Ceritasilat Novel Online

Candra Kirana 2

Candra Kirana Karya Ajiprosidi Bagian 2


Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?" "Hamba. Gusti."
'Tetapi untuk sampai pada pemikahan itu ada rintangan. Raden Panji Kuda Waneng Pati tidak
mungkin menikah dengan Dewi Sekar Taji kalau di sampingnya ada istri yang sangat dicintainya,
Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan, supaya jalan menuju cita-cita yang luhur serta agung
tidak terganggu. Pada pundakmulah kami bebankan tugas untuk menghilangkan rintangan itu.
Terimalah keris pusaka yang tidak bersarung mi! Dengan keris pusaka ini kau mesti mcnghi-94
|angkan rintangan satu-satunya yang menghalan* kita mencapai tujuan yang mulia, cita-cita yane
tinggi-Sarung kens ini tak mungkin kaucari pada empu siapa pun juga, betapa pun pandainya ia
bertukang. Ia mesti kau beri sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan bagi tercapainya
cita-cita yang agung!"
Sehabis berkata-kata itu. baginda terduduk di atas kursinya. Giginya tergigit keras. seolah-olah
menguat-nguatkan hati. Kelihatan baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanik-manik di
dahi-nya. Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la mengerti kini ujud titah baginda. Dewi Anggraeni! Dewi
Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung bam keris pusaka yang dimaksudkan ayahanda! Dewi
Anggraeni menjadi penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk mempersatukan Janggala
dengan Kadiri! Dan penghalang itulah yang mesti dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari segala
penghalang! Jalan mencapai cita-cita mesti luas dan lurus! Dan ia, ia, ia, Tumenggung Braja Nata
mendapat tugas untuk merentas jalan itu! Untuk menghilangkan segala penghalang! Untuk
melenyapkan segala rintangan! Untuk untuk - untuk menjadikan Dewi Anggraeni sanmg bam bagi
keris pusaka Janggala! Ia! Ia mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang lautan api atau
mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan dititah-95
kan menenang gunung braja atau mcnumpas pcm-berontakan! la bukan dititahkan mcngeringkan
segara atau merebut sebuah negara buat memperluas daerah! Tidak! Ia hanya dititahkan untuk
14 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menghapuskan Dewi Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu. Dewi Anggraeni istri saudaranya. Raden
Panji Kuda Waneng Pati. seorang yang cantik. halus, lemah lembut. sopan. ibarat sebuah bunga!
Mengapa ayahanda tidak menitahkannya mengalahkan seekor maean yanggalak. melainkan
mema-tahkan setangkai bunga yang sedang kembang" Dewi Anggraeni bagaikan selitik embun
yang bersih. yang dengan mcnyentuh pel an-pel an daun tempatnya memercik akan jatuh ke muka
bumi. Mengapa ayahanda menitahkannya untuk nienja-tuhkan embun yang cerlang ditimpa
matahari pagi itu dan tidak menitahkannya saja memben-dung kali Brantasyang besar" Ah. Dewi
Anggraeni. Dewi Anggraeni...
Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya menggigil. Hatinya menjadi lemah dan jantungnya
se-akan-akan berhenti berdenyut. la merasakan seluruh sendi-sendinya lesu tak bertenaga. Bahkan
selumh tubuhnya terasa tak berdaya. tak berke-kuatan. hanya seonggok beban yang memberati
jiwa. "Tumenggung Braja Nata!" titah baginda pula. Dengan tangan yang menggigil, Tumenggung Braja
Nata menghaturkan sembah. suaranya pun
96 gemetar. "Daulat Gusti!"
bahumu: "Da ...daulat Gusti! Hamba ... ham ... hamba mengerti."
Baginda memberi titah pula. "Sekarang kau telah mengerti akan tugasmu. Maka lakukanlah
sekarang apa yang telah kaumengerti itu."
"Tetapi ... tetapi. Gusti. ham... hamba ..."
"Tumenggung Braja Nata! F.ngkau seorang satria! Seorang satria Janggala yang perwira! Fng-kau
akan menjadi contoh bagi sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi teladan. Untuk
mencapai cita-cita yang agung, yang hasilnya akan membawa kawula kerajaan. manusia. ke
gerbang kebahagiaan, engkau mesti berani menghancurkan dirimu, perasaan-perasaanmu sendiri
yang sempit, melenyapkannya buat kepentingan kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau
mesti berani menghilangkan dirimu yang kecil. yang tak berarti beserta lingkunganmu yang juga
sempit! Engkau seorang satria, engkau sejak kecil telah membaca kitab Mahabharata yang suci.
Engkau telah menyimakkan Bhagawad Gita, petua-petua Batara Kresna terhadap Arjuna yang ragu
Demikianlah keadaanmu sekarang! Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan
perasaan-perasaan 97 persaudaraan yang sempit demi kebahagiaan persaudaraan yang lebih luas. Engkau adalah Arjuna
yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa yang masih berasal dari satu turn nan Bharata untuk
membela kebenaran dan cita-cita kemanusiaan yang mulia! Engkau ingat akan nasihat Batara
Kresna" Maka simakkanlah segala petua Sang Wisynu itu dan tempatkanlah dirimu pada
15 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kedudukan SangJanaka!"
Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang Janaka di Kurusetra! Sang Janaka yang
mesti meienyapkan keragu-raguan hatinya dan berbulat tekad untuk berkelahj dan membunuh
saudara-saudara, orangtua dan bahkan gurunya! Namun alangkah canggung! Sang Janaka
menghadapi musuh-musuhnya, kebanyakan laki-laki di medan peperangan Kuru! Musuh-musuhnya
yang juga mempertahankan diri, melawan, menyerang! Tetapi Dewi Anggraeni" Ia hanya seorang
wanita! Akan sampai hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita" Seorang wanita yang
takkan mungkin melawannya" Wanita yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri" Akankah
sampai hatinya" Tumenggung Braja Nata tertunduk. Ia tidak berani menengadahkan pandangannya, kuatir
ber-bentrok dengan sinar mata ayahanda. Padahal sesungguhnya, tak usah hal itu dia takuti,
karena ayahanda sendiri selalu menghindarkan pandangannya ke arah Iain.
98 Beberapa jenak suasana balairung hening dan
tegang. "Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri hancur hati mengambil keputusan ini!
Tetapi demi cita-cita persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh juga jalan
satu-satunya ini. Kami mencoba meienyapkan diri dan perasaan-perasaan sendiri yang sempit
untuk melapangkan jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau juga, Braja Nata, anak yang lahir dari
darah kami sendiri, engkau juga harus sanggup meienyapkan dirimu dan perasaan-perasaanmu
sendiri yang sempit demi kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang kami pilih untuk
menjalankan titah yang luar biasa ini, supaya Raden Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya
kami tempuh demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak. yang menjadi kawula dua buah
kerajaan!" "Ampun Gusti, tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh Tumenggung Braja Nata. "Mengapa
hamba tidak dititahkan saja menaklukkan para pemberontak atau k ram an yang ganas
mengganggu ketentraman rakyat" Mengapa justru untuk ... untuk ... untuk mencari sarung baru
bagi keris pusaka" Duhai Gusti! Hamba tak ... tak ... "
Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung Braja Nata.
"Jangan engkau berbicara sebagai perempuan! Engkau adalah satria Janggala yang mengenai
99 kehormatan dirinya! Engkau adalah satria Janggala yang rela mengurbankan dirinya sendiri untuk
kepentingan kerajaan dan kebahagiaan umat yang hidup di dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka
di medan Kuru! Engkau mesti tabah!"
"Namun Gusti ... ." sembah Tumenggung Braja Nata. "Yang hamba mesti hadapi bukanlah Arya
Dursasana yang Iicik pelit, bukanlah Duryo-dana yang angkara murka! Yang mesti hamba hadapi...
ampun Gusti!" 16 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sang baginda menghcfa nafas pula. 'Memang. tugasmu tidak ringan. Braja Nata. Itu kami sadari.
Dan sesungguhnya bagi kami pun. tidaklah ringan memberi titah itu kepadamu. Namun demi
kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dua buah kerajaan. segala pertimbangan-pertimbangan
kedirian mesti dikesampingkan. Kau mesti tabah! TerimaJah keris yang tak bersarung ini!"
Baginda mengulurkan keris kepada Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata bagaikan
lesu, tak bertenaga untuk menerima keris itu. Tetapi ia tak berani menolak titah baginda.
"Terimalah Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti memberi teladan kepada para satria
lain!" "Am ... am ... ampun Gusti!" "Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah rajamu" Kami, Prabu
Jayantakatunggadewa, yang
menguasai hidup serta mati seluruh mahluk yane ada di wiiayah kerajaan Janggala, menurunkan
Utah kepada engkau, Tumenggung Braja Nata untuk melaksanakan titahnya buat melapangkan
jalan serta meienyapkan rintangan menuju tercapainya cita-cita kemanusiaan yang agung!
Terimalah keris ini!"
Tak berani lagi Tumenggung Braja Nata berbuat ayal. Suara sang baginda terdengar angker dan
berpengaruh. Dengan jari-jari menggigil ia menerima keris yang diulurkan baginda. Benda dari
logam yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu, bagaikan sebuah gunung besi yang berat
sekali, menekan tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak sanggup memegangnya!
Hampir terjatuh ke lantai, untung dengkulnya tetap, sehingga tak usah ia terjenmuk. Kcringat
laksana mutiara berkilauan pada keningnya, dan tatkala ada angin yang semilir masuk dari
celah-eelah, terasa keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya! Nafasnya sesak. jantungnya
bagaikan tak sanggup berdenyut.
"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian. "Kami percayakan tugas unnik merentas jalan,
melapangkan rintangan yang menghalangi tercapainya cita-cita kita yang suci! Kami percayakan
kepadamu. seorang satria yang sadar akan kehormatan dan tanggungjawab dirinya! Engkau yang
akan memberi teladan yang baik buat sa-101
100 tria-satria lainnya di Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan tugasnu dengan baik!1'
"Da... dau... daulat Gusli!" "Baiklah. Berangkat kau sekarang juga! Jangan kauperayalkan titah raja
Janggala!" kemudian baginda menoleh ke arah Senapati Arya Suralaga, "Arya Suralaga!" Yang
dipanggil terkejut bukan buatan. "Daulat Gusti!"
"Andika kami titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung Braja Nata melaksanakan tugasnya.
Andika mesti mengawasi supaya titah kami dilaksanakan sebaik-baiknya. Andika jangan
membiarkan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!"
"Da ... daulat Gusti!"
"Pergilah andika sekarang juga, bersama Tumenggung Braja Nata untuk memberi sarung bam
kepada keris pusaka kerajaan Janggala! Cepat!"
"Daulat Gusti!"
17 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Setelah itu, suasana balairung kembali sibuk. Mereka yang mendapat titah, sesudah meminta diri
serta mendapat restu baginda segera melangkah ke luar dengan lesu. Sang baginda sendiri
nampak lesu. Kcpalanya tertunduk. Akhimya baginda memberi isyarat bahwa persidangan bubar.
Maka orang-orang pun mengundurkan diri dengan diam-diam. Peristiwa yang mereka saksikan tadi,
sangat mencengkam hatinya masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka cnggan
berbicara. 102 TUMENGGUNG BRAJA NATA Tempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta istrinya terletak agak jauh dari ibukota,
berupa suatu istana kecil yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok buat sepasang
mer-pati yang sedang mengecap manisnya madu peng-hidupan. Hawanya sejuk serta segar, pern
and an g-an pun menyedapkan. Sebuah tarn an yang asri, penuh dengan bunga-bungaan yang
aneka macam, berkembangan dengan indahnya, menyebarkan harum yang semerbak, Iembut
disilir angin sepoi. Sungguh suatu tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri hati! Setiap orang di segenap
pen-juru kerajaan memuji-muji peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat bagus!
Seorang gadis keturunan orang keoanyakan, diambil menjadi istri putra mahkota yang bakal
mewarisi takhta kerajaan! Meski mereka semua tahu akan pertunangan Raden Panji dengan Dewi
Sekar Taji, namun mereka menganggap bahwa pu-103
lung telah jatuh pada diri dan nasib Dewi Anggraeni.
Setiap saat Dewi Anggraeni melayani Raden Panji dengan wajah yang segar dan ria bahagia, dan
setiap orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa gadis gunung itu menemukan
kebahagiaan sempurna dalam is tan a kecil yang me-wah serta indah itu, didampingi suami yang
sangat mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pari sendiri menyangka bahwa istrinya selama itu merasa
bahagia benar-benar bahagia.
Meskipun di antara kedua kekasih itu selalu saling mencintai, saling penuhi kehendak
masing-masing. nikun dan penuh kasih sayang, namun badai yang mengamuk dalam kalbu Dewi
Anggraeni boleh dikata tidak pemah reda. Dalam hatinya i yang daJam, nun jauh dalam
relung-relung gelap, perasaan takut senantiasa mengintai. Ia merasa takut, cemas, kuatir. Ia sangat
mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia bahwa Raden Panji telah menunjukkan cintanya
pula yang besar dan agung dengan jalan menikahinya. Tetapi karena ia tahu bahwa Raden Panji
seorang putra mahkota yang sudah dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia cemas
kalau-kalau suatu kali Raden Panji akan meninggalkannya.
Kadang-kadang kalau kebetulan ia sendirian. matanya merenung ke kejauhan, menatap ke ke 18 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
104 tiadaan, mengenangkan hal-hal yang tak menente ramkan hatinya. "Kalau saja ia bukan seorang putra mahkota ... ," katanya dalam hati, "akan lebih sempurna
rasanya bahagia kami! Ah, mengapa ia bukan seorang manusia biasa, keturunan orang
kebanyakan saja?" Tetapi kepada suaminya tak berani ia memper-tunjukkan sikap yang mungkin merusak suasana
kebahagiaan. Ia sangat mencintai Raden Panji. Bukan karena ia seorang putra mahkota, tetapi
hanya lantaran ia mencintainya. la ingin kekasihnya itu senantiasa merasa berbahagia. Ia tidak ingin
melihat kekasihnya murung, atau merasa terganggu kebahagiaannya lantaran dirinya. Dan
alangkah besamya cinta Raden Panji! Alangkah agungnya!
Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi
Sekar Taji, kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa berdosa, ia merasa bersalah
lantaran telah sudi diperistri Raden Panji. Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji, bukan
hanya lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi lebih-lebih lantaran tahu betapa besar dan
agungnya cinta Raden Panji kepadanya. Dia kuatir kalau Raden Panji akan berduka atau murung.
Ia tak mampu membayangkan Raden Panji murung! Dia tak ingin menyebabkan orang yang
dikasihi-105 nya itu berduka! Lagipula Raden Panji Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala. mungkin akan
murka lantaran merasa terhina jika lamarannya ditolak!
Ah. bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa perbuatannya itu berten tangan dengan
kehendak ayahanda, sang baginda raja Janggala, temyata dengan pemikahan yang dilakukan
diam-diam. Baru setelah mendapat berita dari ibunda, bahwa ia boleh menghadap ayahanda akan
mempersembahkan halnya. mereka diterima dan mendapat restu baginda. Baginda merestui
mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari sinar mata baginda, Dewi Anggraeni
merasakan ketaktentraman. Pandangan baginda seolah-olah menyalahkan dia, dia yang mungkin
dianggap telah memikat Raden Panji!
Pandangan baginda itulah yang menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa memejamkan matanya.
Pandangan yang dingin, tapi bagaikan menusukkan logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan.
Tidak, Dewi Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang demikian dingin itu. Malah ia
merasa bersalah, nun jauh dalam relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang dilempar-kan
baginda meialui pandangan matanya itu benar. Ya, ia telah bersalah, bersalah .... Tetapi cinta
begitu besar' Benarkah ia berhak duduk di samping putra
106 mahkota Janggala yang suatu kali kelak akan menduduki takhta" Benarkah ia berhak mengambil
Raden Panji sebagai suami"
19 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia ingin kekasihnya bahagia, dan melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin kekasihnya itu
jangan sampai berduka. Jangan sampai murung, tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari
kemarau. Ia ingin Raden Panji memenuhi harapan dan cita-cita ayahanda yang besar. Ya, ia tahu
akan cita-cita mulia Prabu Jayantaka hendak mempersatukan Janggala dengan Kadiri. Dan ia
sering terumbang-ambing antara keinginan-keinginannya sendiri yang merindukan kebahagiaan
yang damai dengan keinginannya supaya kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda.
Dan kemarin dulu suaminya menghadap ke bawah duli. lantaran mendapat titah yang tiba-uba dan
sangat penting. Apakah gerangan yang akan dititahkan baginda" Perasaannya yang halus
menduga bahwa titah ayahanda berhubungan dengan persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala
Raden Panji hendak pergi, seakan-akan berat benar hatinya. Mengapa ia memandang begitu"
Mengapa pandangan kekasihnya itu bagaikan mengisaratkan suatu malapetaka" Mengapa
berlainan daripada biasa, kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan perasaan sunyi bukan
buatan" Sunyi yang lebih daripada kesepian lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di
sampingnya" 107 MTak lama, Adinda, Kakanda takkan lama pergi. Bcsok atau selambat-lambatnya lusa, tentu Kanda
kembali ke sampingmu ... ." itulah perkataan Raden Panji sebelum berangkat.
Sampai malam kemarin ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung datang. Perasaannya diamuk
sepi yang luar biasa, lengang menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan sen. Dan kalbunya
di-gundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak menentramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan
Raden Panji tidak pulang" Apakah titah baginda yang melantarankan Raden Panji dipanggil
cepat-cepat dan sendirian saja" Adakah persoalan yang begitu penting" Persoalan apa" Persoalan
negara" Persoalan kerajaan" Tetapi mengapa Raden Panji belum juga pulang?"
Ia tidak bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring tak senang, berjalan pun serasa
mengawang. Taman yang penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak menghibumya, bahkan
seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda angin semilir itu, menegumya dan bertanya; "Di
manakah Raden Panji gerangan" Mengapa Tuan berjalan sendirian?" Burung-burung yang
berkicau, terdengar murung, seperti turut berduka lantaran Raden Panji belum juga pulang. Setiap
ada suara langkah mendekat, ia terjaga. Raden Panjilah itu!" katanya dalam hatinya sendin Tetapi


Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiap kali iakecewa 108 Setiap ada suara kuda lari, ia bangkit dan memandang ke luar, tetapi yang dinanti tidak kunjung
muncul. Dan setiap saat, terbayang pula pandangan kekasihnya pada saat terakhir, sebelum berangkat.
Alangkah aneh pandangan itu! Pandangan yang luar biasa, laksana mengisaratkan suatu
perpisahan berdinding mati! Suatu perpisahan akhir! Tim-bul pikirannya yang bukan-bukan, tetapi
dengan kemauan sehat, diusimya dan disabar-sabarkannya dirinya. "Hanya bayang-bayangan
hayali belaka!" ia menghibur dirinya sendiri.
Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua dan yang telah mengasuhnya sejak masih bayi,
yang senantiasa berada di sampingnya itu, melihat gustinya gelisah dan senantiasa bersedih maka
20 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ia pun berduka. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia segera mengerti sebab-musababnya.
Maka tak berani ia menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan gustinya, senantiasa ia
mengajak gustinya yang sangat dicintainya lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu,
bercakap-cakap tentang hal yang menyenangkan.
"Gusti, lihatlah, matahari sangat indah dan alam nampak segar serta gembira! Tidakkali Gusti ingin
bercengkrama ke tengah taman, menyaksikan burung-burung menyanyi sambil memetik bunga
mawar yang kembang indah" Cempaka
109 pun musimnya berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk meminta Gusti petik... "
Dewi Anggraeni hanya mengeluh dan menghindari pandangan inang pengasuhnya itu.
'Tak baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini! Kibaskan segala kemurungan yang suram
itu! Batara akan murka, kalau segala anu-grahnya tidak kita terima dengan suka ... " Sekali lagi
Dewi Anggraeni mengeluh. "Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati selalu rusuh,
lantaran Kakang Panji belum juga pulang?" akhirnya ia menyahut.
"Gusti Panji berjanji akan pulang hari ini, tentu beliau akan menepati janjinya. Janji satria Janggala
tak nanti tak ditepati ... ," kata Emban Wa-gini menghibur.
'Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang, kalau ada haiangan baru hari ini. Dan hari telah datang,
ia belum pulang, ada haiangan apakah gerangan yang menahannya?" tanya Dewi Anggraeni. "Bibi,
bukan sekali ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi mengapa sekarang perasaan kami sangat
berbeda" Mengapa merasa lengang tak menentu?"
"Ah, itu perasaan yang tak karuan, jangan Gusti perturutkan juga! Gusti Panji akan segera datang.
Ubih elok kalau Gusti bergembira, supaya jangan kerun nanti menyambut kedatangan Gusti Panji.
Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti
110 bermuram durja Dewi Anggraeni menghela nafas dengan berat Matanya menghindari pandangan inang
pengasuhnya yang setia itu.
"Gusti mesti bersantap ... "
"Patah seleraku! Semua makanan seperti tersekat di kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan
Kakang Panji ..." tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang Panji pulang" Benarkah ia hari
initiba?" "Gusti, junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti dijanjikannya. Sekarang ia
barangkali masih di jalan. Sebentar lagi, tentu. . tiba-tiba terdengar suara kaki kudanya dijauhan,
Emban Wagini menengokkan kepalanya. "Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji! Sedang kita
bicarakan, dia datang! Tidakkah terdengar oleh Gusti suara ketiplak kuda datang mendekat?"
21 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Menyirat darah pada wajan Dewi Anggraeni yang pucat lesi itu. Cahya kegembiraan membakar
hatinya. Maka bangkitlah ia akan menyongsong kedatangan jungjungannya.
"Kakang Panji! Benarkah ia datang?" terloncat tanyanya sarat kegembiraan. "Benarkah dia datang?"
Ill 'Tidakkah Gusti dengar suara kuda mendekat?" sahut inang pengasuhnya. "Hai, dengan siapakah
maka Gusti Panji berdua?" Dewi Anggraeni mempertajam matanya. "Tidak, tidak ..." kepaJanya
menggeleng lemah. "yang datang itu bukan Kakang Panji bukan!"
"Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak percaya. "Habis, siapa?"
Wajah Dewi Anggraeni kembali pucat, bahkan lebih pucat daripada semula. Jantungnya bagaikan
berhenti tiba-tiba. Dan darahnya seperti berhenti mengaiir. Hampir ia tak kuasa menopang tubuh.
"Kakanda Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak kedengaran. "Mengapa dia ke mari" Ke
manakah Kakang Panji" Bukan, bukan, yang me-ngiringkannya pun bukan Kakang Panji! Mana
Kakang Panji" Mana?"
Wagini memburu tubuh gustinya yang hampir rubuh.
"Tenang, tenanglah, Gusti, tenanglah ... , bujuknya. "Kanjeng Braja Nata tentu akan membawa
berita tentang gusti Panji..."
Dewi Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu itu bagaikan tak lagi kuat duduk
tegak. Tumenggung Braja Nata sementara itu telah menambatkan kuda, lalu naik akan menemui Dewi
Anggraeni. Suasana puri itu sangat lengang, bukan
112 hanya lantaran tak terdengar suara orang tetai bagman dicengkam kemurungan yang mu^ Dia
mendapat! Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang pengasuhnya yang telah dia kenal baik
-Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda! Silahkan! Dengan siapakah Kanda
datang" Lama benar Kanda tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji" Mengapa ia
tidak datang serta?"
Mendengar Dewi Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu Tumenggung liraja Nata guncang.
Bagaikan sebuah badai besar memukulnya, mere-mukkannya. Alangkah mengenaskan suara Dewi
Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah menusuk kalbu! Dan ia... !
Ia berdehem beberapa kali melonggarkan tenggorokannya yang tersekat. Kemudian terbata-bata
menyahut, "Bagaimanakah kabamya, Rayinda" Baik-baik sajakah" Alangkah segamya udara di
sini! Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak bisa sering-sering mengunjungi Rayinda di
sini! Tetapi ... tetapi. Rayinda baik-baik saja bukan" ... bukan?"
22 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dewi Anggraeni mcnatapkan pandangannya.
"Ya. dengan restu Kakanda. kami baik-baik saja ... di sini. Tetapi Kakanda, manakah Kakang Panji"
Tidakkah Kakanda bertemu dengan dia di istana" Dia berangkat kemarin dulu dan sekarang belum
juga pulang!" 113 Tumenggung Braja Nata menghindari tatapan itu. Dia menoleh ke samping. lalu melihat Emban
Wagini, kemudian dia tertawa tak keruan, menegumya, "Apa kabar, Bibi" Alangkah panasnya hari,
ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil ba-rang seteguk air buat membasahi tenggorokan yang
kering?" Dewi Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya.
"Kakanda Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang segar. Buah-buahan yang
ranum-ranum itu pun bawa pula ke mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini yang
segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah junjungannya, kemudian menoleh pula kepada
Tumenggung Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda selalu menghindari pertanyaan hamba
mengenai Kakang Panji" Mengapa Kanda mencari-can alasan untuk mengelakkan pertanyaan
hamba" Tadi Kakang berkata hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan kepada Bibi Wagini Kakanda
mengatakan udara sangat panas! Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba. ke manakah
Ka-maka t,d3k PUl3ng bCrSama Kakanda Tumenggung Braja Nata tergagap-eaeaD dan
114 "Eh ... eh ... hai ke manakah Arya Sumi.
gerangan" Mengapa ia tidak naik juga?" ia
Dewi Anggraeni merasa kesal, tetapi ia masih menunjukkan kesabarannya, menjengukkan
kepalanya ke luar. "Dengan Mamanda Arya Suralagakah Kakanda datang" Mengapa ia tidak naik juga" Ke marilah
Mamanda Senapati!" ajaknya.
Tetapi Senapati Arya Suralaga menyahut dengan suara yang dalam, "Biarlah, biarlah hamba di sini
saja. Hari sangat panas, tentu gerah di dalam ru-mah!"
"Marilah Senapati!" ajak Tumenggung Braja Nata. Sedangkan dalam hatinya ia berkata, 'Marilah ke
mari, kawani aku, bagaimana akan ku-sampaikan semua titah itu" Bukankah engkau disuruh
mengawasi" Alangkah berat lidah ini! Alangkah berat!"
Sementara itu Emban Wagini sudah datang membawa hidangan.
"Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buah-buahan yang segar! Marilah masuk, Mamanda
Senapati!" ajak Dewi Anggraeni.
Tumenggung Braja Nata pun bagaikan berat untuk masuk. Dan air jeruk yang segar itu seperti
115 23 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tidak menarik seleranya. "Kakanda. silakan minurn. Bukankah Kakanda tadi dahaga" Tentu dahaga. karena hari panas dan
naik kuda sejauh itu! Dan Mamanda Senapati! Mari ke sini! Mari minum!"
Senapati Arya Suralaga yang tak pantang takut itu. naik ke dalam. sedangkan hatinya merasa tak
tentram kebat-kebit berdegupan dengan kencang Tumenggung Braja Nata menghabiskan air itu
dengan sekali teguk, sehingga kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar dahaga.
"Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia sendiri tidak tahu benar bagaimana
sesungguhnya rasa minuman yang baru lalu di tenggorokannya itu "Ayuhlah Senapati! Ayuhlah!"
Senapau Arya Suralaga mengikuti jejak Tumenggung Braja Nata.
"Kakanda!" tegur Dewi Anggraeni tak sabar. 'Mengapa Kanda selalu mengelakkan pertanyaan
hamba mengenai Kakang Panji" Mengapa" Apaka-kah yang terjadi dengan Kakang Panji"
Mengapa Kanda menunduk" Mengapa Kanda tidak sudi menyahut" Mendapat malapetakakah
Kakang Panji-Apakah kecelakaan yang menimpanya" Mengapa Kakanda melengos^ Mengapa
Kanda diam saja" Mengapa tak mau menyahut?"
Senapati Arya Suralaga segera menan.h mi-numannya. lalu menundukkan kepala, scakan-akan
ncndak mencan helah untuk mengundurkan din
"Eh... eh ..memang... m^ " dln; Tumenggung Braja Nata menyahut dengan 'suara
gagap. -Mengapa Kanda bicara terputus-putus'* Parah kah Kakang Panji" Berbahayakah jiwanya?" Ata
' "Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata menggelengkan kepala keras-keras. "Raden Panji tak
kurang suatu apa!" "Tetapi mengapa Kanda seakan segan bicara?" desak Dewi Anggraeni.
"Samasekali tidak, tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tetap gugup. "Hanya ..."
"Hanya apa" Bagaimanakah sebenarnya Kakang Panji" Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah
terus terang! Adinda berjanji, takkan terkejut meskipun mendengar Kakang Panji mendapat ...
ampun Batara, mudah-mudahan tak terjadi apa yang kutakutkan!" kemudian Dewi Anggraeni
menyungkup wajah dengan tangan. menangis tergukguk.
Melihat Dewi Anggraeni menangis, makin tak tentu hati Tumenggung Braja Nata. Tangannya
meraba-raba tak keruan, karena tak tahu apa yang mesti dia perbuat.
"Jangan menangis, jangan Adinda menangis. Raden Panji selamat, tak kurang suatu apa.
Sudahlah, sudahlah, jangan Adinda men ..." tak lanjut
11 24 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
116 pcrkataannya, karena tiba-tiba tangannya menycn-tuh keris pusaka yang diberikan baginda
kepadanya. Maka ia pun teringat pula akan tugasnya. Tangannya niendadak terkulai. Icmas. !a
niemc-jamkan mata. 'Duhai Batara. mengapa mesti ku-jalankan titah seberat ini" Bcrilah hamba
kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan bagi cita-cita tinggiV katanyi dalam hati. 'Beri hamba
kekuatan untuk mengesampingkan segala perasaan kedirian yang sempit, yang menghalangi
cita-cita agung tercapai!"
Dewi Anggraeni tergugah. "Benarkah Kanda" Benarkah Kakang Panji tak kurang suatu apa" Benar-benarkah Kanda?"
tanyanya dengan mata disinari secercah harapan. "Tetapi mengapa ia tidak pulang sekarang?"
"Raden Panji mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung Braja Nata. "Ia tidak kurang suatu
apa, tetapi ia mendapat titah yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..."
"Sehingga apa. Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar.
"Sehingga ia tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu kepada Adinda. Ia sangat kuatir
akan kesehatan Adinda, yang selalu dia kenangkan.
Dia meminta kepada Kanda supaya Kanda ke mari ..."
"Apakah titah yang mesti diselesaikan oleh 118
Kakang Panji" Mengapa ia sampai tak sempat m jenguk istnnya dahulu" Penting benarkah 1 ne
an titah itu" potong Dewi Angraeni, biarkan Tumenggung Braja Nata menyclc V kalimatnya.
Tidaklah ia mendapat titah untuk untuk memcrangi pemberontak ataukah karaman?"
-Bukan, Raden Panji tidak dititahkan memerangi pemberontak ataupun karaman. Tetapi titah tak
boleh ditunda, sehingga tak sempat dia singgah dahulu akan mengabarkan hal itu kepada Rayinda.
Namun, ia masih sempat meminta Kakanda untuk menyampaikan pesannya kepada Rayinda ..."
"Pesannya" Apakah gerangan pesan Kakang Panji" Mengapa tidak tadi-tadi Kanda berbicara"
Mengapa tadi Kanda seperti gugup benar bicara?"
"Tadi Kanda baru datang. masih lelah, maklum-lah si Pramuga Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda
kuatir kalau-kalau Rayinda terlampau lama mcng-harap dan bergelisah ..."
"Scsungguhnyalah, Rayinda sudah benjettsah benar. Menurut janji Kakang Panji, Kakang Panji
sudah pulang kemarin, atau paling lambat had ini. Dan sekarang ... ternyata Kakang Panji belum
bisa pulang, hanya pesannya saja. Dan apakah pesan yang mesti Kanda sampaikan kepada
hamba, ampun Kanda Tumenggung?"
"Raden Panji berpesan....." Tumenggung
119 25 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Braja Nata terhcnti dan kata-kata berhenti di tenggorokannya. "Raden Panji berpcsan . . bcr-pcsan,
supaya ..." "Supaya apa. Kanda?"
"Supaya Kanda datang ke mari akan menjemput Rayinda!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan
nafas memburu. "Menjemput hamba" Ke mana?" "Ya. menjemput Rayinda. Ke Muara Kama!." "Ke Muara Kamal"
Ada apakah gerangan?" "Raden Panji mendapat titah baginda. la mengharap agar Rayinda turut
pula ke sana. Karena mungkin ia di sana akan lama baru pulang. Lagipula pemandangan di tepi
laut, tentu akan sangat menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda melihat laut" Merasakan
ombak menyimbah kaki" Merasakan angin yang besar. yang meniup gelombang memecah di
pantai?" "Apakah gerangan titah Baginda maka mengirimkan Kakang Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi
Anggraeni tak mempedulikan pertanyaan Tumenggung Braja Nata tentang laut.
Dan ditanya demikian, Tumenggung Braja Nata kehilangan helah.
"A aa . . anu. Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari... Tiongkok. hendak menghadap
kepada Baginda." akhirnya ia menyahut se-jadinya. "Tak ada orang yang patut menerima tamu
agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok
n^nguasa, negara atas angin itu kecUaH
Raden rauji- ^Tetap> mengapa begitu mcndadak dan terburu
-buru' gerah. "Hamba perempuan Kanda. patutkah hamba turut menampilkan muka di hadapan tamu agung
seperti mereka?" "Mengapa tidak" Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula wanita, entah katanya kemenakan sang
Kaisar, hendak mengetahui tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat untuk menyambut
mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda pun telah menyetujuinya."
"Baginda menyetujui, sedangkan hamba ditinggalkan oleh Kakang Panji dalam gelisah! Alangkah
ajaib!" "Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eht Rakandalah yang dititahkan Baginda menjemput. Kita
tidak ke istana dahulu, melainkan terns langsung menuju ke Muara Kamal! Makin cepat makin baik,
karena kita mengejar Raden Panji." Dan dalam hatinya sendiri, Tumenggung Braja Nata
mengulang-ulang kalimat baginda yang baru diucapkannya itu: Makin cepat makin baik. Makin
121 26 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
cepat makin baik. Makin cepat makin baik. Makin cepat...
"Jadi hamba mesti berangkat sekarang juga?" tanya Dewi Anggraeni.
"Ya, demikianlah. Sesegera mungkin." Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban Wagini dan berkata
gembira, "Bibi, kita berangkat sekarang, kita akan menyusul Kakang Panji ke Muara Kamal. Kita
akan melihat laut! Cepat berkemas-kemas!" Tumenggung Braja Nata gelisah. 1 Akankah Rayinda
bawa Bibi Wagini?" Dewi Anggraeni memandangnya he ran. "Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi
Wagini selalu melayani hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan bunda hamba saja
. Mengapa?" Tumenggung Braja Nata menjaruhkan pandangan.
"Tidak. Tetapi menurut Kanda, lebih baik ...
lebih baik... lebih baik kalau ia tak usah ikut,"
katanya dengan tak berani mengangkat pandangannya.
"Mengapa" Mengapa ia tak boleh turut?"
"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik ... lebih baik rasanya kalau tak usah dia dibawa."
"Kanda, benarkah Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan Kakanda?" tanya Dewi Anggraeni.
122 Tumenggung Braja Nata terkejut
tetapi mengapa ia tak membolehkan Raymda membawa Bib. Wagini. padahal ia sendin uhu bahwa
Bibi Wagini selalu bersama-sama hamba-1"
-Bukan begitu. Rayinda," sahut Tumenggung Braja Nata. "Raden Panji tidak mengatakan hal itu
kepada Kanda, sehingga Kanda salah faham ..."
Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang pengasuhnya yang setia itu.
"Bibi, mengapa Bibi belum juga bangkit untuk berkemas-kemas, menunggu apa lagi" Ayuhlah.
jangan biarkan Kakang Panji menanti terlampau lama!" katanya memberi titah.


Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emban Wagini yang sudah kenyang makan ga-ram itu, melihat sesuatu yang tidak beres dalam
tingkah laku Tumenggung Braja Nata. Hal itu dia perhatikan sejak mulai datang. dan makin lama
makin nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup" Mengapa bicaranya sering gagap
terbata-bata tak lancar" Apakah sebabnya gerangan" Perasaannya yang halus dan tajam.
mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan gustinya, jangan menurutkan ajakan yang
tidak keruan. Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia menjaruhkan diri, menghaturkan
sembah dengan suaranya yang iba, "Gusti, tetapi Gusti lagi gering. perjalanan amat jauh, tidakkah
lebih baik Gusti tmggal 27 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
123 saja di sini" Tenni Baginda pun takkan murka kalau Baginda maklum sebab-musababnya. Dan
Gusti Panji ... ,M tak lanjut kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni yang tak sabar,
'Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu" Bibi menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji tentu
akan sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul."
"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang gering, hamba kuatir kalau-kalau
perjalanan ini akan memarahkan penyakit ... "
'Tidak! Penyakit kami akan hilang kalau sudah berada di samping Kakang Panji! Tidak! Kami tidak
boleh lemah hati, kami mesti berangkat! Siap-siaplah segera. berkemas-kemas secukupnya!"
Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar sembah Emban Wagini yang
seakan-akan hendak mencegah kepergian gustinya, turut menyumbangkan pendapatnya, "Angin
laut sangat baik bagi kesehatan. Segala penyakit akan hilang, akan lenyap. Dan apakah Rayinda
gering?" "Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat. "Hanya merasa lesu ..."
"Kalau begitu, dengan sedikit bepergian, akan hilang."
"Cepatlah Bibi! Maafkan kami, Kanda! Makan-lah buah-buahan itu Mamanda Senapati! Ranum baru
kemarin dipetik dari pohonnya, menyedia-kan Kakang Panji. Tetapi rupanya Mamanda
124 ^ang beruntung, habiskan saja' HamK u
na -Bagaimana pula, Kakanda" Bukankah hamba nanti mesti menjemput putri Tiongkok yang baru
datang" Tentu harus mengenakan pakaian yane patut ..." sahut Dewi Anggraeni dengan heran
-Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa pakaian yang indah-indah dari sutra!"
-Ah, tetapi itu kan belum tentu! Baiklah kalau membawa, daripada kita malu kelak!"
"Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut Tumenggung Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda
berdua dengan Bibi Wagini saja yang ikut! Kita mengejar waktu, kita naik kuda saja. Bukankah
Rayinda sanggup naik kuda?"
"Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga tabah menunggang si Hitam," sahut Dewi
Anggraeni. "Sukuriah kalau begitu. Kita perlu bum-bum, kalau tidak naik kuda, tentu takkan terkejar saatnya.
Cukup kita berempat, karena kalau ditambah pula, mungkin memperlambat perjalanan."
"Hamba hanya merasa perlu mengajak Bibi Wagini, karena ia adalah pengganti bunda hamba."
"Baiklah." 28 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dewi Anggraeni masuk hendak berkemas, se 125 dangkan Tumenggung Braja Nata memejamkan matanya, kemudian menjatuhkan kepala pula
Kepalanya terkulai, bagaikan sebungkah benda tak bemyawa. Sedangkan dalam kalbunya sebuah
peperangan dahsyat sedang berlangsung.
"Engkaulah Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani meleburkan dirimu yang
sempit untuk kepentingan cita-cita kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali sabda
ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju cita-cita itu. Adalah tugasmu untuk menghilangkan
penghalang! ... Berilah keris pusaka ini sarung baru! Sarung baru! Sarung baru!"
Senapati Arya Suralaga yang senantiasa menunjukkan keberanian dan ketangkasannya di medan
perang itu, kini tertunduk, tak berani mengangkat kepala akan melirik ke arah Tumenggung Braja
Nata, padahai ia ditugaskan untuk mengawasinya!
126 PERISTIWA DALAM HUTAN Mereka memacu kudanya dengan cepat. Tumenggung Braja Nata berjalan di depan, kemudian
mengikut si Hitam yang ditunggangi Dewi Anggraeni bersama inangpengasuhnya, dan di belakang
sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu sambil berdiam diri. Tumenggung Braja Nata
memecut kudanya bagaikan terbang. Dewi Anggraeni antara sebentar berseru, "Jangan terlampau
cepat, Kanda!" maka baru Tumenggung Braja Nata memperlambat lari kudanya.
Oleh pemandangan sepanjang jalan. meskipun menambah dia kian terkenane akan junjungannya.
Dewi Anggraeni kembali kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan bahwa kudanya tidak
banyak tingkah. Kadang-kadang ia bertanya kepada Tumenggung Braja Nata yang kadang-kadang berjalan tak
be-rapa jauh antaranya. tentang hal-hal yang mereka
127 liwati. Tumenggung Braja Nata, kecuali kalau ditanya. hampir tak mengeluarkan sepatah kata pun
Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah pertanian yang subur, mereka pun masuk ke
dalam hutan lebat. Udara segar dan sejuk Tetapi di sini mereka tidak bisa memacu kuda
secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang besar kadang-kadang merintangi jalan yang mereka tempuh.
Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tiba-tiba Tumenggung Braja Nata mengekang kendali
kudanya, ia berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya yang mendengus-dengus.
29 Tangan Tangan Setan Abdullah Harahap m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dewi Anggraeni demi melihat kandanya berhenti. ia pun menahan si Hitam. Wajahnya merah
karena darah telah naik ke urat-urat paras, sedangkan keringat pun berbintik-bintik, menambah
kecantikannya berkilauan.
"Sudahkah kita sampai ke Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya dengan nafas terengah-engah.
"Capai benar rasanya!"
"Masih jauh, masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas memburu.
"Mengapa Kanda berhenti" Bukankah kita mesti cepat-cepat?"
Tumenggung Braja Nata menjatuhkan kcpala-nya. Ia meloncat dari kudanya. Lalu dicarinya
sebatang pohon akan menambatkan kudanya itu.
"Kanda hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. Tidakkah kita akan datang terlambat?"
128 Wagini mencium sesuatu yang mencurigakan niaka ia mengisaratkan gustinya agar
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
30Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
janRan m/ nurutkan kehendak Tumenggung Braja Nata"
Dewi Anggraeni juga merasakan suasana yang sangat luar biasa.
"Marilah kita lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak mengasoh kalau sudah ketemu dengan
Kakang Panji!" katanya mengelak.
Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula, lalu menuntun kudanya, seperti tidak kunjung
menemu batang pohon yang baik buat menambatkan kuda. Ia menyelinap-nyelinap dan makin
menjauh-jauh saja. Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati!
Mengapa mencari tempat jauh benar" Bukankah di sini banyak batang buat menambatkan
kudamu?" 'Ti ... tidak ... biarlah di sana saja . . - *ahutnya gagap...
"Kanda, ada apakah gerangan maka han ini
129 Kanda kelihatan gugup dan gclisah" Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya Dewi Anggraeni
dengan suara bcrubah dan mata tajam menatap. "Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba
menyembunyikannya, segaJa tingkah laku Kanda sejak Udi mengatakannya kepada Rayinda,
bahwa ada yang Kakanda coba sembunyikan!"
Tumcnggung Braja Nata cepat-ccpat menyahut, "Tidak, Kanda tidak ... sungguh Kanda tak
ber-dusU. Radcn Panji ... dititahkan Ramanda ke Puc ... eh, ke Muara KamaJ, untuk ... untuk
mcngalahkan lanun ... "
"Apt?" Dewi Anggraeni terkejut, lalu meloncat dari kudanya. "Katakanlah yang benar, Kanda, ke
manakah Kakang Panji dititahkan oleh baginda" Ke Muara KamaJ" Atau ke ... Pucangan" Tadi
agaknya hendak terloncat perkataan itu dari mulut Kakanda! Dan di Muara Kamal" Apakah yang
menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana" Benarkah ada utusan dari kaisar Tiongkok"
Mengapa barusan Kanda bilang untuk mengalahkan lanun" Ah, Kanda, katakanlah, ada apakah
sebenarnya di istana" Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji! Katakan terus terang!"
Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkaulah sang Janaka di medan Runi!' terdengar kalimat
baginda pula olehnya. 'Tabahkan hatimu!'
Sementara itu Dewi Anggraeni telah menolong mang pengasuhnya yang tua itu turun dari kuda.
130 LaJu dia berdiri dengan mata tetap taiam m dang kakanda. keningnya berkenJ, ^wl^a yang tadi
cerah nampak keruh kembali
1 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mengapa Kakanda seperti segan" Tadi pun hamba telah berkata, katakanlah terus teranR hamba
akan menyimakkannya dengan baik "
Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya kembali.
"Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja sekarang ...," katanya kemudian. "Sesungguhnya
. . sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan Ayahanda ke Muara Kamal..."
"Habis" Ke manakah dia?" Dewi Anggraeni penasaran.
"Ke Pucangan." "Ke Pucangan?" tanya Dewi Anggraeni. "Ada
apa" "Ia, Raden Panji dititahkan baginda ke Pucangan, untuk menyambangi sang Kili Suci ... "
"Hendak menyambangi sang Kili Suci ... "
Tumenggung Braja Nata menjatuhkan pandangan pula.
131 "Dan hamba" Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini" Mengapa kita menuju ke Muara Kamal?"
"Ke Muara Kamal?" gumam Tumenggung Braja Nata bagaikan tak sadar. 'Tidak. tak usah kita ke
sana. di sini saja lebih baik. Karena ... karena ... makin cepat makin baik!"
"Kanda. mengapa. Kanda berkata tak keruan juntrungannya" Pusing Adinda menebak-nebak
perkataan Kakanda sejak tadi! Apakah yang lebih baik dilakukan di sini" Apakah" Mengapa Kanda
seperti gugup?" "Rayi, Kakanda mendapat titah Ayahanda. membawa Adinda ke sini..." Dewi Anggraeni terkejut.
"Atas titah Baginda" Jadi bukan atas permintaan Kakang Panji" Mengapa Baginda menitahkan
Kanda membawa hamba ke dalam hutan?"
'Bagaimana akan kuterangkan" Bagaimana aku akan menjelaskannya"' pikir Tumenggung Braja
Nata. 'la begitu jelita dan halus. bagaikan bunga yang sedang kembang ... !'
"Rayinda ... anu. Rayinda ... Kakanda dititahkan membawa Adinda ke dalam hutan untuk
melapangkan jalan buat cita-cita kemanusiaan yang luhur... Cita-cita agung ..."
Dewi Anggraeni makin tidak mengerti.
"Melapangkan jalan buat cita-cita tinggi" Mengapa mesu membawa hamba ke dalam hutan".'
132 2 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mengapa hal itu tidak Kakanda katakan tadi saja di ruman" Mengapa mesu" dalam hutan>"
Tumenggung Braja Nata gugup lagi.
"Tetapi ... tetapi ... sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu Kanda lakukan ... Di sini, di sini ...
makin cepat makin baik, makin baik!"
"Apa yang akan Kanda lakukan" Mengapa Kanda bicara selalu dalam teka-teki" Katakan
semuanya, supaya hamba mengerti!"
"Baik akan ... akan Kanda coba terangkan duduk halnya ..." Tumenggung Braja Nata menyeka
keringat dari mukanya, "Rayinda, tahukah adinda bahwa sesungguhnya ... Raden Panji sudah
dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota Kadiri?" ia mengangkat muka,
mengarahkan pandangannya kepada Dewi Anggraeni. "Tahukah Rayinda?"
Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi hal itu! Hal itu yang juga selama ini menjadi
pikirannya! Itulah biang keladinya! Dan ia merasakan detak jantungnya yang menghebat
memukul-mukul dinding dada.
'Kakang Panji, agaknya soal yang selama ini Adinda takuti juga yang menyebabkan sejak kemarin
merasa lesu ... * katanya dalam hati.
Dewi Anggraeni mengangguk, tetapi lidahnya bagaikan scbungkah besi, tak sanggup kendati
133 mengucapkan sepatah "ya" sekalipun.
"Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih kanak-kanak. atas persetujuan baginda
Prabu JanggaJa dengan mam and a Prabu Kadiri Kedua baginda bercita-cita tinggi, hendak
mcm-persatukan kedua buah kerajaan Janggala dan Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan
cita-cita moyang kita semua sang Airlangga ..." kata Tumenggung Braja Nata mencrangkan. Dewi
Anggraeni menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui ... katanya perlahan.
"Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata me* lanjutkan seolah-olah tak menghiraukan perkataan
Dewi Anggraeni, "tiba saatnya untuk mengakhiri pertunangan itu dengan pemikahan... Telah datang
utusan dari Kadiri menanyakan saat pernikahan Karena itu kemarin Raden Panji dititahkan
menghadap buru-buru, sebab baginda hendak menanyakan hal itu kepadanya ..."
"Jadi ada utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni tanpa mengangkat mukanya. "Dan
bagaimanakah sikap Kakang Panji" Maukah ia hendak menikah dengan ... putri mahkota Kadiri?"
Tumenggung Braja Nata menghela nafas. "Itulah." katanya. "Raden Panji menolak ... 1 "Kakang
Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat mukanya.
134 ' 3 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tetapi bagaimanakah akhimya, Kakanda?" ia bertanya. "Bagaimanakah'disabdakan Baginda
kepada utusan dari Kadiri?"
"Utusan dari Kadiri masih menunggu, karena persoalan belum selesai..."
"Belum selesai?"
"Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda murka ... '
Nata. "Baginda murka" Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran.
"Baginda murka dan ... dan ... " "Dan bagaimana?"
"Dan baginda menitahkan Raden Panji . .
"Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat
apa?" "Menyambangi sang Kili Suci... *
"Hanya untuk itu" Hanya untuk menyambangi.
135 Sedangkan daJam istana persoalan mengenai dirinya belum selesai" Kakanda. katakan terus
terang, buat apakah kakang Panji dititahkan baginda ke Pucangan" Akankah ia mendapat hukuman
dari sang Kili Suci" Tidakkah baginda menyerahkan menghukumnya kepada sang Kili Suci?"
"Supaya mudah melapangkan jalan! Apakah sesungguhnya yang Kakanda maksud?" tanya Dewi
Anggraeni. Tumenggung Braja Nata tidak segera menyahut.
"Menurut Baginda," katanya kemudian dengan suara menggigil. 1 Cita-citanya yang agung itu
takkan terlaksana kalau masih ada penghalang yang merintanginya ... Maka ... maka...
dititahkannya Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan Janggala ... . "
"Kakanda dititahkan mencari sarung baru bagi keris pusaka kerajaan Janggala" Tetapi mengapa - .
. " tak lanjut perkataan Dewi Anggraeni, karena tiba-uba ia mengerti. Wajahnya pucat, bibirnya
gemetar, dan tubuhnya terasa tak bertenaga. Penghalang! Bukankah aku yang menjadi perin-136
iang tercapainya cita-cita baginda1** pikirnya Ya akulah yang menjadi rintangan. karena aku yang
menyebabkan Kakang Panji tidak sudi melaksanakan cita-cita baginda untuk menikah dengan Dewi
Sekar Taji! Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti dihilangkan! Rintangan mesti ditebas!
Mengerti aku sekarang! Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk mencari sarung bam keris pusaka
Aku . . - akulah sarung bam itu! Aku!*
Tak disadarinya air mata deras keluar, meleleh membasahi pipi.
4 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kakanda! Hamba mengerti sekarang!" katanya dengan sedu sedan yang menyesakkan dada.
"Hamba mengerti mengapa sejak tadi Kakanda kelihatan gugup dan bingung! Hamba tahu, apa
yang menjadi penghalang buat terlaksananya cita-cita yang agung sang baginda! Hamba.
hambalah orangnya! Hambalah yang menjadi penghalang antara Kakang Panji dengan Dewi Sekar
Taji! Dan penghalang mesti dibuang, ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk
membuang penghalang" Mengapa Kanda belum juga lakukan titah baginda yang mulia itu"
Mengapa?" Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat keluar di seluruh tubuhnya. la menghindari
pandangan Dewi Anggraeni, lalu matanya mencari-cari Senapati Arya Suralaga. Tetapi tak kelihatan
olehnya. 137 "Mengapa tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti mendapat sarung baru itu" Mengapa
tidak Kanda masukkan ke dalam serangkanya yang baru. ke dalam dada hamba" * desak Dewi
Anggraeni. 'Ti . . tidak, tidak, Rayinda! Kanda ... Kanda tak ... sampai hati sahut Tumenggung
Braja Nata. "Kakanda Tumenggung Braja Nata!" kata Dewi Anggraeni. "Mana keberanian Kanda" Bukankah
Kakanda satria utama kerajaan Janggala yang jaya" Mengapa Kanda tidak hendak melaksanakan
titah dengan baik" Mengapa Kanda waswas dan ragu" Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela!
Hamba rela mati untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang menjadi penghalang,
biarlah hamba lenyapkan diri hamba! Kakanda, marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat
makin baik?" Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah kuatir Dewi Anggraeni menerkamnya. Emban Wagini


Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mendengarkan percakapan gustinya sejak tadi dan melihat suasana sudah hampir
memuncak, menjatuhkan diri pada kaki gustinya, lalu menangis.
"Jangan. Gusti, jangan Gusti berbuat nekat ... Gusti, jangan Gusti menghabiskan jiwa secara
percuma ratapnya. Dewi Anggraeni mencoba melepaskan kaki dari
138 pelukan inang pengasuhnya yang setia itu
-Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak lah kami mati secara percuma! Setiap kawuW n gara
mesti rela mengurbankan dirinya buat kepentingan negara! Lepaskan!"
"Tetapi Gusti ... Gusti masih muda dan Gusti Panji tentu akan kehilangan . Apa 'yane mesti hamba
jawab kalau Gusti Panji menanyai hamba?" ratap Emban Wagini. Dewi Anggraeni murka.
"Mengapa engkau, Bibi" Mengapa bertingkah"
5 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Lepaskan!" Dan melihat gustinya murka, makin erat Wagini memeluknya.
"Lepaskan kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan kakinya sekuat tenaga, sehingga
tubuh yang renta itu terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya menggerung-gerung.
"Kanda Tumenggung! Jangan Kanda ragu! Bukankah darma satria itu mesti diletakkan di atas
segala perasaan tak tega dan bimbang" Mengapa Kanda hendak memalukan kerajaan Janggala"
Satria Janggala janganlah ragu dan waswas! Lakukan titah baginda! Lapangkan jalan menuju
tercapainya cita-cita agung kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke dalam serangkanya yang
baru!" Tumenggung Braja Nata tidak menyahut. Tangannya yang kanan memegang keris pusaka ke 139 rajaan Janggala yang telanjang itu dengan lesu dan tak bertenaga. Tabahkan hatimu! Engkau
adalah Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua dan gurunya di medan Kuru! Tabahkan
hatimu!' suara baginda terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia melirik kepada Dewi Anggraeni
dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya wajah jelita itu bermandikan air mata, tetapi
menunjukkan ketenangan yang luar biasa.
"Kanda mengapa Kanda seperti bukan satria saja" Mengapa hatimu hati betina" Hamba kira,
Tumenggung Braja Nata seorang pahlawan sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih
menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi Anggraeni dengan suara setengah
mengejek. Ia maju mendekati Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepas-lepas memandang
Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu. Lalu, tiba-tiba sekali, ia meloncat, tangannya yang kanan
merebut keris dari tangan Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris
pusaka telah berpindah tangan. Sejenak ia terbengong, terbelalak melihat kepada Dewi Anggraeni.
"Kanda, biarlah, kalau Kanda tak sampai hati menghilangkan penghalang yang merintangi cita-cita
tinggi Baginda Prabu Janggala. biar kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia hanya
menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada Kakang Panji, bahwa hamba melakukan
140 semua ini dengan ... iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya menusukkan mata keris pusaka yang
tajam itu ke dalam dadanya. Darah yang merah menyirat segar, membasahi ikat pinggang dan
kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah. Sedangkan darah makin banyak juga yang keluar,
meruah-ruah di atas daun-daunan yang membusuk.
"Kakang Panji!' ... Berbahagialah ... sela . mat - . . tinggal, semuanya!" katanya terputus-putus.
"Gusti! Gustiku!" teriak Wagini memburu sambil melompat, menubruk tubuh junjungannya. Lalu ia
menangis di sana. "Mengapa Gusti" Mengapa Gusti meninggalkan hamba?"
"Rayinda!" teriak Tumenggung Braja Nata sambil memeluk tubuh yang terkulai tak bernyawa itu.
6 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Gusti! . . Hidupku! Untuk siapakah gunanya hidupku di dunia, kalau Gusti tak ada lagi?" ratap
Wagini. "Tak kukira Gusti akan mengakhiri hidup seperti ini . Duhai, tak ada artinya hidupku kini, tak
ada artinya! Tak ada!" tiba-tiba ia bangkit dan mencabut keris pusaka yang tertancap itu dari dada
gustinya. Darah yang masih merah segar membasahi maU keris itu. "Jangan, jangan Gusti
tinggalkan hamba di dunia sendiri...jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang memegang
keris itu terangkat, dan sekejap kemudian, keris itu telah terbenam pula ke dalam tubuhnya.
"Nan-141 tikan, nantikanlah hamba. Gusti ... Hamba ikut " desisnya makin lama kian lemah jua. Darah
membanjir pula. Wagini mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh, numprah tak bernyawa.
' Ia memperhatikan dua mayat yang bersisi-si-sun itu dengan mata setengah sadar. Bibir matanya
bagaikan takkan mengejap, sedangkan bibir mulutnya bergerak-gerak, bagaikan menggumam.
- ... Mereka bunuh diri ... Dua orang! Dua orang manusia! ... Manusia, manusia berdarah merah!
Hangat! Manusia yang hidup, nyata! Kini terbaring ... terhantar tak bernyawa! Mereka bunuh diri!
Duhai, mengapa dua jiwa mesti hilang percuma ... Benarkah mereka hilang untuk kepentingan
kemanusiaan" Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan mesti lenyap terbunuh dua orang
manusia yang nyata, hidup, berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"
Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam pikirannya yang kacau, merenungkan
segala peristiwa yang dialaminya sejak masih dari istana. "Cita-cita luhur senantiasa menuntut
pengurbanan . Kebesaran jiwa seorang satria kelihatan dari kesanggupannya menghilangkan dan
menghancurkan dirinya sendiri, dalam kepentingan kemanusiaan yang lebih besar
142 Tatkala akhirnya Tumenggung Braja Nata t
-Aryi Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah kesunyian yang mencekam itu. "Arya Suralaga!
Di mana engkau?" "Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan,
teralingi semak tinggi. "Ke mari!"
"Hamba mengurus kuda. Gusti!"
"Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak Tumenggung Braja Nata dengan berang yang
meluap mendadak. Dengan langkah segan-segan dan hati berat, Senapati Arya Suralaga mendekati Tumenggung
Braja Nata. Meski ia telah menduga peristiwa yang terjadi, namun ia terkejut juga demi melihat dua
mayat tergeletak berlumuran darah yang
mulai mengental. "Gusti!" hanya itulah perkataan yang keluar
7 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dari mulutnya. Tumenggung Braja Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan pandangannya pula. Beberapa
jenak mereka berdiam-diaman. Tak seorang
143 pun mau bicara, kecuali dengan kelebat mata. Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit, tubuhnya
mengangkang hendak mengambil keris yang tertancap pada dada Wagini. Dengan hati-hati
dicabutnya keris itu. "Mereka meninggal secara jantan ... ."gumamnya lemah. "Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria!
Karena menganggap dirinya menjadi penghalang buat cita-cita kemanusiaan yang agung, tak
segan-segan dia menghapuskan dirinya sendiri
ft "Jadi mereka membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga.
Tumenggung Braja Nata mengangguk.
"Ya!" sahutnya lemah, "Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan ketabahan dan
kesediaannya meleburkan diri guna kepentingan yang lebih agung . "
"Batara akan melindungi mereka ... ," gumam lemah Senapati Arya Suralaga.
Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan hutan yang sayup-sayup diiringi suara
binatang yang sayu, bagaikan turut berhid-mat kepada arwah yang baru meninggalkan raga.
Titah telah terlaksana, tidakkah kita lebih baik pulang sekarang untuk mempersembahkannya
kepada baginda?" akhirnya Senapati Arya
lam^ rmCCah kC5Unyian-Ia tak tahan lebih lama berdiam^aman dalam suasana mencekam.
Tumenggung Braja Nata bangkit
-Baginda tidak menitahkan kita untuk m. bawa jenazah keduanya ke istana, hendak v
"Lebih baik kita biarkan saja di sini Su jangan diganggu binatang, lebih baik kiu'timbum dahulu ..."
sahut Senapati Arya Suralaga
"Baiklah," sahut Tumenggung Braja Nata mengangguk.
Maka keduanya pun membetulkan letak kedua mayat itu, kemudian menimbuninya dengan sampah
daun-daunan yang banyak bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah selesai. Bekas
darah tak lagi nampak. Keduanya menganggap cukup aman, lalu berdiri akan memberikan hidmat
terakhir kepada kedua jiwa satria itu.
"Perhatikan batang cempaka itu ...," kata Tumenggung Braja Nata sebelum pulang.
"Bunga-bunganya sedang bermekaran, dan di bawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi
8 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ratu segala bunga ..."
Senapati Arya Suragala tidak menyahut. Kepalanya jatuh tertunduk.
Kemudian keduanya mengambil kudanya masing-masing, dan berlalu dari sana.
145 144 PATIH PRASANTA Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan diiringi oleh Patih Prasanta yang tua beserta beberapa
orang ponggawa, bagaikan kalap memacu kudanya dari arah Pucangan. Raden Panji merasa
sangat gelisah. Kegelisahan menyebabkan ia kehilangan ketenangan, rusuh mengamuk di dalam
kalbu, berbagai perasaan berkecamuk tak menentu.
Waktu ia menuju ke Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah baginda. Ia merasa
bergembira karena baginda tidak memaksanya menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun demikian,
ia sendiri tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba saja baginda menitahkannya menghadap kepada
sang Kili Suci. Begitu penting titah itu, sampai ia tidak diperkenankan singgah dahulu akan
menemui istrinya. Adalah harapan bahwa sang pertapa akan berdiri di fihaknya, yang menyebabkan
ia senantiasa menekan perasaan rusuh yang tak
146 keruan paran, sehingga dengan cepat i. k pai ke Pucangan. Tetapi alangkah hL tatkala
menyaksikan sang Kili Sud m
Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden Panji, sang pertapa yang sudah lanjut usianya
itu, malah seolah-olah berbicara tentang dirinya, sedangkan wajahnya sangat bersedih. Dengan
matanya yang muram itu ia mengawasi wajah serta kepala Raden Panji, mesra dan penuh sayang,
namun kalau kebetulan Raden Panji memandang kepadanya, ia cepat-cepat menghindari
pandangan putra mahkota Janggala itu.
"Sebagai putra mahkota yang kelak akan memangku takhta, engkau mesti tabah dan tetap hati. Apa
yang dipetuakan oleh ayahmu adalah
147 benar semua ... Hanya saja ..." tak lanjut pU|a perkataannya. "Sekarang paling tepat, engkau
buru-buru pulang ke tempat istrimu ... Semua lelah terjadi, tak mungkin dihindari, karena itu karena itu engkau mesti benar-benar teguh hati. ingatlah, bahwa hidup di dunia ini hanya maya, tak
langgeng, semuanya tak abadi ... Dan engkau. Raden, seorang pahlawan yang bijaksana, tentu
akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!" setelah berhenti sejenak, dengan
menghela nafas yang wegah, sang Kili Suci menyambung pula. "Bukan tak ingin mengajak Raden
9 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tinggal di sini barang beberapa hari, tetapi yang paling tepat sekarang. Raden cepat-cepat pulang
ke tempat istrimu ..." Raden Panji menghaturkan sembah. "Tetapi bagaimanakah gerangan dengan
pertunangan hamba dengan Dewi Sekar Taji" Mungkin Ayahanda akan meminta tolong untuk
menjelaskan hal diri hamba kepada Baginda Prabu Kadin, supaya tidak terbit persengketaan . .
Kalau sekarang hamba pulang, apakah yang mesti hamba persembahkan kepada Ayahanda?"
Suara sang Kili Suci sangat perlahan.
adalahfSJ***. aden pikirkan Ya" bemr 148
an dunia mi! Pertemuannya dengan sang Kili Suci itu numbuhkan kegelisahan dalam hatinya la m.T ^gat heran
akan tingkah laku dan perkit' X Kili Suci. Alangkah muram Sn^" apakah gerangan yang
menyebabkannya^ Me ngapa tak nampak tanda-tanda kegembiraan hatinya bertemu dengan dia"
Mengapa malah menyuruhnya pulang cepat-cepat" Ada apakah gerangan yang terjadi" Mengapa
suaranya sangat murung dan wajahnya berduka" Tidak, tak pernah sebelumnya sang Kili Suci
nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan wajahnya berseri-seri. Seorang pertapa yang sudah
mengatasi duka dunia! Tidak lagi gelombang perasaan berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya
nampak segar. Tetapi tadi ... !
Dalam pada itu perasaan gelisah yang berkecamuk dalam hatinya makin membadai. Ia memacu
kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa larinya terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh
akan melihat kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta yang sudah lanjut usianya
itu, mati-matian menyusulnya. Bahkan tiga orang ponggawa jauh tertinggal di belakang, betapapun
mereka memecuti kudanya. "Alangkah aneh!'katanya berulang-ulang dalam
hatinya sendiri. 'Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda menitahkan aku ke Pucangan,
sedangkan utusan dari Kadiri masih me 149 nanti.' Dan di Pucangan. sungguh luar biasa! Mengapa sang Kili Suci nampak demikian muram dan
berkata-kata bagaikan tak tentu ujung pangkalnya" Wahai, ia orang bijaksana, yang sakti kenyang
bertapa, tentu waspada, tahu sudah apa maksud baginda ... Tetapi kepadaku ia wanti-wanti
berpesan supaya cepat-cepat pulang ... Wahai, ada peristiwa apakah yang menunggu"'
Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal dan licin, tetapi Raden Panji
sungguh-sungguh seorang yang pandai berkuda. Di tempat yang datar, kudanya melesat laksana
anak panah dari busurnya, hanya sekilas nampak oleh pandangan.
'Dan Rayinda Anggraeni ... tentu ia sudah gelisah menanti!1 pikir Raden Panji pula. 'Seharusnya
aku datang kemarin dulu. Ah, tentu ia sudah mengira yang bukan-bukan!'
Teringat kepada istrinya yang sangat dia cintai. Raden Panji cerah wajahnya, lantaran terbayang
sambutan istrinya itu kelak. Alangkah akan gembira Anggraeni menyambutnya! 'Sudah tahukah [a
bahwa aku dititahkan ke Pucangan" Tentu salah seorang kandaku telah memberitahukannya
10 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
. V tentU ^mbiarkannya menanti
dalam gelisah dan melang pikirnya pula.
150 Makin dekat ke tempat Peristirahatanmu
simpang siur tak kenian makin menjadi. Ha2 makin gelisah saja. Dan wajah wj.
berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata batinnya. Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak
mampu naik kepada urat-urat wajahnya, la mencoba memejamkan mata akan menghilangkan
bayangan yang menyeramkan itu, tetapi selalu dan selalu saja muncul kembali. Sedangkan mata
kekasihnya itu tajam tetapi tenang seakan-akan terus-menerus memandangnya, menatapnya, tak
kunjung mengejap, dingin dan mengibakan ....
'Apakah gerangan yang terjadi dengan Anggraeni"' pikirnya tak habis-habisnya.
"Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar teriakan di belakangnya. Itulah suara Patih Prasanta. la
menghentikan kudanya. "Ada apa Mamanda Patih?" ia kembali bertanya sambil berpaling.
"Hari telah sore, tidakkah lebih elok kita mencari penginapan buat bermalam saja?" tanya Patih
Prasanta berteriak karena jarak antara mereka masih jauh.
Raden Panji memecut kudanya pula.
"Tidak! Kita terus saja!"
"Tetapi, Raden ... M tak lanjut perkataar.Patih Prasanta karena sementara itu Raden Panji
151 telah jauh meninggalkannya.
Ia bingung, karena para ponggawa yang mengiringinya makin banyak saja yang tertinggal, entah
meninggalkan diri. tentu lantaran kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar kuda
Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus. Akankah ia menanti para ponggawa yang
tercecer itu untuk kemudian mengejar bersama" Ataukah ia akan terus" la pun telah lelah, sedang
mulut kudanya sudah berbusah-busah.
Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena untuk mengawaninyalah aku dititahkan turut...'
akhirnya ia mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan kendali pula. tanda supaya kudanya lari
lagi. Kuda itu tahu akan isyarat tuannya, segera berlari.
Keesokan harinya dengan wajah yang kuyu dan mata kurang tidur karena semalaman tak
henti-hentinya berkuda. Raden Panji sampai di tempat peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu.
tetapi kalbunya pepat, gelisah tak menentu.
11 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Waktu ia sudah menambatkan kuda dan masuk ke rumah, ia mendapati rumah lengang. Para
emban dan orang-orang yang bertemu dengan dia. menghaturkan sembah diam-diam, tetapi lalu
menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan gustinya yang luar biasa itu dan menduga
yang bukan-bukan. Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak ke 152 ^atan olehnya. -Rayinda!" ia berteriak rusuh -o- ,
Hanya gaung yang menyahut. ^
"Rayi! Keluarlah, suamimu datang'."
jetapi tak ada juga sahutan.
Ia masuk ke dalam peraduan, tetapi Dewi Ano raeni tak nampak. Ia heran. Sangkaan yang bukaS"
bukan memenuhi kepalanya. Lalu ia menoleh kepada seorang emban.
-Emban, ke manakah gustimu" Mengapa tak kelihatan" Pergi ke tamankah dia" Cepat panggil!"
katanya. "Ampun Gusti!" sembah emban yang ditanya. 'Mengapa Gusti bertanya kepada hamba" Adalah
hamba yang hendak menanyakan hal itu kepada Gusti..."
Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?"
"Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu berangkat dengan Bibi Wagini


Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergi" Ke mana?" tanya Raden Panji heran.
"Ampun Gusti, hamba kurang tahu. Yang hamba dengar, katanya hendak menyusul Gusti
"Menyusul kami?"
"Hamba, Gusti."
"Menyusul kami ke mana" Ke istana?"
"Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi Gusti Putn berangkat bersama rakanda Gusti Kangjeng
Tumenggung ____" 153 "Apa" Bersama rakanda Braja Nata?" "Hamba, Gusti."
12 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Raden Panji terhenyak. Ia terduduk, sedang, kan tubuhnya terasa lesu. Tumenggung Braja Nata!
Apakah maksudnya gerangan maka menjemput istrinya. Dewi Anggraeni" Hendak menyusul" Ke
mana" Ke Pucangan" Bukankah Tumenggung Braja Nata tahu bahwa Raden Panji mendapat titah
ayahanda ke Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci" Mengapa malah ia menjemput istrinya"
Sedangkan baginda tidak memperkenankan ia sendiri singgah menemui istrinya itu! Mengapa justru
Tumenggung Braja Nata malah menjemputnya" Untuk pergi ke mana" Dan kapan ... " Kemarin
dulu! Kemarin dulu! Bukankah waktu itu pula ia mendapat titah ayahanda" Bukankah kemarin dulu
ia berangkat ke Pucangan" Agaknya
"Apakah maksud Kakanda Tumenggung"* pikir Raden Panji. 'Mustahil ia hendak main gila kepada
Dewi Anggraeni, tetapi ... mengapa tidak" Dewi Anggraeni sangat jelita
Terpengaruh oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden Panji naik. Wajahnya bagaikan
terbakar dan amarah meluap-luap.
"Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada emban.
lr.^PKUn PUSti' hamba kU ka itu hamba sedang di belakang... ," sahut
154 -fliban- ..^pakah yang ketika itu ada di deo^ c
mari1" Sumh Yfi man - Emban itu mengundurkan diri akan kawannya yang kemarin dulu melavani ^ ^ men*a. Waktu ia
kemba,i, T^IZ orang emban yang lain. ' "Ya, ke mana katanya mereka mau pergi0" Raden Panji tak sabar.
"Kalau hamba tak salah ... ke Muara ... Muara Kam ... Muara Kamal," sahut emban itu dengan
ragu-ragu. "Katanya hendak menyusul Gusti yang telah berangkat duluan ke sana..." "Ke mana"
Muara Kamal?" "Hamba, Gusti. Muara Kamal." Raden Panji bangkit.
Kepada Patih Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia berkata, "Mamanda Patih! Kita Pergi
ke Muara Kamal!" "Tetapi Raden ..."
"Mamanda, kita berangkat sekarang!"
96 13 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
155 Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak mengerti kepada putra mahkota
Janggala. Kepalanya menggeleng.
Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu mendekati kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu
kelelahan, ia menukarnya dengan yang baru dari kandang.
"Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya
Patih Prasanta. Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda.
"Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!"
"Ke Muara Kamal" Ada apa?"
Tetapi Raden Panji tidak mau menyahut. Ia meloncat ke atas punggung kuda, lalu memacunya. Ia
bagaikan tidak menghiraukan lagi patih Prasanta. Patih yang tua itu segera pula mencari kuda baru,
lalu memacunya, mengejar Raden Panji.
"Sungguh aneh!" bisiknya. Tetapi ia tidak berani melepaskan putra mahkota pergi sendirian, maka ia
pun kepacu ke arah Muara Kamal.
Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu, melesat terbang membawa Raden Panji dalam
kegelisahan dan berbagai pikiran yang kusut.
Tumenggung Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia berbuat nista"' pikirnya. Selagi aku
menjalankan titah Baginda, ia mencuri istriku! Kurang ajar"
156 patin Prasanta yang tua itu kini tidak ma ketinggalan. Kudanya yang jUga kuda piC yang diambilnya
dan kandang kuda Raden lari dengan kecepatan luar biasa, la tidak jauh i
belakang Raden Panji. Demikianlah beberapa lamanya keduanya berke jar-kejaran bagaikan orang yang sedang berlumba
Setelah melewati padang yang luas dan tanah-tanah pertanian yang subur, mereka masuk ke
dalam hutan lebat. Pohon-pohonnya tinggi-tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji tetap memacu
kudanya. Hanya kalau terhadang oleh belukar yang lebat, ia memperlambat lari kudanya.
Tiba-tiba kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya, dan tak jauh di sebelah depan
terdengar pula benger kuda. Tak tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah suara kuda
datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya. Maka segera ia mempertajam matanya.
"Si Hitam!" teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda tertambat pada sebatang pohon
14 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
trembesi. "Mengapa ada di sini?"
Lalu ia pun mendekati kuda itu. kemudian
turun. Patih Prasanta pun mengikuti Raden Panji. "Ada apa, Raden?" ia bertanya. "Si Hitam kuda
tunggangan Dewi Anggraeni ada di sini!" sahut Raden Panji sambil mendeKau
157 si Hitam, yang setelah mengenali majikannya |aiu berbenger pula. "Mengapa ada di sini?" si Hitam
hanya meringkik saja. "Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam saja!" kata Patih Prasanta yang segera
memperhatikan keadaan sekelilingnya. "Agaknya paling tidak ada dua ekor kuda lainnya lagi!"
Raden Panji turut memperhatikan tapak kuda. "Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan bekas si
Hitam!" sahutnya. "Salah satu mestilah tapak kuda Tumenggung Braja Nata! Ke mana mereka
sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda itu dengan seksama.
"Mereka menuju kembali ke arah yang kita tinggalkan ... ," katanya kemudian. "Mereka datang
bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!"
"Itulah si Hitam!" potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda tunggangan istriku Dewi Anggraeni!"
Wajahnya menjadi pucat dan merah bergantian. Ia murka kepada Tumenggung Braja Nata, tetapi ia
pun kuatir akan nasib istrinya ... .
"Jadi bagaimana" Kita kejar atau ... ?"
"Kita cari dahulu penunggang si Hitam!" Raden Panji memutuskan. Ulu ia memperhatikan keadaan
sekitarnya dengan teliti. "Lihat! Apakah tumpukan daun-daun kering itu" Mengapa seperti dibikin
orang?" h pun Iari ke arah fcan
dedaunan kenng di bawah pohon cempaka.
158 kapenun penasaran Raden Panji membongkar ampukan daunan yang membukit itu. Tent nya
bagaikan kerasukan sebentar saja tumpuk^ daun yang tinggi itu telah dia bongkar. Dan tatkala
akhirnya ia menyentuh tubuh yang kaku, makin cepat ia membongkar, sedangkan tangannya
menggigil. Jantungnya berhenti berdenyut.
"Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia melihat mayat siapa gerangan yang terbujur itu. Lupa
akan apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di atas tubuh istrinya yang dingin dan
kaku, namun utuh, sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela.
Raden Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan memacu kuda tak henti-hentinya itu, tak
15 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tahan mengalami kekagetan dahsyat,
sehingga pingsan. Patih Prasanta yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk. Raden Panji yang tak sadarkan diri itu,
ditidurkan baik-baik, sambil dia pijiti supaya lekas siuman. Kemudian ia meninggalkan tubuh Raden
Panji, mendekati mayat Dewi Anggraeni. Sisa-sisa sampah yang masih menutupi wajah dan
badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya, dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji.
Maka kelihatan olehnya mayat yang lain,
159 yang tak bukan adalah mayat Emban Wagini. Mayat itu pun diangkatnya baik-baik dan
dibaringkannya. "Sungguh dahsyat!" pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya untuk inilah baginda menitahkan
Raden Panji ke Pucangan! Sungguh berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang yang
menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni,
bagaikan iklas ia meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua kerajaan! Tumenggung
Braja Nata! Sungguh tangguh kalbunya, keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri adiknya
sendiri!" Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula supaya lekas siuman, tetapi sia-sia saja.
'Sungguh besar pengurbananmu, Raden!* ratapnya dalam hati. Sungguh keras kehendak
Ramanda! Dan engkau, Raden - wahai, inilah agaknya arti petua sang Kili Suci! Raden mesti tabah!
Raden mesti sadrah! Raden, inilah agaknya yang dimaksudkan sang Kili Suci! Ia sungguh waspada,
meski tak sepatah pun berkata, namun tak ada rahasia baginya. Pantas wajahnya muram! Sungguh
berat, sungguh berat Raden, cobaan yang mesti kautanggungi' Patih Prasanta menghela nafas,
160 keras hati membela kepentingan kerajaan, demi tercapainya cita-citanya yang suci serta luhur itu'
Untuk setiap cita-cita tinggi memang harus diberikan pengurbanan yang besar! Tetapi... Radcn
Panji pun seorang manusia yang mempunyai hati Ia pun mempunyai kehendak-kehendak untuk
mengecap kebahagiaan kalbunya ... Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena tidak mau
menerima titah baginda ... / tak terasa lagi air matanya keluar dan menitik, hangat terasa. 'Sayang,
sungguh sayang sekali ... sayang sekali ... Ah, mengapa baginda tidak bertindak bijaksana"
Mengapa baginda menempuh jalan keras" Aduhai, Raden, sadar, sadarlah ... Kuatkan hatimu!
Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang sangat berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...'
Dari arah selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama kemudian kelihatan mendatang
para ponggawa di atas kuda mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas nasib putra
mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang berjongkok menghadapi tiga orang yang terhantar
kaku, terkejut mereka bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari punggung binatang
tunggangannya. "Mengapakah Gusti Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di antara mereka.
Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya.
16 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
161 Dua orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin. Untung tak jauh dari sana ada sumber air
yang jernih bening, sehingga tak lama kemudian ia sudah datang membawa air yang diminta. Patih
Prasanta menerima air itu, lalu menyiram kepala Raden Panji. Karena air dingin itu, Raden Panji
siuman pula. Perlahan-lahan ia membuka mata.
"Anggraeni ... Anggraeni ... gumamnya, la memandang ke sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan
Patih Prasanta dan para ponggawa lain seakan-akan tak dia lihat. Dia menubruk tubuh istrinya.
"Anggraeni ... mengapa kau tidur di sini" Mengapa bukan di rumah" Duhai, Anggraeni, istriku
sayang, alangkah nyenyak tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu berdarah" Duhai, nyamuk jahanam
itu telah menyentuh kulitmu! Tenang, tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-baik!"
Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi tatkala tak ketemu, ia kembali kepada
istrinya. "Di manakah kipas kautinggalkan, Adinda" Biar. biarlah tak kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir
... Tidur saja kau, tidurlah ... Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah ... ," maka ia pun
menembang dengan suaranya yang parau, hampir mulutnya rapat pada telinga istrinya itu,
sehingga orang-orang yang melihat tamasya itu segera memalingkan wajahnya.
162 "Raden ... , Raden ...
santa. Para ponggawa yang lainnya menjatuhkan kepalanya masing-masing. Mereka berduka demi me
lihat tingkah gusti mereka. Mereka pun berduka lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni. Yang
mengherankan mereka adalah meskipun darah yang keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi
tubuhnya masih tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan senyuman yang bergelut pada
bibirnya ... , takkan mungkin disangka orang sudah menjadi mayat. Waktu mengangkat wajah,
mereka hanya bersipandangan dengan sesamanya, untuk kemudian menjatuhkan kepala pula.
Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji yang sedang bersenandung itu. Ia hanya diam
juga menundukkan kepala. Akhirnya Raden Panji selesai bersenandung, lalu bangkit pula dan memangku istrinya itu.
"Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda terbaring" Lumut itu mengotori kulitmu indah,
dan ranting itu akan menusuk lenganmu langsat ..." bisiknya mesra. "Mari kupindahkan,
kupindahkan engkau atas ranjang gading ketiduran kita... "
JLalu ia menoleh kepada patih Prasanta. "Mamanda Patih! Mengapa diam saja" Ambillah Bibi
Wagini itu, Mamanda pangku ia, supaya kita
163 pindahkan mereka, jangan tertidur di sini ... Pelan-pelan, jangan sampai ia terjaga dari tidurnya!"
katanya memberi perintah.
Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi Raden ... Raden ..."
17 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mengapa Mamanda tidak segera menjalankan titah" Ataukah Mamanda tidak memandang mata
lagi kepada kami" Mamanda tahu, kami putra mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan putra
mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan
kanak-kanak. Maka basahlah wajah istrinya oleh air mata. "Duhai, mengapa kubasahi wajah jelita ini
dengan air mata hina" Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air mata ini! Kekasih
abadi! Percayalah, biar gunung Semeru mereka hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti
terpisahkan dari hidupku ... Percayalah, kekasih, percayalah! Percayalah akan cintaku yang besar!
Tak nanti kukhianati! Biar, biar, biar seluruh kerajaan memusuhi Kakanda, namun hatiku tetap
cintamu ... Anggraeni! Lihat! Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau kuuntai sekarangan
bunga, akan menjadi penghias keje-litaanmu" Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga ...
Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih ini berbau darah" Tak terciumkah olehmu.
Adinda, amis darah merangsang hidung" Amis! Amis! Mamanda Patih! Me-164
ngapa amis darah" Darah siapa duhai Mamanda
Patih" la menoleh kepada Patih Prasanta. Sang patih menundukkan wajah. Air matanya makin lebat
membasahi pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega melihat keadaan junjungannya
"Raden ... Raden ... ," hanya itulah yang keluar dari mulutnya.
"Mamanda Patih! Siapakah yang luka" Siapakah yang darahnya .. lihat! Alangkah merahnya darah
itu! Lihat mengapa batang cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu" Mengapa batang
cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia mundur sambil memangku istrinya. "Paman,
mundur, mundur, darah itu makin banyak makin banyak jua! Lihat membanjir! Tidakkah ia akan
menghanyutkan kita" Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan matanya. Dan
berteriak-teriak meminta tolong tak keruan. Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya
saja. Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan Raden Panji saja.
Tatkala ia membuka matanya pula, Raden Panji memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya
berkepanjangan. "Anggraeni, istriku, kekasihku ... Mengapa, matamu begitu berduka" Mengapa begitu sedih" Ali,
engkau tidur di pangkuanku, mengapa matamu tak pejam" Mengapa memandangku begitu sayu"
165 Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang wajahnya seperti kekasihku, menatap tak
henti-henti kepadaku" Siapakah dia" Bukan, dia bukan istriku, karena istriku sedang nyenyak
tertidur di pelukanku ... Mamanda, tolong! Tolong
singkirkan dia, karena darah tak henti-hentinya
mengalir dari dadanya! Duhai, tolong, darah yang
merah! Merah!" Raden Panji berlari-lari ketakutan dan mulutnya
18 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tak henti-hentinya berteriak-teriak. Patih Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu
Raden Panji. "Raden tenanglah Raden, tenanglah ... Tak ada orang yang memandang Raden dan darahnya tak
henti-henti mengalir . . Tak ada!"
"Tetapi lihat! Ia berdiri di samping Mamanda! Ia memandang! Mamanda. suruh ia pergi! Jangan
memandangku dengan pandangan dingin begitu!"
"Raden ... ," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba. "Yang berdiri di samping Raden, hanya
Mamanda seorang, tak ada yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... "
"Sssttt ...," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya. "Jangan keras-keras Mamanda bicara,
nanti ia terjaga! Lihat, ia tidur, nyenyak
sekali. Perlahan-lahan Mamanda, supaya ia jangan terjaga..."
Patih Prasanta hanya memandang dengan kasihan.
166 Patih Prasanta serta para ponggawa kembali menjatuhkan kepala. Mereka menghindarkan
pandangan dari tamasya yang mengenaskan itu ...
Raden Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan membaringkan kekasihnya di atas naungan
pohon yang rindang. Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal lengannya yang kanan, lalu
tangannya yang kiri memeluk sayang tubuh istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga berhenti
bersenandung....

Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak lama kemudian suaranya lenyap, agaknya ia tertidur.
Patih Prasanta terjaga dari lamunannya, lalu bangkit dan memberi isyarat kepada para ponggawa
agaj^ mengikutinya, la berjalan agak jauh dari tempat Raden Panji, lalu memberi perintah dengan
berbisik. "Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah ... ," ia lupa bahwa ia sendiri bersama para
ponggawa itu lelah semua. Lalu dititahkannya
167 supaya dua orang ponggawa pulang ke istana, akan mempersembahkan hal Raden Panji kepada
baginda,,Ampun Gusti Patih," sembah ponggawa yang mendapat titah itu. "Bagaimanakah hamha
mesti mempersembahkan hal itu kepada uaginda?" Patih Prasanta berpikir keras. "Kau
persembahkanlah apa yang kausaksikan sendiri dengan matamu ..." katanya kemudian.
"Mestikah hamba persembahkan, bahwa Raden Panji ... Raden Panji ... berubah ... eheh ...
berubah ingatan?" 19 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Patih Prasanta menghindarkan pandangan ponggawa itu.
"Penembakanlah hal yang sesungguhnya .... sahutnya kemudian. Sang ponggawa menekur.
'Tidakkah baginda akan murka?" ia bertanya menggumam
"Bagaimanapun, kau mesti mempersembahkan hal yang sesungguhnya ..." sahut Patih Prasanta
pula. "Persembahkan, bahwa aku tidak menghadap sendiri, karena kualir kalau-kalau Raden Panji
berbuat nekat____** Ponggawa itu segera menghaturkan sembah, lalu bersama seorang kawannya mengendap-endap
menuntun kudanya kembali ke arah Kahuripan.
Patih Prasanta duduk dengan kepala tertunduk.
168 Kantuk dan lelah dinnya tak dia rasa, pikirannya tertuju kepada keselamatan gusti mudanya saja
Sejenak ia memandang ke arah Raden Panji tertidur berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu air
matanya pun mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba dan sedih hati yang luar biasa.
'Alangkah hebat akibat kekerasan hati baginda! Menantu yang tak berdosa dibunuh dan putranda
sendiri! .. . Wahai, putra mahkota Janggala yang berhak atas takhta, berubah ingatan! Bagaimana
pula baginda akan melaksanakan cita-citanya menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji"
Duhai, akan remuk hati sang permaisuri apabila disaksikannya putranda berhal seperti ini!' pikirnya.
Patih Prasanta memandang pula ke arah Raden Panji yang tenang tertidur di samping mayat
istrinya itu. 'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan alangkah besar pengurbanan yang mesti dia
berikan! Sungguh hebat!' pikirnya pula.
Sementara itu angin yang sejuk, bangkit semilir membawa kantuk. Seluruh hutan bagaikan mati.
Kuda-kuda mengisi perutnya dengan lahap sambil beristirahat. Para ponggawa di kejauhan
bagaikan terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik dan keluhan-keluhan berduka, tetapi peristiwa
yang mereka alami dan saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya. Kelu.
169 Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan tatkala angin yang semilir menyejuk tubuhnya, ia
pun jatuh tertidur. Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri di sampingnya, sambil mengguyah-guyahkan
tubuhnya. "Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!"
Patih Prasanta membuka matanya.
20 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Berangkat ke mana. Raden?"
"Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!"
Patih Prasanta terheran-heran.
"Ke Muara Kamal?"
"Ya, kita pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di laut. Ia ingin melihat pemandangan
laut. Ia ingin berenang-renang, berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..."
Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan sambil matanya memandang tajam
kepada wajah Raden Panji, ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat di kerongkongan,
"Raden, tetapi. Raden, sadarlah! Dewi Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi. Ia
sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti ... "
Raden Panji menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan Patih Prasanta.
"Apa kata Mamanda" Dewi Anggraeni meninggal-Jangan Mamanda bicara yang bukan-bukan!
Tidakkah Mamanda lihat ia tersenyum, menertawakan perkataan Mamanda" Sudahlah Mamanda,
170 mari kita berangkat! Tidakkah terdengar oleh Mamanda suara ombak menderu mengajak kita
mandi di dalamnya?" Patih Prasanta memandang dengan mata penuh
hiba. "Tetapi Raden, Raden--yang Raden peluk
itu bukan istri Raden, melainkan ... ," katanya
kemudian. "Apa" Mamanda masih bicara juga" Mamanda kira siapa yang kupeluk ini" Istriku! Istriku Dewi
Anggraeni yang tercinta!" teriak Raden Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita
berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari rumah pun menuju ke Muara Kamal?"
Patih Prasanta menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memegang bahu Raden Panji pula.
"Dengarkan Raden ..." katanya. "Yang Raden peluk itu memang istri Raden, Dewi Anggraeni yang
Raden cintai dan mencintai Raden sepenuh hati. Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah meninggal
... Tidakkah Raden perhatikan wajahnya" Ia tidak lagi bernafas ..."
"Mamanda! Sudah, jangan bicara juga! Kekasihku langgeng, kekal, ia 'kan kekal mencintaiku dan
tak nanti meninggalkan daku sendirian di dunia ini. Tidak! Ia 'kan tetap setia di sampingku!"
21 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kemudian 'ia menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu, kekasihku?"
171 Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia mengalihkan pandangan dan junjungannya.
"Mamanda!" terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi Wagini! Kasihan ia wanita, sudah
lanjut pula usianya! Biar Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi Wagini! Ia seorang
emban setia, pengasuh kekasihku sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun gustinya
pergi ... Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar senang keduanya menyaksikan tamasya laut yang
indah...," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya, "Bukankah Adinda belum melihat laut yang
berbusa putih" Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas" Pucuk ombak gemerlap,
perahu mayang, ikan-ikan, binatang-binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat matahari dan bulan
bersama-sama di atas laut! Mari, mari sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar
puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan! Mari kita berangkat, mari!" lalu ia pun
bangkit, dipangkunya istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati sekali dinaikkannya
tubuh istrinya itu di atas kuda, lalu dilepaskannya tali tambalannya, baru ia naik. Dipegangnya
kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memeluk tubuh istrinya erat-erat.
"Mari Mamanda! Mari. cepat!" teriaknya sambil
mcnoleh kepada Patih Prasanta. "Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan"
Patih Prasanta segera melakukan Utah junjun*-annya. Dipangkunya mayat Emban Wagini lalu
dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para ponggawa
pun turut mengikutinya. "Biar bagaimana pun, mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu. "Jangan biarkan ia
berbuat apa pun sendirian ... Ke manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan cintanya
kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka
baginya, Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..."
Para ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta dengan diam-diam dan menundukkan
kepala. Mereka menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat sangat. Segera mereka
mengambil kudanya masing-masing dengan diam-diam.
Sementara itu Raden Panji sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka. Sayup-sayup
terdengar senandungnya yang parau. Makin lama suaranya makin keras dan makin keras jua.
Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka, melainkan riang seriang-riangnya riang.
Demikianlah iring-iringan yang aneh itu berjalan. Di depan Raden Panji memeluk mayat
173 172 istrinya tak henti-hentinya menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih Prasanta yang jUga
memeluk mayat, tetapi ia tidak menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di belakang
mereka mengikuti para ponggawa yang juga tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati.
22 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keluar dari hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang yang bergelombang. Di
kejauhan terdengar dentur ombak laut yang menerjang pantai.
"Dengar, kaudengarkan kekasihku, suara gelombang itu menghimbau memanggilmu" Mari, mari
kita ke sana! Laut ingin dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi mencecahkan
kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai ..." bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat!
Alangkah indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan luas dan bebas! Tak ada
pohon-pohon suram yang menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan kepalamu,
pandanglah semuanya sepuasmu!"
Suara ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian sampailah mereka di pesisir. Pucuk
ombak yang menuju pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat kuda bercucuran,
^rmanuc-manik sepanjang surinya, bagaikan perlua^^be^Kek"KkU' Iih3t! Uhallah ,aut
luas terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya pemandangan samudra di bawah bulan van,
purnama! Sungguh cemerlang! Dan bulan itu -ia mendongak ke arah langit, lalu menunjuk ke arah
matahari yang bersinar terik itu, "alangkah
bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang dipeluknya.
Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari
tengah. "Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira. "Tidakkah engkau senang air yang segar itu
membasahi kakimu, sayang?"
Tak lama kemudian Patih Prasanta pun sampai juga ke sana.
"Mari, mari ke mari Mamanda! Kita berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut yang
menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat dari
duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya boleh
kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra. Dewi Anggraeni tentu senang hatinya apabila
berperahu di lautan! Hahaha... bukankah engkau belum pernah berlayar-layar ke lautan" Ya, mari,
mari, sekarang! Biar puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan perahu sedangkan
175 174 bulan memancar seindah ini!
"Tetapi Raden ..." sahut Patih Prasanta.
"Apa pula 'tetapi*, Mamanda?" cepat Raden Panji memotong. "Tak pakai tetapi lagi, mari kita
23 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berangkat sekarang! Mamanda panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!"
"Tetapi Raden, tidakkah lebih baik kita pulang?"
"Apa pulang" Tidak, Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi, yang sekarang ada seorang yang
bermuka macan, berlepotan darah! Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan
Ayahanda" Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan! Tidak, tak mau kami kembali ke sana!
Lebih baik kita berlayar akan mencari pulau yang indah di mana manusia-manusia kasih-mengasih
sesamanya, seperti kami cinta-mencintai dengan Dewi Anggraeni! Mari! Mari, Mamanda! Kita cari
pulau tempat tinggal manusia, jangan tempat raksasa kita datangi!"
Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak bisa berbuat lain daripada melakukan kehendak Raden Panji.
'Bagaimana pun sekarang ia sedang berduka, tak baik kehendaknya kuhalang-halangi/ katanya
dalam hati. 'Baiklah, kuturutkan saja segala kehendaknya, mudah-mudahan takkan berlarut-la-Maka
dititahkannya para ponggawa menemui juragan perahu akan meminjam perahu-perahu
* mereka. Demi tahu siapakah gerangan yang hendak mempergunakan perahu mereka, para juragan
De rahu itu tidak keberatan, hanya saja seorang di antara mereka menyatakan kekuatirannya,
"Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut penglihatan hamba di kakilangit nun di sana
kelihatan warna hitam gumpalan awan, mungkin badai akan turun sore nanti."
Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji, tetapi putra mahkota yang tidak waras itu malah
tertawa mengejek, "Apa, badai" Jangan main-main! Masa pada hari seindah ini, dengan purnama
seterang ini, badai akan tunin" Engkau rupanya tak mau meminjamkan perahu kepada kami, maka
kautakut-takuu" kami dengan badai! Tidak, kami tak mungkin kaubohongi! Kami akan berlayar
bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah kekasihku ini menjadi murung lantaran
mendengar cegahanmu" Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam kalbunya!"*
Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak senang karena dikata-katai oleh Raden Panji seperti
itu. Ia memberi peringatan untuk keselamatan orang, siapa tahu malah dimaki-maki. Tetapi tatkala
ia sudah dibisiki oleh para ponggawa bahwa putra mahkota sedang sakit ingatan, ia hanya
menunduk. 'Terserahlah!" katanya. -Hamba tidak sayang perahu hamba diterjang badai. Tetapi putra mah 177 176 kota Janggala- .. " Akhirnya Raden Panji naik juga ke alas perahu. Sebuah perahu yang besar dipilihnya. Sambil
memangku kekasihnya ia naik. kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil
memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu. Dan para ponggawa dititahkan naik ke
perahu yang Itin. Kedua perahu itu diperintahkan diikat erat-erat Demikianlah perahu-perahu itu
bertolak dari pantai. Sedangkan para awak perlu melakukan tugasnya dengan hati kebat-kebit. Raden Panji tak
henti-hentinya menembang dengan suaranya yang parau
24 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
itu-- Kedua perahu itu berlayar dengan angin buritan, makin lama makin jauh dari pantai. Raden Panji
menurutkan kehendaknya sendiri. Ia menitahkan awak-awak perahu itu terus maju ke tengah
samudra. Makin lama makin ke tengah dan daratan sudah sayup-sayup.
Apa yang dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu, benar-benar terjadi. Tiba-tiba angin dan
hujan datang dengan kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi gelap gulita, dan air
serta halilintar menggantikannya.
Di Muara Kamal orang-orang menyaksikan semuanya dengan gelisah dan putus asa. Perahu yang
dinaiki oleh putra mahkota itu mereka ikuti
178 dengan teliti sejauh-jauh mata menumu kaIa badai bertiup, lenyaplah
Orang-orang saling pandang. Mereka
"Baginda tentu akan murka kalau diketahuinya hal hilangnya putra mahkota diterjang topan!" kata
seseorang membumbui. "Kita akan kena murka!"
Orang-orang itu saling pandang dengan cemasnya.
"Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti memberitahukan hal ini kepada baginda!" tiba-tiba kata
seorang yang sudah lanjut usianya. 'Tak peduli bagaimana murka baginda, namun hal ini mesti
diberitahukan juga!"
Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan berangkat ke ibukota buat memberitahukan
kabar duka itu kepada baginda.
179 SANG PERMAISURI Berita tentang Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh ponggawa pengiringnya, sangat
men-dukakan hati sang permaisuri. Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya tak kabarkan
diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang
terjadi! Tatkala sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa
kan tidak! Raden Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji mata tumpuan harap! Yang
akan menggantikan ayahanda memangku takhta! Dan sekarang... berubah ingatan!
25 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang!"
katanya antara sedu sedan yang menyesakkan dada dan pipi yang basah dengan air mata.
Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak mau
menerima. Ia memandang kepada permaisuri de ngan mata yang guram
"Dasar si Panji itu seorang yang lemah hati' Yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya semata!"
sabdanya. "Sekali-kali dalam pikirannya tak pernah terlintas kepentingan orang lain, kepentingan
manusia kawula kerajaan!"
"Kepentingan kawula kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk kepentingan kawula kerajaan, Gusti
rela membunuh menantu dan membikin putra sendiri tidak ... tidak ... wa... waras!"
"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan terlaksananya cita-cita yang agung! Dan
kalau si Panji sekarang berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan hatinya jua!" sahut baginda.
"Dan sekarang, setelah semuanya berlaku seperti ini, bagaimana gerangan cita-cita Gusti yang
agung itu?" ejek sang permaisuri. "Bisakah Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan
kekerasan dan paksaan" Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan manusia dua kerajaan dengan
mengurbankan kebahagiaan putranda sendiri?"
"Kalau si Panji seorang yang berhati kuat, yang sadar akan arti hidupnya sebagai seorang putra
mahkota yang mesti rela mengurbankan diri dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan
kebahagiaan kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal yang seperti ini terjadi,
semata-mata 181 / 180 lantaran si Panji seorang yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan! Dan Rayindalah yang


Candra Kirana Karya Ajiprosidi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terlalu memanjakannya, sehingga ia lupa akan darmanya sebagai seorang satria! Bahkan
seorang satria utama!"
Dituduh demikian, sang permaisuri menjadi
murka. "Hamba pula dipersalahkan! Ya, hanya orang lain yang bersalah dan Gusti seorang maha-manusia
yang senantiasa memikirkan kebahagiaan manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan
kesalahan! Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau terjadi yang di luar kehendak Gusti,
tentu ada orang lain yang bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa mempertimbangkan
hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji melakukan hal
yang di luar kemampuannya. Gusti tidak pemah memikirkan sifat tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak
pernah mempunyai waktu yang cukup buat memperhatikan putranda sendiri, lantaran Gusti
senantiasa sibuk memikirkan kepentingan manusia-manusia lain!"
26 Leila S Chudori - Malam Terakhir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda katakan?"
Permaisuri tidak menyahut, menangis sejacli-jadinya. Tak terlerai lagi.
Setelah baginda merasa dadanya sendiri reda membadai, baru bersabda dengan suara yang di 18 sabar-sabarkan, Raymda mesti mengerti Der^aI an Raden Panji persoalan yang menyangkut mT
bat kerajaan! Pernikahan Raden Panji den Dewi Sekar Taji mesti dilaksanakan, karena kedS nya
sudah dipertunangkan dan pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang bercita-cita
luhur!" Sang permaisuri mengangkat wajah.
"Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi mestikah itu dilakukan setelah melangkahi
mayat Dewi Anggraeni lebih dahulu?"
"Anggraeni adalah penghalang yang menyebabkan Raden Panji tidak mau menikah dengan Dewi
Sekar Taji!" "Dan sekarang, setelah Dewi Anggraeni meninggal, bagaimana" Akankah Raden Panji sudi
menikah dengan Dewi Sekar Taji?"
Baginda melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam kepalanya menekur.
"Mengapa Gusti tidak mendengar perkataan hamba" Bukankah hamba wanti-wanti berpesan,
supaya jangan dilakukan paksaan" Bukankah dengan dilakukan paksaan, hasilnya sia-sia saja"
Samurai Pengembara 1 1 Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie Cinta Dalam Kutukan 1

Cari Blog Ini