Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir Bagian 1
WARISAN RATU MESIR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Cici
Editor: Puji S.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Ketersiksaan yang teramat sangat menjerat Pendekar Slebor, manakala asap beracun telah menelusup ke rongga paru-parunya.
Andika saat ini tengah terjebak dalam lorong yang dimasukinya di dalam Piramida
Tonggak Osiris*Dalam petualangannya di dunia keras persilatan, udah beberapa
kali Pendekar Slebor berurusan dengan racun terganas di dunia. Namun kali ini,
dia merasakan siksaan yang tak terbandingkan dari pada seluruh racun yang pernah
berurusan dengannya.
Sekujur permukaan kulit Andika seperti disayat
sekian juta sembilu. Darahnya seakan digarang dalam tungku membara. Kepalanya
seolah hendak meletus,
membuncahkan isinya. Tulang-tulangnya terasa diremuk-redam.
Dan serat-serat dagingnya bagai
dilarikan sekawanan serigala lapar!
Pendekar Slebor benar-benar amat tersiksa, memaksa untuk melolongkan jeritan sekeras mungkin.
Seandainya saja kerongkongannya tak tersekat. Dan akibatnya rintihan lirih pun
tak mampu dikeluarkan.
Siksaan paling menyakitkan bagi benteng ketahanan diri Andika selama ini. Jika
masih bisa membandingkan, siksaan itu mungkin setara dengan keadaan saat
Pendekar Slebor harus menerima terjangan lidah-lidah petir kala mencoba
menyembuhkan Ratu Lebah di suatu bukit (Baca serial Pendekar Slebor dalam
episode: "Sepasang Bidadari Merah").
Beruntung, pengalamannya menjerang siksaan
gempuran lidah petir, melatih benteng kekuatan dalam dirinya agar bisa bertahan
dalam siksaan paling
menyakitkan. Kuat dalam menggulati maut untuk
mempertahankan secuil kesadarannya. Seperti saat ini.
Dalam detik-detik seperti itulah sisa-sisa kesadaran Pendekar Slebor terbangkit.
Dia langsung teringat pada tabung air minum pemberian si Gila Petualang.
Beberapa waktu lalu, Andika terasuki racun ganas dalam air di tabung itu. Setelah meneguk
kembali air dalam labung, racun justru dapat ditawarkan (Baca episode
sebelumnya: "Undangan Ratu Mesir").
Ingat akan hal itu, cepat-cepat Andika meraih tabung kulit dari ikat pinggang
pakaiannya. Dengan gerak tak terarah, mulut tabung itu didekatkan ke bibirnya.
Lalu air di dalamnya pun diteguk.
Gluk! Gluk! Gluk! Gluk! begitu empat tegukan masuk dalam kerongkongan, justru
merasakan hal yang dahsyat.
Apa yang terbetik dalam pikiran ternyata tak selalu selaras kenyataan. Bukannya
siksaan itu menjadi berkurang.
Sebaliknya malah semakin dahsyat dan menyakitkan!
Kesakitan memuncak. Di lain sisi, benteng pertahanan dirinya justru jatuh
semakin rapuh. Kesadarannya nyaris hilang....
Bagaimana mungkin lagi tubuh seseorang bisa
bertahan manakala terasa sudah rnenjadi serpih-ui "
Hingga akhirnya.... "Wuaaa!"
Diawali lompatan teriakan menggelegar, Andika
merasakan dunia rnenjadi gelap gulita.
*** "Andika! Andika! Di mana kau, Andika"!" panggil Nofret was-was. Dari ruangan
yang dimasukinya, lamat-lamat telinganya menangkap selenting jeritan. Meski
samar, pemilik suara itu masih mampu dikenalinya.
Tampaknya, antara satu ruangan dengan ruangan
lain yang kini dimasukj masing-masing undangan Ratu Mesir mempunyai hubungan.
Buktinya suara jeritan Andika sampai ke ruangan yang dimasuki Nolret. Padahal,
antara satu ruangan dengan yang lain disekat dinding yang luar biasa tebal
(Baca episode scbelumnya:
"Piramida Kematian").
"Apa yang sesungguhnya terjadi pada Andika?"
gumam Nofret galau.
Pemuda itu selama ini semakin dekat saja merasuki
relung hati Nofret. Omongannya, kegagahannya, keacuhannya, dan sikap jantannya terhadap wanita
membuat Nofret tak mungkin mengusik perasaan itu.
Wajar saja gadis ini pun rnenjadi was was bukan main mendengar leriakan tadi.
Sama seperti ruangan yang dimasuki Pendekar
Slebor, ruangan yang dimasuki Nofret pun hanya semacam ruang kosong yang luas.
Tanpa lukisan-lukisan Mesir Kuno seperti di ruangan lain. Juga tanpa satu
perabotan pun. Lapang, yang ada hanya ketegangan, teka-teki, dan aroma maut!
Menyadari pemuda yang menawan hatinya berada
dalam cengkeraman bahaya, Nofret memutuskan untuk meninggalkan saja ruangan
besar itu. Ton, ruang yang sedang diselidikinya ternyata tidak ada apa-apa.
Barangkali itu sekadar pengalih perhatian dari ruangan yang bisa membawa mereka
menuju Ruang Penyimpan Benda
Pusaka. Segera Nofret berbalik, dan berlari menuju pintu.
Belum tiga langkah kakinya beranjak, mendadak sesuatu di luar perkiraan terjadi!
Tiba-tiba saja____
Wsss! Apa yang terjadi"
Serupa yang dialami Andika, Nofret pun mengalami
kejadian seperti itu. Dari setiap celah dinding batu, menyembur kabut putih
tebal bergumpal-gumpal. Tak ada bagian ruang yang luput, termasukdi bagian pintu
masuk. Piramida ini memang terlalu banyak menerkam
mereka dengan kejadian tak terduga. Teka-teki sulit diraba.
Bahkan bagi Nofret sendiri, salah seorang keturunan Pendeta 'Ka' yang
dipercayakan ratu untuk memelihara Piramida Tonggak Osiris.
Pandangan Nofret dalam sekejap terhalang. Sulit
baginya menentukan kembali, ke mana arah pintu kcluar.
Sementara, dia sudah telanjur memutar badan ke segenap arah, manakala
menyaksikan gumpalan asap putih tebal kian mengepung.
Kejadian selanjutnya tak sulit diduga. Asap itu
memang asap beracun yang juga telah memangsa
Pendekar Slebor. Kalau seorang pendekar yang sudah begitu kenyang deraan siksa
luar biasa itu saja dapat dilumpuhkan, bagaimana dengan si dara Mesir yang
sesungguhnya tak memiliki bekal ilmu bela diri apa-apa"
Sebentar saja, tubuh molek Nofret terkulai. Luruh di lantai
*** Andika siuman. Begitu matanya terbuka perlahanlahan, dirinya didapati berada di sebuah tempat asing.
Terlalu asing. Jauh bertolak belakang dengan suasana dalam piramida.
Semula Pendekar Slebor mengira s udah terdampar
di alam lain. Sesial-sialnya, dia sudah ditemani gerombolan cacing tanah,
mengingat betapa ganas racun yang telah merasuki tubuhnya.
Syukur sekali, hal itu tidak terjadi pada diri Andika.
Rasanya, hatinya yakin kalau masih tetap berada di dunia.
Biarpun suasana tempatnya kini belum pernah disaksikan sebelumnya.
"Di mana aku?" desis Andika setengah merutuk.
"Kenapa aku jadi berada di tempat yang...."
Anak muda itu tak bisa memaparkan kalimatnya lagi begitu bangkit dari
berbaringnya ini. Sulit baginya untuk menjelaskan dengan kata yang paling tepat.
bagaimana keadaan tempat. Semuanya terlihat begitu menawan.
Ruang yang memiliki kolam bening, Iniuga beraneka jenis, lukisan-lukisan padat
pesona, bahkan sangkar-sangkar besar yang di dalamnya puluhan burung dalam
berbagai ukuran dan bermacam warna.
Ketika mengamati kolam, mata Andika dihidangkan
pantulan lembut dasar kolam dari pualam putih. Cahaya dari kubah bangunan besar
di atasnya, terjun langsung tanpa geming ke permukaan kolam berbentuk bundar
itu. Tepat di tengah kolam, berdiri bisu arca seorang wanita
cantik berpakaian kebesaran. Tangan kanan patung yang menjulur gemulai ke depan,
memegang setangkai tanaman poppy*. Bibirya tampak mengembang. Sulit mengartikan,
apakah itu adalah sebentuk senyum atau seringai. Dan meskipun hanya patung,
matanya seolah membersitkan kekejian yang tergabung rnenjadi satu dengan gelora
nafsu. "Arca siapa pula ini" Mungkinkah patung itu adalah Sang Ratu seperti yang
dimaksud Nofret?" gumam Andika, begitu telah berdiri.
Dengan badan masih terasa lemas, anak muda sakti
dari tanah Jawa ini mencoba menggerakkan kaki menuju kolam.Namun mendadak
langkahnya terputus manakala menyaksikan sesuatu di sudut ruangan besar
tersebut. Tampak sebuah peti mati kebesaran Mesir Kuno tergolek di atas batu altar....
"Apakah aku tengah berada di ruang penyimpanan jenazah ratu itu?" bisik Andika
ragu. bertanya pada diri sendiri.
Niat Pendekar Slebor untuk mendekati kolam
diurungkan. Kini langkah kakinya malah disorongkan ke arah peti mati. Lambat
tapi pasti. Andika kian mendekati peti yang kepala penutupnya berukiran bentuk
wajah seorang wanita. Mirip dengan wajah patung di tengah kolam.
Sementara mendekat, jantung anak muda ini
berdebar-debar kacau. Entah kenapa, dia sendiri tak tahu.
Seolah ada sebuab pengaruh kasap mata dari peti mati tempat pembalsaman yang
langsung menelusup ke dalam sudut hatinya.
Sampai akhirnya langkah Andika tcrhenti. berdiri
tanpa gerak di sisi altar batu. Belum tahu, apa yang barus dilakukannya lagi.
Sedangkan sepasang matanya terus mengamati lekat-lekat ukiran timbul wajah
wanita di penutup peti yang mc ngenakan mahkota yang ujungnya berbentuk kepala
ular sendok. Lama. Cukup lama Andika terdiam macam orang
bodoh. Sampai disadari kalau dia harus berbuat sesuatu.
Lalu tangannya pun mulai terjulur ke penutup peti.
Sesaat Andika ragu. Dan tangannya pun terhenti di udara.
"Mestikah aku membukanya?" gumam pemuda mi l.imat. "Apakah dengan membukanya,
aku telah Iancang mengusik peti mati seorang wanita yang begitu diagungkan
Nofret?" Jika terlalu lama menimbang, Andika merasa dirinya semakin tampak bodoh. Karena
itu diputuskannya untuk melanjutkan niat semula. Tangannya bergerak kembali.
Penutup peti itu ternyata tak terlalu sulit dibuka, meskipun agak berat. Celah
kecil seputar peti tercipta Sementara detak jantung Andika semakin tak menentu.
Bersama suara geseran halus, penutup peti pun
terkuak lebar-lebar. Cahaya matahari yang membias dari kubah bangunan menerobos
masuk ke dalam peti. Dengan mata kepala sendiri,Andika melihat sosok seseorang.
Dan.... Blam! Seketika itu juga Pendekar Slebor melepas kembali penutup peti. Beratnya penutup
menciptakan kegaduhan, manakala bertumbukan dengan badan peti.
Anak muda itu kontan tersurut mundur ke belakang.
Betapa sulit menggambarkan wajahnya saat itu. Matanya berhenti berkedip.
Mulutnya setengah terbuka. Wajahnya sebentar merah, sebentar memucat. Sepertinya
dia baru saja menyaksikan satu pemandangan yang benar-benar membuatnya
terperanjat sekaligus demikian risih.
"Tak mungkin...,"
desis Andika seraya menggelengkan kepala.
Sungguh wajar kalau Andika bertingkah sedemikian
rupa, karena apa yang baru saja dilihatnya memang sesuatu yang tak mungkin.
Sebab, di dalam peti mati tempat pembalsaman mayat pembesar wanita Mesir itu
tampak sosok yang sudah begitu dikenal.... Nofret!
Nofret terbujur diam dengan tangan terbentang lurus di sisi tubuhnya. Itu yang
membuat Pendekar Slebor benar-benar tersentak. Di samping itu, ada yang lebih
gila sehingga membuatnya menjadi demikian bergegas menutup kembali penutup peti mati. Nofret yang terlihat di dalam peti ternyata
berpakaian amat tipis, tembus pandang.
Di balik pakaian tipis nya tubuh Nofret
membayang polos tanpa selembar benang pun! Sekelebatan, Andika menyaksikan pemandangan mendebarkan tadi. Disaksikan pula, bagaimana kulit sehalus sutera milik wanita
itu kian menggoda dalam kesamaran kain putih yang tembus pandang.
"Ini sinting. Ini kelewatan sinting. Atau aku memang sudah menjadi sinting garagara racun itu!" rutuk Andika lagi dengan wajah kebingungan. Tangannya tanpa
sadar menggaruk-garuk jidat berkali-kali. Seolah, di jidatnya sudah tumbuh kudis
paling ganas. Selagi pemuda
Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari Lembah Kutukan ini diberondong rasa keheranannya, penutup peti mati
pembalsaman perlahan terbuka kembali. Kali ini, bukan lagi perbuatan Andika.
Pendekar Slebor sendiri tak tahu, perbuatan siapa. Dia hanya terpaku dengan
tangan lupa diturunkan dari jidat.
Grrr.... Blam! Peti pun menganga sudah. Penutupnya yang seherat
seekor anak kerbau jatuh berdebam di sisi altar. Padahal, penutup seberat itu
cuma didorong sebelah tangan halus dari dalam peti. Tangan sejernih susu, serta
berjari selentik ranting pohon sorga....
"O, Tuhan.... Apa yang bakal terjadi?" gerutu Andika dalam hati.
Keterpanaan Pendekar Slebor makin parah saja.
Apalagi menyaksikan jerak gemulai tangan lentik dari dalam peti. Lalu lamatlamat, sebentuk wajah yang mempesona muncul dari sana.
Andika tidak salah lihat Itu memang wajah Nofret!
*** 2 Ibarat seorang nakhoda yang telah mengarungi
banyak samudera, selaku seorang pendekar muda, Andika pun sudah banyak menjalani
ragam kehidupan dunia
persilatan. Kebengisan, darah, pembantaian, sudah menjadi hal biasa yang kerap ditelannya.
Tapi kalau bicara soal perempuan secantik bidadari berpakaian tembus pandang,
itu bisa lain perkara! Bisa jadi, seumur-umur baru dialaminya. Dan tahu sendiri,
seorang pemuda yang masih memiliki luapan darah muda seperti Andika bisa
langsung mati berdiri menyaksikan pemandangan yang baru kali ini disaksikan.
Untunglah pemuda brengsek itu termasuk kebal
guncangan. Andika tidak sempat mati berdiri, cuma saja seperti orang kehilangan
otak. Dia tergolong tolol dengan mulut menganga serta lubang hidung kembangkempis. Apalagi ketika Nofret bangkit dari dalam peti.
Dengan gerak amat lamban, wanita itu melangkah keluar peti. Saat kaki jenjangnya
terangkat, tersingkaplah pemandangan yang membuat jantung Pendek.n Slebor
seperti hendak ambrol seketika!
"Mati aku!" pekik Pendekar Slebor dalam hati. Itu pun kalau Andika masih ingat
untuk memekik dalam hati....
Kemudian perlahan, sarat kegemulaian Nofret
melangkah satu-satu menuju Andika. Setiap kali sebelah kakinya
melangkah, terciptalah lenggokan lembut menakjubkan di sekitar pinggul padatnya yang lebih menggetarkan lagi. Saat buah
dada sekal yang samar tampak di balik pakaian tembus pandang itu ikut bergetar,
seolah menyanyikan sesuatu yang asing.
Andika mcnahan napas, sekuat-kuatnya tanpa sadar.
Dia seperti takut kalau dadanya akan segera rontok mendapati tayangan di depan
matanya. Sambil memejam-mejamkan mata ogah-ogahan'
bibir Andika menggumamkan sesuatu.
'Ini bukan pribadi Nofret sesungguhnya...." Andika
memang memiliki firasat, kalau Nofret yang dihadapi kini bukan Nofret yang
dikenalnya. Dia wanita itu sedang dirasuki satu kekuatan jahat Tampak sekali
dari kilalan cahaya matanya yang bersinar mcnggiurkan, sekaligus menyiratkan
kekejian. Tak beda dengan....
Andika tiba-tiba teringat patung di tengah-tengah kolam."Ya! Tatapan matanya
berkesan mirip dengan mata patung itu.... Jangan-jangan, Nofret sedang dirasuki
roh ratunya," desis Andika agak bergidik.
"Andika...."
terdengar panggilan mendesah meluncur dari bibir
ranum Nofret. Wanita itu telah menghentikan langkahnya.
Kini dia berdiri dalam keadaan amat menantang sekitar lima tombak di depan
Pendekar Slebor.
Untuk yang kesekian kalinya, Andika tercekat.
Desahan suara itu seperti datang dari masa yang begitu jauh. Datang dari suatu
tempat Iain. Datang dengan sebuah pengaruh hebat yang merangsak relung hatl
Andika, lalu mencoba menguasai garbanya.
Desahan itu seperti pernah didengar Pendekar
Slebor manakala hampir pingsan akibat asap beracun.
Bukankah yang didengarnya dulu adalah suara gaib Sang Ratu" Kalau begitu. Andika
makin yakin. Nofret telah dirasuki Sang Ratu!
"Andika...."
Kembali terdengar desahan. Pengaruhnya lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan
sekujur kulit Andika menjadi bergetar. Ada pula hujaman kuat yang mengepung
batinnya dengan rasa dingin yang sulit dipahami.
"Andika..."
Bahkan kini menyusul gejolak birahi yang mendadak. menempati aliran darah pemuda itu. Bergolak..., bergejolak! Andika
berjuang mengenyahkan pengaruh itu.
Tapi makin berkutat menentangnya, dia makin kehilangan kendali diri.
Tanpa bisa dihindari Andika tertegun. Matanya
dipaksa untuk terus menikmati lekuk-lekuk tubuh Nofret, melalap jenjang sepasang
kaki yang berdiri setengah membentang, melahapi sepasang bukit indah yang
bergerak berirama naik turun....
Jalan napas pendekar muda itu mulai memburu,
mendesah, mendengus... Sementara, desahan napas
Nofret lerus saja memanggil-manggil. Tanpa kalimat, tapi cukup diartikan, Andika
mendekatlah....
Tanpa disadari, Andika melangkah lambat-lambat
menuju Nofret. Matanya terus saja lekat ke lekuk-lekuk nan padat dan sintal di
depannya. Semakin dekat, napas pemuda itu kian memburu. Bahkan terdengar seperti
mendengus-dengus.
Lalu kefjka jarak sudah demikian dekat, Nofret
menggelinjang di ringi desah panjang. Bibir ranum perawan Mesir ini membuka, di
antara desah bergelombang.
Matanya yang berbulu lentik dipejamkan. sementara, kepalanya menengadah. Seakan
hatinya begitu berhasrat menikmati rabaan di sekujur tubuhnya. Gerak tubuhnya
adalah bahasa yang begitu mudah dipahami. Sebuah
isyarat, agar Andika segera menyergap, mendekap, dan mencumbunya sepanas
mungkin! Bahasa tubuh menggiurkan itu cepat ditangkap
birahi Pendekar Slebor. Dan nampaknya pendekar muda ini berada di bawah pengaruh
tenungan nafsu roh halus dalam diri Nofret.
"Ahhh...!"
Desah padat gairah dari bibir Nofret pun makin
memburu, manakala tangan kekar Andika sudah memagut leher dara yang menengadah
ini. Lalu, ditariknya perlahan kepala gadis itu kewajahnya. Bibir Pendekar
Slebor pun siap mengulum atau melumat seluruh bibir ranum Nofret.
Plak! Mendadak satu tamparan amat keras memancung
seluruh desah birahi Nofret. Andikalah yang melakukannya.
Tepat pada saat pagutan mulai melalap bibir hangat Nofret. sebentuk kesadaran
dari dasar hatinya bergeliat,
berontak, terhadap pengaruh tenung gaib.
Kesadaran itu menyeruak deras ke benak Pendekar
Slebor. Amat deras!
"Ini tidak benar! Kau akan terus terjerumus bila mengikuti gelora nafsumu! Kau
akan menjadi pecundang, Andika! Pecundang dari nafs u arwah seorang wanita
jahat!" teriakan dari dasar hati terdengar, dan hanya bisa dimengerti Andika.
Setelah itu, akal sehat Pendekar Slebor kembali
seutuhnya. Agar tak ada lagi godaan yang nyaris
membuatnya lupa daratan, tak heran kalau Andika
terpaksa menampar pipi Nofret. Maksudnya tentu saja hendak menyadarkann gadis
itu dan kerasukannya.
Kalau hal itu yang diharapkan, Andika justru keliru.
Masalahnya, arwah yang menguasai garba Nofret bukanlah wanita biasa. Ratu
penguasa Piramida Tonggak Osiris adalah wanita ahli sihir yang menjadi junjungan
puluhan ahli sihir mesir lain pada zamannya. Satu tamparan keras tangan Andika,
tak bisa begitu saja mengenyahkannya.
"Ghhh...!"
Entah menggeram, entah mendesis, Nofret menatap
jalang ke arah Andika dengan segenap kilatan kekejian di kedua bola mata
lentiknya. Pandangan yang merejam langsung mata Andika.
Selanjutnya.... "Hiaaa!"
Tiba-tiba saja Nofret mengibaskan tangan kanannya.
Dan.... "Akhhh...!" Brak!
Tubuh Andika melayang tinggi seperti tanpa bobot
dihempas sebelah tangan Nofret. Dan itu dilakukan seperti sedang melempar uang
logam! Derasnya luncuran tubuh Andika ke belakang, baru berhenti setelah
dihadang tembok sebelah selatan yang jaraknya lebih dari dua puluh depa! Bahkan
sebagian dinding batu alam itu masih sempat gompal cukup dalam, seukuran tubuh
yang menimpanya. *** Sesuai kesepakatan, para undangan Ratu Mesir
yang berpencar untuk memasuki ke sembilan ruangan.
harus berkumpul kembali ke tempat semula. Dari sembilan orang yang memasuki
ruangan-ruangan itu, hanya enam yang kembali. Tiga orang di antaranya menghilang
begitu saja. Mereka adalah, Pendekar Slebor, Nofret, dan si Gila Petualang.
"Andika mana?" tanya Ying Lien pada Chin Liong.
begutu mereka sudah berkumpul kembali di persimpangan lorongyangmemiliki banyak
pintu masuk. Mala wanita Cina itu memang buta. Tapi peraaannya demikian peka. Nalurinya yang
tajam merasakan ada kckurangan di antara mereka. Dan telinganya yang tajam tak
mendengar tarikan napas pemuda pujaannya itu.
"Dia belum kembali," sahut Chin Liong, tampak cemas.Wajah Ying Lien pun berubah.
Perasaan tak enaknya terbukti. Wajahnya kini tak kalah cemas dibanding Chin
Iiong. Chin Liong tentu saja tahu, apa penyebabnya. Bukan sekedar rasa
persahabatan yang mengikat erat hati Ying Iien terhadap pemuda urakan itu, tapi
juga cinta. Mungkin saja selama ini Ying Lien masih mampu menyembunyikan
perasaannya pada Andika. Namun unluk saat seperti sekarang, tidak lagi.
"Ayo kita cari dia, C hin Liong!" ajak Ying Lien bergegas. Dan bergegas pula
ditariknya tangan Chin Liong.
Pemuda tampan dari Cina yang ditarik menahannya.
"Tak perlu, Ying Lien...," sergah Chin Liong. "Aku dan Hiroto sudah menyusul ke
ruangan yang dimasukinya...."
"Lalu" Apa yang terjadi padanya?" serobot Ying Iien!
Chin Liong menggeleng dengan wajah kusam.
"Dia tak kami temukan. Raib begitu saja tanpa jejak
..." sahut Chin Liong lagi.
Dada Ying Lien naik-turun. Sulit mencoba menutupi perasaan khawatirnya terhadap
keselamatan pemuda yang dikaguminya.
"Kalau begitu, biar aku mencari lagi," tandas Ying Lien agak marah.
Sekali lagi Chin Liong menahannya.
"Kau sudah tak percaya lagi padaku, Ying Lien?"
sikap Chin Liong agak menyudutkan.
Sebenarnya C hin Liong tidak sedikit pun tersinggung dengan sikap putri
junjungannya yang sudah seperti saudara kandung sendiri itu. Biar bagaimanapun
harus dimakluminya rasa kagum dan cinta Ying Lien yang
demikian meraksasa terhadap diri Pendekar Slebor.
Kalaupun Chin Liong menahannya, itu karena tidak
mau Ying Lien hanya mengikuti perasaan gundahnya.
Selaku putri sekaligus tokoh persilatan Cina yang disegani, perasaan seperti itu
bisa amat membahayakan dirinya sendiri. Padahal di dalam piramida yang mulai
disadari penuh intaian maut, seseorang harus benar benar memiliki ketenangan
mantap dalam mengatasi semua ancaman.
"Bukannya aku tidak mempercayaimu. Aku hanya tidak yakin kalau Andika menghilang
begitu saja!" sergah Ying Lien.
Suara wanita itu meninggi dan kasar di telinga Chin Liong.
Setelah itu, barulah Ying Lien
menyadari kebodohannya. "Maafkan aku, Chin Liong..," ucap Ying Lien melemah. "Aku tadi begitu...."
"Ya, aku mengerti," potong Chin Liong. "Ada dua orang lagi dari anggota
rombongan kita yang tidak kembali," sela Hiroto. "Nona Nofret dan Tuan Gila
Petualang."
"Kau punya gagasan unluk tindakan kita selanjutnya, Hiroto San*"!" tanya Chin
Liong. Hiroto sesaat berpikir keras "Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kita
perbuat setelah nona pemandu kita menghilang. Semula, kita bertujuan ke sini
karena hendak mengejar tuan para ahli sihir Sang Ratu. Sekarang, orang itu sama
sekali tidak ditemukan. Sementara dua orang yang sudah sempat
melihat isi peta piramida ini, telah hilang entah ke mana.
Maka rasanya kita akan menemui kesulitan besar untuk menemukan ruang penyimpanan
benda-benda pusaka
para ahli sihir itu...," papar Hiroto lanjang-lebar. Padahal, biasanya dia
paling sedikit berbicara.
"Hiroto benar," timpal Kenjiro. "Kita menemui jalan buntu.?"Tapi aku tidak
mengatakan kalau kita akan menyerah," sergah Hiroto. "Sudah pasti kita akan
menemui kesulitan besar, tapi harus tetap berusaha!"
Selaku seorang ksatria Jepang, pantang bagi Hiroto untuk menyerah kecuali
kematian menghadang.
"Apa kita akan membiarkan orang seperti Tuan Kepala Kacang berbuat seenaknya
dengan benda-benda pusaka itu?" susul Hiroto, seperti hanya ditujukan pada
saudara sepupunya yang mulai putus
asa. "Atau membiarkan Tuan Pendekar Slebor yang kita kagumi itu mendapat celaka?"
Kenjiro menggeleng lamat. Seperti kata sepupunya, tadi, memang tidak pantas
membiarkan seorang kawan sealiran
yang sama-sama menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan, terperosok dalam bahaya maut.
Lebih-lebih Kenjiro sendiri mulai mengagumi sikap perwira Pendekar Slebor yang
diperlihatkan selama ini.
"Kalau begitu, mari kita cari mereka!" putus Chin Liong menyemangati.
"Ayuuuuuh..." koar Pendekar Dungu seenaknya. Tak kapok-kapoknya dia. Padahal
gara-gara teriakannya, pintu-pintu jebakan membuka waktu itu.
*** 3 Bukan kekuatan biasa yang melontarkan Andika,
hingga membuat tubuhnya terhempas semudah dan
sejauh itu. Namun begitu, bukan Pendekar Slebor kalau hanya hempasan demikian
menjadi pecundang. Apalagi sudah
berapa banyak kejadian yang lebih berat
menghantamnya. Dengan
Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhuyung limbung, Pendekar Slebor mencoba bangkit. Hantaman teramat keras antara
tubuhnya dengan dinding batu alam membuatnya
memuntahkan darah segar. Untuk mengenyahkan pandangannya yang kabur, anak muda berhati baja itu menggeleng-gelengkan
kepala keras. Tangannya mendekap bagian dada yang terasa nyeri minta ampun.
"Nof.., ret, sadarlah.... Ini aku, Andika!" ucap Andika tertatih.
Disana, wanita yang dimaksud malah memamerkan
seringai tipis.
"Ha-ha-ha... hi-hi-hi!"
Dan seringai itu pun kemudian berkembang menjadi
tawa meninggi, memantul ke segenap penjuru dinding ruangan luas ini.
"Nofret!"
Andika berusaha membentak, meski dalam keIcrsengalan napasnya.
"Lawan pengaruh arwah dalam garbamu! Lawan,
Nofret! Aku tahu kau mampu! Dan aku tahu pula, kau sebenarnya bisa mengenali
aku. Hanya kau tak bisa berbuat apa-apa di bawah cengkeraman arwah keparat itu!"
cecar Andika, berusaha membangkitkan kembali kesadaran Nofret.
"Hi-hi-hi.... Kau pikir, sedang berurusan dengan siapa, jejaka tampan" Kau
berada di wilayah kekuasaanku.
Kau pun berada di tempat pemakamanku! Artinya, kau tak memiliki kesempatan
sedikit pun untuk mengungguliku!
Tidak juga untuk mcmpengaruhi gadis yang kutumpangi
ini!" sergah arwah dalam jasad Nofret. Suaranya masih dikentarai Andika sebagai
suara Nofret.Tapi gaya bicaranya benar-benar bukan lagi milik gadis itu.
"Apa maumu sebenarnya, arwah perempuan jalang?"
tanya Andika terdengar mencerca.
"Apa mauku" Hi-hi-hi...." Bukannya menjawab, arwah Ratu Mesir itu malah
memperdengarkan tawa nyaring kembali.
Usai menertawai ucapan Pendekar Slebor, gadis
yang sedang kerasukan ini menancapkan pandangannya dalam-dalam ke manik mata
Andika. Pandangan yang
merasukkan segenap kilatan jahatnya.
"Pemuda tampan tanah Jawa...," panggil Nofret kembali. Nada bicaranya terdengar
tetap menggoda.
"Nofretmu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia telah kukuasai
sepenuhnya. Sekarang kau berhadapan denganku. Hetepheres*'."
Arwah Ratu Mesir dalam jasad "Nofret yang mengaku bernama Hetepheres itu
terkikik kembali.
"Apa maumu dari kami sebenarnya?" tanya Andika terdengar sinis.
"Sekadar mencari kesenangan,"
sahut Ratu Hetepheres, enteng.
"Dengan melakukan pembunuhan keji...?" cibir Andika."Apa lagi" Bukankah banyak
manusia begitu bergairah menyaksikan darah sesama" Apa anehnya jika aku pun
menyenangi itu," kilah Ratu Hetepheres.
"Kesenangan sinting!" maki Andika, muak. "Kau mempermaikan nyawa banyak orang
yang telah kau undang sendiri. Dan hanya orang sinting yang sudi melakukannya!"
"Kalau kau menganggap tindakanku sinting, lalu apa yang akan kau lakukan?" leceh
Hetepheres, menantang.
Sudut bibirnya meninggi. Sebelah matanya mengerling.
"Cuma ada satu hal yang terpikir di benakku saat ini," tegas Pendekar Slebor
geram. "Mengembalikanmu ke
neraka!" "Hi-hi-hi.... Apa kau seperkasa Ra*" Atau seangkuh Horus*"
Atau segagah Ptah*?" ejek Hetepheres melengking. Pendekar Slebor membusungkan dada. Biarpun
nyerinya masih menjalar sampai ke lubang hidung
sekalipun, dia tak peduli. Akan dihadapinya cemoohan arwah wanita itu dengan
kesombongannya yang mulai kumat."Seperkasanya manusia. adalah aku! Segagahgagahnya manusia adalah aku! Seangkuh-angkuhnya
manusia adalah aku! Kau mau apa?" Pendekar Slebor menantang balik, walaupun
bibirnya meringis, ringis.
"Hi-hi-hi.... Kalau begitu, biar kubuktikan! Hih...!"
Seketika itu juga, Hetepheres yang menumpang di
tubuh Nofret mengacungkan telunjuk ke arah Pendekar Slebor.
Wesss. .! Seketika serangkum kekuatan yang memanjang
lurus bagai tombak tanpa wujud pun melesat hendak memangsa tenggorokan Andika.
Kekuatan yang berpendar putih menimbulkan bunyi manakala bergesekan hebat dengan
udara di sekitarnya.
Serangan awal itu bukan sekadar permainan sihir.
Pendekar Slebor bisa merasakan itu. Menurut perkiraannya, serangan Hetepheres semacam tenaga
dalam langka berkekuatan inti es yang telah diperkuat sekian kali lipat.
Kebekuannya terasa sekali menguasai segenap ruangan.
Sungguh satu kedigdayaan yang bertolak belakang
dengan keadaan Mesir yang dikuasai gurun. Andika
sempat terheran, bagaimana seorang ratu dari daerah gurun bisa menguasai
kekuatan kutub bumi seperti itu"
Apakah hal itu tidak janggal" Terbetik tanya singkat di hati anak muda ini.
Andika yakin, ada sesuatu rahasia tersembunyi di
balik ilmu 'Inti Es'. Kalau saja tidak dalam keadaan
bertarung, tentu akan dipikirkannya lebih jauh.
Seandainya terkena, tubuh Pendekar Slebor tak
hanya membeku. Lebih dari itu, tubuh bisa langsung mengalami pengerasan terparah
dalam sekejap. Akibatnya, seluruh daging, tulang dan serat' tubuhnya yang
membeku, akan menjadi retak-retak. Tak jauh berbeda sepotong arca terhajar godam
raksasa! Makin kentara saja bahaya maut yang terkandung
dalam serangan itu, ketika Andika sempat melihat dinding-dinding ruangan
dirayapi serpihan putih, mengikuti gerak laju pukulan inti es Ratu Mesir. Mudah
diduga, tentu saja akibat kelembaban udara yang membeku demikian cepat.
Sadar bahaya besar mengancam, Pendekar Slebor
menghindar dengan tiga kali salto manis di udara.
Selagi tubuh Pendekar Slebor masih berputaran di
udara dengan tubuh menekuk ke depan, serangan susulan Ratu Mesir merangsak
kembali. Lebih cepat, legih ganas, dan lebih bernafsu. Biarpun raut wajah wanita
cantik itu tak sedikit pun mengalami perubahan. Tetap dingin, sedingin
serangannya. Wizzz! Kelincahan Pendekar Slebor dalam menentukan
keselamatannya untuk serangan ini memang sedang diuji.
Dan sungguh mengejutkan, dia merasa kehilangan
kelincahan secara mendadak. Sekujur sendinya seperti terkunci.
Urat-uratnya terasa melemah hingga menyulitkannya bergerak. Padahal saat itu. saat yang paling genting baginya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada Pendekar
Slebor" Apa akal pemuda berotak cemerlang ini untuk menyelamatkan diri kali ini"
Sementara. pukulan 'Inti Es' Hetepheres berkelebat cepat menuju, di rongga
kepala anak muda itu pun
melintas tak kalah cepat sebersit sinar terbang. Sebuah akal agar bisa lolos
dari kebekuan mematikan!
"Hiaaa...!"
Tak tahu apa maksudnya. Pendekar Slebor berteriak
keras. Amat keras.
Mungkinkah Andika telah putus asa"
Tidak! Sebagai seorang pendekar muda yang kerap
tertantang untuk mengerahkan kecemerlangan otaknya dalam keadaan genting seperti
itu, Andika pun rupanya sedang melakukan siasat tempur guna mementahkan
serangan sulit lawan.
Teriakan Pendekar Slebor yang di si tenaga dalam
tak tanggung-tanggung, menyebabkan getaran keras
langsung merebak ke segenap dinding! Salah satu batu besar penyusun langitlangit mengalami getaran paling hebat, karena dengan sengaja tenaga dalam pada
teriakannya diarahkan ke sana. Maka...
Grrr.... Grakhhh!
Celah langit-langit yang memang sudah renggang
karena penyusutan bebatuannya akibat hawa beku
Hetepheres, dapat dengan mudah lepas tersentak tenaga dalam teriakan tadi.
Dan mendadak, satu batu besar langit-langit yang
menjadi sasaran teriakan, segera terlepas amat mudah.
Melunc ur jatuh, lalu menjadi sasaran pukulan 'Inti Es' Ratu Mesir. Blazzz!
ltulah siasat cantik yang terpercik cepat di otak enter si pendekar urakan.
Tanpa kecerdikan itu, mustahil Andika menghindari terjangan serangan kedua
lawannya! Jleg!
Pendekar Slebor dengan susah payah akhirnya
dapat hinggap di atas bongkahan batu persegi, yang runtuh tak jauh dari tempat
berdiri Ratu Mesir ini.
Batu yang demikian besar telah diselimuti salju
setebal satu jengkal!
Kalau batu saja sudah demikian, apalagi tubuh
manusia" "Cerdik" Sungguh cerdik!" puji Hetepheres dengan raut wajah bertolak belakang.
Bengis serta dingin.
"Kubilang juga apa..." Aku memang manusia paling perkasa, paling gagah, paling
angkuh. Sekarang, boleh kau
tambahkan kalau aku manusia paling cerdik!" kata Pendekar
Slebor sesumbar. Dan dia berusaha menyembunyikan keanehan yang menimpa, saat kelincahannya yang amat tersohor di dunia persilatan hilang.
"Tapi tak cukup cerdik untuk lolos dari kematian di tanganku!" dengus
Hetepheres, gusar. Dia merasa dewa-dewanya disepelekan anak muda itu.
"Kenapa tidak" Di dunia ini, kunyuk yang paling
dungu, bangsat yang paling tolol, serta warga kutu koreng yang paling bodoh pun,
bisa lolos dari tanganmu. Hua-ha-ha!" ejek Pendekar Slebor makin menjadi.
Hetepheres menggeram, sarat ancaman. Murka
sudah dia, terpancing semua kata-kata pedas anak muda ceriwis ini.
Namun justru itu yang sesungguhnya diharapkan
Andika. Selalu! Dalam pertarungan, kekalapan lawan selalu menjadi satu
keuntungan baginya. Sudah berkali-kali dia memetik keuntungan dari Sana. Dengan
begitu. lawan cenderung bertarung tanpa perhitungan masak. Cerdik juga dia"
Tapi, sekali ini Andika kecele. Lawan cantiknya
bukannya kalap membabi-buta. tapi malah kembali terlawa cekikikan.
"Hi-hi-hi...!"
"Sundal!" rutuk Andika. "Siasatnya hanya jadi bahan tertawaan. Apa hari ini
nasibnya memang sedang apes"
"Coba-coba memancing kemarahanku,
pemuda tampan" Mau membuat aku sebagai bulan-bulanan
kecerdikanmu" Hi-hi-hi... Kau tak tahi, siapa aku" Aku seorang ratu yang
mengerti arti kekuasaan. Bagiku, tak boleh seorang pun mempengaruhi...," urai
Hetepheres melantun nyaring. Matanya menyipit-nyipit karena dirayapi kesenangan.
"Kecuali aku!"
Mcndadak terdengar sahutan seseorang di ruangan
itu. Andika menoleh. Tapi, Hetepheres tidak. Sepertinya arwah wanita dalam garba
Nofret itu tahu, siapa yang telah hadir di antara mereka.
Andika menyaksikan kehadiran orang yang menyahuti dengan mata menyipit. Tajam lirikannya, menyelidiki ke arah lelaki
yang berdiri di dekat dinding di belakang Hetepheres. Andika yakin, di dinding
itu tentu ada jalan rahasia. Dan dari jalan rahasia ilu orang itu keluar.
Hanya Andika tak bisa menduga, siapa sesungguhnya lelaki itu" Dia mengenakan topeng kepala serigala, seperti para
Pendeta Mesir Kuno yang memimpin upacara kematian. Pakaiannya seperti dalam
lukisan Dewa Anubis*, yang pernah Andika lihat di salah satu dinding ruangan
piramida. "Siapa dia?" bisik Pendekar Slebor....
*** 4 Tak mudah bagi Andika untuk menduga, siapa
sebenarnya orang bertopeng kepala serigala. Apalagi teka-teki tentang piramida
dan tujuan Ratu Mesir mengundang mereka masih belum terpecahkan. Juga, mengenai
si Kepala Kacang yang menghilang begitu saja membawa peta rahasia.
Andika jadi bertanya-tanya dalam hati, apa mungkin orang bertopeng kepala
serigala itu Kepala Kacang"
Namun rasanya tidak mungkin, karena lelaki sesat pemuja setan itu juga anggota
rombonga nundangan. Dalam waktu yang demikian cepat, tak mungkin bisa begitu
dekat dengan Hetepheres.
Malah kini keakraban Hetepheres dengan orang
Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertopeng serigala itu disaksikan Andika sendiri. Tak lama setelah mendengar
suara lelaki bertopeng, wanita itu lantas berbalik. Didekatinya lelaki itu
dengan sehimpun kemanjaannya. Senyumnya yang menggoda, masih diiringi lenggokan
pinggul padatnya dan tatapan yang menggapai birahi. Begitu mesra, dirangkulnya
lelaki bertopeng itu tanpa kesungkanan atau kesangsian secuil pun. Jelas-jelas
itu membuat Andika menyangsikan praduganya.
"Siapa kau"!" tanya Andika, menyelidik. Lelaki bertopeng tak segera menyahut.
Dicumbunya dahulu
Hetepheres dalam satu ciuman berapi-api, memaksa
Andika membuang pandangan ke arah lain dengan sikap muak. "Apa masih perlu
menanyakan siapa aku" Karena sebentar lagi kau akan segera menemui kematian,
pendekar muda tanah Jawa...," kata lelaki bertopeng setelah memamerkan
pertunjukan mesum.
Suara terserap topeng besar itu membuat Andika
sulit mengenalinya. Terdengar berat dan dalam. Namun semua patahan kalimatnya
masih cukup jelas ditangkap telinganya.
"Kalau kau tak sudi menyebutkan siapa dirimu,
jangan salahkan aku bila menyebutmu seenaknya. . Kira-kira, apa cukup bagus
kalau kau kupanggil si Congor Panjang" Atau, lebih manis bila kupanggil Manusia
Iler" Seperti serigala yang kebanjiran liur menemukan bangkai?"
leceh Andika asal bunyi.
"Aku Pangeran Anubis!" kilah lelaki bertopeng yang mengaku bernama Pangeran
Anubis. "Wuah!"
Andika sengaja melonjak,
Bibirnya membulat,
sengaja hcndak mengolok-olok.
"Tak kusangka, hari ini aku beruntung berhadapan dengan dua orang besar
sekaligus. Yang Pertama, seorang ratu gelandangan. Habisnya, dia tak punya
rumah, sampai harus menempati 'rumah' kawan gadisku yang bernama Nofret.
Kedua, seorang pangeran tampan,
Terlalu tampannya, sampai-sampai merasa harus meminjam
wajah binatang rakus. He-he-he.... Wajahmu diloakkan ke mana, heh"!" ejek Andika
seenak udelnya. Sampai -sampai dia lupa kalau saat ini berada disarang macan.
"Teruskan berceloteh sepuasnya, pendekar besar mulut. Gunakan kesempatan untuk
berbicara sesukanya, sebelum maut menjemput nyawamu!" desis Pangeran Anubis
sarat ancaman, disusul berhembusnya asap putih tebal dari bawah kakinya.
Asap itu seketika menutupi tubuh Pangeran Anubis
serta Hetepheres yang masih menguasai diri Nofret.
Bahkan sampai mengurung mereka pekat-pekat.
Pandangan Andika pun jadi terjegal. Tubuh keduanya dilihatnya lagi. Bahkan sekadar batang hi-dung sekalipun. Apalagi karena
asap itu demikian pe-dih, seperti hendak mencongkel matanya.
Andika mencoba menahan napas. Dia curiga asap
itu mengandung racun ganas. Namun ketika perlahan-lahan asap menjadi samar dan
menghilang, barulah
disadari kalau itu hanya dimanfaatkan untuk mengelabuinya. Begitu pandangan Pendekar Slebor terang kembali
Pangeran Anubis
dan Hetepheres telah raib dari
lempatnya! "Kadal!" maki pendekar muda urakan itu seraya mengebutkan tangan, menepis sisa
asap yang masih
berkeliaran semena-mena di depan wajahnya. "Bisa-bisanya si Congor Panjang itu
menghilang setelah
mengancamku...!"
Ancaman" Saat itu juga Andika menilai-nilai maksud kata-kata terakhir Pangeran
Anubis. "Katanya aku akan dijemput maut?" bisik Andika mulai dirambati ketegangan.
"Sebodoh-bodohnya orang sesat, tak akan mungkin meninggalkan ancaman kosong
belaka. Pasti akan terjadi sesuatu di ruangan ini!"
Dalam ruangan besar ini, tubuh Pendekar Slebor tak bergerak sama sekali. Hanya
sepasang bola matanya yang berkeliaran, mewaspadai keadaan di sekitamya.
Ruangan kini lengang. Terlalu tenang, seperti
tenangnya permukaan air kolam di pusat ruangan.
Semenlara itu Patung Sang Ratu seperti menatap
Pendekar Slebor tajam-tajam dalam ketegangan yang kian memuncak seperti ini.
Lamat, mata Andika mulai menangkap ketidakberesan pada permukaan air kolam. Permukaan yang Semula tenang tanpa
riak, kini mulai bergetaran membentuk gelombang kecil. Gelombang itu kian lama
bertambah besar. Dan pada waktunya, bisa dirasakannya sendiri adanya getaran
hebat dikawal gemuruh luar biasa yang menyesaki ruangan.
"Modar aku! Apa bangunan raksasa ini akan
runtuh?" maki Andika mulai kelimpungan.
Yang disangka Pendekar Slebor memang tidak
terjardi. Tapi yang tidak diharapkan pun bukan berarti tak ada. Grrrrh...!
Brol l...! Mendadak, terdengar suara bergemuruh riuh dari
empat penjuru. Bahkan empat bagian dinding di penjuru
yang berbeda, jebol seketika. Batu alam besar di dinding tak bedanya gundukan
kapur yang terhajar kekuatan sepuluh ekor banteng kedaton. Lebur bertebaran
menjadi debu, menghamburkan serpihan yang begitu halus ke tengah-tengah ruangan
tempat Andika berdiri.
Dengan sigap, tangan pemuda itu terangkat untuk
melindungi matanya dari serpihan debu. Namun, justru ini menjadi satu kesalahan.
Begitu matanya mengerjap sedikit saja, empat terjangan di luar kelaziman
menyerbu dari empat tempat sekaligus. Tepat keluar dari lubang besar menganga di
dinding Terlebih, saat ini keadaan Andika cukup sulit, karena seluruh bagian tubuhnya
masih terasa kaku. Andai saja kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak sedang
terbelenggu sesuatu, serangan itu pasti dapat dielakkan dengan mata terpejam.
Sayangnya, tubuhnya terasa
semakin sulit digerakkan secara leluasa.
Akibatnya.... Des! Des! Des! Des!
"Aaakhhh...!"
Mulut Pendekar Slebor mengeluh berat tertahan.
Sungguh tak diduga serangan akan datang demikian cepat.
Kala itu juga, empat bagian tubuhnya terasa porak-poranda. Apa yang baru saja
menghajarnya, Andika belum tahu persis. Bahkan untuk menduga saja begitu sulit,
akibat rasa sesakyang luar biasa.
Empat hajaran tadi amat keras mendarat di tubuh
Pendekar Slebor. Hanya karena datang dari empat arah yang berbeda, tubuh pemuda
itu jadi tertahan di tempat.
Seluruh tenaga Pendekar Slebor langsung terasa
terkuras lemas. Sambil mendekap bagian dadanya,
tubuhnya meluruk lunglai perlahan. dan hanya bisa bertahan dengan kedua
lututnya. Untunglah dalam keadaan seperti itu serangan
berikut tak segera menerjang. Masih sempat-sempatnya Andika mensyukurinya.
Biapun tak urung, dia mengutuk panjang-lebar di hati.
Samar-samar, pandangan Andika mulai pulih. Agar
lebih cepat rnenjadi jelas, kepalanya digerak-gerakkan dan kelopak matanya
dikerjap-kerjapkan. Pandangannya kian jelas. Sekarang dia benar-benar harus
mengutuk dari mulut, begitu melihat apa yang baru saja menyerangnya.
Sekitar tiga tombak di sekeliling Pendekar Slebor, telah berdiri empat sosok
yang tak hanya menggidikkan, tapi juga menjijikkan. Empat mayat yang sudah
membusuk! Dua di antaranya, Andika mengenal sebagai, Hakim Tanpa Wajah dan Suami si Manyar
Wanita. Sedang dua mayat hidup lain, sama sekali sulit dikenali. Di samping
kulit dan daging keduanya sudah demikian hancur tercabik,
pakaiannya pun sudah tak berbentuk. Sehiruh kulit wajah mereka bahkan sudah
terkelupas sama sekali.
"Dedemit pengangguran mana yang kurang kerjaan menghidupkan bangkai-bangkai
busuk ini!" serapah Andika jijik.
Nyaris saja seluruh isi perut Pendekar Slebor
bergolak bendak keluar. Bau bangkai-bangkai itu bukan hanya menusuk hidung, tapi
juga mengobrak-abrik
'jeroan'nya! Andika mempersiapkan segalanya termasuk mengerahkan hawa murni agar rasa sakit yang diderita dapat sedikit dikurangi.
Sekaligus, untuk menguasai rasa mual yang berontak dari dalam.
Otot tangan Pendekar Slebor pun menegang.
Kepalanya bergerak ke depan. Satu kepalan bersiaga di dada. Perlahan-lahan
pendekar muda urakan itu pun bangkit dari simpuhnya. Matanya siaga mengawasi
keempat sosok menjijikkan yang masih terpaku tanpa gerak sampai ke ujung jari
sekalipun. Kesiagaan Pendekar Slebor yang penuh rmenjadi
beralasan, ketika erangan menyayat terdengar dari tenggorokan keempat mayat
hidup itu diiringi terkaman mereka yang bertenaga sepuluh ekor gajah luka.
"Nggghhhrrr!"
"Andika! Andika! Pak Tua Petualang...!"
"Nona Nofret! Nona Nofret!"
"Hei i di mana kalian"!"
Teriakan sambung-menyambung,
timpang-tindih,
dan susul-menyusul, mengisi lorong demi lorong serta ruang demi ruang yang
dilewati para undangan Ratu Mesir.
Entah sudah berapa lama mereka berputar-pular,
menjelajahi segenap ruangan piramida. Namun tiga orang yang dicari tak kunjung
ditemukan. Sudah sejak lama Kenjiro, pemuda Jepang berbadan
gempal itu menggerutu panjang-pendek. Kakinya sudah tak kuat menahan tubuh yang
kelebihan hehan. Lelah yang dirasakannya sudah sampai ke ujung pusarnya.
Perutnya jadi mual, matanya berkunang-kunang.
Sementara Pendekar Dungu tak kebagian siksaan
seperti itu. Meski usianya sudah seantik keris pusaka Empu Gandring, untuk soal
tenaga nyatanya tak kalah dengan yang muda-muda. Cuma, ya itu. Cerewetnya minta
ampun. Satu kali melangkah, ocehannya sudah dua belas kalimat. Ada-ada saja yang
diucapkan. Tanya inilah, itulah.
Masih mending kalau pertanyaannya sedikit waras. Masa'
di piramida seperti ini jamban segala ditanyakan" Kalau kebetulan di dinding
ruangan ada lukisan, tangannya pun mengangguk-angguk khusuk.
"Ah! Ceritanya kurang seru!" gumam Pendekar Dungu.
Dasar ctak lelaki bangkotan ini sudah karatan. Apa dipikir lukisan peradaban
Mesir Kuno itu sejenis cerita bergambar"
Saat ini Chin Liong yang berjalan paling depan
menghentikan langkah tiba-tiba. Dari perubahan wajahnya terlihat kalau pemuda
itu menemukan sesuatu yang
mengejutkan. Yang dicari lain, yang ditemukan lain. Antara percaya dan tidak, seluruh anggota
rombongan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri sesosok mayat lerbujur kaku di sebuah lubang dinding.
Batu besar yang menjadi salah
satu penyusun dinding telah terlepas, membentuk lubang setinggi setengah
manusia. Di dalam lubang itulah mereka menemukan mayat si Kepala Kacang dalam
keadaan duduk tertelungkup, seperti bayi dalam rahim.
Harus diakui, kematian tokoh pemuja setan itu
benar mengerikan. Tubuhnya membeku, dengan daging terpecah-pecah
mengeras layaknya tanah kering kerontang. Dengan masih tersisanya butiran-butiran putih
seperti salju, seorang yang tahu banyak tentang ilmu kesaktian angkat bicara
setelah lama mereka terpaku.
"Pukulan 'Inti Es'," kata Chin Liong, berpendapat.
"Aku heran, bagaimana ilmu yang demikian langka bisa membunuh lelaki itu di
tempat tandus seperti ini. Ini sejenis ilmu yang dikembangkan di daerah yang
sangat jauh dari tempat ini...."
Salah seorang lain, lebih tertarik pada papirus yang masih tergenggam erat di
tangan Kepala Kacang.
"Hei" Bukankah itu peta yang dimaksud Andika San,"
seru Kenjiro, si lelaki berbadan subur sepupu Hiroto.
"Ya, benar," tukas Hiroto.
Chin Liong yang berada paling dekat dengan mayat
segera menjemput papirus tersebut. Dibukanya gulungan papirus, untuk meyakinkan
benda itu memang benar peta yang dimaksud.
Sesaat meneliti, Chin Liong pun tampak mengangguk pasti.
"Benar. Ini memang peta itu," kata pemuda dari Cina ini rriernberitahukan yang
lain. "Apakah kau tak merasa ada satu keganjilan, Chin Liong San?" tanya Hiroto.
"Lelaki ini dibunuh seseorang di dalam piramida. Tapi, kenapa si pembunuh tidak
mengambil peta yang sebenarnya begitu berharga?"
"Kau benar, Hiroto San," timpal Chin Liong. "Ini benar-benar ganjil.
Seolah-olah, ada satu rencana
tersembunyi untuk menjebak kita semua. Tapi, aku sendiri belum bisa menduga, apa
jebakan itu...." Kedua ksatria
muda itu saling tatap. "Sebaiknya, kita lanjutkan dulu pencarian kita," landas
Chin Liong, memutuskan.
Pencarian masih dilanjutkan. Dengan atau tanpa
gerutuan-gerutuan Kenjiro. Begitu tekad mereka. Tapi sampai sejauh itu, tak
sedikit pun tanda-tanda bakal menemukan ketiga orang yang dicari.
Sampai akhirnya, mereka dihadang lorong buntu.
Biarpun hampir semua mencoba menemukan tomboltombol rahasia yang mungkin tersembunyi, tetap tak menemukan jalan lain.
"Buntu. Lorong ini benar-benar buntu!" rutuk Chin Liong, mulai gusar.
Karena kegusarannya, Chin Liong meninju dinding di sisi kiri. Bukh!
Dan tiba-tiba saja, tepat di tempat Chin Liong
mendaratkan tinju kesalnya, dinding luar biasa tebalnya itu pecah berhamburan.
Ada tenaga hebat telah menabraknya dari arah dalam. Akibat tenaga dcrongan,
bahkan mampu melempar deras tubuh Chin Liong ke belakang.
Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya terkejut. Sementara Pendekar Dungu
malah sudah mencak-mencak serabutan.
Chin Liong tak mengalami luka parah, biarpun
terlempar cukup jauh. Pemuda Cina itu segera bangkit dengan terheran-heran. Tak
mungkin dinding itu haincur karena pukulannya yang tak bertenaga tadi.
Dan mereka lebih terkejut lagi, manakala menyaksikan sesuatu yang baru saja menjebol dinding.
*** 5 Kalau jerat maut selalu mengintai, kalau bau
kematian kerap datang tak terduga, kalau tangan-tangan pencabut nyawa mengendapendap membawa ancaman.
siapa yang akan menduga kalau tubuh Pendekar Slebor yang menjebol dinding batu
itu" Semua para undangan mengira, jebolnya dinding
scbagai bentuk ancaman lain dari Piramida Tonggak Osiris.
"Andika!" teriak Ying Lien khawatir teramat sangat, mendapati pemuda pujaan
hatinya terbanting keras-keras di Iantai lorong dalam keadaan mengenaskan.
Warna merah telah menyapu pakaian bagian dada
pemuda itu. Pakaiannya tak karuan lagi. Koyak-moyak di sana-sini.
Dengan kecemasannya. Ying Lien menghambur
kearah Andika yang telentang lunglai. Tampak tubuh Pendekar Slebor menggeliat
samar menahan kesakitan.
Andika mengeluh berat di dekapan tangan halus
Ying Lien. "Apa yang terjadi, Andika?" susul Ying Lien. Mata gadis ilu hampir saja tak
kuasa membendung kesedihan tak terkirakan. Kesedihan yang mengoyak deras dari
hati yang tertambat pada Andika.
"Pakai tanya lagi?" gerutu anak muda urakan itu meringis-ringis. "Kan kau sudah
lihat aku sedang hancur-hancuran...."
"Aku tahu. Tapi, kenapa?" "He-he-he... hekh!"
Andika berusaha tertawa. Tapi rasa sakit di dadanya segera memenggal. "Kau tak
akan percaya...." Anak muda itu berusaha bangkit tertatih-tatih. "Nasibku sedang
apes hari ini. Sampai-sampai, bangkai-bangkai
pun memusuhiku...," sambung Andika setengah ngawur.
"Aku lak mengerti maksudmu.'" tukas Ying Lien.
"Sebentar lagi kau pasti mengerti," ucap Andika seraya mcmusatkan perhatian pada
lubang besar di
dinding yang baru saja jebol. Bibir anak muda itu komatkamit, menghitung.
"Satu..., dua..., tiga. . " bisik Andika. Brol l...!
Pada hitungan ketiga, lubang di dinding jebol
bertambah besar. Untuk kedua kalinya, semua anggota rombongan terkejut.
Lalu dari lubang bermunculan satu persatu sosok
yang sebelumnya menggempur Pendekar Slebor. Empat mayat hidup bau busuk! Mereka
melangkah terseret, mendekati rombongan. Gerakan semua makhluk itu begitu kaku.
Selagi melangkah, sendi lutut mereka seperti sudah tak bisa menekuk lagi
Semuanya bergerak tegak, bagai empat arca bernyawa.
"Mundur! Semuanya mundur!" bentak Andika.
Rahangnya mengeras. Gigi geriginya bergemeletukan.
"Bangkai-bangkai
slompret itu harus membayar perbuatannya terhadapku! Dendam kesumat! Aku dendam!" "Buju buneng! Seenaknya kau meremehkan orang tua, yaaah," sela Pendekar Dungu
sewot. "Memangnya hanya kau saja yang mampu menjitaki mereka!"
Pendekar Dungu menunjuk-nunjuk seru pada
keempat mayat hidup yang terus melangkah ke dekatnya.
Kebetulan sekali, orang tua bebal ini paling dekat.
Sementara tangannya menuding-nuding sembarangan,
kepalanya sendiri menoleh pada Andika di belakang. Dan karena kelewat keasyikan,
tanpa disadari jarinya sudah mencolok telak-telak hidung membusuk salah satu
mayat. "E e, mak! Ih! Amit-amit..., amit-amit!" sentak Pendekar Dungu.
Seketika lelaki cebol ini menarik tangannya dalam-dalam. Bahunya bergetar
seperti orang yang baru selesai membuang hajat kecfl. Dengan terjing-katjingkat, jari telunjuknya tadi disentak-sentaknya.
"Lembek..., lembek!" teriak Pendekar Dungu selagi menjauhi para mayat.
Andika maju. "Sudah kubilang, mereka bagianku!" rutuk Andika,
masih dibakar kedongkolan.
'Tapi, aku bukannya takut, Iho," bisik Pendekar Dungu di telinga Andika. Gayanya
sok khusuk. "Aku cuma geli...."Bahu Andika mengedik-ngedik. Kalau soal geli,
Andika juga merasa geli melihat bibir si bangkotan yang selusuh gombal
menggelitiki daun telinga!
"Nah..., tuh-tuh! Mereka mendekatimu!"
seru Pendekar Dungu blingsatan.
"Izinkan aku membereskan mereka, Andika San!"
sergah Hiroto di belakang Andika sambil membungkuk hormat. Andika menoleh.
"Mereka masih punya hutang satu bogem sial
padaku. Tapi kalau kau memang berniat menagihnya
buatku, kupersilakan," ujar Andika. Sikap hormat ksatria negeri Sakura itu
membuatnya tak enak untuk menolak.
Hiroto membungkuk dalam-dalam, scbagai tanda
terima kasih. Zrang! Lelaki dari Nipon ini pun meloloskan samurai
panjangnya. Bisa jadi, Hiroto tak mau bertele-tele menghadapi keempat mayat
menjijikkan yang hanya akan menunda-nunda waktu yang lebih penting dan darurat.
Bukankah mereka masih harus mencari Nofret dan si Gila Petualang"
Dengan genggaman dua tangan kuat-kuat pada
gagang pedang, Hiroto mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. "Hai i!"
Diawali teriakan berapi-api, pemuda ini menerjang satu mayat hidup yang
melangkah paling depan.
Craz! Sekali tebas, kepala si mayat hidup langsung
terpental dari leher, jatuh menggelinding di lantai dan tergolek di salah satu
sudut. Tak ada sepercik darahpun membasahi.
Kepala mayat itu memang tak bergerak lagi. Namun
tubuh tanpa kepala di depan Hiroto, nyatanya masih bisa
bertindak di luar perkiraannya.
Wukh! Satu sambaran tangan mayat itu menebas udara
lurus lurus. S.isarannya kepala Hiroto. Namun kecekatan pemuda Nipon ini
menyelamatkan dirinya dari sambaran cepat. Tubuhnya merunduk sedikit. Begitu
tangan mayat itu lewat di atas kepala, samurai Hiroto kembali berkelebat.
Traz! Bruk! Lantai lorong untuk kedua kalinya dijatuhi potongan tubuh membusuk. Kalau
manusia biasa, tentunya korban tebasan samurai Hiroto akan segera ambruk. Karena
yang dihadapinya kali ini bukan lagi manusia, maka tebasan kedua pun tak berarti
Hiroto berhasil menghabisinya.
Wukh! Lagi-Iagi serangkum angin amat keras mendesir,
ketika sebelah tangan si mayat hidup mencoba mengepruk batok kepala Hiroto. Dua kali usahanya untuk menjatuhkan mayat hidup
telah gagal. Dan kini mendapat serangan dahsyat.
Ini membuat kegeraman Hiroto
melonjak. Setelah berhasil berkelit lincah dengan melompat ke belakang, wajah sedingin es
Hiroto menegang.Matanya menyipit. Dahi dan pangkal hidungnya berkerut.
"Haaai i...!"
Bersamaan satu teriakan kedua, Hiroto mengerahkan segenap tenaga tebasannya pada samurai.
Gerakan senjatanya memancung lurus-lurus dari atas ke bawah.
Srat! Rupanya Hiroto benar-benar sedang geram! Tebasannya telah membuat tubuh mayat itu terbelah menjadi dua bagian memanjang!
Kalau kaki dan tubuhnya sudah terpisah seperti itu, tak mungkin lagi bagi si
mayat hidup untuk bisa berdiri.
Tamatnya satu mayat, menjadi awal bagi Hiroto
untuk meladeni mayat hidup lain. Kedua kaki pemuda
Jepang ini berjalan bersilangan teratur. Sementara, matanya menghunus ke arah
satu mayat lain yang makin dekat padanya. Sedangkan samurainya terbentang ke
depan."Heaaaat." Srat! Srat! Srat!
Entah berapa kali tebasan di akukan Hiroto.
Kecepatan kelebatan samurainya yang luar biasa
mempersulit siapa pun untuk menghitung Yang jelas begitu selesai,
badan mayat tadi sudan terpotong-potong
menjadi beberapa bagian sebesar kepalan tangan.
Lalu dua mayat lain mendapat bagian yang sama.
Satu persatu. Sampai akhirnya, lorong menjadi senyap kembali. Sedangkan di
lantai, sudah berserakan potong-potongan tubuh mayat. Sebagian masih saja bandel
bergemik-gemik. Plok! Plok! Plok!
"Hasil kerja yang bagus!"puji Manyar Wanita genit.
Rupanya wanita itu sudah tak ingat lagi pada
suaminya. Padahal di antara mayat-mayat yang baru saja terpotong-potong adalah
suaminya. "Setuju!" teriak Pendekar Dungu. "Kalau gerak-anmu secepat itu, ada baiknya kau
yang menyunatku. Biar cepat beres. Dan, aku tak tcrsiksa terlalu lama...."
Hiroto mengernyitkan kening.
Mana mengerti pemuda Jepang ini dengan maksud Pendekar Dungu
tentang sunat-menyunat. Kalaupun mengerti, bagaimana bisa percaya kalau orang
sebangkotan itu belum juga di....
Waktu bergeser terus. Penggalan demi penggalan
waktu membawa para undangan Ratu Mesir pada tepat tengah malam. Lambat namun
pasti. Dan ketika tengah malah benar-benar telah tiba, apa yang sesungguhnya
bakal terjadi"
Masih terngiang jelas di benak semua anggota
rombongan yang tersisa pada papirus berisi pesan penuh teka-teki dari Ratu
Hetepheres yang dibacakan Nofret ketika itu.
Intinya, mereka akan dihadapkan pada suatu
peristiwa puncak yang menjadi 'hidangan' dari si penguasa
Piramida Tonggak Osiris. Hidangan yang tak sekadar untuk pemuas. Lebih dari itu,
hidangan yang bakal mereka terima bisa jadi hidangan maut!
Sementara itu, menjelang purnama menempati
singgasananya di puncak langit bebas, dua sosok terlihat di sebuah kuil kuno
besar yang jauh dari Piramida Tonggak Osiris. Dari bentuk tubuh masing-masing,
jelas kalau mereka adalah dua manusia berbeda jenis. Satu pria, sedang yang lain
wanita. Si wanita adalah Ratu
Hetepheres. Sementara si lelaki tak lain Pangeran Anubis, tokoh yang masih
rnenjadi teka-teki bagi Pendekar Slebor yang sempat bertemu dengannya.
Kuil itu berada tak jauh dari bibir Sungai Nil, di kebisuan gurun luas. Sebuah
kuil yang usianya setua Piramida Tonggak Osiris.
Bangunan kuil ini cukup tinggi. Tiang-tiang batu
besar menjadi rangka bangunan. Siapa pun akan berdetak heran, bagaimana cara
orang-orang Mesir Kuno itu
menyusun batu-batu tiang raksasa" Tak mungkin mereka mengangkat batu yang lebih
besar dari rangkulan enam-tujuh orang itu begitu saja.
Menurut cerita sejarah, batuan raksasa penyusun
tiang-tiang kuil itu disusun dengan bantuan timbunan pasir.
Setiap satu bagian berdiri, segera ditimbun pasir gurun di sekelilingnya. Dengan
begitu, para pekerja dapat menyeret batu raksasa lain sebagai bagian
selanjutnya. Tepat di kaki salah satu tiang besar di muka kuil, Nofret yang dikuasai
Hetepheres dan Pangeran Anubis berdiri diam mematung. Terpaan angin gurun
mengusik pikiran masing-masing, tanpa bisa mengusik kebekuan mereka. Rambut
panjang wanita ilu sesekali menutupi wajah jelitanya. Itu pun tetap tak
membuatnya terganggu.
Sepasang bola mata dua manusia berbeda jenis itu
menohok dingin pada purnama berkabang di dinding
langit. Berkedip pun seperti sudah tidak perlu lagi, karena begitu tajamnya
mereka menatap.
Di bawahnya, Sungai Nil memamerkan riaknya.
Cahaya lamat purnama jatuh. lalu berpantul dalam
pecahan-pecahan kecil pada permukaannya. Namun
begitu, suasana tak menjadi syahdu. Bahkan terbangun kesan menyeramkan, sulit
digambarkan. Purnama sebentar lagi berada di puncak singgasananya. Tepat tegak lurus di angkasa.
Begitu Sang Ratu Malam itu tiba, tangan Pangeran
Anubis tiba-tiba terungkit tinggi. Telapak tangannya membuka lebar ke arah benda
raksasa angkasa tersebut.
Saat berikutnya, mencelat sebentuk mantera-mantera mendirikan bulu roma dari
mulut lelaki bertopeng kepala serigala itu.
"Wahai para serdadu dari masa yang demikian tua!
Wahai para serdadu Ratu Penguasa Gurun serta Raja-raja Mesir nan perkasa! Wahai
kalian yang terbujur lama di dasar permukaan Sungai Nil. Bangkitlah! Bangkitlah
memenuhi panggilanku!
Sebentar Pangeran Anubis menghentikan manteranya. Sehimpun kekuatan batinnya seketika
mengalir di setiap manteranya, membuat suasana kian menegang.
"Bersama kalian aku akan menegakkan kembali
kejayaan penguasa kalian yang kini berada dalam
genggamanku! Ooo, Hapi* bebaskan mereka untukku!
Serahkan padaku agar mereka mengabdi untukku!"
Begitlu
Pendekar Slebor 18 Warisan Ratu Mesir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suasana telah terkunci kelengangan. mendadak bertiup deru angin kencang yang tak teratur dari segenap penjuru mata
angin. Riuh seketika menguasai wilayah
itu. Pasir diterbangkan liar memberangus
kehampaan. Awan gelap pun meringkus cahaya purnama yang kian memucat.
Permukaan Sungai Nil yang semula beriak kecil, kini mulai membentuk beberapa
pusaran di beberapa tempat.
Pusaran air itu lama-kelamaan membesar dan membesar.
Sampai akhirnya, gelombang saling bertumbukan tak terkendali.
Suasana makin dilantak keriuhan! Kala selanjutnya, bermunculanlah kepala-kepala
manusia dari gelombang pusaran permukaan sungai. Jumlahnya bahkan mungkin
ratusan. Munc ul segerombolan demi segerombolan dari beberapa tempat berbeda.
Ketika awan gelap enyah dari wajah purnama,
cahaya pun jatuh bebas kembali ke permukaan Sungai Nil.
Maka, terlihatlah wajah-wajah yang muncul itu dengan lebih jelas. Wajah-wajah
yang sudah sulit dikatakan sebagai wajah manusia, dan sebagian masih terbalut
kain balseman. Juga, terbalut tumbuhan liar sungai!
Seperti gerombolan binatang melata dari dasar
bumi, mereka semua mulai bergerak ke tepian sungai.
Arahnya, menuju tempat berdiri Pangeran Anubis dan Nofret.Begitu daratan mulai
dijejaki, mereka segera melangkah amat kaku menghampiri orang yang baru saja
mengundang. Di tangan masing-masing mayat hidup yang telah tergolek sekian ratus
tahun di dasar sungai ilu, tergenggam berbagai jenis senjata khas pasukan
Kerajaan Mesir Kuno. Dari lembing berkarat yang mirip arit panjang, belatibelati besar, pedang yang tengahnya meramping, sampai kapak-kapak serta gada
yang semuanya berbentuk khas. "Terus.... Berjalanlah kalian dengan kepatuhan
yang mcmbatu dalam kematian. Bersiaplah mengab-di pada Tuan baru yang akan
menitah kalian untuk membantai para korban. Hisap tempurung mereka! Kunyah
jantung mereka!"
Seperti tak peduli pada Ratu Hetepheres dan
Pangeran Anubis, mayat-mayat dari dasar Sungai Nil itu melangkah terseret menuju
Piramida Tonggak Osiris.
"Ha-ha-ha.... Hi-hi-hi...!" Lalu melengkinglah tawa meninggi, meningkahi riuh
suasana yang mulai mclamal.
*** 6 "Aku heran,
kenapa kau seperti
baru saja dipecundangi oleh empat mayat itu, Andika?" tanya Chin Liong ingin tahu.
Sungguh sulit bagi pemuda Cina itu untuk
mempercayai kalau Andika sampai terlempar dan menjebol dinding dalam keadaan
babak-belur, hanya menghadapi empat mayat itu. Sebab jika dibanding-bandingkan,
kedigdayaan Andika sesuugguhnya berada di atas Hiroto.
"Sial kau! Bukannya menolongku malah meledek!"
semprot Andika. Masih saja Pendekar Slebor dongkol dengan semua keapesan yang
memamah dirinya mentah-mentah.
Chin Liong tertawa kecil. Ditinjunya bahu Andika.
"Aku bukannya hendak meledekmu, kepala batu!
Aku hanya heran. Apa kau tak merasa heran terhadap keadaanmu waktu itu?" kata
Chin Liong lagi.
"Kalau dipikir-pikir, aku memang jadi tak habis pilar.
Kenapa aku seperti kehilangan kelincahan saat itu.
Dengan mudah bangkai-bangkai busuk itu menjadikan aku bulan-bulanan! Slompret
betulan!" rutuk Andika.
"Kau bersedia ceritakan apa saja yang telah kau alami?" lanjut Chin Liong lagi.
Sementara itu, Ying Lien merawat luka-luka Andika di sisinya."Biang kerok sekali
kau, ah! Kenapa tak kau biarkan dulu perawatan Putrimu ini kunikmati"!" bentak
Andika sewot.Ying Lien hanya bisa tersipu. Dia maklum sekali terhadap sifat
urakan pemuda yang telah lama dikenalnya (Baca episode: "Pengejaran Ke Cina").
Chin Liong jadi agak mangkel mendapati sikap
Andika seperti itu. Iseng-iseng, diusilinya Pendekar Slebor.
Bagian dada pemuda tanah jawa yang memar terhantam pukulan
mayat hidup, dijentiknya dengan sedikit penyaluran tenaga dalam. Tik!
"Adaaaou! Slompret! Apa-apaan kau ini"!" maki
Andika dengan wajah benar-benar matang, menahan sakit.
"Itu sekadar untuk memastikan, jenis pukulan apa yang telah menimpamu," kilab
Chin Liong puas.
"Asal kau tahu, Ying Lien amat hebat dalam ilmu pengobatan negeri kami
yangjempolan! Aku sekadar
Mayat Kesurupan Roh 3 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pendekar Baju Putih 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama