Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran Bagian 2
"Pak tua, semua yang kau katakan benar
adanya. Tapi, apakah tebakanmu ini menyimpan
maksud tersembunyi" Menilik perbuatanmu,
menciptakan gelombang angin, yang hampir saja
mencelakakan diriku, mau tak mau aku mesti
berhati-hati. Katakan terus terang apa makna di
balik ucapanmu bahwa kau ingin menjajal kemampuan Pengemis Binal!" selidik Suropati.
"Kita hajar saja orang tua yang sok itu, Su-ro! Tidakkah kau merasa harga dirimu
diinjak- injak"!" sela Jatiwulung.
Kepala Pengemis Binal menoleh ke kanan.
Ditatapnya wajah Jatiwulung yang tampak uringuringan. Jatiwulung hendak menyambung ucapannya. Namun saat bersirobok pandang dengan
Pengemis Binal, dia jadi jengah. Cepat mukanya
dia palingkan. "Ha ha ha...!" Peramal Sakti tertawa bergelak. "Apakah kau hendak menuruti
permintaan kawan barumu itu, Suro" Bila kau berkeinginan
hendak menghajar diriku pula, sama saja dengan
membuat urusanmu makin ruwet. Bukankah kau
hendak ke suatu tempat untuk menemui seseorang" Berpikirlah masak-masak terlebih dahulu
agar waktumu tidak tersita."
"Jangan dengarkan bualannya, Suro. Sampai di mana pun kesaktiannya, bila kita keroyok, dia akan tahu rasa!" ujar
Jatiwulung, tanpa men-garahkan pandangan ke Pengemis Binal. Dia biarkan anak-anak rambutnya menutupi wajahnya.
Sepertinya, dia menyembunyikan sesuatu terhadap Pengemis Binal.
Suropati tak begitu memperhatikan sikap
Jatiwulung yang caping bututnya telah melayang
terbawa tiupan angin itu. Tak ditanggapinya pula kata-kata pemuda dekil itu.
Suropati bisa menilai sikap Peramal Sakti yang tampaknya tak hendak
menanam benih permusuhan itu.
"Bila kau memang benar-benar datang
dengan maksud baik, apakah aku bisa meminta
sedikit bantuanmu. Karena beberapa ramalanmu
tepat, aku percaya bahwa kau akan dapat menunjukkan tempat orang yang bergelar Pangeran
Sadis. Pemuda jahat itulah yang telah membuat
rasa sedih dalam hatiku."
Mendengar kalimat Pengemis Binal, Jatiwulung tersenyum. Tapi, cepat dia menutup mulutnya karena tak ingin Pengemis Binal mengetahui. Sementara, Peramal Sakti malah tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Bangga rasa hatiku dimintai
bantuan seorang tokoh terkenal macam Pengemis
Binal sang Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Namun sebelum memberikan bantuan, aku ingin mengajukan pertanyaan. Harap
kau jawab sejujurnya."
"Kalau hanya menjawab sebuah pertanyaan, apa susahnya" Tapi kukira, tanpa bertanya pun kau tentu sudah tahu. Kenapa, aku
percaya kau bisa menebak dengan tepat."
"Benar apa yang kau katakan, Suro. Aku
memang bisa menebak tepat. Namun, yang aku
ingin kau mengucapkan sendiri apa yang hendak
kuketahui."
Setelah garuk-garuk kepala sebentar, Suropati mengangguk setuju. Sementara, Jatiwulung yang berdiri di kanannya tampak mendekap
mulut kuat-kuat. Sepertinya dia merasa geli melihat anggukan Suropati.
Peramal Sakti terdengar batuk-batuk, lalu
dia segera menyampaikan pertanyaannya. "Siapakah sebenarnya putri bangsawan,
yang keper- giannya membuat dirimu sangat kehilangan itu,
Suro?" "Dewi Ikata," jawab Pengemis Binal, tegas.
Bibir Peramal Sakti menyungging senyum
tipis. Sementara, Jatiwulung tampak mencuri
pandang ke wajah Pengemis Binal.
"Dewi Ikata...," desis Peramal Sakti. "Apakah kau mencintai gadis yang bergelar
Pendekar Wanita Gila itu?"
Mengelam paras Suropati seketika mendengar pertanyaan lelaki tua itu. Sesaat dia ragu untuk menjawab. Tapi, akhirnya
terdengar juga jawaban lirih dari mulutnya. "Ya. Aku mencintai Dewi Ikata."
"Sungguh?"
"Sungguh. Kalau aku berbohong, untuk
apa aku bertanya kepadamu di mana Pangeran
Sadis berada. Dialah pembunuh Dewi Ikata. Aku
akan membalas kekejamannya agar Dewi Ikata
bisa tenang di alam baka."
Mendengar kata-kata tegas Pengemis Binal,
mendadak Jatiwulung meloncat seperti orang
tengah merasakan kegembiraan yang sangat.
Pengemis Binal mengerutkan kening melihat ulah
aneh pemuda dekil itu. Tanpa sadar dia garukgaruk kepala, lalu merutuk, "Gila!"
Dari balik rambut riap-riapnya, mendadak
Jatiwulung menatap tajam wajah Pengemis Binal.
"Siapa yang kau katakan gila"!" bentaknya.
"Kau!" sahut Suropati, tak kalah keras.
"Aku" Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak, lalu meloncat-loncat lagi.
"Karena luapan rasa gembira, orang memang bisa gila. Ha ha
ha...!" Suropati mendengus gusar. Tapi, dia tak mau melayani ulah Jatiwulung.
Cepat dia alihkan
pandangan ke Peramal Sakti seraya berkata, "Aku telah menjawab pertanyaanmu
dengan jujur. Sekarang, tunjukkan di mana Pangeran Sadis berada." Peramal Sakti tersenyum tipis. Dibenarkannya letak topi perseginya.
"Sebelum kukatakan di mana pembunuh Dewi Ikata itu berada,
ada baiknya bila kau turuti nasihatku. Jangan
cari dia sebelum kau datang ke Bukit Hantu."
"Hmmm.... Apakah kau juga mengkhawatirkan keselamatanku" Apakah kau kira aku tak
akan mampu melawan kesaktian Pangeran Sadis?" selidik Suropati.
"Bisa jadi begitu. Tapi, aku cuma dapat
memberi nasihat. Mau kau jalankan atau tidak,
terserah kau."
"Hmmm.... Ada baiknya juga kuturuti nasihat peramal itu," kata hati Pengemis Binal.
"Memang, aku tak boleh gegabah menghadapi
Pangeran Sadis. Tanpa petunjuk dari Datuk Risanwari, aku tak yakin akan dapat mengalahkan
pemuda jahat itu. Kekalahan Arumsari dan Banjaranpati bisa dijadikan pengalaman."
"Hei! Apa yang kau pikirkan, Suro?" tegur Peramal Sakti melihat Pengemis Binal
tampak merenung. "Tentu dia sedang memikirkan bagaimana
kau bisa tahu perihal Pangeran Sadis, Pak Tua,"
sela Jatiwulung sambil mengulum senyum.
"Aku tak butuh pendapatmu!" bentak Pengemis Binal, jengkel.
"Hei! Kau jangan marah-marah terhadap
kawan barumu itu, Suro. Pada saatnya nanti kau
pasti akan menyesal!" seru Peramal Sakti.
Kening Suropati berkerut tajam. Ditatapnya wajah Jatiwulung lekat-lekat. Tapi, pemuda
dekil itu cepat memalingkan muka.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Suropati, keras membentak.
"Saat ini, kau tak perlu tahu siapa dia," Peramal Sakti yang menyahuti.
Sementara, Jatiwulung terlihat melangkah beberapa tindak, lalu duduk di bongkahan batu.
"Kalau begitu, kau pasti tahu siapa sebenarnya pemuda jelek bernama Jatiwulung itu,
Pak Tua," ujar Pengemis Binal.
Untuk kesekian kalinya bibir Peramal Sakti
tersenyum tipis. Ditatapnya sebentar langit cerah sore hari. Lalu, dia
mengangguk-angguk. "Kita tak perlu membicarakan kawan barumu itu. Aku tak
punya waktu banyak. Kupikir, kau juga segera
ingin tahu di mana Pangeran Sadis berada. Bukankah begitu, Suro?"
"Ya," sahut Suropati, cepat. Hatinya masih
jengkel melihat ulah Jatiwulung.
"Hilangkan rasa jengkelmu. Segera datang
ke Bukit Hantu," ujar Peramal Sakti, dapat membaca isi hati Pengemis Binal.
"Lalu, datanglah ke Lembah Sungai Bayangan tiga hari lagi, terhitung mulai hari
ini. Temui Pangeran Sadis di sana."
Usai berkata, kaki kanan Peramal Sakti
menjejak lempengan batu. Tubuhnya melesat
amat cepat, laksana dapat menghilang. Suropati
memandang kepergiannya sambil garuk-garuk
kepala. Sementara, Jatiwulung terdengar tertawa
terbahak-bahak.
5 Sang Baskara tepat memayung di atas kepala. Namun demikian, sinarnya tak mampu menerobos rimbunan daun yang amat lebat. Hingga,
keadaan Bukit Hantu di siang hari senantiasa
remang-remang. Akar pepohonan besar yang tinggi mencuat ke atas mirip sekat-sekat penyimpanan mayat cukup mengundang rasa ngeri bagi
orang yang menginjakkan kaki di tempat itu.
Untuk menuju ke puncak, orang mesti melewati jalan yang amat berbahaya. Puncaknya
tinggi menjulang membentuk lembah-lembah curam di setiap lerengnya.
Namun, Suropati tak banyak mendapat kesulitan ketika sampai di puncak, walau jalan yang ditempuhnya berliku-liku dan
naik turun serta
melewati tanah berbatu-batu yang bisa membuat
tersesat. Selain berilmu tinggi, Suropati memang pernah datang ke Bukit Hantu.
Sehingga, semua
kesulitan dapat teratasi.
Puncak Bukit Hantu ternyata berupa tanah
datar, yang di beberapa bagian ditumbuhi pohon
trembesi. Keringat mengucur deras di sekujur tubuh Suropati. Demikian pula dengan Jatiwulung
yang berlari-lari di belakangnya. Suropati sebenarnya meninggalkan pemuda dekil
itu karena merasa jengkel melihat ulahnya yang terkadang
mirip orang gila. Tapi tampaknya, Jatiwulung nekat untuk mengikuti langkah Suropati. Karena
mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan,
maka dia juga tak mendapat banyak kesulitan
untuk dapat sampai ke puncak bukit
Suropati menghentikan langkah ketika
sampai di depan gua pertapaan yang bagian atasnya berupa tanah keras yang sudah membatu.
Jatiwulung turut menghentikan langkah. Suropati
yang masih menyimpan rasa jengkel tak menghiraukan sama sekali. Pandangannya menuju ke
kedalaman gua yang sunyi-senyap.
Walau pernah memasuki gua itu, tak
urung hati Suropati berdebar keras ketika kakinya menginjak mulut gua. Ditariknya napas
panjang berulang kali untuk menenangkan perasaan. Jatiwulung berbuat serupa. Namun hatinya
berdebar lebih keras, terlihat dari gerak tubuhnya yang seperti orang menggigil
ketakutan. Karena
tak mau tertinggal, cepat dia ikuti ke mana kaki
Suropati melangkah.
Kedalaman gua ternyata datar dan tak terlihat tonjolan batu kasar di lantainya. Semakin
jauh Suropati melangkah, keadaan gua semakin
terasa sunyi-senyap dan berhawa dingin
Setelah berputar-putar beberapa saat,
sampailah mereka di sebuah lorong lebar. Lorong
tersebut diapit oleh dinding batu yang ditumbuhi lumut tebal. Di sisi kanannya,
mereka mendapatkan sebuah lubang, yang merupakan sebuah
kamar. Suropati dan Jatiwulung segera memasukinya. Ternyata, kamar gua itu tidak terasa dingin. Sinar mentari menerobos masuk dari lubanglubang kecil yang terdapat di langit-langit. Hing-ga, kedua anak manusia itu
leluasa mengedarkan
pandangan. "Oh...!"
Tiba-tiba, Jatiwulung menjerit kaget. Wajahnya terlihat pucat-pasi seketika. Dia menuding ke sudut kamar. Dan, Suropati
pun turut terkejut luar biasa. Hingga, untuk beberapa lama dia cu-ma dapat
berdiri mematung dengan jantung berdetak kencang. Di tempat yang ditunjukkan oleh Jatiwulung itu ternyata terdapat kerangka manusia yang tengah duduk bersila di atas
lempengan batu. Sehelai kertas lusuh tampak terjepit di jari-jari tangan
kanannya. "Datuk Risanwari...!" jerit Suropati kemudian.
Mendadak, kerangka manusia yang sudah
lapuk itu ambruk terpisah-pisah. Sebagian tulangnya terpental ke dekat kaki Suropati dan Jatiwulung. Pemandangan yang cukup menyeramkan
itu membuat mereka bergidik ngeri. Semakin
memucat saja wajah kedua anak manusia itu. Jatiwulung yang tak kuasa mengendalikan rasa takutnya segera menggerakkan kaki untuk lari.
Namun, cepat Suropati mencekal lengannya.
"Tetaplah di sini!" ujar remaja tampan itu.
"Uh... untuk apa, Suro?" Jatiwulung me-ronta, tapi Suropati tak mau melepaskan
ceka- lannya. "Aku menduga kerangka itu adalah Datuk
Risanwari. Menurut dugaanku pula, Datuk Risanwari telah dibinasakan oleh seseorang yang
berilmu amat tinggi. Aku pernah mendengar se
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buah ilmu yang berasal dari daerah utara yang
bernama 'Pukulan Pelenyap Daging'. Kemungkinan besar Datuk Risanwari terkena ilmu sesat
itu, hingga tubuhnya tinggal tulang-belulang."
"Lalu, siapa kira-kira pemilik ilmu sesat
itu, Suro?" tanya Jatiwulung yang telah berhasil menghalau rasa takutnya.
"Aku menduga, orang itu bergelar Pangeran
Sadis." Mendengar jawaban Pengemis Binal, mendadak Jatiwulung mendekap mulut
seperti mena- han geli. Sedikit gelagapan dia lalu menyambung
pertanyaannya. "Ke... kenapa kau menduga demikian?" "Datuk Risanwari adalah tokoh sakti yang sukar sekali dicari
tandingannya. Belum pernah
aku berjumpa tokoh sakti yang melebihi ayah
kandung Gede Panjalu itu. Namun kemunculan
Pangeran Sadis, membuat aku berpikiran lain.
Kesaktian Datuk Risanwari berada di bawah Pangeran Sadis. Sehingga, dia berhasil membunuh
tokoh yang pernah berjaya dengan Perkumpulan
Pengemis Tongkat Naga-nya itu."
"Kau bisa berkata demikian, pernahkah
kau bertemu dengan Pangeran Sadis?"
"Belum. Tapi, aku bisa mengukur ketinggian ilmunya. Dewi Tangan Api dan Bayangan Putih Dari Selatan pun dapat dikalahkan dengan
mudah, walau mereka tak sampai terbunuh.
Bahkan...."
"Bahkan apa, Suro...?" kejar Jatiwulung, bersemangat.
"Aku... aku teringat Dewi Ikata. Aku kasihan sekali padanya. Biadab sekali perbuatan
Pangeran Sadis itu. Dia membunuh Dewi Ikata
dengan... dengan memenggal kepalanya...."
Melihat raut muka Pengemis Binal yang
mengeruh terbawa rasa sedihnya, cepat Jatiwulung mendekap mulutnya lagi. Namun kali ini, dia tak dapat menahan rasa gelinya.
Dia pun tertawa
terbahak keras sekali, hingga suaranya menggema di seluruh gua.
"Tutup mulutmu!" bentak Suropati yang
timbul lagi kejengkelannya.
"Uts...!"
Wesss...! Jatiwulung melempar tubuh ke kanan. Suropati menyambung bentakannya dengan tamparan, tapi hanya mengenai angin kosong. Karena,
gerakan tubuh Jatiwulung lebih cepat.
"Kenapa kau hendak menamparku, Suro"!"
tegur Jatiwulung. Walau suaranya keras membentak, tapi bibirnya menyungging senyum.
Jengkel hati Pengemis Binal tiada terkira.
Sambil bersungut-sungut, dia berjalan menghampiri. Mendadak, dia membalikkan badan. Terdengar suara mendesis. Jatiwulung mengerutkan
kening seketika. Sesaat pemuda dekil itu celingukan, lalu mendekap hidungnya
rapat-rapat. "Uh! Angsat au, Uro! Urang ajar!" maki Jatiwulung, tak jelas.
"He he he...!" Suropati tertawa terkekeh.
"Rasakan itu. Bila kau teruskan perbuatan gila-mu, tak segan aku mengeluarkan
seluruh udara di perutku!"
Mendengar ancaman Suropati, Jatiwulung
mundur selangkah, lalu menarik rambut panjangnya ke depan, hingga menutupi seluruh wajahnya. Kemudian, kedua tangannya mengibasngibas. "Jangan! Jangan! Aku bisa mati kehabisan napas!"
Pengemis Binal tak menghiraukan ucapan
Jatiwulung. Matanya melihat kertas lusuh yang
tergeletak di antara tulang-belulang. Kertas itulah yang semula terjepit di
jari-jari tangan kanan kerangka manusia yang sudah lapuk.
Sambil garuk-garuk kepala, Suropati membaca tulisan yang tertera di kertas yang telah dipungutnya. Dan... mengelamlah
paras remaja tampan itu seketika.
Untuk kekasih Dewi Ikata,
Tak usah kau hiraukan kematianku. Tuhan
yang Maha Adil menakdirkan usiaku cukup sampai di sini. Hanya sebuah pesan yang dapat ku tinggalkan. Bila kau telah
berjumpa dengan Pangeran Sadis, tahan hawa amarahmu. Sesungguhnya dia bermaksud
baik. Berterima kasihlah kepadanya.
Datuk Risanwari
"Gila!" rutuk Pengemis Binal. "Bagaimana mungkin Datuk Risanwari bisa berpesan
seperti itu" Apakah dia tidak tahu bila Pangeran Sadis
adalah tokoh kejam yang layak dilemparkan ke
neraka jahanam?"
Sewaktu Pengemis Binal menggerutu tak
karuan, Jatiwulung menyambar kertas lurus di
tangannya. Setelah membaca tulisan yang tertera, mata pemuda dekil itu terlihat
bersinar-sinar seperti tengah merasakan kegembiraan.
"Bila kau memang mencintai Dewi Ikata,
kau harus menuruti wasiat Datuk Risanwari ini,
Suro. Pesan orang yang sudah mati harus dilaksanakan," ujar Jatiwulung tiba-tiba.
Pengemis Binal menatap wajah Jatiwulung
yang tertutup rambut. "Gila!" rutuknya lagi. "Bagaimana aku harus membiarkan
kekejaman Pan- geran Sadis" Kematian Dewi Ikata harus kubalas!" "Hei! Kau lihat ini, Suro!" Jatiwulung menunjukkan kertas di tangannya.
Kertas lusuh itu
ternyata dua lembar. Karena lengket, bagian yang kedua jadi tak terlihat.
Paras Pengemis Binal mengelam lagi ketika
membaca tulisan yang tertera di kertas lusuh kedua. Sebaliknya, Jatiwulung malah tersenyumsenyum waktu membacanya.
Seandainya Dewi Ikata hidup lagi, bersediakah kau menikah dengannya" Bila bersedia, berjanjilah. Mudah-mudahan Tuhan
Yang Maha Adil menunjukkan kuasa-Nya.
Pengemis Binal menarik napas panjang berulang kali. Otaknya jadi buntu memikirkan persoalan yang tengah di hadapinya. Tanpa sadar,
dia menggaruk kepala keras-keras.
"Ada-ada saja pesan Datuk Risanwari
ini...," gumam remaja tampan itu. "Kalau aku melaksanakan pesannya, mungkinkah
Dewi Ikata hidup lagi" Sedangkan dua hari yang lalu aku telah menguburkan kepalanya...."
"Laksanakan saja pesan Datuk Risanwari,
Suro...," usul Jatiwulung yang mendengar guma-man Pengemis Binal. "Siapa tahu
Dewi Ikata benar-benar bisa hidup lagi."
"Orang mati tak akan hidup lagi!" bentak Suropati, menolak usulan Jatiwulung.
"Kekuasaan Tuhan tak ada batasnya, Suro.
Kalau Dia berkehendak, tak seorang pun dapat
menghalanginya. Berjanjilah.... Wasiat orang mati tak akan membuat celaka.
Jangan buat roh Datuk Risanwari jadi penasaran."
Suropati garuk-garuk kepala lagi. Kedua
alisnya bertaut. Tampaknya, dia sedang berpikir
keras. Tak lama kemudian, dia memberi keputusan. "Baiklah. Mengingat budi baik Datuk Risanwari, aku menuruti pesannya yang
kedua. Tidak untuk pesannya yang pertama. Aku tetap akan
membuat perhitungan dengan Pangeran Sadis.
Kebenaran mesti dijunjung. Keadilan mesti ditegakkan. Aku harus menghentikan kebiadaban
Pangeran Sadis, walau nyawa taruhannya. Tak
menyesal badan berkalang tanah bila kematian
berada di jalan lurus."
"Kau benar, Suro," tegas Jatiwulung. "Tapi, aku tak sabar untuk segera mendengar
janjimu." Suropati menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang kering mendadak. Untuk
beberapa lama dia berdiri mematung. Masa-masa
indah yang pernah dilalui bersama Dewi Ikata
berkelebat di benaknya. Tanpa terasa, bibirnya
menyungging senyum manis. Lalu, katanya,
"Seandainya kau hidup lagi, aku berjanji akan menikahimu, Ika...."
Mendengar janji Suropati yang diucapkan
dengan penuh kesungguhan, tiba-tiba Jatiwulung
meloncat girang seraya menari-nari seperti anak
kecil yang baru mendapat mainan kesukaannya.
Melihat ulah konyol pemuda dekil itu,
bayangan indah di benaknya kontan lenyap. "Gi-la!" rutuknya.
* * * Dua hari lamanya Arumsari melangkah
tanpa tujuan pasti. Dia tak tahu harus berbuat
apa untuk membalas kematian Dewi Ikata. Dia
merasa dirinya amat kecil dan bodoh sekali karena dengan mudah dipecundangi Pangeran Sadis.
"Keparat kau, Setan Laknat!" umpat nenek bergelar Dewi Tangan Api itu. "Kalau
berjumpa lagi, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
Hati Arumsari dipenuhi rasa sedih mendalam. Sedih bercampur luapan amarah akibat
dendam yang bertumpuk-tumpuk. Langkah nenek berpakaian serba ungu itu terlihat gontai.
Kedua tangannya yang terluka telah dibalut dengan selendang merah.
Ketika hendak memasuki keramaian kota
Ngadiluwih, mendadak sebuah teriakan menghentikan langkahnya.
"Arum...! Arum...!"
Dewi Tangan Api menoleh ke belakang. Terlihat olehnya seorang kakek berpakaian putih
longgar tengah berlari-lari. Kening Dewi Tangan
Api kontan berkerut setelah mengenali siapa kakek itu. "Kenapa kau mengikutiku, Banjaranpati"!"
bentak Arumsari, tak suka melihat kedatangan
Bayangan Putih Dari Selatan.
"Aku mengkhawatirkan keadaanmu,
Arum," ujar Banjaranpati di sela-sela dengus napasnya.
"Mengkhawatirkan keadaanku" Ha ha
ha...! Kau ini aneh, Banjaranpati. Sejak kapan
kau bersikap begitu bersahabat?"
"Sejak kita bicara di pertapaanmu. Aku telah menawarkan untuk mengikat lagi tali persahabatan. Oleh karenanya, aku tak bisa melihatmu
pergi dalam keadaan terluka dan menyimpan rasa
sedih di hati."
"Terima kasih. Terima kasih. Kata-katamu
membuatku terharu, Banjaranpati. Jangan
mengkhawatirkan keadaanku. Luka di tanganku
sudah tak terasa sakit lagi. Esok hari tentu akan kembali seperti sediakala."
"Jangan berdusta, Arum. Luka yang kita
derita sama parah. Sekujur tubuhku masih terasa
sakit. Kedua tanganku sama sekali tak bisa digerakkan." Arumsari terdiam. Dia mengakui kebenaran ucapan Banjaranpati. Sekujur tubuhnya juga
terasa sakit. Kedua tangannya juga tak dapat digerakkan. "Agaknya, kita harus menemui si Wajah
Merah di Bukit Rawangun, Arum...," cetus Banjaranpati, dapat memastikan bila
Arumsari juga merasakan apa yang dirasakannya.
Belum sempat Dewi Tangan Api memberi
jawaban, mendadak sesosok bayangan berkelebat
"Tak perlu!"
Banjaranpati dan Arumsari terkesiap melihat kehadiran seorang pemuda tampan berambut
hitam tergerai. Tubuh pemuda itu tinggi tegap,
terbungkus pakaian sederhana berwarna coklat
dengan garis-garis hitam.
"Aku yang bodoh ini bernama Saka Purdianta. Orang-orang di Kerajaan Pasir Luhur biasa menyebutku sebagai Dewa Guntur...," kenal si pemuda seraya membungkuk hormat
"Dewa Guntur...," desis Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.
Kedua tokoh tua itu tambah terkesiap. Mereka pernah mendengar kabar bila Dewa Guntur
adalah seorang pemuda jahat yang berilmu tinggi.
Dia pernah melukai Suropati dengan Jarum Mati
Sekejap. Apakah kehadiran pemuda jahat itu
hendak menanam benih permusuhan terhadap
mereka" "Kalian berdua tak perlu berprasangka buruk. Dewa Guntur memang pernah tersesat dan
melakukan banyak kejahatan. Namun, apakah
orang jahat akan senantiasa berbuat jahat?"
"Kalau begitu, apa maksud kedatanganmu
itu, Anak Muda?" selidik Bayangan Putih Dari Selatan. Saka Purdianta mengulum
senyum tipis. Diperhatikannya kedua tangan Banjaranpati yang
kulitnya tampak berlubang-lubang. Lalu, katanya,
"Menilik luka di kedua tanganmu, tampaknya kau terkena penerapan ilmu 'Dewa Suci
Meminta Darah', Kek."
Putra mendiang Tumenggung Sangga Percona itu mengalihkan pandangan ke Arumsari, lalu melanjutkan kalimatnya, "Ada lubang kecil di kedua pelipismu. Nek. Sama
dengan sahabat baikmu yang bergelar Bayangan Putih Dari Selatan itu. Walau kedua tanganmu terbalut, tapi aku bisa memastikan bila lukanya
juga sama dengan
Kakek Bayangan Putih Dari Selatan."
Banjaranpati dan Arumsari kagum mendengar tebakan Saka Purdianta. Kalimatnya yang
terucap halus dan sopan menghilangkan prasangka buruk di benak kedua tokoh tua itu.
"Aku yang bodoh ini pernah mendengar
kebesaran nama si Wajah Merah, seorang tabib
pandai yang berdiam di Bukit Rawangun. Namun
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menyembuhkan luka-luka kalian, tak perlu
bersusah-payah datang ke sana," lanjut Saka Purdianta. '"Dewa Suci Meminta
Darah' adalah ilmu memasukkan racun melalui hembusan angin. Kalau racun itu
hilang, maka kalian akan
kembali sehat seperti sediakala."
"Kau begitu lancar menjelaskan. Agaknya,
kau seorang pemuda yang berwawasan luas dan
cukup matang pengalaman. Aku jadi penasaran.
Apakah kau juga dapat menyembuhkan luka-luka
yang kami derita ini?" ujar Banjaranpati tanpa menaruh sak wasangka sedikit pun.
Hatinya mengatakan bahwa kehadiran Saka Purdianta
memang tak hendak membuat permusuhan.
Mendengar pertanyaan Bayangan Putih
Dari Selatan, Saka Purdianta mengulum senyum
tipis lagi. Setelah membungkuk hormat, dia berkata, "Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan, Kek. Akan kucoba
memberikan pertolongan...." Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta melangkah maju
dua tindak. Banjaranpati dan
Arumsari menatap tanpa berkedip. Saka Purdianta mengeluarkan obat berupa serbuk yang tersimpan dalam lipatan kertas. Obat itu lalu disodorkannya pada Banjaranpati.
"Apa ini?" tanya Bayangan Putih Dari Selatan, ragu-ragu.
'"Puyer Pemusnah Racun'," beri tahu Saka Purdianta. "Setelah kau telan, aku akan
memberikan totokan di beberapa jalan darahmu, Kek."
Banjaranpati mengamati serbuk halus
berwarna putih bersih yang berada di tangannya.
Setelah mencium dan menjilatnya sedikit, dia jadi yakin bila serbuk pemberian
Saka Purdianta itu
bukan racun. "Hati-hatilah, Banjaranpati...," Arumsari memperingatkan.
"Aku memang orang jahat. Nek. Tapi, aku
tak akan membunuh orang dengan cara licik seperti ini...," sahut Saka Purdianta dengan lembut dan sopan, agar tak
menyinggung perasaan
Arumsari yang punya watak keras dan mudah
tersinggung. Bayangan Putih Dari Selatan menatap sekilas wajah Arumsari. Lalu, katanya kepada Saka
Purdianta, "Sungguhkah kau ingin menolong?"
Dewa Guntur membungkuk hormat. "Biar
bumi menelanku dan langit menimpaku bila aku
hendak berbuat jahat kepadamu, Kek...."
"Baik. Aku percaya kepadamu."
Usai berkata, Banjaranpati memasukkan
serbuk halus putih ke mulutnya. Segera matanya
menjadi mendelik dan mulutnya mendesis-desis
karena serbuk itu amat pahit.
"Kendorkan urat-uratmu, Kek," pinta Saka Purdianta.
Banjaranpati mengumpulkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke pusar. Setelah menarik napas panjang dua kali, dia merasa tubuhnya
sangat ringan. Pada saat itulah Saka Purdianta
memberikan beberapa totokan di jalan darahnya.
Dua totokan di dada kiri. Empat totokan di pangkal lengan. Setelah itu, Saka Purdianta mencengkeram erat kedua lengan Banjaranpati. Lalu, diurutnya dari atas ke bawah.
"Pertolongan telah usai," ujar Dewa Guntur sambil membungkuk hormat.
Bola mata Banjaranpati tampak membesar
melihat kedua lengannya yang kembali mengucurkan darah. Tapi, darah itu kini tidak lagi kehitaman. Merah sehat,
menunjukkan bila racun dalam tubuhnya telah lenyap.
"Alirkan tenaga dalam ke tanganmu, Kek.
Jangan biarkan darahmu keluar terlalu banyak,"
ujar Dewa Guntur.
Segera Banjaranpati melaksanakan petunjuk pemuda tampan itu. Begitu cairan darahnya
berhenti mengucur, kedua lengannya langsung
terasa ringan. Dan, tersenyum giranglah dia. Kedua lengannya dapat digerakkan-gerakkan sesuka
hati. Dewi Tangan Api menatap Banjaranpati
dan Saka Purdianta bergantian. Menyesal dia karena telah menaruh kecurigaan yang berlebihan
kepada Dewa Guntur.
"Bila kau juga menaruh kepercayaan kepadaku, akan kucoba pula untuk menyembuhkan
luka-lukamu. Nek...," ujar Saka Purdianta, sopan, dan merendah.
Kening Arumsari berkerut tajam. Dia tak
tahu bagaimana harus menjawab. Untunglah
Banjaranpati mengetahui isi hati nenek itu. Cepat dia sahuti ucapan Saka
Purdianta. "Untuk melakukan kebaikan, tak perlu bertanya dulu, Saka. Segeralah kau sembuhkan pula
luka Arumsari...."
"Baiklah, Kek...."
Hati-hati sekali Dewa Guntur membuka
balutan di kedua lengan Dewi Tangan Api. Melihat raut wajah Dewi Tangan Api yang
masih saja tampak ketus, Banjaranpati tersenyum. "Dasar keras kepala!" rutuknya dalam hati.
Tak lama kemudian, Saka Purdianta telah
selesai melakukan pengobatan terhadap Arumsari. Namun, raut muka nenek itu sama sekali tak
berubah. Tetap kaku-membesi walau lukalukanya berhasil disembuhkan oleh Saka Purdianta. "Lubang-lubang di kedua lengan kalian akan menutup dua hari kemudian,"
beri tahu Dewa Guntur. "Terima kasih atas budi baikmu ini," ujar Arumsari dengan suara berat. "Kau
begitu paham tentang ilmu 'Dewa Suci Meminta Darah', aku
menduga kau punya ilmu itu. Menilik dari caramu menjelaskan dan begitu lancarnya kau memberi pengobatan...."
Mendengar kalimat Dewi Tangan Api yang
bermakna curiga, Saka Purdianta tersenyum tipis. Lalu, membungkuk hormat. "Aku yang bodoh ini kebetulan mengenal ilmu itu.
Guruku pernah memberi penjelasan. Dan kalau aku dapat memberi pengobatan, kukira itu karena kebesaran
Yang Kuasa. Kebetulan juga, guruku telah mengajarkan ilmu pengobatan."
Arumsari terdiam mendengar penuturan
Dewa Guntur. Setelah berpikir sejenak, dia mengajukan pertanyaan. "Kenalkah kau dengan seorang pemuda tampan bergelar Pangeran
Sadis?" "Pangeran Sadis?" Dewa Guntur tampak
terkejut. "Sebuah julukan yang cukup menyeramkan.... Apakah kau pernah berurusan
den- gannya. Nek?" Dewa Guntur tidak menjawab, malah balik bertanya.
"Hmmm.... Agaknya, kau merasa berat untuk menjawab. Kau pasti punya hubungan dengan Setan Laknat itu!" dengus Arumsari.
"Mukamu merah-padam. Nek. Dengus napasmu menandakan bila kau tengah menahan
hawa amarah. Yang melukaimu dengan ilmu
'Dewa Suci Memintah Darah' pastilah orang yang
kau sebut sebagai Pangeran Sadis itu," tebak De-wa Guntur.
"Sengaja dia mempermainkan aku. Setelah
membunuh Dewi Ikata muridku, dia mencorengmoreng mukaku! Keparat! Haram jadah!" tanpa sadar, Dewi Tangan mengumpat-umpat.
Dewa Guntur tersurut mundur setindak.
Dipandanginya wajah Arumsari yang kakumembesi dengan bola mata melotot lebar. Dewa
Guntur terkejut waktu nenek itu membentak lagi.
"Kuucapkan terima kasih sekali lagi atas
pertolonganmu. Tapi, kau harus menjawab pertanyaanku tadi!"
"Pertanyaan apa, Nek?" tanya Saka Purdianta dengan wajah sedikit memucat.
"Jangan berpura-pura! Kau pasti punya
hubungan dengan Pangeran Sadis!"
"Kalau ya, kenapa?"
Terperangah Dewi Tangan Api mendengar
jawaban Dewa Guntur. Hatinya yang panas semakin panas. Sesaat dia lupa bila pemuda tampan itulah yang telah menyembuhkan lukanya.
"Bila benar kau punya hubungan dengan
Setan Laknat itu, menyesal aku menerima budi
baikmu...."
"Sudahlah, Arum...," tegur Bayangan Putih
Dari Selatan, menyela ucapan Arumsari.
Dewi Tangan Api menatap tajam wajah
Banjaranpati. "Kau tidak merasakan bagaimana sakitnya hati orang yang melihat
muridnya mati dibunuh dengan kejam!" bentaknya.
"Jangan keburu naik darah, Arum. Kau harus ingat bila yang kau hadapi bukan Pangeran
Sadis. Kalaupun Saka Purdianta punya hubungan dengan Pangeran Sadis, apakah dia ikut menanggung dosa-dosa tokoh jahat itu?"
Arumsari terdiam. Mulutnya terasa terkunci. Ditatapnya wajah teduh Banjaranpati. Waktu
mengalihkan pandangan, terkejutlah dia. Saka
Purdianta telah lenyap dari tempatnya!
"Di mana dia?" tanya Dewi Tangan Api.
"Tentu saja dia pergi melihat kau hendak
memusuhinya," sahut Banjaranpati.
"Ke mana" Kenapa aku tak melihat kelebatan tubuhnya?"
"Aku pun tak melihat. Agaknya, dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat hebat."
Sewaktu kedua tokoh tua itu mengedarkan
pandangan untuk mencari ke mana arah perginya
Saka Purdianta, mendadak di telinga mereka
menging suara yang dikirim dari jarak jauh.
"Bila kalian ingin tahu perihal Pangeran
Sadis, datanglah ke Sungai Bayangan besok saat
mentari berada tepat di atas kepala."
Banjaranpati dan Arumsari mengedarkan
pandangan lagi. Tapi, si pengirim suara tak dapat mereka temukan. Mereka lalu
menarik napas panjang bersamaan.... 6
Saka Purdianta membungkukkan badan di
mulut gua. Melihat bekas tapak-tapak kaki di lantai gua yang lembab, sorot
matanya kontan berbinar-binar. Dengan langkah ringan dia lalu memasuki lorong yang berkelok-kelok.
Sesampai di sebuah kamar yang bercahaya
remang-remang, Saka Purdianta menghentikan
langkah. Diamatinya tulang-belulang manusia
yang bertebaran di lantai. Dia lalu memungut dua lembar kertas lusuh yang
terselip di antara tulang-belulang itu.
"Dua lembar kertas ini semula melekat. Bila sekarang terpisah, pasti ada orang yang telah menyentuhnya...," kata hati
Dewa Guntur. "Pasti Suropati telah memasuki tempat ini. Tapi menilik dari tapaktapak kaki yang begitu banyak, dia tak datang seorang diri. Hmmm.... Rupanya,
encer ju-ga otak orang itu. Suropati pun berhasil dikelabuinya...."
Sewaktu Saka Purdianta tersenyumsenyum seorang diri, mendadak salah satu dinding kamar yang terbuat dari batu mengeluarkan
suara berderak-derak. Tampak kemudian, sebuah
lubang bundar bergaris tengah satu depa. Dari
dalam lubang itu, melesat sebuah bayangan, yang
kemudian mendarat di lempengan batu di pojok
kamar. "Aku yang datang, Datuk," ujar Dewa Guntur seraya membungkuk dalam-dalam.
Di atas lempengan batu ternyata telah duduk bersila seorang kakek tua-renta berwujud
mengerikan. Rambutnya putih riap-riapan terjuntai panjang hingga menyentuh lantai kamar. Tubuhnya amat kurus, nyaris hanya berupa tulang
terbalut kulit tipis. Sementara, pakaian yang dikenakannya hanya berupa suwiransuwiran kain yang sudah tak pantas lagi disebut pakaian. Wajah kakek itu tak dapat dikenali karena tertutup anak-anak rambutnya. Menilik
dari keadaannya,
siapa lagi dia kalau bukan Datuk Risanwari, ayah kandung Gede Panjalu sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Untuk apa kau datang lagi ke tempat ini,
Saka?" terdengar sebuah pertanyaan, suaranya mirip rintihan orang sakit yang
hampir dijemput
ajal. "Aku ingin membuktikan apakah benar Suropati telah datang ke tempat ini.
Bagaimanapun juga, rencana yang telah kususun ini tak boleh
gagal," sahut Dewa Guntur.
"Suropati memang telah datang. Dia datang
bersama seorang pemuda dekil yang berperangai
mirip orang gila," beri tahu Datuk Risanwari.
Saka Purdianta mengangguk-angguk.
"Apakah dia telah mengucap janji?" tanyanya.
"Ya. Semua telah berjalan sesuai rencanamu," jawab Datuk Risanwari. "Sekarang, pergilah.
Tak usah berlama-lama kau berada di tempat ini.
Aku hanya memberi bantuan. Bila ada akibat
yang tak kau inginkan, aku tak mau ikut campur.
Itu urusanmu sendiri. Dan harap kau ingat, kebaikan tak selamanya dibalas dengan kebaikan
pula." "Terima kasih, Datuk. Memang, tak ada gunanya lagi aku berlama-lama di
tempat ini. Dewa Guntur mohon diri...."
Usai membungkuk hormat tiga kali, Saka
Purdianta membalikkan badan. Lalu, dia keluar
kamar. Lorong-lorong lembab yang baru saja dilewati, kini dilewatinya lagi.
Sesampai di mulut gua, Saka Purdianta
berhenti sejenak. Diteriakannya sebuah kalimat
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil membungkuk dalam.
"Terima kasih, Datuk. Tak hendak hati ini
membuat permusuhan dengan siapa pun. Kalau
maksud baik ini dibalas dengan tumpahan darah,
aku akan menerima dengan dada lapang. Mungkin itulah karma atas perbuatan jahatku di masa
lalu. Selamat tinggal, Datuk...."
Usai berkata, Saka Purdianta menjejak tanah kuat-kuat. Tubuh pemuda tampan itu melesat cepat melebihi lesatan anak panah yang lepas dari busur....
* * * Pancaran sinar mentari panas menyengat.
Di atas permukaan tanah timbul bayang-bayang
hitam. Air tanah menguap. Hembusan angin tak
mampu menahannya. Hingga, keringat bercucuran di sekujur tubuh Suropati dan Jatiwulung.
Rasa haus seperti mencekik kerongkongan.
Ketika hendak berteduh, mereka mendengar suara gemericik air. Berarti mereka telah dekat dengan aliran Sungai
Bayangan. Maka, bersorak giranglah kedua anak manusia itu.
Pengemis Binal yang tak kuasa menahan
rasa hausnya segera berlari kencang. Matanya
bersinar-sinar melihat anak sungai berair bening.
Saking beningnya, dasar sungai sampai terlihat
jelas. Tanpa pikir panjang lagi, Pengemis Binal
menanggalkan baju dan celananya. Dan, menceburlah dia ke sungai kecil yang ternyata cukup
dalam itu. Jatiwulung yang juga telah berada di tepi
aliran sungai hanya mencelupkan kedua tangan
dan kakinya. Karena sengatan hawa panas, dia
hendak membasuh muka. Tapi, niat itu segera
diurungkannya. Dia biarkan wajahnya tetap kotor
berdebu. Pemuda dekil itu lalu duduk di bawah
pohon besar yang akar-akarnya merambat ke dalam air Sebentar-sebentar dia melirik Suropati
yang tengah mandi sepuas-puasnya.
"Ough...! Goo...! Walah...!"
Mendadak, Suropati menjerit-jerit seraya
berenang cepat agar dapat segera menepi. Jatiwulung bergidik ngeri melihat tubuh Suropati terbelit ular sebesar lengan manusia
dewasa. Rupanya, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu lupa bila Sungai Bayangan banyak dihuni
berbagai jenis ular.
Usaha Suropati untuk segera mencapai tepi sungai mendapat kesulitan. Karena, ular yang
membelit hendak menyeretnya ke kedalaman
sungai. Cepat Suropati menghalau rasa paniknya.
Dia biarkan tubuhnya terseret. Begitu kakinya
menginjak dasar sungai, segera kakinya menjejak.
Permukaan air sungai bergelombang besar ketika
tubuh remaja tampan itu melesat ke atas, lalu
mendarat di tepi sungai.
"Hih...!"
Pengemis Binal mencengkeram kepala ular
yang hendak mencaplok kepalanya. Mendadak,
belitan ular menguat. Akibatnya, tubuh Pengemis
Binal terguling ke permukaan tanah.
"Matilah kau...!"
Karena kesal dan menyimpan rasa ngeri,
Suropati mengalirkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya ke kedua tangannya. Hendak diremasnya kepala ular sampai remuk. Tapi......
"Tahan...!"
Terdengar sebuah bentakan keras. Bentakan itu begitu berpengaruh, hingga Suropati
mengurungkan niatnya untuk membunuh ular
yang tengah membelit tubuhnya.
Sementara, wajah Jatiwulung tampak memucat. Tampaknya dia sangat mengkhawatirkan
keselamatan Suropati. Pemuda dekil itu terkesiap ketika mendengar tiupan
seruling. Dia pun terkejut bercampur gembira melihat ular yang tengah
membelit Suropati tampak menggerakkan ekornya, lalu melepaskan belitannya. Suropati melepas cengkeramannya karena merasa ular itu sudah tak lagi membahayakan jiwanya.
"Maafkan perilaku buruk ular piaraanku
itu, Suro....," ujar seorang pemuda yang baru saja muncul.
Pemuda itu mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit ular. Tubuhnya tegap-berisi, namun berkulit kasar-bersisik. Kulit wajahnya juga bersisik. Matanya kecil.
Berbibir monyong. Di jemari tangan kanannya terselip sebatang seruling
yang terbuat dari gading.
"Sawung Jenar...," sebut Pengemis Binal.
Remaja tampan itu menatap tak berkedip
sosok pemuda bersisik yang memang Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular. Jatiwulung yang berdiri di bawah naungan pohon
besar memekik lirih. Tak kuasa dia melihat Suropati yang berdiri tanpa sehelai benang menutupi
tubuhnya. "Ular tadi hampir mencelakakan aku, Jenar. Untunglah kau datang cepat, hingga aku tak
sampai membunuhnya...," ujar Pengemis Binal.
Bibir monyong Sawung Jenar menyungging
senyum. Dengan ujung serulingnya, dia menuding ke bagian tengah tubuh Suropati. Dan, sadarlah remaja tampan itu bila dirinya tengah berdiri polos. Segera Suropati
menyambar pakaiannya
yang tergeletak di tepi sungai, lalu dikenakannya dengan tergesa-gesa.
Sementara, Jatiwulung melangkah perlahan, menghampiri.
"Kau kenal dengan pemuda itu, Suro?" tanyanya, menunjuk Sawung Jenar yang
berdiri tak seberapa jauh dari hadapan Pengemis Binal.
"Tentu saja aku kenal. Sawung Jenar adalah penguasa daerah di sekitar Sungai Bayangan
ini." Jatiwulung mengangguk-angguk. Sebenarnya dia telah tahu bila Suropati
telah mengenal Sawung Jenar. Maksud pertanyaannya tadi hanya
untuk menegaskan saja. Tokoh-tokoh yang berkecimpung di rimba persilatan, pasti mengenal atau paling tidak pernah mendengar
nama Sawung Jenar yang berjuluk Iblis Selaksa Ular. Pemuda itu tak pernah ke
luar dari daerah sekitar Sungai
Bayangan kalau tak ada urusan penting yang
menyangkut dirinya. Walau julukannya memakai
kata 'iblis', namun sesungguhnya dia berhati
baik. Hanya saja, dia amat benci pada orang yang mengganggu ular-ular
piaraannya. "Kau datang dengan seorang pemuda dekil,
yang dapat kupastikan memiliki ilmu kepandaian
cukup tinggi, tentu ada masalah yang tengah kau
hadapi, Suro," ujar Iblis Selaksa Ular. "Apakah kau sedang menanti kedatangan
seseorang?"
"Tepat sekali dugaanmu, Jenar," sahut
Pengemis Binal. "Aku memang sedang menanti
kedatangan orang yang menyebut dirinya Pangeran Sadis. Dia seorang tokoh kejam yang telah
membunuh Dewi Ikata."
Terkejut Sawung Jenar mendengar penuturan Pengemis Binal. "Dewi Ikata.... Putri tunggal
Adipati Danubraja itu?"
"Ya. Dia dibunuh dengan kejam oleh Pangeran Sadis. Bahkan, tokoh jahat itu juga melukai Banjaranpati dan Arumsari."
Sawung Jenar makin terkejut. Walau matanya membelalak, tapi masih saja terlihat sipit.
Tak dapat dia bayangkan sampai di mana kesaktian Pangeran Sadis. Banjaranpati dan Arumsari
adalah dua tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. Bagaimana mungkin
Pangeran Sadis bisa
melukai kedua tokoh itu" Dan, begitu beraninya
dia membunuh Dewi Ikata putri seorang adipati.
"Aku turut berduka atas peristiwa itu...,"
desah Iblis Selaksa Ular. "Kau tentu sangat berduka, Suro. Aku tahu kau adalah
kekasih Dewi Ikata. Bila kau membutuhkan bantuanku, aku
bersedia menyumbangkan setiap tetes darahku...." "Terima kasih, Jenar. Urusanku dengan Pangeran Sadis adalah urusan
pribadi. Sama sekali tak ada sangkut-pautnya denganmu...."
"Tapi, aku tidak bisa berpangku tangan bila melihat pertumpahan darah terjadi di Sungai
Bayangan ini," sela Sawung Jenar. "Bukan maksud hatiku mencampuri urusanmu.
Namun, ter- panggil hatiku mendengar berita yang begitu menyedihkan."
Mendengar ucapan pemuda bersisik itu,
mendadak Jatiwulung mendengus. Ditudingnya
wajah Sawung Jenar seraya memasang wajah ketus. "Lalu, apa yang akan kau lakukan, Setan
Muka Ular"!"
Berkerut kening Sawung Jenar melihat Jatiwulung yang marah-marah. "Kau siapa" Aku tak kenal kau! Kenapa kau berkata
kasar"! Tidakkah
kau tahu bila aku tak bermaksud buruk"!"
"Suropati tak butuh bantuanmu! Kau dengar sendiri kata-katanya!"
Mengelam paras Sawung Jenar mendengar
ucapan Jatiwulung yang menyiratkan rasa tak
senangnya. "Hmmm.... Selain kau berwajah kotor, ternyata hatimu kotor pula...,"
ujar Sawung Jenar, mencoba bersabar.
Sebelum Jatiwulung menyahuti, Pengemis
Binal mencekal lengan pemuda dekil ini. "Jangan buat masalah dengan Sawung
Jenar. Ulahmu hanya akan menambah urusan ini jadi makin ruwet," tegurnya.
"Aku tak suka dia memberi bantuan kepadamu, Suro!" ujar Jatiwulung, sungguh-sungguh.
"Kenapa?"
Jatiwulung terdiam. Tak dapat dia menjawab pertanyaan Suropati.
"Aku jadi menaruh curiga kepadamu, Wulung...," ungkap Pengemis Binal. "Jangan-jangan kau bersekongkol dengan Pangeran
Sadis...."
"Kalau ya, kau mau apa"!"
Terkejut tiada terkira Pengemis Binal. Ditatapnya wajah Jatiwulung dengan sinar mata berapi-api. Sementara, Jatiwulung membalas tatapannya dengan sinar mata berapi-api pula.
"Kalau begitu gerak-gerikku...," tebak Suropati. "Tidak kusangkal. Aku memang sedang mengawasi kau!" aku Jatiwulung
dengan beraninya. Suropati mendengus gusar. "Siapa kau sebenarnya" Berterus
teranglah sebelum kukirim
kau ke neraka!"
"Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak.
"Kalau sedang marah, wajahmu mirip kerbau di-tusuk pantatnya, Suro!"
"Setan alas!"
"Setan Jahanam! Tak tahu malu! Bila kau
terima uluran tangan Sawung Jenar, kaum rimba
persilatan akan menertawakanmu!"
"Siapa yang menerima uluran tangannya"!"
"O, jadi, kau menolak" Ha ha ha..,! Bagus!
Bagus! Urusan dengan Pangeran Sadis, memang
harus kau selesaikan sendiri!"
"Tanpa kau suruh pun, itu pasti kulakukan! Tapi melihat ulahmu yang menyebalkan ini,
gatal tanganku untuk segera memotes kepalamu!"
"Silakan! Ha ha ha...! Silakan! Ha ha ha...!"
Jatiwulung tertawa terbahak-bahak sambil
mementangkan kedua tangannya lebar-lebar. Sikapnya seperti hendak menantang perkara. Maka,
menggeram keraslah Suropati. Cepat dia loloskan
tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya.
Lalu.... Wuttt...! Wuttt...!
"Aih...!"
Tongkat Suropati berkelebatan mengincar
batok kepala Jatiwulung. Namun, tubuh pemuda
dekil itu juga mampu berkelebat tak kalah cepat.
Hingga, hajaran tongkat Suropati senantiasa
membentur angin kosong belaka.
"Ayo! Ayo! Serang terus! Ha ha ha...! Aku
senang melihatmu marah-marah, Suro! Persis
monyet kebakaran ekor! Ha ha ha...!"
Semakin panas saja hati Pengemis Binal
mendengar ejekan Jatiwulung. Segera dia rubah
gerakan tongkatnya. Kali ini, dimainkannya jurus
'Tongkat Menghajar Maling'.
"Jangan menyesal bila kupesiangi tubuhmu, Anjing Kurap!"
Ujung tongkat Suropati menyambarnyambar, menimbulkan suara bergemuruh.
Daun-daun kering beterbangan ke angkasa. Merasakan kehebatan serangan Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu, cepat Jatiwulung mengimbanginya dengan memainkan jurus
tangan kosong yang disebut 'Ikan Terbang Melontarkan Perahu'.
Wusss...! Wusss...!
"Haya...!"
Pengemis Binal terperangah. Jurus yang
dimainkannya buyar sesaat. Dia merasakan hembusan angin kencang setiap telapak tangan Jatiwulung menyambar. Cepat dia lentingkan tubuhnya ke belakang ketika telapak tangan kiri Jatiwulung menyambar dari samping.
"Uts..!"
Serangan Jatiwulung dapat dimentahkan.
Namun, dia tak dapat mendarat dengan sempurna karena hembusan angin yang muncul dari telapak tangan kiri Jatiwulung membuatnya terjajar dua tindak.
Mengelamlah paras Pengemis Binal seketika. Heran tiada terkira dia. Sepertinya dia pernah mengenal jurus yang sedang
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dimainkan Jatiwulung itu.
'Tahan!" seru Suropati waktu melihat Jatiwulung hendak memburunya.
"Hmmm.... Rupanya, kau berubah pikiran,
Suro. Apakah kau tidak jadi menyiangi tubuhku?"
cibir Jatiwulung sambil berdiri berkacak pinggang. "Itu akan tetap dilakukan. Aku tak suka melihat mulutmu yang ceriwis! Tapi
katakan du-lu, siapa sebenarnya kau!"
"Ha ha ha...! Sudah kukatakan di awal perjumpaan kita, namaku Jatiwulung. Tapi kalau
kau mau mengganti namaku menjadi Bejo atau
Pamiin, terserah kau!"
Hampir saja meledak tawa Suropati mendengar kata-kata konyol Jatiwulung. Cepat dia
pasang wajah ketus. Dipelototinya Jatiwulung
yang juga memasang wajah ketus.
Seperti ingat akan sesuatu, cepat Jatiwulung menutupi wajahnya dengan anak-anak rambutnya yang panjang tergerai. Ulahnya itu membuat kening Suropati berkerut tajam. Sementara,
Sawung Jenar cuma menjadi penonton, tak tahu
apa yang harus dilakukannya.
"Hmmm.... Agaknya, kau memang sengaja
menyembunyikan jati dirimu. Jangan sebut Pengemis Binal bila aku tak dapat memaksamu untuk membuka mulut!" ancam Suropati.
"Hmmm.... Agaknya, rasa penasaran menutupi akal sehatmu. Jangan sebut aku Jatiwulung
bila tak dapat menendang pantatmu!" balas Jatiwulung, menirukan nada ucapan
Pengemis Binal.
"Mulutmu yang ceriwis hanya pantas dimiliki perempuan!"
"Aku memang per..., eh...." Jatiwulung menggeleng-gelengkan kepala sambil
mendekap mulut. Hampir saja dia kelepasan bicara. Sementara, bibir Suropati tampak menyungging senyum. Walau kata-kata Jatiwulung terucap tak
sampai selesai, tapi dia bisa menangkap maknanya. "Perempuan murahan! Cepat katakan siapa dirimu! Haruskah kupenggal
kepalamu seperti
Pangeran Sadis memenggal kepala Dewi Ikata!"
ancam Pengemis Binal lagi.
"Cih! Siapa takut mati"!" sahut Jatiwulung, tak sedikit pun menampakkan rasa
takut. "Mungkin kau bisa membunuhku. Tapi, seumur
hidup kau tak akan mampu menepis rasa sesalmu!" "Apa maksudmu?"
"Bertanyalah kepada dirimu sendiri!"
"Bangsat!"
"Keparat!"
"Jahanam!"
"Bedebah!"
Mendengar Suropati dan Jatiwulung saling
sahut mengeluarkan kata-kata kotor, Sawung Jenar tak dapat menahan rasa gelinya. Tertawalah
pemuda bersisik itu terbahak-bahak.
"Hei! Setan Muka Ular, apa yang kau tertawakan"!" hardik Jatiwulung, menuding wajah Sawung Jenar.
Tawa Iblis Selaksa Ular terhenti seketika.
Melihat Jatiwulung yang menatap marah, diangkatnya telapak tangan kanan ke depan. "Tidak!
Tidak! Aku tidak menertawakanmu! Aku menertawakan diriku sendiri. Alangkah bodohnya aku
ini, yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat dua anak manusia baku-hantam
menuruti hawa naf-sunya...."
"Tetaplah di situ dan tutuplah mulutmu
rapat-rapat. Kalau tidak, kupeluntir bibirmu yang memble itu!"
Ancaman Jatiwulung ditimpali Sawung Jenar dengan tawa panjang. Kontan Jatiwulung
mencak-mencak. Tapi sebelum dia berbuat sesuatu, Pengemis Binal menegur keras.
"Hadapi aku dulu, Perempuan Jalang! Gatal tanganku untuk segera membeset mukamu
yang kotor itu!"
Jatiwulung mendengus gusar. "Laksanakan
bila kau mampu. Tapi, aku tak mau melayani jurus-jurus ketenganmu!"
"Baik! Agaknya, kau memang tak perlu diberi hati!"
Sigap sekali Suropati membuka kedua pergelangan kakinya. Dengan lutut menekuk, ditariknya kedua tangan ke belakang sejajar pinggang seraya menarik napas panjang.
Begitu kekuatan
tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya, hawa
dingin menyebar....
"Pukulan 'Salju Merah'...," desis Jatiwulung, gugup.
Terkesiap tokoh muda itu melihat kedua
tangan Suropati yang diselimuti kabut tipis berwarna merah. Hawa dingin makin terasa menusuk kulit Bingunglah Jatiwulung. Haruskah dia
mengeluarkan ilmu simpanannya" Bila itu dilakukannya, tidak mustahil jati dirinya akan ketahuan, sementara rencana yang sedang dijalankannya belum selesai. Tapi bila dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, sama saja dengan
mengundang malaikat kematian!
7 "Suro...!"
Terdengar sebuah bentakan keras yang dibarengi kelebatan dua sosok bayangan. Sekejap
mata kemudian, sekitar satu tombak dari hadapan Suropati telah berdiri seorang kakek berpakaian putih longgar dan seorang nenek berpakaian serba ungu. Mereka adalah Banjaranpati
dan Arumsari! "Seorang pendekar tidak akan membunuh
orang yang tidak memberikan perlawanan!" tegur Banjaranpati atau Bayangan Putih
Dari Selatan. "Namamu akan tercemar. Dan, kaum rimba
persilatan pasti mengutuk perbuatanmu!" tambah Dewi Tangan Api, Arumsari.
Pengemis Binal menatap wajah kedua tokoh tua itu bergantian. Tanpa melepas kekuatan
tenaga dalam yang telah mengalir penuh ke kedua
tangannya, dia berkata, "Justru orang akan me-nertawakanku bila aku membiarkan
perempuan edan itu tetap menghirup udara segar!"
"Perempuan edan" Siapa yang kau maksud, Suro?" tanya Banjaranpati, tak mengerti.
"Pemuda dekil itu!" tunjuk Suropati kepada Jatiwulung. "Dia mengenalkan diri
bernama Jatiwulung, tapi sesungguhnya dia perempuan. Dan,
tahukah kau, Kek, bila perempuan edan itu ternyata suruhan Pangeran Sadis?"
Terkejut Banjaranpati mendengar penjelasan Pengemis Binal. Segera dia membalikkan badan seraya menatap tajam wajah Jatiwulung.
Arumsari berlaku sama. Namun, mereka tak akan
mengenali tokoh muda itu karena wajahnya selain
kotor berdebu, juga tertutup rambut.
"Benarkah kau orang suruhan Pangeran
Sadis?" selidik Banjaranpati.
"Ya," jawab Jatiwulung, tegas.
"Kau sudah mendengar sendiri pengakuannya Kek," sahut Pengemis Binal. "Sekarang, menyindkirlah. Biar kulumatkan
tubuh perem- puan edan itu!"
"Dia perempuan!" tanya Arumsari, heran.
"Ya. Dia sedang menyamar. Dan, selama tiga hari aku dikecohnya. Cepatlah kau ikuti Kakek Banjaranpati menyingkir. Nek!"
Melihat kesungguhan Pengemis Binal, bergegas Arumsari mengikuti langkah Banjaranpati
yang telah berlalu dari hadapan remaja tampan
itu. "Keluarkan ilmu simpananmu agar kau tak mati penasaran!" ujar Suropati
kemudian. "Aku tak akan memberi perlawanan. Kalau
mau membunuhku, bunuhlah! Yang pasti, setelah melakukannya, seumur hidup kau akan dihantui rasa sesal yang tidak ada habisnya!" sahut Jatiwulung. Tubuhnya sama
sekali tak bergeming. Tampaknya, dia akan menadahi 'Pukulan
Salju Merah' dengan pasrah.
Sejenak Pengemis Binal jadi ragu. "Apa
maksud perkataanmu" Siapa sebenarnya dirimu?" desisnya.
"Sudah kubilang, aku Jatiwulung! Aku
memang mempunyai hubungan dengan Pangeran
Sadis! Bila kau memang mencintai Dewi Ikata,
kau tak akan ragu lagi untuk menjatuhkan tangan maut terhadapku!"
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginin!" Pengemis Binal mendengus pendek. Dia
kuatkan hatinya. Sekujur tubuhnya bergetar akibat pengerahan tenaga dalam sampai ke puncak.
Namun, keraguannya tetap tak mau hilang. Tak
tega hatinya membunuh orang tanpa sedikit pun
memberikan perlawanan.
"Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak.
"Kenapa mesti ragu, Suro" Rupanya, kau terpengaruh kata-kataku. Kau takut
dirundung penyesalan seumur hidup!"
Mendengar ejekan Jatiwulung, Pengemis
Binal mendengus gusar. Keraguannya lenyap
mendadak. "Huh! Aku tak akan menyesal setelah membunuh perempuan edan macam kau!
" "Ha ha ha...! Kalau begitu, segera keluarkan 'Pukulan Salju Merah'-mu!"
Di ujung kalimat Jatiwulung, kedua tangan
Pengemis Binal tampak bergetar keras. Hawa dingin semakin menusuk kulit. Mendadak, Pemimpin
Perkumpulan Tongkat Sakti itu menghentakkan
kedua tangannya!
Wusss...! Blarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membahana di
angkasa. Di sana-sini timbul percikan api. Anehnya, hawa terasa amat dingin. Rimbunan daun
pepohonan terselimuti salju berwarna merah. Air
sungai juga dipenuhi gumpalan-gumpalan salju
merah. Sawung Jenar, Banjaranpati, dan Arumsari
tampak menggigil kedinginan. Cepat ketiga tokoh
itu mengumpulkan kekuatan tenaga dalam ke
pusar untuk melawan hawa dingin yang menerpa.
Sementara, Jatiwulung terlihat berdiri tegak di
tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Gumpalan salju merah tampak menempel di kain bajunya yang lusuh. Namun, dia tiada menderita
apa-apa. Suropati terkejut dan menyimpan geram
kemarahan dalam hati. Di sisi kanan Jatiwulung
telah berdiri seorang pemuda tampan beralis tebal. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya kuning gemerlap, mirip bangsawan kerajaan. Rupanya, pemuda itulah yang telah memapaki 'Pukulan Salju Merah' yang dilancarkan Suropati.
"Pangeran Sadis...!" seru Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.
"Hmmm.... Kiranya kau yang bergelar Pangeran Sadis itu...," ujar Pengemis Binal.
"Ya. Tak salah lagi. Akulah Pangeran Sadis," aku si pemuda tampan.
Pengemis Binal menggeram marah melihat
sikap sombong pemuda itu. Dengan suara keras
membentak, dia berkata, "Kau bunuh Dewi Ikata.
Kau lukai Banjaranpati dan Arumsari. Kau bunuh
pula Datuk Risanwari. Sudah sedemikian besar
dosamu, hingga tak mungkin aku membiarkan
orang jahat semacammu tetap hidup!"
"Membunuh Dewi Ikata dan Datuk Risanwari" Kalau melukai Banjaranpati dan Arumsari
memang iya. Tapi, aku tak membunuh dua nama
yang kau sebutkan itu!" sahut Pangeran Sadis, tak kalah keras.
"Jangan bersilat lidah! Tak perlu kau
pungkiri perbuatan dosamu!" hardik Pengemis Binal. "Sebelum kita mengadu nyawa,
katakan apa maksudmu membunuh dua orang yang tak
bersalah!"
"Ha ha ha...!" Pangeran Sadis tertawa bergelak. "Aku tidak membunuh Dewi Ikata,
Suro! Tidak pula Datuk Risanwari! Aku bermaksud
baik. Aku...."
"Haram jadah!" maki Arumsari, memotong ucapan Pangeran Sadis. "Pandai sekali kau
memutar kata-kata! Kepala siapa yang kau letakkan
di gua pertapaanku"!"
Pangeran Sadis menatap tajam wajah Dewi
Tangan Api. "Kau kira itu kepala Dewi Ikata"! Kau salah.... Kau salah. Nek! Ha
ha ha...!"
Mendengar tawa bergelak Pangeran Sadis,
tak kuasa Arumsari menahan hawa amarah. Dia
pun jadi lupa bila pemuda itu pernah mempecundanginya, bahkan melukai dengan ilmu 'Dewa
Suci Meminta Darah'.
Darah Arumsari yang mendidih naik sampai ke ubun-ubun membuat wajahnya merahpadam. Tanpa pikir panjang lagi, dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke
kedua perge- langan tangan. Dalam sekejap mata, kedua tangan nenek itu berubah warna menjadi merahmembara, dan menebarkan hawa panas. Hingga,
gumpalan salju merah yang mengapung di air
sungai langsung mencair. Selimut salju yang menempel di rimbunan daun pepohonan juga berlelehan.
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Matilah kau, Jahanam!" teriak Dewi Tangan Api seraya menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Wusss...! Dua larik sinar merah menggidikkan melesat cepat ke arah Pangeran Sadis. Kehebatan
'Pukulan Api Neraka' yang dilancarkan Arumsari
itu tiada terkira lagi. Udara di sekitar Sungai
Bayangan memanas bagai dipenuhi kobaran api.
Namun, Pangeran Sadis yang menjadi sasaran
cuma tersenyum tipis. Lalu, dengan gerakan ringan dikibaskannya kedua telapak tangannya ke
depan! Wusss...!
Blarrr...! Sekali lagi, sebuah ledakan dahsyat membahana di angkasa. Dua larik sinar merah yang
melesat dari telapak tangan Arumsari bertubrukan dengan gelombang angin kencang ciptaan
Pangeran Sadis!
Tampak kemudian, lesatan dua larik sinar
merah membelok ke atas, lalu lenyap tiada berbekas. Sementara, gumpalan tanah dan bebatuan
berpentalan ke udara. Hingga, kegelapan menyelimuti. Terdengar jerit panjang saling sahut. Tubuh Suropati terlontar jauh.
Demikian pula tubuh Banjaranpati yang semula berdiri di dekat nenek
itu. Tak terkecuali, Sawung Jenar. Tubuh pemuda
bersisik itu turut terlontar, dan bergulingan di atas tanah. Sementara, Suropati
tampak terseret
mundur lima tombak ke belakang!
"Maaf. Terpaksa ini kulakukan. Sungguh
aku tak bermaksud buruk," ujar Pangeran Sadis lirih, penuh penyesalan.
Terlihat kemudian, Arumsari beserta Banjaranpati dan Sawung Jenar meloncat tinggi,
kembali ke tempat semula. Wajah mereka samasama pucat. Namun, mereka tak menderita luka
dalam parah karena Pangeran Sadis memang tidak berniat menjatuhkan tangan maut.
"Sungguh hebat tenaga dalammu, Pangeran," ujar Pengemis Binal, menampakkan kekagumannya. "Hanya sayang, kau tersesat
jalan. Aku tetap akan menuntut balas kematian Dewi
Ikata dan Datuk Risanwari. Kalaupun aku mesti
mati, aku tak akan menyesal. Pada saatnya nanti, kejahatan akan berada di pihak
yang kalah!"
Suropati meloncat tinggi. Setelah bersalto
tiga kali di udara, dia mendarat dua tombak di
hadapan Pangeran Sadis. Diloloskannya lagi
tongkat butut yang tadi dia selipkan di ikat pinggangnya.
"Bersiap-siaplah! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Mendengar ucapan Suropati, mendadak
Jatiwulung maju selangkah. "Jangan...!" teriaknya sambil mengangkat telapak
tangan kanan ke depan. Sikapnya seperti hendak melindungi Pangeran Sadis. "Pergilah kau, Perempuan Edan!" hardik Pengemis Binal.
"Jangan turuti hawa amarah, Suro! Biar
Pangeran Sadis memberi penjelasan...."
"Semua sudah jelas! Minggirlah! Tunggulah
giliranmu untuk menghadap Penjaga Pintu Neraka!" "Tidak, Suro! Kau tidak tahu bila semua ini...." "Tak perlu banyak bacot!"
potong Pengemis Binal. "Suro! Kau tidak tahu! Pangeran Sadis adalah...." "Aku
sudah tahu!" Pengemis Binal memotong lagi. "Dia adalah pembunuh kejam yang
layak dilumatkan tubuhnya!"
"Suro...!"
Jatiwulung menjerit ketika Suropati menerjang Pangeran Sadis. Cepat dia mengempos tubuh
untuk memapaki terjangan Suropati. Namun....
Tak! "Ough...!"
Tubuh Jatiwulung terpelanting ke kanan,
lalu jatuh bergulingan di atas tanah. Cepat dia
kendalikan gerak tubuhnya seraya meloncat, tapi
gerakannya terhenti. Tubuhnya terhuyunghuyung. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. "Kau... kau salah mengerti, Suro...."
Dengan mata mendelik Jatiwulung menuding Pengemis Binal. Tapi, tangannya segera jatuh terkulai. Sesaat kemudian,
tubuhnya terkapar jatuh. Rupanya, ujung tongkat Pengemis Binal tepat menyodok dada kirinya. Sodokan yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi membuat seluruh isi dada Jatiwulung berguncang.
Tak kuasa dia menahan jantungnya yang tibatiba berdegup lebih kencang!
Melihat Jatiwulung tergeletak tiada daya,
Pangeran Sadis menggembor keras. Dia banting
kaki kanannya berulang kali. Hingga, bumi bergetar bagai dilanda gempa. Tubuh Jatiwulung terbawa bergulingan beberapa depa.
"Ya, Tuhan...," sebut Pangeran Sadis dengan kepala mendongak seperti sedang
menghiba. "Sungguh aku tak bermaksud buruk. Tapi, kena-pa peristiwa ini mesti terjadi...?"
Pengemis Binal mendengus gusar melihat
Pangeran Sadis yang tengah meratap. Lalu, dikeluarkannya kata-kata ejekan.
"Banyak orang jahat mengaku dirinya baik.
Sudah jelas kau berbuat jahat, kenapa masih saja kau berkata tak bermaksud
buruk" Bila kau
mengatakan itu sekali lagi, akan jatuh kesimpulanku bahwa kau berotak sinting! Kau bunuh
Dewi Ikata dan Datuk Risanwari! Kau lukai Banjaranpati dan Arumsari! Apakah semua itu tidak
mencerminkan maksud buruk?"
Pangeran Sadis menggeleng-geleng. "Tidak.
Kau tidak tahu, Suro. Dengar penjelasanku dulu!
Apa yang kulakukan ini sebenarnya...."
"Kentut busuk!" sela Pengemis Binal. "Persetan dengan penjelasanmu! Tanpa kau
jelaskan, aku sudah tahu bila kau manusia berjiwa binatang!" "Tidak, Suro! Dengar penjelasanku dulu!"
"Jelaskan dengan kepalan tanganmu!"
Usai berkata, Suropati menerjang. Ujung
tongkatnya meluncur lurus, mengancam ulu hati.
Cepat Pangeran Sadis mengegos ke kanan. Namun, ujung tongkat Suropati terus memburu bagai kepala ular tengah mencari mangsa!
"Hentikan seranganmu, Suro!" ujar Pangeran Sadis sambil berloncatan, menghindari
keja- ran tongkat Suropati.
"Tutup mulutmu!" sahut Suropati seraya memperhebat gempurannya.
Karena tak mau membalas, Pangeran Sadis
jadi kerepotan. Apalagi setelah Suropati memainkan rangkaian jurus Tongkat Sakti'-nya. Walau
tongkat di tangan Suropati hanya berupa tongkat
butut yang tidak mempunyai keistimewaan apaapa, jangan dikira tidak berbahaya. Sambaran
anginnya saja cukup membuat kulit terasa pedih
seperti diiris. Apalagi bila mengenai sasaran dengan telak, nyawa lawan tentu
melayang tanpa dapat dicegah lagi!
"Hentikan seranganmu, Suro! Dengar dulu
penjelasanku!" ujar Pangeran Sadis di antara kelebatan tongkat Suropati.
Pengemis Binal cuma mendengus. Tak dia
hiraukan kata-kata pemuda tampan itu. Diputarnya tongkat lebih cepat. Suara gemuruh terdengar keras. Daun-daun bercampur debu
tanah dan ke-rikil berhamburan. Tongkat Suropati lenyap, berganti wujud menjadi bayangan yang terus mengurung tubuh Pangeran Sadis.
Pada suatu kesempatan, tubuh Suropati
tampak melayang cepat di udara. Lalu, menukik
turun dengan tongkat terjulur lurus mengarah
ubun-ubun Pangeran Sadis. Dia menggabung jurus 'Tongkat Memukul Anjing'-nya dengan jurus
'Pengemis Meminta Sedekah'!
Terkejut bukan main Pangeran Sadis melihat serangan yang amat berbahaya itu. Cepat dia
tarik tubuhnya ke belakang. Namun, gerakannya
kurang cepat. Hingga....
Desss...! "Wuah...!"
Pangeran Sadis berhasil menyelamatkan
kepalanya. Tapi, tak urung bahu kirinya kena hajar kemplangan tongkat pengemis.
Tubuh Pangeran Sadis terjajar ke kanan tiga tindak. Namun, tak ada ringis kesakitan yang
tampak di wajahnya. Hanya bola matanya yang
melotot lebar berkilat-kilat.
Sementara, Suropati tampak berdiri tegak
dengan tongkat menyilang di depan dada. Ketika
angin berhembus, terkejutlah Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Setengah batang tongkatnya tiba-tiba hancur menjadi serbuk
halus, yang segera lenyap diterbangkan angin!
"Setan alas!" maki Pengemis Binal, kesal.
Serta-merta dia lemparkan setengah bagian
tongkatnya yang tersisa. Batang kayu itu melesat cepat, mengarah pangkal leher
Pangeran Sadis yang berdiri sekitar dua tombak dari hadapan
Pengemis Binal!
Wuttt...! Tubuh Pangeran Sadis tak bergeming sedikit pun. Tampaknya, dia sengaja menadahi luncuran tongkat Suropati yang dilemparkan sekuat
tenaga. Namun, sesungguhnya Pangeran Sadis
tengah mengerahkan ilmu 'Dewa Suci Menghalau
Badai'. Dengan mengalirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke perut, lalu meniup sedemikian rupa, hingga tiada terasa desis angin sedikit pun.
Hebatnya, batang tongkat yang mengancam batang lehernya tiba-tiba lenyap menjadi serbuk
amat halus yang tak mungkin terlihat mata telanjang! Ilmu 'Dewa Suci Menghalau Badai' pernah
digunakan Pangeran Sadis untuk mementahkan
lontaran biji teratai merah Arumsari di gua perta-paannya.
Terkejut bagai disambar petir Suropati melihat serangannya berhasil digagalkan dengan
mudah oleh Pangeran Sadis. Timbul rasa kagum
di hatinya. Tapi ketika ingat bila Pangeran Sadis adalah pembunuh Dewi Ikata dan
Datuk Risanwari, dia menggembor keras seraya mementangkan kedua pergelangan tangannya ke samping.
"Aku rela mati di tanganmu, Suro. Tapi,
dengar dulu penjelasanku!"
Suropati tak menghiraukan ucapan Pangeran Sadis. Kedua tangannya yang telah terpentang, dia tarik perlahan-lahan ke muka. Lalu, dia satukan kedua telunjuk jarinya
di depan dada. Sesaat tubuh Suropati bergetar keras. Dari kepalanya mengepul asap tipis!
"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'...!" kejut Pangeran Sadis.
"Keluarkan ilmu andalanmu!" ujar Suropati dengan tatapan tajam menusuk.
Kepala Pangeran Sadis menggeleng lemah.
"Dengar dulu penjelasanku. Setelah itu, kau bebas melakukan apa saja
terhadapku...," katanya, pasrah.
Pengemis Binal tersenyum sinis. "Ku kira
sudah tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Berdoalah sebelum malaikat kematian
menjemput nya- wamu!" Di ujung kalimatnya, Suropati mengalirkan
seluruh tenaga dalam ke kedua telunjuk jarinya
yang menyatu di depan dada. Dikerahkannya pula kekuatan ilmu sihirnya. Dan, totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' siap
dilancarkan....
Sementara itu, tubuh Jatiwulung yang tergeletak lemah di tepi sungai tampak bergetargetar. Satu tarikan napas kemudian, dia telah
berdiri walau terhuyung-huyung. Rupanya, sodokan ujung tongkat Suropati tadi hanya membuatnya pingsan. Melihat kepala Suropati yang mengepulkan
asap tipis, tahulah Jatiwulung bila remaja tampan itu hendak melancarkan totokan 'Delapan
Belas Tapak Dewa'. Terlihat pula olehnya, Pangeran Sadis yang berdiri pasrah menanti ajal.
Tanpa pikir panjang lagi, Jatiwulung membasuh wajahnya dengan air sungai. Lalu, dia lepas karet tipis menyerupai kulit yang menempel
di beberapa bagian wajahnya.
"Suro...!" teriak Jatiwulung seraya meloncat ke hadapan Pengemis Binal.
Suropati yang telah siap melepas totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' terkejut bukan main.
Tanpa sadar dia melepas aliran tenaga dalamnya.
Bola matanya melotot lebar melihat seraut wajah
cantik yang terpampang di hadapannya.
"Ika...," sebut remaja tampan itu.
Karena tak percaya pada penglihatannya
sendiri, Suropati mengucak-ucak matanya. Namun, apa yang dilihatnya tetap seperti semula.
"Ika...," sebut Suropati sekali lagi.
Sementara itu, Banjaranpati dan Arumsari
tak kalah terkejutnya. Hanya Sawung Jenar yang
tampak berdiri terlongong-longong karena tak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
"Dewi Ikata...!" jerit Arumsari seraya menghambur ke arah Jatiwulung yang
ternyata Dewi Ikata yang tengah menyamar.
"Eyang...," sebut Dewi Ikata seraya membalas pelukan Arumsari.
"Kau... kau belum mati, Ika...," ujar Arumsari. Nenek itu melepas pelukannya.
Ditatapnya wajah Dewi Ikata lekat-lekat. Setelah yakin bila seraut wajah yang terpampang di
hadapannya
Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang milik Dewi Ikata, dia memeluk lebih erat.
Dan, menangislah nenek keras kepala itu penuh
kebahagiaan. Suropati yang urung melancarkan totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa' tampak berdiri cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. "Apa arti semua ini...?" desisnya.
Mendadak, Pangeran Sadis melepas karet
tipis yang menutupi seluruh wajahnya. Kening
Suropati kontan berkerut tajam. Mulutnya terbuka lebar dengan bola mata melotot seperti hendak keluar dan rongganya.
"Kau... kau Peramal Sakti...," kejut Pengemis Binal sambil menuding Pangeran
Sadis yang telah membuka penyamarannya.
Bibir Pangeran Sadis menyungging senyum
tipis. Kepalanya menggeleng lemah. Sekali lagi dia melepas karet tipis yang
melekat di wajahnya.
Keterkejutan Pengemis Binal sudah tak dapat digambarkan lagi. Hingga beberapa lama matanya terus terbelalak dengan mulut menganga
lebar. Sambil menuding, dia hendak berkata. Tapi, tak ada suara yang keluar dan mulutnya.
"Ha ha ha...!" Pangeran Sadis yang telah membuka dua wajah palsunya tertawa
terpingkal-pingkal. "Kalau terkejut, wajahmu mirip kadal ter-injak, Suro!"
"Kau... kau Saka Purdianta...," sebut Pengemis Binal kemudian.
"Ya. Aku memang Saka Purdianta alias
Dewa Guntur."
"Apa... apa arti semua ini, Saka?" tanya Pengemis Binal, masih gelagapan.
"Sudah kubilang, aku tidak bermaksud buruk. Hanya kau saja yang tak mau mendengar
penjelasanku."
"Jadi, kau benar-benar tidak membunuh
Dewi Ikata?"
"Ya."
"Lalu, yang kukubur itu kepala siapa?"
"Kepala seorang perampok yang mati dibunuh temannya sendiri. Aku menemukannya di
hutan kecil tak jauh dan Bukit Ranuglagah. Dengan sedikit polesan, kubuat kepala itu mirip Dewi Ikata. Lalu, kususun sebuah
rencana. Ketika ku-temui Dewi Ikata, dia menyetujui rencanaku itu.
Dan, menyamarlah Dewi Ikata sebagai Jatiwulung...." "Yang kau susun itu rencana apa?" tanya Pengemis Binal, tak mengerti.
Saka Purdianta. menarik napas panjang.
Disunggingnya senyum manis. "Raka Maruta telah menikah dengan Anggraini Sulistya
kakakmu, Suro. Aku pun akan segera menikah pula dengan
Kusuma. Kupikir, kau pun sudah layak untuk
menikah. Atau paling tidak, mengikat tali pertunangan. Tapi melihat sifat mata bongsangmu, aku
jadi ragu untuk menentukan siapa yang pantas
menjadi pasanganmu. Lalu, aku ingat Dewi Ikata.
Selain berilmu tinggi, dia pun sangat mencintaimu, Suro. Kau beruntung mendapat gadis cantik
macam dia...."
"Lalu?" kejar Pengemis Binal.
"Kubuat kau agar mengucap janji untuk
menikahi Dewi Ikata."
"Jadi, yang menulis pesan di Gua Hantu
itu kau?" "Ya."
"Kerangka manusia itu?"
"Kerangka orang mati yang kugali dari kuburan. " "Bukan kerangka Datuk Risanwari?"
Saka Purdianta mengangguk. "Lalu, bagaimana kau bisa mengalahkan Banjaranpati dan
Arumsari dengan mudah?"
"Secara tak sengaja aku telah meminum
darah Prajna Singh yang mengandung khasiat
luar biasa. Kau lupa bila aku pernah menceritakannya, Suro?"
Suropati tampak berpikir. Digaruknya kepalanya yang tak gatal berulang kali.
"Ya. Ya, aku ingat. Tenaga dalammu menjadi berlipat ganda setelah meminum darah kakek
yang berasal dari tanah India itu. Tapi, bukankah tenaga dalammu telah berkurang
ketika kau membantu Kusuma untuk menyembuhkan Arya
Wirapaksi?"
"Benar. Namun, itu hanya sebagian kecil
saja." Suropati mengangguk-angguk. Bayangan peristiwa Arya Wirapaksi yang hampir
gila karena ilmu 'Mustika Api' berkelebatan di benaknya.
Termasuk cerita Saka Purdianta yang meminum
darah Prajna Singh di sebuah gua yang dipenuhi
stalagtit dan stalagmit. (Tentang peristiwa itu bisa dibaca pada serial Pengemis
Binal dalam episode "Asmara Putri Racun").
Mendadak, Pengemis Binal melonjak girang
seraya meloncat dan menarik tubuh Dewi Ikata
dari pelukan Arumsari.
"Uh! Apa-apaan ini, Suro!" rungut Dewi Ikata. "Kau mempermainkan aku! Inang
penga-suhmu yang bernama Palupi itu tentu kau suruh
bermain sandiwara!" bentak Suropati.
"Tidak! Bersama Saka Purdianta, aku telah
mengelabuinya! Kau tak suka" Mau marah" Silakan!" tantang Dewi Ikata.
Suropati garuk-garuk kepala sebentar. Secepat kilat dipeluknya tubuh Dewi Ikata. Lalu, di-lumatnya bibir gadis cantik
itu. "Uh! Uh!" keluh Dewi Ikata yang sulit bernapas. "Kau... kau harus menikahiku,
Suro! Ingat janjimu!"
"Ya. Ya, aku pasti akan menikahimu. Tapi,
tidak sekarang."
"Kapan?"
"Itu bisa dipikirkan nanti."
Dewi Ikata tak dapat berkata-kata lagi karena bibirnya keburu dilumat Pengemis Binal.
Semua yang melihat adegan itu cepat memalingkan muka. Dan seperti tanpa bosan, Pengemis
Binal terus melumat bibir Dewi Ikata....
SELESAI Serial Pengemis Binal dalam episode:
RAHASIA ARCA BUDHA
Scan/E-Book: Abu keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Bagus Sajiwo 2 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Topeng Kedua 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama