Metropolis Karya Windry Ramadhina Bagian 5
Saat itulah Shox mati. Dan terakhir, masih dengan jantung yang
sama, Ferry melangkah mundur sejauh tiga meter"barangkali
untuk memilih tempat"kemudian ambruk di sana dan mati.
Bram tersenyum sinis. Seseorang boleh saja menganggapnya
bodoh dengan merekayasa TKP, memindahkan mayat atau menukar barang bukti, tetapi seharusnya curut itu tahu bahwa dirinya
tidak bodoh-bodoh amat untuk menyadari berapa lama jantung
bisa bertahan setelah diporak-porandakan.
Untuk menyahihkan hipotesisnya mengenai frank_sinatra13, Erik
merasa perlu memastikan satu hal lagi. Karena itu, dia mendatangi
pusat rehabilitasi jiwa di Cibubur yang alamatnya pernah dia temukan di depan tempat tinggal Miaa. Syukurlah dia memiliki ingatan
yang cukup baik sehingga dirinya tidak lupa akan cerita Bram tentang seorang pasien di fasilitas tersebut, yang tinggal di sebelah
kamar ibu Miaa. Dia ingat pasien itu mengaku tahu siapa orang yang
287 Metropolis.indd 287 membawa pergi perempuan malang di samping kamarnya. Dalam
cerita Bram, ketika ditanya, pasien itu menjawab, "Kau sendiri,
"kan?" Dia juga ingat Bram bercerita kala itu dia menunjukkan
lencana polisinya. Jika kata-kata Bram waktu itu tidak mengalami
distorsi, tidak sedikit pun, maka seharusnya pasien tersebut bisa
memberinya petunjuk yang sangat penting.
Pasien yang dimaksud oleh Bram, seorang lelaki tua yang
memiliki tubuh kurus serta bungkuk, sedang duduk-duduk di tepi
selasar bangunan fasilitas ketika ditemui oleh Erik. Erik mendapati
kakek itu menghadapi taman buatan yang terdapat di sebelah selasar sambil menggaruk-garuk lututnya sendiri dan bergumam tidak
jelas secara berulang-ulang tanpa henti.
Dia mendatangi kakek itu dengan kikuk. "Se... selamat siang,
Pak," sapanya. Si kakek menjawab tanpa menoleh, "Siang. Siang. Semua
orang tahu ini sudah siang. Sudah siang."
"Saya boleh duduk di sini?"
"Duduk. Duduk saja."
Erik pun duduk di sebelah kakek itu, di sebuah bangku kayu
bercat putih kehijauan yang senada dengan warna bangunan. "Bapak tinggal di sini?" tanyanya.
Kakek itu mengangguk. Erik ikut mengangguk, lalu bertanya lagi, "Di mana kamar
Bapak?" Si kakek mengangkat tangannya dan menunjuk sebuah kamar
yang ada di kejauhan, di ujung selasar.
"Bapak tahu ibu yang senang main benang?" Erik bertanya
lagi. Sesungguhnya, dia tengah mengulangi pertanyaan-pertanyaan
288 Metropolis.indd 288 yang dahulu pernah dilontarkan oleh Bram kepada lelaki bungkuk
di sebelahnya. "Tahu," jawab sang kakek.
"Tahu siapa yang bawa pergi ibu itu dari sini?"
"Tahu." "Siapa?" Kali ini si kakek tidak menjawab. Lelaki bungkuk itu mendadak
bungkam. Dia menengadah dan memandang ke sembarang arah,
seakan-akan menolak berbicara lebih jauh. Tangan lelaki bungkuk
itu belum berhenti menggaruk-garuk kakinya.
Melihat sikap itu, Erik mengeluarkan lencana polisinya dari
balik jaket yang dia kenakan. Ditunjukkannya benda tersebut tepat
di depan muka lawan bicaranya. Dia berkata, "Aku polisi."
Si kakek terkesiap. Mendadak tangan lelaki bungkuk itu menggapai lencana miliknya seraya bergumam dengan antusias, "Polisi!
Polisi! Polisi!" "Bapak tahu ibu yang senang main benang?" Erik mengulangi
lagi pertanyaannya. Dia biarkan si kakek sibuk dengan mainan
baru. "Tahu." "Tahu siapa yang bawa pergi ibu itu dari sini?"
"Tahu." "Siapa?" Lawan bicaranya menoleh kepadanya sekilas, lalu menanggapi
dengan jengkel, "Kenapa tanya lagi" Kau sendiri, "kan?"
Persis! 289 Metropolis.indd 289 "Bram! Telepon untukmu di saluran 3."
Sekretaris kesatuannya menyerukan itu dari kejauhan.
Bram menggapai gagang telepon di hadapannya dengan
santai. Sejurus kemudian, dia mendengar suara Erik yang bercampur
bising lalu lintas. "Ponselmu mati, Bram?"
"Di mana kau" Aku menunggumu di kantor sejak satu jam
yang lalu." Bram melirik jam di tangannya, 17.20. Seharusnya,
saat ini dia dan Erik membahas kasus mereka di kantor. Begitulah
yang dia pesankan kepada asistennya itu tadi pagi, lewat secarik
kertas notes. "Aku dari Cibubur. Ini sudah dekat Kebayoran."
"Cibubur" Ibu Miaa tidak ada di sana."
"Aku tahu. Kau ingat kakek bungkuk di sebelah kamar ibu Miaa"
Barusan aku menemuinya. Aku tanya siapa yang bawa pergi ibu
Miaa." "Lalu?" "Dia bilang, "Kau sendiri, "kan?""
Bram mengerutkan alisnya. Suara Erik mulai tidak jelas terdengar. "Erik, aku tidak dengar."
Erik mengulangi ucapannya seraya berteriak, "Dia bilang,
"Kau sendiri, "kan?" Sebelum itu aku menunjukkan lencanaku, sama
seperti kau." "Erik. Erik. Aku tidak mengerti. Kutunggu di kantor. Kita bicara
di sini saja." "Tidak, Bram. Ini tentang frank_sinatra13. Kita bicara di kosku
saja. Aku menuju ke sana."
290 Metropolis.indd 290 Lalu, sambungan telepon itu diputus.
Bram terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Erik
barusan, tetapi tidak berhasil. Pada akhirnya, dia menghela napas.
Lebih baik dia pergi sekarang untuk meminta penjelasan kepada
asistennya itu. Maka, dia segera beranjak dari tempatnya dan
bergegas meninggalkan meja kerjanya. Dia melangkah lebar-lebar
keluar ruangan. Dituruninya tangga bangunan dengan lompatanlompatan kecil yang sanggup melewati dua-tiga anak tangga
sekaligus, kemudian dia setengah berlari melintasi lobi. Dengan
mobil dinas miliknya, dia meninggalkan markas Polda Metro Jaya
dan melaju ke arah selatan Jakarta.
Erik tinggal tidak terlalu jauh darinya, di daerah Gandaria.
Lingkungan di sekitar tempat kos polwan itu adalah kumpulan
rumah tua yang tidak banyak dihuni, sehingga jalanan di hadapan
hunian-hunian itu lumayan sepi. Saat Bram hampir tiba di sana,
langit sudah gelap. Kekurangan penduduk menjadikan lingkungan
tempat tinggal tersebut kelam. Tidak banyak lampu teras yang
menyala, sama halnya dengan lampu-lampu di kedua sisi jalan.
Dia mengendarai mobilnya perlahan-lahan karena dihadang
sekumpulan polisi tidur yang terkapar setiap sepuluh meter. Dari
jarak sekitar tiga puluh kaki, tempat kos Erik terlihat meski tidak
jelas. Tampaknya, Erik juga baru sampai. Samar-samar, Bram
mendapati polwan itu turun dari motor dan melepas pelindung
kepala. Apa yang terjadi pada detik berikutnya"yang berlangsung
begitu cepat"adalah insiden yang tidak pernah diduga oleh
291 Metropolis.indd 291 Bram dan juga tidak akan dia lupakan, barangkali untuk seumur
hidupnya. Dari arah yang berlawanan dengannya, sebuah mobil
kapsul melintas pelan di depan Erik. Dua lampu depan kendaraan
itu menyorot kepadanya dan membuatnya silau, sehingga Bram
harus memicingkan mata. Dia tidak melihat dengan jelas apa yang terjadi, namun dia
mendengar suara-suara tembakan dilepaskan.
292 Metropolis.indd 292 23. Kartu-Kartu di Bawah Meja ada saat Bram turun dari mobil dan menghampiri Erik kemarin
malam, polwan itu sudah tidak tertolong lagi. Ada enam butir
peluru yang bersarang di tubuh Erik. Satu di antaranya mengenai
leher, sehingga darah keluar dengan deras dan saluran pernapasan
terputus. Itulah yang menyebabkan kematian Erik tidak terelakkan.
Hari ini, polwan itu dimakamkan. Bram melarang tubuh Erik
diperiksa lebih lanjut oleh petugas forensik. Dia tidak bisa mem"
biarkan asistennya dibedah dan organ-organ polwan itu dikeluarkan
untuk ditimbang seperti korban-korban kejahatan yang selama ini
ditemukan oleh polisi. Erik layak diperlakukan lebih baik dari itu.
Polwan itu berhak diistirahatkan dengan tenang.
Selama prosesi pemakaman Erik berlangsung di sebuah
permakaman umum, Bram berada di pinggir lapangan. Dia
berdiri bersandar pada mobilnya, merokok beberapa batang, dan
293 Metropolis.indd 293 mengamati dari kejauhan. Dia melihat kedua orang tua Erik hadir
di antara orang-orang yang berkabung lainnya, terpisah sendiri dari
empat baris reserse berseragam lengkap yang tengah melakukan
penghormatan terakhir. Mereka pengrajin kayu dari Klaten yang
melalui belasan jam perjalanan dengan bus dan kereta, demi
menguburkan anak semata wayang mereka. Karena merekalah,
Bram tidak mengikuti prosesi tersebut dari dekat. Dia tidak punya
cukup nyali untuk menunjukkan wajahnya di hadapan para peng"
rajin kayu itu. "Aku turut berduka, Anak Muda."
Bram menoleh. Dia mendapati Moris telah berdiri di sebelahnya. Bekas atasannya itu datang terlambat dan memilih untuk
menyampaikan belasungkawa dari kejauhan bersama dirinya.
"Penembak gelap itu cuma berjarak sepuluh meter dariku,"
Bram berujar seraya meniupkan asap rokoknya ke udara.
Moris menanggapi dengan seulas senyum bernada pahit. Lelaki separuh baya itu memberinya sebuah tepukan pelan di bahu
Bram, kemudian berkata, "Tidak seorang pun bisa mencegah itu
terjadi, Bram. Tidak seorang pun."
Bram ikut tersenyum kecut. "Ya," jawabnya.
Mereka tidak berbicara banyak dan tidak lama kemudian pemakaman Erik selesai. Orang-orang di tengah lapangan beranjak
dari tempat mereka satu per satu, demikian pula dengan Moris.
Sebelum pergi, Moris menawari Bram lari pagi bersama besok pagi.
Bram berterima kasih atas perhatian bekas atasannya itu, namun dia
tidak yakin bahwa besok perasaannya sudah lebih baik. Apa yang
menimpa Erik telah menyelinap ke dadanya lebih dalam dari yang
dia harapkan dan agaknya dia butuh waktu satu atau dua hari untuk
menepikan rasa bersalah yang tengah menggerogoti dirinya.
294 Metropolis.indd 294 Situasi itu pula yang dimanfaatkan oleh Burhan untuk menjatuhkannya. Ketika Bram kembali dari pemakaman Erik, yang dia
dapati di atas meja kerjanya adalah surat perintah cuti dan pemberitahuan pengalihan kasus. Kontan, dia menghambur ke dalam
ruang kerja Burhan, terdorong oleh situasi hatinya yang sedang
buruk-buruknya, kemudian memaki polisi curut itu di hadapan Kasat
Reserse lain yang kebetulan tengah bertamu.
"Jaga sikapmu, Inspektur!" Burhan menghardik Bram dengan
suara lantang. Bram mendengus. Dia menunjukkan surat-surat di tangannya. "Apa-apaan semua ini" Asistenku gugur dan kau mengalihkan
kasusku?" tanyanya. "Apa aku harus menunggu ada yang mati lagi?" balas Burhan.
"Setelah apa yang terjadi semalam, aku tidak bisa terus membiarkanmu menangani kasus ini."
"Kau tahu aku sudah hampir berhasil, Burhan. Kau tidak bisa
melakukan ini." Burhan tersenyum dingin. "Tentu saja bisa. Kau pikir siapa aku?"
Curut! Bram keluar dari ruang kerja Burhan sambil meninjukan
kepalan tangannya ke daun pintu. Kalau tidak ada kejadian nahas
yang menimpa Erik, Burhan tidak akan berani mengambil alih
kasusnya. Asal polisi itu tahu saja, dia bisa mengeluarkan sepuluh
surat perintah lainnya, tetapi Bram tidak akan berhenti menyelidiki
kasus ini sampai selesai. Bram berutang itu kepada Erik dan dia
terlalu keras kepala untuk menjadi orang kalah.
295 Metropolis.indd 295 Dalam kamar yang temaram, Miaa duduk di tepi jendela kaca berlatar Jakarta yang letih. Sejak tadi, sepasang matanya tidak lepas
memandangi lelaki di atas tempat tidur di hadapannya. Lelaki itu,
Johan, tidak sadarkan diri sejak kemarin malam karena kekurangan
darah dan kehabisan tenaga. Johan sempat membuka mata pagi
ini, tetapi tidak lama. Setelah minum beberapa tablet obat dan
menghabiskan dua gelas air mineral, lelaki itu kembali terlelap.
Johan telah membuat Miaa gundah, bersama sejumlah kejadian yang berlangsung dua hari lalu: kematian Ferry, pembicaraan
mereka di mobil setelah itu, serta kontak fisik mereka. Miaa tidak
pernah menangis sekeras dia menangis tempo hari. Selang sedetik
Johan menenangkan dirinya dengan ciuman, air matanya justru
bercucuran tidak terkendali. Dia menyambut rengkuhan lelaki itu,
tersedu-sedu sepanjang sisa perjalanan mereka, dan membuat dada
lelaki itu basah. Dia tidak pernah menganggap Ferry Saada sebagai saudaranya. Dia juga bukan sekali itu menyebabkan kematian
seseorang. Akan tetapi, dia tidak memungkiri butir-butir pilu dari
matanya menitik karena dia telah menarik pelatuk.
Johan berkata bahwa Miaa menarik pelatuk demi sang ibu dan
itu tidak patut disesali. Lelaki itu benar, namun tidak sepenuhnya
tepat. Barangkali, Miaa memang menjatuhkan dua kroco di pintu
basement untuk memenuhi perjanjiannya dengan Aretha, tetapi
dia memiliki alasan yang sama sekali berbeda saat menghentikan
Ferry Saada dengan tiga peluru di dada.
Sederhana saja. Dia tidak ingin Johan mati.
Dan, itu membuatnya merasa kehilangan nilai-nilai kebenaran
yang seharusnya tetap tertanam dalam diri manusia"seburuk apa
pun manusia itu. 296 Metropolis.indd 296 Mengerikan. Miaa mengembuskan napas berat. Dia keluar dari kamar
Johan, membawa serta kegelisahannya yang tidak kunjung mereda
dengan langkah-langkah gontai. Dimasukinya ruang tengah dan
dihampirinya seperangkat laptop yang selalu tergeletak di sana, di
atas meja. Dia mengenyakkan dirinya ke salah satu sofa yang ada,
di hadapan laptop Johan. Dia lihat laptop itu masih menyala sejak
terakhir kali digunakan oleh pemiliknya, tetapi Miaa butuh password
untuk bisa menggunakan benda tersebut.
Dia masih ingat password yang pernah disebutkan oleh Johan.
Kecil kemungkinannya lelaki itu berkata benar kala itu dan kalaupun
dia tidak berbohong, pasti dia sudah mengganti password tersebut,
atau begitulah seharusnya. Kendati demikian, Miaa tetap mengetikkan juli 1991 sebagai kata kunci karena itu opsi terbaik yang dia miliki
sejauh ini. Siapa yang menyangka. Tampilan monitor di hadapannya
berubah sejurus kemudian.
"Naif," gumamnya. Perkataan itu disertai senyum masam.
Kini Miaa bisa mengakses laptop Johan. Dia tidak bisa memutar
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu untuk mengubah apa yang terjadi malam itu di Sudirman,
tetapi dia bisa membayar kesalahan yang telah dia perbuat. Maka,
inilah yang dia lakukan kemudian: menghubungi frank_sinatra13.
Sebelum itu, dia membuka salah satu inbox Yahoo! Mail miliknya yang dianggapnya paling aman. Sudah menjadi kesepakatan
antara dirinya dan orang berkedok penyanyi jazz itu, saat ID Yahoo!
Messenger salah seorang di antara mereka tidak bisa digunakan
lagi, mereka akan saling mengirim surat elektronik untuk memberi
tahu ID baru. Dia mendapati orang itu tidak lagi menggunakan
297 Metropolis.indd 297 frank_sinatra13, sekarang dia beralih memakai elvis_presley13. Dia
sendiri membuat ID baru, kemudian dengan itu ia menghubungi
elvis_presley13. kaliurang_7: aku tidak punya banyak waktu
Miaa menunggu sejenak. Sepasang matanya tidak lepas
memandangi monitor. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan
meja dengan tidak sabaran. Setelah beberapa menit, barulah dia
mendapat respons. elvis_presley13: di mana kau sekarang"
Dia tidak menjawab. Diketiknya kata-kata berikut ini dengan
panik: kaliurang_7: aku ingin kau mencari ibuku
kaliurang_7: johan al menyembunyikannya
kaliurang_7: aku tidak tahu di mana
Lawan bicaranya membalas:
elvis_presley13: ibumu aman
elvis_presley13: aku memindahkannya begitu kau menghi"
lang Dan, balasan itu membuat Miaa tertegun. Bisa dia rasakan
kedua matanya terbelalak serta napasnya mendadak sesak,
seolah-olah ada benda berat dan besar menekan dadanya. Jarijarinya membeku sesaat di permukaan keyboard dan kuku-kukunya
menggores kulitnya sendiri kala dia mengepalkan tangannya
dengan penuh emosi. Johan berbohong selama ini.
Demi Tuhan! Lelaki sakit jiwa itu berbohong kepadanya dan
membuatnya menarik pelatuk melawan kakaknya sendiri!
298 Metropolis.indd 298 elvis_presley13: miaa"
Lawan bicaranya memanggil.
elvis_presley13: kau masih di sana"
Miaa menarik napas panjang sambil menggigit bibir, berusaha
untuk tenang. Setelah perasaannya cukup terkendali, dia mengembalikan perhatiannya kepada jendela maya Yahoo! Messenger.
kaliurang_7: ya elvis_presley13: tadi kau menyebut johan al"
elvis_presley13: anak frans"
elvis_presley13: apa dia orangnya"
kaliurang_7: ya kaliurang_7: aku bersama dengannya sekarang
kaliurang_7: dia terluka elvis_presley13: di mana posisimu"
Bunyi orang jatuh menyela tiba-tiba.
Kegaduhan itu terdengar samar-samar dari arah kamar Johan,
lalu disusul oleh rintihan pelan yang membuat Miaa terkesiap. Buruburu Miaa mengetikkan kata-kata terakhir untuk elvis_presley13,
kemudian mematikan laptop yang digunakannya, dan berlari
mendatangi sumber suara. Aku pasti tertidur lama sekali, pikir Johan. Saat dirinya membuka
mata, langit di luar jendela apartemennya sudah hampir gelap. Matahari tidak terlihat lagi dan sekelompok burung tampak pulang ke
sarang dalam satu rombongan. Dia sendirian di kamarnya, lapar, dan
juga haus. Disibakkannya selimut, kemudian dia turun dari tempat
299 Metropolis.indd 299 tidur. Sakit di bahunya sudah berkurang, tetapi tangan kirinya masih
sulit digerakkan. Selain itu, kepalanya pening dan tubuhnya seolah
tidak bertenaga, sehingga dia jatuh ketika mencoba melangkah.
"Apa yang kau lakukan?"
Miaa menghambur masuk ke kamarnya. Perempuan itu buruburu menghampirinya dan membantunya berdiri.
"Aretha sudah kembali" Aku ingin air dan makanan," Johan
berucap dengan lemas. "Dia belum menghubungi."
Dia dipapah keluar kamar oleh Miaa, kemudian didudukkan
di sofa panjang di ruang tengah. Setelah itu, Miaa meninggalkannya sejenak untuk mengambil sepiring makanan dari dapur, yakni
lima tangkup roti lapis yang agak-agaknya sudah dipersiapkan
untuknya sejak tadi. Senyumnya terulas sinis ketika dia melihat
tumpukan tinggi gandum olahan yang disodorkan Miaa. Dia lapar,
tetapi bukan kelaparan. "Ada tamu yang akan datang?" ledeknya.
"Kau tidur selama dua hari," dalih Miaa, "dan kau kehilangan
banyak darah." Johan tertawa, tetapi tidak menanggapi lebih lanjut. Dia mulai
memakan roti-rotinya, agak kesulitan karena dirinya hanya bisa
menggunakan satu tangan. Miaa duduk di hadapannya sambil
memangku secangkir kopi panas yang uapnya mengepul. Pandangan Miaa tertuju kepada jendela di sebelah mereka, entah apa
yang sedang perempuan itu perhatikan. Sejak tadi perempuan itu
memang menghindari kontak mata dengannya dan berulang kali
memalingkan muka seakan-akan tidak mau menghadapinya. Ba300
Metropolis.indd 300 rangkali perempuan itu menjadi canggung karena apa yang terjadi
di mobil tempo hari dan pemikiran itu membuat Johan diam-diam
tersenyum geli. "Jujur saja. Saat sedang menangis, kau menjadi lebih menarik,
Miaa," ucapnya. Rona wajah Miaa berubah merah. Perempuan itu marah sekaligus malu. "Supaya kau tahu saja, aku tidak menangis di depan lelaki
sebelumnya," ujar perempuan itu.
Johan membalas, "Karena itulah aku masih hidup. Aku lelaki
yang beruntung," dan Miaa cuma mencibir.
Mereka tidak berbicara lagi untuk beberapa waktu. Johan
menyelesaikan makan malamnya, sementara perempuan di
hadapannya minum kopi. Dia perhatikan, kini Miaa sudah jauh
lebih tenang meskipun sisa-sisa tangisan masih terlihat di wajah
perempuan itu. Baguslah, pikir Johan. Dia cengeng, tetapi bukan
berarti dirinya senang melihat perempuan menangis mengibakan
seperti kehilangan segalanya.
Malam itu, sesungguhnya, dia tidak punya rencana bersikap
begitu lembut terhadap Miaa. Semula, dia angkat bicara sematamata karena dirinya merasa jengkel"merasa sangat terganggu
akan sikap perempuan itu. Dia bermaksud mendiamkan Miaa
dengan kata-kata sinis, dengan kasar, tetapi mendadak dirinya
justru ikut merasa pilu ketika melihat perempuan itu mengeluarkan
air mata. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan hatinya melunak.
Semua berlangsung bak di luar kesadarannya. Tahu-tahu saja, dia
sudah menggapai wajah perempuan itu dan mencium dengan
penuh emosi. 301 Metropolis.indd 301 Payah! Johan memaki diri sendiri sambil menjauhkan piring
di hadapannya. Pada akhirnya, dia hanya menghabiskan dua tangkup roti.
Sisanya dia biarkan di atas meja dan akan dia tuntaskan tengah
malam nanti kalau tubuhnya sudah cukup kuat untuk me"nemaninya
bertransaksi GBP. Dia meninggalkan tempat duduknya untuk
menghampiri pemutar musik di sudut ruangan. Dilantunkannya
lagu-lagu kesukaannya, lalu dia melangkah mendekati jendela dan
berdiri menghadapi Jakarta yang lembayung.
Dalam surga miliknya itu, sudah tidak ada lagi Sindikat 12
dan kemenangan besar ini patut dirayakan walau dengan cara
cengeng. "Beberapa tahun terakhir ini benar-benar melelahkan," dia
membuka pembicaraan baru dengan Miaa, "seperti berlari tanpa
ujung, tanpa henti."
Miaa menanggapi Johan dengan sinis, "Kukira kau menikmati
semua ini." Johan tertawa kecil. "Oh, ya. Itu jelas, Miaa. Percuma kulakukan kalau tidak kunikmati," jawabnya.
"Kau gila." "Barangkali aku memang gila. Kau tahu bagaimana aku memulai ini" Aku menghubungi semua informan yang ada di Jakarta untuk
mencari nama bajingan-bajingan yang terlibat dalam pembunuhan
ayahku. Aku mengeluarkan banyak uang, berkilo-kilo golden brown
dan blue ice. Aku membuang banyak tenaga sampai hidungku
mimisan setiap dua hari. Aku juga menghabiskan banyak waktu.
Setelah sekian lama aku mulai bangkrut dan sempat mengira niatku
302 Metropolis.indd 302 mustahil diwujudkan, lalu suatu hari Aretha memberiku kabar baik.
Kami berhasil mendapatkan dua belas nama, tapi itu baru awal.
Pekerjaan yang sesungguhnya dimulai satu setengah tahun yang
lalu, begitu aku kembali ke Jakarta."
Miaa meletakkan cangkirnya ke meja. "Kau berutang banyak
kepada Aretha," ujar perempuan itu.
"Kau benar. Dia melakukan banyak hal untukku."
"Begitu juga Indira."
"Indira?" Johan menoleh, menatap lawan bicaranya sejurus
dalam diam, kemudian kembali tertawa.
"Tidak," dia buru-buru mengoreksi ucapan Miaa. "Indira sama
sekali tidak terlibat. Dia tidak tahu apa-apa. Urusan ini terlalu berbahaya dan aku tidak ingin dia terluka."
Miaa memperlihatkan ekspresi takjub kala mendengar ucapan
Johan. Perempuan itu sempat terdiam juga seperti lelaki di hadapannya, lalu dia tersenyum kecut dan berkomentar tajam, "Ternyata
kau bisa juga mencintai seseorang. Kukira kau cuma punya benci
dalam dirimu." Johan ikut tersenyum. Alunan musik Nouvelle Vague mengisi
kekosongan yang dia ciptakan secara sengaja, menjadikan suasana
hatinya benar-benar cengeng.
Pada saat usianya mencapai 20 tahun, barulah dia tahu Indira
masih hidup. Perempuan itu diselamatkan oleh orang kepercayaan
ayahnya, kemudian dititipkan kepada sejumlah yayasan di luar
Jakarta secara bergantian. Bertahun-tahun dia mencari Indira.
Menemukan perempuan itu sama sulitnya seperti mengumpulkan
dua belas nama pembunuh ayahnya. Dia harus memeriksa ratusan
303 Metropolis.indd 303 nama di puluhan rumah perlindungan anak yang ada di Pulau Jawa
dan menelusuri riwayat pendidikan mereka satu per satu. Syukurlah itu tidak sia-sia. Tidak lama setelah meninggalkan Vancouver,
dia mendapatkan kembali apa yang dahulu pernah hilang dari
hidupnya. "Indira adalah adikku," Johan berkata kemudian.
Musik kembali mendominasi ruangan. Kini Miaa yang tampak
terkejut. "Hanya aku dan Aretha yang mengetahui ini," Johan berkata
lagi. "Bahkan, Indira sendiri tidak tahu."
"Lalu, kenapa kau memberitahuku?" tanya Miaa.
"Karena aku gila," gurau Johan.
Dia menghampiri Miaa, lalu membungkuk di hadapan perempuan itu dan membawa wajah mereka berdekatan. Tangannya yang
tidak terluka bertumpu pada sandaran sofa. Sepasang matanya
mengunci pandangan lawan bicaranya.
Miaa tidak menghindar. Bahkan, perempuan itu bergeming
di tempat duduknya, memasang air muka yang datar dan tanpa
ekspresi. Kendati demikian, mata perempuan itu memperlihatkan
canggung yang barangkali juga diperlihatkan oleh mata Johan
sendiri, dan napas mereka berdua sama-sama berubah tidak ber"
aturan. Johan tidak bisa mungkir lagi sekarang. Jelas, dia menginginkan perempuan di hadapannya. Barangkali hanya sebatas
nafsu, tetapi"apa pun alasannya"itu tidak mengubah kenyataan
bahwa akal sehatnya telah dikalahkan oleh sepasang mata penuh
lagak dan bibir manis yang ingin dia lumat sekali lagi.
304 Metropolis.indd 304 Betul-betul payah! Bahkan, aroma tubuh perempuan itu mulai
membuatnya mabuk, menggelitik naluri hewan yang ada dalam
dirinya. "Kukira kau tidak percaya kepadaku." Ucapan Miaa mengakhiri
kebekuan mereka. "Kukira juga begitu," jawab Johan, "tapi kau menarik pelatuk."
"Kau tahu aku melakukan itu untuk ibuku, Johan."
"Salah. Kita berdua sama-sama tahu kau melakukan itu untukku. Karena itu, kau menangis."
Miaa tidak menampik. Air muka perempuan itu berubah, se"
hingga dia tidak lagi kelihatan tenang, melainkan gelisah. Perempuan itu menunduk untuk menghindari kontak mata mereka,
namun Johan tidak membiarkan itu terjadi. Dia meraih wajah Miaa
dan memaksa perempuan itu untuk kembali menatapnya.
"Kenapa" Merasa berdosa?"
"Aku menembak kakakku untuk menyelamatkan pembunuh
ayahku. Seburuk apa aku?"
"Buruk, Miaa. Dan, sebaiknya kau mulai terbiasa dengan
itu." Miaa menggeleng tanda tidak setuju. Sorot mata perempuan
itu memperlihatkan penyesalan. "Tidak," kata Miaa, "aku tidak
bisa terbiasa dengan itu." Perempuan itu melirik sekilas ke arah
jam yang tergantung di salah satu sisi ruangan sambil mengernyit,
seakan-akan sedang menantikan sesuatu.
Semula Johan tidak memahami maksud dari perkataan dan
sikap Miaa, tetapi dia sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Maka, dengan penuh selidik, dia menyapukan pandangannya ke
305 Metropolis.indd 305 seluruh penjuru ruangan. Saat itulah, dia mendapati MacBook
miliknya dalam keadaan mati. Dia memiliki ingatan yang sangat
baik dan dia ingat bahwa dirinya meninggalkan sejumlah transaksi
GBP mengambang sebelum menjalankan misi membunuh Shox.
Seharusnya, perangkat itu masih menyala dan alasan satu-satunya
kenapa MacBook miliknya dalam keadaan mati saat ini adalah
seseorang telah menggunakan perangkat itu.
Dia bertanya tajam kepada Miaa, "Siapa yang kau hubungi?"
Miaa menarik napas, lalu menjawab pelan, "Tidak lama lagi
polisi akan tiba di tempat ini, Johan. Barangkali sudah. Serahkan
dirimu baik-baik maka...."
"Kau bekerja untuk polisi?" Johan menyela lawan bicaranya.
Dia tidak butuh penjelasan. Dia tahu apa yang terjadi.
Saada bajingan! Kini apartemennya tidak aman lagi. Setiap saat bajinganbajingan berseragam bisa masuk untuk menciduknya, memasukkannya ke sel, kemudian menghabisinya dengan hukuman mati.
Menyadari itu, Johan buru-buru menyambar MacBook miliknya.
Dia meninggalkan ruang tengah dan menghampiri kamar tidurnya
untuk mengambil pistol Colt Defender kecil dari lemari di sudut
ruangan, tas, serta jaket. Dikenakannya jaket tersebut. Dimasukkannya MacBook ke dalam tas yang kemudian dia sampirkan ke
pundaknya. Ketika dia hendak keluar dari kamar, Miaa menghadang
di ambang pintu. "Jangan berbuat bodoh, Johan. Kalau ternyata polisi sudah
tiba, kau tidak akan bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup," kata
perempuan itu. 306 Metropolis.indd 306 Johan mencibir. Dia mengarahkan senjata api di tangannya
kepada Miaa, sementara matanya menatap perempuan itu lekatlekat. Bimbang berkecamuk dalam benaknya. Dia tidak suka
dikhianati dan biasanya dia tidak akan mengampuni bajingan yang
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berani menikamnya dari belakang. Akan tetapi, sialnya, dia ber"
utang nyawa kepada Miaa. Dua kali. Maka, dia menahan diri untuk
tidak menarik picu pistolnya.
"Kau akan membantuku keluar hidup-hidup," ucapnya.
Jadi, seperti inilah cara Johan meloloskan diri dari kepungan
polisi. Lelaki itu membawa Miaa serta ketika keluar dari apartemen.
Miaa tidak bisa menolak karena lawannya bersenjata, sementara
dia tidak. Mereka turun ke basement menggunakan lift, lalu menjelajahi area parkir yang remang dan bak tak berujung selama lebih
dari lima menit untuk mencari mobil yang tidak mereka ketahui
wujud dan keberadaannya. Selama itu pula Miaa harus menekan
tombol kendali pengaman kendaraan yang menyertai kunci dalam
genggamannya, yang diambil secara asal oleh Johan dari salah satu
laci di kamar Aretha. Pada akhirnya, mobil yang merespons adalah sebuah sedan
mewah buatan Asia yang diparkir di salah satu area bertanda
khusus. Dengan kendaraan itulah mereka pergi dari tempat tersebut. Miaa yang menyopir, tentu saja, karena Johan hanya punya
satu tangan, itu pun sibuk mengacungkan pistol ke arah bekas
sekutunya sepanjang waktu.
307 Metropolis.indd 307 "Kita diikuti," Miaa berkata sambil melirik spion. Dia melihat
dua mobil polisi mengekor di belakang mereka.
Johan menanggapi dengan tenang. "Kalau aku tertangkap,
kau ikut mati bersamaku. Jadi, pastikan saja mereka tidak bisa
menyusul," ujar lelaki itu.
Miaa terpaksa menurut. Dia membanting setir secara mendadak, membawa kendaraan keluar dari jalan raya yang tengah
mereka lalui dan memasuki sebuah jalan kecil yang ada di sebelah
kiri. Kala itu, mereka masih berada di daerah Kebayoran Baru, tidak
jauh dari apartemen yang mereka tinggalkan. Selama dua puluh menit berikutnya, Miaa menggiring para pengejarnya berputar-putar
dengan rute yang membingungkan, keluar-masuk sejumlah jalan
yang sama berulang kali secara acak, dan mengecoh polisi-polisi
itu dengan persimpangan-persimpangan bercabang banyak. Pada
akhirnya, mereka berhasil melepaskan diri tanpa kesulitan yang
berarti. Polisi-polisi itu tertinggal dalam lalu lintas yang sedang
padat-padatnya, terhalang oleh barisan panjang kendaraan yang
membarikade sebuah persimpangan jalan"hanya selang beberapa
detik setelah dia dan Johan melewati belokan yang sama.
Begitu situasi berubah aman, Johan memberi instruksi, "Sekarang kita ke Tosari."
Semula Miaa mengira mereka sedang menuju ke Metropolis,
tetapi Johan memintanya berhenti di tengah perjalanan, jauh
sebelum mereka mencapai pub tersebut. Atas perintah lelaki itu,
Miaa memarkirkan mobil mereka di ujung Jalan Blora, dekat kolong
jalan layang yang menjadi penghubung antara Jalan Sudirman dan
Jalan Thamrin, perbatasan antara Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
308 Metropolis.indd 308 Dari sana mereka menaiki sebuah tangga besi yang curam, yang
mengantar mereka ke stasiun kereta eksekutif dalam kota.
Johan mengajak Miaa membaur dengan ratusan orang yang
memenuhi stasiun tersebut, pekerja-pekerja kantoran yang berdasi
dan memakai jas, yang hendak pulang ke hunian masing-masing
di luar metropolis untuk sekadar tidur barang beberapa jam. Pistol
di tangan Johan masih terarah kepada Miaa, tersembunyi di dalam
saku jaket. Mereka membeli tiket, lalu menunggu kedatangan
kereta mereka bersama calon-calon penumpang lain dalam peron
yang riuh dan sesak. "Kau tidak akan bisa pergi jauh. Ini stasiun kereta dalam kota,"
Miaa berkata kepada Johan di tengah-tengah hiruk pikuk suara
orang. Dia lihat tangan kiri Johan meneteskan darah yang berasal
dari luka tembak di bahu lelaki itu.
"Jangan khawatir. Aku punya rencana," jawab Johan.
Miaa menimpali, "Apa pun rencanamu, akan lebih mudah kalau
kau menyerah, Johan."
Lalu, lawan bicaranya membalas, "Akan lebih mudah lagi kalau
kau tidak mengkhianatiku, Miaa. Kau mengacaukan segalanya."
Dan, itu memaksa Miaa terdiam, cukup lama, hingga kereta
yang ditunggu-tunggu tiba bersama gaduh. Kendaraan yang
mampu mengangkut ribuan orang itu berhenti di hadapan mereka,
membawa gerbong-gerbong berpintu otomatis yang menimbulkan
desis kala membuka diri. Orang-orang yang berada di peron segera berebutan memasuki gerbong, adu cepat satu sama lain supaya mereka bisa memenangi tempat-tempat kosong yang masih tersisa di dalam. Johan
309 Metropolis.indd 309 bergeming di tempat dia berdiri, begitu juga dengan Miaa. Alih-alih
langsung naik kereta, Johan malah menatap Miaa"memperlihatkan
satu emosi yang sulit dipahami, lalu melontarkan pertanyaan yang
menyebabkan Miaa tertegun.
"Bagaimana kalau kau ganti berpihak kepadaku saja?"
Mendadak, suara-suara yang saling beradu di sekitar mereka
bak membeku, gerak waktu seolah-olah menjadi teramat lambat,
dan udara berubah berat serta menyesakkan dada. Pilu adalah apa
yang kemudian Miaa rasakan, kala dia sadar apa yang sesungguhnya
Johan inginkan atas dirinya dan dia tidak bisa memberikan itu.
"Kau gila." Johan tertawa, dengan derai suara yang mengekspresikan
kekecewaan. Lelaki itu mendekat ke arah Miaa dan berbisik, "Hari
ini kau kulepaskan. Lain kali aku tidak akan membiarkanmu hidup."
Pada detik berikutnya, dia melompat masuk ke gerbong.
Sebelum Miaa sempat menyusul, pintu besi yang ada di antara
mereka menutup, lalu kereta bergerak melaju.
310 Metropolis.indd 310 24. 0-0 retha sempat mengira semua telah usai ketika dia mendapati belasan polisi berjalan ke sana kemari di apartemennya.
Petugas-petugas berseragam itu berjaga di sekitar gedung dan di
dalam lobi serta memenuhi salah satu lantai, lantai di mana dia
tinggal. Unit miliknya diisolasi dan digeledah. Satpam dan pegawai apartemen ditanyai, begitu pula para penghuni yang tinggal
berdekatan dengannya. Entah apa yang terjadi selama dia ditahan oleh Agusta Bram.
Barangkali Johan mendapat serangan balasan dari Geng Saada atau
Geng Shox. Mungkin juga keberadaan anak Frans itu diketahui oleh
polisi, lalu dia dibawa ke kantor Polda Metro Jaya. Atau, bisa jadi
dia dikhianati oleh Miaa. Banyak kemungkinan. Namun, pertanyaan
sesungguhnya adalah: apakah Johan masih hidup"
Orang-orang yang berkeliaran di apartemen tidak tahu banyak
saat dimintai keterangan. Walau begitu, tidak satu pun di antara
311 Metropolis.indd 311 mereka bicara tentang adanya korban sehubungan dengan keributan tersebut, sehingga Aretha masih bisa menyimpan sedikit
harapan. Dia pergi ke Metropolis, awalnya untuk menenangkan
diri. Dia duduk di depan meja bar seperti biasa, memesan minuman
kepada bartender yang tadinya sedang bersiap-siap untuk pulang.
Dia bertanya apakah seorang lelaki pucat berambut cokelat datang
ke pub itu. Sang bartender menggeleng. "Aku tidak lihat lelaki yang kau
maksud memasuki pub, tapi cepu yang waktu itu kau ajak pergi
mampir ke sini baru saja. Dia menitipkan sesuatu," orang itu berkata
seraya menyodorkan secarik kertas kepada Aretha. Di permukaan
kertas itu tertulis: Penjaringan 12-6 3 hari Sejurus kemudian ponsel Aretha berbunyi.
Denting piano yang lembut memenuhi rumah putih di mana Johan
berada saat ini, melantunkan L"Isle Joyeuse, gubahan Debussy yang
sarat kegembiraan akan cinta. Indira yang memainkan komposisi
tersebut. Bidadari itu duduk menghadapi alat musik di sudut ruang
tengah, berkilauan berkat siraman cahaya matahari pagi yang datang dari jendela di salah satu sisi ruangan.
Johan melangkah keluar dari kamar. Sepasang kakinya yang
telanjang menapaki tegel merah muda yang hangat, berjalan lambat tanpa suara menuju teras belakang yang ada di rumah tersebut.
Tangan kanannya terulur untuk membuka pintu kaca yang menjadi
312 Metropolis.indd 312 penghalang, lalu derit menyusul belakangan, dan bunyi piano Indira
mendadak berhenti. "Selamat pagi," Indira menyapa.
"Pagi," Johan membalas dengan suara agak serak. Dia
menghirup udara segar yang menyambutnya tiba-tiba, sementara kedua matanya sedikit terpejam untuk menolak serbuan
matahari. Kemarin malam dia muncul di hadapan Indira, membawa luka
di bahu dan segudang putus asa. Terbawa oleh suasana hatinya
yang sedang buruk kala itu, dia memeluk Indira dan membenamkan wajahnya di rambut perempuan itu begitu mereka bertemu.
Perempuan itu terperanjat dalam rangkulannya seraya bertanya
berkali-kali apa yang terjadi. Dia tidak menjawab.
"Bagaimana keadaanmu?" suara Indira terdengar lagi, penuh
perhatian. Johan mengambil jeda sejenak sebelum memberi jawaban.
Luka di bahunya sudah lebih baik. Indira mengobatinya semalam,
sehingga kini tangan kirinya tidak terlalu sakit ketika digerakkan.
Tetapi perihal perasaannya lain lagi. Miaa tidak berhenti menghantuinya meski dalam mimpi, dan Johan tidak tahu apakah benci
ataukah emosi lain yang menyebabkan itu terjadi.
Pada akhirnya, dia berkata, "Lumayan." Lalu, dia duduk di
salah satu kursi besi yang ada di teras, memperhatikan kucing putih
kesayangan Indira berguling-guling di hadapannya, di permukaan
tanah berumput yang masih basah oleh embun.
Indira bergabung dengannya beberapa menit kemudian, membawakan dua gelas jus dingin untuk mereka berdua. Perempuan itu
313 Metropolis.indd 313 duduk di sebelahnya, menemaninya tanpa banyak bicara sambil
menikmati sari buah, dan membuat perasaannya lebih ringan hanya
dengan begitu saja"entah bagaimana dia melakukan itu.
"Aku harus segera pergi, Indira. Siang ini kalau bisa," Johan
membuka pembicaraan. Ekspresi di wajah Indira berubah cemas. "Kau terluka. Kenapa
tidak tinggal beberapa hari lagi?" tanya perempuan itu.
"Aku tidak bisa terlalu lama di sini. Terlalu berbahaya."
"Kau khawatir aku akan memberi tahu polisi?"
Bukan. "Aku khawatir kau akan terlibat."
Sebuah jeda muncul kembali, kali ini Indira yang menciptakan kekosongan itu, lalu perempuan itu berucap lirih, "Aku tidak
keberatan." Johan tersenyum masam, sama sekali tidak merasa senang
mendengar perkataan Indira barusan. Dia tahu Indira akan
melakukan apa saja demi dirinya. Justru karena itulah, dia tidak
bisa membiarkan perempuan itu ikut terbawa-bawa dalam masalah
ini. Dia tidak ingin Indira terluka. Terlebih lagi, dia tidak mau
perempuan itu mengalami apa yang dia lalui selama belasan tahun
ini: kehidupan kelam di tengah-tengah dunia narkotika, bisnis ilegal,
serta persekongkolan kotor yang menggerogoti harga diri.
Maka, dia menegaskan, "Aku akan pergi secepatnya dan kita
tidak boleh bertemu lagi setelah ini."
Lawan bicaranya tidak mendapatkan kesempatan untuk
protes. Serangkaian ketukan pintu dari arah depan rumah menyela
perempuan itu dan menunda pembicaraan mereka. Setengah hati,
perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah
314 Metropolis.indd 314 enggan menghampiri sumber suara untuk menerima tamu, lalu
Aretha menghambur masuk ke rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Di mana dia?" Pertanyaan itu memburu. Sebelum ada yang menjawab, Aretha
sudah menemukan Johan di teras belakang. Perempuan itu terpaku
sesaat ketika melihat Johan. Setelah itu, dia melepaskan desahan
lega, disertai ucapan syukur yang menyebut-nyebut Tuhan.
"Apa yang terjadi?" Aretha bertanya dengan suara yang
sengaja dia pelankan. Perempuan itu dan Johan bicara berdua
tanpa berpindah tempat, sementara Indira sibuk menyiapkan kopi
di dapur. "Miaa menghubungi polisi," Johan memberi penjelasan singkat. "Sudah kukatakan, perempuan itu tidak bisa dipercaya."
"Dia meninggalkan pesan di Metropolis."
Dia disodori secarik kertas oleh Aretha. Apa yang tertulis di
lembaran itu membuatnya menarik kesimpulan, "Perempuan itu
memintaku menyerah."
"Ya, tapi kau tidak perlu meladeni dia, Johan. Miaa bukan
urusan serius. Misi kita sudah selesai dan aku telah mengurus
kepulanganmu ke Vancouver," kata Aretha.
Johan menggeleng. "Belum, Nyonya. Urusanku dengan
Sindikat 12 belum selesai," sanggahnya. Dia menatap Aretha yang
kini mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"
"Miaa memakai laptopku untuk berkomunikasi. Orang yang
perempuan itu hubungi punya alias elvis_presley13. Aku mengontak
Ju dan menyebut nama itu. Coba kau tebak, dia bilang apa?"
315 Metropolis.indd 315 Aretha segera memahami maksud ucapan Johan. Perempuan
itu menampik, "Kau pasti salah. Shox adalah yang terakhir."
"Tidak." Dengan sangat menyesal, Johan mengatakan itu. Dia mengembalikan secarik kertas yang tadi diberikan oleh Aretha. Dimintanya
Aretha memeriksa ulang apa yang tertulis di atas lembaran tersebut. "Penjaringan 12-6. Kau tahu betul siapa pemilik wilayah itu,"
ucapnya dan Aretha tidak lagi bisa membantah.
Dia dan Aretha melewatkan satu di antara dua belas, dan Miaa
adalah penghubung mereka dengan bajingan tersebut. Karena itu,
dia akan datang ke tempat yang disebutkan oleh Miaa dalam pesan
tersebut walaupun dia tahu itu merupakan perbuatan gila dan bisa
jadi sia-sia. Tetapi untuk yang terakhir, dia berani menanggung
risiko sebesar apa pun. Suara porselen pecah terdengar setelah Johan mengungkapkan niatnya itu kepada Aretha. Bunyi gaduh tersebut datang dari
ruang tengah, di mana Indira mematung saat ini sambil menatap
Johan dengan mata terbelalak. Beling-beling berserakan di sekitar kaki perempuan itu. Cairan hitam menggenang di permukaan
lantai. Johan bangkit dari tempat duduknya. Dia menghampiri Indira
dan berlutut di hadapan perempuan itu. Dipungutinya pecahanpecahan porselen yang tersebar satu per satu dengan hati-hati
sekali. Didengarnya Indira berucap terbata-bata kepadanya dengan
suara gemetar. "Kau sedang merencanakan apa?"
Dia tidak menjawab. Indira bertanya lagi, "Apa kau akan
melakukan sesuatu yang berbahaya, Johan?"
316 Metropolis.indd 316 "Aku sedang bicara dengan Aretha, Indira. Tinggalkan kami
berdua," bujuk Johan.
Indira beranjak dari posisinya, tetapi bukan untuk melakukan
apa yang Johan minta. Perempuan itu menyambar pesawat telepon
di salah satu sisi ruangan dan menekan serangkaian nomor. Johan
bergegas menyusul. Beling-beling di tangannya terlempar kembali
ke lantai. Sebelum Indira sempat menghubungi seseorang, dia sudah merebut gagang telepon dari genggaman perempuan itu.
"Apa yang kau lakukan"!" hardiknya. Dia mencengkeram bahu
Indira dengan satu tangan. Dibawanya perempuan itu menghadap
ke arahnya.
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menelepon Agusta Bram," kata Indira. "Dia pasti bisa meng"
hentikanmu." "Yang benar saja! Kau ingin aku ditangkap polisi?"
Indira menatap Johan dengan sepasang mata yang menitikkan
butir pilu. Perempuan itu membuka mulut, namun tidak sanggup
berucap apa-apa untuk membalasnya dan hanya bisa terisak dengan
suara yang mengibakan. Johan menghela napas. Dia paham betul bagaimana perasaan
Indira terhadapnya. Karena itu, dia ikut merasa pedih. Dia merengkuh kepala perempuan itu, lalu didekapnya.
Bram bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin diberitahukan
oleh Erik kepadanya sore itu. Dia masih ingat kalimat terakhir yang
diucapkan oleh Erik lewat telepon. Di antara bising kendaraan
di sekitarnya, polwan itu berkata, "Dia bilang, "Kau sendiri, "kan?"
317 Metropolis.indd 317 Sebelum itu aku menunjukkan lencanaku, sama seperti kau.?" Ketika
itu, Erik mengaku bahwa dia baru saja kembali dari Cibubur.
Polwan itu juga menyebut-nyebut pasien tua berbadan bungkuk
yang tinggal di sebelah kamar ibu Miaa. Lalu, dia menyinggung
frank_sinatra13. Apa maksudnya" "Kukira kau sedang cuti, Bram."
Sekretaris kesatuannya berkata sambil melintas di depannya. Bram membalas, "Aku sedang membereskan barang-barang
Erik." Memang benar, dia tengah menghadapi meja kerja milik
asistennya. Sudah sejak satu jam yang lalu, dia sibuk memasukkan sejumlah alat tulis serta map-map berisi laporan penyelidikan
ke sebuah kardus"bekas kemasan mi instan. Sembari melakukan
itu, dia membaca ulang berkas-berkas yang dikumpulkan oleh
asistennya selama ini, yang berhubungan dengan kasus Sindikat
12, sambil sesekali tenggelam dalam lamunan ketika apa yang dia
dapati memancingnya berpikir.
Pertanyaannya barusan"apa yang ingin diberitahukan oleh
Erik setelah polwan itu kembali dari Cibubur, terbit karena Bram melihat secarik kertas bertuliskan frank_sinatra13 di antara lembaranlembaran yang lain. Selama ini, Bram menyerahkan segala urusan
seputar penyanyi jazz itu kepada Erik karena dia meng"anggap
masalah itu tidak terlalu penting. Sekarang Bram baru sadar bahwa
dia sendiri tidak tahu apa-apa tentang itu.
Tetapi sebanyak apa Erik tahu"
318 Metropolis.indd 318 "Tolong kau bereskan ini sekalian." Sekretaris kesatuan yang
tadi datang kembali kepada Bram. Polisi itu memberi Bram sebuah
map. "Apa ini?" Bram bertanya seraya membuka map tersebut. Dia
mendapati beberapa lembar kertas kosong di dalamnya.
Sekretaris kesatuannya menjawab, "Hari itu Erik masuk ke
ruang kerja Kasat untuk meletakkan laporan, tapi sepertinya dia
salah membawa map." Bram mengernyit. Dia bekerja dengan Erik selama satu tahun
lebih. Dia tahu persis, asistennya bukan orang ceroboh yang bisa
salah membawa map. Lagi pula, Erik tidak pernah"dan tidak akan
pernah"memberi laporan kepada Burhan, karena dia dan polwan itu sepakat bahwa informasi yang mereka dapatkan seputar
Sindikat 12 tidak akan diteruskan kepada atasan mereka.
Lalu, apa maksud kertas-kertas kosong itu"
"Apa kau Agusta Bram?"
Sekali lagi, lamunan Bram buyar. Dia menoleh kepada seorang
lelaki kurus berkacamata tebal yang kini berdiri di hadapannya.
Lelaki itu tidak menunggu jawaban dari Bram. Dia memperkenalkan diri secara singkat sebagai seorang reserse dari Sat Cyber
Crime, mengucapkan belasungkawa atas apa yang menimpa Erik
dengan nada menyesal, lalu menyodorkan sebuah laptop dan amplop cokelat ukuran folio.
"Aku dan asistenmu sedang menyelidiki frank_sinatra13 sebelum... em... sebelum terjadi sesuatu," kata lelaki itu.
"Ya, aku tahu," ucap Bram. "Sampai di mana penyelidikan
kalian?" 319 Metropolis.indd 319 "Semua ada di dalam amplop yang kuberikan. Terakhir, kami
membahas Dunia Pintu, sebuah situs yang dipakai oleh frank_sinatra13 sebagai dummy"pengalih perhatian."
Bram mengeluarkan isi amplop cokelat di tangannya, puluhan
lembar hasil cetak komputer yang sebagian besar menampilkan
gambar. Salah satu di antaranya adalah salinan halaman muka situs
yang tengah mereka bicarakan, yang menampilkan bermacammacam gambar pintu dengan berbagai model dan warna. Bram
tahu situs itu. Beberapa kali dia melihatnya lewat layar komputer
milik.... ... milik Burhan. Curut! Dia mengerti sekarang; apa yang ingin diberitahukan oleh Erik;
kenapa polwan itu meletakkan map berisi laporan kosong di ruang
kerja Burhan; dan untuk apa dia pergi menemui pasien tua berbadan
bungkuk di Cibubur. Ya. Mendadak semua menjadi jelas.
Adalah polisi yang membawa pergi ibu Miaa dari Cibubur, bukan Johan Al seperti yang dia kira selama ini. Karena itulah, pasien
tua berbadan bungkuk yang mereka temui di Cibubur berkata,
"Kau sendiri, "kan?" ketika ditanyai oleh dirinya dan Erik. Dia dan
Erik sama-sama memperlihatkan lencana. Oleh pasien itu, mereka
diidentifikasi sebagai polisi. Polisi sesungguhnya yang dimaksud,
yang mengetahui keberadaan ibu Miaa dan memiliki kepentingan
melindungi perempuan malang itu, tentu saja adalah frank_sinatra13. Jika keterkaitan antara penyanyi jazz itu dengan Dunia Pintu
bukanlah kebetulan, dan hari itu Erik memikirkan apa yang tengah
dia pikirkan saat ini, frank_sinatra13 adalah Burhan D. Saputra.
320 Metropolis.indd 320 "Bram!" Sekretaris kesatuannya memanggil dari kejauhan.
"Telepon untukmu di saluran 3."
Bram kembali menepis lamunannya. "Siapa?" dia bertanya
balik. "Indira." Lelaki cantik berambut cokelat itu, Johan Al, menyambutnya dengan
segaris senyum kucing ketika Bram memasuki rumah tua milik Indira
di Pakubuwono. Johan berdiri di sudut ruang tengah, di hadapan
sebuah piano hitam. Jari-jari tangan Johan memainkan sejumlah
nada secara asal, menghasilkan denting-denting yang tidak padu
satu sama lain. Lelaki itu menoleh ke arah Bram begitu mendengar
derit pintu dibuka, kemudian"seperti seseorang yang kedatangan
kawan lama"dia melontarkan sapaan dengan ramah.
"Apa kabar, Inspektur?"
Bram memberi lelaki itu tatapan tajam. Dia membalas, "Lumayan. Curut yang kucari-cari ada di depanku saat ini."
Johan tertawa. Lelaki itu beranjak dari tempatnya berdiri,
menghampiri satu set sofa model lama yang ada di tengah ruangan,
lalu duduk di sana. Sambil menyeduh dua cangkir kopi panas, dia
memberi isyarat tangan kepada Bram, mengajak duduk bersama.
Bram menurut. Dia menutup pintu di belakangnya, lalu
mengambil posisi di hadapan Johan. Mereka hanya berdua di
ruangan tersebut. Entah ke mana gerangan sang pemilik rumah.
"Aku mendapat telepon dari Indira," ujarnya.
"Ya. Aku yang memintanya menghubungimu," kata Johan.
321 Metropolis.indd 321 "Ada apa" Kau ingin menyerahkan diri?"
Johan kembali tertawa. "Kalau tidak begitu, apa kau bisa menangkapku, Inspektur?"
Curut! maki Bram dalam hati. Dia mengatupkan rahangnya,
geram mendengar sindiran Johan.
Johan berkata lagi, "Tapi tidak. Aku tidak tertarik hidup di sel.
Bukan untuk itu aku mengajakmu bertemu."
"Lalu, untuk apa?"
Bram dibuat menunggu sejenak. Dengan santai, lawan bicara"
nya menghirup kopi panas, menciptakan jeda dalam perbincangan
dingin mereka dan memberi kesempatan secara tidak sengaja
kepada deru kendaraan yang melintas di Jalan Pakubuwono untuk
ambil bagian. Lalu, setelah minum beberapa teguk, lelaki itu mulai
menjelaskan maksudnya. "Aku punya penawaran."
"Aku tidak tertarik," Bram buru-buru menampik.
"Kau belum mendengar penawaranku."
"Apa pun itu, aku tidak akan tertarik," Bram bersikeras. Dia
adu mata dengan Johan, sambil memajukan posisi badannya ke
arah lawan, menunjukkan sikap menantang. "Dengar, Johan,"
ucapnya dengan nada rendah, "kau salah kalau mengira aku tidak
bisa menangkapmu. Percayalah, aku bisa. Aku punya bukti. Belum
lengkap memang, tapi itu cuma masalah waktu. Lagi pula, tangan
kananmu, Aretha, melakukan banyak kesalahan di TKP. Dia boleh
saja menukar pistol emas Ferry Saada dengan senjata polimer
murahan, tapi seharusnya dia tahu semua kebohongan hanya akan
mengarah pada kebenaran. Aku cuma perlu mendapatkan sampel
darahmu, melakukan tes DNA, dan kau tamat."
322 Metropolis.indd 322 Johan tetap kelihatan tenang. Sepertinya, gertakan Bram
tidak mempan. Lelaki itu malah mengukir senyum mengejek yang
membuat Bram semakin gerah.
"Dengar, Inspektur," Johan membalasnya dengan nada rendah
yang sama. "Kau punya dua pilihan. Pertama, kau bisa mengambil
sampel darahku sekarang juga, melakukan tes DNA, lalu menangkap otak pembunuhan berantai yang membuatmu senewen selama
satu tahun. Atau, kedua, kau bisa mendengarkan aku dengan manis,
menerima apa yang akan kutawarkan, dan memiliki kesempatan
untuk menghancurkan sindikat narkotika terbesar di Jakarta selamanya."
Bram mendengus. "Sindikat 12 memang sudah hancur," tukasnya.
"Benarkah?" Pertanyaan Johan itu memaksa Bram terdiam. Bram menatap lawan bicaranya sekali lagi, dengan lebih dalam dan penuh
selidik, seolah-olah dirinya sedang mempertimbangkan kebenaran
atas ucapan lelaki itu. Senyuman yang menghiasi wajah Johan
mengembang tidak lama kemudian dan sadarlah Bram, lelaki itu
telah memenangkan kepercayaannya.
"Baiklah. Ini perjanjian kita," kata Johan. "Kau akan melepaskanku dan kau tidak akan menyentuh Indira."
"Bagaimana dengan Aretha?"
"Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak mengenal nama
Aretha." Bram tidak percaya bualan yang satu itu, tetapi dia ikuti saja
arah permainan Johan. "Lalu, apa yang kudapatkan?" tanyanya.
323 Metropolis.indd 323 Giliran Johan yang mencondongkan tubuh ke depan. Lelaki
itu menghapus senyumnya, sehingga ekspresi wajahnya berubah
serius, bahkan kelihatan sedikit tegang. Dia berkata, "Nomor enam
dari dua belas." Bram menahan napas. Blur. Dia menyebut nama itu dalam
benaknya. Apa yang terdapat di Penjaringan 12-6 adalah sebuah gudang bekas
pabrik cokelat, bangunan baja yang dahulu pernah dimasuki oleh
Bram untuk mengikuti pertemuan Sindikat 12 secara sembunyisembunyi. Gudang itu gelap gulita pada malam hari, tampak se"
perti container hitam berukuran raksasa, serta sunyi. Hanya bagian
pagarnya yang kelihatan terang, kendati tidak terang-terang amat,
dikarenakan pencahayaan dari lampu-lampu jalan dan sejumlah
bangunan lain di sekitarnya. Bagian dalamnya tidak memper"
dengarkan tanda-tanda kehidupan. Sebaliknya, halamannya yang
luas menyebabkan bising kendaraan yang lalu-lalang di luar pagar
tidak bisa masuk terlalu jauh.
Malam ini, Bram membawa satu pasukan kecil polisi ke tempat
tersebut. Timnya beranggotakan sembilan orang, sepuluh termasuk
dirinya, sebelas jika Johan Al juga ikut dihitung; terdiri dari resersereserse yang terlatih dan terbiasa melakukan operasi semacam
apa yang akan mereka lakukan. Mereka memarkir kendaraan
mereka agak jauh dari tujuan, di pinggir jalan yang gelap dan tidak
terpantau dari container hitam raksasa tersebut. Dari sana mereka
akan bergerak ke tujuan, menyelinap masuk, lalu menciduk Blur
beserta gengnya. 324 Metropolis.indd 324 "Kau tunggu di sini," Bram berkata begitu kepada Johan Al.
Johan menampik, "Aku ikut dengan kalian."
Bram mencibir. Dia mencengkeram lengan Johan. Dipaksanya
lelaki itu masuk ke dalam mobil. Diucapkannya kata-kata berikut
ini dengan sinis, "Mungkin kau tidak peduli dengan nyawamu. Aku
juga tidak keberatan kalau kau mati di dalam sana, tapi aku janji
kepada Indira untuk membawamu pulang dalam keadaan hidup.
Dan, itu akan lebih mudah kutepati kalau kau tidak mencoba bunuh
diri. Jadi, tunggu saja di sini."
Dia tidak memberi Johan kesempatan untuk membantah lagi.
Ditutupnya pintu mobil, lantas diperintahkannya salah seorang
anak buahnya untuk mengawasi Johan selama operasi berlangsung.
Setelah itu, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia memimpin
timnya menghampiri gudang bekas pabrik cokelat.
Mereka mendapati pintu gudang itu tidak terkunci. Sepasang
rantai dan gembok besi yang karatan tergantung tanpa fungsi di
muka bangunan. Pintu tersebut, yang berukuran besar lagi berat,
berderit ketika dibuka, menimbulkan perasaan tegang"dan barangkali sedikit khawatir"karena seharusnya suara itu cukup keras
untuk sampai ke telinga lawan. Bram mengintip ke dalam melalui sela-sela pintu. Ruangan di balik sana nyaris gelap sepenuhnya, tetapi
beberapa lubang di atap memasukkan bias lemah bulan, menerangi
sebagian tempat, dan membantu Bram melihat bayangan sejumlah
orang bersenjata yang sembunyi di balik kargo-kargo tua.
Bram memberi instruksi kepada timnya. Mereka menyerbu
masuk sambil merunduk, lalu menyebar dengan cepat. Mendadak,
terdengar suara peluru pertama dilepaskan di gudang itu, entah
325 Metropolis.indd 325 oleh pihak siapa. Sejurus kemudian, bekas pabrik coklat tersebut
menjadi tempat baku tembak; sesuatu yang tidak bisa dihindari
dan memang sudah diperkirakan akan terjadi. Letusan senjata ber"
derai tanpa henti, bersama desing peluru, denting logam bertemu
logam, bunyi kaca pecah, suara daging terkoyak, serta rintihan
orang-orang terluka. Di tengah-tengah kekacauan itu, Bram bergerak maju. Dia
perpindah dari satu lindungan ke lindungan yang lain, sambil
menembakkan senjatanya ke arah-arah tertentu"dari mana serangan lawan berasal. Ada satu orang yang menembakinya dari
arah depan. Lima serangan orang itu meleset dan hanya berhasil
menggores sebuah kargo di antara mereka. Pertahanan orang itu
juga lumayan payah. Dengan dua tembakan saja, Bram berhasil
menjatuhkan orang itu, kemudian dia merayap mendekati lawannya yang sudah terkapar. Ketika itu, letusan-letusan senjata masih
mencengkeram suasana. Bram memeriksa tubuh lawannya. Dia menemukan lencana
polisi di balik jaket orang tersebut.
Curut! "Berhenti!" dia kontan berteriak, memberi instruksi baru,
berulang kali. Orang-orang di sekelilingnya mengurangi tembakan secara
bertahap, lalu berhenti sama sekali. Keadaan di dalam gudang
bekas pabrik cokelat itu pun kembali senyap seperti semula. Dalam
kesunyian itu, Bram menyerukan jati dirinya, "Polisi. Sat Reserse
Narkotika Polda Metro Jaya. Inspektur Agusta Bram." Dia masih
berlindung di balik sebuah kargo tua.
326 Metropolis.indd 326 Seseorang dari kubu lawan membalas samar-samar, "Polisi.
Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya."
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke. Tahan senjata. Aku akan keluar," seru Bram lagi. Penuh
kehati-hatian, dia menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara, tangan kanan menggenggam revolver dan tangan kiri menunjukkan lencana,
untuk memberi isyarat dia mengajak berdamai. Setelah melangkah
beberapa meter, dia berdiri di ruang kosong yang terdapat di antara
dua kubu"yang diterangi bias bulan.
Beberapa orang mengikuti aksinya, termasuk lawannya. Bram
dan"barangkali"orang yang tadi membalas ucapannya bertemu
muka. Lelaki itu menunjukkan lencana yang serupa. Setelah yakin
lawannya benar-benar polisi, Bram berkata lagi"kali ini kepada
pasukannya sendiri, "Aman," kemudian semua anak buahnya keluar
dari perlindungan, sama halnya dengan lawan mereka.
"Kami di bawah komando Kasat Burhan D. Saputra," kata
pemimpin kubu lawan. "Kami di sini untuk menangkap buron bernama Johan Al."
Bram mengernyit, bingung. Tidak ditanggapinya perkataan
lawannya karena dia telanjur sibuk berkutat dengan benaknya
sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi" Johan Al membohonginya dan
sengaja mengadu domba dirinya dengan Burhan atau justru....
"Inspektur!" salah seorang anak buahnya memanggil seraya
menghampirinya dan menyodorkan radio CB. "Johan Al melarikan
diri," kata polisi itu.
327 Metropolis.indd 327 Miaa menyelinap keluar dari Penjaringan 12-6 dan berlari melintasi
tanah gersang yang memisahkan bangunan baja di belakangnya
dengan bangunan lain di kejauhan. Sepasang kakinya bergerak
cepat. Tangannya menggenggam sepucuk pistol kaliber 38 yang
se"tengah terisi. Pandangannya lurus ke depan. Napasnya memburu.
Apa yang baru saja terjadi di Penjaringan 12-6 tidak sesuai
dengan rencana mereka"atau katakan saja rencana Burhan. Selama
dua hari ini, atas perintah Burhan, sekitar satu lusin polisi berjaga
di dalam bekas pabrik cokelat itu untuk menunggu kemunculan
Johan Al. Burhan percaya Johan akan muncul setelah dipancing
dengan pesan singkat dalam secarik kertas yang Miaa tinggalkan di
Metropolis. Rencana Burhan sederhana, menangkap Johan hiduphidup atau menembak mati lelaki itu di tempat. Miaa ambil bagian
dalam rencana itu, tetapi bukan untuk ikut-ikutan menembak mati
Johan, melainkan demi memaksa lelaki itu menyerah.
Walau begitu, buron yang mereka tunggu-tunggu tidak muncul. Sebagai gantinya, mereka malah diserbu oleh sekelompok
orang bersenjata. Entah siapa orang-orang itu. Yang jelas, kedatangan orang-orang itu tidak terduga. Tahu-tahu saja adu senjata
telah pecah di bekas pabrik cokelat tersebut.
Tujuannya sudah di depan mata ketika Miaa dihentikan oleh
sebuah tembakan. Lengan kanannya terkena peluru dan pistol
dalam genggamannya terlepas, jatuh ke tanah bersama dirinya
yang terjerembap. Dia melihat seseorang mendekat ke arahnya
sambil membawa pistol kecil, berjalan tanpa terburu-buru di bawah
penerangan bulan. 328 Metropolis.indd 328 "Sayang sekali, meleset," orang itu meledeknya dengan suara
yang tidak asing. Johan. Lelaki itulah yang kini tengah berdiri tidak
jauh di hadapannya. Miaa terkesiap. Dia bergegas mengambil pistolnya sendiri
yang tergeletak di tanah, kemudian berlari memasuki bangunan di
depan mereka. Johan menembak lagi, namun kali ini lelaki itu hanya
berhasil melubangi pintu lapuk yang memisahkan mereka.
Tempat yang dimasuki oleh Miaa adalah bangunan tua dari
bata merah dan beton yang terdiri dari empat lantai. Bangunan
itu kosong serta telantar. Sebagian besar elemennya telah rusak;
semua jendela dan pintu berbahan kayu yang ada di sana sudah
lapuk, bahkan nyaris terlepas dari kusen; lantainya tidak lagi bertegel; dinding-dindingnya keropos dan dirambati tanaman liar yang
akar-akar serta sulur-sulurnya bak ingin meremas bangunan itu;
atapnya hilang setengah sehingga tampaklah langit malam yang
cerah. Yang tersisa dari bangunan itu hanyalah tiang-tiang dan
pelat-pelat beton yang kelihatannya masih kuat; tangga melingkar
berbahan sama yang menghubungkan keempat lantai; serta void"
lubang udara di dalam yang menerus dari lantai paling bawah hingga
lantai teratas"yang cukup besar di bagian depan, dekat dengan
pintu masuk dan bersebelahan dengan tangga.
Miaa menaiki tangga tersebut. Dia tidak punya pilihan
lain. Johan mengikuti di belakangnya. Sesekali dia dan lelaki itu
melakukan adu tembak yang tidak seimbang. Peluru-peluru Miaa
lebih sering salah sasaran karena dia terpaksa menembak dengan
tangan kiri. Sementara itu, Johan sengaja tidak mengenai sasarannya.
Lelaki itu mengoyak railing atau melubangi dinding di dekat Miaa,
329 Metropolis.indd 329 tetapi tidak melukai sama sekali, seolah-olah dia sekadar menakutnakuti atau sedang main-main dengan buruan.
Jalan Miaa buntu ketika dirinya telah sampai di lantai paling
atas. Dia tidak bisa lari lebih jauh lagi. Dia juga tidak punya tempat untuk bersembunyi karena lantai keempat tersebut hanyalah
sebuah ruangan luas yang kosong, yang tidak memiliki dindingdinding pembatas selain di keempat ujungnya. Satu-satunya cara
supaya tidak tertangkap hanyalah melompat ke bawah lewat void
dan itu bukan sebuah pilihan.
Kini, dia dan lelaki yang mengejarnya berdiri berhadapan, sa"
ling mengacungkan senjata dan menatap dalam ketegangan. Angin
malam menghambur masuk dari celah besar di atap, berputar-putar
di dalam bangunan, menerpanya, membuat helai-helai rambutnya
bak ingin meninggalkannya serta menyebarkan dingin yang dirasakan oleh wajah dan tengkuknya. Bunyi-bunyian yang diciptakan
bersama kayu-kayu lapuk, yakni desis dan derik, timbul samarsamar. Bias bulan yang ikut serta menyorot seperti senter raksasa,
menerangi sosok lawan di hadapannya dengan cukup jelas.
Lawannya berkata dengan nada mencemooh, "Aku datang
karena mendapat pesan darimu. Kenapa kau malah lari?"
Miaa membalas, "Kau baru saja melakukan kesalahan. Tadinya
polisi bermaksud memberimu kesempatan untuk menyerahkan diri.
Sekarang mereka menginginkan kepalamu."
Johan mencibir. "Aku memang sering melakukan kesalahan.
Memercayaimu, salah satunya," ucap lelaki itu kemudian.
"Aku cuma melakukan tugas."
"Oh ya, tentu saja. Lalu, apa tugasmu malam ini" Mendapatkan
kepalaku?" 330 Metropolis.indd 330 Miaa menelan ludah. Dia berkata, "Jangan memancingku,
Johan. Kau tahu aku akan menarik pelatuk jika dibutuhkan."
Johan menjawab, "Aku tahu." Lalu, lelaki itu menembakkan
pistolnya. Miaa melakukan hal yang sama, namun lagi-lagi tembakannya meleset. Sebaliknya, peluru yang dilepaskan oleh Johan telak
melukai tangan kiri Miaa, sehingga pistol perempuan itu kembali
terlepas dan dia merintih kesakitan di luar kesadaran sambil berlutut di lantai.
Dia dihampiri oleh Johan. Lengannya dicengkeram oleh lelaki
itu dan dia dipaksa bangkit berdiri. Lelaki itu membawanya bertukar pandangan sekali lagi. Kali ini wajah mereka berdekatan, bibir
mereka nyaris bersentuhan.
Johan tampak frustrasi. "Kenapa sulit sekali membunuhmu?"
bisik lelaki itu penuh emosi.
Miaa mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Dia menjawab, "Karena kau melibatkan perasaanmu."
Tawa Johan pecah mengisi ruangan, terdengar hambar, lantas
lelaki itu berkata, "Kita akan selesaikan masalah ini nanti. Sekarang
aku ingin kau membawaku menemui teman polisimu."
Miaa tidak perlu repot-repot menuruti permintaan Johan.
Orang yang mereka bicarakan menampakkan diri di tempat itu
tanpa diduga-duga. Dia mendengar suara langkah-langkah kaki
yang berat menapaki anak tangga. Bunyi itu samar pada awalnya,
tetapi lambat laun berubah menjadi jelas. Setelah itu, dia melihat
Burhan muncul dari tangga melingkar yang hampir tidak tampak
karena tertutup bayangan atap. Polisi bertubuh gempal itu mem331
Metropolis.indd 331 bawa revolver yang diarahkan kepada lawan mereka dan dia siap
menggunakan senjata tersebut.
"Kau mencariku, Nak?" sapa polisi itu.
Raut muka Johan langsung berubah tegang. Johan menahan
napas sesaat ketika mengetahui kehadiran seseorang di belakangnya, namun lelaki itu tidak berbalik maupun menoleh untuk melihat
siapa yang datang. Dia hanya tersenyum dingin, lalu meledek orang
yang baru muncul itu, "Kukira kau tidak berani keluar."
"Buang senjatamu, menjauh dari perempuan itu, lalu angkat
kedua tanganmu tinggi-tinggi," kata Burhan.
Johan tertawa geli mendengar itu. "Aneh. Kenapa bicaramu
seperti polisi?" Burhan mengulangi, "Buang senjatamu atau aku akan menembak." Kali ini suara polisi itu lebih lantang, sehingga keadaan
di dalam bangunan tua itu semakin menegangkan.
Miaa merasakan detak jantungnya menghebat dan keringat
dingin membasahi telapak tangannya. Dia tahu Burhan tidak mainmain dengan perkataan barusan. Dia juga tahu Johan terlalu keras
kepala untuk menyerah. Dia bisa membayangkan apa yang akan
terjadi selanjutnya, namun dia tidak ingin itu merupa kenyataan.
Maka, ditatapnya mata Johan lekat-lekat. Dibisikkannya sesuatu
kepada lelaki itu. "Kumohon, jangan berbuat bodoh. Kau tidak harus mati di
sini." Johan tertegun karena ucapan Miaa. Dia membalas tatapan
perempuan di hadapannya, menciptakan diam yang singkat di
antara mereka, lalu mengakhiri situasi emosional itu dengan kata332
Metropolis.indd 332 kata yang membuat Miaa merasa sesak. "Jangan pernah melibatkan
perasaanmu dengan lawan, Saada," lelaki itu balas berbisik.
Apa yang Miaa khawatirkan pun tak terelakkan. Johan berbalik
sembari mengarahkan pistolnya yang kecil kepada Burhan. Akan
tetapi, lelaki itu tidak sempat menarik pelatuk karena Burhan jauh
lebih siap. Dia dihentikan dengan sebuah tembakan di dada dan
roboh seketika. Miaa mengumpat seraya menghampiri Johan yang kini
tergeletak lemah di lantai. Dia bersimpuh di dekat tubuh lelaki itu.
Lelaki itu bersimbah darah, namun masih hidup, beruntung karena
tembakan Burhan tidak mengenai jantung. "Kenapa kau tidak
mendengarkanku?" hardik Miaa. Suaranya gemetar.
Johan tertawa dengan susah payah di sela-sela erangannya.
"Untuk... untuk yang terakhir...," dia meracau dengan terbata-bata,
"aku berani...."
"Jangan bicara," Miaa menyela. Dia menekan dada Johan
dengan kedua tangannya, mencoba menghentikan pendarahan.
Sembari melakukan itu, dia beralih kepada Burhan dan berkata
dengan panik, "Dia masih hidup! Tolong panggil ambulans, Pak!"
"Dia tidak akan memanggil ambulans," Johan menimpalinya.
"Kau... tidak tahu" Dia... Blur."
Miaa membeku. Dia terbelalak dan ternganga. Ditatapnya Burhan untuk meminta penjelasan, tetapi yang dia dapatkan adalah sejurus tatapan
dingin serta todongan senjata. Burhan menarik pelatuk, kemudian
pandangan Miaa terhalang oleh bidang putih"tubuh Johan dalam balutan kemeja. Dia mendengar tiga tembakan dilepaskan
333 Metropolis.indd 333 beruntun. Sejurus setelah itu, tubuh Johan limbung ke samping,
melanggar railing kayu lapuk yang membatasi tepi lantai, dan
terlempar ke void. Miaa bergegas menganjurkan dirinya ke bibir lantai. Dia bertelungkup dan mengulurkan tangannya untuk menggapai Johan.
Dia berhasil membuat jari-jari mereka bertautan, namun hanya
beberapa detik saja dia sanggup menahan tubuh Johan. Dalam
waktu yang singkat itu, Johan menatapnya untuk terakhir kali,
memberinya senyum getir, lalu terjatuh dan terhempas keras di
lantai terbawah. Teriakan histeris Miaa menggema di seluruh penjuru bangunan,
disusul oleh suara tangisan yang keluar tanpa kendali. Miaa tidak
bisa berbuat apa-apa ketika Burhan menempelkan mulut revolver ke
kepalanya. Kala itu, kendali dirinya belum kembali, matanya masih
terpaku pada tubuh Johan yang terbaring kaku bersama kubangan
darah di bawah sana. Burhan mengucapkan selamat tinggal kepadanya, kemudian sebuah tembakan lain dilepaskan.
Bram mendengar dengan cukup jelas ketika Johan membeberkan kebenaran di dalam bangunan tua di dekat Penjaringan 126"bahwa Burhan, atasan curutnya, adalah Blur. Kala itu, Bram
baru saja memasuki bangunan empat lantai yang tampak rapuh
itu. Dia bergegas menaiki tangga melingkar di dekat pintu begitu
men"dengar letusan-letusan senjata yang disusul suara Johan. Dia
melihat tubuh Johan terlempar ke void. Lelaki itu sempat bergelantungan di bibir lantai, Miaa yang memegangi tangan lelaki itu,
namun tidak untuk waktu yang lama. Johan jatuh, lalu teriakan Miaa
memenuhi setiap sudut. 334 Metropolis.indd 334 Langkah-langkah Bram bertambah cepat. Di atas sana, Burhan
bermaksud menghabisi Miaa juga, maka Bram melakukan apa
yang harus dia lakukan. Dia melepaskan tembakan ke arah Burhan.
Meleset. Burhan menyadari serangan itu tepat pada waktunya dan
menghindar dengan sigap, tetapi setidaknya tembakan Bram berhasil menjauhkan polisi curut itu dari Miaa yang tengah membeku
bak kehilangan jiwa. "Miaa! Kau baik-baik saja?" Bram berseru lantang kepada
perempuan itu. Dia terus menembakkan revolvernya untuk memaksa Burhan mundur dan menjaga jarak dari Miaa.
Perempuan itu tersadar, kemudian langsung bergerak cepat
untuk menghampirinya. Pada saat bersamaan, Burhan lari bersembunyi ke arah yang berlawanan, ke dalam kegelapan di salah satu
sudut ruangan. Langkah berat dan tergopoh-gopoh milik polisi
curut itu berdebum di pelat lantai beton. Bram sendiri saat itu sudah
tiba di lantai paling atas. Dia dan Miaa merunduk di ujung tangga,
sehingga posisi kepala mereka lebih rendah daripada permukaan
lantai. Dengan begitu, mereka aman dari serangan Burhan.
"Jadi, curut itu adalah Blur?" Bram bertanya kepada Miaa sembari mengisi ulang revolvernya. Dia dan Burhan sama-sama sedang
menghentikan adu tembak mereka, sehingga kegaduhan di dalam
bangunan mereda untuk sejenak.
Miaa mengangguk, tetapi tidak berkata apa-apa. Tubuh
perempuan itu gemetar. Barangkali dia masih emosi karena apa
yang menimpa Johan Al. "Bagus," ujar Bram bernada senang. Sejak lama, dia ingin
menghabisi Burhan, seluruh dunia pun tahu, dan syukurlah kini dia
mendapat kesempatan untuk melakukan itu.
335 Metropolis.indd 335 "Bram," Burhan memanggilnya dari kejauhan. "Apa yang kau
lakukan, Bram" Aku menjatuhkan pelaku pembunuhan yang kau
cari-cari. Seharusnya kau berterima kasih."
Bram mencibir. "Ya, aku berterima kasih untuk yang satu itu,"
jawabnya. "Tapi bukan berarti masalah kita selesai."
"Kita bisa menyelesaikan ini baik-baik, Bram."
"Bagaimana?" Burhan terkekeh. "Kau bukan anak kemarin sore. Kau tahu
cara kami"cara kita."
"Lalu, Erik?" Ada jeda beberapa detik sebelum Burhan menjawab per"
tanyaan terakhir itu. Burhan sengaja memperdengarkan desahan
napas yang berat kepada Bram, menunjukkan penyesalan yang
kentara betul dibuat-buat, kemudian polisi curut itu berkata, "Mau
bagaimana lagi, Bram" Harus ada yang dikorbankan dalam urusan
semacam ini." Cukup! Habis sudah kesabaran Bram. Dia keluar dari persembunyiannya. Dilemparnya geretan yang kerap dia bawa-bawa
bersama sebungkus rokok dalam saku jaketnya ke kegelapan di
sudut sana"tempat Burhan berlindung. Api yang memancar dari
benda mungil itu menerangi ruangan secara sekilas, memperlihatkan posisi Burhan kepadanya, dan Bram tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Dia menembak beberapa kali. Burhan terkena dan terhuyung
ke tepi lantai karena itu. Seperti Johan Al, polisi gempal itu menabrak railing, lalu terlempar ke void. Beruntung, salah satu tangan
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
polisi itu berhasil mencengkeram bibir pelat sehingga dia tidak
terjatuh dan"sebagai gantinya"dia bergelantungan di sana.
336 Metropolis.indd 336 Bram menghampiri polisi itu, langkahnya tidak terburu-buru.
Dia berdiri di hadapan Burhan seraya memandangi atasannya
yang curut dengan tatapan dingin. Dia tidak berniat memberikan
pertolongan. Suasana berubah senyap untuk sesaat. Derik kayu rangka atap
terdengar ketika udara malam bergerak kencang. Debu-debu yang
menyelimuti permukaan lantai tersibak, lalu beterbangan bersama
daun-daun kering yang dibawa masuk oleh angin. Awan-awan
menyingkir dari langit di luar sana, sehingga ruangan di dalam ba"
ngunan bertambah terang dan ekspresi panik Burhan dapat terlihat
dengan jelas"sejelas suara napasnya yang tersengal-sengal.
"Ba... bantu aku," kata Burhan yang kini tampak menyedihkan.
"Aku menyerah."
Bram menanggapi dengan datar, "Kau mengaku kalah?"
"Ya. Silakan tangkap dan masukkan aku ke penjara." Burhan
menatap penuh permohohan kepada Bram. "Ulurkan tanganmu,
Bram." Tetapi Bram tetap bergeming. Sepasang matanya tidak lepas
memandangi Burhan yang berulang kali mencoba menggapai
kakinya untuk mendapatkan pegangan. Polisi curut itu selalu gagal
dan"harus diakui"Bram menikmati pemandangan itu. Dia melihat
Burhan mulai frustrasi. Air muka Burhan tidak keruan, antara takut
dan marah karena bantuan tidak juga diberikan. Sambil mengerang,
polisi curut itu meneriakkan permohonan sekali lagi, "Keparat!
Ulurkan tanganmu, Inspektur!"
Bram tersenyum masam. Curut, makinya. Dia memijakkan
salah satu kakinya di atas jari-jari Burhan yang tengah berjuang
337 Metropolis.indd 337 mati-matian. Mereka saling bertukar pandangan. "Ini untuk Erik,"
ucapnya. Lalu, dia meremas jari-jari di bawah telapak kakinya dan
membiarkan Burhan menyusul Johan Al ke bawah sana.
338 Metropolis.indd 338 25. Sebagian Bukti Datang Terlambat, Sebagian Lainnya Tidak Muncul Sama Sekali ukti-bukti selalu datang terlambat. Itu yang dipercayai oleh
Bram dan memang benar demikian. Hanya selang satu hari se"
telah malam berdarah di Penjaringan, Bram mendapat laporan dari
tim forensik yang bercerita tentang riwayat Blur"lelaki berwajah
lonjong yang mati dikarenakan 100 cc air. Lelaki itu asli kelahiran
Yogyakarta, besar di kota itu, dan tidak beranjak dari sana sampai
pertengahan tahun 2000. Pada tahun yang disebutkan itu, Blur
mendapat kunjungan dari seorang kenalan lama"orang Jakarta"
dan diberi tawaran bisnis. Dia menyanggupi ajakan temannya, lalu
meninggalkan kota kelahirannya dan menetap di ibu kota.
Bisnis yang dijalani oleh Blur di Jakarta adalah sederet toko
bahan bangunan yang berada di daerah Kota. Dia memasarkan
berbagai macam keramik lantai dan dinding, kloset, wastafel,
339 Metropolis.indd 339 keran, lampu, engsel, cat, dan semacamnya. Dia menyediakan
jasa pembuatan serta pemasangan bilik kaca untuk mandi. Dia
juga melayani orang-orang yang ingin menghias rumah mereka
dengan wallpaper. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu, Blur
membantu kenalan lamanya bermain sandiwara. Dalam sejumlah
pertemuan bisnis yang diadakan oleh sebuah sindikat pengedar
narkotika, dia memainkan peranan sebagai seorang bos mafia
yang menjadi pemimpin perhimpunan tersebut, yang kerap dikenal sebagai penguasa wilayah 6. Beberapa orang tahu dia hanya
berpura-pura, tetapi kebanyakan orang tidak tahu.
Begitu Bram menerima fakta itu, dia mengerti dengan sejelasjelasnya kenapa Blur dibunuh oleh dua orang pada dua waktu yang
berbeda. Lelaki itu dihabisi pertama kali oleh kenalan lamanya,
orang Jakarta yang mengajaknya berbisnis dan bersandiwara;
kemudian dijadikan umpan untuk memancing seorang pembunuh
berdarah Tionghoa yang belakangan baru diketahui namanya,
yakni Dune; tepat seperti apa yang pernah diduga oleh Bram; dan
tidak ada yang merasa dirugikan dengan kematian itu, kecuali satu
orang: Blur sendiri. Bukti lainnya yang juga muncul belakangan adalah keterangan
mengenai rumah tua di Jakarta Pusat di mana jasad Blur ditemukan.
TKP yang disebut oleh Erik sebagai tempat mati yang sempurna
itu ternyata merupakan salah satu properti lama milik Polda Metro
Jaya, bekas rumah dinas yang dahulu kerap digunakan oleh perwiraperwira menengah kepolisian. Hunian itu sudah lama tidak dipergunakan, sehingga keberadaannya terlupakan serta kepemilikannya
tidak dapat diketahui begitu saja.
340 Metropolis.indd 340 Dugaan Bram, Blur bukanlah nama asli lelakiYogyakarta tersebut. Dia menyandang nama itu setelah kepindahannya ke Jakarta.
Sebelumnya, nama itu dimiliki oleh lelaki lain, seorang perwira
menengah kepolisian yang bertugas di Polda Metro Jaya, Burhan
D. Saputra"penguasa wilayah 6 yang sesungguhnya. Bram tidak
tahu bagaimana dan kapan polisi curut itu mulai terlibat dengan
narkotika, bisnis ilegal, serta Sindikat 12. Dia tidak pula bisa memastikan apa Burhan sesungguhnya, polisi yang rusak karena terlalu
lama berurusan dengan narkotika atau bos mafia yang menyusup
ke badan kepolisian. Yang jelas, posisi curut itu di Polda Metro Jaya
telah memberi Sindikat 12 banyak keuntungan.
Berada di jantung lawan, Burhan menyebabkan Sindikat
12 tidak tersentuh oleh hukum selama ini. Dia memanfaatkan
kedudukannya dengan cerdik; menutup mata terhadap pergerakan
beberapa anggota penting sindikatnya sambil sesekali berpurapura menjalankan tugas polisinya dengan baik, yakni menangkap
curut-curut dunia gelap yang tidak terlalu signifikan keberadaannya;
sehingga dia tidak dicurigai dan kariernya di kepolisian bisa terus
menanjak. Ketika pangkatnya semakin tinggi, posisinya di kedua
belah pihak menjadi teramat penting. Gerak-geriknya tidak lagi bisa
sebebas sebelumnya, maka dia mulai mengurangi kemunculannya
di dunia gelap dengan cara menciptakan boneka.
Dunia Burhan berputar sempurna selama hampir satu dekade,
sampai satu waktu para pemimpin sindikat miliknya terbunuh satu
demi satu dalam waktu yang berdekatan. Bram tidak bisa memastikan kapan tepatnya Burhan menyadari keterlibatan pihak luar
dalam masalah tersebut, namun dia menduga bahwa kematian Leo
341 Metropolis.indd 341 Saada merupakan titik tolak di mana Burhan mengambil keputusan
untuk bertindak. Burhan harus bergerak cepat, tentu saja, karena
dia adu langkah dengan polisi dan"seperti yang pernah dikatakan
oleh Blur di Penjaringan dulu"dia lebih suka mengirim Johan Al
bertemu Leo ketimbang membiarkan buronan mereka itu masuk
ke sel milik Polda Metro Jaya.
Sebagai yang terkuat dari dua belas, Burhan punya banyak
akses untuk melacak Johan Al, namun Miaa Saada adalah kartu
terbaik yang dia miliki karena sejumlah alasan. Pertama, Miaa
bekas polisi dan pernah menjadi anak buahnya di Dit Reskrimsus.
Kedua, polisi yang selama hampir satu dekade memerangi organi"
sasi kejahatan tidak akan begitu saja menerima kenyataan bahwa
dirinya bagian dari konspirasi, sehingga Miaa punya kebutuhan
untuk membuktikan kredibilitas dirinya sendiri. Ketiga, Miaa punya
tanggungan, yakni ibunya. Dan keempat, Miaa merupakan jawaban
atas masalah yang timbul karena kematian Leo, yakni menurunnya
bisnis Geng Saada lantaran penerus Leo"Ferry Saada" tidak becus
mengurus geng. Maka, Burhan menemui Miaa dan mengajak perempuan itu
terlibat. Bram tidak tahu apa dalih yang digunakan oleh polisi
curut itu untuk meyakinkan Miaa dan apa pula iming-iming yang
dia berikan. Barangkali Burhan berkata bahwa kepolisian membutuhkan tim kedua yang tidak diketahui keberadaannya oleh lawan.
Barangkali juga dia menawarkan penghapusan riwayat buruk
sebagai imbalan. Namun apa pun penyebabnya, Miaa terpancing
untuk masuk ke dalam rencana Burhan, menjadi salah satu pion kuat
Sindikat 12 tanpa mengetahui skenario apa yang sesungguhnya
tengah dia jalani. 342 Metropolis.indd 342 Yang kemudian terjadi di luar harapan Burhan adalah tindakan
kekanak-kanakan Ferry Saada di Rawamangun. Gara-gara perbuatan anak Leo itu, Burhan kehilangan kendali. Kartu terbaiknya
menghilang begitu saja, tanpa jejak. Dia mengamankan ibu Miaa
untuk mencegah timbulnya kekacauan yang lebih besar. Tetapi tidak
seperti apa yang dipikirkan oleh Bram, ibu Miaa tidak pernah dibawa
pergi dari pusat rehabilitasi jiwa di Cibubur. Perempuan malang itu
hanya berpindah kamar dan seluruh pekerja fasilitas bersekongkol
untuk menutupi hal tersebut.
Kendati banyak informasi mendukung hipotesis Bram di atas,
toh kepolisian tidak lantas mau menerima kenyataan bahwa salah
satu kepala kesatuan mereka terlibat dengan sindikat pengedar
narkotika. Bram tidak mengeluh. Dia sadar kartu-kartu di tangannya
tidak cukup kuat untuk menggiring Burhan masuk ke sel. Memang
benar Burhan adalah frank_sinatra13 (atau elvis_presley13, terserah
saja), tetapi itu tidak menjadikan dia sebagai penguasa wilayah
6. Kesaksian Johan bahwa elvis_presley13 merupakan penguasa
wilayah 6 juga tidak bisa dianggap valid karena keberadaan Ju"
orang yang dijadikan sumber informasi oleh Johan"tidak nyata
bagi kepolisian. Suka atau tidak, kenyataannya, ada sejumlah rantai yang hilang dan tidak ditemukan hingga saat ini. Itulah sebabnya kenapa
Bram memilih menghabisi Burhan di tempat pada malam berdarah
di Penjaringan ketimbang menyeret dia ke pengadilan. Sebagian
bukti memang datang terlambat, tetapi sebagian lainnya tidak
muncul sama sekali. 343 Metropolis.indd 343 Perihal Aretha tidak jauh berbeda. Belakangan Bram tahu
bahwa Aretha merupakan salah seorang pendana utama yang
membantu pemasokan STI571. Bram juga melakukan tes DNA
untuk menghubung-hubungkan darah kering yang dia temukan
di rambut Aretha dengan Johan Al. Tetapi lantas apa" Berbuat
dermawan terhadap penderita kanker darah kronik tidak dikenai
sanksi oleh negara. Hasil tes DNA itu pun hanya sanggup menahan
Aretha selama dua jam di ruang interogasi. Apalagi, Johan Al sendiri
menyangkal keterlibatan perempuan itu, entah kenapa.
Maka, kasus yang membuat Bram senewen selama satu tahun
itu berakhir begitu saja. Aretha dilepaskan dan setelah itu menjadi
semakin sulit disentuh. Miaa dinyatakan tidak bersalah setelah
menjalani masa interogasi yang sangat panjang. Keterlibatan
perempuan itu ditanggung sepenuhnya oleh Burhan. Perempuan
itu sempat mengaku membunuh Ferry Saada, tetapi Bram purapura tidak mendengar. Atas nama kemanusiaan, Bram menghapus
catatan interogasi yang menyangkut hal tersebut. Siapa yang akan
merawat perempuan malang di Cibubur jika Miaa masuk penjara"
Sementara itu, Indira terbukti bersih, kendati perempuan malaikat
itu mencintai lelaki yang salah.
"Kudengar kau banyak menganggur sekarang gara-gara
Sindikat 12 sudah habis."
Pada suatu pagi di Jalan Bulungan, Bram melakukan obrolan
itu dengan Moris. Mereka duduk bersama di dalam warung bubur
ayam langganan mereka. Moris menghabiskan dua mangkuk bubur
setelah berlari sejauh beberapa kilo, sementara Bram cukup me"
rokok dua batang untuk mengusir kelelahannya.
344 Metropolis.indd 344 "Begitulah. Makanya, aku bisa menemanimu pagi ini," dia
menjawab. Moris terkekeh. "Bagaimana dengan perempuan yang bernama Aretha itu?"
Bram mengisap rokoknya, lalu melepaskan asap beraroma
tembakau. "Oh, ya, perempuan itu. Dia pekerjaanku sekarang, tapi
perempuan itu licin. Lebih licin dari Blur."
"Sabar saja, Anak Muda," kata Moris. "Kalau sudah waktunya, kau akan mendapatkan perempuan itu. Bukti selalu datang
terlambat." Bram tersenyum sinis. Dia menimpali bekas atasannya sambil
mematikan rokok, "Sebagian bukti datang terlambat, Moris. Sebagian lainnya tidak muncul sama sekali."
Miaa berdiri di tengah sebuah lahan luas berumput yang berada
sedikit di luar Jakarta, di antara kumpulan perdu dan flamboyan
yang tengah berbunga. Langit di atasnya lembayung, mengantar
kepergian matahari dengan sedu. Sementara itu, udara di sekitarnya
bergerak perlahan, mengusik daun-daun serta menimbulkan bisik
yang terdengar samar-samar. Saat ini, dia tengah menghadapi
sebuah makam yang masih baru. Nisan yang tertanam di makam
itu terbuat dari batu putih berbintik abu-abu, berbentuk kotak pipih,
dan berukir sebuah nama. Johan. Dia menyebut nama itu dalam hati, kemudian merasa sesak.
Sosok Johan yang bersimbah darah"serta ekspresi getir yang
lelaki itu perlihatkan di saat-saat terakhir melalui sorot mata dan
345 Metropolis.indd 345 senyumannya"masih membayangi pikiran Miaa, menumbuhkan
penyesalan yang semakin lama terasa semakin dalam. Gambarangambaran itu hadir mengisi ruang-ruang lengang dalam benaknya,
mengusiknya tanpa henti dan tanpa belas kasihan. Dia tidak tahu
bagaimana cara menyingkirkan itu dari malam-malamnya yang kini
selalu diliputi kegelisahan. Bahkan, dia tidak mengerti bagaimana
itu bisa merasuki dirinya hingga seperti ini.
Dia hanya tahu"kalau saja waktu bisa berputar kembali ke
malam nahas itu"dia tidak akan membiarkan Johan berdiri di
hadapannya untuk menerima peluru.
Ah. Miaa menghela napasnya dengan berat seraya berpaling
dari nisan di depannya. Dia berbalik, lalu beranjak dari tempatnya
berdiri. Baru beberapa kaki melangkah, dia melihat seseorang
memasuki lahan berumput di mana dia berada, muncul dari balik
batang-batang flamboyan yang tidak teratur.
Indira. Perempuan itu mendekat ke arah Miaa, atau lebih tepatnya ke arah makam Johan, membawa satu buket mawar putih
dan lili dalam keranjang rotan mungil yang dia dekap dengan dua
tangan. Mereka bertemu muka dan saling melempar senyum.
Senyum Indira hangat serta menawan, sementara senyum yang
diberikan oleh Miaa simpul"lagi masam.
"Kau adalah Miaa, "kan?" Indira menyapa lebih dahulu.
Miaa mengiyakan dengan anggukan. Dia batal pergi. Diamdiam, dia memperhatikan Indira bersimpuh di tanah dan membersihkan makam Johan dari daun-daun kering. Dia juga menunggui
perempuan itu berdoa dalam senyap. Buket yang perempuan itu
bawa diletakkan di dekat nisan, serasi dengan warna batu pipih
346 Metropolis.indd 346 tersebut, dan menebarkan aroma lembut yang berbeda dengan
tanaman-tanaman di sekitarnya.
Setelah beberapa waktu, udara berubah dingin. Langit
mulai gelap dan lampu-lampu jalan yang berbaris mengelilingi
permakaman telah menyala. Indira bangkit berdiri begitu selesai
berdoa. Ketika perempuan itu hendak pergi dan mereka berpapasan
sekali lagi, Miaa membuka omongan.
"Bisa kita bicara sebentar" Ada yang perlu kau ketahui,"
ucapnya.
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Indira tidak menolak. Perempuan itu diam di tempat seraya
menyimak. Miaa menatap mata perempuan itu lekat-lekat. Dia berkata,
"Johan adalah kakakmu."
Namun, lawan bicaranya tidak bereaksi seperti yang dia harapkan. Indira tidak terkejut, tidak pula bingung. Dengan tenang,
perempuan itu membalas perkataannya, "Aku tahu."
Dan, malah Miaa yang membelalakkan kedua mata serta mendadak menjadi gagap. "Kau... sejak kapan?" tanyanya.
"Sejak lama. Aku tidak mungkin melupakan wajah kakakku
sendiri walau kami terpisah belasan tahun dan aku sempat mengira
dia telah meninggal. Selama ini aku diam saja karena Johan juga
tidak bicara apa-apa."
"Dia tidak ingin kau tahu."
"Aku mengerti, tapi rasanya tidak adil. Dia seorang diri menanggung beban keluarga kami."
Kalimat terakhir Indira, yang diucapkan dengan lirih dan
bernada sedih, membuat Miaa kembali merasa sesak. Dia merun347
Metropolis.indd 347 dukkan wajahnya, mendadak tidak berani menatap mata Indira.
Masih ada satu hal lagi yang harus dia beritahukan kepada Indira
dan untuk itu Miaa harus mengumpulkan seluruh keberaniannya
yang mendadak lari, sembunyi entah ke mana.
Dia menarik napas dengan tegang, lantas ujarnya, "Aku yang
menyebabkan Johan meninggal malam itu. Dia melindungiku dari
peluru." Hening setelah itu. Entah bagaimana ekspresi di wajah Indira saat ini, Miaa tidak
berani mencari tahu. Wajahnya sendiri masih tertunduk, bahkan
tenggelam semakin dalam. Dia hanya bisa menunggu reaksi Indira.
Detak jantungnya melaju dan keringat dingin mulai membasahi
telapak tangannya yang kini mengepal erat.
"Terima kasih," Indira mengucapkan itu tidak lama kemudian.
"Aku bertanya kepada Agusta Bram, apa yang terjadi malam itu dan
bagaimana Johan meninggal, tapi dia diam seolah-olah aku terlalu
rapuh untuk tahu." Miaa mengangkat wajahnya kembali, menatap Indira yang
juga tengah memandangnya. "Maaf," pintanya.
Indira tersenyum. "Kita sama-sama kehilangan. Untuk itu, tidak
ada yang perlu dimaafkan."
Pembicaraan mereka pun berakhir. Indira meninggalkan pemakaman lebih dahulu. Sebelum berlalu, perempuan itu sempat
bertanya kepadanya, "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
Miaa tidak punya jawaban. Ditanyakannya hal yang sama
kepada Indira. Indira berkata, "Aku seorang Al, Miaa."
348 Metropolis.indd 348 Lalu, perempuan itu pergi bersama seseorang yang menanti di
pinggir pemakaman, seorang perempuan juga"yang dahulu kerap
mendampingi Johan ke mana pun. Dan, sadarlah Miaa. Indira bukan
lagi orang yang salah di tempat yang salah.
349 Metropolis.indd 349 Tentang Penulis WINDRY RAMADHINA lahir dan tinggal di Jakarta;
berprofesi sebagai arsitek; senang menonton filmfilm bertema konspirasi dan membaca buku-buku
langka pada waktu luang; pencinta tokoh-tokoh
antagonis. Dia menulis fiksi sejak 2007; pernah mengikuti Bengkel Penulisan Novel DKJ dan dua kali dinominasikan dalam Khatulistiwa
Literary Award. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Orange (2008), Memori
(2012), Montase (2012), dan London (2013). Metropolis adalah bukunya yang kedua, pertama kali diterbitkan pada 2009.
Windry bisa dihubungi lewat email windry.ramadhina@yahoo.
com, Twitter @windryramadhina, atau blog www.windryramadhina.
com. 350 Metropolis.indd 350 Metropolis.indd 351 Metropolis.indd 352 Metropolis.indd 353 Metropolis.indd 354 Metropolis.indd 1 "Anak Muda, ini cuma perseteruan yang biasa terjadi
antarmafia narkotika. Kau perhatikan harga shabu belakangan
ini" Melangit! Ini bisnis, Bram. Mereka menyingkirkan pesaing
untuk menaikkan harga."
Itu yang dikatakan oleh Moris ketika tujuh orang dari dua belas bos mafia
narkotika di Jakarta terbunuh satu per satu. Barangkali Moris benar. Tapi,
jumlah tersebut terlalu besar bagi Bram maka ia mulai menduga bahwa
kasus yang sedang ia tangani tidak sesederhana yang Moris pikirkan.
Melalui salah satu penyelidikannya, Bram"reserse brilian dari Sat
Narkotika"menyadari keterlibatan Miaa"perempuan misterius yang
kelihatannya melakukan penyelidikan sendiri"dalam kasus tersebut.
Belakangan Bram tahu bahwa Miaa adalah mantan polisi yang
diberhentikan karena memiliki hubungan darah dengan keluarga Saada,
salah satu mafia narkotika yang baru kehilangan pemimpin. Secara
terpisah, mereka menemukan bukti-bukti yang mengarahkan mereka
kepada pelaku di balik kematian bos-bos mafia tersebut. Mereka mengenal
orang itu dengan nama Johan, tetapi dia tidak tersentuh.
Permasalahan menjadi rumit ketika keluarga Saada mengetahui latar
belakang Miaa dan bermaksud menghapus keberadaan perempuan itu.
Situasi yang membahayakan jiwanya memaksa Miaa membuat
kesepakatan dengan Johan dan situasi itu pula yang memicu cinta tumbuh
di antara dua orang yang saling bermusuhan. Sementara itu, dewi
keberuntungan tidak selalu berpihak kepada Johan dan dia mulai
mengalami kegagalan ketika harus berhadapan dengan orang terkuat dari
dua belas, Blur, yang identitasnya tidak diketahui selama dua puluh tahun.
Apakah Bram akan berhasil memecahkan kasus tersebut" Bagaimana dia
memposisikan dirinya di tengah-tengah perseteruan antarmafia
narkotika" Lalu, siapa sebenarnya Johan" Apa alasan di balik
perbuatannya" Dan, kepada siapa akhirnya Miaa berpihak"
Bara Diatas Singgasana 9 Pengemis Binal 24 Penyesalan Ratu Siluman Si Dungu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama