Ceritasilat Novel Online

Iblis Penghela Kereta 3

Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Bagian 3


Des! des! Tiba-tiba saja tubuh keduanya terpental ke belakang, karena Iblis Penghela Kereta sudah cepat mengibaskan tangannya.
"Hentikan semua ini! Aku yang akan memutuskan
segala sesuatunya di sini! Tek Jien! Kau kuperkenankan untuk mengikuti Bramantoro! Tak ada pertarungan lagi!"
Tek Jien tersenyum puas. Bramantoro kelihatan
mendengus. Lalu tanpa banyak cakap lagi, diseretnya
tubuh Rinai yang terbanting-banting mengikutinya.
Tek Jien pun mengikutinya di belakang.
*** Suasana di sekitar Lembah Ular memang mengerikan. Begitu banyak ular berbisa dari bermacam jenis yang hidup di sana. Namun
bagi kedua tokoh kepercayaan Iblis Penghela Kereta, bukanlah hal yang menyulitkan. Mereka dengan mudah melewati puluhan
ular yang siap mencabut nyawa.
Di pinggiran Lembah Ular, Bramantoro membanting tubuh Rinai hingga terguling.
"Mata-mata keparat! Di mana Pendekar Slebor
berada, hah"!" bentak Bramantoro, keras.
Rinai hanya menangis dengan ketakutan. Sementara, Tek Jien melipat kedua tangannya sambil
memperhatikan sikap Bramantoro.
"Bangsat! Jawab pertanyaanku"!"
Tetapi gadis itu tetap terdiam.
"Mengapa harus berlama-lama lagi" Bunuh gadis
keparat itu!" tuntut Tek Jien, tak sabar.
Bramantoro menoleh sengit pada Tek Jien.
"Kau mau apa, hah"! Yang ditugaskan untuk
membunuhnya adalah aku!"
"Dan aku yang ditugaskan untuk mengawasi mu!"
sahut Tek Jien tenang.
"Keparat! Mengapa kau tidak mempercayai aku,
hah"!" bentak Bramantoro.
Tiba-tiba saja Tek Jien terbahak-bahak
"Bramantoro! Apakah kau pikir aku tidak tahu,
kalau kau sengaja melepaskan Nyai Harum dan gadis
jelita yang bersamanya" Dengan berlagak terserang selendang Nyai Harum, kau mempergunakan kesempatan itu untuk menabrakku! Keparat Busuk! Siapakah
kau sebenarnya!"
"Bangsat!" maki Bramantoro. "Apakah kau pikir ada orang lain yang menyamar
sebagai aku, hah"! Tek
Jien Jangan menjual lagak di sini!"
"Bramantoro.... Bagaimana kau bisa mengetahui
kalau gadis itu adalah mata-mata Pendekar Slebor"
Kau pikir aku buta, kalau semua ini adalah sandiwara
darimu saja"!"
Wajah Bramantoro memerah. Kegeramannya
nampak sekali. "Ketika selesai bergelut denganku, dia tertidur.
Dan dalam tidurnya, dia mengigau mengucapkan nama Pendekar Slebor. Bahkan berkata, kalau dirinya
tak mampu menembus pertahanan Iblis Penghela Kereta," jelas Bramantoro.
"Hanya anak kecil yang mempercayai ucapanmu!"
cibir Tek Jien.
"Terserah pendapatmu!"
"Kalau begitu, bunuh dia! Atau, biar aku yang
membunuhnya!"
Tiba-tiba saja Tek Jien menderu cepat ke arah Rinai yang masih menangis.
*** 10 Plak! Serangan Tek Jien terhantam pukulan Bramantoro. Keduanya cepat bersalto ke belakang dengan pandangan sama-sama geram.
"Apa urusanmu menghalangiku membunuhnya"!"
bentak Tek Jien.
"Apa urusannya denganmu yang mencoba membunuhnya?" balas Bramantoro. "Ingat, Tek Jien! Aku-lah yang ditugaskan Kawan
Sunsang!" "Kalau dia memang mata-mata Pendekar Slebor,
kau harus membunuhnya! Paling tidak, mengatakan
di mana pendekar sialan itu berada!"
Bramantoro terdiam dengan pandangan tajam.
"Kau tanya saja dia!" ujar Bramantoro.
"Baik! Kalau dia tidak mau mengatakannya, akan
kubunuh sekarang juga! Ku gantung di dahan pohon
besar itu!" seru Tek Jien, lalu melangkah mendekati Rinai yang masih menangis.
"Gadis keparat! Di manakah Pendekar Slebor berada"!"
Rinai hanya diam saja sambil terguguk. Tek Jien
menjadi gusar. Kakinya bergerak cepat.
Namun lagi-lagi serangannya itu dihalangi Bramantoro. Plak! "Kau?" Tek Jien menuding dengan suara geram.
"Hhh! Tek Jien! Kita tentukan saja. siapa yang
berhak membunuh gadis itu!" sahut Bramantoro garang. "Kalau mengikuti perintah Iblis Penghela Kereta, aku lah yang berkenan
membunuhnya! Tetapi, rupanya saat ini kawan telah menjadi lawan!"
"Kaulah yang telah mengkhianati kepercayaan ku
sesama kawan! Kau pula yang sengaja membiarkan
Nyai Harum dan gadis itu meloloskan diri! Baik! Aku
pun ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!"
Seusai berkata begitu, Tek Jien berkelebat dengan
serangan berisi tenaga dalam penuh. Sementara Bramantoro membuka kipasnya.
"Aku pun ingin tahu, apakah Iblis Penghela Kereta tidak salah memilih orang!"
kata Bramantoro.
Serangan Tek Jien benar-benar mengandung kekuatan penuh. Sebuah serangan berbahaya. Dan sekali gebrak saja, tangannya terlihat bagaikan berjumlah seribu. Memotong, memukul, menghantam Bramantoro yang dijadikan sasaran.
Bramantoro sendiri mengimbanginya dengan kepandaian memainkan kipas yang dijadikan senjatanya. Dia pun tak mau kalah menunjukkan kepandaiannya. Tek Jien yang yakin kalau Bramantoro sengaja
melepaskan Nyai Harum dan Tiwi, terus melancarkan
serangannya. Setiap kali tangannya berkelebat, menimbulkan getaran angin yang kuat sekali.
Wuttt.... Sementara itu, Rinai diam-diam menghela napas
panjang. Dia sebenarnya tidak mengerti, mengapa lelaki setengah baya yang berwajah tampan itu mau
membebaskannya. Padahal, ketika pertama kali bertemu, lelaki itu main paksa saja untuk melayaninya.
Akan tetapi, sekarang begitu baik sekali. Bahkan mau
membelanya yang hendak dibunuh Tek Jien. Padahal
menurut Rinai, dengan mengeluarkannya dari sini saja sudah sangat sulit.
Diam-diam Rinai mengagumi lelaki berkipas yang
kini membalas serangan-serangan Tek Jien dengan
hebatnya. Dua sosok tubuh bergerak laksana bayangan. Satu sama lain mencoba untuk mencari kelemahan sekaligus menjatuhkan.
Serangan-serangan yang dilancarkan Tek Jien
sangat berbahaya. Di samping muak bila mengingat
tingkah Bramantoro yang sudah seperti pengkhianat.
Bramantoro sendiri mengeluarkan jurus-jurus
kebanggaannya yang diimbangi jurus 'Tangan Seribu'
milik Tek Jien. Dua serangan itu sama-sama berbahaya, mengandung tenaga kuat sekali.
Pada suatu kesempatan, Tek Jien meluruk dengan tangan mengebat ke sana kemari, mencoba mengalihkan perhatian Kipas Dewa Hidung Belang.
Kelihatan untuk sesaat Bramantoro terkejut. Dia
berusaha mengelakkan serangan yang membabi buta
itu. Buk! "Ughhh...!"
Satu pukulan Tek Jien tepat mengenai dada Kipas
Dewa Hidung Belang, membuatnya terhuyung ke belakang dan merasakan nyeri yang cukup lumayan. Wajahnya pun memerah.
"Kutu monyet! Pitak! Pitak!" bentak Bramantoro.
"Kau harus merasakan balasan ku, Tek Jien!"
Mendadak saja, Kipas Dewa Hidung Belang melompat menyerbu dengan suara angin menderu. Tek
Jien yang merasa sudah di atas angin pun memapaki
dengan satu keyakinan, kalau kecepatannya lebih hebat daripada Bramantoro.
Plak! Plak! Dua buah benturan terjadi. Justru Tek Jien yang
terjajar mundur ke belakang. Tangannya terasa nyeri
sekali. Ketika dilihatnya, sudah berwarna biru.
"Bangsat!" geramnya keras, menyadari kalau tiba-tiba saja tenaga dalam
Bramantoro mendadak menjadi
lebih hebat. "Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pengkhianat!"
Mendadak saja tubuh Tek Jien meluruk kembali
dengan kecepatan luar biasa. Kali ini segenap kemampuannya untuk menjatuhkan Bramantoro benar-benar
dikerahkan. Justru kesempatan seperti itu dipergunakan
Bramantoro dengan berguling. Karena, serangan meluruk memang hanya bisa ditandingi dengan gerakan
seperti itu. Ketika tubuh Tek Jien melenting ke atasnya, Bramantoro mengibaskan kipasnya.
Breet! "Aaakh...!"
Kipasnya memakan kaki Tek Jien, hingga tergores dan mengucurkan darah. Melihat hal itu, lelaki dari Tiongkok itu semakin
beringas. Serangannya semakin menderu-deru. Dia sudah tidak mampu lagi
mengendalikan nafsu membunuhnya!
Dan amarah Tek Jien menjadi senjata makan
tuan baginya. Karena kejap berikutnya tubuhnya sudah dijadikan bulan-bulanan oleh serangan Bramantoro. Dan serangan penutup yang dilakukan Bramantoro, ketika kipasnya yang dialiri tenaga dalam penuh dikibaskan ke leher Tek
Jien. Breeettt! Pluk! Pluk! Kepala Tek Jien kontan terpenggal dari lehernya,
terkena hantaman kipas Bramantoro dan langsung
menggelinding. Sesaat tubuh tanpa kepala itu bergetar, lalu ambruk dengan darah muncrat dari leher....
Bramantoro mendengus.
"Hhh! Mampuslah kau!"
Lelaki ini lantas mendekati Rinai yang tadi menjerit
menyaksikan kematian Tek Jien mengiriskan. Dirangkulnya gadis itu.
"Tenanglah.... Kau aman sekarang. Lebih baik,
cepatlah kembali ke kampung mu. Atau ke mana saja.
Maaf, aku tak bisa menemanimu. Karena, keadaan
semakin genting...," ujar Bramantoro.
Rinai sesenggukan di dada yang bidang itu. Air
matanya membasahi baju Bramantoro.
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Saat ini bukanlah yang tepat untuk bercakap-cakap. Kau bebas. Aku
yang akan mempertanggung jawabkan semua ini. Cepatlah pergi dari sini!"
Rinai hanya mengangguk-angguk saja. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu sambil mengangkat kainnya, dia berlari meninggalkan tempat itu.
Bramantoro telah selesai menguburkan mayat
Tek Jien. Dan sebelum kembali ke pemukiman gerombolan Iblis Penghela Kereta....
"Rupanya... kawan telah menjadi lawan...."
*** Bramantoro menghentikan langkahnya. Seketika
terlihat satu sosok tubuh berpakaian putih asal saja
dengan rambut panjang namun rapi. Sosok tua itu
melangkah dengan tenang ke arahnya. Lalu, berhenti
kira-kira berjarak tiga tombak. Wajah sosok baru
muncul itu cukup menyeramkan. Di tangannya ada
sebuah tongkat yang seolah-olah membantunya untuk
melangkah. Dia tak lain dari Eyang Purnama.
"Rupanya dunia ini memang sudah menghitam.
Aku tak tahu, apakah suatu saat akan menjelma menjadi putih," lanjut Eyang Purnama.
"Orang tua, siapakah kau"!" tanya Bramantoro dengan suara tenang, namun terkesan
lembut. "Aku yang tua ini baru muncul untuk menyaksikan pertumpahan darah yang akan terjadi dan selalu
akan terjadi."
"Hei"! Jangan berlagak seperti penyair India! Sebutkan namamu!"
"Orang-orang memanggilku Eyang Purnama," sahut lelaki itu sambil tersenyum.
"Rupanya, aku berhadapan dengan antek-antek Iblis Penghela Kereta yang
telah membunuh kawannya sendiri! Bagus! Aku pun
ingin menumpas manusia sesat itu! Bersiaplah.... Karena, kau akan mampus hari ini juga!"
"Tahan! Eyang Purnama! Kita tak saling mengenal dan baru kali ini saling kenal. Lebih baik, tunda sa-ja pertarungan kita kali
ini!" seru Bramantoro, menolak tantangan.
"Di mana aku berpijak, darah akan tumpah.
Sayangnya, darah itu akan mengalir akibat perbuatanku! Bersiaplah!" tandas Eyang Purnama.
"Eyang! Dengar baik-baik sebelum semuanya terlambat! Karena bila kita... heaaa!"
Tiba-tiba saja Bramantoro mengibaskan kipasnya ke arah Eyang Purnama. Namun dengan sigap
orang tua itu menghindarinya.
Tepat ketika Eyang Purnama bersiaga kembali,
Bramantoro telah berkelebat meninggalkan tempat ini.


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentar saja, tubuh Bramantoro sudah menghilang
dari pandangan.
Eyang Purnama hanya menggeleng-geleng saja.
Dia tidak mengejar. Justru tangannya mendadak saja
bergerak begitu lembut, seolah tak bertenaga.
Wusss...! Tetapi akibatnya, di kejauhan Bramantoro yang
sedang berlari kencang mendadak saja membuang tubuhnya ke samping.
Blarrr.... Terdengar suara bagai letusan.
"Gila! Rupanya manusia itu memang benar-benar
memiliki ilmu yang sangat tinggi!"
Dengan cepat Bramantoro menambah larinya.
Eyang Purnama hanya mendesah. Dan kakinya melangkah pelan namun pasti, menuju Lemah Ular.
*** Di bawah pohon rindang dua sosok duduk terpekur seperti menikmati malam yang semakin merambat
perlahan. Suara binatang malam terdengar ramai, bersahutan. "Nyai.... Seharusnya kita kembali lagi ke Lembah Ular," kata sosok yang lebih
muda dengan suara sengit. Sosok itu tak lain dari Tiwi. Hatinya geram bukan
main, karena hampir saja dipermalukan Tek Jien. Ingin rasanya dia mengadu jiwa
saat itu. Tak peduli kalau harus tewas! Yang pasti, kehormatannya lebih
tinggi di atas segala-galanya. Dan itu dijunjung semurni-murninya.
Nyai Harum bisa memaklumi kejengkelan hati Tiwi yang dipermalukan Tek Jien.
"Tiwi, apa yang ada di hatimu pun sama dengan
yang ada di hatiku. Keinginanku hanya satu. Melihat
Iblis Penghela Kereta mampus, demi membalas dendam kakak seperguruanku, Ki Rusa Tungga. Akan tetapi, bila kita meneruskan pertarungan dua hari yang
lalu, bisa dipastikan hanya membuang nyawa percuma saja. Itu suatu kebodohan yang tak boleh terjadi,"
sahut sosok tua yang sudah jelas Nyai Harum, bijaksana. "Nyai! Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
harus mampus! Si keparat kawannya itu juga!"
"Siapa pun yang berada di sana harus mati, Tiwi!
Kecuali mereka yang insyaf dan kembali di jalan lurus," kata Nyai Harum.
Sebenarnya yang dipikirkan perempuan tua itu
adalah sikap Bramantoro yang tiba-tiba muncul. Nyai
Harum yakin seyakin-yakinnya, kalau Bramantoro
memang hendak menolongnya. Meskipun, disamarkan. Pertama, dari serangan maut Iblis Penghela Kereta. Kedua, dari serangan Tek Jien. Bahkan yang masih
diingatnya saat selendang warna-warninya dikibaskan
dalam keadaan terdesak. Seharusnya, tokoh seperti
Bramantoro yang dikenal berjuluk Kipas Dewa Hidung
Belang itu mampu menghindarinya. Akan tetapi lelaki
itu justru terhantam selendangnya. Bahkan menabrak
tubuh Tek Jien, yang sedang melancarkan serangan
maut, siap mencabut nyawanya.
Nyai Harum benar-benar tidak tahu, apa maksud
Bramantoro yang sebenarnya. Kalau memang antek
Iblis Penghela Kereta, mengapa mesti menolongnya"
Kalau bukan antek dari tokoh sesat itu, mengapa menolongnya"
"Nyai.... Kau kenapa?" tanya Tiwi, memecah kesunyian karena sejak tadi dia pun
berdiam diri. "Tidak apa-apa, Anak Manis. Kita memang harus
kembali ke Lembah Ular. Akan tetapi, bila hanya berdua saja tak akan mampu untuk mengalahkan mereka," desak perempuan tua ini.
"Kau tak perlu khawatir, Nyai Harum.... Karena
kami pun akan menuju ke sana...."
Mendadak terdengar suara. Tak lama, muncul
dua ekor kuda di hadapan mereka.
Justru Tiwi yang langsung bangkit, begitu melihat
siapa yang muncul.
"Pemuda keparat! Kembalikan selendang jinggaku!" dengus Tiwi seraya melenting ke arah Jaka yang langsung melompat dari
kudanya. "Tahan, Tiwi! Tahan!" seru Jaka seraya bergulingan menghindari serangan Tiwi
yang beruntun. "Pemuda hidung belang! Kembalikan selendangku!" seru gadis itu jengkel, melihat selendang ke-sayangannya melilit di
pinggang Jaka. Dengan cepat Jaka segera meloloskan selendang
itu, lalu melemparkannya ke arah Tiwi.
"Kalau hanya ingin meminta selendangmu kembali, jangan bersikap seperti itu! Nih, ambil!"
Lemparan selendang itu ternyata bukan lemparan
biasa, karena sudah dialiri tenaga dalam oleh Jaka.
Pemuda itu memang jengkel pula melihat sikap Tiwi.
Tiwi sendiri mengetahui kalau selendang itu dialiri
tenaga dalam. Terbukti dari sentakannya yang terdengar menderu. Dengan sigap gadis itu bersalto dua kali. Segera
disambarnya selendangnya. Lalu kakinya hinggap di
tanah dengan ringan.
"Hhh! Kini kau harus membayar semua ulah mu
tempo hari!"
Mendadak saja Tiwi mengibaskan selendangnya ke
arah Jaka. Ctaaarrr! Jaka tersentak, dan buru-buru mengempos dirinya. "Hei, tahan! Kita satu golongan. Jangan main serang seperti ini!" seru Jaka, mengingatkan.
Tetapi Tiwi tidak mau peduli. Gadis itu terus
mencecar Jaka dengan cepatnya. Dalam satu hal, ia
membenci Jaka. Karena kalau saja selendang kesayangannya berada di tangannya, sudah tentu Tek
Jien tak akan mampu mempermalukannya.
Sementara itu, Ki Kamanda melompat dari kudanya. Segera ditemuinya Nyai Harum, dan duduk di
sebelahnya. Keduanya tak mempedulikan Jaka dan
Tiwi yang saling serang.
"Kudengar Nyai sudah bertarung dengan Iblis
Penghela Kereta?"
"Kau benar, Kamanda. Dia sangat hebat. Ilmunya
tinggi. Aku dibuat tak berdaya dengan kereta tanpa
kudanya yang dikendalikan tenaga dalam."
"Nyai.... Apakah Nyai bertemu Pendekar Slebor?"
tanya Ki Kamanda.
"Tidak Kenapa?" sahut Nyai Harum, seraya bertanya.
Ki Kamanda terdiam sesaat
"Nyai..., Pendekar Slebor sudah pergi beberapa
hari yang lalu, menuju Lembah Ular. Dia berjanji akan datang ke Hutan Witis bila
sudah tiba di sana. Akan
tetapi, setelah enam hari lewat, pemuda itu tidak
muncul juga. Nyai.... Apakah Nyai menduga kalau dia
tertangkap atau tewas di sana?"
Nyai Harum menggeleng.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Tak ada kalimat dari siapa pun dari orang-orang di
sana yang mengatakan
tentang Pendekar Slebor."
Ki Kamanda terdiam sesaat.
"Hmmm.... Aku yakin sekarang, kalau dia memang belum mati. Ini suatu berita bagus. Karena dengan bantuannya-lah kita bisa menaklukkan Iblis
Penghela Kereta," gumam Ki Kamanda, dengan suara sedikit lega.
"Dan jangan lupa, Kamanda. Iblis Penghela Kereta dibantu tiga orang antekanteknya yang tangguh."
Ki Kamanda hanya mengangguk-angguk saja. Sedikit banyaknya dia memang telah memperkirakannya. Lalu perhatian lelaki ini beralih pada Tiwi yang masih menyerang Jaka
dengan garang. Sementara,
Jaka hanya berusaha menghindari serbuan sambil
berseru-seru agar Tiwi menghentikan tindakannya. Tiba-tiba saja di bibir Ki Kamanda menyungging senyuman. Begitu pula di bibir Nyai Harum yang juga memperhatikan pertarungan. "Hei, Kamanda.... Apakah kau tidak menyadari
kalau muridmu itu sudah besar?" seru Nyai Harum.
"Bagaimana denganmu, Nyai?" tukas Ki Kamanda. "Ya, ya... Tiwi sudah dewasa. Sudah pantas
mempunyai suami. Kau sendiri?"
"Begitu pula Jaka. Tetapi, aku tak berani lancang memutuskan. Karena
sesungguhnya dia adalah murid
kakak seperguruanku, Ki Buwana."
"He! Buwana sudah tewas! Kini kau yang berhak
memutuskan."
"Aku akan memutuskannya, Nyai."
"Bagus! Lamarlah Tiwi kepadaku!"
Ki Kamanda menoleh pada Nyai Harum. "Nyai
Harum..., aku melamar Tiwi untuk Jaka."
Nyai Harum terkekeh-kekeh. "Kuterima lamaranmu itu, Kamanda!"
Tiba-tiba Nyai Harum mengibaskan tangannya
pada dua remaja yang sedang bertarung.
Wusss! Serentak kedua remaja itu bersalto ke belakang.
Dan hampir bersamaan mereka menginjak bumi.
"Nyai! Jangan ganggu aku! Biar manusia keparat
itu mampus!" seru Tiwi, keras.
Nyai Harum tertawa-tawa.
"Sini, Anak Mas-ku. Sini...."
Sambil menghentakkan kakinya dengan bibir
cemberut, Tiwi mendekati Nyai Harum. Matanya menoleh marah pada Jaka yang hanya terpaku di tempatnya. "Ada apa sih"! Pemuda sialan itu harus dihajar!"
Tiwi merajuk, manja.
"Tenang dulu, Anak Mas. Tenang dulu. Sekarang
dengarkan aku. Tiwi..., Paman Kamanda telah melamar mu untuk dijadikan istri muridnya," jelas Nyai Harum.
"Siapa muridnya?" tanya Tiwi.
"Ya, si Jaka itu."
"Apa?"
Suara Tiwi menggema keras. Lalu mendadak saja
gadis ini menjadi gelagapan. Sepertinya dia tak tahu
harus berkata apa.
Nyai Harum tahu, sedikit banyaknya Tiwi telah
jatuh hati pada Jaka. Hanya sebagai seorang gadis,
dia harus memperlihatkan keterkejutannya yang bercampur malu. Kalau saja Tiwi membentak-bentak dan
ngambek, bisa dipastikan kalau menolak. Tetapi, Tiwi
justru gelagapan!
"Tiwi..., kau tak perlu ragu. Bila menolak, katakan saja. Dan bila setuju,
katakan pula yang sesungguhnya...."
"Aku...."
"Nah, kenapa?"
"Aku... ooh! Nyai..., mengapa dia yang melamar
ku?" seru gadis ini tiba-tiba.
"Kenapa, memangnya?"
"Pemuda itu jalang! Sialan! Dia pernah memeluk
ku! Bahkan mengambil selendang jingga ku! Dia harus
mati, Nyai! Bukan menjadi suamiku!"
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Yang
kubutuhkan sekarang, menerima lamaran Kamanda
untuk Jaka atau tidak?" tukas Nyai Harum sambil tersenyum.
Kembali wajah dara jelita itu memerah, tak tahu
harus berbuat apa. Sesungguhnya Tiwi memang telah
jatuh hati pada Jaka. Apalagi bila mengingat, bagaimana pemuda itu merangkulnya untuk menahannya
agar jangan menyerang lagi. Tetapi sudah tentu gadis
ini bingung. Makanya, dia berdiri saja dengan wajah
memerah. Gelagapan lagi!
"Kamanda..., aku tidak tahu apakah anak masku
ini menerima lamaranmu itu. Kau sendiri bagaimana"
Apakah Jaka sudah setuju dengan usulmu?"
Ki Kamanda tersenyum, lalu mendekati Jaka.
"Nah! Kau pasti sudah mendengarnya pula, Jaka. Aku menginginkan kau dan Tiwi
menjadi suami istri abadi
yang hanya bisa dipisahkan oleh maut. Kau setuju
Jaka?" Meskipun secara tidak langsung sudah mendengar percakapan antara Nyai Harum dengan Tiwi, wajah
Jaka pun memerah. Dia juga tidak tahu harus berkata
apa. Makanya pemuda ini terdiam seribu bahasa.
Kini, Ki Kamanda yang tertawa-tawa.
"Nyai Harum! Kalau melihat gelagatnya, ponakanku ini setuju bila Tiwi menjadi istrinya," lapor Ki Kamanda.
"Nah, Tiwi, Kau mendengar kata-kata Paman Kamanda itu?" tanya Nyai Harum pada Tiwi.
Tiwi diam saja. Lalu, mendadak gadis itu berlari
meninggalkan mereka. Justru Nyai Harum yang tertawa-tawa. "Jaka, kejarlah dia! Dia adalah calon istrimu!"
ujar Nyai Harum setengah meledek.
Jaka ragu-ragu, lalu berpaling pada Ki Kamanda.
"Paman...."
"Jaka... Bukankah kau ingin tahu, mengapa Tiwi
waktu itu menangis ketika selendangnya kau rebut"
Inilah jawabannya. Karena sesungguhnya dia telah jatuh hati padamu. Nah, silahkan mencarinya. Dan, bawa dia ke sini, bila kau memang mencintainya.."
Jaka kelihatan masih ragu. Tetapi sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebat mencari Tiwi. Nyai
Harum dan Ki Kamanda saling berpandangan dan sama-sama tertawa.
"Tak kusangka, kalau kita akhirnya berbesan,
Kamanda...," kata perempuan tua itu, lega.


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, kau benar. Kini kita harus memikirkan, bagaimana caranya menghancurkan Iblis Penghela Kereta. "Sekalian mencari tahu tentang Pendekar Slebor,"
sambut Ki Kamanda.
"Kita akan merembukkannya setelah kedua remaja itu datang...," sahut Nyai Harum.
Lalu mereka terdiam. Beberapa saat kemudian,
muncullah Jaka sambil menuntun tangan Tiwi yang
menundukkan kepalanya. Nyai Harum cekakakan melihatnya. Sedangkan Ki Kamanda hanya tersenyum saja. "Kau lihat, Kamanda.... Bukankah mereka pasangan yang cocok?" ujar Nyai
Harum. "Aku pun berpikiran sama, Nyai. Hmmm..., Jaka!
Apakah kau sudah mantap untuk mempersunting Tiwi?" Jaka menganggukkan kepalanya. "Ya, Paman.."
"Dan kau, Tiwi?" tanya Nyai Harum.
"Jangan menggoda ku terus, Nyai!" Bukannya menjawab pertanyaan gurunya, Tiwi
justru merajuk dengan wajah memerah.
Nyai Harum tertawa sambil mengulapkan tangannya agar kedua remaja itu mendekat. Lalu mereka pun
segera merembukkan rencana penyerbuan kembali ke
Lembah Ular. *** 10 Waktu sepenanak nasi pun lewat. Sementara, udara berhembus semilir.
Tiwi dan Jaka sejak tadi saling mencuri pandang.
Kalaupun berbenturan, keduanya buru-buru melengos. Atau, saling senyum dengan wajah memerah.
Nyai Harum diam-diam sejak tadi memperhatikan. "Hei, hei! Kalau kalian mau berpacaran, cari tempat sepi sana!" ledek
perempuan tua itu.
"Nyai!" seru Tiwi dengan wajah semakin memerah.
Nyai Harum terkekeh-kekeh.
"Ayolah, Jaka.... Ajak Tiwi ke tempat yang sepi.
Benar bukan, Kamanda?"
Ki Kamanda hanya tersenyum saja. Merasa lucu
melihat sikap kedua remaja itu yang malu-malu.
Jaka lebih bisa menguasai diri. Tahu-tahu dia
bangkit mendekati Tiwi. Tangannya diulurkan. Tiwi
mengangkat wajahnya, terperangah. Hanya sesaat, karena sesaat kemudian kepalanya menunduk dengan
dada berdebar. "Hei, hei! Sudah sana!" seru Nyai Harum sambil tertawa pula.
Dengan menahan malu dan wajah memerah, Tiwi
bangkit. Bahkan tanpa mengambil tangan Jaka yang
masih terulur padanya.
"Lho" Mengapa diacuhkan" Tiwi, genggam tangan
kekasihmu itu."
"Nyai ini! Menggoda melulu!"
Justru Jaka yang meraih tangannya dan menggenggam. Dan dengan senyum mesra, diajaknya Tiwi
meninggalkan kedua orang tua itu.
"Hei! Jangan berbuat macam-macam!" seru Nyai Harum.
Di tempat yang rindang, Jaka berhenti melangkah. Tidak berkata apa-apa, karena dadanya pun bergemuruh hebat. Begitu pula Tiwi yang hanya memandang jauh ke depan sana. Sungguh, baru kali ini dia
mengalami pesona cinta yang begitu indah. Dan ini
membuatnya merasa serba salah melakukan apa saja.
"Adikku...!" panggil Jaka, tetap tanpa menoleh.
"ya, Kakang...."
"Apakah..., apakah kau benar-benar setuju dengan usul Paman Kamanda dan Bibi Nyai Harum?"
Wajah Tiwi memerah. "Aku..., ah! Kau sendiri, bagaimana?" Tiwi malah balik
bertanya. Kali ini Jaka menoleh, menatap lekat-lekat pada
gadis jelita di sisinya.
"Aku, aku..., bersungguh-sungguh, Adikku....
Bahkan..., aku, aku, senang sekali. Bagaimana dengan
kau?" Tiwi hanya terdiam. Dadanya mendendangkan kidung cinta yang nyaman.
Justru Jaka yang menjadi gelagapan, karena sekian saat ditunggu, Tiwi tidak menjawabnya.
"Adikku..., katakanlah. Apakah kau setuju?"
Tiwi hanya terdiam.
"Adikku...," desis Jaka hampir putus asa. Kali ini Tiwi menoleh. Matanya menatap
malu-malu. "Kakang..., aku, aku..., setuju."
"Oh! Benarkah, Adikku?"
Tanpa sadar Jaka menggenggam kedua tangan
Tiwi yang halus.
Kepala Tiwi mengangguk perlahan-lahan. "Kau tidak merasa terpaksa?"
Kepala Tiwi menggeleng.
"Oh, Gusti.... Terima kasih atas rahmat-Mu," desis Jaka.
Lalu tiba-tiba pemuda ini menatap lekat-lekat
pada Tiwi. Yang ditatap menjadi gelagapan. Dia melihat riak-riak cinta yang hangat. Tidak berbalur nafsu.
"Kakang..., kenapa menatap ku seperti itu?"
"Kau..., kau cantik, Tiwi...."
"Ah...."
Tiwi hanya bisa mendesah dengan kepala tertunduk. Perlahan-lahan Jaka mengangkat dagu lancip
gadis itu. Sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Tiwi dengan lembut.
Sekarang, wajah mereka berhadapan. Masingmasing bisa melihat binar cinta yang syahdu. Tiwi gelagapan ketika perlahan-lahan Jaka memajukan kepalanya. Dan tanpa sadar, sepasang mata gadis ini yang
bening dan jernih terpejam. Dadanya berdebar semakin keras. Akankah Kang Jaka menciumku" Ya, ya...!
Dia akan merasakan kasih sayang dari pemuda itu.
Mata Tiwi pun semakin rapat dipejamkan.
"Hei! Mau apa kalian!"
Serentak Jaka menarik pulang kepalanya. Sementara Tiwi membuka matanya terperanjat.
Nyai Harum tertawa-tawa. Di sisinya, Ki Kamanda
hanya tersenyum saja.
"Nyai!" seru Tiwi gemas.
"Sudah, sudah.... Sekarang kita harus menuju
Lembah Ular. He he he... maaf, mengganggu keasyikan
kalian. Ayo, Kamanda!"
Kedua orang tua itu sudah melangkah.
Sementara sepasang remaja itu berpandangan, lalu tiba-tiba tertawa. Dan mereka segera menyusul kedua guru masing-masing.
*** Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengar
kata-kata Bramantoro yang mengabarkan kalau gadis
bernama Rinai telah mampus digantung.
"Aku suka dengan kerjamu. Tetapi, ke manakah
Tek Jien" Mengapa dia tidak muncul bersamamu?"
tanya Iblis Penghela Kereta kemudian. Sementara si
Pesolek Tongkat Naga duduk menjuntai di sisinya.
"Kawan Sunsang! Aku tak mengerti melihat sikap
Kawan Tek Jien. Dia bersikeras menunggu mayat gadis itu, dengan harapan Pendekar Slebor akan muncul," sahut Bramantoro, lantang.
"Bagus, bagus sekali! Aku menyukai kawan yang
penuh tanggung jawab seperti itu."
"Bramantoro...."
Tiba-tiba terdengar suara Ni Muntiti yang dingin.
"Apakah kau berjumpa seseorang yang bernama
Eyang Purnama?" lanjut perempuan itu.
Bramantoro kelihatan terhenyak.
"Ya, aku bertemu dengannya. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Melihat sinar mentari yang redup di atas, aku
yakin semua itu disebabkan munculnya Eyang Purnama. Beberapa puluh tahun yang lalu, aku sempat
bentrok dengannya. Karena saat itu, di rimba persilatan ini hanya aku dan dialah yang diakui sebagai
orang nomor satu. Memang, saat itu ada Raja Penyamar, Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam, dan Hakim Tanpa Wajah yang mampus di Mesir. Sampai saat
ini pun, sepak terjang ketiga tokoh aneh itu masih kudengar. Maksudku, Raja
Penyamar, Pendekar Dungu,
dan Lelaki Berbulu Hitam. Aku tak pernah bentrok,
karena sikap mereka yang angin-anginan. Akan tetapi,
berkali-kali aku bentrok dengan Purnama. Dan terakhir kali kami bertarung, aku sempat dikalahkannya.
Sekarang ini, kesempatan ku untuk membalaskan
dendam empat puluh tahun lalu itu!" tukas Ni Muntiti.
Sehabis Ni Muntiti berkata seperti itu....
"Hhh! Aku mencium pupur busuk yang selalu dikenakan oleh Pesolek Tongkat Naga! Ni Muntiti, keluarlah kau!"
Mendadak terdengar suara keras bernada angker.
Ni Muntiti berpandangan dengan Iblis Penghela
Kereta yang terbahak-bahak.
"Bagus! Kemunculannya bisa mempermudah seluruh rencana kita," kata perempuan tua itu sambil bangkit.
Dan mereka bertiga pun melangkah ke halaman
pendopo. Di pendopo tampak satu sosok tubuh Eyang
Purnama berdiri tegar. Di sekitarnya, bergelimpangan
sekitar dua puluh lima orang anak buah Iblis Penghela Kereta.
Melihat hal itu, sudah tentu wajah Iblis Penghela
Kereta merah padam. Diam-diam bisa di ukurnya kehebatan Eyang Purnama, karena mampu menjatuhkan anak buah pilihannya tanpa menimbulkan suara
sedikit pun! "Purnama...! Empat puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Rupanya kehebatanmu sudah semakin bertambah." "Jangan memuji, Muntiti. Aku justru semakin
tua. Usiaku semakin lanjut. Dan tenagaku semakin
menipis. Yang tak pernah kusangka, seorang tokoh
yang namanya ditakutkan orang-orang rimba persilatan rupanya telah menjadi antek dari bajingan busuk
seperti Iblis Penghela Kereta! Muntiti! Tidakkah kau
berpikir, kalau ilmu yang kau miliki itu berguna untuk membela orang lemah?"
"Hhh! Seperti dulu, kau masih sering pula berkhotbah!" geram Ni Muntiti.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak mendengarnya. Sementara Bramantoro diam-diam mendesah
panjang dalam hati.
"Eyang Purnama! Aku menawarkan harta yang
banyak dan kedudukan tinggi bila kau mau bergabung
denganku! Sama seperti yang didapatkan oleh Ni Muntiti," timpal Iblis Penghela Kereta.
Eyang Purnama tersenyum.
"Iblis Penghela Kereta! Sayangnya, aku tak tertarik dengan harta dan kedudukan
seperti yang kau tawarkan. Aku berbeda dengan Muntiti yang telah buta
oleh harta dan kedudukan. Dan, ketahuilah! Kedatanganku ke sini hanyalah untuk memenggal kepalamu!"
Memerah wajah Iblis Penghela Kereta mendengar
kata-kata yang dilontarkan Eyang Purnama.
"Bunuh manusia keparat itu!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta berseru keras
pada beberapa anak buahnya yang berdiri mengelilingi
Eyang Purnama. Maka seketika puluhan anak buahnya dengan
senjata di tangan menyerbu. Meskipun sekitar dua puluh lima teman-teman mereka yang bergeletakan, namun mereka tetap menyerang Eyang Purnama dengan
garang. Dan dalam sekejap, tubuh mereka sudah terpelanting deras ke belakang. Yang masih kuat, bangkit
dan menyerbu lagi dengan teriakan semakin garang.
"Sayangilah nyawa kalian! Karena, kalian telah
diperbudak iblis sesat itu!" teriak Eyang Purnama, mengingatkan sambil
mengebutkan tangannya.
Kembali, mendadak saja tubuh para pengikut Iblis Penghela Kereta berpentalan.
"Mundur!" teriak Ni Muntiti.
Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan
ini melayang ke arah Eyang Purnama.
"Kalau dulu kau bisa mengalahkan aku, kini kau
yang akan terkapar di Lembah Ular ini, Purnama!" desis Ni Muntiti sambil
mengebutkan tongkatnya.
Wuuut! Wuuuttt! Eyang Purnama menghindari serangan Ni Muntiti
yang ganas itu. Tongkatnya pun digerakkan dengan
cepat pula. Tak! Tak! Dua kali senjata tongkat di tangan masing-masing
beradu. Dari sana, sudah nampak kalau tenaga dalam
mereka seimbang. Yang menakjubkan, serangan satu
sama lain benar-benar luar biasa, mengandung kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sekali. Setiap kali
tongkat bergerak, terdengarlah suara angin menderuderu tajam. Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. "Kau akan
mampus di sini, Eyang Purnama!"
"Kau pun akan mampus di Lembah Ular ini, Iblis
Busuk!" Mendadak terdengar suara bernada geram. Tak
lama, muncul empat sosok tubuh yang melenting dari
satu tempat, dan hinggap di hadapan Iblis Penghela
Kereta. Melihat keempat orang itu, Iblis Penghela Kereta
hanya terbahak-bahak.
"Rupanya Perawan Baju Merah memang ingin
mampus! Dan kau, Kamanda...! Rupanya kau pun hadir di sini! Bagus, bagus sekali!"


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaka yang baru pertama kali melihat sosok yang
telah membunuh gurunya, langsung melenting cepat.
Keris yang jarang lepas dari warangkanya, kini dipakainya. "Keparat! Kau harus mampus, Manusia Sesat!"
seru Jaka dengan keris menderu cepat, dipadukan jurus 'Cakar Maut Mengurung Mangsa'.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak. Dan dengan mudah dihindarinya serangan Jaka. Sementara
itu, Tiwi langsung meloloskan selendang jingganya,
meluruk maju membantu Jaka.
"Kang Jaka! Kita sama-sama membunuh manusia keparat ini!"
Sementara itu, anak buah Iblis Penghela Kereta
segera menyerbu Nyai Harum dan Ki Kamanda.
Namun, Ki Kamanda dan Nyai Harum justru meluruk ke arah Iblis Penghela Kereta.
"Jaka! Tiwi! Mundurlah! Kalian bukan lawan iblis itu...!"
Jaka dan Tiwi yang memang dalam tiga gebrak
saja sudah keteter segera bersalto mundur. Kini ganti Ki Kamanda dan Nyai Harum
yang menyerang Iblis
Penghela Kereta.
Jaka dan Tiwi segera menghadapi serbuan anak
buah Iblis Penghela Kereta yang ganas.
"Kawan Bramantoro! Bunuh kedua manusia ini!"
Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta membentak
Bramantoro yang sejak tadi diam saja.
Bukannya bergerak, Bramantoro justru tersenyum. "Iblis Penghela Kereta! Bramantoro alias Kipas
Dewa Hidung Belang telah mampus! Begitu pula Tek
Jien, yang kini terkubur di tepi Lembah Ular!"
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya"!" maki Iblis Penghela Kereta sambil mencecar
Nyai Harum dan Ki
Kamanda. Dan mendadak saja tangan Iblis Penghela Kereta
bergerak. Seketika kereta tanpa kudanya mendadak
menyerbu ke arah Bramantoro yang sedang tersenyum-senyum. Dan dengan cepat, Bramantoro yang
jelas-jelas palsu itu melenting menghindari gerakan
kereta tanpa kuda yang pasti digerakkan oleh tenaga
dalam Iblis Penghela Kereta.
"Iblis busuk! Bukankah kau tengah mencari
Pendekar Slebor?" seru Bramantoro sambil membuka pakaiannya setelah bisa
menghindari terjangan kereta
tanpa kuda. Hal itu dilakukan saat Bramantoro palsu masih
melenting di udara. Dibalik pakaiannya, nampaklah
sebuah pakaian berwarna hijau pupus. Begitu mendarat di tanah, di lepasnya topeng dari getah pohon yang ada di wajahnya. Kali ini
terlihatlah seraut wajah tampan dengan sepasang alis hitam bagaikan elang menukik. Wajah Pendekar Slebor!
Iblis Penghela Kereta terhenyak melihatnya.
Kemarahannya menjadi-jadi. Rupanya, selama
ini yang berada di dekatnya bukanlah Bramantoro asli, melainkan Pendekar Slebor yang menyamar sebagai
Bramantoro! Memang, setelah berhasil membunuh Bramantoro, Pendekar Slebor menyamar menjadi manusia sesat
itu. Pendekar Slebor berharap bisa mengetahui seluk
beluk di sekitar Lembah Ular, dan menembus masuk
ke pemukiman Iblis Penghela Kereta.
Memang, betapa miripnya wajah yang dibuat
Pendekar Slebor dengan Bramantoro asli. Ilmu membuat topeng memang salah satu keahlian Pendekar
Slebor yang diajarkan Raja Penyamar. Bahkan sampai-sampai suara Bramantoro ditirunya.
Sementara itu, Nyai Harum kini paham, mengapa
waktu itu Bramantoro seolah membantu. Bramantoro
palsu sengaja menabrak tubuh Tek Jien, sehingga lelaki itu gagal menyerangnya. Rupanya, di balik wajah
dan pakaian yang selalu dikenakan Bramantoro, tak
lain adalah Pendekar Slebor. Sedangkan Ki Kamanda
diam-diam menghela napas lega. Dia semakin yakin
kalau pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu memang belum mati. Bahkan berhasil mengecoh Iblis
Penghela Kereta dalam penyamarannya.
Tiba-tiba Iblis Penghela Kereta menggeram murka.
Tangannya tiba-tiba bergerak cepat ke arah Nyai Harum yang sedang mengibaskan selendang warnawarninya. Buk! "Akh...!"
Serangan aneh yang tak tampak oleh mata itu
menghantam tubuh Nyai Harum hingga terjajar. Ki
Kamanda bergegas memotong serangan Iblis Penghela
Kereta yang sudah siap mencabut nyawa Nyai Harum.
Gerakannya memang membutuhkan keberanian luar
biasa. Namun bagi Ki Kamanda, keselamatan Nyai Harum lebih utama.
Sambil menyerang, Ki Kamanda memapaki serangan Iblis Penghela Kereta yang segera mengalihkan
serangan padanya.
Buk! Des! Dua buah pukulan Iblis Penghela Kereta menghantam tubuh Ki Kamanda hingga jatuh tersungkur.
Saat itulah Iblis Penghela Kereta menderu, untuk
menghabisi nyawa Ki Kamanda dengan teriakan keras.
"Hhh! Bersiaplah untuk menyusul Buwana, Kamanda! Heaaa!"
Ki Kamanda berusaha berguling menghindari serangan berkekuatan tinggi. Wajahnya mendadak pias
karena merasa kalau nyawanya akan melayang hari
ini, juga. Dan sebelum hal itu terjadi, satu sosok tubuh telah menderu, langsung memapak serangan Iblis Penghela Kereta. Plak! Tubuh berbaju hijau pupus itu terhuyung ke belakang sambil menahan nyeri. Ketika hinggap kembali
di tanah, tangannya membiru.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak melihat siapa yang menghalangi serangan mautnya pada Ki Kamanda. "Pendekar Slebor! Kau telah menghancurkan seluruh rencanaku! Kalaupun rencanaku gagal untuk
memancing kemunculanmu, karena kau berhasil
mengelabui! Tapi kali ini, kau tak akan bisa keluar da-ri Lembah Ular!" desis
Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman luar biasa.
"Ya nanti aku keluar kalau kau sudah mampus!"
sahut sosok yang memang Andika sambil mengalirkan
tenaga dalam pada tangannya yang membiru. Diamdiam dia mendengus, menyadari kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta.
Sementara, Ki Kamanda dan Nyai Harum yang
terlepas dari maut langsung menyingkir, ketika pertarungan dahsyat kembali terjadi. Iblis Penghela Kereta benar-benar marah karena
dibodohi Pendekar Slebor.
Apalagi menyadari kalau Bramantoro dan Tek Jien
sudah mampus di tangan pemuda berbaju hijau pupus itu! "Kau hanya mengantarkan nyawamu saja, Pendekar Slebor!" ejek Iblis Penghela Kereta sambil meluruk dengan serangan
dahsyat. Setiap kali tubuhnya
bergerak, bumi bagai bergoyang akibat menahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Wah.... Kalau aku mau membunuhmu waktu itu
sih, kecil! Tetapi kalau kulakukan, berarti membuka
samaran ku sendiri, ya?" balas Andika tertawa.
Saat itu juga Pendekar Slebor langsung meluruk
pula dengan tenaga 'inti petir' tingkat kedelapan.
Wusss! Buk! Sebuah pukulan Pendekar Slebor memang
menghantam telak dada Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengejutkan Andika, karena tangannya bagaikan
menghantam sebuah besi yang sangat keras. Bahkan
tubuhnya terjajar beberapa langkah.
Iblis Penghela Kereta terbahak-bahak.
"Pukullah aku semaumu, Pendekar Slebor! Kau
bisa merasakan keampuhan ajian 'Tameng Baja' ku
ini!" "Masa bodoh! Mau pakai apa, kek! Pokoknya, kau harus mampus!"
Andika kembali menderu dengan menambah tenaga 'inti petir' nya menjadi tingkat satu yang berarti tingkat pamungkas. Namun
yang kembali membuatnya terkejut, karena pukulan tenaga 'inti petir' tingkat
pamungkas pun tak membawa hasil menggembirakan.
Sementara Iblis Penghela Kereta hanya terbahakbahak saja. "Kini, ajalmu telah tiba, Pendekar Slebor!" desis Iblis Penghela Kereta.
Begitu kata-katanya habis, tubuh Iblis Penghela
Kereta secepat angin melabrak ke arah Andika. Kali
ini, Pendekar Slebor merasa percuma kalau menyerang. Maka kelincahannya dipergunakan untuk berkelit, menghindari serangan Iblis Penghela Kereta.
Nyai Harum dan Ki Kamanda berpandangan. Lalu
tanpa diperintah, mereka menderu menyerang Iblis
Penghela Kereta.
"Bagus! Lebih cepat, lebih baik melihat kalian semua mampus!" seru Iblis
Penghela Kereta.
Dess! Dess...! Dess...!
Tiga buah serangan yang datang sekaligus itu tak
dihiraukan lelaki bernama Sunsang ini. Bahkan tubuhnya dibiarkan saja dihantam tiga serangan itu.
Dan lagi-lagi, serangan ketiga tokoh persilatan golongan lurus ini tak membawa
hasil memuaskan.
Andika merasa akan sia-sia saja menyerang kalau
begini. Tubuh Iblis Penghela Kereta yang tinggi besar itu telah dialiri sebuah
ajian yang sukar ditembus. Malah, hanya membuang-buang tenaga saja.
"Minggir kalian!" seru Pendekar Slebor tiba-tiba.
Tiba-tiba Andika bersalto dua kali kebelakang.
Dan begitu kedua kakinya hinggap di bumi, bagaikan
karet tubuhnya mencelat kembali. Ajian 'Guntur Selaksa' yang sangat dibanggakannya telah terangkum di
tangannya. "Mampuslah kau, Iblis Keparat!" teriak Andika, menggetarkan.
*** Sementara itu pertarungan antara Eyang Purnama
dan Ni Muntiti sudah berada di puncaknya. Keduanya
sudah sama-sama terluka dalam yang cukup parah.
Tenaga mereka pun telah habis terkuras. Ni Muntiti
sendiri merasa tak akan sanggup untuk menandingi
ilmu Eyang Purnama yang pernah mengalahkannya
puluhan tahun lalu.
"Purnama! Kita sudahi pertarungan ini! Tetapi,
yakinlah! Suatu saat kita akan bertemu lagi untuk
mengadu jiwa!" teriak Ni Muntiti, keras.
"Mengapa tidak sekarang saja, hah"! Apakah kau
sudah merasa tak akan mampu mengalahkan aku?"
balas Eyang Purnama.
Tetapi Ni Muntiti tak menghiraukan ejekan itu.
Tubuhnya telah mencelat secepat kilat dan menghilang. Baginya, bila meneruskan pertarungan dengan
Eyang Purnama, berarti hanya membuang nyawa siasia. Rupanya, lelaki tua itu pun sudah memperdalam
ilmunya. Sedangkan bagi Eyang Purnama sendiri, sebenarnya sudah sangat sedih melihat Ni Muntiti bergabung
dengan Iblis Penghela Kereta. Diam-diam dia mendesis. Dia mengakui kehebatan wanita itu semakin tinggi saja. Sementara itu,
Pendekar Slebor kembali terheran-heran. Karena ajian kebanggaannya tak mampu
pula menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Kereta. "Busyet! Dengan cara apa aku membunuhnya?"
dengus Pendekar Slebor sambil bersalto menghindari
serangan balik Iblis Penghela Kereta.
Sedangkan Nyai Harum sudah tersuruk kembali
ke belakang dengan dada sesak, ketika pukulan Iblis
Penghela Kereta menghantam telak.
Ki Kamanda yang masih berusaha menjatuhkan
Iblis Penghela Kereta pun mendapatkan bagian sama.
Bahkan hampir saja maut menjemputnya, kalau Andika tidak mendorong tubuhnya dengan satu sentakan
pukulan jarak jauh.
"Iblis busuk! Hadapi aku!" teriak Pendekar Slebor.
Iblis Penghela Kereta yang merasa sudah berada
di atas angin terbahak-bahak.
"Omongan mu boleh juga, Pendekar Slebor!"
"Hayo, serang aku lagi" Kenapa kau jadi bego begitu, sih" Atau kau sebenarnya memang bego?"
Dengan wajah kemerahan marah, Iblis Penghela
Kereta berkelebat ke arah Andika. Pukulan saktinya
terangkum di tangan.
Andika yang sudah bersiap, sekali lagi meluruk
maju dengan menggunakan ajian 'Guntur Selaksa'.
Dia masih kurang yakin kalau ajian kebanggaannya
tidak mampu menembus ajian 'Tameng Baja' milik Iblis Penghela Kereta.
Blarrr.... Sekali lagi Pendekar Slebor harus mengakui
keunggulan ajian 'Tameng Baja', ketika benturan terjadi. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah.
Bahkan dengan satu gerakan sukar diikuti mata, pukulan Iblis Penghela Kereta meluruk telak ke dadanya.
Buk! "Ughhh...!"
Pemuda itu tersuruk deras ke belakang. Dadanya
dirasakan sakit luar biasa, bagaikan remuk.
Rupanya Iblis Penghela Kereta tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, tubuhnya kembali meluruk ke arah Andika.


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kini saatnya kau pergi ke akhirat, Slebor!" seru Iblis Penghela Kereta.
Dalam sekali lihat, siapa pun bisa menebak kalau Andika tak akan mampu menghindari serangan.
Akan tetapi, suatu keanehan yang di luar dugaan semua orang termasuk Iblis Penghela Kereta telah terjadi. Mendadak saja tubuh pemuda itu mengeluarkan
hawa panas bergulung-gulung. Suatu kekuatan yang
membuat siapa pun enggan berdekatan. Karena, hawa
yang keluar dari tubuh Pendekar Slebor sangat panas
luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana bila berbenturan. Iblis Penghela Kereta mengeluarkan suara kaget.
Tubuhnya seketika mendadak melenting ke belakang.
"Jangan kaget, Monyet Busuk! Kini giliranku!" desis Andika.
Dan dengan suara menggelegar, Pendekar Slebor
memburu ke arah Iblis Penghela Kereta. Kedua tangannya telah terangkum pukulan aneh mengandung
panas luar biasa. Ajian yang digunakannya adalah
ajian bangsa siluman. Ajian 'Tapa Geni' yang diajarkan Eyang Sasongko Murti!
(Baca: 'Siluman Hutan Warin-gin'). Bukan hanya Iblis Penghela Kereta yang
terkejut. Nyai Harum dan Ki Kamanda yang sedang menahan
rasa sakit pun terperangah melihat ilmu Pendekar
Slebor. Begitu pula anak buah Iblis Penghela Kereta
yang sedang menyerang Jaka dan Tiwi. Serentak mereka menghentikan serangan, lalu berlarian menyelamatkan diri, kalau tidak ingin hawa panas yang dipancarkan Andika menghanguskan mereka. Sedangkan Tiwi tanpa sudah memegang lengan Jaka eraterat. Hanya Eyang Purnama saja yang tenang. Dia tadi
telah mengembalikan tenaga dan jalan darahnya.
"Tak kusangka, kalau Pendekar Slebor memiliki
ajian bangsa siluman," desisnya.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta ciut juga nyalinya
melihat kehebatan ilmu yang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Terbukti, dia tidak berani gegabah seperti tadi, menahan setiap
serangannya. Bahkan, ajian 'Tameng
Baja' miliknya tak mampu menahan hawa panas dari
tubuh Pendekar Slebor. Kini kakinya malah melangkah mundur, seperti orang ketakutan.
Andika yang menyadari hal itu terus menyerang.
"Mau ke mana kau, hah"!" seru Andika. "Mana ajian busukmu yang kau banggakan
itu?" Sebisanya Iblis Penghela Kereta menghindar ke
sana kemari dengan lompatan-lompatan cepat. Tapi
Andika terus memburu dengan menampilkan kecepatannya. Wuuut.... Prakk! Kereta tanpa kuda yang bisa dijadikan senjata Iblis Penghela Kereta kontan hangus terhantam ajian
'Tapa Geni' yang dilepaskan Andika. Sebentar saja, luruh menjadi abu!
Semakin pias wajah Iblis Penghela Kereta melihat
kehebatan ajian 'Tapa Geni' yang dimiliki Pendekar
Slebor. "He he he.... Lucu, lucu sekali! Kau pantasnya
jadi badut, Monyet!" ejek Andika.
Meskipun kelihatan tegang, Iblis Penghela Kereta
masih berusaha mencoba melepas serangan dengan
mengebutkan tangannya. Tetapi dengan segera serangannya ditarik pulang ketika merasakan hawa panas
mendadak menyergap dirinya.
Kali ini Iblis Penghela Kereta benar-benar pias
menghadapi serangan Pendekar Slebor. Dia hanya bisa
menghindar pontang-panting dengan wajah semakin
pucat. "Ke mana perginya kesombonganmu itu, hah"!"
geram Andika. Tiba-tiba saja Pendekar Slebor mengibaskan kain
bercorak catur warisan Ki Saptacakra.
Wuttt...! Angin laksana topan yang keluar dari kebutan
kain pusaka langsung menderu-deru, menerbangkan
pepohonan dan menghancurkan beberapa rumah.
Penghuninya sudah menghilang sejak Andika mengeluarkan hawa panas dari ajian 'Tapa Geni'.
Iblis Penghela Kereta benar-benar tak mampu lagi
menghadapi serangan gencar Andika. Tubuhnya pun
goyah ketika kain yang mengebut kedua kakinya terhentak. Pada saat yang sama, Pendekar Slebor menghentakkan tangannya menggedor dengan ajian 'Tapa
Geni' Dess...! "Aaa...!"
Tubuh Iblis Penghela Kereta kontan terlempar,
begitu gedoran Pendekar Slebor mendarat telak di dadanya. Nyai Harum dan Ki Kamanda segera melesat untuk mencari tubuh Iblis Penghela Kereta. Mereka menemukan tubuh tokoh sesat itu dalam keadaan terkapar penuh luka. Sebagian hangus akibat pukulan
'Tapa Geni' yang dilancarkan Andika. Dengan hati-hati Ki Kamanda memeriksanya.
"Dia sudah tewas," kata lelaki setengah baya ini.
Nyai Harum meludahi tubuh itu dengan bengis. "Cih!
Habis juga akhirnya riwayatmu!" Lalu mereka kembali ke tempat semula. Tempat
Andika sedang mengatur
pernafasannya. "Dia telah tewas, Andika...," lapor Nyai Harum.
Andika menghapus keringatnya. "Hebat! Hebat
sekali ilmu yang dimilikinya! Hanya sayang, dia mempergunakannya untuk kejahatan...."
"Seperti yang dilakukan si Pesolek Tongkat Naga," timpal Eyang Purnama yang sudah mendekati
Andika. Lelaki tua ini menepuk-nepuk bahu Pendekar
Slebor yang langsung kembang-kempis hidungnya.
"Telah lama aku mendengar tentang sepak terjang mu yang berada di jalan lurus. Andika.... Dan
aku merasa beruntung, di usiaku yang senja ini..., aku masih diperkenankan
bertemu denganmu," puji Eyang Purnama, lalu menoleh pada Ki Kamanda. "Kembalilah
ke Gunung Kabut. Bangun kembali Perguruan Cakar
Maut, semata untuk mengenang Buwana."
"Baik, Eyang."
"Dan kau, Anak Muda.... Kulihat kau begitu dekat dengan gadis itu. Hm.... Bila melihat kau dengan
dia, terus terang..., kalian pasangan yang pas! Sudahlah.... Aku harus kembali
ke peristirahatan ku.... Luka dalam yang ku derita akibat pukulan si Pesolek
Tongkat Naga ini bisa menggerogoti tubuhku bila tidak segera diobati."
Wuuutt! Mendadak saja tubuh Eyang Purnama telah berkelebat cepat, dan menghilang dari pandangan. Suasana hening. "Anak muda.... Terima kasih alas bantuanmu..
Tanpa bantuanmu, tak mungkin Iblis Penghela Kereta
bisa dimusnahkan." ucap Ki Kamanda, memecah keheningan. "Ah! Itu hanya kebetulan saja," sahut Andika merendah. Padahal hatinya berbungabunga. "Kalau memang sudah tak ada yang perlu dibicarakan, kita berpisah saja."
"Kang Andika," panggil Jaka. "Terima kasih atas bantuanmu...."
"Sama-sama. He he he..., aku yang kerepotan
menghadapi Iblis Penghela Kereta, kau yang dapat gadis cantik!" guraunya.
Semuanya tertawa.
"Jaka! Kalau kalian menikah nanti. jangan lupa
mengundangku! Biar aku bisa mengintip! He he he...!"
"Di mana kau tinggal, Kang Andika?" tanya Jaka, tak mempedulikan gurauan
Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor terbahak-bahak. Dan tanpa menjawab pertanyaan Jaka, kakinya melangkah.
"Di mana ada langit bumi, di sanalah tempat tinggalku!" seru Andika.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Slebor berkelebat cepat. Seketika tubuhnya menghilang dari pandangan.
Hanya gema tawanya saja yang masih terdengar.
Ki Kamanda menggeleng-gelengkan kepalanya,
merasa bangga terhadap Andika. Lalu kepalanya berpaling ke arah Nyai Harum.
"Nyai..., apakah kau akan kembali ke Kali Brantas?" "Ya.. Kau sendiri?"
"Sesuai dengan amanat Eyang Purnama.... Aku
akan membangun kembali Perguruan Cakar Maut di
Gunung Kabul."
"Paman. bagaimana denganku" " tanya Jaka.
Ki Kamanda tersenyum.
"Aku hanya ingin berpesan, jaga Tiwi baik-baik!"
Wuuut! Tubuh Ki Kamanda pun berkelebat cepat. Dan sebentar saja sudah tak terlihat lagi.
Tiwi yang hendak berkata-kata pada Nyai Harum
jadi urung, ketika Nyai Harum menggerak-gerakkan
tangannya. "Jangan berkata apa-apa! Dan jangan bertanya
apa-apa. Aku merestui hubungan kalian! Binalah. Dan
hanya maut yang memisahkan kalian! Salam, Anak
Mas!" ujar Nyai Harum, memberi wejangan.
"Nyai!" seru Tiwi.
Tetapi sosok Nyai Harum pun sudah meninggalkan
Lembah Ular. Sementara Jaka merangkul kekasihnya perlahan.
"Sudahlah, Tiwi.... Mereka sudah merestui. Kita bi-sa menentukan jalan kita
berdua. Suatu saat, aku
mempunyai keinginan untuk menyambangi mereka. Di
Gunung Kabut, maupun di Kali Brantas."
Tiwi hanya mengangguk-angguk dengan mata basah. Ketika kekasihnya mengajak meninggalkan tempat itu, dia pun setuju saja.
Kini Lembah Ular sepi. Sunyi.
Beberapa ekor ular muncul dari persembunyiannya. Namun, ada sesuatu yang tertinggal. Benarkah
Iblis Penghela Kereta mati seperti yang dikatakan Ki
Kamanda dan Nyai Harum"
Ketika malam membentang. dan suasana sunyi
membedah alam, sosok Iblis Penghela Kereta terbangun. Wajahnya penuh kegeraman. Sinar matanya
mengandung amarah!
"Hhh! Kalian tertipu oleh ajian 'Mati Raga' yang kumiliki!" desis Iblis Penghela
Kereta. Lelaki itu lantas bangkit berdiri. Kepalanya menengadah ke langit. Dan....
"Pendekar Slebor! Suatu saat kau akan mampus
di tanganku!" teriak Iblis Penghela Kereta, menggema ke seluruh pelosok Lembah
Ular... SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Gajahmada 10 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Darah Dan Cinta Di Kota Medang 10

Cari Blog Ini