Ceritasilat Novel Online

Sengsara Membawa Nikmat 2

Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati Bagian 2


jendela surau. Tiba-tiba terasa olehnya seakan-akan ada orang yang hendak bertumbuk
dengan dia. Dengan tidak berpikir lagi. Haji Abbas memainkan kakinya, orang itu berteriak,
"Saya Kacak, mengapa dipukul, aduh...!"
Mendengar suara itu, Haji Abbas menghilang di dalam gelap. Akan kedua maling itu
sudah diikat, lalu diiringkan mereka beramai-ramai ke rumah Penghulu Kepala.
Barang-barang curian itu dibawa Maun semuanya. Maklumlah anak mudamuda, tentu
mereka tak kurang melekatkan tangan kepada maling itu, hingga sampai ke rumah
Penghulu Kepala. Ketika itu hari sudah lewat pukul empat pagi. Karena Penghulu Kepala di
rumah istrinya yang seorang lagi, lalu dibawa kedua maling itu ke rumah Tuanku Laras.
Biasanya pada tiap-tiap kampung yang di bawah pemerintahan Tuanku Laras itu,
diadakan orang tongtong. Tongtong itu digantungkan pada tiap-tiap rumah jaga, dan dijagai
oleh dua orang sekurang-kurangnya. Manakala ada bahaya, baru tongtong itu boleh
dibunyikan, misalnya kebakaran, kemalingan, dan lain-lain yang semacam itu. Pada tiap-tiap
bahaya, berlain-lainan cara orang membunyikannya.
Yang lazim, jika kebakaran terus-menerus saja bunyi tongtong itu. Kalau kemalingan,
lain lagi macam bunyinya. Pada malam kemalingan di rumah Kacak itu, amat sibuk bunyi
tongtong. Bersahut-sahutan kampung yang sebuah dengan kampung lain, akan
memberitahukan bahwa ada bahaya. Mendengar bunyi tongtong itu, orang maklum sudah,
bahaya apa yang terjadi. Masa itu mana yang berani, berlompatan turun ke halaman dengan
senjatanya. Mereka itu terus lari ke rumah jaga menanyakan di mana kemalingan. Tetapi si
penakut memperbaiki selimutnya, ada pula yang bangun memeriksa pintu, dan ada pula
yang duduk saja ketakutan di dalam rumahnya.
Demikian pula halnya Tuanku Laras. Ketika ia mendengar bunyi tongtong itu, ia
terkejut lalu bangun. Tuanku Laras amat heran mendengar bunyi tongtong, karena sudah
hampir 5 tahun sampai waktu itu, belum pernah ada bahaya yang terjadi di kampung itu,
pada pikirannya, "Tak dapat tiada ada orang maling menjarah dari negeri lain ke kampung
ini. Atau boleh jadi... Tetapi mengapa Penghulu Kepala pulang ke rumah istrinya di kampung
lain?" Maka ia pun segera memakai baju malam, diambilnya terkul. Ia terjun ke halaman,
diiringkan oleh dua orang dubalang. Tiada jauh Tuanku Laras berjalan, sudah kelihatan
olehnya suluh berpuluh-puluh buah. Di muka tampak dua orang yang sudah terikat, dan di
belakang amat banyak orang mengiringkannya. Mereka itu semua menuju ke rumah Tuanku
Laras. Dengan segera seorang dubalang disuruh Tuanku Laras membawa maling itu ke
kantornya. Kedua maling itu tidak dapat ditanyai malam itu, karena berlumur darah dan letih. Baru
saja sampai di beranda kantor mereka pingsan tidak sadarkan diri lagi. Tiap-tiap orang
sepanjang jalan mengirimkan sepak terjang kepada maling itu. Orang banyak itu disuruh
pulang oleh Tuanku Laras semua. Pendekar Sutan, Maun, dan Midun dipanggil ke dalam
oleh Tuanku Laras. "Di mana kamu tangkap maling ini?" ujar Tuanku Laras.
Midun lalu menerangkan bahwa kemalingan itu di rumah Engku Muda Kacak. Segala
tanda bukti diperlihatkannya semua. Kemudian diceritakannya, bagaimana caranya
menangkap maling itu sejak dari bermula sampai tertangkap. Pendekar Sutan luka tidak
dikatakan Midun. Mendengar cerita Midun, Tuanku Laras mengangguk-anggukkan kepala
saja. Tetapi pada mukanya nyata ada sesuatu yang terpikir dalam hatinya. Setelah habis Midun
bercerita, Tuanku Laras bertanya, "Kacak ada di rumah istrinya?"
"Tidak, Tuanku!" jawab Midun. "Menurut keterangan istrinya, ia pulang ke rumah
istrinya yang lain. Tetapi ke rumah istri beliau yang mana, tidaklah hamba tahu."
Baru saja habis Midun berkata, Penghulu Kepala datang dengan terengah-engah.
Rupanya Penghulu Kepala berlari dari rumah istrinya di kampung lain, karena mendengar
bunyi tongtong. Setelah Iepas lelahnya, maka Tuanku Laras dibawa Penghulu Kepala
bercakap ke dalam sebuah bilik kantor itu. Kira-kira setengah jam, baru keduanya keluar
dengan muka masam. Maka Tuanku Laras berkata, "Midun! Karena kedua orang maling ini
masih pingsan, belum boleh ditanyai, kamu boleh pulang saja dahulu. Nanti bilamana saya
panggil, hendaklah segera engkau datang." '
"Baiklah, Tuanku, kami mohon minta izin," ujar Midun dengan hormatnya.
Sampai di rumah, Midun menceritakan kepada ayah bundanya kejadian pada malam
itu. Ibu bapak Midun berbesar hati dan meminta syukur kepada Tuhan seru sekalian alam,
karena anaknya Ada selamat saja, terhindar daripada bahaya. Tetapi dalam hati Midun
timbul suatu perasaan yang ganjil, ketika ia mengenangkan perkataan Tuanku Laras
menanyakan Kacak dan ketika Penghulu Kepala membawa Tuanku Laras bercakap ke
dalam bilik. Sebab itu ia ingin hendak mengetahui bagaimana kesudahan pemeriksaan
perkara itu. Pak Midun mengangguk-anggukkan kepala saja. Ia telah maklum selukbeluk
perbuatan orang hendak mencelakakan anaknya. Apalagi kabar yang dikatakan Haji Abbas
dengan rahasia kepadanya, tentang kejadian malam itu, makin meneguhkan kepercayaannya. Ngeri Pak Midun memikirkan, jika anaknya dapat bahaya pula.
Tetapi senang pula hatinya, karena hal yang sangat mengerikan itu sekarang sudah
terlepas. Ketika Midun, ayah bunda, dan adik-adiknya sudah makan pagi itu, kedengaran orang
batuk di halaman. Orang yang batuk itu ialah Haji Abbas; ia naik ke rumah. Setelah Haji
Abbas duduk, kopi dan penganan pun dihidangkan oleh ibu Midun. Tidak lama kemudian
Haji Abbas berkata, "Maklumlah Pak Midun sekarang, apa ujud orang menghukum Midun
enam hari itu?" Sedang Pak Midun mengangguk-anggukkan kepala, menyatakan kebenaran
perkataan Haji Abbas, Pendekar Sutan dan Maun naik pula ke rumah. Baru saja Pendekar
Sutan duduk, Haji Abbas berkata sambil tersenyum dan menyindir, "Midun, saya dengar
kabar bapakmu kena tikam semalam. Hampir saja kita berkabung hari ini. Waktu saya
mendengar kabar itu, saya menyangka tentu Midun terburai perutnya kena pisau. Sedang
bapaknya yang sudah termasyhur pendekar lagi kena, bahkan pula anaknya. Kiranya
terbalik, anak selamat tetapi bapak... Ah, sungguh tak ada pendekar yang tidak bulus."
"Benar," ujar Pak Midun pula sambil tersenyum menyela perkataan Haji Abbas akan
mengganggu Pendekar Sutan. "Agaknya langkah Pendekar Sutan sumbang malam tadi.
Yang patut langkah maju, mundur ke belakang. Dan boleh jadi juga terlampau tinggi
membuang tangan, ketika itu pisau bersarang ke rusuk Pendekar Sutan."
Seisi rumah riuh tertawa, tetapi Pendekar Sutan merah mukanya mendengar sindiran
mereka berdua. Ia pun berkata, "Mengatakan saja memang gampang. Jika Haji atau Pak
Midun sebagai saya semalam, barangkali berbunyi cacing gelanggelang di perut ketakutan,
setidak-tidaknya putih tapak melarikan diri. Sebabnya, pertama orang yang bertentangan
dengan saya itu tidak sembarang orang, saya kenal benar akan dia. Kedua, kaki saya
terperosok masuk lubang, dalam pada itu tikaman bertubi-tubi pula datangnya. Ketiga, hari
gelap amat sangat, sedikit saja salah menangkis, celaka diri.
Keempat, pikiran tak pula senang, memikirkan anak sedang berkelahi. Biarpun Midun
pendekar, begitu pula Maun, keduanya masih muda-muda, belum tahu tipu muslihat
perkelahian. Lagi pula maling itu siap dengan alat senjatanya, tetapi kita tidak demikian
benar." Mendengar perkataan Pendekar Sutan, mereka keduanya berdiam diri, lalu Haji
Abbas berkata, "Berbahaya juga kalau begitu" Cobalah ceritakan, supaya kami dengar.
Siapa dan bagaimana orang yang berkelahi dengan Pendekar itu."
"Untung dia dengan saya bertentangan," ujar Pendekar Sutan memulai ceritanya.
"Orang itu ialah Ma Atang, seorang perampok, penyamun, pemaling, ya, seorang pembatak
yang amat jahat. Nama Ma Atang telah dikenali orang di mana-mana sebab kejahatannya.
Keberaniannya dan ketangkasan Ma Atang
pun sudah termasyhur. Ia sudah tiga kali dibuang menjadi orang rantai. Ketiga kali
pembuangannya itu ialah perkara pembunuhan dan perampokan di Palembayan dahulu.
Sungguhpun demikian, perangainya yang jahat itu tidak juga berubah. Macam-macam kata
orang tentang keberanian Ma Atang. Ada yang mengatakan ia kebal, tidak luput oleh
senjata. Ada yang mengatakan, kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udara. Bahkan
ada pula orang yang mengatakan, bahwa ia tahu halimunan. Hati siapa takkan kecut, siapa
yang takkan gentar berhadapan dengan orang macam itu. Apalagi hatinya hati binatang,
tidak menaruh kasih mesra kepada sesamanya manusia. Asal akan beroleh uang, apa saja
mau ia mengerjakannya. Nyawa orang dipandangnya sebagai nyawa ayam saja. Untung
juga saya mengetahui Ma Atang itu setelah hadir di kantor Tuanku Laras. Jika sebelum itu
saya mengetahui Ma Atang, boleh jadi bergoyang iman saya, dan saya binasa olehnya.
Semalam, ketika saya mendekati akan memukul kepala Ma Atang itu, terinjak olehku
ranting kayu. Bunyi itu didengarnya, lalu ia berbalik. Saat itu saya pergunakan, saya gada
mukanya. Dengan tangkas ia mengelak, dicabutnya pisau dari pinggangnya. Hal itu tampak
terbayang kepadaku. Saya tangkis pisau itu, lalu kami pun bergumul. Dalam perkelahian itu
saya selalu maju dan merapatkan diri, sebab ia berpisau dan hari gelap. Sedikit pun tak
saya beri kesempatan ia menikam. Ma Atang dapat saya tangkap, dan saya empaskan ke
pohon kayu. Jangankan ia terempas, melainkan seakanakan tak menjejak tanah ia rupanya.
Sebagai kilat cepat Mak Atang berbalik menikam saya. Ketika saya menyalahkan tikaman
itu, kaki saya terperosok masuk lubang pemeram pisang... pangkal lengan saya pun kena.
Waktu itu belum terasa apa-apa oleh saya kena pisau. Saya tarik kaki saya kuat-kuat, lalu
saya menidurkan diri, tetapi siap menanti. Dengan muslihat itu, pada pikiran Ma Atang tepat
saja kena tikamannya. Dengan amuk sambil lari, diulangnya menikam saya sekali lagi. Masa
itulah ia dapat saya kenai; tepat benar kaki saya mengenai..."maaf, ibu Midun"
kemaluannya. Ia pun jatuh pingsan, Midun sudah datang mengikatnya."
Segala isi rumah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan. Lebih-lebih ibu Midun,
sebentar-sebentar ia menjerit. Maklumlah seisi rumah itu sekarang, bagaimana keadaan
Pendekar Sutan malam itu. Sebab itu Haji Abbas dan Pak Midun tidak lagi memperolok-olokkan
adiknya. Kemudian Haji Abbas bertanya pula, "Engkau bagaimana pula lagi dengan
musuhmu, Midun?" "Bagi saya mudah saja, Bapak," ujar Midun. "Ketika Bapak Pendekar dan Maun
datang, kami mufakat lalu berbagi-bagi. Yang di jalan bagian Maun, yang di pintu gapura
bagian Bapak Pendekar Sutan, dan yang masuk rumah bagian saya. Maun kami larang
menyerang, supaya dapat menolong kami, kalau ada yang kena. Sungguhpun demikian ia
selalu siap. Saya tahu, bahwa jarak maling itu dengan temannya berjauhan. Saya pun
merangkak ke tangga, di pintu tempat ia masuk. Karena anak tangga itu betung, dengan
mudah saya buka anaknya sebuah. Saya pun berdiam diri dekat tangga itu menantikan dia
turun. Tidak lama, maling itu turun sambil memikul barang curiannya. Waktu ia turun semata
anak tangga, kakinya tergelincir, jatuh ke bawah. Ketika itulah saya gada kepalanya
sekuat-kuat tenaga saya. Saya sangka tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak, ia bergerak lagi
hendak menyerang saya. Saya pukul lagi mukanya, ia pun pingsan tak sadarkan dirinya."
Setelah tamat pula cerita Midun, Haji Abbas bertanya pula, "Engkau bagaimana pula
dengan musuhmu, Maun?"
"Saya tidak menyerang, melainkan berdiam diri saja dekat jalan," ujar Maun. "Waktu
saya mendengar Mamak Pendekar Sutan berkelahi, tiba-tiba saya bertumbuk dengan
seseorang yang rupanya hendak melarikan diri. Dengan segera saya pukul akan dia. Entah
kepala, entah punggungnya yang kena, saya tidak tahu.
Tetapi dia terus juga lari. Kalau saya kejar tentu dapat, tetapi saya tidak menepati janji.
Lagi pula saya takut akan digada teman-teman yang sudah berkeliling mengepung rumah
itu. Saya segera mendapatkan Midun, dan dia saya suruh menolong Mamak Pendekar.
Maling yang dipukul Midun itu lalu saya ikat."
Haji Abbas mengangguk-anggukkan kepala, terkenang kepada Kacak yang mengaduh
kena kakinya semalam itu. Menurut pikiran Haji Abbas, tak dapat tiada orang yang lari
dipukul Maun dan yang kena sepaknya itu, ialah Kacak. Setelah adik-adik Midun disuruh
pergi bermain, lalu Haji Abbas berkata, "Midun dan Maun, cerita bapakmu tadi banyak yang
patut engkau ambil jadi teladan. Demikianlah hendaknya muslihat jika berkelahi dengan
orang yang memegang pisau. Dalam perkelahian yang tidak memakai pisau pun, ada juga
tipunya. Misalnya mengumpan orang dengan pura-pura menyumbangkan langkah. Tetapi
manakala dalam perkelahian banyak, artinya engkau seorang dipersama-samakan orang,
jangan sekali-kali maju. Hendaklah engkau selalu mengundurkan diri, sambil menangkis
serangan orang. Dan kalau dapat, carilah tempat vang tiga persegi, yang dinamakan orang:
kandang sudut. Di tempat itu, sukarlah orang mengenai kita."
Maka Haji Abbas menerangkan dengan panjang lebar, bagaimana tipu muslihat dalam
perkelahian kepada Midun dan Maun. Untuk menjadi misal, Haji Abbas menceritakan
keadaannya dengan Pak Midun semasa muda. Kemudian Haji Abbas menyambung
perkataannya, "Rupanya waktu Ma Atang berkelahi dengan Pendekar Sutan, nyata bahwa
Ma Atang hendak membunuh lawannya benar. Jika saya tidak salah tampa, tak dapat tiada
Pendekar Sutan disangkanya Midun. Orang yang dipukul Maun itu, pada hemat saya tentu
Kacak. Sudah dapat pukulan dari Maun, dapat bagian pula dari saya. Tetapi Kacak
sekali-kali tidak tahu, bahwa sayalah yang bertemu dengan dia. Ingatlah, hal ini harus
dirahasiakan benar-benar. Cukuplah kita yang enam orang ini saja mengetahuinya. Perkara
Midun ini rupanya sudah dicampuri orang tua-tua. Sebab itu jika kurang hati-hati, tentu kita
celaka. Kita ini hanya orang biasa saja, tetapi Kacak kemenakan Tuanku Laras. Yang akan
datang, hendaklah engkau ingat-ingat benar dalam hal apa juapun, Midun. Ingat sebelum
kena, hemat sebelum habis, jerat serupa dengan jerami."
"Baiklah, Bapak," ujar Midun. "Hingga ini ke atas saya akan berhati-hati benar. Dalam
pada itu jika sudah saya ikhtiarkan, tetapi datang juga bencana atas diri saya, apa boleh
buat, Bapak." Dari sehari ke sehari Midun menanti panggilan tidak juga datang. Habis hari berganti
pekan, habis pekan berganti bulan, Midun tidak juga dipanggil akan diperiksa tentang maling
yang ditangkapnya itu. Ada yang mengatakan, bahwa maling itu sudah dikirim ke Bukittinggi.
Setengahnya pula berkata, "Sungguh amat ajaib perkara ini. Semalam kemalingan di rumah
istri Kacak, besoknya Kacak jatuh sakit. Padahal Kacak tidak ada di rumah istrinya malam
kemalingan itu. Dan lagi perkara itu didiamkan saja, seolah-olah ada berudang di balik batu.
Jangan-jangan pencurian itu ada bertali dengan sesuatu hal
yang muskil, yang tidak diketahui orang."
Demikianlah perkara itu: terapung tak hanyut, terendam tak basah, hingga sampai
Kacak sembuh, Midun belum juga terpanggi
Bab 6: Pasar Malam MATAHARI telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, meninggalkan cahaya
yang merah kuning laksana emas baru disepuh dipinggir langit di pihak barat.
Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya. Dengan tergesa-gesa sambil berkotek
memanggil anak, inasuklah ayam ke dalam kandang, karena hari telah samar muka.
Cengkerik mulai berbunyi bersahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala.
Ketika itu sunyi senyap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan. Di jembatan pada
sebuah kampung, kelihatan tiga orang duduk berjuntai. Mereka duduk seakan-akan ada
suatu rahasia yang dimufakatkannya, yang tidak boleh sedikit juga didengar orang lain.
Sambil melihat ke sana kemari, kalau-kalau ,ida orang lalu lintas, mereka itu mulai
bercakap-cakap. "Sebulan lagi ada pacuan kuda dan pasar malam di Bukittinggi," kata seorang di
antara mereka itu yang tidak lain dari Kacak memulai percakapannya. "Saat itulah yang
sebaikbaiknya bagi kita akan membalaskan dendamku selama ini kepada Midun. Tak dapat
tiada tentu Midun pergi pula melihat keramaian itu. Orang kampung telah tahu semua,
bahwa saya bermusuh dengan dia. Jadi kalau dia saya binasakan di sini, malu awak kepada
orang. Tentu orang kampung syak wasangka kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian
atas diri Midun. Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan rnengenalnya. Oleh sebab
itu telah bulat pikiran saya, bahwa hanya di Bukittinggilah dapat membinasakannya.
Bagaimanakah pikiran Lenggang" Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini" Budi
dan cerih Lenggang itu, insya Allah takkan saya lupakan. Bila yang dimaksud sampai, saya
berjanji akan memberi sesuatu yang menyenangkan hati Lenggang."
"Cita-cita Engku Muda itu mudah-mudahan sampai," jawab Lenggang, sambil melihat
keliling, takut kalau-kalau ada orang mendengar. "Kami berdua berjanji menolong Engku
Muda sedapat-dapatnya. Jika tak sampai yang dimaksud, tidaklah kami kembali pulang.
Tidak lalu dendang di darat kami layerkan, tak dapat dengan yang lahir, dengan batin kami
perdayakan. Sebab itu apa yang kami kerjakan di Bukittinggi, sekali-kali jangan Engku Muda
campuri, supaya Engku jangan terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdua, dan dengar saja
oleh Engku Muda bagaimana kejadiannya. Ada dua jalan yang harus kami kerjakan.
Tetapi... maklumlah, Engku Muda, tentu dengan biaya. Lain daripada itu ingatlah,
Engku-Muda, rahasia ini hanya kita bertiga saja hendaknya yang tahu. Pandai-pandai Engku
Muda menyimpan, sebab hal ini tidak dapat dipermudah, karena perkara jiwa."
"Seharusnya saya yang akan berkata begitu," ujar Kacak sambil mengeluarkan uang
kertas Rp 25,- dari koceknya, lalu diberikannya kepada Lenggang. "Bukankah Tuan-tuan
membela saya, masakan saya bukakan rahasia ini. Biar apa pun akan terjadi atas diri
Lenggang kedua, jangan sekali-kali nama saya disebut-sebut. Saya ucapkan, moga-moga
yang dimaksud sampai, karena bukan main sakit hatiku kepada Midun, anak si peladang
jahanam itu. Jika dia sudah luput dari dunia ini, barulah senang hati saya. Sekarang baik kita
bercerai-cerai dulu, karena kalau terlalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan dilihat orang."
Setelah ketiganya berteguh-teguhan janji bahwa rahasia itu akan dibawa mati, maka
mereka pun pulang ke rumah masingmasing. Lenggang dengan temannya sangat bersuka
hati mendapat uang itu. Gelak mereka terbahak-bahak, lenggangnya makin jadi, tak ubah
sebagai namanya pula. Bahaya apa yang akan menimpa mereka kelak, sedikit pun tidak
dipedulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima upah semacam itu.
Pekerjaan itu sudah biasa dilakukannya. Sudah banyak ia menganiaya orang, satu pun tak
ada orang yang tahu. Pandai benar ia menyimpan rahasia dan melakukan penganiayaan itu.
Jika ada yang menaruh dendam kepada seseorang, dengan uang seringgit atau lima rupiah
saja, telah dapat Lenggang disuruh akan membinasakan orang itu. Pekerjaan itu
dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa. Akan membinasakan Midun itu, tidak usah
ia berpikir panjang, karena hal itu gampang saja pada pikirannya. Hanya yang dipikirkan
Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari Kacak, jika yang dimaksudnya sampai.
Kacak seorang kaya, sedangkan bagi permintaan yang pertama diberinya Rp 25,padahal
belum apa-apa lagi. Akan mengambil jiwa Midun, seorang yang boleh dikatakan masih
kanak-kanak, tak usah dihiraukannya.
Dua pekan lagi akan diadakan pacuan kuda di Bukittinggi.
Tetapi sekali ini pacuan kuda itu akan diramaikan dengan pasar malam lebih dahulu.
Kabar pasar malam di Bukittinggi itu sudah tersiar ke mana-mana di tanah Minangkabau.


Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hal itu sudah menjadi buah tutur orang. Di mana-mana orang mempercakapkannya, karena
pasar malam baru sekali itu akan diadakan di Bukittinggi. Demikian pula Midun, yang pada
masa itu sedang duduk-duduk di surau menanti waktu asar bersama Maun, pasar malam
itulah yang selalu diperbincangkan.
"Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali ini, Maun," kata Midun memulai
percakapan itu. "Kabarnya 'alat'* (Maksudnya pacuan kuda) sekali ini akan sangat ramai
sekali, sebab disertai dengan pasar malam. Di dalam pasar malam itu, orang mempertunjukkan berbagai-bagai kerajinan, ternak, hasil tanah, dan lain-lain sebagainya. Segala
pertunjukan itu, mana yang bagus diberi hadiah. Permainan-permainan tentu tidak pula
kurang. Tak inginkah Maun pergi ke Bukittinggi" Saya berhajat benar hendak melihat
keramaian sekali ini. Kepada ayah saya sudah minta izin. Tetapi hati beliau agak berat
melepas saya, berhubung dengan Kacak yang selalu mengintai hendak menerkam
mangsanya. Sungguhpun demikian, beliau izinkan juga, asal saya ingat-ingat menjaga diri."
"Memang saya ingin pergi ke Bukittinggi," ujar Maun, "Sejak kecil belum pernah saya
melihat pasar malam. Bagi saya tak ada alangan apa-apa. Perkara Kacak yang engkau
katakan itu, saya juga merasa khawatir. Ia selalu mengintai-intai, Midun! Kepada saya
sendiri, kalau bertemu agak lain pandangnya, tetapi tidak saya pedulikan. Kemarin, waktu
kita pergi sembahyang Jumat, ada kita berjumpa dengan seorang yang belum pernah
bertemu, apalagi dikenal. Orang itu saya lihat memandang kepada kita dengan tajam.
Sudah kenalkah engKau kepada orang itu" Bukankah engkau ada ditegurnya?"
"Tidak, sekali-kali tidak, saya heran karena saya ditegurnya dengan sopan benar,
padahal ia belum saya kenali. Saya rasa tentu ia tidak orang jahat, sebab ada juga
sembahyang. Tetapi waktu kita bertemu dengan dia kemarin, darah saya berdebar. Entah
apa sebabnya tidaklah saya tahu. Malam tadi tak senang sedikit juga hati saya. Ada saya
tanyakan kepada Bapak Pendekar akan orang itu. Bapak Pendekar menerangkan, bahwa
orang itu bukanlah orang kampung sini. Tetapi beliau kenal namanya dipanggilkan orang
Lenggang. Dahulu memang dia seorang jahat, pemaling dan pencuri. Kedatangannya
kemari tidak beliau ketahui. Beliau katakan pula, bahwa Lenggang itu acap kali kelihatan pergi
ke rumah famili Tuanku Laras. Karena itu, menurut tilikan beliau, Lenggang tentu sudah.
baik sekarang, apalagi telah sembahyang. Kalau tidak, tentu ia tidak berani menampakkan
diri ke rumah Tuanku Laras. Sungguhpun demikian, beliau suruh saya hati-hati juga
menjaga diri, jangan lengah sedikit juga. Musuh dalam selimut, kata beliau."
"Perasaan saya pun begitu, Midun. Lain perasaan saya waktu melihat orang itu
kemarin. Untung beliau telah maklum. Saya sudah berniat juga hendak mengatakannya
kepadamu. Sudah jauh kita diamat-amatinya juga ngeri saya melihat rupanya, bengis dan
menakutkan sungguh. Ingat-ingat, Midun! Kita harus hati-hati, supaya jangan binasa."
"Yang sejengkal itu tak mau jadi sedepa, kawan! Tak usah kita hawatirkan benar hal
itu. Syak wasangka dan cemburu yang berlebih-lebihan merusakkan pikiran dan
membinasakan diri. Jika nasib kita akan dapat malapetaka, apa boleh buat. Bukankah
tiap-tiap sesuatu dengan takdir Tuhan."
"Jadi rupanya Midun menanti takdir saja, dan bila takdir itu datang, sudahlah."
"Sebenarnya, kawan! Tetapi engkau jangan pula salah pengertian. Bukan maksud
saya berserah diri saja sebab takdir, sekalikili tidak. Kita dijadikan Tuhan dan diberi pikiran
secukupnya. Dengan pikiran itulah kita menimbang mana yang baik untuk keselamatan diri
kita. Bukankah segala dua dijadikan Allah" Pilihlah dengan pikiran itu mana yang akan
dikerjakan. Kita wajib mengusahakan diri agar terhindar dari bencana dunia ini. Bilamana
ikhtiar sudah dijalankan, dan kita dapat malapetaka juga, itulah yang dnamakan nasib. Dan
kalau kita sekarang sekonyong-konyong kena tombak misalnya, padahal tidak disengaja,
itulah yang dikatakan orang takdir. Mengertikah engkau, Maun" Jadi tentu saja kita harus
horhati-hati. Jika dapat dihindarkan, baik kita hindarkan, supaya jangan dapat bahaya.
Tetapi bila tersesak padang ke rimba, terhentak ruas ke buku, apa boleh buat, wajib kita
membela diri." "Sekarang mengerti saya maksudmu itu. Nah, bilakah kita berangkat" Tak perlukah
kita membawa apa-apa untuk dijual di kota akan belanja selama di sana?"
"Tiga hari pasar malam akan dimulai, kita berangkat dari sini."
"Uang simpananku ada Rp 25,-. Kamu adakah menyimpan
uang?" "Ada, saya rasa hanya sebanyak uang simpananmu pula agaknya."
"Mari kita perniagakan uang itu! Saya dengar kabar, lada dan telur amat mahal
sekarang di Bukittinggi. Untungnya itulah untuk belanja. Lain daripada itu kita tolong pula
menjualkan lada ibu."
Pada tepi jalan di pasar kampung itu kelihatan lada, ayam, dan lain-lain sebagainya.
Dua orang muda memuat barangbarang itu ke dalam pedati. Setelah selesai, Midun dan
Maun pun bersalam dengan ayah-bunda masing-masing, yang ketika itu ada pula di sana
menolong memuat barang itu ke dalam pedati. Mereka kedua minta izin, lalu bersiap akan
berangkat. Ketika Midun bersalam minta maaf kepada ibunya, lama benar tangannya maka
dilepaskan ibunya. Amat berat hati ibu itu melepas anaknya ke Bukittinggi. Sungguhpun
Bukittinggi tidak berapa jauh dari kampungnya, tetapi tak ubah hal ibu Midun sebagai
seorang yang hendak melepas anaknya berjalan jauh. Amat lain perasaannya, takut
kalau-kalau anaknya dapat bahaya. Rasa-rasa tampak kepada ibu itu bahaya yang akan
menimpa anaknya, karena Midun dimusuhi orang. Tetapi ia terpaksa harus melepas Midun,
anak yang sangat dikasihinya itu.
Maka berangkatlah Midun dan Maun menumpang pedati yang membawa
barang-barangnya itu. Dari kampungnya ke Bukittinggi adalah semalam perjalanan dengan
pedati. Ia berangkat pada petang hari Jumat. Pagi-pagi hari Sabtu, sebelum matahari terbit,
sudah sampai di Bukittinggi. Di dalam perjalanan keduanya adalah selamat saja. `
Belum tinggi matahari terbit, barang-barang yang dibawanya diborong oleh orang Cina
dengan harga Rp 160,-. Setelah itu keduanya pergi makan ke sebuah lepau nasi dan
menghitung laba masing-masing. Barang yang berpokok Rp 50,- dijual Rp 100,- dan
beruntung Rp 50,-. Penjualan lain kepunyaan ibunya Rp 60,- ' disimpan mereka uangnya.
Setelah dipotong biaya, lalu dibaginya dua keuntungan itu, yaitu Rp 20,-, seorang. Sesudah
makan, Midun berkata, "Sungguh bukan sedikit untung kita, Maun! Patutlah Datuk Palindih
lekas benar kayanya. Belum lama ia jadi saudagar, sudah banyak ia membeli sawah. Uang
yang diperniagakannya pun tidak sedikit, karena berpuluh pedati ia membawa
barang-barang yang telah dibelinya.
Maukah Maun berniaga pula nanti?"
"Baik, saya pun amat suka berniaga," jawab Maun. "Jika pandai menjalankan
perniagaan, memang lekas benar naiknya. Tapi jatuhnya mudah pula. Lihatlah Baginda
Sutan itu! Dari sekaya-kayanya, jatuh jadi semiskin-miskinnya. Sekarang pikirannya tidak
sempurna lagi." "Benar katamu itu. Karena Baginda Sutan sangat tamak akan uang dan sangat kikir
pula, ia dihukum Tuhan. Boleh jadi ia berniaga terlampau banyak mengambil untung, lalu
dimurkai Allah. Kekikirannya jangan dikata lagi. Bajunya baju hitam yang sudah berkilat
lehernya, karena tidak bercuci. Baunya pun tidak terperikan busuknya. Uang seduit
dibalik-baliknya dulu baru dibelanjakan."
Maka mereka pun menanyakan kepada orang lepau itu, agar mereka kedua diizinkan
bermalam di sana selama ada keramaian. Bagi orang lepau itu, karena dilihatnya Midun dan
Maun orang baik-baik, tiadalah menjadi halangan mereka kedua menumpang di lepau itu.
Setelah itu Midun dan Maun berjalan akan melihat-lihat keramaian "pasar malam". Pada kiri
kanan jalan dekat lepau itu sampai ke pintu gerbang dihiasi dengan pelbagai sulur-suluran
dan hunga-bungaan. Bergelung-gelung amat indah-indah rupanya. Pada tiap-tiap rumah
sepanjang jalan, berkibaran bendera si tiga warna. Dari jauh sudah kelihatan pintu gerbang
pasar malam itu. Tinggi di atas puncaknya terpancang bendera Belanda yang amat besar,
berombak-ombak ditiup angin. Tonggak pintu gerbang itu dililit dengan kain yang
berwarna-warna. Pelbagai bunga-bungaan bersusun amat beraturan, menyedapkan
pemandangan. Midun dan Maun sampai di pintu gerbang itu. Dengan heran inereka melihat
keindahannya. Agak ke sebelah dalam sedikit ada sebuah rumah yang amat kukuh, bangun
rumah itu tak ubah dengan balairung sari buatan orang Minangkabau zaman dahulu.
Sungguh tertarik hati melihat bangun rumah itu. Atapnya dari ijuk, berdinding papan
berukir. Di tengah-tengah balai itu ada sebuah pintu masuk yang amat besar. Jika orang
hendak melihat pasar malam, harus melalui pintu balai itu. Di atas pintu agak sebelah atas,
ada kepala kerbau yang bertanduk. Kepala kerbau itu ialah menjadi suatu tanda kebesaran
orang Minangkabau. Konon kabarnya, menurut cerita orang: pada zaman dahulu
kala orang Jawa datang ke Minangkabau akan menyerang negeri itu. Melihat
kedatangan orang Jawa yang sangat banyak itu, orang Minangkabau khawatir, takut akan
kalah perang. Oleh sebab itu, dicarinya akal akan menghindarkan bahaya itu. Maka
dikirimnya seorang utusan oleh raja Minangkabau kepada panglima perang orang Jawa itu
membawa kabar, mengatakan: bahwa jika berperang tentu akan mengorbankan jiwa
manusia saja. Oleh karena itu, dimintanya berperang itu dihabisi dengan jalan mengadu
kerbau saja. Manakala kerbau orang Minangkabau kalah, negeri itu akan diserahkan kepada
orang Jawa. Tetapi kalau menang, segala kapal-kapal dengan muatannya harus diserahkan
kepada orang Minangkabau. Permintaan itu dikabulkan oleh orang Jawa dengan segala
suka hati. Maka dicarinya seekor kerbau yang amat besar. Tetapi orang Minangkabau
mencari seekor anak kerbau yang sudah tiga hari tidak diberinya menyusu. Pada moncong
anak kerbau itu diberinya berminang yang amat tajam. Setelah datang hari yang ditentukan
hadirlah rakyat kedua kerajaan itu. Ketika orang Jawa melihat anak kerbau orang
Minangkabau, mereka tertawa dengan riangnya. Pasti kepada mereka itu, bahwa ia akan
menang. Tetapi setelah kedua kerbau itu dilepaskan ke tengah gelanggang, anak kerbau itu
pun berlari-lari kepada kerbau besar orang Jawa itu, hendak menyusu... sehingga perut
kerbau itu tembus oleh minang yang lekat di moncongnya. Kerbau orang Jawa itu mati,
maka menanglah kerbau orang Minangkabau itu. Demikianlah ceritanya. Benar tidaknya
cerita itu, wallahu alam.
Balai itu dihiasi dengan amat bagus dan indahnya. Di atas balai itu kelihatan beberapa
orang engku-engku berdiri.
Ketika Midun tercengang-cengang memperhatikan pintu gerbang itu, tampak olehnya
huruf yang dibuat dengan air mas.
Huruf itu terletak pada tengah-tengah gaba-gaba. Sedang Midun melihat-lihat, datang
seorang dekat padanya. Midun menyangka tentu anak itu murid sekolah, lalu bertanya,
"Buyung, apakah bunyi bacaan yang tertulis pada gaba-gaba itu?"
Anak itu pun berkata, katanya, "Pasar Malam."
Midun meminta terima kasih kepada anak itu, kemudian berkata kepada Maun. "Jika
orang hendak masuk ke dalam rupanya membayar. Mari kita beli pula yang seperti dibawa
orang itu, kita masuk ke dalam!"
Sesudah membeli karcis, lalu keduanya masuk. Belum lagi sampai ke tengah, mereka
amat heran melihat kebagusan pasar malam itu. Pondok-pondok berdiri dengan amat
teratur. Los-los pasar dihiasi dengan bermacam-macam bunga. Midun pergi melihat-lihat
keadaan di pasar itu. Mula-mula dilihatnya pada sebuah pondok seorang perempuan
menenun kain. Midun sangat heran melihat bagaimana cekatannya perempuan itu bertenun.
Setelah lama diperhatikan, ia pun meneruskan perjalanannya pula melihat yang lain-lain,
misalnya, cara menanam tumbuh-tumbuhan yang subur, pemeliharaan ternak yang baik dan
lain-lain sebagainya. Segala yang dilihat Midun di dalam pasar malam itu, diperhatikannya
sungguhsungguh. Setelah petang hari, baru mereka pulang ke lepau nasi. Ketika ia melalui
sebuah los dekat pintu keluar, kedengaran olehnya orang berseru-seru, katanya, "Lihatlah
peruntungan, Saudarasaudara! Baik atau tidaknya nasib kelak, dapat dinyatakan dengan
mengangkat batu ini!"
Midun dan Maun tertarik benar hatinya hendak melihat, lalu mereka pergi ke tempat
itu. Midun melihat sebuah batu yang besar bertepikan suasa. Batu itu telah tua benar
rupanya. Agaknya sudah berabad-abad umurnya. Tidak jauh daripada itu ada pula terletak
sebuah pedupaan (perasapan). Bertimbun kemenyan yang ditaruhkan orang di sana. Maka
bertanyalah Midun kepada orang yang berseru itu, katanya, "Batu apa ini, Mamak"
Bagaimanakah, maka kita dapat menentukan nasib kelak dengan batu ini?"
"Batu ini ialah batu keramat, pusaka dari Raja Pagaruyung yang telah berabad-abad
lamanya," jawab orang itu. "Jika orang muda dapat mengangkat batu ini sampai ke atas
kepala, tandanya orang muda akan berbahagia kelak. Tetapi bila tidak dapat, boleh saya
pastikan, bahwa nasib orang muda tidak baik akhir kelaknya. Dan barang siapa yang tidak
percaya akan perkataan saya, tentu ia dikutuki batu keramat ini."
Midun dan Maun amat takjub mendengar perkataan orang itu. Karena ia seorang alim
pula, bersalahan sungguh pendapat orang ini dengan ilmu pengetahuannya. Pikirnya, "Ini
tentu suatu tipu untuk pengisi kantung saja. Mengapakah hal yang semacam ini kalau
dibiarkan saja oleh pemerintah" Bukankah hal ini bersalahan dengan ilmu pengetahuan dan
agama" Orang ini barangkali tidak beragama, karena batu disangkanya dapat menentukan
buruk baik untung orang."
Berkacau-balau pikiran Midun tentang batu yang dikatakan keramat itu. Tetapi ia tidak
berani mengeluarkan perasaannya, karena takut kepada orang banyak yang
mengelilinginya. Tibatiba datang seorang, lalu membakar kemenyan sebesar ibu jari pada
pedupaan. Ketika ia membakar kemenyan, lalu memohonkan rahmat kepada hatu itu,
moga-moga baik nasibnya kelak. Kemudian ia memasukkan uang sebenggol ke dalam
tabung yang sudah tersedia. Sambil memperbaiki sikap dan membaca bismillah, maka
diangkatnyalah batu itu perlahan-lahan, sebab takut akan ketulahan. Telah mengalir peluh di
badan orang itu, jangankan terangkat bergerak pun tidak batu itu. Dengan bersedih hati dan
muka yang suram, berjalanlah ia, tidak menoleh-noleh ke belakang.
Midun berbisik kepada Maun, "Bersedih hati benar rupanya orang itu, karena batu ini
tidak terangkat olehnya. Kepercayaannya penuh, bahwa batu keramat. Tentu saja tidak
terangkat olehnya batu sebesar ini, karena ia sudah tua. Sungguh kasihan dan boleh jadi ia
menyesali hidupnya dan sesalan itu boleh menimbulkan pikiran, hendak membinasakan diri,
karena sangkanya, daripada hidup sengsara kelak, lebih baik mati sekarang. Berbahaya
benar, tidak patut hal ini dibiarkan."
Maun menarik napas, lalu berkata perlahan-lahan, "Sungguh, amat banyak orang
sesat, karena kebodohan dan kepercayaan yang bukan-bukan. Janganlah kita bicarakan
juga hal ini. Jika terdengar oleh yang punya dan oleh orang-orang yang mempercayainya
keramat batu ini, boleh jadi kita binasa."
"Baiklah, maukah Maun mengangkat batu ini" Saya ingin hendak mengangkat berapa
beratnya, sebab sudah tiga orang tak ada yang kuat. Sungguhpun tidak percaya, kita
pura-pura saja seperti orang itu."
Maka Midun membakar kemenyan, kemudian memasukkan uang lima sen ke tabung.
Setelah itu diangkatnya batu yang dikatakan keramat itu. Oleh Midun, seorang muda yang
sehat dan kuat, dengan mudah saja batu itu diangkatnya. Segala orang yang melihat amat
heran, lalu berkata, "Anak muda yang berbahagia."
Benci benar Midun mendengar perkataan itu, hampir-hampir tak dapat ia menahan
hati. Tiba-tiba telanjur juga, lalu berkata, "Tuhan yang dapat menentukan berbahagia atau
tidaknya untung nasib seseorang, tetapi batu ini ...."
Midun dan Maun segera berjalan pulang ke lepau nasi,
karena ketika hendak berkata lagi, dilihatnya muka yang punya batu berubah
sekonyong-konyong. Sepanjang jalan mereka sepatah pun tidak bercakap, karena
memikirkan batu yang bertepikan suasa itu. Sudah makan, baru mereka mempercakapkan
penglihatannya sehari itu. Tetapi yang menarik hati mereka benar, ialah memperkatakan
batu yang keramat itu saja.
Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula ke pasar malam. Sesampai di pintu
masuk, takjub sungguh Midun melihat pintu gerbang pasar malam itu. Gaba-gaba diterangi
dengan berpuluhpuluh lampu, melukiskan ukuran yang amat indah-indah. Balai dihiasi
dengan lampu yang berwarna-warna. Huruf-huruf pada gaba-gaba dan di gonjong balai,
seakan-akan terbuat daripada lampu laiknya. Dengan segera Midun membeli karcis, lalu
masuk ke dalam. Midun dan Maun berjalan tidak seperti siang tadi, melainkan
diperhatikannya isi tiap-tiap pondok di pasar itu. Banyak penglihatan Midun yang berfaedah
untuk penghidupannya kelak. Misalnya pekerjaan tangan, cara memelihara ternak, keadaan
bibit tanaman yang bagus, contoh-contoh barang perniagaan, dan lain-lain.
Demikianlah pekerjaan mereka itu dua hari lamanya. Pada hari yang kelima,
pagi-pagi, Midun dan Maun pergi ke pasar. Mereka herbelanja membeli ini dan itu, karena
hendak terus pulang setelah melihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari kembalilah mereka
ke Iopau. Segala barang-barang yang dibeli, dipertaruhkannya kepada orang lepau itu.
Setelah itu Midun duduk hendak makan, tetapi Maun masih di luar membeli rokok. Baru saja
Midun duduk, Maun berseru dari luar katanya, "Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?"
Midun melompat lari ke luar, hendak melihat yang diseurkan kawannya itu. Di jalan
kelihatan beberapa engku-engku dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tiba-tiba Midun
terkejut, karena di dalam orang banyak itu kelihatan olehnya Kacak. Dengan segera
ditariknya tangan Maun, lalu dibawanya masuk ke dalam lepau.
Dengan perlahan-lahan Midun berkata, "Maun! Adakah engkau melihat Kacak di
antara orang banyak itu?"
"Tidak," jawab Maun dengan cemasnya. "Adakah engkau melihat dia?"
"Ada, rupanya ia ada pula datang kemari. Ketika saya melihatnya tadi, ia memandang
ke sana kemari, seakan-akan ada
yang dicarinya di antara orang banyak itu. Entah siapa yang dicarinya dengan
matanya itu tidaklah saya ketahui. Saya amat heran karena ketika saya menampaknya tadi,
darah saya berdebar. Yang biasa tidaklah demikian benar hal saya bilamana melihat Kacak.
Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa tahu dengan tidak disangka-sangka kita
dapat bahaya kelak. Sebab itu haruslah kita ingat-ingat selama di sini."
"Tidak kelihatankah engkau kepadanya tadi" Tetapi saya rasa takkan berani Kacak
berbuat apa-apa kepada kita di dalam peralatan besar ini. Nyata kepada saya ketakutannya
bertentangan dengan engkau, waktu perkelahian di tepi sungai dahulu. Sedangkan di
kampung demikian keadaannya, apalagi di sini. Siapa yang akan dipanggakkannya di sini"
Karena itu tidak boleh jadi ia akan menyerang kita. Sungguhpun demikian, kita harus
berhati-hati juga." "Saya tidak kelihatan olehnya. Tetapi jika tak ada yang dicarinya, masakan seliar itu
benar matanya. Saya pun maklum, bahwa dia tida k akan berani menyerang kita di sini.
Tetapi karena dia orang kaya, tentu bermacam-macam jalan dapat dilakukannya akan
membinasa. kan kita. Biarlah, asal kita ingat-ingat saja."
Sesudah makan mereka pun berjalan-jalan ke pasar, melihat perarakan anak-anak
sekolah dan lain-lain: Malam hari Midun tidak keluar, melainkan tinggal di lepau nasi saja.


Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lain benar perasaannya sejak melihat Kacak hari itu. Besoknya ketika pacuan kuda dimulai,
mereka itu tidak pergi melihat, melainkan tinggal di lepau saja. Hanya pada hari yang kedua
saja mereka hendak pergi sebentar. Sudah itu maksudnya hendak terus pulang ke
kampung. Bab 7: Di Pacuan Kuda. PAGI-PAGI benar Midun dan Maun sudah bangun. Setelah mandi mereka kedua pergi
sembahyang kepada sebuah surau yang tidak herapa jauh dari lepau nasi tempatnya
menumpang itu. Sudah sembahyang subuh, mereka pun berkemas membungkus dan
mengikat barang-barang yang telah dibelinya. Setelah selesai, ditaruhnya dalam sebuah
bilik lepau itu. Ketika mereka itu hendak minum pagi, dilihatnya hari sudah agak tinggi. Maun
berkata, katanya, "Ah, hari sudah pukul tujuh agaknya, Midun! Boleh jadi kita terlambat.
Saya rasa lebih baik kita makan di pacuan kuda saja nanti. Jika kita minum pula dahulu,
tentu kita tidak dapat lagi melihat orang berpacu book* (Artinya merebut piala/beker).
Sekalipun kita tidak minum, agaknya terlambat juga sampai ke sana. Marilah kita naik bendi
saja ke pacuan kuda. Pacu boko kabarnya mulai pukul delapan betul."
"Benar katamu, mari kita naik bendi saja," kata Midun.
"Tetapi kabarnya sewa bendi sangat mahal sekarang. Lebih tiga kali lipat daripada
sewa yang biasa. Lagi pula tidakkah jauh amat, karena kita pergi ke perhentian bendi
dahulu?" "Tidak, kita tawar dahulu berapa sewanya. Dari sini tidak berapa jauh ke perhentian
bendi. Mudah-mudahan sebelum kita sampai ke sana, bertemu dengan bendi yang mencari
muatan." Keduanya berjalanlah menuju tempat perhentian bendi. Sampai di sana, lalu
ditanyakan Midun berapa sewa bendi ke gelanggang pacuan kuda. Kusir bendi menjawab
pendek saja, bahwa sewa bendi tidak kurang dari f1,- seorang ke pacuan. Jadi dua orang
f2,-. Maun amat heran mendengar jawab kusir bendi meminta sewa semahal itu. Padahal
antara Bukittinggi dengan pacuan kuda hanya sepal lebih sedikit. Maka Maun berkata
dengan sungutnya, "Uang dua rupiah itu pada pikiran kusir murah saja, Midun! Memang
lidahnya tidak bertulang, mudah saja ia menyebutkannya. Marilah kita berjalan kaki saja.
Tidak cukup setengah jam kita sudah sampai. Hari baru pukul tujuh."
Baru saja Midun berbalik hendak berjalan, tiba-tiba tampaklah olehnya seseorang
melintas jalan. Darah Midun tersirap melihat orang itu, karena rasa-rasa sudah bertemu
dengan dia. Setelah dipikirkannya di mana orang itu bertemu dengan dia,
baru Midun maklum Dengan suara gagap ia berkata, "Maun! Lenggang yang bertemu
dengan kita pulang dari sembahyang Jumat di kampung tempo hari ada pula kemari. Itu dia
di seberang jalan. Lihatlah, tajam benar pandangannya kepada kita. Saya amat heran,
sudah dua kali saya bertemu dengan dia, selalu darah saya saja yang tersirap. Pertemuan
yang kedua ini, tidak darah saya saja yang tersirap, tetapi tegak pula bulu kuduk saya
rasanya. Bukankah ajaib itu?"
Maun, yang memang sejak dahulu tidak senang hatinya melihat dan mendengar nama
Lenggang itu, terperanjat pula, lalu berhenti berjalan akan melihat orang itu. Sambil
berpaling pula hendak berjalan ia berkata, "Hati-hati, Midun, tidak darahmu saja yang
tersirap, tetapi urat kuduk saya mendenyut melihat Lenggang itu. Jangan kita bercerai-cerai
barang setapak jua pun. Tertelentang sama terminum air, tertangkup sama termakan tanah,
menyuruk sama bungkuk, melompat sama patah, musuhmu musuh saya. Saya selalu
bersedia akan membelamu, biar bagaimana juga. Jika ada apa-apa yang terjadi, jangan
engkau larang-larang lagi, sebagai ketika engkau berkelahi dengan Kacak dahulu. Saya
tahu apa yang akan saya perbuat, untuk keselamatan diri kita berdua. Jangan lagi kita
lama-lama di pacuan. Asal sudah kita melihat pacu boko, kita terus pulang saja. Tidak
perlukah kita membawa pisau, Midun?"
"Nasihatmu itu saya pegang benar-benar. Kita tidak boleh lengah dan alpa sedikit juga
sampai-sampai pulang ke kampung. Tentang membawa pisau itu tidak usah lagi. Tulang
delapan kerat yang dijadikan Tuhan ini sajalah kita pergunakan. Banyak bahayanya kita
berpisau daripada tidak berpisau. Jika tikus seekor penggada seratus, artinya dia banyak
kita berdua, kita buat saja langkah seribu, daripada mengamuk atau menikam orang.
Tentang kesetiaan hatimu itu kepada saya, saya ucapkan terima kasih
banyak-banyak. Tetapi sebenarnya dalam hal ini engkau tidak campur sedikit jua. Jika
misalnya bahaya datang tiba-tiba"tetapi janganlah hendaknya" saya tidak suka engkau
terbawa-bawa pula sebab saya. Tak beban batu digalas, kata orang. Tentu saja engkau
teraniaya, karena hendak menolong seorang teman. Tetapi melihat pengakuan dan
keyakinanmu kepada saya, tak dapat saya menolak perkataanmu itu. Kebersihan dan
keikhlasan hati engkau itu, saya hargakan sungguh-sungguh. Kebanyakan orang
bersahabat ialah akan lawan tertawa saja, tetapi lawan menangis sukar dicari. Bagimu
rupanya tidaklah demikian. Saya telah engkau sangka seperti saudara kandung seibu
seayah, tidak berubah dari mulut sampai ke hati. Badan saja yang dua, tetapi nyawa
umpama satu." "Kawanku Midun! Sejak kecil kita tidak bercerai setapak juapun. Selama itu saya rasa,
belum pernah saya menumangkan engkau. Bagi saya engkau tidak saya pandang orang
lain lagi, melainkan telah seperti saudara kandung. Jika engkau susah, saya akan lebih
berdukacita, dan jika engkau tertawa, saya pun lebih bersuka hati. Sudahlah, tidak guna kita
perbincangkan lagi. Apa guna dipikirkan, bukanlah kita sekarang dalam peralatan" Waktu ini
kita harus bersuka-suka. Yang segantang tidakkan mau jadi sesukat. Asal kita ingat saja
menjaga diri, sudahlah! Benar juga katamu itu, dengan bermacam-macam akal tentu ia dapat berlaku akan
membinasakan kita. Oleh sebab itu untuk menjaga keselamatan kita, jangan kita berjalan
seperti yang sudah-sudah lagi. Mulai sekarang kita ubah, lebih baik kita berjalan
beriring-iring. Engkau di muka, saya di belakang. Saya perlu menjaga engkau, karena
engkaulah yang dimusuhi orang, saya tidak. Kalau kita berjalan bersisi-sisi atau engkau di
belakang, tentu gampang orang membinasakan kita. Siapa tahu, engkau diserang orang
dengan tiba-tiba dari belakang. Manakala saya di belakang, tentu boleh saya memberi ingat
kalau ada apa-apa. Saya tidak akan lengah dan selalu menjaga dengan ingat-ingat."
"Terima kasih banyak-banyak, Maun! Sebetulnyalah pikiranmu itu. Bila kita selalu
dalam hati-hati, tetapi bahaya jua yang dapat, sudah suratan badan kita yang celaka dan
tidak menjadi sesalan lagi."
Dengan tidak diketahui mereka kedua, maka sampailah ke pacuan kuda. Sepanjahg
jalan yang dilaluinya itu berkibaran bendera pada kiri-kanan jalan. Pada pintu masuk pacuan
kuda, ada pula sebuah gaba-gaba yang amat indah-indah, dihiasi dengan pelbagai
bunga-bungaan. Sekeliling pacuan itu penuh dengan berbagai-bagai bendera. Sebuah
daripada bangsalbangsal di pacuan itu, amat kukuh buatannya. Bangsal itu ialah tempat
engku-engku dan tuan-tuan melihat kuda berpacu. Amat permai dan cantik bangsal yang
sebuah itu, karena dihiasi dengan bunga-bungaan yang amat bagus. Pada puncaknya
berkibar bendera yang bercorak tiga.
Ada pun pacuan itu dikelilingi oleh bukit. Tiap-tiap bukit itu berpuluh-puluh pondok
didirikan orang. Pondok-pondok itu ialah tempat orang berjual nasi, juadah, dan lain-lain
sebagainya. Penuh sesak orang di bukit itu, berkelompokkelompok sangat banyaknya.
Hampir dari seluruh tanah Minangkabau, amat banyak datang melihat pacuan kuda itu.
Sebabnya ialah karena pacuan itu kepunyaan anak negeri, dan kuda yang dipacu, kuda
negeri pula. Pada hari itu orang dua kali sebanyak kemarinnya. Berdesak-desak orang
mencari tempat akan melihat perlombaan kuda. Hal itu lain tidak karena orang hendak
melihat pacu boko, yang sangat disukai orang.
Pacu boko itu akan merebut priys yang dinamakan "Minangkabau Beker". Siapa yang
menang tidak saja ia memperoleh piala, tetapi menerima hadiah uang yang banyak pula.
Sebab itu, kuda yang dipacu tidak sedikit. Tiap-tiap luhak di Minangkabau, diambil dua ekor
kuda yang terkencang. Ketika itu hanya empat belas ekor kuda sekali lepas. Dengan melihat
pakaian anak pacuannya, tahulah orang dari luhak mana-mana kuda itu datangnya. Ketika
itu ada pula kuda yang datang dari Padang Hilir*(Negeri-negeri sebelah pesisir dinamai
Padang Hilir, sebelah ke Gunung Padang Darat).
Midun dan Maun mencari tempat yang baik, agar dapat melindungkan diri dari bahaya.
Setelah dapat, mereka berdirilah di sana. Sungguhpun tempat itu amat baik, Maun selalu
ingatingat jua. Tidak lama kemudian, kuda dilepas orang. Gemuruh bunyi sorak orang
sekeliling pacuan itu. Ada yang menyerukan, "Agam, Agam," dan ada pula "Payakumbuh,
Payakumbuh," yaitu masing-masing menyerukan luhaknya. Rasakan hendak belah bumi
rupanya. Tidak bersorak saja, musik militer pun selalu berbunyi selama kuda itu berlari.
Tiap-tiap orang gelisah dan tidak bersenang hati, manakala melihat kuda dari luhaknya
kalah. Tetapi yang menang, orang luhaknya rasa hendak terbang karena kegirangan hati.
Mereka melompat-lompat, tertawanya berderai-derai dan perkataannya seperti merendang
kacang sebab sukanya. Setelah sudah berpacu, nyata yang menang masa itu kuda dari
luhak Agam. Maka orang dari luhak itu berlarian ke tengah gelanggang pacuan, berarak,
dan bersorak-sorak menunjukkan suka hatinya. Musik militer pun turun, lalu kuda yang
menang itu diarak sekeliling pacuan.
Orang di gelanggang itu herkacau-balau tidak bertentu lagi. Midun dan Maun tidak
berani keIuar dari tempatnya, melainkan ia melihat saja dari jauh. Setelah sudah orang
mengarak kuda barulah tenang kembali. Midun berkata kepada Maun, "Maksud kita sudah
sampai, perut sudah lapar, mari kita pergi makan. Sesudah makan, kita ambil
barang-barang kita, terus pulang."
"Di lepau nasi manakah yang baik kita makan?" jawab Maun.
"Mari kita makan ke puncak bukit itu! Di sana tentu senang kita makan dan tidak
terganggu." Maka keduanya pun naik ke puncak bukit, mencari lepau nasi yang agak baik. Pada
kiri kanan tempat yang dilalui mereka itu orang duduk berkelompok-kelompok. Di muka
mereka terbentang sehelai tikar dan sebuah piring dengan dadu dan tutupnya.
Berpuluh-puluh uang terletak di muka mereka itu. Demikianlah halnya tiap-tiap kelompok
orang itu. Di sini kelihatan orang main dadu, di sana dadu kuncang, dan lain-lain. Segala
macam judi ada di situ. Berbagai-baga akal mereka mencari uang. Tidak main dadu saja,
bertaruh kuda pun banyak pula. Midun tidak lama memperhatikan orang main dadu itu,
melainkan ia terus berjalan ke puncak bukit. Setelah didapat lepau nasi yang berkenan
kepadanya, maka makanlah ia di situ. Sesudah makan, lalu turun pula ke bawah, hendak
pergi ke tempatnya menumpang mengambil barang-barangnya. Belum jauh berjalan,
dilihatnya beberapa orang opas berjalan keliling tempat orang main itu. Opas itu
melemparkan ringgit ke tikar dadu, kemudian dikembalikan orang ringgit itu dengan sebuah
rupiah akan tambahnya. Sedang Midun memikirkan hal itu, Maun yang berdiri di
belakangnya melihat seseorang bergerak dekatnya, kemudian terbayang pada matanya
sebuah pisau yang menuju rusuk Midun. Sebagai kilat Maun melompat menangkap pisau
itu, sambil berseru, "Awas, Midun!" '
Midun berbalik, dilihatnya Maun telah berkelahi, lawannya memegang sebuah pisau.
Ketika Midun hendak melompat menolong Maun, tiba-tiba ia diserang orang pula dengan
pisau. Orang itu ialah Lenggang yang dilihatnya pada perhentian bendi tadi pagi. Midun lalu
menangkis serangan, sambil mengundurkan diri ke arah Maun berkelahi. Setelah dekat,
Midun berkata, "Lepaskan, jaga di belakang saya!"
Suara itu terdengar oleh Maun, lalu ia melompat ke belakang Midun. Maun sekarang
hanya menjaga kalau-kalau ada serangan dari kiri-kanan saja. Kedua orang itu Midun
sendiri yang melawan. Bukan main tangkas Midun menyambut dan mengalahkan tikam
lawannya. Tidak lama pisau yang seorang terpelanting kena sepak Midun. Tinggal lagi
Lenggang yang berpisau. Midun dan Maun selalu mengundurkan diri ke belakang.
Kemudian ia tertumbuk pada dinding sebuah lepau nasi. Di sana mereka kedua dapat
tempat untuk bertahan. Orang makin banyak menyerang Midun, karena teman Lenggang
selalu berteriak, mengatakan, "Pancacak*(Pencuri, dalam orang ramai)!"
Karena itu orang menyangka Midun seorang pencuri. Dari kiri kananin dan dari muka
musuh datang; amat sibuk tidak tentu lawan kawan. Orang banyak itu tidak dipedulikan
Midun amat, melainkan yang sangat dijaganya Lenggang. Bagi orang banyak itu lain tidak
ilmu, sepak terjang saja. Tetapi Lenggang sengaja hendak membunuh dia. Tidak lain yang
kedengaran masa itu, hanya bunyi sepak terajang, pukulan dan tinju orang saja. Huru-hara
benar di bukit sebuah itu. Anak-anak amat banyak terinjak oleh orang yang melarikan diri.
Perempuanperempuan yang berpakaian bagus-bagus, tunggang-Ianggang jatuh ke bawah
sebab dilanda orang yang berkelahi. Jerit, tangis, dan teriak orang mengatakan "bunuh dan
amuk", tidak pula kurang. Polisi bekerja keras memadamkan perkelahian itu. Meskipun
dengan pedang bercabut menghentikan perkelahian itu, tidak dipedulikan orang. Malahan
polisi sendiri ada yang berguling-guling jatuh ke bawah kena kaki orang. Setelah datang
serdadu selusin dan membunyikan bedil serentak, barulah peperangan kecil itu aman
kembali. Jika tidak lekas serdadu datang, entah berapa gerangan bangkai terhantar.
Ketika bedil berbunyi, kebetulan dekat Midun ada seorang yang terhantar di tanah.
Tiba-tiba ia telah dipegang Tuan Kemendur dari rusuk, yang pada ketika itu datang
bersamasama dengan serdadu akan memadamkan perkelahian. Midun ditangkap karena
bajunya berlumur darah. Maun ditangkap juga, sebab ia berdiri dekat seorang vang
terhantar di tanah. Orang yang terhantar itu terus dibawa ke rumah sakit. Orang itu ialah
Lenggang. Ia pingsan karena perutnya kena amuk oleh pisaunya sendiri. Tetapi lukanya
tidaklah berat benar. Pada lengan Lenggang ada sebuah pisau yang berlumur darah.
Teman Lenggang melenyapkan diri di dalam orang banyak itu. Orang lain yang serta dalam
perkelahian karena melepaskan dendam atau mempertahankan diri, ketika bedil meletus
berlarian menyembunyikan badan.
Midun dan Maun dibawa oleh seorang opas. Ketika mereka itu sampai pada
perhentian bendi di gelanggang pacuan kuda, bertemu dengan Pendekar Sutan. Melihat
Midun dan Maun diiringkan opas, Pendekar Sutan sangat terkejut. Maka ia pun bertanyakan
hal itu kepada Midun. Midun menceritakan perkelahiannya dengan Lenggang. Setelah
sudah, Midun berkata, katanya, "Hal ini janganlah Bapak beri tahukan dahulu kepada orang
di kampung. Manakala di dalam sepuluh hari ini tak ada seorang jua di antara kami yang
pulang, barulah Bapak ceritakan hal kami ini."
"Baiklah!" jawab Pendekar Sutan dengan cemasnya, karena ia maklum dari mana
asalnya maka terjadi perkelahian itu. "Syukurlah, engkau kedua tidak binasa. Saya belum
akan pulang, karena saya hendak menantikan kabarnya. Jika dalam sepekan ini perkara ini
belum juga diperiksa, baru saya pulang ke kampung. Engkau kedua jangan khawatir, karena
sipir dan beberapa tukang kunci* (Opas Penjara) penjara berkenalan dengan saya. Biarlah,
besok saya temui dia ke penjara akan mempertaruhkan engkau, supaya jangan diganggu
orang di dalam penjara."
Midun dan Maun terus dibawa ke penjara. Mereka kedua ditahan di sana, sementara
perkaranya belum diputuskan. Empat hari sesudah peralatan, Midun dan Maun mulai
diperiksa oleh jaksa. Dalam pemeriksaan yang pertama itu, nyata bahwa Maun tidak campur
apa-apa. Oleh jaksa Maun diizinkan pulang, tetapi manakala dipanggil harus datang sebagai
saksi. Maka Maun pulanglah bersama Pendekar Sutan yang sengaja menanti kabarnya.
Bab 8: Menjalani Hukuman SETELAH dua bulan lebih kemudian daripada itu, Maun terpanggil datang ke
Bukittinggi. Maka iapun datanglah bersamasama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan
Pendekar Sutan yang hendak mendengar keputusan perkara itu.
Tiga hari berturut-turut Landraad memeriksa perkara itu dengan hemat. Pada hari
yang keempat, baru dijatuhkan hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bulan.
Sebab menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankannya tidak di Bukittinggi, melainkan di
Padang. Lenggang dihukum setahun penjara dan dibuang ke Bangkahulu. Ia disalahkan
mengamuk, karena pisaunya berlumur darah.
Setelah Midun keluar dari kantor Landraad, diceritakannyalah kepada ketiga
bapaknya, bahwa ia dihukum ke Padang lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula
besoknya ia mesti berangkat menjalankan hukuman itu. Midun meminta dengan sangat
kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu juga, jangan ia diantarkan ke stasiun
besoknya. Permintaan itu dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata
berlinang-linang, katanya, "Baik-baik engkau di negeri orang, Midun! Ingat-ingat menjaga
diri! Engkau anak laki-laki, sebab itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah
hendaknya kurang suatu apa engkau menjalankan hukuman. Jika engkau sudah bebas,
lekas pulang. Segala nasihat kami yang sudahsudah, pegang erat-erat, genggam
teguh-teguh." Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah bercucuran. Ia tidak dapat lagi
meneruskan perkataannya, karena amat sedih hatinya bercerai dengan anaknya yang
sangat dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya anaknya. Ia pun
berjalan dengan tidak menengok-nengok lagi ke belakang ke lepau tempat ia menumpang.
Demikian pula Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepatah-dua patah saja menasihati
Midun. Setelah bermaaf-maafan, mereka itu berjalan dengan sedih yang amat sangat.
Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya itu. Tetapi dengan kuat ia
menahan hati, supaya air matanya jangan keluar. Ketika Maun bersalam akan meminta
maaf kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang kita akan bercerai.
Nyawa di dalam tangan Allah, tidak tentu besok atau lusa diambil yang punya. Siapa tahu
perceraian kita ini entah untuk selama-lamanya. Tetapi mudah-mudahan janganlah
hendaknya terjadi demikian. Lekas jua kita dipertemukan Tuhan kembali."
Suara Midun tertahan karena menahan sedih. Air matanya bercucuran, seolah-olah
tidak sanggup ia bercerai dengan sahabatnya yang akrab sejak dari kecil itu. Kemudian
Midun menyambung perkataannya pula, katanya, "Sejak kecil kita bergaul, belum pernah
engkau mengecewakan hatiku. Dalam segala hal hidup bertolong-tolongan, tidak pernah
berselisih paham, melainkan sepakat saja. Hanya saya yang banyak berutang budi
kepadamu. Perbuatanku selama ini terhadap kepadamu, belum ada yang menyenangkan
hati engkau. Saya ulang sekali lagi akan menyatakan terima kasih saya tentang perkelahian
di pacuan kuda itu. Jika engkau tidak menangkap pisau teman Lenggang, barangkali jiwaku
melayang, karena saya ditikamnya dari belakang. Untung engkau selalu ingat dan dapat
menangkis. Jadi adalah seakan-akan jiwaku yang seharusnya telah bercerai dengan
badanku, engkau pulangkan kembali.
Lain daripada itu, Maun! Ibu bapakmu ialah ibu bapak saya. Thu bapakku saya harap
engkau sangka ibu bapakmu pula. Bagaimana engkau mengasihi ibu bapakmu, begitu pula
hendaknya kepada orang tuaku. Engkaulah yang akan mengulangulangi beliau selama saya
jauh dari kampung. Jangan engkau perubahkan, buatlah seperti di rumahmu sendiri di
rumah ibu bapakku. Sekianlah petaruh saya kepadamu kembali. Sambutlah salamku dan
maafkanlah saya, Saudara!"


Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maun tidak dapat menjawab perkataan sahabatnya itu, karena sudah didahului oleh
air mata yang tak dapat ditahannya lagi. Ia menangis, hatinya remuk dan sedih amat sangat.
Setelah beberapa lamanya mereka itu bertangis-tangisan, berkatalah Maun dengan
putus-putus suaranya, "Saya membela sanakku, tidak usah engkau meminta terima kasih
pula. Kesalahanmu tidak ada kepadaku. Jika tidak memikirkan ibu bapak kita di kampung,
tentu saya sama-sama terhukum dengan engkau. Bukankah mudah saja saya menjalankan
jawab waktu ditanyai hakim, supaya dapat dihukum. Selamat jalan, Saudara, beranikanlah
hatimu!" Maun mengambil tangan Midun, kemudian dilekaskannya, lalu berjalan lekas-lekas
mengikuti Pak Midun ke lepau nasi tempat mereka itu menumpang. Dengan tidak
menoleh-noleh ke belakang, ia berjalan terhuyung-huyung, karena sedih hatinya. Hari itu
juga keempatnya terus pulang ke kampung. Mereka itu berjalan kaki saja, sambil
memperbincangkan hal Midun. Tetapi Pak Midun sepanjang jalan tidak berkata sepatah juga
pun. Hancur luluh hatinya mengenangkan perceraian dengan anak kesayangannya itu.
Amat sakit hatinya memikirkan apa dan siapa yang menyebabkan perceraian dengan
anaknya itu. Demikianlah hal mereka itu sampai pulang.
Hal Midun dihukum itu tersiar di kampungnya. Segala orang di kampung itu amat
bersedih hati kehilangan Midun, seorang anak muda yang baik hati dan sangat dicintai oleh
segala orang di kampungnya. Banyak orang di kampung itu yang menyangka bahwa Midun
dihukum itu tak dapat tiada bertali dengan si Kacak musuhnya. Sejak itu orang di kampung
itu semakin benci kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Melihat mukanya saja orang amat
jijik, dan kalau bertemu sedapat-dapatnya dihindarkannya. Tetapi Kacak mendengar kabar
itu sangat bergirang hati. Orang yang dibencinya tak ada lagi. Kalau ia bercakap-cakap
dengan kawannya, selalu ia berjujat tentang perangai Midun. Dikatakannya bahwa Midun
seorang-orang jahat, kalau tidak masakan dihukum. Tetapi di dalam hati Kacak merasa
berang dan kesal, karena Midun tidak sampai tewas nyawanya dalam perkelahian di
gelanggang pacuan kuda itu.
Midun sangat bersedih hati, karena ia akan meninggalkan negerinya. Makin remuk
redam lagi hati Midun, karena ia tidak dapat menemui bunda dan adik-adiknya yang sangat
dikasihinya itu lebih dahulu. Sepanjang jalan ke penjara pikirannya tidak bertentu saja.
Sebentar begini, sebentar pula begitu mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Kadang-kadang besar dan suka hati Midun dihukum, karena ia dapat menghindarkan
musuhnya yang berbahaya itu. Jika ia di kampung juga, boleh jadi hidupnya lebih celaka
lagi. Bermusuh dengan seorang kaya, keluarga orang berpangkat dan bangsawan tinggi
pula, tentu saja mudah ia binasa. Asal Midun lengah sedikit saja, tentu Kacak dapat
menerkam mangsanya. Sebelum Midun lenyap di dunia ini, tidaklah Kacak akan bersenang
hati. Makin dikenang makin jauh, makin dipikirkan makin susah. Dengan pikiran demikian
itu, lain tidak hasilnya sedih dan pilu, padahal nasibnya takkan berubah, tetap begitu juga.
Maka Midun pun membulatkan pikirannya, lalu berkata di dalam hatinya, "Ah, sudahlah,
memang adat laki-laki sudah demikian. Tiap-tiap celaka ada gunanya. Tidak guna saya
sesalkan, karena hal ini kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua."
Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan perlindungan Tuhan,
hubaya-hubaya selamat dalam hidup yang akan dijalaninya itu. Ketika itu hari masih gelap,
kabut amat tebal. Angin tak ada, burung-burung seekor pun tidak kedengaran berbunyi,
seolah-olah bersedih hati pula akan bercerai dengan Midun. Fajar mulai menyingsing di
sebelah timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah hujan rintikrintik, angin berembus
sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakanakan berdukacita melepas orang muda yang amat
baik hati itu, yang barangkali entah lama lagi akan dapat menjejak tanah airnya kembali.
Tidak lama datanglah seorang opas, Gempa Alam namanya, yang akan mengantarkan
Midun ke Padang hari itu. Baru saja opas itu datang, Midun berkata, "Apa kabar, Mamak"
Sekarang saya berangkat ke Padang?"
"Ya, kita sekarang berangkat, sudah siapkah Midun?" ujar Gempa Alam, sebagai
orang yang telah kenal kepadanya, "kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah
setengah tujuh lewat."
"Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek.
"Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga. Sebetulnya Midun harus saya
belenggu, karena begitu perintah saya terima. Tapi sudah tiga hari Midun saya kenali, saya
jemput dan saya antarkan waktu perkara, nyata kepada saya bahwa Midun seorang yang
baik. Saya percaya Midun tidak akan melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya
pohonkan kepada sipir, supaya engkau jangan dibelenggu ke Padang. Karena saya berani
menjamin atau menanggung bahasa Midun tidak akan lari, permintaan saya itu dikabulkan
oleh sipir." "Mamak bukankah sudah tahu bagaimana duduknya perkaranya. Tentang akan
melarikan diri itu, janganlah Mamak khawatirkan. Sedikit pun tidak ada kenang-kenangan
saya dalam hal itu. Apa yang seolah digerakkan Tuhan atas diri saya, harus dan wajib saya
terima dengan segala suka hati. Kemurahan Mamak itu, asal tidak akan merusakkan kepada
pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak."
"Midun, jika saya menaruh khawatir kepadamu, dengan
tidak bertanya-tanya lagi belenggu ini sudah saya lekatkan di tangan Midun. Tetapi
karena saya sudah maklum siapa dan bagaimana engkau, saya pohonkan supaya jangan
dibelenggu. Marilah kita berangkat!"
Maka kelihatanlah Midun dengan seorang opas menuju ke stasiun. Midun kelihatan
sabar saja, sedikit pun tidak ada tanda ia dalam bersedih hati. Kendatipun pikiran Midun
sudah tetap, tidak lagi akan mengenang-ngenangkan nasibnya, tetapi ketika lonceng tiga
berbunyi, lain benar perasaannya. Pikiran Midun melayang kepada ayah bunda dan
adik-adiknya. Tampaktampak dalam pikiran Midun segala sahabat kenalannya di kampung.
Pada perasaannya ia meninggalkan kampung 4 bulan itu, tak ubah sebagai seorang yang
tidak akan balik-balik lagi atau pergi meranto bertahun-tahun. Demikianlah kesedihan yang
selalu menggoda Midun, hingga dengan tidak diketahui sudah dua buah halte kereta api
terlampau. Melihat muka Midun muram sebagai orang bersedih ha I i Gempa Alam belas kasihan
kepadanya. Akan menghalangkan duka Midun, maka Gempa Alam berkata, "Midun,
sekalipun saya sudah maklum duduk perkara yang menghukum engkau ini, ingin juga saya
hendak mendengar dari mulutmu sendiri, bagaimana asal mulanya perkara Midun berkelahi
di pacuan kuda, dan apa yang menyebabkannya. Cobalah ceritakan kepada saya dari
bermula sampai kita naik kereta api sekarang ini."
"Saya dihukum ini tidak utang yang dibayar, dan tidak piutang yang diterima, " ujar
Midun memulai perkataannya. "Saya adalah seorang yang teraniaya, Mamak. Dengarlah
saya ceritakan dari bermula sampai tamat. Setelah habis cerita saya, akan nyata kepada
Mamak, bahwa saya teraniaya. Cerita saya ini tidak saya lebihi dan tidak pula dikurangi,
melainkan sebagaimana yang terjadi atas diri saya saja."
Maka Midun pun bercerita kepada Gempa Alam, mulai dari ia berdua belas di masjid,
sampai ia dihukum itu. Satu pun tak ada yang dilampaui Midun, habis semua diceritakannya.
Karena asyik mendengar cerita itu, dengan tidak diketahuinya kereta api sudah sampai di
halte Kandangempat, lewat Padang panjang. Baru saja Midun tamat bercerita, Gempa Alam
mengangguk-anggukkan kepala, sambil menarik napas panjang. Kemudian ia berkata,
"Ceritamu itu hampir bersamaan benar dengan nasib saya semasa muda. Hanya saja pada
permulaannya yang agak berlainan sedikit. Sebab tidak tahan hidup di kampung, sudah 15
tahun lamanya saya meninggalkan negeri. Dalam 15 tahun itu belum pernah sekali jua saya
menjejak kampung tempat kelahiran saya. Amat banyak penanggungan saya selama itu,
macam-macam pekerjaan yang telah saya kerjakan untuk mengisi perut sesuap pagi,
sesuap petang. Sekarang sebagai engkau lihat sendiri, saya telah menjadi komandan opas. Akan
pulang ke kampung, takut... ya akan dapat malapetaka pula, sebab yang memusuhi saya itu
masih memegang jabatannya."
"Mamak, kalau saya tidak salah umur Mamak sudah lebih 40 tahun," ujar Midun.
"Selama Mamak hidup, tentu telah banyak negeri yang Mamak lihat, dan sudah jauh rantau
yang Mamak jelang. Saya rasa tidak sedikit pengetahuan Mamak bertambah. Tetapi saya,
Mamak, umur baru setahun jagung, darah baru setampuk pinang, pomandangan belum
jauh, pendengaran belum banyak, pengetahuan belum seberapa. Bahkan meninggalkan
kampung barulah sekali ini. Sebab itu saya berharap, sudilah kiranya Mamak menceritakan
hal Mamak itu. Mudah-mudahan dalam cerita Mamak itu ada yang berguna akan jadi
teladan. Dengan cerita Mamak itu, tentu dapat saya membandingkan, bagaimana saya
harus menjalankan penghidupan saya kelak."
"Baik, dengarkanlah!" ujar Gempa Alam. "Dahulu waktu saya masih muda, pekerjaan
saya berniaga kecil saja di pasar. Dengan jalan demikian, dapat saya uang untuk pokok
berniaga yang agak besar. Dengan rajin dan sungguh serta hemat, saya menjalankan
periliagaan. Dalam dua tahun saja saya mendapat untung yang bukan sedikit jumlahnya.
Uang itu dapat saya pergunakan untuk mengganti pondok orang tua saya dan pembeli
sawah. Saya telah menjadi saudagar, dan nama saya di kampung sudah harum pula.
Sungguhpun uang saya belum seberapa, tetapi karena sudah sanggup mengganti rumah
orang tua dan membeli sawah, pada pikiran orang, saya sudah kaya raya.
O ya, saya lupa, Midun! Ketika saya berniaga berkecil-kecil itu, umur saya sudah 16
tahun. Waktu itu saya sudah beristri. Sayang istri saya itu tidak lama umurnya. Belum cukup
setahun saya bergaul dengan dia, ia sudah meninggalkan dunia. la meninggal itu karena
kelulusan* (Beranak-muda, belum cukup bulannya),
dan kata setengah orang sebabnya, karena ia terlampau muda kawin dengan saya.
Perkataan orang itu boleh jadi benar, karena waktu ia kawin, paling tinggi umurnya 13 tahun.
Sejak itu saya tidak mau kawin lagi. Saya beristri itu ialah karena terpaksa saja. Tidak boleh
saya mengatakan tidak mau, melainkan mesti terima. Biarpun bagaimana saya mengatakan:
saya belum hendak kawin, tetapi mamak saya memaksa juga. Maka demikian belum ada
dalam pikiran saya hendak kawin, karena ibu bapak saya orang miskin. Saya perlu membela
ibu bapak dan adik-adik saya dulu. Jika tidak saya tolong, tentu sengsara penghidupan
kami. Nah, setelah istri saya meninggal, saya berusaha, sehingga mencukupi untuk dimakan
petang pagi, sebagai sudah saya katakan tadi. Saya pun terus juga berniaga menjual
barangbarang hutan. Dengan permintaan kaum famili, saya mesti pula kawin sekali lagi.
'Patah tumbuh, bilang berganti,' katanya, 'jika tidak diganti malu kepada orang sekampung.'
Permintaan itu saya terima, karena penghidupan saya telah mencukupi. Maka saya
dikawinkan dengan seorang janda Tuanku Laras di negeri saya. Amat banyak janda Tuanku
Laras itu, Midun! Yang saya ketahui masa itu, ada 15 orang. Padahal waktu itu ia baru 3
tahun diangkat menjadi Tuanku Laras. Jika sudah 20 tahun ia memegang pangkatnya itu,
entah berapa agaknya janda Tuanku Laras itu. Ada yang karena diminta orang, ada pula
yang karena maunya sendiri. Manakala perempuan itu sudah beranak seorang atau sudah
bosan ia memakainya, lalu diceraikannya saja. Tidak karena itu saja, kadang-kadang baru
sebulan ia kawin sudah talak, sebab ia hendak kawin lagi. Sebabnya, ialah karena menurut
agama hanya boleh beristri 4 orang. Jadi yang empat orang itu selalu berganti tiap-tiap
tahun. Jika boleh beristri sampai 20 orang, barangkali hal itu akan terjadi pada Tuanku Laras
di negeri saya itu. Apa yang akan disusahkannya, membelanjai tidak, membelikan pakaian
istri pun tidak pula. Dan Tuanku Laras itu, jika pulang kepada salah seorang istrinya,
disembah-sembah, dijunjung-junjung, sangat dihormati oleh famili si perempuan itu. Yang
tidak ada diadakan, dan yang kurang dicukupkan, asal hati Tuanku Laras itu jangan tersinggung.
Segala janda Tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi, Midun! Orang takut akan
ketulahan menggantikan istri rajanya. Oleh sebab itu, kebanyakan janda Tuanku Laras itu
janda sampai tua, jarang yang bersuami lagi. Sebulan sudah kawin, saya dipanggil berjaga
ke kantor Tuanku Laras. Ketika itu urusan perniagaan saya banyak benar. Sebab yang
biasa boleh diupahkan berjaga itu saya upahkan saja. Tetapi Tuanku Laras tidak menerima,
melainkan harus saya jalani sendiri. Berjaga itu ialah sebagai berodi juga maksudnya. Tetapi
menjaga kantor itu, mengerjakan segala keperluan Tuanku Laras saja. Apa yang
disuruhkannya mesti diturut. Pendeknya kita jadi budak benar-benar; lamanya seminggu.
Ah, tak usah saya sebutkan lagi apa yang dikerjakan di sana, Midun! Engkau sendiri
bukankah telah merasai sakitnya. Itu pun bagimu belum seberapa. Bagi saya, Allah yang
akan tahu, tidak kerja lagi yang dikerjakan, tak ubah sebagai budak belian saya
diperbuatnya. Bukan main azab yang saya terima masa itu; ngeri saya mengenangkannya.
Tidak dari Tuanku Laras saja, lebih-lebih lagi dari familinya. Karena tidak tertahan, lebih dari
azab api neraka rasanya, saya pun gelap mata. Saya... mengamuk, Midun! Seorang dari
pada kemenakan Tuanku Laras itu saya tikam, untung tidak mati. Dan saya dihukum ke
Padang, lamanya setahun. Tahukah Midun, apa sebab saya dibuatnya demikian?"
"Tahu, Mamak," ujar Midun, "tentu saja karena Mamak berani menggantikan janda
Tuanku Laras itu." "Benar demikian," ujar Gempa Alam pula, lalu meneruskan ceritanya. "Ini neraka yang
kedua lagi, Midun! Engkau tentu akan merasai pula nanti. Di dalam penjara, tidak sedikit
pula cobaan yang diterima. Siapa berani, siapa di atas. Jika kita berani, adalah agak
disegani orang sedikit. Tetapi siksaan tidaklah kurang karena itu. Sedikit-sedikit kaki tiba di
rusuk. Terlambat sedikit saja, kepala kena gada. Jika berbuat kesalahan, kita dipukul
dengan rotan. Tidak ubahnya mereka sebagai memukul anjing saja. Tidak penjaga penjara
saja yang mengazab kita, tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu pula. Ada kalanya
kita diadu pegawai penjara sebagai ayam. Sungguh, bengis dan ganas benar
penjaga-penjaga penjara itu. Tidak sedikit jua berhati kasih mesra kepada sesama makhluk.
Sudah berpancaran tahi orang, air ludah membuih keluar kena sepak terajang, tidak
dipedulikan mereka, melainkan terus saja disiksanya. Sungguhpun demikian, janganlah
Midun gusar. Boleh jadi sekarang, segala perbuatan yang bengis itu tidak ada lagi. Kalau
ada sekalipun Midun jangan khawatir, beranikan hati tetapkan iman, insya Allah selamat.
Apalagi Midun saya lihat seorang anak muda yang tangkas, takkan mudah diperbuat orang
semau-maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan hatimu, jangan takut menentang
bahaya apa pun jua. Tunjukkan tanda engkau laki-laki, bila perlu."
Gempa Alam terkenang waktu ia di penjara dahulu. Amat sedih hatinya melihat Midun,
anak muda yang remaja itu akan menanggung sengsara sebagai dia dahulu pula. Gempa
Alam mengetahui, bahwa sampai masa itu di dalam penjara di Padang masih dijalankan
orang keganasan yang demikian lebihlebih lagi kepada orang hukuman yang datang dari
sebelah Darat. Hanya ia mengatakan "barangkali sekarang tidak lagi" kepada Midun, untuk
menyenangkan hati Midun saja. Dengan tidak diketahui, air mata Gempa Alam berlinang
memikirkan Midun, seorang anak yang baik hati dan berbudi pekerti itu. Hampir-hampir
keluar dari mulut Gempa Alam perkataan, "Lebih baik lari saja, Midun!" Sedang Gempa
Alam berpikirpikir, Midun berkata, katanya, "Atas nasihat Mamak, saya ucapkan
banyak-banyak terima kasih. Jangan Mamak khawatir melihat saya. Saya maklum bahwa
Mamak bersedih hati, lain tidak karena kasihan kepada saya akan masuk penjara, dan akan
merasai seperti yang telah Mamak tanggungkan dahulu. Tentang diri saya tidak usah
Mamak cemaskan, barangkali saya tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada
bersama kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika telah tumbuh baru kita
siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal itu kita pikirkan sekarang."
Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru, "Padang; karcis!"
Mereka kedua sudah hampir di stasiun Padang. Tidak lama kereta berhenti.
"Di sini kita turun, Mamak"-" ujar Midun.
"Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turun di Pulau Air. Kalau di sini kita turun, jauh lagi
ke penjara. Tetapi dari stasiun Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan."
Setelah sampai di stasiun Pulau Air, mereka keduapun turunlah. Sebelum pergi ke
penjara, Gempa Alam mengajak Midun pergi makan ke lepau nasi. Sudah makan, Gempa
Alam berkata, "Sekarang engkau terpaksa dibelenggu. Jika tidak, boleh jadi saya celaka.
Tentu saja saya dipandang sipir lalai, atau mengabaikan pekerjaan."
"Baik, Mamak," ujar Midun, "karena saya, jangan hendaknya terbawa-bawa Mamak
pula." Midun dibelenggu oleh Gempa Alam. Ketika rumah penjara itu kelihatan oleh Gempa
Alam, darahnya berdebar. Midun tersirap pula darahnya melihat rumah itu, tetapi lekas ia
menghibur hati, sambil berkata, "Inikah penjara itu Mamak" Pantas Mamak katakan neraka
No. 2, karena hebat sungguh rupanya."
Gempa Alam tidak menyahut, sambil berjalan pikirannya entah ke mana. Sampai di
penjara, Gempa Alam memberikan surat kepada sipir. Setelah selesai, ia bersalam dengan
Midun akan memberi selamat tinggal. Kemudian Gempa Alam pun pergi. Sepanjang jalan
tampak-tampak oleh Gempa Alam bahaya apa yang akan menimpa Midun dalam penjara.
"Sambut, si pengamuk datang dari Darat," demikianlah seru sipir kepada tukang kunci
yang tengah berdiri di pintu rumah penjara itu.
Midun mengerti apa maksud perkataan itu, karena dilihatnya sipir itu berkata keras
dan gagah. Sebab itu Midun berlaku ingat-ingat, lalu masuk ke dalam.
"Ha, ha! Belum lagi tumbuh rambut di ubun-ubunmu, sudah berani mengamuk," kata
tukang kunci dengan bengis sambil mengejekkan. "Berani sungguh ...." Pap, Midun
melompat mengelakkan sepak yang sekonyong-konyong datangnya itu.
"Benar, tangkas, nanti kita coba," ujar tukang kunci pula dengan bengis, sebab Midun
berani mengelakkan sepaknya. "Ayoh, masuk ke dalam kamar ini, tukar pakaian, dan
uangmu mari sini semua!"
Sesudah belenggunya dibuka tukang kunci, dengan segera Midun mengambil uang
dalam saku baju, banyaknya Rp 15,- lalu diberikannya kepada tukang kunci itu. Pakaiannya
ditukar dengan pakaian orang hukuman. Setelah itu Midun menurutkan tukang kunci dari
belakang. Sampai di muka kamar, tukang kunci berkata pula, "Masuk, binatang! Lekas,
anjing!" Mendengar perkataan itu tak dapat yang akan dikatakan Midun, karena sangat pedih
hatinya. Tetapi ia terpaksa berdiam diri saja, lalu masuk ke dalam kamar itu. Setelah kamar
dikuncikan, maka tukang kunci itu berjalan, lalu berkata, "Hatihati engkau, berani
mengelakkan kaki saya."
Midun dimasukkan ke dalam kamar sempit berdinding batu. Dekat pintu masuk ada
sebuah jendela kecil yang berterali besi. Di dalam kamar itu ada sebuah bangku tempat
duduk. Midun berkata dalam hatinya, "Aduhai, tak ubah saya sebagai perampok baru
ditangkap. Bagaimanakah akan tidur di dalam kamar sebesar ini" Akan duduk sajakah saya
siang malam di sini" Akan dipengapakannyakah saya, maka disuruhnya hatihati?"
Berkacau-balau pikiran Midun waktu itu. Tidak tentu apa yang akan dibuatnya, karena
ia belum mengerti apa maksud orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar
pula suara orang, "Keluar!"
Biarpun tidak disuruh, ketika pintu terbuka Midun hendak keluar juga, karena sangat
panas dan pelak di dalam kamar itu. Tidak saja panas, tetapi napasnya berasa sesak sebab


Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bau busuk. Sampai di luar dilihatnya berpuluh orang hukuman bertinggung berjajar. Dengan
tolakan yang amat keras, Midun disuruh pula bertinggung bersama orang-orang hukuman
itu. Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuanya disuruh berdiri mengambil
perkakas. Ketika Midun hendak berdiri pula, datang seorang hukuman melandanya dari
belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa ia dilanda itu dengan
sengaja, ia pun berkatalah, "Lihat orang sedikit, Mamak, kita sama-sama orang hukuman,
tidak baik begitu!" Midun tidak tahu bahwa orang tempat ia berkata itu, seorang yang telah masyhur
karena keberaniannya. Sebelum kamar itu terbuka, orang itu sudah disuruh oleh sipir akan
mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anak kecil, berani engkau
berkata begitu kepadaku?"
Belum habis ia berkata, orang itu melompat sambil menerjang lalu menangkap Midun
hendak dihempaskannya. Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan diri
ia melompat ke tempat yang lapang. Orang hukuman yang banyak lalu menepi akan melihat
perkelahian itu. Orang itu menyerang pula sekali lagi, menumbuk dan menyepak dengan
sekaligus. Midun merendah, menyebelah diri menangkis, lalu membuang langkah arah ke
kiri. Orang itu tertumbuk ke tonggak lampu, karena deras datangnya. Sudah dua kali ia
hendak mengenai Midun, tetapi sia-sia. Mukanya merah karena marah, sebab Midun masih
anak muda dan dia sudah termasyhur berani. Sambil tertawa, sipir berkata, "Cobalah,
Ganjil, sekarang engkau sudah bertemu dengan lawanmu. Sungguhpun anak muda, tetapi
lada padi, cabe rawit, kata orang Betawi."
Midun maklum, bahwa ia diadu orang. Nyata kepadanya si Ganjil itu disuruh sipir. Ia
ragu-ragu, karena terpikir olehnya orang itu sudah agak tua, dan karena tersuruh oleh
kepala penjara. Tetapi melihat si Ganjil itu sungguh-sungguh hendak membinasakan dia,
terpaksa ia mesti melawan untuk memelihara akan diri. Timbul pula pikiran Midun, bahwa ia
sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan lelaki-lakiannya sedikit. Sebab
itu Midun bersiap menanti serangan, seraya berkata, "Rupanya kita diadu sebagai ayam,
apa boleh buat, datangilah!"
Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas ia menyerang, sebab
marahnya amat sangat. Dengan membabi buta ia mendesak Midun. Midun selalu
menyalahkan serangan Ganjil, satu pun tidak ada yang mengena. Kemudian Midun berkata,
"Tahan pula balasan dari saya, Mamak."
Dengan tangkas Midun menangkis serangan Ganjil, lalu mengelik seakan-akan
merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat kaki Midun... pap, Ganjil tertelentang tidak,
bergerak lagi, karena tepat benar kenanya. Segala orang hukuman itu tercengang dan amat
heran melihat ketangkasan Midun berkelahi. Sipir dan segala tukang kunci takjub, karena
belum pernah mereka melihat anak muda yang setangkas itu. Sambil berjalan, sipir berkata,
"Tunggu sampai besok, boleh ia rasai."
Ganjil dipapah orang ke kamarnya, dan Midun disuruh masuk ke dalam sebuah kamar
lain, tetapi tidak kamar yang mula-mula tadi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada
sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu, Midun menarik napas lalu
berkata sendirinya, "Ya Allah, peliharakan apalah kiranya hambaMu ini. Telah engkau
lepaskan saya dari bahaya yang pertama, begitulah pula seterusnya hendaknya. Sedih
hatiku melihat si Ganjil saya kenai, tetapi apa boleh buat karena terpaksa. Kalau begini,
tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..."
Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira pukul lima, diantarkan
orang nasi. Melihat nasi dengan lauknya itu, hampir Midun muntah. Nasinya kotor dan
merah kehitamhitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak dan garam
sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia telah muntah. Daging itu tidak masak dan
masih berbau. Tetapi karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya juga
nasi itu dengan garam, sekalipun kersik dalamnya hampir sama banyak dengan nasinya.
Setelah hari malam, Midun tinggal seorang diri di dalam kamar itu. Lampu tidak ada, sebab
itu ia bergelap-gelap saja. Tetapi tiadalah gelap benar, karena ada juga cahaya lampu dari
luar melalui antara terali besi. Malam itu Midun tak dapat tidur sekejap jua pun, karena
hatinya tidak senang sedikit jua. Perkelahian hari itu tak dapat dilupakan Midun.
"Musuhku sudah bertambah seorang lagi; " pikir Midun. "Tak dapat tiada, Ganjil
dendam kepadaku. Jika saya lengah, tentu binasa. Saya harus ingat-ingat dalam hal apa
juapun. Ah, sungguh malang benar saya ini. Di kampung badan tidak senang, di sini makin
susah lagi." Setelah lonceng berbunyi dua kali, barulah Midun dapat menutupkan matanya.
Bermacam-macam mimpi yang menggoda Midun malam itu. Sebentar-sebentar ia
terbangun. Kirakira pukul lima, kedengaran pintu kamarnya dibuka orang. Midun segera
duduk, takut kalau-kalau musuh yang datang.
"Keluar, ambil ransum!" ujar tukang kunci yang menerima dia kemarin juga.
Midun keluar, lalu berbaris dengan orang-orang hukuman. Maka Midun mencari Ganjil
dengan matanya, musuhnya kemarin di dalam orang hukuman yang banyak itu. Tetapi biar
bagaimana ia mencari, Ganjil tidak juga kelihatan. Maka senanglah hatinya, karena pada
pikiran Midun, tentu kakinya kemarin memberi bekas, mati tidak boleh jadi. Atau boleh jadi
Ganjil dipisahkan, sebab belum semua orang hukuman yang keluar. Midun membawa piring
lalu pergi mengambil ransum. Bukan main ganas tukang-tukang kunci itu. Mereka itu main
tempeleng, sepak, dan terajang saja kepada orang hukuman. Terlambat sedikit atau kurang
beratur berjalan, par, tempelengnya telah tiba. Pendeknya, asal bersalah sedikit, dengan
tidak ampun lagi, kaki tiba di rusuk. Midun sendiri dapat bagian pula, ketika ia terlambat
mengambil piring makan. Tidak ubah sebagai binatang segala orang hukuman itu dibuat
oleh pegawai penjara. Makin mengaduh makin disiksa, jika melawan makin celaka lagi.
Sudah meminta-minta ampun orang kepadanya, tidak hendak berhenti mereka melekatkan
tangan. Midun amat belas kasihan melihat orang-orang hukuman itu. Tetapi apa hendak
dibuat, sedang nasibnya sendiri belum tentu pula.
Sudah makan, segala orang hukuman itu tersinggung dan berjajar pula. Nama
masing-masing dipanggil sipir, dan harus menyahut ".iya" bila sampai kepada namanya. Di
sini pun tidak sedikit pula orang hukuman kena terajang, hingga tersungkur sampai
mencium tanah. Manakala terlambat menyahut atau tidak terdengar namanya dipanggil,
pukulan sudah tiba di pinggang. Kemudian segala orang itu diperiksa badannya. Tibatiba
kedapatan seorang hukuman menaruh uang 5 sen dan rokok di dalam saku baju. Karena
hal itu terlarang di dalam penjara, orang itu lalu ditarik oleh tukang kunci. Setelah itu ia
diikatkan kepada sebuah tonggak, dan dibuka bajunya. Seorang tukang kunci yang lain
memegang sebuah rotan, lalu membelasah orang hukuman itu pada punggungnya. Sampai
ke langit hijau agaknya orang hukuman itu memekik karena kesakitan, tidak sedikit jua
diacuhkan tukang kunci itu. Sesudah dipukul, orang hukuman itu jatuh pingsan, tidak
sadarkan dirinya lagi. Midun tidak sanggup melihat penganiayaan yang sangat ngeri itu.
Entah hagaimana gerangan punggung orang itu sesudah dipukul...
"Midun bekerja dengan mandor Saman!" ujar sipir setelah habis nama orang hukuman
itu disebutkan semuanya. Seorang yang bermisai panjang datang menghampiri, sambil memegang telinga
Midun, ia berkata, "Ha, ha, anak ini yang mengalahkan Ganjil kemarin, Engku?" katanya
kepada sipir. "Hati-hati engkau bekerja dengan saya, mengerti!" ujarnya pula menghadap
kepada Midun. Midun diam saja, telinganya amat sakit ditarik mandor itu. Jika dia tidak mandor, tentu
Midun melawan agaknya. Mulamula Midun disuruh mandor itu membongkar tahi di kakus.
Midun enggan mengerjakannya, tetapi karena ancaman, dikerjakannya juga pekerjaan itu.
Sehari-harian itu Midun bekerja paksa. Tak sedikit jua ia dapat berhenti melepaskan lelah.
Asal saja ia berhenti sebentar, mandor itu sudah menghardik. Diancamnya Midun dengan
perkataan, manakala tidak bekerja, hukumannya akan ditambah. Hanya waktu makan saja
ia dapat berhenti. Pekerjaan yang dikerjakan Midun sehari itu pekerjaan berat dan hina pula.
Seakan-akan sengaja orang ia kerja paksa sehari itu. Petang hari Midun amat letih. Ketika
orang hukuman itu berbaris pula, Midun hampir tidak kuat berjalan lagi. Sedang ia
bertinggung, tiba-tiba datang seorangorang yang besar tinggi kepadanya, lalu berkata, "Hai
anjing, berani engkau menggantikan tempat duduk saya" Ayoh, pergi!"
Mendengar perkataan orang itu, telinga Midun merah. Sekalipun badannya sangat
lesu, mendengar kata anjing itu kembali kekuatannya, karena sakit hatinya. Orang itu
berkata dengan bahasa lain, sebab itu nyata kepadanya, bahwa orang itu bukan orang
Minangkabau. Apalagi orang itu sama-sama orang hukuman dengan dia dan bukan
bangsanya, makin bertambah marah dan sakit hati Midun. Midun menjawab dengan lantang
suara, "Jangan begitu kasar, di sini tempat orang hukuman." Dengan tidak menjawab lagi
orang itu melompati Midun, yang pada waktu itu masih bertinggung jua. Biarpun Midun
sudah letih, tetapi tidaklah kurang kekuatannya menangkis serangan orang itu. Dia tidak
mempermain-mainkan musuh seperti dengan Ganjil kemarin. Setelah orang itu jatuh, datang
pula seorang lagi. Yang seorang tadi bangun lagi, lalu berdua-duakannya melawan Midun.
Kemudian jatuh pula sekali lagi, tidak bangun kembali. Tetapi sudah datang pula kawannya
akan menggantikan. Sungguhpun demikian, Midun setapak tidak undur. Tiga lawan satu,
bukan main riuhnya dalam penjara itu.
Bab 9: Pertolongan dan Kalung Berlian
ALKISAH maka tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara itu adalah
bermacam-macam bangsa orang hukuman. Mereka itu tidak ada yang kurang hukumannya
dari setahun. Demikianlah, di antara orang hukuman yang banyak itu ada seorang Bugis,
yang dapat hukuman seumur hidup. Namanya Turigi, umurnya lebih kurang 50 tahun. Turigi
adalah seorang yang baik, sabar, dan ramah-tamah. Amat dalam ilmunya, dan banyak
pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi alim pula. Konon kabarnya ia
seorang bangsawan di negerinya, dan menjadi penasihat dan dukun. Tetapi kalau ia marah,
tak ada yang berani bertentangan dengan Turigi. Agaknya entah karena ia dibuang selama
hidup itu gerangan. Jika Turigi marah tidak membilang lawan dan tidak takut kepada siapa
pun jua. Segala orang hukuman itu takut kepada Turigi. Bukan karena beraninya saja ia
ditakuti orang, tetapi terutama ialah karena sudah orang tua; kedua, dalam pengetahuannya;
dan ketiga, amat baik budi pekertinya. Sipir penjara itu sendiri segan kepada Turigi, apalagi
tukang kuncinya. Sebab itu Turigi di dalam penjara tidak ada yang berani memerintahi, dan
ia bekerja sesuka-suka hatinya saja. Sekalipun Turigi orang hukuman, tapi keadaannya di
penjara tidak ubah seperti di rumahnya sendiri, bahkan lebih agaknya. Makannya dilainkan,
diberi tempat tidur yang baik, dan lain-lainnya. Pendeknya, segala keperluan Turigi
dicukupkan. Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Turigi ada pula melihat. Senang benar
hati Turigi melihat orang muda yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasatnya, Midun
seorang anak yang amat baik tingkah laku dan tertib sopannya. Sebab itu ia amat heran,
dan berkata dalam hati, "Apakah sebabnya orang yang sebaik itu dapat hukuman"
Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya" Kasihan, biarlah besok atau lusa tentu saya
ketahui juga kesalahan orang muda itu maka dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan
dengan dia." Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa.
Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di kerjakannya itu. Apalagi
melihat Midun mengerjakan pekerjaan yang amat hina, timbul kasihan Turigi. Tampak nyata
oleh Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai penjara. Melihat hal itu,
Turigi menarik napas, akan melarang tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula.
Tetapi melihat Midun sudah payah bekerja sehari itu sekarang dipersama-samakan orang
pula, Turigi tak dapat lagi menahan hati.
Pada pikiran Turigi, "Perbuatan itu tidak pantas, dan tidak boleh dibiarkan. Seorang
anak muda sesudah disiksa, disuruh perkelahikan pula oleh tiga orang."
Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke tengah perkelahian itu. Ia
berkata dengan geram, "Berhenti berkelahi! Jika tidak, biar siapa saja saya patahkan batang
lehernya. Tidak adil!"
Mendengar perkataan itu, segala orang hukuman menepi. Sipir dan tukang kunci
undur, karena melihat Turigi sangat marah. Dari ketiga orang yang mempersama-samakan
itu, dua sudah jatuh dikenai Midun. Yang seorang lagi, ketika mendengar suara Turigi,
melompat lari. Orang itu sudah berniat juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap
mendatangi Midun. Maka ia melawan juga, hanyalah karena malu. Untung benar ia, Turigi
datang memisahkan perkelahian itu. Midun tidak lari, ia tegak berdiri di.tengah medan
perkelahian itu. Amat heran ia melihat orang itu. Midun tidak mengerti, apa sebabnya orang
habis lari dan sipir, tukang kunci undur ke belakang mendengar perkataannya.
"Siapakah orang ini?" kata Midun dalam hatinya. "Malaikatkah atau manusiakah yang
hendak menolong saya dalam bahaya ini" Atau bapakku Haji Abbaskah yang terbang
kemari hendak menolong anaknya" Amboi, jika datang seorang lagi menyerang saya, tak
dapat tiada nyawaku melayang. Untung ... ia datang menolongku."
Sedang pikiran Midun melayang-layang dan ragu-ragu melihat orang tua itu, Turigi
menghampiri Midun, lalu berkata, "Apa anakkukah yang kena" Bapak lihat pucat benar!"
Mendengar perkataan itu semangat Midun rasa terbang. Pada pikirannya, pasti bapaknyalah
vang datang membela dia. Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar rupa
orang itu. Pertama hari sudah samar muka, kedua ia sangat payah. Midun terduduk karena
sangat lelah, lalu berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih."
Turigi segera memangku Midun, lalu dibawanya ke kamarnya. Midun pingsan, tiada
tahu lagi akan dirinya. Dengan perlahan ia ditidurkan Turigi di atas tempat tidur. Setengah
jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia membukakan mata, terlihat
kepadanya cahaya terang. Ia merabaaba, terasa olehnya bahwa ia tidur di atas kasur.
Midun menggerakkan kepala akan melihat sekeliling kamar itu. Tibatiba tampak kepadanya
seorang tua sedang sembahyang.
"Hai, bermimpikah aku ini?" pikir Midun dalam hatinya. "Di manakah saya sekarang"
Siapakah yang membawa saya kemari?" Midun menggosok mata, seolah-olah tidak percaya
kepada matanya. Biar bagaimana juga Midun menggosok mata, tetapi pemandangannya
tetap demikian juga, tiada berubah. Dengan segera Midun bangun, lalu duduk. Dilihatnya
orang tua itu sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, "Di manakah saya ini,
Bapak?" Turigi menyahut, katanya, "Di penjara, tetapi sama juga dengan di rumah sendiri,
bukan" Sudah baik benarkah, Anak?"
"Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa Bapak di sini?"
"Bapak ini orang hukuman, sama juga dengan Anak," ujar Turigi. "Tetapi bapak
dihukum selama hidup. Bapak bukan orang sini, negeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh
tahun dengan sekarang, bapak dibuang kemari. Sebab itu bapak pandai berbahasa orang
sini. Nama Anak siapa dan orang mana" Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?"
Midun baru insaf, di mana dia dan dengan siapa ia berhadapan. Tahulah ia, bahwa
orang tua itulah yang memisahkan perkelahian tadi. Midun berkata pula katanya, "Nama
saya Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekalikali tidaklah kesalahan
saya, Bapak." Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak bermula sampai ia
dimasukkan ke dalam penjara itu. Setelah tamat Midun bercerita, Turigi
mengangguk-anggukkan kepala. Ia sangat belas kasihan kepada Midun, karena masih
muda sudah menderita siksa dan malapetaka yang demikian. Tibatiba Midun berkata pula,
katanya, "Saya amat heran, Bapak! Ada pulakah hukuman selama hidup" Apakah
kesalahan Bapak, maka dapat hukuman yang amat berat itu?"
"Bapak dihukum selama hidup, ialah karena terdakwa membunuh Kepala Negeri,
ketika terjadi perusuhan di negeri bapak dua belas tahun yang sudah!" ujar Turigi. "Sebelum
bapak dihukum, pekerjaan bapak jadi dukun dan menjadi ketua kampung. Apa boleh buat
Midun, karena sudah nasib bapak demikian. Hanya sekian lama cerita bapak kepada Midun.
Tak ada gunanya bapak ceritakan panjang-panjang hal bapak, karena menyedihkan hati
saja, padahal nasib bapak akan tetap begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih.
Selama di dalam penjara ini telah banyak bapak melihat kejadiankejadian yang
menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawaipegawai penjara di sini sungguh terlalu.
Mereka berbuat sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah sebagai
binatang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan, ditendang, ditinju, disegalamacamkannya
saja. Orang hukuman yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya. Sebab
itu bapak harap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri. Jangan Anak lengah semenit jua.
Bapak bersenang hati sungguh melihat Midun. Bapak percaya, takkan dapat orang berbuat
semau-maunya saja kepadamu. Ganjil, yang berkelahi dengan Midun kemarin, adalah
seorang hukuman yang sangat berani. Semua orang hukuman di sini takut kepada Ganjil.
Kepada bapak seorang ia agak segan sedikit. Tetapi Midun gampang saja menjatuhkan
Ganjil. Lebih-lebih ketika bapak melihat perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati
bapak. Bapak rasa tidak akan berani lagi orang mengganggu Midun, karena sudah dilihat
mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana ketangkasan Midun. Hanya yang bapak
takutkan, Midun ditikam orang dari belakang dengan tiba-tiba. Karena itu, hati-hatilah
menjaga diri yang akan datang."
"Nasihat Bapak itu saya junjung tinggi," ujar Midun. "Tentu saya akan lebih ingat,
karena musuh saya satu dua orang lagi di penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih
banyak-banyak atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisahkan
perkelahian itu, boleh jadi saya tewas karena tidak satudua orang yang menyerang saya.
Pendekar Pemanah Rajawali 35 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Naga Beracun 5

Cari Blog Ini