Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga Bagian 1
Teguh S. DURJANA PEMETIK BUNGA
Penerbit Cintamedia Jakarta
DURJANA PEMETIK BUNGA
Oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Tony G.
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Durjana Pemetik Bunga
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dedig / Putu Dodi
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
3 Tiupan suara seruling mengalun merdu menyanyikan lagu-lagu rakyat. Seakan-akan suara itu untuk
menyongsong terbitnya sang mentari pagi dari ufuk
limur. Alunan suara merdu itu menyusup ke lembahlembah, gunung-gunung, dan danau-danau seperti
memanggil seluruh isi mayapada untuk menikmati
alunan itu. Suara alunan merdu itu datang dari sebuah bukit
yang tidak jauh dari Desa Jati Ireng. Mungkin karena
ili sekitar bukit itu terdapat banyak pohon jati yang
batangnya berwarna hitam pekat, maka penduduk
desa itu menamakannya Bukit Jati Ireng.
Tampak seorang pemuda berkulit kuning langsat
dengan baju indah berwarna biru muda, duduk di
atas sebongkah batu hitam. Jari-jemarinya yang lentik
bagai j.iri-jemari perempuan, menari-nari lincah di
atas lubang-lubang kecil pada sebatang bambu
berwarna kuning gading. Bibirnya yang merah bagai
bibir seorang gadis, agak monyong meniup seruling
itu. Dari situlah asal suara itu datang.
"Indah..., indah sekali," tiba-tiba satu suara merdu
lain terdengar.
"Oh!" pemuda itu terkejut, langsung menghentikan
permainan serulingnya.
Pemuda itu tersenyum manis begitu melihat seorang gadis cantik telah berdiri di sampingnya. Pakaian
nya sederhana. Di tangannya terdapat sebatang bambu besar dengan tali pada ujung-ujungnya. Jelas
sekali kalau gadis itu habis mengambil air dari
pancuran yaili tidak jauh dari tempat itu.
"Siapa kau, Gadis Ayu?" tanya pemuda itu. Suaranya lembut dan halus, indah didengar.
"Oh! Maaf. Aku telah mengganggumu," mendadak
saja paras cantik gadis itu bersemu merah. Buru-buru
ditundukkan kepalanya.
"Aku Kamandaka. Siapa namamu, Gadis Ayu?"
pemuda itu memperkenalkan dirinya.
"Aku..., aku, Rara lnten," jawab gadis itu agak
gugup. "Kau penduduk. Desa Jati lreng?" tanya Kamandaka. "Benar. Kau sendiri?"
"Di mana aku suka, di situlah tempat tinggalku."
"Pengembara, maksudmu?"
"Boleh dikatakan begitu."
Rara lnten menatap sebuah gubuk kecil yang
sangat sederhana. Dia sering lewat tempat ini jika
mengambil air di pancuran. Kemarin gubuk itu belum
ada. Tapi sekarang sudah berdiri di antara dua batang
pohon yang menjadi tiang depannya.
"Itu tempat tinggalku. Baru aku dirikan kemarin
sore," Kamandaka seperti mengetahui jalan pikiran
gadis itu. "Kenapa kau tinggal di tempat terpencil begini?"
Tanya Rara lnten tidak mengerti.
"Aku suka kesunyian. Tempat ini sangat indah, aku
suka alam di sini. Kau suka keindahan juga, kan?"
"Ya," sahut Rara lnten.
"Rara..., Rara Inten...!" tiba-tiba terdengar panggilan. Sebelum Rara Inten menyahut, muncul seorang
gadis lain mengenakan kemben. Sebagian dada dan
bahunya terbuka lebar. Kain yang dikenakannya kelihatan basah. Gadis itu membawa sekeranjang cucian.
Dia tampak terkejut sekali melihat Rara lnten berdua
dengan seorang pemuda tampan di tempat sunyi.
"Rara, ayo pulang. Sudah siang!" ajak gadis itu.
"Kakang Kamandaka! Ini Sari, temanku. Rumahnya
tidak jauh dari rumahku," kata Rara lnten memperkenalkan gadis yang baru datang itu.
"Senang sekali dapat berkenalan dengan dua orang
gadis cantik sekaligus," sambut Kamandaka tersenyum manis. Bola matanya sedikit nakal menyorot
pada bahu Sari yang terbuka.
Sari hanya tersenyum, sedikit tersipu. Ditutupi
bahunya yang menjadi sorotan mata Kamandaka.
Desa Jati lreng memang terkenal memiliki gadis-gadis
cantik. Tidak heran jika banyak pemuda kaya dari
kota sering singgah ke desa itu sehabis pulang
berburu. Bahkan banyak dari mereka yang enggan
pulang karena kecantol dengan salah seorang gadis
Desa Jati lreng. Tidak sedikit pula gadis desa itu yang
hidup senang di kota setelah menikah dengan pemuda
kaya dari kota. Bukan mustahil kalau kehidupan di
Desa Jati lreng begitu makmur, tidak kalah dengan
kehidupan di kota-kota besar.
"Rara! Ayo pulang," ajak Sari setengah berbisik.
"Kakang Kamandaka, kami pulang dulu! Sudah
siang," pamit Rara lnten.
"Silakan. Tentunya orang tua katian telah cemas
menunggu," sahut Kamandaka tetap lembut suaranya. Sari segera menarik tangan Rara lnten. Kedua gadis
itu melangkah pergi diiringi pandangan mata Kamandaka yang tersenyum-senyum sendirian. Agak cepat
Sari berjalan sambil menarik tangan Rara Inten melintasi jalan setapak di Bukit Jati lreng ini, sehingga
Rara Inten kesulitan mengimbanginya.
"Pelan-pelan, Sari!" sentak Rara lnten seraya melepaskan pegangan temannya itu.
Sari berhenti sebentar, lalu melanjutkan langkahnya pelan-pelan sekali. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak Kamandaka masih duduk di atas
batu hitam memandang ke arahnya. Sari jadi kikuk
ketika Kamandaka menganggukkan kepalanya sedikit.
Buru-buru dialihkan pandangannya ke depan.
"Dia masih ada di situ, Sari?" tanya Rara lnten.
"Masih," sahut Sari kaget juga. Ternyata Rara lnten
memperhatikannya.
"Dia tampan, ya?" gumam Rara lnten seolah-olah
bicara untuk dirinya sendiri.
"Iya. Tapi kamu sudah punya tunangan!" serobot
Sari mengingatkan.
"Kamu naksir?" ledek Rara Inten.
"Ih, sembarangan!"
Hampir setiap hari jika ada kesempatan, Rara Inten
dan Sari selalu berbincang-bincang dengan Kamandaka di tempat yang sama ketika pertama kali mereka
bertemu. Sari yang lincah dan mudah bergaul tampak lebih akrab dengan Kamandaka daripada Rara
lnten yang agak pendiam. Rara lnten tahu kalau Sari
menyukai pemuda itu. Tapi juga disadari kalau dirinya sudah terikat tali pertunangan, sehingga selalu
menjaga jarak. Paling tidak untuk memberi kesempatan pada Sari agar lebih sering bertemu dengan
Kamandaka Berdua saja.
Pagi ini Sari sengaja pergi ke pancuran seorang diri.
Lain seperti biasanya yang selalu bersama-sama dengan Rara lnten. Entah kenapa, dia ingin sendiri saja
bertemu dengan pemuda tampan yang telah menarik
hatinya dalam beberapa hari ini. Gadis itu melangkah
pelan-pelan. Matanya selalu melirik gubuk kecil di
Bukit Jati lreng.
"Kakang...! Kakang Kamandaka...!" panggil Sari
berteriak begitu melihat Kamandaka keluar dari
gubuknya. Kamandaka tersenyum memandangi Sari yang
berlari-lari kecil menghampirinya. Dia berdiri saja di
depan pintu gubuknya yang dibiarkan terbuka lebar.
Wajah Sari tampak memerah ketika tiba di depan pemuda itu. "Kok sendiri Mana temanmu?" tanya Kamandaka.
'Tunangannya datang jadi Rara Inten tidak bisa ke
sini," jawab Sari berdusta.
"Dia sudah bertunangan?" Kamandaka tampak terkejut sekali. "Benar! Dengan pemuda kota. Putra seorang
Menteri Kerajaan Pasir Batang," Sari menjelaskan.
"Ah, beruntung sekali dia. Dapat putra seorang
menteri kerajaan," desah Kamandaka.
"Kelihatannya kau akan pergi, Kakang?" Sari
mengalihkan pembicaraan.
'Tidak," sahut Kamandaka tersenyum manis.
Sari juga membalas senyuman itu dengan manis
pula. "Mari, masuk?" ajak Kamandaka.
Tanpa diminta dua kali, Sari melangkah masuk ke
dalam gubuk itu. Kamandaka tersenyum dan mengikutinya dari belakang, lalu menutup pintu gubuknya.
Sari mengamati bagian dalam gubuk ini yang tidak
berkamar. Tidak ada perabotan sama sekali, kecuali
sebuah dipan bambu beralaskan anyaman tikar pandan menutup rerumputan kering dan sebuah pelita
kecil menempel pada dinding bambu yang dilapisi
kulit kayu. Sari kini duduk di atas dipan itu.
'Tidak ada apa-apa di sini. Kau pasti tidak suka,"
kata Kamandaka seraya duduk di samping gadis itu.
"Aku suka! Bersih, nyaman, dan tenang," sahut
Sari, lagi-lagi tersenyum manis.
'Tidak seindah rumahmu, kan?"
"Kau tahu rumahku?" agak terkejut juga gadis itu.
"Tidak terlalu sulit mengetahui seluk-beluk Desa
Jati Ireng."
"Desa Jati Ireng memang kecil. Tidak heran kalau
dalam beberapa hari saja kau sudah paham selukbeluknya."
"Termasuk gadisnya yang cantik."
"Ah...," Sari mendesah.
Gadis itu jadi kikuk ketika tangan Kamandaka
merangkul pundaknya. Rona merah menyemburat di
wajahnya ketika merasakan hangatnya desah nafas
pemuda itu menerpa wajahnya. Seluruh tubuh Sari
menggelepar ketika satu kecupan lembut mendarat di
pipinya yang putih halus kemerahan.
Bukan hanya di pipi. Ternyata bibir Kamandaka
mulai menjelajah ke leher dengan ciuman-ciumannya
yang hangat menghanyutkan. Seluruh aliran darah
gadis itu seperti berbalik, ketika bibir Kamandaka
menyentuh bibirnya. Baru pertama kali ini Sari
merasakan belaian dan kecupan seorang pemuda. Dia
tidak tahu, apa yang harus dilakukan" Sementara itu
jari-jemari Kamandaka mulai liar menjelajahi tubuh
gadis itu. "Oh..., Kakang..," desah Sari lirih.
"Kau cantik sekali, Sari," desah Kamandaka lemImt di telinga gadis itu.
Lagi-lagi Sari mendesah lirih. Kedua matanya terpejam saat merasakan jari-jari tangan Kamandaka
mulai mempreteli kancing bajunya satu per satu. Sari
tidak mampu lagi menolak ketika Kamandaka merebahkan tubuhnya di balai-balai bambu itu.
Sari benar-benar larut dalam buaian kenikmatan
yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Beberapa
kali bibirnya mendesiskan rintihan lirih. Beberapa kali
pula tubuhnya menggelinjang menggeletar. Tidak ada
lagi kata-kata yang terucapkan, Sari benar-benar
hanyut, lupa akan segala-galanya. Hingga pada suatu
ketika.... "Oh, okh!" Sari memekik tertahan.
Kedua mata gadis itu membeliak lebar. Tanpa
terasa setetes air bening menggulir dari sudut matanya. Dia menggigit-gigit bibir bawahnya, berusaha
meredam isak tangisnya yang hampir pecah. Sari
tidak tahu apakah harus marah, sedih, menyesal,
atau bahagia. Semuanya sudah terjadi tanpa dapat
dicegah lagi. Pelahan-lahan gadis itu meraih kain yang teronggok di ujung kakinya. Ditutupi tubuhnya saat tubuh
Kamandaka bergulir ke samping dengan keringat
membanjiri tubuhnya. Air mata semakin deras mengalir membasahi pipinya, tapi tidak sedikit pun suara
yang terdengar. Hanya bahu yang terbuka lebar saja
tampak terguncang-guncang menahan isak tangis.
"Apa yang kau tangisi, Anak Manis?" tanya Kamandaka sambil mengenakan
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali pakaiannya. Senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang selalu
merah menawan. Sari tidak menjawab, dan segera membenahi diri.
Dia berlari ke luar. Kamandaka tidak mengejar, tapi
malah tersenyum. Dia masih duduk di tepi dipan
bambu, dan tidak peduli dengan nasib gadis itu lagi.
Yang penting telah merasa puas karena telah berhasil
merebut mahkota tanpa paksaan sedikit pun.
* * * Sejak peristiwa itu, Sari telihatan sering menyendiri dan selalu melamun. Beberapa kali Rara Inten
mengajaknya ke pancuran, tapi selalu ditolaknya.
Perubahan menyolok pada Sari membuat Rara lnten
heran. Tidak seperti biasa temannya selalu murung
menyendiri. Biasanya Sari selalu periang dan mudah
bercanda. Hal itu juga menjadi pertanyaan orang tua
Sari. "Sari! Ke pancuran, yuk," ajak Rara lnten pagi itu.
"Malas, ah," tolak Sari acuh.
"Kamu sakit?" tanya Rara lnten penuh selidik.
Sari hanya menggeleng saja.
"Beberapa hari kamu tidak mau lagi ke pancuran.
Kenapa?" tanya Rara Inten lagi.
"Tidak apa-apa. Aku hanya malas saja," sahut Sari
seenaknya. Rara Inten tidak percaya kalau Sari malas ke pancuran. Dipandangi wajah temannya itu dengan mata
tak berkedip. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh
mata yang redup itu. Sesuatu yang tidak diketahui
tapa pun juga, kecuali Sari dan Kamandaka.
"Setiap hari Kakang Kamandaka menanyakanmu,"
kata Rara Inten pelan.
"Kau bertemu dengannya...?" mendadak wajah Sari
berubah. "Iya, setiap kali aku ke pancuran. Katanya dia
rindu, ingin ketemu denganmu lagi," sahut Rara lnten
"Ah...," desah sari. Wajahnya kembali murung.
Gadis itu kembali teringat peristiwa yang baru
pertama kali dialaminya. Peristiwa yang membuatnya
merasa malu untuk bertemu siapa saja. Dirinya
seperti merasa kotor dan sangat tercemar. Disesali
dirinya yang lemah, tidak mampu menolak bujukan
iblis. Masa-masa suram telah membayang di matanya.
Tidak ada pemuda yang bersedia menikahi gadis yang
sudah terenggut mahkotanya
"Rasanya, tidak ada pemuda yang sudi mengambilku, Rara. Kau beruntung, Rara. Aku iri padamu,'
pelan suara Sari.
"Jangan bilang begitu. Sari. Aku yakin, pasti akan
ada seorang pemuda yang akan meminangmu. Siapa
tahu, lebih tampan dan lebih segala-galanya daripada
tunanganku," hibur Rara Inten.
"Tidak..., tidak mungkin," semakin lemah suara
Sari. Kepalanya digeleng-gelengkan beberapa kali.
Pandangan matanya kosong tak bercahaya.
"Kenapa tidak" Kau cantik dan... "
"Rara...!" Sari memotong kata-kata Rara lnten
dengan cepat. Rara lnten terdiam. Dipandanginya temannya
dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan.
Sementara Sari hanya menunduk menekun tanah di
ujung jari kakinya. Rara lnten menggeser duduknya
lebih dekat. Tangannya membelai-belai lembut rambut
Sari yang hitam pekat bergelombang.
"Kita sudah lama bersahabat, Sari. Sejak kecil kita
selalu bersama-sama baik suka maupun duka. Kita
selalu berbagi rasa. Aku tahu kau sedang mengalami
kesulitan. Aku pun juga ikut merasakan kesulitanmu," lembut suara Rara lnten.
"Kau baik sekali, Rara," desah Sari lirih.
"Di antara kita tidak pernah ada rahasia. Aku tidak
yakin kau menyembunyikan rahasia padaku. Katakanlah, Sari. Apa yang membuatmu sedih?" bujuk
Rara Inten. Sari menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin diceritakan aib memalukan yang telah menimpa
dirinya. Di desa ini tidak pernah terjadi seorang gadis
terenggut mahkotanya sebelum menikah. Apakah
harus diceritakannya aib ini pada Rara Inten, meskipun telah bersahabat karib sejak kecil" Tidak! Sari
tidak akan pernah menceritakan semua yang dialaminya bersama Kamandaka pada siapa pun. Dia tidak
ingin mencoreng muka keluarga karena kelemahannya sendiri yang tidak mampu menolak bujukan
setan. "Sudah siang, Sari. Aku ke pancuran dulu. Kau
mau ikut?" ajak Rara lnten lagi.
"Tidak," jawab Sari pelan.
"Aku pergi dulu, ya."
Sari mengangguk lemah. Dibiarkan saja sahabatnya itu pergi meninggalkannya sendirian. Sampai Rara lnten pergi ke pancuran, Sari masih tetap duduk di
bawah pohon soka dengan bunga-bunganya yang merah dan berdaun lebat. Dia baru beranjak masuk ke
rumahnya setelah matahari tepat di atas kepala.
Saat matahari berada di belahan ufuk Barat, Sari
melangkah pelan-pelan di Bukit Jati Ireng. Matanya
terus memandang ke gubuk kecil di antara dua
batang pohon yang mengapitnya. Pelan namun pasti
langkah kakinya menuju gubuk kecil nan sederhana
itu, dari baru berhenti setelah berada di depan gubuk
itu. Sari kelihatannya ragu-ragu untuk lebih dekat
lagi. Dia hanya berdiri mematung dengan pandangan
kosong menatap lurus ke depan. Suasana di sekitar
Bukit Jati Ireng tampak sunyi, sementata matahari
semakin condong ke arah Barat. Mendadak gadis itu
tersentak kaget ketika merasakan pundaknya ditepuk
seseorang dari belakang.
"Oh!" Sari langsung membalikkan tubuhnya.
"Apa khabarmu, Manis?"
Bibir Sari seperti terkunci melihat Kamandaka
sudah berada di depannya sekarang. Hanya dipandangi wajah tampan pemuda itu dengan bibirnya yang
selalu merah tersenyum menawan. Sinar matanya
yang indah membuat gadis itu terpaku bagai terhipnotis. Dia lupa akan tujuannya semula datang ke
bukit itu. "Aku tahu, kau pasti rindu padaku," kata Kamandaka lembut suaranya.
"Aku..., aku...." suara Sari jadi tersekat di tenggorokan. Dan sebelum gadis itu bisa menguasai dirinya,
Kanandaka lebih cepat lagi menyumpal bibir gadis itu
dengan bibirnya. Tentu saja Sari gelagapan, dan
berusaha melepaskan diri dari pelukan pemuda itu.
Tapi semakin berusaha keras, semakin kuat pelukan
Kamandaka. Bahkan ciuman-ciuman pemuda itu semakin liar dan hangat menjelajah di seluruh wajah
dan leher gadis itu
Sari tidak mampu lagi bertahan. Perlawanannya
makin mengendor, dan akhirnya tidak berontak sama
sekali. Bahkan kini malah membalas semua ciumciuman yang diberikan Kamandaka. Sari benar-benar
lupa, bahkan tidak menolak ketika Kamandaka menggiringnya masuk ke dalam pondok. Dia juga tidak menolaak ketika tubuhnya dibaringkan di atas dipan
bambu beralaskan anyaman tikar pandan.
Sari tidak mampu lagi menolak. Apa yang terjadi
waktu itu, kini terulang lagi sekarang. Dia hanya bisa
menangis saat tubuh Kamandaka bergulir ke samping
lengan tubuh bersimbah keringat dan senyum
kepuasan. "Manis...," tangan Kamandaka menarik tangan Sari
yang akan bangkit. Tubuh gadis itu hanya terbungkus kain seadanya. Beberapa bagian tubuhnya yang
terbalut kulit putih mulus terbuka mengintip keluar.
Sari hanya duduk saja di tepi dipan bambu, dengan
punggung tangannya dihapus titik-titik air bening di
pipinya. Gadis itu tidak bergeming meskipun tangan
Kamandaka melingkar di pundaknya yang terbuka
lebar. Dia juga tidak menggubris saat pemuda itu
merapatkan tubuhnya, dan memeluk dari belakang.
"Jangan...!" sentak Sari lirih ketika tangan kamandaka berusaha menyentuh dua bukit kembar itu.
Buru-buru dirapikan kainnya.
"Kau cantik sekali, Manis. Sungguh menggairahkan," bisik Kamandaka dekat telinga gadis itu.
"Kakang...," suara Sari terputus.
"Apa yang ingin kau katakan. Manis" Katakanlah!"
"Kau.., kau harus mengawini aku," agak tergetar
suara Sari. "Kawin...?" Kamandaka tertawa seraya melepaskan
pelukannya, dan beranjak turun dari dipan.
"Jangan kau buat aku menderita, Kakang. Aku
masih gadis saat kau menjamah tubuhku," serak dan
tersendat suara Sari. Air bening mulai menitik lagi
dari sudut matanya.
"Aku tidak memaksamu, kan" Kau datang sendiri
ke sini. Kau serahkan tubuhmu dengan sukarela. Ah.
Lucu sekali kalau aku harus mengawinimu!" seenaknya saja Kamandaka bicara.
"Tapi...!"
"Sudahlah...! Salahmu sendiri, mengapa tidak menolak waktu itu! Aku tidak pernah memaksa seorang
wanita. Kalau kau menolak, aku juga tidak akan menjamahmu!" "Kau..., kau kejam!" Sari tidak kuasa lagi membendung tangisnya. Seketika itu juga tangisnya meledak. "Untuk apa kau menangis" Aku menikmati tubuhmu, dan kau juga merasakan kenikmatan dariku.
Adilkan" Kita melakukannya atas dasar suka sama
suka. Dan lagi aku tidak mengundangmu ke sini. Kau
sendiri yang datang menyerahkan tubuhmu!" tidak
lagi terdengar nada lembut pada suara Kamandaka.
"Kejam! Kau..., kau..., Iblis!" dengus Sari di sela
isak tangisnya.
"Terserah apa katamu," sambut Kamandaka kaSari langsung beranjak bangun. Ditatapnya dengan
tajam pemuda tampan di depannya. Tanpa banyak
bicara lagi, gadis itu berlari ke luar pondok diiringi
senyum lebar Kamandaka. Sari terus berlari, tidak peduli dengan pakaiannya yang acak-acakan. Sementara
itu Kamandaka tertawa renyah penuh kemenangan.
2 Jeritan melengking memecah kesunyian di pagi
buta ini. Jeritan itu berasal dari rumah Sari. Tampak
Nyi Gadung berdiri lemas di depan pintu kamar anaknya yang terbuka lebar. Sesekali jeritan masih terdengar dari mulutnya yang terbuka. Ki Gadung datang
tergopoh-gopoh dan terperanjat begitu melihat tubuh
Sari tergantung di tiang kamar.
"Ki...! Ki Gadung...!" terdengar panggilan dari luar
disertai gedoran pintu.
Ki Gadung bergegas ke luar dan membuka pintu
rumahnya, Tampak beberapa orang tetangga, baik
laki-laki maupun perempuan telah berkerumun di
depan rumahnya.
"Tolong...! Tolong, anakku!" rintih Nyi Gadung
berlarian, langsung memeluk suaminya.
Dua orang laki-laki muda bertubuh tegap segera
menerobos masuk. Mereka terperangah kaku saat melihat tubuh Sari tergantung di kamar. Tanpa banyak
bicara lagi, kedua laki-laki itu cepat memutuskan
angkin yang mengikat leher Sari, dan membaringkan
tubuh gadis itu di pembaringannya.
"Sari, anakku...," rintih Nyi Gadung langsung menubruk tubuh putrinya.
Beberapa orang sudah berkerumun di depan pintu
kamar. Ki Gadung tampak terduduk lemas di kursi
dekat pintu kamar. Pandangan matanya kosong ke
depan, seperti orang linglung yang tidak tahu lagi
harus berbuat apa. Beberapa tetangga mulai kasakkusuk menduga-duga. Dan sebagian lagi segera mengurus jenasah Sari. Nyi Gadung terus-menerus dihibur
beberapa perempuan tua di kamar lain. Sementara itu
Ki Gandung tetap duduk lesu tanpa semangat.
Sementara Rara Inten yang langsung datang begitu mendengar Sari gantung diri, menangis meraungraung memeluk mayat sahabatnya. Kalau saja ibunya
tidak segera membawa pergi ke luar, mungkin bisa
seharian ia menangisi mayat sahabatnya itu.
Pagi ini seluruh penduduk Desa Jatilreng tumpah
ruah di rumah Ki Gadung. Berita tentang kematian
Sari karena gantung diri tersebar cepat sampai ke
seluruh pelosok desa.
Beberapa dugaan dan tanggapan bermunculan,
Desa Jati lreng belum pernah mengalami kejadian
yang begitu menggemparkan. Seorang gadis mati Gantung diri! Desa Jati Ireng terkenal aman, tenteram,
dan makmur. Tidak mengherankan kalau kematian
Sari yang tragis itu membuat seluruh penduduk desa
itu gempar. "Beberapa hari ini, Sari memang kelihatan murung," kata salah seorang penduduk yang memadati
Halaman rumah Ki Gadung.
"Apa dia punya persoalan?" yang lain mendugaduga.
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sepertinya memang iya. Tapi sahabat dekatnya
saja tidak tahu persoalan apa yang membuat Sari
murung belakangan ini."
"Rara Inten, maksudmu?"
"Siapa lagi" Semua orang tahu kalau mereka bersahabat karib sejak masih kecil"
"Ada apa, ya...?"
Semua orang bertanya-tanya. Dan kini perhatian
mereka semua terpusat pada Rara Inten. Sahabat
kental Sari. Hal ini membuat Rara Inten kebingungan
karena semua orang selalu menanyakan tentang Sari
terhadapnya. Rara Inten sendiri tidak tahu. Dia tidak
bisa menjawab apa-apa, selain kata tidak tahu. Tapi
tidak seorang pun yang percaya begitu saja. Semua
orang yakin kalau Rara Inten mengetahui betul persoalannya. Rara Inten semakin kelabakan karena Kepala Desa
Jati Ireng ikut pula menanyainya. Kepala desa yang
bernama Ki Parungkit itu khusus datang ke rumah Ki
Gadung. Dimintanya satu kamar khusus untuk menanyai Rara Inten yang didampingi ibunya, Nyi Masaha.
Sedangkan kepala desa didampingi seorang bayan
yang bernama Sangkuni.
"Semua orang di desa ini tahu kalau kau sangat
dekat dengan Sari...," ujar Ki Parungkit pelan, namun
terdengar penuh kewibawaan.
"Kami memang dekat satu sama lain, Ki. Tapi aku
tidak tahu persoalan yang dihadapinya. Sari tidak
pernah mengatakan yang sebenarnya, jika ditanya,"
serobot Rara Inten sebelum Ki Parungkit selesai
berkata. "Sari punya kekasih?" tanya Bayan Sangkuni langsung menebak. Rara Inten tidak segera menjawab karena memang
dia tidak tahu Sari punya kekasih. Yang diketahuinya,
sikap Sari begitu berubah setelah akrab dengan Kamandaka yang menetap dekat pancuran di Bukit Jati
Ireng. Tapi Rara Inten tidak yakin kalau Sari jatuh
cinta pada pemuda itu. Memang, Rara Inten sering
melihat mereka berduaan. Tapi dia sama sekali tidak
punya pikiran buruk. Rara Inten hanya menganggap
hubungan mereka hanya sebatas teman biasa saja.
Tapi, Rara Inten juga ingat. Secap kali dia menyebut nama Kamandaka di depan Sari, wajah gadis itu
berubah menegang. Bahkan beberapa hari sebelum
meninggal gantung diri, Rara Inten sering mengajak
Sari ke pancuran. Tapi ajakan itu selalu ditolaknya.
Mungkinkah cinta Sari ditolak Kamandaka, lalu nekat
bunuh diri"
"Dua minggu yang lalu kami berkenalan dengan seorang pemuda tampan di Bukit Jati Ireng dekat
pancuran. Tapi aku tidak yakin kalau pemuda itu penyebab kematian Sari," kata Rara Inten pelan suaranya. "Sari mencintainya?" desak Ki Parungkit.
"Aku tidak tahu. Tapi aku sering melihat mereka
jalan berdua," Rara Inten mengakui.
"Siapa nama pemuda itu?" tanya Bayan Sangkuni.
"Kamandaka," sahut Rara Inten.
"Kamandaka...," desis Bayan Sangkuni menggulangi nama itu beberapa kali.
"Ada apa, Sangkuni?" tanya Ki Parungkit.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin dia ada di sini
Tapi...," Bayan Sangkuni seperti bicara untuk dirinya
sendiri. "Kau mengenalnya, Sangkuni?" tanya Ki Parungkit
lagi. "Sebaiknya kita ke Bukit Jati Ireng, Ki. Kalau
memang benar Kamandaka si Durjana Pemetik Bunga
pasti dialah penyebab kematian Sari!" seru Bayan
Sangkuni langsung bangkit berdiri.
Bayan Sangkuni segera melangkah ke luar kamar
diikuti Ki Parungkit. Sedangkan Rara Inten bisa
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Bayan Desa Jati
Ireng itu. Bergegas gadis itu ikut ke luar didampingi
ibunya. "Kalian semua, ambil kuda dan senjata! Ikut aku!"
perintah Bayan Sangkuni menunjuk beberapa pemuda yang ada di halaman rumah Ki Gadung.
Tanpa ada yang membantah, sekitar dua puluh
orang pemuda segera mengambil kuda masingmasing. Salah seorang di antaranya membawa dua
ekor kuda yang kemudian diserahkan pada Bayan
Sangkuni dan Ki Parungkit.
"Aku ikuti" seru Ki Gadung yang telah siap dengan
golok di pinggang. Dia juga sudah siap di atas punggung kudanya. "Baiklah. Tapi ingat, jangan berbuat gegabah," sahut Bayan Sangkuni tidak bisa menolak.
Atas saran Ki Parungkit, Rara Inten ikut serta
didampingi ayahnya. Tidak kurang tiga puluh orang
berkuda bergerak menuju ke Bukit Jati Ireng. Sementara matahari sudah cukup tinggi, tepat di atas kepala, sinarnya yang terik mengiringi tiga puluh orang
berkuda itu menuju ke Bukit Jati Ireng.
Ki Parungkit dan Bayan Sangkuni berjalan di tengah mengapit Rara lnten. Gadis itu menjadi penunjuk jalan menuju ke tempat tinggal Kamandaka. Dalam hati, Rara Inten tidak percaya kalau pemuda itu
penyebab kematian Sari. Perilaku Kamandaka sangat
sopan. Tidak ada tanda-tanda kalau pemuda itu orang
jahat. Lagi pula, kalau hanya persoalan cinta, tidak
mungkin Sari bunuh diri. Pasti ada persoalan yang
sangat berat dan tidak terpecahkan, sehingga gadis
itu mengambil jalan pintas.
Sepanjang perjalanan, Rara Inten terus berpikir
dan menduga-duga. Pendiriannya tetap pada keyakinannya semula. Sungguh sulit dipercaya kalau Sari
bunuh diri hanya karena cintanya ditolak Kamandaka. sementara rombongan kecil itu semakin dekat
ke Bukit Jati Ireng. Dari kejauhan, gubuk Kamandaka
sudah terlihat, dan seperti sepi-sepi saja.
Itu pondoknya. Dia tinggal di situ," kata Rara Inten
menunjuk rumah kecil yang sederhana sekali.
"Sepi.., apakah dia sudah kabur?" gumam Bayan
sangkuni. "Kau tunggu di sini, Rara. Biar kami yang menyelesaikan persoalannya," kata Ki Parungkit.
Rara Inten tidak membantah. Dihentikan laju
kudanya diikuti ayahnya dan lima orang pemuda
bersenjata golok di pinggang. Sementara Ki Parungkit,
Bayan Sangkuni, dan Ki Gadung terus mendekati
pondok kecil itu diikuti beberapa pemuda. Apakah
dugaan Bayan Sangkuni benar"
* * * "Kamandaka! Keluar kau!" teriak Bayan Sangkuni
lantang. Tidak ada sahutan sama sekali. Suara Bayan
Sangkuni yang keras dan lantang, bergema terpantul
batu-batuan dan pepohonan. Rumah kecil itu masih
tetap sepi, seperti tidak berpenghuni. Pintunya pun
tertutup rapat.
"Kalian datang membawa senjata sambil berteriakteriak seperti tidak mengerti kesopanan," tiba-tiba terdengar suara halus lembut.
Semua orang yang ada di situ serentak menoleh.
Tampak Kamandaka tengah duduk tenang di atas
batu hitam. Di tangannya tergenggam suling berwarna
kuning gading. "Sudah kuduga. Kau pasti si Durjana Pemetik
Bunga!" dengus Bayan Sangkuni.
"Apa maksud kalian datang ke sini"!" tanya Kamandaka yang lebih dikenal dengan julukan si Durjana
Pemetik Bunga. "Kau harus bertanggung jawab atas kematian
anakku!" bentak Ki Gadung.
"Anakmu" Siapa anakmu?" tanya Kamandaka
kalem. Kamandaka tersenyum melihat Rara Inten juga ada
di tempat ini, tapi agak jauh. Sudah bisa diduga,
kedatangan orang-orang itu pasti ada hubungannya
dengan Sari. Kamandaka tetap tenang meskipun
sudah dapat memastikan kalau Sari mati bunuh diri
karena merasa malu telah ternoda.
"Anakmu memang cantik dan menggairahkan,"
tenang sekali Kamandaka berkata.
"Kurang ajar! Kau apakan anakku, heh?" geram Ki
Gadung memuncak amarahnya.
"Dia datang sendiri padaku. Aku tidak pernah memaksa untuk menyetankan tubuhnya padaku. Ah...,
sayang sekali kalau harus mati terlalu cepat. Aku
tidak akan bisa melupakan tubuhnya yang indah
menggairahkan."
"Setan! Kubunuh kau, Bangsat...!"
Ki Gadung tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Sambil mencabut golok, dia langsung melompat dari punggung kudanya. Cepat sekali gerakan tubuh orang tua itu, dalam sekejap saja goloknya sudah
berkelebat mencecar tubuh Kamandaka atau si Durjana Pemetik Bunga.
Namun serangan yang begitu cepat dan berun-tun,
dengan mudah dapat dielakkan Kamandaka. Bah-kan
tanpa diduga sama sekali satu pukulan telah bersarang di dada Ki Gadung. Laki-laki tua itu memekik
tertahan. Tubuhnya terjengkang deras ke belakang
menghantam batu hitam yang cukup besar.
"Bunuh, setan keparat itu...!" seru Bayan Sengkuni keras. Seketika itu juga pemuda yang jumlahnya tidak
kurang dari dua puluh orang itu serentak berlompatan dengan golok terhunus. Mereka segera menyerang
dan mengepung Kamandaka. Tapi si Durjana Pemetik
Bunga itu dengan mudah dapat melayani. Bahkan beberapa orang pengeroyoknya jungkir-balik kena
pukulan dan tendangan telak Kamandaka.
"Aku muak mengurusi cacing-cacing macam kalian!" dengus Kamandaka.
Setelah berkata demikian, Kamandaka segera memutar tubuhnya cepat bagaikan gasing. Orang-orang
yang mengeroyoknya langsung berpentalan dan menggeliat-geliat di tanah. Golok-golok mereka beterbangan
tidak tentu arah. Kamandaka berdiri tegak dengan
senyum tidak lepas tersungging di bibirnya.
"Enyahlah kalian dari hadapanku, sebelum aku
berubah pikiran!" bentak Kamandaka dingin
Sebelum mereka bisa berbuat lebih banyak, tibatiba terdengar suara tawa mengikik. Suara tawa nyaring berirama merdu itu bagaikan datang dari segala
arah. Senyum di bibir Kamandaka semakin lebar
mendengar suara tawa itu. Lain halnya dengan Ki Parungkit dan Sangkuni. Seketika itu juga wajah mereka
pucat pasi bagai tak dialiri darah lagi.
Belum hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba di
samping Kamandaka telah berdiri seorang perempuan
muda dan cantik, mengenakan pakaian serba merah
menyala. Di telinganya terselip setangkai bunga
mawar merah. Wanita cantik itu menatap tajam pada
orang-orang yang tadi sempat bertarung dengan si
Durjana Pemetik Bunga.
"Celaka, Dewi Mawar Merah...!" desah Sangkuni.
wajahnya masih pucat.
"Kenapa mereka memusuhimu, Kakang?" tanya
Dewi Mawar Merah lembut pada Kamandaka.
"Ah, hanya persoalan sepele," jawab Kamandaka
kalem. Dewi Mawar Merah menatap Rara lnten dengan
tajam. "Bukan dia, tapi temannya," kata Kamandaka yang
mengerti arti tatapan tajam wanita cantik itu.
"Dia juga cantik. Kau tidak tertarik, Kakang?" ada
nada tidak senang pada suara Dewi Mawar Merah.
"Mungkin nanti," kalem saja jawaban Kamandaka.
Sementara itu Bayan Sangkuni memberi isyarat
pada para pemuda untuk segera menyingkir. Beberapa di antaranya cepat kabur setelah naik ke
punggung kuda. Sebagian lagi menggotong tubuh Ki
Gadung, sedikit demi sedikit Ki Parungkit, Bayan
Sangkuni, dan yang lainnya bergerak mundur.
"Kenapa kau diamkan saja mereka, Kakang?" tanya
Dewi Mawar Merah setelah orang-orang itu pergi.
"Biarlah. Mereka akan berpikir dua kali jika akan
ke sini lagi," sahut Kamandaka tetap kalem.
Dewi Mawar Merah tersenyum tipis, kemudian
ayunkan langkahnya memasuki pondok kecil tempat
bernaung Kamandaka. Pemuda yang berjuluk si Durjana Pemetik Bunga itu, mengikuti dari belakang.
Dewi Mawar Merah memandangi ruangan kecil yang
di dalamnya hanya terdapat dipan bambu dan sebuah
dipan saja. "Sepertinya kau tidak dapat hidup tanpa ranjang...," gumam Dewi Mawar Merah.
"Kau ingin mencobanya, Adik Dewi?"
"Uh! Selalu itu saja yang kau pikirkan!" rungut
Dewi Mawar Merah memberengut manja.
"Tapi kau suka, kan...?"
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ih...!"
Kamandaka tahu kalau wanita cantik itu hanya
pura-pura menolak. Buktinya, ketika Kamandaka mulai mememeluk dan menciuminya, Dewi Mawar Merah
malah membalasnya dengan gairah yang menggelora,
Di dalam pondok kecil itu kini tidak terdengar percakapan lagi. Hanya desir angin yang terdengar
menyusup masuk melalui celah-celah dinding.
Sementara itu matahari terus bergulir ke arah
Barat. Dua manusia berlainan jenis di dalam pondok
kecil itu tidak peduli lagi akan sekelilingnya. Mereka
terlalu asyik dengan nafsu setannya. Tidak ada yang
bisa melarang mereka. Bahkan nyamuk pun seperti
enggan mengganggu.
* * * "Sudah berapa gadis yang kau dapatkan di sini?"
tanya Dewi Mawar Merah sambil merapikan pakaiannya "Baru satu," jawab Kamandaka polos.
"Satu...!?" Dewi Mawar Merah seperti tidak percaya.
"Iya, kenapa" Tidak percaya?"
"Nama besarmu akan hancur kalau begitu," ejek
Dewi Mawar Merah.
"Aku sedang tak tertarik," desah Kamandaka
dengan enaknya.
"Kau pasti memikirkan Pendekar Rajawali Sakti!"
tebak Dewi Mawar Merah langsung.
"Aku belum bisa tenang sebelum memenggal kepalanya!" terasa dingin nada suara Kamandaka.
"Dia bukan lawanmu. Kakang. Aku sendiri belum
tentu bisa menandinginya. Pendekar Rajawali Sakti
sulit diukur tingkat kepandaiannya. Tidak sedikit tokoh sakti takluk padanya."
"Itu sebabnya, kenapa aku memintamu dan semua
teman-teman kita berkumpul di sini."
"Maksudmu?"
"Berapa teman kita yang masih hidup?" Kamandaka balas bertanya.
"Hanya lima, terjmasuk aku dan kau!"
"Jadi..., tinggal tiga lagi?"
"Betul. Hanya itu yang bisa kuhubungi."
"Siapa saja?"
"Si Datuk Arak, Iblis Muka Hitam, dan si Cakar
Beracun." Kamandaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia kenal betul dengan nama-nama yang baru saja disebutkan Dewi Mawar Merah. Nama-nama yang tidak
asing lagi dalam rimba persilatan. Mereka adalah
tokoh-tokoh persilatan golongan hitam. Kamandaka
sedikit terhibur mendengar nama-nama itu.
"Bagaimana?" Dewi Mawar Merah meminta pendapat. "Tidak mengecewakan. Aku yakin, kita berlima
pasti bisa menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," sambiI Kamandaka tersenyum, kemudian mengecup bibir
wanita itu dengan lembut.
Dewi Mawar Merah malah melingkarkan tangannya ke leher pemuda tampan itu. Bahkan memagut
bibir Kamandaka dengan ganas dan liar penuh gairah.
Jari-Jari tangan Kamandaka mulai nakal menjelajahi
tiap lekuk tubuh perempuan itu. Tiba-tiba aksinya
berhenti begitu mendengar suara keras dari luar
pondok itu. "Belum puaskah kalian bermesraan di dalam...?"
"Datuk Arak...," desis Dewi Mawar Merah mengenali suara itu.
"Sialan! Tidak boleh orang senang sedikit!" rutuk
kamandaka. "Lain waktu bisa diteruskan, Kakang," hibur Dewi
Mawar Merah seraya memberikan kecupan pada pipi
pemuda itu. Kamandaka beranjak bangkit dari dipan bambu.
Sebentar dirapikan pakaiannya, kemudian melangkah
ke luar pondok. Tampak seorang laki-laki tua dengan
pakaian kumuh dan kotor duduk bersandar di bawah
sebatang pohon rindang. Di tangannya mencekal seguci arak besar, dan di pinggangnya pun tergantung
guci yang juga besar ukurannya. Laki-laki tua itu
bertubuh kurus kering, tapi perutnya buncit seperti
wanita hamil. Mungkin karena kebanyakan menengak
arak! "He he he...," Datuk Arak terkekeh setelah menenggak cairan dari dalam guci yang dicekalnya.
"Selamat datang di Bukit Jati lreng, Datuk Arak,"
sambut Kamandaka hangat dan ramah.
"Hik! Sudah kau sediakan arak manis kesukaanku
Setan Kecil?" Datuk Arak tidak menggubris sambutan
hangat Kamandaka.
"Jangan khawatir. Lihat di atasmu!" sahut Kamandaka kalem. Datuk Arak langsung terkekeh melihat beberapa
buah guci besar bergantungan pada cabang-cabang
pohon di atasnya. Dihitungnya dalam hati. Ada sepuluh guci besar yang pasti berisi arak manis kesukaannya. Tanpa banyak bicara, mendadak tubuh tua itu
melenting tinggi ke udara, lalu kembali lagi dengan
kedua tangan mencekal masing-masing dua guci besar. Cepat sekali gerakannya, tahu tahu sudah duduk
di bawah pohon tadi.
"Aaah..., harum sekali baunya. Pasti arak terbaik
yang pernah kudapatkan," desah Datuk Arak sambil
menciumi satu per satu mulut guci yang telah dibuka
tutupnya. "Khusus kusediakan untukmu, Datuk Arak," kata
Kamandaka. "He he he..., kau memang bocah setan yang bisa
mengerti keinginanku. Tidak percuma aku menganggapmu saudara!" sambut Datuk Arak gembira.
Laki-laki tua yang kurus dan berperut buncit itu
mulai mencicipi empat guci arak yang diambil dari
atas pohon. Masih ada enam lagi yang belum diambil.
Bibirnya berdecak-decak, dan kepalanya teranggukangguk kegirangan merasakan nikmatnya, arak yang
disiapkan Kamandaka. Sesekali terdengar suara tawanya yang terkekeh panjang pendek.
"Apa perlunya kau mengundangku ke sini, Bocah
setan?" tanya Datuk Arak setelah menenggak araknya. "Nanti akan kujelaskan. Tunggulah sampai yang
lain datang," sahut Kamandaka.
"Kalau masalah perempuan, lebih baik aku pergi
saja!" rungut Datuk Arak yang mengetahui persis
watak Kamandaka.
"Mudah-mudahan benar," sahut Kamandaka sengaja membuat teka-teki.
"He he he , kau membuat teka-teki, Bocah Setan
Baiklah, aku suka teka-tekimu. Tapi aku ingin berakhir dengan kesenangan pula!" sambut Datuk Arak
terkekeh kesenangan.
"Aku jamin, kau pasti suka permainan ini. Seratus
guci arak akan kusediakan untukmu kalau semuanya
sudah berakhir!" janji Kamandaka.
"Aku pegang janjimu, Bocah Setan!"
Kamandaka hanya tersenyum saja.
*** 3 Suasana Desa Jati Ireng tampak lain dari biasanya,
seluruh pelosok desa tampak sepi. Kedai-kedai pun
seperti enggan untuk buka. Yang lebih menyblok,
ternyata para gadis tidak ada yang berani ke luar
rumah sendirian. Kabar tentang adanya Kamandaka
atau si Durjana Pemetik Bunga telah tersebar luas.
Apalagi ditambah dengan munculnya Dewi Mawar Merah. Perempuan cantik itu sangat kejam dan sukar dicari tandingannya saat ini.
Saat matahari berada di puncak paling tinggi pada
garis edarnya, tampak seekor kuda hitam berjalan
lambat-lambat di jalan utama Desa Jati lreng. Penunggangnya seorang pemuda berambut panjang
dengan ikat kepala putih. Dia mengenakan baju rompi
yang juga warna putih. Gagang pedang berbentuk
kepala burung rajawali, tampak menyembul dari balik
punggungnya. Jelas sudah, bahwa penunggang kuda
itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, atau Rangga.
Di depan kedai yang kebetulan buka tapi sepi pengunjung, Rangga menghentikan langkah kaki kudanya. Hanya dua orang saja yang kelihatan duduk di
sana selain seorang laki-laki tua pemilik kedai. Rangga turun dari kudanya, lalu melangkah tegap memasuki kedai itu. Diambilnya tempat agak ke sudut.
Dua orang pemuda yang duduk di situ memperhatikannya sejak Rangga datang hingga tengah menikmati makanannya kini. Pendekar Rajawali Sakti itu
tahu betul kalau dirinya tengah diperhatikan. Tapi
tidak ambil peduli karena takut selera makannya berkurang. "Sepi sekali desa ini. Ke mana penduduknya. Pak?"
tanya Rangga pada pemilik kedai itu.
"Ada," jawab pemilik kedai itu.
"Apa nama desa ini?" tanya Rangga lagi.
"Desa Jati Ireng," jawab pemilik kedai itu lagi.
"Ki Sarman...!" panggil salah seorang pemuda yang
ada di kedai itu.
"Maaf, sebentar," pamit pemilik kedai yang di
panggil Ki Sarman.
Laki-laki tua berambut putih seluruhnya itu menghampiri dua pemuda yang tidak begitu jauh dari
Rangga. Salah seorang pemuda itu berbisik-bisik pada
Ki Sarman. Laki-laki tua itu kelihatan manggut-manggut saja. Tak lama kemudian, kedua pemuda itu beranjak pergi setelah melirik Rangga sebentar. Pendekar
Rajawali Sakti itu kelihatan acuh, seolah-olah tidak
memperhatikan sama sekali.
Ki Sarman kembali menghampiri Rangga, lalu
duduk di hadapannya. Rangga hanya melirik sedikit
sambil mencuci tangannya di mangkuk kecil dari tanah liat bakar. Sebelah kakinya diangkat naik ke
bangku yang didudukinya. Matanya sempat melirik
dua pemuda tadi yang kini berdiri agak jauh dari
kedai. "Ada penginapan di desa ini, Ki?" tanya Rangga
yang kini menyebut 'Ki' pada Ki Sarman Mungkin
maksudnya agar lebih akrab.
"Tidak ada. Den. Tapi kalau Aden mau, bisa menempati kamar belakang kedai ini. Aku juga tinggal di
sini sendirian," sahut Ki Sarman ramah.
"Sendirian" Keluarga Aki di mana?"
"Aku sudah lama hidup sendirian. Istri Aki telah
lama meninggal. Anak tidak punya. Ada juga saudara,
tapi jauh sekali tinggalnya."
"Kalau begitu, bolehlah. Aku juga tidak lama tinggal di sini," kata Rangga menyetujui. "Berapa satu
harinya?" "Jangan dipikirkan, Den. Aki sih tidak pernah pasang tarif. Terserah Aden saja ingin memberi berapa."
Rangga hanya tersenyum saja.
"Aden datang dari mana?" tanya Ki Sarman sam-bil
membereskan meja bekas makan Rangga.
"Dari Karang Setra, Ki," jawab Rangga terus terang.
"Wah! Jauh sekali! Perlu satu pekan berkuda baru
sampai ke sini. Tujuannya ke mana. Den ...,"
"Rangga! Panggil saja aku Rangga, Ki," kata Rangga
yang sebenarnya risih dipanggil 'Den'.
"Den Rangga akan ke mana tujuannya?" kata Ki
Sarman mengulangi pertanyaannya lagi.
"Entahlah, Ki. Ke mana saja kuda hitamku melangkahkan kaki, ke situlah aku pergi," jawab Rangga
mendesah. Ki Sarman mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sudah dipahaminya kalau pemuda itu adalah seorang
pengembara yang tidak punya tujuan pasti Memang
banyak pengembara yang singgah ke desa ini. Jadi sebenarnya, kedatangan Rangga tidak lagi menjadi perhatian. Tapi dalam situasi sekarang ini, kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti itu tentu saja mendapat
pengamatan dua orang pemuda yang tadi berada di
kedai ini. Mereka terus mengamati dari jarak yang cukup jauh. Rangga paham betul kalau dirinya tengah diawasi
sama sekali tidak ambil peduli. Pendekar Rajawali
Sakti itu malah meminta Ki Sarman untuk mengantarnya ke kamar yang akan disewa. Dengan senang
hati laki-laki tua itu mengantarkannya. Di manamana sama saja, sebuah kedai makan sering menyediakan kamar untuk bermalam.
Sebenarnya Ki Sarman memilihkan kamar yang
agak ke belakang. Tapi Rangga justru memilih yang
paling depan, sehingga bisa melihat langsung ke arah
jalan dengan leluasa lewat jendela. Ki Sarman tidak
bisa menolak. Tamu, baginya adalah raja yang harus
dilayani sebaik mungkin agar senang dan betah. Dari
kamar ini Rangga dapat lebih jelas lagi melihat dua
orang pemuda yang terus mengawasinya.
"Tolong beri makan kudaku, Ki," kata Rangga sebelum Ki Sarman keluar dari kamar itu.
"Jangan khawatir, Den. Aki juga punya banyak
kuda. Pasti kuda Den Rangga akan terawat baik oleh
pemelihara kudaku," sahut Ki Sarman.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu segera menutup pintu
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamarnya begitu Ki Sarman berlalu. Juga, dikuncinya
pintu kamar ini. Sebentar Rangga mengamati keadaan
kamar yang cukup besar dan lumayan baik.
"Hm, tidak mungkin aku ke luar melalui jendelab
Bisa-bisa malah ketahuan oleh dua orang anak muda
itu," kata Rangga dalam hati, tapi kemudian tersenyum ketika melihat ke atas.
"Hup!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke
atas dan hinggap di palang balok Dengan hati-hati sekali, dibukanya genting kamar itu, kemudian tubuhnya kembali melenting ke luar setelah lubang di
genting cukup untuk tubuhnya.
* * * Dua orang pemuda yang mengamati kedai Ki
sarman, sangat terkejut ketika tiba-tiba saja di belakang mereka telah berdiri orang yang tengah diawasi.
Ke dua orang itu sampai terlonjak begitu Rangga menepuk pundak mereka.
"Ada yang salah pada diriku, Kisanak?" tanya
Rangga ramah dan bersahabat.
Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tapi
hanya saling pandang saja.
"Kalau kalian tidak menyukai kehadiranku di sini,
sekarang juga aku akan pergi," kata Rangga seraya
berlalu. "Tunggu!" cegah salah seorang.
Rangga berhenti melangkah, langsung berbalik.
"Siapa kau, dan apa tujuanmu datang ke sini?"
Tanya seorang lagi.
"Aku Rangga, dan ke sini hanya singgah seberitar.
Siapa Kisanak berdua?" Rangga balas bertanya setelah memperkenalkan diri.
"Aku Somad. Dan ini temanku, Mirad," salah seorang yang bernama Somad juga memperkenalkan diri. "Kami berdua adalah petugas keamanan desa, yang
harus selalu waspada terhadap setiap pendatang."
"O, apakah selalu begitu?" tanya Rangga sedikit
heran mendengar keterangan itu.
"Ya, tidak selalu. Tapi dalam beberapa hari ini kami
dituntut untuk lebih waspada lagi," jawab Mirad
menjelaskan. "Hm..., tampaknya desa ini sedang mengalami sesuatu...," gumam Rangga menduga-duga.
"Kelihatannya kau memang orang asing yang tidak
tahu menahu keadaan di sini," Somad juga bergumam. "Kalau kalian berdua percaya, aku memang tidak
tahu keadaan di sini. Aku hanya singgah dan aku
meneruskan perjalanan setelah cukup beristirahat."
"Kau seorang pendekar?" selidik Mirad.
"Ah, bukan...," jawab Rangga merendah. "Aku hanya pengembara biasa yang mencari hidup dari satu
desa ke desa lain."
"Kau membawa senjata Pengembara yang membawa senjata, tentulah pendekar," Mirad tetap pada
pendiriannya. "Besok atau lusa, aku akan meninggalkan desa ini.
Permisi," pamit Rangga yang tidak menggubris kecurigaan Mirad.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja melangkah
ke kedai Ki Sarman. Sedangkan dua orang pemuda itu
memandangi dengan dipenuhi berbagai macam tanda
tanya. Mereka masih berdiri di situ meski Rangga
telah pergi, masuk dalam kamarnya.
"Kamu percaya dengan keterangannya, Somad?"
Tanya Mirad yang masih mencurigai Rangga.
"Entahlah," jawab Somad sambil mengangkat bahunya. "Aku curiga. Jangan-jangan dia teman Kamandaka
yang akan ke Bukit Jati Ireng, lalu singgah dulu di
sini." Mirad mengemukakan kecurigaannya.
"Tapi dia kelihatan sangat sopan dan tidak bermaksud buruk pada penduduk desa ini," bantah Somad "Menilai seseorang jangan dari luarnya, Somad.
Coba kau lihat Kamandaka! Kata-kata dan sikapnya
selau lembut dan sopan, tapi hatinya busuk melebihi
Iblis!" "Aku melihat ada sinar kejujuran di matanya, tidak
liar seperti Kamandaka!" sergah Somad membantah.
"Ingat tugas kita, Somad. Kita tidak boleh percaya
begitu saja terhadap orang asing!" Mirad mengingatkan temannya. "Aku tahu, Mirad. Aku juga tidak bermaksud lalai
dalam tugas. Tapi aku yakin kalau dia tidak bermaksud buruk datang ke sini. Malah sepertinya, aku dapat wangsit kalau dia seorang pendekar tangguh yang
diutus Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan Jati
Ireng!" "Ah! Kau terlalu banyak menghayal!" rungut Mirad.
"Aku bukan menghayal, Mirad. Kau jangan salah
paham dulu. Aku sepertinya pernah mengenal ciri-ciri
orang itu...," Somad mengerutkan keningnya seolaholah tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Sudahlah! Bagaimanapun juga, kita harus tetap
mengawasi gerak-geriknya. Kau di sini saja, Somad.
Aku akan melaporkannya kepada Paman Bayan Sangkuni!" kata Mirad yang tidak ingin memperpanjang
perdebatannya. "Sebaiknya, aku saja yang pergi. Kau mencurigainya bukan" Nah, lebih tepat kalau kau saja yang
mengawasi!" selak Somad.
"Cepatlah, sebelum dia pergi!" Mirad mengalah.
"Jangan ke mana-mana! Aku akan segera kembali!"
pesan Somad. "Sudah, cepat sana!"
* * * "Ada apa Somad" Kau datang berlari-lari seperti
dikejar setan saja!" tanya Ki Parungkit ketika melihat
Somad tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ada yang ingin kulaporkan, Ki," jawab Somad
dengan napas terengah-engah.
"Apa ada gadis yang bunuh diri lagi?" tebak Bayan
sangkuni yang juga berada di rumah kepala desa itu.
"Bukan..., bukan itu."
"Lalu, apa?"
"Di kedai Ki Sarman ada seorang pemuda asing
yang kami curigai sebagai teman si Durjana Pemetik
Bunga!" "Siapa pemuda itu?" tanya Ki Parungkit.
"Dia mengaku bernama Rangga. Katanya, hanya
ingin singgah dalam pengembaraannya," Somad menjelaskan. "Terus terang, Ki. Aku sebenarnya tidak
mencurigainya. Dia kelihatannya orang baik-baik, dan
hanya kebetulan saja singgah di sini. Tapi Mirad tetap
mencurigainya, Ki. Dia kini masih mengawasi pemuda
itu tidak jauh dari kedai Ki Sarman.?"
"Rangga..., Rangga...," Bayan Sangkuni bergumam
beberapa kali menyebut nama Rangga. Keningnya
berkerut, pertanda tengah berusaha mengingat-ingat.
"Kau kenal nama itu, Sangkuni?" tanya Ki Parungkit. "Sebentar," desah Bayan Sangkuni. "Sepertinya aku
pernah mendengar nama itu sebelumnya...."
Ki Parungkit dan Somad hanya diam menunggu
penjelasan Bayan Sangkuni. Mereka tahu kalau Bayan Sangkuni cukup berpengalaman dan berpengetahuan luas baik di dalam maupun di luar dunia
persilatan. Dia juga banyak memiliki hubungan ke
luar. Hanpir seluruh tokoh dunia persilatan dikenal
baik olehnya. Lama juga Bayan Sangkuni berpikir, mencoba
mengingat-ingat. Pelahan-lahan kepalanya terangkat
ke atas, kemudian terdengar desahannya yang panjang dan berat.
"Rasanya tidak mungkin..." gumam Bayan Sangkuni pelan. "Apa yang tidak mungkin, Sangkuni?" tanya Parungkit. "Beberapa waktu yang lalu, di Karang Setra
diadakan penobatan raja pertama Karang Setra. Yang
aku dengar, raja muda itu telah dua puluh tahun
menghilang bertepatan dengan terjadinya peristiwa
pembegalan di Lembah Bangkai, atau tepatnya di
sekitar Danau Cubung," masih terdengar pelan suara
Bayan Sangkuni.
"Maksudmu, peristiwa pembegalan yang menimpa
Gusti Adipati Karang Setra oleh gerombolan Iblis
Lembah Tengkorak?" Ki Parungkit menegaskan. Peristiwa itu memang pernah didengarnya dari mulut
mulut. "Benar!" sahut Bayan Sangkuni "Putra tunggal
Gusti Adipati Karang Setra hilang, lalu setelah dua
puluh tahun berlalu muncul kembali di Karang Setra."
"Ya..., ya...! Aku juga dengar penobatan raja muda
itu. Kadipaten Karang Setra kini menjadi sebuah
kerajaan...." Ki Parungkit mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu, apa hubungannya?"
"Putra Gusti Adipati itu bernama Rangga Pati parmadi." "Jadi... "Aku sendiri belum yakin kalau pemuda itu adalah
Raja Karang Setra. Atau mungkin juga dia...." Bayan
Sangkuni tidak melanjutkan kata-katanya.
Ki Parungkit dan Somad menunggu penjelasan selanjutnya sedikit tidak sabar.
"Ayo, kita temui dia!" ajak Bayan Sangkuni segera
bangkit berdiri.
Ki Parungkit hanya mengangkat bahunya saja.
bersama Somad, diikutinya Sangkuni yang telah melangkah ke luar. Tapi, begitu kaki mereka melewati
pintu depan rumah kepala desa itu, mendadak
seorang perempuan tua berlari lari sambil menangis
melolong. "Nyi Kati...! Ada apa?" tanya Ki Parungkit.
"Tolong, KI... Anakku..., si Tole...."
"Kenapa anakmu"!"
"Jatuh ke jurang sebelah Selatan Bukit Jati Ireng!"
"Huh! Ada-ada saja!" rungut Bayan Sangkuni.
"Sangkuni, kau terus saja menemui pemuda itu.
Biar aku dan Somad yang akan mendong anak itu,"
kata Ki Parungkit
"Hati-hatilah! Daerah itu dekat pancuran tempat si
Durjana Pemetik Bunga berdiam! Sebaiknya, ambil
jalan memutar saja!" pesan Bayan Sangkuni.
"Ya, aku tahu," sahut Ki Parungkit. "Ayo, Nyi!"
lanjutnya kepada Nyi Kati.
Bayan Sangkuni menggeleng-gelengkan kepalanya
memandangi kepergian Ki Parungkit bersama Somad
dan Nyi Kati. Ada-ada saja. Persoalan satu belum juga
selesai, malah muncul persoalan lain! Bayan Sangkuni menarik napas panjang-panjang, kemudian diayunkan langkahnya mendekati kuda yang tertambat
di bawah pohon rindang. Tidak berapa lama kemudian, laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu
telah memacu kudanya menuju kedai Ki Sarman.
* * * 39 Sementara itu di Bukit Jati Ireng, Kamandaka yang
lebih dikenal sebagai si Durjana Pemetik Bunga,
cukup puas akan kedatangan Datuk Arak, Iblis Muka
Hitam, dan Cakar Racun, yang diundang secara
khusus ke bukit ini. Meskipun Dewi Mawar Merah
hanya mendapat tiga orang saja yang bersedia datang,
tapi Kamandaka tidak menyangsikan tokoh-tokoh itu.
Mereka adalah orang-orang rimba persilatan yang
sudah punya nama besar.
Malam ini, bulan bersinar penuh. Kamandaka dan
teman-teman undangannya duduk berkumpul mengelilingi api unggun kecil dengan seekor rusa di atasnya,
bau harum daging rusa panggang menyebar, membangkitkan selera. Kamandaka memandangi satu per
satu tamu undangannya itu. Tampak Datuk Arak duduk bersandar pada sebatang pohon yang di atasnya
bergantungan guci-guci arak.
Iblis Muka Hitam duduk tidak jauh dari Datuk
Arak. Laki-laki yang wajahnya hitam itu melemparlemparkan batu kerikil ke sembarang arah. Jika ada
oraang lain memandangnya, pasti akan terheranheran melihat kulit mukanya yang hitam, tapi bagian
lain dari tubuhnya kuning kecoklat-coklatan. Sedangkan Cakar beracun sedang menggosok-gosokkan
kukunya yang cukup panjang. Dia sudah kelihatan
tua, tapi tidak setua datuk Arak. Pandangan matanya
masih sangat tajam dan mengandung kebengisan.
Dewi Mawar Merah duduk merapat pada Kamandaka,
tidak peduli pada sekelilingnya.
"Sebenarnya, apa maksudnya kau mengundangku
ke sini, Kamandaka?" tanya Iblis Muka Hitam. Suaranya terdengar besar dan berat.
"Apa kau masih menunggu orang lain lagi?" timpal
Cnkar Racun tidak sabar.
"Tidak. Hanya kalian bertigalah yang kuperlukan,"
sahut Kamandaka kalem.
"Kalau begitu, katakan apa maumu?" dengus Datuk Arak. "Kalian semua pasti kenal dengan Pendekar Rajawali Sakti," kata Kamandaka.
Datuk Arak, Iblis Muka Hitam, dan Cakar Racun
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling berpandangan tidak mengerti. Siapa yang tidak
kenal Pendekar Rajawali Sakti" Seorang pendekar
pilih tanding yang sulit dicari lawannya saat ini.
Mereka jadi bertanya-tanya. Apa hubungannya Pendekar Rajawali sakti dengan undangan Kamandaka ini"
"Tidak mudah bagiku untuk menemukannya. Kalau
toh aku berhasil menemukan, tapi tidak mudah untuk
mencabut nyawanya. Itulah sebabnya, mengapa aku
meminta kalian bertiga datang ke sini. Maksudku,
untuk membantu menagih hutang pada Pendekar Raja Wali Sakti," kata Kamandaka. Nada suaranya terdengar serius. "Jangan bertele-tele, Kamandaka! Langsung saja
pada tujuanmu!" rungut Iblis Muka Hitam.
"Pendekar Rajawali Sakti berhutang nyawa padaku!" lanjut Kamandaka.
"He he he...," Datuk Arak terkekeh, segera di
tenggak araknya beberapa teguk. "Aku tahu sekarang.
Kau pun pasti ingin membalas kematian saudara
perempuanmu, kan?"
"Benar, Datuk Arak! Hidupku tidak akan tenang
sebelum minum darah Pendekar Rajawali Sakti!" seru
Kamandaka. Sesaat keheningan menyelimuti mereka. Semua
tahu apa yang terjadi terhadap saudara perempuan
Kamandaka. Memang permasalahannya bersifat pribadi. Tapi bagi mereka semua tidak mengenal istilah
pribadi. Apalagi keberadaan Pendekar Rajawali Sakti
membuat ruang gerak mereka menjadi sempit.
Mereka semua tidak menyangka kalau Klenting
Kuning bisa tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti
Mereka tahu siapa Klenting Kuning itu. Dia itu perempuan cantik yang wataknya tidak jauh berbeda dengan adiknya, Kamandaka. (Baca: Serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Wajah Seribu).
Semua orang di rimba persilatan tahu kalau Iblis
Wajah Seribu atau Klenting Kuning memiliki ilmu
yang dapat menaklukkan laki-laki. Tidak seorang pun
yang sanggup menollak jika Klenting Kuning menggunakan ilmu itu. Lawan pasti tunduk dan lupa
akan dirinya sendiri. Juga ilmunya yang lain yaitu
ilmu yang bisa merubah rupa serta penampilannya
sekehendak hati-nya. Tapi..., mengapa di hadapan
Pendekar Rajawali Sakti ilmu-ilmu itu seperti tidak
berarti sama sekali"
"Tapi, bukankah dia mati di tangan si Kipas Maut?"
kata lblis Muka Hitam ragu-ragu.
"Benar, Iblis Muka Hitam. Kakakku memang mati
di ujung pedang si Kipas Maut. Tapi waktu itu
Pendekar Rajawali Sakti ada di sana membantunya.
Dan lagi tidak mungkin kakakku dapat dipecundangi
oleh si Kipas Maut tanpa campur tangan Pendekar
Rajawali Sakti"!" jelas Kamandaka.
Ketiga tokoh golongan hitam itu manggut-manggut
seolah membenarkan ucapan Kamandaka yang diucapkan dengan nada geram itu.
"Kalau dia mati di tangan kita, seluruh dunia persilatan dengan mudah dapat kita kuasai!" seru Dewi
Mawar Merah yang sejak tadi diam saja.
"He he he..., jangan menghayal macam-macam
dulu. Tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti
sukar diukur. Kita berlima tidak mungkin bisa
menandingi-nya,
kecuali...,"
Datuk Arak tidak melanjutkan kata-katanya, tapi malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Kecuali apa, Datuk Arak?" desak Kamandaka.
"Kecuali kalau kalian bisa merebut pedang pusakanya!" sahut Datuk Arak sambil terkekeh.
Semuanya terdiam. Mustahil bagi mereka merampas pedang pusaka Rajawali Sakti dari tangan
Rangga. Mendadak saja pandangan mereka tertuju
pada Dewi Mawar Merah. Tentu saja wanita cantik itu
kelabakan dipandangi begitu. Dia dapat mengerti arti
pandangan mereka semua. Sudah barang tentu
mereka mengan-dalkannya untuk merebut pedang
pusaka Pendekar Rajawali Sakti itu. Dewi Mawar
Merah menggelenng-gelengkan kepalanya beberapa
kali. "Jangan...! Jangan kalian paksa aku untuk melakukan itu!" seru Dewi Mawar Merah buru-buru.
"Dewi, titik keberhasilan semua ada di tanganmu."
bujuk Kamandaka lembut
"Tidak mungkin, Kakang Kamandaka. Siang tadi
kau bilang Pendekar Rajawali Sakti sekarang ada di
Desa Jati Ireng, mustahil aku bisa ke sana. Mereka
se-mua sudah tahu siapa aku!" bantah Dewi Mawar
Me-rah. "Kau tidak perlu muncul terang-terangan, Dewi,"
kata Kamandaka lagi. "Dia masih muda dan tampan.
Kalau dia manusia normal, tentu akan tertarik dengan
kecantikanmu. Aku percaya kau punya cara sendiri
untuk melakukannya. Sekaligus merebut pedang
pusa-kanya."
"Jangan kau kira semua akan berpangku tangan
menunggu, Cah Ayu. He he he...," sambung Datu
Arak. "Aku sangsi...," gumam Dewi Mawar Merah.
"Kenapa harus sangsi" Kau punya kelebihan yang
tidak kami miliki!" Iblis Muka Hitam memberi dorongan. "Nini Klenting Kuning saja tidak mampu memperdayainya, apa lagi aku. "!"
"Kau bukan Klenting Kuning, kan" Kau punya gaya
sendiri yang tidak dipunyai wanita lain. Kau punya
daya tarik yang dahsyat Kalau aku masih muda, aku
pun pasti tertarik mengajakmu bercanda di ranjang,
he he he...," lagi-lagi Datuk Arak terkekeh menggoda.
"Ini bukan waktunya bercanda. Datuk Arak!"
dengus Iblis Muka Hitam.
"Ah, kau pun berminat juga, kan?"
"Jaga mulutmu, Datuk Arak!"
"Sudah, sudah...! Tidak ada gunanya kalian bertengkar!" seru Dewi Mawar Merah menengahi. "Akan
kupikirkan dulu!"
"Bagus! Tapi jangan lama-lama!" sambut Cakar
Racun gembira. "Lihat saja besok!"
* * * Malam terus merayap semakin larut. Udara dingin
kian menusuk tulang. Sementara mereka yang ada di
Bukit Jati Ireng telah mengambil tempat istirahat
masing-masing. Sedangkan Dewi Mawar Merah masih
duduk sendirian dekat api unggun. Kamandaka sudah
sejak tadi masuk ke pondoknya bersama Datuk Arak.
Entah apa yang mereka bicarakan di dalam pondok
itu. Dewi Mawar Merah mengarahkan pandangannya
pada Iblis Muka Hitam. Dia terbaring melingkar di antara dua buah batu yang di atasnya diberi tumpukan
daun lebar dan kering untuk atap. Pelahan-lahan wanita cantik itu bangkit, lalu melangkah mendekati
Muka Hitam. Dia berdiri saja setelah dekat dengan
ujung kaki laki-laki yang berwajah kasar dan bengis
itu. "Mau apa kau ke sini?" tanya Iblis Muka Hitam
tidak merubah posisi tubuhnya.
"Aku kira kau sudah tidur, Kakang," sahut Dewi
Mawar Merah lembut.
"Mau membokongku selagi tidur?"
"Ah! Rasa curigamu tidak pernah hilang," Desis
Dewi Mawar Merah tetap berdiri di tempatnya.
"Itu yang membuatku masih hidup sampai sekarang!" "Kakang...," lembut suara Dewi Mawar Merah.
Wanita cantik itu semakin mendekati, dan duduk
di samping Iblis Muka Hilam. Tangannya mengu-usap
dada yang terbuka dan berbulu lebat. Iblis Muka
Hitam menggeser tubuhnya sedikit, seperti sengaja
memberi tempat bagi Dewi Mawar Merah untuk
berbaring di sampingnya.
Bagaimanapun juga, kata-kata Datuk Arak ada
benarnya. Iblis Muka Hitam memang tertarik pada
wanita cantik ini, tapi tidak akan mengatakannya lebih dulu. Dia tahu kalau Dewi Mawar Merah adalah
kekasih Kamandaka, tapi dia tidak ingin merusak
hubungan mereka. Kecuali, Dewi Mawar Merah
sendiri yang menginginkannya.
"Aku tahu kau ingin sekali tidur bersamaku," kata
Dewi Mawar Merah seraya membaringkan tubuhnya.
"Aku tidak ingin merebut kekasih orang," sahut
Iblis Muka Hitam.
"Kamandaka sering melakukan itu. Dan aku pun
harus demikian. Aku dan dia tidak pernah melarang
ksenangan masing-masing."
"Aku bukan Kamandaka, Dewi. Aku Iblis Muka Hitam!" "Aku tahu, kau memang tidak pernah mengganggu
wanita. Kecuali terpaksa!"
"Setan kau!"
"Tapi, kau lebih sering terpaksa!"
"Ah, sudahlah! Apa maumu sekarang?"
"Kau tidak senang aku tidur di sini?"
"Bagaimana dengan Kamandaka?"
"Dia sudah pergi. Katanya ingin cari daun muda."
"Bukankah dia bersama Datuk Arak di dalam pondok?" "Tadi! Tapi sekarang Datuk Arak mendengkur sendirian. Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri!"
Iblis Muka Hitam tersenyum lebar. Meskipun dia
tadi memejamkan mata sedikit, namun sempat
melihat sebuah bayangan berkelebat cepat keluar dari
dalam pondok kecil itu. Dan rupanya Dewi Mawar
Merah me-lihat juga.
"Aku percaya padamu, Manis." kata Iblis Muka
Hitam berusaha melembutkan suaranya.
"Auh!"
Dewi Mawar Merah memekik tertahan ketika tibatiba saja Iblis Muka Hitam menubruk dan memeluknya. Wanita itu menggeliat kegelian karena dengan
liarnya Iblis Muka Hitam menciumi seluruh wajah dan
lehernya. Wajah yang dipenuhi cambang dan berewok
kasar itu membuat Dewi Mawar Merah terkikik
kegelian. "Akh!" Dewi Mawar Merah memekik tertahan.
Pekikan manja itu terdengar ketika tangan lblis
Muka Hitam merenggut kasar bajunya.
Sementara malam semakin larut, dua manusia itu
kini semakin hanyut dalam gelombang gairah yang
memabukkan. Tubuh mereka tampak polos tersiram
cahaya bulan yang mengintip malu di balik awan tebal
menghitam. Tidak ada lagi kata-kata yang terdengar
semua berganti dengan desah dan rintihan tertahan
yang membangkitkan gairah kedua manusia itu.
* * * Sementara itu, malam yang dingin berselimut
kabut membuat para penduduk Desa Jati lreng lebih
senang meringkuk di dalam selimut. Suasana begitu
sunyi, tidak terlihat seorang pun berada di luar
rumah. Tapi, tampak sebuah bayangan berkelebatan
sangat cepat dan ringan. Tak terdengar suara sedikit
pun setiap kali bayangan itu hinggap di atas rumah.
Bayangan itu berhenti setelah mencapai atap salah satu rumah. Tampak wajah tampan terbungkus
putih halus bagai wanita, terlihat jelas begitu sang
dewi malam keluar dari balik awan. Benar! Dia adalah
Kamandaka atau si Durjana Pemetik Bunga.
"Aku yakin, inilah kamar Rara Inten," gumam Kamandaka dalam hati.
Begitu ringan lompatannya sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Saat menjejak tanah, tepat
di depan jendela yang tertutup rapat. Dari celah-celah
jendela itu membias seberkas cahaya dari dalam.
Kamandaka tersenyum selelah mengintip dari lubanglubang jendela itu.
"Ah..., cantik dan menggairahkan sekali," desahnya
pelan. Kamandaka berdiri tegak di depan jendela. Matanya sedikit terpejam, sedangkan tangannya merapat
di depan dada. Pelahan-lahan kepalanya tertunduk,
kemudian kedua tangannya bergerak pelan-pelan saling menjauh. Lalu kedua telapak tangan yang
terbuka itu dijulurkan ke depan. Tiga tindak kakinya
melangkah, dan kedua telapak tangan itu menempel
erat pada daun jendela.
"Bangunlah, Rara. Sambut kedatanganku dengan
hangat penuh gairah," desis Kamandaka pelan.
Setelah berkata demikian, Kamandaka menurun
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tangannya kembali. Dia berdiri tegak sambil menatap lurus ke arah jendela. Bibirnya terus-menerus
menyunggingkan senyum. Dan senyum itu semakin
melebar ketika daun jendela di depannya terbuka,
tampak Rara Inten berdiri di balik jendela dengan
bibir menyunggingkan senyum manis
"Kau cantik sekali. Manis," desah Kamandaka
Rara Inten hanya tersenyum saja Pandangan matanya lurus ke depan dan tampak kosong. Gadis itu
bergerak menjauhi jendela yang sudah terbuka lebar.
Dengan sekali genjot saja, tubuh Kamanda meluruk
masuk ke dalam. Gerakannya ringan dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Cepat sekali, tahutahu kamandaka sudah berada di dalam kamar itu.
"Kemarilah, Manis. Mendekatlah padaku," kata
kamandaka seraya merentangkan tangannya ke depan. Rara Inten melangkah mendekati. Dan begitu
tubuh ramping yang hanya terlilit selembar kain dekat
dalam jangkauannya, Kamandaka langsung memeluknya erat-erat. Sedikit pun Rara Inten tidak memberontak. Wajahnya kosong tanpa ekspresi. Meskipun
matanya terbuka, tapi pandangannya kosong seperti
tanpa kehidupan sama sekali. Rara Inten telah terbius
oleh aji 'Penghilang Jiwa' yang dilepaskan Kamandaka
tadi. Gadis itu tidak lagi menyadari, siapa dirinya, dan
apa yang dilakukannya. Seluruh jiwanya sudah dipegang Kamandaka, sehingga si Durjana Pemetik Bunga
itu dengan leluasa sekali menggiring Rara Inten ke
atas ranjang. Dengan sesuka hati Kamandaka menciumi seluruh tubuh Rara inten. Bahkan ketika
tangannya melepaskan kain yang melilit tubuh gadis
itu. Rara Inten juga tidak melakukan perlawanan.
"Ahhh...," Kamandaka mendesah panjang.
Kedua bola mata pemuda itu berputar putar merayapi tubuh polos yang tergolek di pembaringan.
Tubuh yang ramping indah menggiurkan dengan kulit
putih mulus tanpa cacat sedikit pun. Tangan Kamandaka mulai merayapi tubuh Rara Inten yang tanpa
penutup lagi. Saat Kamandaka sudah naik ke atas
ranjang, mendadak....
Brak! "Heh!" Kamandaka kaget bukan main.
"Bangsat! Binatang...!"
Kamandaka langsung melompat turun dari atas
ranjang. Sementara itu Rara Inten tetap tergolek
tanpa peduli dengan tubuhnya. Pintu kamar itu jebol
berantakan. Dan di ambang pintu itu telah berdiri
seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan
gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul
dari balik punggungnya.
"Kurang ajar! Aku balas kelancanganmu, Pendekar
Rajawali Sakti!" geram Kamandaka mengenali pemuda
yang berdiri dengan wajah merah padam di ambang
pintu. Setelah berkata demikian, Kamandaka cepat melompat ke luar melalui jendela yang masih terbuka
lebar. "Hey...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Rangga langsung melesat mengejar dengan menerobos jendela.
Bersamaan dengan itu, Ki Masahar menerobos masuk
bersama istrinya. Nyi Masahar buru-buru menutupi
tubuh putrinya dengan kain. Rara Inten sudah kembali tertidur dengan lelap, sepertinya tidak pernah
mengnlami apa-apa malam ini.
Ki Masahar langsung menuju ke jendela tanpa melihat putrinya yang sudah ditunggui ibunya. Sebentar
diamati keadaan di luar. Tidak tampak apa-apa, hanya kegelapan saja yang dilihatnya Saat tangannya
hendak menutup jendela, mendadak Rangga muncul
depannya. "Oh!" Ki Masahar terperanjat.
Laki-laki tua itu langsung mundur, dan Ranga
melompat masuk. Pendekar Rajawali Sakti itu segera
menutup jendela setelah berada di dalam kamar. Matanya sempat melirik Rata Inten yang sudah tertidur
lelap. Tubuhnya sudah terbungkus kain kembali. Hanya bagian pundak dan sebagian dada saja yang masih terbuka. Rangga segera mengalihkan perhatiannya
pada Ki Masahar yang berdiri saja di samping tempat
tidur putrinya. Sedangkan Nyi Masahar duduk di tepi
pembaringan. "Bagaimana keadaan putrimu, Ki?" tanya Rangga
"Syukurlah, belum terjadi apa-apa," jawab Ki Masahar. "Sayang, aku tidak bisa mengejar. Cepat sekali dia
menghilang," keluh Rangga.
"Aku tahu siapa dia," kata Ki Masahar.
"Oh!" Rangga kaget juga
"Dia si Durjana Pemetik Bunga. Akibat ulahnya
Sari bunuh diri. Hm..., rupanya dia juga ingin menghancurkan putriku." Ada nada kejengkelan pada
suara Ki Masahar.
Tanpa diminta, Ki Masahar menceritakan keadaaan
Desa Jati Ireng ini sejak Sari ditemukan mati gantung
diri di kamarnya. Semua itu karena ulah si Durjana
Pemetik Bunga yang menodai Sari dan mencampakkannya begitu saja. Rangga mendengarkan tanpa banyak tanya. Bahkan sambil mendengarkan Ki Masahar bercerita, diperiksanya keadaan Rara Inten. Untunglah, aji 'Penghilang Sukma' tidak begitu berbahaya. Ajian Ini hanya bertahan beberajaa saat saja
pada tubuh korbannya. Tapi Rangga memberikan
aliran hawa murni juga untuk mencegah dampak lain
yang tidak diinginkan.
"Sudah berapa gadis yang menjadi korbannya?"
Tanya Rangga setelah Ki Masahar selesai bercerita.
"Sampai saat ini baru Sari. Untunglah Aden cepat
datang, sehingga Rara Inten terlepas dari korban
kedua si Durjana Pemetik Bunga."
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.
"Oh, ya. Siapa Aden ini sebenarnya?" tanya Ki
Masahar baru menyadari.
"Aku Rangga. Aku hanya seorang pengembara yang
hanya singgah sebentar. Kebetulan tadi aku melihat
seseorang masuk melalui jendela kamar ini. Maaf
kalau terpaksa mengganggu tidur Aki dan Nyai," kata
Rangga memperkenalkan diri dengan sopan.
"Ah, justru kami yang harus berterima kasih, Den,"
celetuk Nyi Masahar yang sejak tadi diam saja
mendengarkan. "Sudah selayaknya sesama manusia saling tolongmenolong," Rangga mendesah.
Setelah berbasa-basi sebentar, Rangga berpamitan. Sebenarnya Ki Masahar ingin agar Rangga menginap saja malam ini, tapi dengan halus Pendek
Rajawali Sakti itu menolaknya. Ki Masahar tidak bisa
menahan lagi. Dilepasnya kepergian Pendekar Rajawali Sakll itu sampai di depan pintu.
* * * 5 "Semalaman Bayan Sangkuni menunggumu di sini.
Den Rangga," kata Ki Sarman sambil membereskan
meja bekas makan Rangga pagi ini.
"Siapa dia," tanya Rangga.
"Dia seorang Bayan, yang artinya sesepuh desa mi,"
Ki Sarman menjelaskan.
"Ada apa dia menungguku?"
"Katanya, ingin berkenalan denganmu. Aku tidak
tahu kalau Aden akan pulang pagi. Tapi kalau tidak
salah, Bayan Sangkuni akan datang lagi hari ini"
Rangga tidak bertanya lagi. Ditenggak minumannya
yang tinggal setengah lagi. Hari masih terlalu pagi,
sehingga kedai Ki Samian masih kelihatan sunyi. Belum ada seorang pun yang datang. Bahkan di jalan
pun tampak sunyi, hanya satu dua orang saja yang lewat. Itu juga sesekali. Tampaknya penduduk desa ini
lebih senang berdiam di dalam rumah daripada ke
luar. Kalau tidak periu penting, berat rasanya ke luar
rumah. Saat mata Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya ke ujung jalan, tampak seorang
wanita cantik mengenakan pakaian hijau menunggang kuda coklat belang putih menuju ke kedai ini. Ki
Sarman segera menyambut ketika dia turun dari kuda
tunggangannya. Wanita itu sempat memberi senyum
pada Rangga saat kakinya melangkah masuk ke dalam kedai. Rangga membalasnya dengan sedikit anggukan kepala. Dan kini Rangga tidak lagi mempedulikan, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah
jalan. "Boleh aku duduk di sini?"
"Oh!" Rangga terkejut ketika mendengar suara
halus di dekatnya, kemudian menoleh.
Wanita cantik itu sudah berdiri di depan Pendekar
Rajawali Sakti. Bibirnya yang merah merekah menyunggingkan senyum manis menawan. Cepat-cepat
Rangga mempersilakan wanita cantik itu duduk.
"Namaku Rakawuni," kata wanita itu sambil tersenyum. "Rangga," balas Pendekar Rajawali Sakti, menyebutkan namanya pula.
"Senang sekali dapat teman mengisi perut," kata
wanita itu yang mengaku bernama Rakawuni.
"Maaf, aku baru saja makan," sahut Rangga.
"Sayang sekali. Tapi, tidak keberatan kan menemaniku makan?" pinta Rakawuni lembut.
"Sama sekali tidak," sahut Rangga.
Percakapan terhenti sejenak karena Ki Sarman
menghidangkan makanan. Ada seguci arak manis dan
buah-buahan yang segar. Rupanya wanita ini mempunyai selera makan yang cukup tinggi juga. Makanan
yang dipesannya kelihatan mahal-mahal harganya
dan tentu saja nikmat rasanya. Ki Sarman kembali ke
belakang setelah menghidangkan macam-macam makanan dan minuman di atas meja.
"Sepi sekali di sini," kata Rakawuni sambil menikmati makan paginya.
"Yah, memang demikian keadaannya," sahut
Rangga. "Kau penduduk sini..." Ah, boleh aku memanggilmu dengan Rangga saja?"
"Tentu saja boleh. Aku bukan penduduk sini. Aku
pendatang yang kebetulan singgah. Mungkin sama denganmu juga."
"Kau seorang pengembara?" tebak Rakawuni langsung. "Bisa dikatakan begitu," jawab Rangga kalem. Dikagumi juga akan Rakawuni yang memberi penilaian
tepat. Rupanya wanita ini memiliki pandangan yang
cukup luas. Mereka terus ngobrol masalah yang ringan-ringan
sampai Rakawuni selesai makannya. Ki Sarman datang lagi, membereskan meja bekas makan Rakawuni
tanpa banyak bicara. Hanya seguci arak dan dua gelas perunggu yang ditinggalkan. Laki-laki tua pemilik
kedai itu kembali lagi ke belakang membawa bekasbekas makan Rakawuni.
Rangga dan Rakawuni terus saja ngobrol. Gadis itu
tampak periang dan cepat sekali akrab dengan orang
yang baru dikenalnya. Kelihatannya mereka seperti
sudah saling mengenal begitu lama. Tidak ada lagi
kecanggungan, bahkan kadang-kadang mereka tertawa kalau ada perkataan yang menggelitik hati. Ini dimungkinkan karena Rakawuni memiliki banyak
bahan pembicaraan. Lagi sikapnya begitu periang,
lincah, dan cepat akrab.
"Sebentar. .," kata Rangga tiba-tiba ketika melihat
Ki Sarman memberi tanda memanggilnya.
Rangga segera bangkit dan berjalan ke belakang. KI
Sarman sudah menghilang di balik pintu belakang
kedai ini. Rangga menjumpai laki-laki tua itu sedikit
berlindung pada dinding dengan benak dipenuhi
tanda tanya. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Ssst...!" Ki Sarman menempelkan jari telunjuknya
pada bibirnya sendiri.
"Ada apa?" tanya Ranega lagi. Kali ini suaranya
terdengar berbisik.
"Hati-hati! Perempuan itu Dewi Mawar Merah kata
Ki Sarman berbisik.
"Dewi Mawar Merah" Siapa dia?" tanya Rangga
"Kekasih si Durjana Pemetik Bunga."
Rangga terperanjat mendengarnya. Tidak disangka
kalau wanita cantik yang kelihatannya ramah dan
mudah bergaul itu ternyata kekasih si Durjana Pemetik Bunga yang menyebabkan penduduk desa ini jadi
dicekam rasa takut.
"Biar menyamar, tapi aku bisa mengenalinya. Aku
pernah melihatnya bersama si Durjana Pemetik Bunga di Bukit Jati Ireng. Lihat saja cincinnya yang berbentuk bunga mawar. Itulah tanda kalau dirinya,
Dewi Mawar Merah!" Ki Sarman menjelaskan.
"Apa maksudnya datang ke sini?" tanya Rangga
mulai menduga-duga dalam hati.
"Entahlah. Tapi kau harus hati-hati. Perempuan
iblis itu sangat licik!" Ki Sarman memperingatkan.
"Terima kasih, Ki," ucap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 15 Durjana Pemetik Bunga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menemui wanita yang dikatakan Ki Sarman, Dewi Mawar Merah,
tampak dia masih duduk menunggu, dan tersenyum
manis melihat Rangga menghampirinya. Rangga segera duduk di depan wanita berhati iblis yang berjuluk
Dewi Mawar Merah. Pendekar Rajawali Sakti melirik
jari manis perempuan itu. Memang benar, ada cincin
yang melingkar berbentuk bunga mawar di jari manisnya. "Ada apa orang tua itu memanggilmu?" tanya Rakawuni atau si Dewi Mawar Merah. Nada suaranya
mengandung kecurigaan.
'Tidak apa-apa. Dia hanya menanyakan, berapa
lama lagi aku menginap di sini," jawab Rangga kalem.
"Kukira dia tidak suka aku datang ke sini."
Rangga hanya tersenyum saja.
"Oh, ya. Ada penginapan lain di sekitar sini?" tanya
Rakawuni. "Di ujung tikungan jalan sana," sahut Rangga menunjuk ke ujung jalan yang bercabang.
"Terima kasih, aku akan ke sana dulu."
"Kenapa tidak menginap di sini saja?" Rangga menawarkan. Rakawuni hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
saja. Dia bangkit berdiri dan meletakkan beberapa
keping uang untuk membayar makanannya. Tanpa
banyak bicara lagi, wanita yang berjuluk Dewi Mawar
Merah itu melangkah ke luar. Rangga hanya mengi Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 4 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Kupu Kupu Iblis 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama