Ceritasilat Novel Online

Bangkitnya Kebo Ireng 2

Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng Bagian 2


mungkin. Dari mulutnya keluar geraman sangat
menggidikkan. Sementara, Pengemis Binal mengedarkan pandangan berusaha mencari sosok Yaniswara di
sekitar tempat itu. Tapi hasil yang diharapkannya tak diperoleh.
"Ah, jangan-jangan Yaniswara telah diapaapakan oleh manusia biadab itu. Lalu, dia dibunuh
dan bangkainya dibuang begitu saja...."
Selagi Suropati berpikir demikian, Pantang Mati
mengembangkan kedua tangannya. Kakek itu meluncur cepat hendak meremukkan kepala remaja konyol
ini. Namun yang diserang telah meloncat ke samping.
"Mau lari ke mana kau"!" hardik Pantang Mati.
"Kelinci manisku telah hilang. Aku akan membunuh-mu, Keparat!"
Mendengar perkataan Kebo Ireng, tahulah Suropati kalau Yaniswara telah lepas dari cengkeraman
manusia biadab itu. Tapi, hati Suropati jadi bertanya tanya. Mungkinkah
Yaniswara dapat melepaskan diri
tanpa bantuan orang lain" Kalau ditolong seseorang,
siapakah penolong itu"
Pengemis Binal tak mempunyai waktu untuk
berpikir lebih panjang. Pantang Mati telah menyerangnya dengan tendangan ke arah ulu hati.
"Ku lumatkan tubuhmu, Kerbau Liar!" umpat Suropati sambil berkelit. Kemudian dia
balas menendang. Sayang, tak mengenai sasaran.
Dengan mengandalkan ilmu 'Serat Maut', Pantang Mati berusaha menjerat tubuh Suropati. Gerakan
remaja konyol itu kali ini lebih cepat. Serat-serat putih yang keluar dari
telapak tangan Pantang Mati hanya
mengenai tempat kosong, atau menjerat batang-batang
pohon. Bahkan, keuntungan didapatkan Suropati yang
bertempur dengan mengerahkan ilmu 'Mata Awas'-nya.
Gelap malam tak mempengaruhi gerakannya. Berkalikali dia dapat menyarangkan tendangan dan pukulan
ke tubuh lawan. Pantang Mati terlontar ke sana kemari. Namun, secepat dia mencium tanah, secepat itu pu-la dia bangkit sambil
menggeram penuh kemarahan.
Terkejutlah Pengemis Binal. Apalagi setelah dia
mengerahkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang ternyata tak berpengaruh apa-apa. Padahal, cahaya kebiru-biruan yang memancar dari sekujur tubuh Suropati sudah sanggup untuk menghancurkan
sebongkah batu sebesar gajah.
Keterkejutan Pengemis Binal bertambah. Ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' pun tak mampu
menghabisi riwayat Pantang Mati.
"Tubuhnya benar-benar alot. Lebih baik aku
menghindar dulu dari manusia yang satu ini! Yang
penting, aku sudah tahu Yaniswara selamat...," ucap Suropati kepada dirinya
sendiri. "Aku membutuhkan
bantuan Kakek Gede Panjalu untuk melenyapkan manusia hebat ini."
Berpikir demikian, Pengemis Binal segera berkelebat cepat meninggalkan Pantang Mati. Kelebatan
tubuh Pengemis Binal tak mungkin lagi diikuti pandangan mata. Gelap seperti menelan tubuhnya. Tinggallah Kebo Ireng menggeram-geram bagai kesetanan.
Lelaki tinggi gemuk itu lalu mengamuk. Puluhan batang pohon tumbang terbetot sampai ke akarnya. Ketika dia mengguling-gulingkan tubuhnya ke tanah, debu
beterbangan bercampur kerikil dan bebatuan!
Sementara di tempat yang agak jauh dari tempat itu Wirogundi membopong tubuh Yaniswara memasuki wilayah Kademangan Maospati. Dari kejauhan
terlihat kerlip lampu damar. Ada sebuah rumah yang
terpisah agak jauh dari rumah-rumah lainnya.
"Kita berada di mana?" tanya Yaniswara.
"Kau tak perlu khawatir...," kata Wirogundi dengan suara kalem. "Kita akan
memasuki sebuah
rumah di Kademangan Maospati."
"Untuk apa?"
"Menghilangkan jejak kalau-kalau manusia setan itu mengejar kita. Di sana kita dapat berusaha melepaskan diri dari seratserat yang membelenggu ini."
Yaniswara tak berkata-kata lagi. Wirogundi
mempercepat langkahnya. Ketika sampai di depan rumah yang dituju, seorang nenek tampak duduk terpekur di atas balai-balai depan rumah. Dia terkejut melihat kehadiran Wirogundi
yang membopong Yaniswara.
"Si.... siapa kalian?" tanya nenek itu sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Kami membutuhkan tempat untuk bisa melepaskan serat-serat putih yang membelenggu tubuh
kami ini, Nek," jawab Wirogundi.
Si nenek menajamkan pandangan. Ditelitinya
sejenak kedua tamunya. Tubuh mereka disatukan oleh
serat-serat putih. Buru-buru nenek itu membuka daun
pintu dan menyilakan mereka masuk.
"Segera tutup daun pintunya, Nek. Aku takut
ada orang yang melihat," kata Wirogundi
Si nenek menuruti permintaan pemuda kurus
itu. "Mungkin aku bisa membantumu memutuskan serat-serat putih itu," ujarnya
kemudian menawarkan ja-sa.
Si nenek berjalan ke ruang dalam. Wirogundi
menekuk kakinya untuk dapat duduk di tikar. Lampu
damar cukup terang memperlihatkan betapa sederhananya rumah itu. Dindingnya terbuat dari kepang. Beratap jerami yang ditopang batang-batang bambu. Tak
ada perabotan yang berarti. Hanya tikar di atas lantai tanah. "Anjarweni...,"
desis Wirogundi sambil menatap wajah gadis yang berada di pangkuannya.
"Aku bukan Anjarweni. Aku Yaniswara."
"Oh...."
Melihat wajah Wirogundi yang mendadak muram, Yaniswara jadi heran. "Kau kenapa?" tanya gadis itu. "Ah, tidak. Kau sangat
mirip temanku."
"Siapa dia" Kekasihmu?"
Wirogundi tak menjawab. Kepalanya tertunduk.
Yaniswara pun tak hendak bertanya lagi. Tak lama
kemudian si nenek datang sambil membawa sebilah
pisau yang cukup tajam.
"Untuk apa pisau itu, Nek?" tanya Wirogundi.
"Untuk memutuskan serat-serat putih itu."
Si nenek berjongkok, lalu mengiris serat-serat
putih yang menyatukan tubuh Wirogundi dengan Yaniswara. Hingga keringat mengucur dari sekujur tubuh si nenek, usahanya hanya
menemui kegagalan. Serat-serat putih yang telah mengering itu jadi kenyal
seperti karet "Aku mempunyai seorang kenalan yang cukup pandai. Mungkin dia
dapat menolong kalian," kata si nenek kemudian.
"Ah, kau tak perlu bersusah payah, Nek. Kami
akan mencoba sendiri melepaskan belenggu ini," ucap Wirogundi.
"Tak apa. Melihat pakaian yang kau kenakan
dan tongkat yang kau bawa, tampaknya kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Aku akan mengajak kenalan ku itu kemari. Mudah-mudahan dia bisa
menolongmu."
Si nenek berjalan ke luar rumah. Wirogundi
hendak mencegah, tapi niat itu diurungkan. Si nenek
tampaknya begitu yakin akan kemampuan kenalannya. Suasana jadi lengang. Tangan kiri Wirogundi
yang masih bebas mendorong tubuh Yaniswara. Namun, serat-serat putih yang membelenggunya tak mau
lepas. "Ah, betapa bodohnya aku...," desis pemuda kurus itu. "Bukankah seratserat putih ini hanya menempel pada telapak tangan kanan dan sebagian bajuku" Kurobek saja bajuku ini."
Wirogundi segera menggerakkan tangan kiri.
Sekali sentakan baju yang dikenakannya telah tanggal.
Tinggal telapak tangan kanannya yang masih melekat
pada tubuh Yaniswara.
"Akan ku salurkan tenaga dalam," gumam Wirogundi Perlahan-lahan telapak tangan
pemuda kurus itu mengepal. Saat tenaga dalamnya sudah tersalur
penuh, serat-serat putih pun meleleh dan jatuh ke tikar seperti lilin terbakar
api. Wirogundi melonjak kegirangan. Usahanya berhasil. Namun, dia tidak bisa berlama-lama kesenangan. Yaniswara masih harus ditolongnya. Pemuda kurus itu lalu mendudukkan Yaniswara.
"Kubantu kau dengan penyaluran hawa murni.
Salurkan tenaga dalammu ke sekujur tubuh," perintah Wirogundi.
Wirogundi menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Yaniswara. Namun dia tercekat. Tangannya menyentuh buah dada Yaniswara. Sesaat darah Wirogundi berdesir tak karuan. Dia segera mengusir bayangan-bayangan yang menghantui pikirannya.
Tenaga dalam Yaniswara yang telah disalurkan
ke seluruh tubuh membuat serat-serat putih meleleh.
Tapi, serat-serat yang menempel di bajunya masih seperti sama. Yaniswara berusaha menarik lepas serat-serat
itu. Usahanya sia-sia. Bahkan baju pada bagian dada
jadi koyak lebar. Untunglah dia mengenakan rompi
pusaka. "Anjarweni...," desis Wirogundi.
"Aku Yaniswara!" bentak Yaniswara tiba-tiba.
"Yaniswara" Kau..., kau sangat cantik, Yani...."
Wirogundi lalu menundukkan kepalanya.
Bayangan kekasihnya yang telah mati di tangan Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti terpampang
kembali. Tanpa sadar pemuda kurus itu meremasremas rambutnya.
"Eh, kau kenapa?" tanya Yaniswara. Wirogundi mendongak. Terlihat oleh Yaniswara
mata pemuda kurus itu tampak kosong. "Kau memikirkan siapa?"
Wirogundi tak menjawab. Kepalanya tertunduk
kembali. "Kau anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti, bukan" Siapa namamu?"
"Wirogundi."
"Terima kasih, Wiro. Kau telah menolongku.
Tapi, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
harus tabah menghadapi cobaan apa pun. Kau tidak
harus malu pada orang lain, namun harus malu pada
diri sendiri," Yaniswara mencoba menghibur Wirogundi.
Mendadak, pemuda itu mencekal tangan Yaniswara lalu meremasnya.
"Eh, apa yang kau lakukan"!" sentak Yaniswara kaget. "Anjarweni...."
"Aku Yaniswaraa!"
"Tidak! Kau adalah Anjarweni. Kekasihku yang
cantik jelita."
Wirogundi memeluk tubuh Yaniswara dengan
erat. Diciuminya bibir gadis itu.
"Ah! Apa-apaan kau, Wiro"!" Yaniswara kelihatan begitu panik.
"Kau kekasihku! Tidak bolehkah aku menciummu?" tanya Wirogundi dengan lugunya.
"Aku Yaniswara! Bukan kekasihmu!"
"Tidak! Kau Anjarweni! Kau kekasihku!"
Tanpa melepaskan pelukannya, Wirogundi
menggulingkan tubuh Yaniswara ke atas tikar. Bibir
gadis itu pun dilumatnya. Tentu saja Yaniswara meronta-ronta. Namun tubuh Wirogundi terlampau kuat
untuk ditepiskan.
Oleh dorongan nafsu yang menghentak Wirogundi berusaha melepas rompi pusaka yang dikenakan
Yaniswara. Gadis itu meronta semakin keras.
"Apa yang kau lakukan, Wiro"!"
Wirogundi tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Nafasnya terdengar memburu. Dengan sigap dia mengangkat tubuh Yaniswara. Setelah menanggalkan rompi pusaka gadis itu, Wirogundi membaringkannya
kembali. "Bangsat! Apa yang kau lakukan ini"!"
Napas Wirogundi terdengar semakin memburu
saat melihat dada mulus Yaniswara. Wirogundi lalu
menundukkan kepala dan menciuminya.
"Anjarweni.... Aku mencintaimu...."
"Uh! Aku bukan Anjarweni!"
Wirogundi tak mendengarkan bentakan itu. Dia
menciumi lebih ganas dada Yaniswara. Gadis itu pun
meronta-ronta tak karuan.
Wirogundi merenggut celana Yaniswara hingga
robek. Terlihat oleh pemuda kurus itu sebuah pemandangan yang lebih menggiurkan.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Teriakan Yaniswara yang ketakutan tak dipedulikan Wirogundi. Nafsu birahi benar-benar telah menguasai jiwa pemuda itu.
Tiba-tiba, tangan kanan Yaniswara menghujamkan pukulan ke dada telanjang Wirogundi.
Dhes...! Tubuh Wirogunddi terlontar membentur dinding kepang hingga jebol! Tapi, tenaga dalam pemuda
kurus itu sudah sedemikian kuatnya. Pukulan Yaniswara sedikit pun tak berpengaruh. Secepat kilat Wirogundi bangkit, lalu menerkam
Yaniswara yang hendak
melarikan diri. Tubuh kedua anak manusia itu terguling-guling di lantai tanah.
"Lepaskan aku, Bangsat!" umpat Yaniswara seraya berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pelukan Wirogundi.
Wirogundi menampar wajah gadis itu hingga
pingsan! "Aku mencintaimu, Weni. Tapi kau sangat nakal...." Wirogundi memandangi tubuh Yaniswara yang hampir telanjang. Kening gadis
yang sudah tiada daya itu dikecupnya dengan lembut. Kemudian, kecupannya
beralih ke kedua mata Yaniswara yang terpejam.
Ketika bibir Wirogundi menyentuh bibir Yaniswara, dia mendengus. Bibirnya mendaratkan ciuman
ganas sambil meraba-raba dada Yaniswara.
Ciuman Wirogundi terus bergerak ke bawah.
Sambil berbuat demikian, tangan kiri Wirogundi melepas pakaian Yaniswara yang tersisa.
"Kau sangat cantik, Weni...."
Tiba-tiba daun pintu terkuak. Muncullah tuan
rumah bersama seorang kakek berjubah putih. Melihat


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adegan yang dilakukan Wirogundi, kedua orang lanjut
usia itu tercekat.
Wirogundi pun terkejut. "Pergi kalian!" bentaknya kemudian.
"Apa yang kau lakukan, Anak Muda"!" tanya
kakek berjubah putih.
Melihat kedua orang yang baru datang itu tak
segera beranjak pergi, Wirogundi menerjang!
"Pemuda Terkutuk!" hardik kakek berjubah putih sambil menghindari terjangan.
Wirogundi yang sudah dikuasai nafsu setan jadi kalap. Dia menerjang lebih ganas. Pemuda itu berusaha menjatuhkan tangan
maut. Ternyata kakek berjubah putih bukan orang sembarangan. Dengan mudah dia menghindari serangan-serangan Wirogundi.
Sebelum kakek berjubah putih sempat membalas serangannya, Wirogundi telah berkelebat menyambar tubuh Yaniswara. Kemudian menghilang dalam
kegelapan malam. Kakek berjubah putih berusaha
mengejar, tapi sosok Wirogundi telah lenyap.
"Siapa sebenarnya pemuda dan pemudi itu?"
tanya kakek berjubah putih begitu menjumpai si nenek. "Aku tak tahu," jawab si nenek. "Mereka datang ketika aku sedang duduk di
depan...."
Nenek itu lalu menceritakan perihal kedatangan
Wirogundi dan Yaniswara. Kakek berjubah putih mengerutkan kening Diambilnya rompi pusaka Yaniswara
yang tergeletak di lantai tanah. Benda itu ditimangtimangnya sebentar. Tatapannya beralih pada sebatang tongkat yang tergeletak di pojok ruangan.
"Pengemis Tongkat Sakti...," gumam kakek itu sambil mengetuk-ngetukkan batang
tongkat. "Tak pernah kusangka anggota perkumpulan pengemis yang
sangat kesohor itu bisa berbuat demikian biadab."
Kakek berjubah putih melangkah ke luar ruangan. "Kau hendak ke mana?" tanya si nenek.
"Aku akan melaporkan perbuatan tak senonoh
ini kepada Gede Panjalu di puncak Bukit Pangalasan."
"Malam-malam begini?" tanya si nenek seperti keberatan.
"Ya."
"Kau sudah tua, Naweleng. Dalam gelap seperti
ini, aku takut akan terjadi sesuatu kepadamu...," kata si nenek. Kakek berjubah
putih itu adalah Bima Naweleng, seorang brahmana kenalan si nenek yang bertempat tinggal di Kademangan Maospati.
"Terima kasih atas perhatianmu. Tapi, aku harus cepat-cepat menemui Gede Panjalu..."
Usai berkata demikian, kakek berjubah putih
menghemposkan tubuhnya. Si nenek cuma dapat
menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat kekerasan
hati Bima Naweleng.
*** 5 Cahaya sang baskara baru saja menyirami bumi. Ingkanputri menyusuri jalan setapak menuju bukit Pangalasan. Tertimpa cahaya
pagi, wajah murid Dewi
Tangan Api itu tampak merona merah. Rambut yang
digelung ke atas dengan ikatan kain hijau menampilkan kesempurnaan lukisan Tuhan pada sosok Ingkanputri. Warna pakaiannya putih-merah, membungkus
tubuhnya yang padat berisi.
"Setelah aku membaca Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi, ada banyak hal yang tak dapat ku mengerti. Bagian pertama yang berisi tentang siasat dan strategi perang sama sekali
tak menarik minat ku.
Mungkinkah hal itu yang membuatku jadi sulit memahaminya" Aku sangat berhasrat mempelajari isi kitab
bagian kedua. Tapi, kenapa aku juga mendapat kesulitan untuk memahaminya" Pada bagian awal digambarkan tentang kehebatan tenaga prana. Tampaknya,
aku memerlukan seseorang yang menguasi ilmu kebatinan. Mungkin Gede Panjalulah orang yang tepat..."
Tanpa sadar langkah kaki Ingkanputri terhenti.
Seperti ingat sesuatu yang tak menyenangkan, bibir
gadis cantik itu tampak cemberut.
"Suropati...," desis Ingkanputri. "Bila aku ke
puncak Bukit Pangalasan untuk menjumpai Gede Panjalu, mungkinkah aku juga akan berjumpa dengan remaja konyol itu" Uh! Perilaku Suropati seringkali sangat keterlaluan. Sebal!"
Ingkanputri kembali melangkah, tapi lebih lambat dari semula. Kadang ditendangnya batu yang banyak berserakan di jalan setapak itu. Mendadak, gadis cantik itu menyunggingkan
senyum. Sinar matanya
berbinar seperti sedang merasakan suatu kegembiraan. "Suropati...," desis Ingkanputri. "Walau perila-kunya sangat konyol, namun
sesungguhnya aku sangat suka. Melihat tingkah lakunya yang menyebalkan
kadang-kadang aku malah merasa bahagia. Aku merindukannya. Mungkinkah aku telah... telah.... Ah! Kenapa aku berpikiran yang
macam-macam. Maksudku
ke puncak Bukit Pangalasan untuk menjumpai Kakek
Gede Panjalu. Titik! Bukan menjumpai Suropati! Tapi...." Senyum yang tersungging di bibir Ingkanputri merah merekah. Gadis cantik
itu berjalan sambil meloncat-loncat persis anak kecil.
Tiba-tiba, Ingkanputri tercekat. Dia berjongkok
di sisi bercak kecoklatan di atas tanah. Dengan ujung jari ditotolnya bercak
kecoklatan itu.
"Darah...!!" Seperti kurang percaya pada pengli-hatannya, Ingkanputri menatap
lebih seksama bercak
kecoklatan di ujung jarinya. "Benar. Ini cairan darah yang telah mengering.
Darah manusia!"
Gadis cantik itu lalu mengedarkan pandangan.
Pada sisi kanan jalan setapak tampak bercak kecoklatan melumuri rumput ilalang. Karena desakan rasa ingin tahu, Ingkanputri mengikuti jejak darah yang ditemukannya. *** Di depan batu berlumut yang menjulang cukup
tinggi Pantang Mati tengah duduk berjongkok. Pakaian yang dikenakan lelaki
tinggi gemuk itu sudah tak karuan lagi. Bukan sekadar compang-camping, malah
hanya sobekan-sobekan kain yang disatukan dengan
simpul-simpul kecil. Ketika angin berhembus, sobekan-sobekan kain itu berkibaran seperti bendera.
Walau wujud luar Pantang Mati sangat mengenaskan, namun hatinya dalam kegembiraan yang sangat. Hal itu tergambar jelas pada wajahnya yang berse-ri-seri dan matanya yang
berbinar. Bibirnya pun menyungging senyum. Kakek itu menimang-nimang beberapa perhiasan emas.
Di sisi kanan lelaki tinggi gemuk, tampak sosok
tubuh wanita bergoyang-goyang ditiup angin. Wanita
itu lehernya dijerat dengan seutas tali yang diikatkan pada dahan pohon. Kakinya
tak menginjak tanah. Dia
sudah tak bernyawa!
Mayat wanita itu sangat mengenaskan. Hampir
sekujur tubuhnya dinodai cairan darah yang mulai
mengering. Bila melihat pakaiannya yang terbuat dari bahan mahal, tentu dia
istri seorang pejabat atau saudagar kaya.
Apa yang baru saja dilakukan Kebo Ireng terhadap wanita itu memang di luar batas kemanusiaan.
Setelah menculik si wanita dari kotapraja, sepanjang perjalanan Pantang Mati
memukulinya karena si wanita terus mengeluarkan umpatan. Akibat pukulan Pantang Mati, si wanita babak belur. Darahnya berceceran seperti yang dilihat
Ingkanputri di jalan setapak.
Gagal menodai Yaniswara, Pantang Mati menculik wanita ini dari kotapraja untuk melepas nafsu bi-rahinya. Malang bagi si
wanita. Selesai menerima perbuatan tak senonoh dari Kebo Ireng, dia digantung!
Seluruh perhiasannya dipreteli.
"Ap... apa yang kau lakukan, Pak Tua"!" kata Ingkanputri dalam perasaan ngeri.
Matanya membela-lak menatap mayat wanita yang digantung.
Pantang Mati pun dihantam keterkejutan. Dia
tak menyangka akan datangnya Ingkanputri. "Jangan ganggu keasyikan ku!"
bentaknya seraya mengibaskan telapak tangan.
Serangkaian angin pukulan menghujam, Ingkanputri yang tak menduga datangnya serangan
langsung tercekat. Tubuhnya bergeser mundur dalam
keadaan terhuyung-huyung.
"Kerbau Busuk! Ternyata kau manusia barbar
yang sangat kejam!" hardik Ingkanputri.
"Sudah kubilang, jangan ganggu keasyikan ku!"
Pantang Mati menatap tajam wajah Ingkanputri. Sesaat kemudian, dilancarkannya 'Ilmu Serat
Maut-nya. Sraaattt...! Melihat serat-serat putih yang meluncur ke
arahnya, Ingkanputri meloncat menghindar. Lalu dilontarkannya 'Pukulan Api Neraka'nya.
Ledakan dahsyat membahana. Gumpalan tanah bercampur bebatuan beterbangan mengaburkan
pandangan. Pantang Mati meloncat tinggi. Setelah bersalto beberapa kali di
udara, dia mendarat di atas tanah dengan seringai kemarahan. Bahu kirinya terserempat pukulan Ingkanputri.
Kebo Ireng menggeram-geram tak karuan. Teriakannya melengking tinggi menyakitkan gendang telinga. Saat dia menggedruk-gedrukkan kaki ke tanah,
bumi berguncang hebat.
"Keparaaartt...! Kubunuh kau!"
Melihat Pantang Mati yang kalap, Ingkanputri
bergidik ngeri. Tiba-tiba, sesosok bayangan berkelebat dan menotok jalan darah
di punggung gadis cantik itu.
Walaupun Ingkanputri memiliki ilmu 'Pemencar
Jalan Darah' yang membuatnya tak mempan untuk ditotok, namun karena tidak sempat mengerahkan ilmunya, tubuh Ingkanputri terkulai lemas. Sosok
bayangan langsung membopongnya untuk dibawa lari
meninggalkan tempat itu.
Sosok bayangan yang membopong tubuh Ingkanputri terus berlari hingga ke lereng Bukit Pengalasan. Ketika sampai di
tanah agak lapang, sosok bayangan berhenti dan menurunkan tubuh Ingkanputri.
"Suropati...," desis Ingkanputri. "Apa yang sedang kau lakukan" Bebaskan
totokanmu!"
"Uh! Tenang, Putri.... Kau berbaringlah di situ untuk beberapa lama," kata
Suropati yang telah melarikan Ingkanputri. Perlahan-lahan remaja konyol itu
merebahkan tubuhnya di samping Ingkanputri, tanpa
mau membebaskan totokannya.
"Kau gila, Suro! Lekas bebaskan totokanmu!"
"He-he-he.... Kenapa marah-marah" Coba lihat
pemandangan di sana," Suropati menunjukkan tempat yang dimaksudnya. "Suasana
pagi yang cerah membuat burung-burung gembira ria. Mereka meloncatloncat penuh canda. Kau tahu burung apa itu, Putri?"
"Gila!" maki Ingkanputri.
"Yah! Ya, namanya burung gila. Eh, salah, Putri. Setahuku burung itu adalah burung parkit. Ingat!
Burung parkit!"
"Gila!"
"Eh, kau lihat di ranting kanan paling atas dari
pohon besar itu, Putri. Dua burung parkit meloncatloncat dan saling berpatukan. Eh, bukan! Mereka sedang bercumbu. Ya. Sedang bercumbu, Putri. Aduh,
mesranya.... Kau tidak ingin seperti mereka, Putri?"
"Gila!" Ingkanputri semakin sewot.
"Uh! Dari tadi kau selalu mengatakan itu. Siapa yang gila?"
"Kau!"
"Aku?" Suropati melototkan matanya seperti orang bego.
"Ah! Kau benar-benar gila, Suro! Lepaskan totokanmu!" "Eit! Sebentar.... Kau katakan aku gila. Memang benar. Aku gila, tergila-gila
padamu!" Mendengar ucapan konyol Pengemis Binal, bibir
Ingkanputri langsung cemberut. Raut wajahnya dibuat
segalak mungkin. Tapi, dia malah ditertawakan Suropati. "Kenapa mesti pura-pura marah, Putri. Kau senang berjumpa denganku,
bukan?" Ditebak seperti itu pipi Ingkanputri merona merah. Suropati mengusap rambut Ingkanputri. Lalu
mencium dengan lembut pipinya yang merona merah.
"Kau benar-benar manusia paling gila di dunia
ini, Suro!"
"Paling gila atau paling menggemaskan?" goda Suropati dengan tertawa konyol.
"Uh!"
"Uh apa" Minta cium lagi" Ehm...."
Ujung jari telunjuk Suropati ditempelkan ke
kening Ingkanputri. Lalu bergerak ke bawah menelusuri kedua pipi gadis cantik itu. Ke bawah lagi mengusap bibir Ingkanputri yang
marah-marah. Perlahan-lahan Suropati menyorongkan wajahnya. Diciumnya bibir Ingkanputri dengan penuh kelembutan. Ingkanputri yang tidak bisa menggerakkan
tubuhnya, cuma pasrah. Matanya terpejam. Debardebar aneh yang berada dalam dadanya semakin terasa menghentak. "Suro...," desis Ingkanputri.
"Kau sangat cantik, Putri...."
"Kau sangat tampan, Suro...."
"Kau senang ku cium, Putri?"
Ingkanputri tak menjawab. Matanya kembali
terpejam. Suropati pun kembali menghadiahkan ciuman mesra. "Coba kau lihat lagi burung-burung parkit yang
berloncatan di pohon besar itu," bisik Suropati kemudian di telinga Ingkanputri.
"Ehm...."
"Bulu burung-burung parkit itu sangat indah.
Ada warna hijau, kuning, dan rona-rona putih mengkilat. Sungguh indah sekali. Menunjukkan kebesaran
Tuhan. Betapa pandainya Dia membuat lukisan hidup
yang begitu sempurna. Tapi tahukah kau, Putri, di dunia ini ada satu burung yang
paling indah. Burung itu selalu dirindukan gadis-gadis yang sedang kasmaran."
"Burung apa itu, Suro?" tanya Ingkanputri penasaran.
"Burungnya laki-laki!"
"Wauw....!"
*** 6 Siang itu puncak bukit Pangalasan tempat para
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bermu

Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kim tampak lengang. Pagi-pagi sekali mereka telah
meninggalkan tempat itu untuk menuju kota kadipaten terdekat, seperti Kadipaten Bumiraksa dan Kadipaten Tanah Loh. Tentu saja
maksud mereka pergi ke kota untuk mencari nafkah. Biasanya, sekitar satu ming-gu kemudian baru mereka
kembali. Kalau sudah berkumpul, puncak Bukit Pangalasan ramainya tiada terkira. Mereka akan bercakap-cakap diselingi gelak tawa penuh canda.
Ketika Suropati memasuki pemukiman itu,
anak-anak berpakaian lusuh bersorak menyambutnya.
Mereka mengekor langkah remaja konyol itu. Sedangkan, para orang tua melambai-lambaikan tangannya.
"Sejak kapan orangtua kalian berangkat?"
tanya Suropati.
"Pagi-pagi tadi, Kang," jawab salah seorang anak tanggung.
"Jangan panggil 'Kang'. Tak enak didengar.
Tuh, lihat di belakang ada gadis cantik. Jangan membuat aku malu."
Mendengar kalimat Pengemis Binal, anak-anak
yang sedang mengekor langkahnya langsung menoleh
ke belakang. Setelah tahu ada seorang gadis cantik
berpakaian putih-merah, salah seorang dari mereka
bertanya, "Kami harus memanggil apa?"
"Tuan Besar," jawab Suropati.
"Ya, Tuan Besaaarrr!" kata anak-anak serempak. Pengemis Binal tertawa terkekeh.
Lalu mengerl- ing ke arah Ingkanputri yang berjalan tak seberapa
jauh di belakangnya.
"Sudah! Kalian pergi semua. Aku mau menemui
Kakek Gede, " kata remaja konyol itu kemudian kepada
anak-anak di belakangnya.
"Baik, Tuan Besaaarrr!"
Anak-anak itu berserabutan kembali ke tempatnya, Ingkanputri mempercepat langkah kakinya.
Suropati pura-pura tak melihat.
"Kau masih marah, Tuan Besoooaaarrr"!" ucap Ingkanputri dengan bibir
dimonyongkan. Pengemis Binal tertawa geli. Cepat dia memencet hidung Ingkanputri.
"Aknjuuuhhh!" jerit Ingkanputri.
"Apa?"
"Uh! Epaskan iknjungku!"
"Ha-ha-ha...."
Suropati tertawa terpingkal-pingkal. Buru-buru
dia menarik tangan kanannya yang memencet hidung
Ingkanputri. "Eit! Menendang saja pilih-pilih tempat!" kata Pengemis Binal sambil berkelit.
Karena gadis cantik itu menendang selangkangannya.
Tanpa mempedulikan Ingkanputri lagi, remaja
konyol itu berjalan ke sebuah rumah yang dindingnya
terbuat dari susunan batu. Di ambang pintu yang telah dibukanya, Suropati berdiri termangu. Diperhatikannya sebatang tongkat berwarna hitam kehijauhijauan yang ditegakkan di dinding ruangan.
"Tongkat Sakti!" desis Suropati.
Gede Panjalu muncul dari ruang dalam. Melihat
kehadiran Pengemis Binal, kakek bongkok itu tersenyum senang. "Rupanya kau sudah bosan mencari angin, Suro...," kata kakek itu.
"Belum," sahut Suropati.
"Jadi, kau ke sini hanya untuk mengambil
Tongkat Sakti?"
"Tidak, Kek. Biarlah benda pusaka itu berada di situ sebagai lambang persatuan
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
Pengemis Binal melangkah masuk. Dia lalu duduk di lantai yang terbuat dari jajaran batu licin.
"Kakek Gede...," kata Ingkanputri ketika tatapan matanya bersirobok dengan Gede
Panjalu. Gede Panjalu tersenyum ramah. Dipersilakannya Ingkanputri untuk masuk. Gede Panjalu duduk di
hadapan Suropati dan Ingkanputri.
"Kek, di dunia ini apakah ada ilmu kesaktian
yang benar-benar tidak bisa dikalahkan?" tanya Pengemis Binal mengawali
pembicaraan. "Pertanyaan yang bodoh, Suro," jawab Gede
Panjalu. "Semua yang ada di dunia ini adalah fana adanya dan serba tidak pasti.
Setiap manusia mempunyai cara pandang tersendiri."
"Maksud Kakek?"
"Orang yang merasa dirinya kaya, tidaklah pasti orang lain mengatakan dia memang
kaya. Demikian pula dengan kesaktian. Kesaktian yang dimiliki manusia mempunyai tingkatan. Dan, tingkatan itu dibuat
oleh manusia sendiri. Seiring dengan berlalunya waktu kepandaian manusia semakin
bertambah. Akibatnya,
tingkatan yang dibuat manusia jadi berubah-ubah. Di
dunia ini hanya ada satu yang pasti, yaitu mati."
"Jadi, manusia biadab itu pasti bisa dikalahkan. Karena dia akan menemui kepastiannya yaitu
mati?" tegas Suropati.
"Siapa yang kau sebut sebagai manusia biadab
itu, Suro?"
Pengemis Binal lalu bercerita panjang lebar
mengenai Kebo Ireng atau si Pantang Mati yang memiliki kesaktian luar biasa. Mendengar penuturan remaja
konyol itu, kening Gede Panjalu berkerut Wajahnya
yang tua nampak semakin tua.
"Kebo Ireng...," gumam Gede Panjalu. "Kau tentu belum tahu siapa dia, Suro.
Hanya tokoh-tokoh tua rimba persilatan yang mengenal dengan pasti siapa
Kebo Ireng atau si Pantang Mati itu. Puluhan tahun
yang lalu dia dikubur hidup-hidup oleh seorang penasihat kerajaan. Kalau sekarang dia muncul lagi, benar-benar manusia pantang
mati." "Melihat kelakuan si Pantang Mati, kita harus
segera turun tangan, Kek."
"Pantang Mati mempunyai tenaga gaib, yaitu
tenaga yang diperolehnya dari hasil penyatuan inti kekuatan tubuh dengan inti
kekuatan daya tarik bumi,"
jelas Gede Panjalu tentang apa yang diketahuinya.
"Lalu, untuk memusnahkan tenaga gaib Pantang Mati bagaimana, Kek?" Suropati tampak begitu penasaran.
"Tenaga gaib yang dimiliki Kebo Ireng berbeda
dengan tenaga gaib yang terdapat pada ilmu 'Rawe
Rontek'. Ilmu 'Rawe Rontek' hanya bersumber pada inti kekuatan daya tarik bumi. Orang yang memiliki ilmu
'Rawe Rontok' walau tubuhnya dipotong-potong akan
kembali kepada asalnya bila menyentuh tanah. Kalau
tidak menyentuh tanah, tubuh yang telah dipotongpotong itu tak akan bisa kembali seperti semula. Hal ini berlainan dengan tenaga
gaib yang dimiliki Pantang Mati. Walaupun tubuh tokoh jahat itu dihantam
kekuatan yang maha dahsyat, nyawanya tak akan lepas.
Tubuhnya dilindungi inti kekuatan daya tarik bumi
dan inti kekuatan tubuhnya sendiri."
"Wuih...!"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Ingkanputri yang duduk di sebelah remaja konyol itu menyodok pinggangnya seraya berbisik, "Persis monyet!"
Melihat ulah mereka, Gede Panjalu tersenyum.
Namun dia segera melanjutkan bicaranya.
"Usaha menyatukan inti kekuatan tubuh dengan inti kekuatan daya tarik bumi hanya dapat dilakukan oleh orang yang
mempunyai bakat alam untuk
menyatukan tenaga kasatmata itu. Untuk memusnahkannya tentu saja dengan melenyapkan kesatuan tenaga kasatmata itu."
"Dengan ilmu sihir," kata Suropati asal ucap.
"Ilmu sihir hanya merupakan salah satu cara
memusnahkan tenaga kasatmata yang dimiliki Pantang Mati."
"Cara lainnya apa, Kek?"
"Alam semesta ini mempunyai gelombanggelombang kekuatan. Bumi mempunyai kekuatan. Bulan mempunyai kekuatan. Matahari pun demikian. Seluruh benda langit mempunyai kekuatan. Di antara
benda-benda langit ada kekuatan maha dahsyat yang
bersifat lembut. Kekuatan itu bukan merupakan bagian dari benda-benda langit. Dengan kata lain, kekuatan dahsyat itu berdiri
sendiri tanpa dipengaruhi kekuatan-kekuatan semesta lainnya."
"Kekuatan apa itu, Kek?" Suropati benar-benar merasa tertarik.
"Kekuatan prana. Tokoh-tokoh tua menyebutnya sebagai tenaga prana."
"Tenaga prana, Kek?" sela Ingkanputri.
"Ya. Apakah kau pernah mendengar tentang tenaga prana itu, Putri?"
"Kedatanganku kemari justru untuk menanyakan hal itu."
Ingkanputri lalu mengeluarkan sebuah kitab
dari balik bajunya. Disodorkannya kitab itu ke hadapan Gede Panjalu.
"Selaksa Dewa Turun Ke Bumi...," gumam kakek bongkok itu membaca jajaran huruf yang tertera di sampul kitab.
Gede Panjalu membuka halaman pertama. Saat
melihat kitab itu disusun oleh Panglima Pranasutra, Gede Panjalu mempertajam
daya ingatnya. "Panglima Pranasutra...," kata Gede Panjalu kemudian. "Panglima Pranasutra hidup
pada masa pemerintahan Prabu Anggara Sanca, kakek dari Prabu
Arya Dewantara. Panglima Pranasutra seorang panglima yang sangat pandai mengatur siasat dan strategi
perang. Namun, beliau mengundurkan diri karena tak
setuju terhadap kebijaksanaan Prabu Anggara Sanca
yang hendak menghancurkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga...."
"Perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh Datuk Risanwari, ayahanda Kakek Gede?" sela Suropati.
Gede Panjalu mendehem. "Sepengetahuanku, di
rimba persilatan ini hanya Panglima Pranasutralah
yang dapat menguasai tenaga prana."
"Bagian kedua dari Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi berisi cara menghimpun tenaga prana. Namun, banyak cara-cara yang tak ku mengerti, Kek...,"
beritahu Ingkanputri.
"Itu wajar, Putri...," ucap Gede Panjalu dengan suara lembut. "Untuk menghimpun
tenaga prana paling tidak membutuhkan waktu sepuluh tahun."
"Sepuluh tahun?" ulang Ingkanputri dan Suropati hampir bersamaan.
"Kalian tak perlu khawatir. Kebo Ireng akan tetap dapat ditaklukkan dengan ilmu yang bersumber
pada tenaga prana."
"Jika demikian, ada suatu cara untuk mempercepat usaha penghimpun tenaga prana, Kek...," ujar Ingkanputri.
"Tepat! Suropati memiliki sebuah ilmu yang
bersumber pada penyatuan kekuatan alam semesta.
Dengan bantuan Suropati, kau akan dapat menghimpun tenaga prana dalam waktu singkat, Putri."
Mendengar penuturan Gede Panjalu, Ingkanputri tersenyum senang. Namun Pengemis Binal malah
tampak cemberut.
"Kenapa kau, Suro?" tanya Gede Panjalu.
"Aku tidak mau membantu Ingkanputri!"
"Lho, kenapa?"
"Aku meminta imbalan!" jawab Suropati.
"Uh! Enaknya!" Ingkanputri cemberut.
"Kau butuh bantuanku atau tidak?"
Ingkanputri tak menjawab.
Suropati tersenyum simpul. "Kau butuh bantuanku, Putri. Dan, aku yakin kau pun bisa membantuku...." "Membantu apa?"
"Di dalam lemari banyak pakaian kotor. Besok
pagi-pagi kau harus mencucinya!"
"Kalau aku menuruti permintaanmu, apakah
kau bersedia membantuku menghimpun tenaga prana?" Ingkanputri tidak segera menyetujui permintaan Suropati.
"Belum tentu! Aku harus menilai sikapmu dulu." "Maksudmu?"
"Kalau sikapmu dapat membuat aku senang,
yah, bolehlah kau kubantu."
Mata Ingkanputri berbinar. Kalau saja di tempat itu tidak ada Gede Panjalu, tentu akan dihadiahkannya kecupan mesra ke pipi Suropati.
"Dari dulu sifat konyol mu tetap saja kau pelihara, Suro...," ujar Gede Panjalu. Terbersit senyum tipis di bibirnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di daun pintu.
Tampak Bima Naweleng berdiri dengan tangan kanan
membawa sebatang tongkat dan selembar rompi berwarna hitam. Suropati tercekat. Dia tahu rompi itu milik Yaniswara.
"Masuklah, Naweleng...," kata Gede Panjalu.
Bima Naweleng menganggukkan kepala, lalu
duduk di hadapan Gede Panjalu.
Ingkanputri menggeser duduknya. Suropati
mengambil tempat di sisi gadis cantik itu. Namun,
pandangan Pengemis Binal tak pernah lepas dari rompi hitam yang diletakkan Bima
Naweleng di hadapan
Gede Panjalu. Berbagai tanda tanya berkecamuk dalam benak remaja konyol itu. Dia sudah tak tahan lagi menanti penjelasan Bima
Naweleng perihal rompi hitam hingga sampai berada di tangannya.
Setelah berbasa-basi sejenak Gede Panjalu
mengambil tongkat yang berada di hadapannya. Sekilas diamatinya tongkat itu, lalu diletakkan kembali.
"Tongkat Wirogundi," gumam Kakek bongkok
itu. "Aku menemukan tongkat dan rompi ini di rumah kenalan ku di Kademangan Maospati," jelas Bima Naweleng. Brahmana itu lalu
menceritakan perlakuan
tak senonoh yang dilakukan Wirogundi terhadap Yaniswara. "Sebenarnya aku telah berusaha mengejar pemuda itu, namun ilmu
meringankan tubuhnya sangat hebat. Aku kehilangan jejak...."
Tiba-tiba Suropati bangkit berdiri. "Keparat!"
umpat pemuda itu.
Gede Panjalu yang juga dihantam keterkejutan
segera mendekati remaja konyol itu. Ditepuknya bahu


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suropati. "Tenanglah, Suro. Amarah tak akan menyelesaikan masalah... "
"Tapi, Kek.. perbuatan Wirogundi keterlaluan
sekali. Dia bukan hanya mencoreng kehormatan seorang gadis yang tak berdosa, juga kehormatan perkumpulan kita!" ujar Suropati dengan penuh kemarahan. "Wirogundi...," desah Gede
Panjalu. "Ternyata kau tak selugu dan sejujur yang kukira. Ketika berada di dasar jurang bukit ini, kau me-rengek-rengek meminta
sebutir buah pala ajaib dengan janji akan selalu berada di jalan kebenaran.
Ternyata perbuatanmu tak lebih baik dari binatang."
"Maafkan aku, Gede...," ucap Bima Naweleng.
"Bukan maksudku hendak memecah persatuan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
"Aku mengerti, Naweleng. Terima kasih atas
pemberitahuan mu."
Kemudian suara menjadi hening. Lama larut
dalam pikiran masing-masing. Di luar mentari telah
bergeser ke barat. Panas tak lagi menerpa. Hembusan
angin semilir membuat burung-burung semakin terbenam dalam candanya.
Setelah memberi petunjuk tentang cara menghimpun tenaga prana kepada Ingkanputri, Gede Panjalu berpamitan turun bukit untuk mencari Wirogundi.
Suropati hendak ikut. Tapi ditolak oleh kakek bongkok itu. Suropati harus
membantu Ingkanputri dalam
menghimpun tenaga prana.
"Kita berbagi tugas, Suro...," kata Gede Panjalu sebelum pergi. "Setelah selesai
membantu Ingkanputri, carilah si Kebo Ireng. Prabu Indra Prastha Swargi, ayahanda Prabu Arya Dewantara, telah menjatuhkan hukuman mati bagi manusia kejam itu. Kau laksanakanlah hukuman itu. Aku akan menjatuhkan hukuman
terhadap Wirogundi atas nama Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
Hari itu juga Gede Panjalu meninggalkan puncak Bukit Pangalasan. Dia tak dapat menolak keinginan Bima Naweleng yang hendak membantunya mencari Wirogundi. Bersama brahmana itu, Gede Panjalu
mulai berkelana mencari Wirogundi.
Pagi hari di Dusun Paldaplang....
Wirogundi menjambak-jambak rambutnya yang
kusut tak karuan. Bibirnya digigit kuat-kuat sehingga darah meleleh ke dagunya.
Wajah pemuda kurus itu
sangat kotor. Demikian pula dadanya yang telanjang.
Keringat membuat debu melekat. Saat dia melepas gigitan pada bibirnya, tiada henti Wirogundi menyebut-nyebut nama
kekasihnya yang telah meninggal.
"Anjarweni... Anjarweni... Anjarweni...."
Wirogundi semakin keras menjambak-jambak
rambutnya. Pemuda kurus itu duduk di tengah jalan.
Tak heran segera menjadi bahan perhatian orangorang. Mereka menganggap Wirogundi orang gila yang
sedang kumat. Seorang gadis berpakaian penuh tambalan
mendekati Wirogundi.
"Kau kenapa, Wiro?" tanya gadis itu. Wirogundi tercekat. Dia merunduk, lalu
membenturkan kening-nya ke tanah.
"Maafkan aku, Yaniswara," rintih Wirogundi.
"Apa yang kau katakan, Wiro?"
"Aku... aku telah khilaf...." Si gadis menge-rutkan kening.
"Lihatlah aku, Wiro. Aku temanmu. Aku Surti,
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti seperti
dirimu. Apa yang kau lakukan ini membuat malu seluruh anggota perkumpulan kita...."
Perlahan-lahan Wirogundi mendongakkan kepala. Ketika melihat wajah gadis yang bernama Surti, dia mendengus marah.
"Pergi kau!" bentak Wirogundi.
"Kembalilah ke Bukit Pangalasan, Wiro. Temui
Kakek Gede. Kau membutuhkan nasihatnya," Surt? terus berusaha membujuk.
"Tidak! Sekarang aku tidak mengenal siapa Kakek Gede itu! Aku bukan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti lagi!"
Usai mengucapkan kalimatnya, bahu Wirogundi tampak naik turun. Kepalanya kembali ditundukkan. "Aku... aku telah berdosa. Aku telah menodai nama baik perkumpulan. Aku
telah melanggar janjiku
kepada Kakek Gede...."
Melihat Wirogundi yang tampak mengalami
guncangan jiwa Surt? jadi terharu. Dia melangkah lebih dekat, lalu ditepuknya bahu Wirogundi. "Kuantar-kan kau ke Bukit
Pangalasan...."
"Tidak!" tukas Wirogundi seraya menepis tangan Surt?. "Aku sudah tak pantas lagi
menginjakkan kaki di Bukit Pangalasan. Aku tak pantas menjadi
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti dan
menjadi anak buah Suropati."
"Sadarlah, Wiro...," bujuk Surt? dengan suara lembut. "Kita menjadi perhatian
orang. Sebaiknya kita pergi dari tempat ini."
"Kau bunuh saja aku, Surt?. Ya, bunuhlah aku,
Surt?. Aku akan sangat berterima kasih bila kau mau
melakukannya...."
"Kau gila, Wiro! Aku tak akan membunuh sesama teman!" teriak Surt?, kaget.
"Tapi kau harus melakukannya, Surt?. Demi
kebaikan! Daripada hidup menanggung sesal berkepanjangan, lebih baik aku mati. Aku mohon kepadamu, Surt?. Bunuhlah aku. Tusuklah jantungku dengan
tongkat yang kau bawa itu...."
"Kau benar-benar gila, Wiro! Siapa yang mau
melakukan itu"!"
Wirogundi bangkit berdiri. Matanya menyorot
tajam menatap wajah Surt?. Dengus nafasnya terdengar memburu. "Kau bunuh aku, atau aku akan membunuhmu"!" Mendengar ucapan Wirogundi, Surt? terkejut bukan main. Beberapa lama dia
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Cepat tentukan pilihan, Surt?!" bentak Wirogundi "Aku tidak gila, Wiro. Aku
tidak akan menentukan pilihan!"
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Selesai berucap Wirogundi langsung menghantamkan kepalan tangannya ke dada Surt?.
Trak...! Surt? meloncat ke belakang seraya membuat
tangkisan dengan tongkat. Pergelangan tangan Wirogundi yang dialiri tenaga dalam penuh membuat tongkat gadis itu patah.
"Kau bunuh aku, atau aku akan membunuhmu, Surti"!"
Surt? tak menjawab pertanyaan Wirogundi. Hatinya dihantui ketakutan melihat Wirogundi mendengus seperti banteng terluka. Gadis itu bergerak mundur. "Karena kau tak bersedia menolongku, terpaksa aku akan membunuhmu, Surti.
Biar semua orang ta-hu kalau Wirogundi seorang penjahat yang sangat kejam!" Sambil menggeram keras, Wirogundi menerjang Surti dengan sebuah tendangan
ke arah dada. Surti
yang tak mau mati konyol segera meloncat jauh. Lalu
diputarnya dua patahan tongkat di tangannya. Ia hendak berjaga-jaga. Namun Wirogundi yang sudah lupa
diri menyerang gadis itu dengan ganas.
Bagaimanapun Surti mempertahankan diri, dia
bukanlah lawan yang seimbang bagi Wirogundi. Dengan satu kibasan telapak tangan Wirogundi berhasil
mementalkan dua patahan tongkat di tangan Surti.
Gadis itu tampak sangat ketakutan. Tubuhnya segera
dihemposkan untuk mengambil langkah seribu. Tapi,
Wirogundi telah mempersiapkan pukulan jarak jauhnya.... Blaaammm...!
Ledakan dahsyat membahana di angkasa. Debu
bercampur gumpalan tanah berhamburan mengaburkan pandangan. Pukulan jarak jauh Wirogundi yang
tak mengenai sasaran membuat kubangan dalam di
permukaan tanah.
Walau Surti bisa berkelit, tak urung dia terkena
angin pukulan. Tubuh gadis itu terpelanting lalu jatuh berdebam di atas tanah
sebelum terguling-guling, gadis yang malang itu baru berhenti berguling ketika
membentur kaki seorang lelaki tinggi gemuk berkepala botak. Pantang Mati!
"He-he-he.... Tanpa bersusah payah aku mendapatkan seekor kelinci yang sangat manis," kata manusia biadab itu.
Surti yang masih sadar segera bangkit. Namun,
sikap berdirinya tak sempurna. Kedua kakinya goyah
tak kuat menyangga beban tubuh. Sebelum dia jatuh
kembali, Kebo Ireng telah menyambarnya.
"Tolong...! Tolong...!"
Surti menjerit-jerit. Jeritan gadis malang itu segera terhenti ketika Pantang Mati menotok jalan darah di pangkal lehernya.
Menyaksikan adegan itu, Wirogundi tercekat.
Hati kecil pemuda kurus itu mendesaknya untuk segera menolong Surti. Tapi karena dia sedang mengalami
pukulan batin yang hebat, Wirogundi hanya berdiri
terpaku di tempatnya.
Beberapa lama pemuda kurus itu berdiam diri.
Setelah daya ingatnya bekerja kalau orang yang membawa lari Surti adalah orang yang dijumpainya saat
menolong Yaniswara. Wirogundi menjerit histeris. Tubuhnya dihemposkan mengejar Pantang Mati.
Gerak tubuh Wirogundi demikian cepat. Tubuh
pemuda kurus itu seperti melayang di udara. Hanya
sesekali menjejak tanah. Itu pun dilakukan dengan gerakan yang sangat ringan.
Wirogundi mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Belum sampai sepeminum teh Kebo Ireng telah
terkejar. Lelaki tinggi gemuk itu menggeram, lalu
menghentikan langkah dan memapak luncuran tubuh
Wirogundi dengan ilmu 'Serat Maut'.
Sraaattt...! Serat-serat putih menghujani tubuh Wirogundi.
Namun, dengan tangkas pemuda kurus itu menghemposkan tubuhnya ke atas seraya melancarkan tendangan lurus ke dada Pantang Mati.
Yang menjadi sasaran mendengus keras. Dengan sigap dia melontarkan tubuh Surti ke atas. Kemudian, kedua telapak tangannya disorongkan ke depan
memapak tendangan Wirogundi dengan pukulan jarak
jauh. Wirogundi yang tak menyangka akan diserang
demikian jadi terkejut setengah mati. Cepat dia menyadari keadaan, lalu melentingkan tubuhnya ke atas.
Pukulan jarak jauh Pantang Mati hanya mengenai sebatang pohon. Tak ayal lagi, batang pohon itu hancur menjadi kepingan-kepingan.
Bertepatan dengan mendaratnya kaki Wirogundi di tanah tubuh Pantang Mati melesat, dan menangkap tubuh Surti yang masih meluncur ke atas.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau"!" hardik Wirogundi melihat Kebo Ireng melarikan
diri sambil membopong Surti yang pingsan.
Pantang Mati terus berlari. Namun dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, Wirogundi melayang, dan mendarat
tepat dua tombak di hadapan
Pantang Mati. Lelaki tinggi gemuk itu terkejut. Karena tak
mau tubuhnya berbenturan dengan Wirogundi, dia segera menjejak tanah kuat-kuat untuk menghentikan
luncuran tubuhnya.
"Lepaskan gadis dalam pondonganmu itu!" hardik Wirogundi.
Pantang Mati menyeringai dingin. Matanya berkilat tajam. Perlahan-lahan dia menurunkan tubuh
Surti, lalu dilemparkan ke arah Wirogundi.
"Bangsat!" umpat Wirogundi seraya mengembangkan kedua tangan untuk menyambut tubuh Surti.
Mendadak, Pantang Mati menyorongkan telapak tangan kanannya. Serat-serat putih meluncur deras. Sambil membopong tubuh Surti, Wirogundi meloncat tinggi. Tubuh pemuda kurus itu lalu meluncur
cepat bagai lesatan anak panah lepas dari busur.
Dheeesss...! Dengan telak tendangan Wirogundi bersarang
di dada Kebo Ireng. Tubuh lelaki tinggi gemuk itu terlontar jauh dan membentur
sebatang pohon besar
hingga tumbang.
Perlahan-lahan Wirogundi menurunkan tubuh
Surti di tanah berumput. Gadis itu tak menderita luka yang berarti. Wirogundi
segera melangkah mendekati
Pantang Mati yang berdiri terhuyung-huyung.
"Aku akan bertempur denganmu sampai salah
satu nyawa di antara kita melayang ke neraka, Kerbau Busuk!" kata Wirogundi
dengan suara lantang.
"Ha-ha-ha....!" Kebo Ireng tertawa bergelak.
"Rupanya kau sangat merindukan jilatan api neraka, Kelinci Liar! Surga memang
tak layak menerima gem-bel busuk sepertimu!"
Sambil berkata demikian, Pantang Mati menyorongkan kedua telapak tangannya. Timbul serat-serat
putih melesat bagai lesatan jala!
*** 7 Di tepi sebuah hutan kecil Suropati tampak
berlari-lari. Di belakangnya Ingkanputri mengejar
sambil berteriak-teriak.
"Suro...! Suro...!"
"Uh! Kenapa kau mengikutiku terus"!"
"Kau tidak sepenuh hati membantuku, Suro"!"
"Siapa bilang" Bukankah kau sudah dapat
menghimpun tenaga prana?" bentak Suropati.
"Tapi belum sempurna, Suro!"
"Kalau kau mengejar kesempurnaan, di dunia
ini tidak ada yang sempurna!" Suropati mengeluarkan kata-kata bijak.
"Iya. Tapi menurut Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi, masih ada seperempat bagian lagi yang harus kupelajari."
Pengemis Binal menghentikan langkah. "Lalu,
maumu apa?"
"Kau harus membantuku menghimpun tenaga


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prana sampai tuntas!"
"Siapa yang mengharuskan?" tanya Suropati
tak senang. "Kakek Gede."
"Kakek Gede tidak mengharuskan. Hanya menyarankan!"
"Iya, tapi...."
"Tidak ada kata 'tapi-tapian'! Aku harus segera mencari Wirogundi. Sebagai
Pemimpin Perkumpulan
Tongkat Sakti, aku harus bisa bertindak adil. Aku harus menghukum setiap anggota
perkumpulan yang
bersalah!" ucapan Suropati terdengar tak menghendaki bantahan.
"Bukankah Kakek Gede telah mencari Wirogundi, Suro" Dan, kita dimintanya untuk menghukum
Pantang Mati," Ingkanputri berusaha mengingatkan pesan Gede Panjalu sebelum
pergi. "Aku akan mencari manusia biadab itu setelah
kutemukan Wirogundi."
"Huh! Ternyata, kau seorang pemimpin yang
tak patut menjadi panutan. Kau terlalu mengikuti naf-su pribadimu!" rungut
Ingkanputri jengkel.
Mata Suropati mendelik. "Apa kau bilang"!"
"Kakek Gede telah membagi tugas. Dia mencari
Wirogundi. Dan kita mencari Pantang Mati. Kenapa
kau tidak menjalankan tugasmu" Apakah Yaniswara
yang hendak diperkosa Wirogundi itu kekasihmu sehingga kau begitu bernafsu untuk menghukum Wirogundi"!"
Pengemis Binal tercekat. Dadanya terasa sesak.
Ucapan Ingkanputri menampar perasaannya dengan
telak. Melihat mata Ingkanputri menatapnya dengan
penuh kemarahan, mendadak kekonyolan Suropati
muncul. Dia pun tertawa terkekeh sambil menggarukgaruk kepala. "Tawamu itu tak lucu, Suro!" bentak Ingkanputri.
"Aku memang tak hendak membuat lelucon.
Tapi, ehm...."
Pengemis Binal memonyongkan bibirnya. "Kau
sangat cantik, Putri. Apalagi kalau sedang marahmarah begini...."
"Rayuan gombal!"
"Yah, baiklah...," kata Suropati sambil menggaruk-garuk kepala. "Aku urungkan
niatku untuk mencari Wirogundi. Sekarang juga kita cari Kebo Ireng."
"Dengan tenaga prana yang belum ku kuasai
secara sempurna dapatkah kita mengalahkan manusia
biadab itu?" Ingkanputri merasa ragu.
"Kenapa tidak" Kau meragukan kemampuan
ku?" "Jangan sombong, Suro!" sentak Ingkanputri.
"Kau ikut mencari Pantang Mati atau tidak" Segera ikuti aku, itu lebih baik!"
Usai berucap Suropati langsung menghemposkan tubuh. Ingkanputri menggerutu panjangpendek sambil berlari mengejar
"Jangan cepat-cepat, Suro!" teriak gadis cantik
itu karena merasa tertinggal.
Pengemis Binal menghentikan langkahnya. Bukan karena teriakan Ingkanputri, tapi karena dia mendengar suara ledakan.
"Kau dengar itu, Putri?" tanya remaja konyol itu.
"Ya. Di hutan sebelah sana. Sepertinya sedang
berlangsung pertempuran dahsyat."
Tanpa meminta persetujuan dari Ingkanputri,
Pengemis Binal segera menghemposkan tubuhnya
kembali. Ingkanputri yang berteriak-teriak tak dipedu-likannya.
Sementara itu, pertempuran antara Wirogundi
dan Kebo Ireng berlangsung demikian hebat. Puluhan
batang pohon bertumbangan. Sebagian dari batang
pohon-pohon itu menjadi serpihan-serpihan kecil keti-ka tertimpa pukulan jarak
jauh yang nyasar. Tanah di sekitar arena pertempuran tak lagi rata. Di sana-sini
terlihat kubangan-kubangan dalam. Serat-serat putih
berperekat tampak menempel pada ranting-ranting
pohon yang masih berdiri. Suasana di tempat itu seperti sarang laba-laba raksasa saja.
"Ku rejam tulang-belulang mu, Kelinci Liar!"
Hardik Pantang Mati seraya melancarkan ilmu 'Serat
Maut' "Makanlah ini, Kerbau Busuk!" sambut Wirogundi tak kalah pedas.
Melihat serat-serat putih meluncur ke arahnya,
pemuda kurus itu bersalto beberapa kali ke belakang.
Saat kakinya mendarat di tanah dia telah berdiri dengan tubuh tertutup sebongkah
batu sebesar kerbau.
Kemudian, batu itu ditendangnya.
Wuuusss...! Batu terjerat serat-serat putih hingga tertahan
di udara. Wirogundi mendengus. Lalu tubuhnya dihemposkan. Wirogundi melesat cepat dengan kedua pergelangan tangan terjulur ke depan. Ketika telapak tangannya menyentuh batu yang masih tertahan di udara,
Wirogundi menghentak. Batu pun meluncur deras ke
arah Pantang Mati.
"Keparat kau, Cacing Ani!!" umpat Kebo Ireng.
Lelaki tinggi gemuk itu membuka kakinya lebar-lebar dengan kedua tangan menyorong ke depan.
Hendak dipapaknya batu sebesar kerbau yang didorong Wirogundi.
Blaaarrr...! Ledakan sangat dahsyat membahana di angkasa. Tertindih oleh dua tenaga dalam yang disalurkan
dengan kekuatan penuh, batu besar hancur luluh
menjadi abu. Tubuh Wirogundi terus melesat. Telapak tangannya membentur telapak tangan Pantang Mati. Dua
kekuatan tenaga dalam pun bertemu langsung. Sekali
lagi timbul ledakan dahsyat yang mengguncangkan
tempat itu. Batu-batu bercampur gumpalan tanah terlontar ke angkasa. Pohon-pohon yang berada di dekat
pusat ledakan tercabut sampai ke akar-akarnya lalu
terlontar jauh.
Wirogundi pun terhempas bagai dilemparkan
tangan raksasa. Namun, pemuda kurus itu masih dapat menguasai gerak tubuhnya. Dengan bersalto beberapa kali di udara, dia dapat mendarat di tanah dengan selamat. Ketika bangkit berdiri kedua kaki Wirogundi
bergerak-gerak bagai orang mabuk. Wirogundi mendekap dadanya yang sesak. Mata pemuda kurus itu
mendelik. Pipinya menggembung menahan cairan darah. Tapi cairan darah itu terlalu banyak, Wirogundi tak mampu menahannya lagi.
Darah menyembur keluar dari mulut dengan begitu deras.
"Ha-ha-ha...! Sudah kubilang, kau saja yang
pergi ke neraka!"
Dengan langkah tegap Pantang Mati mendekati
Wirogundi. Jemarinya yang besar-besar terjulur seperti hendak memuntir kepala
pemuda kurus di hadapannya. Wirogundi terkesiap. "Kerbau Busuk! Kita akan mati
bersama-sama!"
Usai berucap, pemuda kurus itu menerjang
dengan nekat. Untuk kesekian kali ledakan dahsyat
membahana. Pertemuan dua tenaga dalam membuat
tubuh Wirogundi terbanting ke tanah. Walaupun tenaga dalam pemuda kurus itu unggul satu tingkat, tapi
karena telah menderita luka dalam maka kekuatannya
jadi berkurang. Dengan sisa-sisa tenaganya Wirogundi berusaha bangkit berdiri.
Namun tubuhnya mendadak
terkulai lemas dalam keadaan pingsan.
Kebo Ireng tertawa penuh kemenangan. "Malaikat penjaga pintu neraka telah menantimu, Kelinci
Liar!" Lelaki tinggi gemuk itu menghemposkan tubuh ke atas. Saat tubuhnya
meluncur turun kaki kanannya
siap dijejakkan ke dada Wirogundi yang telentang. Se-jengkal lagi nyawa
Wirogundi akan lepas dari raga.
Namun, tiba-tiba seberkas cahaya kebiruan melontarkan tubuh Pantang Mati.
"Kau tidak berhak menghukumnya, Manusia
Biadab!" Berbarengan dengan teriakan tubuh Pantang
Mati membentur sebatang pohon hingga tumbang. Lelaki tinggi besar itu bergegas bangkit. Matanya tampak
berkilat tajam menatap seorang remaja tampan berpakaian penuh tambalan yang tak lain Suropati atau
Pengemis Binal.
"Kau mengganggu keasyikan ku lagi, Gembel
Busuk!" umpat Pantang Mati.
"Tak layak kau berkata seperti itu! Lihat mukamu yang seperti kerbau kudisan!" tukas Suropati.
"Kaulah kerbau kudisan itu!"
"Kau manusia edan!" balas Suropati tak mau kalah. "Kau manusia...."
"Baik hati," sela Pengemis Binal sambil tersenyum. Kebo Ireng menggerutu. Lalu
memukul-mukul dadanya dalam kemarahan yang meluap. "Setan Alas!
Setan Bengal! Setan Busuk! Setan keparaaattt...!"
Pengemis Binal tertawa terkekeh melihat kelakuan calon lawannya. "Setan apa lagi, hayo?" godanya.
"Kulumat tubuhmu!"
Pantang Mati meloncat dengan kedua tangan
terpentang lebar. Saat tubuhnya melayang di udara dia menepukkan kedua telapak
tangan. Timbullah asap hitam yang menutupi pandangan.
Suropati menajamkan pendengaran. Dia tahu
Pantang Mati hendak menyerangnya dalam kegelapan
itu. Bergegas Pengemis Binal melenting ke udara dengan kaki kanan meluncur lurus.
Dhes...! Punggung Pantang Mati tertendang dengan telak. Lelaki tinggi besar itu jatuh tersungkur. Kepalanya yang botak menancap ke
dalam tanah. "He-he-he...!" Suropati tertawa terkekeh. "Rasain, Manusia Biadab!"
Remaja konyol itu menertawakan kepala Kebo
Ireng yang menancap dalam sampai ke pangkal leher.
Kedua kaki Kebo Ireng meronta-ronta ke atas sedangkan tangannya memukul-mukul tanah.
Pengemis Binal menangkap kedua kaki lelaki
tinggi besar itu. Kemudian, dengan kekuatan penuh di dorongnya ke bawah. Tubuh
Pantang Mati amblas ke
dalam tanah, hingga yang terlihat tinggal kakinya.
Belum puas dengan yang dilakukan, Suropati
meloncat ke atas lalu menjejak telapak kaki Pantang
Mati. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi-besar itu benar-benar lenyap di telan bumi!
"Rasain!" ujar Suropati sambil tersenyum simpul.
Namun sesaat kemudian remaja konyol itu terkejut. Tanah di sekitar tempatnya berdiri berderakderak.... Swooosss...! Tubuh Kebo Ireng muncul dari dalam tanah.
Ketika masih melayang di udara, dia tertawa terbahak-bahak. Seraya melancarkan
tendangan maut ke arah
Suropati. Remaja konyol itu menangkis. Tangan kirinya
lalu menghantam dada. Tapi Pantang Mati dapat
menghindar. Digebraknya kepala Pengemis Binal.
Wuuuttt...! Telapak tangan Kebo Ireng hanya mengenai angin kosong. Lelaki tinggi besar itu menggeram-geram
penuh kemarahan. Darahnya naik sampai ke ubunubun. Bola matanya mendelik bagai hendak keluar
dari rongga. "Kalau kau marah, tampangmu mirip monyet
dibedaki!" ejek Suropati.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Pantang mati. Hanya geram laksana harimau mengiringi
terjangan lelaki tinggi-besar itu.
Suropati membuka kakinya lebar-lebar. Kedua
telapak tangannya disorongkan ke atas. Saat tubuhnya melayang ke udara, dia
membuat tendangan melingkar
dengan berlambarkan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan.' Namun, kaki kanan remaja konyol itu bergetar keras. Pantang mati telah
menangkis dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Mendadak sebuah teriakan muncul. "Aku datang, Suro...!"
Sesosok bayangan berkelebat dan langsung
menerjang Kebo Ireng dengan serangan bertubi-tubi.
"Bagus, Putri!" puji Pengemis Binal melihat kehadiran Ingkanputri.
Dalam puncak kemarahannya wujud Pantang
mati seakan berubah menjadi makhluk yang sangat
mengerikan. Walau sudah tua, tubuh lelaki tinggibesar itu menampakkan otot-otot bertonjolan. Pakaiannya yang semula hanya berupa serpihan kain telah tanggal. Otot-otot tubuhnya terlihat begitu kentara.
Matanya berkilat-kilat dengan mulut selalu menyeringai. Air liur menetes-netes bersamaan suara geramnya.
Berkali-kali tubuh Pantang Mati terkena tendangan maupun pukulan kedua lawannya. Namun,
berkali-kali pula dia bangkit dengan lengking kemarahan yang mendirikan bulu
roma. Lewat sepuluh jurus
kemudian, Pengemis Binal meloncat menjauhi arena
pertempuran. "Mundurlah, Putri!" teriak Suropati.
Namun, Ingkanputri tak menghiraukan teriakan remaja konyol itu. Dia terus mencecar Pantang
Mati dengan serangan-serangan lebih hebat.
"Jangan bodoh, Putri!" teriak Suropati. "Dia tak akan mati bila kau hanya
mengandalkan ilmu silat biasa!" Bertepatan dengan selesainya teriakan Suropati,
Ingkanputri berhasil menyarangkan pukulan ke dada Pantang Mati. Pukulan 'Api Neraka' yang dilancarkan Ingkanputri berhasil melontarkan tubuh Kebo
Ireng dalam keadaan hangus terbakar!
Namun, lelaki tinggi besar itu segera bangkit
berdiri. Kulitnya yang melepuh dan sebagian terkelupas perlahan-lahan kembali seperti sediakala.
"Saat kugunakan ilmu sihirku, kau lancarkan
tenaga pranamu, Putri...," kata Pengemis Binal memberi petunjuk.
"Baik, Suro!" ujar Ingkanputri seraya meloncat ke sisi Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu. "Akan kuremukkan kepalamu dan kutenggak darahmu,


Pengemis Binal 09 Bangkitnya Kebo Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelinci-kelinci liar!" hardik Pantang Mati.
Lelaki tinggi besar itu bergerak menerjang. Tapi
gerakannya tertahan oleh kekuatan kasatmata yang
muncul dari pengerahan ilmu sihir Suropati. Bola mata Pantang Mati semakin melotot. Tulang-belulangnya
seperti dilolosi hingga seluruh tenaganya lenyap.
Saat itulah Ingkanputri mengeluarkan tenaga
prana yang berhasil dihimpunnya. Untuk kedua kali
kekuatan kasatmata menghantam tubuh Kebo Ireng.
Lelaki tinggi besar itu menjerit keras. Batu-batu
bercampur gumpalan tanah berhamburan mengaburkan pandangan. Tubuh Pengemis Binal dan Ingkanputri bergetar hebat bagai terserang demam. Keringat
dingin mengucur deras dari sekujur tubuh mereka.
Namun, usaha Suropati dan Ingkanputri tak
sia-sia. Asap tipis mengepul dari kepala Pantang Mati.
Bersamaan dengan itu tenaga gaib yang melindungi
tubuhnya berangsur-angsur lenyap. Sebelum tubuh lelaki tinggi besar itu jatuh ke tanah, Pengemis Binal melancarkan pukulan jarak
jauh. Blaaarrr...! Tubuh Pantang Mati hancur-lebur menjadi serpihan daging berbau anyir. Suropati dan Ingkanputri
saling bertatapan.
"Kita berhasil, Suro," ucap Ingkanputri dengan penuh perasaan lega.
"Ya, Putri. Kita berhasil."
Suropati lalu memeluk tubuh Ingkanputri. Karena terbawa perasaan gembira yang meluap, mereka
jadi lupa segala-galanya. Apalagi saat bibir mereka bertemu dan saling memagut.
Tanpa mereka sadari, kepala Pantang Mati yang
telah berwujud mengerikan menggelinding-gelinding di tanah, lalu melayang dengan
kecepatan tinggi!
"Awas...!"
Sebuah teriakan mengejutkan Suropati dan Ingkanputri. Melihat benda bulat meluncur ke arah mereka, dua anak manusia itu segera meloncat jauh.
"Ha-ha-ha...." Kepala Pantang mati mengeluarkan suara tawa. "Rupanya disini
telah hadir kelinci-kelinci busuk yang mencari mati!"
Ingkanputri menjerit ngeri melihat kepala Kebo
Ireng melayang-layang di udara. Suropati menoleh ke
arah Gede Panjalu dan Bima Naweleng yang telah hadir di tempat itu.
"Tenaga prana Ingkanputri belum sempurna
dihimpunnya, Suro. Pantang Mati tetap tak bisa mati,"
beritahu Gede Panjalu.
"Siapa bilang"!" tukas Pengemis Binal. Kemudian, dia mengeluarkan Pedang Perak
Lentur dari balik
bajunya. Set...! Saat remaja konyol itu mengerahkan tenaga dalam, pedang yang semula bergulung jadi menegang.
Berwujud seperti pedang pada umumnya.
"Berdiamlah di tempatmu!" teriak Suropati keras pada kepala Pantang Mati dengan
dilambari kekuatan ilmu sihir.
Kepala Pantang Mati yang semula melayanglayang langsung berhenti. Pengemis Binal segera
menghemposkan tubuh.
Crash...! Crash...! Crash...!
Pedang di tangan remaja konyol itu berkelebatan. Kepala Pantang Mati bercacah menjadi cuilan daging bercampur tulang dan
darah! Ternyata, Pantang Mati masih bisa mati!
*** Hening menyelimuti tempat itu. Tak ada burung yang terbang di angkasa. Sementara sinar mentari begitu menyengat. Satwa-satwa lain pun tak ada
yang berani mendekat. Mereka ngeri melihat bekas
arena pertempuran yang demikian kacau. Bukan
hanya tanah yang berkubang-kubang. Puluhan pohon
besar bertumbangan dan bau anyir darah menghambat jalan pernafasan.
Suropati mendekati Wirogundi yang masih tergeletak pingsan. Luka memar tampak di sekujur tubuhnya bercampur darah kering. Tapi, Suropati tak
hendak memberi belas kasihan. Dengan beberapa totokan dia membuat Wirogundi siuman.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Wiro!" kata Pengemis Binal dengan suara bergetar. "Suro...," desis Wirogundi seraya menubruk ka-ki Suropati.
"Ratapan mu tak dapat menghapus dosa yang
telah kau lakukan, Wiro."
"Aku... aku memang patut dihukum, Suro. Bunuhlah aku! Bunuhlah segera, Suro...."
"Tanpa kau minta aku akan memenggal kepalamu. Perbuatanmu melebihi kebiadaban binatang!"
Wirogundi terdiam. Dengan penuh ketabahan
dia merangkak mundur. Lehernya dijulurkan untuk
bersiap menerima hukuman dari Suropati.
Suropati pun mengangkat Pedang Perak lentur
tinggi-tinggi. Namun, pedang itu turun kembali secara perlahan-lahan. Bayangan
masa kecilnya bersama Wirogundi muncul di benak Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Masa kecil mereka penuh kebahagiaan. Suropati yang yatim piatu menganggap Wirogundi sebagai kakak. Demikian pula sebaliknya. Wirogundi yang juga yatim piatu menganggap Suropati
sebagai adik sendiri.
Wirogundi begitu menyayangi Suropati. Dia tidak pernah rela melihat Suropati kecil menderita lapar.
Dengan mengemis, Wirogundi mencarikan sesuap nasi.
Bahkan, seringkali Wirogundi tak makan seharian karena jatah makannya diberikan kepada Suropati. Semua itu dilakukan Wirogundi karena rasa sayangnya.
Sebelum Suropati bertemu dengan Periang Bertangan Lembut, gurunya yang telah meninggal, dia
pernah ditolong oleh Wirogundi. Kala itu Suropati masih berumur sepuluh tahun.
Di Bukit Argapala dia dipatuk ular berbisa. Wirogundi membawanya ke seorang tabib di kota Kadipaten Bumiraksa.
Wirogundi mendongakkan kepala namun segera dirundukkan kembali.
"Kenapa kau tidak segera memenggal kepalaku,
Suro" Mungkin kau tidak tega melakukannya. Tapi,
kau harus ingat, kau adalah seorang pemimpin. Tegakkan keadilan, Suro. Siapa yang salah harus dihukum. Dosaku sangat besar. Aku layak untuk dihukum
mati. Segera jatuhkan hukuman untukku, Suro...."
"Tidaaakkk...!"
Suropati menjerit keras. Lalu dipeluknya tubuh
Wirogundi. Gede Panjalu berjalan mendekat. "Minggir kau, Suro!"
Suropati tercekat. Melihat kesungguhan sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu, dia melangkah mundur. Gede Panjalu mengambil Pedang Perak Lentur yang terjatuh dari tangan Suropati. Pedang yang telah menegang itu
diangkatnya tinggi-tinggi.
"Akulah yang akan menjatuhkan hukuman kepadamu, Wiro!"
"Aku menerima, Kek...," kata Wirogundi seraya menjulurkan lehernya ke hadapan
Gede Panjalu. Surti yang telah tersadar dari pingsannya terkejut melihat adegan yang sedang berlangsung. Dia hendak berkata-kata, tapi tak dapat. Pangkal lehernya
masih terkena totokan Kebo Ireng. Karena tak tega melihat Wirogundi mati dengan
kepala terpenggal, dia meloncat dan mendekap kaki Gede Panjalu erat-erat.
Gede Panjalu terkesima melihat Surti menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata mengalir deras.
Setelah tahu gadis itu dalam pengaruh totokan, Gede
Panjalu segera membebaskannya.
"Ampuni Wirogundi, Kek...," pinta Surti begitu dapat mengeluarkan suara.
"Kau tak tahu apa yang telah dilakukan Wirogundi, Surti...," kata Gede Panjalu dengan suara lembut. "Kau menyingkirlah.... Wirogundi sudah layak mendapat hukuman mati."
"Tidak! Wirogundi tak boleh mati!"
"Wirogundi bukan hanya hampir merusak kehormatan seorang gadis, dia pun telah melanggar janjinya kepadaku. Maka dari itu, kau jangan menghalangiku untuk menjatuhkan hukuman kepadanya!"
"Tidak! Tidak, Kakek Gede! Ampuni Wirogundi...." Melihat Surti yang nekad, Gede Panjalu mengibaskan telapak tangan kiri.
Serangkaian angin pukulan membuat tubuh Surti terlontar dan jatuh pingsan.
Gede Panjalu kembali mengangkat Pedang Perak Lentur tinggi-tinggi. Siap menebas leher Wirogundi!
"Tahan...!"
Sebuah teriakan menghentikan gerakan Gede
Panjalu. Semua mata memandang ke arah asal suara.
Sesosok bayangan melesat dan mendarat di hadapan
Gede Panjalu. "Bila menjatuhkan hukuman mati terhadap Wirogundi, kau akan menyesal seumur hidup, Kek....,"
kata gadis itu yang ternyata Yaniswara.
"Siapa kau?" tanya Gede Panjalu.
"Aku Yaniswara. Kalian semua salah sangka.
Wirogundi tidak merenggut kehormatanku. Dia khilaf
karena wajahku sangat mirip dengan mendiang kekasihnya." "Jadi, kau belum di...."
"Benar. Dari Kademangan Maospari, Wirogundi
membawaku ke Dusun Paldaplang. Sesampainya di
sana aku siuman. Ketika aku menyebut-nyebut nama
Suropati, Wirogundi sadar dari khilafnya. Lalu, dia
memohon ampunan kepadaku. Bahkan meminta aku
untuk membunuhnya. Tentu saja aku menolak. Aku
lari meninggalkannya...."
"Benar itu, Wiro?" tanya Gede Panjalu kepada Wirogundi.
Pemuda kurus itu mengangguk lemah. Lalu katanya pelan, "Aku tetap bersalah, Kek. Aku hampir saja menodainya. Aku tetap
harus menerima hukuman...."
Gede Panjalu menarik napas panjang. "Rupanya kematian Anjarweni benar-benar memukul jiwamu, Wiro. Untuk menghilangkan semua ingatan burukmu, bertapalah selama empat puluh hari empat puluh malam di Danau Ular."
"Kau belum menghukumku, Kek...."
"Itulah hukumanmu, Wiro," sahut Gede Panja-lu.
Mendadak, Suropati meloncat lalu menyambar
Pedang Perak Lentur di tangan Gede Panjalu. Disodorkannya pedang itu ke hadapan Yaniswara.
"Pedang pusaka ini milikmu, Yani...," kata remaja konyol itu.
"Terima kasih, Suro," Yaniswara menerima Pedang Perak Lentur dari tangan pemuda
itu. Suropati mengeluarkan sebuah benda hitam
dari balik bajunya. Disodorkan pula kepada Yaniswara.
"Semoga rompi pusaka ini tak pernah berpisah lagi denganmu."
"Terima kasih, Suro..."
Suropati lalu mendekap bahu Yaniswara, dihadiahkannya gadis itu kecupan mesra.
"Terima kasih, Suro..." bisik Yaniswara.
SELESAI Segera terbit :
CINTA BERNODA DARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Golok Yang Menggetarkan 17 Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Pendekar Pemetik Harpa 19

Cari Blog Ini