Ceritasilat Novel Online

Intan Saga Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Merah Bagian 1


" To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
127. Intan Saga Merah Bag. 1-3
September 28, 2014 at 7:34pm
1? ? ? "Auuu...!"
Lolongan anjing hutan terdengar begitu panjang memilukan membuat bulu-bulu kuduk empat anak muda yang tengah meronda di Desa Randu Sangit jadi meremang. Mereka duduk agak merapat, melingkari seonggok api unggun yang menyala tidak begitu besar. Api yang menghanguskan tumpukan ranting kering itu, seakan tidak dapat menghalau dinginnya malam ini.
"Auuu...!"
Kembali terdengar lolongan anjing. Dan kali ini terasa begitu dekat dengan keempat anak muda yang meronda itu. Sesaat mereka saling melempar pandang. Dan seperti ada yang memberi perintah, mereka sama-sama berdiri. Kembali mereka saling melempar pandang satu sama lain. Jelas sekali tersirat dari cahaya bola mata mereka, sesuatu yang begitu menakutkan. Bayang-bayang buruk langsung menyergap mereka tanpa dapat disembunyikan lagi
"Kang..., sebaiknya kita pulang saja. Aku takut..," desis salah seorang yang menyelimuti selu?ruh tubuhnya dengan kain sarung kumal. Suaranya terdengar begitu pelan, seperti berbisik. Seakan-akan, ucapannya takut terdengar sampai jauh.
"Kita tidak bisa meninggalkan tempat ini, sebelum datang penggantinya," sahut anak muda yang berbaju merah menyala. Sebuah golok bergagang hitam tampak terselip di pinggangnya.
"Tapi, Kang...."
Belum lagi sanggahan itu bisa dilanjutkan, mendadak saja terasa ada hembusan angin yang cukup kencang. Begitu dinginnya, hingga menusuk tulang. Tak tahan dengan udara yang begitu dingin, keempat anak muda itu langsung berpindah saling merapatkan tubuh. Dan kembali mereka disergap oleh keheningan yang begitu mencekam. Malah, api unggun yang tadi menyala, kini padam oleh hem?busan angun tadi.
"Hm.... Aku merasa ada orang di sekitar sini," kata anak muda berpakaian merah itu perlahan. Suaranya terdengar setengah berbisik, "Diamlah kalian..."
"Kang...."
Hampir bersamaan, ketiga anak muda yang lain mendesis ketakutan. Dan belum lagi ada yang bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja....
Wusss...! "Awaaas...!"
Tepat di saat anak muda berbaju merah itu berteriak memperingati, terlihat sebuah bayangan biru berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan belum juga ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu....
"Aaaakh...!"
Terdengar jeritan panjang memilukan. Dan saat itu juga, salah seorang dan empat anak muda peronda ambruk menggelepar. Lehernya langsung terkoyak lebar, hingga hampir buntung. Darah segar kontan mengalir deras sekali dari leher yang berlubang menganga lebar. Hanya sebentar saja anak muda yang malang itu menggelepar, kemudian diam tidak berkutik-kutik lagi. Mati.
Sementara, ketiga anak muda yang lain jadi terbeliak lebar. Mereka seperti tidak percaya dengan apa yang dilihat barusan. Salah seorang dari teman mereka tiba-tiba saja menggeletak, tidak bernyawa lagi dengan leher berlubang mengucu-kan darah segar.
"Cabut senjata kalian...!" sentak anak muda yang berbaju merah, lantang.
Sret! Slap...! Begitu anak muda berbaju merah itu mencabut goloknya, kembali terlihat sebuah bayangan biru berkelebat begitu cepat bagai kilat. Sehingga hanya seberkas cahaya biru yang melesat begitu cepat melewati ketiga anak muda peronda itu. Dan....
"Aaaa...!"
? *** ? Malam yang begitu hening, kembali dipecahkan oleh jeritan panjang dan melengking tinggi, mengiringi kematian seorang lagi anak muda peronda di Desa Randu Sangit. Dalam beberapa kejapan mata saja, sudah dua orang yang tergeletak tidak bernyawa lagi dengan leher berlubang besar mengeluarkan darah segar.
Dan saat itu juga, salah seorang yang masih tersisa langsung mengambil langkah seribu. Dia lari lintang pukang sambil berteriak sekuat kuatnya. Tapi baru saja berlari beberapa tombak, kembali ter?lihat kilatan cahaya biru yang begitu cepat, memotong arah lari anak muda itu. Dan....
Bret! "Aaaa...!"
Satu lagi terdengar jeritan yang begitu panjang dan melengking tinggi. Kemudian disusul ambruknya anak muda yang melarikan diri tadi ke tanah. Tampak darah segar mengalir begitu deras dari lehernya yang terkoyak lebar, seperti tercabik kuku-kuku harimau yang sangat tajam bagai mata pisau.
"Keparat..!" desis anak muda berbaju merah. Dia kini tinggal seorang saja.
Kegeraman memang menyelimuti hati anak muda ini. Tapi di balik hatinya, juga terselip rasa takut yang amat sangat. Goloknya kini sudah melintang di depan dada. Dan kedua bola matanya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya yang terlihat begitu gelap.
Dan memang, malam ini terasa begitu gelap. Sedikit pun tak ada cahaya dari rembulan yang menyembunyikan diri di balik gulungan awan tebal menghitam. Ditambah lagi, tidak ada satu rumah pun yang menyalakan pelita. Hingga malam ini seluruh wilayah Desa Randu Sangit jadi terasa begitu gelap dan mencekam.
"Keluar kau, lblis Keparat...! Tampakkan diri-mu...!" teriak anak muda itu lantang menggelegar suaranya. "Kalau berani, hadapi Banyugara, lblis Keparat..!"
Suara anak muda berbaju merah yang menga-ku sebagai Banyugara itu hanya tertelan oleh sa-puan angin malam yang menyebarkan udara dingin menggigilkan. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, sedikit pun tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sekitarnya. Begitu sunyi dan mencekam keadaan sekelilingnya. Seakan-akan dia berada di tengah-tengah hutan yang begitu gelap, tanpa seorang pun yang menemani.
"Phuih! Ternyata kau hanya berani main bela-kang! Pengecut...!" teriak Banyugara. Suaranya masih lantang menggelegar.
Dan belum lagi suara Banyugara menghilang dari pendengaran, mendadak saja...
"Ghrogkh...!"
"Heh..."!"
Banyugara jadi kaget setengah mati, begitu ti?ba-tiba terdengar suara menggorok yang begitu keras dari belakangnya. Cepat tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga...
"Hah ..."!"
"Ghraaaugkh...!"
Belum lagi Banyugara bisa memastikan apa yang ada di depannya, mendadak saja dari depan sudah melesat sebuah bayangan biru yang begitu cepat bagai kilat. Seketika kedua bola mata anak muda itu jadi terbeliak lebar dengan mulut ternga nga. Namun begitu bayangan biru itu sudah dekat, Banyugara cepat membanting tubuhnya ke tanah sambil mengibaskan golok ke depan
Bet! Beberapa kali Banyugara bergulingan di tanah. Lalu dengan gerakan manis sekali, dia melompat bangkit berdiri. Namun belum juga kedua kakinya bisa mantap menjejak tanah kembali bayangan biru itu berkelebat cepat bagai kilat menenang ke arahnya.
"Haiiit. .!"
Tidak ada jalan lain lagi bagi Banyugara, kecuali harus membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, untuk menghindari se-rangan bayangan biru itu.
"Hup!' Bet! Sambil cepat mengebutkan goloknya, Banyu?gara kembali melompat bangkit berdiri. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya langsung melesat cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang lumayan, pergi dari situ.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Banyugara melompati sebuah rumah yang beratapkan rumbia. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah lagi, setelah melewati atap rumah itu. Dan dia terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringan?kan tubuhnya. Sedikit kepalanya berpaling ke belakang. Dan memang, bayangan biru itu tidak mengejarnya.
"Aku harus cepat memberitahu Ki Saragating. Hiyaaa...!"
Banyugara mengempos seluruh kemampuan il?mu meringankan tubuh, hingga bisa berlari begitu cepat. Dan arahnya jelas menuju rumah gurunya yang berada di sebelah timur Desa Randu Sangit ini.
? *** ? "Ki...!"
Wusss! Bruk! Tepat begitu Banyugara tiba di depan pintu rumah Ki Saragating, kembali melesat kilatan cahaya biru yang begitu cepat juga, Banyugara jatuh terguling di lantai beranda rumah Ki Saragating yang terbuat dari belahan kayu pohon.
Teriakan Banyugara yang begitu keras, rupa-nya mengejutkan Ki Saragating yang berada di dalam. Cepat laki-laki tua itu membuka pintu. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, melihat muridnya menggeletak di lantai beranda depan rumahnya dengan leher terkoyak lebar mengucurkan darah.
"Banyugara...," desis Ki Saragating agak terta-han suaranya di tenggorokan.
Belum juga Ki Saragating bisa berbuat se?suatu....
"Ghroooogkh...!"
"Oh..."!"
Sulit untuk dilukiskan, bagaimana terkejutnya Ki Saragating ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggorok yang begitu keras. Dan tepat pada saat itu, terlihat sebuah bayangan biru berkelebat cepat bagai kilat.
"Hup...!"
Ki Saragating cepat-cepat melompat menghin-dari terjangan bayangan cahaya biru yang meluruk begitu cepat hendak menyerangnya.
Brak! "Heh..."!"
Kembali Ki Saragating terkesiap, begitu melihat pintu depan rumahnya hancur berkeping-keping terlanda cahaya biru yang baru saja dihindarinya. Sementara, dia sendiri kini sudah berada di halaman depan rumahnya. Sedangkan bayangan ca?haya biru itu sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana tanpa dapat diketahui.
"Demi dewa-dewa di kayangan! Aku tidak tahu, makhluk apa itu...," desis Ki Saragating per-lahan.
Sret! Criiing...! Perlahan orang tua berjubah putih panjang itu meloloskan pedang dari sarungnya yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang dan longgar. Kilatan cahaya dari pedangnya tampak memendar, terjilat cahaya lampu pelita yang tergantung di tengah-tengah atap beranda depan rumahnya. Dan suasana jadi sunyi senyap, tanpa terdengar suara sedikit pun. Ki Saragating mengedarkan pandangannya berkeliling tapi sedikit pun tidak bisa melihat tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Begitu sunyi dan terasa mencekam, membuatnya harus bersikap lebih hati-hati lagi.
"Hm"," Ki Saragating menggumam perlahan sambil menggeser kakinya ke kanan.
Orang tua itu merasakan kesunyian yang begitu mencekam. Sehingga telinganya sedikit pun tidak mendengar apa-apa, kecuali detak jantungnya saja yang memburu, disertai dengus napas.
"Ghrogkh!"
"Heh.."!"
Ki Saragating jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar suara menggorok yang keras sekali dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat sebuah ba?yangan bercahaya biru berkelebat begitu cepat ke arahnya. Seketika kedua bola mata orang tua itu jadi terbeliak lebar, dengan mulut ternganga. Tapi, Ki Saragating bisa cepat menguasai keadaan. Dan...
"Hap! Yeaaah...!"
Wut! Sambil berteriak nyaring, Ki Saragating mengebutkan pedangnya ke depan, tepat di saat bayang?an bercahaya biru itu dekat di depannya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya diliukkan ke kiri hingga miring.
Tapi Ki Saragating jadi terperangah. Pedangnya yang diikebutkan dengan kecepatan sangat tinggi, terasa hanya membabat angin saja. Sementara, ba?yangan cahaya biru itu sudah melesat begitu cepat ke atas kepalanya. Maka satu sambaran angin yang sangat kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat seketika terasa bagai membakar kulitnya.
"Hup...!"
? *** ? Cepat-cepat Ki Saragating melompat jauh ke belakang dengan berputaran beberapa kali di udara. Lalu manis sekali kakinya menjejak di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi. Se?mentara, sekitar tiga batang tombak di depannya, terlihat segumpal cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.
"Dewata Yang Agung...! Apa itu...?" desis Ki Saragating dengan mata terbeliak lebar.
Sulit bagi Ki Saragating untuk bisa melihat jelas, makhluk apa yang ada di depannya. Yang terlihat hanya gumpalan cahaya biru terang, dengan sebentuk tubuh yang sangat besar berada di tengah-tengah pancaran cahaya biru itu. Demikian terangnya, sampai-sampai rumah Ki Saragating tidak ter?lihat lagi.
Perlahan Ki Saragating menarik kakinya ke be?lakang beberapa langkah. Kedua bola matanya te-rus dipentang lebar, mencoba melihat sosok bentuk tubuh yang bersembunyi di balik gumpalan cahaya biru yang memancar terang menyilaukan mata.
Memang sulit bagi Ki Saragating untuk bisa me?lihat jelas. Bahkan cahaya biru yang memancar te?rang itu semakin menyakitkan matanya. Sehingga, pandangannya jadi mulai mengabur. Ki Saragating terus melangkah mundur perlahan-lahan. Sementa?ra, sosok makhluk yang mengeluarkan cahaya biru terang itu tetap diam tidak bergeming sedikit pun.
"Oh..."!"
Ki Saragating jadi tersedak, ketika punggung-nya terasa menyentuh sesuatu yang keras. Sedikit kepalanya berpaling ke belakang. Ternyata sebatang pohon yang sangat besar berada tepat di belakangnya, menempel rapat pada punggungnya. Dan pada saat itu juga, makhluk yang memancar-kan cahaya biru terang menyilaukan bergerak. La?lu...
Slap! "Oh..."! Hup!"
Cepat-cepat Ki Saragating membanting tubuh?nya ke tanah. Dan tubuhnya langsung bergulingan beberapa kali, menghindari kilatan cahaya biru yang melesat begitu cepat bagai kilat. Maka cahaya biru terang itu pun langsung menghantam pohon yang berada tepat di belakangnya tadi.
Glaaar! "Edaaan...!"
Ki Saragating jadi merutuk sendiri dalam hati, begitu melihat pohon besar yang tadi di belakang?nya seketika hancur berkeping-keping terlanda ca?haya biru yang melesat ke arahnya. Bergegas dia melompat bangkit berdiri, dan menyilangkan pe?dangnya di depan dada. Sementara, makhluk ber?cahaya biru terang itu tetap berada di depan rumah laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Saragating sendiri sudah kembali berdiri tegak, berjarak sekitar enam batang tombak dari makhluk itu.
Orang tua itu memang sengaja menjaga jarak, karena merasa kalau makhluk yang dihadapinya sangat berbahaya. Dia tidak tahu, makhluk apa di depannya ini, yang sudah menewaskan muridnya tadi. Perlahan Ki Saragating menggeser kakinya ke kanan. Namun, tatapan matanya tidak berkedip sedikit pun memandangi makhluk bercahaya biru te?rang di depannya.
Dan tiba-tiba saja...
Wusss...! Makhluk bercahaya biru terang itu melesat tinggi ke angkasa, dan terus meluncur deras bagai kilat melewati orang tua berjubah putih ini. Ki Sa?ragating langsung merunduk dengan tubuh berputar Tapi. makhluk aneh bercahaya biru itu terus melesat cepat bagai kilat, seperti terbang di angka?sa. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya-cahaya obor yang bergerak menuju ke rumah Ki Saraga?ting. Kemudian, terdengar suara-suara orang yang bercampur hentakan kaki semakin mendekat.
Ki Saragating segera memasukkan pedang ke dalam sarungnya di balik jubah putih yang dikenakannya. Tubuhnya lantas berputar memandangi orang-orang yang berdatangan ke rumahnya sambil membawa obor dan berbagai macam bentuk senjata.
"Oh! Untunglah mereka cepat datang...," de-sah Ki Saragating dalam hati.
Ki Saragating tahu, mereka yang datang adalah penduduk Desa Randu Sangit. Dia melihat yang berada paling depan adalah Ki Sampatan, Kepala Desa Randu Sangit ini. Mereka masuk ke halaman depan rumah Ki Saragating. Langsung dirubunginya orang tua ini. Sedangkan Ki Sampatan segera menghampirinya.
"Aku mendengar ada ribut-ribut di sini. Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Ki Sampatan lang?sung.
"Entahlah, Sampatan. Aku sendiri serasa masih bermimpi. Tapi...," Ki Saragating tidak melanjutkan kata-katanya.
Orang tua itu langsung teringat muridnya yang masih tergeletak tidak bernyawa di beranda depan rumahnya. Bergegas dihampirinya mayat Banyu?gara yang tergeletak dengan leher terkoyak lebar hampir buntung. Darah sudah mulai membeku di sekitar lehernya yang menganga lebar. Semua orang yang ada di tempat itu jadi bergidik ngeri, melihat keadaan Banyugara. Mereka semua tahu, Banyugara bukan hanya murid tunggal Ki Saraga?ting. Tapi, sudah seperti anak bagi orang tua yang rumahnya menyendiri dari rumah-rumah lain di De?sa Randu Sangit ini.
Ki Saragating mengangkat tubuh murid tung-galnya, dan memeluknya dengan mata berkaca-kaca. Sementara, semua orang yang ada di seki?tarnya hanya bisa diam memandangi. Ki Sampatan menghampiri orang tua ini. Sedangkan Ki Saraga?ting sudah membaringkan lagi muridnya. Perlahan dia berdiri, dan langsung menatap Ki Sampatan de?ngan bola mata berkaca-kaca. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan pada kepala desa ini. Dan semua orang pun tidak ada yang membuka suara. Mereka hanya bisa memandangi dengan raut wajah me mancarkan duka yang begitu mendalam.
? *** ? 2 ? ? Bukan hanya Ki Saragating saja yang berduka kehilangan murid tunggal yang sudah dianggap anak. Semua penduduk Desa Randu Sangit pun berduka atas tewasnya tiga orang putra mereka yang bersamaan dengan Banyugara. Mereka tahu, anak-anak muda itu memang mendapat tugas ronda malam itu. Dan pagi ini, seluruh Desa Randu Sangit diselubungi kabut duka yang mendalam. Se?mua orang kini mengantar kepergian empat anak muda yang tewas ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Sementara, Ki Saragating sendiri tidak keluar dari dalam rumahnya, setelah menguburkan jasad murid tunggalnya. Namun di saat matahari berada tepat di atas kepala, orang tua itu keluar dari dalam rumahnya.
Ki Sampatan yang memang sejak tadi terus memperhatikan orang tua itu bergegas mengham-piri Ki Saragating menghentikan ayunan kakinya, tepat setelah berada di luar pagar halaman rumah?nya. Dia seperti menanti kedatangan Ki Sampatan yang menghampirinya dengan langkah lebar. Kepa?la Desa Randu Sangit itu berhenti melangkah, tepat sekitar tiga langkah lagi di depan orang tua yang dikenal sebagai pertapa ini.
"Mau ke mana kau, Kakang?" tegur Ki Sampa?tan halus.
"Mencari pembunuh muridku," sahut Ki Sara?gating pelan, seperti sudah tidak punya semangat hidup lagi.
"Kau tahu siapa orangnya, Kakang?" tanya Ki Sampatan lagi.
Ki Saragating tidak langsung menjawab. Dipandanginya kepala Jesa itu dengan sinar mata begitu redup, seperti tidak lagi memiliki cahaya kehidupan. Tatapan mata yang redup itu dibalas Ki Sampatan dengan sorot mata tajam. Ki Saragating menghembuskan napas panjang, lalu mengarahkan pandangannya jauh ke depan. Kembali dihembuskannya napas panjang yang terasa begitu berat. Sementara, Ki Sampatan terus memandanginya, seolah-olah ingin mencari jawaban dari semua kejadian berdarah semalam.
Ki Saragating memang belum menceritakan se?mua yang terjadi semalam di halaman rumahnya. Dia sendiri masih belum bisa mempercayai apa yang terjadi, sampai muridnya tewas begitu mengerikan. Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu betul kejadiannya. Ki Saragating sendiri masih diliputi seribu macam pertanyaan yang belum bisa terjawab. Dia tidak tahu, makhluk apa yang ditemuinya semalam.
"Kau menyembunyikan sesuatu padaku, Ka?kang...," kata Ki Sampatan, bemada mendesak.
"Tidak ada yang kusembunyikan padamu, Sampatan. Aku sendiri tidak tahu, harus menga-takan apa padamu. Semua yang terjadi padaku, seakan seperti sebuah mimpi buruk," sahut Ki Sara?gating pelan, seakan bicara pada diri sendiri.
"Siapa yang melakukan pembunuhan itu, Ka?kang?" tanya Ki Sampatan lagi.
"Entahlah.... Aku sendiri tidak yakin dengan yang kulihat semalam," sahut Ki Saragating, agak mendesah perlahan.
Nada suara laki-laki tua itu jelas kalau merasa tidak yakin dengan kata-katanya sendiri. Dan ini membuat kelopak mata Ki Sampatan jadi berkerut. Baginya Ki Saragating sudah seperti bukan orang lain saja. Orang tua ini sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Bahkan segala persoalan yang dihadapinya, selalu dibicarakan pada Ki Saragating.
Memang, Ki Saragating orang tertua di Desa Randu Sangit. Semua orang yang tinggal di desa ini begitu menghormatinya. Malah sepertinya segala persoalan yang ada, tidak akan terselesaikan kalau belum ditangani orang tua ini. Maka sudah barang tentu Ki Sampatan merasa begitu berat untuk melepas kepergian Ki Saragating, yang ingin mencari makhluk aneh pembunuh Banyugara serta tiga orang anak muda yang meronda bersamanya sema?lam.
"Ceritakan padaku, Kakang. Mungkin saja aku bisa membantumu," pinta Ki Sampatan.
"Kau hanya akan menertawakan aku saja, Sampatan. Sebaiknya kau tidak perlu tahu. Biar semua ini aku yang bereskan," tolak Ki Saragating dengan halus.
"Apa pun yang kau katakan, aku percaya pada?mu, Kakang," desak Ki Sampatan.
Ki Saragating hanya tersenyum saja. Namun senyumnya seperti dipaksakan. Begitu hampa. Dia tahu, kalau kepala desa itu hanya ingin tahu kejadian semalam yang sesungguhnya. Namun kalau diceritakan juga, belum tentu kepala desa ini akan percaya begitu saja. Bahkan bukannya tidak mung?kin akan menganggap dirinya sudah gila.
Pembunuh Banyugara dan tiga orang anak mu?da lainnya itu memang bukan manusia biasa. Dia adalah sosok makhluk yang mengeluarkan cahaya biru terang. Entah makhluk apa itu.... Ki Saragating sendiri tidak tahu. Bahkan hampir saja membunuhnya, kalau Ki Sampatan dan semua orang Desa Randu Sangit tidak segera datang.
"Aku pergi dulu, Sampatan," pamit Ki Saraga?ting.
"Ke mana kau akan pergi, Kakang?" tanya Ki Sampatan.
"Entahlah...," sahut Ki Saragating agak mendesah.
Tanpa bicara lagi, Ki Saragating langsung saja melangkah meninggalkan kepala desa itu. Dia terus berjalan perlahan-lahan menuju ke arah timur. Se?mentara, Ki Sampatan hanya memandangi saja de?ngan segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Sampai punggung orang tua itu tidak ter?lihat lagi, Ki Sampatan baru meninggalkan halaman depan rumah Ki Saragating.
? *** Sudah lebih satu purnama Ki Saragating me-ngembara mencari makhluk aneh bersinar biru yang sudah membunuh murid tunggalnya. Entah, sudah berapa desa dimasuki. Tapi belum juga ditemukan tanda-tanda, di mana makhluk aneh bersinar biru itu berada. Dan entah sudah berapa hutan dijelajahinya. Namun sampai hari ini, belum juga mendapatkan hasil yang diinginkan. Tapi Ki Saragating ti?dak juga berputus asa. Dia terus mengembara, menjelajahi tempat-tempat yang dianggap bisa bertemu pembunuh murid tunggalnya.
Dan senja ini, Ki Saragating baru saja keluar dari dalam hutan yang cukup lebat. Orang tua itu berhenti di tepi hutan, memandangi matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat. Cahaya?nya yang semula begitu terik, kini terasa lembut menyapu kulit.
"Hhhh...! Ke mana lagi aku harus mencari...?" keluh Ki Saragating seperti putus asa.
Orang tua ini memang tidak tahu lagi, harus pergi ke mana mencari makhluk aneh itu. Di semua tempat yang sudah dilalui, sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau makhluk aneh bersinar biru terang itu. Ki Saragating memutar tubuhnya ke kanan. Dan keningnya jadi berkerut, begitu me?lihat sebuah bukit batu yang tidak begitu tinggi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia tahu, itu Bukit Tangkup. Dan di balik bukit itu terletak Desa Randu Sangit. Sungguh tidak disangka kalau dia akan kembali lagi ke Desa Randu Sangit dalam waktu satu purnama selama pengembaraannya.
"Aku tidak tahu, kekuatan apa yang membawa langkahku sampai kembali ke Desa Randu Sa?ngit...?" desis Ki Saragating perlahan, bicara pada din sendiri.
Tapi entah kenapa, orang tua ini merasakan bagai ada sesuatu yang mendesaknya begitu kuat untuk kembali ke Desa Randu Sangit. Bahkan tan?pa disadari, kakinya terayun melangkah menuju Bu?kit Tangkup yang hanya terdiri dari tumpukan batu-batu cadas. Ki Saragating berhenti melangkah, setelah tiba di kaki bukit batu itu. Dan pada saat kakinya terhenti melangkah, tiba-tiba saja....
Glaaar...! "Heh..."!"
Ki Saragating Jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ledakan sangat dahsyat menggelegar. Dan belum lagi rasa keterkejutannya hilang terlihat bongkahan batu membumbung tinggi ke angkasa, disertai kepulan debu yang menggumpal bagai gunung berapi memuntahkan seluruh isi perutnya. Be?gitu dahsyatnya, sampai tanah yang dipijak orang tua ini bergetar bagai diguncang gempa.
"Apa yang terjadi di sana...?"
Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Saragating langsung saja melesat mengerahkan ilmu meri?ngankan tubuh yang sudah begitu tinggi. Begitu tingginya, hingga larinya seakan-akan tidak menje?jak tanah. Bahkan begitu cepatnya, hingga dalam waktu tidak berapa lama saja sudah berada di puncak Bukit Tangkup ini. Sebentar Ki Saragating ber?henti memandang ke balik bukit. Lalu...
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Ki Saragating kembali melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu ringan tubuh orang tua itu meluncur turun dari atas puncak bukit ini, seperti seonggok kapas putih yang melayang tertiup angin.
"Hup! Yeaaah..!"
Ki Saragating berlompatan dari satu batu ke batu lain dengan gerakan indah dan ringan sekali.
Dan beberapa kali tubuhnya harus berputaran di udara, sebelum ujung jari kakinya menotok permukaan batu. Kemudian tubuhnya kembali melenting indah sekali, menuruni bukit batu ini.
"Hap!"
Ringan sekali Ki Saragating menjejakkan kaki?nya di atas permukaan batu yang sangat besar, di kaki Bukit Tangkup ini. Dan saat itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, dengan mulut ternganga.
"Jagad Dewa Batara...!" desis Ki Saragating seperti tidak percaya dengan penglihatannya sen?diri.
Tidak jauh dari tempat Ki Saragating berdiri sekarang ini, terlihat sebuah desa yang sudah hancur. Tidak ada satu rumah pun yang terlihat lagi berdiri tegak dengan utuh. Bahkan jelas sekali ter?lihat, tubuh-tubuh bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tampak batu-batu berserakan di setiap sudut desa.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Sara?gating melesat turun dari atas batu besar ini. Ringan sekali gerakannya, saat melompat tadi. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah. Kemudian langsung dia berlari cepat menuju desa yang terlihat sudah hancur itu. Dia tahu, itu adalah Desa Randu Sangit yang selama satu purnama ini ditinggalkannya
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang tua ini. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, dia sudah tiba di Desa Randu Sangit. Kini, Ki Saragating menghentikan larinya. Kedua bola matanya jadi membesar, bagai tidak percaya dengan semua yang terpampang di depan matanya. Sulit baginya untuk bisa menduga, apa yang telah terjadi. Tampak mayat-mayat bergelimpangan di antara reruntuhan rumah dan batu-batu yang berserakan tidak teratur. Kelihatannya, desa ini bagai baru saja diguncang gempa yang sangat dahsyat. Sehingga, tidak ada seorang pun yang ma?sih hidup lagi.
Perlahan Ki Saragating melangkah, memasuki desa yang sudah hancur porak-poranda. Setiap ayunan kakinya selalu menjumpai tubuh tergeletak sudah tidak bernyawa. Tapi yang membuat hatinya jadi tertegun, semua tubuh yang ditemui dalam keadaan leher terkoyak lebar hampir buntung. Tam?pak darah yang sudah mengering menggenang di sekitarnya.
"Oh..."!"
? *** ? Ki Saragating mempercepat langkah kakinya, ketika melihat kepulan asap tebal dari balik sebuah rumah yang sudah hancur tidak berbentuk lagi. Dan begitu sampai....
"Sampatan...," desis Ki Saragating terkesiap, saat melihat tubuh seorang laki-laki tua tergeletak di antara runtuhan kayu rumah yang sudah hancur.
Bergegas dihampirinya tubuh Ki Sampatan yang dikenalinya ini. Diangkatnya tubuh kepala de?sa itu. Tampak gerakan halus pada dadanya. Ki Saragating menghembuskan napas berat, saat mengetahui kepala desa itu masih bernapas. Cepat diberikannya beberapa totokan, lalu menyadarkannya perlahan-lahan, Ki Sampatan membuka kelopak matanya.
"Sampatan...," panggil Ki Saragating perlahan.
Ki Saragating masih memangku kepala desa itu dengan pahanya. Tampak seulas senyum tersungging di bibir yang sudah kering agak membiru. Ki Saragating mencoba membersihkan debu yang melekat di wajah kepala desa itu.
"Apa yang terjadi di sini, Sampatan?" tanya Ki Saragating dengan suara agak tertahan.
"Malapetaka itu datang tengah malam, Kakang Saragating. Seluruh desa ini dihancurkannya tanpa sisa sedikit pun...," sahut Ki Sampatan dengan suara tersendat dan terputus-putus.
"Siapa dia, Sampatan?" tanya Ki Saragating lagi.
"Aku..., aku tidak tahu. Aku hanya melihat cahaya biru terang yang berkelebat menghancurkan semua rumah di sini. dan membunuh semua orang. Aku...," Ki Sampatan tidak melanjutkan.
Napas kepala desa ini tersengal-sengal dan sedikit terbatuk. Ki Saragating cepat memberi tiga totokan di sekitar dada kepala desa itu. Tampak tarikan napas Ki Sampatan kembali halus. Namun, pada bola matanya tidak lagi terlihat cahaya gairah kehidupan. Begitu redup. Bahkan seakan-akan ti?dak sanggup lagi untuk terbuka.
"Kenapa dia menghancurkan desa ini, Sampa?tan" Apa yang diinginkan di sini...?" tanya Ki Sa?ragating lagi.
"Aku tidak tahu. Kejadiannya begitu cepat. Dan aku sendiri juga tidak sempat berbuat apa-apa...," sahut Ki Sampatan tersendat.
Kembali kepala desa itu terbatuk beberapa kali. Tampak cairan merah kental agak kehitaman keluar dari mulutnya. Ki Saragating tahu, usia kepala desa ini tidak akan lama lagi. Dan sebelum orang tua ini melontarkan satu pertanyaan lagi, Ki Sampatan su?dah mengejang disertai semburan darah yang semakin banyak dari mulutnya. Lalu tidak berapa lama kepala desa itu menghembuskan napasnya yang terakhir. Ki Saragating hanya bisa menghembuskan napas panjang. Perlahan-lahan dibaringkannya tu?buh Ki Sampatan di antara puing-puing reruntuhan rumahnya.
Perlahan Ki Saragating bangkit berdiri sambil memandangi tubuh Ki Sampatan yang terbujur ti?dak bernyawa lagi. Dan begitu banyak tubuh yang bergelimpangan, hanya Ki Sampatan saja yang ti?dak terkoyak lehernya. Sedangkan leher semua penduduk desa yang sudah tewas tampak terkoyak, hingga hampir buntung. Dan itu yang membuat me?reka tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
"Hh! Apa pun yang diinginkan, dia harus mati sebelum menghancurkan desa-desa lain," desis Ki Saragating menggeram.
? *** ? Tidak seperti satu bulan lalu Ki Saragating me?ninggalkan Desa Randu Sangit yang sudah hancur, entah kenapa sekarang ini kakinya terasa begitu berat melangkah. Bahkan sudah lama dia berdiri mematung, memandangi desa itu. Sementara malam sudah sejak tadi menyelimuti sekitarnya. Namun kegelapan tidak terlalu pekat, karena bulan kali ini bersinar penuh. Dan langit pun begitu semarak, ditaburi bintang bintang. Malam yang begitu indah, tapi sama sekali tidak dapat dinikmati lagi keindahannya.
Pandangan Ki Saragating beralih pada ham paran batu-batu cadas yang tidak jauh dari tempatnya berdiri ini. Dan ledakan yang terjadi siang tadi, jelas akibat hancurnya batu-batu itu. Tadinya, tempat itu berupa gundukan batu yang membukit. Tapi kini, sudah rata dengan tanah. Hanya batu-batu sa?ja yang banyak terhampar di sekitarnya. Tapi yang jadi bahan pikirannya, kekuatan apa yang membuat gundukan batu cadas itu hancur hingga rata dengan tanah. Dan ketika pandangannya hendak beralih, tiba-tiba saja....
"Heh..."!"
Hati Ki Saragating jadi terkesiap, ketika tiba-tiba terlihat secercah cahaya biru yang begitu terang berkelebat di angkasa dari balik pepohonan rimbun jauh di depannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Saragating lang?sung melesat. Dia berlari dengan kecepatan tinggi, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia te?rus berlari, menembus lebatnya pepohonan. Tu?buhnya meliuk-liuk menghindari ranting-ranting po?hon yang hampir merapat bagai hendak menyatu, yang dituju adalah arah kilatan cahaya biru yang dilihatnya sekejapan mata saja tadi.
Dan sebentar saja, orang tua itu sudah berada di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di dalam hutan ini. Ki Saragating langsung menghentikan larinya. Tampak di tengah-tengah padang rumput terlihat dua orang sedang bertarung sengit seka?li. Walaupun mereka tampaknya menggunakan ju?rus-jurus silat tingkat tinggi dengan gerakan begitu cepat, tapi dalam pandangan mata Ki Saragating masih bisa terlihat jelas.
Mereka yang bertarung adalah seorang pemu-da melawan seorang laki-laki tua yang sebaya de?ngan dirinya. Hanya saja, laki-laki tua itu menge-nakan baju hitam yang ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kurus seperti hanya tulang terbungkus baju hitam. Tapi, bukan orang tua itu yang menjadi perhatian Ki Saragating, melainkan lawannya yang masih berusia muda. Di tangan kanan anak muda itu tergenggam sebatang pedang yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan ma?ta. Sehingga, keadaan di sekitar pertarungan itu jadi terang bagai siang hari saja.
"Oh, mungkinkah...?" desah Ki Saragating ter-putus.
Ki Saragating terus memperhatikan dua orang yang masih bertarung sengit itu. Namun tidak lama memperhatikan, dia sudah menduga kalau anak muda yang memegang pedang bercahaya biru te?rang itu kini sudah berada di atas angin. Bahkan beberapa kali tendangannya berhasil mendarat di tubuh lawannya yang jauh lebih tua. Dan ketika sa?tu sabetan pedangnya hampir menebas leher orang tua berjubah hitam yang menjadi lawannya...
"Tahan...!"
Tiba-tiba saja Ki Saragating berteriak lantang menggelegar. Dan langsung dia melompat cepat bagai kilat, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ha?nya sekali lompatan saja, Ki Saragating sudah ber?ada dekat dengan dua orang yang sedang berta?rung.
Sementara pertarungan pun langsung terhenti begitu mendengar bentakan Ki Saragating yang be?gitu keras menggelegar bagai guntur. Ki Saragating cepat mengambil tempat di tengah-tengah, di saat kedua orang yang tadi bertarung itu saling berlompatan mundur.
"Kisanak, mundurlah...! Jangan mencampuri urusan yang bukan persoalanmu!" bentak orang tua berjubah hitam ketat. Dia memegang sebatang tongkat dengan ujung atasnya berbentuk tengkorak manusia.
"Berhadapan dengan dia bukan hanya urusan-mu saja, Kisanak. Aku juga berhak memenggal batang lehernya, seperti yang sudah dilakukannya pa?da semua penduduk desaku," sahut Ki Saragating tegas.
Kata-kata yang dilontarkan Ki Saragating ba-rusan, membuat pemuda yang mengenakan baju rompi putih dan memegang pedang bercahaya biru jadi tersentak kaget. Begitu terkejutnya, sampai kakinya terjingkat ke belakang beberapa langkah. Sedangkan lawannya kelihatan langsung berbinar kedua bola matanya
"Ha ha ha ha...! Sungguh tidak kukira, ternyata kau berada di pihakku, Kisanak. Apa pun urusanmu padanya, aku tidak peduli. Tapi kalau kau ingin memenggal kepala bocah ini, sebaiknya kita gempur saja bersama-sama," sambut orang tua berju?bah hitam itu.
"Itu lebih baik. Setan ini memang sulit dilawan sendiri," Ki Saragating juga menyambut gembira.
Dan tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua yang belum saling mengenal ini langsung saja berlompatan, mengepung anak muda yang menge?nakan baju rompi putih itu. Dan pemuda itu tampaknya jadi tidak mengerti melihat kemunculan orang tua yang tiba-tiba saja memusuhinya tanpa alasan sama sekali.
"Seraaang...!" teriak Ki Saragating keras meng?gelegar. "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
? *** ? 3 ? ? Pemuda berbaju rompi putih itu jadi kelabakan juga, karena harus menghadapi serangan dari dua orang tua yang berkepandaian tinggi. Tubuhnya berjumpalitan sambil meliuk-liuk, menghindari setiap serangan yang datang dari dua jurusan dengan kecepatan tinggi. Namun itu tidak berlangsung la?ma, karena pemuda itu kini sudah bisa membalas dengan serangan dahsyat sekali.
Pedangnya yang memancarkan cahaya biru te?rang berkelebatan begitu cepat bagai kilat. Sehingga seakan-akan seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih itu terselubung cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata. Dan hal ini membuat dua orang laki-laki tua yang menjadi lawannya menjadi kesulitan untuk menyerang.
"Phuih...! Rupanya setan itu hanya manusia biasa yang masih bocah!" dengus Ki Saragating da?lam hati.
Orang tua itu benar-benar menganggap anak muda yang sedang digempurnya ini adalah pembu?nuh muridnya, dan menghancurkan Desa Randu Sangit. Bahkan sampai membunuh semua penduduk desa itu sampai tidak tersisa seorang pun. Begitu percaya akan pendiriannya, Ki Saragating langsung memperhebat serangan-serangannya. Bahkan kini sudah menggunakan pedangnya!
Sedangkan orang tua berbaju hitam yang juga mempunyai persoalan dengan pemuda itu juga ti?dak mau kalah. Malah serangan-serangannya juga diperhebat. Kemunculan Ki Saragating tampaknya membuat semangat bertempurnya jadi bangkit berlipat ganda. Dan ini membuat pemuda berbaju rom?pi putih itu semakin sulit saja untuk menghadapinya. Beberapa kali orang tua berbaju hitam itu sudah terdesak dan jatuh bangun menghindari setiap se?rangan dating. Namun sampai sejauh ini masih bisa bertahan. Bahkan sesekali bisa melancarkan se?rangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Dan pertarungan itu semakin bertambah dah?syat saja. Sementara, pemuda berbaju rompi pubh sudah hampir tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya lenyap tertelan kilatan cahaya biru yang memancar dari pedangnya sendiri. Gerakan pemuda itu begitu cepat membuat dua orang laki-laki tua yang mengeroyoknya jadi kelabakan. Sulit bagi kedua orang tua itu untuk bisa memasukkan serangan. Bahkan mereka tidak tahu lagi di mana sasarannya berada. Namun pada saat itu, Ki Saragating merasakan sesuatu yang sangat aneh pada dirinya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya dalam pertarungan-pertarungan sebelumnya.
"Hh...! Kenapa seranganku jadi tidak terarah"
Perhatianku seperti terpecah...," dengus Ki Saraga?ting dalam hati.
Perasaan itu bukan hanya menyerang hati Ki Saragating. Tapi, juga dirasakan orang tua berjubah hitam yang juga menyerang pemuda berbaju rompi putih ini. Perhatiannya benar-benar sudah terpecah. Bahkan tanpa disadari sabetan pedangnya justru hampir menghantam batok kepala Ki Saragating. Untung saja Ki Saragating cepat melompat ke be?lakang menghindarinya.
"Gila! Apa kau ingin membunuhku, heh..."!" bentak Ki Saragating jadi gusar.
"Sial...!"
Orang tua berbaju hitam itu juga jadi terkejut setengah mati. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Kini dia menjaga jarak sejauh satu batang tombak. Sementara anak muda tampan berbaju rompi putih yang menjadi lawannya berdiri tegak, dengan pe?dang tersilang di depan dada. Tatapan matanya ter?lihat begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata orang tua berbaju hitam yang menjadi lawan pertamanya tadi.
Sementara Ki Saragating sendiri masih belum bisa mengerti dengan keadaan dirinya. Perhatian?nya benar-benar terasa terpecah belah. Bahkan jiwanya hampir saja tidak bisa terkendali. Sungguh dia tidak tahu, ilmu apa yang digunakan pemuda itu. Sehingga, jiwa dan perhatian orang tua itu jadi terpecah belah dan sulit dikendalikan.
"Kisanak! Aku tidak ada urusan denganmu. Sebaiknya menyingkir sebelum aku berubah pikiran"," terdengar dingin sekali nada suara pemu?da berbaju rompi putih itu.
Kata-kata pemuda itu disertai dengan pandangan tajam tertuju langsung ke bola mata Ki Saraga?ting. Kata-kata yang bernada dingin ini membuat Ki Saragating jadi bergetar juga hatinya. Entah kenapa, kata-kata itu terasa bagai menusuk lang?sung ke jantung. Kendati demikian wajahnya jadi merah juga. Ki Saragating merasa begitu diremehkan pemuda ini.
"Jangan besar kepala, Bocah! Kau banyak ber-hutang nyawa padaku. Hari ini harus ditentukan, kau atau aku yang harus masuk ke liang kubur!" bentak Ki Saragating lantang.
"Menyingkirlah dulu, Ki Kalau kau merasa berurusan denganku, sebaiknya diselesaikan nanti saja setelah urusanku dengan lblis Ular Hitam ini selesai," ujar anak muda itu agak lunak suaranya sekarang.
"Phuih! Tidak ada waktu untuk menunggu, Bo cah Setan. Kau akan kabur kalau kuberi kesempatan!"
Pemuda berbaju rompi putih itu seperti sudah tidak sabar lagi. Tapi dari sorot matanya jelas terlihat kalau amarahnya diusahakan untuk tidak cepat terpancing. Dia merasa benar-benar belum mengenal orang tua berjubah putih ini. Tapi dari pertarungannya tadi, jelas kalau kemampuan orang tua berjubah putih ini tidak bisa dipandang rendah. Se?dangkan dia sendiri harus menghadapi orang tua berbaju hitam yang dikenalnya sebagai lblis Ular Hitam.
"Maaf, Ki. Bukannya aku tidak mempedulikan-mu. Tapi urusanku harus diselesaikan dulu dengan lblis Ular Hitam ini. Maaf...," ucap pemuda itu hor?mat, sambil menjura.
Setelah berkata begitu, mendadak saja....
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju rompi putih yang berwajah tampan bagai putra bangsawan ini langsung saja melesat cepat bagai kilat menerjang si lblis Ular Hitam. Begitu ce?pat serangannya, sehingga si lblis Ular Hitam jadi terperangah setengah mati. Dan tepat ketika pe?muda berbaju rompi putih itu mengebutkan pe?dangnya, si lblis Ular Hitam langsung membanting tubuhnya ke tanah, bergelimpangan beberapa kali.


Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup!"
Cepat orang tua berbaju hitam itu melompat bangkit berdiri. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, pemuda berbaju rompi putih itu sudah kembali melancarkan serangan cepat dan sangatdahsyat. Begitu cepatnya, membuat si lblis Ular Hi?tam terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Sementara, Ki Saragating yang tidak mendapat bagian dalam pertempuran, jadi terlongong bengong menyaksikan. Sulit baginya untuk langsung bisa masuk ke dalam pertempuran yang sudah menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi. Dan dia ha?nya bisa berdiri terpaku, menyaksikan dengan tidak berkedip sedikit pun.
Dalam beberapa jurus pertarungan berlang-sung, sudah terlihat kalau orang tua berbaju hitam sudah demikian terdesak. Dan entah, sudah berapa kali pukulan maupun tendangan pemuda berbaju rompi putih berhasil mendarat di tubuhnya. Gerakan-gerakan orang tua berbaju hitam itu semakin kelihatan liar, tidak terkendali. Jurus-jurusnya pun semakin tidak beraturan lagi. Bahkan kini sama sekali tidak mampu lagi menguasai dirinya. Hing?ga....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat bagai kilat. Dan tepat pada saat itu juga, kepalan tangan ka-nannya yang berwarna merah bagai terbakar berke?lebat begitu cepat. Gerakannya benar-benar sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan...
Blegkh! "Aaaakh...!"
? ? "Hiyaaa .!" Sambil berteriak keras menggele?gar, kepalan tangan pemuda berbaju rompi putih itu berkelebat cepat. Dan....
Blegkh! "Aaakh...!" Orang tua itu tidak dapat lag! menghindar. Pukulan tangan kanan yang berwarna merah membara itu tepat menghantam dadanya.
? Orang tua berbaju hitam itu tidak dapat lagi menghindarinya. Pukulan tangan kanan yang ber?warna merah membara itu tepat menghantam da?danya. Seketika, tubuhnya terpental jauh ke bela?kang sambil mengeluarkan jeritan panjang meleng?king.
Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya sudah berdiri tegak dengan pe?dang tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke arah orang tua berbaju hitam yang tengah berusaha bangkit berdiri, setelah tu?buhnya menghantam tanah begitu keras.
"Hoeeekh...!"
Tampak segumpal darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulut orang tua berbaju serba hitam itu. Dia terus berusaha berdiri, walaupun terhuyung-huyung. Dengan bantuan tongkatnya yang berbentuk ular, dia mampu berdiri kembali meskipun tidak tegak.
? *** ? "Aku beri kesempatan padamu, lblis Ular Hi?tam. Kembalilah ke tanah leluhurmu. Dan, jangan coba-coba lagi mengacau Karang Setra, dingin sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu terde?ngar.
"Phuuuh...!"
Iblis Ular Hitam menyemburkan ludahnya yang bercampur darah kental. Walaupun masih tersirat kebencian dalam bola matanya, namun disadari ka?lau tidak akan mungkin lagi bisa bertarung menghadapi anak muda ini.
"Aku mengakui kalau kau lebih tangguh dariku, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, ini hanya sementara saja. Kelak aku akan datang lagi untuk memecahkan batok kepalamu!" ujar lblis Ular Hitam tidak kalah dingin.
Setelah berkata begitu, lblis Ular Hitam lang?sung berbalik. Cepat kakinya melangkah, pergi me?ninggalkan tempat ini. Sekilas matanya masih sempat melirik Ki Saragating yang tetap berdiri terpaku, tidak bergeming sedikit pun. Seakan dia masih terkesima menyaksikan pertarungan yang sangat dahsyat dari dua tokoh kosen rimba persilatan itu.
Pemuda berbaju rompi putih yang tadi dipang-gil Pendekar Rajawali Sakti, baru memutar tubuh?nya setelah si Iblis Ular Hitam tidak terlihat lagi. Aku memang Pendekar Rajawali Sakti, tokoh kosen rimba persilatan yang bernama asli Rangga.
Pemuda itu kini berhadapan langsung dengan Ki Saragating. Dan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu memancarkan cahaya biru bila keluar dari warangka, kini sudah kembali tenggelam di ba?lik punggung Pendekar Rajawali Sakti. Namun orang tua berjubah putih itu malah terdiam dengan mulut terkatup rapat.
"Maaf, Ki. Aku terpaksa tak menghiraukanmu sebentar," ujar Rangga. Sikap dan tutur katanya begitu sopan. "Kalau kau merasa punya persoalan denganku, aku rasa ini saat yang tepat untuk menyelesaikannya "
"Anak Muda! Siapa kau sebenarnya" Apakah kau benar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?" Ki Saragating malah bertanya dengan nada suara terdengar ragu-ragu.
"Begitulah orang orang selalu menyebutku, Ki," sahut Rangga merendah, seraya memberi se-nyum manis.
"Oh! Maafkan aku yang buta dan hina ini, Pen?dekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar tidak ta?hu...," ujar Ki Saragating seraya menjura.
"Ada apa ini, Ki..." Kenapa tiba-tiba bersikap begitu?" Rangga jadi terperanjat melihat perubahan sikap orang tua berjubah putih yang tadi tiba-tiba saja menyerangnya.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengham-piri, dan menegakkan kembali tubuh Ki Saragating yang masih membungkuk memberi penghormatan. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh hormat, membuat Ki Saragating jadi semakin malu hati. Dia benar-benar tidak tahu kalau pemuda berba?ju rompi putih yang tadi dikira makhluk pembunuh muridnya, ternyata seorang pendekar digdaya pilih tanding yang namanya sudah begitu sering terde?ngar.
Bukan hanya sekali atau dua kali Ki Saragaiing mendengar cerita sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti dalam menegakkan keadilan. Bahkan pende?kar muda itu selalu jadi panutan bagi murid tung?galnya yang kini telah tiada. Tapi, baru kali ini Ki Saragating bertemu langsung dengan orangnya. Entah, bagaimana perasaan Ki Saragating saat ini. Dia senang dapat bertemu langsung pendekar mu?da yang sudah kondang namanya. Tapi, hatinya juga malu karena tadi langsung menyerang dan menuduhnya sebagai pembunuh yang sedang dicarinya.
"Maafkan atas semua sikapku yang bodoh tadi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar tidak ta?hu kalau kau orang yang selama ini menjadi pa?nutan dalam hidupku. Bahkan segala sifat dan se?gala tindakanmu selalu kutanamkan pada muridku"," ujar Ki Saragating dengan suara agak ditekan pada kata-kata terakhirnya.
"Ah.... Sudahlah, Ki. Mari kita duduk dan ber-cakap-cakap di sana," ajak Rangga ke tempat yang lebih teduh.
Ki Saragating tidak menolak. Dia berjalan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu, menuju pohon besar yang tumbuh di pinggiran padang rumput ini. Mereka kemudian duduk bersila dan berha?dapan di bawah pohon yang rindang, melindungi diri dari sengatan matahari yang kini sudah benar-benar terik membakar kulit.
"Kau seperti sedang mengalami tekanan, Ki," duga Rangga setelah beberapa saat terdiam.
"Aku memang sedang menghadapi persoalan yang tidak kecil, Pendekar...."
"Jangan panggil aku begitu, Ki," potong Rangga cepat, sebelum Ki Saragating menyelesai-kan kalimatnya. "Panggil saja aku, Rangga."
"Tapi..."
"Aku lebih senang kalau kau sudi memanggil namaku saja, Ki," pinta Rangga mendesak.
"Baiklah, Rangga. Tapi, aku mohon maaf kalau terlalu lancang," ucap Ki Saragating masih dengan sikap merendahkan diri.
Rangga hanya tersenyum saja, melihat sikap orang tua ini. Memang bukan sekali ini Pendekar Rajawali Sakti menghadapi orang yang bersikap be?gitu hormat padanya, setelah tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi, memang Rangga tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun sudah meminta yang sewajarnya saja. Memang sudah menjadi satu peraturan yang tidak bisa dibantah lagi dalam kalangan persilatan. Orang yang merasa dirinya lebih rendah dalam tingkat kepandaian, selalu bersikap hormat pada yang lebih tinggi. Walaupun, usianya jauh lebih muda.
"Ceritakan padaku, Ki. Persoalan apa yang se?dang kau hadapi sekarang. Barangkali saja bisa kubantu," pinta Rangga sopan.
"Sudah lebih dari satu purnama ini aku mencarinya, Rangga. Tapi sampai sekarang, belum juga bertemu. Bahkan aku sempat menduga kalau kau adalah pelakunya. Maka dari itulah aku langsung menyerang. Maafkan aku, Rangga. Aku benar-be?nar tidak tahu kalau kau..."
"Sudahlah, Ki. Jangan disesalkan lagi."
"Aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi ha?rus pergi mencari. Sedangkan desa tempat tinggalku sudah dihancurkannya," sambung Ki Saragating dengan suara yang begitu sendu dan perlahan.
"Apa nama desamu, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Desa Randu Sangit," sahut Ki Saragating singkat.
"Hmmm... "
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi menggumam. Dan keningnya terlihat berkerut de?ngan kelopak mata menyipit. Sedangkan Ki Sara?gating tetap menundukkan kepala, memandangi rerumputan yang menjadi alas tempat duduknya. Dan untuk beberapa saat mereka terdiam membisu. En?tah, apa yang ada dalam kepala masing-masing.
"Kau tahu desa itu, Rangga?" tanya Ki Saraga?ting begitu mengangkat kepalanya. Tampak Pende?kar Rajawali Sakti seperti tengah termenung.
"Ya...," sahut Rangga mendesah pelan.
Kini kelopak mata Ki Saragating yang jadi me?nyipit, memandangi raut wajah Rangga yang keli-hatan seperti sedang memikirkan sesuatu. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti bisa cepat menguasai diri?nya dengan senyum langsung terkembang. Namun Ki Saragating bisa merasakan kalau senyum Pende?kar Rajawali Sakti itu demikian hambar. Bahkan te?rasa begitu dipaksakan.
"Aku lahir dan tinggal di desa itu. Aku punya seorang murid yang kuangkat menjadi anak. Tapi, kini semuanya sudah musnah. Tidak ada lagi yang tersisa sedikit pun. Muridku mati di depan rumahku sendiri. Dan desa itu sekarang. ," Ki Saragating tidak sanggup melanjutkan.
"Aku tahu, Ki," ujar Rangga juga pelan suaranya.
"Kau tahu..."!" Ki Saragating agak terperanjat.
"Ya... Baru pagi tadi aku ke sana dan melihat keadaannya. Aku sendiri tidak tahu, apa yang menjadi penyebabnya. Desa Randu Sangit seperti baru saja dilanda gempa yang begitu dahsyat," ujar Rangga.
"Bukan karena alam, Rangga. Tapi ada yang menghancurkannya," selak Ki Saragating.
"Kau tahu, Ki...?"
"Ya, aku tahu. Justru itu, aku selama satu purnama ini mengembara mencari orang yang melakukan semua itu. Aku merasa belum bisa tenang, kalau belum menghancurkan batok kepalanya. Ta?pi...," Ki Saragating tidak melanjukan.
'Tapi kenapa, Ki?" desak Rangga ingin tahu lebih jauh.
"Sulit bagiku untuk bisa memastikan, siapa orangnya. Aku hanya melihat kalau dia itu...," terasa sulit bagi Ki Saragating untuk menceritakannya dengan gamblang.
Ki Saragating memandangi Rangga dengan si-nar mata sulit diartikan. Sedangkan Rangga sendiri tidak bisa memahami kesulitan yang terjadi pada diri orang tua ini. Hanya dibalasnya tatapan mata itu dengan sinar semakin ingin tahu. Rangga me?mang jadi semakin ingin tahu, setelah melihat ke adaan di Desa Randu Sangit. Terlebih lagi, setelah mendengar cerita Ki Saragating yang memang berasal dari desa itu.
"Apa yang kau lihat, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku tidak tahu, apakah dia itu manusia biasa atau setan dari neraka. Sulit untuk bisa melihat bentuknya. Hanya cahaya saja yang kulihat. Dan cahaya itu...," kembali Ki Saragating tidak meneruskan.
Kembali orang tua itu memandangi Rangga de?ngan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Rangga sendiri tetap menunggu kelanjutannya dengan membalas pandangan mata orang tua itu yang tera?sa aneh.
"Seperti apa cahaya yang kau lihat, Ki?" tanya Rangga tidak sabar menunggu.
"Persis seperti..., seperti pedang yang kau miliki," sahut Ki Saragating, agak ragu-ragu.
"Pedangku...?"
"Benar, Rangga. Cahaya itu mirip sekali de?ngan cahaya yang keluar dari pedangmu. Itu se-babnya, aku langsung menyerangmu tadi. Karena kukira kau orangnya, Rangga. Maafkan...."
Rangga jadi terdiam mendengar cerita Ki Sara?gating barusan. Sungguh tidak disangka kalau yang melakukan penghancuran Desa Randu Sangit bu?kan manusia biasa, tapi hanya sebuah cahaya biru terang yang mirip cahaya pedang pusakanya. Saat itu juga, Rangga merasa kalau dirinya terancam karena tidak sedikit orang yang sudah tahu kalau dirinya memiliki pedang yang bisa memancarkan cahaya biru terang!
Kalau Pendekar Rajawali Sakti menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti dengan jurus 'Pe?dang Pemecah Sukma', seluruh tubuhnya memang tergulung cahaya biru. Sehingga, yang tampak ha?nya kilatan cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata. Rangga benar-benar menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya. Tadi saja.
Ki Saragating langsung menyangka dirinyalah yang telah melakukan penghancuran di Desa Randu Sa?ngit. Sehingga Rangga langsung diserang tanpa ba?nyak tanya lagi. Kalau sudah begitu kejadiannya, bukannya tidak mungkin seluruh tokoh persilatan akan bersikap seperti Ki Saragating.
"Maafkan aku, Rangga. Bukannya ingin mem?buat pikiranmu jadi susah. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya," ujar Ki Saragating, seperti bisa mengetahui jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak apa, Ki. Aku malah senang kau bersedia memberitahukan ini padaku," sahut Rangga seraya mengembangkan senyum.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit ber?diri. Dan Ki Saragating mengikuti, berdiri di samping kirinya. Beberapa saat mereka terdiam membisu, tanpa bersuara sedikit pun. Tanpa bicara lagi, Rangga mengayunkan kakinya perlahan lahan.
Ki Saragating memandangi punggung Pende?kar Rajawali Sakti dengan berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Kemudian bergegas disusulnya Rangga dan langsung langkahnya disejajarkan di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun. Dan tanpa terasa, mereka justru berjalan menuju Desa Randu Sangit. Rangga baru menghentikan ayunan kakinya, setelah melewati perbatasan desa yang ditandai dua buah bangunan batu berbentuk candi kecil. Ki Saragating ikut menghentikan langkahnya. Dan dia berdiri saja, diam di samping se?belah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Keadaan di Desa Randu Sangit itu masih tetap sama, seperti ketika Ki Saragating datang. Sedikit pun tidak ada perubahan saat Pendekar Rajawali Sakti sampai di desa ini. Desa yang sudah hancur, tanpa ada satu rumah pun yang masih berdiri utuh. Mayat-mayat bergelimpangan di antara reruntuhan rumah serta batu-batuan yang berserakan hampir menutupi permukaan tanah desa ini. Begitu mengenaskan keadaannya.
"Ada yang kau cari di desa ini, Rangga?" tanya Ki Saragating agak ragu-ragu suaranya.
"Entahlah...," desah Rangga panjang.
Dan kembali mereka terdiam membisu, me?mandangi desa yang kini sudah rata dengan tanah. Angin yang bertiup mulai menyebarkan bau yang tidak sedap menusuk hidung. Sementara, matahari terus merayap semakin condong ke barat. Namun cahaya masih terasa terik, membakar tubuh tubuh yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi
? *** ? Selanjutnya ke Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 . 127. Intan Saga Merah Bag. 4-6
28. September 2014 um 19:35
4 ? ? Udara malam ini terasa begitu dingin menusuk tulang. Rangga berdiri tegak di atas bukit batu, memandangi Desa Randu Sangit yang sudah rata dengan tanah. Sementara agak jauh di belakangnya Ki Saragating sudah mendengkur pulas dalam buaian mimpi. Api unggun yang menyala cukup besar, seakan tidak sanggup menghalau dinginnya malam ini. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung di atas bukit batu ini. Sedikit pun perhabannya tidak beralih dari Desa Randu Sangit.
"Hm.... Makhluk itu hanya berupa cahaya saja. Tentu kemunculannya kalau malam sudah datang. Sebaiknya, aku mencoba mencarinya," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang, dan memandangi Ki Saragating yang masih terelap tidur. Tampak bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Entah apa arti senyumannya. Hanya dia sen?diri yang bisa mengetahuinya.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagai kilat. mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu ce?pat lesatannya, hingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam.
Sementara Ki Saragating terus tertidur pulas, Rangga sudah berlari jauh menuruni lereng bukit yang berbatu ini. Dan sebentar saja, Pendekar Ra?jawali Sakti sudah berada di tanah lapang berumput yang ada di kaki Bukit Tangkup ini. Larinya baru dihentikan setelah tiba di tengah-tengah padang rumput yang cukup luas ini. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan keadaan sekitarnya. Sunyi sekali. Tidak terlihat se?orang pun di sekitar padang rumput ini. Bahkan suara serangga malam pun hampir-hampir tidak ter?dengar di telinganya.
"Hm...."
Sambil menggumam perlahan, Rangga mendongak ke atas. Kemudian...
"Suiiit..!"
Malam yang sunyi, tiba-tiba siulan yang begitu nyaring melengking tinggi. Bahkan nadanya aneh terdengar di telinga. Sementara Rangga tetap ber?diri tegak dengan kepala mendongak ke atas, me-mandang langit yang kelam tanpa cahaya bulan maupun bintang.
"Hm.... Lama juga Rajawali Putih datang...," gumam Rangga perlahan.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak memperdengarkan siulan saktinya lagi untuk memanggil burung rajawali raksasa tunggangannya, mendadak saja terlihat seekor burung meluncur cepat bagai kilat di angkasa. Rangga jadi tersenyum, melihat Rajawali Putih sudah datang memenuhi panggilannya.
"Ke sini, Rajawali...!" seru Rangga memanggil, sambil melambaikan tangan ke atas.
"Khraaagkh...!"
Sebentar saja Rajawali Putih sudah menukik turun deras sekali. Kemudian, burung raksasa itu mendarat tidak jauh di depan pemuda berbaju rom?pi putih. Meskipun tubuhnya sebesar bukit, tapi gerakannya saat mendarat begitu ringan. Rangga bergegas menghampirinya, kemudian memeluk lehernya seperti sudah begitu lama tidak bertemu.
"Hup!"
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung burung rajawali raksa?sa ini. Ringan sekali gerakannya, bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan tahu-tahu Pendekar Raja?wali Sakti sudah berada di punggung burung ra?jawali raksasa tunggangannya.
"Ada yang ingin kucari malam ini, Rajawali. Tapi aku tidak tahu apa yang kucari," kata Rangga memberitahu.
"Khrrr...!"
"Memang aneh, Rajawali. Tapi, aku juga tidaktahu harus bagaimana menjelaskannya."
"Khraaagkh...!"
"Benar, Rajawali. Kelilingi saja daerah ini. Mungkin kita bisa mendapatkan sesuatu," kata Rangga lagi, sepertinya bisa mengerti setiap suara yang diperdengarkan Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
Sambil memperdengarkan suara serak dan ke?ras menggelegar bagai guntur, Rajawali Putih lang?sung mengepakkan sayapnya. Dan sekali kepak sa?ja, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Rangga terpaksa harus berpegangan erat pada bulu-bulu leher burung rajawali ini. Angin di atas memang begitu keras, hingga telinganya jadi terasa pekak.
? *** ? Sudah cukup lama Rangga berputar-putar di angkasa bersama Rajawali Putih, tapi belum juga melihat adanya tanda-tanda makhluk bercahaya bi?ru yang seperti diceritakan Ki Saragating. Semen?tara, malam terus merambat semakin larut. Dan udara di angksa ini pun semakin terasa dingin menggigilkan tubuh. Namun, bulu-bulu Rajawali Putih yang tebal sanggup menghangatkan tubuh?nya.
"Kembali ke Bukit Tangkup, Rajawali," pintaRangga, setelah merasa bdak ada gunanya lagi mencari makhluk bersinar biru seperti yang diceritakan Ki Saragating.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung saja melesat ke Bukit Tangkup. Dan sebentar saja, burung rajawali rak?sasa itu sudah berada di atas bukit batu itu. Namun belum juga Rangga meminta Rajawali Putih turun, tiba-tiba saja matanya menangkap kilatan cahaya biru yang berkelebat begitu cepat dari balik bukit. Dan Pendekar Rajawali Sakti tahu, tempat itu ada?lah Desa Randu Sangit.
"Cepat ke Sana, Rajawali...!" pinta Rangga langsung, tanpa berpikir panjang lagi.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih segera meluncur ke arah Desa Randu Sangit yang ditunjuk Rangga. Begitu cepat lesatan terbang burung raksasa itu. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah berada di atas desa yang hancur ini.
Rangga langsung meminta Rajawali Putih turun ke desa itu. Tanpa mendapatkan rintangan sedikit pun, Rajawali Putih mendarat manis sekali di tengah-tengah desa yang sudah hancur, rata de?ngan tanah.
"Hup!"
Ringan sekali Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sampai-sampai sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah yang hampir dipenuhi batu-batu ini. Rangga langsung mengedarkan pandangan ke se?keliling. Namun hanya kegelapan saja yang ada di sekelilingnya. Cahaya biru yang tadi terlihat dari angkasa, kini sama sekali tidak terlihat lagi.
"Kau boleh pergi, Rajawali. Tapi jangan jauh-jauh dariku," ujar Rangga meminta Rajawali Putih meninggalkannya.
"Khrrr...!"
"Jangan mengkhawatirkan aku, Rajawali. Per-gilah. Kau boleh datang, kalau memang aku dalam keadaan bahaya," kata Rangga lagi, seakan bisa mengetahui kecemasan burung raksasa itu.
"Khrrrkh...!" kembali Rajawali Putih mengkirik pelan.
Rangga jadi tertegun juga melihat sikap Raja wali Putih yang seakan begitu berat meninggalkan?nya. Sepertinya burung rajawali raksasa itu merasakan sesuatu kalau ada bakal mengancam jiwa pe?muda ini. Suatu bahaya besar yang belum disadari Pendekar Rajawali Sakti. Namun melihat kesungguhan terpancar dari bola mata Rangga, Rajawali Putih akhirnya terbang juga meninggalkannya. Dia melambung tinggi ke angkasa, sampai hampir tidak terlihat lagi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Dan kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Masih tetap sunyi, tanpa se?dikit pun terlihat adanya tanda-tanda kehidupan.
"Hmmm...."
Entah kenapa, Rangga jadi menggumam sen?diri. Dan perlahan kakinya terayun melangkah. Sorot matanya masih tetap tajam, mengamati keadaan sekitarnya yang begitu sunyi mencekam. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan be?berapa langkah, tiba-tiba saja....
"Ghrooogkh...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati begitu tiba-tiba terdengar suara menggorok yang sangat keras dari arah belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat itu juga, terlihat secercah kilatan cahaya biru yang begitu cepat meluruk ke arahnya. Begitu cepatnya cahaya biru itu berke?lebat, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk bisa berkelit. Dan..
Diegkh! "Akh...!"
Rangga jadi terpekik begitu merasakan sesuatu yang teramat keras menghantam dadanya. Begitu keras, sampai-sampai tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental cukup jauh ke belakang. Lalu keras sekali tubuhnya terbanting menghantam tanah berbatu. Namun, Rangga cepat menggulirkan tubuh?nya beberapa kali ke samping, kemudian cepat me?lompat bangkit berdiri. Indah sekali gerakannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung berdiri tegak de?ngan kedua kakinya yang kokoh.
Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun. Pan-dangannya beredar ke sekeliling. Namun hanya ke gelapan saja yang ada di sekitarnya. Sama sekali tidak terlihat ada orang lain di tempat ini. Keadaan seperti ini membuatnya jadi bertanya-tanya dalam hati. Sungguh sulit dimengerti. Baru saja mendapat serangan yang begitu dahsyat, tapi kini tidak se?orang pun terlihat di sekitarnya. Bahkan sama sekali tidak terdengar apa pun. Begitu sunyi, sehingga serangan pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga.
"Kisanak, keluarlah. .! Aku tidak bermaksud buruk padamu. Tunjukkan dirimu...!"
Terdengar lantang sekali suara Rangga yang disertai pengerahan tenaga dalam itu, hingga menggema bagai terpantul dinding-dinding batu Tapi, ternyata tidak ada sahutan sedikit pun. Hanya desir angjn saja yang menyahuti seruan Pendekar Raja?wali Sakti.
Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti baru membuka mulut hendak bicara lagi, kembali terdengar suara menggorok yang begitu keras seperti gerungan seekor binatang buas. Begitu kerasnya, hingga membuat Rangga jadi terlompat ke belakang tiga langkah. Dan belum juga lenyap keterkejutannya, tiba-tiba di depannya membersit cahaya biru terang bagai keluar dari dalam tanah. Begitu terangnya, hingga Rangga terpaksa harus menutupi matanya dengan tangan. Tapi hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti merasa silau oleh cahaya biru terang yang tiba-tiba saja muncul di depannya. Dan kini, dia sudah terbiasa kembali.
"Dewata Yang Agung.... Cahaya apa mi...?" desis Rangga keheranan.
Rangga benar-benar heran melihat cahaya biru terang yang begitu sama dengan cahaya yang ke?luar dari pedang pusakanya. Tapi dirasakan, cahaya ini lebih terang dan menyilaukan mata. Bahkan memancarkan hawa yang sangat panas membakar. Akibatnya, terpaksa kakinya harus melangkah ke belakang beberapa tindak.
Dengan pengerahan aji 'Tatar Netra', peng-lihatan Pendekar Rajawali Sakti mampu menembus cahaya biru terang di depannya. Dan saat itu juga, dia jadi terkesiap. Sulit dipercaya, apa yang ada da?lam pandangan matanya. Namun belum juga Pen?dekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja makhluk bercahaya biru terang itu sudah bergerak cepat bagai kilat, disertai suara gerungan yang begitu dahsyat menggelegar.
"Ghraaaugkh...!"
"Hup!"
Cepat Rangga melenting ke atas dan berputar?an beberapa kali, menghindari terjangan makhluk bercahaya biru terang itu. Dan pada saat cahaya biru itu lewat di bawah tubuhnya, cepat bagai kilat Rangga mengibaskan tangan kanannya mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh..."!"
Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya dengan apa yang terjadi. Kibasan tangannya ter-nyata bagai menghantam gumpalan asap yang tidak berarti sama sekali. Bergegas tubuhnya melesat berputaran di udara. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah. Namun baru saja kedua kakinya menjejak tanah, sudah terlihat kilatan ca?haya biru meluruk deras sekali ke arahnya.
"Hap! Hiyaaa...!"
Tidak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Raja?wali Sakti untuk berkelit menghindarinya. Maka secepat itu pula kedua tangannya dihentakkan ke de?pan, melepaskan satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Se?ketika itu juga dari kedua kepalan tangannya me?lesat cahaya merah bagai api, menyambut kilatan cahaya biru itu. Dan...
Glaaar...! Tepat ketika dua kilatan cahaya itu beradu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak Rangga terpental sejauh dua batang tombak ke be?lakang. Sementara gumpalan cahaya biru terang itu juga terpental cukup jauh ke belakang. Rangga berputaran beberapa kali di udara, sebelum kedua ka?kinya menjejak tanah lagi.
"Demi dewa-dewa yang bersemayam di ka-yangan! Apa pun namanya, makhluk ini sangat berbahaya. Aku harus bisa memusnahkannya sebelum jagad ini dihancurkan...," desis Rangga dalam hati.
Dari beberapa kali bentrokan tadi, Rangga su?dah bisa mengetahui kalau makhluk bercahaya biru terang ini memiliki kekuatan dahsyat yang berbahaya bagi kelangsungan seluruh makhluk bumi ini. Dari serangan-serangannya tadi, jelas kalau makh?luk bercahaya biru ini memiliki nafsu membunuh yang begitu besar. Dan tampaknya sangat sulit ditandingi.
? *** ? Perlahan Rangga menggeser kakinya ke kanan. Kini kedua tangannya mulai melakukan gerakan-gerakan membuka jurus. Tatapan matanya begitu ta?jam tidak berkedip sedikit pun ke arah gumpalan cahaya biru terang di depannya. Namun gumpalan cahaya biru terang itu tidak bergerak sedikit pun. Sedangkan Rangga sudah berhenti bergeser ke ka?nan. Dan kini kedua tangannya tersilang di depan dada.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti meru-bah tangannya hingga kini kedua telapaknya me-nyatu rapat di depan dada. Kemudian kakinya merentang ke samping, dan menekuk lututnya sedikit. Dari gerakannya yang perlahan itu, jelas kalau Rangga mulai mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Sebuah ilmu kedigdayaan yang sampai saat ini begitu sulit dicari tandingannya.
"Aku tidak akan mungkin bisa menandinginya bila hanya menggunakan jurus-jurus biasa. Terpak?sa aji 'Cakra Buana Sukma' harus digunakan," gu?mam Rangga bicara pada diri sendiri.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menggerak-kan tubuhnya hingga doyong ke kanan, lalu kemba?li bergerak ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak lagi, tampak dari kedua telapak tangannya yang merapat di depan dada, menyemburat cahaya biru terang bagaikan hendak memberontak keluar. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti menunggu. Kemu?dian....
"Ghraaagkh...!"
Bagaikan kilat, gumpalan cahaya biru terang itu melesat menerjang. Namun Rangga yang me?mang sudah siap sejak tadi, langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak ke?ras menggelegar.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Slap! Seketika itu juga meluncur cahaya biru yang terangnya tidak kalah dengan gumpalan cahaya da?ri tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tepat pada satu titik tengah, kedua cahaya yang berwarna biru terang menyilaukan itu bertemu. Seketika terjadi ledakan yang begitu dahsyat menggelegar.
Glaaaar...! "Aaaargkh...!"
"Ukh...!"
Makhluk bercahaya biru terang itu tiba-tiba saja meraung keras, dengan tubuh terpental jauh ke be?lakang. Sedangkan Rangga terlenguh pendek. Tu?buhnya sempat terdorong beberapa langkah ke belakang. Namun kedua bola mata Pendekar Raja?wali Sakti tiba-tiba jadi terbeliak lebar. Tepat di saat keseimbangan tubuhnya baru saja bisa dikuasai, mendadak saja cahaya biru yang menjadi lawannya lenyap. Dan...
Munculnya Pendekar Bayangan 3 Pendekar Naga Geni 2 Rahasia Barong Makara Bentrok Rimba Persilatan 4

Cari Blog Ini