagus, jadi tidak dapat saya mengeluarkan perasaan hati dengan sepuas-puasnya Sungguh pun
begitu saya buat surest ini dengan penuh keyakinan dan berserah diri kepada Tuhan, mogamoga mendapat penerimaan yang baik dari pada engku dan kaum kerabat semuanya. Yaitu,
maksud surat itu: ................
Termenung Zainuddin sebentar, diisapnya dahulu sebatang rokok, baru dapat dimulainya pula:
Saya hendak meminta belas kasihan engku dan kaum kerabat semuanya, menyambut hidup
hamba ini. Sebagaimana engku tahu, ibuku telah mati, ayahku pun demikian pula. Maka berapa
hari yang lalu, saya menerima surat dari pada sahabat handai di Mengkasar, menerangkan
bahwa mak angkat saya telah meninggal pula.
Engku yang terhormat! siapa yang akan saya tepati di Mengkasar. Hanya jerat semata inilah lagi
yang tinggal, cuma tanah asal nenek moyang saya inilah lagi negeri saya, negeri Minangkabau.
Apa gunanya lagi saya sembunyikan maksud hati saya. Sekarang saya katakan terus terang,
saya hendak hidup dengan kemenakan engku, Hayati! Karena sebagai banyak engku dengar di
kampung, sungguh hidup saya tak beruntung kalau tidak dengan dia.
Saya seorang muda yang mempunyai city-cites tinggi, maka sudilah [108] engku dan keluarga
menolong saya menghidupkan cita-cita itu, izinkanlah pertalian saya dengan Hayati.
Engku yang mulia! Saya seorang anak muda yang setia. Jika sekiranya engku sudi menerima
saya untuk kemenakan engku, engku akan beroleh ketnenakan yang penyantun, yang suka
berjuang dalam hidup dengan dada mengenal hosUn dan lemu.
Cukuplah penanggungan saya sejak kecil mengantarkan saya sampai besar, untuk menimbulkan
keinsafan dalam hati saya.
Tak usah engku takut Hayati akan kecewa bersuami saya. Percayalah engku bahwa dia akan
beroleh seorang suami yang kenal kewajibannya, menempuh kesenangan dan kesusahan
dengan hati yang tetap. Kabulkanlah surat saya engku, saya tak pandai mencari jalan yang saya rasa lebih aman dan
tdak mengecilkan hari, lain dari menginm surat ini.
Zainuddin. Tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa dia telah kaya, telah sanggup
menghadapi kehidupan dengan wang tertaruh, karena di zaman sekarang wang adalah sebagai
garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemuliaan Hayati yang telah begitu
lama beristana dalam hati jantungnya, dengan menyebut beberapa banyak wangnya.
Surat diterima orang di Batipuh, adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang
Panjang. 13. PERTIMBANGAN SETELAH segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan orang kepada Dt .... dan kepada
segala ninik-mamak yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula surat
yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah permusyawaratan ninik-mamak, menurut adat yang
terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelihkan ayam 4 ekor. Dibentangkan tikar
pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah pukul 7 pagi, diundurkan ke sawah
dan ke ladang buat sehari itu. Maka datanglah seorang pukul lewat, seorang lagi pukul 10, dan
pukul 12 kurang seperempat barulah cukup hadir di atas rumah.
Mamak-mamak duduk berapat di kepala rumah yang di hilir, perempuan-perempuan duduk di
dekat jalan ke dapur, mendengarkan buah mupakat dari jauh. Orang semanda, yaitu suami dari
kemenakan-kemenakan, dari pagi sudah sengaja tidak pulang, sebab "orang" akan musyawarat
dalam sukunya, padahal mereka hanya "urang semanda," mengebat tidak erat, memancung
tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas tunggul, lecah lekat di kaki. Walau pun kadangkadang anaknya sendiri yang akan dipertunangkan atau dikawinkan. Dia hanya kelak akan
diberi kata yang telah masak saja.
Setelah hadir semuanya, mulailah Dt .... membuka kata: "Demikianlah maka tuan-tuan saya
hadirkan dalam rumah nan gedang ini, yaitu elok kata dengan mufakat buruk kata di luar
mufakat, tahi mata tak dapat dibuangkan dengan empu kaki. Yaitu kemenakan kita si Hayati,
rupanya telah ada orang yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu orang dari sebelah ke
ujung *). Namanya Aziz, anak dari St. Mantari, seorang yang termasyhur dan berpangkat
semasa hidupnya. Karena menurut adat yang biasa, tentu kita kaji lebih dahulu, hereng dengan
gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak
lapuk di hujan, nan tidak lekang di panas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan
sehuruf tidak lupa."
*) Ujung = sebelah Padang Panjang, dan sebelah Batipuh, Gunung dan lain-lain disebut puhun.
Maka mulailah menjawab satu-persatu di antara yang hadir, memperkatakan asal dan usul,
mengaji hindu dan suku, menyelidiki dari manakah asal usul Aziz, adakah dia peranakan orang
dari luar Minangkabau, karena maklumlah di kota Padang Panjang orang telah banyak
bercampur gaul. Seorang di antara yang hadir, Sutan Muncak gelarnya, mengatakan bahwa dia
telah menyelidiki silsilah orang itu, rupanya asal dari Batu Sangkar juga, berbelahan ke
Pariangan Padang Nan Panjang, tinggal di Padang Panjang sejak Pasar Lama bertukar dengan
Pasar Baru. Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang, sawahnya yang berbintalak, dikaji sasap
jerami, pendam pekuburan, bekas-bekas harta yang telah dibagi dan yang belum dibagi di
negerinya... Karena memang nyata bahwa dia orang asal, patut dijeput kita jeput, patut
dipanggil kita panggil. Meski pun adat nan usali tidak boleh menerima menantu di luar kampung
sendiri, aturan ini dikecualikan terhadap kepada menantu orang berasal usul, orang berbangsa,
atau orang alim besar yang temama. Bagi golongan yang dua ini, biasa juga dipakai adat.
"Pinang di bawah sirih di atas," namanya. Kalau diterima menjadi tunangan, tandanya ialah
keris. Penjeput marapulainya, ialah keris, pedang bersentak, tombak berambut dan memakai
pesemandan, yaitu pengiring. Orang-orang yang berbangsa ini tidaklah membayar mahar yang
diwajibkan agama, melainkan sekedar seringgit atau dua rupiah yang diucapkan di muka Kadi.
[111] Yang membayar wang jeputan ialah pihak yang perempuan, menurut derjat kemuliaan bangsa
si laki-laki pula. Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mupakat hendak menerima Aziz. Karena
menurut pepatah: "Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, lama
berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari."
Ketika musyawarat itu diadakan, Hayati disuruh pergi dahulu ke rumah di sebelah, karena hal
ini mengenai dirinya."
Dt ..... melengongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanyai
bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak-tengah Limah menjawab
bahwasanya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang Mengkasar itu.
Yang hadir tercengang-cengang. Mamak Datuk Garang merah matanya mendengarkan
perkataan Limah seraya berkata: "Membuat malu, hendak menginjak kepala kami ninik-mamak.
Bagai mana akan bisa seorang Mengkasar, seorang Bugis, akan diterima menjadi menantu."
"Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudrya tidak sampai. Berapa
banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang dicintainya,
atau dia mati merana saja?" kata Limah.
"Lebih baik dia mati, senang kita; dari pada dia memberi malu ninik mamak, merusak adat dan
lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di
kening dan menggoreskan malu di muka kita?"
Mendengar itu tidak ada yang berani menjawab perkataannya, Limah pun terdiam.
"Kan ayahnya orang kita juga!" ujar seorang mamak yang agak muda.
"Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang
diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Dt. Perpatih nan Sebatang dan Dt.
Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meski pun ayahnya orang
Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya
tidak ada Tidak ada Perpatihnya, tidak ada Ketemanggungannya. Kalau dia kata terima menjadi
suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu
kita berbako, remit sekali soal ini."
"Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adatnya, walau pun
apa bangsanya dan di mana negerinya," jawab yang muda itu.
"Itu betul, tetapi tidak ada yang melebilti Minangkabau. Tatkala masa dahulunya, sampai ke
Aceh tiga segi, sampai Teratak Air Hitam, sampai ke Bugis ke Mengkasar, di bawah perintah
Minangkabau semuanya. Membayar hak dacing pengeluaran, uburubur gantung kemudi, ke
dalam alam Minangkabau."
"Itu betul, tetapi tiap-tiap bangsa itu mengakui mereka pula yang lebih asal, yang lebih dahulu
mencacak perumahan pulau Perca ini."
Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda-muda telah agak meradang, terus
berkata ........ "Wa' den labiah tahu dari kalian (saya lebih tahu dari kamu semua)."
Dt....... yang takut perdebatan akan sengit telah mengetengahi perkataan itu dengan katanya:
"Rupanya kayu yang bercabang tidak bisa dihentakkan. Meski pun Hayati suka kepada
Zainuddin itu, merdekakanlah dia dalam kesukaannya, yang akan langsting ialah kehendak kita
juga. Zainuddin itu memang ada mengirimkan surat meminta Hayati, (sambil
Dt....mengeluarkan surat Zainuddin dari sakunya), tetapi meminang dengan mengirim surat itu
sudah nyata bukan adat dan bukan lembaga di negeri kita. Perkataan kita telah hampir sampai
kepada yang dimaksud perkara menerima permintaan orang muda Aziz itu. Sekarang lebih baik
kita bulat segolong picak setapik, kita bulatkan mufakat."
"Baiklah," kata yang lain-lain dengan serentak. "Bagaimana St. Mudo?" tanya Dt .... kepada
mamak yang membantah Dt. Garang tadi.
"Saya tentu saja sepakat sejak bermula lalu penghabisan, tidak dapat bercerai dengan yang
banyak. Cuma saya bantah perkataan yang menghinakan orang lain, sebab kita akan biasa
berdagang ke kampung orang, jangan kelihatan oleh orang kesempitan faham kita."
"Ya, kita habisi saja itu, kata bulatkan sekarang menerima Aziz dan menolak permintaan
Zainuddin." "Boleh kami yang perempuan berbicara sedikit?" tanya Limah.
"Asal dalam kebenaran apa salahnya," kata Dt..... "Rasanya patut juga kita awas. Sebab barang
kali si Hayati ini entah kena apa-apa, maklum ilmu orang Mengkasar sangat mujarrab, sebab
selama ini pikirannya hanya kepada Zainuddin saja."
"Itu perkara gampang," kata Dt Garang. "Sudah ke laut, sudah ke darat, bukan saja sembarang
orang. Kalau memarig demikian bertemu dalam penglihatan, patut dibalas kita balas, patut di
balik kita balik." Permupakatan putus. Tinggal lagi memanggil Hayati, menerangkan kebulatannya mupakat
kepadanya. Dia pun datang. Setelah dipanggil, disuruh duduk di antara perempuan-perempuan
yang banyak itu. Mula-mula bertolak-tolakan juga ninik-mamak itu hendak menyampaikan pembicaraan kepada
Hayati. Akhirnya diserahkan juga kepada mamak kandungnya, Dt.....
Dia memulai: "Hayati! ....inilah, yang duduk ini mamak dan ninikmu, lindungan persukuanmu,
yang mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari
pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok .....
Datang permintaan orang untuk meminangmu, yaitu Aziz di Padang Panjang dan datang pula
sepucuk surat dari Zainuddin, itu juga maksudnya. Setelah kami timbang melarat dan manfaat,
Azizlah yang kami terima. Kami panggil engkau sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya
engkau terima dengan suka. Bagaimana pertimbanganmu?"
Lama Hayati tidak menjawab!
"Jawablah, kami hendak lekas pergi!" kata Dt....pula.
Bagaimanalah dia akan dipaksa menjawab, padahal dirinya sendiri sudah berapa lama dalam
peperangan batin. Dia cinta kepada Zainuddin, tetapi jalan terhambat, sukar terlangsung. Dia
suka kepada Aziz, bukan sebagai cinta kepada Zainuddin, hanya semata-mata kesukaan. Sebab
itu hati kecilnya tak mau menyerah, meskipun keadaan memaksanya. Telah lama berperang
dalam hatinya di antara keadaan yang terbukti di mata dengan cita-cita. yang terbayang di hati.
Dan tentu saja di dalam alam dusunnya yang masih jauh dari kemajuan bukti keadaan juga yang mesti menang, dan kenang-kenangan juga yang mesti kalah.
Hayati seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tak betah akan mengecewakan
hati ninik mamaknya dan kaum kerabatnya. Dia hanya akan menerima apa tulisan takdir.
Dia mencintai Zainuddin, tetapi permintaan itu tidak ada jalannya; percintaan yang tidak ada
jalan itulah yang kerap kali lebih subur dari pada cinta yang ada jalan terentang. Maka
tergambarlah dalam pikirannya nasehat-nasehat Khadijah, nampak pula sekarang kokohnya
benteng adat yang memagari dirinya. Itulah sebab dia termenung ......
"Lekaslah jawab, lohor sudah hampir habis," ujar Dt... pula. "Kalau dia tak menjawab, tandanya
dia suka," kata yang lain pula, sambil tersenyum.
"Jawablah Hayati!" kata Dt..... sekali lagi, "Supaya mudah kami membuhulkan musyawarat ini
dengan asap kemenyan."
Kitab Pemanggil Mayat 2 Juri Pilihan The Runaway Jury Karya John Grisham Pertarungan Di Planet Iskoort 3

Cari Blog Ini