Ceritasilat Novel Online

Tak Putus Dirundung Malang 2

Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana Bagian 2


menahankan aniaya ini dari pada hidup minta-minta di negeri orang. Tetapi
semuanya itu ada batasnya; kalau batasnya itu diliwati akan membinasakanlah ia.
Seperti sekarang ini dimisalkan takaran telah penuh, telah melimpah. Harus kita
bertukar haluan, kalau kita masih panjang harapan. Tetapi, sekali lagi Minah
katakan, kakak lebih maklum semuanya itu. Apakah daya Minah seorang perempuan
kecil?" Mansur diam seketika mendengar kata adiknya. Dipikirkannya semuanya sekali
lagi. Di hatinya telah pasti, bahwa ia berdua beradik akan meninggalkan negeri
Ketahun, bahwa ia akan melepaskan dirinya dari ikatan Madang, manusia binatang
itu. Tetapi, "apabila" dan "bagaimana" ia akan mengerjakan maksudnya itu, itu
belum dipikirkannya. "Kalau begitu kata Minah," ujar Mansur, "samalah pikiran kita sekarang;
kakakpun telah merasa juga, bahwa tiada mungkin kita lama lagi tinggal disini.
Hendaklah selekas-lekasnya, negeri Ketahun ini kita tinggalkan dan sebaikbaiknya janganlah, kita bertemu lagi dengan Madang. Bagaimanakah pendapat Minah,
kalau kita besok pagi pergi ke seberang dan disana naik mobil ke Bengkulu?"
"Tiadakah tergesa-gesa amat itu?" jawab Laminah, sambil diamat-amatinya
muka saudaranya. "Dimanakah kita mencahari uang untuk ongkos mobil dan kalau
kita tiba di negeri orang, ada juga hendaknya uang serupiah dua rupiah dalam
saku." "Uang itu perkara kecil," kata Mansur, "uangku sekarang ada lebih kurang
lima rupiah. Itu tiada tahu engkau. Selama ini aku tiada tinggal diam. Sejak aku
bermaksud hendak meninggalkan negeri kemelaratan ini, dnegan berbagai-bagai
daya-upaya aku coba melonggokkan uang. Hari ini aku memanjat kelapa disini;
dapat aku lima sen. Besok aku dengan tiada setahu siapa juapun mengambil kayu
untuk baba anu, dapat laki aku seketip dua ketip. Semuanya itu kutabungkan dan
tabung pekakku itu kusimpan teguh-teguh di dekat cucuran atap balik dapur.
Demikianlah telah beberapa bulan. Sekarang pada taksiranku tak kan kurang isi
tabung pekak itu dari lima setengah rupiah. Tambahan pula, kalau kita katakan
maksud ini pada uncu Jepisah, masakan kita tiada diberinya uang barang serupiah
lima rupiah. Jadi Laminah, dari hal uang itu janganlah engkau gusar amat. Dan
kalau kita telah tiba di Bengkulu nanti telah dapat pula kita berseluk. Masakan
tiada dapat kita disana mencahari uang untuk sesuap nasi pagi dan sesuap petang,
Allah itu mahakuasa. Tiada percaya aku, bahwa di dunia ini tak ada lagi lain
dari malapetaka untuk kita."
"Kalau begitu, baiklah seperti kata kakak itu," ujar Laminah "jadi pagipagi esok kita meninggalkan negeri Ketahun ini. Tetapi bagaimanakah pakaian kita
yang dirumah uncu?" "Itu mudah benar," sahut Mansur. "Malam nanti kira-kira puluk sebelas kita
pergi kesana akan menjemputnya. Madang tetap telah tidur, sebab ia letih
berjalan-jalan sehari-harian tadi. Uncu, seperti biasa, sesudah berbantah, tidur
di serambi belakang jadi senang kita membangunkannya."
Laminah menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju dengan pikiran saudaranya
itu. Ketika itu keluar datuk Hallim. Ia duduk dekat anak yatim-piatu berdua
beradik itu. "Bagaimanakah pikiran engkau sekarang, Mansur?" tanyanya.
"Kami ini senang berunding benar, tuk!" jawab Mansur. "Maksud kami, kalau
tiada alanganeabesok kami hendak pergi ke Bengkulu. Di negeri Ketahun ini tiada
tertahan lagi oleh kami. Madang rupa-rupanya belum senang hatinya, kalau salah
seorang dari kami belum binasa. Lebih baik kami beralah dan menjauhkan diri dari
dia. Ah, rasanya untuk kami tak ada di negeri tumpah darah kami ini; dicoba pula
mencari di rantau orang."
"Mansur, engkau ini telah besar, segala yang akan engkau kerjakan
hendaknya engkau kaji dalam-dalam dulu," ujar orang tua itu, "dapatkah engkau ke
Bengkulu nanti mencarikan nafkah adikmu" Itu harus engkau pikirkan. Ia
perempuan! Untuk engkau aku tiada cemas; laki-laki dimana sekalipun tiada akan
mati kelaparan. Tetapi lain halnya dengan perempuan, ie lemah dan banyak
pantangnya. Engkau jangan pula sampai jadi salah paham. Aku bukan bermaksud
hendak menahanmu dan jauh pula dari hendak mengusirmu. Kalau aku memberi engkau
petuah ialah semata-mata oleh sebab aku kasihan melihat nasib engkau dua
beradik. Dari pada engkau sengsara di negeri orang, pada pikiranku, lebih
baiklah engkau tinggal dengan kami disini. Dari hal makanan, selama kami masih
diberi Tuhan rezeki, janganlah engkau susah. Makan pula engkau berdua."
Mansur menundukkan kepalanya dan segala perkataan datuk Halim yang baik
itu ditimbangnya dengan siasat. Seketika lamanya ia tiada bercakap-cakap.
Laminahpun diam memikirkan nasihat yang keluar dari kalby yang suci itu.
Tiba-tiba Mansur mengangkat kepalanya dan berkatalah ia dengan suara yang
tetap: "Sekalian perkataan datuk itu kami masukan dalam hati kami. Sampaikan
mati tiada lupa rasanya kami akan jasa datuk dan andung yang tiada berhingga itu
kepada kami. Kami telah lama tahu, bahwa di negeri Ketahun ini datuk dan
andunglah tempat kami mengadukan malang-mujur kami; datuk dan andunglah yang
selalu menolong kami dengan segala daya-upaya. Sekarang datuk, semuanya itu
telah kami pikirkan dalam-dalam seperti emas telah kami uji dan timbang beberapa
kali, tetapi bagaimana juga, pendapat kami, hanya satu, yakni: negeri Ketahun
harus kami tinggalkan. Tak ada lagi yang kami harapkan disini. Sejak bunda
berpulang ke rahmatullah rupanya terserahlah nasib kami yang celaka. Tiada satusatu bala yang membawa kami melarat. Sungguh, kami tiadalah ubahnya dengan orang
yang kena sumpah nenek-moyang. Sekarang hendak kami coba pula menjual tenaga di
negeri orang. Sebenarnya maksud ini telah lama kami kandung, tetapi selama ini
kami belum berani menjalakannnya. Tetapi kini tiada bolah lagi kami mengatakan
tiada berani. Lambat-laun akan tiba juga waktunya kami mengemudikan sampan kami
sendiri. Masakan akan tetap selama-lamanya kami hidup dengan iba-kasihan orang"
Tentu tidak!" Yang akhir ini dikatakan Mansur dengan gembira. Pada matanya yang
berkilau-kilau dan suaranya dapat kita ketahui, bahwa semua yang dikeluarkannya
itu terasa olehnya sampai ke sumsumnya.
Datuk Halim pun besar hatinya mendengar anak itu tegas berkata; percaya
ia, bahwa Mansur takkan mengabai-abaikan Laminah, adiknya yang dikasihinya itu.
"Kalau begitu pendapatmu," sahut datuk Halim, "aku tak dapat berkata apaapa lagi. Sekarang ceritakanlah segala maksudmu padaku; dan kalau engkau berguna
bantuanku, janganlah engkau malu mengatakannya. Sedapat-dapatnya engkau akan
kutolong." Maka Mansur pun menceriterakanlah segala yang tercantum dalam hatinya.
Sementara itu andung Seripah menyajikan makanan. Sesudah makan duduklah orang
berempat itu bercakap-cakap di beranda muka....
Kira-kira pukul sebelas turunlah Mansur perlahan-lahan. Laminah telah lama
tertidur dan datuk Halim dan andung Seripah pun telah masuk ke biliknya.
Ia menuju ke rumah Madang. Tiba dimuka rumah itu dicarinya tempat yang
gelap dan mencangkunglah ia disana menganingkan orang rumah itu.
Malam itu gelap-gulita, tapak tanganpun tiada kelihatan. Langit hitam
sebagai dicat dengan tinta. Batang kayu menderu-deru diembus angin yang
bertambah lama bertambah kuat. Dari jauh kedengaran sayup-sayup bunyi ombak
memecah di pantai. Seketika lamanya Mansur duduk menganingkan. Tiada suatu apa kedengaran
olehnya. Rupanya Madang dan Jepisah telah tidur. Dengan hati-hati pergilah
Mansur kebelakang rumah. Perlahan-lahan ia naik tangga garang dan dari sana
merabalah ia menuju ke pintu serambi belakang.
Suatu apapun tiada kelihatan, tetapi oleh sebab ia biasa di rumah itu
dengan mudahlah ia mencari yang ditujunya.
Dari antara celah-celah pintu dapat ia mengintai ke dalam. Jepisah tidur
diatas tikar, mukanya ditutupnya dengan tangannya dan tiada berapa jauh dari dia
nyalalah sebuah pelita minyak tanah.
Dengan hati-hati diketuk Mansur lah pintu itu.
Tiada kedengaran jawab....
Dinantinya sebentar dan sudah itu diulanginya sekali lagi, sambil ia
berseru perlahan-lahan "Uncu! uncu Bukakan pintu! Mansur ada diluar ini."
Jepisah rupanya belum tidur, diangkatnya kepalanya dan dipasanglah
telinganya. Suara itu kedengaran sekali lagi.
Sekarang tahulah ia, bahwa Mansur ada diluar. Dengan berjingkat-jingkat,
supaya jangan membangunkan Madang, dibukanyalah pintu.
Bukan main besar hatinya melihat anak saudaranya itu dan lekas
ditanyakannya apa khar Laminah. Dari tadi tiada berpisah-pisah pikirannya dari
gadis kecil itu. Kuatir ia kalau-kalau anak yang tiada bergaya itu parah kena
pukulan tadi. Tetapi mujurlah tidak rupanya.
"Apa maksudmu datang tengah malam ini dan mengapakah Laminah tiada engkau
bawa?" bisik Jepisah pada kemanakannya. "Laminah sekarang tidur uncu!" jawab
Mansur hampir-hampir tiada kedengaran. "Kasihan awak melihatnya tadi; lama benar
ia tiada khabarkan diri. Sekarang rupa-rupanya ia letih benar. Maksudku datang
ini ialah akan mengatakan pada uncu, bahwa kami esok pagi akan pergi ke
Bengkulu. Dan kalau boleh sekarang Mansur hendak mengambil pakaian kami berdua,
sebab esok pagi tiadakan sempat lagi. Tambahan pula syak hatiku, kalau pak uncu
tahu kami hendak mengambil barang-barang kami, tetap takkan diberikannya. Itulah
sebabnya maka aku datang tengah malam benar ini."
"Hendak pergi ke Bengkulu?" tanya Jepisah dengan heran, seolah-olah tiada
dipercayainya telinganya. "Kemana engkau bawa Laminah disana" Mabukkah engkau"
Apakah yang hendak engkau kejar?"
"Uncu! jangan kuat-kuat amat," sahut Mansur, "nanti bangun pak uncu dan
diusirnya aku dari sini. kini cobalah uncu pikir. Apakah yang kami tunggu lagi
disini" Pak uncu Madang tiada suka kami tinggal dirumahnya. Jadi terpaksalah
kami menumpang-numpang pada orang lain. dan makan kami dimana pula kami cari"
Masakan orang hendak membelanjai kami sehari-hari. Tentu tidak! Dan mencari uang
sangat susahnya di negeri mati ini. Bengkulu itu negeri besar. Tak ada pekerjaan
di sudut ini, boleh kita mencari di sudut yang lain. Lihatlah sekalian orang
ketahun yang pergi merantai ke Bengkulu, kalau ia pulang disini banyak uangnya;
kainnya berhelai-helai dan bajunyapun tiada kurang. Tiadakah uncu melihat barubaru ini anak Dul di hilir Cerocok" Waktu ia berangkat dari sini dahulu boleh
dikatakan kainnya kering di pinggang. Tetapi ketika ia pulang dari rantau banyak
bawaannya." Jepisah berpikir seketika. Sekarang mulai terasa olehnya, bahwa sebenarnya
tak ada yang mengikat anak yatim-piatu dua beradik itu di negeri Ketahun.
Ibu-bapak telah tak ada lagi! Peribungan seorang tiada pula boleh
diharapkan! Tetapi sungguhpun demikian, sebagai seorang perempuan yang belum pernah
meninggalkan kampungnya, tiada juga dapat ia menjetujui angan-angan kemenakannya
itu. Sebab itu berkatalah ia: "Yang engkau katakan itu benar semuanya. Tetapi
nak, jangan engkau lupa kata orang tua-tua: Hujan emas di negeri orang, hujan
batu di begeri kita, masih senang juga di negeri kita. Pikirlah itu. Tetapi
kalaua hatimu keras juga, pergilah! Barangkali keselamatanmu telah ditakdirkan
Tuhan di negeri orang. hanya petuaku. Laminah itu jangan engkau sia-siakan.
Kalau rasanya tiada terpikul olehmu, kirimlah ia kembali. Daripada ia terlantar
di negeri orang, lebih baik ia menanggung cerca dan maki dekat aku."
"Semuanya itu, uncu, telah kami timbangeabukan sekali dua kali1' jawab
Mansur." Sekarang maksud kami itu telah tetap dan takkan berubah lagi. Kalau
telah tertulis dari kandungan bunda, bahwa kami akan melarat di rantau orang,
apa boleh buat. Sungguhpun demikian, uncu tolong-tolong juga kami dengan doa,
moga-moga Allah subhanahu wata'ala menjatuhkan rahmatnya. Dari hal Laminah,
janganlah uncu takut. Selagi ada hayat dikandung badan, ia takkan kusia-siakan.
Sekarang tolonglah uncu ambilkan barang-barang kami, sebab hari telah jauh
malam." "Kalau begitu katamu," ujar Jepisah, "sudahlah. Aku takkan membantah lagi.
Tetapi mengapakah maka engkau hendak selekas ini benar" Tiada kasihankah engkau
pada peribunganmu yang malang ini" Ah, nak, siapa tahu, barangkali malam ini,
malam penghabisan kita bercampur, liku-liku jalan hidup ini tiada dapat
ditentukan. Sebaik-baiknya, sekarang ini engkau bawa Laminah kemari. Masalah ia
meninggalkan aku dengan tiada berkata-kata padaku dan hatikupun tiada sampai
melepaskan dia seperti itu. Pergilah engkau sebentar menjemputnya; boleh aku
tunggu disini." Iba hati Mansur mendengar kata uncunya itu. Ia telah lama tahun, bahwa
Jepisah kasih padanya dua beradik. Hanya kasihnya itu tiada dapat
diperlihatkannya, sebab ia takut pada suaminya.
Siapa dapat menduga, bagaimana remuk hatinya melihat suaminya memukul
kemenakannya dengan tiada menaruh kasihan sebesar padi sekalipun" Tetapi,
sebagai semua orang tahu akan kesusahan hidup, pandai ia membawakan dirinya.
Anak nyamuk dalam padi, cupak dalam perberasan, Sungguh remuk dalam hati,
di muka tiada berkesan Dengan tiada berkata sepatah juapun turunlah Mansur dan berlari-lari
anjing ia pulang ke rumah datuk Halim.
Sementara itu Jepisah tinggal seorang diri menunggu Mansur kembali dengan
adiknya. Sejak dari petang tadi tak tentu pikiran perempuan yang malang itu.
Kini tiba pula perceraian dengan kemenakannya. Masgulnya bertambah-tambah saja.
Tiada tahu ia apa yang akan dikerjakannya. Ah, alangkah malang hidupnya.
Satu per satu sanak-saudaranya meninggalkannya; mula-mulai saudaranya yang
tengah, sudah itu saudaranya yang tua. Sekarang kemenakannya akan pergi merantau
pula. Tinggallah ia sebatang kara di negeri Ketahun dengan suaminya yang tak
senonoh pikiran itu. Berhamburan air matanya menyadarkan nasibnya yang celaka.
Diluar angin berderu-deru juga dan gelap langit belum berkurang. Tak boleh
tidak akan turun hujan yang lebat.
Tetapi Jepisah tidak mengindahkan semuanya itu. Kepalanya amat sesak
memikirkan apa yang kejadian sejak petang tadi.
Tiba-tiba terperanjat ia dari menungnya mendengar tangga berderak-derak.
Tiada berapa lama antaranya naiklah Mansur dan Laminah. Jepisah tak dapat
menahan hatinya lagi; dipeluknya Laminah dengan sekuat-kuatnya dan ia pun
menangis tersedu-sedu. Mujurlah pada ketika itu turun hujan lebat, sehingga tak kedengaran oleh
Madang orang bertiga beranak itu bertangis-tangisan...
Hari telah parak siang. Hujan telah lama berhenti dan langit jernih seperti di gurun pasir.
Bintang-bintang berkelip-kelip, seakan-akan mata bidadari dari surga. Udara yang
jernih dan menguatkan masuk ke rumah-rumah, melelapkan orang tidur.
Jepisah, Mansur dan Laminah semalam-malaman itu tiada memicingkan mata
barang sepicing juapun. Bercakap-cakap pun tiada banyak. Masing-masing dengan
pikirannya. Hanya sebentar-sebentar kedengaran sedu yang ditahan.
Sekonyong-konyong berkatalah Mansur perlahan-lahan dan dengan suara yang
keparau-parauan: "Uncu, baiklah kami sekarang pulang ke rumah datuk; hari telah
hampir siang. Nanti kita didapati pak Uncu disini dan Uncu dianiaya pula.
Kamipun seboleh-bolehnya tak mau lagi bertemu dengan dia. Jangalah kita tuturkan
benar sedih hati kita itu. Tuhan pengasih dan penyayang akan hambanya. Siapa
tahu barangkali tiada berapa lama lagi kita dipertemukannya pula. Baiklah kita
keraskan hati dan meminta rahmatnya tiada putus-putus."
Meskipun yang penghabisan ini dikatakan Mansur dengan suara yang tetap,
tetapi dihatinya terasa olehnya bahwa perkataannya sia-sia belaka.
Susah siapakah pula yang dapat lenyap dengan perkataan saja, kalau pangkal
susah itu tiada dibuangkan"
"Benarlah katamu itu," sahut Jepisah. "Apakah gunanya kita menyusahnyusahkan hati. Asal sabut terapung, asal batu tenggelam. Takkan nasib itu
diubah dengan air mata. Tunggulah sebentar, boleh aku ambil pakaianmu."
Jepisah berdiri masuk kedalam.
Mansur memandang adiknya yang belum kunjung-kunjung berhenti tersedu-sedu,
seraya berkata dengan lemah lembut.
"Diamlah dik; kalau diturutkan hati yang pilu tiada kesudahannya. Semua
itu telah nasib kita benar; sekarang baiklah kita tawakkal saja. Tambahan pula
yang kita derita itu belum begitu sangat masih dapat juga kita tanggungkan.
Siapa tahu kalau-kalau di belakang hari kita ditimpa kesengsaraan dan
kemelaratan yang lebih dari itu. Akan putus asakah kita" Tentu tidak. Selama
masih ada hayat dikandung badan, kita harus berusaha dengan segala tenaga.
Sungguhpun demikian, berdoa jugalah, mudah-mudahan berhentilah penderitaan kita
ini." "Bukan begitu kak!" jawab Laminah. "Minah iba pada uncu. Akan tinggallah
ia seorang diri dengan orang buas itu. Sungguh, rasa-rasa hendak tinggal Minah
bersama-sama dengan dia, terapung sama hanyut, terendam sama basah. Bukan main
canggungnya ia kelak, tak ada teman bercakap sehari-harian. Kasihan ya, kak?"
"Itu janganlah engkau kuatirkan," ujar Mansur, "percayalah engkau kalau
kukatakan, bahwa sebenar-benarnya Madang itu hanya benci pada kita. Tetapi oleh
sebab uncu selalu membela kita, ia terbawa-bawa pula. Cobalah engkau dengardengar nanti, kalau kita telah meninggalkan negeri Ketahun ini; tak mungkin pada
pikiranku, kelakuannya tiada akan berubah. Siapakah yang tiada kasih pada
isterinya, pada bunda anaknya" Percayalah, dik! Kita inilah yang mencelakakan
uncu." Laminah tiada menjawab sepatah juapun. Terpikir olehnya, bahwa benar pula
kata saudaranya itu. Kalau demikian sebaik-baiknyalah ia selekas-lekasnya
meninggalkan negeri Ketahun itu, supaya uncunya jangan dibenci Madang lagi.


Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jepisah keluar dengan sebuah bungkusan di tangannya; diulurkannya pada
Mansur seraya katanya: "Inilah semuanya. Apa boleh buat, nak! Tak terkata-kata
sedih hati uncu melepas engkau berdua pergi ke negeri orang dengan pakaian
sejemput ini. Tetapi apalah daya uncu. Awak tangan dibawah."
Dibukanya bebatnya dan dikeluarkannya sehelai uang kertas sepuluh dan
sehelai uang kertas lima rupiah.
"Inilah pemberian uncu. Tak ada sesenpun lagi uang di pingganggu sekarang.
Hemat-hematlah engkau Mansur, sebelum mendapat pekerjaan. Nak, tahu-tahu membawa
diri di rantau orang."
Jepisah tiada dapat lagi menahan air matanya. Dipeluknya Laminah yang
belum juga berhenti tersedu-sedu dan diciumnya kening perawan kecil itu beberapa
kali. "Mansur!" katanya pula, "jangan benar engkau sia-sia kan anakku ini.
Inilah kataku tadi: kalau rasa tiada terpikul olehmu kembalikanlah ia padaku.
Sekarang pergilah engkau ke rumah datuk Halim. Hari telah pukul lima; sebentar
lagi bangun pak uncumu. Mudah-mudahan, anakku, berbahagialah engkau di rantau
orang!" Setelah anak berdua itu menyembah Jepisah, turunlah mereka menuju ke rumah
datuk Halim. Sebentar lagi Mansur mengambil tabung pekaknya dekat cucuran atap.
Di jalan mereka itu tiada mengeluarkan sepatah kata juapun; masing-masing
memikirkan perceraian dengan uncunya, yang barangkali untuk selama-lamanya itu.
Datuk Halim dan andung Seripah sebagaimana biasa telah bangun akan
sembahyang subuh. Heran orang tua suami-isteri itu melihat Mansur dan Laminah
pulang sebab ia tak tahu apabila anak yatim itu meninggalkan rumah. Sesudah
diceritakan Mansur dimana ia berdua beradik semalam-malaman itu tadi, berkatalah
andung Seripah: "Pergilah engkau keduanya mandi sebentar dan sudah itu
bersedialah. Sementara itu boleh aku masak nasi dan kalau sudah makan, mandi,
engkau akan diantarkan datukmu ke seberang..."
Kira-kira pukul enam bertolaklah dari kampung Terendam sebuah sampan
seludang. Dibelakang duduk datuk Halim dengan sebuah dayung ditangannya dan
ditengah-tengah Mansur dan Laminah, masing-masing memegang sebuah bungkusan.
Air sungai keruh dan deras oleh hujan semalam. Sampan-sampan belum banyak
kelihatan, sebab hari masih pagi benar.
Disana-sini ditepian banyak orang mandi dan ada pula yang mengambil air
atau mencuci periuk belanga.
Di hilir tepi sebelah kiri tertambat kapal "Sri Tandai" di muka gudanggudang maskapai. Disitulah delapan tahun yang telah lalu Mansur dan Laminah
dengan ayahnya menjual durian yang dibawanya dari mudik dan disitulah mereka itu
dikecoh oleh orang Cina jahanam ituddTetapi Mansur dan Laminah tiada ingat lagi
akan waktu itu. Tambahan pula sekarang banyak yang lain yang harus dipikirkan.
Tiada berapa lama lagi akan ditinggalkannyalah Ketahun, negeri tumpah
darahnya, pergi ke rantau orang.
Apabilakah tiba masanya ia melihat kembali rumah-rumah, jalan-jalan dan
sungai yang dikenalnya itu dan apa-bilakah pula ia akan bertemu lagi dengan
uncunya, datuk Halim dan andung Seripah dan orang lain yang selalu ramah
kepadanya" Benar, selama Mansur dan Laminah tinggal di Ketahun jauh lebih banyak
berlipat ganda ia merasai kesusahan dari kesenangan, tetapi sekarang lupa ia
akan semuanya itu. Hatinya pil tiada terkata-kata.
Itulah agaknya yang dikatakan orang cinta pada tanah air, pada tempat
tumpah darah. Seolah-olah ada suatu tali yang tiada kelihatan mengikat manusia
pada tempat ia pertama-tama kali melihat kebesaran Allah, pada tempat hidup
nenek moyangnya dahulu kala. Kalau dipikir-pikir, dikaji-kaji apakah bedanya
kita tinggal di tempat lahir sendiri atau di negeri orang, asal hidup kita
sempurna" Tak ada sebesar melukut! Tetapi kehendak alam lain. Pada mata kita
seburuk-buruk tanah air kita itu lebih tinggi juga derajatnya dari rantai orang,
malahan hendak kita memberi segala tenaga kita untuk memuliakannya, untuk
mengangkat semaraknya. Sungguh! cinta pada tanah air itu tiada dapat kita pikirkan dengan akal.
Kita bawa ia dari kandungan ibu seperti suatu pemberian Allah yang harus kita
hormati. Datuk Halim mendekatkan sampannya pada tangga. Mansur dan Laminah keluar
dan naik keatas tebing. Sesudah itu pergi orang tua itu menambatkan sampan di
hilir sedikit dan tiada berapa lama antaranya iapun sudah ada diatas pula
bersama-sama anak yatim piatu dua beradik itu.
Mansur dan Laminah disuruhnya menunggu sebentar; sementara itu ia pergi
bertanyakan apabila ada mobil berangkat ke Bengkulu. Malang didengarnya, bahwa
mobil yang harus berangkat hari itu, mesti menunggu barang-barang dari Lebong
Tandai dan selekas-lekasnya tiba senja nanti.
"Pada pikiranku," kata datuk Halim, "sebaik-baiknya engkau berdua sekarang
pulang dahulu ke rumahku. Besok pagi boleh kuantarkan lagi, sebab disini tak ada
tempatmu menginap malam ini."
Mansur dan Laminah tiada menjawab seketika.
"Mansur!" ujar orang tua itu lagi, "katakanlah bagaimana timbanganmu.
Apalah gunanya kita menunggu lama-lama disini."
"Kalau saya," sahut anak itu, "sedapat-dapatnya saya tiada hendak lagi
pulang ke kampung Terendam. Biarlah saya menumpang-numpang tidur di beranda
rumah orang. Tetapi saya tidak tahu bagaimana pikiran Minah. Kalau Minah suka
pulang ke seberang lagi, apa boleh buat, saya tentu akan menurut pula..."
Belum habis lagi perkataan Mansur, ujar Laminah: "Minah tiada juga hendak
lagi ke kampung Terendam. Takut Minah, kalau-kalau besok tiada tertinggalkan
lagi olehku negeri ini. Datuk, pergilah datuk pulang ke rumah. Kami ini jangalah
datuk kuatirkan amat. Masakan kami tiada dapat mencahari tempat bermalam untuk
semalam ini saja." Beberapa lamanya datuk Halim tiada tahu apa yang akan dikatakannya. Payah
ia memikirkan apa yang mesti dikerjakannya. Meninggalkan kedua anak itu disitu
terasa sia-sia amat olehnya. Tetapi sebaliknya terasa pula olehnya, bahwa mereka
berdua itu tiadakan mungkin dapat dipujuknya menurut dia.
Penghabisan akal berkatalah ia; "Sia-sia aku meninggalkan engkau dua
beradik disini; baik juga engkau menurutkan ke rumah."
Tetapi Laminah menjawab: "Ah, tuk, biarkanlah kami disini, janganlah datuk
cemas. Sungguh! Kami tiada pacak nian pulang ke seberang lagi."
"Alangkah keras hatimu, Laminah!" ujar datuk Halim, "rupanya telah
bersumpah engkau menjejak kampung Terndam. Tetapi sudahlah, kewajibanku telah
kujalankan, aku tiada bersalah lagi. Kalau begini, baiklah aku pulang. Tak ada
lagi yang aku tunggu disini."
Diambilnya sebuah sewah dari pinggangnya dan diberikannya kepada Mansur
sambil berkata: "Inilah cung, pemberianku untuk penjaga dirimu. Sewah ini pusaka
nenekku dan haruslah engkau jaga baik-baik. Kalau tiada perlu benar, janganlah
engkau lepaskan dari pinggangmu. Datuk tak dapat memberi apa-apa lagi, engkau
berdua tahu sendiri bagaimana keadaan kami. Sekarang kuucapkanlah cucuku selamat
jalan dan mudah-mudahan lekaslah kita bertemu kembali. Di rantau hendaklah
cucuku pandai-pandai mengambil hati orang. Seperti pepatah orang: Berkata
dibawah-bawah, mandi dihilir-hilir. Ingatlah! peribahasa yang halus dan adat
yang tertib itu dimana-mana saja dihormati orang. Tambahan pula, cucuku, engkau
harus sabar-sabar dalam segala pekerjaanmu. Harta benda dan keselamatan itu
tiada dapat kita cari dalam sehari dua. Semuanya itu datang lambat-laun,
sedikit-dikit. Penghabisan kuperingati engkau, jangan sekali-kali bercampur-gaul
dengan orang jahat, sebab hal itu tiada pernah membawa manfaat. Umur kita di
dunia ini paling lama tujuh puluh tahun, dan kalau kita dalam waktu yang
sependek itu telah terbuat kejahatan pula, sia-sia benar kita lahir ke dunia
ini. Sebenarnya masih banyak lagi akan kukatakan, tetapi sehingga ini
cukuplah..." Orang tua itu tiada dapat lagi menahan air matanya; diciumnya kening
Laminah dan Mansur berganti-ganti dan iapun turunlah ke air sambil mengucapkan:
"Selamatlah engkau di negeri orang."
Belum lima langkah lagi ia berjalan, iapun berbalik lagi, seraya berseru:
"Hampir lupa aku mengatakan padamu: kalau cucuku berdua tiada tertahan di rantau
orang, aku selamanya sedia akan menyambutmu. Jangan sekali-kali cucuku malu
mengatakan kesengsaraan padaku. Nah, cung, datuk pulang sekarang."
Ia terus turun kebawah dan tiada berapa lama antaranya kelihatanlah ia
dengan sampannya ditengah-tengah sungai Ketahun.
Tiba-tiba berkatalah Mansur pada Laminah: "Dik! bagaimanakah kita ini
sekarang" Akan bermalamlah kita disini, atau lebih baiklah kita berjalan
perlahan-lahan selama kita belum letih" Hari ini masih pagi benar dan kalau kita
berangsur-angsur barangkali sampai juga kita di Serangai atau di Selolong
sebelum matahari terbenam."
Pada pendapat Minah, benarlah kata kakaknya itu. "Apakah yang akan kita
tunggu sehari-hari disini," jawab Laminah. "Kalau kita hari ini sampai di
Serangai atau di Selolong, tentu esok pagi lebih murah sewa mobil kita."
"Jadi sama pikiran kita; apakah gunanya kita tunggu lama-lama lagi disini"
Sementara matahari belum tinggi inilah senang berjalan," kata Mansur dan anak
dua berbaik itupun berangkatlah masing-masing membawa sebuah bungkusan.
Mula-mula jalan yang ditempuhnya itu selalu mendaki, berliku-liku seolaholah jalan di pegunungan.
Kira-kira seperempat jam lamanya, tibalah mereka itu ditempat yang
tertinggi. Dari situ ia meninjau ke sekeliling. Jauh rendah sebelah utara
kelihatan sayup-sayup kampung Terendam: rumah-rumahnya yang kekelabu-labuan itu
seolah-olah permainan anak-anak yang terletak ditengah padang hijau yang taida
berhingga. Susngai Ketahun lambat tampaknya mengalir, seakan-akan ular besar yang
baharu mendapat mangsanya.
Di sebelah barat membentang lautan biru, laksana permadani yang lebar,
yang dihamparkan sampai ke tepi langit. Deru-deru ombak memukul di pantai redam
kedengaran, seperti angin yang lemah lembut membuaikan puncak-puncak kayu.
Dan disebelah selatan dan timur tiada lain kelihatan dari hutan yang
lebat, sejauh-jauh mata memandang.
Mansur dan Laminah takjub melihat tamasya yang tak ada bandingannya itu.
Berhenti mereka seketika, tetapi...ddsekonyong-konyong dengan tiada
sekehendak hatinya terkenang ia akan ayah dan bundanya yang telah bertahun-tahun
diimpit tanah. Sekarang akan ditinggalkannya mereka itu di tempat ia
beristirahat, barangkali untuk selama-lamanya.
Pilu hati Mansur dan Laminah memikirkan ia tiada dapat ziarah lagi ke
kuburan ayah dan bundanya yang dicintainya itu, sebelum ia meninggalkan negeri
Ketahun, negeri...kemelaratan dan kesengsaraan, siapa tahu"sampai putus
jiwanya.... Anak yatim-piatu da beradik yang maling itu tiada mengeluarkan sepatah
kata juapun. Air matanya tiada dapat ditahannya lagi dan gugur ke tanah sebagai
mutiara yang indah-indah...ddremuk-redam hatinya, memikirkan kekejaman
nasibnya.... 5. DI JALAN Beberapa lamanya Mansur " Laminah berdiri tepekur.
Sekalian yang telah dideritanya berganti-ganti terbayang-bayang dimukanya.
Sebentar terkenang ia akan hidup mengembara dari dusun ke dusun dengan ayahnya
dan seketika lagi terlihat-lihat olehnya muka Madang, algojo jahanam, yang tak
pernah jernih mukanya itu; terasa-rasa lagi oleh mereka itu tempeleng dan
terjang melekat di seluruh badannya.
"Dik!" bisik Mansur tiba-tiba, "sudahlah, janganlah kita pikirkan lagi.
Yang sudah, tingal sudah; kini kita telah jauh dari rumah. Sebenarnya, kalau
diturutkan hati tiada tertinggalkan negeri ini, sebelum kita mengunjungi makam
ayah dan bunda. Tetapi apa boleh buat; rupanya telah begitu ditakdirkan Allah.
Marilah kita berharap saja, moga-moga diperlindungi Tuhan jugalah hendaknya
beliau berdua diakhirat. Sekarang baiklah kita berangkat. Kalau kita lebih lama
tinggal di sini, hati kita bertambah pilu."
Mansur dan Laminah berputar dan ia pun berangkatlah menuju ke arah
Bengkulu. Dibelakangnya tinggal negeri Ketahun, tinggal sekalian penderitaannya
dan dimukanya terbentang dunia yang lebar. Apa pulakah yang akan ditemuinya di
kemudian hari...." Mereka itu berjalan beriring-iring, Laminah dimuka, Mansur dibelakang.
Oleh sebab batu tajam-tajam, dipilihnya jalan di tepi rumput.
Percakapan jarang kedengaran; masing-masing seolah-olah dibuaikan
pikirannya. Hari masih pagi; matahari belum jauh lebih tinggi dari puncak-puncak pohon
kayu yang seakan-akan diselimuti dengan kain benang emas; rumput-rumput lagi
basah-lecap oleh embun. Jalan sunyi-senyap benar. Hanya sekali-kali kedengaran teriak burung kuau
yang menakutkan siapa yang tiada biasa mendengarnya. Manusia hampir-hampir tiada
kelihatan; berpal-pal berjalan baru bertemu dengan orang yang hendak pergi ke
ladang atau yang baru pulang dari memikat burung punai.
Maka setelah Mansur dan Laminah beberapa jam lamanya berjalan, tibalah
mereka itu di hutan yang lebat. Kiri-kanan tumbuh pohon besar-besar dan daunnya
yang rimbun menahan cahaya matahari, sehingga sejuk udara dibawahnya.
Melihat itu tertariklah hati Mansur dan berkata ia pada adiknya: "Minah,
bagaimanakah kalau kita berhenti disini melepaskan lelah kita" Boleh kita makan
nasi yang dibekalkan andung Seripah tadi. Hari ini telah panas benar dan disini
bukan main sejuknya?"
"Jadi, kak!" jawab Laminah, "Minah sekarang tiada terkata-kata lagi
letihnya; baik benar kita berhenti seketika disini."
Anak yatim-piatu dua beradik itupun mencari tempat yang baik dan tiada
berapa lamanya antaranya duduklah mereka itu dekat pokok pohon damar yang besar
dan rindang daunnya. Dan bungkusan kecil dikeluarkannya dua bungkus nasi dengan sambal ikan
kering dan air teh sebotol. Mansur dan Laminahpun makanlah, masing-masing
menghabiskan bahagiannya yang tiada boleh dikatakan sedikit itu.
Siapakah yang tiada tahu bagaimana makan orang yang letih dan lapar
dibawah pohon kayu yang rimbun, serta diembus oleh angin yang sejuk" Bergulai
atau tiada bergulai, tak memberi selisih; nasih itu masuk seakan-akan barang
yang licin. Telah selesai semuanya, duduklah mereka itu seketika, sambil bercakapcakap ini dan itu.
"Dimanakah agaknya kita nanti bermalam?" tanya Laminah.
"Hari ini masih siang benar," sahut Mansur, "rasa-rasanya dapat kita
mencapai Selolong. Di sana nanti kita menumpang menginap di beranda rumah orang
saja; masakan tiada diperkenankan orang. Untuk makan, kita belilah roti dan
pisang sedikit seorang; bukankah cukup itu buat semalam. Besok pagi telah dapat
pula kita pikirkan yang lain."
"Ya," ujar Laminah, "itu mudahlah; tetapi, kakak bagaimanakah kalau
misalnya kita ditimpa hujan di jalan?"
"Ah, macam-macam saja cakapmu," jawab Mansur, "yang buruk itu jangan
diniatkan." "Bukan diniat-niatkan," kata Laminah, "bukankah kata Minah tadi, jikalau
misalnya! Siapa pula meminta-minta serupa itu?"
Mansur rupanya tiada mau meneruskan percakapan itu. Dipalingkannya
mukanya, seraya berkata pura-pura tiada kedengaran oleh perkataan Laminah:
"Barangkali telah tahu Madang sekarang, bahwa kita meninggalkan negeri Ketahun.
Apakah agaknya sekarang"'
"Tentu ia riang," sahut Laminah, "seperti mendapat durian runtuh. Janganjangan dia membakar kemenyan setinju, dan mendoa selamat membantai ayam. Siapa
pula tiada berbesar hati, kalau ia dilepaskan dari beban yang tiada disukainya.
Tetapi uncu Jepisah, sungguh iba hati Minah padanya. Bagaimanakah perasaannya
sekarang" Ia kasih benar pada kita. Tetapi hanya tiada kelihatan oleh sebab
takutnya pada suaminya. "Ya, mula-mula tentu canggung perasaannya," ujar Mansur, "tetapi tiadakan
berapa lama. Bukankah waktu itu tabib yang sebesar-besarnya. Lambat-laun tentu
lupa ia akan kita dan tentu terasa olehnya kelengangan dirumahnya. Tambahan
pula, telah kukatakan padamu semalam, sepeninggal kita pada adanya Madang
tiadakan bengis lagi pada isterinya. Percayalah engkau!"
Laminah diam seketika; sudah itu katanya dengan kening berkerut: "Kak,
bagaimanakah rasanya, pulang lagikah kita ke negeri Ketahun nanti atau tidak?"
"Itu tiada dapat kita tentukan," jawab Mansur. "Semuanya itu kehendak
Tuhan, bukan" Tetapi baiklah kukatakan terang-terang. Entah bagaimana, kakak
sendiri tiada tahu, tetapi waktu kita tadi meninggalkan negeri Ketahun kakak
seolah-olah mendapat gerak, bahwa perceraian kita dengan negeri tumpah darah
kita ini untuk selama-lamanya. Dibalik itu siapa tahu, semuanya itu bergantung
pada untung kita." Mendengar kata saudaranya itu Laminah memalingkan mukanya. Rupanya
perkataan kakaknya itu membangkitkan kembali pilu hatinya yang telah lenyap
tadi. Melihat adiknya itu menyesallan Mansur mengeluarkan gerak yang dirasanya
tadi itu. Beberapa lamanya mereka itu tiada bercakap-cakap, masing-masing


Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menundukkan kepalanya ke tanah.
Sekonyong-konyong berkatalah Mansur dengan suara yang sedih: "Dik,
sekarang matahari telah condong dan panaspun tiada seberapa lagi. Baiklah kita
mulai berangsur-angsur. Rasanya cukuplah kit amelepaskan lelah kita."
Laminah tiada menjawab: ia berdiri, dieratkannya ikat kainnya, di
perbaikinya sanggulnya dan musafir muda-remaja berdua beradik itu pun meneruskan
perjalanannya. Tiada berapa lama berjalan tibalah mereka itu dekat suatu paya yang
ditumbuhi oleh pohon-pohon rumbia. Diatas berlompatan beberapa ekor kera dari
pelepah ke pelepah, serta tak berhenti-henti berteriak-teriak.
Melihat itu mulai bangkit takut Laminah, tetapi ia tiada
memperlihatkannya. Dengan tiada setahunya sendiri, ia bertambah lama bertambah dekat berjalan
pada kakaknya. Mansur heran melihat adiknya makin lama makin mendesak itu, lalu
ia bertanya: "Takutkah Minah pada kera-kera itu" Ah, dibelakang rumah...."
Belum lagi habis kata Mansur, melompatlah dari balik pohon rumbia yang
tumbuh di tepi jalan itu seekor kera jantan sambil berbunyi sekuat-kuatnya.
Dengan sekejap mata Laminah berbalik dan berlari sekuat-kuatnya; oleh
sangat terperanjatnya bungkusan yang dipegang dilemparkannya ke dalam serokan di
tepi jalan itu. Kira-kira seratus langkah jauhnya anak yang malang itu tiada berdaya lagi
dan dijatuhkannya badannya ke tepi jalan keatas rumput. Mukanya pucat sebagai
mayat dan napasnya sesak oleh kepayahan.
Seakan-akan hilang semangat Laminah melihat kera itu melompat dengan mata
berkilat-kilat, sambil mengeluarkan bunyi yang ganjil.
Mansur berlari-lari anjing menurutkan adiknya dari belakang, sebab ia
telah tahueabahwa kera yang serupa itu tiada pernah membinasakan orang; kalau
dilihatnya orang yang ditakutinya itu lari, iapun menjauhkan dirilah. Lain
halnya beruk yang berekor pendek dan warnanya kekuning-kuningan. Itu sebenarnya
membinasakan kalau kita tiada lekas lari.
Setelah Mansur tiba dekat Laminah digosoknya keringat yang mengalir dari
muka adinya itu, seraya berkata: "Mengapa engkau setakut itu benar?" Engkau tahu
bahasa kera yang berekor panjang dan berkelabu-kelabuan, itu tiada menggigit.
Bukankah dibelakang rumah kita di Ketahun banyak kera yang serupa itu" Ah, dik!
Orang yang hendak merantau tiada boleh sepenakut itu."
Laminah tiada menjawab, sebab hatinya masih cemas. Lama lagi ia berbaring
di rumput. "Sekarang cukuplah, dik!" kata Mansur tiba-tiba, "marilah kita meneruskan
perjalanan kita. Nanti kita kemalaman tiba di Selolong dan payah mencari tempat
menginap." Laminahpun berdirilah, tetapi setelah dilihatnya bungkusan yang
dipegangnya tadi tiada ada lagi, berserulah ia: "Kak, mana bungkusan tadi?"
"Engkau lemparkan kedalam serokan itu," sahut Mansur, "marilah kita ambil.
Mujurlah ia tiada jatuh ke dalam air."
"Ah, kak," kata Laminah, "kera tadi masih ada dibalik rumbia itu. Sungguh!
Minah takut benar pada kera, meski bagaimana sekalipun warnanya. Sukakah kakak
melihat Minah nanti jatuh pingsan lagi" Tentu tidak! Baiklah kakak buru ia
dahulu." Mansurpun memungut beberapa buah batu dan didekatinya kera yang banyak
itu. Dalam sekejap lenyaplah sekalian binatang rimba itu dan Mansur dan
Laminahpun terus menuju ke arah Bengkulu.
Lama mereka itu memikirkan dan mempercakapkan gangguan kera itu. Apakah
maknanya" Tiada satu-satu saja datang mengalang-alangi sekalian perbuatannya!
Wallahu a'lam bissawab! Ditengah jalan anak berdua beradik itu banyak benar berhenti, sebab
Laminah letih sangat. Sejak dari Serangai mereka itu berjalan bersama-sama dengan kuli-kuli yang
pulang dari memperbaiki jalan yang runtuh oleh hujan semalam. Banyak benar
ditanyai orang-orang itu hal-ikhwal dan tujuan perjalanan mereka itu, tetapi
semuanya dielakkan Mansur, sebab kekerasan hatinya tiada melepaskan dia
menceritakan keadaannya yang sebenarnya. Pikirnya: Apakah gunanya aku
memberitahukan peruntunganku kepada orang lain" Akan dapat pertolongan tiada
mungkin. Sebanyak-banyaknya orang akan menunjukkan kasihannya saja dan
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi siapa pula yang dapat hidup dan berbahagia
dengan kasihan saja" Malahan siapa tahu menghargai dirinya, malu ia melihat
orang iba padanya." Sungguh! Mansur orang yang besar malunya. Di hati kecilnya telah
ditanamnya, bahwa ia dirantau orang akan bekerja, bekerja dengan segala
tenaganya. Pada perasaannya lebih baik lagi ia mati berkalang tanah, dairipada hidup
dengan minta-minta. Kalau ia telah tiada bergaya lagi, nah, pada waktu itulah
tiba saatnya ia berpindah dari negeri yang fana ini ke negeri yang baka.
Tetapi belum, sebelum ia mengeluarkan segala daya upaya dan usahanya,
belum, sebelum ia memperlihatkan kepada seisi dunia, bahwa ia orang mau, orang
yang berperasaan. Kira-kira pukul setengah lima tibalah Mansur dan Laminah dan sekalian
kuli-kuli itu di dusun Selolong dengan selamat.
Seorang dari pada mereka itu, yang terasa tertarik oleh peribahasa dan
adat Mansur dan Laminah yang sopan-santun, berkatalah: "Kemanakah maksud engkau
berdua ini sekarang" Akan bermalamlah engkau disini atau akan teruskah" Kalau
engkau berdua hendak menginap di negeri ini, boleh engkau dat ang ke rumahku
diujung sebelah sana."
"Entahlah," jawab Mansur, "maksud kami ini tiada tentu. Kalau kami
teruskan perjalanan kami ini, sampai kemanakah kami sebelum matahari terbenam?"
"O, kalau begitu," ujar orang itu lagi, "turut sajalah aku, boleh engkau
berdua kubawa ke rumahku. Sebab kalau engkau sekarang berjalan terus, pasti
engkau kemalaman ditengah jalan; dusun yang dekat-dekat disini tiada ada.
Tambahan pula perempuan kecil itu aku lihat telah lesu rupanya. Mengapakah
engkau hendak mengazab diri" Baiklah engkau berdua sekarang melepaskan lelah
dahulu dan esok pagi boleh engkau meneruskan perjalananmu."
Mansur memandang adiknya seketika seraya berfikir: "Benarlah kata orang
ini; Laminah sungguh letih. Dan di dusun lain nanti dimanakah akan bertemu
dengan orang sebaik ini."
"Kalau Minah turutkan sekarang. Minah rebahlah disini oleh kepayahan,"
sahut anak itu. "Pada perasaan Minah, baiklah kita turutkan mamak yang baik budi
ini." Dengan hal yang demikian Mansur dan Laminah pergilah mengikuti kuli yang
baik hati itu ke rumahnya di ujung dusun Selolong.
Dari jauh kelihatan pondok-pondok kecil, beratapkan daun lalang dan
berdinding pelupuh. Pekarangannya yang besar dan berpagar bambu ditumbuhi oleh
beberapa pohon nyiur yang setua-tuanya lima tahun.
Kuli itu menunjuk ke arah pondok itu, seraya berkata: "Itulah teratak kami
yang buruk, seperti sarang burung tempua. Hendaklah engkau berdua beradik dengan
senang hati menginap didalamnya dan menyantap apa yang dapat kami sajikan.
Maklumlah sendiri, kami ini orang miskin dan baru pula pindah kemari."
"Ah, mengapakah maka mamak berkata begitu," sahut Mansur, "kami telah
harus berbesar hati bertemu dengan orang yang sudi mengajak kami ke rumahnya.
Kalau tak ada mamak, siapa tahu, barangkali kami mesti bermalam di di beranda
surau, menjadi umpan nyamuk dan binatang-binatang lain. Sungguh, mamak! kami
harus meminta syukur."
Seketika Mansur berhenti; sudah itu berkata pula: "O, kalau sudah begitu
mamak bukan orang negeri ini. Bolehkah kami bertanya, dari dusun mana asal
mamak?" "Kami ini," sahut orang itu, "enam bulan yang telah lalu pindah kemari
dari dusun Palik, sebelah sana Lais. Sekalian kaum-keluarga kami tidak suka lagi
pada kami; sebab itulah kami membawa untung kami ke negeri lain. Pondok ini baru
kami beli dengan uang yang dapat kami longgokkan dalam enam bulan inilah."
Mendengar akuan yang lurus itu terasa oleh Mansur, bahwa ada persamaan
nasib kuli itu dengan dia berdua beradik.
Sama-sama ia meninggalkan tanah tumah darahnya pergi ke rantau orang akan
menumpang hidup. Sama-sama ia menderita kemalangannya dengan tulus ikhlas dan
sama-sama akan berusaha dan berdaya akan mencahari penghidupan yang sederhana.
"Dan engkau berdua ini hendak kemanakah?" tanya mamak itu.
"Maksud kami akan pergi ke Bengkulu," sahut Mansur.
"Oleh sebab hari ini tiada ada mobil yang berangkat dari Ketahun ke sana,
jadi terpaksalah kami berangsur-angsur jalan kaki dahulu."
"Apakah kerja engkau berdua di sana?" tanya orang itu pula.
Seketika Mansur tiada bercakap-cakap. Payah ia memikirkan apa yang harus
dijawabnya. Akan berdustakah ia" Tiada sampai hatinya berbohong pada orang yang sebaik
itu, yang menceritakan segala hal-ikhwalnya, dengan tak menaruh enggan sedikit
juapun, seolah-olah ia berdua beradik bukan orang lain.
Tetapi, jika dikatakannya semua takut ia kalau-kalau ia berdua ditahan
oleh mamak itu dirumahnya, takut ia kalau-kalau ia tiada dilepaskannya pergi ke
Bengkulu. Apakah jadinya ia berdua nanti" Akan tinggalkah ia di Selolong itu"
Tentu tidak! Dengan hal yang demikian berkatalah ia sekonyong-konyong: "Tiga bulan yang
telah lalu saudara mamak kami yang tua pergi ke Bengkulu mencari penghidupan.
Baru ini disuruhnya kami berdua beradik menyusulnya untuk menemani dia dua
suami-istri. Menurut suratnya telah dicarikannya untukku pekerjaan di suatu toko
disana." Mamak itu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata hampir-hampir
tiada kedengaran: "O, begitu!"
Sementara itu mereka bertiga itu tiba dimuka pekarangan. Dibukakan oleh
mamak itu pintu perlahan-lahan dan Mansur Laminahpun masuklah kedalam.
Anak berdua beradik itu melihat ke kiri dan ke kanan dengan keheranan.
Tiada disangka-sangkanya, bahwa di keliling pondok yang tiada dengan sepertinya
itu ada suatu kebun yang luas dan sebaik itu penjagaannya. Pagar sekeliling
kukuh dan rapat dan ditepinya tumbuh beberapa baris nenas. Tanah disebelah kanan
dan disebelah belakang teratak, baru dipangkur dan ditanami dengan ubi kayu;
disana-sini telah keluar tunas-tunas bibit itu kemerah-merahan. Disebelah kiri
membentang sebidang kebin kacang tanah yang baru naik; daunnya yang hijau muda
itu memberi pemandangan yang menyedapkan mata. Sungguh, sekalian isi kebun itu
menyatakan kerajinan dan kemauan hati yang bukan sedikit.
"Nah," kata mamak itu kepada Mansur dan Laminah sambil menunjuk ke kebunna
dengan muka berseri-seri: "Disinilah aku bekerja sehari-hari, kalau aku tiada
pergi mengambil upahan. Ubi kayu ini telah seminggu umurnya; lihatlah, setengah
sudah mulai bertunas. Dan kacang aku ini, kalau untungku baik, dua bulan lagi
telah boleh aku pungut hasilnya. Ah, pada pikiranku di dunia ini tak ada lagi
pencaharian yang lebih bagus dari pencaharian bercocok tanam. Buah usaha kita
dapat benar kita lhat. Bersungguh-sungguh kita bekerja, banyak kita mendapat
hasil; malas kita, tanggunglah sendiri. Itulah baiknya; pendapatan kita dapat
kita perbanyak atau perdikit sekehendak kita. Dari kecilku benar aku amat gemar
akan bercocok tanam. Ayahku dahulu pesirah dan kami bertiga bersaudara. Aku
ialah anak yang muda sekali. Kakakku yang tua kini menjadi pesirah menggantikan
ayah dan kakakku yang tengah meninggalkan kami dari mudanya. Entahlah! Aku
sampai sekarang belum mengerti akan perangainya. Dari umur lima belas tahun ia
telah tak senang lagi tinggal di dusun. Sebentar-bentar pergi ia ke Bengkulu,
tak dapat ditahan-tahan dan kalau tiada dijemput tak mau ia pulang ke kampung
halaman. Rupa-rupanya amat sempit terasa olehnya di dusun Palik yang kecil itu.
Kira-kira umur tujuh belas tuhun dapat ia bekerja pada tukang potret di
Bengkulu. Payah orang tuaku, yang merasa satu keaiban anaknya menjadi jongos,
memujuknya, mengajak ia pulang. Tetapi saudaraku itu keras tak mau, sehingga
bapakku berkecil hati. Dengan hal demikian, tiadalah ia ditegur-tegurnya lagi.
Kini khabarnya konon ia tak ada lagi di Bengkulu. Entah kemana perginya tak
tahulah aku. Sesungguhnya saudaraku yang seorang itu amat ajaib. Dengan tak ada
asal mulanya ditinggalkannya tempat yang senang akan pergi memperhambakan
dirinya." Orang ketiga itu telah tiba di pokok tangga pondok yang dari bambu
kekuning-kuningan itu. Dibalik pintu kelihatan duduk seorang perempuan dengan
anak perempuan kecil yang kira-kira baru berumur dua tahun dipangkuannya. Itulah
isteri mamak itu. Telah lama ia menanti dengan anaknya akan kedatangan suaminya dimuka
pintu. Melihat Mansur dan Laminah itu surut ia sedikit ke dalam supaya ia dapat
mengamat-amati mereka tu. Payah ia memikirkan siapakah gerangan orang berdua
itu. Orang dusun ini bukan rupanya, tetapi kalau orang dusun lain alangkah ramah
suaminya pada mereka itu. Ia tahu akan perangai suaminya, tiada suka bercakapcakap lebih dari perlu. Sedangkan di kampung Selolong itu tak banyak karibnya,
sebab ia tiada suka membuang-buang waktu mengomong disini mengomong disana.
Herannya bertambah-tambah, ketika dilihatnya suaminya membawa bujang dan
gadis kecil itu masuk kedalam pekarangan.
Dipasangnya telinganya terang-terangan dandicobanya dengar percakapan
mereka bertiga itu, tetapi bagaimana sekalipun tiada juga ia dapat menduga duduk
hal itu. Mamak itu naik ke atas diturutkan oleh Mansur dan Laminah.
"Anak berdua ini datang dari Ketahun dan malam ini ia mengincap disini,"
katanya pada isterinya. "Sekarang lekaslah engkau bersedia, kami ini lapar dan
dahaga...." "Dan engkau berdua naiklah," teriaknya pada anak berdua beradik itu,
"janganlah engkau malu-malu, ini ibumu dan adikmu. Buat sajalah seperti engkau
di rumah sendiri. O, ya, lupa aku tadi menanyakan nama engkau masing-masing."
"Namaku Mansur dan adikku ini Laminah!" sahut Mansur, "mamak panggil saja
kami pada nama kami."
"Baiklah," kata mamak itu, "aku ini biasa disebut orang sini mamak Palik,
sebab aku datang dari Palik."
Setelah Mansur dan Laminah menyembah ibung, mereka itupun duduklah di
sudut dekat bungkusannya melihat ke kiri dan kanan.
Lain benar rupanya pondok itu dari dalam.
Kecilnya tiada begitu kentara, meskipun dibagi dua pula oleh sebuah
dinding pelupuh. Bahagian dimukai dipakai untuk beranda dan dapur. Di sebelah
kiri terletak sekalian perkakas peladang, parang, tajak-menanjak dan beberapa
mata pangkur yang baru. Juga kelihatan disana tiga ikatan pandan yang telah
dijemur untuk dianyam jadi tikar. Di dinding tergantung dua buah lukah yang
besar dan kukuh dan sebuah sangkar burung punai dari bambu, yang kosong.
Disebelah kanan terletak tungku dan beberapa perkakas dapur seperti
periuk-belanga, tapisan, kukuran dan lain-lain. Diatas tungku terdapat sebuah
rak dari bambu yang penuh sarang labah-labah dan kehitam-hitaman kena asap;
disana tersusun beberapa buah gerigik yang kosong.
Bahagian belakang pondok itu dipakai untuk tempat tidur dan disitulah
terletak sekalian harta-benda mereka itu; dua buah peti kayu yang kumal dan
berlubang kecil-kecil oleh ketuannya, sebuah bakul bambu yang penuh dengan
perca-perca buruk pakaian anaknya dan sebuah lampu dinding. Di sudut terletak
dua buah kasur dan diatasnya terbentang kelambu gantung yang kotor kena asap.
Di pondok itu ada dua buah jendela, satu bahagian belakang dan satu pula
di bahagian muka dekat tempat tungku sehingga cahaya matahari cukup masuk ke
dalam. "Engkau berdua ini barangkali hendak pergi ke air membersihkan diri," kata
mamak Palik kepada Mansur dan Laminah, "sumur kami dibelakang dan timba terletak
dekat pokok tangga. Pulang dari sana nanti boleh kita makan dan bercakap-cakap.
Bungkusanmu itu tinggalkanlah disini, tak kan diganggu-ganggu orang."
Anak yatim-piatu berdua beradik itupun turunlah.
Sekarang dapatlah mamak Palik menceritakan pada isterinya, bagaimana
asalnya ia bertemu dan berkenalan dengan Mansur dan Laminah, bagaimana hatinya
tertarik oleh adat dan peribahasa mereka itu yang baik dan bagaimana
kesudahannya ia mengajak mereka itu bermalam di rumahnya.
Isterinyapun mengatakan, bahwa roman dan gerak-gerik orang berdua beradik
itu sesungguhnya menerbitkan kasih-sayang.
Apalagi Laminah, pandangan matanya yang tenang dan lembut itu seolah-olah
meminta iba kasihan dan perlindungan. Cakap-cakapnya perjalanannya dan
perawakannya, semuanya menunjukkan kelemahannya untuk menempuh peperangan hidup
dimuka bumi ini. Orang yang sehalus itu tiada dapat menahan gelora kesengsaraan;
dengan lekas akan hancur-luluhlan ia terbanting di karang.
Yang berpadanan ia lahir ditengah kekayaan, seperti bunga mawar seelokeloknya tumbuh di taman yang indah dan subur. Dan dari taman yang indah itulah
dapat baunya yang semerbak berserak ke segenap penjuru membawa udara yang sejuk
dan menyehatkan. Tetapi sekarang bunga mawar yang permai itu tumbuh di pasir yang kering
dan lambat banget tentu ia akan layu dan gugur oleh kekurangannya air dan pupuk.
Senja sesudah makan, duduklah mamak Palik tiga beranak dan Mansur dan
Laminah di ruang muka bercakap-cakap sambil minum kopi.
"Mansur," ujar mamak, "kata engkau tadi engkau akan bekerja di Bengkulu


Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada suatu toko. Sekarang aku tiada dapat menahan hatiku memberi engkau sebuah
petua, sebelum engkau meninggalkan teratak kita ini. Tadi telah kuceritakan pada
engkau berdua beradik, dari hal kakakku yang tengah dan telah kukatakan pula,
bahwa pekerjaan bercocok tanam ini amat baiknya. Kini aku ingatkan engkau jangan
sekali-kali menurut perangai saudaraku itu. Apakah gunanya kita meninggalkan
kampung halaman dan kaum-kerabat akan makan gaji sepuluh atau lima belas rupiah.
Di dusun kita sekadar yang sebanyak itu dapat juga kita cari. Cobalah
singsingkan lengan baju dan usahakan hutan rimba kita. Ah, engkau tak tahu
bagaimana besar hati seseorang peladang melihat tanamannya bagus naiknya dan
engkau belum pernah merasa, bagaimana berbahagianya ia kalau tanamannya telah
mulai berbunga. lupa ia akan sekalian susah payahnya dahulu waktu ia menebang
pohon-pohon kayu yang besar, waktu ia memasang pagar dan waktu ia memangkur.
Semua susah-payahnya itu seolah-olah berlipat ganda diganti oleh harapan yang
makin hari makin besar. Mansur, sesungguhnya engkau aku peringatkan jangan amat
lama tinggal di Bengkulu. Kalau engkau agak besar sedikit lagi, pulanglah ke
dusun dan angkatlah pangkur akan mengusahakan tanah. Hidup orang tani amat tetap
dan sentosa." Semua katanya itu didengar oleh Mansur dan Laminah dengan sepenuh-penuhnya
hati. Tambahan pula Mansur belum pernah mendengar orang bercakap serupa itu.
Selama ini selalu pada pikirnya, bahwa negeri yang besar itu timbunan uang.
Barang siapa tinggal di dusun tumpah darahnya tak ada harapan akan mendapat
penghidupan yang sederhana.
Tetapi mendengar uraian mamak Palik itu ia mendapat pemandangan yang baru.
Keesokan harinya bangunlah seisi pondok itu pagi-pagi benar dan kira-kira
pukul sembilan berangkatlah Mansur dan Laminah dengan mobil dari dusun Selolong
membawa kenang-kenangan yang bagus dan yang tak mudah dilupakan.
6. DIRANTAU ORANG Mansur dan Laminah telah hampir lima jam lamanya duduk di mobil. Beberapa
kampung dan dusun dilaluinya dan beberapa barang yang belum pernah dilihatnya,
ditemuinya di jalan. Maklumlah orang yang belum pernah meninggalkan dusun Ketahun; semuanya,
dusun-dusun yang besar, kebun-kebun kopi, jambatan-jambatan dan lain-lain
menerbitkan keheranannya.
Di Lais mobil berhenti lebih dari setengah jam. Mansur dan Laminah turun
seketika melihat-lihat negeri orang itu. Dimuka rumah tuan kemendur lama mereka
dua beradik itu tegak-tegak.
Kini negeri Bengkulu tiada berapa jauh lagi. Dusun Pondok Kelapa dan dusun
Pedati telah terlampaui dari jauh telah kelihatan Sungai Itam.
Mobil tiada mengurangkan atau melebihkan kekuatannya.
Bunyi mesin kedengaran mendengung, seolah-olah bunyi kumbang yang pulang
ke lubangnya. Dalam sekejap mata jambatan kecil diatas air yang kehitam-hitaman
itu telah tertingal pula.
Mobil terus juga berlari. Kebun-kebun di tepi jalan makin rapat dan
disana-sini kelihatan sawah-sawah yang baru dituai. Sebentar-sebentar jalan lalu
dekat pantai dan dari jauh nampaklah sesayup-sayup mata memandang gentinggenting di pelabuhan negeri Bengklu, kemerah-merahan kena cahaya-matahari.
Tiada berapa lama lagi antaranya berdegar-degarlah mobil masuk jambatan
pasar Bengkulu dan Mansur dan Laminahpun sampailah ke negeri yang ditujuinya.
Supir dua bertanya kepada sekalian penumpang, dimana masing-masing hendak
turun. Tiba pada Mansur, menjawablah ia: "Kami turun dekat tempat toko-toko."
"Dekat tempat toko-toko?" tanya supir dua itu, "dimana itu" Aku tiada
tahu." "Ah," jawab Mansur. "Masakan abang supir tiada tahu dimana banyak tokotoko. Disanalah nanti turunkan kami."
Supir dua itu diam sebentar; sudah itu katanya lagi: "Di kampung Cina, apa
bukan?" "Ya, benarlah!" jawab Mansur mujur-malang.
Dengan sekejap mobil melintas kampung Bukit dan kampung Bali masuk Pokok
Keroya akan bertimbang. Dari sana ia menuju ke kampung Cina.
Mansur dan Laminah takjub melihat rumah yang besar-besar dan molek-molek.
Lain benar halnya dengan Ketahun, negeri mati itu.
Jalannya yang besar dan datar itu berlipat ganda bagusnya dari jalan di
negeri tempat tumpah darahnya.
Anak yatim-piatu dua beradik itu tiada bercakap-cakap. Tercengang-cengang
mereka memikirkan apakah gunanya rumah yang besar-besar itu seperti kantor dan
rumah Residen, rumah Sekretaris dan rumah orang Eropa yang lain-lain.
"Alangkah kaya-kayany aorang disini," pikir orang berdua beradik itu.
Melintas di tanah lapang Padang Gereja, bertanyalah Mansur pada supir dua:
"Abang, apakah gunanya tanah lapang yang besar ini?"
"O, itulah tempat orang petang-petang main bal," sahut supir, "cobalah
engkau nanti sore-sore datang kemari, boleh engkau lihat orang beratus-ratus
disini." Mansur menganggukkan kepalanya seraya terkenang ia, bahwa setahun yang
lalu ada orang Padang membawa bal dari kulit sebesar kepala ke Ketahun.
Diajaknya kawan-kawannya pergi ke pantai dan disana mereka itu bersepak raga.
Dengan hal yang demikian sampai mobil ditengah-tengah kampung Cina dan
Mansur serta Laminahpun turunlah masing-masing menjinjing bungkusannya.
Seketika mereka itu termangu-mangu melihat ke kiri dan ke kanan, seolaholah hantu kesiangan; heran mereka itu menengok toko yang besar-besar dan
bertingkat-tingkat itu. Sekonyong-konyong berkatalah Laminah: "Kak! pergi kemanakah kita sekarang"
Apalagi yang kita tunggu disini?"
"Nantilah sebentar," jawab Mansur, "Janganlah engkau gusar. Hari ini juga
kita harus mencari pekerjaan, supaya kita jangan menumpang-numpang lagi dimanamana. Waktu kita masih banyak benar. Pada taksiranku sekarang belumlah lewat
dari pukul tiga." Sejurus lagi ujar Mansur: "Minah, marilah kita coba pergi kesana, ke toko
yang besar itu. Kalau kita diterimanya untuk membersihkan barang-barang atau
untuk menyapu-nyapu dan mengangkat-angkat air, jadilah. Buat sementara janganlah
kita memilih-milih amat, asal kita jangan terlantar. Nanti kalau kita telah lama
disini, dapat kita mencari pekerjaan lain."
Laminah setuju dengan perkataan saudaranya itu dan orang berdua beradik
itupun pergilah ke toko yang besar itu. Untung akan baik tokeh empunya toko
sedang berdiri-diri dimuka tokonya. Mansur menghadapnya seraya berkata dengan
hormat: "Tokeh! Hendaklah tokeh menerima kami berdua bekerja pada tokeh?"
Orang Cina yang gendut itu terkejut serta dikerurkannya keningnya dan
menyahut dengan suara yang kasar "Mau kerja apa disini" Saya tidak ada mencari
orang." "Barangkali," ujar Mansur dengan suara yang lemah-lembut, "untuk
pengambil-ambil air atau penyapu-nyapu toko. Dan adik saya ini boleh pula
membersih-bersihkan pinggan dan mencuci-cuci baju."
"Tidak!" jawab Cina itu dengan pendek dan benci. "Saya tidak perlu orang.
Orang saya lebih dari cukup. Nyahlah engkau."
Dengan kemalu-maluan Mansur dan Laminah menjauhkan diri. Sangat hina
terasa orang berdua itu diusir seperti binatang, tetapi apa boleh buat. Orang
yang meminta selalu dibawah, bukan"
Kalau kecut sekali hatinya oleh pertemuan pertama kali ini, tentu ia akan
mati kelaparan do rantau orang; oleh sebab itulah Mansur mencoba membesarkan
hati adiknya, seraya berkata: "Ah, janganlah kita pedulikan amat Cina gendut
itu. Mujurlah orang di dunia ini tidak sesombong itu semuanya.
Cobalah lihat nanti; asal saja sabar, tentu dapat kita apa yang kita cari.
Jangan mudah benar putus asa. Sepala-pala mandi basah!"
Anak yatim-piatu dua beradik itu masuk kedalam toko sebelah lagi. Disini
mereka itu diterima oleh seorang nona, yang tiada kunjung-kunjung berhenti
tersenyum. "Nanti sajalah kamu berdua datang lagi kemari," katanya dengan suara yang
merdu kepada Mansur dan Laminah, "sekarang orang tuaku tak ada di rumah. Rasarasanya perlu benar ia orang gajian."
Orang berdua itu keluar dari sana dan masuk pula ke dalam toko yang
ketiga. Disanapun mereka itu diterima dengan baik; tetapi malang, tokeh itu tak
ada mempergunakan orang baru.
Di toko yang keempat itu hanya dapat bertemu dengan bujang toko saja,
sebabtokeh sedang bersantap. Mansur dan Laminah tiada hendak menunggu dan mereka
pun menujulah ke toko yang lain. Demikianlah mereka itu beberapa kali keluar
toko masuk toko, tetapi pekerjaan yang dicari belum juga dapat. Akhirnya anak
dua beradik itu berdiri dimuka toko roti.
"Masuklah kita disini?" tanya Mansur pada adiknya.
"Janganlah, kak!" sahut Laminah, "lagi toko yang besar-besar tak ada
mempergunakan orang, konon pula toko yang serupa ini. Cobalah kakak lihat,
manakah barang-barang yang dijual disini. Lemaripun hanya sedikit."
"Bukan begitu, Minah," ujar Mansur lagi, "inilah yang dinamakan orang toko
roti. Lihatlah anak yang baru keluar itu, diatas kepalanya dijunjungnya senyiru
roti. Marilah kita coba juga masuk disini."
Baru saja habis perkataan Mansur, keluarlah dari toko itu seorang
perempuan Cina yang tiada boleh lagi dikatakan muda. Rupanya sekalian perkataan
orang berdua beradik itu terdengar olehnya, sebab pada ketika itu juga ia
berseru pada Mansur dan Laminah: "Apakah yang hendak engkau cari disini?" Kalau
hendak pekerjaan datanglah kemari, kami sedang kekurangan orang benar."
Mansur dan Laminah tiada menunggu lagi nyonya Cina itu mengulangi
perkataannya. Dengan segera mendekatlah mereka itu, Mansur dahulu dan diturutkan oleh
Laminah. Taklah dapat dikatakan, bagimana besar hati orang berdua beradik itu,
tambah-tambah Laminah. Telah jemu ia keluar toko, masuk toko itu.
"Sungguh, nyonya?" tanya Mansur, seperti orang yang tiada percaya akan
kemujurannya, "kami ini mencari pekerjaan yang benar."
"Mengapa pula tiada sungguh?" jawab nyonya Cina itu dengan kemarah-marahan
sedikit, "sangkamu aku mempermainkanmu" Tidak sekali-kali! Turutlah aku, kalau
mau benar." Habis perkataannya ia pun masuklah kedalam, diiringkan oleh Mansur dan
Laminah. Mereka itu tiba di bilik besar yang tak lain isinya dari roti yang baru
diangkat. Anak yatim-piatu berdua itu tiada dapat menahan air liurnya melihat
penganan yang berkilat-kilat dan semerbak baunya itu. Belum pernah mereka itu
melihat roti yang berminyak-minyak seindah itu, usahkan memakannya. Banyak benar
selisihnya dengan roti yang dijual orang di Ketahun; rupanya telah kumal
kekabur-kaburan dan baunyapun tak harum lagi.
Nyonya itu membawa Mansur dan Laminah pada suaminya yang duduk di sudut
memeriksa roti-roti baru diangkat.
"Orang ini hendak mencari pekerjaan," katanya dengan suara yang nyaring,
pada pikiranku dapatlah ia menggantikan Usup dan Saleh. Apakah gunanya kita
menanti-nantikan orang berdua itu lagi" Entah telah tiba dilangit mana mereka
itu sekarang?" Usup dan Saleh ialah dua orang bujang toko roti yang baru minta tempo
sehari, oleh sebab masing-masing ada keperluan di rumahnya yang tiada berapa
jauh dari Bengkulu. Sekarang telah empat hari mereka itu tiada kembali dan tak
ada mengirim suatu khabarpun jua. Hal ini sangat membingungkan tokeh; sekalian
bujangnya yang lain tak berhenti-henti bersungut, sebab kebanyakan kerja. Kalau
terus serupa itu, tetap mereka itu minta lepas semuanya dan toko roti akan
terkatung-katunglah. "O, benarlah katamu itu! Aku telah lama juga bermaksud begitu," sahut
suaminya, sambil ia berdiri mendekat, "Usup dan Saleh itu baiklah kita
keluarkan; itu salah dia sendiri. Masakan kita menunggu berdua sampai hari
kiamat. Engkau berdua ini orang mana?" tanyanya pada Mansur, "dan dimanakah
engkau telah bekerja?"
"Kami orang Ketahun," sahut anak itu, "dan baru tiba sebentar disini."
Sangat girang baba itu mendengar perkataan Mansur, sebab ia tahu, bahwa
orang yang berasal dari dekat-dekat negeri Bengkulu biasanya tiada tahan bekerja
lama. Terasa olehnya agak berat sedikit, iapun minta keluarlah, sebab apa
ditakutkannya: sanak-saudaranya yang akan memberinya makan tiada berapa jauh.
Lain halnya dengan orang yang datang dari negeri atau kampung yang berpuluhpuluh pal jauhnya. Pertama-tama mereka itu biasanya meninggalkan kampunghalamannya dan kaum kerabatnya oleh sebab kehilangan akal di dusun sendiri.
Tambahan pula kebiasaannya mereka yang serupa itu malu, kalau ia pulang dari
rantau tak membawa suatu apa.
Dengan hal yang demikian terpaksalah ia bekerja berhati-hati.
Pun sangat membesarkan hati baba itu pula mendengar kata Mansur, bahwa ia
baru sebentar inilah tiba dari Ketahun, jadi belum pernah bekerja dimana-mana
juapun. Bukankah orang yang baru mulai bekerja itu belum kenal akan putar-belit,
kecoh-mengecoh dan lain-lain"
Tetapi sebagai orang yang tahu berjual-beli, berkatalah tokeh itu: "Payah
benar memakai engkau ini, sebab engkau belum tahu suatu apa. Tetapi biarlah aku
coba dahulu. Sehari dua hari ini engkau bekerja di dapur menolong-nolong orang
memasak roti. Tetapi kalau sedang tak ada pekerjaanmu hendaklah engkau berjalanjalan melihat negeri ini, sebab sedikit hari lagi engkau mesti menjual roti.
Enghau harus tahu sekalian jalan-jalan disini. Maukah engkau menerima pekerjaan
ini?" Mansur menganggukkan kepalanya alamat setuju.
"Dari hal gajimu," kata baba pula, "buat sementara ini engkau dapat tujuh
rupiah sebulan. Nanti kalau engkau bekerja berhati-hati boleh aku naikkan. Dan
engkau boleh tinggal disini. Atau adakah engkau barangkali kenalan diluar?"
Mansur menyahut: "Tidak, tokeh!"
"Jadi tinggallah engkau disini," kata tokeh itu, "makan engkau dapat
dariku." Sudah itu ia menunjuk pada Laminah sambil berkata: "Dan perempuan kecil
ini siapakah?" "Adikku," sahut Mansur, "kalau dapat ia hendak bekerja juga disini
menolong-nolong mencuci baju atau memasak roti."
Cina itu berpikir sekejap; sudah itu katanya: "Itu payah benar, tetapi"nah
bolehlah. Ia dapat juga tinggal disini dan kuberi empat rupiah sebulan. Sekarang
pada pikiranku, engkau berdua janganlah pergi kemana-mana. Turutlah aku, boleh
aku tunjukkan tempat tinggalmu."
Mansur dan Laminahpun menurut menuju ke dapur.
Tiada terkata-kata besar batin mereka itu mendengar sekalian kata tokeh
itu, sekarang tak usah lagi mereka cemas mati kelaparan atau hidup minta-minta.
Rupa-rupanya berhentilah sekalian penderitaannya...
Mansur dan Laminah telah lebih kurang tiga minggu bekerja di toko roti.
Mereka itu bekerja selalu dengan bersungguh-sungguh hati. Mula-mula semuanya
terasa janggal; keliling, teman-teman bekerja, perkakas-perkakas, dan
pekerjaanpun terasa baru dan kaku.
Maklumlah orang yang tak pernah pergi ke kota!
Tetapi lambat-laun semuanya itu menjadi biasa. Bukankah kata orang tuatua: "Hlang bisa karena biasa?"
Tambahan pula pekerjaan mereka itu tiada berat, kalau dibandingkan dengan
pekerjaan masa di negeri Ketahun dahulu. Pukul satu atau pukul dua, kalau roti
telah masak, bolehlah dikatakan habis sekalian pekerjaan dan dapat mereka itu
melepaskan lelah. Dan lagi hidup mereka itu sekarang jauh lebih teratur dari
dahulu. Makanannya sederhana, tak melebih-lebihi dan tak pula boleh dikatakan
tiada mencukupi seperti di rumah Madang, semuanya disitu seolah-olah ditakar
dengan teliti. Tempat tidur orang berdua beradik itupun jadilah. Mansur tidur di dapur
dengan bujang-bujang lain diatas bangku-bangku yang dialas dengan tikar dan
Laminah didalam dengan koki dan babu, pun diatas bangku-bangku yang dialas
dengan tikar. Sejak kemarin Mansur mulai menjual roti sekeliling negeri. Pagi-pagi pukul
delapan berangkat ia dari toko dan pulang kira-kira pukul sebelas. Pukul
setengah lima petang ia pergi lagi berjaja dan kembali kalau matahari telah
terbenam. Pekerjaan itu auh benar dari berat, tetapi salahnya ia boleh dikatakan
sehari-harian tiada di rumah, sehingga Laminah selalu tinggal sendiri.
Hal inilah nanti yang akan mendatangkan beberapa perselisihan. Sebabnya
Laminah seorang perempuan dan diantara kawan-kawan Mansur bekerja banyak yang
datang dari lorong-lorong yang tiada begitu harum namanya, yang rendah dan hina.
Tentu mereka serupa itu tiada tahu adat yang tertib dan senonoh dan tiada tahu
sopan-santun seperti orang baik-baik.
Bukankah dari telaga yang keruh itu mengalir pula air yang keruh"
Mereka itu biasa membenang perempuan sebagai mahkluk yang rendah dan yang
berperasaan, yang dijadikan Allah subhanahu wata'ala semata-mata untuk memberi
kesenangan kepada laki-laki, makhluk yang setinggi-tinggi derajatnya.
Lupa orang yang serupa itu, bahwa ia juga beribu yang melahirkannya ke
dunia, yang membesarkannya dengan beberapa susah-payah, yang mendidiknya dengan
segala daya-upaya dan kecintaan!
Lupa mereka itueabahwa ia bersaudara perempuan yang disayanginya, yang
tiada terlihat olehnya diganggu atau diusik orang.
Dan lupa pula mereka itu akan hukum hidup yang pendek dan jelas ini: Apa
yang tidak kita sukai dikerjakan orang pada kita, jangan pulalah kita kerjakan
pada orang lain. "Mencubit diri sendiri," itulah yang kerap dilupakan kebanyakan manusia.
Sebabnya, kalau ia telah "mencubit diri sendiri" dan telah merasa "kesakitan"


Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cubitan itu, tentu ia berpikir beberapa kali dahulu sebelum ia mencubit orang
lain. Dan empat dalam lima perkara, pasti terasa olehnya berapa besar dosa yang
akan diperbuatnya itu, sehingga tak jadi dikerjakannya.
Hari pertama Laminah tinggal sendirian di rumah, tak suatu apa terjadi; ia
tidak diganggu-ganggu orang. Hari yang kedua, ketiga dan keempat pun demikian
pula. Tetapi lama-lama mulai kelihatan, bahwa beberapa orang dari bujang-bujang
itu rupa-rupanya mencari-cari jalan supaya dapat bercakap-cakap dengan Laminah.
Anak yang belum tahu suatu apa itu tak menaruh syak atau sangkaan satu
juapun. Semuanya dipandangnya biasa; kalau orang bertanya suatu padanya, masakan
tiada dijawabnya. Tiada benar terpikir olehnya barang sekejap, bahwa dibalik
pertanyaan itu tersembunyi maksud yang lain, yang dalam.
Sebenarnya, hatinya masih sangat putih; belum tahu ia kelik-kelik dan
liku-liku hidup di dunia ini dan belum pernah ia bertemu dengan kerendahan dan
kehinaan. Sedikitpun tak disangka-disangkanya, bahwa pergaulan hidup ini penuh
ti-pu-da-ya dan kekejian dan tiada disangka-sangkanya masing-masing harus
berhati-hati menjaga dirinya, supaya jangan terjerumus ke dalam jurang yang
penuh lumpur yang busuk dan supaya jangan ditarik dan dihanyutkan arus ke lautan
kehinaan. Langit pemandangannya masih seperti langit pemandangan anak-anak, jernih
dan penuh bintang yang gemerlapan.
Ya, disebelah timur membentang mega yang hitam, tetapi semuanya itu telah
kekabur-kaburan. Kekejaman Madang dan sekalian penderitaannya di negeri Ketahun
telah hampir luput sama sekali dari kenang-kenangannya.
Sekarang matanya hanya dipandangkan ke cahaya bulan sabit yang baru timbul
disebelah barat, seolah-olah suatu pengharapan yang baru terbit.
Telah terasa-rasa olehnya, bahwa ia sekarang mulai mengecap kesenangan
hidup, dan seperti katak dibawah tempurung dikiranyalah, bahwa hidupnya yang
boleh disebut senang dalam beberapa minggu yang akhir ini, permulaan
kesejahteraan yang tak terhingga.
Dari jauh terlihat-lihat olehnya melambai-lambai suatu surga, suatu
firdaus yang penuh kesentosaan.
O, katak dibawah tempurung! Nanti akan engkau lihat angan-anganmu yang
tinggi itu roboh dan hancur-luluh jatuh ke tanah dilanggar topan kekejaman dan
keganasan hidup.... Demikianlah bujang-bujang laki-laki di toko roti itu makin sehari makin
ramah pada Laminah. Lebih-lebih Darwis dan Malik, tak ubah seperti lebah yang
mengurungi bunga yang baru kembang. Asal saja tak ada kerjanya sekejap, mereka
telah dekat perawan kecil itu akan menolong-nolong. Dan kalau mereka pulang dari
berjalan-jalan, tetap ada-ada saja yang dibawanya pulang.
Demikianlah mereka itu seolah-olah berebut-rebut mengambil hati Laminah.
Anak yang tiada berdosa itu menerima semuanya dengan syukur. Tiada sedikit
juapun disangkanya, bahwa semua kebaikan itu mengandung maksud yang barangkali
boleh membawa ia kedalam kesusahan.
Dengan hal yang demikian raksasa waktu terus juga berjalan. Hari berganti
dengan minggu, minggu berganti dengan bulan dan bulan telah menjelang tahun
pula. Orang berdua beradik itu selalu bekerja dengan senang hati dan tokeh pun
amat girang dengan bujangnya berdua itu. Tak pernah mereka, seperti bujangbujang lain minta tempoh barang sehari, dan sekalian-pekerjaan dikerjakan mereka
dengan rajin dan teliti. Tak mengherankan, kalau tokeh telah beberapa kali bercakap dengan
isterinya akan menaikkan gaji mereka itu; tetapi isterinya selalu berkata:
"Tunggulah dahulu. Apa gunanya kita tergesa-gesa. Lihatlah, sudah sebulan ini,
belum cukup setahun mereka itu bekerja pada kita."
Baba membenarkan perkataan isterinya itu dan oleh sebab itulah sampai
sekarang gaji Mansur dan Laminah masih seperti dahulu juga.
Sementara itu anak yatim-piatu berdua itu makin sehari makin besar.
Laminah telah kelihatan seperti anak perawan benar. Badannya jauh lebih
berisi dari dahulu dan mukanya yang berseri-seri itu dahulu kemerah-merahan,
laksana bunga mawar yang terbuka kena cahaya matahari pagi-pagi.
Dalam hari setahun selama ia di Bengkulu itu, Laminah telah menjadi
seorang gadis yang menarik hati.
Tambahan pula pakaiannya jauh berlipat ganda lebih teratur dari masa di
Ketahun dahulu. Mansur tiada berapa banyak perubahannya. Badannya bertambah tegap dan
kukuh dan alisnya bertambah lebat. Ia pendiam, tak suka berolok-olok dan
bergurau dengan tamannya sekerja. Kalau pekerjaannya selesai, ia senantiasa
duduk termenung atau bercakap-cakap dengan adiknya.
Ketegapan badannya dan perangainya yang pendiam itu seolah-olah
meninggikan gengsinya. Bujang-bujang yang lain tiada berani mempermain-mainkannya dan inilah pula
agaknya sebab maka Laminah sampai sekarang tiada diganggu-ganggu orang.
Takut rupa-rupanya teman-temanya bertentangan dengan tangannya yang besar
dan keras itu. Dengan hal yang demikian Laminah terpelihara dadri usikan Darwis, Malik
dan bujang yang lain-lain. Mereka hanya berani beramah-ramahan saja.
Sesungguhnya, hidup manusia ini tiada tentu. Kegirangan hari ini, esok
bertukar menjadi duka, dan sebaliknya.
Demikianlah terjadi atas diri Laminah.
Dalam beberapa hari yang akhir ini ia selalu merasa kuatir tak tentu
sebabnya. Kalau ia sedang asyik bekerja, kerap kali badannya gemetar, seperti
orang kedinginan. Tidurnya tak nyenyak lagi seperti dahulu; tiap-tiap malam ia diganggu oleh
mimpi yang ngeri. Sekali ia berteriak sekuat-kuatnya, sehingga bangun seisi toko
roti itu. Dalam tidurnya itu nampak olehnya seorang yang besar dan tinggi serta
hitam mendekatinya hendak mencekaunya. Bukan main takutnya, sebab itulah ia
berteriak minta tolong sekuat-kuatnya.
Semua perasaan dan mimpinya itu diceritakannya kepada kakaknya. Tetapi
Mansur selalu berkata: "Ah, itu perasaanmu saja! Tak mengapa itu, sedikit hari
lagi tentu semua akan lenyap sendiri. Janganlah engkau cemas amat."
Meskipun bagaimana juga kata Mansur, perasaan Laminah yang tak senang itu
tiada hendak hilang, malahan makin sehari makin bertambah.
Kebetulan belum beberapa minggu yang telah lalu, tokeh toko roti itu
menerima seseorang bekas kuli kontrak untuk mengerjakan pekerjaan yang beratberat di dapur. Orang itu, Sarmin namanya, sekarang pergi ke onderneming tempat
ia bekerja dahulu akan menguruskan sangkutannya dan akan kembali penghabisan
bulan menerima pekerjaannya yang baru.
Jadi kalau tak ada suatu halnya ia akan datang tiga hari lagi.
Pada hari yang ditetapkan itu iapun tibalah. Badannya pendek dan sikap.
Pada perawakannya jelas kelihatan, bahwa ia biasa mengerjakan pekerjaan yang
berat. Kulitnya yang hangus itu mengadakan ia banyak berpanas dan senantiasa
bekerja dengan badan terbuka. Mukanya bundar dan lebar dan tiada tentu
bentuknya. Kening yang sempit dan rendah itu seolah-olah mengatakan, bahwa
kepala yang besar dan panjang kebelakang itu tiada seberapa isinya, bahwa si
Sarmin masuk bahagian manusia yang tak banyak berpikir.
Mulutnya lebar dan "dihiasi" oleh gigi yang hitam dan kotor oleh sirih dan
tembakau sugi, dan matanya yang kecil dan kemerah-merahan itu liar, tak kunjungkunjung tenang, seperti mata orang yang tiada mempercayai kelilingnya.
Si Sarmin sesungguhnya masuk golongan manusia yang dibawah sekali, masuk
golongan manusia yang berkemegahan "kekuatan tulang dan uragnya" saja. "Kekuatan
tulang dan uratnya" itulah pedomannya, itulah temannya dan itulah pencari
rezekinnya! Dengan "kekuatan tulang dan uratnya" itulah ia mengukur derajat orang dan
dengan "kekuatan tulang dan uratnya" itu pulalah ia mempertahankan dan membela
dirinya! Semua pekerjaannya, semua maksudnya, semua usahanya, semua cita-citanya,
pendeknya "hidupnya" bertali dan bergantung pada tenaga badannya.
Adatnya kasar seperti adat serdadu dan kelasi kapal. Sopan santun dan ibakasihan tak ada padanya. Sekalian pekerjaannya seakan-akan menurut apa yang
timbul dalam hatinya pada ketika itu saja. Ia jarang memikirkan untuk kemudian
hari. "Hari ini untuk hari ini, besok dapat pula kita berpikir," itulah hukum
hidup yang diturutnya. Orang yang serupa itulah acap kali menjadi pencuri dan penjudi yang besarbesar, yang tak pernah takut atau ngeri dan tak pernah jera.
Sejak Sarmin bekerja di toko roti itu, Laminah makin sehari makin
bertambah tak senang, seolah-olah ia siang malam dikelilingi oleh martabatnya
yang amat besar. Makannya tiada tentu, hampir selalu ia tiada berselera. Kalau tidurnya,
tiada dapat dikatakan lagi, dalam semalam matanya terpicing tak pernah lebih
dari tiga atau empat jam. Lagi pula ia senantiasa merasa takut; kadang-kadang
dengan tiada suatu sebab juapun berdiri semua bulu badannya dan hatinya kecut.
Kesenangan hidup yang dikecapnya dalam beberapa bulan yang akhir ini
seakan-akan lenyap kembali, seperti embun kena sinar matahari. Payah anak yang
malang itu memikirkan, apakah asal perubahan perasaannya itu.
Semuanya, baikpun pekerjaannya atau penghidupan ditoko roti itu, masih
seperti sediakala. Lainnya sedikit ialah kedatangan Sarmin. Tetapi tak mungkin,
bahwa bekas kuli kontrak itu yang menyebabkan perubahan perasaannya.
juga" Bukankah sebelum orang itu menerima pekerjaannya ia telah tiada senang
Atau suatu gerakkah, suatu ilhamkah itu yang diturunkan Tuhan kepadanya,
supaya ia awas dan berhati-hati menjaga dirinya dan supaya ia jangan beramahramahan dengan orang itu"
Wallahu a'lam bissawab!! Tetapi sesungguhnya ia amat takut pada Sarmin.
Matanya yang liar dan kemerah-merahan itu, seolah-olah mata harimau yang
mengintai-intai mangsanya lengah barang sekejap. Laminah tiada berani
menentangnya dan selalu ditundukkannya kepalanya, kalau bekas kuli kontrak itu
melihatnya. Dan suara Sarmin yang kasar dan rendah itu tak ada bedanya dengan
suara yang keluar dari kubur pada tengah malam; berdiri sekalian bulu kuduk anak
perawan itu mendengarnya.
Mansur sekarang mulai cemas pula melihat perubahan adiknya itu. Dahulu
disangkanya, bahwa semuanya itu akan segera lenyap, tetapi setelah dilihatnya
bahwa perasaan yang tak senang itu usahkan hilang, bahwa makin bertambah lagi,
itupun berhati-hati mengamat-amati adiknya. Dan setelah nampak pula olehnya
bahwa kesehatan Laminah makin hari makin berkurang oleh kekurangan tidur dan
oleh perasaan yang tiada tentu, dicari-carinya jalan akan melipurkan hati
adiknya itu. Pergi ia bersama-sama ke pantai melihat permainan ombak pada waktu
tempohnya dan dibelikannya adiknya penganan-penganan dan buah-buahan yang boleh
membuka nafsu makan. Tetapi semuanya sia-sia belaka. Anak yang malang itu hilang
akal memikirkan keadaan adiknya itu.
Tiap-tiap hari kalau ia hendak meninggalkan toko roti membawa jalan,
ditanyainya Laminah, apakah yang di-ingininya; tetapi Laminah selalu
menggelengkan kepalanya, alamat tak ada yang disukainya.
Demikianlah beberapa lamanya.
Pada suatu hari terpikirlah pada Mansur, barangkali Laminah tiada senang
lagi bekerja di toko roti itu. Tetapi apakah sebabnya dan akan pergi kemanakah
ia berdua" Bukankah telah senang hidupnya disini" Bukankah dahulu Laminah telah
berulang-ulang berkata, bahwa ia, kalau boleh sumur hidupnya tiada hendak
pindah-pindah" Tetapi siapa tahu! Semua di dunia ini berubah.
Dengan hal yang demikian pergilah Mansur mendapatkan adiknya akan
menanyakan hal itu. "Laminah!" katanya, "bagaimanakah pikiranmu, kalau kita mencari pekerjaan
di tempat lain" Sebabnya engkau disini kulihat bertambah layu. Kalau benar
terasa olehmu tiada senang lagi, apakah yang kita tunggu disini. Dari hal rezeki
itu, selagi Allah masih kasihan kepada kita, kemana kita pergi takkan terlantar.
Tambahan pula uang simpanan kita yang dua puluh rupiah itu, dapatlah menolong
kita buat sementara. Ya, semuanya makan gaji disini senang; makan dan tempat
tidur kita dapat dan induk semang kita orang yang budiman. Tetapi apa guna
semuanya itu, kalau tidak sesuai dengan perasaan kita. Bukankah lebih baik kita
menjawab pekerjaan yang lebih berat dan lebih kurang bayarannya, asal badan kita
sehat dan hati kita senang. Kesehatan abdang dan kesenangan hati itulah herta
benda yang semahal-mahalnya, tak dapat dibayar dengan uang berapa sekalipun.
Jadi dik, katakanlah, boleh kita bertenggang pula. Nanti kucoba mencari
pekerjaan yang terbuka."
Sementara Mansur bercakap itu Laminah selalu menundukkan kepalanya.
Sesungguhnya saudaranya membuka dadanya, melepaskan segala yang telah lama
dikandungnya. Sebab bukan baru sehari dua terpikir olehnya, bahwa yang sebaikbaiknya ia meninggalkan toko roti itu, menjauhkan dirinya dari orang ditakutinya
itu. Tetapi selama ini tiada berani ia mengeluarkan pikirannya, takut kalaukalau saudaranya itu marah kepadanya dan mengatakan ia banyak cengcong; telah
dapat perlindungan yang bagus dan sentosa hendak yang lain pula.
Jadi amat mujurlah Mansur, sebagai saudara yang sangat mengasihi adiknya,
dapat merasa dan menerka apa yang merusakkan dan yang tiada menyenangkan hati
adiknya itu. Kalau hal ini tiada terjadi, tentulah anak perawan yang malang itu akan
sama nasibnya dengan tanaman yang indah, yang dimasuki oleh olat penyakit, makin
sehari makin layu, sehingga gugur ke tanah. Bukankah pikiran yang disimpan oleh
sebab tiada berani mengeluarkannya itu, laksana duri didalam daging"
Membusuk " membusuk " sampai...
"Sesungguhnya benar kata kakak itu," ujar Laminah dengan iba, sambil
dipandangnya saudaranya itu; air matanya tiada dapat ditahannya lagi dan
mengalir di pipinya yang halus itu, sebagai air embun yang jernih jatuh ke batu
pualan. Telah lama semuanya ini hendak Minah katakan kepada kakak, tetapi
senantiasa Minah takut, kalau kakak katakan Minah tiada tahu akan untung. Telah
dapat hidup yang sesenang dan seberbahagia ini, hendak ditinggalkan dan
dibuangkan pula. Takut Minah, nampak amat kecelakaan Minah...
Disini ia tak dapat meneruskan perkataan lagi; dibenamkannya mukanya di
pangkuan saudaranya dan ia pun mulai tersedu-sedu tiada berhingga.
Kasihan Mansur melihat adiknya itu. Baru saja hendak mencoba kesenangan
hidup telah tiba pula suatu alangan.
Apakah kesudahannya ini nanti..."
Luka yang lama baru benar sembuh, kulitnya lagi muda. Sekarang telah tiba
lagi pukulan yang baru. Tetapi laki-laki yang sigap dan kukuh itu mengeraskan hatinya. Ia percaya
bahwa di alam ini ada keadilan, bahwa Tuhan semesta taida pernah tidur dan taida
pernah pernah lengah bahwa ia pengasih-penyayang. Nanti, sekali tentu akan
dijatuhkannya juga rahmat kepadanya dua bersaudara. Nanti " asl ia sabar. Dan ia
akan sabar, akan tawakkal " sampai....
Allah jua yang mengetahui.
Lama orang berdua beradik itu tiada berkata-kata.
Laminah belum juga berhenti tersedu-sedu dan Mansur menurutkan arus
pikirannya, sambil tiada berhenti-henti, perlahan-lahan digosoknya rambut
adiknya itu, penuh iba dan kecintaan.
Sekonyong-konyong Laminah mengangkat kepalanya; mukanya basah oleh air
matanya dan kemerah-merahan sebab menangis. Ia pun berkata dengan suara yang
putus-putus: "Kakak! Minah"takut"benar pada Sarmin itu"Sejak ia tiba"Minah"
selalu bertambah cemas...ddBaiklah kita pergi dari"comsini. Nanti"comMinah mati
dibunuhnya." "Kalau begitu katamu," sahut Mansur, 'baiklah. Tetapi kita tunggulah
sampai habis bulan seminggu lagi, boleh kita minta keluar pada tokeh dengan
baik. Kalau engkau benar takut pada orang itu, salah benar tiada engkau katakan
itu padaku dari dahulu-dahulu. Aku heran engkau tiada berai mengatakannya
kepadaku. Hendak engkau menyimpannya hingga merusakkan kesehatanmu dari pada
mengeluarkannya kepadaku, saudara kandungmu yang tua. Kalau tiada aku menerkanya
tadi, sampai bilalah agaknya akan engkau diamkan. Tetapi sekarang sudahlah.
Sebenarnya akupun tiada percaya meninggalkan engkau di rumah, sejak Sarmin,
bekas kuli kontrak itu bekerja disini. Maksudku ialah habis bulan akan minta
bekerja di rumah saja, supay aaku dapat mengamat-amatinya. Tetapi sekarang tiada
perlu lagi. Habis bulan ini kita tinggalkan toko roti ini. Sementara itu, boleh
juga aku melihat-lihat pekerjaan terbuka. Dalam pada itu engkau harus juga hatihati menjaga dirimu. Janganlah engkau dekat-dekati orang itu."
Laminah tidak menjawab. Kepalanya selalu ditundukkannya.
Benar terasa olehnya sekalian perkataan saudaranya itu.
7. NAFSU YANG RENDAH Kini hari minggu. Tiga hari telah silam, sejak orang berdua beradik itu berunding akan
meninggalkan toko roti itu dengan baik dan empat hari lagi maksudnya itu akan
dilangsungkannya. Mansur dari pagi tadi pergi ke pasar Minggu membawa sepikulan roti dan
sampai sekarang ia belum kembali.
Laminah bekerja di dapur memasak roti bersama-sama koki dan bujang-bujang
laki-laki. Sesudah terjerang semuanya ia pergi ke sumur akan membersihkan
sebeban piring.

Tak Putus Dirundung Malang Karya T Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumur itu letakya di belakang dapur dan kiri-kanannya berdinding batu,
sehingga semuanya itulah menjadi kamar mandi sekali. Waktu ia masuk tadi rupanya
lupa ia sebagaimana biasa menutup pintu.
Sekonyong-konyong, tengah ia subuk bekerja masuklah Sarmin akan mengambil
air. Berdegar pintu ditolakkannya dan Laminah, anak yang malang itu, terperanjat
amat sangat. Darahnya berdebar-debar, seakan-akan harimau, bukan Sarmin, manusia-yang
masuk itu. Tiada berani ia menggerak-gerakkan badannya dan kepalanya selalu
ditundukkannya, sebab takut ia melihat bekas kuli kontrak itu.
Perlahan-lahan, seperti bermain-main, Sarmin menjatuhkan timba kedalam
sumur. Semuanya itu tiada putus-putusnya ia mengamat-amati Laminah dari kaki
sampai ke rambut, seperti hendak ditelannya hidup-hidup. Matanya berkilat-kilat,
seolah-olah membayangkan nafsunya yang rendah dan yang telah beberapa minggu
ditahannya. Telah lama benar ia berahi pada perawanyang suci itu, akan tetapi belum
pernah ia bersua saat yang baik, sebab Laminah sangat berhati-hati menjaga
dirinya. Sarmin tahu, bahwa Laminah takut dan benci padanya, tetapi rupa-rupanya
hal inilah yang menggembirakan darahnya akan memperoleh mangsanya itu. Sebelum
dapat maksudnya yang keji itu, belum puas hatinya. Demikianlah setiap hari ia
mengintai, kalau-kalau perempuan muda remaja itu lengah dan tinggal sendiri.
Sampai sekarang belum bertemu ia dengan kehendaknya itu.
Tadi, ketika Laminah masuk kamar mandi, Sarmin sedang membesarkan api di
dapur. Tiada terkata-kata besar hatinya melihat pintu tinggal terbuka, dengan
segera disudahkannya pekerjaannya dan diambilnya dua buah kaleng pura-pura
hendak mengisinya dengan air. Perlahan-lahan ia masuk dan pint dirapatkannya.
Amat lamanya ia mengisi kaleng dua buah itu, lebih-lebih lagi dari mengisi
dua buah tong yang besar-besar.
Pada ketika itu Laminah laksana tiada bersemangat lagi. Tiap-tiap saat
seakan-akan terasa olehnya tangan yang besar, hitam dan kasar itu mendakap
badannya yang ramping. Ngeri perawan yang tiada berdosa itu memikirkan semuanya.
Badannya berganti-ganti panas dan dingin dan dikeningnya mengalir keringat
ketakutan. O, alangkah lama terasa olehnya waktu pada ketika itu!
Lain dari pada bunyi timba turun-naik di tangan Sarmin dan bunyi Laminah
mencuci piring, tiada suatu apa kedengaran di tepi sumur itu. Dari dapur
menderam bunyi bujang-bujang tertawa terbahak-bahak. Iba dan sedih hati
perempuan yang malang itu mendengarnya, seolah-olah mereka itu menertawakan dia.
Setelah penuh kedua kaleng itu, Sarmin berhenti seketika. Berahinya tiada
dapat ditahannya lagi dan iapun mendekati Laminah, seraya barkata lemah-lembut
suaranya yang besar: "Alangkah lambatnya engkau bekerja ini! Mari boleh
kutolong, supaya lekas sedikit."
Ketika dilihat oleh Laminah, bahwa ia tiada berapa jauh lagi daripadanya,
dikumpulkannya sekalian tenaga dan keberaniannya dan iapun berdirilah akan lari
keluar. Tetapi pada ketika itu juga sebagai kilat ia ditangkap oleh Sarmin pada
pinggangnya, seperti harimau menangkap anak kambing, dan ditariknya perawan
Hantu Lereng Lawu 1 Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Pendekar Pemanah Rajawali 4

Cari Blog Ini