Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Bagian 2
setelah ditaklukkan seorang pendekar muda yang berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti," jelas Dewa Pedang setengah bergumam. "Pendekar Jari
Malaikat bukan lagi seorang pemuda. Usianya saja lebih sepuluh tahun dariku.
Aneh..."!"
"Aku melihatnya sendiri, Pende..."
"Aku percaya, Ki Junta," potong Dewa Pedang cepat
"Luka di kening kedua pengawalmu itu memang jelas akibat jurus 'Jari Malaikat'."
"Kalau pemuda itu bukan Pendekar Jari Malaikat. lalu siapa...?" Ki Junta seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Itulah yang mengganggu pikiranku," kata Dewa Pedang.
"Atau mungkin muridnya...?" Ki Junta menduga-duga.
"Mungkin juga...," gumam Dewa Pedang pelan seraya melangkah kembali ke tempat
duduknya. Dewa Pedang duduk bersila di depan Ki Junta. Untuk beberapa saat lamanya tak ada
yang berbicara. Masing-masing sibuk bersama pikirannya sendiri. Suasana di
ruangan semadi itu jadi sunyi senyap. Hanya tarikan napas saja yang terdengar.
Kedua orang itu mendadak men-dongak begitu terdengar ketukan di pintu. Belum
lagi Dewa Pedang membuka mulut, pintu ruangan semadi ini telah terbuka. Muncul
Arya Dipa dan adiknya. Mereka menjura memberi hormat, kemudian melangkah masuk
dan bersila di samping Ki Junta.
"Ada apa, Anak-anakku?" tanya Dewa Pedang.
"Ayah, ada tamu yang hendak bertemu," sahut Arya Dipa memberitahu.
"Hm..., siapa?" tanya Dewa Pedang.
"Pendekar Jari Malaikat," sahut Arya Dipa.
"Siapa..."!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Tubuh laki-laki Ketua Padepokan Pedang Perak itu
sampai terlonjak berdiri, sehingga membuat kedua putranya keheranan tidak
mengerti. Sedangkan Ki Junta hanya bisa memandang saja, tanpa mampu berkata-kata
lagi. "Kalian temui dulu. Katakan, nanti aku akan datang menemuinya," kata Dewa Pedang
setelah bisa tenang kembali.
Kedua pemuda itu bangkit dan menjura memberi
hormat, lalu melangkah ke luar. Arya Gara menutup pintu ruangan semadi itu
kembali setelah berada di luar. Dewa Pedang masih berdiri mematung, dan bibirnya
terkatup rapat. Ki Junta berdiri dan membungkuk memberi hormat.
"Ikutlah menemuinya, Ki. Mungkin dialah orangnya yang telah membunuh dua
pengawalmu," kata Dewa Pedang.
"Baik, Dewa Pedang." sahut Ki Junta hormat.
"Ayolah! Jangan sampai dia menunggu lama."
*** 4 Dewa Pedang menjadi tertegun begitu melihat tamu yang datang ke padepokannya.
Seperti yang dikatakan putranya, tamu itu memang benar Pendekar Jari Malaikat.
Hanya sesaat Dewa Pedang tertegun, kemudian segera mempersilakan tamunya duduk.
Di ruangan depan yang cukup luas ini, Dewa Pedang duduk menghadapi meja bundar.
Di sampingnya duduk Ki Junta. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat berada di
seberang meja. "Ada angin apa sehingga Kisanak singgah di
padepokanku ini...?" Dewa Pedang membuka suara.
Sikapnya ramah penuh persahabatan.
"Aku memang sengaja datang ke sini, Dewa Pedang,"
ujar Pendekar Jari Malaikat.
"Oh...," Dewa Pedang mendesah panjang.
"Terus terang, kedatanganku ada hubungannya dengan tewasnya si Kapak Maut,"
tegas Pendekar Jari Malaikat.
Dewa Pedang tidak lagi terkejut mendengarnya. Namun tidak demikian halnya Ki
Junta. Kepala Desa Banyu Reges itu terkejut bukan main, hingga ternganga menatap
dalam pada laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu. Dia mengenakan baju
putih panjang, bergambar jari-jari tangan terkembang pada bagian dada kiri.
"Yaaah.... Aku juga menyesalkan kejadian itu, tapi tidak bisa mencegah. Si Kapak
Maut datang ke sini tepat pada hari pertama peringatan berdirinya Padepokan
Pedang Perak. Kedatangannya ternyata hanya untuk menantang dan melukai seorang
wakil wilayah padepokan ini. Tapi sayang, dia tewas di tangan putraku sendiri,"
Jelas Dewa Pedang tenang. Tak ada nada kegelisahan pada suaranya.
Namun tidak demikian halnya hati Ketua Padepokan
Pedang Perak itu. Dia terus menduga-duga apa yang akan dilakukan Pendekar Jari
Malaikat. Wajahnya terlihat tenang, namun dari sorot matanya memancarkan sesuatu
yang sukar untuk ditebak. Sementara Ki Junta hanya menjadi pendengar saja,
seperti tidak ingin mencampuri urusan itu. Apalagi setelah melihat kalau
Pendekar Jari Malaikat yang kini berada di depannya bukanlah orang yang telah
membunuh dua orang pengawalnya. Ki Junta sendiri masih belum bisa menebak, siapa
pemuda yang memiliki jurus 'Jari Malaikat" itu"
"Dewa Pedang. Kau tentu tahu, siapa itu si Kapak Maut, bukan?" agak dingin nada
suara Pendekar Jari Malaikat.
"Ya, aku tahu," sahut Dewa Pedang mendesah.
"Dan kau pasti sudah mengetahui maksud kedatanganku ke sini," sambung Pendekar
Jari Malaikat. "Jika kau ingin membalas kematian adikmu, akulah yang bertanggung jawab
sepenuhnya," tegas kata-kata Dewa Pedang.
"Hhh...! Itu bukan sifatku, Dewa Pedang!" dengus Pendekar Jari Malaikat "Kau
sendiri sudah mengetahui, bahkan menjadi saksi sumpahku. Siapa pun yang membunuh
si Kapak Maut, harus berhadapan denganku. Baik itu kawan maupun lawan. Kecuali
aku sudah mati."
"Yang mengalahkan si Kapak Maut adalah putraku sendiri. Dan itu menjadi tanggung
jawabku karena aku tidak berusaha mencegahnya. Kau sendiri juga tahu kalau si
Kapak Maut selalu membenci dan menantangku
bertarung, tapi semua itu tidak pernah kulayani. Ini karena aku menghormati
sumpahmu, dan tidak mau mengkhianati persahabatan kita," tegas juga jawaban Dewa
Pedang. "Apa pun alasannya, putramu tetap harus berhadapan denganku!" tegas Pendekar
Jari Malaikat memberi keputusan.
"Dan itu berarti kau harus berhadapan denganku juga, Jari Malaikat!" sambut Dewa
Pedang tidak kalah tegasnya.
"Menyesal sekali, persahabatan kita harus berakhir secara menyedihkan," desah
Pendekar Jari Malaikat pelan.
"Semua itu sudah kuduga sebelumnya, Jari Malaikat.
Sejak aku menikahi Dewi Ratih dan adikmu membenciku tanpa alasan pasti."
"Si Kapak Maut membenci dan selalu menantangmu karena kau dianggap telah merebut
kekasihnya."
"Dewi Ratih, maksudmu...?"
"Benar. Sebelum kau kenal Dewi Ratih, adikku sudah mengenal sekaligus
mencintainya lebih dahulu. Tapi memang kaulah yang beruntung dan berhasil memperistrinya."
"Kenapa tidak kau katakan itu sejak dulu...?" Dewa Pedang seperti menyesali
sikap sahabatnya itu.
"Sudah kukatakan, segala tindakan si Kapak Maut tidak akan pernah kucampuri.
Tapi, tak ada seorang pun yang boleh mencelakakannya, apalagi membunuhnya. Itu
sumpahku, Dewa Pedang. Sumpah di depan pusara ayah-ku, ayah si Kapak Maut juga.
Dan itu merupakan amanat yang harus kujalankan!"
"Sama sekali aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Jari Malaikat. Tapi yang
kusesalkan adalah sikapmu yang selalu membela si Kapak Maut. Akibatnya, kau
sendiri selalu berhadapan dengan berbagai macam kesulitan akibat tingkah laku
adikmu." "Itu urusanku, Dewa Pedang! Kau tidak perlu ikut campur urusanku!"
"Dan sekarang kau hendak menuntut balas atas kematian adikmu. Apa kau tidak tahu
kalau si Kapak Maut berbuat seperti itu karena didasari nafsu ke angkaramurkaannya. Sedangkan Arya Dipa hanya mencoba
meredam keangkuhannya. Lain tidak! Anakku juga terpaksa membunuhnya, karena
adikmu telah melukai salah seorang pamannya dan hampir membunuhnya. Bukan satu
dua mata yang menyaksikan, tapi puluhan. Bahkan
ratusan!" Dewa Pedang memaparkan kejadian yang sebenarnya.
"Dewa Pedang, aku tidak ingin bertengkar mulut denganmu. Kedatanganku ke sini
hendak menuntut
kematian adikku. Maka kau harus merelakan putramu berhadapan denganku. Kutunggu
Arya Dipa besok pagi di Puncak Gunung Bekasan!"
Setelah berkata demikian. Pendekar Jari Malaikat
langsung berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki berusia sekitar tujuh
puluh tahun itu cepat melangkah ke luar. Dewa Pedang hendak mengejar, tapi Ki
Junta sudah keburu mencegah dengan mencekal tangannya. Dewa
Pedang menghembuskan napas panjang dan berat.
"Hhh...! Apa yang kurisaukan ternyata jadi kenyataan juga...!" keluh Dewa
Pedang. "Aku tidak menyangka kalau si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat," gumam
Ki Junta. Tak ada lagi yang bicara. Kesunyian melanda ruangan besar itu. Beberapa kali
Dewa Pedang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Ki
Junta hanya bisa memandangi tanpa dapat menyumbang-kan sedikit pikiran.
Persoalan yang dihadapi Dewa Pedang kali ini begitu pelik dan berat sekali.
Sungguh di luar jangkauan dan kemampuannya. Ki Junta hanya bisa ber-harap agar
Dewa Pedang mampu menyelesaikan persoalan ini tanpa harus kehilangan putra
sulungnya. Mereka jadi seperti melupakan persoalan yang dibawa Ki Junta. Persoalan serius
yang kini sedang dihadapi seluruh warga Desa Banyu Reges.
*** Tidak mudah bagi Dewa Pedang untuk menyampaikan
tuntutan Pendekar Jari Malaikat terhadap Arya Dipa. Tapi, biar bagaimanapun
harus disampaikan juga. Dengan
perasaan berat dan amat tertekan, Dewa Pedang
mengutarakan maksud kedatangan Pendekar Jari Malaikat malam ini. Sedangkan Arya
Dipa hanya menanggapi
dengan sikap tenang tanpa menampakkan keterkejutan sedikitpun.
"Kakang, apakah kau tidak bisa mencegah?" pinta Dewi Ratih yang wajahnya
diliputi kecemasan.
"Aku sudah berusaha, tapi memang sudah begitu wataknya. Sekarang tinggal
keputusan Arya Dipa saja,"
kata Dewa Pedang pasrah.
"Tapi, Kakang... Arya Dipa bukanlah tandingan Pendekar Jari Malaikat," sergah
Dewi Ratih. "Aku tahu itu, Ratih. Tapi harus diingat, kalau Pendekar Jari Malaikat hanya
melaksanakan amanat dan sumpah-nya. Aku sendiri sebenarnya tidak setuju pada
sikapnya yang begitu keras, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang salah."
"Sudahlah, Ayah, Ibu. Tidak perlu dicemaskan. Aku akan pergi ke Puncak Gunung
Bekasan sebelum matahari
terbit," selak Arya Dipa dengan suara yang sangat tenang.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya dalam lima jurus, Anakku," kata Dewi Ratih.
"Memohon saja pada Hyang Wldi, Bu," ujar Arya Dipa diiringi senyum.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak akan membiarkan kau mati di tangan
Pendekar Jari Malaikat, Arya Dipa," tegas Dewa Pedang.
"Tidak perlu Ayah lakukan itu untukku. Aku yang membunuh si Kapak Maut, maka aku
juga yang harus
mempertanggungjawabkannya. Aku akan mewakili Ayah.
Percayalah. Jurus-jurus 'Dewa Pedang' sudah kuperdalam, meskipun belum sesempuma
Ayah." jelas Arya Dipa mencoba menenangkan hati orang tuanya.
Betapa terharunya Dewa Pedang menyaksikan jiwa
putra sulungnya ini. Bola matanya berkaca-kaca, tak mampu membendung keharuan
yang menggelegak di
dalam dada. Dewa Pedang merengkuh putranya, lalu
memeluk erat-erat. Seakan-akan tidak ingin dilepaskannya lagi. Sedangkan Dewi
Ratih menyusut air bening yang menetes di sudut matanya. Keharuan begitu
menyelimuti mereka.
"Aku bangga padamu, Anakku," ucap Dewa Pedang agak tersendat.
"Restui aku. Ayah, Ibu.... Semoga Hyang Widi ber-samaku," ujar Arya Dipa seraya
melepaskan pelukan ayahnya.
"Pergilah beristirahat," ucap Dewi Ratih.
Arya Dipa bangkit berdiri, lalu menjura memberi hormat sebagaimana lazimnya
murid-murid Padepokan Pedang Perak memberi hormat terhadap gurunya. Meskipun
Dewa Pedang adalah ayah kandungnya, tapi Arya Dipa tidak pernah lupa kalau lakilaki setengah baya itu juga adalah gurunya. Pemuda itu melangkah keluar dari
ruangan itu. Arya Dipa agak terkejut juga begitu keluar. Ternyata adiknya sudah menunggu di
depan pintu ruangan pribadi ayah mereka. Arya Dipa hanya memandang Arya Gara
sejenak, kemudian terus saja berjalan agak cepat setelah menutup pintu. Arya
Gara mengikuti dan mensejajarkan langkah di samping kakaknya.
"Kau pasti mendengarkan semua pembicaraan tadi, Arya Gara," kata Arya Dipa
mendahului. "Aku akan mendampingimu, Kakang," ujar Arya Gara.
"Untuk apa?"
"Kalau-kalau orang tua itu membawa murid"
"Tidak, Arya Gara. Pendekar Jari Malaikat tidak mempunyai murid seorang pun."
"Kakang lupa. Siang tadi, muncul orang yang memiliki jurus 'Jari Malaikat'. Apa
Kakang sudah lupa pada pembicaraan Ayah bersama Ki Junta di ruangan semadi"
Aku tidak bisa melupakannya, Kakang. Dan aku yakin kalau orang itu adalah murid
si Pendekar Jari Malaikat,"
tegas Arya Gara.
Arya Dipa mendadak tercenung, dan seketika berhenti melangkah. Dipandangi
adiknya dalam-dalam. Siang tadi mereka memang sengaja menguping pembicaraan
ayahnya dengan Ki Junta di dalam ruang semadi. Bahkan juga sudah mendengar
tentang perkelahian di kedai Ki Sangir.
Sampai saat ini memang belum diketahui, siapa pemuda yang telah membunuh dua
orang pengawal Ki Junta
dengan jurus 'Jari Malaikat'. Sedangkan ayah mereka sendiri mengatakan kalau
Pendekar Jari Malaikat tidak memlliki seorang murid pun.
"Kakang! Ayah dan Pendekar Jari Malaikat sudah tidak bertemu hampir sepuluh
tahun. Bukannya tidak mustahil kalau Pendekar Jari Malaikat ternyata juga
mempunyai murid seperti Ayah. Sedangkan buktinya sudah ada. Dua orang pengawal
Ki Junta tewas terkena jurus 'Jari Malaikat'," kata Arya Gara lagi.
"Orang itu belum terbukti, siapa dan dari mana asalnya, Arya Gara," bantah Arya
Dipa terhadap pemikiran adiknya.
"Tentu saja belum diketahui, Kakang. Siapa tahu itu hanya siasat Pendekar Jari
Malaikat saja. Kita semua toh, belum mengetahui maksud kedatangan orang itu ke
Desa Banyu Reges. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Kakang."
"Sudahlah! Aku ingin lstirahat," kata Arya Dipa seraya melangkah lagi.
"Diijinkan atau tidak, aku tetap akan ke Puncak Gunung Bekasan, Kakang!"
"Terserah kau!"
"Terima kasih, Kakang...!"
Pagi-pagi sekali sebelum matahari memancarkan penuh sinarnya, Arya Dipa sudah
memacu cepat kudanya keluar dari lingkungan Padepokan Pedang Perak. Kuda putih
itu berpacu cepat bagai terbang saja layaknya. Arya Dipa sama sekali tidak
mengetahui kalau kepergiannya selalu diper-hatikan seseorang yang mengikuti
sambil menjaga jarak.
Pemuda itu terus memacu cepat kudanya menuju
Gunung Bekasan. Dalam waktu tidak berapa lama, putra Dewa Pedang itu sudah
mendaki Lereng Gunung Bekasan yang cukup terjal. Arya Dipa terpaksa meninggalkan
kudanya, dan melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Tingkat kepandaian yang dimiliki Arya Dipa memang cukup tinggi. Tidak heran
kalau pemuda itu mampu berlari cepat menembus lebatnya hutan di Lereng Gunung
Bekasan, meskipun keadaan masih cukup gelap.
Tepat pada saat matahari menampakkan diri, Arya Dipa sudah tiba di Puncak Gunung
Bekasan. Pemuda yang
mengenakan baju biru laut itu menghampiri sebuah pohon beringin besar yang
berdiri tepat di tengah-tengah Puncak Gunung Bekasan ini. Tak ada seorang pun
yang terlihat. Bahkan seekor binatang pun seperti enggan menampakkan diri. Seluruh penghuni
hutan di Puncak Gunung Bekasan seakan-akan mengetahui kalau sebentar lagi di
daerah ini akan menjadi ajang pertarungan. Arya Dipa berdiri tegak membelakangi
pohon beringin besar itu.
Matanya memandang ke sekeliling mengamati keadaan sekitarnya.
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm.... Kenapa Pendekar Jari Malaikat belum juga muncul...?" gumam Arya Dipa
pelan. Cukup lama juga Arya Dipa menunggu munculnya
Pendekar Jari Malaikat di Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi yang ditunggu-tunggu
belum juga menampakkan batang hidungnya. Hingga matahari bersinar penuh dengan
sinarnya yang terik, Pendekar Jari Malaikat belum juga muncul. Arya Dipa mulai
jenuh, dan menjadi kesal karena merasa ditiermalnkan.
"Huh! Apa tantangan ini cuma main-main saja...?"
dengus Arya Dipa kesal.
Pemuda itu mengayunkan kakinya hendak meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
mendadak sebuah bayangan putih
berkelebat di depannya. Tahu-tahu di depan Arya Dipa sudah berdiri seorang lakilaki tua mengenakan Jubah panjang. Arya Dipa berhenti melangkah, karena
mengenali laki-laki tua itu.
"Pendekar Jari Malaikat... Akhirnya kau datang juga,"
dengus Arya Dipa.
"Aku sudah ada di sini sebelum kau datang, Arya Dipa,"
kata Pendekar Jari Malaikat kalem, seraya bibirnya meng-ulas senyuman tipis.
"Hm..." gumam Arya Dipa tidak percaya.
"Aku tahu kau tidak datang sendiri, Arya Dipa. Itu sebabnya aku menunggu, tapi
ternyata temanmu cukup sabar juga," kata Pendekar Jari Malaikat tetap kalem.
"Pendekar Jari Malaikat, aku datang sendiri. Dan kau tidak perlu mengada-ada!" keras suara Arya Dipa.
"Mungkin aku bisa percaya. Tapi kenyataannya, kau membawa adikmu. Bahkan juga
membawa orang lain yang tidak kukenal. Mereka semua sudah ada di sini begitu kau
tiba," kata Pendekar Jari Malaikat lagi.
Betapa terkejutnya Arya Dipa. Pemuda itu memang tahu kalau adiknya mengikuti,
tapi tidak tahu sejak kapan Arya Gara mengikutinya. Dia datang ke sini hanya
seorang diri, tanpa teman atau siapa pun. Tapi mengapa Pendekar Jari Malaikat
berkata sebaliknya" Apakah memang di puncak gunung ini sudah banyak orang" Arya
Dipa benar-benar tidak mengetahui. Sama sekali tidak diketahui kalau di tempat
ini ada orang lain selain dirinya sendiri.
"Arya Gara! Apakah kau ada di sini..?" seru Arya Dipa keras.
Teriakan Arya Dipa yang disertai sedikit pengerahan tenaga dalam itu menggema ke
seluruh puncak gunung ini.
Suara itu menggaung terpantul lereng, lembah, dan pepohonan serta dindingdinding batu yang cukup banyak terdapat di Gunung Bekasan ini.
Begitu hilang gaung suara Arya Dipa, dari balik semak berukar muncul seorang
pemuda berwajah tampan dan hampir mirip Arya Dipa. Pemuda itu menghampiri Arya
Dipa dan berdiri di sampingnya, agak ke belakang. Pendekar Jari Malaikat
tersenyum-senyum melihat kemunculan Arya Gara.
"Bagus! Ternyata putra-putra Dewa Pedang cukup jantan juga. Aku senang... Senang
sekali..," ular Pendekar Jari Malaikat.
"Kau bisa menanyakan padanya, apakah aku membawa adikku atau tidak!" tegas Arya
Dipa lantang Pendekar Jari Malaikat hanya tersenyum saja sambil mengelus-elus
pipinya yang kempot. Bibirnya yang tipis selalu menyunggingkan senyuman tipis
pula. Arya Dipa semakin tidak mengerti, apa kemauan orang tua itu sebenarnya"
Sikapnya sungguh menjengkelkan, tapi juga penuh tanda tanya.
"Arya Gara, sebaiknya kau pulang saja. Katakan pada ayah dan ibumu kalau Arya
Dipa baik-baik saja," kata Pendekar Jari Malaikat lembut.
Arya Gara memandang kakaknya yang pada saat itu
juga menoleh padanya. Kedua pemuda itu semakin tidak mengerti sikap Pendekar
Jari Malaikat. Benar-benar mem-bingungkan dan sukar diterka keinginannya. Tapi
Arya Dipa menganggukkan kepalanya juga, pertanda menyetujui ucapan Pendekar Jari
Malaikat. "Kakang...."
"Pulanglah, Arya Gara. Ini bukan urusanmu," kata Arya Dipa lembut.
"Kakang! Kalau kau sampai tewas di tangannya, aku bersumpah untuk membalas,"
ucap Arya Gara.
"Percayalah, Adikku. Aku bisa mengatasi," tekad Arya Dipa seraya memberikan
senyum. Arya Gara menatap tajam Pendekar Jari Malaikat.
kemudian kembali berpaling pada kakaknya. Arya Dipa kembali menganggukkan
kepalanya sambil menepuk
pundak adiknya. Pelahan Arya Gara menggeser kakinya menjauh.
"Pergilah," pinta Arya Dipa kepada adiknya.
Dengan perasaan berat Arya Gara meninggalkan
Puncak Gunung Bekasan ini. Pendekar Jari Malaikat menghampiri Arya Dipa setelah
adik pemuda ini tidak terlihat lagi. Laki-laki tua itu mengerdipkan sebelah
matanya, kemudian melangkah melewati pemuda itu. Hal ini benar-benar tidak bisa
dipahami Arya Dipa, tapi diikuti juga laki-laki tua itu.
"Gunakan ilmu meringankan tubuh semampumu, dan ikuti aku." kata Pendekar Jari
Malaikat berbisik.
Kata-kata yang diucapkan Pendekar Jari Malaikat begitu pelan, namun cukup jelas
terdengar di telinga Arya Dipa.
Memang pemuda itu maklum kalau Pendekar Jari Malaikat pasti menggunakan tenaga
dalam serta ilmu pemindah suara yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Arya
Dipa juga langsung mengerti kalau di Puncak Gunung Bekasan ini ada orang lain,
kecuali mereka berdua.
Tanpa membantah sedikit pun. Arya Dipa mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
sebatas kemampuan yang
dimiliki. Pada saat itu, Pendekar Jari Malaikat juga sudah mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Mereka kelihatan berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi
lari kuda di arena balap. Arya Dipa semakin bertanya-tanya dalam benaknya.
Benar-benar heran, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke arah Utara..."
*** 5 Arya Dipa benar-benar tidak mengerti begitu sampai di suatu tempat yang belum
pernah didatangi. Sebuah goa yang tidak begitu besar, namun kelihatan bersih. Di
dalam goa itu duduk bersila seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal di
samping sesosok tubuh yang terbaring tanpa daya. Sosok tubuh seorang laki-laki
berbaju biru. "Siapa mereka?" tanya Arya Dipa seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka adalah Pendekar Bayangan Dewa dan Nyi Palak yang lebih dikenal sebagai
si Ular Betina dari Selatan," Pendekar Jari Malaikat memperkenalkan Arya Dipa
pada perempuan tua berbaju kumal yang memegang tongkat itu.
Perempuan tua itu hanya menganggukkan kepalanya
sedikit, dan sedikit pun tidak beranjak dari tempat duduknya. Pendekar Jari
Malaikat duduk bersila. Sementara Arya Dipa mengikuti, duduk di samping lakilaki tua berbaju putih panjang itu. Benaknya masih berputar untuk bisa memahami
semua yang dialami sekarang ini.
Arya Dipa memandangi laki-laki berbaju biru yang terbaring di lantai goa
beralaskan rerumputan kering dan dedaunan. Kelopak matanya terpejam rapat. Namun
dari gerakan dada yang lemah, menandakan kalau orang yang namanya disebut
Pendekar Jari Malaikat sebagai Pendekar Bayangan Dewa itu masih hidup. Perhatian
Arya Dipa beralih pada perempuan tua berbaju kumal yang memegang tongkat
berbentuk ular hitam. Wajah wanita tua itu kelihatan murung, dan tidak pernah
lepas merayapi laki-laki yang terbaring itu.
"Kita masih menunggu seorang lagi, Arya Dipa," jelas Pendekar Jari Malaikat
memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat tadi.
"Siapa?" tanya Arya Dipa
"Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin saat ini masih berada di Desa Banyu Reges,"
sahut Pendekar Jari Malaikat.
"Pendekar Rajawali Sakti..." Siapa lagi dia?" gumam Arya Dipa seolah bertanya pada
dirinya sendiri.
Belum lagi pertanyaan Arya Dipa terjawab, terdengar suara langkah kaki di luar
goa. Arya Dipa menoleh, begitu juga Pendekar Jari Malaikat. Tapi dia cepat
melompat bangkit berdiri, dan menatap Nyi Palak. Perempuan tua itu juga bangkit
berdiri dengan wajah tegang. Suara langkah kaki itu berhenti tidak jauh di depan
mulut goa. "Dua orang ," gumam Pendekar Jari Malaikat.
"Biar kulihat, Kakang." kata Nyi Palak.
Namun belum juga Nyi Palak bergerak, di depan mulut goa muncul seorang laki-laki
muda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Di sampingnya, seorang gadis
mengenakan baju biru yang wajahnya sangat cantik bagai bidadari dari kahyangan.
"Oh!" desah Pendekar Jari Malaikat.
Nyi Palak juga menarik napas panjang, Namun tatapan matanya sangat tajam menusuk
pada wanita cantik berbaju biru di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
Pendekar Jari Malaikat menghampiri dan menyalami
pemuda itu. "Aku kira kau tidak muncul, Pendekar Rajawali Sakti,"
ucap Pendekar Jari Malaikat.
"Aku pasti datang," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Pendekar
Rajawali Sakti atau Rangga.
Pendekar Jari Malaikat menatap pada gadis di samping Rangga.
"Oh, ini temanku. Namanya Pandan Wangi," ucap Rangga buru-buru memperkenalkan
gadis dit sebelahnya.
"Kau katakan akan datang sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," celetuk Nyi Palak.
"Tadinya memang begitu. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Pandan Wangi sendirian
di rumah penginapan," sahut Rangga. "Terlalu berbahaya, apalagi dalam suasana seperti ini
" "Ah.... sebaiknya duduk dulu. Mari..." potong Pendekar Jari Malaikat.
Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian
duduk di samping Nyi Palak yang sudah duduk lebih dahulu. Sedangkan Pandan Wangi
tidak mau jauh-jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pendekar Jari Malaikat kembali duduk di sebelah Arya Dipa. Mereka melingkari
Pendekar Bayangan Dewa yang masih terbaring dengan mata terpejam rapat.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga
"Belum ada perubahan," sahut Nyi Palak pelan. Ada kesenduan pada nada suaranya.
"Luka dalamnya cukup parah, dan aku tidak yakin Pendekar Bayangan Dewa masih
mampu bertahan untuk beberapa hari. Kalaupun dapat sembuh, kemungkinan akan
bungkuk dan kehilangan satu kaki," jelas Pendekar Jari Malaikat.
"Maaf. Bisa memberi sedikit penjelasan padaku...?"
pinta Arya Dipa memotong.
Semua yang ada di dalam goa itu langsung memandang Arya Dipa yang seperti
terlupakan kehadirannya. Mendapat sorotan beberapa pasang mata. Arya Dipa jadi
rikuh juga. Tapi pemuda itu memang ingin mengetahui. Dia memang jenuh menduga-duga terus
tanpa dapat mengerti.
Kehadirannya di dalam goa ini juga tanpa dimengerti sama sekali. Dan dia tidak
tahu, untuk apa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke tempat ini.
*** "Oh, ya.... Pemuda ini sengaja kubawa sebagai peng-ganti ayahnya," jelas
Pendekar Jari Malaikat memperkenalkan Arya Dipa. "Dia bernama Arya Dipa, putra
sulung Dewa Pedang."
"Aku sudah tahu. Hanya saja tidak kumengerti, kenapa bukan Dewa Pedang saja yang
kau bawa ke sini!" dengus Nyi Palak, agak ketus suaranya.
"Kau harus bisa menahan diri, Nyi. Sengaja kubawa ke sini, karena dia telah
menewaskan si Kapak Maut," kata Pendekar Jari Malaikat.
"Apa..."!" Nyi Palak terperanjat.
Kedua bola mata perempuan tua itu terbeliak lebar, seakan tidak percaya kalau
pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun itu mampu membunuh si Kapak Maut
yang sudah kenyang makan asam garam di dunia
persilatan. Dunia yang keras, dan penuh persaingan dan percikan darah.
Nyi Palak memang sudah mendengar kalau si Kapak
Maut mati akibat bertarung di Padepokan Pedang Perak.
Tapi tidak diduga kalau kematiannya di tangan seorang pemuda yang jauh berbeda
usia dan pengalamannya.
Namun rasa heran dan ketidakpercayaannya tertimbun oleh gejolak yang membara.
"Kau telah membunuh saudaraku...! Mampus kau, hiyaaat..!" seru Nyi Palak tibatiba. "Nyi..!" sentak Pendekar Jari Malaikat terkejut.
Tapi Nyi Palak sudah tidak bisa dicegah lagi. Masih dalam posisi duduk bersila,
perempuan tua itu menyodok-kan ujung tongkatnya ke arah dada Arya Dipa. Begitu
cepat dan tidak diduga sama sekali serangan itu, sehingga membuat pemuda itu
terperangah. Namun sebelum
tongkat Nyi Palak berhasil menyentuh dadanya, Pendekar Jari Malaikat sudah cepat
mengebutkan tangannya.
Takkk! "Hh...!"
Nyi Palak langsung menarik pulang tongkatnya. Namun, secepat itu pula diputar
tongkatnya, dan dikibaskan ke samping. Cepat sekali putaran tongkat itu, membuat
Pendekar Jari Malaikat tak mungkin menyelamatkan Arya Dipa lagi. Karena, kalau
tidak segera melompat mundur, tongkat itu bisa menyambarnya lebih dahulu.
Wuk! "Uts! Hiya...!"
Arya Dipa tersentak kaget. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang
menghindari tebasan tongkat berbentuk ular hitam itu. Namun angin tebasan
tongkat ular Nyi Palak menimbulkan hempasan angin luar biasa.
Akibatnya Arya Dipa harus bergulingan beberapa kali di lantai goa. Pemuda itu
sengaja menggulingkan tubuhnya ke arah mulut goa.
"Mau ke mana kau, heh..."!" bentak Nyi Palak terkejut.
Secepat Arya Dipa melompat ke luar goa, secepat itu pula Nyi Palak melesat
mengejar. Pendekar Jari Malaikat, Rangga dan Pandan Wangi bergegas mengikuti ke
luar goa. Dan mereka terkejut karena sesampainya di luar, Nyi Palak sudah menyerang Arya
Dipa dengan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya.
"Nyi... tahan!" bentak Pendekar Jari Malaikat keras.
"Bocah ini telah membunuh saudara kita, Kakang!" seru Nyi Palak tanpa
menghentikan serangannya.
"Tunggu penjelasanku, Nyi!"
"Tidak! Hiya...! Hiyaaa...!"
Nyi Palak tidak mempedulikan lagi peringatan Pendekar Jari Malaikat. Bahkan
semakin memperhebat serangan-serangannya pada Arya Dipa yang hanya bisa berkelit
dan menghindar tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang.
Keadaan Arya Dipa memang sungguh tidak menguntungkan. Tubuhnya jatuh bangun
berusaha menyelamatkan diri dari serangan si Ular Betina dari Selatan yang
begitu gencar dan ganas.
"Modar! Hiya...!" teriak Nyi Palak tiba-tiba.
Seketika itu juga Nyi Palak menghentakkan tangan
kirinya ke arah perut. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini sukar
dihindari lagi. Sehingga....
Des! "Ughk...!" Arya Dipa mengeluh panjang.
Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang dengan
tubuh sedikit membungkuk. Namun belum juga menguasai keadaan tubuhnya, mendadak
satu tendangan keras
mendarat di dadanya. Seketika itu juga Arya Dtpa
terjungkal keras menghantam sebatang pohon hingga tumbang disertai suara pekikan
keras. Tubuh Arya Dipa menggeliat di antara reruntuhan pohon yang tumbang,
hancur berantakan terlanda punggungnya!
"Nyi, tahan...!" sentak Pendekar Jari Malaikat saat Nyi Palak sudah kembali
melompat sambil mengerahkan ujung tongkatnya yang runcing ke dada Arya Dipa.
Secepat kilat Pendekar Jari Malaikat melesat. Dan dengan satu jarinya, disentil
ujung tongkat Nyi Palak yang hampir saja menembus dada Arya Dipa. Nyi Palak
terpekik kaget. Bergegas ditarik pulang tongkatnya, lalu melompat mundur
beberapa tindak. Kedua bola matanya memerah menatap Pendekar Jari Malaikat yang
sudah berdiri membelakangi Arya Dipa. Sedangkan pemuda itu tengah
berusaha bangkit berdiri.
"Minggir, Kakang! Bocah keparat ini harus mampus! Dia sudah membunuh adikmu,
adik iparku, saudara kita!
Mungkin juga dialah yang membuat suamiku kini terbaring...!" Nyi Palak menuding
Arya Dipa. "Jangan menuduh sembarangan, Nyi," lembut suara Pendekar Jari Malaikat
"Kenapa kau selalu membelanya, Kakang" Apa karena dia anak sahabatmu..."!"
dengus Nyi Palak ketus
"Tenang, Nyi. Ingatlah nyawa suamimu. Sekarang ini dia butuh pertolongan.
Kendalikanlah dirimu, Nyi," Pendekar Jari Malaikat mencoba meredakan amarah Nyi
Palak.
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh!" Nyi Palak mendengus kesal. Tapi kata-kata Pendekar Jari Malaikat yang
terakhir tadi rupanya membuat perempuan tua itu tidak lagi melanjutkan
serangannya pada Arya Dipa. Sambil menggerutu, perempuan tua itu kembali masuk
ke dalam goa. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat membantu Arya Dipa berdiri. Lakilaki tua itu melirik Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau sampai Pendekar Bayangan Dewa
meninggal, aku tidak akan
mampu lagi membendung amarahnya," ujar Pendekar Jari Malaikat seakan-akan
mengeluh. "Lalu, apa yang harus kulakukan, Pendekar Jari Malaikat?" tanya Rangga.
"Temukan bocah itu dan bawa ikat kepalanya padaku,"
pinta Pendekar Jari Malaikat
"Kalau dia tidak memberikan?"
"Terserah apa yang akan kau lakukan padanya. Aku tidak peduli lagi."
Rangga menarik napas panjang, kemudian melirik
Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Kemudian
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi mengikuti, namun bibirnya masih terkunci
rapat. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat memeriksa luka-luka di tubuh Arya Dipa.
Pemuda itu masih belum bisa memahami sikap Pendekar Jari Malaikat yang kelihatan
aneh dan sukar diterka. Tapi Arya Dipa masih harus bersabar dan menahan diri.
*** Senja sudah merayap turun mendekati permukaan
bumi. Di ufuk Barat, rona merah menyemburat indah mewarnai alam yang sebentar
lagi akan tenggelam ditelan kegelapan malam. Namun keindahan alam ini tidak
dirasakan Pandan Wangi yang berjalan sambiil memberengut di samping Rangga. Mereka baru saja meninggalkan Lereng Gunung Bekasan.
Desa Banyu Reges sudah tampak di kaki gunung ini.
"Baik! Kalau Kakang tidak bersedia menjelaskan padaku, aku akan pergi sekarang
juga!" rungut Pandan Wangi langsung menghentikan ayunan langkahnya.
Rangga juga berhenti berjalan, lalu memutar tubuhnya menghadap gadis itu. Wajah
Pandan Wangi memberengut terlipat bagai nenek-nenek kehabisan sirih. Sebenarnya
Rangga ingin tertawa melihat Pandan Wangi memberengut begitu. Tapi melihat sorot
mata yang tajam menusuk, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas
panjang. "Apa yang harus kujelaskan, Pandan..?" Rangga berpura-pura tidak mengerti.
"Pakai tanya segala.... Memangnya, apa yang sedang kau lakukan sejak kemarin"
Kau pikir aku tidak tahu, heh..."!" agak keras nada suara Pandan Wangi.
"Kalau kau sudah tahu, untuk apa dijelaskan lagi?"
"Kakang...!"
Pandan Wangi jadi kesal. Hatinya benar-benar
penasaran dan tidak mengerti akan sikap Rangga kali ini.
Sungguh sulit dipahami, apa sebenarnya yang tengah teriadi pada diri Pendekar
Rajawali Sakti. Selama ini belum pernah Pandan Wangi melihat sikap Rangga begitu
merahasiakan persoalan yang sedang dihadapi. Sejak mereka masuk ke Desa Banyu
Reges, sikap Rangga sudah membuatnya jengkel. Kekesalannya kian memuncak begitu
Rangga meminta untuk berpura-pura tidak saling
mengenal. Mereka menyewa kamar penginapan masingmasing, makan masing-masing, dan jalan sendiri-sendiri tanpa ada tegur sapa di
tempat umum. Benar-benar suasana yang tidak menyenangkan sama
sekali. Dan Pandan Wangi benar-benar tidak menyukainya.
Kekesalannya meledak saat Rangga tadi menolak untuk terus didampingi. Namun
gadis itu tetap nekad dan terus mengikuti Rangga sampai ke Puncak Gunung
Bekasan. Di tempat itu juga Pandan Wangi semakin tidak mengerti, terutama
terhadap orang-orang yang dijumpai, yang ber-tingkah laku seperti menyimpan
segudang misteri.
"Pandan, kali ini aku minta pengertianmu. Bukannya tidak memperhatikanmu, tapi
sekarang ini aku tidak ingin melibatkan dirimu. Terlalu berbahaya, dan kau tidak
akan mengerti persoalannya," jelas Rangga mencoba meminta pengertian Pandan
Wangi. "Selalu itu saja yang kau katakan," dengus Pandan Wangi masih memberengut.
"Kali ini saja, Pandan," mohon Rangga.
"Kali ini aku bisa diam saja untukmu, Kakang. Tapi untuk lain kali, kau pasti
akan meminta hal sama padaku.
Kakang..., bukannya hendak mencampuri segala urusanmu, tapi aku tidak ingin
melihat kau mendapat kesulitan seorang diri. Aku ingin merasakan bagaimana yang
kau rasakan. Apakah keinginanku ini berlebihan, Kakang?"
Rangga tidak bisa lagi berkata, dan hanya menghembuskan napas panjang saja. Sukar rasanya membuat Pandan Wangi tidak terusmenerus mendesaknya. Rangga sendiri sebenarnya tidak ingin membuat Pandan Wangi
jadi sedemikian rupa. Tapi ini terpaksa dilakukannya, karena disadari kalau
tokoh yang akan dihadapi sangat digdaya dan sukar dicari tandingannya. Hal ini
sangat dirasakan, karena Pendekar Jari Malaikat sendiri meminta bantuan padanya.
Demikian pula si Ular Betina dari Selatan dan beberapa tokoh persilatan lainnya.
Rangga tidak bisa menolak dan berjanji untuk mencari tokoh persilatan yang
memiliki hampir segala jenis kepandaian.
Rangga merangkul pundak gadis itu dan mengajaknya berjalan kembali. Pandan Wangi
tidak menolak, dan malah melingkarkan tangannya di pinggang Pendekar Rajawali
Sakti itu. Mereka berjalan pelahan-lahan sambil berang-kulan. Namun masingmasing belum ada yang membuka suara lebih dulu. Pandan Wangi terus memandangi
wajah tampan di sampingnya.
"Kenapa memandangku terus begitu?" tegur Rangga jengah.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman
tipis. "Jangan ikut-ikutan gila, Pandan. Dunia ini sudah penuh orang gila!" rungut
Rangga. "Belakangan ini kau mudah sekali tersinggung, Kakang.
Apa persoalan ini yang menyebabkan kau tertekan" Apa sebenarnya yang terjadi,
Kakang?" desak Pandan Wangi.
"Untuk kali ini, Pandan. Sebaiknya kau tidak perlu melibatkan diri. Maaf, aku
tidak bisa menjelaskan padamu," tegas Rangga.
"Baik kalau begitu. Aku akan kembali ke penginapan, mengambil kuda, dan terus
pulang ke ..." Pandan Wangi tidak melanjutkan ucapannya. Dilepaskan rangkulan
Rangga dan ditatapnya pemuda itu dalam-dalam.
Pandan Wangi ingin melihat tanggapan Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi ternyata yang didapatkan adalah ketidakpedulian Rangga.
Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu malah mengayunkan kakinya melangkah pergi.
Pandan Wangi jadi kesal bukan main. Dihentakkan kakinya ke tanah keras-keras.
Sikap Rangga belakangan ini benar-benar membuat
Pandan Wangi tidak habis mengerti. Aneh dan sukar diterka. Belum pernah Rangga
bersikap seperti itu yang seperti menganggap orang lain saja padanya. Meskipun
kesal, tapi Pandan Wangi berpendapat kalau persoalan yang dihadapi Rangga tidak
ringan. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu seperti mendapat tekanan
batin yang sangat berat.
Sambil bersungut-sungut, Pandan Wangi berlari
mengejar Rangga yang sudah berjalan cukup jauh
meninggalkannya. Gadis itu terus berlari menyusul Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak
mempedulikan, bahkan seperti tidak mau tahu terhadap sikap Pandan Wangi yang
begitu kesal dan marah. Gadis itu terus berlari cepat mempergunakan Ilmu
meringankan tubuh menuju Desa Banyu Reges.
*** 6 Pagi-pagi sekali Rangga sudah memacu cepat kudanya meninggalkan rumah penginapan
yang disewa untuk
beberapa hari. Kuda Pandan Wangi masih terlihat tertambat, dan itu berarti dia
tidak jadi pergi. Rangga memang sudah yakin betul kalau gadis itu tidak akan
meninggalkannya. Bibirnya tersenyum saja saat melihat kuda putih milik Pandan
Wangi masih tertambat di tempatnya tanpa pelana.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu berpacu cepat
menembus kabut yang mulai memudar. Sinar matahari menyemburat merah di ufuk
Timur dari balik Gunung Bekasan. Sinarnya yang hangat membuat kabut menyebar ke
udara. Demikian pula dengan embun-embun yang mulai menguap dari puncak pohon dan
rerumputan. Namun
udara masih terlalu dingin. Rangga tidak peduli, dan terus memacu cepat kudanya
menuju Gunung Bekasan yang
berdiri angkuh menantang langit.
Wusss...! Tiba-tiba sebuah benda sepanjang jengkal telapak
orang dewasa meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti begitu sampat di Kaki
Gunung Bekasan. Bagaikan kilat Rangga melentingkan tubuhnya, melompat dari
punggung Dewa Bayu yang terus berlari cepat.
Merasa bebannya tidak ada lagi, kuda hitam itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pada saat
itu Rangga sudah mendarat manis di tanah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang
ranting kering.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas. Dilemparkan ranting kering di tangannya
ke depan kaki. Ternyata benda yang meluncur ke arah nya tadi hanya sebatang
ranting kering. Namun karena dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, ranting itu jelas bisa mencelakakan.
Bahkan bisa membunuhnya. Namun Pendekar Rajawali
Sakti bukanlah orang sembarangan. Ranting itu berhasil ditangkap sambil
berputaran di udara.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar.
Belum lagi hilang suara tawa itu, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki berbaju putih
agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap, padat, dan berotot. Wajahnya
cukup tampan, namun menyiratkan ketegasan dan kekerasan hidup. Sinar matanya
begitu tajam, bagai mata seekor ular yang tak memiliki perasaan.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas Pendekar Rajawali Sakti itu ingat kalau
pemuda itu pernah dilihatnya di kedai milik Ki Sangir. Pemuda ini yang
merobohkan dua orang pengawal kepala desa hanya dengan jari telunjuk saja.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, siapa pemuda berbaju putih itu,
tapi belum mau meng-ucapkannya.
"Semula aku tidak peduli dengan kehadiranmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
karena terlalu banyak ikut campur dan selalu menghalangi setiap langkahku, maka
aku tidak punya pilihan lain, kecuali membunuhmu," kata pemuda itu, dingin nada
suaranya. "Hm..., rasa nya aku belum pernah mengenalmu,"
gumam Rangga kalem. "Siapa kau" Dari mana kau tahu namaku?"
"Tidak terlalu sukar mengetahui siapa dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
sayang sekali, nama besarmu akan tamat di tempat jelek ini," tetap dingin nada
suara pemuda berbaju putih itu.
"Kisanak, siapa kau?" tanya Rangga lagi.
"Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah tahu siapa diriku, Pendekar Rajawali Sakti.
Bukankah kau juga ada di kedai waktu itu?"
"Hm.... jadi kau yang dijuluki si Jari Malaikat Maut itu?"
gumam Rangga menebak.
"Tepat!" sambut pemuda berbaju putih itu diiringi senyuman tipis yang begitu
dingin membeku.
"Kalau begitu, aku harus membawamu kepada
Pendekar Jari Malaikat," ujar Rangga, agak datar suaranya.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak. "Kenapa bukan si
tua bangka itu saja yang datang padaku" Ha ha ha...!"
Rangga tidak menanggapi, dan hanya menggeretakkan rahangnya saja. Sedikit
digeser kakinya ke kanan.
Pandangan matanya begitu tajam menusuk, dan langsung menuju ke bola mata si Jari
Malaikat Maut. "Tidak sepantasnya kau bicara begitu, Kisanak," dengus Rangga dingin.
"Apa yang kukatakan dan kulakukan, tak ada seorang pun yang bisa melarang! Tidak
juga si tua bangka keparat itu. Juga kau, Pendekar Rajawali Sakti!" tegas si
Jari Malaikat Maut tidak kalah dinginnya.
"Memang tidak akan ada yang bisa menghalangimu.
Terlebih lagi, kau sudah menguasai jurus-jurus 'Jari Malaikat' yang sangat
dahsyat." "Kau sudah tahu itu, Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, kenapa tidak menyingkir dan
menjauh dariku?" dengus si Jari Malaikat Maut.
"Karena tindakanmu sudah kelewat batas, dan hanya aku yang bisa menghentikanmu!"
tegas jawaban Rangga.
"Setan alas...!" geram si Jari Malaikat Maut memerah mukanya.
"Kau bisa saja mencuri ilmu-ilmu dari para pendekar lain, dan mengembangkannya
menjadi jurus ampuh. Tapi kau tidak akan bisa menguasai apa yang kukuasai, Jari
Malaikat Maut. Untuk itu aku bertanggung jawab atas keselamatan seluruh manusia
yang terancam akibat
tingkah polahmu!" tegas dan dingin sekali kata-kata Rangga.
"Bagus! Itu namanya ular mencari penggebuk. Akan kau rasakan akibat
kesombonganmu, Pendekar Rajawali
Sakti!" "Hm..."
*** Rangga benar-benar tidak akan menganggap enteng si
Jari Malaikat Maut. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau laki-laki muda berbaju
putih itu memiliki sebuah ilmu yang dapat menyerap setiap kepandaian lawannya
tanpa dapat disadari lawan itu sendiri. Dalam setiap pertarungan, benturan
anggota tubuh tidak akan mungkin terhindari.
Dalam benturan itulah si Jari Malaikat Maut mempergunakan ilmunya yang sangat
langka. Dari benturan itu, tanpa terasa lawannya akan membagi kekuatan dan ilmu
tanpa dapat dicegah lagi. Semakin banyak benturan, semakin banyak pula ilmu yang
tersedot. Sementara itu Jari Malaikat Maut sudah bersiap-siap hendak mengadakan serangan.
Sedangkan Rangga masih berdiri tegak memperhatikan sambil berpikir untuk
menghindari benturan secara langsung. Memang,
Pendekar Rajawali Sakti itu menyadari kalau tidak akan mungkin menghindari
bentrokan dalam sebuah pertarungan. Tapi paling tidak bisa dihindari dan
dikurangi. Itu pun akan membuat si Jari Malaikat Maut sudah bertambah
kepandaiannya. Rangga jadi pusing sendiri, dan tidak mungkin lagi menghindari
pertarungan yang akan terjadi.
"Terimalah seranganku, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaa...!" seru Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
Rangga sempat terperangah ketika tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut
menghentakkan tangan kanannya ke
depan. Seketika dari telapak tangannya meluncur sinar merah yang meluruk deras
ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hup...!" Rangga langsung melompat ke samping.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar ketika sinar
merah itu menghantam pohon di belakang Pendekar
Rajawali Sakti. Pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Dua kali Rangga
berputaran di udara sebelum mendaratkan kakinya dengan manis di tanah.
"Gila! Rupanya dia sudah menguasai ilmu 'Pukulan Tapak Api'," dengus Rangga
dalam hati. Rangga tahu kalau pukulan itu sangat berbahaya dan berasal dari Pendekar Tangan
Api. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau si Jari Malaikat
Maut sudah berhasil juga menguasai ilmu dahsyat itu. Dan itu berarti pula si
Jari Malaikat Maut pernah bertarung melawan Pendekar Tangan Api, sehingga
menguasai ilmu yang amat dahsyat itu dengan baik sekali. Rangga semakin waspada
dan hati-hati menghadapinya, dan tidak bisa lagi bermain-main. Disadari kalau
lawannya kali ini memiliki begitu banyak kepandaian dahsyat, yang diambil dari
para pendekar ternama.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya bisa berlompatan menghindari setiap serangan
yang dilontarkan si Jari Malaikat Maut yang masih mempergunakan ilmu 'Pukulan
Tapak Api'. Sebentar saja, tempat sekitar pertarungan itu sudah porak-poranda.
Pohon-pohon besar dan kecil hancur berkeping-keping. Batu-batuan pecah menjadi
debu dan kerikil. Tak ayal lagi tempat yang tadinya kelihatan utuh, semua hancur
berantakan terkena pukulan dahsyat yang dilontarkan si Jari Malaikat Maut.
"Ha ha ha...! Ternyata Pendekar Rajawali Sakti bisanya cuma berlompatan seperti
monyet!" ejek si Jari Malaikat Maut
Rangga tidak menanggapi. Dia berdiri tegak dengan pandangan tajam mengamati
sikap Jari Malaikat Maut.
Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda berbaju putih ketat itu kini tengah mempersiapkan serangan lain. Dan
Rangga tahu kalau kali ini pasti tentu lebih dahsyat dari yang pertama.
"Hm.... Apakah aji 'Cakra Buana Sukma' harus kukerahkan?" gumam Rangga
menimbang-nimbang. "Ah, tidak! Rasanya belum perlu."
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras, dan seketika itu juga
melesat bagaikan kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berpikir
mencari jalan agar bisa mengalahkannya.
"Uts!" buru-buru Rangga melompat ke samping sambil menjatuhkan diri ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit
berdiri. Namun belum juga kakinya kokoh menjejak tanah, si Jari Malaikat Maut
sudah melontarkan satu tendangan kilat menggeledek. Rangga terkejut bukan main.
Ternyata lawannya mampu menyerang dalam keadaan tubuh berada di udara.
"Hap!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Rangga untuk berkelit.
Maka terpaksa ditangkis tendangan itu dengan mengibaskan tangannya menyamping.
Dug! Satu benturan keras terjadi. Si Jari Malaikat Maut terpental ke belakang
beberapa langkah, sedangkan Rangga sendiri berputar bagai gasing sebanyak tiga
kali. "Edan!" umpat Rangga dalam hati.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeser kakinya. Tadi, ketika menangkis
serangan si Jari Malaikat Maut, tenaga dalamnya hanya dikerahkan sedikit saja.
Dan akibatnya, dia hampir saja terpental. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak menggunakan jurus, dan hanya menggunakan tangkisan biasa. Tapi itu
sudah membuat si Jari Malaikat Maut kesenangan. Dugaannya, satu jurus Pendekar
Rajawali Sakti sudah terserap ke tubuhnya.
Si Jari Malaikat Maut sudah kembali bersiap menggunakan jurus lain. Sedangkan Rangga menggeser kakinya ke samping secara
pelahan-lahan. Pandangannya tajam memperhatikan gerak-gerak yang dilakukan
lawan. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat gerakan-gerakan
dari jurus 'Sapuan Gelombang Samudra'
yang sangat dahsyat. Dan Rangga tahu kalau jurus itu andalan dari seorang tokoh
persilatan yang sudah menghilang namanya setahun ini.
"Terima seranganku, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaa...!" seru si Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga bergegas menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Sepasang kakinya bergerak lincah begitu si Jari Malaikat Maut
meluruk menyerang menggunakan jurus
'Sapuan Gelombang Samudra' yang dahsyat bukan main.
Setiap gerakan si Jari Malaikat Maut menimbulkan
hembusan angin dahsyat bagai badai mengamuk di atas samudra. Rangga sendiri
hampir-hampir tidak bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, dan beberapa kali harus jatuh bangun
menghindari pukulan dan tendangan yang datang secara beruntun bertenaga dalam
tinggi. Kalau saja tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti terhitung menengah,
mungkin sudah terhempas bagai daun kering tertiup angin. Dengan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' saja Rangga sudah hampir tidak mampu menahan gempuran jurus
'Sapuan Gelombang Samudra' si Jari Malaikat Maut.
"Phuih! Aku tidak bisa menandingi dengan cara seperti ini terus menerus!" dengus
Rangga dalam hati.
Bagaikan seekor Rajawali, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara ketika si Jari
Malaikat Maut menyampok ke arah kaki. Dengan meminjam hembusan angin akibat
sampokan tangan lawan, Pendekar Rajawali Sakti melam-bung ringgi ke angkasa,
langsung hlnggap di atas puncak pohon yang tinggi.
Begitu kakinya menjejak puncak pohon, Rangga
kembali melentingkan tubuhnya. Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti, dan
dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Si Jari Malaikat Maut
mengumpat melihat lawannya kabur.
"Phuih! Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Pendekar Rajawali
Sakti!" keras sekali suara si Jari Malaikat Maut, karena dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Namun Rangga sudah tidak terlihat lagi batang
hidungnya, lenyap bagai tertelan awan yang menggumpal bercampur debu. Jari
Malaikat Maut mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dia mendengus berat dan menyemburkan ludahnya
beberapa kali, tapi sesaat
kemudian bibirnya menyunggingkan senyuman tipts. Maka mulai digerakkan
tangannya, namun keningnya jadi ber-kerut.
"Setan...!" umpat si Jari Malaikat Maut geram.
Beberapa kali dicoba gerakan itu, namun tidak juga berhasil menirukan setiap
gerak yang dilakukan Rangga tadi dalam menghadapinya. Memang hanya sekali
terjadi benturan yang cukup keras sebelum si Jari Malaikat Maut mengeluarkan
jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang begitu dahsyat
"Keparat! Setan alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut semakin berang, begitu
mengetahui kalau dirinya tidak mampu menyerap jurus-jurus yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti.
Si Jari Malaikat Maut semakin geram saja, karena yang didapat dari
pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti tidak ada artinya sama sekali.
Kemarahannya dilampiaskan pada pohon dan bebatuan di sekitarnya. Si Jari
Malaikat Maut mengamuk seperti kehilangan istri.
Sungguh dahsyat! Setiap pukulan yang menghantam batu atau pepohonan, menimbulkan
ledakan keras yang meng-hancurkan apa saja.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus mampus di tanganku, keparat..!" teriak si
Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
*** Sebenarnya Rangga tidak pergi ke mana-mana. Diperhatikannya saja tingkah si Jari Malaikat Maut dari tempat yang cukup tersembunyi
di atas pohon rimbun. Pendekar Rajawali Sakti itu baru meluruk turun setelah si
Jari Malaikat Maut meninggalkan tempat yang sudah porak-poranda bagai di terjang
seribu ekor gajah. Rangga berdiri tegak mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Kuda Dewa Bayu masih berada tidak jauh dari daerah itu, dan tengah merumput
tenang di bawah sebatang pohon
beringin. "Sukar dipercaya. Ternyata jurus-jurus para pendekar terkenal telah
dikuasainya!" desah Rangga pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya
Pusaka Para Dewa 1 Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Perisai Maut 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama