Ceritasilat Novel Online

Dendam Gadis Pertapa 2

Pendekar Rajawali Sakti 141 Dendam Gadis Pertapa Bagian 2


"Aku akan segera memberi tahu Gusti Putri," kata Kaliga gembira.
Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Kaliga sudah melompat naik ke punggung kudanya.
"Tunggu dulu...," cegah Rangga cepat pada Kaliga yang akan menggebah kudanya.
Kaliga langsung menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.??
"Pandan! Kau ikut bersamanya. Biar kau tahu, di mana tempat mereka. Setelah itu, kau langsung temui aku di bagian selatan kota Kadipaten Parunggungan," kata Rangga meminta.
"Baik, Kakang," sahut Pandan Wangi. Tanpa diminta dua kali, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah melompat naik ke punggung kuda putihnya. Dan dia segera mengajak Kaliga pergi dari Desa Batang Hulu ini.
Sementara mereka pergi, Rangga tetap berdiri mematung di sana. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan.
"Ayo, Dewa Bayu. Bawa aku ke kota Kadipaten Parunggungan," kata Rangga meminta pada kudanya.
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, seakan bisa mengerti semua yang diucapkan Rangga tadi. Dan saat itu juga, binatang itu langsung melesat cepat bagai kilat, seperti anak panah lepas dari busur. Begitu cepat melesatnya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap meninggalkan kepulan debu dan daun-daun kering.
Rangga terus memacu kudanya bagaikan berlari di atas angin saja. Kecepatan lari kuda hitam itu memang luar biasa. Tidak ada satu ekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandingi kecepatan larinya. Hingga dalam waktu tidak lama, Dewa Bayu sudah membawa Pendekar Rajawali Sakti menembus kelebatan hutan yang langsung menuju kota Kadipaten Parunggungan.
Walaupun hutan begitu lebat, namun tidak mampu mengendorkan kecepatan lari kuda hitam ini. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam saja di antara pepohonan yang rapat di dalam hutan. Dan di saat kegelapan sudah menyelimuti permukaan bumi ini, Rangga baru tiba di perbatasan kota Kadipaten Parunggungan sebelah selatan.
"Oh..."!"
Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini. Tidak ada satu rumah pun yang masih berdiri utuh di bagian selatan kota Kadipaten Parunggungan ini. Semua rumah sudah habis terbakar jadi debu. Dan mayat-mayat yang sudah menyebarkan bau busuk, bergeletakkan di mana-mana. Rangga merasakan sedang memasuki sebuah tempat pembantaian manusia. Mayat-mayat yang sudah mulai membusuk, sama sekali tidak terurus lagi di antara puing-puing hitam bekas rumah-rumah yang terbakar.
Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Dan kakinya melangkah sambil menuntun kudanya memasuki kota kadipaten itu. Seluruh bulu di tubuhnya langsung bergidik melihat pemandangan yang begitu mengenaskan. Sungguh tidak disangka seperti ini keadaannya.
"Dewata Yang Agung.... Bencana apa yang sedang terjadi di sini...?" desah Rangga lirih.
? *** ? 5 ? Sepanjang jalan menuju tengah kota, hanya rumah-rumah bekas terbakar dan mayat-mayat bergelimpangan yang sudah mulai menyebarkan bau busuk saja yang bisa didapati Pendekar Rajawali Sakti. Tldak ada seorang pun yang ditemukan masih hidup. Kota ini benar-benar sudah menjadi kota mati, penuh puing menghitam hangus dan mayat bergelimpangan tak tentu arah saling tumpang tindih. Rangga terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan, menuju sebuah bangunan megah dikelilingi pagar tembok benteng yang kokoh. Inilah satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak di tengah kota Kadipaten Parunggungan ini.
Rangga terus mengayunkan kakinya semakin mendekati bangunan istana kadipaten itu. Tapi ketika sudah tinggal sekitar tiga batang tombak lagi jaraknya, tiba-tiba saja dari bagian atas benteng itu bermunculan orang-orang berbaju serba merah yang siap dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan dari pintu gerbang utama yang tidak tertutup itu, bermunculan orang-orang berpakaian serba merah kain membawa tombak yang begitu banyak.
Mereka langsung berjajar, seperti menghadang langkah Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, Rangga langsung menghentikan langkah kakinya. Tampak di antara orang-orang yang berjajar di depan pintu gerbang benteng bangunan istana itu, seorang pemuda tampan yang juga memakai baju merah menyala. Sebilah pedang juga tampak tergantung di pinggang. Hanya dia yang menunggang kuda. Sedangkan yang lain berdiri berjajar membentuk tiga barisan, seperti hendak menghadang musuh yang berjumlah besar saja. Padahal, hanya satu orang saja yang dihadapi sekarang ini.
"Hm... Benar apa yang dikatakan Kaliga. Mereka tidak bisa dihadapi seorang diri saja. Harus mengerahkan prajurit untuk mengusirnya dari sini," gumam Rangga dalam hati, setelah melihat kekuatan yang begitu besar ini.
Saat itu, terlihat pemuda penunggang kuda bergerak maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda yang tak lain dari Priyada ini menghentikan kudanya, setelah berjarak sekitar satu batang tombak lagi dari Pendekar Rajawali Sakti. Dengan sorot mata sangat tajam, dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.
"Mau apa kau datang ke sini"!" bentak Priyada langsung.
"Hanya sekadar lewat saja," sahut Rangga.
"Kalau hanya lewat, cepat pergi. Atau kau ingin bernasib sama dengan mereka...?"
Rangga hanya diam saja. Terbersit kilatan kegeraman pada matanya, mendapat sikap kasar seperti ini. Tapi disadari kalau tidak mungkin bisa melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada pemuda itu. Dan Rangga juga tidak ingin bertindak gegabah. Kedatangannya ke kota kadipaten ini dengan maksud untuk mengetahui kebenaran dari cerita Kaliga saja. Dan dia memang harus pergi, tanpa harus menimbulkan kecurigaan. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kudanya.
"Cepat pergi! Tunggu apa lagi kau..."!" bentak Priyada kasar.
Sebentar Rangga menatap tajam pemuda itu, kemudian memutar tubuhnya. Langsung Dewa Bayu digebah kencang, hingga langsung melesat membawa Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan Priyada. Hanya debu saja yang terlihat mengepul di udara.
Priyada sempat terlongong bengong melihat kecepatan lari kuda itu. Seumur hidup, belum pernah dia melihat lari kuda sehebat itu. Beberapa saat dia tetap diam memandangi kepulan debu di kejauhan yang semakin menipis di udara. Sementara kuda hitam itu sudah tidak terlihat lagi dari pelupuk matanya.
"Hm... Hebat sekali kuda itu," gumam Priyada. "Ah! Bodoh sekali aku. Kenapa tidak kurampas saja kuda itu tadi...?"
Priyada menyesali kebodohannya sendiri, tapi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kuda hitam yang membuatnya terkagum-kagum itu sudah lenyap, entah pergi ke mana. Priyada segera memutar kudanya berbalik, dan cepat menggebahnya memasuki benteng istana kadipaten ini. Dan orang-orang berbaju serba merah yang ikut keluar bersamanya tadi segera mengikutinya dari belakang, masuk kembali ke dalam benteng istana. Sementara Rangga sendiri sudah tiba di perbatasan kota sebelah selatan. Di sini, dia akan menunggu Pandan Wangi.
*** ? Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Lalu dia melompat turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakannya. Sehingga, tidak terdengar suara sedikit pun saat kedua kakinya menjejak tanah. Rangga merasakan sekelilingnya begitu sunyi. Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan saja yang ada. Dan untuk menunggu Pandan Wangi sampai ke sini, masih harus menunggu dua hari lagi. Tapi dengan menunggang kuda Dewa Bayu, Pendekar Rajawali Sakti hanya sebentar saja bisa sampai.
"Ah! Sebaiknya kuselidiki saja kekuatan mereka dulu dengan Rajawali Putih. Dari angkasa, aku rasa bisa lebih leluasa melihat keadaan di dalam benteng istana," gumam Rangga, bicara pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengelus-elus kuda tunggangannya ini. Kemudian, dia menepuk lehernya tiga kali dengan lembut. Dan kuda hitam itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau jangan pergi ke mana-mana, Dewa Bayu. Tetap saja di sini menunggu Pandan Wangi," kata Rangga pada kudanya.
Kuda hitam itu mendengus sekali lagi sambil menganggukkan kepalanya. Seakan, semua yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti bisa dimengerti.
Rangga tersenyum, dan menepuk lembut leher kuda itu. Kemudian dia berdiri tegak, dengan kepala terdongak ke atas. Sebentar saja perhatiannya sudah terpusat ke arah lain. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Suiiit...!"
Saat itu juga terdengar siulan panjang melengking tinggi dan bernada aneh. Siulan itu menggema bagai hendak menembus langit yang bertaburkan bintang. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti menunggu, dengan kepala tetap mendongak ke atas, memandangi langit gelap penuh bertaburkan cahaya bintang. Kembali dia memusatkan dirinya, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Suiiit...!"
Rangga kembali bersiul, memanggil burung rajawali raksasa tunggangannya, selain Dewa Bayu. Dan kali ini, dia tidak menunggu lama. Di langityang menghitam, terlihat seekor burung melesat bagai kilat, seperti keluar dari lingkaran cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini.
"Khraaagkh...!"
"Ke sini, Rajawali...!" seru Rangga sambil me-lambaikan tangannya, memanggil burung rajawali raksasa.
"Khraaagkh...!"
Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu meluruk deras sekali, lalu mendarat begitu ringan di depan Rangga. Dia mengkirik pelan, seakan menanyakan maksud Rangga memanggilnya malam-malam begini. Saat itu, Rangga sudah melangkah menghampiri.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandang Dewa Bayu yang diam memandangi Rajawali Putih.
"Kau tetap di sini, Dewa Bayu," kata Rangga meminta.
Kuda hitam itu meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Dan ringkikan kuda hitam itu langsung disambut Rajawali Putih dengan teriakannya yang nyaring memekakkan telinga. Rangga hanya tersenyum saja, seakan bisa mengerti semua yang disuarakan kedua binatang kesayangannya. Kemudian, ditepuknya leher Rajawali Putih tiga kali. Maka bumng rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mengepakkan sayapnya sambil mengeluarkan jeritan serak yang keras menggelegar, bagai guntur membelah angkasa.
"Khraaagkh...!"
Slap! Hanya sekali saja mengepakkan sayap, Raja-wali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa, membawa Pendekar Rajawali Sakti yang berada di punggungnya.
"Ke bangunan istana itu, Rajawali...!" seru Rangga sambil menunjuk ke arah bangunan istana kadipaten yang dikelilingi pagar benteng dari batu.
"Khraaagkh...!"
Dari atas ini, Rangga bisa melihat jelas sekali keadaan di dalam benteng istana itu. Dan Rajawali Putih berputar-putar di atas bangunan istana ini, memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa leluasa mengamatinya.
"Hebat...!" desis Rangga begitu melihat kekuatan yang ada di dalam benteng istana itu. "Mereka seperti sebuah pasukan kerajaan saja. Banyak sekali jumlah mereka...."
Namun ketika Rangga melayangkan pandangannya ke bagian belakang bangunan istana yang megah ini, keningnya jadi berkerut. Matanya menangkap seseorang terikat pada sebatang tonggak kayu melintang dengan tangan terentang. Seluruh pakaiannya sudah tercabik. Dan sepertinya, seluruh tubuhnya mendapat siksa cambukan. Walaupun dari angkasa dan dalam keadaan malam hari, tapi Rangga bisa melihat jelas karena mengerahkan aji 'Tatar Netra'. Sebuah ilmu yang membuat penglihatannya jadi terang, walau dalam keadaan yang sangat gelap dan jarak yang sangat jauh sekalipun.
"Hm, siapa dia...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Rangga melihat kalau orang yang terpancang pada tonggak kayu bersilang di bagian belakang istana itu adalah seorang laki-laki berusia muda, yang mungkin sebaya dengannya. Seluruh pakaian dan tubuhnya tercabik bekas cambukan. Darah yang sudah mengering, melekat mengotori seluruh tubuhnya. Walaupun sudah koyak, tapi pakaian yang dikenakannya jelas sekali bukan pakaian rakyat biasa.
"Apakah dia Adipati Wiyatala...?" gumam Rangga lagi, bertanya pada diri sendiri dalam hati.
Rangga meminta Rajawali Putih lebih mende-kat. Dan saat itu, Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat lebih jelas lagi. Namun belum juga bisa lama mengamatinya, terlihat tiga orang keluar dari pintu belakang istana. Tampak seorang laki-laki tua, seorang gadis cantik, dan seorang pemuda yang dikenali Rangga ketika mendekati bangunan istana ini tengah mendekati orang yang terpancang pada tonggak. Rangga langsung meminta Rajawali Putih untuk naik lebih tinggi lagi. Dan saat itu juga, dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat pendengarannya lebih tajam berpuluh kali lipat daripada pendengaran manusia biasa. Bahkan pendengarannya bisa dipusatkan pada sesuatu yang ingin didengarnya, tanpa mendapat gangguan dari sekelilingnya.
Dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' Rangga bisa mendengar suara seekor semut di dalam lubangnya. Walaupun, di dekat lubang semut itu ada seekor harimau yang mengaum. Karena ajian itu memang bisa meredam suara harimau, untuk mendengarkan suara semut di dalam lubang.
Sementara di halaman belakang istana kadipaten itu, Pendekar Rajawali Sakti melihat laki-laki tua berjubah merah yang ternyata Ki Warungkul makin mendekati laki-laki yang terpancang pada batang tonggak kayu. Sedangkan dua orang yang mendampinginya sudah tentu Priyada dan Worodini.
"Dengar, Wiyatala.... Ini untuk yang terakhir kalinya aku bermurah hati padamu. Ke mana istri dan anakmu...?" dingin sekali nada suara Ki Warungkul.
Laki-laki yang terpancang pada tonggak kayu itu memang Adipati Wiyatala. Dan adipati itu hanya diam saja. Tatapan matanya tajam, walaupun wajahnya biru lebam dengan darah kering mengotorinya.
"Phuih!"
Adipati Wiyatala menyemburkan ludahnya dengan sengit. Ludah yang bercampur darah itu hampir saja mengenai wajah Ki Warungkul. Untung saja orang tua itu segera mengegoskan kepalanya ke samping.
"Setan! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati! Hih...!"
Plak! Walaupun tamparan yang mendarat di wajah begitu keras, tapi Adipati Wiyatala tidak mengeluarkan pekikan sedikit pun. Bahkan keluhan kecil saja tidak terdengar dari bibirnya yang merah berlumur darah.
"Katakan, di mana anak dan istrimu..."!" bentak Ki Warungkul mulai tidak sabar lagi.
"Kalaupun kau bunuh aku, tidak bakalan bicara padamu, Iblis...!" dengus Adipati Wiyatala ketus.
"Kurang ajar...!"
Hampir saja Ki Warungkul menampar lagi wajah adipati itu, kalau saja Worodini tidak cepat mencegahnya. Terpaksa Ki Warungkul menumnkan lagi tangannya yang sudah terangkat. Sambil mendengus kesal, kakinya ditarik ke belakang. Dan tempatnya kini diambil alih oleh Worodini.
Gadis cantik itu tersenyum manis sekali. Tapi, Adipati Wiyatala malah menyemburkan ludahnya. Walaupun wajah dan senyum Worodini begitu cantik, tapi dalam pandangan mata Adipati Wiyatala, wajah gadis ini bagaikan iblis dari neraka yang ingin mengoyaknya.
"Kakang Wiyatala.... Tidak ada gunanya ber-keras kepala seperti ini. Beritahu saja, di mana anakmu sekarang berada. Aku yakin, kadipaten ini akan dikembalikan Ayah padamu seperti semula. Percayalah, Kakang...," Worodini mencoba membujuk dengan suaranya yang dibuat lembut.
Tapi Adipati Wiyatala hanya diam saja, memandangi gadis itu dengan sinar mata begitu tajam membakar. Dan pada saat itu, terlintas kembali suatu kenangan yang selama ini sudah terlupakan. Suatu kenangan yang saat itu terasa begitu indah dan manis. Kenangan yang sebenarnya sangat sulit dilupakan.
Saat itu, Adipati Wiyatala belum menjabat sebagai adipati di Kadipaten Parunggungan. Wiyatala kala itu masih seorang pemuda lajang yang suka berpetualang mencari berbagai macam pengalaman. Seorang pemuda yang kaya dan tampan, dan sudah barang tentu tidak sedikit gadis-gadis yang memimpikan bisa bersanding dengannya. Bahkan bisa berbincang-bincang berdua dengannya saja, sudah mempakan suatu kebanggaan besar bagi seorang gadis.
Dan rupanya, Wiyatala menyadari akan kele-bihannya. Maka kelebihannya itu dimanfaatkan tanpa memikirkan akibat yang harus ditanggung. Berpetualang dalam rimba asmara memang sangat memabukkan. Dan ini juga membuat Wiyatala jadi lupa diri. Gadis-gadis yang terpikat padanya, hanya dijadikan bunga pemuas nafsu, yang kemudian dicampakkan begitu saja setelah layu.
Petualangan demi petualangan diarungi Wiyatala. Hingga akhirnya, bertemu seorang gadis, putri seorang pertapa dari puncak gunung yang letaknya teramat jauh dari Kadipaten Parunggungan.
Wiyatala tidak bisa menahan gejolak hatinya, saat melihat kecantikan gadis itu. Tidak dipedulikannya kalau gadis itu putri seorang pertapa. Wiyatala kemudian mencampakkan gadis itu setelah puas menikmatinya. Dan tentu saja ini membuat ayah gadis itu jadi berang. Tapi pertapa itu tidak bisa berbuat apa-apa, setelah tahu kalau pemuda yang telah merusak masa depan anak gadisnya adalah putra seorang adipati. Dan dendam pertapa itu terus membara sampai kini. Sementara gadis itu sekarang berada di depan Adipati Wiyatala bersama ayah dan kakaknya, setelah menghancurkan kota kadipaten ini hingga rata dengan tanah.
Tapi, sebenarnya Adipati Wiyatala tahu, bukan hanya dendam saja yang mereka lampiaskan di kadipaten ini. Mereka pasti punya maksud tertentu yang tidak bisa dikabulkan. Entah kenapa, mereka begitu ingin sekali memiliki putra adipati itu. Entah, apa yang menarik pada diri putra Adipati Wiyatala.
"Percayalah padaku, Kakang. Putramu tidak akan disakiti. Bahkan dia akan membuat kadipaten ini menjadi sebuah kota kadipaten yang makmur dan bertambah besar. Bahkan, Ayah sudah mebhat kalau kadipaten ini kelak akan menjadi sebuah kerajaan di bawah kekuasaan putramu nanti. Untuk itu, Ayah ingin mengambil dan mendidik putramu untuk dipersiapkan menjadi seorang raja," desak Worodini lagi.
Adipati Wiyatala masih saja diam membisu memandangi gadis cantik yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan cinta dan kemesraan.
Worodini berpaling ke belakang, menatap ayah dan kakaknya. Dengan pandangan matanya, mereka diminta pergi meninggalkannya. Setelah saling berpandangan beberapa saat, Ki Warungkul mengajak Priyada meninggalkan Worodini dan Adipati Wiyatala.
Kini, gadis itu melangkah lebih dekat dengan Adipati Wiyatala setelah kedua laki-laki itu meninggalkannya. Tangannya yang berjari-jari lentik dijulurkan ke wajah Adipati Wiyatala. Dengan lembut sekali, disekanya darah di wajah adipati muda ini. Halusnya kulit jari-jari tangan Worodini membuat jantung Adipati Wiyatala jadi berdetak kencang.
Dan bayang-bayang masa lalunya bersama gadis ini kembali terlintas di pelupuk matanya. Bayangan-bayangan yang membuat dadanya semakin menggemuruh. Dan untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam membisu. Maka hanya saling berpandangan saja, dengan sinar mata sulit diartikan.
"Kakang.... Sebenarnya aku begitu mencintai-mu. Masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama dulu, tidak pernah hilang dari ingatanku. Dan aku selalu merindukan masa itu terulang kembali bersamamu. Aku selalu berharap, bisa kembali berkumpul bersamamu, walaupun aku tahu kau sudah beristri, bahkan mempunyai seorang anak," terdengar pelan suara Worodini.
Tapi Adipati Wiyatala masih saja tetap diam seperti patung. Dan Worodini mulai meletakkan tubuhnya ke tubuh adipati muda yang masih terpancang di tiang kayu bersilang, dengan kedua tangan terentang lebar.
"Kakang.... Sebenarnya aku ingin sekali men-dampingimu memimpin kadipaten ini. Aku juga bisa, melahirkan anak yang manis-manis untukmu. Kakang, kau masih ingat janji kita dulu...?" masih terdengar lembut sekali suara Worodini. Namun, Adipati Wiyatala tetap saja diam membisu. Dan dalam benaknya, semua yang pernah terjadi pada gadis ini terus membayang jelas. Seakan-akan, semua itu terjadi baru kemarin saja. Worodini perlahan melepaskan pelukannya pada adipati muda yang dulu pernah dicintainya. Dan kakinya melangkah menjauh perlahan-lahan, dengan pandangan mata masih tetap merayapi wajah Adipati Wiyatala.
Sementara di angkasa, Rangga tems memper-hatikan semua kejadian itu. Dan tiba-tiba saja, kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar ketika melihat Worodini menarik pedangnya perlahan-lahan. Dan ujung pedang itu ditujukan langsung ke dada Adipati Wiyatala.
"Gawat...! Aku harus mencegahnya...," desis Rangga dalam hati.
Sementara itu, Worodini sudah melangkah mendekati laki-laki bekas kekasihnya yang kini terpancang tidak berdaya pada sebatang tonggak kayu bersilang di depannya. Dan pedangnya, tetap tertuju lurs ke dada yang terbuka penuh noda darah kering itu.
"Selamatkan orang yang terikat itu, Rajawali. Cepat, jangan sampai gadis itu membunuhnya...," perintah Rangga pada Rajawali Putih yang ditungganginya ini.
"Khraaagkh...!"
Wusss! Sambil mengeluarkan pekikan yang begitu keras, Rajawali Putih meluncur cepat bagai kilat ke bawah. Jeritan burung rajawali raksasa yang begitu keras menggelegar memecah angkasa, membuat Worodini jadi tersentak kaget setengah mati. Dan ketika kepalanya mendongak, seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Seakan, dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum juga gadis itu bisa menyadari, tahu-tahu Rajawali Putih sudah menyambar bagian ujung atas tonggak yang mengikat Adipati Wiyatala dengan sebelah cakarnya. Dan burung itu langsung melambung tinggi, membawa Adipati Wiyatala yang masih terikat pada tonggak kayu bersilang.
"Khraaagkh...!"
Teriakan burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dan menyambar Adipati Wiyatala, memang membuat Ki Warungkul dan Priyada yang tadi meninggalkan Worodini tadi dibelakang istana ini jadi tersentak kaget. Apalagi, begitu melihat Worodini berdiri terpaku seperti patung memandang ke atas. Sementara Adipati Wiyatala tidak lagi terlihat di sana. Bahkan tonggak yang mengikat adipati itu juga tidak ada.
"Woro...! Ada apa ini..." Ke mana Wiyatala...?" tanya Ki Warungkul langsung.
Worodini tidak langsung menjawab. Matanya terus memandang ke atas, bagai sedang merayapi langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang dan rembulan.
"Woro...."
Ki Warungkul menggoyangkan bahu anak gadisnya.
"Oh..."!"
Worodini langsung tersentak, seperti baru terbangun dari tidurnya. Dan gadis itu langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya ini. Tangisnya yang tidak dapat dibendung lagi, seketika itu pecah dalam pelukan laki-laki tua itu.
"Woro, ada apa...?" tanya Ki Warungkul tidak sabar, melihat anaknya menangis dalam pelukannya.
"Kakang Wiyatala, Ayah.... Dia..., dia pergi...," kata Worodini tersendat, di sela isak tangisnya yang begitu memilukan.
"Pergi..." Apa maksudmu, Woro..."!" sentak Priyada.
Worodini mencoba menenangkan diri, dan melepaskan pelukan pada ayahnya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi. Setelah terasa tenang, mulai diceritakannya apa yang terjadi tadi.
"Apa..."!"
? *** ? 6 ? Ki Warungkul terkejut setengah mati, setelah mendengar cerita anak gadisnya. Sukar dipercaya kalau Adipati Wiyatala tiba-tiba saja melayang ke angkasa, disambar seekor burung rajawali raksasa" Memang sulit diterima akal, tapi Ki Warungkul tidak bisa menuduh anak gadisnya ini berdusta. Walaupun tahu Worodini pernah menjalin cinta dengan Adipati Wiyatala, tapi orang tua ini tahu kalau Worodini juga menyimpan dendam. Dan gadis ini ingin membunuh laki-laki itu setelah mendapatkan keturunan yang diharapkan bisa menggantikannya menguasai kadipaten ini. Tapi, mereka juga harus bisa menemukan putra Adipati Wiyatala dari Nyai Winarsih, yang sampai saat ini masih belum diketahui di mana rimbanya.
Dan sekarang mereka kehilangan Adipati Wiyatala, orang yang diharapkan bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Nyai Winarsih dan putranya" Tapi yang membuat Ki Warungkul masih sulit percaya, tentang burung raksasa yang menyambar adipati itu. Benarkah di dunia ini ada burung raksasa yang bisa membawa terbang seorang manusia..."
Pertanyaan ini terus menggayuti benak Ki Warungkul. Pertanyaan yang tidak bisa terjawab sampai saat ini. Karena, dia sendiri tidak yakin ada seekor burung raksasa yang bisa membawa manusia.
Sementara itu jauh di luar perbatasan kota kadipaten sebelah selatan, Rajawali Putih menurunkan Adipati Wiyatala perlahan-lahan dari cengkeraman cakarnya. Rangga yang berada di punggung burung rajawali itu, segera melompat turun, langsung menyangga tonggak kayu yang mengikat adipati ini. Rajawali Putih melepaskan cakarnya, setelah Rangga menyangga tonggak itu. Langsung tonggak itu direbahkan perlahan-lahan di tanah. Bergegas dilepaskannya tambang yang mengikat kedua tangan, pinggang, dan kaki. Lalu disingkirkan tonggak kayu bersilang itu jauh-jauh. Rangga memeriksa keadaan tubuh adipati ini.
"Hhh.... Untung saja hanya luka luar yang di-deritanya, Rajawali," desah Rangga memberitahu keadaan Adipati Wiyatala pada burung rajawali putih.
Sedangkan adipati itu sendiri tampak tidak sa-darkan diri, setelah dibawa melambung tinggi ke angkasa oleh Rajawali Putih. Memang tidak ada seorang pun yang bisa tetap sadar kalau tersambar burung rajawali raksasa ini. Apa lagi, sampai dibawa naik ke angkasa malam-malam begini. Kalau saja Adipati Wiyatala memiliki jantung lemah, pasti sudah mati seketika itu juga.
Rangga terus menunggui setelah memberi beberapa kali totokan ringan pada bagian-bagian tertentu di tubuh adipati ini. Paling tidak, untuk mengurangi rasa sakit saat adipati itu tersadar nanti.
"Sebentar lagi dia sadar. Kita bisa tanyakan, apa yang terjadi nanti...," desah Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri sambil berpaling menatap Rajawali Putih.
"Khrrrkh...," Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Aku rasa, sebaiknya kau memang pergi dulu, Rajawali. Dia pasti akan ketakutan kalau sampai melihatmu nanti," kata Rangga.
"Khrrrkh...!"
Tampaknya, burung rajawali raksasa itu bisa mengerti. Dan tanpa diminta dua kali lagi, sayapnya segera dikembangkan. Lalu tubuhnya melesat tinggi ke angkasa. Rangga memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, sampai ke angkasa. Rajawali Putih tidak pergi meninggalkannya, dan tetap berada di angkasa sambil berputar-putar tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kemudian Rangga sudah kembali memandangi Adipati Wiyatala yang masih belum juga sadarkan diri.
Memang benar apa yang dikatakan Rangga. Tidak lama, Adipati Wiyatala siuman dari pingsannya dan langsung mencoba bangkit. Tapi, Rangga sudah lebih cepat mencegah dan menekan dadanya. Terpaksa Adipati Wiyatala tetap terbaring walau seluruh tubuhnya seperti tidak merasakan nyeri. Padahal luka-luka di tubuhnya akibat bekas cambukan masih memenuhi. Adipati Wiyatala memandangi Rangga yang berjongkok di sebelahnya.
"Siapa kau, Kisanak..." Kenapa aku berada di tempat ini...?" tanya Adipati Wiyatala dengan suara pelan dan agak tersendat.
"Namaku Rangga, Gusti Adipati. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja melihat penyiksaan terhadap dirimu," sahut Rangga mem-perkenalkan diri, sambil mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Oh.... Kau tahu kalau aku seorang adipati...?" desah Adipati Wiyatala agak terkejut.
Rangga hanya mengangguk saja sambil memberi senyum manis.
Adipati Wiyatala kembali menghembuskan na-pas panjang, sambil mendongakkan kepala ke atas. Dia melihat seekor burung berputar-putar seperti sedang mengelilingi bulan di atas sana. Langsung ditatapnya wajah tampan pemuda yang masih berjongkok di sebelahnya.
"Dia itu sahabatku, Gusti Adipati. Rajawali Putih.... Dia memang seekor burung, tapi lebih daripada sekadar burung," jelas Rangga, seperti bisa membaca arti pandangan mata Adipati Wiyatala.
"Kau memiliki burung raksasa...?" tanya Adipati Wiyatala, seperti tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum sambil mengangguk sedikit.
"Kau bukan dewa...?"
"Bukan. Aku hanya manusia biasa. Sama seperti yang lain," sahut Rangga lembut.
Adipati Wiyatala kembali memandang ke atas. Sebentar kemudian kembali ditatapnya Rangga. Perlahan tubuhnya beringsut, lalu mencoba bang-kit. Kali ini, Rangga tidak mencegahnya. Dan adipati itu pun duduk bersila di depan Rangga yang kini juga sudah duduk bersila di atas rerumputan yang tebal dan agak lembab oleh embun ini. Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling berpan-dangan saja. Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing.
"Gusti, apa sebenarnya yang terjadi hingga kau disiksa begitu?" tanya Rangga, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Panjang ceritanya, Rangga. Dan semua ini memang salahku...," sahut Adipati Wiyatala pelan, dengan kepala tertunduk.
"Ceritakanlah. Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan persoalanmu," pinta Rangga tulus.
"Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Dan aku tidak ingin ada korban lain lagi. Biarlah semua ini terjadi. Dan memang, aku yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini," ujar Adipati Wiyatala lirih. "Rangga..., kenapa kau menolongku" Seharusnya, kau biarkan saja aku mati. Kematianku akan menyelesaikan semua persoalan ini."
"Itu tidak benar, Gusti Adipati. Mereka tidak akan berhenti selama anak dan istrimu masih hidup dalam pelarian. Mereka akan terus mengejar, sampai mendapatkannya. Dan selama itu pula, korban akan terus berjatuhan."
"Tapi, semua ini akibat kesalahanku, Rangga. Dan aku sendiri yang harus menebusnya."
"Apa pun kesalahanmu, mereka tidak patut bertindak seperti itu. Kalau mereka ingin menuntut, seharusnya tidak membantai habis semua orang di Kadipaten Parunggungan. Apa pun alasannya, pembantaian tidak pernah dibenarkan. Mereka sudah bertindak seperti iblis dari neraka. Membantai siapa saja yang dtemui tanpa peduli. Padahal, hanya satu yang diinginkan. Dan aku yakin, bukan kematianlah yang diinginkan. Tapi, putramu...," kata Rangga tegas, membeberkan persoalan ini.
Adipati Wiyatala jadi terlongong bengong. Dia merasa, Rangga sudah tahu semua persoalan yang sebenarnya. Padahal, hal itu merasa belum diceritakannya. Dan memang, Rangga sebenarnya sudah tahu dari kata-kata Worodini, ketika Adipati Wiyatala masih terikat di belakang istana kadipatennya. Dari pembicaraan itu, Rangga sudah bisa mengambil kesimpulan dan langsung diutarakannya. Tentu saja, ini membuat Adipati Wiyatala jadi terlongong.
? *** ? "Gusti, katakan sejujurnya padaku. Untuk apa mereka melakukan ini semua dan menginginkan putramu...?" tanya Rangga tegas, meminta penje-lasan.
Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab.
Terasa begitu berat baginya untuk menjawab pertanyaan Rangga barusan. Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia ingin mencari kekuatan dalam dirinya sendiri. Dan beberapa kali pula kepalanya mendongak ke atas. Entah, apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Dia melihat raut wajah Rangga begitu datar, menunggu jawaban atas pertanyaan yang diajukannya tadi.
"Rangga, kau mau berkata jujur padaku...?" Adipati Wiyatala malah balik bertanya.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Siapa kau sebenarnya. Dan, kenapa kau sudi menolongku...?" tanya Adipati Wiyatala agak dita-han nada suaranya.
Kali ini Rangga jadi terdiam, tidak langsung menjawab. Tapi hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam membisu. Kemudian....
"Aku berasal dari Karang Setra. Seorang prajurit bertemu denganku di jalan. Dia menceritakan semua yang terjadi di Kadipaten Parunggungan ini. Dan aku tidak bisa menolak permintaannya, untuk mengembalikan kadipaten ini seperti semula," jelas Rangga, singkat.
"Siapa nama prajurit itu?"
"Kaliga."
"Oh...," desah Adipati Wiyatala panjang. Adipati ini tahu kalau prajurit itu yang mengawal istri dan anaknya dalam pelarian. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Lalu, tangannya terulur dan menggenggam tangan Rangga erat-erat.
"Katakan padaku, bagaimana keadaan anak dan istriku...."
"Aku tidak menjumpainya. Tapi, lusa adikku datang ke sini memberi tahu keadaannya. Kaliga mengatakan, kalau mereka ada di tempat yang aman sekarang ini," jelas Rangga.
"Dewata Yang Agung...," desah Adipati Wiyatala lagi.
"Gusti Adipati, katakan padaku. Kenapa mereka menginginkan anakmu...?" Rangga kini balik bertanya, meminta penjelasan. "Siapa mereka sebenarnya?"
"Rangga.... Aku tidak tahu, dari mana mereka datang. Tapi aku kenal pemimpin mereka...," kata Adipati Wiyatala terputus.
"Siapa?"
"Ki Warungkul. Dia seorang pertapa. Dan anak gadisnya pernah menjalin cinta denganku. Inilah kesalahan yang pernah kubuat, hingga berakibat sangat mengenaskan. Dia rupanya tidak suka aku mengawini gadis lain. Ki Warungkul ingin, agar anak gadisnya yang melahirkan putra pertamaku. Karena memang sudah digariskan kalau putra pertamaku nantinya, akan menjadikan kedipaten ini sebuah kerajaan besar yang akan tertuang dalam kalam sejarah sepanjang zaman. Tapi, semua itu tidak akan pernah terjadi kalau putraku tidak sampai mencapai usia tujuh belas tahun. Mereka tentu akan membunuh putraku. Dan mereka tentu mendesakku untuk mengawini Worodini. Karena setiap anak yang terlahir dari benihku, akan menjadi raja kelak. Tapi, aku tidak sudi menumti keinginan mereka. Aku tahu, apa yang ada dalam hatinya. Mereka ingin menguasai jagad ini dengan perantara keturunanku...," jelas Adipati Wiyatala panjang lebar. Rangga terdiam mendengarkan. "Sejujurnya kukatakan, aku rela mengorbankan nyawa agar putraku tetap hidup. Kalaupun putraku memang ditakdirkan harus mati, aku juga akan mati agar tidak lagi timbul peristiwa seperti ini lagi. Itu sebabnya, mengapa aku tidak ingin kau selamatkan dari kematian tadi. Aku lebih senang mati, daripada harus...," Adipati Wiyatala tidak melanjutkan.
Saat itu terdengar hentakan kaki-kaki kuda dari kejauhan. Dan Rangga cepat bangkit berdiri, memandang ke arah suara kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Jelas sekali kalau suara itu datang dari arah kota Kadipaten Parunggungan. Dan saat itu, Adipati Wiyatala juga sudah berdiri walau dengan tubuh limbung.
"Mereka datang mengejarku, Rangga...," desis Adipati Wiyatala pelan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Dalam siraman cahaya bulan, terlihat debu mengepul ke angkasa, melewati pucuk pepohonan.
Kepulan debu itu semakin dekat dan jelas terlihat menuju ke arah ini. Rangga tahu, orang-orang Ki Warungkul yang akan datang. Dan juga bisa diperkirakan kalau jumlah mereka tentu sangat banyak.
"Kau tetap saja di sini, Gusti. Aku akan menghadang mereka," kata Rangga.
"Sendiri..."!"
Adipati Wiyatala tersentak kaget. Tapi belum juga bisa mencegah, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap dari pandangan mata adipati ini.
Sementara itu, Rangga terus berlari, menembus lebatnya pepohonan. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di tepi hutan. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat serombongan orang-orang berbaju merah memacu cepat kudanya, melintasi padang rumput di tepi hutan yang berbatasan langsung dengan bagian selatan kota. Rangga berhenti berlari, dan mendongakkan kepala ke atas. Tampak Rajawali Putih masih mengikuti dari angkasa.
"Bantu aku mengenyahkan mereka, Rajawali...!" seru Rangga dengan menggunakan kata-kata batin.
"Khraaagkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melompat, dan berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh melintasi padang rumput yang sangat luas ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari, setelah tiba di tengah-tengah padang rumput itu, tepat di saat rombongan berkuda itu juga sampai di sana. Di antara mereka, tampak Priyada yang memimpin, dengan menunggang seekor kuda putih yang gagah. Priyada terlihat mengerutkan keningnya, saat melihat pemuda yang pernah diusirnya dari depan istana kadipaten berdiri tegak dengan sikap menghadang. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju merah menyala itu melompat turun dari punggung kudanya. Dan kakinya langsung dijejakkan tepat, sekitar lima langkah lagi di depan Rangga.
"Pasti kau biang keladi semua ini, Kisanak...," duga Priyada mendesis dingin menggetarkan. "Di mana kau sembunyikan Wiyatala...!"
Kecurigaan Priyada memang beralasan, kareria ketika pertama kali bertemu Pendekar Rajawali Sakti, dia sudah menduga bakal terjadi sesuatu. Karena belum menimbulkan masalah, maka waktu itu Priyada membiarkan Rangga pergi.
"Dia berkumpul bersama keluarganya sekarang. Dan tidak lama lagi, akan mengenyahkan kalian semua dari tanah kelahirannya," balas Rangga terus terang, dan tidak kalah dingin.
"Keparat...!" geram Priyada langsung memun-cak amarahnya.
Sret! Kening Rangga agak berkerut, saat Priyada mencabut pedangnya. Kilatan pedang itu memiliki pamor cukup dahsyat, dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari pedang itu, Rangga sudah bisa mengukur kepandaian Priyada.
"Katakan! Di mana Wiyatala berada! Atau, kau ingin mampus..."!" bentak Priyada garang.
"Mungkin kau sendiri yang akan merasakan gelapnya alam kubur, Kisanak," sambut Rangga sambil tersenyum sinis.
"Keparat...!"
Priyada tidak dapat lagi menahan kemarahan-nya. Dan sambil menggeram berang, pedangnya dikebutkan ke depan. Saat itu Rangga sudah menarik kakinya ke belakang. Tapi, sempat juga merasakan adanya hawa panas dari angin kebutan pedang pemuda di depannya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Priyada langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Bagaikan kilat pedangnya dibabatkan tepat mengarah ke leher Rangga. Tapi hanya mengegoskan kepala yang begitu indah, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang itu. Dan cepat kakinya menarik kembali ke belakang dua langkah.
"Yeaaah...!"
Namun Priyada terus mendesak, dan menyerang ganas. Pedangnya berkelebat begitu cepat, mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga bisa mudah menghindari setiap serangan. Sehingga, membuat Priyada semakin bertambah berang. Dan serangan-serangannya pun ditingkatkan. Hingga setiap kebutan pedangnya, selalu menimbulkan suara menggemuruh bagai badai di sekeliling tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melenting ke atas, tepat ketika Priyada mengebutkan pedangnya ke arah kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berputaran di udara. Begitu kepalanya berada di bawah, saat itu juga tangan kanannya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Bet! "Haiiit..!'
? *** ? Sebelumnya Bagian 1-3
? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)?
? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 141. Dendam Gadis Pertapa Bag. 7-8 (selesai)
19. November 2014 um 19:45
7 ? Priyada jadi kelabakan setengah mati, menghindari serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya menggunakan tangan kosong, tapi setiap serangan yang dilancarkannya sungguh luar biasa. Akibatnya Priyada terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangannya. Bahkan tidak punya kesempatan sedikit pun untuk memberi serangan balasan. Setiap ruang geraknya seakan sudah tertutup, hingga terus terdesak dan semakin kewalahan saja.
Meskipun Rangga hanya mengerahkan lima jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan menjadi satu dengan cepat, sudah membuat Priyada jadi kalang kabut menghadapinya. Bahkan sudah beberapa kali harus merasakan kerasnya pukulan atau tendangan yang mendarat di tubuhnya. Tapi entah kenapa, Rangga tidak mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya. Tak heran kalau Priyada masih mampu bertahan, walau sudah tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Priyada melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara, ketika Rangga melakukan beberapa kali pukulan gencar. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, seketika itu juga dia berteriak lantang menggelegar.
"Seraaang...!"
"Hup!"
Rangga jadi mendengus, ketika melihat orang-orang yang sejak tadi sudah mengepungnya langsung berhamburan menyerang disertai teriakan-teriakan keras membahana, begitu mendengar perintah Priyada. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengeluarkan siulan nyaring melengking tinggi.
"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Tidak ada seorang pun yang tidak terlongong kaget, ketika tiba-tiba saja dari angkasa meluruk deras seekor bumng rajawali raksasa dengan kecepatan bagai kilat. Dan belum lagi ada yang sempat menyadari, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah menyambar, dengan kepakan kedua sayapnya yang lebar dan kokoh.
"Khraaagkh...!"
Bret! Prak! "Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat dan saling sambut, dari mereka yang tersambar sayap Rajawali Putih. Dan dalam waktu tidak berapa lama, puluhan orang sudah bergelimpangan berlumuran darah tidak bernyawa lagi. Rajawali Putih terus mengamuk sambil berkaokan keras, menghajar orang-orang berpakaian serba merah. Dan ini membuat mereka jadi kalang kabut. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak, berusaha menyelamatkan diri dari amukan burung rajawali raksasa ini.
Sementara Rangga sendiri sudah melompat cepat, menerjang Priyada yang masihg terlongong bengong, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama, Priyada tidak sempat lagi menyadarinya. Bahkan juga tidak dapat lagi menghindarinya. Sehingga pukulan keras bertenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya.
Diegkh! "Aaakh...!"
Sambil menjerit keras, Priyada seketika itu juga terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan terus bergulingan hingga melanda sebatang pohon yang cukup besar, sampai hancur berkeping-keping.


Pendekar Rajawali Sakti 141 Dendam Gadis Pertapa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hoek...!"
Segumpal darah kental menyembur keluar dari mulut Priyada. Walau dengan dada sesak dan mata berkunang-kunang, pemuda itu masih juga berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, Rangga sudah kembali melompat dengan kecepatan tinggi. Langsung diberikannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tingkat terakhir.
Begitu cepat pukulan Rangga, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah dari angin pukulan itu. Sementara Priyada tidak sanggup lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Begkh! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersama terpentalnya tubuh pemuda itu ke belakang dengan deras sekali. Darah terlihat muncrat keluar dari mulut yang ternganga kesakitan itu.
Bruk! Keras sekali tubuh Priyada menghantam tanah. Dan hanya sedikit saja terlihat gerakan di tubuh pemuda itu, yang langsung mengejang kaku dan tidak bergerak-gerak lagi. Dadanya tampak remuk dan hangus menghitam seperti terbakar. Sementara darah berhamburan keluar dari mulutnya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya, memandangi dengan tatapan mata tajam, penuh kebencian yang tidak dapat lagi dilukiskan.
Rangga memang selalu memandang benci pada orang-orang yang memiliki hati iblis. Dan dia tidak pernah memberi ampun, kalau orang itu tidak mau menyadari tindakan iblisnya. Sementara, tidak jauh di belakangnya Rajawali Putih masih mengamuk, menghajar anak buah Priyada yang sudah tidak bisa lagi berbuat banyak. Jeritan-jeritan panjang mengiringi kematian terus terdengar saling sambut menyayat hati. Tapi beberapa dari mereka masih bisa meloloskan diri dari amukan burung rajawali raksasa. Dan mereka terus berlari cepat, kembali ke kotak Kadipaten Parunggungan.
"Cukup, Rajawali...!" seru Rangga tiba-tiba," sambil berbalik.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung melesat ke atas, dan kembali menukik deras sekali ke belakang pemuda berbaju rompi putih ini. Dengan gerakan begitu ringan, Rajawali Putih mendarat tidak jauh di belakang Rangga.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti memandangi orang-orang yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi, dengan darah membanjir di sekitamya. Beberapa orang tampak masih merintih menahan sakit. Dan, masih ada sekitar sepuluh orang lagi yang hidup tanpa mendapat luka sedikit pun. Mereka tidak ada lagi yang berani melakukan sesuatu. Bahkan, langsung melempar senjatanya tanda menyerah.
"Pergi kalian. Dan, jangan lagi datang ke sini!" bentak Rangga langsung mengusir.
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang masih bisa berlari segera mengambil langkah seribu. Lari lintang pukang meninggalkan tempatnya. Sementara Rangga berbalik, dan memeluk burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Ayo, Rajawali. Kita obrak-abrik mereka di Istana Kadipaten Parunggungan," ajak Rangga. "Rasanya, aku tidak membutuhkan prajurit untuk mengusir mereka dari kadipaten ini."
"Khrrr...!" ?
"Hup!"
Begitu indah dan ringan gerakan Rangga ketika melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa ini. Dan begitu duduk, Rajawali Putih langsung berteriak keras, dengan kepakan sayapnya yang lebar. Sekali kepak saja, burung rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Suaranya yang serak dan keras menggelegar, bagai hendak memecah kesunyian malam ini. Tepat di saat Pendekar Rajawali Sakti itu pergi bersama burung rajawali raksasa tunggangannya itu, dari balik sebatang pohon yang sangat besar muncul seorang laki-laki berusia muda dengan pakaian sudah koyak. Dia adalah Adipati Wiyatala.
"Dewata Yang Agung.... Aku yakin dia, pasti dewa yang turun dari kahyangan...," desah Adpati Wiyatala.
Rupanya adipati itu menyaksikan semua yang terjadi di tempat ini. Dan dia juga melihat Rangga yang pergi bersama burung rajawali raksasa tunggangannya yang begitu dahsyat dan sulit bisa dipercaya keberadaannya. Dan burung itu kini membawa Rangga terbang, menuju Istana Kadipaten Parunggungan.
? *** ? Adipati Wiyatala tidak tahu, apa yang dilakukan pemuda penolongnya yang dianggap dewa itu. Dia hanya berdiri terpaku beberapa saat, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di depannya. Hanya dalam waktu singkat, pemuda berbaju putih yang mengaku bernama Rangga dan menunggang seekor bumng rajawali raksasa itu, bisa mengobrak-abrik begitu banyak pengikut Ki Warungkul. Bahkan begitu mudah bisa menewaskan Priyada, salah satu putra Ki Warungkul yang berkepandaian tinggi.
"Bahaya kalau aku masih tetap di sini. Sebaiknya, aku pergi," gumam Adipati Wiyatala.
Menyadari kalau tempat ini sangat berbahaya, bergegas adipati itu berbalik dan melangkah pergi dengan ayunan langkah cepat. Adipati Wiyatala langsung masuk ke dalam hutan, terus menembus lebatnya hutan yang pekat berselimut kabut cukup tebal ini. Tidak dipedulikan lebatnya hutan dan gelapnya malam. Langkahnya tergesa-gesa, sehingga berapa kali kakinya tersangkut akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Dan beberapa kali pula dia jatuh bergulingan, tapi terus bangkit kembali dan berjalan cepat. Tidak dihiraukannya rasa letih serta luka-luka bekas cambukan di tubuhnya ini.
Tanpa terasa, Adipati Wiyatala sudah berjalan begitu jauh menembus hutan yang gelap dan lebat ini. Dan ketika merasakan keletihan yang amat sangat, dia jatuh tertelungkup di atas rerumputan yang basah oleh embun. Napasnya tersengal memburu. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, membuat seluruh luka sayatan bekas cambukan terasa begitu pedih. Adipati Wiyatala mengangkat kepalanya perlahan. Dan saat itu juga kedua matanya jadi terbeliak lebar, saat melihat sesosok tubuh ramping tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.
"Oh..."!"
"Begitu terkejutnya, hingga adipati itu langsung terlompat bangkit berdiri seperti lupa akan keletihan yang menyerang tubuhnya. Adipati Wiyatala menarik kakinya ke belakang beberapa langkah, sambil memandangi wanita berwajah cantik yang tahu-tahu muncul di depannya ini. Seorang wanita berusia muda mengenakan baju ketat warna biru, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebuah gagang pedang tersandang di punggungnya. Dan sebuah kipas terkembang di tangan kanan, menutupi dadanya yang membusung indah.
"Sss..., siapa kau...?" tanya Adipati Wiyatala dengan suara bergetar seperti kedinginan.
"Maaf, kalau kedatanganku membuatmu terkejut. Aku Pandan Wangi. Dan kau siapa?" lembut sekali suara gadis itu.
Dan gadis itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal sebagai Kipas Maut. Dia melangkah menghampiri Adipati Wiyatala yang terlihat sudah mulai bisa menguasai dirinya kembali. Bahkan kini napasnya sudah tidak lagi memburu cepat.
"Eh" Kau terluka..." Siapa yang melukai-mu...?"
Pandan Wangi jadi terkejut, begitu melihat keadaan laki-laki muda di depannya. Gadis ini memang tidak mengenal siapa laki-laki itu. Namun bergegas tangannya diulurkan, menekan dada sebelah kiri Adipati Wiyatala. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Dirasakan adanya aliran hawa yang cukup hangat pada ujung jari tangannya yang menyentuh dada penuh luka bekas cambukan ini.
"Kau sudah tersalurkan hawa murni. Siapa yang melakukannya padamu, Kisanak?" tanya Pandan Wangi, langsung tahu kalau ada aliran hawa murni pada jalan darah laki-laki penuh luka di tubuhnya ini.
"Dewa," sahut Adipati Wiyatala.
"Dewa...?"
Kening Pandan Wangi jadi berkerut memandangi wajah Adipati Wiyatala yang tampan itu dengan sinar mata agak tajam.
"Dewa yang turun dari kahyangan menunggang seekor burung raksasa. Dialah yang menolongku. Dan...," Adipati Wiyatala tidak melanjutkan.
"Siapa dewa itu, Kisanak" Bagaimana ciri-ci-rinya?" tanya Pandan Wangi. Dadanya seketika jadi bergemuruh.
"Dia mengaku bernama Rangga. Seorang pemuda tampan, dan memiliki kepandaian begitu tinggi. Aku yakin, dia dewa yang turun dari kahyangan untuk menolongku dari tangan jahat Ki Warungkul," jelas Adipati Wiyatala.
"Kau siapa sebenarnya, Kisanak?" tanya Pandan Wangi yang langsung bisa menebak, kalau dewa yang dimaksudkan Adipati Wiyatala adalah Rangga.
"Aku Wiyatala. Aku adipati yang...," Adipati Wiyatala tidak lagi dapat melanjutkan kata-katanya.
"Di mana sekarang dia berada?" tanya Pandan Wangi tidak menghiraukan nada suara Adipati Wiyatala yang tersedak.
"Ke Istana Kadipaten Parunggungan. Dia akan mengusir iblis-iblis itu dari sana," sahut Adipati Wiyatala.
Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya yang dikuasai, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan ini membuat Adipati Wiyatala jadi terlongong bengong melihatnya.
"Oh...."
"Pergilah terus ke depan. Tidak jauh lagi, kau akan bertemu keluargamu..."
Dan di saat tengah terlongong itu, terdengar suara Pandan Wangi di telinganya. Begitu jelas terdengar, seakan-akan gadis itu masih berada di dekatnya. Padahal, sudah tidak lagi terlihat bayangannya sedikit pun juga.
"Oh.... Siapa dia" Apakah dia Dewi dari kahyangan juga...?" desah Adipati Wiyatala.
Tapi adipati itu tidak bisa lagi terus bertanya-tanya, mencari jawaban dari semua keanehan yang disaksikannya. Mengingat gadis itu mengatakan kalau adipati ini bisa bertemu keluarganya kembali, bergegas kakinya terayun melangkah. Entah mendapat dorongan kekuatan dari mana, Adipati Wiyatala seakan tidak lagi merasa letih. Semua keletihannya seketika lenyap. Dan dia terus berjalan menembus hutan yang gelap dan lebat berselimut kabut tebal ini.
? *** ? Sementara itu, Rangga sudah berkeliling di angkasa Istana Kadipaten Parunggungan. Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan di bawah sana seperti akan perang saja. Begitu banyak orang berpakaian serba merah memadati halaman depan istana yang luas itu. Dan mereka semua sudah siap dengan senjata masing-masing. Tampak seorang laki-laki tua berjubah merah yang didampingi seorang gadis cantik yang juga mengenakan baju warna merah, berdiri di atas tangga beranda depan istana. Di depannya, terlihat sekitar lima belas orang terduduk dengan kepala tertunduk menekuri tanah.
Saat itu, Rangga melihat gadis cantik yang sudah diketahuinya sebagai Worodini, melompat dengan kecepatan tinggi sambil mencabut pedang. Dan saat itu juga. Pedangnya dibabatkan pada orang-orang yang tertunduk di depan tangga beranda depan istana ini.
Cras! Tidak ada seorang pun yang bersuara ketika pedang gadis itu memenggal leher lima belas orang itu. Hanya sekali kelebatan saja, kepala lima belas orang itu terpisah dari lehernya. Darah seketika mengucur keluar, bersamaan dengan tubuh-tubuh yang terjungkal tanpa kepala lagi. Begitu cepat sekali kejadian itu, tahu-tahu Worodini sudah kembali berdiri di samping ayahnya. Sementara, Rangga yang menyaksikan dari punggung Rajawali Putih, darahnya seketika jadi terkesiap melihat kekejaman gadis itu.
Rangga tahu orang-orang yang kepalanya di-penggal itu adalah yang lolos dari amukan Rajawali Putih tadi. Dan mereka rupanya kembali lagi ke istana ini. Tapi, yang didapatkan hanya pemenggalan kepala saja. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Sementara, juga tidak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk menentang tindakan yang kejam itu. Semua hanya bisa diam dengan kepala tertunduk.
"Dengar...! Aku tidak ingin kegagalan ini tem-lang lagi. Malam ini juga, kalian harus berangkat ke hutan itu. Cari mereka sampai ketemu. Bawa kepalanya ke sini!" lantang sekali suara Ki Warungkul.
Begitu keras suara laki-laki tua itu, hingga Rangga yang berada di angkasa bisa jelas mende-ngamya. Dan seketika darahnya bergolak mendidih seperti terbakar. Tapi Rangga masih harus menahan diri.
"Worodini, cari mereka! Bawa kepala mereka untukku," perintah Ki Warungkul.
"Aku juga akan membalas kematian Kakang Priyada, Ayah. Aku ingin tahu, seperti apa dia," sahut Worodini lugas.
"Pergilah sekarang. Bawa orang-orang seba-nyak mungkin," kata Ki Wamngkul.
Worodini mengangguk, kemudian melangkah menuruni anak tangga beranda depan istana itu. Seorang pemuda menghampiri sambil menuntun seekor kuda putih yang tinggi dan tegap. Tanpa banyak bicara lagi, Worodini langsung melompat naik ke punggung kuda itu. Begitu indah dan ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi.
Dan saat itu juga, orang-orang yang berkumpul memadati halaman depan istana kadipaten segera memisahkan diri membagi dua bagian. Dan sebagian dari mereka, langsung berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sedangkan yang lain mengambil tempat di depan tangga beranda istana ini, membelakangi Ki Warungkul. Sementara Worodini yang sudah duduk di atas punggung kudanya, menatap ayahnya sebentar. Dan begitu kepala orang tua ini terangguk, kudanya langsung digebah cepat.
"Hiyaaat...!"
Kuda putih itu seketika melesat kencang, menerobos pintu gerbang yang dibuka empat orang penjaga. Kepergian Worodini diikuti sekitar seratus orang yang semuanya menunggang kuda dan berpakaian serba merah. Maka malam yang seharusnya sunyi ini, dipecahkan oleh hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan istana ini.
Sementara Rangga yang berada di angkasa, terus memperhatikan semua dengan mata tidak berkedip. Dia ingin tahu, ke mana gadis itu pergi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga kalau gadis itu pasti pergi ke dalam hutan, tempat kakaknya mati bersama puluhan orang pengikutnya yang diamuk Rajawali Putih.
"Bahaya.... Kalau mereka sampai menemukan Adipati Wiyatala di sana. Sebaiknya, dia kuhadang sambil mengurangi jumlah kekuatan mereka," gumam Rangga dalam hati.
Tanpa banyak membuang waktu lagi, Rangga langsung menyuruh Rajawali Putih mengikuti rombongan Worodini. Maka burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu segera melesat cepat, mengejar ke arah Worodini dan pengikutnya bergerak tadi. Tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Pendekar Rajawali Sakti di angkasa. Sementara, Ki Warungkul sendiri sudah sibuk mengatur orang-orangnya untuk menjaga sekeliling istana.
Begitu banyak pengikut Ki Warungkul yang te-was diamuk Rajawali Putih, hingga kini hanya memiliki pengikut sekitar dua ratus orang saja. Dan sebagian, sekarang ikut bersama Worodini. Dengan hanya memiliki kekuatan seperti ini, memang tidak mudah mempertahankan sebuah istana. Dan semua itu disadari Ki Warungkul, hingga semua pengikutnya yang tersisa diperintahkan untuk lebih memperkuat penjagaan.
Sementara itu, Rangga yang terbang bersama Rajawali Putih di angkasa terus mengikuti gerakan Worodini dan orang-orangnya yang sudah mulai memasuki hutan. Tidak lama lagi, mereka akan sampai di tempat, Rangga bersama Rajawali Putih mengamuk tadi. Sedangkan malam terus merayap semakin larut. Udara yang begitu dingin tidak lagi dirasakan.
"Lebih mendekat, Rajawali. Aku tidak ingin kehilangan jejak mereka," pinta Rangga, saat rombongan merah itu sudah mulai memasuki hutan lebat ini.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih merendahkan terbangnya. Meskipun hutan begitu lebat, tapi burung rajawali raksasa itu masih bisa melihat jelas orang-orang di dalam hutan itu. Sedangkan Rangga sesekali kehilangan jejak. Dan kini yang diandalkan hanya Rajawali Putih untuk terus mengikuti. Memang, kabut yang menyelimuti hutan itu demikian tebal.
?"Khraaagkh...!"
"Heh..."! Ada apa, Rajawali?"
? *** ? 8 ? Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja Rajawali Putih menjerit keras sambil menju-lurkan kepala ke bawah. Saat itu, kabut di bawah sana memang tebal sekali. Sehingga, pandangan Pendekar Rajawali Sakti jadi terhalang. Namun ketika matanya menangkap sebuah bayangan biru berkelebat di dalam kabut yang tiba-tiba menipis sedikit, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
"Pandan Wangi...," desis Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Cepat turun, Rajawali. Jangan sampai dia bertemu mereka," pinta Rangga dengan suara dibuat keras, untuk mengalahkan deru angin yang begitu keras di angkasa.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih segera menukik turun cepat sekali. Sehingga sebentar saja, burung raksasa itu sudah menembus tebalnya kabut yang menyelimuti hutan ini, dan langsung mendarat di sebuah tempat yang agak lapang. Tepat pada saat itu di depan sana Pandan Wangi sedang berlari cepat menuju ke kota Kadipaten Parunggungan. Gadis itu tampak terkejut, begitu tiba-tiba melihat Rajawali Putih di depannya. Cepat larinya dihentikan. Dan pada saat itu, Rangga melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa ini.
"Kakang...."
"Cepat ke sini, Pandan!" seru Rangga begitu menjejakkan kakinya di tanah.
Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Ditatapnya sebentar pada burung rajawali raksasa di belakang pemuda ini, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi, melihat wajah Rangga agak tegang.
"Kenapa kau ada di sini" Bukankah aku me-nyuruhmu ke Karang Setra, setelah menemui keluarga Adipati Wiyatala...?" Rangga malah balik bertanya.
"Semula, aku memang ingin ke sana, Kakang. Tapi hutan ini begitu lebat, hingga aku tersesat. Dan aku bertemu Adipati Wiyatala. Darinya, aku tahu kalau kau sedang menghadapi mereka. Maka aku langsung saja menyusulmu," kata Pandan Wangi menjelaskan. "Aku khawatir padamu."
Rangga tersenyum kecil, kemudian menarik tangan Pandan Wangi.
"Sebagian dari mereka menuju ke sini. Aku tidak ingin kau bertemu mereka. Ayo, kita hindari dulu," kata Rangga.
Pandan Wangi ingin mengeluarkan suara, tapi Rangga sudah menarik tangannya. Dan gadis itu terpaksa melesat, mengikuti Rangga yang melompat naik ke punggung Rajawali Putih sambil memegangi tangannya.
"Ayo, Rajawali. Ikuti mereka lagi," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Sekali mengepakkan sayap, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa membawa sepasang pendekar muda dari Karang Setra. Sebentar Rajawali Putih berputar-putar, kemudian melesat ke arah utara. Saat itu, Rangga melihat bayangan orang-orang berbaju merah itu berkelebat dari balik pepohonan yang begitu lebat di dalam hutan ini.
"Kau lihat, Pandan. Itu mereka," jelas Rangga, memberi tahu.
Pandan Wangi melihat bayangan-bayangan merah berkelebatan menembus hutan yang sangat lebat dan gelap terselimut kabut tebal di bawah, sana. Dia tahu, apa yang dimaksud Rangga. Orang-orang itulah yang merusak dan merebut Kadipaten Parunggungan. Walaupun belum melihat bagaimana keadaan kadipaten itu, tapi Pandan Wangi sudah bisa membayangkannya. Terlebih lagi, kalau ingat cerita Kaliga dalam perjalanan kembali ke tempat persembunyian keluarga Adipati Wiyatala di tepi telaga yang ada di dalam hutan ini. Kota kadipaten itu tentu saja sudah tidak lagi berpenghuni.
"Kakang, mereka menuju ke telaga...!" seru Pandan Wangi.
"Telaga...?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar! Di sanalah keluarga Adipati Wiyatala berada," kata Pandan Wangi lagi memberi tahu.
"Berapa jauh lagi?"
"Tidak jauh, Kakang. Tidak lama lagi, mereka akan tiba di sana."
"Kalau begitu, kita harus menghadang mereka di sini. Mereka orang-orang kejam, Pandan. Apalagi, mereka juga ditugaskan membunuh Adipati Wiyatala. Tapi yang lebih penting lagi, mereka harus membawa kepalaku pada pemimpinnya," jelas Rangga.
"Kepalamu...?"
Pandan Wangi tampak terkejut mendengar penjelasan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang kau lakukan, Kakang?"
Dengan singkat Rangga menceritakan semua yang terjadi. Dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau dalam waktu sesingkat ini, Rangga sudah bisa mengurangi jumlah kekuatan yang dimiliki gerombolan itu sekarang. Bahkan menewaskan salah seorang putra Ki Warungkul yang menjadi salah satu pemimpin orang-orang itu.
"Kita hadang mereka, Rajawali...!" seru Rang-ga begitu menyelesaikan ceritanya.
"Khraaagkh...!"
Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung meluruk deras menuju ke arah orang-orang berbaju serba merah yang kini sudah mulai terlihat jelas. Karena, mereka sudah memasuki daerah yang mulai jarang pepohonannya.
"Khraaagkh...!"
? *** ? Jeritan burung rajawali raksasa yang begitu keras, memang membuat orang-orang berbaju serba merah itu jadi tersentak kaget. Mereka bagai mendengar ledakan gunung berapi, tepat di depan telinga. Begitu kerasnya, hingga membuat jantung bagai berhenti berdetak seketika. Dan ketika mendongakkan kepala, tampak seekor burung rajawali raksasa meluruk deras ke arah mereka. Seketika, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, seperti melihat sepasukan iblis dari neraka yang akan melumat habis tubuh mereka semua.
"Cepat berlindung...!" seru Worodini yang lebih cepat tersadar.
Seketika, orang-orang berbaju serba merah itu berserabutan, berlompatan dari punggung kuda, mereka berusaha mencari tempat perlindungan, tapi keadaan malah menjadi kacau. Mereka saling bertabrakan, membuat kuda-kuda tunggangan juga ikut kalang kabut. Dan ini memang disengaja Rangga, untuk memecahkan perhatian mereka semua. Maka dimintanya Rajawali Putih berputar-putar saja, membuat keadaan semakin bertambah kacau tidak menentu.
Sementara, Rajawali Putih semakin dekat saja. Dan begitu burung rajawali raksasa itu mengibaskan sayap ke bawah, Rangga langsung melompat turun diikuti Pandan Wangi. Beberapa orang seketika menjerit, terkena sambaran sayap burung rajawali.
"Dia bagianku, Kakang...!" seru Pandan Wangi begitu kakinya menjejak tanah. "Hiyaaat!"
Pandan Wangi langsung saja meluruk cepat sekali ke arah Worodini. Bagaikan kilat, si Kipas Maut segera mencabut senjata kipasnya, dan langsung dikebutkan ke arah dada Worodini.
Bet! "Aikh..."!"
Worodini jadi terpekik kaget setengah mati. Untung saja dia cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Pandan Wangi bisa dihindari. Sehingga hanya sedikit saja ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah itu berkelebat di depan dadanya. Namun belum juga keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, Pandan Wangi sudah kembali melompat menyerang dengan kebutan-kebutan senjata kipas mautnya yang sangat cepat dan dahsyat. Akibatnya Worodini terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang cepat dan gencar ini.
Sementara itu, Rangga yang dibantu Rajawali Putih mulai mengamuk, menghajar lawan yang berjumlah sangat besar. Menyadari jumlah lawan yang begitu besar, Rangga tidak sungkan-sungkan lagi menggunakan pedang pusakanya. Maka, keadaan di dalam hutan ini jadi terang benderang seperti siang hari. Cahaya yang memendar keluar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti, berkelebat begitu cepat bagai kilat, membuat mereka yang berada di dekatnya tidak dapat lagi menghadapinya.
Jeritan-jeritan panjang mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling sambut. Dan tubuh bersimbah darah terus berjatuhan semakin banyak. Namun Rangga bagai kesetanan, mengamuk membabatkan pedangnya pada lawan-lawannya yang mendekat. Pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu berkelebat begitu cepat, sehingga setiap gerakannya selalu menimbulkan korban yang tidak dapat dihindari lagi.
Sementara di tempat lain, Pandan Wangi terus mendesak Worodini yang hanya bisa berjumpalitan menghindar, tanpa mampu memberi serangan balasan sedikit pun juga. Seakan-akan, Pandan Wangi sengaja tidak memberi kesempatan pada lawannya untuk balas menyerang.
"Hiya! Hiya...!"
Sambil berteriak nyaring, Pandan Wangi terus bergerak cepat sekali, menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu dahsyat. Dan ini tentu saja membuat Worodini semakin kelabakan menghadapinya. Terlebih lagi, dia melihat orang-orangnya sama sekali tidak berdaya menghadapi gempuran Rangga dan burung rajawali raksasa yang memang tidak ada tandingannya. Jeritan-jeritan melengking semakin sering terdengar, membuat Worodini semakin sulit mengendalikan diri. Hingga...
"Yeaaah...!"
Begitu keras teriakan Pandan Wangi, hingga membuat Worodini jadi tersentak setengah mati. Tapi belum juga bisa melenyapkan keterkejutan-nya, si Kipas Maut sudah melepaskan satu pukulan keras dengan telapak tangan kiri. Begitu cepat pukulannya, sehingga Worodini tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Diegkh! "Akh...!"
Worodini jadi terpekik keras, begitu pukulan Pandan Wangi telak menghantam dadanya. Seketika itu juga, tubuhnya terpental deras ke belakang, menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Keras sekali tubuh gadis itu terbanting ke tanah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melompat menerjang kembali sambil mengebutkan kipas mautnya.
"Hiyaaat...!"
Worodini kini mempunyai kesempatan untuk menggunakan pedangnya. Maka secepat itu pula pedangnya diloloskan dan langsung dibabatkan ke depan.
"Ikh!"
Cring! Bet! Maka terpaksa Pandan Wangi harus melenting ke belakang, menghindari sabetan pedang lawan-nya. Tepat di saat Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah, Worodini melompat bangkit berdiri. Seketika dia menekan dadanya yang terasa sesak, akibat terkena pukulan keras dari si Kipas Maut.
"Hih! Yeaaah"!"
Kali ini Worodini rupanya tidak mau lagi keco-longan. Sebelum Pandan Wangi bisa menyerang kembali, dia cepat mendahului. Pedangnya seketika itu juga berkelebat begitu cepat menyambar ke arah kepala Pandan Wangi. Namun dengan satu gerakan mengegos yang begitu manis, Pandan Wangi bisa menghindari sambaran pedang lawan. Cepat kakinya ditarik ke belakang.
Namun saat itu juga, Worodini sudah memutar pedangnya dan langsung membabatkannya ke arah dada si Kipas Maut ini. Begitu cepat serangannya, hingga Pandan Wangi tidak ada lagi kesempatan untuk menghindarinya. Maka secepat itu pula kipasnya dikembangkan di depan dada.
Trang! "Ikh..."!"
Worodini jadi terpekik, ketika pedangnya ber-benturan dengan senjata kipas lawannya. Cepat kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat menerjangnya. Kipas Maut yang menjadi andalannya, langsung dikibaskan ke arah leher lawannya.
Bet! "Haiiit!"
Worodini cepat-cepat menangkis tebasan kipas putih keperakan yang mengincar lehernya. Maka benturan dua senjata pun tidak dapat dihindari lagi. Bunga api seketika terlihat memercik, begitu dua senjata itu beradu tepat di depan tenggorokan Worodini.
Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Pandan Wangi sudah cepat berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, hingga membuat Worodini jadi terperangah tidak dapat lagi berkelit.
Diegkh!" "Akh...!"
Untuk kedua kalinya, Worodini memekik. Tu-buhnya kontan terpental ke belakang, begitu tendangan berputar yang dilancarkan Pandan Wangi menghantam dadanya. Dan saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat mengejar lawannya. Langsung senjata kipas mautnya dikebutkan ke arah batang leher Worodini.
"Hiyaaa...!"
Wut! Worodini yang belum juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sama sekali tidak dapat lagi berkelit dari serangan si Kipas Maut. Jelas, lehernya yang putih jenjang itu akan menjadi sasaran senjata maut Pandan Wangi yang berupa kipas berujung runcing bagai mata panah ini. Namun, Worodini masih berusaha menghindarinya. Hingga....
Cras! ?? "Akh...!"
Worodini jadi terpekik, begitu ujung kipas Pandan Wangi masih juga menyambar bahunya. Seketika itu juga darah mengalir deras. Cepat-cepat Worodini melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Dan pedangnya masih sempat dikebutkan ke depan, hingga Pandan Wangi terpaksa harus melenting ke belakang menghindari sambaran pedang.
"Kurang ajar...!" geram Worodini, melihat luka cukup besar di bahunya.
Darah terus mengalir membasahi pakaiannya. Saat itu, Worodini sempat melihat ke arah pengikut-pengikutnya. Seketika itu juga, hatinya jadi terkesiap. Ternyata para pengikutnya yang berjumlah sekitar seratus orang sama sekali tidak berdaya menghadapi amukan Pendekar Rajawali Sakti dan burung rajawali raksasa tunggangannya. Sungguh tidak dipercaya kalau sudah lebih dari setengah orang-orangnya telah tergeletak tidak bernyawa lagi. Dan kedua bola mata Worodini semakin terbeliak, saat melihat cahaya biru terang dari pedang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Sebaiknya semua ini kulaporkan pada Ayah!" dengus Worodini dalam hati.
Sejenak gadis itu melayangkan pandangan ke sekitarnya. Dan sambil berteriak nyaring, Worodini langsung melompat menerjang s Kipas Maut ini.
Pedangnya langsung berkelebat cepat sekali, menyambar ke arah kepala Pandan Wangi.
Bet! Namun dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindarinya. Tapi si Kipas Maut sama sekali tidak menyangka kalau serangan yang dilancarkan lawannya hanya sebuah tipuan belaka. Dan di saat tubuh si Kipas Maut ini terbungkuk, Worodini langsung melompat mendekati kudanya.
"Hiyaaa...!"
Kuda putih yang tinggi dan gagah itu kontan meringkik, begitu merasakan ada yang menung-ganginya. Dan ketika tali kekangnya terhentak keras, kuda itu langsung melesat cepat meninggalkan orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak lagi bisa menghadapi Rangga dan Rajawali Putih.
"Hei, jangan lari kau...!" bentak Pandan Wangi terkejut.
Tapi teriakan Pandan Wangi seperti tertelan riuhnya suara pertarungan di belakangnya. Sedangkan Worodini sendiri sudah lenyap tidak terlihat bayangannya sedikit pun juga. Dan ini membuat Pandan Wangi yang tidak sempat lagi mengejar, jadi menggerutu kesal sendiri. Dan kekesalan hatinya langsung dilampiaskan pada orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak dapat lagi mempertahankan diri. Maka mereka semakin kalang kabut begitu Pandan Wangi terjun ke dalam pertarungan. Dan jeritan-jeritan melengking tinggi pun semakin sering terdengar saling sambut, bersama ambruknya tubuh-tubuh berhamburan darah.
Hingga dalam waktu sebentar saja, tinggal sekitar sepuluh orang yang tersisa. Dan mereka langsung melemparkan senjata tanda menyerah. Pandan Wangi segera melompat menghampiri Rangga. Sedangkan Rajawali Putih sudah kembali ke angkasa, tanpa diminta lagi.
"Dengar! Kalau kalian ingin bertobat, kuperin-tahkan pergi dari sini. Dan, jangan coba-coba kembali lagi," dingin sekali nada suara Rangga.
Sepuluh orang itu segera membungkuk. Dan mereka segera beranjak pergi, sebelum Rangga mengusirnya dengan kasar. Mereka langsung ber-encar, menuju ke arah masing-masing.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Mengembalikan Kadipaten Parunggungan," sahut Rangga, mantap.
? *** ? Mampukah Pendekar Rajawali Sakti mengembalikan Kadipaten Parunggungan seperti sediakala" Dan, bagaimana sikap Ki Warungkul setelah mengetahui anak gadisnya dapat dilukai Pandan Wangi" Apakah dia akan terus mempertahankan istana yang sudah berlumur darah itu..."
Untuk lebih jelasnya, silakan tunggu serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode :
? ISTANA RATU SIHIR
? Kembali ke "a href=https://www.facebook.com/notes/pendekar-rajawali-sakti/141-dendam-gadis-pertapa-bag-4-6/627255574066777">Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Jala Pedang Jaring Sutra 13 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Pendekar Pemetik Harpa 8

Cari Blog Ini