Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor Bagian 2
Tapi, lagi-lagi Pendekar Lembah Kutukan yang memiliki nama besar diseantero
dunia persilatan pun tak bisa membantah Nyai Silili-lilu. Di situ hebatnya
manusia betina jompo satu itu!
Nyai Silili-lilu bukan tak punya alasan menahan untuk sementara cicit
kemenakannya. Meski mata kepalanya sudah soak karena usia yang demikian lanjut,
tapi mata batinnya sendiri melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam diri
Andika. Sampai saat itu, Nyai Silili-lilu belum jelas benar. Sebagai seorang
tabib wanita, Nyai Silili-lilu mencoba menahan Andika agar dia dapat mengamati
keadaan menggidikkan yang tengah merayap dalam diri cicit kemenakannya. Dia
berharap secepatnya dapat menyingkirkan sesuatu dalam diri
Andika dengan pengetahuan ketabibannya.
Dan keadaan Andika tersebut dapat dirasakan oleh Ki Saptacakra pula. Namun
karena mereka semua tidak bisa mencurahkan perhatian hanya pada Andika, Ki
Saptacakra memutuskan untuk melakukan hal genting lain.
Ki Saptacakra dan Petaruh Sakti Perut Buncit sendiri telah keluar selama beberapa hari terakhir untuk mencari Tiga Datuk Karang.Mereka harusse-gera mendapatkan
kitab itu sebelum tiga musuh lama mereka sempat
mempelajarinya. Sampai sekarang mereka belum juga terdengar beritanya.
Karena tak di zinkan, Andika akhimya merasa
terkekang. Pikirannya sendiri terus-menerus terpuruk pada kejadian-kejadian yang
telah dialami. Niatnya untuk segera terjun kembali menempuri kebatilan makin
membukit. Karena tak betah terus-menerus seperti orang pesakitan, Pendekar Slebor keluar
dari 'sarang' manusia-manusia langka berperilaku setengah sinting itu. Dengan
diam-diam, Andika meloloskan diri dari pengawasan ketat Nyai Silili-lilu.
Ketika sedang berjalan-jalan. Timbul keinginannya untuk meneguk air kelapa
segar. Sisa-sisa kelapa yang sempat tumbuh di musim panas terakhir memancing
dahaganya. Dia segera melenting naik ke atas pohon kelapa.
Sedang asyik-asyiknya meneguk air kelapa, didengarnya keributan di kejauhan. Dari ketinggian, tentu saja Pendekar Slebor
dengan mudah melihat kejadian yang berlangsung.
Dia segera turun, berlari dengan mengerahkan peringan tubuh penuh dan akhirnya sampai di tempat kejadian. Buah
kelapa yang masih berada di tangannya di belah tiga dengan sabet-an kain pusaka.
Sekaligus dikebutkannya kain pusaka itu ke arah tiga potongan kelapa. Itu yang
menyebabkan kepala tiga ekor kerbau yang mengancam si bocah dan ayahnya pecah
seketika. Kerja jelas belum selesai. Masih ada puluhan ekor lain. Mereka masih terus
mengamuk, menerjang apa saja yang bisa diterjang. Puluhan ekor bukan kerja yang
mudah, meski bagi seorang pendekar muda besar seperti dirinya Apa yang bisa
dilakukannya" Itu pertanyaan yang
secepatnya harus dijawab sekarang. Satu per-satu merobohkan binatang-binatang
mata gelap itu akan membutuhkan waktu lama. Sementara mungkin saja,
korban malah akan bertambah. Dia tidak boleh kehilangan waktu sedikit pun.
Penduduk desa harus secepatnya diselamatkan dari ancaman kawanan kerbau liar
itu. Harus ada tindakan yang bisa menuntaskan sekaligus amukan binatang-binatang
kalap itu. Apa akalnya"
Tanpa banyak berpikir, Pendekar Slebor bertindak sekenanya. Dia berteriak-teriak
dengan mengerahkan sedikit tenaga sakti warisan buyutnya. Sambil berteriakteriak, dia pun melompat-lompat tak karuan. Tangannya melambai-lambai.
Tingkahnya sudah dekat-dekat tingkah monyet kegirangan. Ributnya minta tobat.
Kegaduhan orang sepasar ditewaskannya. Kalau kebetulan ada yang menganggapnya sinting, dia
tak ambil pusing.
"Wuoii ! Woui i! Hua-hua! Huoi i!"
Hiruk-pikuk yang dibuat secara gila-gilaan oleh
Pendekar Slebor berhasil memancing perhatian kawanan kerbau. Seperti dikomando,
secara serempak mereka mengalihkan pandangan ke arah si pemuda.
Satu persatu mereka mulai menuju Pendekar Slebor.
Tingkah Pendekar Slebor dalam pandangan binatang-binatang itu seperti letlckan
yang membuat kekalapan mereka makin merangas. Dengan napas tetap mendengusdengus, binatang-binantang itu secara serempak akhimya memburu Andika. Tanduktanduk runcing mereka meluruk ke satu arah.
Menyadari pancingannya berhasil, Pendekar Slebor jadi makin gila. Dia berteriakteriak lebih kacau sambil menepuk-nepuk pantat yang sengaja di 'todongkan' ke
arah kawanan kerbau.
"Lari yang cepat. anak anak! Siapa cepat, dia yang dapat!"
Begitu beberapa pasang tanduk kerbau sudah nyaris membolongi pantatnya, tentu
saja Andika langsung ngacir.
Dia berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh seraya terus memperdengarkan
sorak-sorak. Dengan cara itu, digiringnya seluruh kawanan kerbau untuk menjauhi
desa. Sctibanya di tempat yang cukup terpencil, Andi?ka segera menghentak tubuh,
hendak meninggalkan semua binatang kalap tadi. Sewaktu dia melenting-lenting
cepat di atas punggung-punggung kerbau. tanpa sengaja mata Pendekar Slebor
tertumbuk pada salah seekor kerbau liar yang menarik perhatiannya. Di sebelah
tanduk binatang itu terikat bahan dari kulit binatang.
Rasa penasaran mendorong Pendekar Slebor untuk
bergerak cepat. Dengan melakukan lentingan berputar di udara, disambarnya benda
tadi. Kini, bisa disaksikan dengan jelas benda tersebut. Secarik surat terbuat
dari samakan kulit ular.
Pendekar Slebor membukanya. Lalu dibaca.
Salah seorang kelurunanmu berada dalam genggaman kekuasan kami, Saptacakra. Dia lebih dikenal di dunia persilatan
dengan julukan Ratu Lebah. Jika kau ingin perempuan cantik itu tetap hidup,
datanglah ke puncak Gunung Slamet pada hari kelima purnama ini!
Pendekar Slebor selesai mcmbaca. Tak ada satu
tanda pengenal dari si pengirim surat. Meski begitu, Andika yakin Ki Saptacakta
pasti bisa menduga siapa orangnya.
Diremasnya samakan kulit ular itu geram-geram.
"Mayangseruni..," bisiknya tersamar deru angin, menyebut nama asli Ratu Lebah.
Pandangannya me-nerawang, membayangkan wajah seorang dara elok
rupawan murid tunggal Nyai Silili-lilu. Dulu, ada benih cinta tertanam dalam
diri Mayangseruni alias Ratu Lebah terhadap diri si pendekar muda tampan. Lalu
semuanya dikacaukan
oleh kelicikan seorang tokoh sesat. Mayangseruni pergi meninggalkan Andika, membawa luka di hati hanya karena
terjebak oleh tipu daya Pangeran Neraka. (Baca kisahnya dalam episode: "Sepasang
Bidadari Merah")!
"Kita akan bertemu Iagi, Mayang. Aku berjanji, kau tak akan dilukai oleh siapa
pun. Tidak juga hatimu...," bisiknya kembali, terdengar lamat.
Rupanya ada dalang di balik amukan kawanan kerbau fiar ini, simpul Andika
setelah bayangan Mayangseruni ditepisnya Dan kerbau-kerbau itu sebenarnya hendak
diarahkan ke tempat Petaruh Sakti Perut Buncit untuk menyampaikan pesan. Sebab,
isi surat yang terikat di salah satu tanduk kerbau ditujukan untuk Pendekar
Lembah Kutukan. Si pengirim surat yang sekaligus dalang amukan kawanan kerbau
liar itu tentu mengira Ki Saptacakra masih berada di tempat Petaruh Sakti Perut
Buncit. Masalahnya sekarang, siapa orang itu"
Kalau ingat pada amukan kawanan kerbau sebelumnya. dia jadi ingat pula pada peristiwa lama ketika
melanglang ke negeri para Pharoh, Mesir. Perahu yang ditumpanginya diserang
kawanan binatang liar pula. Kalau sekarang dia menghadapi kawanan kerbau, dulu
kawanan kuda nil.
Dan orang yang berada di balik peristiwa amukan
kawanan kuda nil itu adalah si Gila Petualang. Mungkinkah kejadian sekarang
adalah ulahnya juga"
"Ah, sebaiknya aku kembali dulu ke desa tadi. Aku harus memastikan apakah mereka
masih membutuhkan pertolonganku," putus Pendekar Slebor, setelah teringat pada
nasib penduduk desa nelayan.
Sementara itu, keadaan desa kembali tenang.
Penduduk desa nelayan tersebut mulai berani menampakkan diri. Satu persatu mereka keluar dari rumah.
Tibanya Andika kembali menjadi pusat perhatian mereka.
Mata mereka menatapi si pemuda berambut gondrong dengan bersit mata terkagumkagum. Ditatapi orang banyak seperti itu, anak muda sakti dari Lembah Kutukan jadi
salah tingkah. Dia cengar-cengir sendiri. Cengirannya makin jelek dan serba
salah saja ketika menyaksikan beberapa perawan desa yang
melempar senyum manis dari jendela rumah panggung mereka.
Wuuuh! Hembus napas Pendekar Slebor diam-diam.
Tak kukira desa kecil ini menyimpan banyak 'barang-barang bagus', ceracaunya
dalam hati. Dasar kadal asli!
Padahal, belum lama dia sibuk membayangi kecantikan Mayangseruni.
Yakin tak ada Iagi yang perlu dilakukan, dengan agak malas-malasan, anak muda
itu meninggalkan desa.
Sesekali dia masih menoleh ke salah seorang gadis bertahi lalat di dagu.
"Tidak mampir dulu, Kang?" seru si gadis, sebagai ungkapan terima kasih tak
langsung pada sang pahlawan muda.
Hati Andika langsung kembang-kempis. Senyumnya
terpasang lebar.
'Terimakasih, Ni! Lain kali saja!" sahutnya. Di mulut dia menolak, tapi di hati
dia berkicau lain Iagi. Andai saja aku menjadi tahi lalat itu, pikirnya. Sampai
akhirnya dia bergerak cepat mengerahkan ilmu peringan tubuh.
Dia harus segera menyampaikan pesan berbahaya itu pada Ki Saptacakra. Jika orang
tua itu tidak ditemukannya, Andika bertekad untuk mendatangi sendiri puncak
Gunung Slamet! *** "Buju buneng! Belum lama aku tinggal anak slompret itu! Sekarang, baunya pun
sudah tak ada Iagi!" Nyai Silili-lilu mengomel sepanjang gerbong kereta tebu
ketika tak menemukan Pendekar Slebor di gubuk milik Petaruh Sakti Perut Buncit.
Nenek tua itu jadi ngadat. Dicari-carinya Andika di sctiap sela, di segenap
pojok gubuk, sampai ke kolong-kolong gubuk. (Masih bagus tak dicari juga di
sela-sela ketiaknya!) Perabotan dalam rumah jadi porak-poranda.
Bunyi gedumprangan meraja. Entah apa yang baru
dipecahkan. Dan 'benda-benda terbang' pun melayang keluar.
"Sembunyi di mana kau, anak muda sial! Jangan coba-coba mempermainkan aku!"
sewot Nyai Silili-lilu sambil melongok ke kolong balai. Memangnya dia mencari
Andika atau sedang mencari cecurut"
"Di sini juga tidak ada! Di sana tidak ada. Di mana-mana tidak ada. Jadi dimana
dia?" gerutunya soak. Bibir kendornya manyun ke depan. "Tolol juga aku. Kalau
aku tahu, tentu aku tak akan bertanya...."
Nyai Silili-lilu bangkit dengan menyanggahkan tangan pada dengkul mancungnya.
Terbungkuk-bungkuk, dia berjalan mondar-mandir. Berkali-kali. Sambil mondarmandir kalang-kabut, mulutnya terus mengulur gerutuan.
Akhimya dia pusing sendiri. Matanya berkunang-kunang.
"Sialan.... aku jadi mabuk sendiri kalau terus di sini.
Sebaiknya aku cari dia! Kalau kutemukan, akan kugantung dia di pohon toge!"
Nyai Silili-lilu bergegas pergi.
Tak lama sepeninggalan perempuan setengah edan
itu, Pendekar Slebor yang dicari-carinya kembali.
"Uwak" Uwak" Apakah kau sudah kembali"!" seru Pendekar Slebor sewaktu membuka
pintu reyot gubuk.
Yang didapatinya malah keadaan ruangan yang porak-poranda. Pecahan barang di
mana-mana. Balai bambu sudah terjengkang tak karuan. Ada setan ngamuk
rupanya" Gumam Andika, geli sendiri membayangkan Nyai Silili-lilu mengobrakabrik tempat itu karena kehilangan dirinya.
"Sekarang, kira-kira ke mana perempuan tua itu?"
bisik Andika. Dia melangkah masuk. Dibenarkannya letak balai. Rasa letih dan
penat membuatnya mencoba sedikit beristirahat. Dia duduk di tepi balai.
Sebentar kemudian, dia merasakan kantuk yang tak biasa. Aneh, pikirnya. Tak
biasanya dia merasakan keletihan seperti itu. Tidak biasa pula dia begitu cepat
dikalahkan oleh rasa mengantuk. Makin lama dipertanyakan pada diri sendiri keanehan itu, makin memberat kelopak mata si
anak muda. Rasanya ada
ribuan kati beban mengganduli matanya. Dia berusaha melawan. Semakin dilawan,
semakin terlempar dia ke dalam kantuk luar biasa.
Tanpa sadar, Pendekar Slebor merebahkan diri.
Belum lama tubuhnya terebah, dia pun tertidur. Lelap.
Lama. Dalam tidumya, pendekar muda tanah Jawa itu
didatangi mimpi yang kejadiannya benar-benar serupa seperti dialaminya saat tak
sadarkan diri setelah pertarungan maut dengan Amitha. Cuma sekali ini orang tua
berselimut cahaya mengatakan sesuatu yang berbeda.
"Dalam hari kelima setiap purnama, kau harus berhati-hati Saat itulah, kau diuji
untuk menjaga 'muara'mu atau 'dermaga'mu dari sergapan kegelapan di atas
kegelapan...."
Di akhir kalimat tersebut. Pendekar Slebor terjaga.
Tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Wajahnya sepasi mayat.
Napasnya terpacu, terengah-engah. Seolah dia baru saja berlari selama berharihari. "Hari kelima setiap purnama." desisnya terseret, mengulangi salah satu bagian
perkataan orang tua dalam mimpinya. "Apa maksudnya?" sambungnya, bertanya pada
diri sendiri. Sampai tarikan napas terakhir pun, tak pernah dimengertinya maksud
seluruh ucapan orang tua itu. Baik ketika dia tak sadarkan diri, atau dalam
mimpi barusan. Namun, hati kecilnya seperti memperingati akan
suatu ancaman yang sulit dijelaskan. Ancaman dengan keadaan terlalu gelap untuk
ditembus. Seperti kalimat terakhir orangtua dalam mimpi; 'kegelapan di atas
kegelapan'. Andika merasakan bulu kuduknya seketika meremang. *** 8 Hari kelima purnama berselang hanya sepuluh hari setelah Pendekar Slebor
Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkan surat kaleng dari orang tak dikenal. Sampai saat itu, si anak muda
sakti tanah Jawa tak sempat bertemu dengan Pendekar Lembah Kutukan, Petaruh
Sakti Perut Buncit, ataupun Nyai Silili-lilu.
Sejak meninggalkan gubuk di dekat Pesisir Pantai Laut Selatan, entah ke mana
perempuan tua itu. Tentu dia sedang berusaha mencari Pendekar Slebor. Sementara
anak muda yang dicari justru sudah berada kembali di tempat semula.
Dua hari berselang. Purnama hari kelima pun tinggal delapan hari Iagi. Pendekar
Slebor memutuskan untuk segera
mendatangi puncak Gunung Slamet. Dari tempatnya, jarak yang mesti ditempuh cukup jauh. Bisa memakan waktu selama
kurang lebih seminggu berkuda.
Kalau dia tak segera berangkat, maka nyawa Mayangseruni dipertaruhkan. Betapa anak muda itu yakin, musuh yang menyampaikan
pesan pada tanduk salah
seekor kerbau liar tidak pernah main-main. Untuk beberapa hal, dunia persilatan
seringkali sulit diduga. Tapi hal-hal lain, semuanya berjalan seperti kepastian
air mengalir ke tanah yang rendah. Khususnya untuk ancaman tokoh golongan hitam.
Jika mereka mengancam akan membunuh, maka niat itu akan dilaksanakan tanpa raguragu.Untuk Andika, Mayangseruni bukan cuma seorang murid buyutnya. Dia juga
seorang perempuan yang tak cuma rupawan tapi memiliki hati pualam. Kalaupun dulu
dia terjerumus dalam dunia hitam, penyebabnya karena dia dipengaruhi racun milik
Pangeran Neraka. Racun itu membuat pikirannya jadi terganggu. Tetapi kemudian
Andika berhasil membantu Nyai Silili-lilu menyembuhkan Mayangseruni, Andika pun
bisa menyaksikan pribadi sesungguhnya gadis itu. (Baca episode: "Pendekar Wanita
Tanah Buangan").
Tidak segera mendatangi puncak Gunung Slamet,
sama artinya Pendekar Slebor membiarkan seorang
perempuan sebaik Mayangseruni menjadi korban kezaliman orang-orangsesat. Andika tak sudi itu.
Pada waktu hendak berangkat, Pendekar Slebor
merasakan satu gejala aneh yang kian hari kian terasa menguat dalam dirinya.
Entah kenapa ada perasaan-perasaan menakutkan menjalar demikian rupa. Gempuran
perasaan yang menyebabkan seluruh bulu halusnya
meremang itu sesekali membuat pandangan matanya
menjadi gelap. Lalu kesadarannya seperti dilarikan sekawanan siluman, meski dia
sendiri tak jatuh pingsan karenanya.
Karena berpikir itu hanya akibat luka dalam yang dideritanya ketika bertarung
dengan Amitha, Andika tak begitu mempedulikan, Iagi pula, kalaupun tubuhnya
masih dalam keadaan luka dalam pun dia akan tetap mendatangi puncak Gunung
Slamet. Nyawanya sendiri bahkan sudi dipertaruhkan untuk Mayangseruni.
Dengan berkuda, hari itu juga Pendekar Slebor
menuju batas wilayah Kabupaten Purbalingga dengan Brebes, daerah di mana Gunung
Slamet berdiri kokoh.
Tanpa diketahui oleh anak muda dari Lembah
Kutukan, sepasang mata terus mengintainya. Sejak dari gubuk Petaruh Sakti Perut
Buncit, hingga sepanjang perjalanannya menuju puncak Gunung Slamet. Dengan
mempergunakan kuda, si pengintai mengikuti Pendekar Slebor dari jarak yang cukup
aman dari jangkauan orangyang dikuntit.
*** Puncak Gunung Slamet berdiri tegar. Angkuh adalah
kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan
keadaannya. Selain itu, keangkeran menyelimuti. Terutama karena gunung tersebut
adalah salah satu gunung merapi di Jawa dan merupakan salah satu dari beberapa
gunung berpuncak tertinggi. Kabut merayap di sebagian puncaknya. Memperkental kesan yang telah menyelimuti selama ini.
Pendekar Slebor tiba di kaki Gunung Slamet pada hari kelima setelah memac u kuda
sepanjang perjalanan, diselingi beberapa kali istirahat. Untuk sampai ke
puncaknya, menunggang kuda sudah tidak me- mungkinkan Iagi. Terlalu riskan. Lagi pula, tak mungkin kuda mampu melakukan
perjalanan menanjak. Karena itu, Pendekar Slebor memutuskan untuk melepas kuda
tunggangannya. "Pergilah ke mana pun kau suka. Kau bebas
sekarang!" seru Andika seraya menepuk punggung kudanya. Hewan itu pun lari
bersama ringkikannya, menuju alam bebas.
Pendekar Slebor mengalihkan pandangan ke puncak
gunung. Lama dia melakukan itu. Beberapa kali dadanya menghela napas dalamdalam. Dia menikmati suasana di sana. Menyaksikan keagungan sekaligus keangkeran
Gunung Slamet, Andika seperti dihadapkan pada satu bukit kecil kekuasaan Sang
Pencipta. Kini, di puncak gunung itu, telah menanti ancaman maut
baginya. Tokoh-tokoh sesat yang mencutik Mayangseruni memanfaatkan untuk kebatilan gunung yang tak mungkin bisa memprotes
itu. Dalam pandangan
Andika, keagungan dan kesuciannya seperti hendak dinodai oleh mereka. Seperti
halnya bumi seringkali diperkosa oleh kebejatan manusia. Sementara, Tuhan
sendiri tak pernah menciptakan sesuatu dengan batil, desahnya.
Diawali tarikan nafas teramat dalam terakhir, Andika memantapkan tekad. Dia pun
memulai pendakian ke
puncak yang tentu saja tak akan mudah.
Menjelang setengah hari pendakian, Pendekar Slebor akhirnya tiba di puncak
Gunung Slamet Untuk tiba di puncaknya, beberapa kali anak muda itu tergelincir
jatuh. Kalau sempat dia kehilangan keseimbangan, kemungkinan
paling buruk bisa saja terjadi. Nyawanya bisa melayang di atas batu besar atau
jurang curam. Untunglah kemampuan peringan tubuhnya telah cukup teruji dalam
belantara dunia persilatan selama ini. Dia mampu melakukan semacam
akrobatik darurat beberapa kali untuk menyelamatkan diri. Meski itu dilakukan dengan jantung nyaris ambrol karena
kengerian. Sebelum mencapai puncak, Pendekar Slebor sempat
menikmati tenggelamnya surya di ufuk barat. Sinar jingga keemasan yang memancar
demikian lem-bui, bertolak belakang dengan keadaan yang akan di-jalaninya nanti.
Nanti, tentu semuanya akan begitu garang dan haus darah.
Dengan satu lompatan mengandalkan separo
83 kemampuan tubuhnya, akhimya Pendekar Slebor
ti?ba juga di puncak Gunung Slamet. Matahari di sana makin kepayahan. Sinarnya
melamat dan terus mela-mat Pendekar Slebor kini menyaksikan tiga lelaki tua yang
nyaris serupa satu dengan yang lain. Hanya war? na kening mereka yang
membedakan. Satu orang berkening ungu.
Yang lain merah dan perak. Mereka tentu saja Tiga Datuk Karang. Ketiganya tampak
agak kecewa ketika mengetahui Pendekar Slebor yang datang. Sebab, sebenarnya
mereka menujukan surat ancaman itu kepada Ki Saptacakra alias Pen?dekar Lembah
Kutukan. Yang muncul kini justru anak muda berambut gondrong, bertampang
ningrat, tapi berpenampilan mengenaskan. Dan belum-be-lum, dia sudah cengar sini
cengir sana. "Kaliankah yang telah mengirim s urat ancaman itu?"
tanya Andika, memulai.
Sebelum membuka suara, Datuk Kening Perak
menatap anak muda yang berdiri sekitar sepuluh de-pa di depannya dengan tatapan
menghujam. Tanpa kedip.
"Siapa kau?" Bukannya memberikan jawaban atas pertanyaan Pendekar Slebor, Datuk
Kening Pe?rak malah balik bertanya.
Andika menyipitkan mata. "Kalian yang telah mengirim
surat ancaman itu?" ulangnya, ngotot.
84 "Ya. Sekarang jawab pertanyaanku, siapa kau sebenarnya"!" Kalimat-kalimat Datuk
Kening Perak mulai menanjak naik.
"Aku cicit buyut dari Pendekar Lembah Kutukan, kalau kalian sudi percaya." Di
dalam benaknya, Pendekar Slebor berkata-kata sendiri. Kukira amukan kawanan
kerbau liar beberapa hari lalu adalah perbuatan si Gila Petualang.
Mungkinkah mereka memiliki liubungan dengan lelaki tua sesat itu"
"Kenapa dengan buyutmu, Anak Muda" Kenapa dia malah mengirim anak bau kencur
sepertimu ke sini"
Apakah dia takut menghadapi kami setelah kami
menguasai ilmu Karang Pamungkas?" kata Datuk Kening Perak, terdengar mengejek.
Pendekar Slebor menaikkan sudut bibirnya.
"Kalian saja yang salah mengalamatkan surat ancaman itu...," jawabnya enteng.
"Ngomong-ngomong, siapa kalian sebenarnya?"
"Kami Tiga Datuk Karang!" sambar Datuk Kening Ungu."Ooo," Bibir si pendekar
urakan memancung berlebihan. "Buyutku pernah cerita tentang kalian.
Bukankah kalian adalah tiga orang yang berhasil dibuat
'keok' olehnya beberapa puluh tahun silam?"
"Itu tak akan terjadi Iagi!" tandas Datuk Kening Perak, memastikan.
"Ah, itu bisa-bisa kau saja!" Pendekar Slebor terkekeh.
"Aku muak dengan anak muda ini. Tingkahnya tak beda dengan Saptacakra keparat
itu!" Datuk Kening Ungu berbisik pada saudara tuanya.
"Terang saja, aku buyutnya!" sergah Pendekar Slebor, mendengar bisik-bisik tadi.
"Sebaiknya kau kembali dan menyampaikan pesan kami pada Saptacakra. Kami
menantangnya bertarung di sini! Katakan, kami akan mengulur waktu untuknya
hingga sepuluh hari dari sekarang. Kalau tidak...."
Ucapan Datuk Kening Merah yang tak mau banyak
bertele-tele, dipancung oleh Andika. "Kalau tidak kalian akan membunuh perempuan
itu?" Terlihat anggukan samar ketiga orang tua sesat.
Pendekar Slebor mencibir. "Beh, bisa-bisanya kalian berkata hendak menantang
buyutku mengadu kesaktian.
Sementara tindakan kalian sendiri tak lebih dari tindakan penjahat-penjahat
kampungan tengik!"
"Hati-hati bicara, Anak Muda!"
Pendekar Slebor masa bodo. Dia tak peduli.
"Menurutku, kalian masih belum pantas untuk menghadapi kebesaran nama Pendekar
Lembah Kutukan!
Kenapa kalian tak menantang sandal bakiak Memerah wajah Tiga Datuk Karang
mendengar kata-kata pedas Pendekar Slebor.
"Mulutmu benar-benar selancang Saptacakra," geram Datuk Kening Ungu.
"Kalau kalian sudi ingin tahu, sebenarnya bukan mulutku saja yang selancang dia.
Banyak kemiripan yang telah diturunkan si tua itu padaku. Kerutan di ketiakku
pun serupa dengan ketiaknya. Mau kalian buktikan?"
"Bedebah!"
"Tai kucing! Kalianlah yang sesungguhnya bedebah.
Betapa memalukan tindakan kalian menculik perempuan itu untuk memaksa buyutku
datang mememuhi tantangan kalian!" balas Pendekar Slebor membentak-bentak sampai
wajahnya jadi kacau-balau layaknya orang kerasukan.
"Kau rupanya minta diberi pelajaran!" desis Datuk Kening Perak, benar-benar
sudah meluap darahnya hingga terasa hendak membobol tengkorak kepalanya sendiri.
"Kalian mau menghajar aku?" Anak muda urakan berperangai 'angot-angotan' itu
membusungkan dada.
"Pilih bagian mana yang kalian suka!"
Rahang ketiga orang tua di depannya mengeras
teramat sangat. Belum pernah mereka dihina seperti itu.
Kecuali oleh Pendekar Lembah
Kutukan. Mendapat seluruh semprotan pedas Pendekar Slebor, mereka seperti dilempar
kembali ke masa puluhan tahun lalu ketika mereka berhadapan dengan Ki Saptacakra
yangsama-sama muda. Tanpa disadari, mereka mulai beranggapan bahwa mereka telah
berhadapan langsung dengan musuh lama mereka. Itulah pengaruh dendam yang telah
berkarat dalam benak ketiga datuk sesat itu.
Dalam keadaan seperti saat itu, mendadak saja mata hati mereka menjadi teramat
bu-ta dari sebelumnya.
"Kau akan mampus, Saptacakra!" bentak Datuk Kening Merah.
Pendekar Slebor melotot. Sejak kapan namanya
diganti" Kalau sampai si tua bangka buyutnya tahu, tanpa ragu Iagi tentu dia
akan digantung!
Kegeraman Datuk Kening Merah terhadap Pendekar
Slebor akhimya terwujud ke dalam serangan. Tubuhnya melompat ke depan. Tiba di
dekat Pendekar Slebor, dilancarkannya tinju ke arah kepala.
Deb! Pendekar Slebor mengelak. Meski dapat menghindar dari pukulan langsung, tak
luput anak muda itu merasakan angin pukulan yang kuat menyentak bagian lehernya.
Padahal posisinya sudah termas uk jauh dari pukulan tadi.
Ini membuktikan kalau tenaga dalam lawan telah
mencapai tingkat kesempurnaan.
Karena tahu dia tak sedang menghadapi lawan
sembarangan, Pendekar Slebor langsung saja membalas.
Masih dengan kepala tertunduk, dibabatkannya tangan ke dada lawan dengan
mengerahkan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan tingkat kesembilan.
Dengan mengerahkan tenaga dalam pada tingkat itu, Pendekar Slebor ingin sedikit
menguji lawan. Wukh! Sambaran deras punggung tangan Pendekar Slebor
dimentahkan Datuk Kening Merah dengan menyurutkan badan sigap ke belakang. Namun
karena Pendekar Slebor telah mengerahkan setengah dari kemampuan tenaga
dalam warisan buyutnya, angin pukulannya pun sanggup menyentak keras-keras tubuh
lawan. Datuk Kening Merah terjajar ke belakang. Sebelah tangannya mendekap bagian perut
yang terasa nyeri berdenyar. Wajahnya menampakkan keterkejutan.
"Kenapa kaget?" cemooh Pendekar Slebor. "Apa kau pikir kau sedang menghadapi
cecurut yang tak memiliki pukulan tenaga dalam sekuat milikmu?"
"Jangan sesumbar! Kau salah menduga kalau kau mengira aku telah cukup
mengerahkan tenaga dalamku!"
baias Datuk Kening Merah, dengan rona wajah yang kini menjadi sewarna dengan
keningnya. Selesai meluapkan kegeramannya melalui ucapan
tadi. salah seorang
Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari T iga Datuk Karang
itu menggerakkan dua tangannya dua kali putaran. Pada saat itu terdengar suara
deruan. Padahal kalau diperhatikan sekilas, gerakan tangan Datuk Kening Merah
perlahan saja. Menyusul direntangkannya kedua tangan tadi.
Telapak tangannya yang semula mengepal kini membuka cepat, kemudian mengepal
Iagi. Naga-naganya, dia sedang mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi!
"Mulai unjuk gigi dia rupanya," bisik Pendekar Slebor, sambil terus
memperhatikan lawan dengan seksama. Tapi ketika ingat lawannya sudah sangat tua,
ocehannya jadi bertambah.
"Iya, itu pun kalau dia masih punya gigi" bibirnya pun cengar-cengir sendiri.
"Terimalah ini!" seru Datuk Kening Merah kemudian.
Kembali diterjangnya lawan berbeda usia yang siap menanti serangan maut, meski
wajah pemuda itu sendiri memperlihatkan keacuhan Atau barangkali lebih mirip
wajah orang tak punya otak" Bisa jadi begitu.
Terjangan Datuk Kening Merah kali ini dipusatkan pada kedua kakinya. Setelah
melompat maju, kakinya melakukan sapuan menyamping ke leher lawan. Angin
sambaran tendangannya lebih kuat dari serangan
sebelumnya. Pendekar Slebor tentu saja sudah menduga. Dalam
perhitungannya, jika sebelumnya saja angin pukulan lawan sudah
terasa membuat linu lehernya, dengan meningkatkan pengerahan tenaga dalam ke tingkat jauh lebih tinggi tentunya
sekarang dia bisa terjengkang hanya karena tersambar angin tendangan.
"Huii h!"
Bersama teriakan melengking yang nyaris terdengar seperti dengking keledai,
Pendekar Slebor melempar kuat-kuat tubuhnya ke belakang. Dengan kedua tangannya,
dia menahan tubuh di tanah. Lalu secepatnya dihentak Iagi tubuhnya hingga
menciptakan gerak berputar beberapa kali di atas tanah. Dengan cara cerdik itu,
dia bisa membiarkan angin tendangan lawan terlewat begitu saja bersama gerak
tubuhnya. Pendekar Slebor kini sudah berdiri dengan kuda-kuda kokoh Iagi. Jaraknya dengan
lawan terulur lebih jauh dari sebelumnya. Ada sekitar dua betas langkah.
Sementara tepat di belakang kakinya, terbentang
jurang, yang bukan cuma curam namun juga teramat dalam.
Kalau seandainya Pendekar Slebor salah memperhitungkan gerak jumpalitan tubuhnya, niscaya dia akan jatuh ke sana!
"Wui h...," Pendekar Slebor mengempos napas dengan bibir agak menyorong ke
depan. Diliriknya jurang di belakang. Sejengkal Iagi ters urut ke belakang,
bakal jadi empuk tubuhku di bawah sana, gumamnya setengah
meringis. Tapi kesempatan tak banyak dimiliki. Datuk Kening Merah
sudah melanjutkan gempurannya. Berkawal teriakan serak memekakkan telinga, orang tua itu memutar-mutar tubuhnya dengan
bertumpu pada satu kaki. Sedang kaki yang lain dibentangkan seperti juga kedua
tangannya. Putaran tubuh orang tua sesat itu meluruk mengancam Pendekar Slebor.
Wukh-wukh...! Dengan cara yang terbilang cerdik, Datuk Kening
Merah rupanya hendak mendesak lawan ke dalam jurang.
Jika putaran tubuhnya disertai dengan penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi
pada kedua tangan dan kaki, tentunya akan timbul angin putaran yang amat kuat.
Semakin dekat jaraknya ke tempat lawan, maka akan semakin kuat tenaga dorongan.
Dengan cara itu pula, Datuk Kening Merah menutup jalan untuk lawan. Cuma ada dua
pilihan bagi lawan agar terhindar dari kekuatan sambaran angin putaran yang
mungkin bisa berakibat fatal itu. Pertama, masuk ke jurang. Kedua, melewati atas
putaran lawan. "Sialan. Kenapa malah jadi main gasing-gasingan!"
maki si pendekar muda urakan jengkel.
Pendekar Slebor bukan anak kemarin sore. Dia tak bisa tertipu dengan mudah.
Ksatria muda berakal cerdik itu tahu, jika dia berusaha melewati putaran tubuh
lawan dengan cara melompat di atas tubuh lawan, maka lawan dengan cepat akan
melepas pukulan jarak jauh. Akan sangat sulit baginya untuk meng-hindar pada
saat tubuhnya sedang melayang seperti itu.
Pendekar Slebor tak kehilangan akal. Timbul pikiran sintingnya
ketika dia mendengar ucapan sendiri. Bagaimana kalau aku pun melakukan hal yang sama"
Cetus pikiran senewennya.
Tapi, begitulah Pendekar Slebor. Dia terkadang tak terlalu memusingkan apakah
cara bertarungnya terbilang aneh atau tidak, terbilang lucu atau tidak,
terbilang ini atau itu. Jadi tak terlalu heran kalau julukannya pun seperti itu.
Sambil berteriak sejadi-jadinya, Pendekar Slebor benar-benar melakukan hal yang
sama! Wukh-wukh...! Orang Iain mungkin akan menganggap dia melakukan kesintingan. Sedikitnya dia
telah melakukan kekonyolan berbau maut. Bagi Pendekar Slebor sendiri tidak
demikian. Dia melakukan tindakan itu dengan perhitungan cepat yang matang di saat-saat
terjepit. Itulah salah satu kehebatan yang patut dibanggakan pada diri anak muda
itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tingkat
puncaknya, dia akan menjajal lebih jauh tingkat tenaga dalam lawan. Sejauh itu,
Andika yakin tenaga dalam warisan buyutnya tak kalah tangguh dengan tenaga dalam
lawan. Bukankah kejadian puluhan tahun silam telah membuktikannya dengan
keberhasilan Pendekar Lembah Kutukan mengalahkan Tiga Datuk Karang"
Dan untuk mementahkan angin putaran teramat kuat yang bisa melukai tubuhnya,
Pendekar Slebor sengaja membuat putaran ke arah yang sama. Dengan cara itu, arus
hantaman angin putaran yang di-ciptakan lawan akan segera diteruskan ke sampmg
tubuhnya. Demi menyaksikan lawannya melakukan hal yang
sama, bukan main terperanjat ny a Datuk Kening Merah.
Dua datuk lain yang menyaksikan pertarungan itu pun tak kalah terperanjat.
Tindakan itu tak akan terpikirkan oleh sembarang pendekar, pikir keduanya.
Tindakan itu mereka nilai amat cerdik. Terselip kekaguman dalam diri masingmasing. Seluruh perhitungan cerdik Pendekar Slebor terbukti tepat. Hantaman angin
putaran tubuh lawan malah
berlarian serampangan ke satu sisi. Sementara itu, putaran tubuh keduanya
semakin dekat. Sampai..... . . .
Dash! Tercipta suara keras akibat benturan putaran
keduanya. Dalam setiap benturan apa pun, akan terjadi gaya tolak-menolak.
Semakin kuat benturan, akan semakin kuat pula gaya tolakan yang terjadi.
Hal seperti itu akan sangat berbahaya bagi posisi Pendekar Slebor. Jika hentakan
ke belakang tubuhnya terlalu kuat, maka jurang akan menelannya. Tapi, itu pun
rupanya sudah masuk dalam perhitungan otak seencer bubur orang jompo si pendekar
muda. Dengan jarak ke depan yang dapat dicurinya saat tubuhnya berputar, dia
masih bisa melakukan salto ke belakang untuk menahan laju tubuhnya agar tidak
jatuh ke dalam jurang!
Teph! Lagi-Iagi perhitungannya tak meleset Dia menapakkan
kaki tak begitu jauh dari bibir jurang. Meski dengan begitu, dia mengalami luka
dalam yang cukup berarti. Darah mengalir keluar dari kedua sudut bibirnya.
Di Iain pihak, Datuk Kening Merah mengalami hal
serupa. Tubuhnya terpental cukup deras ke belakang. Dia pun mengalami luka
dalam. Karena tak menyangka lawan mudanya mampu membuat dirinya terluka demikian
rupa, orang tua sesat itu jadi lengah. Tangannya tanpa sadar memeriksa sudut
bibir yang terasa anyir. Kemudian ditatapinya darah yang membasahi tangannya itu
dengan sinar mata tak percaya.
Kesempatan itu dipergunakan Pendekar Slebor untuk mencari posisi. Cepat dan
gesit dia melompat beberapa putaran ke depan, menjauhi bibir jurang Walaupun
untuk melakukan itu dia harus sedikit memaksakan diri akibat luka dalam yang
diderita *** Rasa malu hanya pantas dimiliki oleh manusia. Tidak untuk hewan. Namun ada
manusia membiarkan dirinya tak lebih baik dari hewan dengan mem-biarkan rasa
malu menjadi gersang dalam dirinya. Bagi orang sesat, sulit untuk menemukan rasa
malu dalam diri mereka. Kalaupun ada, cuma keangkuhan semata.
Seperti halnya T iga Datuk Karang, mereka tak Iagi merasa malu ketika ketiganya
memutuskan untuk
mengeroyok pendekar muda yang berusia dan berpengalaman jauh di bawah mereka.
Sejak menyadari bagaimana tangguh dan cerdiknya
Pendekar Slebor menghadapi Datuk Kening Merah, dua datuk Iain mulai
memperhitungkan kemungkinan untuk menang. Pada awalnya, mereka segan untuk
berurusan dengan anak muda yang mereka anggap bau kencur itu.
Satu-satunya kepentingan mereka cuma dengan Pendekar Lembah Kutukan. Namun
ketika pertarungan akhimya meletus, mereka tak bisa Iagi menghindar. Tak mungkin
bagi mereka untuk menyingkir. Apa kata dunia persilatan jika tiga datuk kenamaan
harus lari dari seorang pendekar muda"
Di pihak Pendekar Slebor, anak muda itu tak akan sudi turun dari
puncak Gunung Slamet sebelum
mendapatkan Mayangseruni dalam keadaan tanpa kurang suatu apa. Tiga Datuk Karang
tak akan memenuhi
tuntutannya. Jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah memaksa ketiga
dedengkot golongan sesat itu.
Berarti pertarungan memang tak mungkin Iagi dihindari.
Setelah menelan waktu hingga malam turun dan
bulan menggelantung di angkasa, pertarungan tak imbang itu tetap berjalan alot.
Meski dikeroyok, Pendekar Slebor mampu memperlihatkan kedigdayaannya selaku
pendekar muda dunia persilatan yang disegani.
Biar bagaimanapun, tak bisa di ngkari Pendekar
Slebor bukanlah tandingan ketiga datuk seangkatan buyutnya itu. Terlebih karena
mereka menggempur
bersamaan. Terlebih Iagi, mereka telah berhasil menyempurnakan ilmu 'Karang' mereka beberapa waktu belakangan.
Maka, selama pertarungan berlangsung, si ksatria muda dari Lembah Kutukan tak
lebih menjadi bulan-bulanan para lawannya. Dia terdesak dan terdesak.
Pengerahan kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan yang seringkali mampu mengatasi
keadaan paling genting ternyata tak banyak berguna.
Padahal pengerahan puncak tenaga sakti itu telah membentuk benteng tenaga
bercahaya yang hanya muncul pada saat-saat dia terdesak.
'Tenaga Inti Petir' sebagai kekuatan pamungkas milik Pendekar Slebor juga tak
banyak membantu. Gempuran-gempuran pukulan tanpa wujud Karang Pamungkas terlalu
bertubi-tubi mencecar. Meski Tenaga Inti Petir membantu berkali-kali untuk
menahan pukulan itu, lama-kelamaan keampuhannya kikis juga. Layaknya karang yang
terkikis oleh gempuran ombak terus-menerus.
Pendekar Slebor menyadari
posisi gentingnya.
Sebagai pendekar yang ditempa dengan kekerasan sejak kecil, dia tak akan sudi
begitu saja menyerah. Tujuannya hanya satu mendapatkan kembali Mayangseruni
dalam keadaan hidup, atau dia mati di puncak Gunung Slamet!
"Menyerah sajalah kau, Anak Muda!" seru Datuk Kening Perak, ketika satu pukulan
tanpa wujudnya untuk kesekian kali mengikis kekuatan benteng 'Inti Petir'
Pendekar Slebor.
Dengan darah terus mengalir dari hidung dan
mulutnya, anak muda pantang menyerah itu mendengus.
"Kematian bagiku cuma jalan termudah untuk menyelesaikan persoalan. Namun, aku harus memastikan bahwa kematianku tidak siasia. Aku tidak ingin mati sebagai pengec ut atau pecundang!" tandasnya, tegar.
Biarpun setiap kata yang diucapkan harus memenggal-menggal napasnya yang sudah
terputus-putus.
Datuk Kening Perak menyeringai. "Bagus! Keras kepalamu pun tak beda dengan
Saptacakra keparat itu, membuatku semakin berhas-rat untuk menyingkirkan
nyawamu!" "Kalau begitu, kenapa kau tak lakukan saja" Kenapa kau harus memintaku menyerah"
Kentut monyetlah kalian semua!" maki Pendekar Slebor, mulut pedasnya masih juga
bisa melontarkan makian kelewatan.
Bibirnya pun memperlihatkan cengiran terpaksa. Lepas dari penderitaan yang dirasakannya,
cengiran itu tetap saja menjengkelkan.
Semenjengkelkan cengiran keledai!
"Lempar saja dia ke neraka!" teriak Datuk Kening Merah. Betapa mengkelapnya
orang tua sesat itu
mendengar kekeraskepalaan yang terlahir melalui mulut cicit
buyut musuh besarnya. Apalagi kalau dia mengiangkan kembali makian yang keterlaluan itu.
Kepalanya seperti di njak-injak langsung oleh telapak kaki berlumpur... dan bau
pula! Tak berselang jauh dari teriakan mengkelapnya,
Datuk Kening Merah mengirim satu pukulan tanpa wujud
ke arah dada si pendekar muda tanah Jawa kembali.
Duar! Benteng bercahaya 'Inti Petir' di seputar tubuh
Pendekar Slebor sebentar meredup ketika dihantam pukulan tanpa wujud yang
berkekuatan lebih dari mesiu satu pedati itu. Tubuhnya terjajar deras ke
belakang. Kuda-kuda yang berusaha dipertahankan menciptakan jejak panjang
seperti saluran dangkal.
Malangnya, pukulan kali ini melemparkan dia tepat ke mulut jurang. Kakinya yang
goyah pun tergelincir Wajah Pendekar Slebor menegang. Dia amat tercekat. Sebelum
Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia sempat memikirkan tindakan untukmenyelamatkan dirinya, tubuhnya sudah
terlebih dahulu terjungkal.
Saat itu, kesigapan terlatihnya menyelamatkan
dirinya. Dengan cepat, tangannya menyambar bibir jurang.
Crep!Kekuatan tenaga sakti yang telah terkuras
menyebabkan jari-jari di kedua belah tangannya sanggup menembus dinding keras
puncak gunung. Kini tubuh pendekar muda berhati baja itu
tergelantung-gelantung di bibir jurang. Hanya sepuluh jari yang menembus
tepian puncak menjadi penahan
tubuhnya. Kakinya tak mendapatkan pijakan sama sekali.
Sedangkan tubuhnya terasa amat lemah untuk membuat satu hentakan yang bisa
mengembalikan dirinya ke atas.
Di atas kepalanya, Tiga Datuk Karang berdiri dengan keangkuhan masing-masing.
Mereka menatapi si anak muda dengan sinar mata mencemooh.
"Nyawamu tinggal di ujung tenggorokan, Anak Muda,"
kata Datuk Kening Perak. "Kalau kau ingin memohon ampun pada kami, tentu kau
akan selamat...."
Bibir Pendekar Slebor bergetaran, menahan kekuatan jarinya yang semakin goyah.
Tubuhnya terasa semakin melemah. Terutama karena dia telah banyak kehilangan
darah. Juga karena telah berkali-kali dia menerima hantaman pukulan tanpa wujud
yang memberondong
benteng tenaga saktinya.
Entah bagaimana bibir pemuda itu malah memperlihatkan senyum menjengkelkannya kembali.
Sungguh di luar harapan Tiga Datuk Karang!
"Bisa kau contohkan bagaimana caranya aku
memohon ampun pada kalian" Untuk mencontohkannya, bagaimana kalau kalian
menggantikan tempatku sekarang dan aku menggantikan tempat kalian di atas?"
celotehnya, masih sempat bergurau. Tujuannya tentu untuk meledek.
"Benar-benar keparat," desis Datuk Kening Ungu dengan mata membesar. Bagaimana
mungkin manusia
yang sudah dekal ajal masih bisa berpikir untuk melawak"
Pikirnya. Ketiga datuk sesat itu saling berpandangan satu
dengan yang lain. Mereka seperti sedang memungut suara untuk menentukan apakah
pemuda di bawah mereka akan dihabisi saat itu juga.
Saat itulah, ada sesuatu yang terjadi dalam diri Pendekar Slebor. Ketika itu
bertepatan dengan bulan membulat penuh di angkasa, dan menempati tepat puncak
cakrawala malam nan kelam.
Pendekar Slebor merasakan ada perasaan-perasaan
menakutkan menjalar demikian rupa. Bergeliat di suatu tempat dalam dirinya,
kemudian mengem-bang ke sekujur bagian tubuhnya. Gempuran perasaan yang
menyebabkan seluruh bulu halusnya meremang itu, sesekali membuat pandangan
matanya menjadi gelap. Persis seperti pernah dialami hari-hari sebelumnya. Cuma
kali ini lebih hebat.
Lebih kuat. Lebih terasa ganas mengerikan.
"Sang Penguasa Segenap Jiwa, apa yang terjadi pada diriku?" bisiknya amat tak
kentara. Pertahanan jari-jarinya semakin kehilangan kekuatan. Dia merasa
hidupnya akan segera berakhir.
Semuanya menjadi tak terkendali Iagi. Pandangannya menjadi pekat. Dia masih
sadar. Tapi, anehnya dia seperti tak bisa menguasai setiap jengkal bagian
tubuhnya. Lalu, hal yang ditakuti pun terjadi. Cengkeraman jari-jemari Pendekar Slebor
benar-benar terlepas dari bibir
jurang. Andika meluncur jatuh. Pada saat yang sama, terjadi hal yang
sesungguhnya lebih menakutkan.
Saat meluncur deras ke bawah, perlahan tapi pasti tubuh Pendekar Slebor berubah
wujud. Perlahan, tumbuh bulu-bulu kasar di seluruh pori-pori kulitnya. Kulitnya
pun mengeras. Lalu beberapa bagian tubuhnya menyusut ke bentuk yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya oleh dirinya sendiri. Dan pada saatnya, Pendekar Slebor
berubah sempurna menjadi seekor macan berkepala
puluhan ular! Wujud menyeramkan yang pernah dihadapi dulu, kini malah terjelma
dari dirinya! Dan semua itu sama sekali tak disadari si anak muda sakti.
"Nggungg!"
Berkelindanlah suara
dengung berat meninggi menakutkan, memenuhi celah jurang hingga ke dasarnya.
Di atas sana, Tiga Datuk Karang terlonjak. Benak masing-masing bertanya-tanya
keheranan. Suara apa itu"
Ketiganya terpancing untuk menjulurkan kepala ke dalam jurang. Dengan mata
kepala sendiri, mereka menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka lihat selama
hidup. Nyaris saja ketiga dedengkot golongan sesat itu tersurut mundur dari
bibir jurang. Bagaimana mereka tak
dibuat terkejut kalau
ketiganya menyaksikan ada seekor macan berkepala puluhan ular tengah memanjati
dinding jurang. Setiap kali beringsut ke atas, cakarnya terhujam ke dinding
jurang yang kekerasannya tidak diragukan.
"Kau melihat itu?" tanya Datuk Kening Merah, takyakin dengan penglihatannya
sendiri. Dua datuk lain malah saling pandang. Mereka sendiri ragu apakah mereka tadi tak
salah lihat" Mimik wajah ketiganya kini tak beda dengan tiga orang bodoh.
"Binatang apa itu?" tanya Datuk Kening Merah Iagi.
Sampai detik itu, matanya jadi lupa berkedip.
"Mana aku tahu, binatang laknat macam apa yang baoi saja kita lihat!" timpal
Datuk Kening Perak, sama bingungnya.
Kebingungan yang berkecamuk dalam benak Tiga
Datuk Karang membuat mereka tanpa sadar menjulurkan kepala untuk kedua kalinya
ke bibir jurang.
Dan.... Zzzznngg! Wush! Crash! "Keparat!" mak: Datuk Kening Merah serak. Cepat tangannya mendekap bahu kiri.
Tepat ketika tubuhnya menyorong ke bibir jurang, sekelebatan bayangan bergerak
cepat ke atas. Satu sambaran tak terhindarkan dan terlalu cepat untuk disadari
telah mengoyak kulit di bahu kirinya.
Koyakan itu cukup dalam. Bahkan merobek pula
dagingnya. Darah tersembur. Bajunya cepat dibasahi darah. Sebagian terpercik ke
tempat berpijak mereka.
Serempak, Tiga Datuk Karang berbalik mengikuti
gerakan kilat bayangan tadi. Mereka pun menyaksikan secara lebih jelas sosok
mengerikan tadi. Binatang jejadian itu berdiri dengan sehimpun ancaman yang
terpancar dari berpasang-pasang mata nlar di bagian kepalanya.
Tiga Datuk Karang menelan ludah tak sadar. Selama ini,
mereka memang belum pernah mengeta-hui kehebohan yang berlangsung di dunia persilatan ketika Amitha mernbantai warga
persilatan dengan wujud
makhluk jejadian. Kini ilmu sesat itu telah berpindah ke dalam diri
PendekarSlebor. Kalaupun Tiga Datuk Karang mengetahui kehebohan itu, bisakah
mereka mempercayai kalau Pendekar Slebor telah berubah menjadi makhluk haus
darah seperti itu"
"Makhluk macam apa kau sebenarnya"!" desis Datuk Kening
Perak bergidik. Sebutlah mereka sebagai dedengkot dunia persilatan golongan sesat Sebutlah mereka sebagai tokoh yang
telah banyak menelan asam-garam. Lepas dari semua itu, mereka tetap tak bisa
memungkiri kalaudiri merekasaat itu tercekam teramat sangat
*** Petaruh Sakti Perut Buncit tertidur di bawah sebuah pohon beringin besar.
Pulasnya jangan ditanya. Mimpinya pun pasti sudah segerobak penuh. Kalau dilihat
dari air liur yang melimpah di sekitar dagunya, tentu dia sedang bermimpi
tentang makanan lezat.
Padahal belum lama dia baru menyantap panggangan anak rusa. Satu ekor dilahapnya
sendiri. Benar-benar rakus tulen dia. Jangan-jangan dua ekor kalau ada bisa
masuk juga ke perutnya!
Api unggun tempatnya membakar pangganggan masih
menyisakan bara. Asap tipisnya mengambang lamat.
Sebagian melayapi wajah Petaruh Sakti Perut Buncit. Tapi, tak pernah cukup untuk
mengusik kepulasan tidur manusia satu itu.
Soal tidur, orang tua berperut besar ini jagornya. Siang saja dia masih sulit
menahan kantuk, apalagi malam seperti saat itu. Ditambah lagi udara dingin.
Ditambah lagi dengan perut yang kekenyangan, ditambah lagi dengan rasa letih
setelah menempuh perjalanan. Jadi. sempurna sudah alasannya untuk tidur dan
memburu mimpi. Mau enaknya saja!
Beberapa hari lalu, dia diajak oleh Ki Saptacakra untuk memburu Tiga Datuk
Karang. Di tengah perjalanan, entah dengan alasan apa, si tua berjuluk Pendekar
Lembah Kutukan itu memisahkan diri.
Selama tidak dengan Ki Saptacakra, Petaruh Sakti Perut Buncit seperti anak ayam
kehilangan induk. Dia bingung untuk meneruskan pencarian ke mana. Sementara
otaknya lebih sering buntu jika diajak berpikir. Orang bilang, otaknya memang
sudah pindah ke udel! Lelaki tua itu akhirnya malah berdiam diri di tempatnya
kini tertidur. Sedang pulas-pulasnya,
sebentuk bayangan menendap-endap dari arah selatan. Caranya bergerak demikian ringan. Bahkan lebih
ringan dari hinggapan seekor kupu-kupu di putik bunga.
Bayangan tadi kian dekat ke arah Petaruh Sakti Perut Buncit. Makin dekat, si
pendatang makin memperlambat
langkahnya. Tepat di depan Petaruh Sakti Perut Buncit yang mendengkur santer,
orang itu melayangkan sebelah kakinya ke kepala Petaruh Sakti Perut Buncit.
Jedug! Kepala setengah gundul Petaruh Sakti Perut Buncit langsung terbentur batang
pohon beringin. Depan belakang kepalanya
berdenyut-denyut.
Herannya, itu tidak membuatnya terjaga. Benar-benar 'kebluk'!
Sekali Iagi si pendatang melayangkan sebelah
kakinya. Kali mi lebih keras dari sebelumnya. Jedug!
"Wait! Wait! Wait!"
Sontak saja Petaruh Sakti Perut Buncit bangkit seraya mencak-mencak
memperlihatkan jurus tak ada juntrungan.
"Apa kau cuma bisa tidur saja, Buncit!" maki orang yang baru datang.
Petaruh Sakti Perut Buncit mengerjap-kerjapkan mata seperti biang komodo
kekenyangan. Karena pandangannya tak juga menjadi jelas akibat setumpuk tahi
mata mendekam, tangan lelaki itu pun mengusap-usap mata.
"Silili...," gumamnya setelah mengetahui dengan jelas siapa orang yang telah
membangunkannya dengan cara semena-mena.
"Kau kira siapa, hah" Dedemit bunting penunggu hutan"!" maki Nyai Silili-lilu,
dongkol setengah edan.
"Aku kira siapa...." lanjut Petaruh Sakti Perut Buncit seperti tak pernah
mendengar makian 'adinda'nya barusan.
Dengan perasaan tak bersalah, dia hendak merebahkan diri kembali. Tentu saja
Nyai Silili-lilu jadi tambah scwot.
"Eee, mau apa Iagi kau"!" bentaknya.
"Tanggung, Sayang... Aku tadi bermimpi makan satu meja hidangan makanan dari
surga. Tinggal satu piling tersisa yang belum kuhabiskan. Biar aku tidur
sebentar saja, supaya sisa sepiring itu dapat kuhabiskan...," kata Petaruh Sakti
Perut Buncit mendayu-dayu.
"Makanan surga tai kucing! Kenapa tak kau makan saja bara itu!" semprot Nyai
Silili-lilu Iagi seraya menunjuk pada bara sisa api unggun di depan Petaruh
Sakti Perut Buncit. Kepala orang tua buncit tadi menggeleng-ge-leng.
"Bara itu tentu tak enak, Sayang. Lagipula, tak akan pantas
dijadikan makanan...," ucapnya bersung-guhsungguh. Sepertinya dia tak paham kalau Nyai Silili-Iilu cuma ingin
menyindirnya. Pasti otak orang berperut boros itu belum siuman benar dari
mimpinya. Pikir punya pikir, Nyai Silili-Iilu memutuskan untuk menambahkan sedikit 'jedug'
lagi di kepala Petaruh Sakti Perut Buncit. Biar dia benar-benar siuman dari
mimpinya. Sekali ini, harus lebih keras. Nyai Silili-Iilu bersumpah biar disambar petit
pelan-pelan, untuk melakukan itu.
Lalu.... Jedug! Bruk! "Buncit"! Buncit"!" panggil Nyai Silili-Iilu seraya memperhatikan kekasih
tercintanya ambruk telentang tak bergerak dengan mata mendelik dan mulut
menganga lebar.Pingsan, pikir Nyai Silili-Iilu enteng seolah tak punya dosa. Apa
akalnya untuk menyadarkan manusia berperut gentong satu itu" Tidurnya saja sudah
'kebluk', apalagi pingsannya, pikir Nyai Silili-Iilu ngaco.
Sebentar perempuan berumur alot itu berpikir dengan jari telunjuk ditekan ke
dengkulnya. Sepertinya dia sudah lupa kalau otaknya berada di kepala, bukan di
dengkul! Menurut pengetahuan ketabibannya, orang pingsan akan cepat sadar kalau indra
penciumannya menangkap
bebauan yang kuat. Minyak wangi misalnya. Sebab, pusat indera penciuman di otak
berhubungan langsung dengan pusat kesadaran.
Nyai SiliH-lilu mengangguk-angguk. Sekarang dia
punya 'sedikit' akal untuk menyadarkan Petaruh Sakti Perut Buncit. Dengan
mengendap-endap seperti macan betina ompong mengintai mangsa, didekatinya kepala
lelaki tua buncit itu.
Persis di depan wajahnya, disorongkannya dekatdekat pantat teposnya. Yang terjadi selanjutnya, tentu
gampang diduga. Jelasnya, tersebarlah ke segenap penjuru bau yang menyengat
hidung. Jangankan hidung manusia, hidung siluman pun mungkin dibuat mengembangkempis. Tak lama, kontan mata Petaruh Sakti Perut Buncit yang sudah mendelik jadi
bertambah mendelik. Dia tersentak bangun seraya mendekap perutnya. Bayangkan,
betapa 'sakti'nya bebauan yang dihasilkan Nyai Silili-Iilu.
Bagaimana tidak" Begitu sadar, Petaruh Sakti Perut Buncit langsung muntah di
tempat! "Sekarang, jelaskan padaku ke mana Saptacakra Iler pergi"!" serobot Nyai SililiIilu cepat, belum lagi rasa pusing dua belas keliling Petaruh Sakti Perut Buncit
hilang. Aku harus memberitahu dia tentang ini...," lanjutnya seraya
memperlihatkan surat dari samakan kulit ular yang ditinggal Andika di dalam
gubuk. *** 10 Puncak Gunung Slamet kali ini tidak cuma dihuni oleh Tiga Datuk Karang dan
Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seekor makhluk jejadian
mengerikan, jelmaan Pendekar Slebor. Telah datang pula tokoh lain. Manusia Dari
Pusat Bumi. Entah bagaimana caranya, tanpa diketahui oleh tiga datuk sesat, roh
manusia durjana yang menempati bangkai itu tahu-tahu saja sudah berdiri di salah
satu sisi puncak gunung.
"Bodoh! Kenapa kalian terdiam seperti itu"!"
sentaknya pada Tiga Datuk Karang.
Tiga Datuk Karang menoleh berbarengan. Mereka
sempat dibuat terheran-heran juga ketika menyadari sang manusia bangkai telah
hadir pula di sana. Padahal suara hinggapan seekor belalang pada daun saja tak
luput dari ketajaman pendengaran mereka. Hanya karena mereka sudah dalam
kungkungan ketercekaman menyaksikan
makhluk jejadian, mereka tak begitu peduli pada hal itu.
"Apa maksudmu, Manusia Bangkai"!" tanya Datuk Kening Perak, gusar. Matanya
berkilat sekelebatan pada Manusia Dari Pusat Bumi. Sekelebatan kemudian, beralih
kembali ke arah makhluk jelmaan Pendekar Slebor.
Terdengar dengusan berat seperti terganjal di
tenggorokan Manusia Dari Pusat Bumi.
"Kalian pikir, makhluk di depan kalian sebangsa dedemit penunggu Gunung Slamet"!
Kalau itu dugaan kalian, kalian memang pantas disebut bodoh!" makinya kembali.
"Jangan coba sebut kami bodoh lagi. Manusia Bangkai! Kenapa tak kau sebutkan
saja apa yang hendak kau katakan sebenarnya"!" sergah Datuk Kening Ungu.
"Binatang jejadian itu adalah jelmaan Pendekar Slebor!"
'Tak mungkin...," desis Tiga Datuk Karang, nyaris bersamaan mendengar
pemberitahuan Manusia Dari Pusat Bumi barusan. Bagaimana mereka bisa percaya
kalau cicit buyut musuh bebuyutan mereka yang amat mereka kenal
dapat berubah menjadi makhluk semengerikan itu"
Sedang dari wujud makhluk itu saja, jelas-jelas kalau penyebabnya adalah ilmu
sesat. Di lain sisi, baik Pendekar Slebor atau cicit buyutnya amat dikenal dunia
persilatan sebagai ksatria-ksatria golongan putih. Bukankah itu kenyataan yang
bertolak belakang sama sekali"
Manusia Dari Pusat Bumi tergelak-gelak di sela sela dengung ribuan ekor lalat
yang mengerubunginya. Di lain posisi, si makhluk jejadian terus pula mendengungdengung kian santer mengancam.
"Asal kalian tahu, pendekar keparat itu telah dirasuki oleh ilmu sesat tanpa
disengaja. Kejadiannya berlangsung ketika dia bertarung dengan seorang lelaki
India penganut ilmu sesat Macan dan Ular beberapa waktu lalu!" papar Manusia
Dari Pusat Bumi menerangkan. "Artinya, kini kita bukan cuma menghadapi kesaktian
warisan dari Pendekar Lembah Kutukan yang telah mendarah daging dalam
dirinya. Tapi juga kita akan menghadapi ajian sesat itu!"
tambahnya, seperti hendak menakut-nakuti.
Ucapan sang manusia bangkai menusukkan ketergidikkan ke dalam benak Tiga Datuk Karang.
Meskipun selama ini hampir tak pernah ada lawan yang ditakuti oleh ketiganya
selaku datuk sesat rimba persilatan.
"Kenapa kalian tampak begitu kecut mendengar hal itu" Apa nama besar kalian
telah luntur?" cemooh Manusia Dari Pusat Bumi serak.
"Manusia Bangkai bedebah!" kutuk Datuk Kening Merah. Rahangnya jadi mengeras
teramat sangat. Setapa ucapan Manusia Dari Pusat Bumi telah menginjak-injak
kepalanya. Betapa ucapan itu membuat dia mengkelap.
Ditambah lagi dengan rasa pedih luar biasa dari lukanya.
Meski pernah tahu kalau ilmu Karang Pamungkas tak berdaya menghadapi kekuatan
alam kegelapan milik Manusia Dari Pusat Bumi, nafsu Datuk Kening Merah terpicu
juga untuk menghajarnya. Sebelum dia sempat bertindak.
Wsss! Makhluk jejadian yang sebelumnya merayap tak beda cecak di dinding jurang puncak
Gunung Slamet, kini menerkam ke arah Tiga Datuk Karang. Padahal ketiga lelaki
bangkotan sesat itu masih dalam beleng-gu keterperanjatan
terhadap serangan tiba-tiba yang menimpa seorang dari mereka sebelumnya.
Meski belum siap, mereka tetaplah para datuk yang naluri tarungnya demikian
tinggi. "Menyingkir!" seru Datuk Kening Perak. Bertepatan dengan teriakan tadi,
didorongnya dua datuk lain ke sampmg. Dia sendiri cepat membuang tubuh ke depan.
Seperti kelebatan
bayangan, makhluk jelmaan
Pendekar Slebor merangsak lagL Datuk Kening Perak masih bergulingan di tanah.
Dia belum cukup siap menerima terkaman susulan. Kalau saja lelaki tua itu
bukanlah datuksesat dunia persilatan, tentudadanya akan terkoyak saat itu juga.
Crash! Bertepatan dengan suara batu tersambar cakar,
tubuh Datuk Kening Merah melenting ringan hanya dengan mengandalkan sentakan
otot perut! Tepat di tempatnya terbaring sebelumnya,
telah tercipta lubang
besar memanjang sekitar setengah lengan. Dari kedalaman lubang sekitar hampir dua-tiga
jengkal, tampak jelas bagaimana dahsyatnya tenaga cakaran tadi.
Datuk Kening Perak kemudian memberi isyarat pada dua datuk lain dengan gerakkan
tangan. Datuk Kening Merah dan Ungu berlompatan gesit bagai terbang ke arahnya.
Mereka hinggap ringan nyaris tanpa suara tepat di samping Datuk Kening Perak.
"Karang Pamungkas!" teriaknya kemudian, sebagai pertanda bagi dua datuk lain
untuk segera memadukan kekuatan tenaga pukulan tanpa wujud tingkat teratas
mereka. Satu inti ilmu Karang yang belum lama mereka sempurnakan!
Ketiga tokoh sesat itu cepat menyatukan telapak
tangan satu dengan yang lain, hingga membentuk
lingkaran tertutup. Menyaksikan hal itu manusia bangkai malah menertawakan
mereka keras-keras.
Tanpa mempedulikan apa maksud Manusia Dari
Pusat Bumi menertawakan ketegangan yang sama sekali tak lucu itu, tubuh Tiga
Datuk Karang tiba-tiba mencelat berbarengan dari tempat berpijak. Mereka
meluncur kaku ke atas seperti anak panah. Telapak tangan mereka sendiri masih
melekat satu dengan yang lain, seakan ada lenaga sembrani maha kuat merekatkan
mereka satu dengan yang lain.
Setelah meluncur sampai tujuh tombak ke atas, tubuh mereka berpisah dengan tibatiba pula. Ketiganya berpencaran dalam kecepatan yang tak kalah cepat dari gerak meluncur ke atas
sebelumnya. Anehnya, posisi tubuh mereka sendiri masih tetap tegak. Layaknya tiga tonggak
kaku terpancang di udara.
Tenaga hentakan demikian kuat pada telapak tangan masing-masing tak membuat
posisi tubuh mereka
bergeming. Hal itu memancing makhluk jelmaan Pendekar Slebor untuk menerkam salah seorang
di antara mereka di udara.
Seperti sebelumnya. dalam sekali hentakan kaki belakang, binatang jejadian itu
sudah meluncur ke udara. Sasarannya adalah tubuh Datuk Kening Ungu yang mencelat
lurus ke arah utara.
Rupanya, itulah saat yang dinanti-nanti oleh Tiga Datuk Karang sendiri.
Menyusul terkaman ke udara si makhluk jelmaan
Pendekar Slebor, masih dengan tubuh sama-sama di udara, telapak Tiga Datuk
Karang berbarengan melepas pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas'!
"Hiaaah!"
Wusshhh! Sulit untuk menentukan bagaimana sesungguhnya
keadaan si makhluk jelmaan Pendekar Slebor menerima serangan balasan tak terduga
itu. Di samping tak terduga,
serangan gabungan itu bukan sembarangan. Sebelum penyempurnaan ilmu Karang saja,
Tiga Datuk Karang sanggup melebur satu bukit karang dengan pukulan berbarengan
mereka. Bagaimana pula halnya jika mereka menggabungkan pukulan setelah mereka
menuntaskan inti ilmu Karang"
Yang terlihat pada makhluk jejadian, cuma kilatan-kilatan berpasang bola mata
ular yang tetap mengancam meski keadaannya sendiri sedang terancam. Dalam setiap
kilat bola mata itu, seperti tersimpan limpahan hawa membunuh. Desis puluhan
ular yang bercokol di seputar leher
macan tanpa kepala itu memadati udara, bertumbukan dengan deru pukulan tanpa wujud 'Karang Pamungkas' dari tiga penjuru
mata angin. Jledar! Memang sudah tak mungkin lagi bagi binatang ganjil jelmaan Pendekar Slebor untuk
menghindar dari terjangan ketiga lawannya. Tubuhnya pun terhajar. Sekejapan
terlihat mengejang dikawal kepulan asap bergulung berbaur kilatan cahaya merah
mera-ngasi angkasa.
Sekian kejap kemudian, tubuh makhluk jejadian itu tertelan warna hitam yang
lahir setelah kilatan cahaya merah. Selanjutnya terlihat sosoknya menukik tajam
ke bawah. Di bawah, bibir jurang bermata tajam siap menembus tubuhnya!
Begh! Ajaib! Punggung binatang ganjilyang semestinya telak-telak menghantam bibir
jurang, ternyata sama sekali tak tersentuh. Ada satu selubung tenaga tak tampak
telah membentengi sekitar tubuhnya. Sehingga, belum lagi kulitnya menyentuh
permukaan bibir jurang, tubuh makhluk itu terpantul ke atas. Dan akhirnya jatuh
tanpa tertembus bibir jurang!
Tiga DatukKarang menjejakkan kaki pula hanya
sepersekian kejap dari jatuhnya si makhluk jejadian.
"Makhluk gila," rutuk Datuk Kening Perak menyaksikan bagaimana lawan mereka perlahan-lahan
bangkit kembali. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Bahkan hanya sekedar goresan
kecil sekalipun!
*** Menjadi jelas sudah siapa sesungguhnya yang
dihadapi Tiga Datuk Karang. Mata mereka terbuka lebar-Iebar.
Benak ketiganya
bagai dikoyak kenya-taan.
Kesaktian sempurnaan mereka yang dikira menjadi kunci kemenangan besar atas
Pendekar Lembah Kutukan
ternyata tak cukup berarti bagi makhluk jelmaan cicit buyutnya sendiri.
"Kesaktian apa yang sesungguhnya dimiliki oleh pemuda ini?" bisik Datuk Kening
Ungu, waswas. "Sementara kakek buyutnya sendiri tak akan mungkin berdaya menghadapi ilmu
Karang Pamungkas kami. Ini sungguh-sungguh tak bisa kupercaya.... ."
Sementara ketiga datuk sesat itu ternganga-nganga, makhluk jelmaan Pendekar
Slebor mulai memperlihatkan hawa membunuhnya. Puluhan ular di leher macan tak
berkepala itu bergerak-gerak liar. Sesekali saling lilit, seakan hendak kusut.
Desisannya makin kuat, menebar ancaman.
Bukan hanya itu. Dari sekujur tubuhnya kini
memancar keluar cahaya berkabut keperakan. Bentuknya seperti selubung tembus
pandang. Pada saat bulan hanya sepotong di langit, selubung cahaya itu jadi
demikian jelas.
Itulah satu pertanda kalau tenaga 'Inti Petir' dalam diri Pendekar Slebor telah
juga terkerahkan tanpa disadari.
Keadaan amat terdesak ketika dirinya yang terasuki kekuatan sesat menyebabkan
terpompanya kekuatan 'Inti Petir'. Terutama ketika pukulan 'Karang Pamungkas'
Tiga Datuk Karang merejam se-jadijadinya di tubuh makhluk jelmaan Pendekar
Slebor di udara.
Itu pula sebabnya kenapa tubuhnya luput dari
ancaman maut bibir tebing runcing. Selubung kekuatan
'Inti Petir' justru membuat tubuhnya terpantul kembali,
tanpa mengalami luka apalagi tertembus bibir jurang runcing.
"Apa Iagi ini?" desis Datuk Kening Perak. Dari nadanya tersembul sebetik keluhan
yang tak pernah pantas mengalir keluar dari kerongkongan tokoh sesat sekelas
dia. Pada saat yang sama, kebimbangan meruyak dalam
diri masing-masing anggota T iga Datuk Karang tersebut Satu pertanyaan besar
melintas dalam benak mereka.
Mestikah mereka lari sebagai pecundang kalau kesaktian andalan mereka sudah tak
Iagi berguna"
Tanpa ada kesempatan untuk menjawab apalagi
menuntaskan kebimbangan tadi, Tiga Datuk Karang
dipaksa untuk berpencaran cepat ketiga penjuru berbeda.
Lawan nan ganjil mereka untuk kesekian kalinya
menerkam. Arahnya lurus. Persis melewati sekaligus tempat berdiri tiga datuk
sesat itu. Cepat tak ubahnya bayangan dedemit, makhluk
jelmaan Pendekar Slebor mencoba menggorok leher Datuk Kening Ungu dengan
cakarnya terlebih dahulu. Kalau hanya kecepatan, tentu saja orang sekelas Datuk
Kening Ungu tak akan kerepotan meski serangan lawan demikian cepat. Lain Iagi
masalahnya jika dia sendiri belum siap menghadapi serangan tersebut. Datuk
Kening Ungu terkesiap sekedipan mata. Saat yang tak jauh berselang, kelebatan lawan sudah
teramat dekat ke arahnya.
Dengan nekat, Datuk Kening Ungu mengerahkan
puncak pukulan tanpa wujudnya di telapak tangan kanan.
Dia cepat melompat ke samping seraya melepas pukulan bertenaga dalam tingkat
tingginya. Harapannya cuma satu.
kalau beruntung tentu cakar lawan akan tertahan
pukulannya dan tubuhnya sela-mat dari sambaran cakar maut itu. Harapannya
terkabul. Desh!
Terdengar dentum kecil akibat benturan tenaga
pukulan tanpa wujud dengan cakar makhluk jejadian di udara.
Kalau menilai bagaimana hebatnya Datuk Kening
Ungu mengerahkan puncak tenaga pukulan tanpa
wujudnya, tentu tubuh makhluk jelmaan Pendekar Slebor di udara akan terpental.
Setidaknya terkamannya akan tertahan seketika.
Kenyataan yang terjadi justru tak bisa diterima akal sehat Datuk Kening Ungu.
Terkaman si makhluk jejadian malah makin melesat. Entah bagaimana caranya,
tenaga hantaman pukulan tanpa wujud Datuk Kening Ungu telah dimanfaatkan untuk
menambah kecepatan terkamannya ke sasaran lain.
Sasaran berikutnya adalah Datuk Kening Perak.
Jaraknya sekitar lima-enam tombak dari posisi Datuk Kening Ungu sebelumnya Jarak
sejauh itu bagi ukuran datuk golongan atas tentu dapat dimanfaatkan dengan baik
untuk menghindari terkaman lawan.
Namun lagi-lagi semuanya diluar perhitungan Tiga Datuk Karang sama sekali.
Kecepatan terkaman tambahan akibat pukulan Datuk Kening Ungu sebelumnya, memaksa
Datuk Kening Perak pun bertindak sama.
Dia tak mungkin hanya bisa menghindar, sebab lawan demikian cepat datang.
Sementara sekilasan, mata tajam tokoh tua sesat itu menangkap kelebatan cakar
lawan mengarah ke tempurung kepalanya. Jalan untuk selamat satu-satunya
adalah menghindar sambil
Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepas hantaman papakan. Persis seperti dilakukan Datuk Kening Ungu sebelumnya! Desh!
Sekali lagi, tenaga papakan lawan dimanfaatkan
dengan cara sulit dimengerti oleh ketiga lawannya untuk menambah kecepatan
terkaman. Yang sial adalah sasaran terakhir, Datuk Kening Merah. Kelebatan gerak
lawan di udara demikian tajam mengarah dirinya. Terlalu sulit baginya untuk
menghindar. Juga tak mungkin lagi baginya untuk melepas hantaman balasan.
Crash! "Akh!" Hanya suara tertahan itu yang terdengar dari mulut Datuk Kening Merah.
Kesialan kedua setelah robeknya sebelah bahunya telab menyebabkan tokoh tua itu
mengejang di tempat. Matanya mendelik. Kedua bola
mata kelabunya seperti hendak melejit keluar dari ceruk cekung itu. Ada garisgaris menggidikkan tergambar pada mimik wajah si tua sakti go-longan sesat itu.
Gambaran mimik orang yang merangkaki detik-detik terakhir nyawanya!
Tak lama setelah mengejang tegang, tubuh Datuk
Kening Merah ambruk ke tanah. Ketika meninju tanah, terbelahlah tempurung kepala
lelaki sesaat itu menjadi tiga bagian. Seluruh isi kepalanya berhamburan bersama
cipratan darah!
Dua datuk lain seperti tertenung di tempat. Mereka terbelalak
sebesar-besarnya.
(Kalau ingin kentut, barangkali tak bisa keluar juga)!
Saat-saat lengah seperti itu, datang lagi kelebatan cepat dari makhluk jelmaan
Pendekar Slebor. Meluruk, laksana ketergesaan sambaran halilintar pada pucuk
kelapa. Kepala keduanya menoleh berbarengan begitu
mendengar dengung khas menggempur nyali. Untuk
menghindar, mereka tak punya kesempatan lagi. Sampai....
Crash crash! Tanpa sepenggal teriakan pun. leher keduanya
terbabat habis. Mereka cuma laksana ilalang tertebas parang. Anehnya, tubuh dua
datuk tersebut tak segera menukik ke bawah. Keduanya beberapa saat mematung
seperti tinggal mengucurkan darah. Baru dalam beberapa helaan napas kemudian,
tubuh tanpa kepala dua datuk sesat itu mencium bumi.
Malam kian lelah. Dini hari muncul diam-diam.
Di puncak Gunung Slamet, sesosok tubuh tampak
berubah perlahan-lahan. Dari wujud seekor hewan tak masuk akal, kembali ke
bentuk asalnya, se-rang pemuda yang lampak demikian letih dan kacau-balau.
Menyusul sempurnanya wujud pemuda itu kembali Pendekar Slebor tersungkur ke
bumi. Wajahnya tampak kosong melompong.
Matanya terhujam lengang ke bulan sepenggalan di angkasa malam.
Ki Saptacakra, Nyai Silili-lilu dan Petaruh Sakti Perut Buncit tiba menjelang
pagi. Ki Saptacakra membopong tubuh lunglai Mayangseruni di bahunya. Mereka
datang ketika ksatria muda tanah Jawa masih tergugu.
"Kerjaan siapa ini?" gumam Ki Saptacakra terpana-pana menyaksikan tiga bangkai
Tiga Datuk Karang yang sesungguhnya sudah teramat sulit untuk ditandinginya
karena telah menyempurnakan kesaktian.
Sedangkan si perempuan uzur setengah edan malah
sibuk melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Andika yang masih
terpaku. "Kau baru kena sawan, Anak Muda Slompret?" bisiknya sem-barangan.
Sementara, manusia bangkai tumpangan roh Manusia Dari Pusat Bumi telah tak ada
Iagi di tempatnya....
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
SELESAI PENDEKAR SLEBOR
Segera terbit! SERIGALA-SERIGALA LAPAR
Dendam Manusia Kelelawar 2 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Makam Bunga Mawar 31
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama