Ceritasilat Novel Online

Kemelut Pusaka Leluhur 2

Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur Bagian 2


terperangah sejenak. Namun dengan cepat mereka berlompatan, lalu berputaran di udara menghindari hujan
mata tombak hitam itu.
"Hhh! Siapa kau!" Keluar....!" seru Rangga keras, begitu
kakinya mendarat di tanah.
Teriakan Rangga begitu keras dan menggema terpantul
bukit yang mengelilingi padang rumput ini. Tapi tidak ada
jawaban sama sekali. Rangga mengerahkan aji 'Pembeda
Gerak dan Suara', tapi tetap saja tidak terdengar suara yang
mencurigakan. Bahkan semua pohon dan rerumputan
bergerak wajar. Sama sekali tidak mengisyaratkan ada
sesuatu. "Lebih waspada, Paman," bisik Rangga memperingatkan.
"Ya...," Paman Bayan Sudira hanya bisa mendesah saja.
"Auuum...!" kembali terdengar auman yang panjang
bergema. Belum lagi suara
auman itu hilang dari
pendengaran, tiba-tiba
saja muncul seekor
harimau yang sangat
besar. Begitu besarnya
sehingga hampir menyamai seekor anak
sapi. Harimau itu menggerung-gerung
sambil mencakar-cakar
tanah berumput. Sepasang matanya merah menyala menatap tajam pada
Pendekar Rajawali Sakti. "Ghrauuughk...!"
harimau itu menggeruk dahsyat, hingga menggetarkan
bumi. Tiba-tiba saja binatang buas itu melompat cepat sambil
memamerkan kuku-kukunya yang mengembang lebar. Rangga
benar-benar terperangah melihat harimau yang begitu besar,
dan kini melompat hendak menerkamnya. Begitu cepatnya
harimau itu menyerang, tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali
Sakti terpental ke belakang terterjang binatang itu. Dua
batang pohon hancur terlanda tubuh Rangga.
Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak
bangkit. Dan kembali dia terperangah, karena harimau itu
sudah melompat lagi hendak menerkamnya. Cepat-cepat
Rangga melompat ke samping dan bergulingan di tanah
beberapa kali. Terkaman harimau itu mengenai tempat
kosong. Binatang itu menggeram keras, langsung berbalik
menghadap Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Edan! B inatang macam apa ini..."!" gumam Rangga.
Harimau itu sudah kembali me lompat menerkam. Tapi kali
ini Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Dia berdiri tegak menanti serangan itu. Dan begitu
harimau itu sudah demikian dekat...
"Yaaah...!"
Rangga mengayunkan pukulan mautnya, dan mendarat
telak di wajah harimau itu. Pukulan itu demikian keras
sehingga membuat harimau tersebut terpental jauh ke
belakang. Raungannya begitu keras.
Di luar dugaan, harimau itu masih bisa bangkit kembali
dengan tegak! Bahkan kembali melompat menyerang dengan
ganas. "Hup!"
Rangga melompat ke atas, lalu menukik deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
. Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya,
dilancarkannyalah dua kali tendangan disusui satu pukulan
bertenaga dalam penuh ke tubuh binatang buas itu.
"Grhaaauuugh... !" harimau itu meraung keras.
Hanya dua kali dia berguling di tanah, lalu bangkit kembali.
Rangga yang sudah berdiri tegak, jadi me langkah mundur
beberapa tindak. Pukulan dan tendangannya yang sangat
dahsyat, begitu telak mengenai sasaran. Tapi harimau itu
masih tetap tegar. Tidak terdapat luka sedikit pun di
tubuhnya. Rangga sendiri jadi bingung. Padahal, tadi sudah
dikerahkan tenaga dalam penuh, tapi harimau itu tidak
terpengaruh sedikit pun.
"Dia tidak bisa dibunuh, Rangga," kata Paman Bayan Sudira
yang sejak tadi hanya menonton saja.
"Apa...?" tanya Rangga.
Belum juga Paman Bayan Sudira menjawab mendadak.... ?
"Ha ha ha...!"
Oo-dw-ray-oO Suara tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala
penjuru. Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Hampir seluruh
wajahnya tertutup cambang dan kumis tebal. Sepasang
matanya bulat seperti mata kucing, berwarna kuning.
"He he he.. . !" orang itu tertawa terkekeh, lalu melangkah
mendekati harimau besar itu dan menepuk-nepuk lehernya.
Harimau itu mendekam dan kelihatan jinak.
"Macan Gunung Sumbing...," desis Paman Bayan Sudira
yang sudah berdiri di samping Rangga.
"Siapa dia?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Tokoh persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya," jelas
Paman Bayan Sudira singkat.
"Hm. Apa maksudnya berada di s ini?" tanya Rangga seperti
untuk dirinya sendiri.
"Aku sendiri tidak tahu, Rangga. Dua kali dia mencegatku,
tapi tidak melakukan apa-apa. Hanya..."
"Hanya apa?"
"Dia tidak ingin aku ke Kerajaan Jiwanala. "
"0... !?"
"Bukan hanya dia! Masih ada beberapa lagi yang coba-coba
menghalangiku ke Jiwanala untuk mencarimu, Rangga. Salah
satunya adalah Sepasang Naga Hitam. "
"Paman, apakah ini ada hubungannya dengan Pusaka
Karang Setra?" tanya Rangga.
"Entahlah! Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung
masalah itu, tapi anehnya selalu menghalangi siapa saja yang
datang dari Karang Setra ke Jiwanala Bahkan mereka tidak
segan-segan membunuh jika larangannya dilanggar."
"He he he..., tidak sia-sia aku jauh-jauh datang ke sini,"
Macan Gunung Sumbing terkekeh seraya melangkah
mendekati Rangga. Sedangkan harimau besar itu masih
mendekam tidak bergeming.
"Kau yang berjuluk Macan Gunung Sumbing?" tanya
Rangga memastikan.
"Benar. Dan, aku yakin kau Pendekar Rajawali Sakti," sahut
Macan Gunung Sumbing.
"Gunung Sumbing cukup jauh dari sini. Apa yang
membuatmu hingga ke tempat ini, Macan Gunung Sumbing?"
tanya Rangga, terdengar tenang suaranya.
"He he he..., pertanyaan yang tidak perlu kujawab.
Panglimamu sudah bisa menjawabnya, Pendekar Rajawali
Sakti," jawab Macan Gunung Sumbing terkekeh.
Rangga menoleh pada Panglima Bayan Sudira, seolah-olah
meminta penjelasan pada Panglima Karang Setra itu. Tapi
yang ditatap hanya mengangkat bahunya saja.
"He he he..., kenapa tidak kau jelaskan saja semuanya,
Panglima Bayan Sudira?" terdengar sinis nada suara Macan
Gunung Sumbing.
"Macan Gunung Sumbing! Apa yang kau bicarakan!?"
bentak Paman Bayan Sudira, memerah wajahnya.
"Aku bicara cukup jelas, Panglima. Kenapa masih juga
menutup-nutupi" Katakan saja terus terang pada rajamu.
Tapi, mungkin sudah terlambat He he he...," kembali Macan
Gunung Sumbing terkekeh.
"Tutup mulutmu, keparat! " bentak Paman Bayan Sudira
geram. "He he he...!" Macan Gunung Sumbing malah tertawa
semakin keras. "Setan! Kubunuh kau! Hiyaaa. ..!"
Panglima Bayan Sudira rupanya sudah tidak kuat lagi
menahan amarahnya. Cepat sekali dia me lompat sambil
mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam cukup tinggi,
tapi semuanya mampu dielakkan Macan Gunung Sumbing
dengan manis. Pertarungan Itu tidak mungkin lagi dihindarkan. Sementara
Rangga hanya bisa memandang tanpa berbuat apa-apa.
Sebab, dia sendiri masih belum mengerti, apa yang
dibicarakan Macan Gunung Sumbing bersama Panglima Bayan
Sudira tadi. Sementara Rangga hanya bisa mengawasi
harimau yang mendekam di bawah pohon. Dia berjaga-jaga
kalau-kalau harimau itu berlaku curang membokong Panglima
Bayan Sudira. Sementara pertarungan berlangsung semakin sengit. Sudah
puluhan jurus berlangsung, tapi belum terlihat tanda-tanda
bakal ada yang unggul. Sedangkan Paman Bayan Sudira
sudah menggunakan pedangnya yang sangat diandalkan.
Jurus-jurus pedangnya luar biasa. Pedang keperakan itu
sampai tidak terlihat bentuknya lagi. Yang nampak kini hanya
kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Macan Gunung
Sumbing. Namun pada tahap-tahap yang menentukan, terlihat kalau
Paman Bayan Sudira mulai terdesak. Beberapa kali pukulan
telak mendarat di tubuhnya.
Panglima Bayan Sudira harus bergulingan dan berlompatan
menghindari serangan-serangan Macan Gunung Sumbing.
Serangan-serangan itu sangat dahsyat, sehingga di sekitar
pertarungan bagaikan habis diamuk puluhan gajah.
"Hm. Dalam satu atau dua jurus, Paman Bayan Sudira tidak
akan bertahan lagi, " gumam Rangga yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertarungan itu.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Satu
pukulan telak telah mendarat di dada Panglima Bayan Sudira,
sehingga laki-laki itu terpental keras menghantam tanah
berumput. Pada saat itu, harimau besar yang sejak tadi
mendekam saja, melompat cepat ke arah Panglima Bayan
Sudira sambil meraung keras. Rangga sempat tersentak
sesaat, kemudian bagaikan kilat melompat menerjang harimau
itu. "Hiyaaat...!"
"Grhaugh...!"
Harimau itu menggerung keras. Tubuhnya terpental deras
hingga menghantam pohon. Tendangan Rangga yang
bertenaga dalam sempurna itu membuat binatang itu
menggerung kesakitan. Namun, dia mampu bangkit kembali
tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Sementara itu
Panglima Bayan Sudira sudah mampu bangkit kembali
meskipun tidak bisa tegak. Dari mulut dan hidungnya
mengucurkan darah segar.
"Belum waktunya kau ikut campur, Pendekar Rajawali
Sakti!" dengus Macan Gunung Sumbing.
"Tidak seharusnya piaraanmu berlaku curang!" balas
Rangga tidak kalah dinginnya.
"Harimauku tidak curang! Panglimamulah yang sudah
kalah. Dia hanya minta bagiannya, Pendekar Rajawali Sakti.
Setiap lawanku yang kalah, harus menjadi santapannya! "
tegas Macan Gunung Sumbing, tetap dingin suaranya.
"Aku belum kalah!" geram Panglima Bayan Sudira.
"He he he.... Nyawamu tinggal seujung rambut lagi,
Panglima. Bicaralah dengan jujur sebelum terbang ke neraka!"
suara Macan Gunung Sumbing terdengar ketus.
"Keparat! Kau tidak berhak menekanku!" bentak Panglima
Bayan Sudira. "Tunggu...!" bentak Rangga begitu Panglima Bayan Sudira
akan menerjang.
"Gusti...," Panglima Bayan Sudird membungkuk sedikit
"Sejak tadi kalian seperti memperebutkan sesuatu. Apa
yang kalian pertengkarkan?" tanya Rangga tidak sabar lagi.
Dia memang sudah kebingungan, ingin tahu permasalahan
kedua orang itu.
"Tanyakan saja pada panglimamu, Pendekar Rajawali
Sakti," dengus Macan Gunung Sumbing.
"Paman...," Rangga menatap pada Panglima Bayan Sudira.
"Ampun, Gusti. Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa.
Orang ini memang hanya mencari-cari perkara saja. Dia
menginginkan Pusaka Karang Setra itu, Gusti," jelas Panglima
Bayan Sudira. Rangga mengalihkan pandangannya pada Macan Gunung
Sumbing, tapi yang dipandang ma lah tertawa terbahak-bahak
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berkerut keningnya. Kembali
ditatapnya Panglima Bayan Sudira.
"Kau tidak berdusta, Paman?" tanya Rangga.
"Ampun, Gusti. Hamba mengatakan yang sebenarnya,"
tegas Panglima Bayan Sudira.


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Sungguh berani sekali mendustai raja besar
yang mengangkatmu jadi terhormat Kenapa tidak berkata
terus terang saja kalau kau yang mengambil Pusaka Karang
Setra itu Jangan memfitnah orang-orang yang tidak bersalah
hanya untuk menutupi perbuatanmu!" kata Macan Gunung
Sumbing lantang.
"Setan! Tutup mulutmu!" bentak Panglima Bayan Sudtra
geram. Panglima Kerajaan Karang Setra itu tidak bisa lagi
membendung amarahnya, dan langsung melompat sambil
mengibaskan pedangnya ke arah leher Macan Gunung
Sumbing. Tapi pada saat yang sama Rangga melompat cepat
bagaikan kilat. Tangannya menjulur menampar pergelangan
tangan Panglima Bayan Sudira.
"Tahan...!" sentak Rangga.
Panglima Bayan Sudira memegangi pergelangan tangannya. Tepakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat
tulang pergelangan tangannya seperti remuk.
Pedang yang dipegangnya pun terpental dan menancap di
tanah tidak jauh darinya. Panglima Bayan Sudira buru-buru
membungkuk memberi hormat. Sementara Macan Gunung
Sumbing hanya terkekeh kecil.
"Kendalikan
amarahmu, Paman. Akan kuselesaikan
persoalan ini tanpa pertumpahan darah!" kata Rangga penuh
wibawa. "Dia benar! Kau tidak perlu malu untuk mengatakannya.
Aku yakin, rajamu akan bertindak adil dan bijaksana," celetuk
Macan Gunung Sumbing.
Rangga menatap tajam Macan Gunung Sumbing.
"Baik. Aku akan pergi meninggalkan kalian berdua. Tapi
ingat, urusan ku dengan Bayan Sudira belum tuntas. Juga
denganmu, Pendekar Rajawali Sakti," kata Macan Gunung
Sumbing. Setelah berkata demikian, Macan Gunung Sumbing
melangkah pergi diikuti harimaunya yang besar.
Rangga memandangi kepergian tokoh sakti itu dengan
kening agak berkerut. Macan Gunung Sumbing menghentikan
langkahnya, lalu berbalik.
"Hanya satu yang perlu kau ingat, Pendekar Rajawali Sakti.
Aku sudah berjasa padamu membongkar persoalan ini," kata
Macan Gunung sumbing. "Ayo, Belang!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, Macan Gunung
Sumbing sudah lenyap dari pandangan. Harimau besar itu
mengaum keras, kemudian melompat mengikuti majikannya.
Rangga menarik napas panjang.
Kata-kata Macan Gunung Sumbing yang terakhir tadi kini
mengganggu pikirannya. Sulit dimengerti,
apa yang dimaksudkan tokoh sakti itu.
Oo-dw-ray-oO 6 Rangga melangkah perlahan-lahan menghampiri sebongkah
batu yang tidak begitu besar, namun cukup datar untuk
diduduki. Di samping batu itu berdiri sebatang pohon rindang,
cukup nyaman untuk berlindung dari sengatan matahari.
Rangga duduk bersila di atas batu itu, sedangkan Panglima
Bayan Sudira hanya berdiri dengan kepala tertunduk.
"Mendekatlah kemari, Paman," pinta Rangga.
"Hamba, Gusti."
Panglima Bayan Sudira memberi hormat, kemudian
melangkah menghampiri. Dia duduk bersila di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
Kepalanya tetap tertunduk menekun
rerumputan di depannya. Sementara Rangga menatap tidak
berkedip. "Paman, aku ingin penjelasan yang lengkap. Kuharap kau
berterus terang dan berkata jujur," kata Rangga tegas dan
berwibawa. "Ampun, Gusti. Semua yang dikatakan Macan Gunung
Sumbing sama sekali tidak benar. Pusaka Karang Setra benarbenar hilang dicuri. Sampai sekarang belum jelas, siapa
pencurinya dan di mana pusaka itu berada," kata Panglima
Bayan Sudira setelah memberi hormat.
"Benarkah yang kau katakan itu, Paman?" tanya Rangga
bernada tidak percaya.
"Dewata di Swargaloka menjadi saksi Gusti" sumpah
Panglima Bayan Sudira. "
"Baiklah. Aku percaya padamu, Paman. Hanya saja...,"
Rangga memutuskan ucapannya
"Hanya apa, Gusti?" desak Panglima Bayan Sudira.
"Dari mana Macan Gunung Sumbing tahu tentang pusaka
itu" Dan kenapa menuduh bahwa kau yang mengambilnya...?"
Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Gusti, dia hanya ingin memfitnah saja. Yang diinginkan.
sebenarnya pusaka itu, seperti halnya tokoh-tokoh lain.
Berbagai cara pasti ditempuh untuk memperolehnya," jelas
Panglima Bayan Sudira.
Tatapan Rangga semakin tajam ke arah laki-laki hampir
setengah baya di depannya. Sinar matanya memancarkan
ketidakpercayaan terhadap keterangan Panglima Bayan
Sudira. T erlalu mudah rasanya untuk alasan seperti itu. Macan
Gunung Sumbing bukanlah tokoh yang suka berbuat sekeji itu,
meskipun sepak terjangnya selalu merugikan dan mencelakakan orang lain. Tapi untuk memfitnah, memecah
belah dan berlaku keji seperti ini..., rasanya hal itu tidak
pernah dilakukan Macan Gunung Sumbing. Setahunya tokoh
itu selalu bertindak jantan, meskipun seluruh tokoh rimba
persilatan menggolongkannya dalam aliran hitam. Tindak
tanduknya yang liar dan kejam tanpa mengenal belas kasihan
pada siapa pun, sangat memungkinkan dia ada di golongan
hitam. "Gusti, percayalah! Hamba tidak mungkin berkhianat.
Justru hamba sekarang berada di sini karena mencari pusaka
itu, selain untuk mengabarkan kepada Gusti," kata Panglima
Bayan Sudira berusaha meyakinkan junjungannya.
"Hhh... !" Rangga menarik napas panjang.
Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit
berdiri dan melangkah menghampiri kudanya yang tengah
asyik merumput. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat
naik ke punggung kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu
itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.
Sedangkan Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk
bersila dengan kepala tertunduk. Dia tahu kalau Rangga tidak
mempercayai keterangannya. Rasa curiga dan ketidakpercayaan kini sudah terselip di hati Raja Karang Setra
itu. "Tunjukkan kesetiaanmu, Paman. Jangan temui aku
sebelum bisa menunjukkan kesetiaanmu" kata Rangga tegas
dan berwibawa. "Gusti...!" Panglima Bayan Sudira tersentak kaget
"Aku benar-benar kecewa jika kau berkhianat, Paman.
Selama ini kau selalu kupercaya, dan kuberikan kekuasaan
penuh menangani seluruh prajurit Karang Setra. Aku tidak
ingin kejadian ini menyebar dan membuat malu dirimu sendiri.
Kau kuberi kesempatan untuk membuktikan kejujuranmu
padaku, " kata Rangga lagi.
"Gusti, ampunkan hamba.... Hamba tidak berkhianat," rintih
Panglima Bayan Sudira memohon.
"Aku percaya padamu, Paman. Tapi saat ini harus kau
tunjukkan dan perlihatkan kepercayaan yang telah kuberikan
padamu. Tunjukkanlah kalau kau seorang abdi setia yang
patut dipercaya."
"Oh, Gusti..,. Hukumlah hamba, Gusti. Hukumlah seberatberatnya bila memang hamba berkhianat," rintih Panglima
Bayan Sudira. "Hukuman tetap akan dijalankan bila kau bersalah."
"Oh...."
Lemas seluruh tubuh Panglima Bayan Sudira. Walaupun
dengan merintih dan memohon ampun, tapi keputusan
Rangga tidak bisa dicabut kembali. Pendekar Rajawali Sakti itu
menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan Panglima
Bayan Sudira yang berlutut sambil merintih lirih.
Rangga sudah tidak terlihat lagi bersama Kuda Dewa Bayu.
Laki-laki dari Karang Setra itu bangkit berdiri sete lah bisa
menghilangkan kegundahan hatinya. Perlahan-lahan dia
melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke
punggung kuda itu.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Begitu berat cobaan yang Kau
timpakan padaku, " rintih Panglima Bayan Sudira.
Kuda itu melangkah perlahan-lahan membawa Panglima
Bayan Sudira di punggungnya. Laki-laki hampir separuh baya
itu tidak peduli ke mana kudanya akan membawa. Seluruh
gairah hidupnya sudah hilang dengan hilangnya kepercayaan
Rangga padanya. Dan semua itu akibat kemunculan si Macan
Gunung Sumbing. Panglima Bayan Sudira benar-benar
mendendam pada tokoh hitam itu yang telah menghancurkan
segala-galanya dengan memfitnahnya langsung di depan
junjungannya itu.
Hanya, Panglima Bayan Sudira memang tidak bisa
menyalahkan Pendekar Rajawali Sakti yang juga junjungannya
di Kerajaan Karang Setra. Memang tidak bisa dibantah semua
yang dituduhkan Macan Gunung Sumbing padanya. Meskipun
tuduhan itu tanpa bukti yang nyata. Dan kini harus
ditunjukkan kalau dirinya tidak bersalah sama sekali.
Oo-dw-ray-oO Sementara itu di bagian Barat Kerajaan Jiwanala, tepatnya
di pinggir Hutan Kemukus, tampak dua orang sedang
bertarung sengit Di sekitar tempat pertarungan itu, tergeletak
beberapa sosok tubuh berpakaian seragam prajurit Kerajaan
Jiwanala. Dua orang yang sedang bertarung itu adalah
seorang laki-laki tua melawan seorang wanita tua yang
memakai baju warna jingga.
Tampaknya pertarungan itu sudah mencapai tingkat yang
cukup tinggi. Serangan-serangan mereka begitu dahsyat,
disertai gerakan-gerakan cepat dan sukar diikuti pandangan
mata biasa. Percikan bunga api terlontar setiap kali terdengar
dentingan dua senjata beradu.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, disusul
melesatnya sebilah pedang berwarna keemasan.
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar suara
pekikan tertahan. Tampak laki-laki tua berbaju indah dari
bahan sutra halus terhuyung-huyung keluar dari arena
pertarungan itu. Sebelah tangan kirinya menekap dada.
"Hi hi hi...! Sudah kukatakan, kau bukan lawanku, kakek
peyot!" "Phuih!" laki-laki tua itu menyemburkan ludahnya.
Cring! Sambil menggeram keras, dikeluarkan sepasang senjata
berbentuk bola-bola kecil berduri berjumlah lima pada setiap
ujung-ujung rantainya yang pendek. Senjata itu tergenggam
di tangan kanan dan kirinya.
Laki-laki tua itu dengan lincah memain-mainkan senjatanya.
Sedangkan perempuan tua itu tetap kelihatan tenang
mengelus-elus sekuntum bunga mawar berwarna jingga yang
cukup besar ukurannya. Bunga mawar itu memiliki tangkai
cukup panjang dan berkeluk-keluk.
"Hiya...!"
"Hait! "
Laki-laki tua itu kembali melompat menerjang sambil
melontarkan rantai yang ujungnya terdapat bola-bola kecil
berduri tajam. Senjata itu mengarah ke kaki, tapi wanita tua
itu dapat melompat dengan lincah menghindari serangan itu.
Namun pada saat tubuhnya berada di udara, senjata yang
sama di tangan kiri laki-laki tua itu mendesing cepat
"Hiat!"
Trang! Perempuan tua itu mengebutkan senjata tongkat pendek
dengan bunga mawar jingga pada ujungnya.
Dua senjata beradu di udara. Betapa terkejutnya
perempuan tua itu, karena rantai dengan bola-bola berduri itu
membelit senjatanya. Tapi rasa terkejutnya hanya sebentar
saja, karena dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam
disentakkan senjatanya kuat-kuat.
"Akh!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Kalau saja tidak
cepat-cepat melepaskan senjatanya, sudah pasti tangan lakilaki tua itu copot ikut tertarik. Dan belum lagi laki-laki tua itu
sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, perempuan tua
itu sudah mengibaskan senjatanya ke arah kepala.
Tring! Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih
bercampur biru berkilau melesat menyambar ujung tongkat
berbentuk bunga mawar jingga itu.
Perempuan tua berbaju jingga terpekik tertahan, lalu cepat
melompat mundur disertai putaran dua kali di udara.
"Monyet..," geram perempuan tua itu.
Tahu-tahu di samping laki-laki tua itu sudah berdiri seorang
pemuda tampan berbaju rompi putih. Pedangnya berwarna
biru berkilau telah menyilang di depan dada. Pemuda itu
memasukkan pedang ke dalam warangkanya di balik
punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.
"Kau tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya pemuda itu
lembut Namun tatapan matanya tidak lepas pada wanita tua
yang bersungut-sungut sambil memijit-mijit pergelangan


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kanannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa. Ah! Untung kau cepat datang,
Rangga , " sahut laki-laki tua yang ternyata adalah Patih
Raksajunta. "Siapa dia, Paman?" tanya Rangga.
"Dia yang bernama Iblis Mawar Jingga," jawab Patih
Raksajunta. "Iblis Mawar Jingga...," desis Rangga menggumamkan
nama yang disebutkan Patih Raksajunta.
Rangga jadi teringat akan cerita Panglima Bayan Sudira,
yang menyebut-nyebut nama Iblis Mawar Jingga. Dikatakan
bahwa iblis itu juga menginginkan Pusaka Karang Setra.
Sejenak Rangga menatap tajam pada wanita tua itu,
kemudian beralih menatap pada Patih Raksajunta. Pandangannya lalu berkeliling merayapi mayat-mayat yang
bergelimpangan tak tentu arah. Semua mayat itu adalah para
prajurit Jiwanala, yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
orang. "Apakah dia yang membantai mereka, Paman?" tanya
Rangga agak tertahan suaranya.
"Benar! Dia itu memang manusia iblis!" sahut Patih
Raksajunta menahan geram.
"Hm, kenapa?" tanya Rangga lagi.
Belum sempat Patih Raksajunta menjawab, Iblis Mawar
Jingga sudah tertawa mengikik. Suaranya mampu mendirikan
bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Rangga
mengalihkan perhatiannya, lalu menatap tajam pada wanita
tua bersenjata tongkat pendek yang ujungnya berbentuk
bunga mawar besar berwarna jingga. Rangga bisa menduga
kalau bunga mawar itu pasti terbuat dari bahan yang sangat
keras dan tajam.
Pendekar Rajawali Sakti sudah menjajal keampuhan
tongkat berujung bunga mawar jingga itu tadi, ketika
menghalaunya dengan Pedang Rajawali Sakti.
Senjata itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan
tenaganya sendiri yang sedikit bergetar ketika senjatanya
bersentuhan dengan senjata perempuan tua itu. Sudah bisa
ditebak kalau Iblis Mawar Jingga memiliki kepandaian yang
tinggi. Jelas ini tidak bisa dianggap remeh. Tidak heran kalau
Patih Raksajunta terdesak, dan sukar menandinginya.
"Kau pasti Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,
Raja Karang Setra itu," kata Iblis Mawar Jingga setelah
berhenti tertawa.
"Benar " sahut Rangga tegas.
"pucuk dicinta ulam tiba...," ucap Iblis Mawar Jingga
berbinar matanya. "Aku memang sedang mencarimu, anak
Muda. Sungguh beruntung sekali bisa berjumpa di tempat
jelek ini," lanjutnya.
"Apa perlumu mencariku?" tanya Rangga.
"Serahkan pusaka itu padaku! " tegas Iblis Mawar Jingga
dingin. "Pusaka... "!" Rangga terkejut keheranan. "Pusaka apa?"
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Rajawah Sakti!
Pasti sudah kau dapatkan pusaka itu dari panglimamu!"
bentak Iblis Mawar Jingga sengit.
"Tunggu dulu! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu,"
kata Rangga. "Jangan berpura-pura bodoh di depanku, Rangga.
Bukankah kau sudah bertemu dengan Panglima Bayan Sudira"
Cepat, serahkan pusaka itu, atau kau ingin bernasib sama
dengan yang lain?"
"Aku tidak mengerti, pusaka apa yang kau inginkan"
Pusakaku hanya satu yaitu nyawaku sendiri. Lantas, pusaka
apa yang kau maksud?" Rangga berpura-pura. Padahal dalam
hatinya sudah bergejolak menahan marah. Tapi dia harus bisa
bersabar agar mendapat keterangan cukup tentang pusaka
leluhur Karang Setra yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh rimba
persilatan. "Kau benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura bodoh!
Seorang raja di Karang Setra, mustahil tidak mengetahui di
mana pusaka itu berada!" dengus Iblis Mawar Jingga sengit.
"Maaf, aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu," kata
Rangga semakin menahan geramnya. "Lagi pula untuk apa
menginginkan barang orang lain, kalau memang bukan
kepunyaan sendiri?"
"Keparat! Berani kau mempermainkanku, heh"!
"He...! Tunggu!"
Tapi Iblis Mawar Jingga sudah tidak bisa
lagi mengendalikan amarahnya. Rasanya benar-benar dipermainkan oleh sikap Rangga yang seperti orang bodoh.
Pura-pura tidak mengetahui permasalahannya. Cepat sekali
dia melompat sambil mengibaskan senjatanya.
"Tahan! Hup...!"
Peringatan Rangga sudah tidak digubris lagi. Iblis Mawar
Jingga sudah menyerang dengan dahsyat. Terpaksa Rangga
melompat mundur menghindari tebasan senjata itu. Pendekar
Rajawali Sakti itu sempat tersentak kaget begitu merasakan
angin sambaran senjata Itu demikian kuat dan berhawa panas
luar biasa. Sementara Patih Raksajunta juga melompat ke
samping, menjauhi kedua tokoh itu.
Rangga tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu. T erpaksa
dilayaninya dengan mempergunakan Jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. Satu jurus yang sering digunakan untuk menjajagi
tingkat kepandaian lawannya. urus Itu hanya mengandalkan
gerakan kaki dan kelenturan tubuh. Sifatnya juga bukan untuk
menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan.
Oo-dw-ray-oO Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang dapat membingungkan lawan, karena gerakan-gerakannya seperti
tidak beraturan. Rangga bagaikan orang mabuk yang bergerak
hampir tidak sempurna. Namun Iblis Mawar Jingga sukar
untuk mendaratkan serangannya.
Setiap kali pukulan atau kibasan senjatanya hampir
mengenai sasaran, Rangga selalu mampu menghindar dengan
gerakan tubuh yang sukar untuk ditebak arahnya.
Tapi bagaimanapun tingginya tingkatan jurus, pasti
mempunyai kelemahan. Dan Iblis Mawar Jingga mengetahui
kelemahan itu sete lah mampu memaksa Rangga bertarung
sampai delapan jurus. Mengetahui kelemahan itu, Iblis Mawar
Jingga cepat merubah pola serangannya. Kini tidak lagi
dihiraukan gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tapi
dipusatkan perhatiannya pada gerak kaki.
"Edan!"
dengus Rangga merasa kewalahan juga menghindari serangan senjata wanita tua itu. Menyadari kalau
kelemahan jurusnya sudah diketahui lawan, cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya. Kini
digunakanlah jurus pertama dari lima rangkaian jurus 'Rajawali
Sakti'. Namun itu pun tidak menolong banyak, karena Iblis
Mawar Jingga dapat mengimbanginya.
Jurus demi jurus dilampaui dengan cepat. Dan pertarungan
itu meningkat semakin dahsyat. Gerakan-gerakan mereka
demikian cepat, sehingga yang tampak hanya dua bayangan
berkelebatan saling sambar.
Kini pertarungan telah memasuki pada jurus-jurus andalan
Dan itu dilalui dengan cepat dan berganti-ganti. Rangga
sendiri harus mengakui kalau lawannya kali ini benar-benar
tangguh. Hampir semua jurus andalannya d1keluarkan, tapi
Iblis Mawar Jingga belum juga bisa terdesak.
"Kau hebat, Anak Muda. Tapi jangan harap bisa
mengalahkanku," dengus Iblis Mawar Jingga.
"Keluarkan semua kepandaianmu, Perempuan Tua!" balas
Rangga memanasi.
"Setan! Hih...!"
Iblis Mawar Jingga menggeram marah dipanggil perempuan
tua. Meskipun sebenarnya sudah nenek-nenek, tapi pantang
baginya dipanggil dem ikian.
Dengan kemarahan yang meluap, Iblis Mawar Jingga
langsung memperhebat serangannya. Senjatanya berkelebat
cepat mengarah pada bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Menghadapi serangan dahsyat seperti ini, Rangga tidak punya
pilihan lain lagi. Segera dihunus senjata pusakanya. Senjata
yang jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terjepit
Sret! "Hiyaaa. ..! "
Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu Pedang
Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Dengan pedang di tangan. Rangga bagaikan sosok malaikat
maut yang siap mencabut nyawa. Pendekar Rajawali Sakti itu
tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkannya jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus yang sangat diandalkan
dan jarang digunakan kalau tidak perlu.
"Setan! Ilmu apa yang dipakainya..."! " dengus Iblis Mawar
Jingga merasa kerepotan juga menghadapi jurus itu.
Trang! Trang! Dua kali berturut-turut Rangga membabatkan pedangnya
pada senjata Iblis Mawar Jingga. Wanita tua itu memekik
tertahan, dan langsung melompat mundur sejauh tiga batang
tombak Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat
satu helai bunga yang berada di ujung tongkatnya tanggal.
"Keparat..." geram Iblis Mawar Jingga.
Perempuan tua itu segera menggerak-gerakkan senjatanya
d1 depan dada. Sementara itu Rangga memperhatikan
sehingga alisnya sedikit berkerut. Dia tahu kalau perempuan
tua itu sedang mempersiapkan ajiannya. Dan Pendekar
Rajawali Sakti itu pun tidak berdiam diri saja. Segera
dipersiapkan satu ajian yang sangat ampuh dan diandalkan.
Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Tangan
kirinya perlahan-lahan bergerak menggosok pedangnya.
Cahaya biru menggumpal bergulung-gulung membentuk
bulatan bagai bola. Perlahan-lahan diangkat ujung pedangnya
ke atas, lalu tangan kirinya disentuhkan pada ujung pedang
Bulatan biru itu menempel pada tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Slap! Cring! Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangkanya di punggung, kemudian menyatukan kedua
tangannya yang tergulung cahaya biru bulat. Pada saat itu,
Iblis Mawar Jingga juga sudah menyiapkan ajian dahsyatnya.
Dari kelopak bunga di ujung tongkatnya mengepul asap
berwarna jingga. Asap itu bergulung-gulung menebal,
kemudian.... "Hiyaaat. . . !"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Rangga menghentakkan tangannya ke depan ketika Iblis
Mawar Jingga melompat cepat. Ujung tongkatnya dihentakkan
ke depan dengan kuat. Satu ledakan keras terjadi begitu
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terhantam bunga pada
ujung tongkat Iblis Mawar Jingga.
"Heh... !"
Oo-dw-ray-oO 7 Bukan main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung
senjatanya menyentuh telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis Mawar
Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hih." Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya.
Tapi tetap saja ujung senjata berbentuk bunga mawar Itu
melekat erat di telapak tangan Rangga. Bahkan kini terselimut
cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan. Iblis Mawar
Jingga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik
senjatanya kembali. Namun betapa terkejutnya begitu
menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya..."!" dengus Iblis Mawar
Jingga terperangah.
Sementara sinar biru terus bergerak merayap menggulung
tongkat Iblis Mawar Jingga. Semakin lama semakin terasa
kalau tenaga wanita itu kian tersedot.
Iblis Mawar Jingga berusaha menahan aliran tenaganya.
Namun semakin berusaha, semakin kuat tenaganya tersedot .
"Huh! Harus kugunakan aji 'Guntur Geni'," dengus Iblis
Mawar Jingga dalam hati.
Di saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis
Mawar Jingga mengerahkan aji 'Guntur Geni'.
Satu ajian yang sangat diandalkan. Saat itu juga Rangga
merasakan adanya satu aliran ilmu kesaktian yang dikeluarkan
Iblis Mawar Jingga.
"Hm..., dia mulai mengerahkan ajian laln. Baik, akan
kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir,"
gumam Rangga dalam hati.
"Aji 'Guntur Geni'! Yeaaah..." teriak Iblis Mawar Jingga
keras. "Shaaa...!" Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra
Buana Sukma' pada tahap terakhir.
"Aaa...!" Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat Dan darah keluar dari
mulut maupun hidung. Bahkan juga dari mata dan telinganya.
Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin keras dan
menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Iblis Mawar
Jingga menjerit-jerit keras Tubuhnya menggeliat menggelepar


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuat Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Bahkan dari
pori-pori kulit tubuhnya pun merembes darah segar.
Sementara itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya
dari tongkat Iblis Mawar Jingga. Perlahan-lahan dia melangkah
mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya tetap
memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita
tua itu. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu
mengangkat tangannya, dan memegang tangkai pedangnya.
"Hiyaaa... !"
Sambil berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya
dan langsung me lompat seraya mengibaskan pedangnya ke
leher Iblis Mawar Jingga
"Aaa...!"
"Hup!"
Rangga kembali melompat mundur sejauh tiga batang
tombak. Cahaya biru lenyap seketika begitu ditarik kembali
ajiannya. Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang Rajawali
Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik
punggung. Rangga berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar
Jingga. Perempuan itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak.
Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah, dan
kepalanya menggelinding terpisah dari leher. Darah langsung
menyembur keluar dari leher yang buntung. Sedikit pun
wanita tua itu tidak bergerak, dan langsung tewas seketika.
Rangga menarik napas panjang. Dia berbalik dan berkerut
keningnya melihat Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri
berlutut di depannya. Laki-laki tua itu memberi hormat sambil
merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"paman Patih, apa yang kau lakukan?" tanya Rangga
keheranan akan sikap Patih Raksajunta.
"Ampun, Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti
dengan baik," ucap Patih Raksajunta.
"Ah, sudahlah! Berdirilah, Paman," desah Rangga mulai
mengerti. "Hamba, Gusti."
Patih Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih
agak membungkuk bersikap penuh rasa hormat Rangga
tersenyum seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dihampiri dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa
persahabatan. Meskipun seorang raja, tapi pada saat seperti
ini Rangga tidak mau dirinya dianggap raja. Dia lebih senang
menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu
dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.
"Meskipun telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta
kau tetap menganggapku Rangga, Paman. Rangga yang dulu,
bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra," jelas Rangga
lembut namun bernada penuh wibawa.
"Ampun, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.
"Ah..., sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku
tidak suka dengan sebutan Gusti."
"Tapl...."
"Di sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus
bisa membedakan itu, Paman," Rangga mencoba meminta
pengertian. "Hamba, Gusti...."
"Rangga! Panggil aku Rangga...!" tegas Rangga.
Patih Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola
mata pemuda di depannya. Kemudian kepalanya terangguk,
meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil
Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.
"Bagus. Memang seharusnya kau memanggilku Rangga.
Bukan Gusti," kata Rangga tersenyum.
"Maafkan jika hamba berlaku...."
"Sudah. Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!"
potong Rangga cepat.
"Baiklah, Gus..., eh Rangga. "
"Nah..., begini kan lebih enak."
Patih Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan. Benar-benar tidak dimengerti sikap pemuda itu.
Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka
dihormati seperti laz imnya seorang raja. Bahkan lebih senang
dipanggil namanya saja. Memang sukar bagi Patih Raksajunta
yang sudah tahu siapa Rangga sebenarnya. Tapi dia harus
memahami keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini, meskipun
dalam hatinya memberontak.
"Paman, ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Rangga
pelan setelah cukup lama terdiam.
"Apa yang akan kau tanyakan, Rangga?" tanya Patih
Raksajunta sambil mencoba membiasakan diri.
"Tentang Pusaka Karang Setra," sahut Rangga, tetap pelan
suaranya. Patih Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka
Karang Setra disebut. Sepertinya tidak ingin membicarakan
tentang pusaka itu. Lama dia terdiam, sementara Rangga
melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah
pohon kamboja Patih Raksajunta masih juga diam dengan
kepala tertunduk dalam.
Dari sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar
Rajawali Sakti yang melangkah menghampirinya sambil
menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.
"Kau tahu tentang pusaka itu, Paman?" tanya Rangga
setelah berada di depan Patih Raksajunta kembali.
"Hhh... !" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan
berat Oo-dw-ray-oO Rangga melangkah perlahan-lahan sambil menuntun
kudanya. Di sampingnya berjalan Patih Raksajunta yang juga
menuntun kudanya sendiri. Bibir mereka sama-sama terkatup
rapat. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu.
Sedangkan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu masih dipenuhi
misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang Setra. Belum juga
dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan pusaka itu" Pusaka yang hanya berbentuk
segitiga besar dengan beberapa lingkaran di dalamnya. Benda
itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang
Setra. "Ceritakan tentang pusaka itu, Paman," pinta Rangga
setelah begitu lama terdiam.
"Hhh! Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,"
sahut Patih Raksajunta mendesah panjang.
"Paman, aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra.
Bahkan mempunyai jabatan yang cukup penting pada saat
Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten," desak
Rangga. "Kau tahu itu...?" Patih Raksajunta terkejut heran.
"paman Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau
masih ada hubungan saudara dengannya. Benar begitu?"
"Ya, memang," desah Patih Raksajunta membenarkan.
"Nah! Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu,
bukan?" tanya Rangga semakin mendesak.
"Yaaah..., " Patih Raksajunta mendesah panjang.
"Ceritakan, Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang
pusaka itu, meskipun pernah me lihatnya. Tapi aku hanya
menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih."
"Sebenarnya aku hanya tahu sedikit tentang pusaka
keramat itu, Rangga," pelan suara Patih Raksajunta.
"Ceritakan, Paman," pinta Rangga
Patih Raksajunta terdiam beberapa saat Mungkin sedang
mengintat-ingat, atau juga sedang mencari kata-kata yang
tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat yang
menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra. Dan kini
pusaka itu menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan
setelah hilang dari tempatnya.
"Sebenarnya pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten
Karang Setra didirikan leluhurmu, Rangga. Aku sendiri tidak
tahu, siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan
lambang bagi Karang Setra. Hanya...," Patih Raksajunta
berhenti bercerita.
"Teruskan Paman," pinta Rangga.
"Aku pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu
menggunakan pusaka itu sebagai perisai ketika beliau
diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin
merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga.
Mungkin saat itu kau masih berusia empat bulan dalam
kandungannya," lanjut Patih Raksajunta.
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Bukan hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak
pembesar Karang Setra juga ikut menyaksikannya, termasuk
tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian itu
banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena
selain dapat digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan
segala macam gempuran ajian kesaktian, juga sangat hebat
dalam menghadapi segala macam jenis senjata pusaka.
Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai,
bahkan juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat
ampuh. Selain bisa meningkatkan tenaga dalamnya."
"Hebat..!" desis Rangga tanpa sadar.
"Memang dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra
akan menjadi senjata sekaligus perisai yang tidak tertandingi,
dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan tokoh
berwatak jahat."
"Kalau memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan
sebelum jatuh ke tangan orang macam itu!" tekad Rangga
bergumam. "Memang seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga.
Karena kau satu-satunya pewaris yang masih hidup," sambung
Patih Raksajunta.
"paman, di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?"
tanya Rangga setengah bergumam.
"Itulah yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah
bukan rahasia lagi kalau pusaka itu berada di Puri Teratai
Emas." "Puri T eratai Emas...?" Rangga terbelalak mendengar nama
yang disebutkan Patih Raksajunta.
Oo-dw-ray-oO Rangga hampir tidak percaya kalau Pusaka Karang Setra
warisan leluhurnya ada di Puri Teratai Emas. Dipandangi
bangunan kuil dari batu-batu bertumpuk dengan goresan
ukiran bernapaskan kepercayaan. Puri Teratai Emas tidak
begitu besar dan tampaknya juga tidak terurus lagi. Halaman
sekitar puri itu penuh sampah daun kering yang bertebaran.
Rumput-rumput liar merambat menyemaki bagian dasar
bangunan itu. Tidak nampak adanya satu kehidupan di tempat ini.
Sekelilingnya tampak sepi lengang, bahkan semut pun seolaholah enggan menginjakkan kakinya di s itu.
Memang sukar dipercaya kalau benda keramat yang
diperebutkan saat ini berada di tempat terbuka dan mudah
dijangkau. Puri Teratai Emas berada di bagian Selatan
Kerajaan Jiwanala. Sudah bertahun-tahun puri ini tidak pernah
lagi digunakan. sejak pengurusnya tewas dalam suatu
pertempuran sengit mempertahankan puri itu dari jangkauan
tangan-tangan kotor.
"Paman...," panggil Rangga pelan.
Patih Raksajunta datang menghampiri, lalu berdiri di
samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga
masih tetap menatap lurus bangunan tua yang tidak terawat
lagi di depannya.
"Kau yakin kalau pusaka itu ada di sini?" tanya Rangga
ingin kepastian.
"Tidak salah lagi, Rangga. Pusaka Karang Setra berada di
sini, di dalam puri itu," sahut Patih Raksajunta.
"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga bernada curiga.
Patih Raksajunta tidak langsung menjawab. Rangga
memalingkan kepalanya menatap laki-laki tua di sampingnya.
Sementara, suasana di sekitar Puri T eratai Emas tetap tenang.
Angin berhembus perlahan membawa kesejukan. Patih
Raksajunta masih tetap diam, belum menjawab pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Paman. ... "
"Oh...!" Patih Raksajunta terbangun dari lamunannya.
"Dari mana Paman tahu pusaka itu ada di sini?" Rangga
mengulangi pertanyaannya kembali.
"Sebenarnya sudah lama aku tahu, sejak kau datang ke
sini," kata Patih Raksajunta.
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Bahkan Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah tahu tentang
pusaka itu. Adanya Pusaka Karang Setra di Puri Teratai Emas
ini memang sudah menyebar luas dan mulut ke mulut, dan
entah bersumber dari mana. Terus terang, semula aku juga
ingin datang dan membuktikan kebenarannya, tapi Iblis
Mawar Jingga menghalangi dan membunuh prajurit-prajurit
yang kubawa," lanjut Patih Raksajunta.
"Hm..., jadi itu hanya sekedar berita saja...?" gumam
Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
Patih Raksajunta tidak menjawab.
"Satu lagi pertanyaanku, Paman. Benarkah Paman Bayan
Sudra mengkhianatiku?" tanya Rangga yang tiba-tiba teringat
kata-kata Macan Gunung Sumbing.
"Tidak!" sentak Patih Raksajunta seketika. "Siapa yang
bilang begitu...?"
"Macan Gunung Sumbing."
"Setan keparat! Aku tahu betul kalau Bayan Sudira seorang
abdi yang setia. Dia hanya difitnah. Mereka berusaha
memecah belah, mengadu domba. Aku yakin, Rangga. Bayan
Sudira orang yang setia Dia tidak mungkin mengkhianatimu,"
tegas kata-kata Patih Raksajunta.
"Hm...," Rangga bergumam. "Paman, di mana Paman


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayan Sudira sekarang?"
Patih Raksajunta ingin menjawab. Tapi belum juga
mulutnya terbuka, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar yang
demikian keras sehingga menyakitkan telinga. Semakin lama
suara itu semakin menyakitkan.
Jelas kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam cukup tinggi. Menyadari akan hal itu Rangga dan Patih
Raksajunta segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk
menutup pendengarannya.
Tapi pemilik suara itu rupanya sudah terlatih baik dalam
menggunakan suara. Begitu Rangga dan Patih Raksajunta
menandingi dengan pengerahan tenaga dalam suara itu
langsung hilang. Tapi tawa ini kembali terdengar saat mereka
menarik tenaga dalamnya.
Beberapa kali hal itu berlangsung! Akibatnya Patih
Raksajunta yang kemampuan tenaga dalamnya masih berada
di bawah tokoh-tokoh rimba persilatan jadi kewalahan juga.
Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Seluruh
tubuhnya mulai bergetar karena tidak mampu mengimbangi
permainan tenaga dalam itu.
"Ugh...!" Patih Raksajunta mulai mengeluh. Tampak dari
hidungnya mengeluarkan darah.
Sementara Rangga mulai mengerahkan aji 'Pembeda Gerak
dan Suara'. Dia tahu kalau Patih Raksajunta sudah tidak
mampu lagi menahan serangan tawa bertenaga dalam tinggi
ini dan berlangsung terus-menerus. Sedikit demi sedikit,
Rangga mulai bisa memilah-milah suara yang masuk ke dalam
pendengarannya. Sesaat kemudian kepalanya berpaling ke
kanan. Dan.... "Hiya...!"
Sambil berbalik ke kanan Pendekar Rajawali Sakti itu
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Kedua telapak tangannya
terbuka dan mendorong ke depan. TIba-tiba saja bertiup
angin kencang bagai terjadi badai topan yang sangat dahsyat.
Tapi angin ini bagai bergulung menjadi satu membentuk
lingkaran yang cukup besar dan bergerak cepat menghantam
bagian samping puri itu.
Pada saat badai hasil ciptaan Pendekar Rajawali Sakti
menyapu bagian samping Puri Teratai Emas melesatlah
sesosok bayangan putih ke angkasa. Bayangan itu berputaran
beberapa kali di udara, kemudian hinggap di atas bangunan
puri. Rangga menarik kembali ajiannya, dan berdiri tegak
memandang kepada seorang laki-laki tua berpakaian rapi, dan
rambut yang tertata apik.
"Kakek Pesolek Pemetik Bunga...," desis Rangga yang
sudah diberitahu tentang tokoh rimba persilatan itu oleh
Panglima Bayan Sudira.
Patih Raksajunta yang juga mengenali laki-laki tua
berpakaian apik itu, bergegas menghampiri Rangga. Dia tahu
kalau Kakek Pesolek Pemetik Bunga bukanlah orang
sembarangan. Tingkat kepandaiannya sukar diukur dan belum
ada yang sanggup menandingi kesaktiannya.
"Jangan mimpi mendapatkan Pusaka Karang Setra!
Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini sebelum kupenggal
kepala kalian!" lantang suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Oh, ya..." Apa kau pikir dirimu lebih pantas?" balas
Rangga sengit. "Ha ha ha... Pusaka itu hanya pantas dimiliki orang
sepertiku!"
"Kau terlalu berlebihan, Kakek Pesolek. Lihatlah dirimu
yang sudah bau tanah! Sesaat lagi nyawamu akan terbang ke
neraka!" "Setan keparat! Kurobek mulutmu, bocah!" geram Kakek
Pesolek Pemetik Bunga.
Kata-kata Rangga yang mengandung ancaman ini, secara
langsung ditujukan pada laki-laki tua pesolek ini. Tentu saja ini
membuat wajah Kakek Pesolek Pemetik Bunga jadi berubah
merah padam menahan marah. Dengan sekali loncatan indah,
dia meluruk turun.
Tanpa bersuara sedikit pun kakinya menjejak tanah, tepat
di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebutkan namamu sebelum kupenggal kepalamu!" sentak
Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku Rangga, pewaris tunggal Pusaka Karang Setra!" tegas
kata-kata Rangga saat memperkenalkan diri.
"Dia juga Raja Karang Setra, dan bergelar Pendekar
Rajawali Sakti!" sambung Patih Raksajunta.
"Ha ha ha...!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa
terbahak-bahak mendengar nama itu.
Rangga dan Patih Raksajunta saling berpandangan.
"Jangan mengelabui diriku, Anak Muda. Kau pikir aku
bodoh, bisa ditipu begitu saja" Ha ha ha...! Aku tahu betul
keluarga Karang Setra. Mereka semua sudah musnah di
tangan Iblis Lembah Tengkorak! Ha ha ha...." Kakek Pesolek
Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya
terasa tergelitik mendengar penjelasan tadi.
"Bagaimana dengan ini?" Rangga mengeluarkan seuntai
kalung berbentuk segitiga dengan beberapa lingkaran di
dalamnya. "Bocah! Dari mana kau dapatkan benda itu?" Kakek Pesolek
Pemetik Bunga terkejut melihat kalung tanda kebesaran
keluarga Karang Setra.
"Benda ini kudapatkan sejak lahir. Kau tahu, akulah
Rangga, pewaris tunggal Karang Setra! Kau dengar itu..."!"
agak keras suara Rangga.
Kali ini Rangga benar-benar marah, karena benda pusaka
warisan leluhurnya menjadi rebutan orang-orang berotak
kotor, seperti Kakek Pesolek Pemetik Bunga ini. Dia tidak lagi
memandang orang tua macam Kakek Pesolek Pemetik Bunga,
yang seharusnya dihormati. Yang ada kini hanya musuh yang
ingin menginjak-injak harkat dan martabat leluhurnya.
"Apa pun bisa kau katakan. He he he...! Aku yakin benda
Itu kau buat sendiri dan menganggapnya sebagai tanda
pengenal. Kau cerdik sekali, Anak Muda...," terdengar sinis
nada suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku memang tidak bisa meyakinkanmu. tapi kau tidak
akan mendapatkan pusaka itu!" kata Rangga.
"He he he..., siapa bilang" Aku sudah memilikinya. "
"Dusta!"
"Ha ha ha...! Lemparkan dia ke sini!" teriak Kakek Pesolek
Pemetik Bunga keras.
Belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba sesosok tubuh
melayang keluar dari dalam puri, dan jatuh tepat di depan kaki
Rangga. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu saat
mengenali tubuh yang tergeletak tidak bernyawa di ujung
kakinya. "Paman Bayan...," desis Rangga tidak percaya.
"Dia tidak pantas hidup lebih lama lagi. Penjilat seperti itu
sudah sepantasnya mati!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga
dingin. "Iblis...!" desis Rangga menahan geram.
"Dia tidak lagi percaya padamu, Anak Muda."
"Bohong...!" bentak Patih Raksajunta yang sejak tadi diam
saja. "Hm, siapa kau?" dengus Kakek Pesolek Pemetik Bunga
menatap tajam Patih Raksajunta.
"Aku Patih Raksajunta, saudara Bayan Sudira!" Jawab Patih
Raksajunta lantang.
"0, bagus! Biar sekalian keluarga penjilat musnah dari muka
bumi ini," sambut Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.
"Setan! Kubunuh kau, iblis keparat!" geram Patih
Raksajunta gusar.
Patih Raksajunta tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
Dia melompat cepat bagai kilat menerjang, seraya menghunus
pedangnya. Tapi pada saat yang tepat, seseorang keluar dari
dalam puri itu dan langsung memapak terjangan Patih
Raksajunta. Terjangan yang begitu cepat dan mendadak, tidak
dapat dihindarkan lagi. Patih Raksajunta terpental jauh ke
belakang terkena sampokan keras orang yang baru muncul
dari dalam Puri T eratai Emas.
Patih Raksajunta bergelimpangan hingga sejauh tiga
batang tombak. Namun laki-laki tua itu sudah cepat bangkit
kembali. Dengan punggung tangannya, disekanya darah yang
keluar dari mulutnya. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk, langsung kepada seorang laki-laki yang memegang
tombak merah berujung bulan sabit
"He he he...!"
Oo-dw-ray-oO 8 "Keparat! Rupanya kalian berkomplot!" seru Patih
Raksajunta geram.
"Ha ha ha...'" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa
terbahak-bahak.
Tawa itu pun langsung disambung s i Kumbang Merah yang
membuat Patih Raksajunta tadi terguling sejauh tiga batang
tombak. Belum lagi hilang suara tawa itu, muncul pula dua
orang muda memakai baju kuning gading dari dalam puri
Teratai Emas. Jelas, mereka adalah Sepasang Naga Hitam.
Tidak lama kemudian satu raungan keras terdengar, disusul
munculnya si Macan Gunung Sumbing bersama binatang
peliharaannya berupa seekor harimau besar.
Patih Raksajunta yang mengenali orang-orang itu,
menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu. Tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini
bergabung hanya untuk menguasai Pusaka Karang Setra
berdiri berjajar menghadapi Rangga.
"Kalian dengar tadi. Bocah edan ini mengaku dirinya putra
Adipati Karang Setra! Lucu..., heh! Meskipun kau kini seorang
raja di Karang Setra, belum berarti kau pewaris tunggal! Kau
hanya bocah edan yang gila kekuasaan!" Kakek Pesolek
Pemetik Bunga menghina dengan suara lantang.
"Ha ha ha...!" empat orang lainnya tertawa terbahakbahak. "Tapi dia tampan sekali," celetuk Andini yang sejak tadi
tidak lepas memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kendalikan dirimu, Andini!" rungut Macan Gunung
Sumbing. "Maaf. Kalau bisa jangan lukai dia sebelum...," Andini
tersenyum-senyum dengan mata mengerling pada Rangga.
"Itu urusan nanti, Andini, " sergah Andika.
"Baik, aku akan bersabar. Dan kau juga harus bersabar,
Pemuda Tampan," lagi-lagi Andini mengerlingi Rangga.
Sikap Andini menambah kebencian dan kemuakan terhadap
diri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kemarahannya harus bisa
ditahan. Menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti ini,
harus bisa menahan kemarahan dan luapan emosi yang akan
membuat diri menjadi lupa dan lengah. Jelas ini sangat
berbahaya. Rangga berusaha keras agar dirinya tetap tenang,
meskipun hatinya diliputi perasaan marah dan kebencian yang
memuncak. "Kau dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tidak
percaya bualanmu, jadi sebaiknya angkat kaki saja dari sini
dan lupakan semua tentang Pusaka Karang Setra. Kau tidak
berhak memilikinya, meskipun sekarang kau raja di sana!"
kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga lagi.
"Apa pun yang kalian katakan, pusaka itu tetap akan
kukembalikan pada tempatnya!" balas Rangga tidak kalah
lantangnya "Ha ha ha...!u Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa
terbahak-bahak.
"Dan kalian semua lebih tidak berhak memilikinya!"
sambung Rangga lebih tegas.
"Kalian semua dengar itu" Lucu sekali! Semua orang berhak
memiliki benda tidak bertuan, lebih-lebih sebuah benda
pusaka. Tapi...," Kakek Pesolek Pemetik Bunga berhenti
sebentar, lalu memandang pada yang lainnya satu persatu.
"Biar aku dulu!" potong Andini yang mengerti maksud
pandangan laki-laki tua pesolek itu.
"Bagus. Tapi hati-hati, Andini. Aku tidak ingin wajahmu
yang cantik itu tergores. Jangan biarkan tangannya
menyentuh tubuhmu yang menggiurkan itu," goda Kakek
Pesolek Pemetik Bunga.
"Jangankan dia! Kau sendiri tidak mungkin bisa
menjamahku, tua bangka," ejek Andini.
"Setan betina...! Kau membuatku jadi bergairah," balas
Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling genit
"Baik, kita taruhan!" tantang Andini jumawa.
"Taruhan apa?" balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga
bergairah. "Siapa di antara kalian yang menang melawan Si Tampan
itu, boleh bersenang-senang bersamaku. Bagaimana?" Andini
tersenyum-senyum seraya mengerling pada kakaknya.
Sedangkan Andika membalas hanya dengan senyuman tipis
saja. Sudah dimengerti maksud adik seperguruannya itu.
"He he he.... Kau cerdik sekali, setan betina. Baiklah,
banyak saksi di sini," Kakek Pesolek Pemetik Bunga
menyanggupi tawaran wanita cantik itu.
Sementara Rangga yang mendengar semua percakapan itu
semakin sulit menahan kemarahannya. Dirasakan dirinya
begitu direndahkan Belum pernah dirinya dijadikan taruhan
seperti ini. Rangga benar-benar muak. Ingin rasanya
menyumpal mulut mereka yang begitu kotor, tidak tahu tata
krama. Bicara seenaknya sehingga membuat telinga jadi sakit
mendengarnya Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengerling pada Andini,
kemudian me langkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali
Sakti. Langkahnya begitu ringan, dan sikapnya begitu
meremehkan. Sementara Rangga merentangkan sebelah
tangannya, memberi isyarat pada Patih Raksajunta untuk
menyingkir. Laki-laki tua itu mengerti, dan segera melangkah
mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana, bocah" Bisa kita mulai?" tantang Kakek
Pesolek Pemetik Bunga sinis.
Rangga merentangkan tangannya lebar-lebar. Memang,
tidak perlu dijawab tantangan itu. Dijawab atau tidak, harus
dihadapi semua orang yang berada di halaman Puri Teratai
Emas ini. Dan itu sudah diperhitungkan sejak kakinya
menginjak tempat ini.
"Bersiaplah, bocah! Hiyaaat...!"


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berteriak keras, Kakek Pesolek Pemetik Bunga
melompat sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah
dada Rangga. Namun dengan mantap sekali Pendekar
Rajawali Sakti itu menghindari dengan memiringkan tubuh ke
kanan sedikit. Dan pada saat itu dengan cepat dikibaskan
tangan kirinya ke arah perut Kakek Pesolek Pemetik Bunga
yang meremehkan pemuda itu jadi terkejut bukan main. Buruburu ditarik mundur tubuhnya begih1 dua serangannya gagal.
Bahkan kini harus menghindari kibasan tangan kiri lawan T api
belum juga sempurna menghindar, kaki kanan Rangga sudah
melayang ke arah perut Begih1 cepatnya tendangan Pendekar
Rajawali Sakti itu sehingga Kakek Pesolek Pemetik Bunga tidak
sempat lagi menghindar. Dan tendangan Rangga telak
mendarat di perutnya.
"Hugh...!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengeluh
tertahan. Selagi tubuhnya membungkuk, Rangga cepat menyarangkan satu pukulan telak dan tepat bersarang di
wajah laki-laki tua pesolek itu. Satu raungan keras terdengar
bersama terdongaknya kepala laki-laki tua itu. Tidak hanya
sampai di situ saja. Rangga kini juga mengirimkan satu
pukulan telak bertenaga dalam penuh ke dadanya. Akibatnya,
laki-laki tua itu terjengkang Jauh ke belakang.
Rangga berdiri tegak memandangi lawannya yang
menggelepar di tanah. Hanya sebentar Kakek Pesolek Pemetik
Bunga menggelepar, sesaat kemudian sudah melompat
bangkit kembali.
Wajahnya merah padam menahan
kemarahan yang memuncak. Lebih-lebih saat melihat
senyuman sinis Andini yang bernada mengejek. Laki-laki tua
pesolek yang masih suka wanita cantik ini menggeram
dahsyat, kemudian berlari cepat menerjang Pendekar Rajawali
Sakti. "Yaaa...!"
"HUP, hup!"
Rangga menanti serangan itu sambil mempersiapkan satu
jurus yang ampuh. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dan begitu
kakek pesolek menerjang disertai pengerahan tenaga dalam
penuh, dengan sigap Rangga me lompat sambil menghantamkan pukulannya ke arah kepala laki-laki tua itu.
Namun Kakek Pesolek Pemetik Bunga lebih cepat lagi
merunduk sehingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti
mengenai bagian kosong. Pada saat itu tangan kanan Kakek
Pesolek Pemetik Bunga menghentak ke atas, dan menangkap
tangan Rangga. "Hih!"
Hanya sekali hentakan saja tubuh Rangga terbanting keras
ke tanah. Hebatnya, Pendekar Rajawali Sakti malah meminjam
tenaga hentakan tadi untuk menarik tubuh laki-laki tua itu,
sehingga sama-sama terjungkal ke tanah. Pada saat yang
sama, kaki kanan Rangga melayang deras dan tepat
menghantam dada Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Akh.." Kakek Pesolek Pemetik Bunga terpekik tertahan.
"Modar...!" seru Rangga keras.
Oo-dw-ray-oO Sukar sekali pertarungan itu dilihat dengan mata biasa.
Namun semua orang yang ada di halaman depan Puri Teratai
Emas, dapat melihatnya meskipun harus menajamkan mata.
Sementara itu dengan gerakan cepat, Rangga menghentakkan
tangannya ke depan menghajar kepala Kakek Pesolek Pemetik
Bunga. Satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
dan mengandung tenaga dalam sempurna, telak menemui
sasaran. "Aaa...!" jerit Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.
Darah langsung muncrat keluar dari kepala yang hancur
terhantam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu jurus
maut dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Rangga
bangkit berdiri dan menendang tubuh laki-laki tua yang sudah
tidak bernyawa lagi. Tubuh itu melayang deras, dan jatuh
tepat di depan Andini.
"Hebat aku suka itu Pertunjukan yang sangat menarik,"
kata Andini dengan bola mata berbinar. Diberikannya senyum
manis Pada Rangga.
"Andini, apakah pertaruhan itu masih berlaku?" tanya si
Macan Gunung Sumbing.
"Bagaimana, Kakang?" Andini bertanya pada Andika.
"Kau yang menentukan," sahut Andika kalem.
"Baiklah. Tapi kalau kau menang, harus bertarung melawan
kakakku," Andini memberi syarat.
Memang, laki-laki mana yang tidak tertarik akan kecantikan
Andini" Wanita itu memiliki daya pesona tersendiri, dan
mampu memikat pria hanya dengan kerlingan matanya saja.
Tidak heran kalau taruhan yang dibuat Andini begitu
menggiurkan! Tapi baru saja Macan Gunung Sumbing
melangkah maju, terdengar suara bentakan keras.
"Tunggu!"
Semua mata tertuju pada sumber suara bentakan itu.
Kumbang Merah yang sejak tadi diam saja melangkah maju ke
depan, dan berdiri di tengah-tengah antara Rangga dan
Macan Gunung Sumbing. Sebentar dipandangi semua orang
yang berada di tempat itu satu persatu.
"Hentikan lelucon ini!" dengus Kumbang Merah dingin.
"Apa..." Hentikan!" Kumbang Merah, apa kau tidak sadar
dengan ucapanmu itu?" bentak Macan Gunung Sumbing.
"Kalian semua bodoh! Untuk apa membuang-buang nyawa
percuma hanya untuk memperebutkan yang tidak ada?"
lantang suara Kumbang Merah.
"Kumbang Merah, menyingkirlah!" sergah Andini kesal.
"Kau yang harus menyingkir. Andini. Sudah kuketahui
semua akal busukmu. Sengaja kau tiupkan kabar bohong
hanya untuk melenyapkan satu orang. Kau tidak sadar kalau
ulahmu dapat memecah-belah orang-orang rimba persilatan.
Mengumbar nyawa dan darah hanya untuk memenuhi
ambisimu!" tetap lantang suara Kumbang Merah.
"Tutup mulutmu, Kumbang Merah!" bentak Andini gusar
"Setelah begitu banyak korban berjatuhan" Tidak, Andini!
Meskipun selalu bergelimang darah dan dosa, aku tidak
pernah berbuat licik dan keji seperti ini. Sayang, Panglima
Bayan Sudira tidak pernah mendengar peringatanku. Dia
tewas akibat kelicikanmu, Andini," tetap lantang suara
Kumbang Merah. "Aku bilang, tutup mulutmu!" Andini semakin gusar.
Kumbang Merah tidak mempedulikan bentakan keras
Andini, dan malah berbalik dan menghadap pada Pendekar
Rajawali Sakti. Matanya sempat melirik pada Macan Gunung
Sumbing. "Kau pasti sudah pernah mendengar namaku, Rangga. Aku
memang bukanlah orang yang bersih dan patut dipercaya.
Tapi kali ini, ku harap kau mempercayaiku," kata Kumbang
Merah serius. "Hm..., " Rangga menatap tajam tokoh hitam yang begitu
kondang namanya dan sangat disegani lawan maupun kawan.
Seorang yang selalu bertindak berdasarkan kejantanan
meskipun dapat dikatakan kejam.
"Siasat apa lagi yang akan kau gunakan, Kumbang Merah?"
dengus Patih Raksajunta yang sudah berada kembali di
samping Rangga "Bukan siasat! Tapi, aku hanya ingin menjelaskan semua
kebohongan ini," jawab Kumbang Merah tegas.
"Kebohongan...!" Apa maksudmu?" tanya Rangga jadi
penasaran juga.
Oo-dw-ray-oO "Sebenarnya semua ini karena ulah mereka!" Kumbang
Merah menunjuk ke arah Sepasang Naga Hitam. "Mereka
gagal merebut salah satu kadipaten di Karang Setra, lalu
timbul dendam dan ingin meruntuhkan Kerajaan Karang Setra
dengan meniupkan berita bohong."
"Jadi, maksudmu.... Pusaka Karang Setra tidak hilang?"
Rangga mulai memahami.
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu. ini semua hanya tipuan
saja untuk memancingmu, Rangga. Mereka memang sengaja
mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan agar bertarung
melawanmu. Dengan demikian mereka mengira kalau kau
bakal tewas, sehingga dengan mudah dapat menguasai
Karang Setra," jelas Kumbang Merah.
"Licik...!" desis Rangga menggeram.
"Setan! Pengkhianat...!" geram Andini.
"Tapi, kenapa mereka memilih tempat ini?" tanya Rangga.
"Mereka tahu kalau hampir seluruh rakyat Jiwanala berasal
dari Karang Setra Bahkan rajanya pun masih terpaut darah
dengan leluhur pendiri Karang Setra. Mereka berharap bisa
meraup dua wilayah sekaligus melalui adu domba dua
kerajaan."
Rangga ingin bertanya lagi, tapi sempat dilihatnya Andini
mengirimkan pukulan jarak jauh kepada Kumbang Merah.
Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat melewati
kepala si Kumbang Merah dan memapak serangan jarak jauh
itu. Namun akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terpental
bergulingan di tanah.
"Pengecut!" geram Kumbang Merah.
"Kau yang pengecut, Kumbang Merah! Pengkhianat!
Menyesal aku mengajakmu," balas Andini gusar.
"Kau pikir aku bodoh, heh" Sebenarnya aku hanya ingin
merasakan permainan asmaramu saja."
"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Merah padam wajah Andini ketika terbongkar kedoknya
dalam upaya memperalat tokoh-tokoh rimba persilatan untuk
bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan rasa
marah yang meluap wanita itu langsung me lompat dan
menerjang Kumbang Merah.
Namun terjangan itu manis sekali dapat dihindari Kumbang
Merah. Bahkan dengan cepat si Kumbang Merah mengibaskan
tongkatnya. "Hait!"
Trak! Tapi Andika lebih gesit lagi. Dihantamkan tongkat itu
sebelum menyentuh tubuh Andini. Kumbang Merah mendengus sengit sambil menyemburkan ludahnya.
Sementara itu Rangga yang sudah bangkit berdiri, tidak
bisa berbuat apa-apa. Pertarungan antara Kumbang Merah
yang kini melawan Sepasang Naga Hitam tidak bisa dicegah
lagi. Mereka bertarung sengit, masing-masing berupaya untuk
saling menjatuhkan.
Baru beberapa jurus saja pertarungan itu berjalan,
Sepasang Naga Hitam sudah mengeluarkan
senjata andalannya. Kini, serangan-serangan sepasang anak muda itu
semakin dahsyat Dari pedang kembar yang mereka gunakan,
mengepul asap tipis hitam dan berbau busuk menyesakkan
dada. "Ugh...!" Kumbang Merah merasakan kepalanya jadi
pening. Tampak jelas kalau jurus-jurus yang dimainkan si Kumbang
Merah menjadi tak beraturan. Gerakan-gerakannya kacau dan
tidak terarah lagi Bau busuk yang menyebar dari pedang
Sepasang Naga Hitam membuat kepala si Kumbang Merah
semakin pening, dan napasnya pun terasa sesak.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
teriak Andini sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat.
"Aaakh...!" Kumbang Merah menjerit keras.
Tebasan pedang Andinl tidak mungkin lagi dielakkan. Ujung
pedang itu menggores dalam di dada si Kumbang Merah.
Darah langsung mengucur dari luka-luka yang cukup panjang
dan dalam itu. Kumbang Merah terhuyung-huyung ke
belakang. Tapi satu tendangan keras Andika membuatnya
terpental dan menabrak pohon dengan keras sekali.
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat melompat ketika Andini sudah me lompat
sambil menghunus pedang ke depan Rangga tidak punya
pilihan lain lagi untuk menyelamatkan nyawa si Kumbang
Merah. Langsung dicabut pedang pusakanya, dan dibabatnya
pedang Andini. Trang! "Akh!" Andini memekik tertahan, dan langsung me lompat
mundur. Andini menggerutu sambil memijit-mijit pergelangan
tangannya yang kesemutan. Saat itu benar-benar disadari
kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dia tidak peduli, dan langsung
menyerang Rangga. Andika juga tidak tinggal diam. lalu
membantu adik seperguruannya menyerang Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Namun dengan Pedang Rajawali Sakti di tangan, Sepasang
Naga Hitam bukanlah tandingan Rangga. Lebih-lebih saat itu
Rangga tengah diliputi kemarahan besar terhadap dua anak
muda itu. Langsung dikerahkan jurus andalannya 'Pedang
Pemecah Sukma' Satu jurus yang sangat dahsyat dan belum
ada tandingannya pada saat ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Trang! Trang! "Akh! "


Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ughk! "
Cepat sekali tubuh Rangga setengah berputar sambil
mengibaskan pedangnya, sehingga membuat senjata Sepasang Naga Hitam terpental ke udara. Dan pada saat yang
bersamaan, sebelah tangan Pendekar Rajawali Sakti
mengirimkan pukulan beruntun yang sulit dihindari lagi.
Sepasang Naga Hitam bergulingan di tanah.
"Modar...!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga dikibaskan pedangnya dengan cepat ke
arah Andini. Tapi Andika dengan cepat bangkit dan melompat
Tidak dapat dielakkan lagi!
Ayunan Pedang Rajawali Sakti yang begitu cepat, sukar
untuk ditarik kembali. Dan....
"Akh!" Andika hanya mampu memekik sedikit, kemudian
tubuhnya ambruk terpotong menjadi dua.
Andika tidak bisa lagi bergerak, dan langsung tewas
seketika. Andini yang melihat itu, jadi terbeliak matanya. Dia
bergegas bangkit dan cepat melompat kabur. Begitu cepatnya
melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap.
"Rangga...."
Rangga menoleh. dan melihat Patih Raksajunta telah berdiri
memapah tubuh Kumbang Merah. Sempat juga dilirik
sekitarnya. Kini, tidak ada lagi si Macan Gunung Sumbing.
Entah kabur ke mana orang itu.
Pikirnya mungkin tidak ada gunanya lagi berada di tempat
ini. Rangga menghampiri Patih Raksajunta yang memapah
tubuh Kumbang Merah.
"Bagaimana keadaanmu, Kumbang Merah?" tanya Rangga.
"Buruk," sahut Kumbang Merah. "Pedang Sepasang Naga
Hitam mengandung racun yang sangat dahsyat. Hanya
guruku, si Raja Kumbang saja yang mampu mengobati."
"Berapa lama kau mampu bertahan?" tanya Rangga.
"Paling lama tiga hari."
"Kalau begitu, akan kuantarkan kau ke sana," Rangga
menawarkan. "Tidak perlu! Kau harus melanjutkan perjalananmu mencari
Pusaka Karang Setra itu."
"Jadi..."!" Rangga terkejut.
"Pusaka yang ada di Istana Karang Setra. itu adalah palsu.
Sedangkan aslinya sampai kini tidak jelas di mana. Sepasang
Naga Hitam tahu akan hal Itu dari gurunya. Maka
dimanfaatkanlah hal itu untuk melaksanakan ambisinya
menguasai Karang Setra. Kau tahu, guru si Sepasang Naga
Hitam adalah musuh besar Adipati Karang Setra yang dulu.
Mereka memang selalu berselisih untuk menguasai Karang
Setra.... Aku pergi dulu, Rangga. Senang sekali rasanya bisa
berbuat baik. Bahkan untuk pertama kali kulakukan perbuatan
baik ini. Aku senang dan bahagia meskipun harus mati di
perjalanan," ucap Kumbang Merah.
"Tidak, kau harus selamat Aku akan membawamu ke
tempat gurumu."
"Tidak mungkin Rangga. Kau akan mati sesampainya di
sana. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk ke sana.
Tempat itu penuh dengan laba-laba, sejenis kumbang, dan
serangga lainnya yang sangat berbahaya."
"Tapi kau akan kuantarkan sampai ke perbatasan saja,"
desak Rangga merasa berhutang budi.
"Baiklah. Tapi ingat, setelah itu kau harus cepat pergi. Aku
tidak ingin guruku melihatmu."
"Aku janji. "
Rangga menggantikan Patih Raksajunta memapah Kumbang Merah, dan meminta laki-laki tua itu untuk
mengambil kuda. Patih Raksajunta cepat-cepat mengambil
kuda mereka yang ditinggalkan tidak jauh dari tempat itu.
Rangga kemudian menaikkan Kumbang Merah ke punggung
Kuda Dewa Bayu, kemudian melompat naik di belakangnya.
Patih Raksajunta memperhatikan di samping kudanya sendiri
"Paman, sampaikan salam ku pada Gusti Prabu Duta
Nitiyasa. Maaf aku tidak bisa berkunjung lagi," ucap Rangga.
"Aku harus segera mengantarkan Kumbang Merah, setelah itu
aku akan mencari Pusaka Karang Setra sampai kapan pun "
"Akan hamba sampaikan, Gusti," sahut Patih Raksajunta
seraya membungkuk memberi hormat.
"Terima kasih."
Rangga tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Segera
digebahnya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu, yang
kemudian langsung berlari cepat bagaikan angin. Patih
Raksajunta sampai ternganga me lihat kecepatan lari
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan
mata, meninggalkan debu yang mengepul di udara.
SELESAI Misteri Penculik Asmara 3 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Senja Jatuh Di Pajajaran 9

Cari Blog Ini