Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana Bagian 1
1. DARI RIMBA DURIAN Malam gelap gulita di hulu sungai Ketahun....
Seperti tak menaruh iba-kasihan angin yang kuat mengadu pohon-pohon durian
yang besar-besar dan berpuluh tahun umurnya. Deru-deru dan derak-derak yang
memenuhi rimba belukar itu tiadalah ubahnya dengan tempik sorak dan ratap tangis
orang ditengah peperangan. Bunyi durian jatuh ke tanah tak putus-putusnya dan
hampir menyamai letusan meriam di medan perjuangan.
Sebentar-sebentar hiruk pikuk yang tiada berketentuan itu menjadi satu
dengan gegap gempita yang mendahsyatkan dan mengecilkan hati, alamat seorang
raja rimba alah, jatuh ke tanah untuk selama-lamanya, menarik apa yang dapat
ditariknya dan menimpa apa yang dibawahnya, laksana hendak membalaskan dendam
dan panas hatinya. Ramai peperangan di rimba itu dan rupanya tak akan berhenti-henti. Tak ada
kasihan-mengasihani, yang rebah tinggal rebah, tak ada yang akan mengangkatnya.
Rumput-rumput dan rimba api-api dibawah pohon yang besar-besar itu, basahlecap oleh hujan yang sebagai air mata raksasa-raksasa belukar itu bercucuran
kebawah. Sekali-kali terang cuaca hujan belantara itu, seperti diserang oleh api,
tetapi dengan sekejap mata juga hilanglah sekalian cahaya yang berani
menyerbukan dirinya ditengah peperangan itu, dimusnahkan oleh musuh lamanya
"raja gulita" dan bunyi guruh di langit sesudah lenyap kilat itu taklah bedanya
dengan tempik-sorak kemenangan bala tentara "Gulita."
Ditengah-tengah rimba durian, yang kusut masai oleh angin yang kuat itu,
berdiri sebuah pondok, di tempat yang lapang. Tiangnya tinggi-tinggi, rupanya
supaya jangan dapat dinaiki oleh binantang buas.
Di dalam rumah kecil itu menyala sebuah pelita minyak tanah, yang
sebentar-bentar hampir-hampir padam diembus oleh angin yang dapat masuk dari
celah-celah dinding kulit kayu itu.
Di sudut dekat pintu duduk seorang laki-laki, Syahbuddin, yang empunya
pondok itu bersandar di dinding termenung.
Pakaiannya, celana pendek dan baju kaus, yang telah koyak-koyak melukiskan
kemiskinan dan kemelaratan yang sehari-hari dideritanya. Pada dadanya yang
bidang dan berisi dan pada lengannya yang kukuh, penuh urat dan tidak ditutup
oleh baju kausnya, dapat dilihat keberatan pekerjaannya sehari-hari.
Air mukanya yang keruh, pipinya yang kempis dan matanya yang cekung
menyatakan bahwa jalan hidup yang telah ditempuhnya penuh dengan onak, ranjau
dan duri, banyak mendaki-menurun.
Ya, sebenarnya, ia masuk bahagian manusia, yang meskipun selalu mencari
dan berikhtiar dengan sepenuh-penuh hatinya, tiada juga berbahagia, bahagian
manusia, yang meskipun selalu mengerjakan pekerjaannya dengan awas dan teliti,
berulang-ulang dikunjungi oleh malapetaka.
Banyak benar selisih hidupnya dengan manusia yang seolah-olah diturut oleh
kekayaan dan kemujuran, dengan manusia yang dengan usaha sedikit dapat
mendirikan gedung batu, mengumpulkan beratus-ratus harta benda.
Tetapi Syahbuddin menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, tak menaruh
dengki dan khianat, sebab ia tahu bahwa sekaliannya itu kehendak Allah yang
mahakuasa. Bukanlah sekalian perbuatan Allah itu penuh rahmat dan kemurahan!
Telah enam tahun lamanya ia mengembara dari dusun ke dusun untuk mencari
nafkahnya tiga beranak, sejak rumahnya dimusnahkan oleh api, rumah yan
didirikannya dengan tulang dan keringatnya sendiri dan sejak isterinya, belahan
dadanya, berpulang ke rahmatullah oleh sebab kesusahan, meninggalkan dua orang
anak, yang masih perlu asuhan ibu. Siapa yang melihatnya sekarang di dalam
pondok buruk itu takkan menyangka, bahwa umurnya baharu tiga puluh lima tahun.
Rambutnya telah mulai keputih-putihan dan mukanya disana-sini telah berkerutkerut.
Dalam enam tahun, sejak perceraian dengan isterinya, berlipat ganda tersa
olehnya berat beban hidup menghimpit dirinya, sehingga kadang-kadang ia hampir
putus asa dan meminta kepada Tuhan, supaya ia dapat menuruti isterinya ke negeri
yang baka. Tetapi biasanya jeling salah seorang dari anaknya cukuplah akan
mengeraskan hatinya melawan kesengsaraan dan kesusahannya.
Kedua anaknya itu seolah-olah pelita baginya ditengah gelap-gulita, sampan
ditengah lautan besar. Dekat pelita, dimuka Syahbuddin, bermain-main kedua orang anaknya dengan
beberapa buah gelendong. Yang tua sekali, yang laki-laki, Mansur, berumur
delapan tahun. Pada mukanya yang bercahaya-cahaya dapat dilihat, bahwa kesusahan ayahnya
tak terasa olehnya; kekurangan penjagaan tak terbekas di badannya yang kukuh dan
tangkas itu. Alisnya yang lebat dan mukanya yang lebar seolah-olah menyatakan
kekerasan hatinya; apa yang dikerjakannya tak diperhatikan sebelum menjadi.
Laminah, adiknya perempuan muda setahun dari dia, lain benar pekertinya.
Keyatimannya terasa sangat olehnya; dengan suci hati kanak-kanak acapkali ia
bertanya kepada ayahnya, apakah sebabnya maka ia tiada beribu seperti kanakkanak lain, kawan sepermainannya.
Tiada tahu ia, bahwa pertanyaan serupa itu sembilu menyayat hati ayahnya
yang luka lama, yang tak kunjung-kunjung sembuh itu.
Ia pengasih-penyayang, bekerja tak pernah terburu-buru, semuanya
dipikirkannya dengan tenang dan siasat.
Sejak ibunya tak ada lagi Mansur dan Laminah tak pernah ditingalkan oleh
ayahnya. Kemana saja ia pergi anaknya berdua itu selalu dibawanya.
Sekonyong-konyong Mansur berhenti menarik pedatinya dan berkata kepada
ayahnya dengan muka yang bersinar-sinar: "Ayah, besok tetap banyak kita dapat
durian; dari tadi tak berhenti-henti bunyinya jatuh; kalau angin tak sekuat ini
mau aku turun memungutnya."
Mendengar kata anaknya itu terkejut Syahbuddin dari menungnya, seraya
menjawab dengan senyum yang dibuatnya: "Bangunlah engkau besok pagi-pagi, supaya
dapat kita lekas membawanya ke Ketahun dan mintalah kepada Tuhan semesta alam
moga-moga batang air tiada deras. Sekarang hari telah jauh malam; lekaslah
engkau berdua tidur, boleh besok bangun pagi-pagi. Simpanlah gelondong-gelondong
itu!" Dengan tak menyangkal sedikit jua pun pergilah Mansur dan Laminah
menyimpan permainannya dan sesudah itu bergulinglah mereka diatas tikar, yang
dibentangkan ayahnya untuk tempat tidur. Tak berapa lama lagi antaranya
Syahbuddin mengecilkan lampu dan merebahkan dirinya disisi anaknya berdua itu.
Diluar angin belum reda. Pondok tempat orang bertiga itu tidur sebentar-sebentar dibuaikannya kian
kemari... Hari telah pagi. Syahbuddin tiga beranak sudah lama bangun dari tidurnya
dan memungut durian yang jatuh malam tadi.
Dibawah pondok pun telah bertimbun-timbun buah yang besar-besar dan
berduri itu dan baunya yang semerbak telah berserak kesana-kemari.
Angin telah berhenti sama sekali. Hanya batang-batang kayu yang lebat dan
dahan dan ranting serta ranggas yang berserak disana-sini menyatakan, bahwa amat
ramai perbantahan raja rimba yang besar-besar itu malam tadi.
Belukar-belukar kecil dan rumput-rumput basah semuanya oleh air embun,
laksana beledu hijau yang bertatahkan mutiara yang indah-indah. Puncak-puncak
batang durian kekuning-kuningan disepuh oleh matahari, yang bersemayam disebelah
timur, dengan sinar emas urainya.
Jauh diatas rimba yang sunyi-senyap dan penuh rahasia itu membentanglah
langit lazuardi, seolah-olah tudung besar yang biru dan jernih.
Bunyi burung telah ramai di dahan-dahan kayu sebagai memuji kebesaran
Allah semesta alam dan menyanyikan kebebasannya yang tak terhingga.
Syahbuddin dengan kedua anaknya telah selesai memungut durian. Ia
menjerangkan nasi, supaya anaknya dapat makan sebelum meninggalkan rimba yang
lebat itu, pergi ke negeri Ketahun menjual durian.
Sementara Mansur dan Laminah disuruhnya menjaga nasi di tungku, ia pergi
mencari bambu akan membuat rakit untuk menghilir sungai Ketahun.
Tiada berapa lama antaranya rakit Syahbuddin tertambang di sungai Ketahun,
tak berapa jauh dari pondok tempat durian teronggok. Kedua anaknya telah
diberinya makan dan ia bertiga beranakpun mengangkut durian beratus-ratus itu ke
rakit. Kira-kira sejam mereka bertiga itu berulang-ulang menjemput durian dan
akhirnya telah siap semuanya. Periuk-belanga, tikar-menikar sudah dinaikkannya
ke atas rakit. Disebelah belakang dibuatkan Syahbuddin sebuah bangku-bangku yang
beratap tempat anaknya duduk.
Hari panas terik ketika rakit itu bertolak. Mujurlah Syahbuddin tiada
perlu bergalah, sebab air deras dari biasa oleh hujan yang lebat malam tadi.
Hanya disana-sini ia mengemudikan rakitnya, supaya jangan terlanggar batangbatang kayu, yang melintang ditepi sungai itu.
Anaknya berdua bermain-main dan bercerita-cerita diatas bangku-bangku.
Sebentar-bentar Mansur mengambil durian sebuah, dikupasnya dan dimakannya
bersama-sama. Kadang-kadang Syahbuddin bercerita kepada anaknya ceritera jin-jin, dewadewa dan binatang yang buas-buas, yang menunggui hutan lebat di tepi sungai itu.
Tiap-tiap batang kayu yang besar ada penunggunya dan ada riwayatnya. Batang kayu
ini tidak boleh dipanjat, sebab keramat.
Kalau dipanjat juga, yang memanjatnya tetap jatuh, mati. Di lubang pokok
kayu itu diam seekor harimau kumbang, siapa melintas didekatnya disapanya,
sehingga menjadi batu. Batang binjau yang jauh itu ditunggui oleh seorang peri,
cantik, molek dan siapa yang melihatnya jatuh sakit dan tiada mudah sembuhnya.
Mansur dan Laminah selalu berhati-hati mendengar cerita bapanya semuanya
itu terasa benar olehnya. Kadang-kadang berdebar-debar hati kanak-kanak itu, tak
berani melihat ke kanan ke kiri, rasanya rimba di tepi sungai itu penuh jin,
iblis, setan dan binatang yang buas-buas.
Sementara itu rakit menghilir jua. Negeri Ketahun bertambah lama bertambah
dekat. Disana-sini kelihatan di tepi sungai itu pondok-pondok yang telah
ditinggalkan orang, hampir roboh, ditengah padang lalang. Atapnya telah banyak
yang jatuh, tiangnya sudah patah-patah dan tegaknya tak lurus lagi.
Teratak yang dalam keadaan macam itu memilukan hati yang melihatnya,
membangunkan kenangan-kenangan kepada hari yang baik, yang telah lalu, yang
lenyap buat selama-lamanya....
Seketika Syahbuddin termenung melihat rangka pondok-pondok itu.
Terkenanglah ia akan masa ia baru beristeri dahulu, berladang di tepi
sungai juga. Ah, alangkah beruntungnya ia waktu itu; disisinya jantung hatinya, yang
membantunya dalam segala hal dengan bersungguh-sungguh. Boleh dikatakan pada
masa itu apa yang dipegangnya menjadi emas. Di negeri Ketahun dapat ia
mendirikan rumah yang bagus, lapang dan kukuh.
Dua tahun ia berkasih-kasihan dengan isterinya, tali perkawinannya
diperteguhkan oleh kelahiran seorang anak laki-laki, Mansur dan setahun lagi
oleh Laminah. Waktu itulah rupanya ia sudah sampai di mercu keuntungan dan
kesejahteraan. Umur Laminah belum sampai setahun lagi, rumahnya terbakar, tak sedikit jua
barang yang dapat ditolong. tiga bulan sesudah kebakaran itu isterinya, buah
hatinya, berpulang ke rahmatullah oleh sebab bersusah hati. Sejak itu sekalian
kesentosaannya hilang lenyap, seperti embun kena sinar matahari.
Bertambah lama, bertambah dalam ia terbenam di lumpur kemelaratan dan
kesengsaraan... Syahbuddin terkejut dari menungnya, sebab rakitnya terlanggar rantingranting kayu, yang menjorok ke tengah sungai. Lekas diambilnya galah dan
rakitnya ditolakkannya dari ranting-ranting itu.
Jauh di hilir telah kelihatan negeri Ketahun. Tapi sebelah kanan sungai
penuh dengan rumah-rumah, kekelabu-kelabuan, dipayungi oleh batang-batang nyiur
yang tinggi-tinggi. Cerocok panjang dan jauh menjorok ketengah itu seperti
jembatan yang belum sudah.
Jauh ke hilir sebelah kiri sayup-sayup beberapa gudang, keputih-putihan,
ditengah-tengah batang kayu besar-besar. Itulah tempat orang menyimpan perkakasperkakas untuk tambang emas di hulu sungai Ketahun, sebelum dibawa oleh perahu
ke mudik. Sekalian batang yang dimasukkan dalam gudang itu datangnya dari
Bengkulu dengan mobil. "Ayah!" kata Laminah sekonyong-konyong, "telah sampai kita ke Ketahun,
lihatlah itu cerocok! Hari masih siang benar."
"Ya," sahut Syahbuddin, "baiklah kita bawa rakit ini dahulu ke dekat
gudang; barangkali ada mobil disana, yang baru mengantarkan besi-besi dan
sekarang hendak pulang ke Bengkulu. Kalau ada tetap dibeli orang durian kita ini
sebenggol sebuah, sebab di Bengkulu dapat dijual sepuluh sen."
Laminah diam, diangkatnya tangannya keatas amtanya, seolah-olah hendak
melihat adakah mobil di dekat gudang-gudang itu. Tetapi bagaimana juga
dikerutkannya keningnya tak kelihatan olehnya, sebab masih jauh benar.
Dengan hal yang demikian rakit menghilir juga; cerocok bertambah lama
bertambah dekat dan Syahbuddin mengemudikan rakitnya ke tepi sebelah kiri.
Sekonyong-konyong Laminah, yang dari tadi tak putus-putus memandangkan
matanya ke gedung itu, berteriak;
"Lihatlah, ayah! di tangga turun ke air itu orang melambai-lambai kita!
Orang itu orang Cina rupanya! Barangkali telah tampak durian kita ini olehnya;
baiklah kita lekaskan rakit sedikit."
Belum habis lagi perkataan adiknya, Mansur berkata: "Nah, itu dia mobil
diantara gudang-gudang itu!"
Muka Syahbuddin bercahaya-cahaya mendengar perkataan anaknya sambil
menyahut: "Langkah kanan sekali ini; tak perlu lagi kita besok pagi menjual
durian kita." Diambilnya galah dan dengan senyum ditolakkannya rakitnya lebih lekas.
Orang yang melambai-lambai tadi tak berapa jauh lagi dan sebentar-bentar
mendengunglah di muka air itu suara meneriakkan: "Duri-a-a-n......! kesini....!"
Tiada berapa lama antaranya sampailah rakit yang penuh durian itu ke tepi.
Syahbuddin turun ke air menghebatkan rakitnya di akar-akar kayu ara, di hilir
tangga batu. Celananya basah sampai ke lutut, tetapi tak diindahkannya.
Setelah ditambatkannya rakitnya, naiklah ia perlahan-lahan ke tebing yang
curam dan licin oleh hujan itu. Diatas tebing banyak kuli berdiri, ramai tertawa
terbahak-bahak, menaksir durian yang besar-besar dan semerbak baunya itu,
menerbitkan selera siapa yang melihatnya.
"Dari manakah engkau bawa durianmu itu?" tanya orang Cina yang melambailambai tadi kepada Syahbuddin.
"Dari hulu, tokeh!" sahut Syahbuddin, "semuanya baru dipungut pagi-pagi
tadi. Duriannya bagus benar, isinya tebal dan kekuning-kuningan. Kalau tokeh
hendak membelinya sama sekali, saya beri sebenggol sebuah."
"Sebenggol?" tanya orang Cina itu, "gilakah engkau?"
Durian sekarang semurah ini" Tadi orang membawa dua buah rakit kemari,
penuh dengan durian, besar-besar dari punyamu dan harganya cuma tiga sen dua
buah. Tetapi sudahlah, sebab aku telah kenal padamu, biarlah aku borong durianmu
empat rupiah; rugi sedikit tak mengapalah. Dari pada mobilku pulang kosong ke
Bengkulu, baik juga bermuat dua ratus durian."
Syahbuddin diam seketika. Dipalingkannya mukanya ke rakit, seolah-olah
hendak menaksir berapa banyak duriannya. Dari hatinya: "Benarlah agaknya
taksiran baba ini; tiadakah rugi rasanya, kalau aku jual sama sekali empat
rupiah. Tetapi baiklah kucoba dahulu meminta lima rupiah."
"Janganlah berpikir panjang-panjang lagi!" ujar orang Cina itu sekonyongkonyong, "empat rupiah itu telah mahal. Kalau mau katakanlah, sebab kami hendak
lekas berangkat...."
"Bakar, bersiaplah! Kita akan pulang," diteriakkannya kepada supirnya.
"Nah, tokeh!" kata Syahbuddin, "kalau mau benar, belilah durian itu semua
lima rupiah. Benar! tak mahal itu. Duriannya enak! Di Bengkulu dapat tokeh jual
sepuluh sen sebuah."
"Ah, banyak benar belit engkau ini!" jawab baba itu seperti akan marah,
"sudah! aku tak mau pusing, biarlah aku bayar lima rupiah. Lekaslah angkat
durian itu ke dalam mobilku!"
Dengan sukacita turunlah Syahbuddin ke rakit akan membongkar durian. Oleh
sebab Cina itu hendak lekas, disuruhnyalah supirnya menolong.
Satu persatu dilemparkan Syahbuddin durian keatas tebing; supir
memungutnya dan dimasukkan kedalam mobil.
Dalam melemparkan itu tak lupa Syahbuddin menghitung duriannya, ia hendak
tahu banyaknya yang sebenarnya.
Kira-kira seperempat jam lamanya sekalian durianpun diatas tebinglah;
Syahbuddin naik ke atas akan menerima uang.
Tetapi mukanya yang bercahaya-cahaya tadi telah menjadi muram, sebab ia
sekarang telah tahu, bahwa ia tertipu: duriannya sama sekali lebih dari empat
ratus; jadi sebuah dijualnya bukan sebenggol, melainkan sesen. Akan minta
lebihkan harga yang telah dijanjikan tadi, ia tak berani, sebab takut kalau
orang Cina itu marah dan mengatakan ia mungkir janji.
Dengan hal yang demikian diterimanyalah uangnya dengan senderut dan tiada
bercakap-cakap sepatah jua pun turunlah ia kebawah. Seperti orang yang hilang
nafsu, dibukanya tali rakit dan ditolakkannya rakit ketengah.
"Ayah! berapakah dibeli orang Cina itu durian kita?" tanya Mansur.
"Ah, janganlah kau tanya lagi1" sahut Syahbuddin. "Kita telah dikecohnya.
Ditaksirnya durian kita dua ratus, aku percaya sehingga aku jual sama sekali
lima rupiah. Tetapi tadi, aku bilang lebih dari empat ratus. Kita ditipu oleh
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahanam itu ratus buah."
"Mengapakah ayah tidak minta naikkan harga?" ujar Mansur.
"Manakah ia hendak," jawab bapanya, "jangankan dinaikkannya, diadukannya
kita lagi boleh, sebab kita mungkir janji."
Mansur diam, tiada mengeluarkan sepatah kata juapun, tetapi pada matanya
dapat dilihat, bahwa darahnya mendidih.
Laminah, anak yang penyabar itu, mendengar kata ayahnya, memalingkan muka.
Rupanya payah ia menahan ibanya.
Setelah Syahbuddin naik ke atas rakit, diambilnya galah dan ditolakkannya
ke hulu akan pulang ke rumahnya di seberang, dekat cerocok, di kampung Terendam.
Orang tiga beranak itu hening, tiada bercakap-cakap, masing-masing
menurutkan pikirannya; hanya sebentar-bentar kedengaran bunyi galah dicelupkan
ke dalam air. Di sebelah barat matahari telah hampir terbenam. Awan berkumpul-kumpul,
kehitam-hitaman, sebagai gua yang besar, penuh rahasia. Disitulah raja siang
akan beristirahat dikelilingi oleh pengiringnya yang berpakaian kemerah-merahan,
seolah-olah bertatahkan ratna mutu manikam. Pintu gerbang gua itu gilanggemilang, berkilau-kilauan, tak dapat dipandang nyata, seperti dibalut dengan
emas perada. Batang-batang kayu ditepi sungai itu tak bergerak-gerak melihat
bayangannya di dalam air; rupanya sebelum ia tidur hendak dipuaskannya dahulu
hatinya memandangi parasnya.
Disana-sini terbang burung bergegas-gegas akan mencari tempat tidur,
supaya jangan kemalaman. Murai sepasang tak berhenti-henti berkicau-kicau di
rimba kecil di tepi, mengucapkan selamat tidur kepada matahari yang menjauhkan
diri itu. Lebih kurang setengah jam sampaikan mereka bertiga itu di tepian dekat
rumahnya dan lekaslah ia naik ke darat.
Senja telah jatuh. Dewi malam sdah mengembangkan sayapnya diatas negeri Ketahun. Dimana-mana
gelap-gulita sudah dan dari rumah-rumah keluarlah cahaya lampu kekabur-kaburan.
Syahbuddin dengan kedua anaknya sampai kemuka rumahnya, pondok kecil yang
rendah, tak sampai sehasta dari tanah dan kelam seperti diselimuti dengan kain
hitam; letaknya ditengah-tengah kampung Terendam.
Cucuran atap daun rumbia, berdesir-desir kena kepala Syahbuddin. Laminah
dan Mansur duduk sebentar diatas bangku-bangku dimuka rumah, sementara ayahnya
membuka pintu akan memasang pelita.
Sekonyong-konyong keluar cahaya dari dalam. Laminah dan Mansur memicingmicingkan matanya, sebab silau melihat sinar itu. Rupanya ayahnya telah memasang
lamput. Lekas mereka itu tegak dan masuk ke dalam rumah; beban yang dibawanya
dari rakit, tikar dan periuk-belanga diletakkannya di sudut di tepi dinding.
Ditengah-tengah rumah itu nyala pelita minyak tanah dan menerangi sekalian
sudut dengan cahaya kekabur-kaburan.
Asap yang tebal membubung penuh liku, seperti ular melata diatas cermin.
Bayang-bayang di dinding gelisah, tak pernah berhenti, sebagai dimainkan orang.
Sekalian isi dan perkakas rumah itu merupakan kemiskinan dan kemelaratan.
Lantai yang dari pelupuh itu kumal dan berderak-derak kalau dipijak, seperti
akan patah. Dinding jarang dan bercelah-celah penuh sarang labah-labah yang
kehitam-hitaman kena asap pelita. Dari celah-celah masuk angin malam ang sejuk.
Di dekat dinding sebelah dapur terbentang sehelai tikar yang tua, berlubanglubang dan tak berapa bersih dari lantai. Sebuah jala yang tak boleh dikatakan
baru lagi tergantung di balik pintu. Di sudut dekat tikar terletak sebuah peti
bekas tempat kaleng minyak tanah, dipakai untuk penyimpan baju dan kain buruk.
Itulah sekalian "kekayaan" mereka itu.
Kemana juga dipalingkan mata tak berdua kita dengan jendela. Tak mengapa!
Dinding yang jarang itu cukup memasukkan hawa yang bersih.
"Mansur!" kata Syahbuddin, "pergilah sebentar, nak, ke rumah peribunganmu
Jepisah meminta dua cupak beras yang aku petaruhkan kepadanya kemarin, waktu itu
hendak berangkat. Berjalanlah engkau cepat-cepat, supaya engkau berdua beradik
lekas makan." Mansur pergi, berlari-lari. Rumah peribungannya adalah antara dua puluh
rumah dari rumahnya. Jepisah ialah adik Syahbuddin yang muda sekali. Ia semuanya tiga
bersaudara, Syahbuddin yang sulung. Adiknya yang pertama laki-laki, telah lama
meninggal, disambar buaya, waktu ia menjala malam hari.
Jepisah telah dua tahun bersuami dengan seorang Padang, yang berdagang
kain di Ketahun. Enam bulan yang telah lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki
yang dinamakannya Marzuki.
"Uncu! Uncu!" teriak Mansur, sambil mengetuk pintu rumah peribungannya,
"buka pintu! Aku disuruh ayah minta beras yang dipertaruhkannya kemarin."
Jepisah membuka pintu sambil membawa bakul di tangannya.
"Apabilakah ayahmu kembali?" tanyanya; "banyakkah ia mendapat durian"
Minta kami barang dua buah. Mamakmu baru turun sebentar ini; entah kemana
perginya tak tahu aku."
Mansyur menjawab: "Kami baru tiba sebentar ini dari gudang mobil menjual
durian; sebuah pun tak ada yang tinggal lagi."
Setiba Mansur di rumah Syahbuddin terus menjerangkan nasi dan untuk gulai
direbusnya umbut pohon enau yang dibawanya dari rimba durian. Kira-kira pukul
sembilan siap semuanya dan mereka bertiga itupun makanlah.
Sesudah itu Syahbuddin pergi sebentar mengunjungi Adiknya; anaknya
ditidurkannya. Pada keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing Syahbuddin telah bangun
dari tidurnya. Perlahan-lahan, supaya anaknya jangan bangun, diambilnya jala
dari balik pintu dan diikatkannya keuntungan di pinggangnya. Ia menuju ke pantai
menyisir tepi sungai. Angin laut yang sejuk mengembus dadanya, yang tak bertutup
itu; sebentar-bentar terkuap ia dan matanya digosoknya.
Negeri Ketahun masih tidur lelap dan dimana-mana saja sunyi-senap masih
merajalela. Yang kedengaran oleh Syahbuddin hanya bunyi langkahnya dan sebentarbentar sapi yang terkejut dari tidurnya dan tegak melihat ia lalu. Di langit
yang penuh bintang memancar bulan sabit, yang menerangi negeri Ketahun dengan
cahaya kekabur-kaburan. Dari jauh deru-deru ombak memukul pantai, bertambah lama
bertambah nyata. Tiba ditepi pantai Syahbuddin menghamburkan jalanya. Ikan sedang banyak
pagi itu, sehingga keuntungannya bertambah lama bertambah berat.
Pukul tujuh ia tiba di rumah dan keruntungnya berisi ikan cukup untuk dua
kali makan. Mansur dan Laminah telah lama bangun dari tidur dan di dapur telah
dijerangkannya nasi dan air panas. Mereka tahu, bahwa ayahnya pergi ke pantai
menjala, sebab dilihatnya jala tak ada lagi di balik pintu.
Setelah sudah makan pagi-pagi, Syahbuddin berkata kepada anaknya:
"Sebentar lagi aku hendak mudik kembali ke rimba durian menumpang sampan orang
hulu, yang hendak pulang. Sekali ini aku tak dapat membawa kamu berdua, sebab
tak termuat di sampan orang yang akan aku tumpangi itu. Menjalankan rakit kita
sendiri amat susah, sebab air deras. Jadi sekali ini tinggallah engkau berdua,
boleh aku berpesan nanti kepada uncumu."
Pada muka Mansur dan Laminah kelihatan, bahwa perkataan bapanya itu tak
meriangkan hatinya, bahkan menyusahkan. Sejak bundanya meninggal belum pernah
mereka itu ditinggalkan oleh Syahbuddin. Tak heran kita kalau anak berdua itu
sekali ini menurut kata ayahnya oleh karena terpaksa saja, oleh karena tak ada
jalan lain. Ketika ayahnya hendak berangkat diringkannyalah ia sampai ke tepian tempat
sampan orang hulu itu menanti. Bukan main gundah-gulana hati mereka itu, waktu
Syahbuddin telah naik ke dalam sampan; payah mereka menahan supaya air matanya
jangan keluar. Tetapi waktu ayahnya mengatakan, "baik-baiklah sepeninggal ayah,"
tak terhambatlah lagi rupanya air matanya itu. Seperti mutiara berderai dari
karangannya, demikianlah jatuh air mata itu mereka itu ke tanah.
Melihat hal kedua anaknya itu rasa menyesallah Syahbuddin meninggalkannya.
Tetapi dikeraskannya hatinya dan dipikirkannya, bahwa ia meninggalkan mereka itu
hanya dengan maksud akan mencari nafkah untuk mereka itu juga.
Lama lagi Mansur dan Laminah tegak di tepian, tak kunjung-kunjung berhenti
memandang ayahnya yang bertambah lama bertambah jauh itu, sehingga lenyap dari
penglihatan. Seperti anak ayam kehilangan induk, sampan kehilangan dayung,
demikianlah perasaan budak berdua beradik itu ditinggalkan ayahnya...
Mansur memegang tangan adiknya seraya berkata perlahan-lahan: "Dik,
marilah kita pulang ke rumah uncu. Apalah gunanya kita lama-lama berdiri
disini." Laminah tak menjawab. Seperti orang tak bersemangat diturutnya saudaranya;
hatinya penuh waswas dan wasangka.
2. SYAHBUDDIN MENIINGGAL Rumah Jepisah sunyi-senyap diselubungi awan kesusahan. Diluar, diatas
bangku-bangku kayu Mansur duduk termenung; tangan kanannya terletak diatas
terali, serta menupang dagunya dan matanya tak dipisah-pisahkannya dari pokok
pohon nyiur yang tumbuh dimuka rumah itu. Sebentar-bentar ia masuk ke dalam,
tergesa-gesa, seperti kepalanya diganggu oleh pikiran yang mencemaskan. Air
mukanya yang keruh menyatakan hatinya gundah gulana dan matanya yang senantiasa
jernih dan bercahaya-cahaya itu sekarang kekabur-kaburan, seolah-olah matahari
yang ditutup oleh mega yang mengandung hujan.
Sekonyong-konyong Laminah keluar dari dalam mendapatkan Mansur.
Dipegangnya tangan saudaranya serta dibisikannya: "Kak, marilah masuk sebentar!
Uncu memanggil!" Mansur tak menjawab, ia tegak dan diturutnya adiknya kedalam.
Jepisah tegak dimuka pintu bilik; pada rambutnya dan pakaiannya dapat
dilihat bahwa ia sedang sibuk bekerja.
"Mansur!" katanya dengan perlahan-lahan, "pergilah engkau sebentar ke
rumah nenek Zalekah. Katakanlah aku memanggilnya sekarang juga, sebab ayahmu
sakit keras. Kalau sudah engkau katakan, hendaklah engkau lekas pulang. Kini
pergilah engkau, Nak!"
Mansur berjingkat keluar, takut kalau-kalau mengganggu ayahnya yang
terhantar didalam kamar. Setelah ia turun dari tangga, berlari-larilah ia menuju
ke rumah nenek Zalekah, dukun besar lagi ternama di negeri Ketahun...
Sudah tiga hari lamanya Syahbuddin dibawa orang dengan sampan dari mudik.
Waktu itu, aduhai, alangkah pucat rupanya; kalau disayat bibirnya barangkali tak
berdarah. Badannya lemah, hampir tak berdaya lagi. Dari tepian ke rumah tak
terjalankan olehnya sehingga ia mesti dipapah dua orang. Dalam tiga hari ia
dirumah Jepisah itu, sakitnya selalu bertambah-tambah, meskipun kepalanya tiatiap pagi dan petang dibasahi dengan air sidingin dan sitawar yang telah
dimanterakan. Sekarang Jepisah tak tertahan lagi hatinya melihat saudaranya itu. Oleh
sebab itulah maka disuruhnya Mansur memanggil dukun, nenek Zalekah...
Dalam berlari-lari itu tak sekejap jua pikiran Mansur berpisah dari
ayahnya. Harapan dan cemas berganti-ganti, silih-menyilih memenuhi kepalanya.
Sebentar-bentar sesak dadanya, seperti diimpit batu yang sebesar dan dimukanya
terbayanglah perceraian, dengan ayahnya yang dicintainya. Hatinya pilu dan air
matanya berlinang-linang. Tetapi sekejap lagi timbul pula pikiran yang
mengatakan, bahwa hal itu mustahil, tak termakan oleh akal. Masakan ayahnya yang
sekuat dan sekukuh itu dapat dikalahkan oleh penyakit" Tak percaya ia.
Dengan hal yang demikian sampailah ia kerumah nenek Zalekah. Di pokok
tangga telah diteriakkannya: "Nenek, nenek!" Uncu menyuruh kami datang ke rumah,
ayah sakit keras sekarang."
"Siapa itu" Engkau Mansur" Siapa sakit?" bunyi suara dari dalam.
"Ayah!" sahut Mansur.
"O, sakit apa ia dan telah berapa lama ia sakit?" bunyi suara itu lagi,
dan ketika itu juga kelihatan seorang perempuan tua keluar di beranda; rambutnya
telah putih sama sekali dan tersanggul sebesar buah rambutan di belakang
kepalanya. Mukanya berkerut-kerut dan telah lisut oleh sebab tuanya dan kedua
matanya yang kecil itu tak bercahaya lagi. Badannya yang bungkuk itu ditutup
oleh kain, yang tiada kelihatan lagi ragi dan coraknya, sampai ke dadanya.
"Pergilah engkau pulang dahulu!" ujar nenek Zalekah kepada Mansur, "dan
katakanlan kepada uncumu, bahwa aku sebentar lagi akan datang."
Mansur pulang ke rumah. Harapannya telah hidup kembali. Nenek Zalekah,
dukun yang semasyhur itu, masakan ia tak dapat mengobati ayahnya! Bukan sedikit
orang yang telah sembuh oleh nenek Zalekah!
Ya, namanya harum; sampai-sampai ke Lais, ke Napal Putih tahu orang, bahwa
ia dukun yang terpandai, dukun besar tak ada bandingannya.
Kalau nenek Zalekah telah mengobati ayahnya, pasti ia lekas sembuh, pikir
Mansur. Tak berapa lama antaranya sampailah ia ke rumah. Ia masuk ke dalam bilik
tempat ayahnya terbaring ditas lamat yang kumal, tak berpakaian lain daripada
celana pendek yang kotor.
Waktu Mansur masuk, Syahbuddin membuka matanya sambil dicobanya mengangkat
kepalanya dari bantal. "O, engkau Mansur...!" bisiknya dengan suara yang lemah. Rupanya tak dapat
lagi ia meneruskan perkataannya, sebab kepayahan; matanya ditutupkannya dan
bibirnya naik-turun. Melihat ayahnya itu Mansur tak bercakap-cakap; hatinya sebal kembali. Tak
lepas-lepas matanya mengamat-amati muka yang pucat dan kurus itu. Perlahan-lahan
ia duduk seraya dipegangnya tangan kanan ayahnya dan dibiarkannya terletak dalam
tangannya. Dengan lemah-lembut diurutnyalah jari yang berbuku-buku dan penuh urat
itu. Kira-kira seperempat jam antaranya tibalah nenek Zalekah; ia duduk
bersimpuh dekat kepala Syahbuddin. Mansur surut ke tepi dinding.
Dukun besar itu mengamat-amati si sakit seketika; sesudah itu
diletakkannya tangannya yang llisut itu diatas kening Syakhbuddin.
"Alangkah panas awaknya!" kata nenek Zalekah kepada Jepisah yang duduk
didekat pintu. 'Tadi kudengar dari Mansur, ayahnya telah tiga hari sakit.
Alangkah sia-sia pekerjaanmu ini, Jepisah! Mengapakah tak kau panggil aku
selekas-lekasnya" Penyakit Syahbuddin ini bukan penyakit yang biasa; kalau
kurang hati-hati menjaganya boleh membawa binasa."
"Sangkaku," jawab Jepisah dengan suara orang yang tahu akan kesalahannya,
"penyakitnya tak berbahaya, sebab itu maka kudiam-diamkan saja. dalam hatiku,
sehari dua hari ia tentu akan sembuh kembali; tetapi setelah kulihat penyakitnya
makin hari makin keras, kusuruhlah panggil Nenek oleh Mansur."
"Sudahlah," ujar dukun itu, "tetapi engkau kuingatkan lain kali jangan
menunggu penyakit itu mendalam dahulu baharu hendak dicarikan dukun. Ibarat api,
jangan kalau ia telah membakar rumah baharu hendak dipadamkan. Semasa kecilnya
itulah yang senang membunuhnya; kalau ia telah besar payah kita melawannya.
Ombak yang kecil jangan diabaikan, kalau tak mau binasa. Janganlah takut
berpayah sedikit! Sia-sia itu pangkal celaka, ingatlah! Engkau jangan takuttakut memanggil aku; meskipun tengah malam sekalipun, aku tetap akan datang."
Jepisah diam, tak berkata-kata hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Nenek Zalekah terus memeriksa si sakit; tangannya dialih-alihkannya,
sebentar di ari-ari, sebentar di dada dan sebentar di kepala Syahbuddin. Tak
putus-putus ia menggeleng-geleng, seolah-olah hendak mengatakan, bahwa penyakit
itu telah hebat. Seketika lamanya sunyi senyap di kamar itu, lengang menakutkan; seorang
pun tak mengeluarkan sepatah kata jua.
Syahbuddin gelisah diraba oleh dukun itu. Beberapa kali dicobanya hendak
membalik, that etapi sia-sia, sebab kekuatannya tak sampai. Mukanya merah oleh
mengumpulkan tenaga dan dadanya turun-naik amat cepatnya, seperti orang yang
baru bekerja berat. Sebentar-sebentar ia menarik napas panjang melepaskan lelah.
Tetapi matanya selalu ditutupkannya seperti orang yang tidur lelap.
Sementara itu Mansur dan peribungannya duduk tak bergerak-gerak, seakanakan menahan napasnya, menurutkan sekalian pekerjaan dukun ternama itu.
Dari dapur kedengaran bunyi orang membantingkan sebeban kayu. Laminah
disuruh uncunya mengumpulkan kayu api untuk bertanak.
"Sakitnya ini telah dalam," kata nenek Zalekah dengan suara yang berat,
"tetapi janganlah kita putus asa, sebab semuanya itu kehendak Allah, subhanahu
wata'ala. Ambillah kemenyan dan pedupaan, boleh kita asapi dahulu ia dan nanti
aku katakan apa obatnya."
Jepisah pergi ke dapur sebentar dan tak berapa lama antaranya kembalilah
ia membawa kemenyan serta pedupaan yang asapnya berkepul. Kedua benda itu
diletakkannya dimuka nenek Zalekah disisi si sakit.
Nenek Zalekah mengambil kemenyan di tangannya dan didera-deraikannya
diatas bara yang berasap itu, sambil bibirnya turun-naik membaca mantera-mantera
dan doa. Syahbuddin bergerak-gerak, rupanya ia lemas kena asap yang kabut dan tajam
itu. Setelah habis menderai-deraikan kemenyan dan membaca-baca mantera dan doa,
dukun besar itu mendekatkan pedupaan pada muka Syahbuddin dan berulang-ulang
diletakkannya tangannya dari atas asap ke kepala si sakit, yang sebentar
membalik ke kiri, sebentar membalik ke kanan oleh kelemasan.
Dada Syahbuddin tak tentu turun-naiknya, sebentar lekas, sebentar lambat
dan mukanya pucat dan merah berganti-ganti. Rupanya sangat payah ia mengambil
napas oleh karena asap tebal, yang memenuhi kamar yang kecil dan panas itu.
Sesudah mengasapi si sakit dukun berkata: "Obat Syahbuddin ini tak lain
dari daun sikeduduk dan sicerek; ditumbuk halus-halus dengan garam dan
dibalutkan dengan kain diatas perutnya. Tiap-tiap petang obat itu mesti di
ganti. Dan tiap-tiap pagi suruhlah si Mansur membawa kelapa hijau yang muda
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerumahku, boleh kutawari. Dalam air kelapa itu kau masukkan tawas sebesar jari,
kau suruh minum oleh Syahbuddin. Sekarang ambillah air yang bersih segelas,
boleh aku manterai."
Jepisah mengambil air yang diminta oleh dukun itu.
Nenek Zalekah membawa gelas itu ke dekat mulutnya dan dibacalah beberapa
jampian. Setelah sudah lama diludah-ludahnyalah sedikit air itu dan berkata
kepada Jepisah: "Air ini engkau berikan kepadanya tiap-tiap ia hendak minum.
Kalau dalam empat lima hari ini belum agak sembuh rupa Syahbuddin, hendaklah
engkau suruh lagi orang memanggilku. Sekarang aku hendak pulang, sebab di rumah
banyak kerjaku terbengkalai."
Jepisah menganggukkan kepalanya seraya berkata: "Tunggulah nenek sebentar,
ada yang hendak kuambil."
Dalam sekejap itu juga ia pergi ke dapur mencupak beras secupak dan
dimasukannya ke dalam bakul kecil.
Setelah sudah, dibawanya beras itu kepada nenek Zalekah yang telah ada di
beranda, serta katanya: "Inilah yang ada, nenek, kami sekarang sedang picik
benar." "Ah, tak mengapa!" sahut dukun itu, "meskipun tak diberi suatu apapun,
Syahbuddin akan kuobati juga."
Beras itu diulurkan oleh Jepisah kepada nenek Zalekah pulang ke rumahnya,
membungkuk-bungkuk, bertongkat sepotong bambu sebesar lengan....
Tiga hari telah lewat. Perkataan nenek Zalekah selalu diturut oleh Jepisah
dengan teliti; sedikitpun belum ada ia lupa; obat Syahbuddin tiap-tiap petang
berganti dan Mansur disuruh tiap-tiap pagi pergi ke rumah nenek Zalekah membawa
kelapa hijau muda akan ditawari. Tetapi meskipun demikian penyakit Syahbuddin
belum juga berkurang, bahkan makin bertambah keras lagi. Malam-malam ia gelisah,
membalik ke kiri, membalik ke kanan, sebentar-bentar mengerang dan berteriak.
Hal itu sangat mengkhawatirkan hati Jepisah; rupanya sekalian ikhtiar dan
daya-upayanya sia-sia belaka. Mukanya pucat, matanya cekung dan badannya lemah
oleh beberapa malam tak tidur sepicing juapun menjaga saudaranya. Suaminya yang
boleh menggantikannya menjaga si sakit, tak ada di rumah, pergi membawa dagangan
ke Sebelat. Malam hari yang ketiga memakai obat nenek Zalekah, yaitu malam Jum'at,
malam sekalian arwah meninggalkan tempatnya mengunjungi sanak-saudaranya, sakit
Syahbuddin bertambah payah. Dadanya sesak dan napasnya berbunyi-bunyi; tiap
sebentar ia minta air minum. Kakinya disepak-sepakkannya dan kadang-kadang ia
mengeluh sebab sakit yang dideritanya terlalu amat.
Jepisah, Mansur dan Laminah duduk disisi si sakit dengan cemas, hilang
akal, tahu apa yang akan dikerjakan. Ketiganya diam, tak bercakap-cakap sepatah
jua pun, dan pikiran dan sangka-sangka yang kurang baik timbullah.
Air mata mereka itu berlinang-linang, tanda dukacita dan iba hati yang
amat sangat, sebab telah terasa-rasa oleh mereka bahwa umur Syahbuddin takkan
panjang lagi dan waktu perceraian untuk selama-lamanya telah dekat.
Lebih-lebih lagi bagi Mansur dan Laminah hal itu sangan menyusahkan
hatinya; akan...ddtinggallah ia berdua beradik, tak beribu-berbapa, yatim
piatu....! Aduh, nasib yang ganas, yang buas, yang tak menaruh iba-kasihan! Alangkah
sampai hatimu merebut apung-apung dari orang, yang baru hendak menyeberang
lautan yang penuh gelora, memadamkan suluh orang yang hendak menempuh rimba yang
lebat dalam gelap gulita!
Aduh, nasib yang kejam, mengapakah engkau merendahkan yang telah rendah,
mematahkan yang telah terkulai"
Dunia ini penuh keajaiban dan keheranan!
Disini orang tak berhenti dirundung azab-sengsara, disana orang seolaholah diturut oleh kemujuran, keuntungan, kesejahteraan dan kemuliaan.
Disini orang bekerja dengan segala tenaga, tak memandang susah payah untuk
mencari nasi sesuap pagi dan sesuap petang, di sana orang mendapat emas-intan
tak terhitung-hitung, makanan dan minuman tak tersantap-santap, sedang
diperolehnya dengan mudahnya saja. Memang dunia ini penuh keheranan, penuh yang
ganjil-ganjil, yang tak tercapai oleh akal manusia.
Syahbuddin masih gelisah, sebentar-sebentar dibukanya matanya dan
keningnya dikerutkannya. Dengan segala kekuatan rupanya dilawannya malaekat yang
hendak menceraikannya dengan kedua biji matanya yang belum dapat menjaga diri
sendiri itu. Seketika tenang mukanya, matanya dibukanya dan dicarinya tangan
kedua anaknya. Mansur dan Laminah mengerti akan kehendak ayahnya dan dipegangnya bersamasama tangan ayahnya yang kedinginan itu. Dengan susah payah bercakaplah
Syahbuddin; suaranya hampir putus: "Anakku, bijimataku, buah hatiku, ajalku
telah sampailah...ddEngkau berdua mesti kutinggallkan. Semuanya itu telah
terlukis di luhmanful. Kata Allah tak dapat disangkat. Baik-baiklah
kelakuanmu...." Syahbuddin berhenti sebentar. Dari matanya jatuh air mata ke bantal,
sebagai mutiara gugur dari rangkaiannya.
Mansur dan Laminah dipandangnya berganti-ganti, penuh iba dan sebal.
Dengan suara yang lemah perkataannya diteruskannya:
"Berkata dibawah-bawah, mandi di hilir-hilir. Turutlah sekalian perkataan
uncumu, tahu-tahu di untung nak! Engkau Jepisah! anakku, jantung hatiku ini
kuserahkan kepadamu. Jagalah ia seperti anakmu sendiri. Inilah peninggalanku
kepadamu...." Yang pebghabisannya ini dikatakan kepada Jepisah dengan muka yang penuh
kepercayaan dan pengharapan. Matanya ditututupkannya seketika lamanya. Sudah itu
dibukanya lagi dan hampir-hampir tak kedengaran suaranya, katanya: "Tinggalah!"
Matanya ditutupkannya kembali dan dadanya bertambah lama bertambah lambat turunnaik.
Sekali lagi diangkatnya, dikerutkannya mukanya dan disepakkannya kakinya,
seolah-olah orang yang putus asa melawan musuhnya yang kuat, yang tak dapat
dikalahkannya. Lemah jatuh tangannya di atas lamat, tak berkekuatan lagi.
Syahbuddin memutuskan nyawa....
Pada mukanya jelas benar kelihatan, bahwa ia meninggalkan dunia yang fana
ini dengan was-waseabahwa banyak lagi yang menahannya mengucapkan selamat
tinggal kepada negeri yang memenuhi dirinya dengan derita, kesusahan dan
kemelaratan. Tak mengherankan! Anaknya, biji matanya, rangkaian jantungnya mesti ditinggalkannya,
diserahkan kepada kekasih manusia, dibiarkannya menurut peruntungan yang tak
tentu menjalani jalan hidup, jauh dari asuhan seorang ibu atau bapa yang penuh
kecintaan. Apakah yang akan terjadi sepeninggalnya, mara apakah yang akan menimpa
kanak-kanak itu dan aniaya, nista dan hinaan manakah yang akan menunggu mereka
itu di kemudian hari" Inilah penggodaan yang mengusutkan hati Syahbuddin yang
membenarkan penderitaannya, seolah-olah derita yang telah menimpa dirinya
sebelum ia sakit, belum cukup, pada waktu ia akan meninggalkan badannya yang
rapuh, masuk ke kerajaan dan arwah dibalik kubur.
Ya, Tuhanku yang bersifat pengasih, penyayang dan pemurah, limpahkanlah
rahmatMu dengan semurah-murahnya diatas batu kepala yatim-piatu, yang tinggal
terkatung-katung di lautan hidup ini, menjadi permainan ombak dan angin!!...
Syahbuddin telah tak ada lagi. Jepisah meratap disisi mayat, berbuai-buai,
memilukan hati siapa yang mendengar menyadarkan peruntungannya yang malang,
nasibnya yang celaka. Satu per satu saudaranya pergi, sekarang ia tinggal
seorang saja lagi. Mansur dan Laminah membanting ke kiri, membanting ke kanan; tangisnya yang
tak ditangannya memenuhi rumah itu.
Meskipun masih kecil, belum berapa panjang pikiran, tahu mereka itu, bahwa
ia berdua beradik sekarang terlantar, terserah kepada keibaan orang.
Dahan tempat bergantung telah patah, apung-apung tempat berpegang teguh
terbenam. Siapa sekarang tempat membagi kesenangan dan kegirangan dan siapa tempat
membukakan hati pada hari kedukaan, pada hari yang gelap"
Siapa yang akan menunjukkan jalan ditengah-tengah keramaian negeri yang
penuh dengki dan khianat dan daya ini, ditengah-tengah negeri, tempat tiap-tiap
orang menajga dan mencari keuntungan sendiri dengan tak memedulikan sesama
manusia, ditengah-tengah negeri tempat kesejahteraan, keselamatan diri sendiri,
cita-cita yang terutama, ditengah-tengah negeri di tempat yang kuat memakan yang
lemah, yang cerdik memakan yang bodoh"
Dan siapakah yang akan mengajar mereka di dunia yang penuh lawanan ini,
memperbedakan yang baik dengan yang buruk, yang harum dengan yang busuk, yang
sebenarnya dengan tiruan"
Putus sekalian harapan dan hilang sekalian cita-cita, yang bertahun-tahun
diasuh dan dijaga di kepala, lenyap untuk selama-lamanya!
O, peruntungan yang malang, yang sial!
Semalaman-malaman itu Mansur, Laminah dan peribungannya tak tidur sekejap
juapun, selama menghadapi mayat dengan mata yang basah oleh menangis.
Sekalian kaum-kerabat dan kenalan malam itu diberi kabar kematian
Syahbuddin, sehiingga malam itu juga telah banyak orang mengunjungi rumah
Jepisah, yang menjenguk, memperlihatkan, bahwa mereka turut berdukacita.
Jepisah dan kedua kanak-kanak itu tak tahu lagi dengan waktu; hatinya
telah penuh dengan kedukaan saja.
Ketika mendengar kokok ayam berbalas-balasan, alamat malam telah hampir
berganti dengan siang, insaflah mereka itu bahwa mereka semalam-malaman
mencucurkan air mata dan tersedu-sedu tak putus-putus.
Jepisah mengeluh: "Allah, anakku!" seraya dipeluknya kedua anak yatimpiatu itu dan diciumnya beberapa kali. Ratapnya memenuhi rumah itu kembali, dan
meremukkan dada siapa yang mendengarnya.
Hari telah siang; orang datang menjenguk bertambah lama bertambah banyak,
ada yang membawa uang, ada yang membawa beras, ayam atau kerambil dan ada pula
yang membawa kain sebidang, masing-masing ala kadarnya akan menunjukkan
kesedihan hatinya. Jepisah menyuruh saudaranya pergi ke Sebelat menjemput suaminya, supaya ia
dapat bertemu dengan Syahbuddin sebelum dimakamkan.
Beberapa orang menggali kubur di tempat pekuburan kaum-keluarganya, di
rimba di luar negeri Ketahun.
Kira-kira pukul sebelas sekaliannya selesai; mayat telah dimandikan dan
dikapani orang. Suami Jepisah telah ada di rumah. Orang yang menjemputnya tak perlu terus
ke Sebelat, sebab bertemu dengan dia di jalan hendak pulang ke Ketahun.
Sekarang mayat dibawa orang ke mesjid akan disembahyangkan. Waktu turun
dari rumah Jepisah tak khabarkan diri lagi; apa juga diperbuat orang akan
membangunkannya sia-sia belaka.
Mansur dan Laminah pergi mengiringkan mayat itu ke mesjid, berjalan disisi
keranda dengan geleta sebuah seorang ditangah, berisi air cendana dan pandan
yang diiris halus-halus. Sesudah disembahyangkan, mayat itu dibawa ke makam, di
tengah rimba api-api, diiringkan oleh berpuluh-puluh orang dari mesjid yang
sudah sembahyang Jumat. Dari jauh kelihatan pohon-pohon kamboja dan puding puspa warna yang
melindungi pekuburan itu dari pada cahaya matahari. Lengang yang
bersimaharajalela di hutan itu masuk ke dalam hati sekalian orang yang
mengirinkan keranda itu, seolah-olah suatu ilham yang menyuruh diam dan tenang
berfikir. Diantara kubur yang banyak itu nampak lubang yang baru digali; tanahnya
kekuning-kuningan. Itulah bakal tempat Syahbuddin beristirahat untuk selamalamanya, diapit disebelah kiri oleh kubur saudaranya dan disebelah kanan oleh
kubur ayahnya. Disitulah tempat Syahbuddin melepaskan lelahnya, disisi orang yang
dicintainya, jauh dari sekalian kesengsaraan dan kemelaratan dunia yang tak
kekal ini. Waktu menurunkan mayat Mansur menangis, tak dapat ditahan-tahan lagi;
mendengar tangis saudaranya itu Laminah menurut pula, dan bagaimana juga orang
membujuknya, anak dua beradik itu tak juga berhenti mencucurkan air mata.
Siapakah yang dapat mengempang air mengalir dari danau yang penuh,
melembak-lembak" Setelah sudah semuanya: menimbun kubur, mendoa, memasang nisan, disiramkan
orang lah air cenda dari geleta yang dibawa oleh Mansur dan Laminah tadi diatas
kubur yang baru itu dan ditanam orang disisinya beberapa pohon puding.
Sekarang tibalah masanya orang meninggalkan rimba itu, pulang ke rumah
masing-masing. Suami Jepisah, Mansur dan Laminah dan beberapa kaum keluarga Syahbuddin
tinggal seketika untuk memagari kubur itu.
Kalau mereka itu telah pulang sekaliannya, sunyi-senyap kembali hutan itu
seperti sediakala, seakan-akan tak ada suatu apa yang terjadi.
Puncak-puncak puding dan kamboja dibuai-buaikan oleh angin hutan yang
lemah ke kanan ke kiri, laksana pendeta-pendeta yang menggeleng-gelengkan
kepalanya memikirkan masalah hidup manusia: datang dan pergi, berabad-abad,
beribu-ribu tahun, tak putus-putus.
Dengan suara yang pilu selara-selara dan kerisik-kerisik berbunyi lagu
"hari yang telah silam, semarak yang telah jatuh."
3. ANAK YATIM PIATU "Waktu" adalah sebagai raksasa yang besar, yang tak kunjung-kunjung
berhenti berjalan, masuk rimba keluar rimba, masuk padang keluar padang. Disini
menyeberang lautan, disana mendaki gunung menuruni lurah, tak pernah payah, tak
dapat diusik, ditahan atau diganggu.
Pekertinya tak tentu; ada kalanya ia ganas; ia kejam; bersalah tak
bersalah dirusakkannya, dihancurkannya. Tetapi ada pula masanya ia pengasih
pengiba, halus dan lembut sebagai seorang ibu. Apa yang dengan kejam
dihancurkannya diribanya dengan tangannya yang besar itu sehingga sempurna
kembali. Sungguh, isi dunia ini semuanya permainannya, disepak-ragakannya
sekehendak hatinya; sebentar dihembuskannya ke udara dan seketika lagi
dihempaskannya pula ke bumi.
Syahbuddin telah lama berpulang ke rahmatullah.
Hari, minggu, bulan, ya, tahun telah beberapa kali berganti sejak ia
diantarkan ke tempat ia melepaskan lelahnya dari kepayahan peperangan hidup di
muka bumi ini. Tanah kubur yang kekuning-kuningan dahulu telah ditumbuhi oleh
rumput dan tak ada bedanya lagi dengan tanah kubur yang lain.
Pohon-pohon puding disisi makam itu telah besar dan daunnya yang rimbun
dan berbagai-bagai warna telah meneduhi kubur Syahbuddin dari pada hujan dan
panas. Batu nisan telah kehijau-hijauan oleh rumput, seakan-akan jejak "raksasa
waktu." Dan "batu nisan pengenangan" orang Ketahunpun telah lama pula dilumuti
oleh waktu. Seisi negeri Ketahun telah lupa akan Syahbuddin seperti ia tak
pernah hidup di dunia ini, tak pernah memandang kebesaran Allah subhanahu
wata'ala tak pernah menderita keberatan beban hidup.
Ya, demikianlah nasib segala mahkluk di alam ini, diratapi orang
seketika...ddakan dilupakan juga lambat-launnya!
Kedukaan Jepisah pun telah jauh berkurang; hanya sekali-kali terkenang ia
akan saudaranya dan ketika itulah bangkit segala ingatan yang memilukan hati.
Kalau malam Jumat ia membakar kemenyan mengasapi anaknya dan Mansur dan
Laminah, kembalilah seketika dukacitanya melihat kedua anak yatim-piatu itu,
masih sekecil itu tak beribu dan berbapa. Iba hatinya tak terkata-kata dan air
matanya ketika itu pun berlinang-linanglah. Tetapi semuaya itu sampai ke sini
belaka. Sudah mengasapi anak bertiga itu hilanglah sekalian dukacitanya dan
bayang-bayang Syahbuddin lenyaplah dari mukanya sebagai awan diembus angin.
Yang tak kunjung-kunjung berhenti mengidap oleh kematian Syahbuddin ialah
kedua anakknya, Mansur dan Laminah. Kedukaan mereka itu seolah-olah luka yang
baharu hendak terkatup dan sembuh disayat kembali dengan keganasan sehingga
berdarah seperti bermula...tak tertahan-tahan...pedih....
Sungguh, demikianlah sifat kemelaratan manusia, yang seakan-akan selalu
diamat-amati oleh malapetaka.
Tongkat nasib yang mendahsyatkan itu selalu siap akan memukul, bila
dilihatnya mangsanya menegakkan diri dari pukulannya yang sudah. Seakan-akan tak
senang hatinya melihat mangsanya itu mendapat kekuatan yang bermula; seakan-akan
belum puas sebelum mangsanya itu dimusnahkannya.
Pada muka Mansur dan Laminah jelas benar dilihat, bahwa peliharaannya
banyak selisihnya dengan budak-budak lain. Lagi muda-remaja telah terbungkuk
bahunya memikul beban hidup yang berat dan telah sampai ke sumsumnya kemasgulan
dan dukacita. Kening mereka yang senantiasa berkerut itu terang benar membayangkan,
bahwa keriangan, sifat kanak-kanak yang terutama sudah lama tak ada lagi pada
mereka itu. Tambahan pula kekurangan asuhan seorang ibu yang lemah lembut, nampak
meninggalkan jejaknya. Di persediaan hidup mereka itu seolah-olah melintang
suatu jurang yang lebar dan dalam yang tak dapat ditimbun dan dijembatani.
Didikan bunda kandung itu tak dapat didekat-dekati, ditiru-tiru, usahkan
diganti sekalian sifat-sifat ibu, pengasih, penyayang dan pengampun tak dapat
dibuat-buat, dipikir-pikirkan. Hanya seorang ibu saja tahu apa yang patut
diberikannya kepada anaknya, supaya ia sempurna menempuh perjuangan di dunia ini
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan dalam segala daya-upayanya cintanya yang halus dan asli menjadi pedomannya
yang tak pernah mungkir. Mula-mula, waktu Syahbuddin baru berpulang ke rahmatullah, Madang suami
Jepisah, memelihara Mansur dan Laminah dengan kasih-sayang. Entah darimana
mengalirnya kasih-sayang itu tiadalah dapat diterka-terka. Entah dari
kasihankah, entah dari hati kecilnya.
Pendeknya kedua anak itu dijaganya seperti anak kandungnya. Uangnya tak
ditahan-tahannya; belanja dari pakaian kedua anak itu tak pernah kurang dan
kalau hari raya mereka itu dibelikannya mercun berupiah-rupiah.
Tetapi semuanya isi dunia ini tak kekal, melainkan berubah-rubah; demikian
jugalah cinta Madang. Kedua anak itu lama kelamaan dipandangnya sebagai orang
yang memberati bebannya, sebagai orang yang bukan pikulannya. Cinta, kasih,
sayang dan bujuk-bujukan yang dipertunjukannya pada masa Syahbuddin baru
meninggal dahulu, tiap-tiap hari berubah-ubah menjadi keengganan, menjadi abai,
ya, kesudahannya menjadi benci.
Dahulu Mansur dan Laminah tak pernah disuruhnya mengerjakan pekerjaan yang
berat-berat; sehari-harian kanak-kanak itu dapat bermain-main dan berolok-olok
dengan sekehendak hatinya dengan Marzuki, anak Jepisah.
Sekarang tak dapat Madang melihat Mansur dan Laminah barang sekejap duduk
bergurau. Hatinya seolah-olah mendidih, dicari-carinya jalan, supaya kanak-kanak
itu bekerja, seakan-akan suatu kesenangan baginya melihat anak berdua itu lelah,
berkeringat-keringat. Mencari kayu, mengangkat air, ya, apa yang tak mesti dikerjakan oleh
Mansur dan Laminah. Dalam hati Madang: "Apa gunanya aku memberi makan, kalau aku tak dapat
keuntungan dari mereka itu."
Jepisah melihat perubahan pekerti suaminya berhati sedih.
Sampai ke sanubarinya terasa olehnya kekerasan nasib yang malang,
kemelaratan orang yang telantar.
Tetapi semuanya harus disimpannya di dalam dadanya.
Tiap-tiap perasaan yang timbul dibenamkannya dengan segala tenaganya dan
air matanya dihapusnya di sudut dinding, sebab ia tahu kalau ia membuka mulut,
suaminya akan melepaskan harimaunya yang buas.
Tahu akan kelemahannya ditahannyalah ibanya. Dan siapa yang mengenalinya
hanya dari luar saja tentu tak menyangka, bahwa dibalik muka yang tenang itu ada
gelombang memecah, seakan-akan meruntuhkan tapak.
Hancuk-remuk dada Jepisah, kalau Madang dengan tak beragak-agak melekatkan
tangan atau rotan pada badan kedua anak itu. Biasanya larilah ia sebab tiada
terlihat olehnya suaminya mengerjakan pekerjaan yang ganas itu.
Dikalbunya dipisahkannya sebahagian, tempat ia menguburkan sekalian dukanestapanya. Bagaimanakah, kalau tempat itu nanti telah penuh" Wa'llahu a'lam6...
Dengan hal yang demikian Mansur dan Laminah besar jua.
Mansur sekarang telah menjadi seorang anak yang berumur lima belas tahun.
Badannya pendek dan kukuh, mukanya menyerupai paras ayahnya, lebar hampir empat
persegi; keningnya yang lapang menunjukkan, bahwa ia orang yang panjang pikiran
dan alis yang lebat membentang di atas matanya, seolah-olah tanda kekerasan
hatinya. Diatas mulut yang jauh dari lebar dan tak pula boleh dikatakan kecil itu,
membayang biru-hitam sebagai tanda "kelaki-lakian" telah datang, seakan-akan
mengatakan bahwa masa "kanak-kanak" telah sayup dan sekarang mulai masuk ke masa
"kebaliran." Memang Mansur sekarang sedang di usia perubahan yang sebesar-besarnya pada
hidup manusia. Di waktu itulah kelengahan muda-remaja mulai berganti dengan
teliti dan hati-hati. Kesukaran sehari-hari mulai dipandang dengan siasat.
Di waktu itulah pada darah belia mengalir mendebur-debur, tak dapat
diempang, laksana air di pegunungan. Sedunia ini nampak seakan-akan suatu telaga
kecil yang mudah direnangi.
Di masa itulah bangun di hati kecil berbagai-bagai cita-cita dan anganangan yang memberi ketetapan dan keberanian untuk menyerang segala pengaruh di
kemudian hari. Memang besar terasa kekuatan; alam ini selah-olah dapat diambungkan dan
diempaskan sekehendak hati....; dan kepercayaanpun dalam "kebesaran-kekuatan"
itu besar pula tak dirobohkan.
Disanubari Mansur pun bangun suatu kepercayaan pada tenaga sendiri, mulamula kecil, sebagai suatu kegelisahan yang menyuruh ia melepaskan dirinya dari
genggaman Madang. Tetapi makin sehari kepercayaan ini makin besar dan makin
kokoh. Laminah telah menjadi seorang gadis tanggung; umurnya hampir empat belas
tahun, tetapi kalau orang melihat mukanya takkan orang menyangka, bahwa ia masih
semuda itu. Di keliling mulutnya seolah-olah terbayang baris kemelaratan, baris
yang hanya kita temui pada orang yang sengsara hidupnya. Rupanya: berhari-hari
menelan dan menahan kesedihan dan duka-nestapa, lambat laun meninggalkan bekas
jua. Tetapi sungguhpun demikian paras Laminah tak boleh dikatakan buruk.
Matanya yang lembut dan ditutupi oleh alis yang lentik itu seolah-olah lipat
ganda mengganti yang dikurangkan oleh penderitaannya. Tambahan pula pakaiannya
yang tak sepertinya itu bukan sedikit menyembunyikan kecantikannya.
Siapa tahu bagaimana rupa Laminah memakai pakaian yang sempurna6...
Dengan hal yang demikian Madang semakin hari makin ganas juga sepakterjang, tepuk-tampar makin sehari makin banyak menimpa kedua anak yatim-piatu
itu. Mansur telah beberapa kali bermaksud dalam hatinya akan meninggalkan rumah
peribungannya dengan Laminah, sebabnya siksaan Madang telah sangat melebihlebihi.
Maksudnya ialah pergi ke Bengkulu akan mengadu nasibnya; masakan tak dapat
ia sesuatu pekerjaan di negeri besar itu" Tetapi keberaniannya itu pada masa itu
belum cukup benar, sehingga semuanya itu tinggal maksud belaka. Tambahan pula,
tiap-tiap kali kalau ia menceritakan niatnya kepada adiknya, Laminah berkata:
"Kakak! baiklah kita tahankan dahulu semua siksaan ini sebabnya kita sekarang
belum pandai mencari nafkah kita sendiri. Apakah gunanya kalau kita nanti
terlantar di negeri orang hidup dengan minta-minta. Tahankanlah kesengsaraan ini
barang setahun dua tahun lagi."
Mendengar perkataan adiknya serupa itu dikeraskanyalah hatinya menderita
sekalian nistaan dan hinaan, tampar dan tempeleng itu....
Syahdan pada suatu hari bermain-mainlah Laminah dengan saudara sepupunya,
Marzuki yang pada masa itu telah berumur enam tahun, dibelakang rumah dibawah
pohon jeruk. Dengan sepenuh-penuh hatinya dibuatkannya untuk anak peribungannya
itu sebuah pedati dari kulit jeruk.
Madang pada waktu itu membawa dagangannya ke dusun-dusun dekat negeri
Ketahun. Mansur dari pagi tadi belum pulang dari mencari kayu ditepi pantai dengan
sebuah gerobak sapi dan Jepisah duduk di beranda belakang rumah menjahit pakaian
Marzuki, yang lima hari lagi akan masuk sekolah.
Laminah mengupas tiga buah jeruk yang besar-besar dengan hati-hati supaya
ia mendapat kulit yang lebar-lebar untuk membuat roda, dinding dan lantai
gerobak. Pisau yang tajam berderus-derus di tangannya menyayat kulit jeruk itu
dan sebentar-sebentar terpercik air kulit limau itu ke matanya! Berhentilah ia
seketika akan menggosoknya dan sudah itu diteruskannya lagi pekerjaannya dengan
rajin dan ketetapan hati yang tak berkurang-kurang.
Tiada lama antaranya sudahlah dua buah roda; diambilnya sepotong lidi
untuk mempertalikannya dan sekalian yang selesai itu disuruhnya pegang oleh
Marzuki, yang tiada berpisah-pisah duduk disisinya mengamat-amati sekalian
pekerjaannya. Bukan main girang hati budak itu menerima dua buah roda itu. Berdiri ia
dan dicobanya mengguling-gullingkannya, sorak dan gelaknya tak berhenti-henti.
Laminah terus juga bekerja dan seketika lagi sudahlah sekalian perawat
gerobak jeruk itu. Setelah semuanya dipasangkannya, diberikannyalah kepada
Marzuki, yang tak terkata-katakan besar hatinya menerima permainan itu, laksana
menerima harga-benda yang berjuta-juta harganya.
Amat girang Laminah melihat anak uncunya itu berlari kesana-kemari menarik
buatan tangannya, sebentar-bentar berlari berteriak-teriak, melompat-lompat,
seakan-akan tak ada orang yang lebih mujur dan berbahagia dari padanya di muka
bumi ini. Seketika lamanya Laminah asyik melihat sekalian perbuatan Marzuki,
sekarang diambilnya seulas jeruk yang dikupasnya tadi dan dengan pikiran yang
lengah mulailah ia perlahan-lahan memakannya.
Pisau pengupas limau tadi diletakkannya disisinya dan iapun mulailah
berangan-angan. Entah gunung dan lembah manakah ditempuhnya tak tahulah kita...
Sekonyong-konyong terkejut ia dari menungnya; di lehernya dirasanya
pelukan yang erat, dituruti oleh bunyi tangis yang hebat.
Semuanya terjadi dalam sekejap mata, sehingga Laminah tiada dapat berpikir
lagi. Hanya insaf ia akan dirinya, ketika dilihat dari kaki Marzuki mengalir
darah yang tak dapat ditahan-tahan. Rupanya kaki saudara sepupunya itu luka
sebelah tumit, terpijak pisau yang diletakkannya di sisinya tadi.
Laminah pucat; kalau disayat bibirnya, pasti tiada darahnya. Mula-mula tak
dapat ia berbunyi, kerongkongannya sesak, seakan-akan tersumbat. Sementara itu
Marzuki tiada juga kunjung-kunjung berhenti menangis.
"Uncu! uncu!" teriak Laminah setelah lenyap terperanjatnya dengan suara
yang parau, "lekaslah kemari kaki Marzuki berdarah! Uncu! Lekaslah kemari,
lihatlah ini!" Mendengar teriak Laminah itu turun Jepisah dari tangga dapur dengan gopohgopoh dan berlari-lari ia menuju anaknya.
Laminah telah mendukung adiknya itu dan air matanya berhamburan tak dapat
ditahannya lagi, oleh kasal hatinya dan oleh takut akan segak dan tempeleng.
Melihat kemenakannya itu tak dapat lagi Jepisah marah; diambilnya anaknya
dari tangan Laminah dan diciumnya beberapa kali, sambil ia tergesa-gesa menuju
ke rumah. "O, buah hatiku! Biji mata bunda!" cumbunya tak putus-putus, serta
dibawanya anaknya naik ke rumah.
Marzuki belum juga berhenti menangis, membalik ke kiri ke kanan di tangan
bundanya, sebentar-bentara melonjak, sangat payah dipegang.
Laminah berjalan dibelakang uncunya menundukkan kepala. Tahu ia akan
salahnya dan dimukanya telah terbayang-bayang Madang yang bengis dan yang tak
pandai mengagak sepak-terjang itu.
Tiba di rumah oleh Jepisah Marzuki ke garangbled) akan membersihkan dan
mengobat luka itu. Laminah disuruhnya kebawah mencari daun sikeduduk.
Waktu luka dibasuh, Marzuki seperti orang tak tahukan diri membanting ke
kiri dan membanting ke kanan, sebentar-sebentar menyepak seakan-akan hendak
merobohkan garang, hampir-hampir tak terpegang oleh Jepisah anaknya itu.
Tetapi, mujurlah, tak berapa lama antaranya bersihlah luka itu dan dibalut
dengan daun sikeduduk yang telah ditumbuk oleh Laminah lumat-lumat.
Marzuki lelah rupanya oleh menangis dan membanting-banting itu dan
sekarang terbaring ia dipangkuan ibunya, lemah seperti orang tak bergaya lagi;
badannya basah oleh keringat dan badannya jelas nampak naik-turun oleh
kepayahan. Tiada lama lagi antaranya tertidurlah ia dan diletakkan oleh bundanya
perlahan-lahan di tempat tidur.
Jepisahpun pergilah kepada Laminah, yang pada waktu itu termenung dibalik
dapur, menanyakan bagaimana mulanya maka Marzuki mendapat luka sedalam itu. Ia
tahu; bahwa suaminya nanti akan mencuci-maki anak yang malang itu. Oleh sebab
itulah ia diam saja, malah di hati kecilnya timbul iba-kasihan pada anak
saudaranya itu. Dalam pikirannya telah terlihat-lihat olehnya, bagaimana suaminya marah
dan melekatkan tangan pada anak yatim-piatu dan dengan tiada diketahuinya
berlinang-linanglah air matanya.
Ah, ia telah tahu, bagaimana celakanya hidup menumpang pada orang yang tak
tahu akan kasihan!6... Kira-kira pukul empat petang pulanglah Madang dari membawa dagangannya
sekeliling negeri Ketahun.
Pada mukanya yang kemerah-merahan dan berkilat-kilat oleh keringat itu
dapat dibaca, bahwa ia lelah sangat. Tiba di rumah dibantingkannya bungkusan
kain yang besar itu dari kepalanya di atas meja dan dari mulutnya yang lebar
keluar keluh kepayahan. Jepisah lekas membawa air dingin segelas, yang dalam sekejap dikosongkan
oleh Madang. Sekarang iapun mulailah menceriterakan penglihatannya di jalan dan
barang-barangnya yang laku. Jepisah pura-pura mendengar segala perkataan
suaminya itu, tetapi sebenarnya ia memikirkan, bagaimanakah akal menceritakan
kelukaan anaknya, supaya Laminah jangan kena marah.
Sekonyong-konyong katanya: "Marzuki sekarang tidurnya nyenyak benar.
Tengah hari tadi riuh sangat ia bermain-main dibelakang, dibawah pohon jeruk.
Tak sekejap jua ia duduk dengan senang, berlari kian kemari, sebentar-bentar
melompat, seakan-akan tak tahu ia akan penat. Tempik dan soraknya seolah-olah
memecahkan anak telinga. Sekarang kasihan awak melihatnya; kakinya luka dalam di
sebelah tumit terpijak beling dekat pohon jeruk. Bukan main banyak darah yang
keluar tadi dan tangisnya rasa-rasa menderaikan hati awak. Mujurlah ia sekarang
tidur lelap; letih ia agaknya."
Mendengar kata isterinya itu berkilat-kilat mata madang, seraya berkata:
"Kemanakah Laminah tadi. Tak terjaga olehnya anak seorang itu. Ah, orang rumah
ini memusingkan kepalaku benar. Awal payah-payah mencari uang; tiba di rumah ini
pula didengar. Yang baiknya, sekarang ini kupalu sampai lumat segala isi rumah
ini." "Anak ini nakal benar," kata Jepisah, "tak dapat dihukum. Tambahan pula
Laminah tadi sedang kusuruh membeli minyak nyiur ke lepau."
"Pandai benar engkau menjawab," sahut Madang dengan marah. "Diamlah
engkau, aku tak suka lagi mendengar cakapmu. Banyak benar belitmu hendak
memenangkan kemenakanmu itu."
Jepisah berhenti bercakap-cakap, ia telah biasa akan perangai Madang itu,
pemarah dan tak mau disangkal.
Ditundukkannya kepalanya, seolah-olah tak didengarnya kata suaminya itu.
Tetapi dalam hatinya telah terasa olehnya suatu kemenangan; Madang takkan
memarahi Laminah lagi. Terlepas anak itu sekali ini dari aniaya.
Lama lagi Madang duduk melepaskan lelahnya sambil bercakap-cakap dengan
isterinya. pikirannya pada luka Marzuki telah hilang. Sekarang dibawanya
dagangannya masuk dan iapun bertukar pakaian untuk pergi mandi.
Laminah pada ketika itu duduk dibelakang. Hatinya selalu berdebar-debar;
tak sekejap juga hilang dari pikirannya caci-maki Madang yang akan diterimanya.
Sebentar-sebentar terdengar olehnya bunyi orang menujunya, dipicingkannya
matanya karena ketakutan dan napasnya ditahannya.
Tetapi lekas pula tahu ia bahwa semuanya itu godaan pikirannya belaka.
Diberanikannya hatinya dan dibukanya kembali matanya; dari mulutnya keluarlah
keluh panjang seperti orang yang bangun dari mimpi yang mengerikan.
Demikianlah berulang-ulang.
Anak yang malang itu kian kemari diambungkan ketakutannya: Sebentar
seakan-akan hilang semangatnya dan sebentar lagi tenang pula pikirannya.
Tatkala Madang masuk ke dalam akan menukar pakaian, bukan main terkejut
Laminah; darahnya seolah-olah berhenti mengalir. Pada perasaannya sekali ini tak
boleh tidak ia dapat bahagiannya. Dirinya diserahkannya kepada Allah subhanahu
wata'ala. Tetapi tak terkata herannya, ketika dilihatnya suami pribungannya itu dari
kamar pergi keluar menuju ke batang air. Matanya tak dapat dipercayai;
digosokknya dengan tangannya kalau-kalau ia bermimpi. Masakan ia sekali ini tak
kena rotan, tak kena marah, padahal kesalahannya sebesar itu, pikirnya. Lagi tak
bersalah tiada terhitung-hitung sepak dan tempeleng menimpa badannya yang rapuh
itu, apalagi sekarang keabaiannya sebesar gunung.
Sungguh, Laminah tak percaya akan dirinya!
Setelah suaminya turun, Jepisah pergi kebelakang menemui Laminah, ujarnya:
"Tadi kukatakan pada pak uncumu, bahwa ketika Marzuki luka tadi, engkau sedang
kusuruh membeli minyak nyiur. Rasanya engkau takkan dimarahinya lagi."
Mendengar itu mengertilah anak yatim-piatu itu, mengapa ia sekali ini tak
mendapat tampar-tempeleng seperti sediakala.
Perkataan uncunya itu laksana mengangkat beban yang berat dari dadanya;
sekarang lapang lagi pikirannya dan dapat lagi ia menarik napas sebagai
sediakala. Tak dapat dikatakan bagaimana terima kasihnya kepada peribungannya, yang
telah melepaskan dirinya dari pada siksaan Madang.
Pada ketika itu Marzuki bangun dari tidurnya dan berteriak memanggil
bundanya. Jepisah lekas masuk ke dalam kamar dan diangkatnya anaknya keluar.
Laminahpun pergilah pula bersama-sama keluar; sekarang tak ada yang
ditakutkannya lagi. Melihat saudara sepupunya itu, berkatalah Marzuki dengan amarah:
"Engkaulah melukakan kakiku tadi. Jaga engkau, nanti kuadukan pada ayahku. Jauh
engkau, jangan mendekat-dekatku!"
"Ah, mak ini," hardik Marzuki; "tiada benar mak sayang pada Ki. Itu salah
dia benar; mengapa pisau diletakkannya saja. Dia tahu, Ki main dekatnya."
Sedih hati Jepisah melihat kekerasan hati anaknya itu. Di hati kecilnya
takut ia, kalau-kalau sifat-sifat suaminya yang kurang baik turun kepada anaknya
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hanya seorang itu. Tiba-tiba bangkit iba hatinya dan ditariknya biji matanya ke dadanya
seraya berkata dengan suara yang lemah-lembut dan penuh cinta: "Jangan jahat
hati begitu nak! Dia kakak awak bukan" Tiadakah Ki kasihan, kalau ia nanti
dipukul ayah"... "Dia itu tiada beribu dan tiada berbapa, Ki" ujar Jepisah lagi akan
melunakkan hati anaknya. "Heran Ki," jawab Marzuki, "mak kasihan kepada dia, tetapi tidak kepada
anak sendiri. Biarlah, mak, supaya ia coba pula."
Mendengar jawab anaknya itu diamlah Jepisah. Putus pengharapannya membujuk
anaknya, sebab terasa olehnya, bahwa semua usahanya akan sia-sia belaka kesal
hatinya melihat anaknya sependendam itu.
Sekarang berbalik lagi pikirannya pada Laminah, anak yang malang itu. Tadi
ia telah berbesar hati mendengar katanya, bahwa Madang tak kan memarahinya lagi.
Percuma saja ia meriangkan hatinya tadi.
Laminah pada waktu itu duduk tiada berapa jauh dari orang dua beranak itu.
Jadi semua yang dipercakapkan oleh mak dan anak terdengar olehnya.
Tuhan saja yang tahu bagaimana perasaannya ketika itu. Cemasnya yang tadi
telah lenyap dan berganti dengan keriangan yang tiada ter-kata-kata, sekarang
mulai lagi mengeruhi kepalanya.
Mulai lagi terbayang-bayang dimukanya semambu Madang yang tak tahu dengan
iba kasihan; mulai lagi terlihat-lihat olehnya muka Madang yang ganas.
Badan anak yatim-piatu itu berganti-ganti dingin dan panas.
Sekarang Madang telah selesai mandi dan tiada jauh lagi dari rumah.
Jepisah dan apalagi Laminah diam, tiada berani mengeluarkan sepatah kata juapun
oleh ketakutan. Hanya Marzuki anak yang belum berperasaan itu, menunggu
kedatangan ayahnya dengan keriangan.
"Telah bangun engkau, Marzuki," kata Madang dari pokok tangga.
"Yah, Yah," "Mana lukamu tadi?" ujar Madang tiba diatas rumah, seraya ia mendekati
anaknya. Marzuki berdiri dipangkuan ibunya dan ditunjukkannnya kakinya yang luka
kepada ayahnya; "Di tumit, yah, dalam luka itu tadi. Banyak benar darah keluar.
Ki terpijak pisau!" "Terpijak pisau?" tanya Madang sambil ia membuka balutan hendak melihat
luka itu, "dimana pula ada pisau?"
"Tadi dibawah pohon limau," sahut Marzuki.
"Kata makmu tadi engkau terpijak beling...dd"Belum habis lagi kata ayahnya
itu, Marzuki berkata pula:
"Ki terpijak pisau benar, yah! Kak Laminah meletakkannya dekat tempat Ki
main." Mendengar kata anaknya itu berubahlah muka Madang; sekarang tahu ia, bahwa
Jepisah tadi berdusta. Dengan suara yang menakutkan disegaknyalah Jepisah:
"Perempuan jahanam itu membohongi aku tadi. Telah berani benar engkau padaku
sekarang. Engkau permainkan saja aku sebagai patung, sebaik-baiknya kubunuh
kedua-duanya. Aku tak mengerti benar apa sebabnya, maka engkau selalu hendak
memperlindungi anak celaka ini. Apa benar pertolongannya padamu. Pergi engkau
berdua dari rumahku ini. Aku tak mau menghidupi orang yang tak mau membalas
guna. Pergi dari sini pergi!"
Yang penghabisan ini diteriakkannya sambil ia pergi ke balik dinding
mengambil sapu. Matanya berkilat-kilat seakan-akan semua isi rumah itu akan
ditelannya dan daun hidungnya bergerak-gerak, alamat payah ia menahan amarahnya.
Gemetar tangannya memegang tangkai sapu; diayunnya tinggi-tinggi dan dengan
sekuat-kuatnya dijatuhkannya sapu itu pada belakang isterinya, sambil ia berkata
dengan suara yang keparau-parauan: "Enyah engkau dari sini. Rumahku tak boleh
didiami perempuan yang mendustai suaminya. Turun engkau, lekas, lekas!"
Jepisah terpekik, kena pulukan yang tak diegak-egak itu. Dengan sekejap
berdiri ia dan berlari menuju ke tangga, sebab ia takut di palu lagi.
Madang tiada mengejar isterinya, sekarang ia berbalik kepada Laminah.
Anak yang malang itu masih duduk juga di lantai. Entah apalah sebabnya ia
belum melarikan dirinya; kakinya seolah-olah berat melihat sekalian pekerjaan
suami peribungannya yang kejam itu...
Hatta Mansur telah sehari-harian di pantai.
Gerobak yang dibawanya tadi telah penuh oleh kayu api. Sekarang ia akan
pulang. Dari pagi belum sesuap nasi masuk perutnya. Di daratan tadi ia dapat
meminta sebuah kelapa muda. Itulah dimakannya untuk pelapis perutnya. Tetapi ia
telah biasa serupa itu; jadi ia tak merasa lapar benar.
Kini dijemputnya sapi yang ditambangkannya di darat, di padang rumput.
Setelah dipasangnya, menujulah ia dengan gerobaknya ke arah kampung Terendam.
Dari dadanya yang tak bertutup itu mengalirlah peluh sebagai anak air.
Sebentar-bentar ia bersiul-siul kecil dan dihalaunya sapinya dengan ranting yang
dipegangnya di tangan kanannya, supaya lekas sedikit.
Degur-degur gerobak dan derak-deruk kayu api diatasnya memenuhi udara laut
itu, seakan-akan bunyi ombak memecah di pantai belum juga cukup gemuruhnya.
Sumbu pedati berkiut-kiut tanda telah lama tiada di minyak dan bunyi roda
gerobak mengilir di pasir mengilukan gigi. Sekali-kali melonjak itu terlanggar
batu atau kayu dan gegap bunyinya terempas, seakan-akan hancur semuanya.
Dari jauh menyibuk atap rumbia rumah-rumah di Ketahun, kelabu-labuan,
diantara batang-batang kayu yang rindang, laksana pulau pasir ditengah lautan
hijau. Tempat yang ditujukan makin lama makin dekat.
Meskipun ia tak tahu apa yang kejadian di rumah, hatinya gusar tak tetap,
seolah-olah Tuhan semesata alam memberinya suatu ilham. Perasaannya makin lama
makin tak senang, sehingga dipukulnya sapinya, supaya lebih lekas.
Kira-kira seratus langkah lagi jauhnya dari rumah, kedengaran olehnya
suara orang berteriak, nyaring dan sedih.
Darahnya seakan-akan menjadi beku. Sekejap ia berhenti, tetapi sebagai
kilat terpikir olehnya, bahwa ia pada waktu ia mesti dekat adiknya yang
dikasihinya. Ditinggalkannya sapi dan pedatinya dan berlari ia ke arah pekik itu dengan
segala tenaganya; oleh lekasnya ia berjalan, kakinya seakan-akan tak berjejak di
tanah lagi. Di tangga dilihatnya uncunya tergesa-gesa turun, sambil menangis.
Di atas rumah berdiri Madang, algojo yang ganas itu, membuaikan sapu akan
dijatuhkannya di kepala Laminah, anak yang tak berdaya itu.
Hampir rebah ke tanah Mansur melihat adiknya, kecil bergulung seperti ulat
ketakutan. Tetapi dikumpulkannya segala kekuatan, sebab ia tahu, kalau
dibiarkannya tetap adiknya binasa. Pemandangannya gelap dan sebagai harimau yang
buas melompatlah ia keatas rumah akan membela saudaranya.
Tetapi malang! Pada waktu itu pukulan Madang telah jatuh di kepala anak
yatim piatu itu, sebagai durian jatuh di tanah yang keras. Laminah tak berbunyi
lagi, terjerembab, seperti elang kena tembak.
Laminah, anak yang pengasih-penyayang itu tiada khabarkan diri lagi!
Mujurlah pada ketika itu ia dapat disambut oleh kakaknya. Dengan selekaslekasnya Mansur melarikan adiknya ke bawah, sebab ia takut kalau-kalau Madang
belum puas lagi hatinya. Melihat Laminah pingsan itu cemaslah sedikit manusia yang tak berperasaan
itu, tetapi ia tak mau memperlihatkannya. Oleh sebab itu tiada juga ia berhenti
memaki-maki. "Pergilah engkau dari sini," teriaknya, jangan engkau jejak lagi rumahku
ini, jahanam, orang yang tak tahu membalas guna. Tak kurelakan semua hakku yang
kau sungkahkan. Ke air disambar buaya, ke rimba diterkam harimaulah engkau
berdua beradik!" Mansur tak mengindahkan kata orang kejam itu. Dengan selekas-lekasnya
dibawanya adiknya ke rumah datuk Halim yang tiada berapa jauh dari situ.
Datuk Halim dengan isterinya, andung Seripah, selalu ramah kepada Mansur
dan Laminah. Seringkali dipanggilnya kedua anak itu makan dirumahnya. Untuk
pembalas budi orang tua dua laki-isteri itu acap kali pula Mansur dan Laminah
menolong mereka itu mencarikan kayu dan mengangkat-angkat air.
Sekarang, dalam hal yang serupa ini, Mansur tiada berpikir dua kali lagi,
kemana ia harus pergi meminta pertolongan; ia tahu benar, bahwa datuk Halim dan
andung Seripah akan membantunya dengan segala daya upaya.
Melihat Mansur berlari-lari mendukung adinya itu, tergesa-gesalah andung
Seripah, yang pada waktu itu sedang duduk di beranda luar, menyongsongnya ke
jalan besar. Bersama-sama dinaikkannya Laminah keatas rumah dan dibaringkannya
diatas bangku-bangku. "Mengapakah dia?" tanya orang tua itu dengan cemas, melihat Laminah tiada
bergerak-gerak. "Dipukul oleh binatang itu," sahut Mansur dengan kesal dan amarah.
"Tiadakah andung dengar ia berteriak-teriak seperti orang gila itu?"
"Gila benar Madang itu sekarang, Pemukul anak kecil tiada beragak," ujar
andung Seripah. "Engkau tunggulah disini sekejap, boleh aku mengambil air dingin untuk
percik muka Laminah. Jangalah engkau cemas benar. Sebentar lagi tentu adikmu
tahu akan dirinya. Sementara itu tentu datukmu pulang dari air."
Perempuan itupun masuklah.
Mansur mendekati adiknya dan dirabanya rambut Laminah perlahan-lahan
dengan tangan kanannya. Terkenang ia akan kemalangan nasibnya berdua beradik.
Masih kecil kehilangan ibu-bapa, terserah pula pada manusia yang tak tahu belaskasihaneayang selalu mencari salah.
Sungguhpun Mansur, oleh terlalu banyak yang telah dideritanya, tahu arti
makna kata: menyerahkan diri kepada nasib, menunggu rahmat Allah subhanahu
wata'ala, sekarang ini naik darah mudanya dan bersumpah ia akan melepaskan
dirinya dari genggaman manusia yang buas itu: lebih baik mati kelaparan daripada
terus menanggung derita yang serupa ini...
Dengan pandangan yang penuh kecintaan dilihatnya wajah adiknya, iba
hatinya tiada terhingga...
Bujang yang bidang dan kukuh itu mencucurkan air mata...
4. MENINGGALKAN NEGERI KETAHUN
Andung Seripah keluar membawa air dalam tempat basuh tangan. Mansur
memalingkan mukanya; malu ia, seorang laki-laki, mengeluarkan air mata.
Perempuan tua itu mencelupkan tangannya kedalam air dan digosoknya
perlahan-lahan di rambut dan muka Laminah, sambil ia membaca beberapa mantera.
Anak yang malang itu masih tiada bergerak-gerak; mukanya pucat kebirubiruan dan dadanya tiada turun-naik. Orang yang tak tahu, tiadakah menyangka
bahwa Laminah masih hidup, sebab napasnya tiada kedengaran.
Beberapa kali diulang oleh andung Seripah membasahi wajah Laminah,
sehingga sekarang telah lecap semua, tetapi anak itu belum juga sadar akan
dirinya. Pada ketika itu datuk Halim naik ke rumah dari air. Tiada terkata-kata
terperanjatnya melihat Laminah pingsan, tiada khabarkan diri itu. Setelah
diceritakan oleh istrinya, apa-apa yang terjadi, berkatalah ia: "Si Madang ini
hendak mampus benar. Memukul, menyepak, menerajang tak tahu sedikit. Kelakuannya
ini telah lama kuamat-amati. Kalau tiada diubahnya perangainya jang jahat itu,
tiadakan selamat hidupnya. Tetapi rupanya otaknya tak ada benar. Orang yang
senonoh pikirannya tiada terpukul anak yang selembut dan sepenurut ini. Cobalah
lihat, lambat laun pasti ia membinasakan orang. Pada taksiranku takkan jauh
matinya dari tiang gantungan..."
Disini berhenti ia sebentar, seakan-akan berpikir. Didekatinya anak yang
pingsan itu, dirabanya kepalanya mencari tempat yang kena pulukan itu tadi. Di
sebelah belakang kepala Laminah, agak ke kiri sedikit, bertemu ia dengan bengkak
sebesar telur ayam. Dikuakkannya rambut yang lebat dan hitam itu dan
kelihatanlah kulit kepala itu kebiru-biruan.
"Tentang inilah rupanya Madang memukul tadi. Lihatlah kulit kepala ini
sampai menjadi biru," ujarnya serta menunduk ia sedikit akan menawari bengkat
itu. Seketika lamanya ia tak bercapak-cakap; matanya tak beralih-alih
dipandangkannya pada tempat pukulan itu dan bibirnya bergerak-gerak membaca
ilmunya. Penghabisan diembusnya dan digosoknya perlahan-lahan bengkak itu dengan
jarinya. Sesudah itu pergulah ia masuk kedalam akan sembahyang asar sebab hari
telah sayup. Sekarang tinggallah andung Seripah dengan Mansur saja menghadapi Laminah.
Mansur bertambah lama bertambah gelisah, sebab ia takut kalau-kalau adiknya tak
kan bangun lagi. Putuslah segala ikatannya di bumi ini, hilanglah segala harapannya dan tak
adalah lagi tampat ia bergantung, tempat ia menumpahkan isi sanubarinya, baik
waktu riang, baik waktu susah.
Pikirannya amat kusut masai.
Apakah jadinya, kalau adiknya yang cuma seorang ini meninggalkannya pula"
Tiada berani ia memikirkan jauh-jauh.
Mujurlah pada ketika itu Laminah bergerak sedikit, dibalikkannya
tangannya, yang diletakkan andng Seripah disisinya. Badannya seolah-olah hendak
dimiringkannya, tetapi kekuatannya rupaya belum cukup. Semua ini beberapa kali
diulangnya. Riang Mansur melihat adinya itu. Segala pengharapannya idup kembali dan
sementara itu andung Seripah terus membasahi rambut da muka Laminah.
Makin lama makin kuat anak itu menggerakkan badannya. Mukanyapun bertambah
lama bertambah berdarah dan sebentar-sebentar jelas kelihatan dadanya naik
turun. Seketika lagi dibukannya perlahan-lahan matanya yang lembut itu dan
dipandangnya Mansur dan andung. Seripah berganti-ganti dengan muka yang terang
mengatakan keheranannya. "Mengapa, cung?" tanya andung Seripah, "Letihkah engkau" Lepaskanlah
dahulu lelahmu. Tutuplah matamu!"
Laminah heran mengapa maka orang tua itu bercakap demikian. Apakah yang
terjadi atas dirinya" Tiada suatu apa yang teringat olehnya. Meskipun ia tiada
mengerti apa yang didengar dan dilihatnya, matanya ditutupkannya juga, sebab
masih letih benar perasaannya.
Tetapi tiada berapa lama antaranya, dibukakannya pula. Ketika itu masuklah
andung Seripah membawa air segelas. Air itu ditawarinya dan diberikannya pada
Laminah, yang belum juga habis keheranannya, sambil ia berkata: "Nah, cung,
minumlah ini, boleh lekas habis peningmu."
Laminah tiada bercakap sepatah juapun; diulurkannya tangannya dan
diangkatnya kepalanya sedikit. Ia minum seperti orang yang sangat dahaga; dalam
sekejap kosonglah gelas itu dan dipulangkannya pada andung Seripah, sambil gelas
itu dipulangkannya pada andung Seripah, sambil ia perlahan-lahan meletakkan
kepalanya pula diatas papan bangku-bangku itu; dari mulutnya keluar keluh
panjang. Seketika ia diam melihat ke kiri dan ke kanan. Rupa-rupanya badannya telah
agak segar sedikit. "Mengapakah aku ini kak?" tanyanya tiba-tiba pada Mansur yang berdiri
disisi kepalanya, "mengapa maka Minah ada disini"
Suaranya hampir-hampir tiada kedengaran.
"Lupakah engkau dik, binatang yang buas itu?" jawab Mansur serta
dipandangnya wajah adiknya, dengankasihan, "tiada teringatkah engkau ia memukul
uncu kita tadi dan sudah itu mendekatimu dengan sapu"
Laminah menganggukkan kepalanya.
Teringat lagi aka akan segala yang terjadi hari itu dari mengupas jeruk di
belakang rumah sampai Marzuki menceritakan kelakuannya pada ayahnya. Terbayang
lagi dimukanya, bagaimana muka Madang berubah mendengar ceritera anaknya,
bagaimana daun hidungnya bergerak-gerak oleh amarahnya dan bagaimana ia
membuaikan sapu akan memukul isterinya. Ngeri Laminah mengenangkan semuanya itu
dan terasa-rasa olehna, bahwa semuanya itu akan ditemuinya lagi.
Sekonyong-konyong terpikir olehnya dimanakan sekarang Jepisah, uncunya,
yang hendak membelanya tadi.
"Dimanakah uncuk kini, kak" Tidak apa-apa kah ia?" tanya Laminah serta
diangkatnya badanya akan duduk.
"Ah, Janganlah engkau pikirkan uncu," jawab Mansur, "ia tak akan
dipengapa-ngapakan orang. Tadi waktu engkau kularikan kemari, ia telah turun
kebawah. Tambahan pula masakan ia tiada diterima oleh suaminya pulang ke
rumahnya. Siapakah yang akan mengasuh Marzuki dan siapa pula yang akan
memasakkan nasi Madang jahanam itu."
Melihat Laminah hendak duduk itu, berkatalah andung Seripah dengan gopohgapah: "Janganlahduduk dahulu, cung! Badanmu lemah benar. Rebahkanlah dirimu
sampai engkau kuat, boleh andung ambilkan di dalam sebuah bantal. Kalau tidak,
boleh kubawa engkau ke bilik, supaya engkau dapat berguling-guling di tempat
yang lembut." "Janganlah andung!" sahug Laminah. "Minah sekarang telah kuat benar.
Biarlah Minah duduk di kursi itu, supaya Minah dapat bersandar."
"Kalau begitu katamueabaiklah! Tetapi ingat-ingat, cung; jangan peningmu
tadi kembali lagi," ujar perempuan tua itu.
"Tidak, janganlah andung kuatir," sahut Laminah, sambil ia berdiri dan
Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipapah oleh Mansur pergi ke kursi rotan yang kehitam-hitaman dan berlubanglubang oleh umurnya Andung Seripah dan Mansur mendekatkan kursi sebuah seorang
pada tempat duduk Laminah itu.
Lama orang bertiga bercakap-cakap diluar, Laminah menceritakan segala yang
dirasainya sehari itu dari pokok sampai penghabisan: bagaimana Marzuki terpijak
pisau, bagaimana Jepisah berdusta pada suaminya, bagaimana Marzuki, anak yang
belum berperasaan itu, mengadukan kelakuannya pada ayahnya dan sebagainya.
Mendengar cerita anak yang malang itu, pilu dan iba sangat andung Seripah
dan air matanyapun berlinang-linang lah. Tiada tertahan lagi olehnya hatinya;
dipeluknya perawan kecil itu dan diciumnya keningnya beberapa kali, serta ia
berkata dengan suara penuh kasihan: "Begitulah, cung, kalau awak menumpang pada
orang, kalau tak ada pandangan orang pada awak. Semuanya ini telah andung rasai
dahulu. Andung ini orang terlantar juga dahulu, besar dengan sepak-terjang dan
caci-maki. Ah, tahulah andung, bagaimana orang mencari-cari jalan hendak
menganiaya dan mengazab awak. Tetapi, cucuku kedua sabar-sabarlah, jangan
menaruh dengki dan khianat. Tuhan itu mahakuasa dan mahakaya. Semua isi dunia
ini dapat diubahnya, ditunggang-balikkannya dengan sekejap saja. Orang kaya hari
ini dapat besok dijadikannya orang minta-minta, dan sebaliknya. siapa diantara
kita manusia yang tahu pada siapa Tuhan hendak menjatuhkan rahmatnya" Seorangpun
tidak! Tambahan pula cucungku, engkau berdua jangan benar menaruh dendam.
Serahkanlah semuanya pada Allah subhanahu wata'ala. Ia tak pernah khilaf, tak
pernah lengah. Tiada di dunia ini, di akhirat nanti orang yang bersifat khianat
dan kejam akan dapat balasannya. Jaga sajalah dirimu baik-baik.... Mansur! kau
dengarkah kata andungmu itu?"
Mansur tiada berkata sepatah juapun; dianggukkannya saja kepalanya,
amanat-amanat orang tua itu dimasukkannya dalam hatinya sekalian.
"Sekarang andung hendak masuk," kata andung Seripah pula, "tinggallah
engkau berdua disini, boleh andung bertanak di dapur."
Andung Seripah pun masuklah dan Mansur dan Laminah tinggal berdua beradik
diluar, mula equals mula tidak bercakap-cakap.
Masing-masing mengenakan untungnya yang telah silam dan yang akan datang.
Hari telah senja. Cahaya siang telah mulai bertukar dengan gelap gulita
malam. Hanya puncak pohon nyiur yang tinggi-tinggi kelihatan, kekuning-kuningan
oleh sinar matahari laksana baru dicelupkan dalam sepuhan.
Langit sebelah barat memperlihatkan suatu tamasya yang sangat permai.
Siapa tak tahu pemandangan waktu senja hari di tepi pantai, ketika mega
puswawarna bersusun-susun, seakan-akan sutera yang halus-halus dihamparkan
diatas permadani yang kebiru-biruan" Siapa belum pernah memuji kebesaran ALSOLAH subhanahu wata'ala, waktu siang berganti dengan malam, melihat susunan awan
di langit lazuardi muda"
Dan siapakah belum pernah gembira memandang warna-warna yang tak dapat
ditiru-tiru disebelah barat, ketika raja siang, sebagai nyiru yang besar turun
ke tasik timah yang berkilau-kilauan akan mendinginkan badannya yang panas"
Perlahan-lahan turun malam di Ketahun dan kelilingnya, seolah-olah anak
dara berbaju kelabu bertaburkan intan dan pemata yang cemerlang. Bunyi unggas
yang telah lama tiada kedengaran lagi dan diganti oleh bunyi margasatwa malam.
Pohon-pohon kayu dan rumah-rumah kehitam-hitaman, tiada bergerak-gerak, seakanakan raksasa-raksasa bertapa untuk mengetahui ilmu ketuhanan. Sungai Ketahun
yang lebar dan tenang itu, membayangkan cahaya lampu di rumah-rumah dan sampansampan seperti pita kuning kemerah-merahan yang gelisah, tak senang diam.
Tiba-tiba berkata Mansur pada adiknya: "Bagaimanakah pikiran Minah
sekarang" Rupa-rupanya kita disini bertambah lama bertambah melarat. Apakah yang
baik kita kerjakan" Masih tahankan Minah menderita certa-nista dan tampartempeleng Madang yang ganas itu" Atau baiklah kita pergi ke negeri yang lain
mengadu peruntungan?"
"Ah," jawab Laminah dengan suara yang sedih, "sekarang semuanya itu Minah
serahkan pada ikhtiar kakak; kalau begini rasanya takkan sanggup lagi Minah
tinggal di negeri Ketahun ini. Dari pada hidup dengan serupa ini, umpan kaki
tangan orang setiap hari, pada perasaan Minah, lebih baik mati sekali.
Tetapieameskipun demikian, kakak lebih maklum. Minah akan menurut saja. Benar,
dahulu ada Minah katakan pada kakak, lebih baik kita setahun dua tahun lagi
Sepasang Naga Lembah Iblis 2 Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis Hantu Pegunungan Batu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama