Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Bagian 2
tak akan menyangka lelaki tua yang tampak tak berdaya
itu memiliki ilmu hitam yang sanggup mengarak topan
badai dari kutub bumi.
Angin kencang baru berhenti bertiup, ketika Si
Pembawa Badai telah berdiri sekitar empat belas
tombak dari tempat Andika dan Chin Liong. Dia berdiri
kaku laksana nisan pekuburan.
"Kau tahu, Chin Liong. Saudara kembarmu
memintaku menghabisi nyawamu," ancam Si Pembawa
Badai dengan suara serak. "Entah bagaimana, dia bisa
begitu membencimu. Tapi aku senang, ternyata Chin
Chung memiliki kebencian padamu. Karena, aku sendiri
amat muak melihat orang sepertimu."
Chin Liong mendengus, mendengar ucapan Si
Pembawa Badai. "Kau boleh menjadi momok negeri ini. Tapi, tidak
bagiku," tegas Chin Liong, penuh tantangan. "Kalau pun
kau bergabung menjadi satu dengan kelompokmu, aku
tak akan lari!"
"Huak hak hak...! Aku suka sikapmu. Sayang, kau
ternasuk orang tolol yang tak sejalan denganku," leceh
Si Pembawa Badai disertai tawa keras, namun dengan
mimik wajah dingin.
"Hey, Tiang Jemuran! Kau terlalu banyak bacot!"
hardik Andika menyela.
Pendekar Slebor betul-betul amat muak melihat
gaya bicara lelaki tua itu. Angkuh dan terlalu
memandang remeh orang lain.
Mendengar hardikan barusan, alis putih Si
Pembawa Badai terangkat sebelah. Selama ini, tak ada
seorang pun di negerinya yang begitu bernyali
menyebutnya 'tiang jemuran'. Dan hari ini, tiba-tiba saja
ada pemuda asing yang enak saja membuka mulut
selancang tadi. Diliriknya Andika dengan air wajah tak
berubah. Tetap dingin menggidikkan!
"Sebutkan namamu, Bocah. Aku akan senang
sekali bila mengetahui nama orang yang akan
kupenggal sebagai tumbal kesaktianku," ujar Si
Pembawa Badai, datar.
"Huahakhak...!"
Kali ini Andika yang tertawa. Ditirunya gaya Si
Pembawa Badai yang bermaksud mengolok-oloknya.
"Gampang sekali kau memenggal kepala orang,"
Iedek Andika lagi.
Lalu Pendekar Slebor mendekatkan mulutnya ke
telinga Chin Liong. Seolah-olah, keberadaan lelaki tua
itu sekadar kentut baginya.
"Dipikir nyaliku akan kempis dengan berkata
seperti itu padaku" Ah! Maaf-maaf saja...," bisik Andika.
Telinga Si Pembawa Badai langsung terasa
terbakar. Di samping gusar, hatinya juga mulai
meragukan apakah pemuda yang berbicara padanya
memang benar- benar waras. Sewaras-warasnya
pemuda negeri ini, tak ada yang punya nyali untuk
melecehkannya. Bahkan di belakangnya sekali pun.
Sedangkan pemuda itu seakan gampang saja buang
kotoran di wajahnya.
Sementara, Chin Liong sendiri yang cukup lama
mengenal Andika sempat pula terperangah-perangah.
Dia tak habis pikir, apakah otak kawannya ini ada di
pantat" Padahal, yang dihadapi kini bukan tokoh biasa.
Si Pembawa Badai adalah satu tokoh terkenal yang
sudah menjadi cerita menakutkan bagi setiap warga
negeri ini. Kesaktiannya bahkan sempat disejajarkan
dengan Lo Pan, manusia terkutuk yang memiliki
kesaktian iblis dalam cerita rakyat Tiongkok. Biarpun
Chin Liong bisa berkata tidak takut, tapi dia lebih suka
menghindari pertemuannya dengan laki-laki itu. Menghadapinya saja, sudah bisa dipastikan berarti mati.
Apalagi jika sudah bergabung dengan tiga rekannya.
Mereka akan menjadi lawan tak terkalahkan!
Chin Liong masih sibuk dengan keterpanaannya
terhadap sikap masa bodoh Andika. Di lain pihak,
Andika malah sudah beranjak dari tempatnya. Kakinya
ma ju beberapa langkah ke arah Si Pembawa Badai
dengan sikap acuh.
"Htiy! Apa yang kau tunggu lagi" Kau bilang tadi,
kau ingin memenggal kepalaku" Ayo lakukanlah!" ujar
Pendekar Slebor, setelah menaikkan kedua alisnya.
Mendengar tantangan ini, Si Pembawa Badai
terpancing kemarahannya. Terdengar geramannya yang
berat, sebagai ungkapan kemurkaannya yang membludak. Tapi Andika juga tak mau kalah. Dia ikut
menggeram seperti kucing lapar.
"Khrrraaagkh!"
Di antara serbuan debu mendadak dihempas
angin, geraman berat dan gerakdari lelaki tua itu
mengangkasa seakan siap membelah langit. Tubuhnya
bergetar. Sedangkan mata kelabunya mulai berpijar
kemerahan. Pertanda tenaga hitamnya sedang dikerahkan. "Andika, hati-hati! Dia hendak mengeluarkan ilmu
hitamnya!" seru Chin Liong, memperingati kawannya.
Sayang! Peringatan itu terlambat. Si Pembawa
Badai nyatanya lebih dahulu mengangkat telapak tangan
kanannya ke muka, sebelum Andika benar-benar
menyadari kekuatan hitam yang siap mengganyangnya.
Wusssh! Seketika tiupan angin amat besar dan kuat
tercipta dari telapak tangan lelaki tua itu. Tampak
gerakan angin membentuk pusaran seperti puting
beliung. Dari telapak tangan Si Pembawa Badai, angin
yang tercipta terus berputar kian besar ke arah
Pendekar Slebor dengan ce pat.
Tak ada sekejapan mata, angin puting beliung itu
sudah menelan tubuh Pendekar Slebor yang tak terduga
kalau serangan yang datang berbentuk demikian.
Seketika tubuhnya terangkat di udara, lalu berputar
tanpa kendali. Tak hanya itu. Di dalam pusaran, tubuh
Andika mendapat suatu tekanan dari segala .penjuru.
Dia merasa bagai ditenggelamkan ke dalam dasar laut
ratusan tombak dari permukaan. Dadanya mendadak
menjadi sesak. Napasnya menjadi begitu berat. Malah
pemuda itu tidak bisa lagi melihat jelas. Yang tampak di
matanya hanya garis-garis kabur tak teratur.
"Huak hak hak. Kau hanya anak lalat tak berarti!
Sebentar lagi, tubuhmu akan luluh lantak. Kau bukan
apa-apa bagi Si Pembawa Badai!"
Di antara suara bising seperti dengung jutaan
lebah, sayup-sayup telinga Pendekar Slebor menangkap
suara Si Pembawa Badai mencemoohnya.
Chin Liongyang melihat kejadian ini terpaksa
harus berhadapan dengan Si Pembawa Badai. Biar
bagaimanapun, dia tidak ingin kawannya mendapat
celaka. "Hiaaa!"
Sambil berteriak keras-keras, dengan nekat Chin
Liong menerjang lelaki tua itu. Langsung dilepaskannya
satu tendangan terbang.
Kaki kanan Chin Liong menegang lurus ke arah
kepala Si Pembawa Badai, siap meremukkan tengkoraknya. Tapi, apa mau dikata" Ternyata tokoh
sesat itu bukan patung batu yang tak bisa memberi
perlawanan. Dengan satu hentakan tangan saja,
luncuran tubuh Chin Liong dapat ditahan. Lalu secepat
sambaran ular kobra, tangannya membentang ke perut
Chin Liong. Debb!! "Aaaakkhh"!
Dibanding ranting kering mungkin tubuh Chin
Liong lebih terlihat ringan melayang di udara begitu
perutnya terkena sodokan tangan Si Pembawa Badai.
Entah tenaga dalam apa yang disalurkan orang tua itu.
Yang pasti pemuda Tiongkok itu terlempar sejauh dua
puluh tombak disertai semburan darah segar dari mulut.
Tanpa sempat berteriak, tubuh Chin Liong jatuh di
tanah dan langsung bergulingan beberapa saat.
Kesadarannya memang tak hilang saat tubuhnya
berhenti berguling. Tapi bukan berarti siap menghadapi
lawan kembali. Chin Liong ternyata hanya dapat berdiri sempoyongan sambil mendekap perutnya. Matanya
menatap nanar ke arah Si Pembawa Badai. Selanjutnya
dia terjatuh karena tak bisa lagi menopang berat tubuh
dengan kedua kakinya.
"Khiaaa...!"
Berbareng jatuhnya tubuh Chin Liong, terdengar
lengkingan tinggi dan dahsyat menyeruak putaran angin
puting beliung. Kekuatan lengkingan itu bahkan sempat
mengacaukan gerak pusaran angin. Ketika lengkingan
makin nyaring mengguncang pusaran angin ciptaan Si
Pembawa Badai, tanah di sekitarnya bagai ikut bergetar.
Saat berikutnya, pusaran angin itu mulai menjadi tak
terarah lagi. "Khiaaa!"
Lengkingan itu kini berubah menjadi teriakan
seseorang yang meluncur keluar dari pusaran angin
yang mulai kacau-balau. Orang itu tentu saja Pendekar
Slebor. Saat berada di perut angin puting beliung tadi,
Andika merasa telah dipermainkan seseorang yang baru
saja dikenalnya. Ditambah, siksaan yang mendera di
sekujur dirinya. Dan ini membuat kemarahannya
meledak. Kemurkaan bagi Pendekar Slebor, berarti terciptanya pemusatan tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan tanpa disadari. Sebuah kekuatan yang
mampu membuat pertahanan terhadap serbuan lidah
petir. Jadi, bukan hal yang terlalu luar biasa kalau
ternyata pusaran dahsyat dari angin ciptaan Si
Pembawa Badai mampu didobraknya.
Kini, Pendekar Slebor berdiri dengan seluruh
kebencian, tujuh tombak dari Si Pembawa Badai.
Penampilannya sudah kusut-masai. Rambutnya yang
memang tak teratur, makin tak karuan. Sementara,
pakaiannya sudah tercabik-cabik. Yang masih utuh
hanya kain pusaka bercorak papan catur di bahunya.
Dari semua itu, yang amat mengerikan bagi Si
Pembawa Badai adalah cara menatap Andika. Sinar
matanya begitu kaku, dingin, dan tajam menusuk.
Bahkan gelegak kemurkaan yang terpancar dari mata
Pendekar Slebor sanggup menelan sinar mala lawan.
"Chiaaa...!"
Dan tiba-tiba saja, Pendekar Slebor berteriak
kembali. Serangkai gerakan aneh yang kecepatannya
nyaris tak dapat ditangkap penglihatan mata, dimainkan
Andika. Sementara satu selubung cahaya perlahan
terlihat bagai sinar tipis berkabut.
Sementara itu Si Pembawa Badai tersekat. Tanpa
sadar dia menahan napas.
"Tidak mungkin," bisik orang tua itu, tak percaya.
Selaku tokoh yang hidup selama lebih dari seratus
tahun, dia tahu banyak tentang ilmu kesaktian Timur.
Malah, juga amat tahu ilmu yang kini diperlihatkan
pemuda di depannya. Dan batinnya jadi tak percaya
karena, ilmu itu nyaris tak pernah terlihat selama
beberapa turunan di negerinya. Ilmu Timur yang tak
sembarang orang bisa memilikinya itu kini benar-benar
diperlihatkan di depan biji matanya, oleh seorang
pemuda belia....
"Pergilah kau ke neraka, Manusia Busuk!" teriak
Andika begitu menggelegar. Lalu....
Srash! Seketika tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan tingkat ke sembilan belas terlepas dari dua telapak tangan Pendekar Slebor. Luncurannya demikian
deras, bersama desis halus namun tajam.
Desh! "Aakhg!"
Seperti Chin Liong, lelaki tua tokoh sesat itu juga
mengalami nasib serupa. Tubuh kurusnya kontan mela
yang kencang di udara, lebih mengenaskan daripada
selembar daun kering yang ditampar angin. Bahkan
mulut nya pun menyemburkan darah kehitam-hitaman.
Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah melayang hampir dua puluh lima tombak
dari tempatnya semula, bumi menyambut tubuh Si
Pembawa Badai. Berbeda dengan Chin Liong, tokoh tua
aliran sesat itu masih mampu mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Namun agak tersuruk juga
kedua kakinya saat menjejak tanah.
Tarikan napas orang tua itu lerdengar berat
tersengal. Dia kini hanya menatap pemuda lawannya,
lalu menggenjot tubuh untuk pergi dari tempat itu.
"Chin Liong! Kau tak apa"!" tanya Andika dengan
berteriak, ketika Si Pembawa Badai telah menghilang.
"Chin Liong menoleh.
"Tidak," sahut Chin Liong. "Kejarlah dia! Mungkin
kita bisa mengorek sedikit keterangan."
Andika menatap ke arah kepergian Si Pembawa
Badai. Lalu, matanya beralih ke arah Chin Liong
kembali. "Biar aku meneruskanperjalanan sendiri untuk
menemui seorang mata-mata pihak kerajaan. Nanti, kita
bertemu kembali di sini setelah tiga malam berlalu!" kata
Chin Liong. Andika mengangguk tanda setuju. Seketika,
dikejarnya Si Pembawa Badai.
*** 5 Pengejaran Andika ternyata tak perlu memakan
banyak tenaga dan waktu lama. Tak ada sepeminum
teh, pendekar muda itu sudah dapat melihat kembali Si
Pembawa Badai. Tapi kini, datuk sesat itu tidak sendiri. Ternyata
ada tiga orang lain bersamanya. Mereka berdiri kaku,
bagai empat tonggak kayu tak bernyawa di dataran
kering kerontang. Angin siang yang berlari di atas tanah
tandus, menyebabkan debu sesekali berterbangan ke
udara lalu membentur tubuh mereka yang berdiri
berjajar. Si Pembawa Badai berdiri paling kiri. Di sisi
kanannya sekitar tiga langkah darinya berdiri seorang
lelaki" sebaya dengannya. Wajahnya yang amat buruk,
ditumbuhi benjolan-benjolan kecil berwarna merah.
Sehingga hidungnya nyaris tidak berbentuk. Apalagi
bibirnya menebal Untuk menyembunyikan wajah
buruknya, dia lebih banyak merunduk. Sehingga,
rambutnya yang memanjang ke depan bisa menutupi.
Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali
sepasang kaki buntung sebatas lutut yang disambung
logam tajam berwarna perak. Pakaiannya hanya berupa
libatan kain berwarna merah, hingga pangkal lengan.
Sementara punggungnya dibebani buntalan besar
melebihi tubuhnya yang tergolong kurus. Nama aslinya
tidak pernah diketahui, seperti juga Si Pembawa Badai.
Tapi orang lebih mengenalnya sebagai Hantu Bisu Kaki
Baja. Sedangkan di sebelah Hantu Bisu Kaki Baja
adalah Dewi Seribu Diri. Dijuluki demikian, karena
pribadinya begilu membingungkan. Suatu saat dia bisa
menjadi seorang wanita manja. Di saat lain, dia berubah
menjadi beringas. Suatu saat dia bisa begitu pendiam,
periang, ramah, atau lembut. Di saat lain, dia bisa
sekejam serigala betina haus darah, urakan, acuh, dan
tingkah-polah lain. Semuanya menunjukkan ragam
pribadinya yang aneh.
Dewi Seribu Diri berwajah cantik. Menurut Andika,
wajahnya sepadan dengan kecantikan Putri Ying lien.
Rias wajahnya begitu berlebihan. Dan tataan rambutnya
kelewat apik, bersanggul di atas kepala dengan hiasan
bunga dan pernik logam. Pakaiannya seperti milik para
wanita bangsawan Tiongkok, panjang hingga menutupi
mata kaki. Kainnya bercorak bunga-bunga berwarnawarni. Dan pinggangnya dililit selembar kain sutera
merah jambu. Orang terakhir adalah lelaki berusia sekitar
setengah abad. Dan sebenarnya dia adalah anak Si
Pembawa Badai. Sebagai anak, wajahnya pun hampir
serupa dengan ayahnya. Yang berbeda hanyalah
penampilan. Rambutnya tak terlalu berubah. Badannya
tetap terlihat kekar meski usianya sudah cukup lanjut.
Pakaiannya kumal, warna merah. Sayang, tubuh
kekarnya tak disertai anggota tubuh sewajarnya. Kedua
tangannya tampak cacat dengan jari mengejang kaku di
sisi dadanya. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang
dari kulit ular. Senjatanya yang berupa sebuah batang
bambu tipis disangkutkan diikat pinggangnya. Dia
dikenal sebagai Pencuri Jantung!
"Empat Penguasa Penjuru Angin telah berkumpul"
duga Andika saat teringat ucapan Chin Liong tentang
mereka. Keempat orang itu menyambut dingin kata-kata
Andika. Hanya Dewi Seribu Diri yang terlihat
mengumbar senyum pada pemuda tampan itu. Sesekali
tangannya yang berjari lentik dan berkuku panjang,
menepis anak rambut di samping wajahnya. Seolah,
hendak memamerkan kecantikannya pada Andika.
"Apa kalian tidak punya kerja lain, sehingga masih
punya waktu untuk menghadangku seperti ini?" kata
Andika kembali.
Selangkah demi selangkah Pendekar Slebor
mendekati empat tokoh aliran sesat tersebut. Tak
tampak tanda-tanda dia bersiaga. Sikapnya menghadapi
momok menakutkan negeri itu, seakan-akan sedang
menghadapi sekumpulan tukang pijat yang siap
menghiburnya. "He he he...! Ini benar-benar negeri menyenangkan. Kalian mungkin tahu kalau aku baru tiba
di sini. Ng..., dan mungkin kalian juga tahu ada empat
badut yang mencoba menjengkelkan aku" Empat, kalian
tahu itu?" ledek Andika seraya mengacungkan empat
jarinya di depan hidung Si Pembawa Badai.
Kemudian Andika menatap lelaki tua yang bar u
saja melarikan diri barusan.
"Dan kau tahu. Satu badut telah membuat pakaianku jadi seperti gembel!" kata Pendekar Slebor.
Matanya terbelalak besar sekali.
"Kau sudah terlalu jauh berurusan denganku,
Pemuda Asing," kata Si Pembawa Badai, lebih mirip
menggeram. "Kuperingati padamu, lebih baik menyingkir
sebelum berurusan dengan Empat Penguasa Penjuru
Angin." "Empat Penjuru Angin" Kalian penguasanya" O,
o, o....."
Andika kembali terbelalak seperti orang ketakutan.
Sambil tetap berucap, kakinya melangkah mundur.
Badannya membungkuk-bungkuk meledek.
"Tapi, apa kalian tahu?" lagi-lagi Andika mengaju
kan pertanyaan sama. "Aku tidak peduli dengan nama
itu! Peduli setan bunting dengan julukan kalian!"
Sampai di situ, Si Pembawa Badai yang menjadi
pemimpin ketiga kawannya menjadi kalap. Cuping
hidungnya tampak bergeletar menahan marah.
"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!" se
ru laki-laki tua itu, memberi aba-aba pada ketiga
kawannya untuk membentuk barisan tempur.
Hantu Bisu Kaki Baja dan Pencuri Jantung lang
sung melompat ke depan, bersama Si Pembawa Badai.
Ketiganya siap membentuk barisan tempur. Tapi, lain
halnya Dewi Seribu Diri. Dia masih asyik menatap
Andika lekat-lekat, sambil terus tersenyum penuh arti.
"Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung!"
ulang Si Pembawa Badai gusar.
Kini, wanita cantik itu terperangah.
"Kita akan mengeroyok anak tampan ini?" tanya
Dewi Seribu Diri, kurang setuju. "Apa kau meletakkan
otakmu diperut" Bukankah begitu menggemaskan"
Bagaimana kalau dia mati" Bagaimana kalau wajahnya
yang cakep itu terluka" Ba...."
"Diam!" bentak Si Pembawa Badai. "Empat
Tonggak Bumi Menghantam Gunung!"
Kali ini mata Si Pembawa Badai membeliak dan
seluruh wajahnya menjadi matang.
Sambil menggerutu tak jelas, akhirnya wanita
sesat itu melompat juga menyusul rekannya yang lain.
Kini, mereka membentuk belah ketupat. Si Pembawa
Badai berdiri paling depan. Hantu Bisu Kaki Baja dan
Pencuri Jantung berjajar di belakangnya. Sedangkan
Dewi Seribu Diri berdiri paling belakang.
Sesudah barisan tempat terbentuk, secepatnya
mereka memainkan
jurus masing-masing.
Meski berbeda satu sama lain, namun gerakan mereka
masing-masing memperkuat yang lain. Sehingga, kalau
lawan terperangkap di tengah-tengah barisan itu, tak
akan mempunyai ruang gerak lagi.
Itulah salah satu kehebatan Empat Penguasa
Penjuru Angin. Tak heran kalau sampai saat ini belum
ada satu tokoh persilatan Tiongkok pun sanggup
menjebolnya. Bukan hanya itu. Setiap lawan yang
pernah berhadapan selalu saja kehilangan nyawa.
Meski, dia termasuk tokoh jajaran atas di negeri
Tiongkok. Kini, keempatnya mulai meluruk bersama ke arah
Pendekar Slebor. Serangan awal dilakukan Si Pembawa
Badai berupa sapuan ke kaki Andika. Tapi pada saat
debu berhambur, pemuda itu sudah berada di udara,
karena lebih cepat melompat daripada gerakan kaki
lawan. Dan sebenarnya tindakan Pendekar Slebor
memang diharapkan orang tua itu. Dia ingin, agar
pendekar itu masuk ke tengah-tengah barisan tempur.
Untuk itu, Si Pembawa Badai harus melancarkan
serangan susulan pada tubuh Andika yang masih di
udara, lalu meruntunkan tinju menggelegak.
Deb! Deb! Deb Andika masih sempat memapak dua pukulan yang
mengarah ke dadanya. Sedang, pukulan ketiga harus
dihadang dari atas, karena datangnya dari bawah.
Dengan pukulannya, Si Pembawa Badai yakin
kalau pemuda itu akan memanfaatkan tangannya
sebagai tumpuan untuk melompat ke belakangnya, di
mana perangkap barisan Empat Tonggak Bumi
Menghantam Gunung siap menerima. Untuk memaksa
Andika melakukannya, Si Pembawa Badai menyusuli
dengan sapuan kembali.
Mengetahui kaki Si Pembawa Badai mengancam
dari bawah, Andika memang memanfaatkan tangan
lawan sebagai tumpuan untuk lompatan berikutnya.
Tapi, Pendekar Slebor tidak melompat ke belakang, dan
di luar dugaan justru hinggap di kedua bahu Si
Pembawa Badai. "Hap!"
Tentu saja tindakan Pendekar Slebor amat
mengejutkan lelaki tua itu. Keadaannya kini malah
menjadi sulit. Jika hendak menghantam betis Pendekar
Slebor dengan tinjunya ke atas, bisa saja pemuda itu
mengelak sambil berputaran di atasnya. Setelah itu,
sudah pasti kedua tangan pendekar muda itu akan
meremukkan kepala belakangnya.
Untunglah, pada saat terjepit dua kawannya yang
lain menerjang dari belakang ke atas, untuk menyergap
Andika yang masih di atas tubuhnya.
Pendekar Slebor menyadari kalau sergapan
kedua orang tua itu tidak bisa dianggap sembarangan.
Maut bisa saja mengintai dari sergapan yang terlihat tak
berbahaya. Maka Andika segera melompat ke belakang.
Setelah bersalto di udara beberapa kali, kakinya
menjejak tanah kembali.
Bagi Andika pribadi, barisan tempur lawan masih
belum dapat diukur. Dari serangan awal tadi, hanya bisa
disaksikan bagaimana kokohnya pertahanan keempat
lawannya, serta betapa mantapnya setiap pertukaran
gerak serang mereka.
Meski sulit menjajalya, dan sadar kalau lawanlawan yang dihadapi setiap saat bisa melempar
nyawanya, Pendekar Slebor tetap tak kehilangan sifat
urakannya. Sembilan langkah di depan mereka, Andika
mengumbar senyum mengejek. Lebih menjengkelkan
lagi kedua alisnya juga dikedik-kedikkan.
"Kau sudah terlalu lamban untuk menghadapiku,
Tuan Tua," ledek Pendekar Slebor.
Dan baru saja Andika hendak membuka mulutnya
kembali, terdengar langkah lari ringan di belakang.
Seketika dengan sigap tubuhnya berbalik. Ternyata
yang datang lelaki yang amat dikenalnya.
"Chin Liong...," ujar Pendekar Slebor saat melihat
siapa yang datang. "Kenapa kau tak melanjutkan
perjalananmu?"
"Aku hanya khawatir,
Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si Tua Licik itu menjebakmu," sahut Chin Liong.
"Nyatanya memang begitu," timpal Andika. Lalu,
diliriknya empat orang lawannya.
"Itulah mereka."
"Mereka mengeroyokmu?"
"Begitulah. Kebiasaanyang tak baik, bukan?"
Dengan mata tetap mengawasi gerak-gerik Empat
Penguasa Penjuru Angin, pemuda Tiongkok itu
mendekatkan kepalanya ke wajah Andika.
"Apa kau perlu bantuan untuk menghadapi
mereka" Mereka memiliki ilmu yang sulit terukur. Apa
kau yakin bisa menghadapi?" tanya Chin Liong.
Andika menyeringai.
"Sebenarnya aku tidak perlu bantuan," ucap
Pendekar Slebor agak menyombong. "Tapi kalau kau
memang ingin ambil bagian dalam pesta kecil ini, ya
silakan!" "Bagus! Biarpun bantuanku mungkin tak begitu
berarti." "Mau dimulai sekarang, atau setelah tahun monyet
nanti?" Pemuda Tiongkok di sampingnya tak menyahut.
Keputusan melanjutkan pertarungan berada di tangan
Andika. Itu sebabnya, dia hanya menjawab dengan
lirikan saja. "Kupikir lebih bagus sekarang," tandas Andika.
Lalu.... "Hiaaa!"
Andika berteriak keras-keras. Begitu kerasnya,
seolah hendak memutuskan urat lehernya sendiri.
Berbareng dengan teriakannya, langsung dibtikanya
jurus 'Memapak Petir Membabi buta' sambil berlari ke
arah lawan-lawannya.
"Yiaaa!" Chin Liong menyusul di belakang
bersama teriakan yang tak kalah menggelegar.
Maka pertempuran terdahsyat sepanjang satu
abad terakhir pun akan segera pecah kembali di negeri
itu. Sampai saat ini, Si Pembawa Badai sempat pula
kagum pada lawannya. Masih tergolong muda, tapi
sudah memiliki tingkat kesaktian begitu luar biasa. Dan
kini, kekagumannya bertambah tatkala disaksikan
sendiri, bagaimana menakjubkan jurus Pendekar Slebor.
Jurus 'Memapak Petir Membabi buta' adalah jurus
ciptaan Andika ketika menjalani penyempurnaan kesaktian di Lembah Kutukan (Baca serial Pendekar
Slebor dalam episode: "Lembah Kutukan"). Setiap
gerakan tubuhnya tampak seperti orang kelimpungan
tak karuan. Tapi mata tokoh persilatan yang banyak
makan asam garam seperti Si Pembawa Badai, gerakan
kacau balau Pendekar Slebor justru dianggap sebagai
serangan yang amat sulit dimentahkan. Bagaimana
tidak" Nyatanya pukulan atau tendangan pendekar
muda itu tiba- tiba bisa melenceng dari sasaran semula
dengan kecepatan sulit ditangkap mata!
Sadar akan hal ini, Si Pembawa Badai segera
menggenjot tubuh jauh-jauh untuk mengatur jarak.
Barisan Empat Tonggak Bumi Menghantam Gunung
mesti dihadirkan kembali, pikirnya. Hanya itu satusatunya cara yang bisa diandalkan unttik menghadapi
Pendekar Slebor.
Di lain Sisi, Andika mulai menggempur tiga
lawannya yang lain, tanpa peduli pada Dewi Seribu Diri
masih juga mencoba tersenyum-senyum tak karuan.
Lalu apa yang dilakukan Chin Liong di
belakangnya" Tanpa sepengetahuan Pendekar Slebor,
pemuda Tiongkok itu mengangkat tangan tinggi-tinggi
sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Nyatanya kepala Andika siap dihantam dengan satu tinju
geledek! *** Jika tinju maut yang dilancarkan pemuda Tiongkok
itu lebih cepat sekejapan saja, sudah bisa dipastikan
kepala Pendekar Slebor akan remuk. Untunglah pada
waktu yang nyaris bersamaan, dia membuat gerakan tak
terduga. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke depan
untuk menyarangkan tendangan ganda ke arah Pencuri
Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Tindakan Pendekar Slebor mengakibatkan bokongan dari belakang luput, sehingga menghasilkan
de sir angin cukup keras yang masih sempat tertangkap
telinga. Wesss! Menangkap suara mencurigakan itu, Andika jadi
terperanjat. Niatnya untuk membabatkan kaki ke arah
kedua lawannya di depan diurungkan. Di udara,
tubuhnya segera digenjot lagi dengan membuat satu
putaran. Setelah itu, kakinya mendarat enam langkah di
belakang Pencuri Jantung dan Hantu Bisu Kaki Baja.
Di tengah-tengah kepungan kelima orang itu, kini
Andika menatap tak mengerti pada pemuda Tiongkok
yang semula dikira Chin Liong. Matanya menyipit dan
benaknya mereka terhadap pemuda Tiongkok itu.
"Kau bukan Chin Liong.... Kau pasti, Chin Chung,"
desis Pendekar Slebor pasti.
Orang yang ditatap, saat itu pula mengumbar tawa
keras. Hua ha ha...! Aku memang Chin Chung! Kau
kaget, Pendekar Bodoh" Sekali lagi, kau tertipu
permainanku, bukan" Hua ha ha...!" cemooh pemuda
yang benar-benar mirip Chin Liong, tapi ternyata Chin
Chung. "Kentut basi!" serapah Andika.
Bukan main geramnya Pendekar Slebor melihat
Chin Chung. Selama ini, dia bukan hanya telah
dipermainkan begitu rupa oleh lawannya. Tapi, Andika
juga mempunyai piutang nyawa atas kematian Ratna.
Kegeramannya makin menggelegak manakala teringat
beberapa pembantaian yang dilakukan Chin Chung dan
pasukannya di tanah Jawa Dwipa. (Baca kisah
Pendekar Slebor dalam episode:
pusaka Langit"!).
"Kau harus membayar semua perbuatanmu di
negeriku, Chin Chung!"
"Aku" Jangan menjadi lebih bodoh! Kau tak akan
mungkin melakukannya, karena hari ini nyawamu akan
lepas dari raga!" sergah Chin Chung. Mimik wajahnya
begitu mengancam. "Untuk menghadapi kawan- kawanku yang bergelar Empat Penguasa Penjuru Angin,
kau tentu harus menguras seluruh kemampuan. Kau
bisa saja menjadi tokoh nomor satu di negerimu. Tapi,
ingat. Mereka juga tokoh-tokoh puncak di negeri kami.
Meskipun aku tak begitu yakin kau akan lebih unggul.
Tapi aku yakin, dengan bantuanku, kau akan mudah
disingkirkan!"
"Jangan terlalu yakin!" hardik Andika.
"Ya! Jangan terlalu yakin, Pengkhianat Busuk!"
Tiba-tiba terdengar sahutan seseorang, dua puluh
lima langkah dari tempat tersebut. Suara itu berasal dari
mulut seorang wanita. Dan Andika merasa pernah
mendengarnya. Bergegas Pendekar Slebor menoleh, berbarengan
dengan kelima lawannya.
"Ying-lien...," gumam Andika setelah melihat
wanita yang menyela hardikannya. Ya! Ying-lien atau
Bidadari Buta Bersayap Naga telah tiba pula di tempat
ini bersama Chia-ceng.
Kemudian dengan satu hentakan saja, tubuh
wanita buta itu melayang seperti camar di udara untuk
selanjutnya mendarat di samping kiri Andika. Kemudian,
menyusul Chia-ceng si Cebol Bermuka Merah. Orang
tua berbadan pendek gemuk itu menempati sisi kanan
Pendekar Slebor.
"Tampaknya kau mulai sudi bersikap bersahabat
denganku, Putri," sapa Andika. Kembali dia memanggil
Ying-lien dengan sebutan 'putri'. Sebelumnya, dia
memanggil gadis itu dengan namanya saja, karena
jengkel. "Aku tidak pernah meragukan Chin Liong," balas
Putri Ying-lien tanpa menoleh. Mata batin inderanya
waspada pada calon lawan-lawan mereka.
"Apa maksudmu?" tanya Andika tak mengerti
"Bukankah dia percaya kalau kau mampu
menolong kami."
"Dengan begitu, kau juga mempercayaiku"
Mempercayai kemampuanku menolong negerimu dari
rongrongan para pengkhianat?" ucap Andika, menduga
ucapan Putri Ying-lien selanjutnya.
"Tepat," jawab Putri Ying-lien cepat. "Kini, tak
perlu lagi banyak tanya kalau tak ingin kecolongan oleh
mereka." "Tapi kenapa kau bersikap menolakku pada
mulanya?" tanya Andika lagi. Tak dipedulikannya
peringatan Putri Ying-lien tadi.
Wanita berparas jelita itu menghempas napas
kesal menghadapi sikap keras kepala Andika yang mulai
terlihat lagi. "Karena aku ingin menguji kesungguhanmu. Itu
saja," jawab Putri Ying-lien agak jengkel.
"Itu saja?"
"Hey" Apa mulutmu tak bisa dikunci untuk
sementara?" bentak wanita itu kesal.
"He he he...," Andika malah terkekeh.
Mendadak sontak Chin Chung mengeluarkan
sepasang cakram selebar piring makan dari balik
bajunya. "Heaaa...!"
Dengan senjata itu, Chin Chung melabrak
Pendekar Slebor yang dianggap sedang lengah.
Sedangkan Pencuri Jantung segera mengeluarkan
batang bambu tipisnya. Sementara Dewi Seribu Diri
telah meloloskan selendang suteranya pula dari
pinggangnya. Karena merasa tak sanggup melawan Empat Penguasa Penjuru Angin, Putri Ying-lien mempercayakan
Andika untuk menghadapi mereka. Sedang dia sendiri
menghadang serangan Chin Chung. Wanita itu merasa
harus berhadapan langsung dengan saudara kembar
Chin Liong itu. Ada satu hutang yang harus dibayar Chin
Chung pada dirinya. Dan itu harus dibayar dengan
nyawa sekarang juga. Maka pertarungan pun tak
terelakkan lagi. Seketika terdengar teriakan-teriakan
membahana, menyemaraki pertarungan.
*** 6 Kancah pertarungan nyawa dalam pertukaran
jurus demi jurus maut telah berlangsung hingga
matahari rebah di kaki langit sebelah barat.
Hingga hampir jurus keseratus tak ada seorang
pun yang tumbang. Andika yang mendapat dukungan
Cebol rmuka Merah atas perintah Putri Ying-lien, dapat
mengimbangi setiap barisan tempur yang selama ini tak
terkalahkan milik Empat Penguasa Penjuru Angin.
Wilayah sekitar kancah pertarungan sudah hampir
tersapu angin topan. Demikian porak-poranda! Banyak
pepohonan yang besarnya tak terpeluk tangan tumbang.
Memang, pertarungan tanpa terasa kini berpindah ke
sebuah kaki bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan
raksasa. Dua medan pertarungan yang terjadi, terpisah
sekitar empat puluh depa. Putri Ying-lien yang
berhadapan melawan orang yang paling dibencinya,
Chin Chung, berada di sebelah barat daya. Sedangkan
pertempuran Andika dan Chia-ceng melawan empat
datuk sesat Tiongkok itu berlangsung di sebelah timur
laut. Sampai suatu ketika....
"Berhenti kau Pendekar Slebor!"
Terdengar Chin Chung meneriakkan perintah
kasar pada Andika dan Chia-ceng. Padahal, saat itu
Pendekar Slebor sudah berhasil membuat anak Si
Pembawa Badai memuntahkan darah segar. Bahkan
senjata Pencuri Jantung yang terbuat dari bambu langka
telah dipatahkannya pula.
Dengan serta merta, Pendekar Slebor menghentikan cecarannya pada Pencuri Jantung. Dia
melompat mundur beberapa tombak untuk mencari
tempat aman. Kemudian, secepatnya kepalanya menoleh ke arah suara Chin Chung. Begitu juga Chiaceng. Tampak Chin Chung kini sedang menggapit leher
Putri Ying-lien yang nampaknya telah terluka dalam.
Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan itu bisa dipastikan karena hidung dan sudut bibir
Putri Ying-lien mengeluarkan darah. Sementara satu
tangan Chin Chung menempelkan cakram ke leher Putri
Ying-lien. "Putri...," ujar Chia-ceng, khawatir.
"Apa yang kau inginkan Chin Chung?" tanya
Andika, dengan sedikit hati-hati. Pendekar Slebor tak
mau leher wanita jelita itu jadi santapan empuk senjata
cakram Chin Chung.
"Apa keinginanku" Hua ha ha...! Aku ingin agar
kau menyingkir dari urusan kami! Kau dengar itu"!"
Chia-ceng melirik Andika untuk meminta pertimbangan. "Bagaimana, Anak Muda?" tanya orang tua
gendut itu. "Lebih baik turuti saja kemauannya. Aku khawatir,
dia mencelakakan Putri Ying-lien," sarah Andika tanpa
menoleh. Matanya tetap terhujam tajam pada Chin
Chung di kejauhan.
"Aku pikir juga begitu," timpal Chia-ceng, setuju.
"Baik! Kalau memang itu maumu, Chin Chung!
Tapi sebelum aku menyingkir, kuberitahukan dulu
sesuatu padamu. Jika wanita itu diusik selembar rambut
saja, kau akan kuhabisi!" teriak Andika akhirnya.
Andika lalu mengajak Chia-ceng pergi dari tempat
itu. Sebelum keduanya benar-benar menghilang, Chin
Chung sempat memperingati pendekar muda tanah
Jawa Dwipa itu.
"Ingat, Pendekar Slebor! Sekali lagi kau terlihat
olehku, maka wanita ini akan segera kubunuh!"
*** Di Kuil Peraduan Bulan Bisu. Malam gelap,
terselimuti hawa dingin menggigil. Keluh kesah hewan
malam terdengar seperti tak sudi menyambut arakan
mendung tebal melayang di atas daerah itu.
Di dalam kuil, tiga orang lelaki sedang duduk
mengelilingi api unggun. Cahaya perapian tampak
menjilati wajah masing-masing yang tampak gelisah.
Kehangatannya tak lagi bisa dinikmati, karena benak
masing-masing sedang diusik kekhawatiran. Mereka
adalah Andika, Chin Liong, dan Chia-ceng.
Dua hari setelah pertarungan, Chin Liong kembali
ke tempat yang telah disepakati bersama Andika. Tapi,
di sana Pendekar Slebor tak ditemukannya. Maka
diputuskannya untuk langsung pergi ke Kuil Peraduan
Bulan. "Maaf, Chin Liong. Aku tidak bisa menepati janji
untuk bertemu denganmu di tempat yang kita sepakati.
Aku khawatir, Chin Chung memergokiku. Dan itu bisa
berakibat fatal bagi Putri Ying-lien," kata Andika, setelah
menceritakan tentang kabar buruk yang dialami Putri
Ying-lien. "Ya, aku tahu," sahut Chin Liong, bernada
murung. "Bagaimana tindakan kita selanjutnya?" sela Chiaceng. Andika menggeleng.
"Kita belum bisa berbuat apa-apa, selama Putri
Ying-lien masih di tangan Chin Chung."
Dalam beberapa helaan napas, mata Andika
hanya tertuju pada geliat api di depannya.
"Bagaimana
dengan mata-mata yang kau hubungi, Chin Liong" Apa ada satu berita yang bisa
dimanfaatkan?" tanya Andika. Pandangannya kini
beralih ke pemuda Tiongkok yang tampak terpaku
kosong. "Buntu. Orang itu rupanya telah diringkus para
pemberontak. Bahkan mungkin sudah tewas," jawab
Chin Liong, putus asa.
Pendekar Slebor menghempas napas kesal.
Persoalan kini semakin terpuruk pada lorong buntu.
Selama menangani peristiwa demi peristiwa, dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan, sudah cukup
banyak kerumitan yang mampu diatasi. Dan kali ini pun,
dia tak merasa menghadapi suatu yang pelik atau rumit.
Masalahnya sebenarnya sederhana. Yang menjadikan
masalah ini berat, hanya akibat yang bakal menimpa
Putri Ying lien bila salah bertindak.
"Aku tak habis pikir, kenapa Putri bisa dikalahkan
Chin Chung begitu mudah," cetus Chin Liong, seperti
bergumam sendiri. "Padahal tingkat kepandaiannya
setaraf." "Apa kau tak ingat ucapan Putri, sewaktu kau baru
tiba dengan Andika?" Chia-ceng ikut bicara. "Dia
mengatakan, Chin Chung akan memiliki kekuatan tiga
belas kali daripada sebelumnya, jika memegang Pusaka
Langit...."
"Tapi kalau saat itu dia memegang Pusaka Langit,
tentu tak perlu bertarung lebih dari seratus jurus
melawan Putri, bukan?" Kini giliran Andika ambil bagian.
Setelah itu, mereka kembali membisu. Sayang,
tak seorang pun yang tahu kalau Putri Ying-lien saat itu
terlalu teringat kembali pada kejadian menyakitkan yang
dialami akibat perbuatan Chin Chung dulu. Dan itu menyebabkan kewaspadaannya terganggu. Dan mungkin
hanya Chin Liong yang mulai bisa meraba ke arah sana.
Tapi, itu hanya ada dalam hatinya.
Tiba-tiba wajah Andika seperti tersentak.
"Hey" Kalau ternyata Chin Chung tak membawa
Pusaka Langit pada saat pertempuran, kira-kira di mana
disembunyikannya" Dan kenapa pula tak dibawa kalau
benda itu amat penting?" ujar Andika bertanya-tanya.
Mendengar ucapan Andika barusan, Chin Liong
ikut tersentak.
"Bodoh!" umpat pemuda itu. Entah, ditujukan pada
siapa. "Kenapa aku tak memikirkan ke arah itu!"
"Kenapa, Chin Liong" Apa kau teringat sesuatu?"
tanya Andika bersemangat.
"Bukankah Pusaka Langit harus disatukan, antara
pedang dengan gagang pusakanya?" lanjut Chin Liong
lagi. "Tentu Chin Chung tak akan begitu bodoh
meletakkan begitu saja Pusaka Langit dan gagang
pedang pusaka di tempat yang tersembunyi. Pasti,
benda itu telah diserahkannya pada seorang pandai besi
untuk dijadikan pedang!"
"Dan hanya ada satu pandai besi yang mampu
melebur Pusaka Langit untuk dijadikan pedang," tambah
Chia-ceng. "Tua Bangka Tangan Api...."
"Bagus! Kalau itu benar, kita harus merebutnya
dari tangan si Pandai Besi. Tentu Chin Chung akan sudi,
bahkan amat sudi menukarnya dengan Putri Ying-lien,"
tandas Andika. Mereka seketika menampakkan wajah berharap.
Meski tak tampak senyum di bibir. Tapi biar
bagaimanapun, semua itu baru rencana.
Kini ketiganya melanjutkan penyusunan rencana
yang akan dijalankan.
*** Ketika matahari naik ke puncaknya Andika dan
Chin Liong sudah berada di depan Goa Lintah Sejuta. Di
goa itulah Tua Bangka Tangan Api tinggal, sekaligus
dijadikan tempat untuk membuat senjata-senjata pusaka
pesanan para tokoh kelas atas.
Sesuai rencana Andika, Chin Liong akan berpurapura menjadi Chin Chung. Dengan begitu, mereka tak
perlu banyak buang tenaga.
Saat ini Goa Lintah Sejuta tampak lengang.
Letaknya memang cukup terpencil, di sebuah lereng
jurang. Di bawahnya, batu cadas meruncing siap
menghujam siapa saja yang ceroboh. Bagi Andika dan
Chin Liong sendiri, kesulitan macam itu tidak terlalu
menghalangi. "Agar Tua Bangka Tangan Api tidak curiga,
sebaiknya kau masuk sendiri ke dalam. Aku akan
menunggumu di sini," bisik Andika.
"Baik," sahut Chin Liong mantap.
Pemuda Tiongkok itu pun melanjutkan langkah
memasuki lorong goa yang lembab dan gelap. Di bagian
yang agak menjorok ke bawah, Chin Liong merasakan
dingin pada kakinya. Rupanya, ada aliran sungai bawah
tanah yang menembus goa itu.
Semakin ke dalam, air menjadi tinggi. Dan ketika
aliran sungai kecil itu sudah mencapai pinggang, Chin
Liong dikejutkan oleh sesuatu yang bergerak-gerak
halus di beberapa bagian kakinya. Rasa keingin
tahuannya, terbetik. Perlahan-lahan diturunkannya obor
ke depan pinggang. Dan mendadak, matanya menyipit
jijik. Tampak gerombolan lintah mencoba mengisap
darahnya. Chin Liong segera mengerahkan hawa murni di tu
buhnya, untuk menimbulkan panas yang bisa mengusir
binatang-binatang melata menjijikkan itu. Dan ternyata
usahanya berhasil. Lintah-lintah itu mulai menyingkir
satu persatu. Di antaranya, bahkan ada yang mati.
Chin Liong mulai melanjutkan penelusurannya
yang sedikit terhambat tadi. Makin masuk ke dalam,
perjalanan agaknya kian berat. Dan kini tiba di semacam
persimpangan yang memiliki banyak cabang lorong. Di
sekitar tempat itu banyak terpasang lampu yang
menyala dari gas alam. Chin Liong tak lagi memerlukan
obornya, dan langsung menghempaskannya ke bawah.
Untuk sampai pada tempat kediaman Tua Bangka
Tangan Api, pemuda itu harus menentukan satu lorong
yang harus dilalui. Sementara, ada tujuh lorong yang
mesti dipilihnya. Ya! Pada setiap lorong itulah bahaya
siap menanti. Dengan dada berdebar-debar,
Chin Liong mencoba memasuki satu lorong yang terdapat plang
kayu berwarna merah muda di atasnya. Selangkah demi
selangkah, kakinya melangkah ke dalam lorong. Sungai
kecil sudah tidak mengalir ke sana, membuat gesekan
langkahnya terdengar jelas bagai desis ular berbisa.
Pada langkah kedua puluh, pemuda itu terhenti.
Lorong itu ternyata buntu, dan ini membuatnya agak
kesal. Dia mendengus. Hanya itu yang bisa diperbuatnya. Baru saja pemuda Tiongkok itu hendak berbalik ke
persimpangan lorong semula, tiba-tiba saja dari
beberapa lubang di dinding goa menyembur lidah api
besar. Wrrr! Chin Liong amat terperangah. Untunglah dia
cukup sigap. Dengan sekali genjot ke belakang,
tubuhnya berputaran di atas untuk menghidari sambaran
puluhan lidah api. Kalau saja terlambat, pasti tubuhnya
hangus jadi arang.
Sekali lagi Chin Liong menghembuskan napas
sesaat, setelah kakinya hinggap di lantai goa lagi. Kali
ini, tentu saja bukan karena jengkel, melainkan lega.
Sifatnya yang memang cukup dingin, membuatnya tidak
banyak menggerutu atau mencaci maki.
Lolos dari satu bahaya tadi, kini pemuda itu
kembali ke persimpangan lorong. Akan dicobanya
memasuki lorong berikut, yang memiliki plang kayu
warna biru. Sama dengan lorong berplang merah, ternyata
lorong ini pun terdapat jebakan maut. Di tengah jalan,
mendadak saja lantai goa yang dipijaknya terbuka lebar.
Grrr! Karena begitu cepatnya lantai goa terkuak, Chin
Liong tak sempat lagi menghindar. Tubuhnya kontan
terjerumus ke dalam lubang jebakan. Bagai ditarik
kekuatan tak terlihat, tubuhnya meluncur cepat menuju
dasar lubang seperti sumur. Sementara, bawahnya siap
menanti sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan pemakan
daging, serta ular air yang bisanya amat ganas.
Tentu saja Chin Liong taksudi menjadi umpan
binatang-binatang buas itu. Dalam keadaan gawat,
tenaga dalamnya dikerahkan ke kedua telapak tangan.
Tanpa memakan waktu lama, tenaga yang terkumpul di
telapak tangannya dilepas ke dinding lubang.
Wesss! Drak! Seketika lantakan batu berhamburan, ketika
pukulan jarak jauh Chin Liong menghantam dinding goa.
Manfaat yang bisa didapat adalah, hentakan batik
tubuhnya ke belakang. Dengan dorong itu, tubuhnya
berputaran hingga menghadap dinding lubang di
belakangnya. Lalu dengan satu gerak tangan yang
masih menyimpan tenaga dalam,
Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarinya yang membentuk cakar dihantamkan ke dinding lubang.
Creb! Dinding lubang terbuat dari cadas keras pun
kontan tertembus. Hasilnya, sungguh seperti yang
diharapkan. Tubuh Chin Liong kini tidak lagi meluncur ke
dasar lubang, melainkan menggelantung di dindingnya.
Selanjutnya, dia mulai merangkak perlahan. Satu
gerakan ke atas dilakukan dengan menghantamkan
cakarnya pada dinding lubang. Sampai akhirnya,
tangannya berhasil menggapai bibir lubang.
"Fhuuuh!"
Chin Liong menghembuskan napas lega setelah
tiba kembali di atas. Lalu tanpa ingin membuat waktu
lebih lama, dia kembali ke persimpangan lorong. Seperti
lorong sebelumnya, sudah pasti lorong itu pun buntu.
Tak lama kemudian, pemuda tampan bermata
sipit itu sudah terlihat memasuki lorong berplang kayu
warna merah darah.
"Kejutan apa lagi yang discdiakan untukku.
Seakan, dia mencoba bergurau untuk menenangkan
diri," kata Chin Liong, sebelum memasuki lorong di
depannya. Sambil tetap berharap dalam hati kalau lorong
yang dimasuki kali ini benar-benar lorong tepat untuk
tiba di tempat Tua Bangka Tangan Api, Chin Liong
menyusur dengan langkah lebih hati-hati.
Tindakannya, ternyata beralasan. Bahaya ternyata
memang belum sudi menyingkir darinya. Memasuki
bagian yang menyempit, tiba-tiba pula pemuda itu
diserbu puluhan tonggak runcing yang melesat dari
seluruh bagian dinding lorong.
Sungsang-sumbel Chin Liong bergulingan, dikejar
tonggak-tonggak runcing yang mengancam secara
bersusulan. Sampai akhirnya, tangan-tangan maut itu
tak lagi memburu.
Sekali lagi, pemuda itu kembali ke persimpangan
lorong. Tinggal empat pintu lagi yang belum dimasukinya. Satu pintu kuning, hitam, putih, dan hijau.
"Pantas saja para pelanggan Tua Bangka Tangan
Api yang memesan senjata pusaka, rata-rata adalah
para tokoh kelas atas," gumam Chin Liong. "Karena tak
mungkin bagi orang berkepandaian tanggung, bisa lolos
dari jebakan yang dibuatnya. Tapi, aku heran. Ke mana
mayat-mayat orang naas yang menjadi korban jebakan"
Aku tak melihatnya...."
Usai menimbang-nimbang beberapa saat. Chin
Liong memuluskan untuk memasuki pintu lorong
berplang kayu warna hijau. Menurutnya, warna itu
mencerminkan kcadaan tenang dan damai. laksana
warna dedaunan pohon rindang. Mungkin dengan
pencerminan warna itu, lorong yang dimasuki tak lagi
berbau darah dan maut. Lalu dia bisa bertemu orang tua
aneh di dalamnya.
Perkiraan Chin Liong agaknya tidak meleset.
Makin ke dalam, dia memang menemukan susana
berbeda dari sebelumnya. Di sisi-sisi jalan, tampak
tanaman-tanaman hias langka yang ditatap asri.
Keadaannya pun lebih terang dari tempat lain. Karena,
pada dinding lorong dipasang lebih banyak lampu gas
alam. Chin Liong makin yakin telah memasuki jalan yang
tepat. Maka, langkahnya pun dipercepat.
Setelah melalui dua kelokan, akhirnya Chin Liong
tiba di satu ruang besar yang terang benderang,
berbentuk kubah. Di beberapa bagian dindingnya,
terpajang senjata dengan bentuk beragam. Mulai dari
belati bermata dua, sampai kapak besar berukir naga.
Tepat di tengah-tengah ruangan, tampak satu
perapian besar sebagai tempat melebur logam. Di
samping karena lampu-lampu gas alam, tampaknya
keadaan terang benderang ruangan diperoleh pula dari
perapian besar itu.
Di sini, Chin Liong juga menemukan tumpukan
kerangka manusia yang disusun berbentuk satu menara.
Hatinya bergidik juga sesaat. Barangkali, mereka adalah
para korban yang tak berhasil lolos dari jebakan maut,
yang kemudian dikumpulkan seperti satu benda seni.
Tua Bangka Tangan Api benar-benar lelaki tua aneh!
"Hm...! Ke mana si Tua Bangka Tangan Api itu?"
tanya Chin Liong membatin. Tak dilihatnya seorang pun
di ruang besar ini.
Rasa penasaran, mendorong Chin Liong memasuki ruangan. Belum lagi setengah ruangan
dijelajahi, ditemukannya sesosok tubuh terkulai di balik
tungku perapian. Kelihatannya, usia lelaki itu sudah
cukup lanjut. Rambutnya putih, ditutupi topi kain
berwarna merah api. Badannya yang tertelungkup
terlihat bungkuk.
Chin Liong bergegas meraih tubuh lelaki tua itu.
Dia yakin yang ditemuinya adalah Tua Bangka Tangan
Api. Ketika tubuh lunglai itu dibalikkan, terlihatlah satu
sayatan dalam yang memanjang dari atas wajah hingga
ke lehernya. Sayatan yang tak sempat mengenai bagian dalam
tempurung kepala Tua Bangka Tangan Api, membuatnya masih sempat memberinya kesempatan
hidup walau hanya sebentar.
"Pedang itu.... Pedang itu...," kata orang tua itu
lirih. "Pedang apa yang kau maksud?" tanya Chin
Liong. "Pedang yang baru saja kuselesaikan...."
"Pedang apa?" desak Chin Liong.
"Pedang itu...," ulang Tua Bangka Tangan Api
makin mengabur.
"Katakan padaku, pedang apa" Apa Pedang
Pusaka Langit?" duga Chin liong, tetap mencoba
mendesak orang tua sekarat itu.
"Telah dibawa pergi.., olehhh...."
Belum tuntas kalimat yang hendak dikeluarkan,
Tua Bangka Tangan Api terburu tewas, akibat terlalu
banyak kehilangan darah.
"Seseorang mendahuluiku," desis Chin Liong
perlahan. Siapa yang telah mengambilnya" Tapi pertanyaan
tadi dianggap bukanlah hal yang mendesak. Yang paling
penting, sekarang Chin Liong harus segera mengejar
orang culas yang mendahuluinya.
Hati-hati, Chin liong meletakkan mayat orang tua
itu sebagai sikap hormatnya.
"Maaf, Orang Tua. Aku tidak bisa memakamkan
jasadmu dengan layak," ucap pemuda itu perlahan.
Selesai berkata demikian, Chin Liong segera
berlari ke persimpangan. Di sana, diambilnya kembali
obor di lantai. Setelah menghidupkan obor itu, dia
segera memasuki lorong keluar.
Cukup lama setengah berlari, kembali Chin Liong
bertemu jalan yang dilalui anak sungai tadi.
Pemuda itu pun melanjutkan perjalanan kembali.
Namun baru enam langkah Chin Liong berhenti.
Matanya seketika melihat sesuatu yang mengusik di
kejauhan. Suatu sinar terang yang dipancarkan benda
sepanjang lengan, yang tegak mengarah langit-langit
goa. Cahaya berwarna merah bagai bara api.
Alis Chin Liong berkernyit. Terlebih, ketika benda
itu bergerak terus ke arah dirinya. Apa itu" Dan ketika
benda itu sudah demikian dekat, sekitar tiga tombak lagi
di depannya. "Sayang! Rupanya kau terlambat datang, Chin
Liong...."
Terdengar suara seseorang. Kemudian satu wajah
tampak, tatkala sinar merah bara itu menerangi makin
mendekat. "Kau...," desis Chin Liong.
"Ya! Aku saudara kembarmu," sahut orang itu.
Ternyata orang itu Chin Chung. Pada tangannya
tampak tergenggam pedang bersinar sebagai pengganti
obor. "Kau tentu hendak mengambil senjata pusaka ini,
bukan" Sayang sekali. Aku telah mendahuluimu. Entah
kenapa, aku merasa kau akan mencoba mengambil
benda ini dari Tua Bangka Tangan Api. Kau tentu ingin
mengelabuinya dengan berpura-pura menjadi diriku,
bukan?" tutur Chin Chung, bermaksud meledek.
Chin Liong tak berkata apa pun. Matanya
berkilatan menahan kegusaran pada saudara kembarnya yang masih berpakaian seperti dirinya.
"Rupanya si Pandai Besi Tua itu cekatan juga.
Pesananku diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari.
Kupikir, itu karena bayaran yang kuberikan padanya.
Tapi, nyatanya tidak. Dia ingin cepat-cepat menyelesaikan,. karena juga ingin menguasai benda ini.
Aku tak suka pada pengkhianat sepertinya. Maka
langsung tamatlah riwayatnya dengan pedang ini.
Hitung-hitung, sebagai uji coba. Hua ha ha...!" oceh Chin
Chung, puas. "Kenapa kau tak penggal juga kepalamu"!" sentak
Chin Liong. "Hey! Apa maksudmu, Saudaraku?" tanya Chin
Chung, penuh lagak menyebalkan.
"Bukankah kau juga seorang pengkhianat?" sindir
Chin Liong, tajam.
Seringai di bibir lelaki di depannya menyusut.
Kata- kata pedas Chin Liong tadi, tampaknya mengena
tepat di inti harga dirinya. Wajahnya tiba-tiba berubah
bengis. "Kalakan padaku, Chin Chung! Kenapa kau
menghina diri sendiri dengan menyalahi kebenaran?"
ucap Chin Liong melembut.
Biar bagaimanapun, Chin Liong tidak bisa
menyingkirkan ikatan batin dengan Chin Chung. Betapa
sakit perasaannya jika saudara kembarnya menjadi
manusia durjana. Seakan, dia juga turut menanggung
dosa. "Jangan coba pengaruhi aku, Chin Liong! Jalan
yang kita tempuh memang berbeda. Dan perbedaan itu
mengharuskan kita berhadapan sabagai lawan. Namun
bila kau memang masih mengakuiku sebagai saudara,
lebih baik mengalahlah. Menyingkirlah dari urusan ini
Aku tak mau mengadu jiwa dengan saudaraku sendiri.
Tapi kalau kau tetap memaksa, aku tak bisa mengalah."
Bibir Chin Liong kini memperlihatkan senyum
pedih. Kepalanya menggeleng perlahan. Seketika
berkecamuk dalam benaknya. Antara kebenaran yang
harus tetap dijunjung dengan ikatan batin dirinya dengan
Chin Chung. Bahkan kini dia teringat pada masa kecil
mereka dulu. "Keras kepalamu rupanya tak juga lenyap," ucap
Chin Liong lemah.
Kalimat itu diucapkan Chin Liong dari dasar hati
terdalam. Dia sendiri tidak tahu, apakah itu sebuah
bentuk cetusan kerinduan dalam gurauan yang hambar,
atau sekadar sindiran.
"Sudah kukatakan, jangan coba pengaruhi aku,
Chin Liong," tepis Chin Chung, tak lagi sekeras
sebelumnya. Dalam hati, dia tidak bisa memungkiri kalau
dirinya pun rindu pada saudara kembarnya
"Kenapa kita tak rukun lagi seperti dulu saja, Chin
Chung" Sadarlah. Dan, kembalilah kepada kebenaran.
Aku akan memintakan ampunan pada Putri Ying-lien,
agar kau bisa diberikan kesempatan memperbaiki
kesalahanmu," bujuk Chin Liong halus.
Chin Chung menggeleng lembut.
"Tidak bisa, Chin Liong," sanggah Chin Chung,
bergetar. "Aku sudah telanjur basah. Aku tidak bisa lagi
mundur. Dan aku harus membalas jasa Si Pembawa
Badai yang telah memelihara dan mendidikku. Kini,
diriku adalah bagian dari mereka."
"Cobalah, Chin Chung. Demi aku! Demi kita...,"
bujuk Chin Liong, lebih halus. Suaranya pun kini ikut
bergetar diguncang kehilangan saudaranya yang kini
bagai begitu jauh.
"Jangan paksa aku, Chin Liong!" bentak Chin
Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chung, dalam satu kalimat tersekat-sekat.
"MenyingkirIah dari jalanku!"
Chin Liong menggeleng tegas.
"Menyingkir kataku, Chin Liong!" ulang Chin
Chung. Saudara kembarnya itu tetap menggeleng.
"Baik! Jangan salahkan aku jika di antara kita ada
yang terbunuh," ucap Chin Chung, nyaris terdengar
seperti terisak. "Maafkan aku, Saudaraku."
Setelah itu Chin Chung mengayunkan pedang
pusaka di tangannya ke depan. Dan....
"Hiaaa!"
*** 7 Pertarungan antara dua saudara kembar memang
sudah tidak terelakkan lagi. Dan Chin Chung memang
terlalu keras kepala untuk mengalah, apalagi menyadari
kesalahannya. Sedangkan Chin Liong tidak akan sudi
membiarkan kemungkaran terjadi di depan hidungnya,
meski dilakukan oleh saudara kembarnya sendiri.
Kini terputuslah jalinan darah satu sama lain
dalam satu kancah pertarungan berbaumaut. Mereka
bertukar jurus untuk mempertahankan sikap masingmasing dengan taruhan nyawa.
Chin Liong yang memiliki ketangguhan sebagaimana orang-orang tenggara, mengerahkan
kelebihan ilmu 'Ginkang'nya. Sebuah ilmu yang
mengandalkan kecepatan dan meringankan tubuh.
Sementara, Chin Chung di satu pihak mengerahkan
seluruh kemampuan 'Kun Twa'nya yang mengandalkan
kekuatan totokan jari tangan warisan Si Pembawa Badai
yang digabungkan dengan permainan pedang.
Telah empat puluh tiga jurus dilalui, namun sejauh
itu tak ada tanda-tanda yang terdesak. Mereka masih
sama-sama tangguh. Masih sama-sama mencoba
berada di atas angin.
"Haih!"
Zeb! Zeb! Pada satu kesempatan, jari kiri Chin Chung
mencoba menembus tenggorokan Chin Liongyang saat
ini berada dalam keadaan tak menguntungkan.
Rasanya, ia tak mungkin bisa memapak tusukan jari
lawan. Di daratan Tiongkok, ilmu 'Kun Taw' terkenal
mampu menembus batu cadas paling keras sekalipun.
Memapakinya, berarti membiarkan tangan tercedera
berat. Makanya, Chin Liong memilih menghindar.
Untungnya, kemampuan 'Ginkang' Chin Liong
cukup mampu diandalkan dalam keadaan seperti saat
itu. Terbukti, dia mampu melompat ke samping dengan
kecepatan luar biasa!
Krsk! Maka dinding Goa Sejuta Lintah pun menjadi
sasaran empuk jari kiri Chin Chung. Layaknya sebatang
tombak baja menembus batang pohon pisang.
Untuk membayar serangan, Chin Liong melancarkan tinju ganda ke dua sisi rusuk Chin Chung.
"Hih!"
Deb! Deb! Di tengah jalan, tinju ganda Chin Liong harus
segera dihentikan. Jika tidak, tangannya tentu akan
terputus sebatas siku, karena pada saat yang
bersamaan, Chin Chung dengan sigap membabatkan
Pedang Pusaka Langit ke bawah.
Wut! Babatan ke bawah tadi, diteruskan Chin Chung
dengan putaran pedang sedemikian rupa untuk
memenggal leher Chin Liong.
"Heaaa!"
Sing! Kali ini Chin Liong dipaksa menguras seluruh
kemampuan "Ginkang'nya
Tubuhnya langsung dihentakkan sepenuh lenaga ke belakang, untuk
mematahkan babatan pedang lawan. Pada saat rawan
seperti itu, mata jelinya masih sempat menangkap satu
bagian kosong pada tubuh Chin Chung. Sabetan yang
bernafsu tadi, membuat saudara kembarnya luput
membentengi dadanya yang terbuka.
Begitu tubuhnya dilempar ke belakang, kaki Chin
Liong naik ke atas berbarengan. Kesempatan yang amat
tipis itu digunakan Chin Liong secara cerdik untuk
mendepak dada Chin Chung.
Bukh! "Akh!"
Kontan saja tubuh Chin Chung terlempar ke atas,
kemudian meluncur deras ke belakang. Rasa sesakdi
dadanya yang terasa hampir jebol, membuat saudara
kembar Chin Liong itu tak sempat berteriak, kecuali satu
erangan pendek tertahan.
Byur! Begitu tubuhnya terjerembab, air sebatas lutut di
bawahnya pun tersibak kacau ke segala arah. Sesaat
tubuhnya tertelan aliran sungai kecil. Dan saat
berikutnya, dia bangkit dengan seluruh badan basah
kuyup. Bibirnya tampak mengeluarkan darah yang
terbawa tetesan air dari wajahnya.
"Aku belum kalah, Chin Liong," kata Chin Chung
seraya mengacungkan Pedang Pusaka Langit pada
Chin Liong. "Sudahlah, Chin Chung.... Sadarlah," bujuk Chin
Liong sekali lagi.
"Tidak! Kita harus menuntaskan urusan ini,"
tandas Chin Chung, sungguh-sungguh.
Begitu selesai kata-katanya, Chin Chung mulai
mengatur napas. Tangannya bergerak teratur. Tampaknya, dia mulai menantang Chin Liong untuk
bertanding te naga dalam.
Sementara itu, Chin Liong menyipit. Seluruh saraf
di tubuhnya sudah menegang. Inilah yang amat
Dewi Ratu Maksiat 2 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama