Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Bagian 1
JAGO DARI MONGOL Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Jago dari Mongol
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Sebuah kapal layar berukuran besar merapat di dermaga Pelabuhan Timur Kerajaan
Jiwanala. Tidak seperti bi-asanya, kali ini pelabuhan itu tampak ramai
disinggahi kapal besar dan kecil. Dari dalam kapal besar itu keluar orang-orang
berpakaian aneh dari bulu binatang. Kulit mereka kuning dan mata agak sipit.
Jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang, rata-rata menyan-dang senjata golok
besar dan bergagang panjang.
Dari bendera yang berkibar di
tiang, dapat diketahui kalau mereka berasal dari daratan Mongol. Hampir semua
orang yang memadati pelabuhan itu memperhatikan mereka. Sebuah tandu indah
diusung oleh empat orang bertubuh kekar dengan otot-otot bersembulan keluar. Di
dalam tandu itu duduk seorang laki-laki berkumis panjang, dan berbaju indah dari
bahan sutra halus.
Di pinggangnya tersandang sebilah pedang panjang yang gagangnya berta-burkan
batu mutiara. Rombongan dari Mongol itu terus bergerak menuju ke ibukota Kerajaan Jiwanala.
Seorang punggawa kerajaan yang kebetulan melihat rombongan asing itu, bergegas
memacu kudanya menuju istana kerajaan yang tidak jauh dari situ. Dia sempat
berpesan kepada empat
orang prajurit penjaga pintu gerbang, kemudian memacu kudanya dengan cepat
memasuki benteng istana. Kerajaan Jiwanala merupakan kerajaan megah yang kaya.
Tidak heran kalau istananya begitu megah dan indah.
Punggawa itu bergegas turun dari kudanya begitu sampai di depan istana.
Langkahnya tergesa-gesa memasuki istana. Beberapa prajurit penjaga membungkukkan
badan memberi hormat. Laki-laki berpakaian pembesar kerajaan itu terus melangkah
lebar menuju ruangan singgasana kerajaan, dan langsung menjatuhkan diri berlutut
di depan Raja Jiwanala.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu Duta Nitiyasa. Hamba menghadap tanpa dipe-rintah,"
ucap punggawa itu.
"Ada apa, Punggawa Narayama?"
tanya Prabu Duta Nitiyasa lembut.
"Ampun, Gusti. Hamba melihat serombongan orang asing menuju ke Kotaraja. Mereka
datang dengan kapal yang cukup besar dan peralatan lengkap,"
lapor Punggawa Narayama.
Belum lagi Prabu Duta Nitiyasa
mengatakan sesuatu, seorang prajurit penjaga pintu gerbang istana muncul dan
menghampiri. Prajurit itu membungkuk, kemudian berlutut memberi hormat.
Para patih, panglima, dan pembesar kerajaan yang kebetulan berada di ruangan
itu, memandang pada prajurit
penjaga pintu gerbang yang baru datang.
"Ada apa, prajurit?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Ampun, Gusti Prabu. Ada beberapa orang asing hendak bertemu Gusti Prabu," lapor
prajurit penjaga itu.
"Hm..., perintahkan mereka masuk." "Hamba, Gusti."
Prajurit penjaga itu memberi hormat, lalu melangkah ke luar. Punggawa Narayama
bermaksud meninggalkan ruangan itu, tapi Prabu Duta Nitiyasa cepat melarangnya.
Punggawa itu menyingkir, dan duduk pada deretan punggawa lainnya. Tidak lama
berselang, seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berkumis hitam panjang
melangkah masuk. Sepuluh orang berpakaian seragam aneh yang terbuat dari bulu
binatang ikut mengiringnya.
Mereka serentak membungkukkan badan sambil meletakkan tangan kanannya di depan
dada. Prabu Duta Nitiyasa pun segera membalasnya dengan mengangkat tangannya ke
depan. Orang-orang dari Daratan Mongol itu duduk bersila dengan sikap hormat.
"Apakah maksud kalian datang
jauh-jauh ke negeri kami?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berbaju sutra halus itu bangkit
berdiri. Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Bagi mereka, sikap
orang Mongol itu sudah melampaui batas! Berani berdiri tegak di hadapan
junjungan mereka adalah melanggar tatakrama. Tapi Prabu Duta Nitiyasa segera
mengangkat tangannya, sehingga para pembantunya bisa mengendalikan diri.
"Aku bernama Ogodai Leng, dan mereka adalah pengawal khusus Yang Mulia Jengis
Khan. Kami datang untuk meminta tanda takluk negeri ini," lantang suara lakilaki tinggi besar itu.
"Gila! Setan apa yang membawa kalian kemari?" bentak Panglima Sembada berang.
"Panglima Sembada...," tetap tenang suara Prabu Duta Nitiyasa.
"Hamba, Gusti Prabu," Panglima
Sembada memberi hormat.
"Hm..., katakan pada rajamu. Kami semua di sini cinta damai, dan tidak akan
pernah takluk pada siapa pun.
Dengan tegas aku menolak permintaan rajamu," kata Prabu Duta Nitiyasa tegas.
Ogodai Leng merebut tombak dari tangan salah seorang pengawalnya, lalu
ditancapkan tepat di depan Prabu Duta Nitiyasa. Para panglima Kerajaan Jiwanala
langsung bangkit berdiri, tapi Prabu Duta Nitiyasa cepat mengangkat tangannya
kembali. Maka, kemarahan
panglima-panglima itu masih dapat teredakan.
"Silakan kalian tinggalkan istana ini," tegas Prabu Duta Nitiyasa.
Orang-orang Mongol itu tidak berkata-kata lagi. Mereka langsung berbalik dan
melangkah pergi. Tombak yang ditinggalkan menandakan tantangan untuk berperang,
dan ini sangat dis-adari Prabu Duta Nitiyasa maupun para panglimanya.
*** Orang-orang Mongol itu tidak
langsung kembali ke kapalnya, dan singgah di sebuah kedai minum yang tidak
begitu ramai. Dengan sikap dan gaya bagai penguasa, mereka bertindak semaunya di
kedai itu. Tentu saja hal ini membuat pengunjung lain merasa tidak senang, tapi
tidak bisa berbuat banyak. Seorang pemuda yang coba-coba mengusir, tewas di
ujung golok salah seorang Mongol itu.
Tapi dari sebelas orang itu, terlihat seorang pemuda berwajah tampan yang duduk
tenang, tak menghiraukan keramaian itu. Sebilah pedang panjang bertengger di
punggungnya. Kelihatannya pemuda itu tidak begitu suka melihat tingkah laku
teman-temannya yang brutal dan membuat kekacauan di kedai ini. Sejak masuk tadi,
pemuda berbaju putih bersih bagai seorang pelajar itu tidak membuka suara sedikit pun. Bahkan
dia duduk tenang tidak menghiraukan tingkah teman-temannya. Di depan pemuda itu
duduk Ogodai Leng, seorang panglima kepercayaan yang memimpin utusan dari Jengis
Khan ini. "Sejak turun dari kapal tadi, kau diam saja, Hulagu Leng. Ada apa?"
tegur Ogodai Leng.
"Tidak ada apa-apa, Kak Ogodai
Leng," sahut pemuda yang dipanggil Hulagu Leng ini.
Pemuda itu memang adik dari Ogodai Leng, dan dalam rombongan itu bertugas
sebagai wakil kakaknya. Memang tidak ada yang bisa menyangka kalau mereka kakak
beradik. Ogodai Leng berwajah kasar dan berwatak keras serta berangasan.
Sedangkan Hulagu Leng berwajah tampan, dan berperilaku halus lembut bagai
seorang wanita.
Namun tingkat kepandaian mereka bisa dikatakan seimbang. Hanya saja, mereka
saling menyayangi meskipun mempunyai watak yang saling bertolak belakang.
"Baru kali ini kau keluar dari
Mongol, Hulagu Leng. Kau harus banyak belajar. Ingat, kita berada di negeri
asing, jangan samakan dengan negeri sendiri. Sikap lemah akan membuat dirimu
sengsara. Kau harus mengerti itu, Hulagu Leng," jelas Ogodai Leng seperti bisa
menduga jalan pikiran
adiknya. "Selalu dengan cara seperti inikah kita memperoleh daerah kekuasaan, Kak Ogodai Leng?" tanya Hulagu Leng.
"Ingat, Adikku. Kekuatan adalah segala-galanya. Kita harus tunjukkan kekuatan
untuk menurunkan mental mereka. Ini baru sebagian kecil yang dapat kau saksikan.
Ah...! Sudahlah, Hulagu Leng. Kau nanti akan tahu sendiri, bagaimana caranya
memperoleh daerah kekuasaan."
Hulagu Leng diam membisu. Memang baru kali ini dia ikut dalam rombongan mencari
daerah kekuasaan baru bagi negerinya. Tapi justru pengalaman pertama ini membuat
hatinya terasa teriris. Betapa tidak, baru beberapa saat saja mereka mendarat di
negeri asing, sudah lima orang tewas.
"Mau ke mana kau?" tanya Ogodai Leng melihat adiknya bangkit dari duduknya.
"Kembali ke kapal," sahut Hulagu Leng seraya melangkah ke luar kedai.
"Kau tahu jalannya, Hulagu Leng?"
"Aku rasa tidak jauh dari sini."
"Hati-hatilah. Semua orang di negeri ini adalah musuh."
Hulagu Leng hanya tersenyum tipis, dan terus saja berjalan keluar dari kedai minum ini. Sementara temantemannya masih terus berpesta. Hulagu Leng agak terkejut juga melihat banyak
orang berdiri berjajar di sepanjang jalan depan kedai. Mereka semua membawa
parang atau senjata lain yang sangat sederhana. Dari sinar matanya, dapat
diketahui kalau orang-orang itu menyimpan kebencian yang amat sangat.
Hulagu Leng terus berjalan pelahan-lahan, namun sikapnya jadi waspada juga.
Berpuluh-puluh pasang mata menatapnya penuh kebencian. Tapi, tidak seorang pun
yang bergerak mendeka-tinya.
Sampai mendekati pelabuhan, tidak ada seorang pun yang mendekati orang Mongol
itu. Sedangkan Hulagu Leng masih terus bersikap waspada. Dan begitu kakinya
menginjak lantai dermaga, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari belakang.
"Orang asing! Berhenti...!"
Hulagu Leng langsung menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan dibalikkan
tubuhnya. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun berdiri
tegak, bersikap menantang. Dari pakaiannya dapat diketahui kalau dia seorang
panglima perang Kerajaan Jiwanala. Di belakangnya berdiri sepuluh orang
berpakaian prajurit. Mereka semua membawa sebatang tombak panjang dan pedang
tergantung di pinggang.
"Panglima Sembada, ada keperluan pentingkah sehingga Tuan bersusah payah datang
menemuiku?" tanya Hulagu
Leng mengenali panglima itu.
"Aku datang untuk meminta tanggung jawabmu, orang asing!" sahut Panglima Sembada ketus.
"Tanggung jawabku..."!" Hulagu
Leng mengerutkan keningnya.
"Jangan berpura-pura bodoh, orang asing! Kau datang membuat keributan dan
membunuh lima orang rakyat tak berdosa. Kau tahu, apa hukumannya bagi seorang
pembunuh"! Mati...!"
Hulagu Leng mengerti sekarang.
Dia kini tidak terkejut lagi. Memang, sejak keluar dari kedai tadi sudah diduga
kalau hal ini pasti bakal terjadi. Dan kejadian ini memang disesal-kan sekali.
Hanya saja dirinya tidak bisa berbuat banyak. Semua pengawal hanya tunduk pada
perintah kakaknya.
"Tangkap dia...!" perintah Panglima Sembada. "Tunggu!" sentak Hulagu Leng.
Tapi sepuluh orang prajurit Jiwanala itu tidak mengindahkan bentakan itu. Mereka
langsung bergerak cepat menyerang. Mau tidak mau Hulagu Leng melayaninya, namun
berusaha untuk tidak balas menyerang. Yang dilakukannya hanya berkelit
menghindari setiap serangan sepuluh orang prajurit itu.
*** "Tahan! Kalian salah jika menye-rangku. Nanti akan kujelaskan!" seru Hulagu Leng
keras. Tapi seruan itu tidak didengar
sama sekali. Bahkan sebatang tombak hampir saja merobek perutnya, kalau saja
orang dari Mongol itu tidak cepat-cepat berkelit dengan memiringkan tubuhnya.
Dan belum lagi sempat menarik kembali tubuhnya, satu tusukan tombak mengarah ke
dadanya. "Eit..!"
Hulagu Leng terpaksa mengangkat tangannya, lalu menangkap tombak itu.
Dengan cepat tangan kirinya mengibas ke arah perut penyerangnya. Prajurit
Kerajaan Jiwanala itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terjajar ke belakang
beberapa langkah. Tombaknya berhasil dirampas Hulagu Leng yang langsung
digunakan sebagai senjata untuk menahan gempuran para prajurit lainnya.
"Mundur...!" tiba-tiba Panglima Sembada berteriak nyaring.
Para prajurit itu segera berlompatan mundur begitu mendengar perintah
pemimpinnya. Panglima Sembada langsung melompat ke depan. Di tangannya telah
tergenggam sebilah pedang yang berkilat tertimpa cahaya matahari. Hulagu Leng
menggeser kakinya sedikit ke kiri.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"Kakang Raksajunta...," desis
Panglima Sembada begitu menoleh ke arah sumber suara tadi.
Seorang laki-laki berusia hampir tujuh puluh tahun melompat ringan, dan langsung
mendarat di samping Panglima Sembada. Raksajunta adalah seorang patih tertua di
Kerajaan Jiwanala saat ini. Semua panglima, patih, dan para pembesar sangat
menghormatinya.
"Ada apa ini, Sembada?" tanya Patih Raksajunta.
"Orang Mongol itu telah membuat keributan dan membunuh lima orang penduduk,
Kakang," sahut Panglima Sembada.
"Hm..., benar apa yang dikatakan Panglima Sembada?" Patih Raksajunta bertanya
penuh bijaksana pada Hulagu Leng.
"Sama sekali tidak kusangkal. Ta-pi semua itu bukan aku yang melakukan," sahut
Hulagu Leng. "Siapa pun yang berbuat, harus
bertanggung jawab, Kakang!" sergah Panglima Sembada.
"Hm..., siapa namamu?" tanya Patih Raksajunta tidak menghiraukan kata-kata
Panglima Sembada.
"Hulagu Leng. Aku adik kandung
Panglima Ogodai Leng."
"Kuminta dengan hormat, sebaiknya kau ikut ke istana untuk ikut bertanggung
jawab akibat perbuatan temantemanmu. Aku yakin, kau seorang ksatria yang bersedia bertanggung jawab atas
perbuatan teman-temanmu," tegas Patih Raksajunta.
Hulagu Leng terdiam beberapa
saat. Tampaknya sedang menimbang keputusan Patih Raksajunta barusan. Di
negerinya, dia memang seorang ksatria tangguh yang sukar dicari tandingan-nya.
Tapi persoalan yang dihadapinya sekarang bukanlah persoalan kecil.
Apalagi ini di negeri orang lain yang belum jelas tatacara kehidupan dan
peraturan hukumnya.
"Kau tidak perlu khawatir, Tuan Hulagu Leng. Akan kujamin keselamatan-mu, jika
kau benar-benar tidak bersa-lah," kata Patih Raksajunta seperti mengetahui jalan
pikiran orang Mongol itu.
"Bisa kupercaya kata-kata Tuan?"
Hulagu Leng ingin kepastian.
"Nyawaku taruhannya," sahut Patih Raksajunta tegas.
"Baiklah! Sumpah seorang satria telah kupegang."
Hulagu Leng menyerahkan tombak
yang dirampasnya dari tangan prajurit.
Seorang prajurit menerimanya, dan segera menggiring laki-laki Mongol itu.
Panglima Sembada memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya, kemudian berjalan
di samping Hulagu Leng.
Sedangkan Patih Raksajunta berjalan di
depan. Sepuluh orang prajurit mengiringi di belakang mereka.
Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Kecemasan merayapi hati Ogodai
Leng yang tidak mendapatkan adiknya di kapal. Semua awak kapal dan prajuritnya
ditanyai, tapi tidak ada seorang pun yang melihat Hulagu Leng kembali ke kapal.
Berbagai macam pikiran dan dugaan berkecamuk di benaknya. Sudah beberapa negeri
didatangi, berbagai macam bahaya dilalui, namun baru kali ini hatinya merasa
gelisah. Menghi-langnya Hulagu Leng membuat panglima dari Mongol itu diliputi
kecemasan. "Mungkin Hulagu Leng tersasar,
Tuan Panglima," kata salah seorang pengawal khusus Panglima Ogodai Leng.
"Tidak mungkin!" bantah panglima itu.
"Tapi sudah malam begini belum
juga kembali," kata seorang pengawal lagi.
"Temujin...," panggil Panglima
Ogodai Leng. "Hamba, Panglima...," sahut seorang laki-laki bertubuh kekar memakai baju dari
kulit harimau. "Bawa beberapa orang. Cari Hulagu Leng sampai dapat," perintah Ogodai Leng.
Temujin membungkuk memberi hormat, lalu bergegas meninggalkan kapal itu diiringi enam orang berpakaian
prajurit. Saat itu malam sudah demikian larut. Udara laut yang dingin berhembus
kencang menggigilkan. Tapi semua itu tidak dipedulikan Temujin dan enam orang
prajuritnya. Mereka terus bergerak menyusuri jalan yang tadi siang telah
dilalui. Sepanjang jalan yang dilalui
hanya kesunyian dan kegelapan saja ditemui. Mereka berhenti di depan kedai yang
disinggahi siang tadi.
Suasana di dalam kedai masih tetap sunyi, namun masih terlihat ada seseorang
duduk di sana. Pintu kedai yang terbuka lebar dengan cahaya pelita yang terangbenderang, menampakkan suasana di dalam kedai itu.
"Hm...!" Temujin memberi isyarat.
Enam orang prajurit Mongol yang ikut bersamanya segera bergerak mendekati kedai
itu. Laki-laki muda beram-but gondrong terikat, menoleh begitu mendengar
langkah-langkah kaki yang berat memasuki kedai. Alisnya berkere-nyit melihat
orang-orang Mongol masuk ke dalam kedai yang lantas membuat kegaduhan.
Temujin melangkah tegap memasuki kedai itu, langsung menghampiri pemuda yang
masih duduk tenang di kursinya.
Seguci arak terhidang di atas meja itu. Temujin berdiri menatap tajam
pada pemuda itu. Seorang laki-laki tua pemilik kedai mengintip dari balik
dinding bagian belakang.
"Gusti..., bencana apa lagi yang akan terjadi.... Hancur sudah seluruh
kedaiku...," rintih laki-laki tua pemilik kedai ini.
Sementara itu Temujin mengambil guci arak dari meja pemuda tampan yang tetap
duduk tenang di kursinya. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, pengawal pribadi
panglima dari Mongol itu menuangkan arak dalam guci itu ke atas meja. Pemuda itu
mengangkat kepalanya, menatap tajam ke bola mata orang di depannya.
"Arak itu belum dibayar," kata
pemuda itu kalem. Namun suaranya terdengar bernada datar dan agak tertekan.
"Akan kubayar sepuluh kali lipat kalau kau jawab pertanyaanku!" ujar Temujin
kasar. "Hm...," pemuda tampan berbaju
rompi putih itu hanya menggumam saja.
"Kau tahu, di mana Tuan Muda Hulagu Leng?" tanya Temujin.
"Maaf, aku tidak kenal dengan
orang yang Tuan tanyakan," sahut pemuda itu datar.
Brak! Temujin menggebrak meja hingga
hancur berantakan. Tapi pemuda berbaju rompi putih itu tetap tenang di kursinya. Sedikit pun tidak bergeming, bahkan tatapan matanya begitu tajam menusuk
langsung ke bola mata orang Mongol itu.
"Maaf, aku masih ada urusan
lain," ucap pemuda itu seraya bangkit dari duduknya.
"Setan...!" Temujin menggeram marah. Pemuda berbaju rompi putih itu terus
berbalik dan melangkah pergi tanpa mempedulikan umpatan Temujin.
Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, Temujin menghentakkan tangannya
melayangkan pukulan jarak jauh. Desiran angin yang sangat kuat membuat pemuda
tampan itu melesat ke atas, dan hinggap di palang atap kedai.
"Grrr...!" Temujin menggeram hebat karena pukulannya luput dari sasaran.
Sambil berteriak keras, Temujin melompat ke atas sambil mencabut senjatanya.
Dengan mengerahkan tenaga yang sangat luar biasa, dikibaskan senjatanya ke arah
pemuda itu. Tapi lagi-lagi serangan Temujin hanya menghantam tempat kosong.
Entah kapan dimulainya, tahu-tahu pemuda itu sudah berada di bawah.
"Hyaaat..!"
Temujin semakin berang karena merasa dipermainkan di depan anak buah-nya. Dengan
ganas, kembali diserangnya pemuda itu. Namun manis sekali pemuda
tampan berbaju rompi putih itu menghindari setiap serangan Temujin. Dan hal itu
membuat pengawal khusus Panglima Ogodai Leng itu marah luar biasa, sehingga
tidak dipedulikan lagi kesatriaan. Sambil menyerang, diperin-tahkan enam orang
prajuritnya untuk menyerang.
"Hm..., kedai ini bisa hancur kalau aku tidak keluar," gumam pemuda itu dalam
hati. Seketika itu juga pemuda itu melesat cepat ke luar kedai. Temujin berseru
nyaring, dan tubuhnya langsung melompat ke luar mengejar. Enam orang prajuritnya
pun bergegas berlarian mengikuti. Kini pertarungan berlangsung di halaman kedai,
terselimut kegelapan dan desiran angin laut yang dingin.
*** 2 Malam yang semula sepi, kini pecah oleh suara pertarungan di depan kedai.
Seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih harus menghadapi seorang pengawal
khusus Panglima Mongol yang dibantu enam orang prajuritnya. Meskipun dikeroyok
tujuh orang, tapi kelihatannya pemuda itu tidak mengalami kesulitan dalam
menghada- pinya. Gerakan-gerakan tubuhnya cepat
luar biasa. Bahkan serangannya tidak terduga, selalu tepat mengenai sasaran.
Orang-orang Mongol itu rupanya bukan lawan tanding pemuda berbaju rompi putih.
Mereka dibuat jungkir balik bergulingan di tanah. Hanya Temujin yang kelihatan
tangguh, mampu sedikit mengimbangi serangan pemuda itu.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja pemuda itu berteriak keras melengking. Secepat kilat tubuhnya
melesat ke atas, lalu secepat itu pula menukik ke bawah. Tangannya merentang
lebar dan kaki bergerak cepat.
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sahut. Sesaat kemudian terlihat empat orang asing itu roboh
terjungkal bersimbah darah. Pemuda itu berdiri tegak sambil melipat tangannya di
depan dada. Tatapan matanya tajam menusuk.
Melihat empat orangnya tewas, Temujin jadi gentar juga.
"Lari...!" seru Temujin keras.
Pengawal khusus Panglima Ogodai Leng itu langsung berlari kencang diikuti dua
orangnya yang tersisa.
Sedangkan pemuda itu tidak berkedip memandanginya. Temujin terus berlari
cepat menuju ke dermaga.
Laki-laki tua pemilik kedai yang sejak tadi melihat pertarungan itu dari tempat
yang tersembunyi, langsung keluar begitu Temujin dan dua orang sisa prajuritnya
melarikan diri. Segera dihampirinya pemuda itu, lalu di-bungkukkan tubuhnya.
"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Den.... Aden telah menyelamatkan kedaiku
dari kehancuran," ucap laki-laki tua itu sambil membungkukkan tubuhnya beberapa
kali. "Hm.... Banyak yang rusak, Pak
Tua?" tanya pemuda itu.
"Tidak, Den. Hanya meja dan kur-si. Tapi bisa diperbaiki," jawab laki-laki tua
pemilik kedai itu. "Ah, sebaiknya kita bicara di dalam saja, Den. Mari...."
Pemuda itu tidak menolak. Dia
berjalan memasuki kedai mengikuti Pak Tua pemilik kedai yang sudah berjalan
lebih dahulu. Matanya sempat melihat empat mayat yang masih menggeletak di luar.
"Biar pembantuku yang mengurus
dan membuangnya ke laut. Biar jadi santapan ikan-ikan liar," ujar Pak Tua
seperti mengetahui jalan pikiran pemuda itu.
Laki-laki tua pemilik kedai itu menyediakan seguci arak manis pilihan di meja
yang masih utuh. Pemuda itu
duduk menghadapi meja, dan tidak menolak ketika laki-laki tua itu menuangkan
arak ke dalam gelasnya. Sebentar Pak Tua itu masuk ke dalam bagian belakang
setelah menuangkan arak.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu sempat melihat beberapa orang laki-laki
muda menggotong mayat-mayat orang asing di halaman, lalu membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu sudah kembali lagi membawa sepiring
makanan kecil. "Hanya ini yang bisa kusediakan.
Maklum, sudah larut malam," kata laki-laki tua itu.
"Terima kasih, Pak...," ucap pemuda itu.
"Jantar...! Panggil saja Ki Jantar. Semua orang di sini memanggilku begitu,"
pemilik kedai ini memperkenalkan diri. "Aden sendiri siapa...?"
"Rangga."
"Den Rangga sepertinya bukan
orang sini. Tampaknya seperti..., pengembara," Ki Jantar menebak-nebak
"Tidak salah, Ki," sahut Rangga.
"Wah, Den. Pada saat seperti ini, semua orang malah mengungsi. Eeeh..., kok Aden
malah datang ke sini," kata Ki Jantar.
"Mengungsi..."! Ada apa?" tanya Rangga agak terkejut juga.
Pendekar Rajawali Sakti itu bertanya-tanya dalam hati. Dugaannya
pasti ada hubungan dengan orang-orang asing yang sempat bertarung dengannya.
Dari bentuk wajah maupun pakaiannya, sepertinya mereka dari seberang lau-tan.
Rangga memang sudah melihat
adanya keanehan ketika datang ke Kerajaan Jiwanala sore tadi. Sepanjang jalan
yang dilalui, banyak ditemui orang-orang yang pergi memakai kereta kuda ataupun
berjalan kaki. Dan kelihatannya memang bermaksud meninggalkan kerajaan di
pesisir pantai ini. Sempat juga Rangga melihat-lihat keadaan pelabuhan yang
tampak sepi. Banyak kapal besar dan kecil telah bertolak meninggalkan dermaga.
"Mereka memang baru siang tadi
datang, Den. Tapi kedatangannya yang baru beberapa saat saja sudah membuat
penduduk negeri ini meninggalkan kam-pung halamannya sendiri. Mereka sangat
kejam! Bahkan menurut para punggawa atau prajurit kerajaan, mereka datang untuk
merebut Kerajaan Jiwanala ini, Den," tutur Ki Jantar tanpa diminta.
"Maksud Ki Jantar, orang-orang
tadi itu?" Rangga ingin menegaskan.
"Benar, Den. Mereka datang dari Daratan Mongol. Menurut kabar, mereka adalah
utusan Jengis Khan. Ah..., aku sendiri kurang tahu siapa itu Jengis Khan. Tapi
memang begitulah yang kudengar. Maklum, Den, Jiwanala hanya
sebuah kerajaan kecil di pesisir pantai ini. Jadi setiap ada berita, cepat
tersebar dalam waktu singkat."
"Hm...," Rangga bergumam tidak
jelas. "Sudah larut malam, Den. Kalau
Raden ingin beristirahat, ada kamar kosong yang bisa ditempati. Tapi agak
berantakan, Den. Maklum, sudah lama tidak dipakai," kata Ki Jantar.
"Terima kasih, Ki," ucap Rangga.
*** Pagi-pagi sekali Rangga sudah keluar dari kamar yang disediakan Ki Jantar. Dia
berjalan-jalan menghirup udara segar di pagi hari ini. Dalam hati, Pendekar
Rajawali Sakti itu semakin sering bertanya-tanya melihat setiap pelosok terdapat
sekelompok prajurit yang dipimpin seorang punggawa.
Di pagi ini sudah terlihat beberapa keluarga meninggalkan rumahnya masingmasing. Arah yang ditempuh bukan menuju ke dermaga, melainkan masuk ke pedalaman
yang berupa hutan dan perbukitan kecil. Suasana di pagi hari ini membuat Rangga
tidak mengerti. Dia teringat kejadian semalam dan cerita Ki Jantar. Rangga jadi
ingin tahu, apa benar orang-orang Mongol itu datang untuk merebut kerajaan kecil
di pesisir pantai ini"
"Dari mana, Den" Pagi-pagi sudah keliling," tegur Ki Jantar ketika melihat
Rangga baru saja melangkahkan kakinya memasuki kedai.
"Melihat-lihat suasana saja, Ki,"
sahut Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu panjang.
"Tadi ada Panglima Sembada, Den,"
lapor Ki Jantar. "Gusti Panglima menanyakan tentang keributan semalam."
"Kok bisa tahu?" tanya Rangga heran juga.
"Jangan heran, Den. Setiap kejadian di sini, dalam waktu sebentar saja akan
tersebar cepat. Katanya ada beberapa orang prajurit yang melihat pertarungan
semalam." "Oh, ya..." Kenapa mereka tidak muncul?"
"Raden ini seperti yang tidak ta-hu saja. Semua orang sudah tahu kalau orangorang Mongol itu kejam-kejam.
Dan lagi, rata-rata sangat kuat dan tangguh. Kalau baru berpangkat prajurit
saja, mana berani menghadapi mereka, Den."
Rangga diam membisu. Sama sekali tidak diduga kalau prajurit-prajurit Kerajaan
Jiwanala memiliki nyali kecil. Padahal kelihatannya gagah-gagah.
Tapi Rangga tidak bisa menyalahkan begitu saja. Dia juga pernah dengar tentang
kehebatan pasukan Mongol.
Sudah tak terhitung lagi berapa jumlah negara taklukannya. Dan kini mereka
rupanya tertarik untuk menyeberang, meluaskan daerah kekuasaan.
Rasanya pilihan orang Mongol itu memang tepat. Kerajaan Jiwanala merupakan
negeri yang sangat kecil. Kekuatan prajuritnya sangat lemah dan mudah untuk
ditaklukkan. Kerajaan pelabuhan ini memang sangat penting. Banyak kapal niaga
yang singgah, sehingga kehidupan rakyat di sini boleh dikatakan makmur berkat
hasil berniaga.
Belum lagi kekayaan akan tambang emas dan batu permata di Kerajaan Jiwanala ini.
Tidak heran kalau banyak kerajaan besar yang menginginkannya.
"Ki Jantar tidak mengungsi?"
tanya Rangga iseng.
"Untuk apa mengungsi, Den" Kehidupan di mana saja sama. Puluhan tahun aku hidup
cukup di sini. Dan sekarang dalam masa genting begini, harus mencari kehidupan
lain di tempat penga-singan. Hhh! Hanya orang yang bodoh dan berjiwa kerdil saja
yang menyingkir," sahut Ki Jantar bernada mengeluh atas sikap rakyat Jiwanala
yang pengecut. "Memang sayang sekali! Seharusnya orang-orang sepertimulah yang pantas hidup di
negeri kaya ini, Ki," ujar Rangga memuji.
"Tapi aku ini sudah jompo, tidak
bisa berbuat apa-apa. Yaaah..., memang seharusnya yang muda-muda harus
mempertahankan negeri ini dari rongrongan pihak luar."
Rangga mengagumi jiwa kesetiaan laki-laki tua ini. Sulit mencari orang yang
mempunyai pendirian kuat seperti Ki Jantar pada masa sekarang ini.
Banyak orang yang selalu mementingkan diri sendiri, tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Kalau saja semua orang di kerajaan ini mempunyai sikap
seperti Ki Jantar, kecil kemungkinan orang-orang dari Daratan Mongol itu berani
datang. Tapi semua sudah terlambat. Api sudah tersulut, dan hanya menunggu waktu saja
untuk berkobar lebih besar lagi. Dari beberapa orang penduduk dan prajurit yang
ditemui, Rangga telah mencuri dengar pembicaraan mereka.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak kalau orang-orang Mongol itu
tidak akan pergi sebelum maksudnya terlaksana.
Lebih-lebih sekarang ini mereka telah kehilangan empat orang prajurit, dan
seorang adik panglimanya yang hilang tidak jelas kabarnya. Tapi dari kabar yang
didengar Rangga, adik kandung Panglima Mongol yang bernama Hulagu Leng itu,
tertangkap oleh Panglima Sembada dan Patih Raksajunta.
Hal itu terjadi setelah ada keributan
di kedai ini yang meminta korban nyawa lima orang rakyat.
Pendekar Rajawali Sakti itu meno-lehkan kepala ketika telinganya menangkap derap
langkah kaki kuda di kejauhan. Tampak satu pasukan Kerajaan Jiwanala menuju ke
dermaga. Paling depan terlihat Panglima Sembada yang didampingi dua orang
panglima lainnya, dan Patih Raksajunta. Di belakang mereka sepasukan prajurit
Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkuda bersenjata lengkap mengiringi. Jumlahnya tidak kurang dari lima puluh
orang. "Mereka pasti akan menyerang kap-al orang Mongol itu," kata Ki Jantar setengah
bergumam. "Hm...," Rangga hanya bergumam
tidak jelas. *** Dugaan Ki Jantar ternyata memang tepat. Prajurit Jiwanala yang dipimpin langsung
Panglima Sembada dan Patih Raksajunta memang menuju ke pelabuhan.
Tapi belum juga tiba di pelabuhan, mereka sudah disambut prajurit-prajurit
Mongol. Pertempuran pun tak terelakkan lagi.
Para penduduk di sekitar pelabuhan itu berlarian, berusaha menyelamatkan diri.
Prajurit-prajurit Mongol bertarung bagai kesetanan. Bukan hanya
prajurit Jiwanala saja yang mereka hantam, bahkan penduduk yang berusaha
melarikan diri pun dibantai. Jerit dan pekik peperangan berbaur menjadi satu
dengan jerit kematian. Pagi yang seharusnya tenang ini berubah menjadi ajang
pembantaian. Prajurit-prajurit Mongol memang terkenal tangguh dalam pertempuran.
Mereka sudah berpengalaman dalam hal ini, sehingga dalam menghadapi serbuan
prajurit Kerajaan Jiwanala tidak gentar sedikit pun. Bahkan bertarung dengan
penuh semangat. Panglima Ogodai Leng seperti seekor singa gurun yang bertarung
bagai kesetanan. Senjatanya yang berupa golok besar dan bertangkai panjang,
berkelebatan cepat. Setiap gerakan senjatanya, satu atau dua nyawa melayang.
Saat itu Panglima Sembada dan Patih Raksajunta belum terjun dalam pertempuran.
Mereka cukup cemas melihat para prajuritnya terus terdesak.
Tidak terhitung lagi, berapa prajurit yang menggeletak bersimbah darah.
Sedangkan dari pihak Mongol, hanya beberapa orang saja terluka.
"Mundur...!" seru Patih Raksajun-ta tiba-tiba.
Prajurit-prajurit Jiwanala
yang masih hidup segera berlompatan mundur sambil bertahan menghadapi gempuran
dahsyat prajurit Mongol. Mereka terus
mundur sampai keluar dari daerah pelabuhan. Patih Raksajunta kelihatan sedih
menyaksikan lebih dari separuh prajuritnya tewas.
"Kau lihat,
Sembada. Meskipun
jumlahnya tidak banyak, tapi mereka sangat tangguh. Mereka sudah berpengalaman
dalam peperangan," kata Patih Raksajunta pelan.
Panglima Sembada hanya diam saja.
Hatinya geram melihat banyak prajuritnya tewas. Belum lagi yang luka-luka.
Tinggal beberapa orang saja masih kelihatan segar. Itu pun tampaknya terlalu
kelelahan. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Gusti Prabu pasti tidak suka melihat
kekalahan ini," keluh Patih Raksajunta.
"Bagaimanapun juga, orang asing itu harus kita usir dari tanah ini, Kakang,"
tekad Panglima Sembada.
"Benar! Mereka memang harus enyah dari sini. Tapi jangan lupa, Sembada.
Prajurit kita tidak akan mampu mengha-dapinya."
"Hanya ada satu jalan, Kakang,"
pelan suara Panglima Sembada.
Patih Raksajunta menatap tajam
pada panglima muda itu.
"Minta bantuan orang-orang persilatan, atau mengundang tokoh asing untuk
menghadapi mereka," usul Panglima Sembada.
"Kau gila, Sembada!" sentak Patih Raksajunta terkejut
"Kerajaan Jiwanala di ambang kehancuran, Kakang. Cara apa pun harus ditempuh
untuk menyelamatkannya."
"Tapi itu tidak mungkin, Sembada.
Apa yang akan kita pertaruhkan...?"
"Dengan bayaran tinggi."
"Edan!" rungut Patih Raksajunta.
"Akan kuajukan hal ini pada Gusti Prabu. Aku yakin beliau setuju dengan usulku
ini, Kakang," tekad Panglima Sembada.
"Percuma saja, Sembada. Aku tahu betul watak Gusti Prabu. Beliau lebih baik mati
membela tanah air daripada berlindung di balik punggung orang asing, meskipun
harus mengeluarkan biaya banyak."
"Setiap usaha harus dicoba, Kakang." "Terserahlah. Yang penting kau
sudah kuperingatkan," Patih Raksajunta mengalah.
Panglima Sembada melangkah menghampiri kudanya. Dengan gerakan indah dia
melompat ke atas punggung kuda putih itu, kemudian menggebahnya dengan kencang.
Debu berkepul begitu kuda putih itu berlari cepat menuju ke Kotaraja Jiwanala.
Patih Raksajunta hanya memandangi saja sambil menggeleng-geleng beberapa kali.
Dalam beberapa hal, diakui kalau
usul Panglima Sembada memang benar.
Tapi dia sangsi kalau Prabu Duta Nitiyasa bersedia menerima usulan itu.
Beliau bukanlah raja yang lemah, yang hanya duduk di singgasana saja. Tingkat
kepandaiannya cukup tinggi dan sukar ditandingi. Prabu Duta Nitiyasa tidak
pernah meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut
dalam negerinya.
"Hhh...!" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat.
Perlahan-lahan dihampiri kudanya, lalu naik ke punggung kuda itu. Beberapa
prajurit yang masih tersisa hanya memandangi dengan mata sayu. Patih Raksajunta
terpaku sesaat, kemudian turun lagi dari punggung kudanya.
Rasanya tidak tega meninggalkan prajurit yang tengah keletihan akibat
pertempuran tadi. Bagaimanapun juga dia harus menahan orang-orang Mongol itu
untuk tidak menjarah negeri ini.
"Gusti Patih! Mereka menyerang...!" tiba-tiba seorang prajurit berteriak keras.
"Jagat Dewa Batara...!" desah Patih Raksajunta ketika melihat tidak kurang tiga
puluh orang Mongol berlarian dengan senjata terhunus.
Sementara itu prajurit Jiwanala yang masih tersisa hanya sekitar sebelas orang
saja. Tapi mental mereka sudah turun akibat kekalahan dalam
pertempuran tadi. Patih Raksajunta tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Orang-orang Mongol itu sudah semakin dekat saja. Mereka berteriak-teriak sambil
mengacung-acungkan senjatanya ke atas.
"Dengar! Kalian harus bertahan
sampai bantuan datang!" seru Patih Raksajunta keras.
Patih Raksajunta melompat ke depan. Pedangnya terhunus di depan dada.
Para prajurit yang semula sudah gentar, mendadak bangkit semangatnya melihat
Patih Raksajunta berdiri me-nyongsong di depan mereka. Sementara orang-orang
Mongol itu sudah demikian dekatnya. Pekik peperangan terdengar menggemuruh
ditambah derap kaki-kaki berat yang berlarian kencang. Suasana seperti itu pasti
bisa membuat ciut hati orang yang melihatnya. Tapi Patih Raksajunta kelihatan
tenang dan tegar.
Pedang kebanggaannya tetap menyilang di depan dada.
*** 3 Sudah dapat diduga kalau Patih
Raksajunta dan prajurit-prajuritnya tidak akan mampu membendung serangan orangorang Mongol itu. Di samping saat ini berjumlah jauh lebih besar,
rata-rata mereka pun memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dalam waktu tidak
lama empat orang prajurit Patih Raksajunta sudah roboh berlumuran darah.
Satu per satu prajurit Jiwanala roboh berguguran. Sedangkan Patih Raksajunta
tidak dapat membantu banyak. Meskipun sudah bertarung penuh semangat, namun
lawan yang dihadapinya cukup tangguh. Saat ini yang harus dihadapi adalah lima
orang lawan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan bersarang di tubuhnya.
"Akh!" tiba-tiba saja Patih Raksajunta memekik tertahan.
Satu sabetan golok lawannya berhasil merobek bahunya. Darah mengucur deras dari
luka yang cukup panjang dan dalam itu. Patih Raksajunta terhuyung-huyung ke
belakang. Dan pada saat itu satu tendangan keras telah menghantam punggungnya.
Tak pelak lagi, laki-laki tua itu terjerembab mencium tanah.
"Yaaah...!"
"Matilah aku...," desah Patih
Raksajunta melihat seorang lawannya mengibaskan goloknya dengan cepat.
Dan pada saat yang kritis itu,
tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuh Patih
Raksajunta. Tebasan golok orang Mongol itu hanya menghantam tanah kosong. Hal
ini membuatnya bengong terheran-heran.
Tapi belum lagi rasa herannya hilang, bayangan putih itu kembali datang
berkelebat cepat.
"Akh...!" orang itu memekik keras, tubuhnya terpental jauh ke belakang.
Empat orang lainnya yang melihat kejadian itu terperanjat kaget. Namun tanpa
diduga sama sekali bayangan putih itu sudah kembali berkelebat cepat ke arah
empat orang itu. Mereka berlompatan mundur dengan cepat. Tapi dua orang yang
terlambat menyelamatkan diri, harus menerima nasib naas dan hanya mampu menjerit
keras. Tubuh mereka ambruk ke tanah dengan dada hancur melesak ke dalam.
Saat itu terdengar satu seruan
keras dari arah belakang. Maka orang-orang Mongol itu pun segera berlarian
mundur. Pada saat itu, seluruh prajurit Kerajaan Jiwanala sudah tergeletak tak
bernyawa lagi. Sementara bayangan putih yang telah merobohkan tiga orang
prajurit Mongol itu pun langsung lenyap tidak ketahuan arahnya. Orang-orang
Mongol itu bergegas kembali ke kapalnya yang bersandar dekat dermaga.
*** Sementara itu di dalam Istana Kerajaan Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa tengah
berbincang-bincang dengan para panglima perang, para patih, dan pembesar istana
lainnya. Di antara mereka tampak Panglima Sembada yang baru saja melaporkan
keadaan pasukannya di pelabuhan. Prabu Duta Nitiyasa tampak diam membisu
menerima laporan kekalahan itu.
Yang membuat Prabu Duta Nitiyasa terdiam bukan laporan kekalahan prajurit, tapi
usulan Panglima Sembada yang menyarankan untuk mengundang tokoh-tokoh sakti
dunia persilatan atau prajurit asing lainnya. Suasana di Balai Sema Agung itu
jadi hening. Tidak ada seorang pun yang membuka suaranya.
"Kekuatan prajurit yang kita miliki memang tidak sebanding dengan mereka. Tapi
itu bukan alasan yang tepat untuk berlindung di balik punggung orang lain.
Kerajaan Jiwanala berdiri berkat darah dan keringat leluhur, dan wajib
dipertahankan dengan darah juga," tegas Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti Prabu, menurut hamba, saran yang diajukan Panglima Sembada patut
dipertimbangkan," seorang laki-laki tua berjubah kuning gading membuka suara.
Prabu Duta Nitiyasa menatap lakilaki berjubah kuning gading yang ber-kepala gundul itu. Laki-laki itu adalah
Pendeta Naraboga, seorang penase-hat pribadi Prabu Duta Nitiyasa.
"Paman Pendeta, sebaiknya Paman jangan berjiwa kerdil dan pengecut,"
dingin suara Prabu Duta Nitiyasa.
"Ampun, Gusti Prabu. Bukannya
hamba takut menghadapi mereka. Tapi menurut hemat hamba, tidak ada salahnya jika
mencoba mengundang beberapa tokoh rimba persilatan untuk memper-kuat barisan
pertahanan," kilah Pendeta Naraboga seraya memberi hormat.
"Hm...," gumam Prabu Duta Nitiya-sa pelan.
Saat itu seorang prajurit memasu-ki ruangan Balai Sema Agung. Prajurit itu
segera membungkukkan tubuhnya, memberi hormat. Semua orang yang ada di ruangan
itu memandangnya. Mereka tahu kalau prajurit yang tidak mengenakan seragam itu
telah ditugaskan untuk memata-matai orang-orang Mongol di pelabuhan.
"Ampun, Gusti Prabu. Ada yang
hendak hamba laporkan," ucap prajurit mata-mata itu.
"Katakan," perintah Prabu Duta
Nitiyasa. "Seluruh prajurit yang berada di Pelabuhan Timur tewas, sedangkan Patih
Raksajunta menghilang," lapor prajurit itu.
"Apa..."!" semua orang yang ada di Balai Sema Agung itu terperanjat kaget.
Terlebih lagi Panglima Sembada.
Waktu meninggalkan prajuritnya, Patih Raksajunta tidak jauh dari pelabuhan.
Dan baru beberapa saat dia berada di istana ini, telah datang laporan bahwa
semua prajuritnya tewas. Yang lebih mengejutkan lagi, hilangnya Patih
Raksajunta. Prabu Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya, lalu melangkah ke depan. Dia
berjalan mondar-mandir dengan wajah tertunduk. Keheningan kembali menyelimuti
ruangan besar dan indah itu. Laporan prajurit tadi benar-benar mengejutkan semua
orang. "Panglima, siapkan seluruh prajurit!" perintah Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti...!" Panglima Sembada tersentak kaget.
"Ini perintah! Laksanakan segera!" bentak Prabu Duta Nitiyasa tegas.
"Hamba laksanakan, Gusti," Panglima Sembada membungkuk hormat.
Dengan mengajak seluruh panglima perang lainnya, Panglima Sembada bergegas
meninggalkan Balai Sema Agung.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Pendeta
Naraboga mengikuti dari belakang bersama beberapa pembesar kerajaan lainnya.
"Gusti, apakah ini bukan tindakan yang merugikan" Pikirkanlah lebih matang lagi,
Gusti," Pendeta Naraboga berusaha mencegah maksud rajanya itu.
"Tidak ada jalan lain, Paman Pendeta. Orang-orang asing itu harus enyah
secepatnya," jawab Prabu Duta Nitiyasa mantap.
"Dengan mengerahkan seluruh prajurit, sama saja bunuh diri, Gusti."
"Mati dalam pertempuran lebih
terhormat daripada menjadi pengecut, Paman."
"Hamba yakin masih ada jalan lain yang lebih baik, Gusti."
Prabu Duta Nitiyasa menghentikan langkahnya. Ditatapnya tajam pendeta gundul
itu. Pendeta Naraboga buru-buru membungkuk sambil merapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya menyampaikan saran. Bukankah kita memiliki satu
tawanan orang Mongol.
Tawanan itu bisa dimanfaatkan untuk mengusir mereka, Gusti," ujar Pendeta
Naraboga. "Tidak ada gunanya, Paman Pende-ta. Mereka pun menawan Paman Patih Raksajunta.
Aku tahu betul watak orang-orang Mongol itu. Bagi mereka, kehilangan satu nyawa
bukan berarti apa-apa bila berhasil merebut satu daerah kekuasaan."
"Memang benar, Gusti. Tapi...."
"Sudahlah, Paman Pendeta. Aku
akan bersiap-siap. Katakan pada seluruh panglima untuk bergerak lebih dahulu ke
pelabuhan. Nanti aku menyusul dan memimpin langsung seluruh pasukan!" sergah
Prabu Duta Nitiyasa.
Setelah berkata demikian, Prabu Duta Nitiyasa membuka pintu sebuah kamar yang
dijaga dua prajurit bersenjata tombak. Pendeta Naraboga hanya bisa membungkuk
hormat, kemudian melangkah pergi setelah pintu kamar itu tertutup rapat. Jelas
sekali kalau raut wajah pendeta gundul itu diliputi kecemasan. Dia sudah
berusaha untuk melunakkan hati junjungannya, tapi dasarnya Prabu Duta Nitiyasa
memang seorang raja yang keras. Segala kepu-tusannya tidak bisa dirubah lagi.
*** Prabu Duta Nitiyasa mengganti ba-junya dengan pakaian perang. Sebilah pedang
panjang tergantung di pinggangnya. Sebentar dipandangi tombak pusaka peninggalan
leluhurnya. Tombak yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat Jiwanala. Dengan
tombak pusaka itu kerajaan ini terlindungi dari serangan bangsa lain.
"Kanda...," satu suara halus terdengar dari arah belakang.
Prabu Duta Nitiyasa membalikkan
tubuhnya. Pandangannya langsung ter-tumbuk pada seorang wanita cantik yang
memakai baju biru indah dari kain sutra halus. Tatapan wanita itu kosong dan
matanya agak berkaca-kaca, tertuju pada selendang putih yang mengikat leher
Prabu Duta Nitiyasa. Selendang putih yang melambangkan satu tekad untuk
mempertahankan negara sampai titik darah yang penghabisan.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah
menghampiri permaisurinya itu. Dipe-gangnya bahu Permaisuri Dita Wardhani dengan
kedua tangannya. Wanita berwajah cantik itu mengangkat kepalanya, langsung
menatap ke bola mata yang juga tengah menatapnya. Bibirnya yang merah bergetar,
namun tidak ada satu kata pun yang terucapkan. Prabu Duta Nitiyasa mendekatkan
wajahnya, dan mengecup lembut bibir itu.
Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Urungkan niat Kanda untuk berperang. Lihat anak kita...," ucap Permaisuri Dita
Wardhani seraya memalingkan mukanya, menatap pada wajah mungil yang tergolek di
pembaringan. "Dia membutuhkanmu, Kanda."
"Negara ini juga membutuhkan sum-bangan tenagaku, Dinda," sahut Prabu Duta
Nitiyasa. "Tapi...."
"Ssst.... Percayalah! Aku pasti akan kembali dengan selamat," potong Prabu Duta
Nitiyasa cepat.
"Kanda, tidakkah sebaiknya Kanda meminta bantuan pada Ayah. Pasti Ayahanda Resi
bersedia membantu mengusir orang-orang asing itu," usul Permaisuri Dita
Wardhani. Prabu Duta Nitiyasa menggelenggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Dia tahu kalau ayah istrinya ini
memiliki murid-murid yang cukup handal dan berkemampuan tinggi. Sebagai seorang
resi beraliran lurus, tentu saja bersedia membantu mengusir orang asing yang
berniat buruk. Tapi itu tidak dilakukannya, karena hanya mengusir satu pasukan
asing saja. Terlalu riskan rasanya. Lagi pula, kelihatannya dia masih mampu menghadapi
mereka. "Kenapa" Apakah Kanda ingin melihat kehancuran kerajaan ini" Membiarkan para
prajurit dibantai orang-orang Mongol itu" Apa Kanda sudah tidak bisa lagi
melihat kenyataan" Sadarlah, Kanda. Carilah jalan keluar lain.
Jangan mengorbankan banyak orang hanya untuk mengusir segelintir orang asing,"
Permaisuri Dita Wardhani mencoba menyadarkan suaminya.
Prabu Duta Nitiyasa langsung terdiam. Kata-kata permaisurinya sungguh menyentuh
sanubarinya yang paling dalam. Keputusan yang diambil tadi memang karena luapan
rasa amarah setelah mendengar satu pasukan prajuritnya
tewas, dan Patih Raksajunta menghilang entah ke mana. Tapi untuk meminta
bantuan, keangkuhannya selalu mengalahkan kenyataan yang dihadapi saat ini.
"Gusti...! Gusti Prabu...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara
memanggil dari luar pintu, disertai ketukan yang beruntun. Prabu Duta Nitiyasa
bergegas melangkah ke pintu dan membukanya lebar-lebar. Tampak seorang punggawa
bersama enam orang prajurit telah berdiri di depan pintu dan segera membungkuk
memberi hormat "Ada apa?" tanya Prabu Duta Nitiyasa. "Ampun, Gusti. Mereka..., mereka...," punggawa itu tergagap.
"Punggawa, katakan yang jelas!"
bentak Prabu Duta Nitiyasa.
"Mereka telah mengepung istana, Gusti," lapor punggawa itu.
"Apa..."!" Prabu Duta Nitiyasa
tersentak kaget.
"Seluruh gerbang masuk sudah ditutup, Gusti. Seluruh prajurit mereka pun sudah
disiagakan," punggawa itu kembali melaporkan.
"Bagaimana dengan Panglima Semba-da?"
"Panglima Sembada dan dua orang panglima lainnya sudah bergerak ke pelabuhan
membawa seratus prajurit, Gusti."
"Seratus..."!"
"Benar, Gusti."
Prabu Duta Nitiyasa jadi bingung juga. Seratus prajurit telah meninggalkan
istana, artinya tinggal lima puluh prajurit lagi yang tersisa.
Kerajaan Jiwanala memang kecil, sehingga jumlah prajuritnya hanya sedikit. Hanya
beberapa ratus orang saja jumlahnya. Jelas saja Prabu Duta Nitiyasa kini
kelabakan. "Ada lagi yang hendak hamba laporkan, Gusti. Panglima Sembada juga membawa tawanan orang Mongol itu."
"Jagat Dewa Batara...!" keluh
Prabu Duta Nitiyasa. "Untuk apa dia membawa tawanan orang Mongol segala"!"
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti."
"Punggawa, panggil Punggawa Narayama ke sini," perintah Prabu Duta Nitiyasa.
"Hamba, Gusti Prabu."
Punggawa itu bergegas pergi setelah memberi hormat lebih dahulu. Dua orang
prajurit mendampinginya, sedangkan sisanya menjaga di depan pintu.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah menghampiri permaisurinya yang telah menggen-dong
bayi tunggalnya. Seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat.
"Bereskan barang-barangmu seper-lunya. Bawa beberapa dayang. Tidak ada waktu
lagi, Dinda. Kau dan anak kita harus selamat dari kehancuran ini,"
kata Prabu Nitiyasa.
"Kanda...."
"Pergilah ke padepokan ayahmu,
dan ceritakan apa yang terjadi semuanya di sini."
Setelah berkata demikian, Prabu Duta Nitiyasa melangkah keluar dari kamar ini.
Tapi baru saja kakinya menjejak ambang pintu, Punggawa Narayama datang tergesagesa bersama punggawa yang tadi telah melaporkan keadaan.
"Hamba datang memenuhi panggilan, Gusti Prabu," ucap Punggawa Narayama seraya
menghaturkan sembah.
"Punggawa Narayama, kau kutugaskan untuk menyelamatkan anak dan permaisuriku. Bawa mereka ke Padepokan Arang
Watu. Bawa juga beberapa prajurit pengawal," perintah Prabu Duta Nitiyasa.
"Segala titah Gusti Prabu hamba laksanakan," sahut Punggawa Narayama hormat.
"Bergegaslah, tidak ada waktu la-gi. Gunakan lorong rahasia. Kau tahu letaknya,
bukan?" "Hamba, Gusti."
"Nah, berangkatlah. Keselamatan keluargaku ada di tanganmu."
Punggawa Narayama memberi hormat.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah keluar melalui lorong istana yang panjang,
diiringi pengawal khusus yang sangat
terlatih. Punggawa Narayama bergegas menunjuk prajurit-prajurit pilihannya dan
menyerahkan sisa prajurit lain pada punggawa yang ada. Tugas yang diembannya
kali ini tidak ringan.
Permaisuri dan putra mahkota harus diselamatkan keluar dari Kerajaan Jiwanala.
*** Sementara itu jauh di batas Kerajaan Jiwanala, tampak seorang laki-laki tua
duduk tepekur di atas bata sambil memandang ke arah kerajaan yang tampak sepi
lengang. Di bagian timur terlihat tiang-tiang kapal dan layar perahu yang
tertutup, terombang-ambing dipermainkan ombak laut. Laki-laki tua itu hampir
satu harian duduk diam dengan pandangan ke satu arah.
"Paman Raksajunta...."
"Kau Rangga...?" laki-laki tua
yang ternyata memang Patih Raksajunta mengangkat kepalanya seraya mendesah
panjang. Seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih duduk di sampingnya. Patih Raksajunta tidak bergeming sedikit pun.
Pandangannya tetap lurus ke depan.
"Hampir satu harian kau duduk di sini, Paman," kata Rangga pelan. Pandangannya
juga mengarah pada Kerajaan
Jiwanala. "Hhh...!" Patih Raksajunta hanya menarik napas panjang.
"Aku bisa merasakan kecemasanmu, Paman...," kata Rangga pelan. "Hm....
Oh ya, tadi aku sempat jalan-jalan ke kota."
"Apa yang kau lihat di sana?"
tanya Patih Raksajunta.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit dari duduknya dan melangkah
tiga tindak ke depan. Patih Raksajunta ikut berdiri dan mendekati Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Aku berhutang budi padamu karena kau telah menyelamatkan nyawaku, Rangga. Tapi
kerajaanku juga terancam kehancuran saat ini. Sebagai seorang pendekar tangguh
dan digdaya, aku yakin kau tidak akan membiarkan kehancuran dan penindasan
merajalela di depan matamu," kata Patih Raksajunta menggugah hati Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Paman, aku juga pernah menghada-pi hal seperti ini. Bukan hanya satu atau dua
kali saja, bahkan sering kutemukan dalam pengembaraanku. Tidak mudah memang.
Tapi perlu pemikiran yang matang, di samping kekuatan dan semangat," kata Rangga
mencoba menjelaskan.
"Bisa kumengerti, Rangga."
"Aku harap, Prabu Duta Nitiyasa
juga tidak terpancing. Tindakan gega-bah akan membuat keadaan semakin hancur tak
terkendali."
"Memang. Tapi itu jika dikatakan dalam satu atau dua hari yang lalu, Rangga.
Rasanya saat ini sudah terlambat. Kulihat ada serombongan pasukan berkuda
memasuki kota. Juga sepasukan lainnya keluar dari kota melalui jalan lain. Aku
rasa hal itu satu pertanda buruk."
Rangga diam sambil menatap laki-laki tua di sampingnya. Yang dikatakan Patih
Raksajunta barusan memang benar.
Waktu berjalan-jalan ke kota tadi, dia melihat orang-orang asing bergerak
memasuki kota. Bersamaan dengan itu, satu pasukan yang berjumlah seratus
prajurit juga bergerak keluar dari jalan lain menuju pelabuhan.
Tiba-tiba terdengar satu ledakan keras, disusul dengan berkobarnya api yang
sangat besar dari arah pelabuhan.
Rangga dan Patih Raksajunta langsung berpaling memandang ke arah kobaran api
itu. Tampak sebuah kapal berukuran sangat besar tengah dilalap api yang berkobar
dahsyat. Juga terlihat banyak prajurit membawa lambang Kerajaan Jiwanala di
sekitar pelabuhan itu.
Dari tempat ketinggian seperti ini, memang cukup jelas melihat seluruh pelosok
kerajaan itu. "Kapal Mongol...," desis Patih
Raksajunta. "Gegabah!" gumam Rangga mendesis karena menahan gusar melihat kapal dari Daratan
Mongol itu terbakar.
"Api sudah tersulut. Peperangan tidak mungkin dihindarkan lagi," gumam Patih
Raksajunta. Rangga diam saja.
"Tidak ada waktu lagi, Rangga.
Atas nama Prabu Duta Nitiyasa, aku mohon bantuanmu untuk mengusir orang-orang
Mongol itu," pinta Patih Raksajunta penuh harap.
"Hhh...!" Rangga menarik napas
berat. Patih Raksajunta tidak sempat la-gi menunggu sabar. Dia bergegas berlari
menggunakan ilmu lari cepatnya menuruni bukit ini.
"Paman, tunggu!" seru Rangga keras.
"Mereka membutuhkanku, Rangga!"
sahut Patih Raksajunta tanpa menghentikan larinya.
Rangga tidak punya pilihan lain lagi dan segera melompat cepat mengejar lakilaki tua itu. Hanya tiga kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
mengejar Patih Raksajunta, dan langsung mencegatnya. Patih Raksajunta
menghentikan larinya.
"Jangan menghalangiku, Rangga.
Walaupun Kerajaan Jiwanala terpaksa hancur, aku berkewajiban menyelamatkan
keluarga Gusti Prabu," kata Patih Raksajunta dengan napas terengah.
"Percuma saja, Paman. Kulihat mereka telah mengepung istana. Tidak ada celah
untuk menerobos kepungan mereka," kata Rangga.
"Aku bisa melalui jalan rahasia."
"Jalan rahasia...?"
"Ya, jalan menuju istana melalui lorong. Hanya beberapa orang saja
mengetahuinya, terutama yang dekat dengan Gusti Prabu, termasuk aku."
"Hm.... Kalau begitu, marilah ki-ta segera ke sana," ajak Rangga.
"Lebih cepat, lebih baik."
Kedua orang itu bergegas berlari menuruni bukit. Rangga mengikuti saja ke mana
Patih Raksajunta pergi. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Kalau mau, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti bisa meninggalkan Patih
Raksajunta. Hanya saja dia belum tahu jalan yang akan ditempuh.
*** 4 Patih Raksajunta menghentikan larinya ketika tiba di sebuah celuk yang tidak
begitu dalam. Pada dinding celuk itu terdapat sebuah mulut goa buatan yang tidak
begitu besar ukurannya. Di
sekitar celuk itu banyak terdapat semak kering dan ranting-ranting. Juga
terdapat rangkaian bambu selebar celuk itu.
"Jagat Dewa Batara...!" desis Patih Raksajunta terperangah di pinggir celuk.
"Ada apa, Paman Patih?" tanya
Rangga. "Kau lihat tangga bambu ini?"
Rangga memperhatikan tangga bambu yang ditunjuk Patih Raksajunta. Tangga bambu
itu sudah hancur. Dan kelihatannya, di dasar celuk juga terdapat banyak jejak
kaki manusia. "Ada orang yang telah melewati
jalan rahasia ini. Aku tidak tahu siapa mereka," gumam Patih Raksajunta.
"Banyak jejak di sekitar sini.
Bagaimana kalau kita ikuti jejaknya, Paman?" usul Rangga.
"Mana yang akan kau pilih?" Patih Raksajunta memberikan pilihan pada Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Hm...," Rangga tidak segera menjawab. Dipandangi semua jejak kaki yang terdapat
di sekitarnya. Tidak mudah mengambil satu keputusan tepat.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengikuti jejak-jejak kaki yang
kelihatannya masih baru, lalu tidak berapa lama berhenti. Jejak-jejak kaki itu
berkumpul dan menuju ke satu arah.
"Paman, kemari!" seru Rangga seraya berlutut.
Patih Raksajunta menghampiri.
Saat itu Rangga menjumput sesuatu di ujung jari kakinya. Dia berdiri dan
berbalik menghadap Patih Raksajunta.
"Aku temukan ini, mungkin kau
mengenalinya," Rangga menunjukkan sebuah arnel yang terbuat dari emas, berhias
baru permata. "Arnel ini milik Gusti Permaisu-ri," Patih Raksajunta mengenali tusuk rambut
itu. "Itu berarti keluarga Prabu Duta Nitiyasa sudah selamat, Paman."
"Belum."
"Belum..."!" Rangga mengerutkan keningnya.
Baru saja Patih Raksajunta akan membuka mulut, tiba-tiba sebatang tombak melesat
cepat menuju ke arah mereka. Tak lama kemudian, disusul puluhan anak panah yang
meluncur. "Paman, awas...!" seru Rangga keras.
"Akh...!" Patih Raksajunta memekik keras tertahan.
Sebatang anak panah menancap dalam di bahu kanan laki-laki tua itu.
Rangga cepat melompat ke arahnya, tapi serbuan anak panah itu demikian cepat.
Niatnya untuk menolong Patih Raksajunta pun terhambat. Pendekar Rajawali Sakti
itu berjumpalitan di udara menghindari serbuan anak panah yang datang bagai hujan.
Sementara itu Patih Raksajunta
menarik tubuhnya menjauh. Sesekali dikibaskan pedangnya dengan tangan kiri untuk
menghalau anak panah yang terarah padanya. Sedangkan Rangga sendiri masih sibuk
menghindari serbuan anak panah yang mengancam dirinya. Namun Pendekar Rajawali
Sakti itu tetap berusaha mendekati Patih Raksajunta.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Rangga
melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan cepat menukik ke
bawah. Bagaikan seekor rajawali, Rangga menyambar tubuh Patih Raksajunta, dan
langsung membawanya pergi. Hujan anak panah itu terus menyerbu ke arah mereka.
Namun gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap
saja sudah lenyap di balik lebatnya pepohonan.
Rangga terus berlompatan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang
telah mencapai taraf kesempur-naan. Sebentar saja dia sudah jauh dari situ.
Rangga berhenti, lalu menurunkan Patih Raksajunta dari pon-dongannya. Sebatang
anak panah masih menancap dalam di bahu kanan laki-laki tua itu.
"Untung panah ini tidak beracun,"
gumam Rangga setelah memeriksa sekitar bahu kanan Patih Raksajunta.
"Terima kasih. Dua kali aku telah berhutang nyawa padamu," ucap Patih
Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raksajunta. "Ah, sudahlah. Yang penting sekarang anak panah ini harus dicabut."
"Lakukan saja, Rangga."
"Tahan sedikit, Paman."
"Lakukan."
Rangga menggenggam batang anak
panah itu. Dengan sekuat tenaga dite-kannya anak panah itu sampai menembus bahu.
Patih Raksajunta memekik tertahan. Pendekar Rajawali Sakti itu mema-tahkan ujung
panah, lalu menarik ba-tangnya hingga ke luar. Kembali Patih Raksajunta memekik
keras tertahan.
Darah langsung keluar dari luka di bahu itu. Rangga segera menotok jalan darah
di sekitar bahu Patih Raksajunta, sehingga darah seketika berhenti mengalir.
Kemudian disobeknya ujung baju laki-laki tua itu, dan dibalutnya luka yang cukup
dalam itu. "Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Rangga ketika melihat keadaan laki-laki tua
itu yang nampaknya lemas.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," sahut Patih Raksajunta pelan.
"Telah kububuhkan bubuk obat, mudah-mudahan luka itu cepat mengering,"
kata Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di samping Patih Raksajunta.
"Terima kasih," ucap Patih Raksajunta singkat.
Patih Raksajunta berusaha bangkit berdiri. Pedangnya dijadikan penopang tubuh,
sehingga dia mampu berdiri meskipun agak limbung. Sedangkan Rangga masih tetap
duduk memandanginya.
Tampak raut wajah laki-laki tua itu terlihat mendung. Tatapannya tidak lepas ke
arah bangunan istana yang terlihat jelas dari tempat ini. Mereka memang tidak
berapa jauh di belakang bangunan istana itu.
"Mereka pasti sudah menguasai Istana Jiwanala," gumam Patih Raksajunta lirih.
Rangga hanya bisa menarik napas panjang, tidak tahu lagi apa yang harus
dikatakan. Bisa dirasakan, apa yang tengah melanda hati laki-laki tua itu.
Seumur hidupnya Patih Raksajunta telah mengabdikan diri pada Kerajaan Jiwanala.
Dan kini di masa sisa-sisa hidupnya, dia harus melihat kehancuran kerajaan kecil
ini. Terlalu sukar untuk dilukiskan perasaannya saat ini.
Yang jelas, Rangga melihat bola mata Patih Raksajunta merembang berkaca-kaca.
*** Malam ini angin berhembus agak
keras membawa udara dingin yang menggigilkan tulang. Langit tampak kelam tanpa
satu bintang pun berkelap-kelip.
Seakan-akan alam turut berduka dengan kehancuran Kerajaan Jiwanala di pesisir
pantai ini. Seluruh kota tampak sepi bagaikan mati. Tidak ada seorang pun yang
terlihat berkeliaran seperti hari-hari sebelumnya.
Bahkan rumah-rumah penduduk pun tampak gelap gulita. Hanya beberapa saja yang
masih kelihatan terang oleh pelita kecil yang menyala redup. Malam yang hening
dan dingin ini rupanya tidak menghalangi kelebatan sesosok bayangan putih dari
atap rumah yang satu ke atap lainnya.
"Hup...!"
Bayangan putih itu langsung menu-ju ke Istana Jiwanala. Gerakannya begitu ringan
tanpa suara sedikit pun.
Kecepatannya sukar diikuti pandangan mata biasa. Bayangan itu melenting indah
dengan cepat ke atas atap bangunan istana itu. Sebentar berhenti merapatkan
tubuhnya pada atap, kemudian melesat lagi meluruk ke bawah.
Dengan merapatkan dirinya ke
dinding, bayangan itu bergerak cepat menghampiri sebuah jendela besar yang
tampak terang benderang. Dari jendela itu dapat terlihat suasana dalam istana.
Tampak orang-orang Mongol tengah
berpesta pora merayakan kemenangannya merebut istana ini.
"Hai...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Orang yang tengah mengamati riuhnya
pesta pora dari jendela itu tampak terkejut. Dan belum lagi hilang rasa
terkejutnya, mendadak sebatang tombak melesat cepat ke arahnya.
"Hup!"
Tangkas sekali tubuhnya melenting ke atas, dengan menggunakan ujung jari kaki
untuk menjejak batang tombak di bawahnya. Dengan satu gerakan manis, dia
berputar di udara, lalu meluruk cepat ke arah seorang prajurit Mongol yang
memergokinya. Gerakan orang itu demikian cepat, sehingga prajurit Mongol itu
tidak sempat lagi berbuat sesuatu.
Des...! "Heghk!"
Tanpa bersuara sedikit pun orang itu berhasil menyarangkan pukulannya ke leher
prajurit Mongol itu. Buru-buru disangganya tubuh orang Mongol yang besar dan
berat itu, lalu diseretnya masuk ke dalam semak rumpun bunga mawar. Orang
berbaju putih tanpa lengan itu kembali bergerak cepat mendekati jendela.
Sebentar mengamati keadaan dalam, lalu tubuhnya kembali melenting ke atas dan
hinggap di atap.
"Hm..., di mana ruang penjara
yang mereka maksudkan?" terdengar gumaman pelan yang sangat halus.
Orang itu kembali bergerak lincah, berlompatan di atas atap bangunan istana itu. Gerakannya begitu ringan,
seolah-olah tidak menapak pada atap.
Sampai di bagian belakang istana, dia langsung meluruk turun. Ringan sekali
kakinya menjejak tanah. Sepasang matanya yang tajam langsung melihat seorang
prajurit Mongol tengah memaksa seorang wanita di antara rumpun pohon perdu.
"Binatang...!" orang itu bergumam menggeram.
Slap! Hanya satu lompatan saja, tubuhnya telah mencapai prajurit Mongol yang tengah
dirasuki nafsu iblis itu.
Satu pukulan telak telah mendarat di tengkuk prajurit Mongol itu, yang kemudian
hanya mengeluh sedikit, lalu ambruk tak berkutik. Tulang lehernya patah
seketika. Wanita muda yang pakaiannya sudah tidak karuan itu bergegas beringsut
seraya merapikan ba-junya.
"Oh...!"
"Ssst...!" orang berpakaian putih tanpa lengan itu menekap mulut wanita itu,
lalu menyeretnya masuk lebih ke dalam semak perdu. Kemudian diseretnya juga
mayat prajurit Mongol itu hingga tidak tampak dari luar.
"Siapa kau?" tanya wanita itu
berbisik pelan. Nampaknya sudah agak tenang begitu menyadari laki-laki muda
tampan ini tidak bermaksud buruk, bahkan akan menolongnya keluar dari neraka
ini. "Di mana Prabu Duta Nitiyasa di-penjarakan?" laki-laki berbaju putih tanpa
lengan itu malah balik bertanya.
"Tidak tahu," sahut wanita itu
menggeleng lemah. "Hanya mereka yang tahu."
"Hm..., kau siapa" Mengapa bisa sampai jatuh ke tangan mereka?"
"Aku seorang dayang yang tidak
ikut mengungsi bersama Gusti Permaisuri. Masih banyak dayang dan pelayan lain di
dalam istana. Bahkan pengurus istana juga ada di dalam. Mereka semua tidak dapat
keluar. Seluruh istana ini sudah dikuasai orang-orang asing itu,"
jelas wanita itu.
"Siapa namamu?"
"Parti. Raden siapa?"
"Hm...," laki-laki berbaju putih itu tidak menjawab, tapi hanya menggumam saja
tidak jelas. "Sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini."
"Tidak mungkin, mereka sudah menjaga ketat istana ini."
"Kalau begitu...," laki-laki muda itu tidak melanjutkan ucapannya.
Pada saat itu dua orang prajurit Mongol lewat. Dua orang dari Daratan
Mongol itu menyeret seorang wanita yang meronta-ronta sambil menjerit histeris.
Tapi kedua orang Mongol itu terus menyeretnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara dari tempat persembunyian, pemuda itu menggeram muak melihatnya.
"Iblis...!" geramnya murka. "Kalian harus mampus! Hih...!"
Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu langsung melompat cepat, dan....
Bug! Bug! "Heg!"
Dua orang prajurit Mongol itu
kontan ambruk ke tanah begitu mendapat dua pukulan keras di punggungnya.
Wanita yang berada di dalam semak belukar segera keluar dan berlari menghampiri
wanita yang menangis begitu terlepas dari cengkeraman tangan kotor orang asing
itu. Kedua wanita itu saling berpelukan. Sedangkan pemuda yang berdiri di antara
kedua mayat orang Mongol itu tidak punya waktu lagi. Keberadaan dua wanita itu
bisa menyulitkannya. Dengan cepat dia melompat sambil menyambar mereka. Begitu
cepatnya melesat, tahu-tahu sudah melewati pagar tembok benteng istana dan
mendarat di luar benteng. Kedua wanita itu terperangah, sehingga tidak mampu
berkata-kata. Mulut mereka hanya mampu terbuka lebar. "Cepat kalian pergi ke arah barat. Ada seseorang yang menunggu di sana," kata pemuda itu setengah berbisik.
"Raden...," salah seorang wanita itu ingin berkata.
"Cepat! Aku akan membebaskan yang lainnya," potong pemuda itu cepat.
Kedua wanita itu tidak bisa lagi membantah. Mereka segera berlari sekuat mungkin
ke arah yang ditunjuk pemuda yang menolongnya tadi. Setelah kedua wanita itu
tidak kelihatan lagi, pemuda berbaju putih tanpa lengan itu bergegas melompat
melewati pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Cepat sekali gerakannya,
sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap di balik pagar.
*** Malam ini terasa begitu lambat
berlalu. Di dalam istana masih terdengar suara-suara orang berpesta. Suara tawa
terbahak-bahak ditingkahi jerit dan pekik wanita yang ketakutan. Itupun masih
ditambah suara cambuk yang menggeletar memecah keheningan malam ini. Pemuda
tampan berbaju putih dengan bagian depan terbuka itu mengen-dap-endap mendekati
satu bangunan batu yang kasar dan berlumut tebal.
Bangunan batu itu mirip sebuah
tungku api raksasa. Hanya ada satu pintu terbuat dari baja tebal, yang dikawal
empat orang prajurit Mongol.
Mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang sukar dimengerti. Pemuda berbaju putih
itu semakin mendekati, lalu menyelinap di balik pepohonan.
"Uts...!"
Tiba-tiba saja dia berhenti begi-tu merasakan kakinya membentur sesuatu.
Jantungnya serasa berhenti berde-tak begitu melihat sesosok tubuh wanita hampir
polos terbujur di depannya.
Seluruh tubuhnya banyak terdapat luka goresan yang cukup dalam. Darah masih
mengalir membasahi kulit tubuhnya yang putih mulus itu.
Tidak jauh dari mayat wanita itu, terdapat beberapa mayat lagi. Dari pakaiannya
dapat diketahui kalau itu adalah mayat para prajurit. Namun jika dilihat dari
luka-luka yang ada, mereka seperti bukan tewas dalam pertarungan, melainkan
karena mendapat siksaan yang kejam.
Pemuda berbaju rompi putih itu
menggeretakkan rahangnya menahan geram. Kepalanya terdongak ketika tiba-tiba
terdengar jeritan seorang wanita yang melengking tinggi. Sepertinya tidak begitu
jauh dari tempatnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda tampan itu melompat ke arah sumber
jeritan tadi. Tubuhnya melambung tinggi ke udara, lalu hinggap pada atap
belakang istana ini.
"Iblis...!" pemuda itu menggeram.
Rasanya dia tidak sanggup melihat pemandangan yang berada di bagian sayap
halaman istana ini. Tampak enam orang prajurit Mongol sibuk memper-mainkan
seorang wanita yang pakaiannya sudah tak menentu lagi. Wanita itu lari ke sana
kemari sambil menjerit-jerit ketakutan. Tapi enam orang asing itu selalu dapat
menangkapnya. Setiap kali tertangkap, satu sayatan pisau merobek kulit wanita
itu. Dan setiap kali itu pula, terdengar jerit keras kesakitan.
"Yang Maha Agung..., bencana apa yang sedang Kau timpakan pada kerajaan ini...?"
keluh pemuda itu dalam hati.
Dipalingkan mukanya, karena tidak sanggup melihat kekejaman yang berlangsung di
depan matanya. Wanita malang itu benar-benar tidak berdaya lagi. Dia tersuruk
jatuh. Maka, seorang prajurit yang sudah tidak berpakaian lagi langsung
menubruknya. Sedangkan yang lainnya melihat sambil tertawa-tawa. Wanita itu
berusaha memberontak sekuat tenaga. Namun dalam keadaan tubuh terluka, rasanya
tak ada daya sama sekali.
Prajurit Mongol itu begitu buas memperkosanya. Belum lagi hilang penderitaan wanita itu, seorang lagi menggumulinya dengan paksa. Wanita itu hanya
bisa merintih, tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Enam orang Mongol itu
benar-benar bagai binatang liar kelaparan. Setelah puas, wanita itu ditebas
lehernya hingga tewas.
Sementara pemuda berbaju rompi putih di atas atap hanya mampu menggeram menahan
amarah. Sambil tertawa-tawa, enam orang asing itu melangkah meninggalkan wanita yang
malang itu. Beberapa kali pemuda berbaju rompi putih di atas atap menarik napas
dalam-dalam berusaha untuk menenangkan dirinya. Memang, dia mudah saja membantai
enam orang itu. Tapi jumlah yang lainnya tidak sedikit, sehingga mustahil bisa
menghadapi semuanya seorang diri. Bagaimanapun juga harus dicari kesempatan yang
baik dan perencanaan yang matang.
"Prabu Duta Nitiyasa harus kubebaskan lebih dahulu. Aku yakin dia dikurung dalam
penjara itu," bisiknya dalam hati.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu segera melentingkan tubuhnya mendekati
bangunan yang diduga sebagai penjara bawah tanah. Dia paham betul tentang selukbeluk sebuah istana.
Meskipun di kerajaan lain dengan bentuk bangunan yang berbeda, tapi pada
dasarnya setiap bangunan istana mempunyai ciri yang sama.
"Hait...!"
Pemuda itu langsung bergerak cepat mengibaskan tangannya ke arah empat orang
prajurit yang menjaga pintu bangunan batu itu. Serangan yang tiba-tiba dan
bagaikan kilat itu tidak sempat lagi diketahui. Empat prajurit Mongol itu kontan
ambruk tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Hhh! Terkunci...!" dengus pemuda itu saat berusaha membuka pintu baja itu.
Didekati satu persatu mayat prajurit penjaga itu dan diperiksanya.
Pada salah seorang prajurit, ditemukan serangkaian kunci. Pemuda itu bergegas
kembali menghampiri pintu dan mencoba semua kunci yang ditemukannya. Berun-tung,
salah satu kunci itu pas. Maka pintu baja itupun berhasil dibukanya.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam.
"Prabu Duta Nitiyasa...?" pemuda itu bertanya ingin meyakinkan.
Ruangan yang semula gelap gulita mendadak jadi terang benderang oleh pelita yang
dinyalakan. Tampak seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun berdiri di
tengah-tengah ruangan yang tidak begitu besar dan berdinding batu. Laki-laki itu
mengenakan pakaian perang dan selendang putih yang meli-lit lehernya. Sebuah
sarung pedang yang kosong tergantung di pinggangnya.
"Cepatlah keluar sebelum mereka mengetahuinya, Gusti Prabu," ajak pemuda itu.
"Siapa kau?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Tidak ada waktu menjelaskannya, Gusti. Maaf.... Hup!"
Pedang Naga Kemala 8 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Pedang Golok Yang Menggetarkan 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama