Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti Bagian 1
TIGA PENGEMIS SAKTI
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 033 :
Tiga Pengemis Sakti
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Hentakan kakinya begitu mantap. Ditapakinya jalan tanah yang berdebu. Matanya
yang bersorot tajam tak berkedip sedikit pun menatap lurus ke depan. Tak ada
senyum sedikit pun tergurat di bibirnya yang merah. Tak dipedulikannya sengatan
matahari. Tak dipedulikan tebalnya debu yang berkepul tersapu angin. Dia terus
melangkah mantap disusunnya jalan tanah berdebu yang penuh oleh batu kerikil
yang berserakan.
Ayunan kakinya baru berhenti ketika dia sampai di depan sebuah bangunan rumah
yang hancur tak terawat. Ditatapnya pohon-pohon rambat yang hampir memenuhi
seluruh dinding bangunan yang terbuat dari batu itu. Guratan-guratan wajahnya
semakin menegang. Sorot matanya yang tajam perlahan-lahan memudar saat merayapi
keadaan rumah yang sudah hancur seperti bekas terbakar di depannya ini.
"Hm.", pasti tidak ada lagi orang di sini,"
gumamnya begitu perlahan.
Hanya sedikit gerakan pada bibirnya saat dia menggumam tadi. Kakinya kembali
bergerak terayun mendekati rumah itu. Dan, kembali dia berhenti setelah berada
sekitar lima langkah lagi di depan pintu yang sudah hancur dan berlubang.
Perlahan kemudian kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.
Dirayapinya keadaan sekitar yang begitu sunyi.
"Eh-eh...!"
Tiba-tiba terdengar deheman kecil dari
belakangnya. Perlahan-lahan diputar tubuhnya berbalik. Dan, keningnya tampak
berkerut ketika dilihatnya seorang laki-laki tua berjubah putih bersih yang
panjang dan longgar telah berdiri di hadapannya.
Seluruh rambut lelaki tua itu sudah memutih.
Bahkan seluruh jenggotnya yang panjang dan menyatu dengan kumis pun sudah
berwarna putih.
Tampak sebatang tongkat kayu putih tergenggam di tangan kanannya. Tongkat itu
menyangga tubuhnya yang sudah bungkuk.
Sesaat, gadis cantik berbaju putih bersih dan ketat itu merayapi sekujur tubuh
laki-laki tua di depannya ini.
"Ada yang kau cari di sini, Nisanak?" tegur laki-laki tua itu, ramah.
Tapi, gadis cantik berbaju putih tidak menjawab sedikit pun. Dia malah
memandangi wajah tua yang sudah banyak kerutannya itu dengan sorot mata yang
tajam, seperti tidak menyukai kehadirannya.
"Siapa kau?" tanya gadis itu.
Suaranya terdengar begitu dingin dan datar. Tak ada sedikit pun tekanan pada
nada suara itu.
Bahkan, gerakan pada bibirnya pun hanya sedikit terlihat saat dia bertanya tadi.
Begitu kaku sikapnya.
Dan, tak sedikit pun terlihat ada keramahan pada wajahnya.
"Orang-orang memanggilku Ki Laksa."
Laki-laki tua itu memperkenalkan diri dengan suara yang terdengar ramah dan
tenang sekali. Bahkan, bibirnya yang hampir tertutup kumis putih terlihat menyunggingkan senyum
yang begitu lembut, penuh rasa persahabatan.
Tapi, keramahan itu sama sekali tidak membuat
gadis cantik di depannya mengubah sikap. Bahkan, bibirnya yang merah terlihat
menyunggingkan senyum sinis, disertai dengusan kecil. Sinar matanya pun tampak
semakin bersorot tajam.
"Dan kau sendiri siapa, Nisanak?"
Laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Laksa itu balik bertanya dengan sikap yang
masih ramah dan tenang.
"Kau tidak perlu tahu namaku...!" balas gadis itu, ketus.
"Maaf, aku harus tahu siapa saja yang datang ke rumah ini, Nisanak. Dan,
terutama aku harus tahu tujuannya datang ke sini," kata Ki Laksa, masih tetap
bersikap ramah.
"Itu urusanku!" sentak gadis itu, kasar.
"Apa pun urusannya, kalau menyangkut rumah ini, menjadi urusanku juga, Nisanak.
Maaf, sudah dua puluh tahun aku menjaga rumah ini. Dan selama ini pula, tidak
ada seorang pun yang bisa
menjamahnya," tegas Ki Laksa.
"Jangan coba-coba memaksaku, Orang Tua. Aku bisa bertindak kasar!" ancam gadis
itu. "Ah..., kenapa kau begitu kasar, Nisanak. Ada kepentingan apa kau dengan rumah
ini...?" ujar Ki Laksa yang agak terkejut mendengar kata-kata ketus tadi.
"Sudah aku katakan, itu bukan urusanmu!" sentak gadis itu, semakin kasar.
"Hm...."
Ki Laksa menggumam. Keningnya yang sudah banyak kerutannya semakin tampak
berkerut Dan, kelopak matanya menyipit Dipandanginya gadis cantik berbaju serba
putih di depannya ini. Kemudian perlahan digelengkan kepalanya beberapa kali
sambil berdecak seperti cecak.
Sungguh dia tidak menyangka bahwa gadis
secantik ini bersikap begitu kasar tanpa sedikit pun menaruh rasa hormat pada
orang yang jauh lebih tua.
Dia pun bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya,
"Siapa sebenarnya gadis ini" Ada urusan apa dia dengan rumah yang sudah hancur
ini...?" namun, tidak ditemukannya satu pun jawaban. Pertanyaan itu tinggal
pertanyaan, yang menggayuti relung hatinya.
Gadis cantik berbaju serba putih itu memutar tubuhnya berbalik. Lalu diayunkan
kakinya mendekati pintu yang sudah hancur penuh lubang.
"Kau tidak berhak masuk ke dalam, Nisanak!"
sentak Ki Laksa.
Gadis cantik berbaju serba putih tampak geram menahan marah. Lalu....
"Tua bangka keparat...! Terimalah ini! Hi-yaaat..!"
Gadis cantik berbaju serba putih memutar tubuhnya dengan cepat. Dan secepat itu
pula, dihentakkan tangan kanannya.
Wusss! Dari telapak tangan kanannya tiba-tiba terlontar beberapa benda bulat berwarna
putih yang berkilat keperakan. Benda-benda berbentuk bulat kecil itu langsung
meluncur cepat bagai kilat ke arah Ki Laksa.
"Hup...!"
Cepat-cepat Ki Laksana melentingkan tubuhnya.
Dilakukannya putaran di udara dengan cepat dan dikebutkan tongkat kayunya
menyampok benda-benda bulat kecil bercahaya keperakan itu. Begitu cepat gerakangerakannya, sehingga tak satu pun benda bulat kecil itu berhasil mengenai
tubuhnya. Dan, dengan manis sekali laki-laki tua berjubah putih itu kembali menjejakkan
kakinya di tanah.
"Bagus...! Rupanya kau punya kepandaian juga.
Orang Tua," desis gadis itu, dingin.
"Hm ..." Ki Laksa hanya menggumam perlahan.
*** "Suiiit..!"
Tiba-tiba laki-laki tua yang memperkenalkan dirinya dengan Ki Laksana itu
bersiul nyaring melengking tinggi. Siulan yang begitu nyaring itu membuat
telinga gadis cantik berbaju serba putih berdenging. Dan, gadis itu tampak
terkejut sekali. Dia tidak tahu, apa yang hendak dilakukan laki-laki tua itu
dengan siulannya yang menyakitkan telinga tadi. Tapi, hanya sekali siulan itu
terdengar. Gadis berbaju serba putih pun tidak perlu mengerahkan hawa murni ke
telinganya. Namun, belum juga gadis itu sempat berpikir lebih panjang lagi, mendadak dari
balik pepohonan dan reruntuhan tembok batu bermunculan orang-orang dengan golok
terhunus. Sebentar saja, tempat itu sudah terkepung oleh tidak kurang dari lima
puluh orang menghunus golok masing-masing.
"Kau lihat, Nisanak. Mereka tidak segan-segan mencincangmu kalau aku
perintahkan. Sebaiknya kau tidak perlu berkeras kepala, Nisanak. Apa maksudmu
datang ke sini...?" ujar Ki Laksa dengan nada mengancam.
"Aku datang untuk mengambil nyawamu, Keparat!"
sahut gadis itu, dingin.
"Perempuan setan...! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, heh...!"
geram Ki Laksa.
"Untuk apa bicara manis denganmu, Perampok Tiga Nyawa!" dengus gadis itu.
"Heh..."! Siapa kau sebenarnya?"
Ki Laksa terperanjat setengah mati saat gadis cantik berbaju serba putih
menyebutnya dengan nama Perampok Tiga Nyawa. Dia sama sekali tidak menyebutkan
nama itu tadi. Tapi, gadis yang baru dilihatnya ini seakan-akan sudah tahu
perihal Perampok Tiga Nyawa.
"Sudah aku katakan, kau tidak perlu tahu siapa aku, Perampok Tiga Nyawa, aku
menginginkan nyawamu. Juga nyawa teman-temanmu!"
"Setan keparat..!" geram Ki Laksa, berang. "Aku bukan si Perampok Tiga
Nyawa...!"
"Aku tahu siapa kau, Pengkhianat. Kau atau mereka sama saja. Dan, sebaiknya kau
gorok lehermu sendiri daripada kau kotori tanganku dengan darahmu!" dengus gadis
itu, ketus. Wajah Ki Laksana seketika memerah. Ditahannya kemarahan yang hampir meluap.
Namun tampak pula Ki Laksa berusaha mengira-ngira, siapa gadis ini sebenarnya.
Dia mencoba mengingat-ingat bekas lawan-lawannya dulu. Tapi, sukar baginya untuk
bisa mengetahui siapa gadis cantik berbaju putih yang usianya paling tidak baru
sekitar dua puluh tahun ini.
"Serang perempuan setan itu...!" perintah Ki Laksa tiba-tiba.
Seketika itu juga, lima puluh orang yang sudah mengepung tempat itu langsung
berhamburan melunak ke arah gadis berbaju putih yang tidak mau memperkenalkan
namanya ini. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar memecah udara di
sekitar halaman depan rumah yang sudah hancur ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba gadis cantik berbaju serba putih melentingkan tubuhnya
ke udara. Dan, secepat
itu pula, dikibaskan kedua tangannya ke segala arah.
Terlihatlah benda-benda bulat kecil keperakan meluncur dari kedua telapak
tangannya. "Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat telinga.
Tampak beberapa orang terjungkal berlumuran darah. Tapi, tidak sedikit pula yang
ternyata berhasil menghindari benda-benda kecil berkilat keperakan itu. Mereka
yang selamat ini segera berlompatan mundur. Dan, terlihat tujuh orang sudah
menggeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh penuh lubang dan mengeluarkan darah.
Dengan manis sekali, gadis cantik berbaju serba putih menjejakkan kakinya
kembali di tanah. Bibirnya yang merah menyunggingkan senyum sinis.
Orang-orang yang tadi hendak mengeroyoknya kini tampak menjauh lagi.
"Setan alas...!" desis Ki Laksa, yang geram melihat tujuh pengikutnya tewas
hanya dalam satu gebrakan.
Gadis itu tetap berdiri tegak dengan bibir masih menyunggingkan senyum tipis
yang begitu sinis.
Tatapan matanya yang menyorot begitu tajam terlihat menantang laki-laki tua
berjubah putih yang berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya.
"Kubunuh kau, Perempuan Setan! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Laksa melompat cepat bagai kilat.
Diterjangnya gadis cantik itu. Tongkat kayunya dikibaskan cepat mengarah ke
kepala, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
Kebutan tongkat yang sangat cepat itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai
topan. "Haiiit..!"
Hanya dengan menarik sedikit kepalanya ke
belakang, gadis cantik berbaju serba putih berhasil menghindari sabetan tongkat
kayu itu. Namun, tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa langsung mengirimkan satu
tendangan keras menggeledek, tanpa menarik kembali tongkatnya yang tidak
mengenai sasaran tadi.
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
Cepat-cepat gadis berbaju serba putih melompat ke belakang. Dilakukannya sekali
putaran. Tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Ki Laksa ke arah lambung
itu pun berhasil dihindarinya dengan manis sekali.
"Hap!"
Gadis cantik berbaju serba putih cepat-cepat menghentakkan tangannya ketika Ki
Laksa melontarkan satu pukulan keras yang begitu cepat Tak pelak lagi, dua tangan pun
beradu keras tepat di depan dada gadis itu.
Plakkk! "Ikh..."!"
Pekikan kecil terdengar. Cepat-cepat gadis cantik berbaju serba putih melompat
ke belakang beberapa tindak. Tampak bibirnya meringis menahan nyeri pada
tangannya yang beradu dengan tangan Ki Laksa tadi. Saat itu juga dia menyadari
bahwa tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dibandingkan laki-laki tua itu.
"Hiyaaat..!
Ki Laksa melompat bagai kilat. Diserangnya gadis cantik berbaju serba putih
sambil melontarkan pukulan beruntun yang begitu cepat sebelum gadis itu bisa
menyadari keadaannya lebih jauh lagi.
"Hup! Yeaaah...!"
*** Gadis cantik berbaju serba putih cepat-cepat melentingkan tubuhnya dan langsung
berjumpalitan di udara. Dihindarinya setiap serangan yang datang secara beruntun
dan cepat itu. Tubuhnya meliuk-liuk dengan indah sekali. Dia sadar bahwa dirinya
tidak mungkin dapat mengadu kekuatan tenaga dalam dengan laki-laki tua berjubah
putih ini. Dia pun terus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang.
"Hiyaaa...!"
Tampaknya Ki Laksa tidak mau membiarkan
lawannya begitu saja. Sama sekali tidak diberikannya kesempatan bagi gadis itu
untuk balas menyerang.
Laki-laki tua ini terus melakukan serangan yang begitu cepat. Pukulannya yang
terlontar selalu menimbulkan suara menderu yang begitu dahsyat.
Bahkan kebutan tongkatnya tidak hanya mengeluarkan suara menderu, tapi juga
menimbulkan hawa panas yang semakin menyengat dan menyesakkan dada.
"Phuih. .!"
Gadis itu mendengus keras sambil menghembuskan napasnya. Dadanya semakin terasa sesak. Semakin sulit baginya untuk
mengatur jalan pernapasan. Terlebih lagi, Ki Laksa terus-menerus menyerang
dengan gencar tanpa memberi sedikit pun kesempatan padanya untuk menghela napas.
Kepala gadis cantik berbaju serba putih mulai terasa pusing.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Ki Laksa meliukkan tubuhnya. Dan, bagaikan kilat disodokkan tongkatnya
yang berujung runcing ke arah dada gadis cantik berbaju putih ini.
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan laki-laki tua itu. Lawannya pun tampak
terperangah. Namun, tanpa diduga sama sekali, mendadak...
"Hih!"
Tap! "Edan...!"
Ki Laksa terkejut setengah mati. Tiba-tiba gadis itu telah merapatkan kedua
tangannya di depan dada.
Ujung tongkat Ki Langkas yang hampir menembus dadanya pun berhasil ditangkapnya.
"Hih!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika Ki Laksa menarik tongkatnya, gadis itu menghentakkan kedua
tangannya ke depan sambil membuka jepitannya pada ujung tongkat berbentuk
Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
runcing itu. Dan, Ki Laksa pun tersentak kaget setengah mati. Namun, karena dia
telanjur mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dan gadis itu pun tengah
menghentakkan tenaga dalam, tak pelak lagi Ki Laksa terpental ke belakang dengan
deras sekali. "Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang kesempatan sedikit pun gadis cantik berbaju serba putih
langsung melompat mengejar Ki Laksa yang terpental ke belakang.
Secepat kilat pula dikebutkan tangan kanannya ke depan.
Wusss! Dua benda berkilat keperakan langsung melesat cepat ke arah laki-laki tua
berjubah putih itu. Tapi, walaupun dalam keadaan tubuh tidak terkendali, Ki
Laksa masih bisa mengebutkan tongkatnya. Dan, disampoknya dua benda bulat
bercahaya keperakan itu.
Trak! "Hup! Hiyaaa...!"
Dengan meminjam tenaga dari lontaran benda itu, Ki Laksa melentingkan tubuhnya
ke udara. Dilakukannya tiga kali putaran, sebelum kakinya kembali menjejak tanah. Namun,
pada saat yang bersamaan, gadis cantik berbaju serba putih melepaskan satu
pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Plak! "Ikh...!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika tangannya yang mengibas ke depan beradu dengan pukulan tangan gadis
itu, Ki Laksa bagaikan kilat melepaskan satu tendangan menggeledek sambil
memutar tubuhnya. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan oleh laki-laki tua
berjubah putih itu. Gadis cantik berbaju serba putih pun tidak dapat lagi
berkelit menghindar.
Bekh! "Akh...!"
Tak pelak lagi, tubuh gadis itu terpental ke belakang sambil mengeluarkan
pekikan keras agak tertahan.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang kesempatan lagi, Ki Laksa langsung melompat cepat bagai
kilat. Dan, secepat itu pula dilepaskannya satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya. Pukulan yang dahsyat
itu kembali menghantam dada gadis ini.
"Aaakh...!"
Kembali gadis cantik berbaju serba putih memekik keras. Tubuhnya terbanting
deras ke tanah. Lalu, dia bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti menabrak
seonggok batu hingga hancur berkeping-keping.
"Cincang dia...!" perintah Ki Laksa, lantang.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Seketika itu juga orang-orang yang sejak tadi hanya menjadi penonton berhamburan
dan berteriak-teriak sambil mengebutkan senjata di atas kepala.
Mereka langsung meluruk deras ke arah gadis cantik berbaju serba putih, yang
tampak sedang berusaha berdiri sambil mengeluh.
Gadis itu merasakan sesak dan nyeri pada dadanya. Sulit sekali baginya untuk
bisa berdiri. Pukulan dan tendangan yang diterimanya dari Ki Laksa tadi begitu keras.
Sedangkan para pengikut Ki Laksa tampak semakin dekat saja. Tapi, ketika gadis
itu mulai bersikap pasrah tiba-tiba....
"Ghraaaugkh...!"
"Hah..."!"
"Ohhh..."!"
Para pengikut Ki Laksa langsung berhenti terpaku ketika tiba-tiba terdengar
raungan yang begitu keras menggelegar. Tanah yang mereka pijak pun terasa
bergetar bagai diguncang gempa. Dan, belum lagi keterkejutan mereka lenyap,
mendadak berkelebat sebuah bayangan yang langsung menyambar tubuh gadis cantik
berbaju serba putih yang masih tergeletak di tanah.
Slap! Secepat kilat pula bayangan itu kembali berkelebat setelah berhasil menyambar
tubuh gadis yang tergeletak tadi. Dan dalam sekejap mata, bayangan
itu langsung lenyap bersama gadis cantik berbaju serba putih yang sudah tidak
berdaya lagi. Tak ada seorang pun yang sempat menyadari keadaan ini, kecuali Ki
Laksa yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, walaupun dia sendiri tidak bisa
melihat dengan jelas bentuk bayangan yang berkelebat begitu cepat itu.
"Setan...!" geram Ki Laksa.
Sementara itu para pengikut Ki Laksa masih terlongong kebingungan. Gadis yang
hampir mereka cincang tadi sudah lenyap tak berbekas lagi, bagaikan tertelan
bumi. *** 2 Ki Laksa berdiri tegak di beranda depan sebuah rumah besar. Matanya menerawang
jauh ke depan. Di belakangnya, terlihat tiga laki-laki setengah baya, yang masing-masing
berbaju merah, kuning, dan biru, duduk di kursi memandanginya. Perlahan Ki Laksa
memutar tubuhnya sambil menghembuskan napas panjang. Kemudian dia melangkah
beberapa tindak, lalu duduk di kursi yang melingkari sebuah meja yang bagian
atasnya berbentuk bulat dan terbuat dari batu pualam putih yang berkilat seperti
permukaan air. Tiga laki-laki setengah baya yang berbaju merah, kuning, dan biru itu sebutan
tiga bersaudara yang dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Ketiga-tiganya
adalah tokoh tua rimba persilatan yang berkepandaian tinggi dan sukar dicari
tandingannya. Mereka memiliki sebuah ilmu yang sangat aneh dan langka, yang dikenal dengan
nama ilmu 'Tiga Nyawa'.
Dengan ilmu yang luar biasa ini mereka dapat membangkitkan kematian salah
seorang dari mereka sendiri. Jika salah seorang tewas, yang lainnya akan
membangkitkan lagi dengan hanya melompatinya.
Sedangkan nama mereka biasanya dikenal menurut warna pakaian yang dikenakan.
"Kau yakin tidak mengenali gadis itu, Ki Laksa?"
tanya Nyawa Biru.
'Tidak. Baru kali itu aku melihatnya. Dan lagi aku yakin, dia bukan penduduk
Desa Gebang," sahut Ki Laksa.
Ki Laksa memang sudah menceritakan semua
peristiwa yang baru dialaminya di depan rumah kosong yang sudah hancur tadi.
Tidak ada sedikit pun yang dikurangi, kecuali gerungan dahsyat yang didengarnya
sebelum gadis cantik berbaju serba putih menghilang disambar sebuah bayangan
yang tidak diketahui bentuknya itu. Karena, dia sendiri masih belum tahu, siapa
yang mengeluarkan gerungan dahsyat itu.
"Tapi untuk apa dia datang ke rumah Ki Satria?"
tanya Nyawa Merah.
"Itulah yang aku tidak tahu. Sama sekali dia tidak mengatakannya. Dia hanya
bilang, dia datang untuk mencariku dan kalian bertiga."
"Cobalah kau ingat-ingat lagi, Ki Laksa," kata Nyawa Biru.
"Aku benar-benar tidak mengenalnya. Dan baru kali itulah melihatnya. Tapi...,"
ucapan Ki Laksa terputus.
"Tapi apa, Ki...?" desak Nyawa Biru.
"Dia sudah mengenalku. Dan bukankah dia
mengatakan aku mengkhianat," ujar Ki Laksa pelan sekali. "Katanya, dia datang
ingin mengambil nyawa kita semua."
Ketiga laki-laki berusia setengah baya yang berjuluk Perampok Tiga Nyawa itu
tampak terkejut Mereka melemparkan pandang satu sama lain, kemudian sama-sama
menatap pada Ki Laksa, yang duduk tepat di samping Nyawa Kuning. Beberapa saat
mereka terdiam.
"Aku tahu siapa dia, Ki," ujar Nyawa Merah, memecah kebisuan.
"Kau jangan main-main, Merah. Ini bukan
persoalan yang ringan. Gadis itu datang untuk mengambil nyawa kita semua...!"
dengus Ki Laksa.
"Kau masih ingat peristiwa lima belas tahun yang lalu, Ki Laksa..." Bukankah
gadis itu mengatakan bahwa kau pengkhianat" Dia sudah tahu siapa dirimu, bahkan
kami bertiga. Aku yakin, kau tidak bisa lupa dengan peristiwa lima belas tahun
lalu itu," kata Nyawa Merah sambil menatap begitu dalam pada Ki Laksa.
Ki Laksa hanya terdiam dengan pandangan
menerawang jauh ke depan. Tentu saja dia tidak akan melupakan peristiwa lima
belas tahun yang lalu itu, peristiwa yang membuatnya sekarang ini memiliki
kedudukan yang sangat penting di Kerajaan Kalarang. Dia telah menggantikan
kakaknya menjadi orang kepercayaan Raja Kalarang. Tapi bagai-manapun, dia tetap
tinggal di Desa Gebang, desa kelahirannya.
"Aku yakin, dia pasti Intan Kumala," kata Nyawa Merah.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..." Di mayapada ini, sesuatu yang dianggap tidak mungkin bisa saja
terjadi tanpa dapat kita ketahui sebelumnya," kata Nyawa Merah lagi.
"Mana mungkin dia bisa hidup setelah jatuh ke dalam jurang yang begitu
dalam...?" ujar Ki Laksa, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku rasa memang gadis itu Intan Kumala, Ki,"
selak Nyawa Biru. "Tidak ada seorang pun yang melihat mayatnya ke dalam jurang.
Dan kau sendiri tidak mau melihatnya, Ki."
Ki Laksa kembali terdiam. Memang tidak ada yang turun ke jurang untuk melihat
Intan Kumala yang jatuh ke dalamnya ketika itu. Tapi, waktu itu mereka begitu
yakin bahwa Intan Kumala sudah tewas. Suatu
hal yang sulit dipercaya kalau orang yang tercebur ke dalam jurang yang begitu
dalam itu masih bisa selamat. Dasar jurang itu saja tidak terlihat. Apalagi,
saat itu Intan Kumala masih berusia empat tahun. Dia masih terlalu kecil untuk
bisa hidup dalam dasar jurang yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut tebal
yang abadi. Tapi, kemunculan gadis tak dikenal itu membuat hati Ki Laksa bimbang juga.
Terlebih lagi, tiga laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan Perampok
Tiga Nyawa, ini seperti yakin benar bahwa gadis itu adalah Intan Kumala.
*** Entah berapa lama Ki Laksa terdiam membisu.
Sedangkan malam sudah semakin larut menyelimuti seluruh wilayah Desa Gebang. Tak
ada lagi seorang pun terlihat di jalan-jalan desa itu. Sesekali terdengar suara
kentongan dipukul peronda malam, yang disambut nada pilu suara burung malam.
"Sudah larut malam, Ki. Sebaiknya kau tidur," kata Nyawa Merah.
"Heh...!"
Ki Laksa hanya mendesah. Begitu panjang
desahan napasnya. Dia berpaling sedikit. Ditatapnya tiga laki-laki setengah baya
yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu. Mereka masih tetap duduk
di kursi masing-masing menghadapi meja bundar dari batu pualam yang putih dan
berkilat Beberapa guci arak terlihat menggeletak di atas meja itu.
Tiga laki-laki setengah baya itu saling melemparkan pandang. Mereka tahu, hati
Ki Laksa sedang
diliputi kegundahan dengan munculnya seorang gadis yang belum dikenali dengan
pasti. Namun, mereka menduga bahwa gadis itu adalah Intan Kumala.
Dugaan inilah yang membuat hati Ki Laksa gundah.
"Kalian pergi tidur dulu," kata Ki Laksa.
Perampok Tiga Nyawa bersamaan bangkit berdiri Namun, mereka tidak segera
beranjak meninggalkan beranda. Sedangkan Ki Laksa melayangkan
pandangannya kembali ke depan. Pada saat itu, terlihat laki-laki yang tampaknya
sudah berusia lanjut, berjalan perlahan-lahan.
Di bawah cahaya bulan yang bersinar penuh, dapat dilihat cukup jelas, laki-laki
tua itu mengenakan pakaian penuh tambalan yang kumal dan memudar warnanya. Dia
menggenggam tongkat kayu di tangan kiri yang membantunya melangkah. Sedangkan di
tangan kanannya tergenggam sebuah mangkuk dari batok kelapa. Laki-laki tua yang
tampaknya seorang pengemis itu berhenti tepat di depan pintu pagar bambu rumah
Ki Laksa. Kemudian dia berpaling dan menatap langsung pada Ki Laksa yang berdiri
bersandar pada tiang beranda.
"Mau apa pengemis itu malam-malam datang ke sini...?" gumam Nyawa Kuning,
seperti bertanya pada diri sendiri.
Perampok Tiga Nyawa secara bersamaan mendekati Ki Laksa, lalu berhenti beberapa
langkah di depan laki-laki tua berjubah putih itu. Pandangan mata mereka terus
tertuju pada pengemis tua yang masih tetap berdiri di depan pintu pagar.
"Pengemis Mangkuk Putih...," desis Nyawa Biru begitu melihat mangkuk batok
kelapak berwarna putih di tangan kanan pengemis tua itu.
Slap! Tiba-tiba pengemis tua itu lenyap dari pandangan mata. Ki Laksa dan Perampok
Tiga Nyawa pun terperanjat setengah mati. Namun, tiba-tiba secara serempak si
Perampok Tiga Nyawa berlompatan keluar dari beranda. Begitu tingginya ilmu
meringankan tubuh yang mereka miliki. Dalam waktu yang sangat singkat ketiga
laki-laki berusia setengah baya itu pun sudah berada di tengah-tengah halaman
yang luas dan berumput di depan beranda.
"Kau lihat ke mana perginya Pengemis Mangkuk Putih itu, Merah?" tanya Nyawa
Bini, perlahan.
Namun, belum sempat Nyawa Merah menjawab, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan
meluruk deras bagai kilat ke arah Perampok Tiga Nyawa.
"Awas...!" seru Nyawa Kuning. "Hup...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera berlompatan menyebar. Dihindari oleh mereka
terjangan bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat itu. Tepat di saat ketiga
laki-laki berusia setengah baya itu menjejakkan kaki di tanah, tahu-tahu di
tengah-tengah mereka sudah berdiri seorang laki-laki tua berpakaian kumal dan
compang-camping penuh tambalan. Laki-laki tua inilah yang tadi mereka lihat
berada di depan pintu pagar.
"Kalau kau mencari derma, bukan di sini
tempatnya. Pengemis Tua!" seru Ki Laksa lantang, sambil melangkah menuruni anak
tangga beranda depan rumahnya.
"Aku datang bukan untuk mencari derma, Ki Laksa. Aku datang untuk menuntut
tanggung jawabmu!" sahut pengemis tua itu dengan tegas dan dingin.
"Heh..."! Lancang sekali bicaramu, Pengemis
Busuk!" bentak Ki Laksa.
Ki Laksa berhenti melangkah. Kini jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi di
depan pengemis tua yang berjuluk si Pengemis Mangkuk Putih itu. Sedangkan si
Perampok Tiga Nyawa mengambil tempat sekitar dua langkah di belakang Ki Laksa.
Sementara itu si Pengemis Mangkuk Putih tetap berdiri tegar. Tongkat kayu yang
tergenggam di tangan kirinya tampak menekan tanah di ujung jari kakinya.
"Sebenarnya aku tidak ingin berurusan denganmu, Ki Laksa. Tapi kau sudah
memulainya lebih dahulu,"
kata Pengemis Mangkuk Putih, dengan nada suara masih terdengar dingin.
"Kau jangan coba-coba cari urusan denganku, Pengemis Tua. Apa yang kau inginkan
dariku...?"
sentak Ki Laksa, lantang.
"Tidak perlu lagi aku menjelaskannya padamu, Ki Laksa. Aku datang hanya ingin
meminta tanggung jawabmu."
"Edan...! Ada urusan apa sampai aku harus bertanggung jawab padamu?" dengus Ki
Laksa. "Perbuatanmu pada muridku siang tadi," sahut Pengemis Mangkuk Putih.
"Ha ha ha...!"
Ki Laksa tertawa terbahak-bahak. Kini dia tahu, kedatangan pengemis tua itu
malam-malam begini ke rumahnya adalah untuk meminta tanggung jawabnya karena
siang tadi dia hampir menewaskan seorang gadis. Dan, Ki Laksa juga sekarang
tahu, gadis itu adalah murid si Pengemis Mangkuk Putih ini. Dan, yang menolong
gadis itu dari maut di ujung tongkatnya pun sudah pasti si Pengemis Mangkuk
Putih ini. Namun masih juga belum terjawab, siapa sebenarnya gadis cantik berbaju serba
putih itu. "Muridmu terlalu lancang memasuki tempat laranganku, Pengemis Tua. Sudah
sepantasnyalah aku memberi sedikit pelajaran padanya," kata Ki Laksa, setelah
tawanya menghilang.
"Kau tidak berhak melarang siapa pun masuk ke sana, Ki Laksa. Terlebih lagi pada
muridku, Dia..."
"Cukup...!" bentak Ki Laksa, menghentikan ucapan si Pengemis Mangkuk Putih.
Dua langkah Ki Laksa maju ke depan. Perlahan-lahan diangkat tongkatnya yang
berujung runcing.
Dan ditujukannya tongkat itu lurus ke dada laki-laki tua berbaju kumal penuh
tambalan di depannya ini.
Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku peringatkan sekali lagi, Pengemis Tua.
Enyahlah kau segera dari sini. Atau kau ingin nyawamu saja yang pergi?" desis Ki
Laksa, mengancam.
"Aku memang akan pergi. Tapi dengan membawa kepalamu," tegas Pengemis Mangkuk
Putih. "Setan busuk...!"
Ki Laksa menggeram. Wajahnya seketika
memerah. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang meluap saat mendengar katakata si Pengemis Mangkuk Putih barusan. Kata-kata yang begitu pedas dan
menyakitkan itu jelas sekali merupakan sebuah tantangan terbuka.
"Kepalamu yang akan kupenggal. Pengemis
Busuk!" desis Ki Laksa, dingin menggeletar.
Saat itu juga, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Ki Laksa melompat dan langsung menenang si Pengemis Mangkuk
Putih. Tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan tepat mengarah ke leher
lawannya. Namun, dengan sedikit saja si Pengemis Mangkuk Putih menarik
kepalanya, ujung tongkat yang runcing itu lewat di depan tenggorokannya. "Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa diduga sama sekali, mendadak si Pengemis Mangkuk Putih melompat sambil
melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah dada Ki Laksa. Begitu
cepatnya serangan balik yang dilakukan Pengemis Mangkuk Putih. Ki Laksa pun
dibuatnya terperangah sesaat
"Hap...!"
Cepat-cepat Ki Laksa melompat ke belakang.
Dihindarinya tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam
itu. Lalu, dua kali tubuhnya berputaran di udara. Dan, dengan manis sekali
kakinya kembali menjejak tanah.
*** Tepat di saat si Pengemis Mangkuk Putih menjejakkan kakinya di tanah, tiga
serangkai Perampok Tiga Nyawa berlompatan menyerang secara bersamaan. Mereka
langsung menyebar dan mengurung dari tiga arah. Dan, si Nyawa Merah langsung
melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga
dalam tingkat tinggi.
"Haiiit..!"
Pengemis Mangkuk Putih cepat-cepat menarik kakinya ke kanan. Dihindarinya
pukulan si Nyawa Merah sambil meliukkan tubuhnya. Namun, belum juga dia bisa
menegakkan tubuhnya, dari arah kanan datang lagi satu serangan cepat. Tampak
sambil melompat si Nyawa Bini melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam
tinggi. "Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tak ada lagi kesempatan bagi si Pengemis Mangkuk Putih untuk berkelit. Saat itu
juga dia menghentakkan tangan kirinya yang memegang mangkuk batok kelapa ke arah
kaki yang melayang deras ke arahnya. Begitu cepatnya hentakan itu, si Nyawa Bini
pun tidak sempat lagi menarik kakinya.
Dan.... Plakkk! "Hih!"
Cepat-cepat si Nyawa Biru melentingkan tubuhnya ke belakang begitu mangkuk batok
kelapa yang berwarna putih itu menghantam kakinya. Dia terhuyung ketika
menjejakkan kakinya di tanah.
Bibirnya meringis merasakan nyeri pada tulang kakinya yang terkena pukulan
mangkuk si Pengemis Mangkuk Putih itu.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang kesempatan sedikit pun, si Pengemis Mangkuk Putih cepatcepat menghentakkan lagi tangan kirinya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke
arah si Nyawa Biru.
Wusss! Seketika itu juga mangkuk batok kelapa di tangan kiri si Pengemis Mangkuk Putih
melesat cepat bagai kilat begitu dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang
tinggi sekali tingkatannya. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi menghindar.
Prakkk! "Aaakh...!"
Nyawa Biru menjerit keras dan melengking tinggi.
Mangkuk berwarna putih itu telah menghantam kepalanya dengan keras sekali.
"Hup! Yeaaah...!"
Si Pengemis Mangkuk Putih cepat melompat Disambar kembali mangkuknya yang
terpental balik setelah menghantam kepala si Nyawa Biru. Dan, beberapa kali
tubuhnya berjumpalitan di udara.
Sedangkan si Nyawa Biru terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah
terkena lemparan mangkuk sakti pengemis tua itu.
Brukkk! Keras sekali tubuh si Nyawa Biru ambruk
menghantam tanah. Tampak darah bercucuran deras dari kepalanya yang pecah.
Beberapa saat laki-laki berbaju biru itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak
lagi. Pengemis Mangkuk Putih sudah kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya
yang kokoh. "Hup...!"
Si Nyawa Merah melompat ke arah si Nyawa Biru, yang sudah menggeletak tak
bergerak lagi di atas tanah berumput yang basah oleh embun. Tanpa berbicara
sedikit pun, Nyawa Merah melompati tubuh saudaranya itu. Dan, pada saat itu
juga.... "Heh..."!"
Kedua bola mata si Pengemis Mangkuk Putih terbeliak lebar. Hampir-hampir dia
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nyawa Biru yang menggeletak dengan
kepala pecah berlumuran darah tadi tiba-tiba bangkit kembali begitu dilompati si
Nyawa Merah. Dan yang lebih mengherankan lagi, kepalanya yang tadi pecah
berlumuran darah terhantam mangkuk sakti pengemis tua itu kini sudah kembali
utuh seperti semula. Bahkan, tak setetes pun darah yang terlihat mengalir dari
kepala itu. "He he he...!"
Nyawa Biru tertawa terkekeh-kekeh. Begitu pula
dengan kedua saudaranya. Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih masih terlongonglongong. Kemudian, perlahan-lahan si Perampok Tiga Nyawa melangkah menghampiri
Pengemis Mangkuk Putih.
Sementara itu Ki Laksa tampak tersenyumsenyum. Digeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Dia begitu percaya bahwa
si Perampok Tiga Nyawa mampu menangani si Pengemis Mangkuk Putih tanpa campur
tangannya lagi.
Si Perampok Tiga Nyawa semakin dekat dengan lawannya. Pengemis Mangkuk Putih
melangkah ke belakang perlahan-lahan. Dia masih diliputi rasa heran dan tidak
percaya melihat Nyawa Biru bisa bangkit kembali. Padahal, tadi dia begitu yakin,
laki-laki setengah baya yang mengenakan baju bini itu sudah tewas terhantam
mangkuk saktinya.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Pengemis Mangkuk Putih. Kau tidak akan mampu
menandingi kami," ejek Nyawa Biru.
"Phuih...!" Pengemis Mangkuk Putih menyemburkan ludahnya. Dan, tiba-tiba...
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali pengemis tua itu memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan, secepat itu
pula dikibaskan tangan kirinya yang memegang mangkuk putih.
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Dilemparkannya mangkuk putih itu ke arah si Nyawa Merah yang berada paling
depan. Wusss! Sungguh sukar dipercaya, ternyata Nyawa Merah tidak berusaha berkelit sedikit
juga. Dan, dengan telak sekali dadanya pun terkena lemparan mangkuk pengemis tua
yang berwarna putih itu.
"Hegkh!"
Nyawa Merah hanya mengeluh sedikit, meskipun tubuhnya terpental ke belakang dan
langsung ambruk ke tanah, tubuh itu tergeletak dengan dada pecah.
Darah pun terlihat bercucuran dari dada yang pecah berlubang cukup besar itu.
Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih sudah melompat begitu cepat sambil menyambar
kembali mangkuknya dengan tangan kiri.
"Hup!"
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat cepat dan lewat di atas tubuh si Nyawa
Merah yang menggeletak tak bergerak tadi. Keanehan terjadi lagi.
Dan, kembali si Pengemis Mangkuk Putih terbeliak lebar, semakin heran dan
terkejut *** 3 "Ha ha ha...!"
Nyawa Merah tertawa terbahak-bahak begitu kembali bangkit berdiri, setelah Nyawa
Kuning melompati tubuhnya. Tampak dadanya yang tadi pecah berlubang dan
berlumuran darah sudah kembali utuh seperti semula. Dan, tak sedikit pun ada
bekas luka terlihat di sana.
"Edan...! Ilmu setan apa yang mereka pakal..?"
Pengemis Mangkuk Putih merasa seperti
bermimpi. Belum pernah dilihat ada orang bisa bangkit lagi setelah diyakininya
mati. Dan lagi, selama ini belum ada seorang pun yang mampu menahan mangkuk
saktinya. Siapa pun yang terkena serangan mautnya dapat dipastikan akan tewas.
Mangkuk yang kelihatan rapuh ini memang memiliki kekuatan yang begitu dahsyat
apa saja yang terkena lemparannya sudah pasti hancur.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan mampu membunuh si Perampok Tiga Nyawa, Pengemis
Busuk!" seru Ki Laksa sambil tertawa terbahak-bahak dari depan beranda rumahnya.
Si Pengemis Mangkuk Putih terdiam. Dipandanginya si Perampok Tiga Nyawa dengan
tajam. Ketiga laki-laki yang dipandangi itu melangkah maju perlahan-lahan sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Jelas sekali, mereka begitu meremehkan kemampuan si
Pengemis Mangkuk Putih ini.
"Bunuh saja pengemis busuk itu, Perampok Tiga Nyawa!" seru Ki Laksa dengan suara
yang lantang menggelegar. Ketiga laki-laki yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu tertawa terbahak-bahak
mendengar seman Ki Laksa tadi. Perintah itu tampaknya menjadikan hati mereka
berkembang. Bau darah segar langsung menyeruak memenuhi rongga hidung. Mata
mereka pun berbinar menatap Pengemis Mangkuk Putih.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Nyawa Merah melompat bagai kilat Diterjangnya si Pengemis Mangkuk
Putih. Satu pukulan keras dilontarkan dengan cepat sekali, disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi.
"Hait!"
Si Pengemis Mangkuk Putih memiringkan
tubuhnya ke kiri. Serangan si Nyawa Merah pun hanya mengenai angin kosong. Tapi,
belum juga pengemis tua itu bisa menegakkan tubuh kembali, dari arah lain sudah
melesat si Nyawa Biru, yang langsung mengayunkan sebuah kapak ke arah kepalanya.
"Hait!" Pengemis Mangkuk Putih memiringkan tubuhnya ke kiri. Serangan si Nyawa
Merah pun mengenai tempat kosong!
Belum sempat pengemis tua itu menegakkan tubuhnya kembali, si Nyawa Biru sudah
melesat sambil mengayunkan kapaknya ke arah kepala!
"Yeaaah...!" Wuk!
"Uts!"
Cepat-cepat si Pengemis Mangkuk Putih
menelengkan kepalanya. Dihindarinya ayunan kapak yang bermata sangat tajam dan
berkilatan itu. Dan, mata kapak itu pun lewat sedikit saja di samping kiri
kepalanya. Namun, si Pengemis Mangkuk Putih cukup terperanjat juga ketika
dirasakan ada hawa
panas pada pipi kirinya, saat kapak si Nyawa Biru berkelebat tadi.
"Hup!"
Cepat-cepat Pengemis Mangkuk Putih melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi,
baru saja kakinya menjejak tanah, mendadak dari arah kanan melayang satu
tendangan menggeledek yang dilepaskan Nyawa Kuning. Begitu cepat serangan yang
dilakukan si Nyawa Kuning. Akibatnya...
"Hiyaaa...!"
Des! "Akh...!"
Pengemis Mangkuk Putih tidak sempat lagi berkelit menghindar. Tendangan si Nyawa
Kuning tepat menghantam sebelah kanan dadanya. Pengemis tua itu pun terpekik
keras dan langsung terpental ke kiri.
Namun, segera dia menguasai keseimbangan tubuhnya dengan melakukan putaran di
udara beberapa kali.
"Hup!"
Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat sekali dilentingkan kembali tubuhnya
ke udara. Tapi, pada saat itu juga, Nyawa Merah sudah melesat sambil melepaskan
satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hih! Yeaaah...!"
Pengemis Mangkuk Putih tampak tidak berusaha menghindar sama sekali. Begitu
pukulan si Nyawa Merah sampai dengan cepat sekali dihentakkan tongkat kayunya.
Dan, disambutnya pukulan itu.
Trak! Tak pelak lagi, pukulan tangan kanan si Nyawa
Merah menghantam tongkat kayu si Pengemis Mangkuk Putih. Dan, pada saat itu
juga, si Nyawa Merah melenting ke belakang. Dilakukannya beberapa kali putaran.
Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih langsung melesat cepat meninggalkan tempat
itu. Tampak terlihat sebuah potongan tongkat terjatuh bersamaan dengan lenyapnya
pengemis tua itu dari pandangan mata.
"Setan...!" dengus Nyawa Merah begitu kakinya menjejak tanah lagi.
"Phuih! Cepat sekali dia menghilang," desis Nyawa Kuning sambil menyemburkan
ludah. Memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Pengemis Mangkuk Putih sudah
mencapai pada tingkat sempurna. Dia bisa melesat dan menghilang begitu cepat
bagaikan asap tertiup angin.
Beberapa saat si Perampok Tiga Nyawa masih berdiri tegak di tengah-tengah
halaman rumah Ki Laksa yang luas ini. Kemudian mereka memutar tubuhnya dan
menghampiri Ki Laksa yang berada di dalam beranda rumahnya.
"Huh! Seharusnya kalian kejar dia tadi!" dengus Ki Laksa begitu tiga serangkai
Perampok Tiga Nyawa berada dekat di depannya.
"Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, Ki.
Mustahil kami bisa mengejarnya," sahut Nyawa Merah, yang tampaknya menyadari
bahwa kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak setinggi si Pengemis Mangkuk Putih.
Perampok Tiga Nyawa memang mengakui, ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki
masih berada di bawah tingkatan si Pengemis Mangkuk Putih.
Meskipun, mereka juga memiliki keunggulan satu ilmu yang sulit ditandingi oleh
siapa pun, termasuk
oleh si Pengemis Mangkuk Putih itu sendiri. Terbukti tadi ilmu 'Tiga Nyawa'
milik ketiga lelaki setengah baya ini, membuat si Pengemis Mangkuk Putih harus
lari meninggalkan kancah pertarungan.
"Huh...!"
Sambil mendengus, Ki Laksa cepat memutar tubuhnya, dilangkahkan kakinya ke dalam
rumah, dengan hentakan yang keras dan lebar-lebar.
Sebentar saja, laki-laki tua berjubah putih itu pun sudah tenggelam di balik
pintu. Sedangkan Perampok Tiga Nyawa hanya bisa saling memandang. Kemudian
mereka ikut melangkah masuk ke dalam rumah tanpa berbicara sendiltit juga.
*** Keadaan Di Desa Gebang tetap terlihat ramai, meskipun siang ini udara terasa
begitu panas. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar semua yang ada di atas
permukaan bumi.
Namun, teriknya sang mentari tampaknya sama sekali tidak dirasakan oleh tiga
orang berpakaian kumal, compang-camping, dan penuh tambalan, yang duduk
melingkar di bawah sebuah pohon rindang, jauh di luar perbatasan Desa Gebang.
Mereka duduk di suatu tempat yang begitu sunyi dan penuh dengan pohon serta
bebatuan. Tampaknya tempat itu merupakan sebuah dasar jurang yang sangat dalam.
Sinar matahari terlihat tidak mampu menembus kabut yang menyelimuti seluruh
dasar jurang ini Dilihat dari pakaian yang dikenakan, jelas bahwa mereka adalah
para pengemis yang sudah berusia lanjut Salah satu dari mereka adalah seorang
Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih. Dia duduk
diam sambil menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon.
Dua laki-laki tua duduk di depannya juga tampak tak berkata-kata sedikit pun.
Ketiga orang tua itu masing-masing menggenggam tongkat kayu dan sebuah mangkuk
dari batok kelapa yang berlainan warnanya. Mereka dikenal dengan julukan Tiga
Pengemis Sakti. Mereka juga memiliki satu perkumpulan bernama Kelompok Pengemis
Mangkuk Sakti, yang anggotanya tersebar di seluruh mayapada. Ketiganya juga
sangat terkenal dengan kemahirannya menggunakan tongkat. Memang, mereka bukanlah
para pengemis sembarangan.
Kehebatan mereka sudah diakui di kancah rimba persilatan. Bahkan ketiga pengemis
tua ini menguasai semua pengemis di seluruh jagat raya.
Sesekali pandangan Tiga Pengemis Sakti tertuju pada sebuah mulut gua yang agak
terlindung semak belukar tidak jauh dari mereka.
"Kau sudah bicara padanya, Nyai Nirmala?" tanya pengemis tua yang memegang
mangkuk berwarna putih.
"Dia masih belum juga bangun dari semadinya,"
sahut pengemis perempuan tua yang dipanggil dengan nama Nyai Nirmala, yang juga
dikenal dengan nama Pengemis Mangkuk Merah karena mangkuknya memang berwarna
merah bagai berlumur darah.
Pengemis yang satunya lagi adalah seorang laki-laki tua bernama Ki Buyut, yang
dikenal dengan nama Pengemis Mangkuk Biru. Dan, yang memegang mangkuk berwarna
putih tadi adalah Pengemis Mangkuk Putih, yang bernama asli Ki Jagat
"Luka dalam yang dideritanya terlalu parah,"
sambung Nyai Nirmala. "Hhh .., untung saja kau cepat
menyelamatkanya, Ki Jagat"
"Dia memang bukan tandingan Ki Laksa," desah Ki Jagat, perlahan.
"Memang keras kepala dia!" dengus Ki Buyut
'Sudah tahu kepandaiannya belum cukup, masih juga dia nekat menghadapi si
keparat Ki Laksa. Untung saja dia tidak sampai bentrok dengan Perampok Tiga
Nyawa." "Mereka memang sulit ditandingi. Tapi aku yakin, tingkat kepandaian mereka tidak
seberapa tinggi Hanya saja...," Ki Jagat tidak meneruskan kalimatnya.
Nyai Nirmala dan Ki Buyut menatap si Pengemis Mangkuk Putih dalam-dalam. Mereka
memang sudah tahu, Ki jagat semalam baru menjajal kepandaian yang dimiliki si
Perampok Tiga Nyawa. Dan, hampir saja dia celaka kalau tidak segera meninggalkan
kancah pertarungan itu. Mereka semua pun hingga kini masih belum bisa mengerti,
apa ilmu yang digunakan si Perampok Tiga Nyawa.
Ilmu itu sangat aneh sekali. Karena dengan ilmu itu, tiga serangkai Perampok
Tiga Nyawa masing-masing bisa membangkitkan salah seorang
anggotanya dari kematian hanya dengan melompati mayatnya.
Tiga Pengemis Sakti harus berpikir dua kali jika hendak berhadapan langsung
dengan Perampok Tiga Nyawa. Karena, Ki Jagat sendiri sudah merasakan langsung
kehebatan yang begitu aneh dan sukar dipercaya itu.
"Kapan Intan Kumala selesai dengan semadinya?"
tanya Ki Jagat, setelah cukup lama berdiam diri.
"Mungkin senja nanti," sahut Nyai Nirmala.
"Dia harus cepat-cepat dipersiapkan dengan matang untuk membalas kematian
ayahnya. Aku lihat, Ki Laksa semakin bertambah kuat saja setelah menjadi orang kepercayaan di
istana raja," selak Ki Buyut.
"Jangan terlalu gegabah, Ki Buyut. Intan Kumala harus mempersiapkan diri lebih
lama. Dan lagi, kita juga harus memperhitungkan segala akibatnya," kata Ki
Jagat. "Kita semua sudah tahu. Dan kalau ini berhasil, aku yakin, tak ada seorang pun
yang bisa menandingi Intan Kumala. Perampok Tiga Nyawa pun akan berpikir seribu
kali untuk menghadapinya," ujar Ki Buyut, bersemangat.
"Kita lihat saja nanti. Masalahnya, kita belum pernah mencobanya pada siapa
pun," desah Ki Jagat
"Aku yakin pasti berhasil, Ki," tegas Ki Buyut, mantap. "Kita akan jadikan dia
seorang pendekar yang tangguh dan tidak ada tandingannya di jagat raya ini."
Mereka tidak berbicara lagi. Sementara itu Nyai Nirmala bangkit dan melangkah
menuju ke gua yang terhalang oleh semak belukar dan dua buah pohon yang cukup
besar. Sedangkan Ki Jagat dan Ki Buyut tetap duduk pada tempatnya. Mereka agak
menggeser duduknya sedikit, mendekati seonggok api unggun yang menyala cukup
besar. Udara dingin di tempat ini terasa sedikit hangat oleh nyala api unggun
itu. *** Di dalam gua yang tidak begitu besar, terlihat seorang gadis cantik berbaju
putih duduk bersila di atas sebuah batu pipih. Kedua kelompak matanya terpejam.
Telapak tangannya menempel di atas lutut
Dan, tidak jauh di depannya, terlihat Nyai Nirmala juga duduk bersila
memperhatikannya.
Bibir Nyai Nirmala membentuk senyuman ketika dilihatnya kelopak mata gadis di
depannya bergerak terbuka. Bergegas dia berdiri dan menghampiri, lalu kembali
duduk bersila di sampingnya.
Sedangkan gadis cantik itu diam saja. Matanya melirik sedikit pada perempuan tua
berpakaian compang-camping dan penuh tambalan yang sudah duduk di samping
kanannya ini. "Apa yang kau rasakan, Intan Kumala?" tanya Nyai Nirmala, lembut
"Letih...," sahut gadis cantik berbaju putih yang dipanggil Intan Kumala itu.
Suaranya terdengar lirih dan perlahan, hampir tidak terdengar.
"Lapar?"
Intan Kumala hanya menggeleng. Perlahan
kemudian kepalanya berpaling. Ditatapnya perempuan tua berpakaian pengemis itu.
Sinar mata gadis itu terlihat begitu redup, seakan-akan tidak lagi memiliki
gairah hidup. Dan, bibirnya yang kering terlihat pucat, karena dua hari ini dia
hanya duduk bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuh dan kekuatannya.
"Masih ada rasa sakti yang kau rasakan?" tanya Nyai Nirmala lagi, tetap lembut.
"Tidak," sahut Intan Kumala seraya menggeleng perlahan.
"Syukurlah kalau begitu," desah Nyai Nirmala, lega.
Nyai Nirmala turun dari atas batu pipih yang tadi didudukinya. Kemudian dia
berdiri tegak di depan Intan Kumala, dengan tongkat kayu tergenggam erat di
tangan kanan menyangga tubuhnya yang agak
bungkuk. Meskipun usianya sudah lanjut, sorot matanya masih terlihat begitu
tajam. Intan Kumala masih duduk bersila, tak bergerak sedikit pun. Dia kelihatan lemah
sekali setelah melakukan semadi tadi.
"Kau di sini saja, Intan. Aku akan memberi tahu kakek-kakekmu dulu," kata Nyai
Nirmala. Intan Kumala hanya menganggukkan kepala.
Sedangkan Nyai Nirmala berbalik dan melangkah keluar gua. Dan sebentar saja dia
sudah menghilang.
Tapi, tak lama kemudian pengemis perempuan itu sudah kembali lagi, diikuti dua
orang laki-laki tua yang mengenakan baju compang-camping penuh
tambalan. Mereka masing-masing membawa tongkat kayu dan sebuah mangkuk yang
berlainan warnanya.
Ketiga pengemis tua itu bergegas menghampiri Intan Kumala, yang masih tetap
duduk bersila di atas batu pipih dengan sikap bersemadi. Namun, mata gadis ini
sudah terbuka, walaupun terlihat begitu sayu.
"Berdirilah, Intan," pinta Ki Jagat, yang memegang mangkuk batok kelapa berwarna
putih. Perlahan-lahan Intan Kumala menggeser duduknya sampai ke tepi. Kemudian
digerakkan kakinya turun sampai menyentuh tanah. Lalu, dicobanya untuk berdiri
di atas kedua kakinya yang masih terasa kaku dan lemas. Dan, dengan sedikit
dipaksakan gadis itu mampu juga berdiri, meskipun tidak begitu tegak.
Bibirnya sedikit meringis. Ditahannya rasa nyeri pada seluruh persendian tulang
tubuhnya. 'Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan-lahan," kata Ki Jagat.
Tanpa menunggu dua kali, Intan Kumala mengikuti petunjuk yang diberikan lakilaki tua itu. Segera
ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Beberapa kali
dilakukannya hal itu, hingga akhirnya dirasakan tubuhnya sedikit lebih segar.
"Pusatkan seluruh perhatianmu pada sang Hyang Widi. Kosongkan seluruh jiwa dan
pikiranmu. Lalu tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan-lahan," kata Ki
Jagat lagi. Intan Kumala mengikuti petunjuk itu tanpa membantah sedikit pun. Akhirnya,
dirasakan tubuhnya berangsur segar kembali. Jalan
pemapasannya kembali normal seperti sedia kala.
Sedangkan wajahnya, yang semula terlihat pucat, kini kembali memerah segar. Dan,
sinar matanya pun kembali berbinar, bagaikan bintang di langit yang luas tak
bertepi. "Bagaimana, Intan...?" tanya Ki Jagat, lembut.
'Terima kasih, Ki," ucap Intan Kumala seraya membungkukkan dadanya memberi
hormat. Tiga Pengemis Sakti tersenyum senang, karena Intan Kumala sudah terlihat segar
dan cerah kembali. Mereka kemudian duduk melingkar beralaskan selembar tikar
anyaman daun pandan yang sudah lusuh, tidak jauh dari batu pipih tempat
bersemadi. Semuanya masih terdiam beberapa saat. Sedangkan Intan Kumala diam-diam
mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya, agar bisa lebih segar lagi.
"Ada yang ingin kukatakan padamu, Intan," kata Ki Jagat, setelah cukup lama
tidak ada yang membuka suara.
"Ya, Ki," sahut Intan Kumala dengan sikap yang sangat hormat.
"Sejak kau berusia empat tahun, kau sudah kami didik dengan berbagai ilmu
kanuragan dan kesaktian.
Tapi semua yang kau miliki sekarang ini belum cukup untuk menghadapi musuhmusuhmu. Kau harus memiliki sesuatu yang dapat kau andalkan, yang sangat
berharga, dan tidak akan hilang sampai kau meninggalkan dunia fana ini," kata Ki
Jagat, masih dengan suara yang terdengar begitu lembut.
Intan Kumala diam saja. Kepalanya tertunduk.
Dicobanya untuk mencerna kata-kata yang diucapkan Ki Jagat barusan. Dan, dicoba
untuk menerka maksud ucapan orang tua itu. Tapi, semuanya masih terlalu sulit
untuk diduga. Memang, diakui oleh Intan Kumala, dia sudah tinggal bersama ketiga pengemis tua
ini sejak masih berusia empat tahun. Itu memang bukan
keinginannya sendiri.
Suatu peristiwa yang bisa dikatakan sebagai malapetaka yang tidak terlupakan
yang membuatnya harus tinggal di dalam gua bersama pengemis-pengemis tua ini.
Tapi, dia juga harus berterima kasih.
Kalau bukan karena ketiga pengemis tua ini, entah apa yang akan terjadi pada
dirinya. Dia mungkin tidak bisa lagi melihat keindahan matahari di pagi hari.
"Bertahun-tahun, sebelum kau masuk ke dalam kehidupan kami, sebenarnya kami
mempunyai sebuah ilmu dahsyat dan sangat tinggi tingkatannya.
Tapi, ada satu kelemahannya. Dan kami pun menyadari kelemahan itu. Sedangkan
waktu yang diperlukan untuk menyempurnakannya semakin terbatas saja," kata Ki
Jagat lagi. Intan Kumala masih terdiam. Nyai Nirmala dan Ki Buyut pun tampak membisu. Mereka
terus menunggu kelanjutan kata-kata Ki Jagat.
"Intan, aku ingin, kau bersedia menerima ilmu pamungkas yang kami miliki dan
belum pernah kami
ketahui hasilnya selama ini."
"Maksudmu, Ki...?" Intan Kumala belum juga bisa mengerti.
"Kami bertiga masing-masing memiliki sebuah ilmu pamungkas yang sulit
ditandingi. Ilmu itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh
dipisahkan. Tapi kami sudah tua. Tidak mungkin lagi kami bisa menyatukan ketiga
ilmu itu. Kalaupun bisa, tidak ada lagi gunanya. Karena itulah kami bermaksud
menggabungkan ketiga ilmu itu padamu. Itu pun kalau kau bersedia, Intan," jelas
Ki Jagat "Hanya kau satu-satunya harapan kami, Intan,"
sambung Nyai Nirmala.
'Tapi kau juga harus tahu akibatnya kalau hal ini sampai gagal," kata Ki Buyut
yang sejak tadi diam saja.
"Maksud Ki Buyut?" tanya Intan Kumala tidak mengerti.
"Akibatnya sangat besar jika kau tidak kuat menerimanya, Intan. Bukan hanya
nyawamu yang terancam. Tapi, lebih buruk lagi, semua ilmu yang kau miliki dan
kami miliki akan musnah dalam sekejap.
Kita semua akan menjadi orang-orang yang lemah seumur hidup," jelas Ki Buyut
dengan singkat.
"Begitu burukkah akibatnya, Ki...?" desis Intan Kumala.
"Ya," sahut Ki Buyut
"Itu sebabnya kami ingin kau memikirkannya lebih dulu. Selain itu, kau harus
mempersiapkan diri lebih matang lagi," sambung Ki Jagat.
Intan Kumala terdiam. Entah pikiran apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
Sedangkan ketiga pengemis tua yang dikenal dengan julukan Tiga
Pengemis Sakti itu beranjak meninggalkan gua.
Mereka tampaknya sengaja membiarkan Intan Kumala untuk berpikir dan mengambil
keputusan sendiri.
*** 4 Tiga Pengemis Sakti merasa sangat gembira.
Ternyata pada hari itu juga Intan Kumala mengatakan kesediaannya untuk menerima
gabungan ketiga ilmu mereka dengan segala akibat yang akan ditanggung-nya.
Mereka segera mempersiapkan gadis ini dengan latihan-latihan ketahanan tubuh.
Bahkan, ditingkat-kan pula tenaga dalam serta hawa murninya. Intan Kumala
menerima semua itu dengan penuh
semangat Ketiga pengemis tua itu pun semakin gembira. Mereka begitu bersemangat
menempanya dengan warisan ilmu pamungkas terakhir yang sangat berbahaya ini.
Sementara itu, di Desa Gebang, Ki Laksa juga tengah memperdalam dan
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Kemunculan gadis tak dikenal yang diduganya sebagai
Intan Kumala itu membuat Ki Laksa merasa harus meningkatkan kemampuan dirinya.
Terlebih lagi, beberapa hari yang lalu, dia kedatangan salah seorang pengemis
dari Tiga Pengemis Mangkuk Sakti. Meskipun, sampai saat ini, belum ada kejadian
yang bisa dianggap penting.
"Ki Laksa....!"
Ki Laksa membuka matanya dan berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang
didengarnya. Tampak di ambang pintu kamar semadinya, seorang pemuda tegap
berdiri dengan tubuh agak membungkuk penuh hormat
"Ada apa?" tanya Ki Laksa dengan suara yang terdengar berat.
"Ada orang ingin bertemu," kata pemuda itu, masih dengan sikap yang hormat
sekali. "Siapa?"
"Dia tidak menyebutkan namanya, Ki. Tapi dia memaksa untuk bertemu. Katanya,
penting." "Hm...."
Sambil menggumam perlahan, Ki Laksa bangkit dari balai-balai semadinya. Kemudian
dia melangkah keluar, diikuti pemuda tegap itu dari belakang.
"Di mana dia?" tanya Ki Laksa.
"Menunggu di beranda depan, Ki," sahut pemuda itu.
"Hm...."
Ki Laksa melintasi ruangan tengah dan langsung masuk ke mangan depan rumahnya
yang luas. Dia baru berhenti setelah sampai di ambang pintu.
Tampak di lantai beranda, duduk bersila seorang laki-laki tua yang mengenakan
baju lusuh dan compang-camping seperti seorang pengemis. Tapi, dia tidak membawa
benda apa pun, apalagi sebuah mangkuk yang biasa dibawa oleh para pengemis.
Beberapa saat Ki Laksa memperhatikan orang tua itu. Kemudian dia mendekat sampai
jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan laki-laki tua bertubuh
kotor dan berpakaian compang-camping itu masih tetap duduk bersila dengan kepala
tertunduk dalam, seakan-akan menekuri lantai beranda yang terbuat dari belahan
papan kayu ini.
"Kau mau bertemu denganku...?" tegur Ki Laksa.
"Benar," sahut laki-laki tua itu, lirih.
Kepalanya tetap tertunduk begitu dalam. Sedangkan Ki Laksa terus
memperhatikannya dengan kening sedikit berkerut Dia merasa belum pernah bertemu
dengan orang tua berpakaian seperti pengemis ini.
Dia sama sekali tidak mengenalnya.
"Siapa kau ini, Kisanak?" tanya Ki Laksa.
Tapi, laki-laki tua itu tidak menjawab. Dia mengangkat kepalanya perlahan-lahan.
Tampaklah wajahnya yang kotor, bagai tidak pernah terkena air bertahun-tahun.
Pandangan mereka kini bertemu pada satu titik. Ki Laksa masih terus
Pendekar Pulau Neraka 33 Tiga Pengemis Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan. Tapi, sama sekali tidak dikenalnya wajah yang kotor berdebu ini. Ditarik
kemudian kakinya ke belakang dua langkah.
"Bisa saja kau lupa padaku, Laksa. Tapi sampai mati pun aku tidak akan bisa
melupakanmu," kata orang tua itu, agak bergetar.
"Heh..."! Siapa kau ini sebenarnya, hah...?" sentak Ki Laksa, terkejut.
Tapi, laki-laki tua itu tidak menjawab. Dia malah tersenyum sinis, lalu bangkit
berdiri. Walaupun usianya sudah begitu lanjut, sikap berdirinya tampak tegak
sekali. Ki Laksa kembali menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan
pemuda di belakangnya, yang tadi memberi tahu kedatangan orang tua itu, sudah
menggenggam tangkai goloknya yang terselip di pinggang.
"Lima belas tahun aku terpaksa menjalani hidup seperti ini. Dan selama ini pula
kau hidup enak dengan harta hasil pengkhianatanmu, hasil kecurangan kita berdua
dulu. Kau... kau benar-benar ular, Laksa. Kau tinggalkan aku begitu saja dalam
kesengsaraan. Kau anggap aku sudah mati...! Sudah cukup lama aku menantikan saat
seperti ini. Aku ingin, kau ikut merasakan penderitaan yang aku alami selama
lima belas tahun, Laksa," ujar laki-laki tua itu dengan nada suara yang
terdengar dingin sekali.
"Rahun...," desis Ki Laksa. Kedua bola mata Ki Laksa berputar memandangi orang
tua yang seusia dengan dirinya ini. Jelas sekali dari sinar matanya, dia tidak
percaya dengan apa yang ada di depannya ini.
Dia seakan-akan melihat hantu. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng, seraya
mendesis seperti ular.
"Tidak mungkin.... Mustahil kau masih hidup. Kau sudah mati, Rahun. Kau ikut
tertimbun di dalam gua bersama mereka," desis Ki Laksa.
"Itu anggapanmu saja, Laksa. Bukan hanya aku yang masih bisa selamat. Ibu Intan
Kumala pun ikut selamat. Juga beberapa orang lagi. Mereka bisa keluar dari dalam
gua, setelah kau pergi dan menganggap semuanya sudah mati. Sekarang aku datang
menuntut bagianku, Laksa. Kau juga harus membayar semua kesengsaraan yang aku
derita selama lima belas tahun ini," ujar laki-laki tua yang dikenal bernama Ki
Rahun ini, dengan nada suara yang masih terdengar sangat dingin.
"Maafkan aku, Rahun. aku memang mengira, kau sudah mati terkubur di dalam gua
bersama yang lainnya," kata Ki Laksa.
"Aku memang pasti mati kalau tidak ditolong Nyai Wandari. Dia yang melindungi
kami semua dari kelicikanmu, Laksa. Dia yang mengeluarkan kami dari dalam gua.
Dia wanita yang sangat agung. Nyai Wandari tahu bahwa aku mengkhianatinya, tapi
dia tidak menghukumku. Dia malah menolongku keluar dari gua. Dan selama lima
belas tahun ini aku mencoba menebus segala dosa-dosa yang telah kuperbuat
Penebusan dosa itu membuatku
menderita," kata Ki Rahun.
"Katakan saja, Rahun. Apa yang kau inginkan dariku" Aku pasti akan
memberikannya. Perjanjian
kita masih tetap berlaku Rahun. Percayalah, aku tidak akan mengangkangi semua
hasil yang telah kita perjuangkan bersama-sama," kata Ki Laksa.
Ki Rahun hanya tersenyum tipis. Terasa begitu sinis senyum itu. Perlahan dia
melangkah maju tiga tindak. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam lipatan bajunya,
lalu perlahan-lahan ditariknya kembali keluar. Dan, tangan itu kini menggenggam
sebuah senjata keris berkeluk lima, yang berwarna kuning keemasan.
Ki Laksa terbeliak melihat senjata keris berwarna kuning keemasan dengan tangkai
berbentuk kepala ular itu. Dia sampai melangkah ke belakang beberapa tindak.
Kedua bola matanya berputar dan wajahnya langsung memucat.
"Dari mana kau dapatkan Keris Naga Emas itu, Rahun?" ujar Ki Laksa agak
bergetar. "Harta yang berlimpah benar-benar sudah
membuatmu lupa, rupanya. Bukankah kau
memerintahkan aku untuk mencuri senjata ini dari Ki Satria..." Ingat, Laksa. Kau
bisa mengalahkan Ki Satria karena aku telah berhasil mencuri senjata ini
darinya. Dan sekarang Keris Naga Emas ini sudah berada di tanganku," kata Ki
Rahun, sambil menjulurkan tangannya yang memegang keris berwarna emas itu ke
depan, tepat tertuju ke arah dada Ki Laksa.
"Seharusnya kau serahkan keris itu kepadaku, Rahun."
"Semula aku memang ingin menyerahkannya
kepadamu. Tapi kau sudah mengkhianatiku. Kau perintahkan aku membawa Nyai
Wandari dan para pengawalnya ke dalam gua. Dan, ternyata kemudian kau ledakkan
gua itu dengan licik, supaya kami
semua terkubur di dalamnya. Tapi kau lupa, Laksa.
Gua itu tempat bermain Nyai Wandari sejak kecil. Dan dia tahu betul selukbeluknya, hingga kami semua bisa keluar dari sana."
"Bukan aku yang melakukannya, Rahun," bantah Ki Laksa.
"Kau atau siapa pun orangnya, sama saja!" sentak Ki Rahun.
Kening Ki Laksa berkerut Ditatapnya dengan tajam laki-laki tua berbaju kumal dan
compang-camping di depannya ini. Memang, yang menghancurkan gua itu bukan dia,
melainkan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi, itu atas perintah darinya juga.
*** "Lalu apa yang kau inginkan sekarang?"
"Membalas pengkhianatanmu, Laksa," desis Ki Rahun dingin.
Saat itu juga, tiba-tiba....
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ki Rahun melompat sambil menghunjamkan keris kuning emasnya ke
arah dada Ki Laksa.
"Uts!"
Namun, hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, Ki Laksa bisa
menghindari hunjaman keris itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke kanan begitu
Keris Naga Emas di tangan Ki Rahun lewat di samping tubuhnya. Pada saat itu
juga, dengan cepat sekali dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, yang
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Ki Laksa terkejut setengah mati. Ternyata Ki Rahun sama sekali tidak berusaha
menghindari tendangannya. Bahkan, dengan kecepatan yang begitu tinggi, Ki Rahun
menghentakkan tangan kanannya yang memegang Keris Naga Emas ke arah kaki Ki
Laksa yang melayang deras ke arah lambung.
"Ikh...!"
Cepat-cepat Ki Laksa menarik kakinya kembali.
Dihindarinya sabetan keris berwarna kuning keemasan itu. Tapi, belum juga dia
bisa menjejakkan kakinya secara sempurna di lantai beranda ini, dengan cepat
sekali Ki Rahun sudah melompat Dan, langsung dikibaskannya keris emas berkeluk
lima itu ke arah leher Ki Laksa.
"Hup! Yeaaah...!"
Meskipun hanya satu kaki yang menjejak lantai, Ki Laksa masih mampu melentingkan
tubuhnya ke belakang. Dilakukannya dua kali putaran sebelum dijejakkan kakinya
kembali di lantai beranda ini.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Ki Laksa melompat tinggi ke depan.
Dan, begitu dia lewat di atas kepala Ki Rahun, dilepaskannya satu tendangan
keras menggeledek ke arah punggung. Begitu cepat serangan yang dilakukan Ki
Laksa. Ki Rahun pun tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Des! "Akh...!"
Begitu keras tendangan yang dilepaskan Ki Laksa.
Dibuatnya Ki Rahun terpental ke belakang, laki jatuh bergulingan beberapa kali
di lantai beranda yang terbuat dari belahan papan jati ini. Sedangkan Ki Laksa
sendiri sudah mendarat kembali di tanah,
sekitar sepuluh langkah dari beranda rumahnya.
"Hiyaaa...!"
Begitu bisa berdiri lagi, Ki Rahun cepat melompat menghampiri Ki Laksa yang
sudah berada di luar.
Beberapa kali dilakukannya putaran di udara. Dan, dengan manis sekali dijejakkan
kakinya di tanah, tepat sekitar tiga langkah di depan Ki Laksa. Saat itu juga,
dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan tangan kirinya.
"Hih! Yeaaah...!"
"Hap...!"
Namun, tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa menyambut pukulan itu dengan tangan
kanannya. Benturan dua tangan yang mengadung
pengerahan tenaga dalam tinggi pun tidak dapat lagi dihindari.
"Ikh...!"
Ki Rahun terpekik kecil ketika tangannya beradu dengan tangan Ki Laksa. Cepatcepat dia melompat mundur. Bibirnya menyeringai. Tangan kirinya terasa nyeri.
Saat itu juga, disadarinya bahwa kekuatan tenaga dalamnya masih berada di bawah
tingkatan tenaga dalam Ki Laksa. Seluruh tulang tangan kirinya seperti remuk
akibat benturan dengan tangan kanan Ki Laksa tadi.
"Hih!"
Ki Rahun cepat mengebutkan Keris Naga Emas yang tergenggam di tangan kanannya ke
depan, saat Ki Laksa sudah bergerak hendak melakukan serangan. Langkah kaki
laki-laki tua berjubah putih itu pun terhenti ketika melihat keris berwarna
keemasan itu terhunus ke arahnya.
"Kau tidak bisa mengalahkanku, walau Keris Naga Emas ada di tanganmu, Rahun,"
desis Ki Laksa,
dingin. Wuk! Ki Laksa mengebutkan tongkatnya yang berwarna putih. Tampak tangan kirinya
menggenggam bagian tengah tongkat itu, sedangkan tangan kanan menggenggam bagian
ujung. Perlahan tongkat itu diangkatnya ke depan, hingga sejajar dengan dada.
Tatapan matanya yang begitu tajam menyorot langsung ke bola mata Ki Rahun di
depannya. "Hiyaaa..!"
Tiba-tiba Ki Laksa berteriak keras menggelegar.
Dan, seketika itu juga diputar tongkatnya dengan cepat di tangan kiri. Putaran
tongkat itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai. Dan, tiba-tiba....
Cras! Secercah cahaya kilat keperakan melesat cepat ke arah Ki Rahun. Begitu cepat
cahaya itu melesat dari tengah-tengah lingkaran tongkat itu. Ki Rahun pun
terperangah sesaat Namun, cepat-cepat dia melompat ke samping. Dihindarinya
terjangan cahaya kilat itu.
Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar ketika ujung cahaya kilat itu menghantam
tiang beranda rumah. Dan, tiang berukuran cukup besar itu seketika hancur
berkeping-keping, sampai menimbulkan gumpalan debu bagai kabut.
"Hiyaaat..!"
Kembali Ki Laksa melakukan serangannya yang sangat dahsyat Kilat-kilat keperakan
berkelebatan menyambar Ki Rahun, yang terus berlompatan menghindarinya. Suara
ledakan pun semakin sering terdengar. Dan, debu bertambah tebal menyelimuti
udara d sekitar rumah Ki Laksa. Ki Rahun masih terus berjumpalitan menghindari serangan-serangan Ki Laksa yang begitu cepat dan dahsyat itu.
"Hiyaaa...!"
*** Tiba-tiba Ki Laksa melompat tinggi ke udara. Dan, secepat itu pula dihentakkan
tongkatnya ke arah kepala Ki Rahun yang masih berada di udara.
"Uts!"
Dengan cepat sekali Ki Rahun mengegoskan kepala. Sabetan tongkat berujung
runcing itu pun berhasil dihindarinya. Namun, tanpa diduga sama sekali, mendadak
Ki Laksa melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilakukan Ki Laksa.
Ki Rahun pun tidak sempat lagi berkelit menghindari. Dan....
Diekgh! "Akh...!"
Ki Rahun memekik agak tertahan. Tendangan yang dilepaskan Ki Laksa tepat
menghantam dada laki-laki tua berpakaian compang-camping itu. Dia terpental ke
belakang sejauh tiga batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu
bergulingan beberapa kali. Dan, belum juga Ki Rahun bisa berdiri, bagaikan kilat
Ki Laksa meluruk deras ke arahnya, dengan ujung tongkatnya yang runcing tertuju
lurus ke arah dada. Namun, begitu ujung tongkat Ki Laksa hampir menembus dada Ki
Rahun, mendadak....
Siap! Tak! Des! "Akh...!"
Ki Laksa menjerit keras. Tubuhnya terpental deras ke belakang sejauh dua batang
tombak, bersamaan dengan berkelebatnya sebuah bayangan yang datang begitu tibatiba dan cepat bagai kilat Namun, Ki Laksa mampu menguasai keseimbangan tubuhnya
sebelum terbanting ke tanah. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu
dengan manis sekali kedua kakinya mendarat di tanah yang berumput dan basah oleh
embun. Saat itu juga dilihatnya di depan Ki Rahun sudah berdiri seorang pemuda
tampan berkulit putih seperti seorang putra mahkota.
Pemuda itu mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Di pundak kanannya,
nangkring seekor monyet kecil berbulu hitam. Sedangkan pada pergelangan tangan
kanannya, terlihat sebuah benda bulat bersegi enam yang agak melengkung, dengan
ujung-ujungnya berbentuk runcing. Benda berbentuk cakra itu berwarna putih
keperakan dan berkilat tertimpa cahaya bulan.
Sementara itu Ki Rahun sudah bisa berdiri lagi, walaupun bibirnya meringis
menahan sakit pada dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi
tadi. Tampak setetes darah merembes di sudut bibirnya.
"Setan...! Siapa kau berani-beraninya mencampuri urusanku!" geram Ki Laksa, yang
merasa berang karena akhir pertarungannya tadi digagalkan oleh pemuda asing yang
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 9 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Dendam Iblis Seribu Wajah 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama