Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar Bagian 1
PEDANG HALILINTAR
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 089:
Pedang Halilintar
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Hiya! Hiyaaa...!"
Pagi yang seharusnya enak dinikmati, seketika jadi riuh oleh teriakan seseorang
yang menggebah kudanya dengan kecepatan sangat tinggi bagai dikejar setan. Debu
membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat Burungburung yang tadi berkicauan seketika berhamburan terbang, terkejut oleh derap
kaki kuda yang demi-kian cepat berpacu.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu terus memacu kudanya, melintasi jalan tanah berbatu.
Sama sekali tidak dipedulikan binatang-binatang yang berhamburan ketakutan.
Kudanya terus dipacu dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kudanya yang sudah
mendengus-dengus kelelahan tidak dipedulikan lagi.
Begitu penunggang kuda itu baru saja
menyeberangi sebuah sungai kecil yang dangkal dan penuh kerikil, mendadak
saja.... Wusss! "Heh..."! Hup!"
Cepat sekali pemuda itu melompat dari punggung kudanya yang masih terus berlari
kencang, begitu matanya menangkap seleret cahaya
keperakan berkelebat begitu cepat menuju ke arahnya. Dan benda bercahaya
keperakan itu langsung menyambar leher kuda yang masih berlari.
Binatang itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tnggi. "Hieeegkh...!"
Bruk! Keras sekali kuda berbulu coklat tua itu jatuh menghantam tanah berbatu di
tepian sungai kecil ini.
Hanya sebentar saja binatang itu menggelepar dengan leher terkoyak sangat lebar,
hingga hampir membuatnya buntung. Darah langsung mengucur deras sekali,
membasahi bebatuan di tepi sungai ini.
Sebentar kemudian, kuda itu meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
Sementara, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tadi berhasil menghindari
kilatan cahaya keperakan, sudah menjejakkan kakinya di tanah, agak jauh dari
tepi sungai. Kakinya berdiri tegak dengan tangan kanan kini sudah menggenggam
sebilah golok berkilatan yang menandakan
ketajamannya. Kedua bola matanya terlihat nyalang, memandang tajam ke
sekitarnya. Tapi, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang lain di sekitar
tepian sungai kecil ini.
"Keparat..!" geram pemuda itu. Wajahnya tampak memerah, melihat kudanya sudah
tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.
Beberapa saat pemuda itu masih mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tapi, tidak
juga terlihat tanda-tanda adanya orang lain di sekitar sini. Angin masih tetap
bertiup perlahan, menebarkan dedaunan kering yang jatuh dari dahannya.
Sementara, matahari masih tetap bersinar semakin terik di pagi ini. Perlahan
pemuda berbaju hijau muda yang agak ketat itu menggeser kedua kakinya ke kanan.
Sedangkan goloknya yang berkilatan tajam, tetap terlintang di depan dada.
"Keluar kau, Pengecut...!" teriak pemuda itu lantang. "Tunjukkan dirimu...!"
Tapi, teriakan pemuda itu tidak mendapat jawaban sedikit pun. Hanya gema
suaranya saja yang terdengar. Sementara, kakinya terus digeser perlahan-lahan
menghampiri kudanya. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Slap! "Ups...!"
Bettt! Tring! "Ikh...!"
Pemuda itu terpeklk kecil. Dan begitu goloknya dikebutkan, terlihat secercah
cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat hendak menyambar tubuhnya. Cepat
dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Tapi, tubuhnya jadi agak
limbung begitu kakinya menjejak tanah berbatu di tepi sungai kecil ini.
"Setan...!" geram pemuda itu dengan bibir
meringis. Pemuda itu mengurut tangan kanannya yang
menggenggam golok dengan tangan kiri. Rasanya goloknya tadi seperti habis
menghantam sebuah gada baja yang amat keras ketika menangkis kilatan cahaya
keperakan yang hampir menyambar tubuhnya. Dan saat itu juga, kedua bola matanya
terbeliak lebar. Temyata goloknya terpotong menjadi dua bagian! Entah ke mana
terpentalnya ujung potongan golok itu.
Dan belum juga dia bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja terdengar suara
tawa yang begitu keras
menggelegar dan memekakkan telinga. Tawa sangat keras dan menggema bagaikan
datang dari segala penjuru mata angin itu membuat jantung pemuda ini jadi
bergetar seketika.
"Ugkh...!"
*** Sedikit keluhan terdengar. Dan pemuda berwajah cukup tampan itu segera membuang
goloknya yang sudah patah. Telinganya terasa sakit sekali saat mendengar tawa
keras dan menggelegar ini. Telinganya segera ditutup dengan telapak tangan, tapi
suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan sekali.
Keringat mulai menitik di seluruh wajah dan tubuhnya. Perlahan namun pasti,
wajah pemuda itu mulai terlihat memucat. Tubuhnya pun mulai meng-geletar.
Sementara, dari lubang hidungnya terlihat darah mengalir. Kemudian dari sudut
bibir, dan dari sela-sela jari tangan yang menutup telinga, darah mengalir
semakin banyak.
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar. Tampak pemuda itu jatuh
menggelepar di atas tanah berbatu kerikil di tepi sungai kecil ini.
Tubuhnya terus menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit, bagaikan tengah
dikerubungi puluhan kala berbisa. Darah tampak semakin banyak mengalir dari
hidung, mulut, dan telinganya. Bahkan, juga dari kedua bola matanya!
"Ha ha ha...!"
Sementara, suara tawa itu terus terdengar
semakin keras. Bahkan daun-daun pepohonan di
sekitar tepi sungai itu pun sudah terlihat berguguran.
Dan tawa yang semakin keras itu seakan-akan menghentikan hembusan angin.
Sedangkan pemuda berbaju hijau muda agak ketat itu terus menggelepar, dan
menjerit-jerit kesakitan. Bahkan dari pori-pori di seluruh tubuhnya, sudah
mengeluarkan keringat darah.
"Aaa...!"
Sebuah jeritan sangat panjang dan melengking tinggi, mengakhiri gerakan tubuh
pemuda itu yang menggeliat-geliat Dan tubuhnya seketika mengejang, lalu diam tak
bergerak-gerak lagi. Kaku. Kedua bola matanya tampak terbeliak lebar, dan
mulutnya ter-nganga. Namun, darah masih terus mengalir dari lubang hidung,
mulut, dan telinganya.
Saat itu juga, suara tawa yang sangat keras dan menggelegar tadi terhenti. Dan
keadaan di tepi sungai ini pun jadi sunyi. Sementara, pemuda itu tetap
tergeletak dengan tubuh meregang kaku.
Sedikit pun tak terlihat adanya gerakan yang menandakan kalau masih hidup.
Pemuda itu pasti sudah tewas, akibat terserang suara tawa yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Cukup lama juga keadaan di tepi sungai itu sunyi senyap, bagai tidak pernah
terjadi apa-apa.
Dan kesunyian itu tiba-tiba saja kembali dipecah-kan suara derap kaki kuda yang
dipacu cepat dari arah seberang sungai. Tak berapa lama kemudian, terlihat tiga
penunggang kuda berpacu cepat sekali menyeberangi sungai kecil yang berair
dangkal ini. "Hooop...!"
"Hup!"
Mereka segera menghentikan kudanya. Langsung mereka berlompatan turun begitu
dekat dengan pemuda berbaju hijau muda yang tergeletak tak bernyawa lagi, tidak jauh dari
kudanya yang juga sudah tewas dengan leher hampir buntung.
"Kakang...!"
Tiba-tiba terdengar salah seorang penunggang kuda. Sebentar kemudian, terlihat
seorang gadis bertubuh kecil yang terbungkus baju ketat warna biru tua tengah
berlari menghampiri pemuda itu setelah turun dari punggung kudanya. Tapi belum
juga mendekat, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar dan berbulu mencekal
pergelangan tangannya.
"Jangan mendekat, Lastri!"
"Tapi, Paman...," sergah gadis yang temyata bernama Lastri, hendak memberontak.
Namun saat sepasang mata merah menyorot
tajam milik laki-laki yang dipanggil paman itu memandanginya, Lastri langsung
terdiam. Dan wajahnya langsung berpaling ke arah pemuda yang tergeletak tak
bernyawa lagi dengan tubuh meregang kaku. Sementara, dua orang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berotot yang mengapit gadis cantik bertubuh kecil
bernama Lastri ini, juga memandangi tubuh pemuda berbaju hijau yang tergeletak
tak bernyawa. "Kalian diam saja di sini dulu. Aku akan
memeriksa," ujar salah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang
terbungkus baju hitam.
Dialah yang tadi mencekal tangan Lastri agar tidak mendekati pemuda yang
tergeletak tak bernyawa itu.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki ini langsung saja mengayunkan kakinya
mendekati pemuda itu.
Namun ayunan kakinya terhenti setelah tinggal selangkah lagi. Sebentar
diamatinya mayat itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian
tubuhnya bergerak membungkuk dan berjongkok.
Beberapa saat, diperiksanya tubuh mayat pemuda itu, kemudian kepalanya berpaling
ke belakang. "Ke sini kalian...!" seru laki-laki itu memanggil.
Lastri dan seorang laki-laki lainnya yang berbaju merah menyala, bergegas
menghampiri, begitu diperbolehkan. Dan gadis itu langsung menghambur memeluk
mayat pemuda yang tergeletak berlumuran darah di wajahnya itu. Tangisnya
seketika pecah menggerung-gerung. Sementara, dua laki-laki berusia hampir
separuh baya yang tadi mendampinginya hanya bisa berdiri memandangi tanpa bisa
berkata-kata. Agak lama juga Lastri menangisi mayat pemuda itu. Kemudian air matanya diseka
dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kepalanya terangkat ke atas, setelah
tangisannya benar-benar terhenti. Namun sesekali masih juga terdengar isaknya.
Ditatapnya dua orang laki-laki berusia separuh baya yang masih berdiri sekitar
tiga langkah lagi di depannya.
"Aku akan membawa Kakang Barada pulang,"
tegas Lastri dengan suara tertahan dan terisak.
"Lastri..., ingat pesan ayahmu," ujar laki-laki berbaju warna merah menyala.
"Aku tidak peduli!" sentak Lastri langsung bangkit berdiri. "Kali ini, Paman
tidak bisa menghalangiku lagi. Aku akan membawa pulang Kakang Barada, walaupun
sudah jadi mayat!"
Kedua laki-laki berusia hampir separuh baya itu hanya saling melemparkan
pandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama menatap gadis cantik
bertubuh kecil di depannya. Gadis itu tampak masih terlihat garang, walaupun
sesekali masih terdengar isak tangisnya yang tertahan. Seakan-akan
dia tidak ingin tangisannya dilihat kedua laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga,
hatinya berusaha tegar.
"Paman Gorak...," panggil Lastri, seraya menatap laki-laki yang berbaju warna
merah menyala. Tapi, laki-laki berbaju merah yang temyata bemama Gorak itu hanya membisu saja.
Malah, dibalasnya tatapan itu dengan sinar mata yang sulit diartikan. Lastri
langsung berpaling menatap seorang lagi yang berbaju hitam pekat.
"Paman Andaka. .."
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang dipanggil Paman Andaka hanya mengangkat
bahu sedikit. Matanya malah melirik Paman Gorak yang berada di sebelah kirinya. Sedangkan yang
ditatap, seperti tidak tahu. Malah, dipandanginya mayat Barada yang masih
tergeletak kaku tak bernyawa lagi.
"Kurasa, tidak ada salahnya kita membawa
Barada, Kakang Gorak," kata Paman Andaka.
"Aku hanya tidak ingin melanggar amanat," sahut Paman Gorak terdengar pelan
suaranya, seakan ragu-ragu untuk memutuskan.
"Paman berdua tidak perlu ragu dan takut. Biar aku yang bertanggung jawab pada
ayah," selak Lastri.
"Lastri! Aku hanya mengingatkan pesan ayahmu saja. Kita boleh membawa pulang
Barada, kalau memang masih hidup. Tapi kalau ditemukan sudah meninggal, ayahmu
tidak mengizinkannya membawa pulang," sanggah Paman Gorak.
"Ayah memang kejam...!" desis Lastri dengan mata merembang berkaca-kaca.
"Sudahlah, Lastri. Relakan saja kepergiannya.
Sebaiknya, secepatnya kita tinggalkan tempat ini.
Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini," bujuk Paman Gorak lagi.
"Tidak, Paman...," desis Lastri seraya menggeleng.
"Aku tetap akan membawa Kakang Barada pulang."
Tanpa menghiraukan keberatan kedua pamannya, Lastri segera mengangkat tubuh
Barada yang sudah kaku. Tapi tubuhnya yang kecil tentu saja mengalami kesulitan,
karena tubuh Barada dua kali lebih besar dibanding dengannya.
Melihat kegigihan gadis itu, Paman Andaka jadi tidak tega juga. Segera kakinya
melangkah menghampiri. Diangkatnya tubuh Barada, lalu diletakkan di pundaknya.
Sebentar ditatapnya Paman Gorak, kemudian berjalan menghampiri kudanya. Mayat
Barada diletakkan di punggung kuda yang
ditungganginya. Sementara, Lastri sudah naik ke punggung kudanya sendiri. Paman
Andaka segera melompat naik ke punggung kudanya. Dan mayat Barada diletakkan
tengkurap di depannya.
Sementara, Paman Gorak masih tetap berdiri memandangi, tanpa dapat berbuat apaapa. Sedikit Paman Gorak mengangkat pundaknya,
kemudian melangkah menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan dan indah, dia
melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar kemudian, ketiga orang itu sudah
bergerak meninggalkan tempat ini tanpa bicara lagi. Mereka terus menjalankan
kudanya perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai kecil yang berair dangkal ini.
*** Di dalam kamamya yang berukuran luas, Lastri
berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Saat itu,
matahari sudah terlihat condong ke barat. Sinarnya yang semula garang
terasa begitu terik menyengat kulit, kini terasa begitu lembut. Sejak penguburan
Barada, Lastri tidak keluar dari kamamya ini. Entah apa yang ada di dalam
kepalanya saat itu. Namun, pandangan matanya terlihat lurus ke depan dan sangat
kosong. Tok, tok, tok...!
"Oh..."!"
Lastri tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dan baru
saja tubuhnya berputar berbalik, pintu kamar itu sudah terbuka. Lalu, muncul
seorang laki-laki berusia hampir separuh baya. Dia mengenakan baju wama merah
menyala yang agak ketat Dan tanpa dipersilakan lagi, kakinya melangkah masuk ke
kamar, dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sementara, Lastri masih tetap
berdiri membelakangi jendela. Laki-laki yang tak Iain Paman Gorak itu langsung
duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela.
"Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar, Lastri.
Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa...?" tegur Paman Gorak dengan suara terdengar dibuat lembut
"Hhh..."
Lastri hanya menghembuskan napasnya saja
panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusannya.
Dan kini, kakinya melangkah agak gontai mendekati pembaringan. Lastri kemudian
duduk di tepi pembaringan yang berukuran cukup besar ini.
Pandangan matanya kembali tertuju ke luar jendela.
Begitu redup sinar matanya, seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup.
Sementara, Paman Gorak terus memandangi. Sepertinya, isi hati gadis ini ingin
diselaminya. "Kau masih memikirkan kematian Barada,
Lastri..?" tebak Paman Gorak.
Lastri tidak langsung menjawab, tapi malah menatap laki-laki berusia hampir
separuh baya yang masih kelihatan cukup tampan. Rasanya, tidak pantas kalau
usianya sudah berkepala empat Sementara itu yang dipandangi malah balas
menatap dengan sinar mata yang memancarkan cahaya menyelidik. Hal ini membuat
Lastri harus kembali menghembuskan napas panjang. Matanya kini memandang ke luar
jendela lagi. "Kau tahu, Lastri. Bukan hanya aku dan paman-pamanmu saja yang sudah
memperingatkan, tapi juga ayahmu. Barada itu sudah diperingatkan dengan keras,
tapi tidak pernah mau mendengarkan.
Keinginannya yang tidak masuk akal itu memang tak ingin dirubahnya. Jadi, aku
rasa tidak ada gunanya menyesali kematiannya, Lastri," kata Paman Gorak.
"Tapi, Paman...," suara Lastri terputus.
"Aku tahu, Lastri. Aku juga bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan sekarang
ini. Tapi, itu bukan alasan untuk terus-menerus memikirkannya.
Bahkan sampai mengurung diri dalam kamar ini.
Barada memang baik. Aku juga menyayanginya.
Bahkan ayahmu juga menyayanginya. Tapi sifatnya keras kepala. Sampai-sampai
peringatan kami tidak ada yang masuk ke telinganya. Dia sudah memilih jalan
hidupnya sendiri, Lastri. Kau ingat, apa yang diucapkannya... " "
Lastri terdiam.
"Dia rela tidak diakui lagi di sini, asalkan bisa...."
"Sudah, Paman...!" sentak Lastri memutuskan ucapan pamannya.
"Maaf! Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Lastri," ucap Paman Gorak.
"Terima kasih. Tapi, kuminta Paman tidak menggangguku dulu. Aku ingin sendiri," kata Lastri halus.
"Yaaah...!"
Sambil mendesah panjang, Paman Gorak bangkit berdiri. Kemudian, kakinya
melangkah keluar dari kamar ini tanpa berkata-kata lagi sedikit pun juga.
Sempat juga wajahnya berpaling menatap Lastri yang masih duduk di tepi
pembaringan, sebelum menutup pintu kamar kembali. Sementara, Lastri tetap duduk
di tepi pembaringan dengan pandangan kosong, tertuju lurus ke luar jendela yang
tetap dibiarkan terbuka lebar.
"Kakang Barada.... Mengapa kau tidak mau
mematuhi kata-kata ayah..." Mengapa kau malah memilih jalan seperti itu?" desah
Lastri menggumam, bertanya-tanya pada diri sendiri.
Memang di dalam hati kecilnya, Lastri sangat menyayangkan sikap Barada. padahal,
bibit-bibit cinta sudah mulai tumbuh di hatinya. Dan bukan hanya Paman Gorak
saja yang tahu, tapi juga Paman Andaka. Bahkan, ayahnya sendiri juga sudah tahu.
Hanya saja, mereka belum ada yang berbicara tentang hubungan itu. Sedangkan
Lastri sendiri belum bisa membuka penuh pintu hatinya pada Barada, walaupun
sudah seringkali terlihat bersama-sama. Mereka memang sama-sama belum bisa
mengungkapkan isi hati masing-masing.
Tapi kini, semuanya sudah terlambat Barada sekarang sudah mengisi lubang
kuburnya. Kini Lastri hanya bisa menghembuskan napas panjang-panjang.
Perlahan dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan pembaringannya. Namun,
ayunan kakinya langsung terhenti dengan pandangan tertuju lurus ke pintu yang
tertutup rapat.
"Uh...!"
Sedikit gadis itu mengeluh, kemudian kembali menghampiri pembaringan. Tubuhnya
lalu dihempas-kan di sana. Lastri terbaring menelentang dengan kedua tangan
terlipat di bawah kepala. Tatapan matanya menerawang jauh ke langit-langit
kamarnya. Bayangan-bayangan saat bersama Barada kembali terlintas di pelupuk matanya.
Terasa begitu manis.
Tapi waktu itu dia tidak tahu, dan belum bisa membedakannya. Dan kini, barulah
terasa keindahan dan kemanisannya. Namun cepat-cepat disadari kalau semua itu
tidak akan mungkin bisa terulang kembali, karena Barada sudah pergi untuk
selama-lamanya.
"Huuuh...!"
Kembali gadis itu mengeluh panjang. Gadis itu bangkit dari pembaringannya, dan
terus saja melangkah keluar dari kamar ini. Dibiarkannya pintu tetap terbuka
lebar, dan terus berjalan dengan langkah lebar-lebar tanpa arah tujuan pasti.
*** 2 Glarrr! Ledakan keras menggelegar, tiba-tiba saja
terdengar begitu dahsyat mengejutkan. Lastri yang saat itu sedang tertidur lelap
di pembaringan kamarnya, seketika terjaga. Ledakan itu memang sangat dahsyat
menggelegar, sampai menggetarkan seluruh dinding kamamya. Cepat gadis itu
melompat bangkit dari pembaringan.
"Heh..."! Api...," desis Lastri begitu terlihat semburan cahaya api dari balik
jendela kamamya yang tertutup rapat.
Bergegas gadis bertubuh kecil itu melompat menghampiri jendela, dan langsung
dibukanya lebar-lebar. Saat itu terdengar teriakan-teriakan yang bercampur
jeritan-jeritan melengking tinggi, serta denting senjata beradu. Kedua bola mata
gadis itu jadi terbeliak lebar, begitu melihat bangunan di belakang bangunan
rumah yang ditempatinya ini sudah terbakar hampir seluruhnya.
Sementara tidak jauh dari bangunan yang terbakar, terlihat orang-orang tengah
bertarung sengit sekali. Lastri tidak tahu, siapa yang bertarung melawan muridmurid ayahnya. Pandangan matanya kemudian menangkap kelebatan bayangan tubuh
Paman Gorak dan Paman Andaka. Mereka berlompatan cepat sekali. Tapi, Lastri sama
sekali tidak melihat adanya orang yang sedang dikeroyok. Yang terlihat hanya
kilatan-kilatan cahaya keperakan yang
berkelebat begitu cepat
Dan pada saat itu, tiba-tiba saja secercah cahaya kilat keperakan melesat begitu
cepat ke arah jendela kamar Lastri yang terbuka lebar.
"Heh..."!"
Kedua bola mata Lastri jadi terbeliak lebar. Dan seketika itu juga, jantungnya
terasa seakan jadi berhenti berdetak. Tapi belum juga cahaya kilat keperakan itu
mendekat, dia sudah cepat sekali melompat keluar. Dan tepat di saat itu, cahaya
kilat keperakan tadi menerobos masuk ke dalam. Dan....
Glarrr! "Oh..."!"
Ledakan dahsyat yang terdengar menggelegar, membuat gadis itu tersentak kaget
setengah mati. Kedua bola matanya jadi semakin lebar terbeliak, melihat kamamya hancur
berantakan. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali hatinya dikejut-kan
oleh sebuah bayangan yang begitu cepat berkelebat bagai hendak menyambar
tubuhnya. "Hup! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Lastri melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali untuk
menghindari terjangan bayangan yang berkelebat bagai kilat.
Manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah.
Namun belum juga sempat menyeimbangkan
tubuhnya, kembali sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya. Dan....
Plak! "Akh...!"
Lastri tidak sempat lagi berkelit Bayangan itu datang begitu cepat, hingga tidak
ada kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Tahu-tahu, tubuhnya sudah
terpental jauh ke belakang, setelah
merasakan seperti ada sesuatu yang keras sekali menghantam.
Brakkk! Sebuah tembok dari batu seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh kecil
gadis itu. Tampak Lastri menggeliat sambil merintih lirih. Dari mulutnya keluar
darah yang agak kental. Namun hanya sedikit saja gerakan tubuhnya terlihat,
karena sebentar kemudian sudah tak bergerak-gerak lagi.
Saat itu juga, suasana malam jadi sunyi senyap.
Tak terdengar lagi suara teriakan-teriakan pertarungan. Juga tidak lagi
terdengar jeritan melengking menyayat hati. Di bawah siraman cahaya rembulan,
terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih.
Entah apa yang terjadi, mereka semua tewas dengan tubuh begitu mengerikan.
Angin yang bertiup cukup kencang malam ini, menyebarkan bau anyir darah
menggenang yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan.
Sementara, api terlihat semakin berkobar membakar bangunan berukuran besar yang
dikelilingi pagar tembok bagai benteng ini. Tak ada seorang pun yang terlihat
bergerak hidup. Mereka semua tergeletak tak bergerak-gerak lagi, dengan tubuh
bersimbah darah.
Dan pada saat itu, tiba-tiba terlihat sebuah cahaya kilat berkelebat begitu
cepat. Namun cahaya itu lalu lenyap dalam sekejap saja, meninggalkan bangunan
yang terbakar dan tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.
*** Pagi ini terasa begitu tenang. Matahari pun bersinar begitu lembut. Cahayanya
membias keperakan begitu indah dipandang, menyembul dari balik sebuah bukit yang penuh
ditumbuhi pepohonan.
Dan kabut juga masih terlihat menyelimuti sekitar bukit itu. Memang, pemandangan
di sekitar bukit ini begitu indah, bagaikan berada di swargaloka. Begitu
indahnya, hingga orang-orang yang sering melintasi bukit itu menamakannya Bukit
Merak. Dari arah sebelah timur Bukit Merak, terlihat dua orang menunggang kuda. Yang
seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Sekilas gagang pedang
berbentuk kepala burung tampak bertengger di punggungnya. Begitu gagahnya,
apalagi sambil menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap.
Sementara di sebelah kanannya terlihat seorang gadis berparas cantik. Bajunya
ketat berwarna biru muda. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan indah dipandang. Dia menunggang kuda putih yang cantik dan bersih.
Tampak sebuah gagang pedang bergagang kepala naga berwarna hitam bertengger di
punggungnya. Sedangkan di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan,
terselip sebuah kipas putih keperakan yang ujung-ujungnya berbentuk runcing
bagai mata anak panah.
Kedua penunggang kuda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu perlahan-lahan
menjalankan kudanya. Seakan-akan mereka tengah menikmati keindahan alam di
sekitar Bukit Merak ini. Mereka adalah para pendekar muda yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
"Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.
Rangga langsung mengarahkan pandangannya,
sejajar dengan jari telunjuk Pandan Wangi yang menjulur lurus ke depan. Tampak
dari pucuk-pucuk pepohonan terlihat asap hitam mengepul ke angkasa.
Sepertinya telah terjadi kebakaran di dalam hutan Bukit Merak ini. Dan entah
kenapa, tanpa disadari kedua pendekar muda yang julukannya sudah
kondang itu menghentikan langkah kuda masing-masing. Pandangan mereka tetap
tertuju lurus ke depan, menatap asap hitam yang terus mengepul, walaupun tidak
begitu banyak. "Kakang! Bukankah di kaki bukit ini letak Desa Bangkalan...?" kata Pandan Wangi,
seakan-akan ingin memastikan dugaannya.
"Hm..., benar," sahut Rangga, terdengar menggumam suaranya.
"Jangan-jangan..., telah terjadi sesuatu di sana, kakang," kata Pandan Wangi
menduga lagi. Rangga berpaling sedikit, menatap si Kipas Maut sebentar. Kemudian pandangannya
kembali dialihkan ke depan. Memang asap hitam yang mengepul itu seperti berasal
dari Desa Bangkalan yang berada di kaki Bukit Merak ini. Dan sejak tadi pun,
Rangga sudah menduga kalau telah terjadi sesuatu di sana.
"Ayo kita ke sana, Pandan," ajak Rangga.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Kedua pendekar muda itu segera menggebah
kudanya menuju Desa Bangkalan di kaki Bukit Merak ini. Mereka berpacu cepat,
menembus hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Bukit Merak ini Rangga terus
memacu cepat kudanya, hingga
membuat Pandan Wangi tertinggal di belakang.
Memang, tidak mungkin bagi kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut untuk
mengimbangi kecepatan lari kuda hitam yang bemama Dewa Bayu.
Dan kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu memang bukanlah kuda
sembarangan. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menyamai kecepatan
larinya. Maka tidak heran kalau dalam waktu sebentar saja, Pandan Wangi sudah
tertinggal jauh di belakang.
"Hiyaaa! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus saja menggebah kuda
putihnya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi karena jalan yang mulai menurun dan
penuh pepohonan, kudanya tidak bisa berlari lebih cepat lagi.
Sementara, gadis itu semakin sibuk mengendalikan tali kekang kudanya yang
berlapis emas ini. Sesekali terdengar ringkikan kuda, jika Pandan Wangi
menghentikan tali kekangnya.
"Hiyaaa...!"
Sementara itu, Rangga yang berada jauh di depan sudah sampai di kaki Bukit Merak
ini. Dan lari kudanya segera diperlambat begitu sampai di batas sebuah desa yang
dikenal sebagai Desa Bangkalan.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan kudanya, lalu melompat turun.
"Hup!"
Begitu indah dan ringan gerakan Pendekar
Rajawali Sakti saat melompat turun dari punggung kudanya. Dan memang, ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai tingkat sempurna. Hingga, sedikit
pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah yang sedikit ditumbuhi
rumput. Rangga berdiri tegak di depan kudanya. Pandangannya terlihat begitu tajam
mengamati sekitarnya yang begitu sunyi. Hingga desir angin yang halus pun
terdengar sangat jelas di telinganya.
Dan baru saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun, dari arah belakangnya
terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga menghentikan langkah
kakinya, dan berpaling ke belakang. Terlihat Pandan Wangi masih memacu kuda
putihnya dengan cepat. Sementara, debu yang mengepul ke udara tampak seperti
mengikutinya. "Hooop...!"
Kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut itu meringkik keras, begitu tali
kekangnya ditarik ke belakang. Dan begitu kedua kaki depannya hendak terangkat
naik, Pandan Wangi sudah lebih cepat melompat turun. Gadis itu langsung saja
menjejakkan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Sepi, Kakang...," desah Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam pelan.
"Desa ini memang selalu sepi, karena letaknya sangat jauh dari kota. Dan lagi
sangat terpencil,"
sahut Rangga. "Tapi tidak seperti biasanya, Kakang. Tidak ada seorang pun yang terlihat,"
sanggah Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit Dan memang, tidak terlihat seorang
pun di desa ini. Rumah-rumah yang berdiri bagai tidak dihuni lagi.
Bahkan semua pintu dan jendelanya juga dalam keadaan tertutup rapat Kedua
pendekar muda itu sama-sama mengarahkan pandangan ke ujung jalan desa ini.
Tampak asap hitam yang terlihat tadi berasal dari dalam sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok batu bagai sebuah benteng kecil di tengah-tengah desa yang
terpencil ini. "Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Rangga langsung mengalihkan pandangan ke arah
yang ditunjuk Pandan Wangi.
"Oh..."!"
*** Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main,
begitu matanya menangkap sepasang kaki
Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembul dari dalam parit di sebelah kanan jalan ini. Bergegas dia menghampiri.
Kudanya ditinggalkan bersama Pandan Wangi.
"Oh..."!"
Rangga semakin bertambah terkejut, begitu
sampai. Di dalam parit itu tampak sesosok tubuh tergeletak berlumuran darah tak
bernyawa lagi. Hampir seluruh tubuhnya rusak, seperti terkena sabetan senjata tajam. Saat itu,
Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda yang ditinggalkan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini, Kakang," ujar Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja. Dikeluarkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu dari
dalam parit diletakkannya di tempat yang agak teduh. Sementara, Pandan Wangi
hanya memperhatikan saja, kemudian beralih pada keadaan sekeliling yang masih
tetap terlihat begitu sunyi. Rangga menghampiri gadis itu kembali, setelah
meletakkan mayat ke tempat yang lebih nyaman. Pandan Wangi hanya melirik sedikit
pada pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kita memang tidak mengenal satu orang pun di desa ini, Kakang. Tapi kalau
terjadi sesuatu, rasanya sulit untuk berpangku tangan saja," tegas Pandan Wangi
lagi, masih terus memandangi wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti di sebelahnya.
Tapi, Rangga masih saja diam dengan bibir ter-katup rapat. Malah kepalanya
terlihat bergerak sedikit ke kiri, lalu agak miring ke kanan. Pandan Wangi yang
sejak tadi memperhatikan, langsung diam tidak bicara lagi. Padahal, tadi
mulutnya sudah dibuka hendak bicara. Namun melihat gerakan-gerakan kecil kepala
Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu jadi terdiam. Dia tahu, saat ini Rangga
tengah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Ilmu yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti memang bisa membedakan dan
memilah-milah suara. Hingga, dia bisa memilih suara yang diinginkan untuk didengar dengan
lebih jelas lagi. Agak lama juga Rangga terdiam mengerahkan aji 'Pembeda Gerak
dan Suara'. Kini perlahan kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi yang sejak
tadi tidak lepas memperhatikannya.
"Ada yang kau dapatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung.
"Tidak...," sahut Rangga seraya menggelengkan kepala sedikit
"Tidak ada suara manusia satu pun juga...?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin
memastikan. Rangga menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut
"Jadi...?" suara Pandan Wangi terdengar terputus.
"Aku tidak tahu, Pandan. Tapi aku tidak menemukan satu kehidupan pun di sini.
Desa Bangkalan ini seperti sudah ditinggalkan seluruh penduduknya,"
ujar Rangga dengan suara pelan dan agak mendesah.
"Aneh.... Kenapa mereka pergi meninggalkan desa ini, Kakang?" tanya Pandan
Wangi, seperti untuk diri sendiri.
Dan Rangga tidak bisa menjawab, kecuali hanya diam membisu. Periahan kakinya
bergerak terayun menyusuri jalan desa yang berdebu ini Pandan Wangi mengikuti,
dan menjajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
berjalan tanpa berbicara lagi. Jadi mata mereka terus mengamati keadaan
sekeliling. Dan ayunan langkah kaki kedua pendekar muda itu terhenti setelah sampai di depan
pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tampak tebal.
Mereka mengamati bangunan yang dikelilingi tembok pagar yang cukup tinggi bagai
sebuah benteng ini. Sementara asap yang terlihat masih saja mengepul, walaupun
tidak setebal tadi.
"Kau di sini saja dulu, Pandan," ujar Rangga.
"Mau ke mana kau, Kakang?" tanya Pandan Wangi cepat-cepat
"Aku ingin lihat ke dalam sebentar," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat ke atas. Gerakannya terlihat
sangat ringan bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan dengan manis sekali, kedua
kakinya menjejak bagian atas tembok ini Sementara, Pandan Wangi terus memandangi
sambil memegangi tali kekang kuda-kuda mereka berdua.
Tapi, hanya sebentar saja Rangga berada di atas pagar tembok ini, karena
sebentar kemudian sudah kembali melompat turun. Tanpa menimbulan suara sedikit
pun juga, kakinya kembali menjejak tanah, tepat sekitar dua langkah lagi di
depan Pandan Wangi.
"Ada apa di dalam sana, Kakang?" Pandan Wangi langsung saja menyambut dengan
pertanyaan. "Bangunan di dalam sudah hancur terbakar. Dan
banyak mayat di sana," sahut Rangga.
"Oh..."! Apa yang terjadi...?" tanya Pandan Wangi agak terkesiap.
"Entahlah, Pandan," sahut Rangga seraya mengangkat pundak sedikit. "Kau ingin
melihat ke dalam?"
"Aku rasa tidak ada salahnya, Kakang. Barangkali saja masih ada orang yang hidup
di dalam sana,"
sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sedikit Kemudian....
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, dan tahu-tahu sudah
kembali hinggap di atas dinding tembok batu ini. Tapi sebentar kemudian pemuda
itu sudah melompat turun ke dalam.
Sementara, Pandan Wangi menuntun kudanya
mendekati pintu yang sangat besar dari kayu jati tebal ini. Dan begitu dekat,
pintu itu bergerak terbuka dengan memperdengarkan suara berderit menggiris hati.
Pandan Wangi terus saja melangkah masuk.
Namun ayunan kakinya dihentikan setelah sampai di samping Rangga. Agak terkesiap
juga hati gadis itu melihat bangunan di dalam tembok bagian benteng ini sudah
hangus terbakar. Bahkan hampir tak tersisa lagi. Sementara di sekitar puingpuing bangunan yang menghitam hangus itu terlihat puluhan mayat bergelimpangan,
dengan tubuh berlumuran darah kering.
Bau anyir darah langsung menyeruak, merasuk ke dalam hidung. Pandan Wangi
menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya.
Sebentar diperhatikannya keadaan tubuh orang itu.
Beberapa luka seperti terbabat pedang, terlihat di tubuhnya yang berlumuran
darah mongering. Gadis
itu kembali menghampiri Rangga yang masih saja belum menggerakkan kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, seakan-akan tengah
ada yang dicarinya. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah berada
kembali di sebelah kanannya.
"Sepertinya sudah cukup lama ini terjadi, Kakang,"
ujara Pandan Wangi menduga. "Darah mereka sudah mengering semua."
"Apa perkiraanmu, Pandan...?" tanya Rangga, seperti menguji.
"Tempat ini seperti sebuah padepokan, Kakang..,"
keluh Pandan Wangi seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Ya, memang ini sebuah padepokan," sahut
Rangga. "Padepokan Merak Sakti. Aku juga kenal ketuanya, Eyang Banaspati."
"Kalau kau kenal, kenapa tidak kita cari saja di antara mereka, Kakang...?" usul
Pandan Wancp. "Aku tidak yakin Eyang Banaspati berada di antara mereka, Pandan. Dia bukan saja
pemimpin padepokan, tapi juga seorang pertapa sakti. Malah ilmu-ilmunya pun sangat sukar
dicari tandingannya."
"Dan mereka semua muridnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku rasa, iya...," sahut Rangga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
Saat itu, pandangan mata Rangga tertuju ke satu arah. Dan tanpa bicara lagi,
kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi memperhatikan sebentar, kemudian
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan dua ekor kuda
tunggangan mereka berdua. Sementara, Rangga terus berjalan melewati tubuh-tubuh
yang bergelimpangan tak tentu
arah di sekitar puing-puing yang sudah menghitam hangus ini.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah sampai di dekat
seorang gadis yang tergeletak di antara pecahan batu tembok. Tak ada luka
sedikit pun di tubuhnya, seperti yang lain. Tapi di mulutnya penuh menggumpal
darah yang sudah membeku kering. Rangga berlutut, lalu menyentuh-kan ujung jari
tangannya ke bagian leher dekat dagu gadis itu. Sementara, Pandan Wangi sudah
berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku merasakan denyut nadinya, Pandan. Tapi sangat lemah...," ujar Rangga pelan,
tanpa berpaling sedikit pun.
"Apa itu berarti dia masih hidup, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah panjang.
Pendekar Rajawali Sakti memeriksa beberapa bagian tubuh gadis ini. Sementara,
Pandan Wangi hanya memperhatikan jari-jari tangan Rangga yang bergerak lincah
dan teratur. Tampak beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memberi totokan pada
beberapa bagian tubuh gadis yang kecil mungil ini.
Tapi dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau usianya sekitar delapan belas
tahun. "Hhh...!"
Terdengar berat sekali tarikan napas Rangga. Dia bangkit berdiri lagi, dan
berpaling menatap Pandan Wangi yang tengah memperhatikan gadis muda yang
tergeletak di antara pecahan batu bekas tembok ini.
"Bagaimana" Masih bisa ditolong...?" tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit
pun. "Aku tidak yakin. Dia telah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, tepat di
bagian pusat peredaran darahnya," jelas Rangga, perlahan sekali suaranya.
"Oh...," desah Pandan Wangi panjang.
*** 3 Rangga tidak bisa menolak permintaan Pandan Wangi untuk menyembuhkan luka gadis
yang ditemui di antara puing-puing reruntuhan bekas Padepokan Merak Sakti.
Meskipun tidak yakin akan berhasil, tapi sekuat tenaga diusahakan untuk
menyembuhkannya.
Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin kalau gadis itu bisa disembuhkan. Buktinya,
dia mampu bertahan, walaupun habis terkena pukulan bertenaga dalam sangat
tinggi, tepat pada bagian pusat peredaran darahnya. Padahal, biasanya orang
sangat sukar untuk bisa bertahan. Kecuali, telah memiliki kekuatan tenaga dalam
tinggi pula. Dan itu pun masih ditambah penguasaan pengendalian hawa murni yang
sudah terlatih baik. Tapi, itu juga sangat sulit untuk bisa mengembalikannya
seperti sediakala.
Paling tidak, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam pengerahan tenaga
dalam. Dan yang lebih parah lagi, bisa mengakibatkan
kelumpuhan. Tapi, Pandan Wangi tetap berharap gadis ini bisa pulih kembali seperti semula.
Apa lagi, dia yakin betul kalau Rangga memiiiki kesempurnaan dalam
pengerahan tenaga dalam dan hawa murninya.
Sementara, Rangga berusaha menyembuhkan
gadis yang ditemuinya. Sedangkan Pandan Wangi memeriksa keadaan sekeliling.
Diperhatikannya satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam lingkungan
tembok yang menyerupai benteng ini. Tapi sampai matahari berada di atas kepala,
tetap saja tidak ditemukan lagi orang yang masih bisa ditolong.
Dan kebanyakan dari mereka menderita luka yang sangat parah, hingga menyebabkan
kematian. Si Kipas Maut itu kini kembali menghampiri Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti
sendiri tampaknya juga sudah menghentikan usahanya dalam menyembuhkan gadis itu
dengan pengerahan hawa murni yang dipadu pengerahan tenaga dalam.
"Bagaimana, Kakang" Ada kemajuan...?" tanya Pandan Wangi, seraya duduk di
samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita tunggu saja sampai besok. Kalau belum juga sadar...," Rangga tidak
melanjutkan kata-katanya.
"Tidak ada harapan...?"
Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian disambut
hembusan napas panjang Pandan Wangi.
'Kau sudah memeriksa semuanya, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam
diri. "Sudah," sahut Pandan Wangi singkat
"Kau temukan Eyang Banaspati?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi menggeleng. Walaupun belum
pernah mengenalnya, tapi dari ciri yang diberitahukan Rangga, Pandan Wangi tetap
mencari. Hanya saja, orang yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
ditemukan. Dan memang, dia tidak melihat adanya seorang laki-laki tua yang
seperti disebutkan Rangga padanya.
"Ayo, kita cari tempat yang lebih baik," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
Pandan Wangi ikut berdiri. Sementara, Rangga mengangkat tubuh gadis yang
ditemukan dan meletakkannya secara telungkup di atas punggung
kudanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menghampiri kudanya. Tapi gadis itu tidak
juga menaiki kuda putihnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berjalan sambil
menuntun kudanya, kemudian diikuti gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Kini
mereka berjalan sejajar berdampingan.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kuda masing-masing, keluar dari Padepokan
Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Sementara suasana di luar juga masih
tetap sunyi seperti tadi, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tapi kesunyian
itu sudah tidak lagi membuat khawatir, karena mereka sudah yakin kalau tidak ada
seorang pun yang akan dijumpai lagi.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan
Padepokan Merak Sakti, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat
menyeberang jalan ini, tidak jauh di depannya. Dan kebetulan, hanya Pendekar
Rajawali Sakti yang melihatnya.
"Kau tunggu di sini, Pandan," ujar Rangga cepat-cepat.
"Heh..."!"
"Hup!"
Belum juga Pandan Wangi bisa mengucapkan
sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda
hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu tidak berani melanggar
pesan Rangga, sehingga tetap berada di tengah-tengah jalan sambil memegangi tali
kekang kedua ekor kuda tunggangan mereka.
*** Sementara itu, Rangga sudah bisa melihat seorang laki-laki berlari menuju hutan
di kaki Bukit Merak ini dengan kecepatan tinggi. Seketika, Pendekar Rajawali
Sakti langsung saja menggenjot tubuhnya.
Kini, dia bagaikan terbang saja saat mengejar orang itu. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah cukup dekat
dengan orang itu. Dan....
"Hup...!"
Sungguh sangat ringan dan cepat lompatan
Rangga, hingga bisa melewati kepala orang yang dikejamya. Lalu, begitu manis
Pendekar Rajawali Sakti mendarat di depan buruannya.
"Berhenti...!"
"Oh..."!"
Orang itu tampak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya menghadang
seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan sebuah gagang pedang
berbentuk kepala burung bertengger di punggung. Seketika itu juga, larinya
langsung dihentikan.
"Jangan lari, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu," ujar Rangga.
"Siapa kau" Aku tidak mengenalmu...," terdengar bergetar suara pemuda itu.
"Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini," sahut
Rangga menjelaskan. "Dan kau siapa?"
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dengan bola matanya yang bersinar tajam,
diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Seakan-akan, dia tengah mencari
kebenaran dari jawaban Rangga barusan. Hati-hati sekali sikapnya, ketika
kepalanya berpaling ke belakang. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihat-nya.
Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sekitar satu
batang tombak di depan.
"Kau pasti bukan penduduk Desa Bangkalan ini,"
tebak pemuda itu lagi.
"Memang. Aku datang dari jauh, dan kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi aku
merasa heran, karena tidak menemui seorang pun di sini. Baru kau saja yang
Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kutemui, Kisanak," jelas Rangga, tenang.
"Lalu..., siapa temanmu itu?" tanya pemuda itu lagi.
"Dia teman seperjalananku," sahut Rangga,
langsung teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya bersama seorang gadis yang
masih belum sadarkan diri.
"Dan yang terbaring di punggung kuda...?"
tanyanya lagi. Rangga tersenyum mendengar pertanyaan yang beruntun itu. Disadari kalau pemuda
itu pasti sudah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tampaknya dia tidak tahu kalau
gadis yang terbaring pingsan di punggung kuda itu ditemukannya di Padepokan
Merak Sakti yang ada di Desa Bangkalan ini.
"Aku tidak tahu namanya. Dia kutemukan dalam keadaan terluka parah di antara
mayat-mayat yang ada di dalam Padepokan Merak Sakti," sahut Rangga baru
menjelaskan, setelah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.
"Kau.... Kau sudah masuk ke sana...?"
Pemuda itu tampak terkejut mendengar
penjelasan Rangga barusan.
"Benar, kenapa...?"
"Kau pasti salah seorang dari mereka!"
Kali ini suara pemuda itu terdengar bergetar agak tertahan. Bahkan wajahnya pun
jadi memerah, meregang kaku. Kedua bola matanya tampak berkilatan, bersinar
tajam menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan
kedua tangannya langsung terkepal, menampakkan urat-urat kejantanannya yang
membiru dan menonjol.
Sementara, Rangga agak terkejut juga melihat perubahan sikap pemuda itu, setelah
menjelaskan tentang gadis yang ditemuinya di dalam Padepokan Merak Sakti yang
sudah hancur terbakar.
Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti
berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja....
"Kau harus mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat..!"
"Heh..."! Tunggu...!"
Tapi, pemuda yang belum menyebutkan namanya itu sudah lebih cepat melompat
menyerang. Langsung dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan cepat sekali.
Mendapat serangan mendadak ini, membuat Rangga terpaksa harus melompat mundur
sambil meliukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar pemuda ini.
"Hap!"
Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' yang memang hanya digunakan untuk menghindar. Dengan jurus ini,
tidak mudah bagi lawan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti, meskapun gerakangerakan yang dilakukan seperti tidak beraturan sama sekali. Bahkan seperti orang
yang kebanyakan minum arak.
Sampai sejauh ini, serangan serangan gencar yang dilancarkan pemuda itu tidak
juga berhasil mendapatkan sasaran tepat. Semuanya dapat mudah dimentahkan Pendekar Rajawali
Sakti hanya dengan menggunakan satu jurus saja.
"Tunggu dulu, Kisanak. Kenapa kau menyerang-ku...?"
Rangga berusaha menghentikan seranganserangan pemuda itu, tapi sama sekali tidak dihiraukan. Bahkan pemuda yang tidak
dikenalnya itu semakin gencar melancarkan serangan. Akibatnya Pendekar Rajawali
Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang semakin
terasa dahsyat saja.
"Ups...!"
Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan
pemuda itu menghantam dada. Untungnya, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke
kanan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti cepat
memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Begitu cepat sodokan yang
diberikan, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Desss! "Ugkh...!"
Pemuda itu kontan mengeluh pendek. Dan
tubuhnya jadi terbungkuk, terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya langsung
mendekap perut yang terkena sodokan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga
tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Rangga sudah melompat cepat, sukar diikuti
pandangan mata biasa. Lalu, dengan cepat pula dilepaskannya satu totokan yang
disertai pengerahan tenaga dalam ke tubuh pemuda itu.
Tukkk! "Akh...!"
Pemuda itu sempat terpekik kecil, lalu tubuhnya
langsung ambruk begitu jalan darahnya tertotok.
Rangga bergegas menghampiri. Sementara pemuda itu sudah tergeletak tak bertenaga
lagi, begitu jalan darahnya tertotok.
*** "Maaf, aku terpaksa melumpuhkanmu
sementara," ucap Rangga buru-buru.
"Phuih...!" pemuda itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sinar matanya
menyorot begitu tajam, memancarkan kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun tahu, tapi Rangga tidak membalas sorot mata penuh kebencian itu. Bahkan
diberikannya senyuman yang lembut penuh persahabatan. Sikap lembut Pendekar
Rajawali Sakti ini membuat pemuda itu jadi keheranan juga. Terlebih lagi pemuda
tampan berbaju rompi putih itu tidak membunuhnya, tapi hanya menotok jalan
darahnya saja. Sehingga, seluruh tenaganya lenyap seketika. Dan kini, tubuhnya
bagaikan tidak memiiiki tulang lagi. Begitu lemas, sampai sulit digerakkan.
"Kenapa kau tidak membunuhku..."!" dengus
pemuda itu bertanya.
"Aku bukan pembunuh, Kisanak," sahut Rangga tetap kalem, tanpa ada rasa
tersinggung sedikit pun juga.
Sementara, pemuda itu terus memandangi
Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata yang kini berubah memancarkan rasa
curiga dan penuh selidik.
Tapi, Rangga tetap saja tersenyum.
Saat itu, terdengar suara langkah kaki kuda dan langkah kaki ringan. Rangga
berpaling sedikit ke arah
datangnya suara yang didengamya. Kini, tampaklah Pandan Wangi datang menghampiri
sambil menuntun dua ekor kuda. Dan di atas punggung kuda Dewa Bayu tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti tampak tertelungkup seorang gadis bertubuh kecil mungil
dengan kulit sangat putih dan halus. Sangat pas dengan warna pakaian yang
dikenakannya, walaupun pakaiannya tercemar bercak-bercak darah.
Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di belakang Rangga yang berjongkok di
samping kanan pemuda yang dikejarnya tadi. Dan sekarang, pemuda itu tergeletak
lumpuh tak berdaya sama sekali, setelah mendapat totokan yang cukup kuat dari
Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil menatap pemuda yang masih
tergeletak tak berdaya di tanah.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit
"Kau belum memperkenalkan namamu, Kisanak,"
ujar Rangga. "Kau tidak perlu tahu siapa aku! Yang penting sekarang, kau harus enyah dari
sini secepatnya!"
kasar sekali nada suara pemuda itu.
"Kau masih terus mencurigaiku, Kisanak. Padahal, aku sudah menjelaskan siapa
diriku yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat padamu.
Bahkan merasa heran dengan keadaan di desa ini.
Ketahuilah, Kisanak. Aku dan Pandan Wangi selalu berusaha membela yang lemah,"
kembali Rangga menjelaskan dengan gamblang.
"Benar, Kisanak. Kalau kau mau memberi tahu peristawa yang telah terjadi di desa
ini, barangkali saja kami bisa membantumu. Syukur kalau bisa memulihkan keadaan
seperti sediakala," selak
Pandan Wangi menyambung ucapan Rangga.
"Kalian benar-benar bukan orang jahat.." Bukan salah satu dari mereka?"
Tampaknya pemuda itu masih juga belum percaya.
Dan dia masih ingin memastikan kalau kedua orang yang tidak dikenalnya itu
memang benar-benar bukan orang jahat. Bahkan bisa membantu memulihkan keadaan di
Desa Bangkalan yang terasa begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.
Cukup lama juga pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian,
seakan-akan masih juga diliputi keraguan. Hatinya ingin diyakini, tapi tidak
tahu cara yang benar untuk menunjukkannya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling
melemparkan pandangan. Kemudian, terlihat kepala mereka menggeleng perlahan
beberapa kali. "Aku akan membebaskan totokanmu, Kisanak,"
ujar Rangga. Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung membebaskan
totokannya pada pusat aliran jalan darah pemuda itu. Sebentar saja, pemuda yang
belum diketahui namanya itu sudah bisa menggeliat. Kemudian, dia bergegas
bangkit berdiri.
Kakinya lalu ditarik dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya Rangga,
kemudian beralih pada gadis yang masih tertelungkup di punggung kuda hitam Dewa
Bayu. "Hm.... Apakah dia Lastri...?" gumam pemuda itu.
Nada suaranya sepreti bertanya pada diri sendiri.
"Aku tidak tahu, Kisanak. Dia kutemukan terluka sangat parah. Bahkan sampai kini
belum juga sadarkan diri," jelas Rangga, tanpa diminta.
Kembali pemuda itu memandang Pendekar
Rajawali Sakti. Kemudian kakinya melangkah
menghampiri gadis yang masih pingsan, tertelungkup di punggung kuda Dewa Bayu.
Memang sulit mengenalinya, karena wajahnya tidak terlihat sedikit pun juga. Kini
diangkatnya sedikit kepala gadis itu, hingga wajahnya dapat terlihat cukup
jelas. Seketika itu juga, matanya terbeliak sambil terpekik kecil.
"Kenapa kau, Kisanak?" tanya Rangga seraya cepat menghampiri.
"Benar.... Dia Lastri. Putri Eyang Banaspati," jelas pemuda itu seraya memutar
tubuhnya. Kini dia menghadap langsung pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Di mana kalian menemukannya?"
"Di reruntuhan padepokan Eyang Banaspati,"
sahut Rangga. "Di sana juga banyak mayat," sambung Pandan Wangi.
Tampak jelas kalau wajah pemuda itu langsung memucat mendengar penjelasan kedua
pendekar muda ini. Perlahan kakinya ditarik ke samping, menjauhi Rangga dan kuda
hitam Dewa Bayu.
"Kenapa, Kisanak" Kenapa wajahmu jadi pucat begitu...?" tanya Rangga, keheranan.
"Kalian akan mendapat celaka bila menolongnya.
Sebaiknya, kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan dia...," terdengar
bergetar suara pemuda itu.
"Kisanak! Sejak tadi kau bersikap aneh. Dan kata-katamu juga tidak bisa
kumengerti. Kenapa kau berkata begitu" Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini,
hingga membuatmu tampak begitu ketakutan?"
tanya Rangga meminta penjelasan.
Tapi pemuda itu tidak langsung menjawab.
Dipandanginya Rangga beberapa saat, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang
berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, pandangannya pun berganti pada gadis bernama Lastri yang masih tertelungkup tidak
sadarkan diri di punggung kuda hitam Dewa Bayu. Kembali ditatapnya Pendekar
Rajawali Sakti yang masih memandanginya,
menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Namaku Jalakpati. Aku sebenamya juga bukan penduduk desa ini. Kedatanganku ke
sini justru untuk menuntut ilmu pada Eyang Banaspati yang mengetuai Padepokan
Merak Sakti. Tapi, Eyang Banaspati tidak langsung menerimaku dan ingin menguji
dulu. Aku diminta menunggu untuk beberapa waktu. Entah untuk berapa lama harus
menunggu, maka kuputus-kan untuk tetap berada di desa ini sampai Eyang Banaspati
bersedia menemuiku lagi. Tapi...," pemuda yang mengenalkan diri sebagai
Jalakpati itu menghentikan kata-katanya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya
terdiam saja memandangi. Mereka menunggu
kelanjutan cerita pemuda itu.
*** 4 Lama juga Jalakpati terdiam, tanpa melanjutkan ceritanya tentang Desa Bangkalan
yang kini sudah tak berpenghuni lagi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih
sabar menunggu. Sedikit pun kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tidak
mengeluarkan suara. Namun pandangan mata
mereka tertuju langsung pada Jalakpati, dan berharap agar ceritanya dilanjutkan.
"Aku tidak tahu, sudah berapa hari tinggal di Desa Bangkalan ini. Tapi, Eyang
Banaspati belum juga memanggilku. Hingga suatu hari kudengar ada salah seorang
muridnya berusaha membangkang. Dan akhirnya, dia tewas ketika mencoba melarikan
diri," sambung Jalakpati setelah cukup lama membisu.
"Dibunuh...?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Entahlah. Tapi yang kudengar, dia tewas secara aneh begitu hampir sampai di
Puncak Bukit Merak, Hanya Lastri dan kedua pamannya saja yang
menemukan mayatnya, dan membawanya pulang ke padepokan. Tapi berselang satu
hari, terjadi musibah besar yang menimpa padepokan itu. Seluruh murid Padepokan
Merak Sakti tewas. Bahkan kedua paman Lastri pun ikut tewas juga. Tidak ada yang
tahu, siapa yang membantai mereka semua...," terdengar meng-gantung suara
Jalakpati saat memberi keterangan.
"Lalu, kenapa Desa Bangkalan ini ditinggalkan penduduknya?" selak Pandan Wangi,
bertanya. "Setelah Padepokan Merak Sakti hancur, satu
persatu ada saja yang tewas secara mengerikan.
Hingga, penduduk memutuskan untuk pergi dari desa ini. Maka tidak sampai
setengah hari, desa ini sudah kosong sama sekali. Tinggal aku yang masih tetap
bertahan. Dan semua yang terjadi ingin kuselidiki,"
sahut Jalakpati.
Sementara itu Rangga hanya diam saja. Keningnya terlihat berkerut, seakan tengah
memikirkan sesuatu.
Atau barangkali sedang menyimak semua yang telah diceritakan Jalakpati. Memang
terasa aneh sekali semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan ini.
Begitu cepatnya pembunuhan-pembunuhan itu
terjadi, hingga mengakibatkan Desa Bangkalan ini ditinggalkan penghuninya hanya
dalam waktu kurang dari setengah hari.
Bahkan sebuah padepokan yang sudah terkenal pun ikut hancur dalam waktu sebentar
saja. Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti. Apalagi, dia tahu betul
kalau Eyang Banaspati bukanlah orang sembarangan yang begitu mudah dapat
dikalahkan. Demikian pula murid-muridnya yang rata-rata ber-kepandaian cukup tinggi. Rasanya
sulit dipercaya kalau sebuah padepokan yang begitu kuat dan terkenal bisa runtuh
hanya dalam waktu sebentar saja.
Saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Mereka langsung
berpaling ke arah suara. Di sana terlihat debu mengepul membubung tinggi ke
angkasa. Tak berapa lama kemudian, terlihat beberapa penunggang kuda yang
berpacu cepat ke arah mereka.
Penunggang-penunggang kuda itu terus saja
memacu cepat kudanya. Seakan-akan tidak melihat ada tiga orang berdiri di tepi
jalan. Tanpa berpaling
sedikit pun, mereka terus saja melewati Jalakpati dan kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu.
Sebentar saja, penunggang-penunggang kuda itu sudah jauh melewati mereka. Debu
terus mengepul mengikuti sepanjang jalan yang dilalui penunggang-penunggang kuda
itu. "Siapa mereka...?" tanya Pandan Wangi Nada suaranya terdengar menggumam, seperti
bertanya pada diri sendiri.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Sementara Rangga dan Jalakpati terus
memandangi empat orang penunggang kuda yang sudah jauh, dan tidak terlihat lagi
karena tertutup kepulan debu tebal yang tersepak kaki-kaki kuda.
"Kelihatannya mereka hendak ke Bukit Merak...,"
ujar Rangga setengah menggumam.
"Benar! Mereka memang hendak ke sana," sahut Jalakpati, juga terdengar pelan
suaranya. Rangga berpaling menatap pemuda itu. Dan yang dipandangi terus mengarahkan
pandangan matanya ke Bukit Merak. Sementara, empat orang penunggang kuda yang
melewati mereka sudah tidak terlihat lagi, namun debu masih terlihat mengepul di
Pendekar Rajawali Sakti 89 Pedang Halilintar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa. Demikian pula suara kaki kuda yang dipacu cepat, juga sudah tidak terdengar
lagi. Jalakpati baru mengalihkan pandangannya setelah debu yang mengepul sudah
tidak terlihat lagi. Dan kini, tatapan matanya langsung bertemu sorot mata
Rangga yang sejak tadi terus memandangi.
"Sejak Padepokan Merak Sakti hancur, dan Desa Bangkalan ini tidak lagi
berpenghuni, sudah ada kira-kira sepuluh orang datang ke Bukit Merak," jelas
Jalakpati, tanpa diminta lagi.
"Mau apa mereka datang ke sana?" tanya Pandan
Wangi. Jalakpati tidak menjawab, dan hanya mengangkat pundaknya saja sedikit. Sementara
itu, matahari terus merayap turun ke kaki langit sebelah barat. Kini mereka
tidak bicara lagi. Entah apa yang ada di dalam benak kepala merka masing-masing
saat ini. Sedangkan Rangga sudah memeriksa salah sebuah rumah, lalu membawa masuk Lastri
ke dalam rumah itu. Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Sedangkan Jalakpati
mengurus kuda-kuda kedua pendekar muda itu tanpa diminta lagi. Sebentar lagi,
malam akan datang. Dan mereka memang membutuhkan tempat untuk bermalam yang
kebetulan tidak sulit mendapatkannya. Karena, rumah-rumah di desa ini sudah
tidak berpenghuni lagi, sehingga mereka bisa menempatinya untuk sementara sambil
menunggu malam.
*** Sepanjang malam Rangga tidak bisa memejamkan
mata sedikit pun, karena tengah berusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita
Lastri. Tapi gadis itu masih juga belum sadarkan diri. Sementara, Pandan Wangi
terus setia menunggu, dan sesekali membantu kalau diminta. Sedangkan Jalakpati
tertidur lelap, seakan tidak peduli dengan apa yang dilakukan kedua pendekar
muda dari Karang Setra itu.
Hingga pagi datang menjelang, Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa
memejamkan matanya barang sekejap pun. Sedangkan Pandan Wangi sudah terbaring
tidur di samping pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Ranggga
terus memperhatikan Lastri yang masih terbaring belum
sadarkan diri di depannya.
"Bagaimana...?"
"Oh..."!"
Rangga agak terkejut juga ketika tiba-tiba terdengar suara dari sebelah
kanannya. Cepat mukanya berpaling, dan tersenyum begitu melihat Jalakpati sudah
berada dekat di sebelah kanannya. Saat itu, Pandan Wangi menggeliat dan membuka
matanya. Gadis itu bangkit, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara,
Jalakpati tetap berdiri di sebelah lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
sama-sama memandang gadis berwajah cukup cantik dan bertubuh kecil mungil yang
terbaring tidak sadarkan diri di atas balai-balai bambu beralaskan selembar
tikar daun pandan.
"Aliran jalan darahnya sudah mulai seperti biasa kembali. Dan pernapasannya juga
sudah tidak terganggu. Tapi matanya belum juga mau terbuka,"
kata Rangga memberi tahu. Suaranya terdengar perlahan, seakan-akan bicara pada
diri sendiri. "Sudah kau periksa lagi, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Sudah," sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Mungkin ada kesalahan...," selak Jalakpati.
"Entahlah...," sahut Rangga mendesah. "Coba kau yang periksa."
Rangga menggeser duduknya, memberi tempat
pada Jalakpati. Pemuda itu kemudian duduk di tempat duduk Rangga tadi. Sebentar
dipandanglnya Lastri yang masih terbaring diam. Kemudian tangannya bergerak ke
atas tubuh gadis itu. Seketika, jari-jari tangannya lincah sekali bergerak
memberi pijatan-pijatan ke tubuh Lastri.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya
diam saja memperhatikan. Sedangkan jari-jari tangan Jalakpati tampak sudah
berhenti bergerak di atas perut Lastri. Kening pemuda itu jadi berkerut
Kemudian, wajahnya berpaling menatap Rangga sambil menarik kembali tangannya
dari perut Lastri yang masih tetap terbaring diam dengan tarikan napas teratur
lembut. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Pusat pengerahan hawa murninya tertutup. Dia tidak akan mungkin bisa sadar
kalau belum dibuka,"
sahut Jalakpati.
"Oh..."!"
Rangga tersentak kaget. Hal itu benar-benar tidak disadari. Pendekar Rajawali
Sakti sama sekali tidak memeriksa sampai ke sana. Cepat dua ujung jari tangannya
ditekan ke perut Lastri. Keningnya jadi berkerut, lalu perlahan menarik kembali
jari tangannya. Dipandanginya Jalakpati dan Pandan Wangi bergantian.
"Kenapa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak yakin bisa membuka kembali aliran pusat pengerahan hawa muminya.
Sudah terlalu lama tersumbat. Dan...," Rangga tidak meneruskan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin lebih tahu.
"Orang yang melakukannya memiiiki tenaga dalam tingkat sempurna. Aku tidak tahu,
apakah pengerahan tenaga dalamku bisa menandinginya,"
sahut Rangga lagi, dengan nada suara terdengar agak mengeluh.
"Coba saja, Kakang," desak Pandan Wangi.
Gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sangat yakin kalau Rangga bisa
melakukannya. Dia tahu,
tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah
mencapai tingkat sempurna. Dan dia percaya, Rangga mampu mem-bukanya kembali.
"Terlalu besar akibatnya, Pandan," ujar Rangga sedikit mendesah.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Kalau memang berhasil, dia akan sembuh seperti semula. Tapi kalau tidak..., aku
tidak bisa lagi menjamin keselamatannya," sahut Rangga menjelaskan.
Pandan Wangi terdiam. Langsung disadarinya kesulitan yang dihadapi Pendekar
Rajawali Sakti saat ini. Memang tidak mudah membuka kembali pusat pengerahan
hawa mumi jika sudah tersumbat oleh kekuatan tenaga dalam yang sudah sempuma
tingkatannya. Paling tidak harus ada orang yang memiiiki kekuatan tenaga dalam
lebih tinggi lagi untuk bisa memulihkannya. Sedangkan saat ini, mereka tidak ada
yang tahu, sampai di mana orang itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyumbat pusat pengerahan hawa mumi di tubuh Lastri.
Dan mereka juga belum tahu, siapa orang yang telah berbuat seperti ini. Padahal
Rangga yang tingkat tenaga dalamnya sudah mencapai titik sempuma saja, masih
belum yakin bisa membuka sumbat itu.
Sementara, Jalakpati yang menyadari kekuatan tenaga dalamnya, tidak berani lagi
mencoba. Disadari akan bahaya yang mungkin akan dihadapi.
Dan tentu saja, mereka tidak ingin Lastri tewas hanya karena cara pengobatan
yang tidak berhasil.
Saat ini, mereka memerlukan keterangan gadis itu untuk mengetahui latar belakang
dari semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan dan Padepokan Merak Sakti.
Dan di sisi lain, mereka juga ingin tahu orang yang telah membantai habis muridmurid Padepokan Merak Sakti. Bahkan sampai membuat semua orang di Desa Bangkalan
ini meninggalkan desa untuk mencari keselamatan diri. Karena, orang itu ternyata
juga membantai tidak sedikit penduduk desa yang sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Aku akan coba melepaskan sumbatan itu. Tapi, tolong kalian bantu kalau sudah
kuberi tanda," ujar Rangga.
"Aku siap, Kakang," sambut Pandan Wangi cepat
"Aku juga," sambung Jalakpati.
*** "Cukup...!"
Rangga langsung melepaskan kedua telapak
tangannya dari punggung Lastri. Dan tanpa
menggerakkan tubuhnya sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser
duduknya ke samping.
Sementara, Lastri langsung jatuh terkulai begitu telapak tangan Rangga terlepas
dari punggungnya.
Cepat-cepat Rangga menyangga, lalu membaring-kannya perlahan-lahan.
Pandan Wangi dan Jalakpati yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti,
juga segera menggeser duduknya. Mereka tetap duduk bersila, mengambil sikap
bersemadi. Mereka memang harus memulihkan kembali kekuatan tenaga dalamnya,
setelah tadi membantu Rangga membuka sumbatan pada aliran penyaluran hawa murni
di tubuh Lastri.
Sementara, Rangga kini juga sudah bersemadi,
walaupun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti turun dari balai-balai
bambu yang hanya beralaskan selembar tikar daun pandan ini. Dia terus berjalan
ke pintu, dan berdiri di sana sambil memandang ke luar. Sedikit kepalanya
berpaling, menatap Pandan Wangi dan Jalakpati yang masih bersemadi. Kembali
pandangannya diarahkan ke depan, menatap matahari yang saat ini sudah naik cukup
tinggi. "Sudah selesai semadinya...?" tanya Rangga begitu telinganya mendengar suara
dari belakang. "Sudah," terdengar suara Pandan Wangi yang menyahuti.
"Kemarilah, Pandan," pinta Rangga tanpa me-malingkan wajah sedikit pun juga.
Pandan Wangi turun dari balai-balai bambu, kemudian melangkah menghampiri Rangga
yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Dia berhenti melangkah setelah sampai
di samping sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Jalakpati juga sudah
selesai bersemadi. Tapi, pemuda itu masih tetap duduk di atas balai-balai bambu.
Ditunggunya Lastri yang juga belum sadarkan diri.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi.
"Kau lihat di atas Bukit Merak itu...," sahut Rangga seraya menunjuk ke atas
puncak Bukit Merak.
Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke sana. Beberapa saat, ditatapnya
puncak Bukit Merak yang masih sedikit terselimut kabut. Perlahan kemudian
kepalanya bergerak berpaling, dan menatap Rangga yang masih memandang ke arah
puncak Bukit Merak.
"Apa yang kau lihat di sana?" tanya Rangga seperti menguji.
"Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kabut," sahut Pandan Wangi.
"Kau merasakan sesuatu?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja, walaupun Rangga tidak mengalihkan
sedikit pun pandangan dari puncak Bukit Merak. Dan sudah pasti Pendekar Rajawali
Sakti tidak melihat gelengan kepala Pandan Wangi. Malah, perhatiannya begitu
lekat sekali ke arah puncak Bukit Merak. Pandan Wangi jadi mengerutkan
keningnya. Malah kelopak matanya jadi menyipit, melihat Rangga begitu seksama
memandang ke arah puncak bukit. Mau tak mau gadis itu harus kembali mengarahkan
pandangan ke sana. Tapi, memang tidak ada apa-apa yang bisa dilihat, kecuali
kabut yang masih sedikit menyelimuti puncak bukit itu.
"Kau tahu, Pandan Wangi... Sejak kemarin, aku sudah merasakan adanya getaran
aneh di hatiku.
Dan getaran itu semakin terasa, waktu mencoba mengobati Lastri tadi, dengan
bantuanmu dan Jalakpati. Getaran itu terus terasa dan semakin kuat Aku merasakan
getaran itu datang dari sana," kata Rangga sambil menunjuk puncak Bukit Merak.
"Getaran apa yang kau rasakan, Kakang?" tanya Pandan Wangi jadi tertarik juga.
Gadis itu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan sesuatu di
hatinya, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Getaran hati Rangga begitu
kuat. Dan biasanya, merupakan suatu pertanda bagi Pendekar Rajawali Sakti. Entah
pertanda baik, atau buruk. Tapi yang jelas, apa yang dirasakan hati Pendekar
Rajawali Sakti, Pandan Wangi tidak bisa menganggap remeh.
"Sebuah malapetaka besar akan terjadi tidak lama
lagi...," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Malapetaka apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi agak bergetar.
"Ka...."
Baru saja Rangga hendak membuka suaranya,
mendadak saja....
"Khraaagkh...!"
"Oh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak
menggelegar yang begitu keras. Begitu kerasnya, hingga rumah yang mereka tempati
jadi bergetar. Bahkan bumi yang dipijak pun jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Pandan Wangi langsung mendongakkan kepala ke atas. Dia tahu, tadi itu suara
Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itu juga guru pemuda
tampan berbaju rompi putih ini.
Jeritan Rajawali Putih yang terdengar begitu keras tadi, membuat Jalakpati jadi
terlompat turun dari atas balai-balai bambu. Bergegas dihampirinya Rangga dan
Pandan Wangi yang berada di ambang pintu.
Pemuda itu berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Suara apa itu?" tanya Jalakpati.
Pandan Wangi yang baru saja membuka mulutnya hendak menjawab, jadi langsung
terdiam melihat lirikan mata Rangga yang begitu tajam padanya. Dia tahu,
Pendekar Rajawali Sakti tidak mengizinkannya memberi tahu tentang Rajawali Putih
pada sembarang orang. Terlebih lagi, pada orang yang belum begitu dikenal dengan
baik. "Akan kuperiksa. Kalian tunggu saja di sini sampai aku kembali," ujar Rangga.
"Kakang...."
Pandan Wangi cepat mencekal tangan Rangga
yang sudah melangkah tiga tindak, keluar dari rumah ini. Pendekar Rajawali Sakti
menghentikan langkah-nya, dan berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang masih
saja memegangi pergelangan tangannya.
Periahan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melepaskan cekalannya
pada tangan Rangga.
"Hati-hati...," hanya itu yang bisa diucapkan Pandan Wangi.
Entah kenapa, mendadak saja Pandan Wangi
merasakan hatinya jadi gelisah. Boleh dibilang begitu khawatir pada Pendekar
Rajawali Sakti ini. Padahal selama mengenal pemuda itu, belum pernah sedikit pun
terselip rasa khawatir. Dia begitu yakin terhadap kemampuan yang dimiliki
Rangga. Tapi, kali ini begitu lain. Hatinya benar-benar mencemaskan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Jagalah Lastri. Tidak lama lagi dia akan siuman,"
ujar Rangga seraya menepuk pundak Pandan Wangi.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pandan Wangi selain menganggukkan kepala.
Sementara, Rangga sudah melangkah lebar-lebar, menghampiri kudanya yang
tertambat di bawah pohon kenanga. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik
ke punggung kuda hitam yang dikenal bemama Dewa Bayu.
"Hiyaaa...!"
Sekali sentak saja, Dewa Bayu sudah melesat begitu cepat, bagaikan anak panah
terlepas dari busurnya. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak
kaki-kaki kuda yang berpacu secepat kilat. Begitu cepatnya berlari, sehingga
dalam waktu sebentar saja Dewa Bayu sudah tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul, membubung tinggi
ke angkasa. *** 5 Rangga terus memacu cepat kudanya, menyusuri lereng Bukit Merak yang penuh
ditumbuhi pepohonan. Meskipun tumbuh begitu lebat, tapi pepohonan itu tidak menghalangi
Pendekar Rajawali Sakti memacu cepat kudanya. Demikian pula Dewa Bayu yang juga
tidak merasa kesulitan untuk berlari cepat, walaupun berada di dalam hutan yang
sangat lebat "Hooop...!"
Rangga baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah padang rumput
kecil, di lereng bukit ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling,
kemudian melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan manis dan indah
Istana Pulau Es 13 Pendekar Naga Geni 14 Sengketa Kalung Pusaka Kaki Tiga Menjangan 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama