Ceritasilat Novel Online

Tenggelamnya Kapal Van Derwijck 3

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Bagian 3


Tidak ada lagi pintu terbuka bagi gadis yang malang itu, insaflah dia akan kelemahan dirinya
dan kekuatan keadaan yang sekelilingnya.
"Jawablah Hayati!"
"Bagaimana ......yang akan baik kata ninik-mamak raja ....... saya menurut!"
"Alhamdulillah," ujar yang hadir. Do'a pun dibacakan. Apakah lagi jalan yang lain yang harus
dipilihnya lain dari pada itu. Dia menyerah kepada takdir, terpaksa mungkir akan janjinya yang
terdorong, sebagaimana kebanyakan anak-anak perempuan yang lain juga, sebab yang
memutuskan janji bukan dia, hidupnya tersangkut dengan keluarganya ........
14. PENGHARAPAN YANG PUTUS
BERDEBAR-DEBAR darah di dada Zainuddin seketika datang sepucuk surat yang teralamat
kepadanya dari Dt.... Batipuh, lantatan surat itulah ponis nasib yang akan ditempuhnya. Lama
baru dibukanya, karena sebelum dibuka isi surat itu lebih dahulu telah meresap ke dalam jiwa,
yang mendatangkan was-was. Setelah dibukanya, kenyataan isinya itu amat dingin dan ringkas
saja: Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang
Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami apa isinya Tetapi karena negeri
Minangkabau beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati
hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum segolong,
picak belum setapik di antara kami semuanya, artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang
bercabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan
mengatakan terus tenang bahwa permintaan ini tiada dapat kami kabulkan.
Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan.
Dt ............ Dt. Garang dll. Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu dibacanya. Menyesal dia, padahal dari
dahulu sudah disangkanya juga bahwa permintaannya tidak akan terkabul, sebab negeri
Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-besamya, terasa perasaan yang mesti
tersimpan dalam hati tialrtiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau negeri
beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak. Padahal
kalau memang negeri Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak ditolak
dengan jalan yang begitu saja. Permintaan biasa terkabul dan biasa tidak, tetapi tidak ada hak
bagi yang menolak buat menyindir pula kepada orang yang ditolaknya. Apalagi pintu yang
dilalumya bukan pintu "belakang" tetapi pintu muka, tiba tampak muka berjalan tampak
punggung. Kalau penolakannya di atas nama adat, maka adat yang manakah yang menolak seorang yang
telah berjanji setia dan berniat hendak teguh memegang perjanjian itu" Kalau tertolak lantaran
dia orang Mengkasar, maka adat seluruh dunia menerima kedatangan anak, sebab dia anak dari
ayahnya, dan ayahnya orang Minangkabau tulen.
Kalau dia tertolak lantaran dia tidak berwang, maka ada tersedia wang Rp. 3000,- yang dapat
dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai seorang makhluk yang
tawakkal. Disumpahinya dalam hatinya kepincangan adat, dikutukinya masyarakat yang terlalu rendah itu.
Tetapi dari sedikit ke sedikit terbayanglah di mukanya wajah Hayati, tiadalah pantas di negeri
Hayati dia menjatuhkan upat dan maki, nista dan cela. Hayati hanya korban dari pada
kekejaman peraturan adat yang telah usang itu.
Demikianlah hati telah remuk rendam, kadang-kadang berpendapatan begitu dan kadangkadang begini. Setelah dikutuk dan dimakinya orang-orang yang menolaknya dengan
melampangkan pintu keras-keras, meniupkan suara yang bagai halilintar dalam telinganya yaitu
negeri Minangkabau beradat. Dia kembali insaf, bahwa walau pun dilarang atau tidak dilarang,
diterima atau ditolak, namun pertaliannya dengan Hayati adalah pertalian yang kekal, pertalian
cinta kasih sayang, cinta yang mula-miila tumbuh dalam hidupnya, dan selamanya tidakkan
tumbang lagi. Biar pun permintaannya misalnya diterima orang, lantaran wangnya banyak, kalau begitu
pertaliannya dengan Hayati bukan pertalian hati, tetapi pertalian harta. Harta boleh banyak dan
boleh habis. Harta yang banyak bukan menimbulkan cinta yang murni dalam hati kedua belah
pihak - menurut taksiran Zainuddin - tetapi semata-mata menimbulkan congkak dan takbur.
Bilamana harta itu ditimpa krisis turun jumlahnya, maka turunlah pula derajai penghormatan
kedua belah pihak. Kalau dipertalikan oleh perasaan sama-sama beradat, maka inilah pergaulan yang terlalu
mementingkan diri seorang (egoistis). Si laki-laki tidak hendak mengalah dari derajat
kebangsawanannya, si isteri pun demikian pula. Itulah sebab maka banyak kelihatan pergaulan
laki-isteri yang hanya manis kelihatan dari luar, sebab hati yang laki-laki tiada diberikannya
kepada si isteri dan si isteri pun bila akan menemui suaminya, ditinggalkannya dahulu "hatinya"
pada ibu bapanya, mamak atau kaum kerabatnya, baru dia ikut suaminya dengan tidak berhati.
Meski pun ninik-mamak atau adat menerimanya, padahal hati Hayati sendiri misalnya, tiada
suka kepadanya, itu pun berarti memaksa. Zainuddin tiada sedikit juga setuju jika manusia mem
belenggu hati sesamanya manusia. Memaksa hati seorang muda, baik laki-laki atau perempuan
menempuh perkawinan, berarti mematahkan kemekaran bunga kenang-kenangannya buat
zaman yang akan datang. Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya dengan sabar dan tawakkal, apa
boleh buat! Memang sudah suratan nasibnya sejak kecil akanselalu dibesarkan oleh sengsara,
digedangkan dengan kelahan. Itu akan diterimanya, asal saja Hayati tetap cinta kepada dirinya.
Karena daerah perjuaagan cinta lebih luas dari pada yang dapat dikira-kirakan. Kalau maksud
hasil, terjadi perkawinan. Kalau tidak, maka terpatrilah persaudaraan yang ke - kal sampai tua
menjunjung uban, sebagaimana pernah dihikayatkan oleh Alexander Dumas oalam bukunya
"Graaf de Monte Cristo," bahwasanya meskipun Edmond Dantes telah tua, telah menjadi
seorang luar biasa yang berpengaruh; meskipun Mercedes telah bersuamikan Fernand dan telah
beroleh anak pula. Seketika Edmond Dantes pulang ke Paris 15 tahun kemudian, dengan rupa
yang lain, seorang pun tiada yang kenal siapa dia, hanyalah Mercedes seorang saja. Kemudian
setelah Edmond Dantes atau Graaf de Monte Cristo terpaksa bermain anggar dengan anak
Mercedes maka di atas nama cinta yang lama itulah Mercedes memohonkan kepada Graaf itu
supaya pertandingan itu diurungkan saja. Meskipun Graaf itu kemudiannya beroleh isteri, anak
dari Ali Tebelin raja dari Yanina, dan hidup keduanya beruntung, namun peringatannya kepada
kecintaan lamanya, Mercedes, yang seakan-akan telah dipandangnya saudara kandungnya,
tdtap menjadi ingatan dalam hidupnya.
Biarlah saya ditolak - kata Zainuddin - karena tidak semua maksud itu akan dihasilkan Tuhan,
asal Hayati tetap cinta kepadaku. Dan saya percaya dia tiadakan mungkir, masakan gadis
secantik sejujur itu akan mungkir dari janjinya yang telah dipersaksikan oleh cahaya matahari
naik. Tidak ada kulihat tandatanda pada wajahnya bahwa dia termasuk gadis-gadis yang
demikian itu. Kalau dia hanya terpaksa, maka paksaan pun tiada - kan menghilangkan cinta.
Tetapi otak boleh sabar, boleh menimbang dengan adil, boleh dia memutar tali angan-angan
yang menjalar kian kemari, kalau akal tidak hilang. Tetapi badan kasar kadang-kadang tiada
seteguh pertahanan jiwa raga. Lemah gemelai dia menerima surat, hancur rasanya segala
persendiannya, matanya berkunang-kunang, tiada senang diam rasa hatinya dalam rumah.
Besoknya pagipagi, diberitaliukannyalah kepada orang tua tempatnya menumpang itu bahwa
dia bermaksud hendak berjalan mengelilingi alam Minangkabau, entah sehari dua, entah
seminggu dua, belum dapat ditentukan.
Ditinggalkannyalah Padang Panjang, terus ke Padang, ke Bandar Seputuh, melihat ombak
memukul pantai di tepi teluk Batang Kapas, mendengarkan anak-anak perahu melagukan lagu
[120] palayaran. Terus ke Kurinci melihat keindahan alam di sana, melihat puncak Gunung
Kurinci yang indah dan danaunya yang hijau. Setelah 3 hari dia di Kurinci, kembali dia ke
Padang. Dengan melalui Si Tinjau Laut, dia pergi ke Solok, ke tambang Sawah Lunto, berbalik
dan terus ke Batu Sangkar. Dengan melalui Tebat Patah dia pergi ke Payakumbuh, ke Manggani
dan ketempat-tempat yang lain-lain. Katanya hendak mengobati hati tetapi percuma, karena
tidaklah akan sembuh sesuatu penyakit, kalau nama penyakit lain dan obatnya lain pula, bukan
methyembuhkan, tetapi menambah dalamnya penyakit saja.
Alam itu kadang-kadang bisu dan kadang-kadang berkata, kadang-kadang muram dan kadangkadang gembira rupanya. Semuanya itu bergantung kepada wama teropong hari yang melihat
nya. Boleh pada suatu waktu kita datang kepada suatu tempat dengan hati iba, maka muramlah
cahaya matahari dan lain kali kalau kita datang ke tempat itu juga, dengan hati yang gembira,
dia akan gembira pula. Kalau bukan demikian, tentu samalah bentuk lukisan dan gambaran
yang dilukis oleh ahli-ahli gambar yang pandai ....Demikian juga bunyi dan maksud syair yang
digubahkan pujangga, bisa dia memuji dan menyanjung nikmat keindahan alam itu .... dan bisa
pula menyesali dan memperlihatkan buruknya.
Dia pun kembali ke Padang Panjang, karena tidak betul rupanya persangkaannya bahwa
keindahan alam dapat mengobati hati. Dia pulang dengan muka yang lebih lesu, diletakkannya
kopor kecilnya dan dia masuk ke dalam kamarnya dengan haluan yang tak tentu.
"Sudah kembali Zainuddin," kata perempuan tua tempat dia menumpang itu.
"Sudah mak!" "Mengapa mukamu lebih lesu?"
"Demam saya dalam perjalanan, mak!"
Seketika dia akan masuk kamar, orang tua itu pun memberikan sepucuk surat yang beralamat
kepada Zainuddin, diterimanya beberapa hari sepeninggal Zainuddin pergi, diantarkan oleh
seorang anak kecil laki-laki .
Surat itu diambilnya dan dibuwanya ke kamamya. Sebelum baju yang lekat di badannya
dibukanya, surat itu dibukanya lebih dahulu, kiranya suratan seorang perempuan, tetapi bukan
suratan Hayati. Engku Zainuddin! Meski pun belum pernah kata berkenalan, tetapi nama engku telah lama saya kenal, lantaran
persahabatan engku yang amat karib dengan Hayati sahabat saya.
Perhubungan persahabatan engku itu lelah diketahui oleh semua kami: Mulai hari ini lebih baik
engku putuskanlah perhubungan itu. Pertanra menjaga nama baik Hayati, sebab dia telah
bertunangan. Kedua untuk kemaslahatan engku sendiri, jangan nama engku terbusuk pula, hidup dirantau
orang. Apalah gunanya engku berhubungan dengan dia padahal yang demikian itu perbuatan yang siasia saja, akan langsung pun tidak juga, tak ubah dengan mengharapkan kelatuhan bintang di
langit, umur habis badan pun payah, laba hilang rugi bertemu, melarat diangan-angan,
sengsara dikira-kira. Hayati telah menjadi keluarga kami, telah diterima oleh kaum kerabatnya permintaan kami, dia
telah bertunangan dengan abang saya Aziz, yang sekarang tengah bekerja pada suatu kantor di
Padang. Dan moga-moga kabar ini tidak mengecewakan hati engku.
Khadijah. Jika sekiranya surat yang datang dari keluarga Hayati dahulu seakan-akan letusan selaras bedil
ke dadanya, maka adalah surat dari Khadijah, yang mengaku sahabat Hayati ini, laksana sebuah
bom yang meletus ditentang kepalanya.
Dilipatnya surat itu baik-baik. Setelah itu dia duduk beberapa saat lamanya. Tidak tentu haluan
yang akan diturutnya. Apa yang akan dikerjakannya, padahal "cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan.
Sekarang kemudi itu dicabut; ke mana dia hendak berlayar lagi, di mana dia hendak berlabuh,
teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau tak kelihatan. Demikianlah
perumpamaan nasib anak muda yang maksudnya tiada sampai."
Lantaran sudah lebih dari satu jam dia tidak ke luar dari kamarnya, maka perempuan tua itu
pun agak cemas, takut dia kalaukalau anak dagang jauh itu kurang sehat badannya kembali dari
perjalanan. Lalu diketoknya pintu.
"Masuklah, mak!" kata Zainuddin.
Perempuan itu masuk dan bertanya: "Mengapa engkau termenung saja anakku" Apa kabar di
dalam perjalanan sudah lebih 10 hari meninggalkan rumah, indahkah negeri yang engkau lihat"
Adakah puas mata memandang?"
"Semuanya indah 'mak, memang negeri-negeri di Minangka bau ini cantik dan menghidupkan
semangat semua." "Mengapa wajahmu agak berlain 'mak lihat" Kurang sehatkah"."
"Tidak 'mak ...." ujar Zainuddin sambil berusaha sedapat-dapat hendak menyembunyikan
kesedihan hatinya. "Terangkanlah mengapa" Tempo hari surat mati yang engkau terima dari kampung. Sebelum
berangkat berjalan baru-baru ini nampak pula berobah mukamu menerima surat, sekarang
datang pula surat yang lain, mukamu bertambah pucat juga. Selama ini mamak tiada perduli,
engkau pun tak mengatakan, sebab engkau barangkali belum percaya kepada mamak. Kalau
ada yang menyusahkan hatimu dan pikiranmu tertumbuk, katakanlah, mamak dapat menunjuki
jalan sekedar yang dapat oleh mamak.
Agaknya anak mamak itu, si Muluk, bisa menolongmu karena dia banyak pergaulan. Dia pandai
berdukun, pandai kepandaian - kepandaian [123] batin. Pergaulannya dalam kalangan orang
dukun, ahli silat dan dalam kalangan orang-orang beradat, pun banyak pula. Pulangnya ke
rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat ibu dan memberi wang. Dia tidak mau
mengganggu kesenangan ibu. Dahulu digajinya seorang dari Singgalang untuk teman ibu
mendiami rumah ini. Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main sukacitanya, cuma dia
malu kepada engkau sebab engkau orang siak, sedang dia orang Parewa *).
Tetapi hatinya baik, barangkali dia bisa menolong memberimu bicara, kalau pikiranmu
tertumbuk." *)Di Minangkabau memang ada satu golongan orang muda-muda yang bergelar "Parewa." Mereka tak mau
mengganggu kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah daripada berjudi, menyabung dan lain-lain. Mereka juga
ahli dalam pencak dan silat. Pergaulan mereka sangat Was, di antara parewa di kampung anu dengan kampung
yang lain harga menghargai dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat mempertahankan kehormatan
nama suku dan kampung. Kalau mereka bersahabat, sampai mati mereka akan mempertahankan sahabatnya,
saudara sahabatnya jadi sattdaranya, seakan-akan seibu, sesaudara, sekemenakan. Kata-kata "muda" terhadap
perempuan tidak boleh sekali-kali. Kalau ada yang kalah dalam permainan sehingga habis harga bendanya, maka
oleh yang menang dia diberi pakaian dan wang sekedarnya, disuruh pulang dengan ongkos tanggungan yang
menang itu sendiri. Kepada orangorang alim Mereka hormat, dan kadang-kadang mereka itu dermawan. Mereka
setia dan sudi menolong. gatu penghidupan yang serupa dalam "dongeng" Mang sampai sekarang masih didapati di
Minangkabau. Mendengar segala ceritera yang ke luar dari mulut orang tua itu, mata Zainuddin kembali
terbuka, lebih-lebih mendengar perempuan itu menceriterakan kebaikan hati Muluk yang
selama ini hanya berkenalan dari jauh saja dengan dia.
"Saya hendak meminta tolong, mamak," jawab Zainuddin. "Yaitu mamak panggil abang Muluk
segera pulang, cari dia sampai dapat."
"Itu mudah saja, sekarang agaknya ada dia di Pasar Baru!."
"Carilah dia sampai dapat, suruh pulang. Rasanya akan terobatlah kesusahan saya sebagian
besar kalau dia dapat menolong." [124]
Sedang dia berbicara-bicara demikian, tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dari tempat
duduknya dengan muka girang seraya berkata: "A, itu dia si Muluk sudah pulang kebetulan!"
Muluk sedang berdiri di halaman, dia disuruh naik. Biasanya dia hanya terus saja ke dapur
sebab malu kepada Zainuddin. Tetapi dihalangi oleh ibunya, disuruh duduk dahulu. "Engku
muda ini hendak berbicara sedikit dengan engkau, Muluk!" kata maknya.
Muluk dengan amat hormat duduk ke korsi. Zainuddin ke luar dari kamamya dan sesudah
berjabat tangan dengan dia, Zainuddin duduk ke dekatnya.
"Apa kabar, guru" Selamat dalam perjalanan pulang balik?"
"Selamat, tak kurang suatu apa... Sebetulnya saya sudah hampir setahun tinggal dalam rumah
ini, tetapi kita belum juga berkenalan yang rapat. Sebab bang Muluk rupanya agak segan
bertemu dengan saya, seakan-akan saya dipandang orang lain!"
"Bukan begitu, guru" jawab Muluk; "guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa,
penyabung, pedadu, penjudi. Jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-pemuda Padang
Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah agama, kami
kebanyakan hanya bergurau, berburu, main kim dan lain-lain. Tapi sungguh pun seperti itu,
saya merasa senang sekali guru telah suka tinggal di rumah orang tua saya ini. Karena dia
hanya sendiri saja menghuni rumah, saya tak bersaudara seorang juga. Bapa saya telah mati
ditimpa batu ketika gempa yang besar itu. Padahal saya sendiri pun seorang pejalan,
maklumlumlah guru!" Tiba-tiba maknya menyelang: "Engku muda ini katanya hendak meminta tolong kepada engkau
Muluk. Kalau dapat tolonglah!"
"Mans yang dapat saya tolong, Insya Allah guru!"
"Tetapi cuma kita 4 mata saja," kata Zainuddin! [125]
"Baiklah," jawab perempuan tua itu, "saya pun hendak kebelakang memasakkan nasi dan kopi!"
Setelah duduk berdua saja mulailah Zainuddin berkata, "Meski pun bang Muluk belum saya
kenal benar, tetapi saya percaya abang dapat menolong saya, dan dapat pula menyimpan
rahasia saya." "Guru tak usah susah. Meski pun pekerjaan yang saya kerjakan amat buruk, penjudi, tetapi
memegang amanat saya sanggup. Apalagi menurut adat istiadat kami, judi dan sabung hanya
pergurauan anak muda saja. Namun basa basi, kami lebih teguh memegangnya dari pada
orang-orang yang berpangkat sekalipun. Bagi kami tidak boleh menuhuk kawan seiring,
menggunting dalam lipatan, apa lagi terhadap kepada orang yang telah meminum air ayah
bunda kita, dan kita pun begitu pula kepadanya."
"Terima kasih," jawab Zainuddin. Lalu dia mulai menceriterakan halnya sejak mulai ayahnya
terbuang, kematian ayah bundanya, perjalanan ke Minangkabau, perkenalan dengan Hayati, dia
diusir orang dari Batipuh, kematian mak angkatnya, suratnya ditolak orang, sampai kepada
surat Khadijah yang baru saja diterimanya, semuanya tiada yang ketinggalan. Semuanya
didengarkan oleh Muluk dengan hati-hati, kadang-kadang merah mukanya, kadang-kadang
sedih, sangatlah iba kasihannva melihat Zainuddin yang selalu dipanggilnya "guru" itu.
Setelah semuanya diceriterakannya, lalu dia berkata: "Bang Muluk! Saya hendak minta tolong
supaya abang sudi menyelidiki siapakah agaknya Aziz itu, adakah dia pantas menjadi jodoh
Hayati..Tolong abang, selidiki! Kalau memang pantas jadi jodohnya, kalau memang Aziz itu
berperangai baik, untung Hayatilah yang bahagia, nasib saya jugalah yang malang. Tetapi kalau
Hayati teraniaya, kalau perangai Aziz dapat menyebabkan Hayati makan hati berulatn jantung
bersuamikan dia, saya akan tetap menjaga dia, saya akan tetap jadi saudaranya, menjadi
pembelanya, sehingga nyawa saya bercerai dengan badan. Cobalah bang Muluk selidiki siapa
dia, di mana dia tinggal, bagaimana kelakuannya, [126] berapa saja ongkos yang perlu, saya
akan membayar!" Sedang Zainuddin berkata-kata itu, muka Muluk mulai kerut dan akhirnya dia menggelenggelengkan kepala.
"Mengapa abang menggeleng-gelengkan kepala?"
"Guru tak usah rugi terlalu banyak dalam perkara itu! Meski pun misalnya mencari Aziz akan
memakan ongkos banyak, haram saya memakan wang guru, guru telah jadi saudara saya.
Tetapi mencari orang muda yang bemama Aziz, tidaklah sukar. Siapa orang penjudi yang tiada


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenal akan dia?" "Apa kata abang?"
"Si Aziz anak St. Mantari, ibu bapanya orang Padang Panjang ini, karena dia berkerabat dengan
orang berpangkat-pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi perangainya ....
Masya Allah! Penjudi, pengganggu rumah tangga orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya
karena mengganggu anak bini orang. Syukur ada wang simpanan ayahnya yang akan
dihabiskannya, kalau tidak tentu sudah tekor kas di kantor tempat dia bekerja, tetapi dia dapat
menutup malu. Apa yang lebih berkuasa di dunia ini, lain dari wang?"
"Sebenarnyakah begitu bang Muluk?"
"Apakah faedahnya saya melebihi dan mengurangi yang sebenarnya saya lihat, guru" Dalam
perkara judi saya berdosa, dalam perkara yang lain dapati hendaknya saya timbulkan dengan
kebaikan. Aziz ... siapa kami yang tak akan kenal kepadanya" Sudah berapa kali dia memelihara
perempuan dengan tidak kawin dalam rumahnya di Padang."
"Allah ....nasib kau Hayati!"
"Tak usah guru rugi banyak, percayalah mulutku."
"Bagaimana kalau saya temui dia?"
"Siapa?" "Aziz." "Gunanya?" "Memberinya nasehat!" [127]
"Tak usah guru, tak usah! Tidak ada kejujuran dalam hati orang seperti itu. Saya tahu betul.
Nanti guru marah, dia tertempeleng, orang banyak tahu. Orang hanya lekas mencap ....fasal
perempuan. Karena tidak ada perkelahian orang dengan dia lantaran yang lain, hanyalah
lantaran si rambut panjang juga. Guru dapat malu, sedang padanya malu itu tidak ada.
Cari lain perempuan, bukan seorang yang bersanggul di dunia ini! Habis perkara!" ujar Muluk
pula. "Ai ..... nasehatmu abang!"
"Habis?" "Boleh jadi Hayati masih cinta kepadaku dan dia hanya teraniaya!"
"Hai guru! Guru terlalu lurus dan masih amat muda. Guru sangka hati perempuan di dunia ini.
sebagai yang tersebut dalam kitab rupanya. Tak ada itu guru, keluarga Aziz kaya, berbangsa,
guru dipandang miskin, orang "lain." Guru dirintang oleh Hayati dengan mulut manis supaya
gunu jangan marah. "perempuan" guru; ..........perempuan!"
Nasehat apakah lagi yang dicari Zainuddin! Padahal kemana pun dia. mencari nasehat, bentuk
nasehat orang hanya sama dengan nasehat Muluk itu"
Setelah mendengarkan perkataan Muluk itu, sampai semalam-malaman hari dia duduk
termenung sendirinya, pikirannya hanya kepada Hayati saja. Mengapa suratnya tak datangdatang lagi, seakan-akan sudah putus benar perhubungannya dengan dia. Masih adakah
tersimpan cinta yang telah dijanjikannya itu dalam hati Hayati terhadap dirinya. Atau
memangkah angin telah berkisar benar-benar. Mengapa akan selekas itu benar keadaan itu
berubah. Masih belum akan rebah dangau di sawah, tempat mereka mula-mula mengikat janji. Agaknya
batang cingkaring di kiri jalan ke Padang Panjang, tempat Hayati melepasnya dahulu masih
belum bertukar daun. Mengapakah cinta itu akan berubah. Janjinya [128] terlalu berat,
kedatangannya akan ditunggunya, walau setahun atau dua tahun, walau bermusim berbilang
zaman, Zainuddin akan ditunggunya.
Ah, ....tidak, Hayati masih suci! katanya. Lal u diambilnya kertas dari dalam laci dan dia mulai
menulis. Surat yang pertama Sahabatku Hayati! Bagaimanakah yang sebenarnya kejadian, Hayati" Benarkah sudah ditutup perjalanan hidup
kata hingga ini" Benarkah telah putus pertalian kita, dan saya sudah jadi orang lain dalam
pemandanganmu, tidak akan berkenalan, lagi, tidak akan bertegur sapa lagi bila bertemu"
Benarkah bahwa peringatan kau kepadaku sehingga ini kertas hanya akan laksana peringatan
seorang manusia atas mimpinya yang lama-lama, yang telah dihapuskan oleh pergelaran masa
dan pertukaran waktu"
Benarkah Hayati, bahwa sejak sekarang kitab kita telah tamat Bila kita bertemu di tengah jalan,
yang seorang akan menyisih ke jalan kiri, dan yang seorang akan menyingkir ke jalan kanan"
Alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya masa berganti. Apakah dalam masa
sebulan dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh angin
punting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekali pun tidak akan bertemu lagi" Ingatkah
kau Hayati, bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan
derita kita" Berapa kerasnya pukulan nasib di atas diriku, bertimpa dan bergeler, sejak masih mengentak
ubun-ubunku, kutempuh itu dengan dadayang tak berdebar sedikit juga, sebab ada pintu
gerbang pengharapan terbuka. Sekarang pintu itu telah tertutup kembali, tidak ada harapan lagi
akan dibukakan orang. Benarkah Hayati, bahwa saya akan berdiri di muka gerbang itu dengan
putus asa, hujan kehujanan dan papas kepanasan" Sedang orang yang lintas seorang pun tak
ada" Menurut sangka saya bermula, kenang-kenangan itu akan terpisah hanya dipisahkan kematian.
Sekarang kita masih hidup, belum sampai [129] tumbuh uban di kepala kata, alam pun rrtasih
alam yang dahulu juga, keadaan telah berubah saja demikian rupa. Suatu kejadian ........ yang
tidak ada mengatasinya lagi.
Apakah keadaanku yang tidak kau setujui Hayati"
Apakah yang telah menyebabkan dengan segera cintaku kau coreng dari hatimu"
Ah Hayati, kalau kau tahu! Agaknya belum pernah orang lain jatuh cinta sebagaimana
kejatuhanku ini. Dan bila kau alami kelak agaknya tidak juga akan kau dapati cinta sebagai
cintaku Cintaku kepadamu lebih dari cinta saudara kepada saudaranya, cinta ayah kepada
agaknya. Kadang-kadang derajat eintaku sudah terlalu amal naik, sehingga hanya dud yang
menandingi kecintaan itu, pertama Tuhan dan kedua mati.
Tak pernah namamu lepas dari sebutan mulutku. Tidak pernah saya khianat kepadamu, baik
lahir atau pun batin. Kalau saya melihat alam, maka di dalam alam yang kulihat itu engkaulah
yang tergambar, segenap perasaanku berisi dengan engkau. Bilamana matahari terbenam saya
perhatikan benar-benar, karena di sana kelihatan wajahmu yang indak. Bila tekukur berbunyi,
kudengarkan dengan khusyu, lantaran di sana laksana tersimpan suaramu yang merdu. Dan bila
saya melihat bunga yang mekar, kembalilah semangatku, karena keindahan bunga itu adalah
ciptaan keindahanmu. Beruntung saya rasanya hidup, sebab mengenangkan engkau. Dan tidak perlu bagiku hidup ini,
melainkan karena menghunikan engkau di dunia, untuk melihat engkau, untuk menyebut nama
engkau. Kalau sudah nyata - dan memang nyata - bahwa cintaku itu menerima balasan, maka sekurangkurangnya hibailah saya, kasihanilah saya, sayangilah air mata yang telah banyak tertumpah
untuk kau. Hibailah kedukaan di balik kedukaan, sehingga hatiku sudah tidak serasa hati lagi.
Ketahuilah, bahwasanya orang yang akan menyukai kecantikanmu dalam dunia ini akan banyak
bertemu. Orang yang menambah kemuliaanmu dengan harta-bendanya bukan sedikit Tetapi
yang akan cinta kepadamu sebagai eintaku, sungguh engkau tak akan bertemu, percayalah
perkataanku, percayalah! Hayati! Kau tertipu. Kau terpedaya dengan mulut manis. Mereka telah menipumu dengan harta
benda dan hawa nafsu Bagi mereka cinia hanva dapat berdiri dengan patri harta dan haw nafsu.
Mereka telah salah [130] menerangkan, mereka katakan bahwa hidup itu ialah buat makan dan
buat minum saja, atau buat mengumpul-ngumpulkan baju yang baru, guntingannya yang indah
dan paling model. Mereka telah mengukur kehidupan dengan rumah yang cantik, godong yang
permai, villa yang indah Mereka masukkan ke dalam pikiranmu kecintaan kepada perhiasan,
kepada dokoh dan gelang. Bagi mereka, persuami-isterian itu ialah semata-mata harta.
Tidak Hayati! Semuanya itu palsu adanya. Kalau perkawinan hanya dipertalikan oleh harga
benda, tidak juga akan berubah sipatnya dari pelacuran yang biasa, cuma bernama nikah sebab
berakad saja. Orang perempuan yang menyerahkan diri kepada suami lantaran suami itu
berharta, samalah dengan perempuan lacur yang menjual kehormatannya, bahkan lebih buruk
dari perempuan lacur, sebab perempuan itu menjatuhkan harga dirinya karena hendak mencari
sepiring nasi, tetapi si isteri ini memberikan diri karena mengejar harga. Karena mengharapkan
gelang mas, dokoh berlian, baju cantik, selendang bagus. Coba kalau si suami itu jatuh miskim,
Ya Allah! Terbuka jalan ke rumah tuan kadi, meminta khulu' dan fasakh, meminta cerai dan
talak. Mereka buangkan suami itu sebagai membuangkan daun pisang yang dikait di tepi jalan
sebab tak berpayung di ketika hari hujan, dan bila hujan reda, daun itu pun tercampaklah di
tepi jalan, diinjak-injak orang lalu.
Jangan sampai terlintas dalam hatimu, bahwa di dunia ada satu bahagia yang melebihi bahagia
cinta. Kalau kau percaya kebahagiaan selain cinta, celaka diri kau. Kau menjatuhkan ponis
kematian ke atas diri kau sendiri!
........ Kalau kau tahu! Sudah sedari lama keindahan dan kecantikan dunia ini terlepas dari
hatiku, laksana rontoknya bunga yang kekurangan air dari jembangan. Sudah sekian lama
kehidupan ini saya palsukan, saya hadapi dengan hati remuk Karena kekuasaan iblis telah
merajalela di atas hati manusia. Cuma satu saja yang kulihat paling suci ialah kau, kau sendiri!
Pada diri kaulah bertemunya lambang dari kesucian dan kemurnian, yang dipenuhi oleh cinta
yang ikhlas. Sebab telah kau sambut tanganku yang lemah, sebab telah kau terima suaraku
yang parau, di waktu orang lain membenciku, lantaran miskinku, papaku dan kurang bangsaku.
Hanya kau seorang! Sudikah orang yang seperti kau mengulurkan tangannya memberikan rezeki kepada si buta.
Demi setelah si buta hendak menyambut pemberian itu, tangannya ditariknya kembali"
Bukankah kau ajar saya dalam kemanjaan, kau kenalkan saya apa artinya keindahan dalam
dunia ini" Sehingga saya telah rindu, hidup, telah sayang kepada alam karena kau. Kaukah itu,
Hayati" Kaukah yang begitu kejam mendorongkan diriku kepada lautan cinta, setelah saya
berenang, kau segera ke luar, dan kau biarkan saga karam sendiriku"
Tidak, saya tidak percaya bahwa kau begitu kejam dan ganas. Saya masih ingat hati yang
lemah-lembut itu. Sudah sampai kepadaku kabar bahwa kau telah bertunangan. Itu tidak saya bantah, apa boleh
buat! Diriku juga yang malang. Cuma setelah saya dengar bahwa tunanganmu itu Aziz, dan
setelah saya selidiki siapa dia, maka saya kirimkan surat ini memberi ingat bahwa
perkawinanmu agaknya tak akan bertemu dengan cita-citanya yang sejati. Saya kenal betul
haluan hidup kau dan haluan hidupnya. Ini hanya perkawinan harta dan perkawinan kecantikan.
Bilamana salah satunya telah kurang, maka pergaulan adinda akan terancam. Dan kalau itu
kejadian, maka saya jugalah yang akan celaka. Celaka bukan buat diriku, tetapi buat kau!
Ya Rabbi, Ya Tuhanku, apakah sampai agaknya seruan hati kecilku ini kepada orang yang
kutuju, orang yang selamanya tak hilang dari hatiku.
Hayati, hendaklah kau tahu bahwa keberanianku membuka perkara ini kepadmu adalah lantaran
disuruh perasaan hati cinta jua. Karena yang lebih penting buat diriku adalah keberuntungan
dan kebahagiaanmu, bukan kepentingan dan kebahagiaan diriku sendiri.
Terima surat ini dahulu, agaknya akan kusambung jua. Karena mengirim surat ini, adalah
mengurangi juga bagi kepedihan luka jantungku.....
Zainuddin Surat yang kedua: Alangkah gelapnya dunia ini kupandang. Alam telah lengang dan sunyi, tidak ada gerak yang
membangunkan semangatku lagi, malam seakan-akan terus menerus saja, tidak sedikit juga
berganti dengan sung. Kadang-kadang saya rasai badan saya sebagai seorang yang terpencil
jauh di tengah padang yang tandus, tidak add manusia yang lalu lintas di sand, tidak add kali
yang mengalir, tidak add daun yang digerakkan angin. Seakan-akan saya sudah [132] terbuang,
mencari jalan dan ikhtiar untuk keluar dari tempat itu, tetapi jalan tidak kehhatan. Saya turnggu
kelepasan dengan sabar, tetapi hanya maut yang melayang-layang di tentang ubun-ubunku.
Bilakah masa itu akan datang" Bilakah maut akan menjemput nyawaku, supaya aku terlepas
dari kesakitan yang tidak tertanggung ini"
Kau hilang dari padaku, Hayati! Dan gantinya sudah tak akan ada lagi, karena segenap hidupku
telah aku tumpahkan buat kau seorang. Nasibku tak ubah dengan seorang juara sabung yang
kalah dalam medan perjudian, wangnya, hanya tinggal seringgit saja, dilepaskannya pula wang
itu dengan perasaan untung, kiranya kalah pula.
Setelah kau termasuk ke dalam daftar hayatku maka timbullah beberapa cita-cita yang besar
dalam hatiku, timbul angan-angan yang murni. Telah dipenuhi semangatku oleh perasaanperasaan yang suci. Ingat akan dikau adalah nyawa yang menimbulkan kekuatan ruhani dan
jasmani untuk menempuh perjuangan dalam alam ini. Tapi sekarang setelah kabar itu sampai,
say telah menjadi lemah, seakan-akan padam pelita angan-angan itu, seakan-akan minyaknya
telah habis, sehingga meskipun bagaimana juga orang bermaksud menyalakan kembali, sudah
percuma. Tidak ada lagi perasaanku, sudah kendur jalan pikiranku. Tidak saya perduli lagi
kepada keadaan sekelilingku Tidak tentu tujuan mana yang akan saya tempuh, haluan mana
yang akan saya turut. Adalah nasibku sekarang laksata bangkai buruttg kecil yang tercampak di
tepi jalan sesudah ditembak anak-anak dengan bedil angin, atau seakan-akan batu kecil yang
terbuang di halantan tidak diperdulikan orang.
Hayati! Tidakkah kau takut, bila datang hari kiamat, datang pertanyaan dari pada Qadhi Rabbun
Jalil, mengapakah kau kecewakan hati seorang manusia yang mempunyai tujuan suci dalam
hidupnya" Patah tujuan itu lantaran kau kecewakan. Tidakkah kau takut, bilamana lantaran ini
saya mati dahulu dari pada kau, maka menurutlah arwahku ke manapun kau pergi, memekik
dan merintih-meminta dikembalikan hidupnya yang sudah kau rampas, hatinya yang sudah kau
patahkan, cita-citanya yang sudah kau dinding. Menurut arwah itu kemana pun kau pergi,
sedang kau tidur dan kau bangun, sedang kau makan dan sedang kau minum, bahkan sedang
kau dalam pelukan suamimu sekalipun. Arwah itu akan membisikkan di telingamu, dengan
suatu bisikan yang nyata: "Kalau kau biarkan dia tinggal hidup, dialah contoh yang sebenarnya
dari suami yang budiman, teladan yang seindah-indahnya dan seorang ayah yang pengasih:
seorang sahabat yang setia, seorang yang menjadi tiang agung dalam masyarakat." [133]
Mana janji kau, mana sumpah setia kau yang dahulu. Tidakkah kau bemiat hendak memelihara
keberuntunganku, sebagaimana malaikat di langit pun memelihara keberuntungan manusia"
Wahai, kalau kau sempatlah kiranya melihat saya sekarang ini, akan nyata oleh kau suatu tubuh
yang telah kurus, suatu mata yang telah berkunang-kunang, suatu kekuatan yang telah habis
dan musnah lantaran kepedihan dan bencana.
Hayati! datanglah kemari, agak sekali dan sesaat pun cukuplah. Saya hendak melihat mukamu,
sebabdi sana tersimpannya keberuntunganku yang telah hilang, angan-anganku yang telah
padam. Perdengarkan kepadaku suara mu yang merdu, suara yang telah menimbulkan gairat
untuk hidupdalam jiwa ku. Hidupkan hatiku kembali dengan cintamu. Katakanlah agak sepatah
kalimat saja, bahwa kau masih tetap mencintaiku, meskipun ucapan itu benar atau dusta
sekalipun, cukuplah itu bagiku.
Sungguh, jika sekiranya pada masa ini kau bertemu olehku di tengah jalan, dengan tidak
memperduhkan kata-kata orang, saya akan menyimpuh di hadapanmu, sebagaimana
menyimpuh seorang inang pengasuh di hadapan raja rya. Dan kalau tidak perduli lagi, karena
kebencian telah memenuhi hatimu kepadaku, akan saya iringkan engkau sampai kemana pun,
supaya agak sekali kau toleh juga saya ke belakang
Tidak ada sepatah perkataan yang akan kukeluarkan mengganggu engkau. Saya hanya hendak
membiarkan air mataku terjatuh di hadapanmu, moga-moga kau dapat menjamah kepalaku dan
memberi saya hidup, meskipun sesudah itu akan kau bunuh pula.
Sangat payah sakit saya sekarang Hayati, agaknya tidak ada orang lain yang lebih sakit dari
padakm Dahulu bahagia dan cinta yang kuminta dari padamu; sekarang itu kau cabut kembali. Maka
kalau itu tak boleh berikan sajalah kepadaku hidup!
Zainuddin. Surat yang ketiga: Malangnya nasibku. Telah runut bunga hayatku sebelum dia mekar. Tua telah berangsur
mendatangiku, padahal umurku masih muda. Seorang diri aku menyeberangi hidup ini
sekarang; ayahku telah mati, ibuku dan ibu angkatku pun demikian. Seluruh alam membenciku,
hatta daun kayu di dekat rumah, angin pagi yang biasa membawa udara nyaman, tidur yang
biasanya mengembalikan [134] kekuatan manusia, semuanya meninggalkan daku. Tiba-tiba
kau, yang hanya satu tempatku bergantung, telah hilang pula dari padaku! Kemana saya mesti
pergi lagi, tunjukkanlah, walau pun ke pintu kubur kau tunfukkan, saya pun akan pergi.
Lebih seratus kali nama kau kusebut dalam sehari! Kadang-kadang saya panggil dalam
nyanyianku, kadang-kadang dalam ratapku. Kicut pintu ditolakkan angin, serasa-rasa langkah
kau yang terdengar. Masih juga belum percaya saya bahwa kau memang telah sebenarbenarnya membuang saya dari ingatanmu. Saya tanyai diri saga, adakah saya berdosa
kepadamu" Tidak rasanya, bahkan dosa yang lain yang kerap saya-perbuat untuk mencukupkan
cintaku kepadamu. Pemahkah kau mendengar kabar berita seorang Haji yang berlayar ke Mekkah, membawa
isterinya dan anak-anaknya yang masih kecil 3 orang banyaknya, isterinya itu sedang hamil
pula. Tiba-tiba penyakit wabah pun datanglah di negeri suci itu, si suami meninggal dunia di
sana. Seketika tuan Syekh memaklumkan kepada jemaahnya bahwa Haji telah selesai dan
jemaah-jemaah mesti berangkat ke Judah akan kembali pulang, pergilah isteri itu membawa
anak-anaknya ketiganya ke pusara ayahnya, meratap dan memberi tahukan bahwa mereka
akan pulang lagi, pulang sendirinya tak berteman, menghadapi kemiskinan dan keyatiman, dan
suami yang berbudi itu akan dipertaruhkan menjaganya kepada Ka'bah.
Pernahkah kau melihat seorang perempuan tua yang berjalan hilir sawah mudik sawah, sambil
bernyanyi menyebut-nyebut nama anaknya. Yaitu seorang perempuan yang masih muda, yang
wafat seketika dia akan dikawinkan, sehingga sedianya akan dibawanya bertandang ke rumah
mertuanya dengan peralatan besar, kiranya diiringkan ke kuburan oleh orang kampung
bersama-sama. Pernahkah kau mendengar seorang anak muda yang baru bertunangan, berjalan ke rantau
orang hendak mencari mas kawin dan kain baju, untuk diberikan kepada tunangannya bilamana
dia pulang kelak. Setelah dua tahun dia berjalan, dia pun pulang, didapatnya tunangannya tadi
telah bersuami orang lain yang lebih kaya, sebab dia terdengar miskin. Pernahkah kau dengar
bahwa seketika dia pulang itu, setelah sampai kepadanya kabar bahwa tunangannya telah
bersuami, dia duduk di tepi batang air yang deras, menangisi nasibnya, dan akhirnya
dilemparkan petinya itu ke dalam air. Setelah itu dia kembali merantau, sehingga tak pulangpulang lagi sampai sekarang ini.
Pernahkah kau mendengar kabar seorang perempuan yang mempunyai [135] dua orang anak
laki-laki, yang seorang berjalan ke Jakarta dan seorang berjalan ke Medan. Tiba-tiba sampai
kepadanya kabar bahwa anaknya yang tua mati di rumah sakit, dan anak yang kedua mati pula
di dalam mencarikan kepalanya yang tak bertutup dan perutnya yang tak berisi. Sehingga
kepada tiap-tiap orang yang pulang merantau ditanyakannya juga, adakah bertemu anaknya,
dan bila dikatakan orang bahwa anak itu sudah mati, dia termenung, dia tak menangis lagi,
sebab sudah kering air mata yang akan ditangiskannya.
Pernahkah kau mendengar nasib seorang tua yang menjadi tukang rumput, mempunyai isteri
yang sedang sakit dan anak yang sedang sarat menyusu. Beras yang akan ditanak tak ada,
dicobanya meminjam kepada orang setelah rumah, orang tak man meminjami lagi, sebab utang


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beras 3 dan 4 hari yang lalu belum juga dibayarnya. Lantaran terlalu susah, pergilah dia
mencuri beras orang itu dan dibawanya pulang. Dimasaknya beras itu ke dapur, sedang isteri
dalam menarik nafas yang penghabisan. Tiba-tiba polisi pun datanglah menangkapnya, dia akan
dibawa ke kantor mahkamah; nasi hangus, anaknya meratap dan isterinya mati setelah dia
sampai ke pintu. Sehingga lantaran hebatnya cobaan itu, pikirannya bertukar, dia gila, sehingga
tak jadi dibawa ke kantor mahkamah, melainkan diantarkan terus kerumah sakit gila.
Kalau pernah kau dengar segala ceritera itu atau pernah kau lihat; kalau pernah kau dengar
nyanyian orang kurungan menunggu ponis buangan, atau rintihan dan pekik orang sakit di
dalam rumah sakit, atau tertawa yang tinggi dan rambut yang telah panjang dan pakaian yang
cumpang-camping dari orang gila, sehingga lantaran itu kau jatuh betas kasihan, kau tangisi
nasib mereka yang malang dan untung mereka yang buruk, maka ketahuilah Hayati, bahwa
nasibku lebih lagi malangnya dari itu. Sayalah yang lebih pantas menerima kasihan kau,
menerima ratap kau dan tangis kau..............
Tak ada lagi yang kutuliskan kepadamu, pelita hatiku dari sedikit ke sedikit berangsur padam.
Agaknya inilah surat yang penghabisan kepadamu.
Selamat tinggal Hayati! Kalau umurku masih panjang, entah tidak akan bertemu lagi, dan kalau
umurku singkat maka inilah ucapanku yang penghabisan..............
Zainuddin Balasan Hayati: Tuan yang terhormat! Tak dapat saya sembunyikan kepada tuan, malah saya akui terus terang [136] bahwasanya
seketika membaca surat-surat tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati
saya. Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat tuan itu,
timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus
asa, tangis orarg yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai. Tangis dan
kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan
teduh jua. Kita akan sama-sama menangis buat sementara wuktu, laksana tangis anak-anak yang baru
keluar dari perut ibunya. Nanti bilamana dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia
pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebai: Kelak tuan akan merasai sendiri
bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah buat kebahagiaan tuan. Allah telah sediakan
hidup yang lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan tuan di belakang hari.
Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan tuan pun hidup dalam melarat pula,
tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga. Maka lebih baik kita
singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik kita berpisah, dan kita
turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat
buat di hari nanti. Saya pun merasai sebagai yang tuan rasakan, yaitu kesedihan menerima
ponis itu. Tetapi tuan harus insaf, sudah terlalu lama kita mnngangan-angan barang yang
mustahil, baik saya atau pun tuan.
Tuan pilih sajalah seorang isteri yang lebih cantik dan lebih kaya dari saya, dan marilah kita
tinggal bersahabat buat selamanya. Kepada Aziz tak usah tuan kecil hati, dia tak salah dalam
perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan yang tetap buat bersuanu dia; lawan
saya musyawarat ialah hati saya sendiri, sehingga saya terima tawaran ninik-mamak saya.
Dan saya harap tuan lapakanlah segala hal yang telah berlalu, maafkan segala kesalahan dan
keteledoran saya, sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan tidak ada saja.
Hayati. Demi setelah sampai surat itu kepada Zainuddin, mengerti benarlah dia sekarang hal yang
disusahkannya selama ini, yaitu kalau-kalau Hayati masih cinta kepadanya.
Sekarang ternyata sudah tidak lagi. [137]
Sebagai seorang laki-laki yang tahu kehormatan dirinya ditulisnyalah surat yang penghabisan,
untuk penutup riwayat-riwayat yang telah lama itu.
Sahabatku Hayati! Alhamdulilkh telah saya jalankan sepanjang bunyi suratmu. Telah saya lupakan segala hal yang
lama-lama. Telah saya pandang semua hal itu tidak ada saja. Saya ucapkan pujian kepada
sahabat, karena sahabat telah dapat menentukan nasib buat di belakang hari, dan saya pun
akan berikhtiar pula. Untuk membuktikan kelupaan itu, maka inilah saya kirimkan kembali
segenap surat-surat yang sahabat kirimkan kepada saya dari awal sampai ke akhirnya, karena
tidak ada faedah lagi menyimpannya. Persahabatan yang sahabat tawarkan itu saya terima pula
dengan dada terbuka, sebagaimana dahulu saya terima cinta yang sahabat berikan. Ada pun
perasaan kecewa atau kecil hati terhadap sahabat atau tunangan sahabat, tidaklah ada pada
saya. Cuma saya doakan, moga-moga pergaulan dan penghidupan sahabat beruntung sampai
akhirnya. Zainuddin 15. PERKAWINAN Apa benarkah begitu maksud Zainuddin" Mengapa selekas itu benar bertukar bunyi suratnya"
Itu adalah surat yang sebenarnya, yang timbul dari pada perasaan kemanusiaan, yang harus
ada pada tiap-tiap laki-laki. Laki-laki menyimpuh menadahkan tangan harapan di harapan
seorang perempuan yang dicintainya, kalau harapan itu masih dirasa ada. Tetapi turunlah
mutunya sebagai laki-laki, kalau orang telah jelas enggan, dia masih mendekat juga.
Tetapi kalau cinta telah mendalam, walau pun bagaimana tebalnya perasaan sebagai laki-laki,
badan meremuk juga laksana ayam kena penyakit menular.
Setelah Hayati menerima surat-surat yang dikirim Zainuddin itu, tergoncang juga pikirannya.
Ingatannya melayang kepada zaman-zaman yang telah lalu. Tetapi dia sudah terlalu banyak
berhutang budi kepada dunia, sebab itu dia mesti membayar kembali. Sebelum dia menjejak
pergaulan yang bebas, sebelum dia tahu memakai pakaian-pakaian guntingan yang baru,
baginya kebahapiaan itu ialah pada kecantikan alam dusunnya, pada mencintai kekasihnya yang
mula-mula. Tetapi sekarang sudah berubah, dan perubahan itu janganlah disangka perubahan
yang sejati. Itu hanyalah cat yang datang dari luar. Pergaulan dan tutur lemak manis dari kiri
dan kanan, boleh menghilangkan wama asli buat semantara waktu. Beberapa perempuan di
dalam riwayat telah kita lihat. Dengan mudah saja dia mengecewakan hati orang laki-laki,
dengan mudah dia menghubungkan kasih. dengan mudah pula dia memutuskannya. Tetapi
orang yang begini biasanya harus membayar [139] utang pula atas kesalahannya. Pada tarikh
Cleopatra, yang sanggup mempermai-mainkan hati Julius Caesar dan lain-lain orang muda,
dapatlah jadi ibarat ceritera ini. Cintanya kepada Antonius menyebabkan dia merendah
menghinakan diri. Coba kalau sekiranya surat yang dikirimkannya kepada Zainuddin itu dibacanya dahulu sekali
lagi sebelum dimasukkannya ke ampelop, atau diheningkannya barang dua hari, agaknya tidak
akan jadi dikirimkannya. Tetapi itulah perempuan, dia kerapkali sampai membunuh orang dengan perbuatannya yang
tiada tersengaja. Hari perkawinan telah ditentukan, petang Kamis malam Jum'at disamakan diantara Aziz dengan
adiknya Khadijah. Sebelum hari yang ditentukan itu datang. Hayati asyik memperbaiki rumah
tangganya, mengatur bunga-bunga berkarang, pemberian kawan-kawannya, gelas dan baki,
pinggan dan cawan. Alangkah cantiknya gadis dusun itu diberi pakaian kota. Teman-temannya
sesama gadis yang belum dipanjat ijab kabul, melihat keindahan dan kecantikan Hayati dengan
perasaan iri hati: Kapan agaknya mereka akan mencoba pula yang demikian itu" Apalagi 3 hari
sebelum kawin, sate bungkusan sutera telah dibawa orang dari Padang Panjang, penuh berisi
kain-kain yang halus, sarung batik Pekalongan, Ciamis dan Tulungagung. Kebaya-kebaya
pendek yang indah potongannya, tanda mata dari bekal suaminya. Kamarnya diperhiasi indah
sekali, dipanggilkan seorang perempuan yang ahli mengatur kamar penganten dari Padang,
karena di kampung tidak ada yang pacak mengerjakannya.
Karib dan ba'it, ipar dan bisan amat ramai dalam rumah yang gedang itu. Berkali-kali lumbung
dipanjat menurunkan padi yang akan dijemur dan ditumbuk. Karena menurut pepatah
Minangkabau, harta pusaka tak boleh diusik dan digaduh, melainkan jika bertemu sebab yang
empat perkara: "Rumah Gedang ketirisan, adat pusaka tak berdiri, mayat terbujur tengah
rumah, gadis gedang belum berlaki."
Kalau bertemu sebab yang empat itu, maka "tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal
diasah." Setelah harinya datang, ributlah orang dalam rumah mengerjakan dan menyiapkan. Hayati
rintang terse nyum-senyum saja.
Kalau sekali-kali terinbat olehnya Zainuddin, sengaja ingatan itu dipudarkannya dari hatinya.
Dengan teman-temannya dia berbicara tentang nasibnya di belakang hari, keberuntungan yang
sedang terbayang di angan-angan.
Setelah hari malam kira-kira pukul 12, datanglah penganten yang laki-laki dari Padang Panjang,
diiringkan oleh teman sahabatnya, cukup dengan adat kebesaran. Sebelum makan dan minum,
ijab dan kabul pun dilakukan di muka Kadi. Di dalam masa hanya satu atau dua menit,
runtuhlah gunung cita-cita yang telah sekian lama didirikan oleh Hayati dan Zainuddin
dahulunya. Kira-kira pukul dua tetamu yang banyak itu pulanglah ke rumah masingmasing,
yang dari Padang Panjang telah kembah ke Padang Panjang Tidak juga dapat dilupakan bahwa
diantara pengantar itu terdapat Muluk, sahabat karib Zainuddin.
Setelah tetamu-tetamu itu pulang, atas permintaan pihak yang perempuan, maka kedua
penganten muda itu dipersanding kan oranglah. Karena demikian adat yang terpakai. Setelah
bersanding beberapa lamanya, keduanya dipersilakan masuk peraduan.
Jika pada malam itu hari gembira yang paling besar dalam penghidupan Aziz dan Hayati, adalah
di Silaing Padang Panjang Zainuddin sedang tidur sambil merintih, menarik nafas panjang dan
mengeluh. Sampai sesiang-siang hari, matanya haram tak tidur, pikirannya hanya melayang ke Batipuh.
Banyak yang terbayang-bayang dalam pikirannya.
Setelah hari hampir siang mata Zainuddin belum juga tertidur, datanglah Muluk.
"Bang Mulukkah itu?" tanya Zainuddin dari kamarnya. "Ya, bukalah pintu, guru!" jawab Muluk.
Pintu dibukakannya, sebelum Muluk sempat duduk ke korsi, Zainuddin terus bertanya: "Apa
kabar?" "Telah langsung perkawinan orang itu!"
Mendengar perkataan itu lemah sendi tulang Zainuddin, lampu dinding yang terpegang di
tangannya hampir terlepas..
Dia masuk kembali ke dalam kamarnya, duduk menghadapi meja kecilnya sambil melepaskan
air mata yang telah tertahan, dua patah perkataan yang dapat melepaskan segala perasaan
hati, keluarlah dari mulutnya: ."...... Ah, nasib!"
Sepagi itu Zainuddin tak dapat keluar lagi dari kamarnya, dia demam. Kian lama kian paksa.
Yang duduk di kiri-kanannya hanyalah Muluk dan ibunya. Makan dia tak mau, air seteguk pun
sukar melakukan, sebab dia tak ingat akan dirinya.
Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat mereka: kena hantu, kena pekasih,
kena tuju paramayo, kena tuju senang meranda dan lain-lain penyakit. Apalagi setelah sakitnya
lebih sepuluh hari, kerap kali dia mengingau (bertutur sendiri) dalam tidurnya. Menyebut
ayahnya, bundanya, mak Base, Batipuh, kawin, Aziz. Dan yang paling banyak menjadi buah
tutumya adalah Hayati! Sudah segala macam obat dilekatkan, kumpai dan cikarau, sitawar dan sidingin, giring-giring
hantu, api-api hantu, sirili bertemu urat, dasun tunggal, urat rotan melantas banir, semuanya
tidak ada yang mujarab. Sisakit lianya bertambah sakit juga.
Melihat itu, cemaslall kedua induk semangnya itu, Muluk dengan ibunya. Mereka takut, orang
dagang yang malang itu akan meninggal di rumah mereka lantaran kesia-siaan mereka. Maka
se tujulah kedua ibu dan anak itu memanggilkan dokter. Karena kebiasaan waktu itu, jika
penyakit masih belurn dipandang berbahaya, mereka belum ada niat hendak pergi ke dokter,
segala perkataanperkataan yang akan menghinakan dokter, keluarlah dari mulut: [142] "Apa
guna memanggil dokter, penyakit begini tak bisa dokter mengobat. Tetapi kalau mengobat luka,
memang dokter pintar." Nanti kalau rasa telah berat penyakit itu, baru teringat bahwa ada
dokter. Padahal penyakit yang berat itu sama-lama payah mengobatinya, baik oleh dokter
apalagi oleh dukun. Dokter dipanggilkan, si sakit diperiksa, ditanyakan pula kepada kedua ibu clan anak itu berita
dan keadaan si sakit. Setelah dokter masuk ke kamar, berkicutlah pintu, kedengaran pula suara
si sakit: "Kaukah itu Hayati" ....... Marilah duduk, marilah kemari, saya sudah sembuh dari
sakitku, aku tak sakit lagi, mengapa lama benar baru kau datang?"
Waktu itu juga dokter maklum nama penyakit itu! Oleh Muluk dinyatakan pula ceritera itu
semuanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dokter berkata: "Yang lebih baik, kita minta atas nama
kemanusiaan supaya perempuan itu datang kemari, walaupun sekali saja! Agaknya dengan
pertemuan itu dapatlah sakitnya berkurang!"
"Bagaimana kalau orang tidak mau?" "Nanti saya mengikhtiarkan," kata dokter!
Dokter itu meskipun telah tua, mengerti juga aliran darah muda dan faham akan jiwa manusia.
Dengan segala tipu muslihat diikhtiarkan supaya dapat Hayati melihat Zainuddin, walaupun
bersama-sama suaminya. Lantaran pandainya menarik hati ninik-mamak Hayati, permintaan itu dikabulkan orang,
meskipun Aziz sendiri mula-mulanya keberatan. Dalam pemandangan orang dusun hal itu pun
menyalahi kebiasaan. Tetapi kekerasan permintaan dokter telah menghilangkan segala
kemusykilan. Pagi-pagi pukul 9 berhentilah bendi Hayati di muka rumah Zainuddin di Silaing, dia diiringkan
oleh suaminya Aziz yang kelihatan nyata di mukanya bahwa dia amat keberatan. Dokter pun
masuk pula. Di dalam telah menunggu Muluk dengan ibunya. Dengan langkali yang perlahan
sekali mereka masuk ke dalam kamar mendapati si sakit. Dia tengah tidur dengan enaknya,
[143] badannya hanya tinggal kulit pembalut tulang saja. Dokter, Muluk, dan ibunya tegak di
tepi pembaringan. Hayati duduk ke atas korsi yang telah disediakan di muka tempat tidur dan
suaminya berdiri di belakang korsi itu.
"Zainuddin, bangunlah, kembangkanlah matamu," kata dokter "ini Hayati telah datang
menziarahimu!" Dia masih diam saja! Dengan separo berbisik dokter berkata kepada Hayati: "Lebih baik engkau sendiri
memanggilnya, moga-moga dia terbangun."
Mula-mula Hayati menoleh ke belakang, kepada suaminya. Muka Aziz kelihatan kerut saja.
"Jika di waktu badannya sehat tuan-tuan benci kepadanya, kasihanilah di waktu dia sakit," kata
dokter dengan muka agak marah.
"Zainuddin!" kata Hayati.
Mendengar suara yang merdu itu, yang dalam telinganya laksana suara Nafiri dari dewa-dewa,
Zainuddin pun mengembangkan matanya yang cekung. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan
mencari dari mana datang suara itu. Lalu dia bertanya: "Siapa yang memanggil namaku?"
"Bangunlah Zainuddin, ini saya datang," kata Hayati. "Hayatikah itu" Suaranya! Saya kenal
benar suaranya," katanya; latu dicobanya hendak bangun, tetapi badannya masih lemah. Lalu
ditolong mendudukkan oleh Muluk dan ibunya. Punggungnya dikalang dengan bantal.
Terbit suatu cahaya yang hidup dan terang dari kedua belah matanya yang telah kuyu itu.
"Mana Hayati?" Dicarinya Hayati dengan tangannya.
"Oh, ya, Hayati! Kau datang tepat pada waktunya Telah saya sediakan rumah buat tempat
tinggal kita. Sudah saya cukupkan alat-alat yang perlu dalam rumah itu. Nantilah saya ambil
pakaian hitam saya, pakaian penganten, ini tuan Kadi [144] (sambil mengisyaratkan matanya
kepada dokter), sudah lama menunggu kedatanganmu untuk melangsungkan ijab kabul.
Sehabis nikah kita akan berangkat ke Mengkasar, kita akan melihat Butta Jum Pandang, akan
ziarah ke kuburan ayah bundaku! Kita letakkan di sana bunga berkarang!
Cantiknya kau hari ini! Baju berkurung begini memang sangat saya setujui. Bukankah dahulu
seketika kita mula-mula bertemu, kau memakai baju berkurung juga! Ini selendang, selendang
sutera putih, memang ini pakaian penganten model sekarang."
Muka Hayati selama Zainuddin berbicara itu amat pucat, apalagi muka Aziz. Dokter melihat si
sakit dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibu Muluk menitikkan airmata.
"Kemarikan tangan kau Hayati, mari saya bimbing. Kita akan pergi bersalam dengan mamakmu,
tanganmu akan kugandeng, dari hayatku sampai matiku.
Ai, mengapa kau mundur maju" Masih malukah kau, padahal hari ini hari pernikahan kita?"
Hayati hendak mengulurkan tangannya, tetapi lebih dahulu dilihatnya pula muka Aziz. Aziz tetap
melihat dengan rasa tak tentu.
Dengan perasaan mundur maju, Hayati mengulurkan tangan, karena hendak dipegang oleh si
sakit. Tangan itu dibawanya ke mulutnya hendak diciumnya, tiba-tiba badannya gemetar,
tangan itu dilepaskannya kembali: "0 ....kau berinai jari, ya, ya, .... saya lupa, kau sudah kawin,
kau sudah kepunyaan orang lain, sudah hilang dari tangan saya." Sekaranglah baru dia insaf
sedikit, dia kembali teranyak di kasurnya. "Sekarang saya insaf, haram saya menyintuh
tangannya, dia bukan tunanganku, bukan isteriku!"
Diambilnya ujung selimutnya, ditutupnya mukanya. Kemudian dia berkata: "Keluarlah
semuanya, pergilah semuanya, tinggalkan saya seorang diri di sini. Saya tidak ada perhubungan
dengan [145] orang-orang itu, merekapun, telah putus pula dengan saya ....... pergilah,
keluarlah, segera!" Terbangunlah perasaan kasihan dari hati sanubari Hayati melihat nasib anak muda itu, lalu
dicobanya hendak membarut kepala Zainuddin dengan tangannya yang halus. Tiba-tiba
sebelum terbarut, tangannya telah direnggutkan oleh suaminya, dan dibimbingnya keluar.
16. MENEMPUH HIDUP Dua bulan lamanya Zainuddin sakit. Sakit yang boleh dikatakan penutup dari pada zaman
angan-angan remaja dan pintu zaman yang baru untuk penghidupannya. Rupanya Allah masih
mengizinkan dia hidup, padahal sudah berapa kali di dalam sakitnya dia meminta mati. Tetapi
rupanya dia masih berguna, lapangan buat berjuang dalam alam dunia ini masih luas. Sebab itu
maka sembuhlah dia dari sedikit ke sedikit, pikirannya pun timbul dari selangkah keselangkah,
sehingga akhirnya kekuatannya telah surut semula. Hanya pada tepi matanya, pada raut
keningnya, masih tetap terbayang segala lakon hidup yang dijalaninya.
Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh sengsara adalah persahabatan yang
lebih kekal dari pada yang didapat diwaktu gembira. Demikian pulalah diantara Zainuddin
dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi diantara kedua
orang itu. Zainuddin masih muda dan banyak cita-cita, Muluk lebih tua dan banyak pengalaman,
walau pun ilmunya tak ada selain dari pergaulan.
Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain, sedang lengang 'rang di kampung hanya
sekali-sekali kedengaran peluit kereta api yang sedang diperbaiki di bengkel dekat stasiun, dan
dari jauh kedengaran aliran air yang merawankan hati dalam belukar Anai. Kebetulan Muluk
kembali dari pasar, tidak mendapati Zainuddin di rumah. Dicarinya ke dalam kamar tak ada,
dicarinya dan ditanyakannya kepada ibunya sendiri, ibunya pun tak tahu. Terkenanglah dia
bahwa pada zaman yang akhir ini, Zainuddin suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai, ke
tepi sungai yang [147] mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan berserunai
bernafiri layaknya. Dia pun dengan tergesa pergi ke sana. Persangkaannya tepat sekali,
didapatinya Zainuddin sedang duduk di atas sebuah batu besar melihat air mengalir, yang selalu


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan bertutur. Nun jauh dari sana, adalah Lubuk Mata Kucing, tempat orang mandimandi bergurau.
Setelah Muluk datang, Zainuddin telah tahu, tetapi tak sepatah jua ditegurnya. Di sanalah Muluk
mulai berkata. "Apakah yang guru menungkan juga?"
"Begini baru usiaku, sudah begini besarnya kedukaan yang menimpa diriku, menung apakah
yang tidak akan terjadi" Kalau bang Muluk merasai tentu abang tak akan sampai bertanya!"
"Hentikanlah segala permenungan ini, guru muda. Sebab segala yang kejadian itu telah berlalu
masanya; apa yang telah tertentu sejak dalam rahim bunda tak dapatlah makhluk mengelak
kan," ujar Muluk dengan rupa yang sungguh-sungguh. "Secara persahabatan, biarlah dengan
segenap kejujuran saya lepaskan perasaan yang terguris kepada guru. Begini banyak ilmu yang
telah guru tuntut, begitu tinggi budi pekerti dan kesopanan guru; akal panjang pikiran luas,
pemandangan jangan disebut.
Tiba-tiba di hadapan keadaan yang begini, guru bersemangat lemah. Lebih lemah dari pada
kami parewa yang tak kenal membaca Bismillah. Tidaklah baik hidup yang murni dan mulia
dikurung diterungku karena hanya semata-mata memikirkan seorang perempuan, seakan-akan
hanya itulah perempuan di dunia ini. Perempuan yang guru junjung itu, sebelum sampai
perkawinan berhasil dengan guru telah nyata emas dan loyangnya, batu dan intannya. Dia telah
berkhianat, memungkiri janjinya, sehingga lantaran memikirkan itii, guru telah jatuh sehina
selemah ini seakan-akan ditusukannya sebilah keris yang tajam ke ujung jantung guru,
sehingga kalau bukan kasihan Allah, binasa guru dibuatnya."
Setelah dia termenung sebentar maka diteruskannya pula perkataannya: [148]
"Di sini guru menangis tersedu-sedu, meratap terisak-isak mengatakan guru kehilangan nikmat,
kehilangan permata; padahal di pihak lain perempuan itu dengan senyum gembira
menyandarkan kepadanya ke atas pangkuan suaminya; tidak teringat lagi olehnya diri kita,
dilupakan, dibuangkan, setelah dibuang diinjakkannya pula.
Guru pergi duduk-duduk bermenung seorang diri ke tempat yang lengang. Padahal kemana pun
kita pergi, iblis senantiasa menurutkan kita. Alangkah berbahayanya kalau dibisikkan oleh iblis
menyuruh guru putus asa, disuruhnya membunuh diri. Buat orang yang guru cintai, agaknya
lebih senang hatinya kalau guru hilang dari dunia, lebih bebas dia melangkah di atas dunia yang
luas ini. Agaknya ke. tika orang mendapat mait guru tergantung di dahan pohon dadap, atau
terbentang di Anai yang deras airnya ini, atau terputus leher guru disembelih tangan guru
sendiri di dalam kamar. Agaknya kalau sampai kepadanya kabar itu, tidaklah dia akan pergi
menjenguk guru, usahkan menangisi guru, melainkan dia akan merasa bangga sebab
kecantikannya telah mengorbankan orang yang mencintainya.
Hai guru muda! Mana pertahanan kehormatan yang ada pada tiap-tiap laki-laki" Tidakkah ada
itu pada guru" Ingatkah guru bahwa ayah guru terbuang dan mati di negeri orang, hanya
semata mata lantaran mempertahankan kehormatan diri" Tidakkah dua aliran darah yang panas
ada dalam diri guru, darah Minangkabau dari jihat ayah, darah Mengkasar dari jihat ibu"
Mana kegagahanmu guru, rasa tanggung jawab atas dirimu" Pada hal saya kenal bahwa dalam
hal yang lain-lain guru cukup mempunyai itu. Mengapa dalam hal yang sepasal ini guru mundur
dan kalah" Dengan tetus terang saya katakan, bahwa guru bercelaka, sengsara, hidup guru sempit, lebih
dari hidup orang lain, lantaran salah guru sendiri.
Tenaga mudamu, darahmu yang masih panas, kepalamu yang [149] masih sanggup bertempur
dengan peri penghidupan telah dirampas dan dirusak-binasakan oleh perempuan itu. Jangan
mau guru! Guru mesti tegak kembah. Langkahkan kaki ke medan perjuangan, yang selalu
meminta tentera, yang selalu kekurangan serdadu!
Karamkan diri ke dalam alam, ke dalam masyarakat yang maha luas. Di sana banyak bahagia
dan ketenteraman tersimpan. Di mana-mana didirikan orang perkumpulan-perkumpulan,
penolong fakir dan miskin. Di mana-mand didirikan orang rumah-rumah sakit, penolong si sakit
yang tak mampu. Di mana-mana diadakan rumah pondokan pemehhara orang tua-tua yang
masih panjang umurnya, padahal telah lemah berusaha. Masuki itu, dengan mencampuri
pekerjaan itu akanterobat kedukaan hati yang sekarang.
Di mana-mana didirikan orang perkumpulan politik atau ekonomi untuk membela kepentingan
bangsa dan tanah air supaya mencapai bahagia dan hidup yang sempuma. Masuki itu, kiraikan
sayap, tuangkan dan habiskan tenaga buat itu.
Dengan begitu penyakit yang guru tanggungkan tentu sembuh, dan penghidupan dapat
ditentukan arahnya sebelum terlambat.
Di mana-mana diterbitkan orang surat-surat kabar, penuntun ummat kepada kecerdasan,
memuat perkabaran, pengetahuan, syair dan madah, ceritera dan hikayat. Buku roman yang
tinggi harganya telah mulai dikeluarkan orang. Kalau guru ambil kesanggupan menumpahkan
pikiran yang tinggi-tinggi itu dengan mengarang, tentu akan berhasil. Apalagi pengalaman telah
banyak, jiwa telah kerap kali menanggung, hati telah kerap kali menempuh duka. Kalau guru
segan dibawah takluk orang, dengan wang yang ada di tungan guru bolehlah rnenerbitkan
sendiri. Dengan demikian guru akan mengecap bagaimana nikmat kebahagiaan dan
keberuntungan. Di dalam alam yang terbentang di muka kata, diawan-swan yang berarak,di sungai yang
mengalir, diburung yang terbang tinggi dikulik elang tengah hari, dikokok ayamdi halaman,di
puncak gunung meningkat awan, pendeknya di mana-manapun, terbentang [150] lah pengobat
hati dan jiwa. Di sana tersembunyl pokok-pokok untuk kebahagiaan hidup.
Apa sebab hati akan dibiarkan bersedih dan bersusah di dalam alam ini" Pada hal lapangan
kemuliaan dan perasaan bahagia terbuka buat semua orang! Orang yang bercela di dalam dunia
ini hanya bertiga saja. Pertama orang dengki, yang selalu merasa sakit hati melihat orang diberi
Allah nikmat. Kesakitan hatinya itulah yang menyebabkan dia celaka, pada hal nikmat Allah tak
dapat dihapuskan oleh tangan manusia. Kedua orang yang tamak dan loba, yang senantiasa
merasabelumcukup dengan apa yang telah ada dalam tangannya, selalu menyesal, mengomel,
padahal yang akan di - dapatnya tidak akan lebih dari pada yang telah ditentukan Allah dalam
kudratNya. Ketiga orang berdosa yang terlepas dari tangan hakim, karena pencurian atau
pembunuhan, karena memperkosa anak bini orang.
Orang yang begini, meskipun terlepas dari jaringan undangundang, tidak juga akan Inerasai
nikmat sedikit pun ke mana jua dia pergi. Kesalahan dan tangannya yang berclarah selalu
terbayang bayang di ruangan Inatanya. Polisi serasa-rasa mengejamya juga. Dimana orang
berbisik-bisik, disangkakannya memperkatakan hendak menangkapnya juga.
Apakah yang guru susallkan, padahal ketiga penyakit itu tak ada pada guru"
Melihat mata guru memandang saya, saya tahu bahwa guru kurang percaya akan perkataan
saya, sebab menilik kepada kerendahan derajat saya, seorang parewa. Tetapi guru, janganlah
dibiarkan banyak-banyak makhluk yang sesat dan tidak mempunyai haluan. Awasllah diri guru
sebelum jatuh ke dalam jurang. Saya mengetahui benar bahwa guru alim dan berpengetahuan,
tetapi liku-liku hidup belum banyak guru lalui. Seruan dan pemandangan saya adalah seruan
dan pandangan dan seorang yang telah mengalami seorang yang telah menderita, memberi
ingat kepada temannya, supaya teman itu jangan sesat dan tergelincir. Sebab mudah orang
jatuh ke lurah yang dalam, dan sukar membangkitkan dari dalam lurah itu.
Salah sekali kalau orang sebagai guru menyangka kebahagiaan ada pada rumah yang indah,
atau pada wang berbilang, atau pada perempuan yang cantik. Kalau demikian apakah akan
obahnya guru seorang yang terdidik budiman dengan orang-orang zaman kini. Orang yang
sampai gugur rambut di kepada mencari wang kian kemari, tetapi dia tidak hendak puas,
hanyalah semata-mata lantaran diperintah oieh senyuman perempuan.
Lihat anak-anak muda zaman sekarang, yang menangis tersedu-sedu meminta belas kasihan
perempuan, mau dia berkorban, sengsara, Nina, hanyalah mencari apa yang disebut orang
cinta. Sa lah persangkaan yang demikian, hai guru muda. Cinta bukan mengajar kita lemah
tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan
semangat. Jika kita dikecewakan oleh perempuan pada hari ini, ada dua jalan ditempuh orang, satu jalan
ditempuh oleh orang yang hina yang rendah budi. Satu jalan pula ditempuh oleh orang yang
dalam pikirannya. Yang ditempuh oleh parewa ialah membalaskan dendam dengan jalan
menganiaya. Dicarikannya pekasih atau kebenci kian kemari, dituntutnya ilmu sihir kepada
dukun-dukun yang pandai, sehingga perempuan itu cerai dengan suaminya, atau kena sijundai
dan parendangan. Cinta yang demikian namanya kekejaman, dia menganiaya bukan mengasihi,
mementingkan kesenangan seorang. Dan itu bukan budi dan cinta, tetapi nafsu yang serendahrendahnya.
Bukan begitu jalan yang ditempuh budiman. Jika hatinya dikecewakan, dia selalu mencari usaha
menunjukkan di hadapan perempuan itu, bahwa dia tidak mati lantaran dibunuhnya. Dia masih
hidup, dan masih sanggup tegak. Dia akan tuniukkan di hadapannya dan di hadapan suaminya
bahwa jika maksudnya terhalang di sini, pada pasal lain dia tidak terhalang. Guru sendiri yang
mengajarkan kepada saya, dan sekarang saya kembalikan kepada guru, [152] bahwa banyak
orang benar-besar yang kalah dalam percintaan, lantaran kekalahan itu dia ambil jalan lain, dia
maju dalam politik, dalam mengarang syair, dalam mengarang buku, dalam perjuangan hidup,
sehingga dia naik ke atas puncak yang tinggi, yang perempuan itu wajib melihatnya dengan
menengadah dari bawah. Dengan itu; biar hatinya sendiri hancur dalam kekecewaan yang
pertama, maka orang banyaklah yang mengambil hasilnya."
Dalam sekali nasehat-nasehat yang diberikan oleh Muluk, tercengang Zainuddin memikirkan,
tidak disangkanya bahwa temannya itu, yang pada lahir dicap seorang parewa, tetapi pada
batinnya seorang guru yang telah banyak sekali meminum air hidup. Sehingga di dalam Muluk
berkata-kata itu teringatlah di hati Zainuddin bahwa selama ini belum ada dia beroleh seorang
sahabat tempat menumpahkan perasaan hati, yang serupa dengan Muluk itu.
"Saya lihat guru pandai mengarang," Muluk meneruskan tuturnya, "banyak buku-buku terletak
di atas meja guru banyak karangan-karangan dan hikayat-hikayat. Mengapa itu tidak guru
teruskan?" "Kalau pikiran tertutup bagaimana hendak mengarang?" keluh Zainuddin.
"Kata orang ketika ditimpa hal-hal yang seperti inilah terbuka pikiran membuat karangan,"
jawab Muluk. "Benar segala perkataanmu, bang Muluk, tidak ada yang salah. Segala yang tersebut itu telah
saya usahakan, telah saya ketahui. Tetapi itulah; saya akui pula semangat saya yang lemah
yang tak dapat mencapai kemenangan di dalam perjuangan mencari mana yang lebih benar.
Tetapi saya ingat pula bahwa segala yang kejadian itu mesti kejadian, kesusahan mesti datang
menimpa, dilukai mesti berdarah, dipukul mesti sakit. Cuma sesudah luka tentu ada pula masa
sembuhnya, sesudah bengkak ada mass surutnya. Mulai waktu ini saya akan berusaha
memperbaiki jalan pikiran saya kembali. Saya tidak akan mengingat dia lagi, saya akan
melupakan dia! [153] Ada pun kesakitan yang mengenai hati, moga-moga dapatlah disembuhkan Tuhan dengan
berangsur. Tetapi .........."
"Tetapi apa lagi?" tanya Muluk.
"Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan
ditempuh di zaman depan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke
tanah Jawa. Di tanah Jawa nasehat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula
kalau Padang Panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!"
"Sudah tetapkah keputusan demikian?" "Tetap!"
"Saya mesti ikut!" kata Muluk. "Saya tertarik dengan guru. Sebab itu bawalah saya menjadi
jongos, menjadi pelayan, menjadi orang suruhan di waktu siang di dalam pergaulan hidup, dan
men jadi sahabat yang setia fang akan mempertahankan jika guru ditimpa susah!"
Dengan muka sangat girang Zainuddin menentang mata Muluk: "Benarkah abang mau pergi
dengan daku?" "Benar, sebab dari pada guru banyak kebaikan yang akan saya contoh, saya hendak menuntut
penghidupan yang baru menanggalkan baju perewa saya. Saya hendak tunduk dan kembali ke
jalan benar, karena sejauli-jauh tersesat, kepada kebenaran jugalah kita akan kembali."
"Saya pun perlu berdamping dengan abang, kita tidak berpisah lagi, banyak pula kebaikan dan
faham yang dalam-dalam yang perlu saya ambil dari pada abang Muluk."
"Sampai mati menjadi sahabat," kata Muluk.
"Sampai mati menjadi sahabat." kata Zainuddin pula, sambil bersalam-salaman yang lama sekali
............. Seminggu di belakang itu kelihatan Zainuddin dengan Muluk di atas dek kapal "Sloet v/d Beele"
yang akan berlayar dari Teluk Bayur ke Tanjung Periuk. [154]
17. JIWA PENGARANG KATA setengah orang ilmu mengarang itu diperdapat lantaran dipelajari; diketahui nahwu dan
saraf bahasa dan dibaca karangan pujangga-pujangga lain dan menirunya, bisa orang menjadi
penga rang. Banyak diperbuat orang aturan mengarang, mesti begini, mesti bagitu, tak boleh
salah. Tetapi bilamana kita lihai karangan pujangga yang sejati senantiasa berlain susunannya
dengan lain pujangga. Seorang pengarang, bilamana dibaca orang karangannya, orang tertarik
dengan kesulitan bahasa yang dipakainya. Yang lain pula, bahasanya tidak begitu
diperdulikannya, kadang-kadang menyalaN kepada kebiasaan orang lain, bahkan menyalahi
nahwu dan saraf yang terpakai pada lazim, tetapi lebih enak orang membaca karangan itu.
Di tanah Indonesia ini, umur kesusasteraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk
memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh
pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya.
Zainuddin! ................
Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang
lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi,
bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang
terbengkalai, terutama di dalam bahagian hikayat. Dikirimnya kepada surat-surat kabar harian
dan mingguan. Rupanya karangan-karangannya itu mendapat tempat yang baik, karena halus
susun bahasanya, dan diberi orang [155] honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan
orang yang demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin bangun. Sehingga di
dalam masa yang belum cukup setahun, karangan-karangannya telah banyak tersiar. Tiap-tiap
hari sabtu keluarlah cerita-cerita yang dikarangkan oleh letter "Z," yang amat menarik hati itu.
Kalau pada suatu ketika dicobanya menghentikan mengirim karangan-karangannya, maka
datanglah surat hopredaktur meminta karangan yang baru, karena langganan-langganan telah
mendesak, mengapa minggu yang lalu tak ada karangan dari letter "Z." Jika dahulu dia sendiri
yang pergi ke kantor surat kabar mengantarkannya, diterima dengan dibolak balik lebih dahulu;
sekarang redaksi surat kabar itulah yang datang merninta karangan kepadanya. Beberapa
mingguan dan harian memberikan honorarium yang pantas. Bahkan dalam masa yang -tidak
lama kemudian, direktur dari satu surat kabar harian telah datang ke rumahnya menawarkan
pekerjaan menjadi redaksi dalam surat kabar itu, spesial mengatur. ruangan hikayat, roman dan
syair. Tetapi dia tidak mau, karena ia mempunyai cita-cita lain.
Setelah dia tahu bahwa buah penanya telah menjadi perhatian umum, mengertilah dia bahwa
inilah tujuan yang tetap dari hidupnya. Dari pada bekerja di bawah tangan orang lain, lebih
suka dia mengeluarkan dan membuka perusahaan sendiri. Oleh karena kota Surabaya lebih
dekat ke Mengkasar, dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka bermaksudlah dia
hendak pindah ke Surabaya, akan mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan
modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia.
Dengan kemauan yang tetap, dia bersama Muluk meninggalkan kota Jakarta, yang di kota itu
dia telah mendapat modal paling besar, yaitu letter "Z" yang kelak akan dipergunakan menco
ba nasib di kota Surabaya itu. Cita-citanya dengan buku-buku yang dikarangnyaialah
menanamkan bibit persatuan rakyat dari segenap kepulauan tanah airnya, mempertinggi
kecerdasan kaum perempuan, [156] menghapuskan adat-adat yang telah lapuk, menegakkan
kemajuan yang sepadan dengan bangsanya. Ceritanya amat menarik hati orang. Karena
bilamana dia menggubah hikayat-hikayatnya, dinantinya dahulu waktu yang tenang dan sepi.
Segenap kesedihan yang berlungguk-lungguk dalam hati sanubarinya sejak dia kecil, itulah yang
ditumpahkannya ke dalam kalangan-karangan dengan wajah yang sejelasjelasnya.
Ingatan seorang ibu kepada anaknya, ratap tangis seorang anak atas kematian ibunya, karena
ibunya sendiri memang tak ada lagi. Jikalau dia melukiskan cinta, sebenar-benar cintalah yang
digambarkannya. Kekecewaan hati, keremukan pikiran, pikiran yang seoang buntu nasib
seorang yang hidup sebatang kara, semuanya itu digambarkannya dalam karangannya, dengan
wajah yang seielas jelasnya. Karena orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang
yang tertawa; orang yang bergirang tak dapat melukiskan tangis orang yang bersedih.
Pengarang dari kalangan bangsawan amat sukar menceriterakan penghidupan dari pak tani di
pondok yang buruk. Tidak heran, kalau sekiranya karangannya mendapat penerimaan yang baik dari pada
pembacanya. Di dalam hal yang demikian, ada pula tabiatnya yang sangat mulia. Yaitu kasih sayang kepada
fakir dan miskin, sangat iba kepada perempuan-perempuaii tua yang meminta-minta di tepi
jalan. Kalau sekiranya ada orang dagang anak Sumatera atau anak Mengkasar yang terlantar di
kota Surabaya dan dagang meminta tolong kepadanya, tidaklah mereka akan meninggalkan
rumah itu dengan tangan kosong. Ketika diketahuinya bahwa di kota itu ada perkumpulan anakanak Sumatera yang bekerja memburuh atau ditempattempat yang lain, sudi pula dia memasuki
perkumpulan itu. Segala iuran diisinya, kadang-kadang lebih dari yang dibayar orang lain.
Karena demikianlah ahli seni, tak perduli kepada wang Karena kekayaan yang sangat dicita-cita
oleh ahli seni bukan kekayaan wang, tetapi kekayaan bahagia, kekayaan alam yang tercurali
kedalam kalbunya. [157] Seorang ahli gambar, kalau gambarnya laku dan dibeli oleh sebuah kantor yang mengumpulkan
barang seni dan diietakkan di sana, maka diwaktu perutnya lapar dan wangnya habis, merasa
kenyanglah dia, jika dia pergi pula kembali ke dekat gambar itu, melihat rupa dan wajah orangorang yang lalu lintas di hadapan gambar itu. Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana
pun putus asa hidupnya, kalau pada suatu hari dilihatnya orang sedang membaca buku itu
dengan asyiknya, dia lupa kepayahan dan keputus-asaannya itu.
Karena kemuliaan budi dan kebaikan hatinya, yang tiada suka mengganggu orang lain, lagi suka
menghormati pikiran orang lain, dalam sedikit masa pula, namanya telah harum dalam
perkumpulan "Anak Sumatera" itu. Sehingga tidak berapa lama kemudian, atas anjurannya
sendiri didirikan suatu perkumpulan tonil dengan nama: "Andalas" nama asli Pulau Sumatera.
Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia termasyhur dengan nama
samaran letter "Z," pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan-sandiwara "Andalas" ...
Demikianlah ilham yang dibawa oleh cinta yang suci. Cinta yang suci adalah laksana setetes
embun yang turun dari langit ke atas bumi Allah ini. Jika sekiranya bumi yang menerimanya itu
subur, maka tumbuhlah di atasnya beraneka warna bunga-bungaan yang harum semerbak.
Menanamkan damai, aman, sentosa, insaf, rasa percaya kepada diri sendiri. Dalam hal yang
begini, embun "cinta" yang setetes itu membawa manusia yang di titiknya ke mayapada yang
mulia. Tetapi jika dia jatuh ke bumi yang tak subur, yang tandus dan penuh batu-batu, tidak
ada yang akan tumbuh di sana, lain dari sirili memanjat batu, kuning daunnya lemah
gagangnya. Orang itu menjadi putus asa, pencemburu kepada sama manusia, hilang
kepercayaan kepada nikmat yang tersimpan di dalam hidup. Atau menjadi seorang pembenci,
kurang percaya, kadang-kadang pendendam dan sakit hati ......
Maka adalah cinta kepada Hayati dan pengliarapan yang [158] terputus yang memuarakan jiwa
dan semangat baru dalam perjuangan hidup anak muda itu, ke lautan yang luas!
"Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalani. Meski pun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu,
tiadalah dapat, Tetapi harus patuh kepada perintahnya."
18. SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH
Surat yang pertama. Sahabatku Khadijah! Setelah selesai perkawinan kita, rupanya kita mesti berpisah sejauh ini; kau ke Medan
menurutkan suammu, karena dia saudagar dan saya ke Padang nwnurutkan suamiku, karena
dia makan gaji. Meski pun bagaimana kesenangan yang diberikan Aziz kepadaku, namun saya masih tetap
teringat kepada kau. Kapankah kita akan bertemu kembali, mengulang jejak masa muda,
semasa masih bebas mengiraikan sayap.
Memang amat ganjil hidup yang mesti kita tempuh. Mula-mula saya cintai orang lain, anak
muda lain, menurutkan hati yang tidak bertimbangan, tetapi takdir Tuhan menentukan saya
mesti rnenjadi isted Aziz. Benarlah rupanya pepatah pujangga kita tuan Haji Agus Salim, bahwa
bagi bangsa kita, cinta datangnya ialah sesudah kawin.
Khadijah! Kami amat beruntung suami isteri! Justru rupanya perkataan-perkataan orang
membusuk-busukkan suamiku, mengirakan dia suka membuang-buang wang dimeja perjudian.
Kalau itu ada semasa dia masih belum beristed, maka sekarang tak aria lagi. Adalah suamiku
suatu contoh dari suami yang setia.
Kebetulan sekali, baru-baru ini kami dikirim orang dari Surabaya, satu "katalogus" dari hikayathikayat yang dikeluarkan oleh satu pedagang buku Hikayat yang mula-mula kami pesan
bernama "Terusir." Kulitnya dihiasi dengan klise yang indah tetapi menyedihkan hati, terlukis
seorang anak nuda menjinjirg bungkusan kecil disuruh pergi oleh seorang tua [160] yang gagak
memakai saluk. Di sana tertulis: "Pergilah! Negeri kami beradat." Isinya, wahai Khadijah, serupa
dengan nasib anak muda yang menjadi buah tutur kita selama ini, Zainuddin. Saya baca cerita
itu sampai habis, sehingga dengan tidak saya rasai, buku itu telah basah oleh air mata.
Kebetulan penulis yang menanggung jawab hikayat-hikayat yang dikeluarkan itu ialah nama
samaran atau potongan letter "Z."
Mengingat letter itu, dari mengingat isi cerita, saya teringat kembali kepado anak muda yang
telah terpedaya lantaran saya: Zainuddin. Kalau bukan karangannya, mengapa hampir serupa
apa yang dituliskannya dengan yang kejadian itu, tidak berapa bedanya. Tetapi kalau dia,
kadang-kadang saya tak percaya, bahwa anak muda yang pemenung itu akan sanggup menulis
buku seindah itu. Beberapa bulan yang lalu, di surat-surat kabar yang terbit di Jakarta bertemu
pula hikayat-hikayat pendek yang ditulis oleh letter "Z" juga. Isinya amat indah-indah, tetapi
tidaklah seindah hikayat yang terbit di Surabaya ini. Agaknya kau sendiri ada juga membaca
buku baru itu. Kalau memang ini karangannya, alangkah salahnya persangkaan kita kepada anak muda yang
kita sangka kurang akal itu. Rupanya dia mempunyai pikiran tinggi, telah menjadi pengarang
yang besar. Terus terang saya katakan, hikayat-hikayat itu amat menarik hatiku; meskipun
suamiku tidak begitu suka kepada cerita-cerita sedih, hanyalah hikayat-hikayat detektip saja.
Hayati. Surat yang kedua. Sahabatku Khadijah! Berdebar-debar: masih berdebar jantungku ketika surat ini kutulis. Suatu keadaan dan
penghidupan yang baru akan kami tempuh. Perlu sekali rasanya kau tahu, sahabatku.
Ketika suamiku pulang dari pekerjaannya pukul 1 tadi, dia telah merdekatiku, mukanya
kelihatan girang, lebih daripada kegirangannya yang biasa. Diciumnya keningku, sambil
tersenyum dia berkata: Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar.
Pindah ke mana kanda" tanyaku
Cobalah terka, kemana" katanya sambil tersenyum.
Entahlah, jawabku. Kita akan pindah ke Jawa, katanya!
Ke Jawa" tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya!
Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun, kita akan melihat kota Jakarta yang
ramai. Kita akan pergi ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di Surabaya
Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-senyum saja. Baru
sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-barang kami. Dan heran sekali
Khadijah! Debar jantungku kian keras, menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu
kegirangan. Sehendaknya tentu begirang amat saya menerima kabar kepindahan itu, sebab inilah saya lihat
cita-cita tiap-tiap isteri yang suaminya makan gaji. Sedangkan kau sendiri ketika akan ke
Medan, malam tasakan kau cabik supaya lekas siang. Payah saya menetapkan dan meneguhkan
hati, debarnya masih tetap saja, seakan-akan ada rasanya bahaya yang akan kutempuh di
tanah Jawa itu. Ah, itu hanya was-was, biarlah saya coba memenanginya. Apa lagi saya cukup percaya kepada
suamiku. Kalau sekiranya engkau masih ada di rumah, Khadijah, tentu engkau akan turut mengantarkan
daku ke Teluk Bayur, mengipas-ngipaskan sapu tanganmu melepas kami berlayar, yang harinyu
sudah terlalu dekat sekali ....
Sudah putus, kami akan pindah, harinya sudah amat dekat. Agaknya setelah sampai di tempat
kediaman yang baru, barulah dapat saya mengirim surat pula kepadamu.
Bilakah kita akan bertemu lagi Khadijah"
Hayati [162] Surat yang ketiga. Sahabatku Khadijah! Sejak menjejak tanah Jawa, sesudah menyatakan bahwa saya telah sampai bersama suami
saya dengan selamat, belum pernah saya lagi berkirim surat, sudah hampir 3 bukn lamanya.
Heran tercengang engkau agaknya, apakah sebab saya, yang serajin itu selama ini menulis,
sekarang terhenti saja, padahal banyak keadaan-keadaan di tanah Jawa, keindahan alam,
kecantikan kota yang patut diterangkan kepadamu
Tertahan-tahun saya menulis sekali ini. Tetapi ada satu perasaan yang menyatakan hati saya
menerangkannya, yaitu persahabatan kita, bukan pertalian ipar bisan kita:
Khadijah! Bagaimana namanya saya ini" Mengapa seakan-akan onang yang karam masuk laut
saya rasanya, tidak akan timbul-timbul lagi, setelah menjejak tanah Jawa ini"
Sebelum melangkahkan kaki masuk kapal di pelabuhan Teluk Bayur, darahku berdebar-debar,
seakan-akan ada bahaya yang akan kutempuh. Tetapi perasaan itu saya tekankan saja.
Sekarang telah timbul hal-hal yang menyebabkan debar darah itu kembali terasa. Yaitu entah
apa sebab karenanya, jauh berbeda perangai suamiku dari dahulu, seketika mula-mula kawin.
Saya masih ingat, lebih kurang setengah tahun kami di Padang, hidup bersuka ria, ke mana
suamiku ke sana saya. Tetapi sekarang bila dia pulang dari pekerjaan, senyumnya tidak seperti
senyum yang dahulu lagi, sudah nampak dibuat-buatnya. Saya tidak pula berani menyangka
bahwa hatinya telah berubah terhadap diriku itu sekali-kali tidak. Cuma saya hendak
menegaskan, bahwa harga pemandangannya kepadaku telah banyak berbeda. Jika di masa
yang lalu, duduk di dekatku menjadi kesenangannya, atau berjalan berdua memakan angin sore
menjadi kenikmatan hidup kami, sekarang telah bertukar. Duduk di rumah dia gelisah, larut
malam baru dia pulang. Saya tak cemburu kepadanya. Dan katanya pula, dia berjalan
menziarahi handai tolan, sahabat dan kenalan. Kalau dia menjawab demikian, saya cukup
percaya. Yang saya herankan pula, jika semasa kami tinggal di Padang, gaji yang diterimanya mencukupi
untuk hidup kami, sekarang tidak lagi. Sudah kerap kali kami kekurangan, sudah kerap kali kami
mengeluh lantaran belanja tak mencukupi, padahal gaji jauh lebih naik dari di Padang. Akan
kukatakan bahwa hal itu lantaran harga makanan terlalu mahal di Surabaya, itu pun tidak pula;
penghidupan tidak berapa berbeda dari di kampung kita.
Kalau bukan mengingat bahwa engkau sahabatku, haram saya berani menyatakan ini kepada
saudara perempuan suamiku. Tetapi saya kenal kejujuran hatimu kepadaku, say kenal engkau
pengasih dan penyantun. Pembicaraanmu amat berpengaruh kepadanya, itulah sebab saya
sampaikan. Dan ketahuilah olehmu sahabat, bahwasanya kasih sayangku sedikit pun tak
berubah kepadanya. Jika kiranya dia lupa, biarlah dia kembali sadar. Marilah kita perbaiki
bersama-sama. Hayati. Balasan Khadijah. Sahabatku Hayati. Suratmu yang terakhir ini sahabat, sangat mengherankan hatiku. Engkau terlalu banyak waswas, terlalu banyak ngelamun. Sebenarnya Aziz tetap cinta kepadamu, sejati dan suci. Tidak
ada niatnya hendak berkhianat kepadamu dalam negeri yang sejauh ini. Tuduhanmu atas
perubahan hati suamimu terlalu berat. Agaknya dia kurang banyak di rumah adalah mencari
ikhtiar yang lain untuk pencukupkan penghidupan. Karena banyak juga saya lihat, belanja
rumah tangga itu, beres atau tidaknya, bukan bergantung kepada laki-laki, tetapi tiangnya
kebijaksanaan si isteri juga ........ Teguhkanlah hatimu kembali jangan engkau kurang percaya
kepada suamimu, di rantau yang sejauh ini.
Khadijah [164] 19. CLUB ANAK SUMATERA SORE, sesudah meminum semangkuk teh, ketika Hayati duduk bersama suaminya, datanglah
seorang loper mengantarkan surat undangan, demikian bunyinya:
Tuan yang terhormat Ini malam akan diadakan pertunjukan di dalam gedong Club kita suatu cerita tonil karangan
tuat Shabir (lebih populer dengan nama samaran penulis "Z"). Diharap supaya tuan datang
bersama isteri untuk memperhatikan kesenian permainan dari ciptaan pikiran pengarang kita
yang telah mulai meningkat tangga kemasyhuran itu.
Hormat Pengurus Undangan itu disertai pula dengan sepucuk surat tersendiri dari pengurus Club. Demikian
bunyinya: Tuan Aziz yang terhormat!
Dari beberapa anggota perkumpulan kita "Club Anak Sumatera" kami beroleh kabar, bahwa
telah 3 bulan tuan pindah bekerja di kota Surabaya ini. Setelah sampai kabar itu kepada kami,
inginlah kami hendak berkenalan. Kami percaya sungguh bahwa dalam gerakan sosial yang
seperti ini, tuan beserta isteri tidak akan ketinggalan, terutama pula, club kita - sebagaimana
tersebut dalam Angganan Dasar yang kami kirimkm beserta ini - adalah medan pertemuan
silaturrahim di antara kita anak-anak Sumatera yang hidup di rantau ini.
Kami ambilah peluang ini, yakni nanti malam di Club akan dipertunjukkan suatu cerita tonil
terdiri dari 5 babak, karangan pujangga muda kita, tuan Shabir yang masyhur dengun nama
samaran penulis "Z" ymig telah menerbitkan buku-buku cerita yang masyhur itu.
Pertunjukan hikayat karangan tuan itu hanya dia sendiri yang akan memimpinnya (regiseurnya),
sehingga jalan cerita tentu saja akan cocok dengan cita-cita pengamrang. Dan kalau
pertunjukan ini berhasil baik, maka hasilnya akan didermakan untuk "Studiefonds" yang baru
pula kita dirikan. Berharap sangat kami supaya tuan sudi datang bersama isteri, sebagai langkah pertama den
perkenalm kita seterusnya.
Wassalam Atas nama pengurus "Club Anak Sumatem"
Ketua (tidak terbaca) Penulis (idem). Surat-surat itu sehabis dibacanya, mula-mula hendak dilipatnya saja. Tetapi seketika
diletakkannya, Hayati mengambil den dibacanya pula. Di akhirnya dia berkata: "Bawa adinda
sekali ini, kanda?" "Ah, percuma pergi, tidak menarik kalau cuma tonil bangsa kata, permainannya kurang halus,
bukan seperti tonil Belanda!"
"Meski pun begitu, yang sekali ini bawalah adinda. Adinda hendak berkenalan dengan
perempuan-perempuan orang kita yang ada di sini."
Tak ada alasan lagi bagi Aziz hendak menolak permintaan isterinya. Sehingga setelah kira-kira
pukul 7 malam bersiaplah mereka berdandan dengan pakaian yang rapi, hendak hadir ke
pertunjukan itu. Mereka terlambat datang, mereka dapati permainan telah berjalan kira-kira 15 menit. Gedong
Club itu penuh sesak oleh penonton.
Titel cerita ialah "Berbalik Pulang" suatu hikayat yang mengandung banyak pengajaran dan
ibarat, bagaimana seorang anak muda yang terlalu menurutkan angan-angan, menyangka
bahwa perempuan yang dicintainya itu sesuci-suci dan secantik-cantik perempuan yang ada
dalam dunia. Kemudian baru dia insaf bahwa dia tertipu, bahwa antara khayal dengan hakikat
itu selalu berlawanan. Dia insaf, dia kembali pulang, pulang ke dalam ketenteramannya.
Jalan cerita amat halus, meresap ke dalam hati, meskipun hikayatnya begitu hebat, tetapi kerap
terjadi dalam masyarakat. Apalagi pemain-pemainnya pun pandai membawakan peranan
masing-masing. Selama permainan berjalan, tak kurang-kurang pujian orang kepada pengarangnya. Penulis "Z,"
tuan Shabir, jadi buah tutur penonton. Sehabis pertunjukan, yang telah dapat memakukan pe
nonton kepada kursi masing-masing kedengaranlah suara tepuk tangan yang riuh dalam
gedong itu, memuji jalan cerita. Beberapa pengurus rnenunggu tuan Shabir turun daii belakang
layar tonil, yang dari permulaan sampai penghabisan mengatur jalan cerita dengan asyik dan
hati-hati sekali. Mereka bertungguan, hendak menyampaikan ucapan "selamat." Aziz pun
tertarik dengan [167] hikayat itu. Demikian juga Hayati. Sukar orang yang dapat
mempertunjukkan suatu cerita yang halus dan mengandung kesenian demikian. Tiba-tiba
muncullah pengarang muda itu dari tonil, dia turun ke bawah, diiringkan oleh pemain-pemain
disambut oleh pengurus-pengurus yang menunggu kedatangannya itu, dengan tepuk tangan
riuh. Zainuddin yang telah menukar namanya dengan Shabir!
Dihadapinya orang-orang yang menungguinya itu dengan muka yang tenang dan penuh
senyuman. Lenggang badannya, raut mukanya, jernih keningnya, semuanya telah berobah,
bukan Zainuddin yang penyedih hati yang dahulu lagi, tetapi Zainuddin yang sabar, yang
tenang, cocok dengan namanya yang baru ...... Shabir!
Dengan senyum disambutnya tangan yang diulurkan orang kepadanya, dipeganpya dan
digoyangnya dengan penuh rasa hormat. Tiba-tiba sampailah kepada Aziz dan Hayati.
Muka Hayati pucat sebentar, darahnya tersirap. Dia hendak melihat bagaimanakah bentuk rupa
Zainuddin seketika menentang mukanya dan muka suaminya. Sebab dia ingat betul bagaimana
kesedihan anak muda ini seketika menjabat tarigannya yang telah berinai beberapa tahun yang
lalu, yang membawa sakitnya.
Hanya sebentar, sekejap mata saja kelihatan perobahan muka Zainuddin melihat kedua suami
isteri itu, setelah itu hilang tak kelihatan lagi, hilang di dalam senyumannya yang manis.
"Oh ..... tuan Aziz! Dan...... Rangkayo Hayati! Sudah lama tinggal di kota Surabaya ini?"
tanyanya sambil membungkukkan kepalanya memberi hormat.
"Baru 3 bulan" jawab Aziz!
"Ajaib, sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu." [168]
"Kami pun tidak menyangka," jawab Aziz, "baliwa pengarang temama, ahli tonil yang selain jadi
buah mulut orang lantaran tulisan-tulisannya yang berarti itu adalah sahabat kami, tuan Z."
"Shabir!" katanya menukas pembicaraan itu. "Tidak ada lagi nama yang lama, karena kurang
cocok dengan diri saya. Nama Shabir lebih cocok, bukan?" katanya sambil tersenyum.
"Semua nama cocok buat orang sebagai tuan," sahut Aziz pula!
"Akur ....." kata anggota-anggota lain yang dari tadi tegak tersenyum melihat kedua orang itu
bercengkerama. "Sekarang saya kenalkan tuan-tuan kepada sahabat saya Aziz dan isterinya Rangkayo Hayati,
dari Padang Panjang," ujar Zainuddin kepada teman-temannya.
Maka terjadilah perkenalan di antara orang-orang itu. Mulai sejak malam itu Aziz dan Hayati
telah menjadi anggota dari "Club Anak Sumatera."
Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya yang sekarang adalah
lebih jemih, pakaian yang divakainya lebih mahal dan gagah dari dahulu. Meski pun mukanya
tidak cantik, tetapi cahaya ilmu, pengalaman, penanggungan, cahaya seni, semuanya telah
memberinya bentuk yang baru ....
Pergaulan dalam kota Surabaya pun telah luas, terutama dalam kalangan kaum pergerakan,
dalam kalangan kaum pengarang, wartawan-wartawan, pemimpin-pemimpin rakyat. Tiap-tiap
rembukan yang mengenai kepentingan bangsa, menolong orang yang sengsara, pekerjaan
amal, senantiasalalt Zainuddin, atau Shabir jadi ikutan orang banyak. Dan Muluk adalah
sahabatnya yang setia........
20. RUMAH TANGGA DI RANTAU, hidup orang dagang itu menjadi rapat. Maka sejak hari perkenalan itu, tersimpullah
kembali dengan selekasnya tali persahabatan di antara kedua suami isteri itu dengan Zai
nuddin. Pada raut muka atau sikap dan restu Zainuddin, tidak kelihatan lagi bekas-bekas
penyakit lama. Dua hari setelah pertunjukan itu, Aziz membawa isterinya ziarah ke rumah
Zainuddin. Dan beberapa hari di belakang, Zainuddin bertandang pula ke rumah Aziz. Di
sanalah mereka mengatur budi bahasa yang halus, memperingati zaman yang lampau tatkala di
Boneka Di Taman Sekolah 1 Balada Si Roy 05 Blue Ransel Karya Gola Gong Sumpah Palapa 26

Cari Blog Ini