Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan Bagian 1
PERTARUNGAN DI BUKIT SETAN
oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Arte
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Pertarungan di Bukit Setan
128 haL ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Kicau burung riuh menyambut mentari pagi. Angin bertiup lembut mengusir kabut
titik-titik embun bak mutiara berceceran di dedaunan.
Pagi yang indah menyegarkan, membuka kehidupan bagi penghuni permukaan bumi.
Tapi keindahan pagi ini masih juga dirusak oleh suara teriakan-teriakan
melengking dan denting sejata beradu.
Sepertinya suara-suara itu datang dari sebuah padang rumput yang tidak begitu
luas di tepian Hutan Pusaran. Tampak dua orang tengah bertarung mengadu jiwa.
Sedangkan tiga orang lainnya berdiri tidak begitu jauh dari pertarungan, nampak
serius memperhatikan jalannya pertarungan yang sengit dan cepat.
Tiba-tiba salah seorang yang bertarung, melompat keluar dari arena. Dua kali
berputar di udara, lalu dengan manis mendarat di tanah.
Keringat membasahi wajah dan pakaiannya. Orang itu memegang sebuah golok besar,
persis seperti tukang jagal binatang ternak. Dia berdiri di depan tiga orang
yang juga masing-inasing menggenggam golok besar yang nampak berat.
Mereka langsung berlompatan membentuk lingkaran, mengurung seorang wanita muda
berpakaian hijau yang ketat. Bentuk tubuhnya indah dan ramping mengimbangi raut
wajahnya yang cantik. Wanita itu menggoyang-goyangkan kipasnya yang berkilatan
tertimpa sinar matahari. Ujung-ujung kipasnya runcing seperti mala pisau, siap
membedah lawan.
Senyumnya nampak di bibir yang merah
menggairahkan. "Tadi sudah kubilang, kalian Empat Setan Jagal sebaiknya turun bersama-sama,"
terdengar lembut suara wanita cantik itu.
"Huh! Jangan pongah dulu, Kipas Maut! Kau belum tentu menang melawan kami!"
dengus salah seorang yang mengenakan pakaian hitam.Empat Setan Jagal bisa
dikenali namanya satu persatu dari warna pakaiannya. Yang mengenakan pakaian
hitam berjuluk Jagal Hitam.
Sedangkan yang biru, merah, dan kuning masing-masing disebut Jagal Biru, Jagal
Merah dan Jagal Kuning. Mengapa mereka bisa sampai bentrok dengan Kipas Maut"
"Siapa yang mencari kemenangan" Kalian datang ke sini hanya mengganggu
istirahatku. Masih bagus aku tidak langsung membunuh kalian tadi malam!" rungut
Kipas Maut "Setan! Seharusnya kau yang mampus semalam!" dengus Jagal Biru geram.
"Aku khawatir, kalian tidak akan menikmati sinar matahari lagi
besok," suara Kipas Maut terdengar tenang, namun menyakitkan telinga.
"Kurobek mulutmu, iblis!" geram Jagal Kuning.
"Silakan kalau kalian bisa. Tak bakal aku mundur barang setapak pun."Jagal Hitam
membentak keras, lalu dengan cepat melompat sambil mengayunkan goloknya yang
besar. Deru angin terdengar bersamaan dengan berkelebatnya golok menyambar tubuh
Kipas Maut. Hanya sedikit saja perempuan cantik itu memiringkan tubuhnya,
sabetan golok Jagal Hitam lewat tanpa mengenai sasaran.
Belum sempat Kipas Maut menarik napas lega, datang lagi
serangan dari arah samping kanannya. Angin menderu keras
bersamaan dengan berkelebat-nya sebuah golok mengarah ke kepala.
Kipas Maut merundukkan kepalanya sedikit, dan golok Jagal Kuning lewat di atas
kepalanya. Kipas Maut harus berlompatan sambil jumpalitan menghindari serangan
Empat Setan Jagal yang datang beruntun bagai air bah. Namun sampai lewat lima
jurus, Kipas Maut belum juga mengeluarkan ilmu andalannya.
Tring, Tring! Dua kali Kipas Maut berhasil menangkis serangan Empat Setan Jagal. Hampir saja
golok Jagal Biru dan Jagal Kuning terlepas dari tangan saat membentur kipas baja
berwarna keperakan. Namun bibir mereka meringis, merasakan pergelangan tangan
menjadi kaku dan kesemutan.
Saat yang bersamaan Jagal Hitam membabatkan goloknya bagai kilat Kipas Maut yang
baru saja menangkis serangan dua lawan, terkejut Buru-buru dia melenting,
menghindari serangan yang mendadak itu. Jagal Hitam yang serangannya dapat
dielakkan, langsung memberi serangan lanjutan yang tidak kalah ganasnya.
Terpaksa Kipas Maut mengebutkan kipas bajanya.
Wut, tring! "Akh!"
Kipas Maut terpekik kecil. Langsung dijatuhkan dirinya ke tanah dan bergulingan.
Saat kipas bajanya bcradu dengan golok Jagal Hitam, tenaga dalamnya tulak
dikerahkan dengan penuh. Dia tidak menyangka kalau tenaga dalam Jagal Hitam
sangat tangguh dan cukup tinggi.
"Setan!" dengus Kipas Maut Kipas Maut segera bangkit berdiri.
Matanya mem-beliak melihat kipasnya tergeletak di tanah agak jauh.
Dia menyesal terlalu menganggap enteng Empat Setan Jagal. Sungguh tidak diduga
sama sekali kalau dalam tiga tahun saja Empat Setan Jagal telah pesat
kemajuannya. Lebih-lebih Jagal Hitam. Tenaga dalamnya sekarang jauh lebih
tinggi. "Tamat riwayatmu, pencuri busuk!" geram Jagal Hitam.
Secepat kilat Jagal Hitam menerjang sambil me-ngebutkan
goloknya. Kipas Maut melenting ke belakang menghindari golok yang besarnya
melebihi tangannya sendiri. Namun belum juga sempat menginjakkan kakinya di
tanah. Jagal Merah sudah membabatkan goloknya ke kaki. Kipas Maut menotok ujung
golok dengan jari kakinya, sambil melenting kembali ke udara.
Keadaan Kipas Maut benar-benar mengkhawatirkan sekali.
Serangan-serangan berbahaya datang silih berganti tanpa memberi kesempatan
sedikit pun untuk bernapas. Kipas Maut bisa berlompatan menghindari setiap
serangan yang mengancam nyawanya.
"Modar...!"
"Akh!"
Kipas Maut cepat melenting keluar dari arena pertarungan. Darah mengucur dari
pundak kanan yang tergores ujung golok Jagal Hitam.
Sungguh tidak diduga sama sekali ketika dia sedang berkelit menghindari sodokan
golok dari Jagal Merah, tiba-tiba saja Jagal Hitam melompat sambil mengibaskan
goloknya. Kipas Maut tidak bisa menghindari lagi. Untunglah hanya ujung golok
Jagal Hitam saja yang menggores kulit pundak kanannya.
"Bedebah!" Kipas Maut menggeram melihat darah mengucur deras dari pundaknya.
"Jagal Merah, Jagal Biru, Jagal Kuning! Bunuh pencuri laknat itu!"
perintah Jagal Hitam.
"Yeaaah...!"
Serentak ketiga orang yang mendengar perintah Itu, melompat seraya mengebutkan
goloknya. Jagal Hitam pun langsung melompat menyerang Kipas Maut. Mendapat
serangan dari empat penjuru itu, Kipas Maut segera melenting tinggi ke udara.
Empat golok melesat di bawah kaki perempuan cantik itu.
Serangan Empat Setan Jagal tidak berhenti sampai di situ saja.
Begitu Kipas Maut mendarat di tanah, mereka langsung menyerang dengan ganas.
Lagi-lagi Kipas Maut kewalahan menghadapi serangan yang beruntun bagai gelombang
air laut menggempur karang. Saat golok Jagt! Kuning mengancam kepalanya,
mendadak kaki Jagal Merah melayang ke arah dada. Ditambah lagi tangan kiri Jagal
Biru yang melayang cepat dari arah belakang.
Pada saat itu, Kipas Maut benar-benar tidak punya kesempatan lagi untuk
mengelak. Mungkin dapat dihindari satu serangan, tapi tiga lainnya tak mungkin
dihindari lagi. Dan pada saat genting itulah tiba-tiba sebuah bayangan putih
berkelebat cepat menghajar Empat Setan Jagal.
Keempat orang itu berjumpalitan sebelum berhasil menyerang Kipas
Maut"Monyet buntung!" umpat Jagal Hitam geram. Kini di samping Kipas Maut telah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut sebatas bahu. Pemuda
berkulit putih itu mengenakan baju rompi warna putih dan sebilah pedang
bergagang kepala burung tersembul dari balik punggungnya. Tak salah lagi, pemuda
itu adalah Pendekar Rajawali Sakti."Anak muda, jangan campuri urusanku!" bentak
Jagal Hitam. "Hm, aku tidak akan mencampuri urusan kalian kalau kalian bertarung secara
jantan," tenang dan pelan suara Rangga. Namun kedengaran sangat berwibawa.
"Phuih! Lagakmu sok pahlawan. Kau tahu, siapa kami?" dengus Jagal Merah.
"Siapa pun kalian, yang jelas kalian adalah orang-orang pengecut yang bisanya
hanya main keroyok terhadap wanita!" tetap tenang dan lembut suara Rangga.
"Buka telingamu lebar-lebar, anak muda! Kami Empat Setan Jagal!"
bentak Jagal Hitam memperkenalkan diri dengan maksud agar pemuda di samping
Kipas Maut ketakutan mendengarnya.
Tapi Rangga malah tersenyum tipis mendengar nama itu. Memang dia telah dengar
nama Empat Setan Jagal. Empat orang yang malang-melintang di rimba persilatan
dan menguasai daerah yang dinamakan Bukit Setan. Rupa-rupanya orang-orang inilah
yang selalu merampas dan membunuh dengan kejam siapa saja yang melintasi Bukit
Setan. "Aku memberimu kesempatan, anak muda. Nah! Menyingkirlah dari sini!" kata Jagal
hitam. "Kalau aku tidak mau?" Rangga jelas-jelas menantang meskipun cara tidak
langsung. "Edan! Kau cari mati rupanya!" umpat Jagal Hitam sengit Jagal Hitam langsung
memberi isyarat pada yang Iainnya. Serentak Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal
Biru berlompatan mengepung.
Golok mereka sudah melintang di depan dada. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
melirik memperhatikan setiap gerakan keempat orang itu yang mengepung dari empat
penjuru. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman tipis. "Serang...!" teriak Jagal
Hitam keras. Seketika Empat Setan Jagal berlompatan sambil mengibaskan goloknya
ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sedikit saja pendekar muda itu menggcrakkan tangannya tanpa menggeser kaki, tahu-tahu golok-golok Empat Setan Jagal
terpental, lepas dari tangan masing-masing. Rangga menghadapi mereka dengan
mengerahkan jurus maut 'Cakar Rajawali'.
Rasa kaget keempat orang itu belum lagi hilang, mendadak
Rangga memutar tubuhnya dengan kaki kanan terayun cepat. Buk, buk,
buk, buk...! Empat Setan Jagal langsung terjungkal ke belakang. Kaki kanan
Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam perut mereka.
"Uhk!" Jagal Hitam merasakan perutnya mual.
Susah payah mereka berusaha bangkit berdiri. Belum juga sempat bangun, Pendekar
Rajawali Sakti Itu sudah bergerak cepat menjambret punggung baju mereka dan
melemparkan jadi satu ke bawah pohon besar yang rindang. Tubuh-tubuh yang besar
dan kekar berjatuhan saling tindih. Mirip empat buah karung beras yang
dilemparkan sembarangan ke dalam gudang.
Kembali mereka berusaha bangkit, dan gerakan mereka terhenti karena Pendekar
Rajawali Sakti sudah menempelkan leher mereka dengan golok masing-masing. Jagal
Hitam mengangkat kepalanya.
Wajahnya merah padam, merasa malu dan marah karena bisa
dikalahkan oleh anak muda hanya dalam satu gebrakan saja.
"Beruntung sekali hari ini aku enggan mencabut nyawa," dingin terdengar suara
Rangga. Jagal Hitam mengkerutkan gerahamnya. Pelan-pelan dia bangun berdiri di kuti yang
Iainnya. Rangga melangkah mundur tiga tindak. Dia melemparkan empat golok di
tangannya, hingga menancap tepat di ujung kaki Empat Setan Jagal.
"Pergi dari sini, cepat!" bentak Rangga keras.
Bergegas Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal Biru mencabut golok masing-masing.
Dengan ogah-ogahan Jagal Hitam juga mencabut goloknya dari tanah. Kedua bola
matanya tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh rasa dendam. Sepasang
rahangnya terkatup rapat menahan geram. Tanpa banyak bicara lagi ke empat orang
itu melangkah pergi.
Jagal Hitam membalikkan tubuhnya setelah kakinya terayun
sekitar sepuluh langkah. Dia berdiri dengan tangan bertolak pinggang.
Yang Iainnya juga ikut berhenti di belakang Jagal Hitam.
"Kipas Maut, persoalan kita belum selesai!" teriak Jagal Hitam keras.
Selesai berkata, Jagal Hitam cepat berbalik dan berlari kencang di kuti yang
Iainnya. Sebentar saja mereka sudah tidak terlihat lagi.
Rangga membalikkan tubuhnya lalu melangkah mendekati Kipas Maut yang baru saja
memungut senjata kipasnya. Diselipkan kipas baja sakti itu ke pinggang.
"Kau terluka..."
'Terima kasih!" Kipas Maut memotong cepat sebelum Rangga selesai dengan
kalimatnya. Suaranya terdengar ketus dan tampak tidak senang dirinya ditolong.
"Maaf, apakah aku telah menyulitkanmu?" Rangga tidak mengerti
dengan sikap gadis ini. Keningnya berkerut pertanda tengah berpikir.
"Banyak!" sahut Kipas Maut ketus.
"Banyak...!?" Rangga terkejut setengah mati.
Sungguh mati Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengerti dengan sikap gadis
cantik ini. Nyawanya sudah diselamatkan, tapi kelihatan tidak senang. Bahkan
katanya malah membuat banyak kesulitan.
Kesulitan apa"
"Sebaiknya kau pergi dari sini, atau aku yang pergi " kata Kipas Maut
"Hey...! Tunggu," teriak Rangga, begitu melihat Kipas Maut melangkah pergi.
Kipas Maut terus saja mengayunkan langkahnya. Rangga berlari mengejar dan
mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Dia masih penasaran dengan sikap
Kipas Maut yang dirasakan sangat aneh.
*** Pendekar Rajawali Sakti jadi makin penasaran saja. Setiap
pertanyaan dijawab ketus oleh Kipas Maut. Dalam sekilas tadi, sempat didengar
kata-kata Jagal Hitam yang membuat benaknya terus bertanya-tanya. Rasanya tidak
mungkin Empat Setan Jagal keluar dari Bukit Setan kalau tidak ada sesuatu yang
sangat penring. Lebih-lebih sampai bentrok dengan gadis ini. Jagal Hitam
menyebut gadis ini sebagai pencuri. Apa yang dicuri" Ada persoalan apa antara
Kipas Maut dengan Empat Setan Jagal" Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benak
Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab, karena
Kipas Maut bersikap tidak bersahabat dengannya.
Rangga terus melangkah sejajar dengan gadis cantik ini. Meskipun Kipas Maut
menggunakan ilmu meringankan tubuh, tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti bukanlah
hal yang sulit. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh di atas Kipas Maut.
"Kenapa kau mengikutiku terus?" tanya Kipas Maut ketus.
dihentikan langkahnya dan berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti."Kau belum
menjawab pertanyaanku," sahut Rangga.
"Dari tadi kau banyak bertanya, sedangkan aku lidak tahu pertanyaan mana yang
harus kujawab," dengus Kipas Maut sinis.
"Siapa namamu sebenarnya?" tanya Rangga.
"Sudah kubilang, namaku Kipas Maut!"
"Itu julukanmu."
"Apa bedanya?"
"Tentu berbeda, aku tidak mungkin bisa menolongmu terusmenerus tanpa mengetahui namamu yang sebenarnya."
"Siapa yang butuh pertolonganmu" Tanpa campur tanganmu pun aku juga bisa
menghabisi Empat Setan Jagal!"
"Hm, kau hampir mampus tadi!" Rangga sengit juga jadinya.
"Aku tadi cuma pura-pura, aku tahu kau datang. Aku hanya ingin melihat
kehebatanmu saja. Yaaah, ternyata boleh juga."
"Bedegul!" umpat Rangga dalam hati. "Gadis ini benar-benar keras kepala, angkuh,
sombong dan sedikit liar."
"Siapa namamu?" tanya Kipas Maut tiba-tiba.
"Rangga," sahut Rangga.
"Julukanmu?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Julukan yang bagus. Sayang, kau hanya bisa mengalahkan cacing-cacing tanah."
Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata-kata Kipas Maut terdengar mengejek, tapi Rangga hanya menghadapinya dengan
senyum. Entah kenapa dia menjadi tertarik dengan sikap gadis di depannya ini.
Mendadak saja ingatannya jadi terarah pada Saka Lintang, gadis pertama yang
ditemuinya setelah keluar dari Lembah Bangkai. (Baca; Serial Pendekar Rajawali
Sakti dalam kisah, Iblis Lembah Tengkorak).
Dalam beberapa hal, Kipas Maut memiliki per-samaan dengan
Saka Lintang. Baik sikap maupun kecantikan wajahnya. Rangga sepertinya sedang
berhadapan dengan gadis yang pertama kali sempat menggetarkan hatinya, dan tewas
di tangannya pula. Hanya saja Rangga belum bisa memastikan Kipas Maut berada
dalam golongan mana"
"Apa yang kau lamunkan?" tegur Kipas Maut.
"Oh! Tidak," Rangga jadi tergagap. Seketika bayangan Saka Lintang buyar."Kau
memikirkan kekasihmu?" tebak gadis itu langsung.
"Tidak!" sahut Rangga cepat-cepat, terkejut juga dia mendengar dugaan itu. Tapi
dia sendiri tidak tahu apakah dirinya jatuh cinta pada Saka Lintang.
Kipas Maut tersenyurh-senyum kecil. Dia melenggang dan
menempatkan diri di bawah pohon. Enak sekali gadis itu duduk bersandar pada
sebatang pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Rangga
menghampiri dan duduk depannya. Bola matanya sesekali menc uri pandang ke wajah
cantik di depannya. Wajah yang putih kemerahan bagai bocah baru lahir tanpa
dosa. "Kau mau menyebutkan namamu, 'kan?" desak Kangga lagi.
"Rupanya kau senang mendesak juga, ya. Baiklah, namaku Pandan Wangi," sahut
Kipas Maut menyebutkan nama aslinya.
"Kau ada masalah dengan Empat Setan J agal?" tanya Rangga lagi merasa mendapat
kesempatan. "Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi atau Kipas Maut. Pundaknya terangkat
sedikit. "Kenapa bentrok dengan mereka?"
"Iseng."
"Edan!" dengus Rangga dalam hatj.
Rangga memperhatikan bahu kanan Pandan Wangi yang berdarah.
Tangannya terulur hendak memeriksa, tapi gadis itu menepis. Rangga menarik
tangannya yang sudah terulur sedikit. Matanya langsung tertuju ke bola mata
gadis itu. "Kau terluka, sepertinya ada racun yang... "
"Akh!"
Belum juga Rangga selesai bicara, mendadak Pandan Wangi
memekik tertahan. Seketika wajahnya memucat. Tubuhnya menggigil seperti demam.
Rangga segera mendekat, lalu membaringkannya.
Pandan Wangi yang memang sudah merasakan dalam tubuhya
mengalir racun akibat luka di bahunya, tidak menolak lagi pertolongan Pendekar
Rajawali Sakti untuk kedua kalinya.
Rupanya golok Jagal Hitam yang melukai bahu lianannya
mengandung racun yang bekerja lambat, tapi sangat berbahaya dan mematikan. Jarijari tangari Rangga bergerak cepat menotok beberapa bagian tubuh Pandan Wangi.
Kemudian merobek baju di sekitar luka.
Pandan Wangi memekik kaget, tapi tubuhnya terasa lemas sehingga tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Hanya matanya saja yang membeliak lebar.Rangga mencabut
pisau kecil yang terselip di pinggang Pandan Wangi. Baru saja akan digunakan
pisau itu, Pandan Wangi mencegah.
"Jangan, pisau itu beracun!"
Rangga mengernyitkan keningnya. Diciumnya ujung mata pisau kecil itu. Keningnya
semakin berkerut begitu mengetahui racun yang ada pada pisau di tangannya,
sangat dahsyat dan kuat. Rasanya yang terkena tidak akan bisa tahan dalam
setengah hari saja. Rangga meletakkan pisau itu di samping.
"Apa yang akan kau lakukan?" pekik Pandan Wangi ketika Rangga membalikkan
tubuhnya. Begitu Pandan Wangi tidur tengkurap, Rangga langsung membeset bajunya. Lagi-lagi
Pandan Wangi memekik tertahan. Kini kulit punggung yang putih mulus terbuka
lebar. Rangga menggelengkan kepala membuang pikiran-pikiran kotor yang langsung
menyergap benaknya.
Agak bergetar kedua tangannya ketika menempelkan telapak
tangannya ke punggung yang putih mulus itu.
Rangga segera memusatkan perhatian ke tubuh Pandan Wangi
melalui telapak tangannya. Asap tipis mulai mengepul dari sela-sela jari tangan
Pendekar Rajawali Sakti yang menempel erat di punggung Pandan Wangi. Agak lama
juga Rangga menyalurkan hawa murninya.
"Hoek..., hoek!" dua kali Pandan Wangi memun-tahkan darah kental kehitaman.
Dari luka di bahu kanannya juga keluar darah berwarna kehitaman.
Rangga terus menyalurkan hawa mumi mencoba mengusir racun yang sudah menyebar ke
seluruh jaringan jalan darah di tubuh gadis ini.
Sedikit saja terlambat menolong, mungkin Pandan Wangi tinggal nama saja. "Uh!
Hhh...!" Rangga mendesah panjang.
Tangan yang menempel di punggung terlepas setelah Pandan
Wangi memuntahkan darah kental kehitaman untuk ketiga kalinya.
Darah yang keluar dari luka di bahu kanan juga sudah berwarna merah segar.
Rangga duduk dengan wajah bersimbah keringat Dibalikkan lagi tubuh gadis itu,
dan jari-jari tangannya segera bergerak melepaskan totokan di tubuh Pandan
Wangi. Rangga masih duduk mengatur napasnya. Tampak sekali kalau dia benar-benar lelah
menguras hawa inurni untuk mengeluarkan racun itu.
Tampak gadis l u menggerak-gerakkan kepalanya sebentar. Kemudian segera bangkit
duduk. Mulutnya ternganga saat melihat pakaiannya amburadul tidak karuan. Bagian
pundak kanan dan punggungnya sobek. Pandan Wangi buru-buru membenahi sebisabisanya. "Setan! Apa yang telah kau lakukan, heh?" bentak Pandan Wangi sengit.
"Jangan bergerak dulu. Racun di rubuhmu belum semuanya keluar," kata Rangga
tidak menanggapi bentakan gadis itu.
"Phuih! Kau sudah berani menyentuh tubuhku. Kau harus mati, Rangga!" dengus
Pandan Wangi. "Duduk saja dulu, bersemadilah sebentar. Tenagamu belum pulih benar," masih
tetap tenang dan lembut suara Rangga.
"Kau harus mati, setaaan!" teriak Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang bergelar Kipas Maut langsung mencabut kipas saktinya. Kemudian
diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Namun baru juga menggebrak,
mendadak kedua kakinya
bergetar dan jatuh ke tanah.
"Oh kakiku...," rintih Pandan Wangi merasakan kedua kakinya mendadak jadi lemas.
"Sudah kubilang, rac un dalam tubuhmu belum ke luar semua,"
kata Rangga sambil membantu Pandan Wangi duduk kembali.
Tangannya mengambil kipas baja sakti yang ter-geletak di tanah.
Kemudian diselipkan lagi di pinggang pemiliknya. Tentu saja Kipas Maut jadi
heran juga dengan sikap Rangga. Baru beberapa saat mereka kenal dan bertemu,
tapi sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti
menolongnya. Apa sebenarnya yang di nginkan pemuda ini" Apakah dia juga
menganggap dirinya telah berhasil mengambil Kitab Naga Sewu, seperti yang
Iainnya" Pandan Wangi jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri terhadap sikap Rangga. Dia
jadi tidak mengerti apa yang di nginkan Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau
bermaksud buruk, tentu dengan mudah Rangga bisa membunuhnya. Apalagi dalam
keadaan terluka parah begini. Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti jadinya.
Kepalanya semakin berdenyut memikirkan sikap Pendekar Rajawali Sakti yang tampan
ini. *** 2 Pendekar Rajawali Sakti menunggu Pandan Wangi bersemadi
untuk memulihkan tenaganya kembali. Begitu selesai, lalu Rangga menyerahkan
sebutir pil berwarna putih kekuning-kuningan. Ragu-ragu Pandan Wangi menerima
pil itu. Tapi seteleh Rangga meyakinkan kalau pil itu untuk menghilangkan semua
rac un dalam darah, baru Pandan Wangi menerima dan menelannya.
Pandan Wangi merasakan tubuhnya menjadi segar kembali. Luka di bahu kanannya
juga tidak lagi mengeluarkan darah. Dengan dibantu Rangga, Pandan Wangi membebat
lukanya dengan sobekan bajunya sendiri.
"Kau telah menolongku dan menyelamatkan nyawaku. Aku tidak bisa berhutang budi
pada siapa pun. Katakan, apa yang kau inginkan dariku?" tajam terdengar suara
Pandan Wangi. Rangga menggelengkan kepalanya seraya ter-senyum tipis. Hatinya benar-benar geli
melihat sikap gadis ini yang tetap saja keras kepala.
Meskipun nyawanya hampir melayang, masih juga bersikap ketus dan sinis."Aku
tidak menyalahkanmu seandainya kau menyangka aku sudah berhasil mengambil kitab
itu dari tangan Empat Setan Jagal," kata Pandan Wangi.
"Kitab" Aku tidak mengerti maksudmu?" Rangga jadi ingin tahu.
"Kau memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" sinis suara Pandan Wangi.
"Aku jadi semakin tidak mengerti. Kau bentrok dengan Empat Setan Jagal, katanya
tidak ada masalah apa-apa. Sekarang kau bilang mengambil kitab dari mereka.
Kitab apa yang telah kau curi" Kenapa kau lakukan itu, Pandan?" tanya Rangga
memberondong. "Jadi.., kau benar-benar tidak tahu?" Pandan Wangi malah jadi bengong. Sungguh
tidak diduga sama sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti ini tidak tahu-menahu
dengan kitab yang sekarang sedang dihebohkan dan dicari-cari oleh tokoh-tokoh
rimba persilatan.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu apa yang baru
saja dibicarakan Pandan Wangi. Dia menolong gadis ini dari Empat Setan Jagal,
karena tidak tega melihat seorang gadis dikeroyok empat orang. Sama sekali dia
tidak tahu siapa gadis ini sebelumnya. Apalagi terhadap Empat Setan Jagal.
Tapi nama Empat Setan Jagal pernah didengarnya. Dan baru kali ini ah Rangga
dapat bertemu dengan mereka, bahkan langsung bentrok. Semua yang dilakukannya
hanya karena terdorong oleh jiwa
kependekarannya saja.
"Aku tidak percaya kau tidak menginginkan kitab Itu," dengus Pandan Wangi.
"Sejak tadi kau sebut-sebut kitab. Kitab apa sih sebenarnya?" kesal juga Rangga
jadinya. "Kitab Naga Sewu!" tiba-tiba terdengar suara keras menyahuti pertanyaan Rangga.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi melompat berdiri. Suara itu
terdengar jelas dan keras, menggema ke seluruh penjuru mata angin. Dari suara
yang tanpa wujud s udah dapat dipastikan kalau dia tentu memiliki kepandaian
yang cukup tinggi.
"Siapa kau" Tunjukkan dirirnu!" teriak Rangga disertai pengerahan tenaga dalam.
Suara Rangga terdengar keras, menyebar ke seluruh arah. Kipas Maut kaget
mendengar suara Rangga. Telinganya jadi sakit seketika.
Cepat-cepat dikerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri
dan ke kanan. "Ha ha ha...!" terdengar tawa menggelegar me-mekakkan telinga.
Pandan Wangi segera mencabut ilmu pembeda gerak dan
pemecah suara. Segera dikerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi suara tawa yang
disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Huh!" Rangga mendengus.
Seketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mendorong ke samping sambil
membalikkan tubuhnya. Seleret sinar biru memancar dari telapak tangannya yang
terbuka. Sinar itu cepat menghantam se-bongkah batu besar. Suara ledakan keras
terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu.
Sebuah bayangan hitam berkelebat dari balik batu yang hancur berkeping-keping.
Dan kini di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap
mengenakan pakaian serba hitam yang ketat. Laki-laki berwajah penuh berewok
tebal, dengan mata merah bagai mata elang.
"Iblis Mata Elang...," desis Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga hanya tersenyum kecil.
Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar kehebatan Iblis Mata Elang. Otaknya yang
cerdas sudah bisa menerka maksud kemunculan tokoh hitam yang sakti ini. Sudah
tentu ada hubungannya dengan Kitab Naga Sewu, dan pasti mencari Pandan Wangi.
"Kipas Maut! Serahkan Kitab Naga Sewu padaku!" kata Iblis Mata Elang. Suaranya
keras menggelegar bagai guntur.
"Kitab itu tidak ada padaku!" sahut Pandan Wangi ketus.
"Bedebah! Kau jangan coba-coba membodohi aku, Kipas Maut!"
"Terserah, aku berkata yang sebenarnya. Kitab itu masih ada di Bukit Setan."
"Semua orang sudah tahu kalau Kitab Naga Sewu sudah hilang dari Bukit Setan. Dan
kau yang telah mengambilnya, Kipas Maut.
Sekarang serahkan kitab itu padaku."
"Kalau pun ada, tidak mungkin aku berikan padamu."
"Setan alas! Kau pikir aku tidak bisa memaksamu, heh?"
"Kalau kau bisa, silakan!" tantang Pandan Wangi. "Phuih! Abiyasa saja tidak bisa
mengalahkanku, apalagi kau!"
"Jangan sebut-sebut nama guruku!" bentak Pandan Wangi geram.
Wajahnya segera memerah karena gurunya yang sudah lama
meninggal, dihina begitu saja.
"Cepat serahkan kitab itu, jangan sampai aku mengirimmu ke neraka menyusul
gurumu!" "Tidak!" sentak Pandan Wangi.
"Huh! Rupanya kau sama seperti si tua bangka Abiyasa. Keras kepala!" rungut
Iblis Mata Elang geram.
Selesai berucap, Iblis Mata Elang cepat melompat menerjang Kipas Maut. Dia tidak
memandang sebelah mata pun pada Pendekar Rajawali Sakti yang berada di samping
Kipas Maut. Perhariannya tertumpah penuh pada gadis cantik yang membuat darahnya
mendidih karena menahan geram.
"Hiyaaa...!" "
Wut! Pandan Wangi langsung mencabut kipas baja saktinya dan
mengebutkannya bagai kilat. Iblis Mata Elang bergegas menarik tangannya
menghindari kibasan kipas yang ujung-ujungnya runcing tajam. Dengan cepat
dimiringkan tubuhnya, dan kaki kanan melayang deras ke arah dada Kipas Maut.
Kipas Maut melangkah mundur serindak dengan cepat, kemudian kipasnya dikebutkan
ke arah kaki lawan. Sungguh luar biasa gerakan Iblis Mata Elang ini. Tanpa
menarik kakinya lagi, dia berputar cepat menyampok daerah pinggang.
Pandan Wangi terkejut dengan gerakan kaki itu. Buru-buru
dibaringkan dirinya ke tanah, dan segera melayangkan tendangan mautnya, membalas
serangan dalam posisi masih tergeletak di tanah.
"Uts!" Iblis Mata Elang melompat mundur.
Pandan Wangi cepat melompat bangun ketika serangan
balasannya gagal. Dia bersiap-siap lagi dengan kipas terbuka di depan dada.
Iblis Mata Elang mendengus karena serangannya gagal total.
Sungguh tidak disangka serangan geledeknya bisa gagal. Kali ini dia lidak lagi
memandang enteng pada Kipas Maut. Matanya sempat
melirik Pendekar
Rajawali Sakti yang hanya
berdiri tenang memperhatikan dari jarak sekitar dua batang tombak.
"Kipas Maut, serahkan saja kitab itu padaku. Malas aku menjatuhkan tangan
padamu," kata Iblis Mata Elang sambil melirik Rangga.
"Kau takut, Iblis Mata Elang?" ejek Pandan Wangi.
"He he he..., aku hanya tidak ingin kau mati di depan kekasihmu,"
Iblis Mata Elang terkekeh.
Pandan Wangi melirik Rangga. Hatinya memaki liabis-habisan melihat Rangga hanya
tersenyum-senyum saja.
"Phuih! Kau pikir aku senang jadi kekasihmu" Huh! Belum apa-apa sudah besar
kepala!" dengus Pandan Wangi dalam hati.
"Mana kitab itu, Kipas Maut?"
"Sudah kukatakan, Kitab Naga Sewu tidak ada padaku!" dengus Pandan Wangi kesal.
"Keras kepala! Kau benar-benar cari mampus!" deqgus Iblis Mata Elang geram.
Cring! Iblis Mata Elang mengeluarkan senjata berupa rantai panjang berujung tiga mata
tombak yang cukup besar ukurannya. Langsung di putar-putar senjata itu di atas
kepala. Angin menderu-deru keras bagai hendak terjadi badai topan. Pandan Wangi
menggeser kakinya ke samping, dan bersiap-siap menghadapi lawan yang sudah siap
dengan senjata mautnya.
"Yeaaah!"
Iblis Mata Elang menyentakkan rantai bajanya. Seketika ujung rantai berujung
tiga batang tombak mendesing, meluncur deras ke arah Kipas Maut. Tiga kepala
tombak itu berpisah, masing-masing mengincar kepala, dada dan kaki.
Pandan Wangi segera bersalto ke belakang menghindari teriangan senjata mata
Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak berantai itu. Baru saja kakinya menjejak tanah, senjata itu sudah kembali
meluruk ke arahnya. Pandan Wangi kembali melenting sambil mengebutkan kipas baja
saktinya. Tring! Satu ujung mata tombak berantai terpental kena sambar kipas baja. Namun yang
Iainnya terus meluncur mengancam jiwa Kipas Maut.
Mau tidak mau gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Dan
bergulingan menghindari sambaran dua mata tombak berantai.
Bergegas gadis itu melenting bangun.
Cring! Iblis Mata Elang menggentak senjatanya. Seketika itu juga tiga mata rantai
bersatu rapat. Sekali lagi disentak dan diputar-putar rantai
baja itu. Rantai yang kini ujungnya menyatu, meliuk-liuk bagai ular melunc ur
deras menyerang Kipas Maut.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti yang memperhatikan sejak tadi telah dapat
menduga dan mengukur kemampuan Pandan Wangi.
Dalam keadaan baru sembuh dari luka, bukannya tidak mustahil gadis ini hanya
dapat bertahan dalam lima jurus lagi. Kalau pun gadis itu tidak terluka, untuk
mengalahkan Iblis Mata Elang juga sangat sulit.
"Akh!" tiba-tiba Pandan Wangi memekik tertahan.
Ujung rantai yang' semula menyatu, tiba-tiba mengembang dan satu mata tombak
menghantam kipas di tangan Pandan Wangi hingga terpental. Sedangkan yang satunya
lagi membelit tangan gadis itu.
Pandan Wangi hanya mampu menangkap satu mata tombak Iainnya yang mengarah ke
dada. "Ha ha ha...!" Iblis Mata Elang tertawa melihat lawannya berkutat mencoba
membebaskan tangannya dari belitan rantai
"Ikh!" Pandan Wangi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya berusaha melepaskan
belitan rantai di tongan kanannya.
Jari-jari tangan Iblis Mata Elang bergerak cepat tiba-tiba saja satu rantai yang
terpisah bergerak bagai ular membelit pinggang ramping Pandan Wangi.
"Akh!" Pandan Wangi menjerit keras.
Belitan rantai pada tangan dan pinggang Pandan Wangi dirasakan makin kuat saja.
Rasa sakit dan nyeri mulai merasuki pinggang dan tangan kanannya. Kalau hal ini
terus berlangsung, tulang-tulangnya akan remuk. Pandan Wangi mulai bergetar
tubuhnya. Dia menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri sambil terus mengempos
tenaga dalamnya. Rasa nyeri makin terasa.
"Hiyaaa!"
Tiba-tiba Rangga memekik keras. Mendadak saja tubuhnya
melayang deras dengan tangan mengembang ke samping. Tangan kanannya bergerak
cepat mengibas ke arah tangan Iblis Mata Elang.
Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang mendadak ini membuat Iblis Mata Elang
terkejut. "Ih!"
Buru-buru dilepaskan pegangan pada rantainya. Kibasan tangan Pendekar Rajawali
Sakti itu mengenai tempat kosong. Iblis Mata Elang menendang ujung rantai dan
menangkapnya dengan cepat sekali.
Langsung dibetotnya senjata itu. Belitan pada tubuh Pandan Wangi terlepas saat
itu juga. "Setan!" dengus Iblis Mata Elang geram.
"Dia bukan lawanmu, Iblis Mata Elang," tenang suara Rangga berkata.
"Phuih!"
*** Pandan Wangi terkulai lemas. Tulang-tulang pinggang dan tangan kanannya seperti
terasa remuk. Se-dikit-sedikit dia beringsut menggeser tubuhnya menjauh dari
jangkauan Iblis Mata Elang. Apa yang dilakukan gadis itu tidak lepas dari
perhatian Rangga. Dengan sudut ekor matanya, Pendekar Rajawali Sakti terus
memperhatikan Pandan Wangi sampai ke tempat yang dirasa aman.
Rangga mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah, kemudian berdiri tegak
bertolak pinggang. Sikapnya sengaja menantang Iblis Mata Elang. Ekor matanya
kembali melirik Pandan Wangi yang kini sedang memulihkan tenaganya.
"Minggir kau, anak muda. Aku tidak ada urusan denganmu!"
bentak Iblis Mata Elang keras.
"Urusanmu dengan Pandan Wangi, juga jadi urusanku," tenang sekali Rangga
menyahut. "Monyet beledek! Kau juga sudah bosan hidup rupanya!"
"Kita lihat, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka."
"Kurang ajar, hiyaaa...!"
Iblis Mata Elang langsung menggentak rantai bajanya. Tiga ujung rantai yang
berbentuk seperti mata tombak meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Manis sekali Rangga berkelit menghindari serangan cepat itu. Iblis Mata Elang
terus menyerang dengan gesit.
Mata rantainya kadang-kadang menyatu cepat, dan kadang-kadang pula berpencar ke
tubuh l.iwan. Yang dihadapi Iblis Mata Elang sekarang, bukanlah Kipas Maut yang tingkat
ilmunya jauh di bawahnya. Kini yang dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti.
tentu saja serangan-serangan maut yang dilancarkannya dapat dielakkan dengan
mudah. Hal ini membuat Iblis Mata Elang makin bernafsu untuk menyudahi
pertarungan. Serangan-serangannya makin hebat dan tajam.
Dalam waktu sebentar saja sepuluh jurus sudah berlalu. Namun sejauh itu Rangga
masih berkelit, dan belum membalas serangan-serangan lawan. Hingga pada saat
ujung mata rantai menyatu, meluruk ke arah dada, dengan cepat tangan Pendekar
Rajawali Sakti menangkapnya. "Hih!" Iblis Mata Hang mengerahkan tenaga dalam, dalam usahanya menarik
rantainya kembali.
Sedikit pun rantai itu tidak bergeming dari genggaman tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tiba-tiba
Rangga menghentakkan tangannya, lalu melenting ke udara. Secepat kilat
dilepaskan rantai baja itu. Tubuh Rangga dengan ringan berlari di atas rantai
yang membentang kaku.
"Akh!"
Iblis Mata Elang terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Pendekar Rajawali Sakti
melayang mengancam kepalanya. Buru-buru dibanring tubuhnya ke tanah. Belum juga
hilang rasa terkejut Iblis Mata Elang, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti
meluruk turun. Kakinya bergerak berputar cepat mengarah lawan, Rangga
mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Iblis Mata Elang bergulingan menghindari serangan yang cepat bagai kilat itu.
Rangga mendarat di tanah, dan kakinya menginjak rantai. Cepat sekali kakikakinya bergerak menyusur rantai mendekati Iblis Mata Elang yang sedang
melenting bangun.
"Hiya...!" Rangga berteriak nyaring.
Dengan gesit didorong tangannya ke depan, dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga tidak ada lagi
kesempatan bagi Iblis Mata Elang untuk berkelit. Terpaksa disambutnya serangan
itu dengan mengadu tangan.
Prak!"Aaahk!" Iblis Mata Elang menjerit keras.
Tubuhnya langsung terpental jauh ke belakang. Keras sekali jatuh bergulingan di
tanah. Iblis Mata Elang bukanlah tokoh kosong. Buktinya dengan
cepat bisa menguasai diri kembali. Bergegas dia mempersiapkan diri menghadapi serangan yang berikutnya.
Tring! Iblis Mata Elang mengeluarkan dua senjata yang berbentuk trisula.
Kakinya bergeak cepat menyusur tanah sambil mengibas-ngibaskan senjata
kembarnya. Pertarungan kembali berlangsung sengit dan dalam jarak dekat Dua
senjata trisula berkelebatan memancarkan sinar keperakan mengurung tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Mendapat serangan yang datang bertubi-tubi dan gencar,
Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali'.
Seketika itu juga dengan gerakan cepat berkelit ke sana kemari dan berlompatan
ke segala arah. Tubuh Rangga seperti berjumlah seribu, mengurung Iblis Mata
Elang. "Setan!" umpat Iblis Mata Elang kebingungan.
Setiap serangan yang dilancarkan oleh Iblis Mata Elang selalu mengenai tempat
yang kosong. Bahkan beberapa kali hampir kena sambaran tangan atau pun kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Mendadak Iblis Mata Hang mengadu senjatanya sendiri.
Seketika itu juga direntangkan kedua tangannya. Lalu tubuhnya berputar dengan
cepat bagai baling-baling. Tubuh Iblis Mata Elang lenyap dari pandangan mata. Yang
terlihat hanya gumpalan warna perak dan hitam jadi satu, berputar cepat seperti
gasing. Rangga jadi mengerutkan keningnya. Sedikit pun dia tidak bisa masuk, bahkan
harus hati-hati. Bisa-bisa ujung senjata Iblis Mata Elang merobek tubuhnya.
Segera dia melompat keluar dari arena
pertarungan. '"Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang
pusakanya. Lalu tangan kirinya menggosok mata pedang itu dan berhenti tepat di
tengah-tengah. Sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti, segera
menggumpal dan meluruk ke arah Iblis Mata Elang yang terus berputar seperti
gasing. Cras..., eras! Sinar biru berkilau menggulung tubuh yang berlapis sinar
keperakan. Dalam sekejap saja sinar keperakan hilang dari pandangan mata. Kini
yang nampak hanya sosok tubuh berpakaian hitam terbalut sinar biru berkilau.
Iblis Mata Elang menyatukan senjatanya di depan dada."Aaakh...!"
Belum sempat Iblis Mata Elang mengeluarkan ajiannya, mendadak tubuhnya bergetar
dan menjerit-jerit keras, lalu ambruk ke tanah meregang nyawa bagai ayam
disembelih. Dua senjata tris ula telah terlepas dari pegangan tangannya. Rangga
memas ukkan kembali pedang ke dalam warangkanya setelah tubuh Iblis Mata Elang
tidak bergerak lagi.
"Hhh..!" Rangga menarik napas panjang.
Perlahan-lahan tubuh Iblis Mata Elang berubah jadi gumpalan tepung hitam. Dua
senjata trisula yang terkena ilmu 'Cakra Buana Sukma' juga ikut hancur jadi abu.
Rangga menoleh ke arah Pandan Wangi setelah seluruh tubuh Iblis Mata Elang jadi
tepung. Pandan Wangi melangkah menghampiri pendekar muda yang tampan itu.
"Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?" tanya Rangga setelah gadis itu berdiri di
depannya. "Tidak," sahut Pandan Wangi menggeleng.
"Masih tetap berkeras menghadapi sendiri?"
Pandan Wangi menatap Rangga sebentar, lalu kepalanya
menggeleng pelan. Wajahnya tertunduk, seperti menyesali sikapnya yang tidak
bersahabat pada pendekar muda ini.
"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
Pandan Wangi tidak menjawab, juga tidak mem-bantah. Di kuti saja langkah
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan ke arah
matahari terbenam tanpa membuka suara sedikit pun. Gadis itu sesekali mencuri
pandang pada wajah tampan di sampingnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya
saat ini. Yang jelas, setiap kali melirik wajah tampan itu, mendadak dadanya
jadi berdebar keras.
*** 3 Dalam perjalanan, Pandan Wangi dengan gamblang menceritakan tentang Kitab Naga
Sewu yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sementara Rangga
mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Gadis itu tidak ragu-ragu kalau Pendekar Rajawali Sakti ini berpihak
padanya. Tidak ada yang ditutupi mengenai Kitab Naga Sewu.
"Jadi, siapa sebenarnya yang berhak memiliki kitab itu?" tanya Rangga.
"Tidak seorang pun," sahut Pandan Wangi.
"Tidak seorang pun?" Rangga mengernyitkan alisnya. "Apakah pertapa Eyang
Sokalima tidak mempunyai murid?"
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya.
"Lantas, kenapa kau terlibat?"
"Aku sendiri tidak tahu. Seminggu yang lalu, aku menolong seorang saudagar yang
dirampok di tengah hutan Bukit Setan oleh Empat Setan Jagal. Dan setelah
kejacfian itu, tersebar kabar kalau Kitab Naga Sewu ada di tanganku. Katanya
kucuri dari Bukit Setan."
"Apa kitab itu sebelumnya memang ada di sana?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah.
Mungkin juga iya! Soalnya Eyang Sokalima menghabiskan sisa hidupnya di puncak bukit itu, sebelum Empat Setan Jagal
menemparinya."
"Kau pernah ke puncak Bukit Setan?"
"Pernah, ketika melarikan diri dari kejaran Empat Setan Jagal. Dua hari aku
sembunyi di sana."
'Pantas, kau dituduh telah menemukan Kitab Naga Sewu," gumam Rangga.
'Tapi, aku tidak pernah melihat kitab itu!" sangkal Pandan Wangi.
"Aku percaya, tapi sekarang keadaanmu sangat terancam. Kabar tentang Kitab Naga
Sewu yang ada di tanganmu sudah tersebar luas.
Rasanya sulit untuk mengelak lagi. Mau tidak mau harus kau hadapi semuanya."
"Huh, hanya karena satu kitab saja, jadi saling bunuh!" rungut Pandan Wangi.
"Itulah dunia persilatan. Semua orang seperti sudah gila akan ilmu kesaktian.
Tidak peduli nyawa akan melayang, selalu memburu yang lebih tinggi."
"Kau sendiri, apakah tidak tertarik memiliki Kitab Naga Sewu?"
"Aku tidak pernah tertarik dengan sesuatu yang belum pasti kebenarannya."
"Ilmu Naga Sewu sangat dahsyat. Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya.
Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang jahat, dunia persilatan pasti akan hanc
ur. Lebih-lebih kalau yang menguasai ilmu itu memiliki Pedang Naga Geni! Dapat
dipastikan akan merajai seluruh rimba persilatan."
"Pedang Naga Geni...?"
"lya, pedang sakti milik Eyang Sokalima."
"Siapa orang yang memiliki pedang itu?"
"Aku tidak tahu. Kabarnya pedang itu juga lenyap bersama kitabnya. Makanya
tokoh-tokoh rimba persilatan jadi saling bunuh hanya untuk menguasai benda-benda
pusaka itu."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah mengerti
sepenuhnya mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini tengah
dicari-cari dan diributkan. Sementara langkah mereka terhenti karena di depan
telah menghadang sebuah sungai besar, lagi deras. Rangga mengedarkan
pandangannya. Tidak ada satu rakit pun di tepi sungai ini.
Mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap lurus ke sebuah
perkampungan di seberang sungai yang ke-lihatannya ramai. Beberapa perahu
tertambat di sana. Sungai ini hanya bagian tengahnya saja yang mengalir deras,
sedangkan tepiannya kelihatan tenang.
"Sungai apa ini namanya?" tanya Rangga yang baru pertama kali menginjakkan kaki
di tempat ini. "Sungai Banyu Biru," sahut Pandan Wangi.
"Desa itu?"
"Desa Banyu Biru. Bukit Setan di belakang desa itu," Pandan Wangi menjelaskan
sambil menunjuk ke satu arah.
Rangga menatap sebuah bukit yang melatar belakangi desa Banyu Biru. Sebuah bukit
yang tidak terlalu tinggi, namun kelihatan lebat seperti tidak pernah terjamah
oleh manusia. "Sampai kapan di sini terus?" tanya Pandan Wangi kesal melihat Rangga berdiri
mematung saja. "Aku sedang memikirkan rencana untuk mengalihkan perhatian mereka," kata Rangga
sambil duduk bersandar di bawah pohon.
"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi tetap berdiri.
"Kau mau terus-menerus jadi buronan" Dikejar ke sana kemari seperti tikus?"
Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga malah balik ber-tanya.
Pandan Wangi tidak mengerti arah pembicaraan Pendekar
Rajawali Sakti ini. Dia lalu mendekat dan duduk di depan Rangga. Sinar matanya
memancarkan rasa ingin tahu akan rencana di kepala Rangga.
Rangga mengemukakan rencana itu. Pandan Wangi mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya berseri-seri
mendengar rencana pendekar muda dan tampan ini. Entah kenapa, mendadak saja dia
jadi mengagumi pemuda yang tidak hanya digdaya, tapi juga memiliki otak yang
cerdas. "Kakang, kau akan ke mana?" tanya Pandan Wa?ngi melihat Rangga beranjak pergi.
'Tunggu saja di sini sampai aku kembali," sahut Rangga sambil memungut kulit
kayu yang cukup lebar.
Dilemparkannya kulit kayu itu ke sungai, lalu dengan ringan tubuhnya melayang.
Saat mendarat di ntas kulit kayu yang terapung, Pendekar Rajawali Sakti Itu
meluncur di atas bagai anak panah lepas dari busurnya.
Pandan Wangi memandang hingga terbengong-U'ngong. Tidak
sembarang orang bisa meluncur di atas air hanya dengan menggunakan selembar
kulit kayu yang besarnya tidak lebih dari telapak tangan.
Suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang sempurna sekali.
Pandan Wangi yang sudah percaya penuh pada pendekar muda itu, mencari tempat
yang enak dan terlindung untuk menunggu. Dia membaringkan tubuhnya di balik
semak-semak yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Rangga...," bibirnya menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti.
Gila! Kenapa jadi memikirkan dia" Rungut Pandan Wangi dalam hati. Tapi..., ah!
Wajah itu, rasanya sulit untuk dihilangkan dari bayang-bayang mata. Pandan Wangi
gelisah sendiri menunggu kedatangan pendekar muda yang tampan. Pendekar yang
tanpa disadari telah merenggut sekeping hatinya. Tidak! Aku tidak boleh jatuh
cinta padanya. Aku ti.... Uh!
Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya,
mencoba mengusir bayang-bayang Rangga yang terus-menerus bermain-main di pelupuk
matanya. Semakin dicoba melupakan dan mengusir wajah Rangga yang terus menggoda,
semakin jelas tergambar di depan matanya. Pandan Wangi tersiksa sendiri. Begitu
tersiksanya, sehingga jadi lelah dan tertidur dalam belaian angin yang lembut.
*** Rangga menikmati keramaian desa di tepi sungai Banyu Biru.
Sepertinya tidak pantas kalau disebut desa. Banyak perahu-perahu besar dan
kecil, bersandar dan singgah di desa yang ramai ini.
Keramaiannya tidak kalah dengan sebuah kota. Rumah-rumah
penduduk juga indah dan besar. Tidak terlalu sulit bagi Rangga mencari rumah
makan. Di desa Banyu Biru ini banyak tersebar rumah makan
dan penginapan. Pasarnya pun cukup ramai. Berbagai barang diperjual-belikan di
sini. Rangga menghampiri seorang laki-laki tua yang menjajakan
pakaian. Macam-macam warna dan ukuran pakaian ada di sini. Pakaian laki-laki,
perempuan dan anak-anak terhampar. Laki-laki tua pedagang pakaian itu
terbungkuk-bungkuk menerima kedatangan Rangga.
"Mau beli pakaian, Den?" penjaja tua itu menawarkan.
"Iya, Pak. Tolong ambilkan pakaian perempuan," sahut Rangga.
"Perempuan?" pedagang tua itu mengerutkan keningnya.
"Iya, kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Tapi rasanya kok aneh. Laki-laki beli pakaian perempuan."
"Buat istri saya, Pak."
"O..., memangnya istri Aden ada di mana?" "Di rumah, jaga anak,"
jawab Rangga asal saja. Pedagang tua itu menggeleng-gelengkan kepala? nya.
"Kira-kira sebesar apa istri Aden?" tanyanya.
"Hm...," Rangga celingukan. "Nah, itu! Persis seperti perempuan yang pakai baju
kuning itu."
Pedagang tua itu mengarahkan pandangannya ke tempat yang di tunjuk Rangga.
Kepalanya kembali terangguk angguk dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Pasti istri Aden cantik," pujinya tulus. Betapa tidak" Wanita yang ditunjuk
Rangga seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah mempesona.
"Kalau ada, warnanya putih," kata Rangga.
"Ada..., ada."
Pedagang tua itu mengambil seperangkat pakaian yang di nginkan Rangga, kemudian
membungkusnya dengan rapi. Rangga menerima dan membayar sesuai dengan harga yang
disebutkan pedagang tua itu.
Setelah mengucapkan terima kasih, Rangga berlalu dari situ. Matanya masih sempat
melirik wanita berbaju kuning yang masih duduk di kedai makan yang cukup
terbuka. Rangga mengernyitkan alisnya ketika melihat ikat pinggang wanita itu berwarna
kuning emas, dan tampaknya terbuat dari logam yang lunak dan tipis. Tanpa
disadari, kakinya terayun ke kedai itu. Rangga duduk agak jauh di depan wanita
yang menarik hatinya. Dipesannya seguci arak pada pelayan yang datang
menghampiri. "Tuan kenal dengan wanita itu?" tiba-tiba pelayan berbisik setelah meletakkan
seguci arak di meja Rangga.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut. Sungguh mati tidak disadarinya
kalau pelayan itu sejak tadi memperhatikan dirinya. Rangga
malu sendiri ketika kepergok memandangi seorang wanita cantik yang belum
dikenalnya sama sekali.
"Dia juga pendatang seperti Tuan," kata pelayan Itu lagi.
"Kau kenal?" tanya Rangga.
"Semua orang di desa Banyu Biru kenal dia," sahut pelayan itu.
Rangga mengernyitkan keningnya.
"Pelayan...!" tiba-tiba wanita berbaju kuning itu berseru.
"Oh! Sebentar. Sebentar, Tuan," kata pelayan itu.
Bergegas dihampirinya wanita cantik yang berpakaian kuning itu.
Rangga memperhatikan saja sambil menuang arak dan meminumnya.
Pelayan itu mengangguk-angguk dan terbungkuk-bungkuk di depan perempuan itu yang
bicara setengah berbisik.
Kening Rangga makin berkerut ketika pelayan tadi datang kembali padanya. Dia
terbungkuk-bungkuk di depan Rangga. Sekilas dari sudut ekor matanya, Rangga
menangkap kalau wanita itu juga tengah memandang ke arahnya.
"Tuan diminta ke sana," kata pelayan itu menunjuk wanita tadi.
"Aku...?" Rangga seperti tidak percaya.
Wanita itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Rangga membalas dengan
anggukan kecil.
"Terima kasih," ucap Rangga sambil bangkit berdiri. Diletakkannya tiga keping
uang perak di atas meja.
Pelayan itu membeliak melihat tiga keping uang |k"rak di atas meja. Jelas
terlalu banyak untuk membayar satu guci arak. Tiga keping uang perak bisa untuk
membayar sepuluh guci arak manis. Rangga tidak mempedulikan pelayan yang bengong
seperti kejatuhan bulan, dan terus melangkah menghampiri wanita cantik berbaju
kuning. "Anda memanggilku, Nona?" tanya Rangga sopan.
"Duduklah," sahut wanita itu. Suaranya lembut dan halus.
"Terima kasih."
Rangga duduk di depan wanita cantik itu. Hanya sebuah meja kecil bersegi empat
yang membatasi. Wanita itu menuangkan arak ke dalam gelas perak, dan menyodorkan
pada Rangga. Bibirnya menyunggingkan senyum manis.
"Maaf, aku tidak biasa minum dengan orang yang belum kukenal,"
kata Rangga tanpa sedikit pun bermaksud menyinggung.
"Aku Klenting Kuning, dan kau?"
"Rangga."
"Tidak keberatan minum bersamaku, 'kan?"
"Sama sekali tidak."
Rangga meraih gelas perak yang telah terisi arak berbau harum.
Hanya sedikit pendekar muda itu meneguk arak harum dan manis. Dia
masih belum mengerti dengan sikap Klenting Kuning.
"Kau pendatang di desa Banyu Biru ini?" tanya Klenting Kuning.
"Iya," sahut Rangga singkat.
"Akhhsakhir ini banyak sekali pendatang ke sini," Klenting Kuning bergumam.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia baru sadar kalau di sekitar
tempat ini memang banyak orang hilir-mudik. Di antara para penduduk, terlihat
orang-orang yang kelihatannya pendatang.
Dilihat dari cara berpakaiannya serta senjata yang disandang, dapat diketahui
kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Jelas kalau desa ini telah
dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Kau juga ingin ke Bukit Setan itu?" tanya Klenting Kuning.
"Bukit Setan..."!" Rangga sampai ternganga saking terkejutnya.
"Kenapa" Kau tampak terkejut sekali mendengar Bukit Setan."
"Ah, tidak. Aku hanya heran saja, untuk apa mereka datang ke sana?"
"Mereka memiliki kepandaian cukup tinggi. Tentu saja tujuannya mencari Kitab
Naga Sewu dan Pedang Naga Geni."
"Kenapa harus ke Bukit Setan?" tanya Rangga. Dia makin tertarik ingin mengetahui
lebih banyak lagi.
"Tampaknya kau tidak tahu sama sekali tentang Bukit Setan,"
gumam Klenting Kuning.
"Aku ke sini hanya kebetulan saja singgah," Rangga menjelaskan.
"Kau seorang pendekar?" tanya Klenting Kuning seolah menyelidik.
"Bukan," sahut Rangga.
"Kenapa membawa pedang?"
"Hanya untuk jaga diri."
Klenting Kuning tersenyum penuh arti dan sulit dilebak. Rangga sendiri masih
belum tahu maks ud wanita cantik ini mengundangnya minum. Benaknya masih
bertanya-tanya. Dia jadi teringat akan Pandan Wangi serta rencananya untuk
Bidadari Delapan Samudra 1 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Tangan Hitam Elang Perak 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama