Ceritasilat Novel Online

Misteri Naga Laut 1

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut Bagian 1


MISTERI NAGA LAUT Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Misteri Naga Laut
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Clark! Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, tak lama
setelah cahaya kilat membelah langit hitam oleh gulungan awan tebal. Di
bawahnya, permukaan Laut
Utara tampak bergolak bagai diamuk ribuan tangan-tangan raksasa. Rintik-rintik air hujan pun mulai terlihat turun dari
gumpalan awan hitam yang
menutupi seluruh langit Pesisir Pantai Laut Utara ini. Dari gulungan ombak yang
setinggi gunung,
terlihat sebuah perahu kecil bercadik tengah berusaha menepi. Hanya seorang
laki-laki setengah baya saja yang ada di dalamnya. Dan tampaknya, dia begitu
takut melihat laut yang bergelombang besar, bagai hendak menenggelamkan perahu
kecilnya. Sedikit demi sedikit perahu bercadik itu mulai menepi.
Laki-laki setengah baya yang bertelanjang dada
itu, bergegas melompat keluar begitu perahunya
sudah menepi. Dengan sekuat tenaga, perahunya
berusaha ditarik. Kemudian, talinya diikatkan di
tonggak kayu. Sebentar dipandanginya langit yang
hitam sambil menyeka keringat di leher dengan
punggung tangan.
"Huh! Bakal ada kejadian apa ini...?" keluhnya berat.
Setelah meyakinkan kalau perahunya sudah
aman, bergegas tubuhnya berputar dan melangkah
pergi meninggalkan pesisir pantai. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa
langkah, mendadak saja
terdengar ledakan keras menggelegar yang mengejutkan, bersamaan dengan percikan cahaya kilat di angkasa. Laki-laki setengah
baya itu cepat memutar tubuhnya berbalik kembali.
"Oh..."!"
Kedua bola mata laki-laki itu jadi terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Seluruh tubuhnya
langsung mengejang kaku. Hampir penglihatannya
sendiri tidak dipercaya. Ternyata di tengah laut
yang bergelombang sangat besar terlihat seekor ular naga raksasa berwarna hijau
dan memancarkan
cahaya terang menyilaukan mata. Binatang yang
hidup di alam dongeng itu ternyata benar-benar
ada, dan kini muncul di permukaan laut!
"Dewata Yang Agung.... Apa itu...?" desahnya dengan suara bergetar.
Namun pada saat itu juga, kilat kembali menyambar dari angkasa. Dan begitu cahayanya lenyap, ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya
terang itu pun langsung lenyap. Sementara, lakilaki setengah baya yang otot tubuhnya bertonjolan itu masih tetap berdiri
terpaku memandang ke tengah laut
"Oh...."
Kembali dia melenguh panjang, saat langit yang
semula kelam terselimut awan hitam mendadak jadi
terang dan sangat cerah. Bahkan sedikit pun tak
ada awan yang terlihat menggantung di angkasa
sana. Hujan rintik-rintik pun ikut lenyap. Semua
yang terjadi saat itu benar-benar lenyap, begitu ular naga raksasa berwarna
hijau bercahaya di tengah
laut menghilang.
"Mimpikah aku..." Benarkah itu Naga Laut?"
Laki-laki setengah baya itu jadi bertanya-tanya
sendiri di dalam hati. Rasanya saat itu tengah bermimpi saja. Tapi saat tubuhnya
diputar, perkampungan nelayan yang ada di Pesisir Pantai Utara ini kelihatan sunyi sekali.
Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat. Semua rumah dalam keadaan tertutup,
baik pintu maupun jendelanya! Dan keadaan
perkampungan itu benar-benar seperti baru dilanda
badai. "Hal ini harus cepat-cepat kulaporkan pada Ki Amus," ujar laki-laki setengah
baya itu berbicara pada diri sendiri. "Dia kepala desa. Jadi, harus tahu
peristiwa ini lebih dulu daripada yang lain."
Bergegas laki-laki setengah baya itu melangkah dengan ayunan kaki lebar-lebar. Nafasnya langsung memburu, begitu
memasuki perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini. Dia terus berjalan
dengan langkah lebar dan cepat, walaupun tarikan nafasnya semakin tersengal.
*** "Kau tidak bergurau, Paman Ardaga?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Amus.
"Aku berani sumpah, Ki," sahut Paman Ardaga bersungguh-sungguh.
"Hm...."
Ki Amus terdiam sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang. Pandangannya terus tertuju ke arah laut, dari beranda depan rumahnya. Sedangkan laki-laki setengah baya yang
tidak mengenakan baju dan tadi dipanggil Paman
Ardaga itu terus memandangi wajah laki-laki tua
yang menjadi kepala desa nelayan di perkampungan
Pesisir Pantai Utara ini.
"Aku berani sumpah, Ki. Aku melihat sendiri.
Naga Laut itu benar-benar muncul saat badai tadi,"
tegas Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan
kepala desa itu.
"Naga Laut hanya ada dalam dongeng, Paman," kata Ki Amus, masih belum percaya terhadap cerita laki-laki setengah baya
itu. 'Tapi aku benar-benar melihatnya, Ki."
"Di mana kau melihatnya?" tanya Ki Amus.
"Di pantai, Ki. Aku buru-buru pulang, karena badai itu datangnya tiba-tiba
sekali. Perahu sudah kutambatkan waktu Naga Laut muncul. Ini benar-benar
terjadi, Ki. Aku tidak bohong. Apalagi bermimpi," Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.
Ki Amus terdiam dengan pandangan terus ke
tengah laut Begitu indah dan cerah, seakan-akan
tidak pernah terjadi apa-apa. Dan riak gelombang
laut pun terlihat sangat tenang. Tapi, tak ada seorang nelayan pun yang pergi
menangkap ikan. Semua penduduk desa ini masih terlalu sibuk membenahi kerusakan rumah, akibat badai yang tadi
datang tiba-tiba dan sangat aneh.
"Bagaimana keadaan perahu mu?" tanya Ki Amus membelokkan pembicaraan, seakanakan tidak ingin terus membicarakan kemunculan Naga
Laut "Rusak akibat badai tadi," sahut Paman Ardaga polos. "Tapi tidak terlalu
berat." "Sebaiknya, kau pulang saja dulu. Anak dan is-trimu pasti sudah gelisah menunggu
di rumah," ka-ta Ki Amus sambil menepuk pundak warga desanya
itu. "Baik, Ki. Aku permisi," ucap Paman Ardaga.
Ki Amus hanya mengangguk saja, dan masih
tetap berdiri di depan beranda rumahnya sambil
memandang ke tengah laut. Sementara Paman Ardaga sudah pergi meninggalkannya, kembali ke rumahnya yang ada di ujung jalan perkampungan nelayan ini. "Hm...," Ki Amus menggumam panjang dan perlahan.
Dan sambil menghembuskan napas panjang,
kepala desa itu memutar tubuhnya berbatik. Lalu,
kakinya melangkah memasuki beranda depan rumahnya yang cukup luas. Dan baru saja tubuhnya
dihenyakkan di kursi, dari dalam rumah muncul
seorang gadis muda yang cukup cantik. Bajunya
agak ketat dan berwarna merah muda. Sehingga,
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
Ki Amus hanya melirik sedikit saja. Pandangannya kembali tertuju ke arah laut yang kelihatan tenang dan biru. Sedangkan
gadis cantik itu mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya.
Hanya sebuah meja bundar dengan alas terbuat dari batu pualam putih yang membatasi mereka.
Kembali Ki Amus melirik sedikit pada gadis cantik itu. "Ayah percaya pada cerita
Paman Ardaga ta-di...?" Terdengar pelan suara gadis Itu, seakan-akan tidak ingin
didengar orang lain.
"Kau mendengar semuanya tadi, Layung?" Ki Amus malah balik bertanya.
Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil
Layung itu hanya mengangguk sedikit. Dan nama
gadis itu adalah Layung Sari. Pandangannya juga
diarahkan lurus ke tengah laut yang kelihatan begi-tu tenang, seakan-akan tidak
pernah terjadi apaapa. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama
berpaling, lalu saling bertatapan.
"Aku ke dalam dulu, Ayah," pamit Layung seraya bangkit berdiri.
Ki Amus tidak menjawab, dan hanya memandangi anak gadisnya yang berlalu masuk kembali ke dalam rumah berukuran cukup
besar ini. Laki-laki
tua yang juga kepala desa itu tetap duduk di kursinya, dan kembali memandang ke tengah laut. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya sekarang ini.
Tapi, pandangan matanya tidak terlepas dari birunya riak gelombang Laut Utara di depan sana.
"Ki...! Ki Amus...!"
"Heh..."! Ada apa lagi ini...?"
Ki Amus langsung terlompat bangkit berdiri,
saat telinganya mendengar orang berteriak-teriak
memanggilnya. Saat kepalanya berpaling ke kiri,
tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun tengah berlari-lari menghampirinya.
Bergegas Ki Amus melangkah, keluar dari dalam beranda depan rumahnya. Sebentar kemudian, mereka bertemu di tengah-tengah halaman yang sedikit
berpasir. "Ada apa, Ki Adong?" tanya Ki Amus.
"Aduh.... Tolong, Ki. Tolong aku...," tersedak suara laki-laki tua yang ternyata
bernama Ki Adong.
"Tenang.... Ada apa" Ceritakanlah yang tenang," pinta Ki Amus.
Ki Adong menarik nafasnya panjang-panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat beberapa kali.
Dicobanya untuk menenangkan diri, namun nafasnya masih saja tersengal. Sedangkan Ki Amus menunggu dengan sabar, sampai laki-laki tua warga
desanya itu bisa tenang.
"Katakan, ada apa...?" ujar Ki Amus dengan suara lembut.
"Anakku, Ki. Anak gadisku...," suara Ki Adong masih terdengar tersendat.
"Maksudmu, si...?"
"Puspita."
"Iya, ada apa dengan Puspita?"
"Puspita hilang, Ki. Tolong aku, Ki. Aku sudah
mencari ke mana-mana, tapi Puspita benar-benar
hilang." "Kapan kejadiannya?"
"Waktu badai, Ki."
Ki Amus langsung terdiam. Sedangkan Ki
Adong terus merengek meminta pertolongan kepala
desanya untuk mencari anak gadisnya yang hilang,
tepat di saat badai berlangsung dan melanda perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.
"Tolong aku, Ki. Puspita anakku satu-satunya.
Tidak ada lagi yang mengurus ku, kalau Puspita tidak ada," rengek Ki Adong
memohon. "Baik, baik. Tenanglah. Aku akan menolong,"
bujuk Ki Amus mencoba menenangkan.
"Terima kasih, Ki. Memang tidak ada lagi yang
bisa menolongku selain kau, Ki. Tolong temukan
Puspita." Ki Amus mencoba tersenyum, tapi terasa kalau
seperti dipaksakan. Ditepuknya sedikit pundak laki-laki tua yang mengenakan baju
warna hitam dari
kain yang sudah lusuh itu.
"Pulanglah dulu. Aku akan mengerahkan
orang-orangku untuk mencari Puspita," kata Ki Amus.
"Baik, Ki. Terima kasih," ucap Ki Adong seraya membungkukkan tubuh sedikit.
"Pulanglah."
Ki Adong segera berlalu tergesa-gesa. Sedangkan Ki Amus masih tetap berdiri mematung
memandangi. Dia masih tetap berdiri di tengahtengah halaman rumahnya, walaupun Ki Adong sudah tidak terlihat lagi.
"Hhh...!"
*** Kemunculan Naga Laut cepat sekali tersebar ke
seluruh desa nelayan di Pesisir Pantai Utara. Semua orang membicarakan tentang
munculnya Naga Laut. Bahkan langsung saja menghubungkannya
dengan hilangnya Puspita, anak satu-satunya Ki
Adong itu. Berbagai macam pikiran dan dugaan terlontar.
Dan kebanyakan dugaan mereka sulit diterima akal
pikiran sehat Sementara, Paman Ardaga yang melihat langsung kemunculan Naga Laut itu jadi merasa sangat cemas. Terlebih lagi,
hilangnya Puspita bersamaan dengan munculnya Naga Laut.
Dan kecemasan Paman Ardaga memang beralasan, karena juga memiliki anak gadis yang sudah menginjak usia delapan belas
tahun. Kecemasannya
semakin menjadi-jadi, bila mendengar kemunculan
Naga Laut akan membawa korban seorang gadis
muda. Hal ini sudah cepat tersebar luas dan tentu saja membuat seluruh penduduk
desa nelayan di
Pesisir Pantai Utara menjadi cemas. Terlebih lagi, bagi yang memiliki anak
gadis. "Sudah malam, Ayah. Kenapa belum juga ti

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dur...?" "Oh..."!"
Paman Ardaga tersentak kaget, dan langsung
terbangun dari lamunannya. Cepat wajahnya berpaling, lalu tersenyum saat melihat seraut wajah
manis yang dekat di belakangnya. Duduknya di
geser, untuk memberi tempat pada gadis cantik
yang berdiri di ambang pintu. Gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat
itu duduk di samping
laki-laki setengah baya ini.
"Kau sendiri, kenapa belum juga tidur, Andari?"
tanya Paman Ardaga sambil mencoba memberi senyum. "Aku tidak bisa tidur," sahut gadis manis yang bernama Andari, juga tersenyum.
Andari anak gadis Paman Ardaga. Dia seorang
gadis manis, walaupun bentuk tubuhnya sedikit
gemuk Dan sebenarnya, Paman Ardaga masih
mempunyai dua anak lagi, tapi berjenis kelamin la-ki-laki. Sedangkan Andari
adalah anak bungsu Paman Ardaga. "Ayah...," terdengar ragu-ragu suara Andari.
"Ada apa?" tanya Paman Ardaga seraya berpaling menatap wajah manis anak
gadisnya, "Benar Ayah melihat Naga Laut itu?" Tanya Andari masih dengan suara terdengar
seperti takut- takut. "Hhh...!"
Paman Ardaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dihembuskan nafasnya panjangpanjang, dan terasa berat. Memang sejak siang tadi, dia tidak menceritakan
tentang Naga Laut yang dilihatnya saat terjadi badai pada anak-anaknya.
Dan Paman Ardaga sendiri sebenarnya sedang
kebingungan, karena apa yang dilihatnya siang tadi hanya diceritakan pada Ki
Amus saja. Tapi, ternyata munculnya Naga Laut itu sudah cepat sekali tersebar.
Paman Ardaga sendiri jadi tidak mengerti, dari mana berita tentang Naga Laut
cepat tersebar. Padahal hal itu tidak diceritakannya pada siapa pun juga,
kecuali pada Ki Amus saja. Pada ketiga anaknya pun juga tidak diceritakannya.
Dan sekarang, anak gadisnya menanyakan tentang Naga Laut itu.
"Dari mana kau tahu kalau aku yang melihat
Naga Laut itu, Andari?" Paman Ardaga malah balik bertanya.
"Semua orang mengatakan kalau Ayah melihat
langsung Naga Laut waktu badai berlangsung," sahut Andari agak manja nada
suaranya. "Hhh...!"
Kembali Paman Ardaga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih guci dari tanah liat, lalu meneguk arak yang ada di dalamnya.
Pandangannya langsung tertuju ke tengah laut yang kini tampak hitam.
Deburan ombak terdengar begitu keras, menghantam karang dari pantai. Begitu akrab di telinga penduduk desa ini.
"Kau percaya pada omongan mereka?" Paman Ardaga kembali bertanya.
Dan kini, Andari tidak bisa menjawab. Hanya
dipandanginya saja kedua bola mata ayahnya yang
tidak berkedip, memandang lurus ke tengah laut
Seakan-akan, gadis itu sedang mencari kesungguhan dari cerita orang-orang tentang Naga Laut yang didengarnya. Dia ingin
kepastian, apakah kata mereka benar kalau ayahnya melihat naga raksasa itu
muncul. "Waktu itu, Ayah memang tidak ada di rumah.
Dan Ayah baru pulang setelah badai berhenti," kata Andari perlahan. "Benar Ayah
melihat Naga Laut itu...?"
"Benar," sahut Paman Ardaga agak mendesah perlahan suaranya.
"Jadi...?" suara Andari terputus.
Paman Ardaga memalingkan wajah, dan memandangi wajah anak gadisnya dalam-dalam. Kemudian direngkuhnya Andari ke dalam pelukan penuh kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya.
Andari jadi manja. Seketika kepalanya ditelusupkan ke dalam pelukan laki-laki
setengah baya ini. Beberapa saat lamanya mereka baru melepaskan pelukan, dan sama-sama memandang ke tengah laut
yang hitam dan penuh cahaya, yang dipantulkan
cahaya bulan dan bintang bagai taburan mutiara.
"Ayah memang melihat Naga Laut itu, Andari.
Tapi ayah tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, kecuali pada Ki Amus,"
jelas Paman Ardaga.
"Kalau begitu, mereka mendengarnya dari Ki
Amus, Ayah?" tanya Andari ingin memastikan.
"Entalah...," sahut Paman Ardaga mendesah.
"Mungkin benar, mungkin juga tidak."
"Atau barang kali ada orang lain yang juga melihatnya, Ayah," duga Andari.
"Mungkin," desah Paman Ardaga.
"Lalu hilangnya Puspita, apa ada hubungannya dengan Naga Laut itu, Ayah?" Tanya Andari lagi. "Ayah tidak dapat
memastikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak," sahut Paman Ardaga mencoba jawab
bijaksana. Saat itu, Andari terdiam. Dan Paman Ardaga
juga tidak mengeluarkan suara lagi. Mereka samasama terdiam membisu untuk beberapa saat. Perlahan Andari berdiri dari duduknya di balai bambu
yang ada di depan rumahnya.
"Aku pergi tidur dulu, Ayah," pamit Andari.
Paman Ardaga hanya menganggukkan kepala
saja sedikit Sedangkan Andari sudah menghilang di dalam rumah yang hanya terbuat
dari belahan pa-pan dan bilik anyaman bambu ini. Sementara, Paman Ardaga masih tetap duduk di atas balai bambu
beralaskan tikar daun pandan. Pandangannya masih tidak beralih dari tengah laut yang menghitam pekat, dan bertaburkan cahaya
bagai lautan mutiara. "Hhh! Dari mana mereka bisa tahu...?" desah Paman Ardaga
bertanya pada diri sendiri.
*** 2 Wrrr! Angin begitu kencang menghantam seluruh Pesisir Pantai Laut Utara ini, seakan-akan ingin
menghancurkan desa yang ada di sepanjang tepiannya. Debu-debu pasir berputaran, beterbangan
ke angkasa. Para nelayan sibuk mengamankan perahunya dari hantaman ombak yang tinggi dan ganas. Matahari yang semula bersinar sangat terik,
mendadak saja lenyap tersaput awan hitam yang
datang bergulung-gulung cepat sekali. Entah, datang dari mana. Dalam waktu sekejap saja, seluruh Pesisir Pantai Utara ini
diliputi kegelapan bagai malam yang teramat pekat. Keadaan yang begitu cepat
berubah, membuat seluruh penduduk desa nelayan
itu jadi kalang kabut.
Mereka berlarian kembali ke rumah masingmasing dan meninggalkan perahunya yang sudah
tertambat aman di pantai. Beberapa buah perahu
yang tidak sempat diamankan, sudah hanyut terbawa arus gelombang yang begitu ganas. Bahkan
ada beberapa perahu yang sudah hancur dihantam
gelombang yang sangat besar. Sebentar saja, di
pantai itu tidak terlihat orang lagi. Mereka semua berlindung dari amukan alam
yang ganas ini di dalam rumah masing-masing. Hanya seorang laki-laki
tua saja yang masih terlihat berada di depan rumahnya. Dialah Ki Amus, kepala desa nelayan ini.
"Hm.... Ini bukan badai biasa," gumam Ki Amus perlahan. "Aku merasakan adanya
kekuatan lain. Hm...." Saat itu.... Clraaak! Glaaar...! Begitu cepat kilat membersit, terdengar ledakan
bagai hendak membelah angkasa yang gelap tersaput awan hitam. Peristiwa alam itu terjadi, tepat di tengah laut yang
bergelombang setinggi gunung.
Dan pada saat itu terlihat sebuah bentuk tengah
menggeliat di tengah laut. Sebuah bentuk seekor
ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau, menyilaukan
mata. "Oh..."!"
Ki Amus jadi terkejut setengah mati. Begitu
terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang
beberapa langkah. Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan mulutnya ternganga lebar. Pandangannya
sedikit pun tidak berkedip, ke arah ular naga raksasa berwarna hijau yang
memancarkan cahaya terang berkilau di tengah laut.
"Oh! Benarkah yang kulihat ini...?"
Ki Amus merasakan seperti sedang bermimpi.
Sungguh tak disangka, ular naga itu benar-benar
ada. Bahkan sekarang muncul, dan terlihat di tengah laut Warnanya hijau, memancarkan cahaya
terang berkilau. Dan kini, tampak binatang itu bergerak ke arah pantai. Dari
lubang hidungnya, api menyembur disertai asap kehijauan yang mengepul,
membumbung ke angkasa.
Clark! Glarrr...! Tepat di saat Naga Laut itu berada di garis pantai, kilat menyambar dari angkasa, diikuti ledakan guntur yang menggelegar dan
menggetarkan jantung. Dan pada saat itu, Naga Laut sudah menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan lenyapnya
ular naga raksasa, alam pun mendadak jadi cerah
kembali. Awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa, seketika lenyap tak berbekas sedikit pun juga.
Langit kembali cerah. Cahaya matahari sudah bersinar terang menghangatkan bumi. Angin pun kini
tidak lagi bertiup kencang. Bahkan laut pun tampak tenang, dengan lidah-lidah
ombak yang lembut me-nebur batu-batu karang di Pesisir Pantai Utara.
Sementara, Ki Amus masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Matanya masih memandang lurus ke tengah laut. Rasanya, seakan-akan
seperti tengah bermimpi. Begitu cepat keadaan alam ini berubah. Laki-laki tua
berjubah panjang berwarna putih itu baru tersentak sadar, saat mendengar batuk
kecil dari belakang. Cepat tubuhnya diputar. Matanya langsung menyipit begitu
melihat Paman Ardaga tahu-tahu sudah ada di depan rumahnya. "Kau percaya pada cerita ku, Ki" Naga Laut itu memang ada," kata Paman
Ardaga seraya melangkah mendekati kepala desa itu.
"Entahlah.... Rasanya aku tadi bermimpi," sahut Ki Amus mendesah pelan.
"Kemunculan Naga Laut itu pasti akan membawa bencana bagi desa ini, Ki," kata Paman Ardaga. Ki Amus tidak langsung
menanggapi, dan
hanya diam saja. Seakan-akan perasaannya masih
diliputi suasana yang begitu mencekam dan sukar
sekali diterima akal sehat. Kenyataan itu benarbenar belum bisa diterima akalnya. Bahkan memang sukar dipahami. Naga Laut yang selama ini
selalu menjadi dongeng anak-anak kecil sebelum tidur, kini benar-benar menjadi
kenyataan dengan
kemunculannya. Apakah dugaan Paman Ardaga
menjadi kenyataan, kalau kemunculan Naga Laut
itu akan membawa bencana.
*** Satu pekan sudah perkampungan desa nelayan di Pesisir Pantai Utara dilanda ketakutan atas munculnya Naga Laut.
Ketakutan mereka memang
sangat beralasan. Betapa tidak" Setiap kali Naga
Laut muncul, selalu saja ada seorang gadis yang
masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan
belas tahun hilang.
Bahkan sudah banyak orang yang melihat
munculnya Naga Laut itu. Dan belakangan ini, kemunculannya selalu menimbulkan kerusakan. Malah, sudah beberapa orang anak buah Ki Amus yang
tewas, karena mencoba mengusir Naga Laut dari
desa nelayan ini. Ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya
terang di seluruh tubuhnya itu kelihatannya semakin ganas saja. Dan
kemunculannya pun tidak lagi hanya sekejap. Dia
baru pergi setelah mendapatkan seorang gadis, dan melahap satu atau dua orang
laki-laki yang dite-muinya.
Siang itu, udara di sekitar Pesisir Pantai Utara
terasa sangat panas, tidak seperti hari-hari biasanya. Matahari bersinar sangat terik, seakanakan ingin membakar semua yang ada di Pesisir
Pantai Utara itu. Sedikit pun tak terasa adanya angin berhembus. Dan laut pun
kelihatan begitu tenang dengan riak gelombangnya yang kecil menerpa
pasir putih di pantai.
Saat ini, tak ada seorang nelayan pun yang turun ke laut. Mereka semua dilanda ketakutan, karena sudah empat perahu hilang di tengah laut. Ke-gairahan mereka pun lenyap.
Wajah-wajah muram
terlihat jelas dari mereka yang kini hanya duduk-duduk di beranda depan rumah,
sambil memper- baiki jala yang rusak.
Di tengah-tengah kemurungan wajah desa nelayan itu, terlihat seorang pemuda tengah menunggang kuda putih menyusuri tepian pantai. Pakaiannya yang berwarna biru terang, kelihatan mewah
membungkus tubuhnya yang tegap dan berotot Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Wajahnya
pun sangat tampan, bagai seorang putra mahkota.
Sementara semua penduduk desa nelayan itu
hanya bisa memandangi. Namun pemuda itu kelihatan tidak peduli, dan terus saja mengendalikan kudanya agar berjalan perlahanlahan memasuki perkampungan di Pesisir Pantai Utara ini. Langkah kudanya baru dihentikan, setelah
sampai di depan
rumah Ki Amus. "Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, pemuda tampan berpakaian mewah itu melompat turun dari
punggung kudanya. Sebentar dia berdiri memandangi rumah Ki Amus yang kelihatan sepi, seperti
sudah ditinggalkan penghuninya. Beberapa pendu

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duk yang ada didepan rumahnya, terus memperhatikan dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.
Setelah memperhatikan keadaan rumah itu beberapa saat, pemuda itu baru mengayunkan kakinya memasuki halaman yang hanya dipagari belahan bambu. Sementara, kuda putih tunggangannya mengikuti dari belakang. Pemuda itu terus melangkah perlahan-lahan, namun ayunannya terlihat
mantap. Pandangannya tertuju lurus, sedikit pun
tak berkedip ke arah pintu rumah yang tertutup rapat. Dan begitu ayunan kakinya
berhenti tepat di ujung bawah anak tangga beranda, pintu rumah itu
bergerak terbuka. Kemudian, dari dalam muncul Ki
Amus. "Kau kepala desa di sini...?" Tanya pemuda itu langsung tanpa memberi hormat
sedikit pun. "Benar," sahut Ki Amus agak terkejut "Na-ma ku Ki Amus."
Laki-laki tua kepala desa itu memandangi pemuda yang berdiri tegak didepan beranda rumahnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Perlahan kakinya melangkah
mendekati, dan berhenti
pada undakan kedua. Sedangkan pemuda tampan
yang mengenakan baju kain sutra halus berwarna
biru terang, tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam, menusuk langsung ke
bola mata Ki Amus.
"Maaf, siapa Kisanak ini" Dan ada keperluan
apa denganku?" Tanya Ki Amus. Sikap dan suaranya terdengar sopan.
"Namaku Raden Banyu Samodra. Aku diutus
Ayahanda Prabu Naga Pendaka untuk menemui seseorang di sini." Sahut pemuda itu memperkenalkan diri, dan langsung mengatakan tujuannya datang ke desa nelayan di Pesisir Pantai
Utara ini. "Oh...! Kau seorang pangeran," desah Ki Amus tersedak, tidak menyangka kalau
pemuda tampan yang datang menemuinya ternyata seorang putra
raja. "Tapi..., dari kerajaan mana Raden datang?"
"Kerajaan Karang Emas."
"Lalu, siapa yang akan Raden temui?" Tanya Ki Amus lagi.
"Raja Karang Setra."
"Maksud Raden..., Gusti Prabu Rangga Pari
Permadi...?" Ki Amus ingin menegaskan.
"Benar," tegas Raden Banyu Samodra.
"Wilayah ini memang masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Tapi, ibu kotanya masih jauh da-ri sini. Paling tidak
memerlukan waktu satu pekan kalau ingin menempuh ke sana," jelas Ki Amus.
"Aku tidak akan ke ibu kota. Apa lagi, datang ke istana. Aku ingin menemuinya di
sini," kata Raden Banyu Samodra, tetap tegas nada suaranya.
"Maaf, Raden. Apakah Raden sudah ada janji
untuk bertemu di sini?" Tanya Ki Amus, ingin tahu
"Tidak. Tapi aku harus menunggu di sini. Dan itu perintah langsung dari Ayahanda
Prabu Naga Pendaka." Ki Amus mengangguk-anggukkan kepala. Sekali lagi, diperhatikannya pemuda yang mengaku
putra raja itu dalam-dalam. Dan memang, kalau dilihat dari perawakan serta pakaian yang dikenakan, orang pasti akan menyangka
kalau dia seorang putra mahkota. Atau paling tidak, seorang putra bang-sawan.
Tapi, sikapnya yang angkuh membuat Ki Amus
jadi ragu-ragu. Bahkan memandangnya dengan sinar mata curiga. Namun yang dipandangi seperti tidak menangkap kecurigaan lakilaki tua kepala desa itu. Bahkan malah melangkah menaiki undakan
tangga beranda depan rumah kepala desa itu, lalu
berhenti dengan jarak satu undakan di depan Ki
Amus. "Boleh aku beristirahat di sini sambil menung-gu Raja Karang Setra...?" Pinta
Raden Banyu Samodra dengan sikap masih kelihatan angkuh.
"Jika Raden bersedia istirahat di gubuk reyot ini, aku sama sekali tidak
berkeberatan," sahut Ki Amus tidak bisa menolak permintaan itu.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Raden
Banyu Samodra melangkah melewati kepala desa
itu. Dan dengan enak sekali tubuhnya dihempaskan
di kursi rotan. Kedua kakinya diangkat, lalu ditum-pangkan ke atas meja. Kedua
bola mata Ki Amus
jadi terbeliak melihat sikap kurang ajar pemuda itu.
Dia benar-benar tidak memandang hormat sedikit
pun sebagai tamu.
"Kau tidak memiliki pelayan di sini, Orang
Tua?" terasa angkuh sekali nada suara Raden
Banyu Samodra. "Untuk apa?" Ki Amus malah balik bertanya ke-tus. Laki-laki setengah baya itu
mulai tidak senang terhadap sikap pemuda tampan yang seperti tak
punya tata krama. Sedikit pun tidak memandang
hormat pada pemilik rumah, sehingga membuat
jengkel. Tapi Ki Amus masih berusaha mengendalikan din, mengingat pemuda yang tengah dihadapinya adalah seorang pangeran dan sedang menunggu Raja Karang Setra. Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Karang Setra.
Dan itu yang membuat Ki Amus terpaksa harus bisa menahan diri
melihat sikap angkuh dan ketidak-sopanan pemuda
asing ini. "Aku ingin kau melayaniku dengan baik, Ki.
Juga seluruh penduduk desa ini harus mematuhi
semua yang kukatakan. Termasuk kau...!" kata Raden Banyu Samodra seraya menuding
ke wajah Ki Amus dengan jari telunjuknya.
"Edan...!" desis Ki Amus langsung memerah wajahnya.
Terdengar keras gemeretuk gerahamnya menahan kemarahan. Harga diri Ki Amus merasa telah
terinjak dalam sesaat saja. Seluruh tubuh laki-laki tua itu jadi menggeletar
menahan kemarahan yang
sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Sedangkan pemuda yang mengaku pangeran itu sikapnya
semakin membuat mual perut Ki Amus.
"Aku akan tinggal di sini sampai Raja Karang Setra muncul. Dan kau, serta semua
penduduk de-sa ini, harus tunduk pada perintahku!" tegas Raden Banyu Samodra.
"Keparat..! Iblis dari mana kau ini, heh?" geram Ki Amus tidak dapat lagi
menahan kejengkelannya.
Tapi Raden Banyu Samodra hanya tersenyum
saja melihat kejengkelan laki-laki tua kepala desa itu. Bahkan sikapnya tampak
mengejek dan meremehkan. Sedangkan wajah Ki Amus sudah kelihatan semakin memerah, menahan kemarahan yang
meluap-luap tak tertahankan lagi.
"Kuharap, kau segera angkat kaki dari desa ini,
Anak Muda," desis Ki Amus dingin, tidak memandang kepangeranan pemuda itu.
"Sudah kuduga, kau pasti akan menjadi orang
pertama yang membangkang, Ki," sambut Raden
Banyu Samodra datar.
"Pergi kau, cepaaat...!" bentak Ki Amus langsung.
Raden Banyu Samodra masih tetap tersenyum
meremehkan. Perlahan dia bangkit berdiri. Dan tiba-tiga saja....
"Hih!"
Slap! *** "Hap!"
Ki Amus cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba sekali Raden Banyu Samodra mengebutkan tangan kirinya ke
depan. Saat itu ju-ga, terlihat sebuah benda bercahaya kehijauan meluncur deras hendak menyambar tubuh laki-laki
tua kepala desa ini.
Tapi gerakan menghindar yang dilakukan Ki
Amus memang cepat dan manis sekali. Hingga,
benda bercahaya kehijauan itu hanya lewat sedikit di samping tubuhnya. Namun
hatinya jadi tersentak kaget setengah mati, karena pada saat benda bercahaya
kehijauan tadi lewat di samping tubuhnya,
saat itu juga terasakan adanya hembusan hawa
yang sangat panas dan menyengat. Cepat-cepat Ki
Amus melompat, keluar dari beranda depan rumahnya. Dua kali dia berputaran di udara, sebelum
menjejakkan kakinya di halaman dengan manis dan
ringan sekali. Glarrr! "Heh..."!"
Ki Amus langsung berpaling dan terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar dari arah
belakang. Dan kedua bola
matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat pohon beringin besar yang
tumbuh didepan rumahnya mendadak saja hancur berkeping-keping setelah terlanda benda bercahaya kehijauan yang dilepaskan Raden Banyu Samodra tadi.
"Gila...!" desis Ki Amus masih dihinggapi rasa terkejut yang amat sangat
"Mudah sekali aku melumatkan tubuhmu
hingga jadi debu, kalau kau tidak mau menuruti perintahku, Orang Tua," terasa
sangat dingin nada suara Raden Banyu Samodra.
"Phuih! Siapa pun dan dari mana pun kau berasal, sekarang juga angkat kaki dari desa ini!" dengus Ki Amus sengit.
"Kau akan menyesali sikapmu, Ki," Raden Banyu Samodra memperingatkan.
"Sekali lagi kuperingatkan, pergi!" sentak Ki Amus lantang.
Tapi Raden Samodra hanya diam saja. Bahkan
bibirnya menyunggingkan senyuman yang sangat
tipis. Dia masih berdiri didepan kursi yang tadi di-dudukinya. Perlahan kakinya
terayun melangkah ke
depan dua tindak. Dan begitu berhenti, cepat bagai kilat, tangan kirinya kembali
mengebut ke depan.
Slap! "Hap!"
Ki Amus langsung saja melenting ke udara, tapi
tak ada satu pun benda yang meluncur dari telapak tangan kiri yang menjulur ke
depan itu. Dan ini
membuat Ki Amus jadi tersedak. Cepat disadari kalau gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu
hanya tipuan belaka. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melesat cepat
bagai kilat menerjang Ki Amus yang masih berjumpalitan di udara.
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Ki Amus meluruk ke bawah,
menghindari terjangan kilat Raden Banyu Samodra.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah berpasir didepan rumahnya, tanpa diduga sama sekali Raden
Banyu Samodra cepat memutar tubuhnya. Saking
cepatnya, sehingga sukar sekali diikuti oleh mata biasa. Dan tahu-tahu, dia
sudah melepaskan satu
tendangan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada kepala desa itu.
"Hih!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk
berkelit menghindari tendangan keras menggeledek
itu. Maka cepat-cepat tangannya dikebutkan untuk
menangkisnya. Hingga tak pelak lagi....
Plak! "Akh...!"
Ki Amus memekik kecil agak tertahan. Bergegas dia melompat mundur beberapa langkah
sambil memegangi tangan kirinya yang tadi digunakan untuk menangkis. Namun belum juga melihat
tangannya yang langsung membiru, pemuda tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra
itu sudah melompat cepat sambil mencabut pedang
yang tergantung di pinggang.
Sret! Cring! "Hiyaaa...!"
"Hap!"
Ki Amus bergegas merundukkan kepala, menghindari tebasan pedang yang berkilat dan memancarkan cahaya hijau. Namun belum juga tubuhnya
bisa ditarik tegak kembali, Raden Banyu Samodra
langsung melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah perut. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Ki Amus tidak
sempat lagi berkelit menghindari. Hingga....
Des! "Ugkh...!" Ki Amus terlenguh pendek.
Tubuh tua berjubah putih panjang itu seketika
terpental deras sekali ke belakang. Dan luncurannya baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh tua dan
kurus itu. "Hiyaaat...!"
Raden Banyu Samodra kembali melompat hendak menyerang laki-laki tua kepala desa itu lagi.
Maka satu pukulan yang teramat keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi pun mendarat di
dada laki-laki tua ini. Akibatnya, Ki Amus terpekik cukup keras. Semua penduduk
desa nelayan yang
mendengar pekikan itu kontan keluar dari dalam
rumah masing-masing. Dan mereka langsung berhamburan ke tempat ini. Sebentar saja, sekeliling halaman depan rumah kepala
desa itu sudah dipadati orang yang baru keluar dari dalam rumahnya.
"Katakan pada mereka, kalau sekarang aku
yang berkuasa di desa ini, Ki Amus," kata Raden Banyu Samodra dingin.
"Phuih! Kau tidak akan bisa merebut desa ini begitu saja, Anak Setan! Langkahi
dulu mayat ka-mi!" sambut Ki Amus lantang.
"Hm. Rupanya kau keras kepala juga, Ki
Amus," desis Raden Banyu Samodra dingin.
Setelah berkata begitu, dengan kecepatan luar
biasa sekali pemuda tampan berpakaian mewah dari sutra halus itu melompat menerjang Ki Amus.
"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"
*** 3 Ki Amus cepat-cepat melesat, begitu Raden
Banyu Samodra melompat menerjang dengan kecepatan sangat tinggi. Maka serangan pemuda tampan berpakaian mewah dari bahan sutra halus itu


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengenai sasaran. Tapi kegagalan serangannya malah membuat Raden Banyu Samodra malah
tertawa terkekeh, seakan-akan senang mendapat
sambutan dari serangannya tadi.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga,
Orang Tua. Tapi tahanlah seranganku berikutnya.
Hiyaaat..!"
"Hait!"
Ki Amus segera memiringkan tubuhnya ke kiri,
begitu Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Namun, dia jadi
terkejut dan cepat-cepat melompat ke belakang beberapa langkah, saat merasakan adanya hembusan angin berhawa panas menyengat dari sambaran pukulan lawan.
"Hap!"
Kepala desa itu segera melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Sementara, Raden
Banyu Samodra sudah bersiap hendak menghadang
lagi. Jelas kalau dari sikapnya, pemuda itu meremehkan kemampuan kepala desa itu. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Bahkan pandangannya
sedikit pun tidak berkedip, lurus ke bola mata laki-laki tua yang berada sekitar
satu batang tombak di depannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden
Banyu Samodra tiba-tiba saja melesat tinggi ke udara. Dan bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras
dengan kedua tangan terkembang seperti sayap
seekor burung yang hendak menghantam mangsa.
Begitu cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Amus jadi terperangah sesat.
"Hap!"
Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Ki Amus melompat ke belakang. Maka serangan
pemuda tampan itu dapat dihindarinya. Dan tepat
di saat Raden Banyu Samodra baru menjejakkan
kaki di tanah, Ki Amus sudah memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Hampir saja tendangan Ki Amus menghantam
dada. Untungnya, Raden Banyu Samodra cepatcepat menarik tubuhnya ke kanan. Lalu sambil
menggeser kaki ke samping, tubuhnya meliuk seraya melepaskan satu sodokan cepat terarah ke perut laki-laki tua kepala desa itu.
"Hih!"
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk
menghindari sodokan tangan kiri lawan. Maka dengan cepat tangan kanannya dikebutkan untuk menangkis sodokan yang sangat cepat dan terarah ke
perutnya. Hingga tak pelak lagi, dua tangan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu
pun beradu tepat didepan perut Ki Amus.
Plak!" "Ikh...!"
Ki Amus jadi terpekik kecil, begitu tangannya
beradu dengan tangan Raden Banyu Samodra. Saat
itu juga tulang-tulang tangannya terasa bagaikan
remuk terhantam besi baja yang sangat keras. Lalu
cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa
langkah, sambil memegangi tangan kirinya dengan
tangan kanan. Namun pada saat itu, Raden Banyu
Samodra sudah memberi serangan kembali yang tidak kalah dahsyatnya.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Raden Banyu Samodra, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Des! "Akh...!"
Ki Amus terpekik agak tertahan, begitu dadanya terhantam pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras pukulan itu, sehingga membuat tubuh Ki
Amus terpental sejauh dua batang tombak.
Brak! Tubuh tua itu baru berhenti meluncur setelah
menghantam sebatang pohon yang cukup besar batangnya, hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaat...!"
Rupanya, Raden Banyu Samodra tidak sudi lagi
memberi kesempatan pada laki-laki tua kepala desa itu untuk dapat melihat
matahari esok pagi. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, seraya melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun belum juga pukulan mematikan itu
mendarat di tubuh Ki Amus, mendadak saja....
Slap! "Heh..."! Utfs...!"
*** Raden Banyu Samodra segera melenting dan
berputar ke belakang, begitu tiba-tiba saja terlihat
sebuah bayangan memapak arus serangannya terhadap Ki Amus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tampak seorang gadis berwajah cantik berbaju ketat warna merah muda sudah
berdiri menghadang di depan laki-laki tua kepala desa nelayan itu.
"Iblis pengecut...! Bisanya hanya menghadapi orang tua!" dengus gadis itu
mendesis geram.
"Hhh! Rupanya ada juga gadis cantik berkepandaian tinggi di desa ini," dengus Raden Banyu Samodra begitu rasa
terkejutnya hilang dari dadanya.
Saat itu, Ki Amus sudah bisa bangkit berdiri.
Lalu, dihampirinya gadis cantik berpakaian ketat
berwarna merah muda itu. Dia berdiri di sebelah
kanannya. Dan begitu melihat wajah cantik yang telah menyelamatkan nyawanya, Ki
Amus jadi kaget
setengah mati. "Layung...," desis Ki Amus perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Belum juga gadis cantik yang ternyata Layung
Sari bisa membuka mulutnya untuk menghilangkan
keterkejutan kepala desa itu, Raden Banyu Samodra segera bergerak menghampiri. Kakinya menggeser, menyusuri tanah berpasir putih di halaman
depan rumah Ki Amus yang sangat luas ini.
"Jangan banyak omong! Pergi kau dari sini,
atau kepalamu ingin pecah!" bentak Layung Sari langsung kasar.
"Wueh...! Galak juga kau rupanya, Cah Ayu...."
Saat itu, Ki Amus sudah berada di samping putrinya. Ditariknya tangan Layung Sari hingga gadis itu tertarik ke belakang dua
langkah. "Jangan layani dia, Layung. Biar aku saja yang mengusirnya," kata Ki Amus
setengah berbisik.
"Orang kurang ajar seperti dia harus diberi sedikit pelajaran, Ayah," suara
Layung Sari terdengar
agak menyentak.
"Sudah, kau minggir sana!" perintah Ki Amus.
Layung Sari hendak membantah, tapi Ki Amus
sudah melangkah ke depan sambil mendorong tubuhnya. Maka terpaksa gadis itu harus menarik
kakinya ke belakang beberapa langkah. Sementara,
Raden Banyu Samodra masih kelihatan tenang dengan sikap meremehkan. Sedikit pun dia tidak memandang sebelah mata laki-laki tua kepala desa itu.
Sedangkan Layung Sari sudah begitu gemas melihat
kecongkakan pemuda tampan yang baru pertama
kali ini dilihatnya.
"Sudahlah, Orang Tua. Jangan paksakan dirimu lagi. Kalau aku mau, dengan mudah batang lehermu bisa kupatahkan," kata Raden Banyu Samodra merendahkan.
"Anak Muda, kuperintahkan sekali lagi. Kalau kau tidak segera angkat kaki dari
sini, semua orang di desa ini bisa merancah mu jadi daging cincang!"
ancam Ki Amus tidak main-main lagi.
"He he he...!" tapi Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh.
Sama sekali pemuda itu tidak gentar mendengar ancaman Ki Amus tadi. Bahkan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati laki-laki tua
kepala desa itu. Sedikit matanya melirik Layung Sa-ri. Senyumnya terkembang
melihat kecantikan gadis itu. Tapi, Layung Sari Malah menyemburkan ludahnya dengan wajah memerah berang.
"Anak gadismu cantik sekali, Orang Tua. Rasanya dia pantas mendampingiku di istana," kata Raden Banyu Samodra sambil
memandang wajah
cantik Layung Sari.
"Keparat...!" desis Layung Sari, menggeram.
"Kata-katamu semakin kurang ajar saja, Anak
Muda. Jangan memaksaku bertindak lebih kasar
lagi padamu," desis Ki Amus langsung menggelegak amarahnya.
"He he he...," Raden Banyu Samodra hanya terkekeh saja mendengar kata-kata kasar
bernada ma- rah itu. Sedangkan Ki Amus sudah hampir tidak dapat
menahan kemarahannya melihat sikap kurang ajar
pemuda asing ini. Sementara, Layung Sari sudah
menggenggam gagang pedang di pinggang, walaupun masih belum mencabutnya. Wajah gadis itu kelihatan memerah menahan amarah yang sudah meluap-luap dalam dada.
Sementara, pertengkaran yang terjadi sudah
menarik perhatian seluruh penduduk di desa nelayan Pesisir-Pantai Utara. Sekitar halaman rumah Ki Amus yang cukup luas, sudah
hampir dipadati
penduduk desa. Mereka semua memandang geram
pada Raden Banyu Samodra. Tapi, yang dipandangi
malah tersenyum dan terkekeh kecil. Dia benarbenar tidak memandang sedikit pun, walau keadaannya bisa dikatakan sudah terkepung.
"Ki Amus! Aku akan mengadakan perjanjian
denganmu," kata Raden Banyu Samodra agak lantang suaranya. Sehingga, bisa
terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di sekitar halaman rumah
kepala desa ini.
"Hm, perjanjian apa?" Tanya Ki Amus agak sinis. "Aku akan menantang kau dan anak
gadismu. Tapi dengan satu perjanjian yang adil," kata Raden Banyu Samodra menawarkan.
Ki Amus berpaling sedikit ke belakang, memandang Layung Sari. Sedangkan gadis itu hanya
diam saja. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju lurus ke bola mata Raden
Samodra. Perlahan Ki
Amus kembali memalingkan wajahnya, dan menatap pemuda tampan yang berada sekitar enam
langkah lagi di depannya.
"Katakan, apa perjanjianmu?" dengus Ki Amus tegas.
"Kau dan anak gadismu boleh bertarung melawanku bersamaan. Tapi kalau kalian kalah, desa
ini ada di bawah kekuasaanku. Dan kalau aku kalah, desa ini aman dari gangguan siapa pun juga.
Aku akan menjaga desa ini, walaupun tidak tinggal di sini. Bagaimana...?"
Ki Amus tidak langsung menjawab. Kembali dipandangnya Layung Sari. Dan pandangannya beralih pada deretan orang tua yang ada di belakang gadis itu. Tatapan matanya
terpaku pada Paman Ardaga beberapa saat lamanya. Permintaan Raden
Banyu Samodra yang diucapkan lantang, terdengar
jelas sekali oleh semua orang yang ada di sekitar halaman rumah kepala desa itu.
Cukup lama juga Ki Amus mempertimbangkan
permintaan perjanjian Raden Banyu Samodra. Dan
tampaknya, semua orang menyerahkan segala keputusan padanya. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Tapi dari sorot mata, mereka mengharapkan Ki Amus dapat mengalahkan pemuda congkak itu. Walaupun, tanpa dibantu anak gadisnya
yang memang memiliki ilmu olah kanuragan yang
cukup tinggi. Malah, tak ada seorang pun pemuda
di desa ini yang berani mendekatinya.
"Bagaimana, Ki Amus...?" Tanya Raden Banyu Samodra tidak sabar lagi menunggu.
"Baik! Tantanganmu kuterima," sahut Ki Amus tegas.
"Ha ha ha...!" Raden Banyu Samodra tertawa terbahak-bahak.
Semua orang yang memadati halaman depan
rumah kepala desa itu segera menyingkir menjauh.
Sedangkan Layung Sari sudah berada sekitar lima
langkah di sebelah kanan ayahnya. Sementara, Raden Banyu Samodra menyunggingkan senyuman
yang sangat manis. Tapi di dalam pandangan semua orang, senyuman itu merupakan seringai iblis
yang akan menghancurkan desa di Pesisir Pantai
Utara ini. "Bersiaplah, Ki," ujar Raden Banyu Samodra kalem.
"Hm...," Ki Amus hanya menggumam kecil.
"Kau boleh menyerang lebih dulu, Cah Ayu,"
kata Raden Banyu Samodra sambil menatap Layung
Sari. "Phuih!" Layung Sari menyemburkan ludahnya sengit.
Kaki gadis itu langsung bergerak mantap, menyusuri tanah berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam tanpa berkedip sedikit pun, bagai hendak melahap bulat-bulat seluruh
tubuh pemuda tampan
dan congkak itu. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangkanya yang
tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!"
Bet! Sambil berteriak nyaring, Layung Sari melompat begitu cepat sambil membabatkan pedangnya
yang diarahkan langsung ke leher Raden Banyu
Samodra. Semua orang yang melihat, seketika itu
juga menahan nafasnya. Terlebih lagi, Raden Banyu Samodra seperti tidak berusaha
menghindari sabetan pedang yang berkilatan tajam itu.
"Hhh!"
Tapi begitu mata pedang yang berkilat hampir
saja memenggal batang lehernya, men-dadak saja
Raden Banyu Samodra menarik kepalanya ke bela

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kang dengan gerakan manis sekali. Dan begitu
ujung pedang Layung Sari lewat didepan tenggorokan, cepat sekali kedua telapak tangannya diayunkan. Hingga....
Tap! "Heh..."!"
Layung Sari jadi terkejut setengah mati, begitu
ujung mata pedangnya terjepit di antara kedua telapak tangan Raden Banyu
Samodra. Cepat seluruh
kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk menarik pedangnya dari jepitan kedua telapak tangan itu. Tapi sungguh sulit
dipercaya, ternyata pedangnya sedikit pun tidak bergeming dari jepitan kedua
telapak tangan pemuda itu.
"Yeaaah..."!"
Namun pada saat itu, Ki Amus sudah melompat cepat sekali sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Pukulannya langsung diarahkan ke kepala Raden
Banyu Samodra. "Utfs!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Raden Banyu Samodra bisa menghindari serangan laki-laki tua kepala desa itu. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua
tangannya yang menjepit
pedang dihentakkan ke samping, tepat terarah pada Ki Amus. Dan tindakan itu
tentu saja membuat Ki
Amus jadi terbeliak. Terlebih lagi Layung Sari.
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Ki Amus melenting ke udara,
menghindari terjangan pedang Layung Sari yang
sudah tidak terkendali lagi setelah dihentakkan Raden Banyu Samodra. Dan saat
itu juga, Layung Sari mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Cepat
pedangnya dikebutkan ke bawah, hingga lewat di
bawah telapak kaki Ki Amus.
"Hup!"
Layung Sari bergegas melompat ke belakang
beberapa tindak jauhnya. Sementara, Ki Amus berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di
tanah berpasir putih. Sedangkan Raden Banyu Samodra tampak berdiri tegak dengan kedua tangan tepat didepan dada.
Bibirnya terus menyunggingkan senyum.
"Kau serang dia dari bawah, Layung," kata Ki Amus agak berbisik perlahan.
Layung Sari cepat mengangguk. Dan....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Layung Sari kembali
melompat menghampiri Raden Banyu Samodra.
Dan begitu kakinya menjejak tanah berpasir putih, bagaikan kilat pedangnya
dikebutkan ke arah kaki
pemuda itu. "Hup!"
Raden Banyu Samodra cepat-cepat melompat
menghindari sabetan pedang yang mengarah ke kakinya. Tapi begitu berada di udara, Ki Amus sudah melesat cepat sambil
melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada.
"Hap!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali, ternyata
Raden Banyu Samodra tidak berusaha menghindari
sedikit pun juga. Bahkan memapak pukulan kepala
desa itu dengan menghentakkan kedua tangannya
ke depan. Hingga tak pelak lagi, dua tangan berkekuatan tenaga dalam tinggi
beradu. Plak! "Akh...!"
"Ayah...!" jerit Layung Sari terperanjat.
Cepat-cepat gadis itu menghambur, begitu melihat ayahnya terpental ke belakang dan jatuh ber-gulingan beberapa kali di
tanah. Seketika dari mulut orang tua itu keluar darah kental berwarna agak
kehitaman. Ki Amus berusaha bangkit berdiri, tapi
saat itu juga seluruh tubuhnya terasa jadi lemas
seperti tidak memiliki tulang-tulang lagi. Seluruh tenaganya seketika itu juga
seperti lenyap.
"Ayah...."
Layung Sari berusaha membantu ayahnya berdiri. Tapi, Ki Amus memang tidak sanggup lagi berdiri. Sedangkan darah semakin
banyak saja keluar
dari mulutnya. Hal ini tentu saja membuat Layung
Sari jadi kalang kabut. Seketika mulutnya mendesis geram begitu sorot matanya
tertumbuk pada Raden
Banyu Samodra yang tengah tertawa terkekeh, setelah berhasil menjatuhkan satu orang lawan.
"Setan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Layung Sari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Seperti seekor singa betina yang kehilangan
anaknya, langsung diserangnya pemuda tampan
yang baru sekali ini datang ke desa nelayan itu. Bagaikan kilat, Layung Sari
mengebutkan pedangnya
beberapa kali, bagai hendak merancah tubuh lawan. "Haiiit...!"
Tapi dengan gerakan-gerakan indah dan ringan
sekali, Raden Banyu Samodra berhasil menghindarinya. Dan tampaknya, dia seperti sengaja mempermainkan, sehingga membuat Layung Sari semakin dihinggapi perasaan marah. Semua serangannya satu pun tidak ada yang berhasil mengenai sasaran. "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Layung Sari semakin memperhebat seranganserangannya. Semua kebutan pedangnya mengandung penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi. Hing-ga setiap berkelebat, selalu
menimbulkan desiran
angin yang dapat membuat hati siapa saja yang
mendengarnya langsung ciut.
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Layung
Sari melompat ke atas. Pedangnya langsung dibabatkan ke arah kepala Raden Banyu Samodra dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hap!"
Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata Raden
Banyu Samodra bukannya berusaha berkelit menghindar. Bahkan malah ikut melompat dan tiba-tiba
sekali tangan kirinya mengibas cepat. Tahu-tahu, kini ujung pedang Layung Sari
sudah terjepit di antara dua jemari tangan pemuda itu.
"Ikh...!"
Layung Sari cepat berusaha mencabut pedangnya dari jepitan dua jemari tangan itu, tapi sedikit pun tidak bergeming.
Apalagi terlepas. Dan
pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras yang begitu cepat, hing-ga sukar diikuti pandangan
mata biasa. Begitu cepat pukulannya, sehingga Layung Sari
tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terlebih lagi, seluruh perhatiannya
tengah tertumpah pada pedangnya yang terjepit di antara dua jari tangan pemuda
itu. Hingga tak pelak lagi, pukulan Raden Banyu Samodra tepat menghantam
dadanya. Des! "Akh...!" Layung Sari terpekik agak tertahan.
Seketika, tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan pedangnya tidak dapat
lagi dipertahankan, hingga terlepas dari genggaman.
Gadis itu juga kontan jatuh terjerembab cukup keras. Dan pada saat hendak bangkit berdiri, tahutahu Raden Banyu Samodra sudah berdiri dekat.
Se-ketika ujung pedang di tangannya ditempelkan
tepat di tenggorokan Layung Sari.
"Kau kalah, Manis," ujar Raden Banyu Samodra sambil tersenyum menyeringai lebar.
"Phuih!" Layung Sari menyemburkan ludahnya. "He he he...!"
*** 4 Sambil tertawa terbahak-bahak, Raden Banyu
Samodra menghampiri rumah Ki Amus. Dan dengan
angkuh sekali dia memasuki beranda, lalu berdiri
tegak sambil berkacak pinggang di pinggiran beran-da depan rumah kepala desa
itu. Sementara,
Layung Sari, Paman Ardaga, dan beberapa orang
tua membantu berdiri Ki Amus. Kepala desa itu masih menderita kelumpuhan, akibat beradu tenaga
dalam dengan Raden Banyu Samodra tadi.
"Dengar kalian semua...! Mulai saat ini, aku yang berkuasa di sini. Kalian harus
patuh pada perintahku. Siapa saja berani membangkang, tidak
segan-segan kepala kalian kujadikan hiasan tiangriang perahu!" lantang sekali suara Raden Banyu Samodra.
Tak ada seorang pun yang membuka suara,
meskipun di dalam hati mengutuki pemuda itu.
Semua penduduk di desa nelayan itu sudah melihat
kedigdayaannya. Dan tak ada seorang pun yang berani menantang. Ki Amus saja yang diketahui memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi, bisa dibuat lumpuh seketika.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, pemuda berpakaian sutra halus yang mengaku bernama Raden
Banyu Samodra itu melangkah masuk ke dalam
rumah Ki Amus. Dia memang bermaksud menjadikan rumah kepala desa itu sebagai istananya. Dan
memang, hanya rumah Ki Amus saja yang paling
bagus di desa nelayan Pesisir Pantai Utara.
"Ayo, Ki. Sebaiknya tinggal di rumahku saja du-lu," kata Paman Ardaga sambil
memapah Ki Amus.
"Terima kasih," ucap Ki Amus pelan.
Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ki
Amus, Kecuali menurut saja saat dipapah Paman
Ardaga dan Layung Sari. Sementara, semua orang
hanya dapat memandangi dengan wajah lesu. Mereka baru meninggalkan halaman depan rumah kepala desanya setelah Ki Amus tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumah Paman
Ardaga bersama putrinya. *** Sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa
nelayan di Pesisir Pantai Utara, keadaannya bagaikan berada dalam lingkaran api
neraka. Keinginannya macam-macam saja dan tidak bisa dibantah lagi. Beberapa pemuda desa yang mencoba menentang, kepalanya benar-benar menjadi hiasan tiang
perahu. Bahkan tidak sedikit gadis yang diambil
paksa dari tangan orang tuanya. Bahkan setiap gadis yang sudah jatuh ke tangannya, tak akan ada
yang bisa melihat lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasib gadisgadis itu. Hari demi hari berlalu. Keadaan di desa itu semakin gersang oleh ulah Raden Banyu Samodra.
Dia benar-benar menancapkan kuku kekuasaannya
begitu dalam. Hingga, tak ada seorang pun yang berani menentangnya. Tapi
anehnya, sejak Raden
Banyu Samodra menguasai desa itu, Naga Laut
berwarna hijau yang memancarkan cahaya tidak
pernah kelihatan lagi. Bahkan desa itu tidak pernah
lagi dilanda badai.
"Kita harus segera bertindak, Ki," kata Paman Ardaga dengan nada suara terdengar
geram. "Dengan cara apa...?" tanya Ki Amus lesu. "Sedangkan aku sudah tidak punya daya
lagi. Jangan- kan untuk menantang, mengangkat tanganku saja
sudah tidak mampu lagi."
'Tapi, Ki. Kalau didiamkan terus begini, desa
kita ini bisa hancur," desah Paman Ardaga.
"Desa ini memang sudah hancur. Bahkan sudah musnah," selak Layung Sari sambil menyuapi ayahnya.
"Aku tidak akan tinggal diam begitu saja, Ki,"
kata Paman Ardaga lagi.
"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Amus.
Paman Ardaga tidak segera menjawab. Tapi
memang, dia tidak mempunyai satu cara pun untuk
mengusir Raden Banyu Samodra. Sedangkan ilmu
olah kanuragan saja hanya sedikit dimilikinya. Jadi tidak mungkin dia bisa
menantang Raden Banyu
Samodra yang semakin menggila saja tingkahnya.
"Ki! Bukankah kau pernah mengatakan kalau
kedatangan si iblis keparat itu karena mencari seseorang...," kata Paman Ardaga,
setelah cukup lama berdiam diri termenung.
"Benar. Dia sendiri yang mengatakannya padaku," sahut Ki Amus.
"Siapa orangnya yang sedang dicari, Ki?" Tanya Paman Ardaga ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Ardaga?" Ki Amus malah batik bertanya.
"Mungkin kalau kita bisa bertemu orang yang
dicarinya lebih dahulu, desa ini bisa dikembalikan seperti semula, Ki," kata
Paman Ardaga agak ragu-ragu nada suaranya terdengar.
"Hm.... Kau yakin itu?" Tanya Ki Amus juga ragu-ragu. "Itu hanya kemungkinan saja, Ki," sahut Paman Ardaga.
Ki Amus terdiam. Matanya melirik sedikit pada
Layung Sari yang masih tetap duduk di sampingnya. Sedangkan gadis itu malah memandangi, seakan-akan sedang membaca jalan pikiran laki-laki
setengah baya yang menampung mereka di rumahnya ini, sejak Raden Banyu Samodra menjadikan
rumah mereka untuk tempat tinggalnya.
Saat itu, dari dalam sebuah kamar muncul seorang gadis cantik yang mengenakan baju dari bahan sederhana. Kepalanya
mengangguk sedikit pada Ki
Amus. Lalu, dengan cekatan sekali dibenahinya bekas makan yang berserakan di atas meja. Layung
Sari bergegas turun dari balai bambu, dan membantu gadis itu membenahi bekas makan mereka
semua. "Mari kubantu kau mencuci ini semua, Andari," kata Layung Sari.
"Ah, jangan. Biar aku saja yang menger

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jakannya," tolak Andari halus.
"Sudah beberapa hari aku dan ayahku menumpang di sini. Sudah selayaknya kalau ikut
mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di sini,"
kata Layung Sari memaksa.
Andari melirik sedikit ayahnya. Sedangkan Paman Ardaga hanya tersenyum saja. Maka Andari tidak bisa menolak lagi. Kedua gadis itu sebentar saja sudah menghilang di bagian
belakang rumah sederhana yang hanya terbuat dari balik anyaman bambu ini. Sementara, Ki Amus dan Paman Ardaga masih tetap duduk di balai bambu, di ruangan depan.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tidak
ada yang membuka suara. Sampai Andari dan
Layung Sari muncul lagi, belum ada yang membuka
suara sedikit pun. Kini kedua gadis itu duduk berdampingan di bangku panjang
yang ada di bawah
jendela. "Kau lihat Ki. Tidak ada seorang pun yang pergi ke laut lagi. Padahal, dari
sanalah sumber penghi-dupan semua orang di sini," kata Paman Ardaga ba-ru
membuka suara lagi.
Ki Amus hanya diam saja. Kedua bola matanya kelihatan nanar, memandang ke arah laut dari
jendela yang terbuka lebar. Angin laut yang berhembus lembut, membawa aroma yang sudah tidak
asing lagi bagi hidung mereka. Dan di sana, terlihat perahu nelayan yang
semuanya tertambat di pantai.
Tak ada seorang pun yang kelihatan berada di tengah laut. Dan kejadian ini sudah berlangsung lebih dari dua pekan lamanya.
"Ki, kurasa tidak ada salahnya kalau salah satu dari kita berusaha bertemu lebih
dahulu dengan orang yang dicari si iblis keparat itu," kata Paman Ardaga lagi.
"Inilah yang menjadi persoalannya, Ardaga,"
kata Ki Amus agak mendesah perlahan.
"Maksudmu, Ki...?" Paman Ardaga meminta penjelasan.
"Orang yang dicari adalah Raja Karang Setra,"
sahut Ki Amus pelan.
"Maksudmu..., Gusti Prabu Rangga Pari Permadi...?" Jelas sekali, kalau dari nada suaranya Paman
Ardaga terkejut mendengar maksud kedatangan
Raden Banyu Samodra sebenarnya yang hanya untuk mencari Raja Karang Setra. Sedangkan wilayah
Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk Kerajaan
Karang Setra. Dan semua orang sudah tahu, Raja
Karang Setra juga seorang pendekar digdaya yang
lebih banyak mengembara daripada di istananya.
Jelas sangat sulit untuk bertemu Raja Karang
Setra. Dan rupanya, hal ini yang menjadikan beban pikiran Ki Amus sampai saat
sekarang. Paman Ardaga sendiri jadi terdiam termenung begitu mendengar penjelasan Ki Amus, tentang tujuan Raden
Banyu Samodra. "Tapi, Ayah.... Untuk apa dia mencari Gusti
Prabu Rangga?" Tanya Layung Sari menyelak, di saat semua terdiam membisu.
Ki Amus tidak langsung menjawab, karena
memang tidak tahu tujuan Raden Banyu Samodra
mencari Raja Karang Setra. Tapi, Raden Banyu Samodra memang pernah berkata kalau Raja Karang
Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke desa
ini. Tapi entah kapan,
tak ada seorang pun yang bisa memastikannya. Sedangkan saat ini, hampir semua orang di Karang
Setra tahu kalau Rangga sedang mengembara bersama Pandan Wangi. Dan seorang pun tak ada yang
tahu, di mana mereka berada. Apakah benar Rangga akan datang ke desa nelayan ini, seperti yang dikatakan Raden Banyu
Samodra..."
*** Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Utara. Angin berhembus cukup
kencang, membuat udara terasa sangat dingin. Namun, langit kelihatan cerah dihiasi cahaya bulan
yang penuh, serta gemerlapnya bintang-bintang.
Namun semua keindahan itu hanya bisa dinikmati
sendu oleh seorang gadis cantik yang duduk mencangkung di depan rumah Paman Ardaga. Gadis
berwajah cantik yang mengenakan baju merah cukup ketat itu memukul-mukulkan pedang yang masih tersimpan di dalam warangka, ke tanah berpasir putih. Entah, sudah berapa lama dia duduk mencangkung di atas dahan pohon yang sudah roboh
itu. Dan pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit pun, ke tengah laut yang
meriak bergelombang kecil, mempermainkan perahu-perahu nelayan yang
sudah beberapa hari tidak pernah melaut lagi.
"Hhh...!"
Terdengar tarikan nafasnya yang panjang dan
terasa berat. Sedikit tubuhnya menggeliat, dan me-masang kembali tali pedangnya
ke pinggang. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya sedikit
berpaling ke pintu rumah yang sedikit terbuka. Tak terlihat seorang pun di dalam
rumah itu. Mungkin
semua penghuninya sudah tertidur lelap. Dan memang, malam sudah begitu larut. Hanya debur ombak saja yang memecah kesunyian malam ini. Perlahan kakinya terayun hendak masuk ke dalam
rumah itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja...
Clraaak! "Heh..."!"
Gadis cantik yang tak lain Layung Sari, jadi
terkejut setengah mati begitu tiba-tiba membersit cahaya kilat di angkasa.
Padahal, malam ini langit kelihatan begitu cerah. Dan begitu kepalanya
menengadah, tiba-tiba saja datang awan hitam bergulung-gulung, seakan-akan datang dari tengah laut
Dan sebentar saja, seluruh Pesisir Pantai Utara sudah terselimut awan hitam yang
begitu tebal. Saat itu, hembusan angin pun semakin terasa kencang,
memperdengarkan suara menggemuruh menggetarkan jantung. Crasss! Kembali kilat membersit bagai hendak membelah angkasa. Ujung kilat itu tempat menyambar
ke permukaan laut yang kini bergelombang sangat
besar. Dan pada saat itu....
"Oh..."!"
Kedua bola mata Layung Sari jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya sampai ternganga begitu melihat di tengah laut ada seekor ular raksasa yang memancarkan cahaya hijau
terang, bergerak-gerak
menggeliat menuju tepi pantai. Begitu cepat sekali gerakannya, sehingga dalam
waktu sebentar saja
binatang yang selama ini selalu disebut Naga Laut sudah sampai di tepi pantai.
Dan pada saat itu, terlihat seseorang berlari-lari kecil sambil memanggul
sesuatu di pundaknya.
"Raden Banyu Samodra...," desis Layung Sari agak tercekat suaranya di
tenggorokan. Jelas sekali terlihat kalau orang yang berlarilari kecil menghampiri Naga Laut itu Raden Banyu
Samodra. Tapi Layung Sari jadi terkesiap, begitu ta-hu kalau benda yang
dipanggul adalah seorang gadis yang seluruh tubuhnya terbungkus kain putih.
Hanya bagian kepalanya saja yang terlihat Rambutnya yang panjang bergerai tampak menjuntai ke
bawah. "Hup...!"
Layung Sari cepat melompat. Dia kemudian
berlindung di balik sebatang pohon yang cukup besar, begitu Raden Banyu sudah dekat di depan Naga Laut yang memancarkan cahaya
hijau. Tampak Raden Banyu Samodra menoleh ke kanan dan ke kiri,
lalu memutar tubuhnya untuk menyelidiki sekitarnya. Seakan-akan dia takut ada orang lain yang melihatnya.
Kemudian pemuda itu menurunkan beban
yang ada di pundaknya, tepat didepan Naga Laut.
Semua itu terlihat jelas sekali dari tempat persembunyian Layung Sari. Pemuda
yang kini menguasai
desa ini dengan cara kejam, tampak membungkukkan tubuhnya dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Rupanya, dia memberi hormat
pada Naga Laut.
"Gila...! Apa yang dilakukannya...?" Desis Layung Sari hampir tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
Sedikit pun gadis itu tidak mengerdipkan matanya dan terus memperhatikan semua yang dilakukan Raden Banyu Samodra. Begitu inginnya untuk mengetahui lebih jelas lagi, Layung Sari pelan-pelan segera menggeser
kakinya lebih mendekat.
Tapi, dia terus berusaha berlindung dan tidak ingin diketahui kehadirannya.
Gadis itu baru berhenti
menggeser kakinya, setelah jaraknya terasa sudah cukup dekat dengan Raden Banyu
Samodra. "Edan...!" desis Layung Sari dalam hati.
Apa yang disaksikannya, saat ini benar-benar
sukar bisa dipercaya. Bahkan perutnya terasa jadi mual hendak muntah. Ternyata,
Raden Banyu Samodra tengah mempersembahkan seorang gadis
yang dirampasnya dari tangan orang tuanya untuk
Naga Laut. Dan dengan buas sekali, Naga Laut
mengoyak tubuh gadis malang itu hingga tidak tersisa sedikit pun juga.
Setelah puas melahap gadis muda itu, Naga
Laut kembali masuk ke dalam laut. Tepat di saat
ular naga raksasa bercahaya hijau terang itu lenyap ke dalam laut langit yang
diselimuti awan tebal pun kembali cerah. Bahkan angin pun tidak lagi berhembus
menggila. Perubahan ini terjadi begitu cepat bersamaan dengan menghilangnya Naga
Laut. Sementara Layung Sari terus memperhatikan
dari tempat persembunyiannya, Raden Banyu Samodra kembali ke rumah kepala desa yang kini
menjadi tempat tinggalnya. Sama sekali tidak di sadarinya kalau semua yang dilakukan mendapat
perhatian dari seorang gadis cantik, putri kepala desa nelayan di Pesisir Pantai
Utara ini. *** "Gila...! Ini tidak bisa didiamkan terus. Bisa habis semua gadis-gadis desa ini,
kalau setiap malam harus dipersembahkan pada Naga Laut," desis Layung Sari dalam
hati. "Hhh! Apa yang harus kulakukan...?"
Memang sulit menghentikan sepak terjang Raden Banyu Samodra. Terlebih lagi, pemuda yang kini menguasai seluruh desa di Pesisir Pantai Utara memiliki kepandaian yang sulit
dicari tandingannya.
"Aku harus bicarakan semua ini pada Paman
Ardaga. Hanya dia saja yang bisa diajak bicara sekarang ini," ujar Layung Sari
dalam hati lagi.
Mendapat pikiran begitu, bergegas gadis itu
melesat kembali ke rumah Paman Ardaga. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah
cukup tinggi. Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah sampai di rumah
Paman Ardaga yang selama ini juga menjadi tempat tinggalnya bersama
ayahnya. Hampir saja Layung Sari bertabrakan dengan
Paman Ardaga saat akan masuk ke pintu. Cepatcepat gadis itu melompat ke belakang. Sementara,
Paman Ardaga juga langsung terlompat ke belakang, dan masuk lagi ke dalam rumah. Tapi, sebentar kemudian mereka sudah bertemu lagi didepan
pintu. "Layung...," desah Paman Ardaga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman.... Bikin aku terkejut saja," desah Layung Sari sambil menarik napas
dalam-dalam. "Kenapa terburu-buru?" Tanya Paman Ardaga sambil duduk di balai bambu yang ada
di beranda depan rumahnya.
Layung Sari tidak langsung menjawab. Lalu,
diambilnya tempat tidak jauh dari laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot
itu. Sedangkan Paman
Ardaga sudah asyik melinting tembakau, dan di sulutkan ke ujung api pelita yang tergantung di tiang beranda. Harum sekali bau
tembakau, sehingga
membuat Layung Sari seakan-akan sulit mengatakan semua yang telah disaksikannya di tepi
pantai tadi. "Ada yang ingin kau katakan, Layung?" Tanya Paman Ardaga sambil membuang
lintingan temba-kaunya yang sudah hampir habis terhisap.
"Hhh...," Layung Sari malah menghembuskan napas panjang.
Paman Ardaga memandangi dengan kening
berkerut dan mata menyipit. Bisa diduga kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan
gadis itu, tapi kelihatannya begitu berat Sedikit duduknya bergeser
lebih mendekat. Sedangkan Layung Sari mengarahkan pandangan lurus ke arah laut yang menggelombang kecil menghantam pantai. Begitu indah
permukaan laut malam ini, dihiasi pantulan cahaya bulan dan bintang yang bagai
bertaburkan ribuan
batu-batu mutiara gemeriapan.
"Paman, ada yang ingin kuceritakan. Tapi...,"
ucapan Layung Sari terputus.
"Katakan saja, Layung," pinta Paman Ardaga lembut.
"Aku..., aku baru saja melihat Naga Laut," terdengar pelan sekali suara Layung
Sari. "Kau..., melihat..."!" Paman Ardaga tidak bias melanjutkan.
Suara laki-laki setengah baya itu seperti tertahan di tenggorokan. Hanya bisa dipandanginya saja wajah cantik Layung Sari.
Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangannya ke tengah
laut. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan
tak ada yang membuka suara lagi. Perlahan Layung
Sari menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin mencari kekuatan untuk mengatakan semua yang telah disaksikannya tadi. "Ceritakan, apa saja yang sudah kau lihat,
Layung," pinta Paman Ardaga setelah cukup lama terdiam membisu karena terkejut.
Dengan suara pelan, Layung Sari kemudian
menceritakan semua yang disaksikannya di tepi


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantai tadi. Sedangkan Paman Ardaga mendengarkannya penuh perhatian. Sedikit pun cerita gadis
itu tidak diselaknya. Seakan-akan, semua kata-kata yang meluncur bagai air
sungai dari bibir yang merah menawan itu ditelan bulat-bulat.
Paman Ardaga masih tetap terdiam, walau-pun
Layung Sari sudah menyelesaikan ceritanya. Dihembuskannya napas panjang, sambil mengalihkan
pandangan ke tengah laut saat Layung Sari berpaling menatapnya. Beberapa saat mereka masih tetap
terdiam, Entah, apa yang ada dalam kepala mereka
masing-masing saat ini.
"Paman..., apa yang harus kita lakukan sekarang...?" Tanya Layung Sari pelan, seperti bertanya untuk diri sendiri.
"Bagaimanapun juga, hal ini harus dilaporkan ke Istana Karang Setra. Ada atau
tidak Gusti Prabu Rangga di istana, kita harus segera melaporkan-nya," sahut
Paman Ardaga terdengar tegas sekali nada suaranya.
"Tapi, Paman.... Kelihatannya ayah tidak setuju." "Salah satu dari kita harus pergi ke kotaraja.
Ini harus, dan tidak bisa didiamkan terus-menerus.
Bisa-bisa, kau atau anakku yang menjadi korbannya nanti," kata Paman Ardaga terdengar tegas na-da suaranya.
"Kalau begitu, biar aku saja yang pergi, Paman," pinta Layung Sari mantap.
"Perjalanan dari sini ke kotaraja sangat jauh, Layung. Bisa tiga hari tiga malam
dengan berkuda."
"Aku bisa menunggang kuda dengan baik, Paman." "Hanya seorang diri?"
"Andari bisa menemaniku."
Paman Ardaga terdiam. Dia tahu, anak gadisnya sangat mahir menunggang kuda. Tapi Andari
tidak menguasai ilmu olah kanuragan sedikit pun
juga. Dan inilah yang membuatnya jadi harus berpikir dua kali untuk mengizinkan Andari pergi ke
Kotaraja Karang Setra. Walaupun, kepergiannya
Pendekar Pemanah Rajawali 27 Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Sengketa Kalung Pusaka 2

Cari Blog Ini