Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Bagian 1
" . 176. Bidadari Penakluk ~ Bag. 1-3
6. M?rz 2015 um 00:22
1 Gerimis turun perlahan di pagi buta ini tatkala satu sosok pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung tiba di tapal batas kota. Kota Kanten. Begitu nama tempat yang terbaca pada tugu kecil yang menjadi batas wilayah ini. Dari tempat ini bila memandang ke timur laut, terlihat Gunung Wilis dan Gunung Liman berdiri berjajar. Begitu angker dan megahnya.
Untuk sesaat pemuda tampan ini celingukan ke sana kemari. Di depan mata terhampar persawahan yang mulai menguning. Sekitar sebulan lagi, mungkin telah siap dipanen. Tidak ada pepohonan besar untuk berteduh. Namun nun jauh di sebelah kiri jalan yang tengah ditapakinya, terlihat sebuah pondok kecil. Mungkin tempat petani beristirahat, setelah menyawah seharian.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita ke sana!" ujar pemuda itu seraya memacu kudanya kembali menuju pondok kecil yang dilihatnya.
Kuda yang dipanggil Dewa Bayu ini meringkik kecil, lalu berlari kencang. Begitu cepat larinya, hingga dalam waktu singkat mereka tiba di sana. Pemuda berbaju rompi putih itu yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini buru-buru melompat dari kudanya. Lalu ditambatkannya Dewa Bayu pada sebatang pohon yang cukup untuk berteduh.
Tapi baru saja Rangga hendak menyeka beberapa butir air hujan yang sempat membasahi wajah dan kedua tangan, mendadak perhatiannya tertuju pada seseorang yang tertidur pulas di sudut gubuk. Seorang wanita berpakaian gembel dan dekil. Caping bambu tergeletak di dekatnya. Tidurnya kelihatan pulas sekali. Dengan sekali lirik, bisa diduga kalau wanita itu berusia sekurang-kurangnya dua puluh tahun.
"Maaf, aku kehujanan dan tidak ada tempat berteduh. Bolehkah menumpang di gubukmu ini?" sapa Rangga pelan, kalau-kalau gadis itu belum pulas betul.
Entah karena hujan yang mulai turun deras dan angin kencang bertiup, sehingga suaranya tidak terdengar gadis itu. Atau mungkin juga gadis itu tidur terlalu pulas.
"Mungkin dia kelelahan...," gumam Pendekar Rajawali Sakti menyerah.
Rangga lantas melangkah, lalu duduk di tepi gubuk dengan sikap membelakangi. Dan sebenarnya hatinya tidak enak hanya berdua dalam gubuk ini bersama seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada yang melihat, apa kata mereka nanti" Tapi hujan deras ini menghalanginya untuk buru-buru pergi.
Sesekali Rangga melirik gadis itu. Namun tidak juga terlihat perubahan sikapnya. Dugaannya kuat kalau gadis ini masih terlelap. Dalam suasana seperti ini dan tubuh penat, tidur memang menjadi istirahat yang nikmat sekali. Dan baru saja Rangga hendak bangkit berdiri, mendadak hidungnya mencium bau harum kembang tujuh rupa.
"Hm.... Mengapa di sini jadi bau harum kembang?" Dan... Pendekar Rajawali Sakti menatap sayu pada sosok gadis yang tidur pulas tadi. Namun herannya, kini pakaian gadis itu telah berganti dengan kain panjang yang melilit tubuh sintalnya. Wajahnya tampak begitu cantik dengan senyum menghias bibirnya yang merah merekah. Rambutnya tampak basah, membangkitkan gairah. Tampangnya yang semula dekil, lenyap entah ke mana.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dengan wajah masih terkesima. Dan perlahan-lahan dengan seenaknya, gadis itu berbaring miring di sebelah Rangga. Sehingga napasnya terasa betul menyapu wajah pemuda ini.
"Apakah itu perlu?"
Baru kali ini terdengar suara gadis itu. Pelan, namun agak berat.
"Aku tidak mengerti," desah Rangga.
"Kau akan mengerti sebentar lagi, Sayang," ucap gadis itu lembut.
Perlahan-lahan gadis itu beringsut, turun dari dipan bambu. Begitu berdiri, dibukanya kain yang melekat di dada pelan-pelan.
Sedangkan mata Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mampu berpaling. Sepertinya ada sesuatu yang indah kini berada dekat sekali dengannya. Rasanya, hatinya betul-betul tak kuasa menolak. Perlahan-lahan, gadis itu menyingkap lilitan terakhir kainnya. Maka seketika, tubuhnya yang putih mulus nyaris tanpa cacat terpampang di depan mata. Dua buah bukit nan menjulang berlapiskan kulit putih mulus seakan-akan menantang untuk didaki.
Sementara otak Pendekar Rajawali Sakti mulai kacau. Hela napasnya terasa memburu. Semangatnya muncul perlahan-lahan mengiringi kekuatannya. Tapi bukan untuk berontak pada keadaan seperti saat ini, melainkan melanjutkan sesuatu, sesuai keinginan gadis itu.
Jantung Rangga makin terdengar kencang, ketika gadis itu perlahan-lahan mendekati tubuhnya. Bahkan perlahan-lahan pula, dengan gerakan gemulai dia mulai melepas Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan rompi putih yang dikenakan Rangga.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti menuruti kemauan gadis ini. Bahkan ikut pula membantu membukanya. Lalu berikut celananya siap melorot dari pinggang.
Disertai hembusan napas halus, gadis itu mulai melumat bibir Pendekar Rajawali Sakti yang dibalas tak kalah garang. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, Rangga meraih tubuh telanjang itu ke dadanya. Seketika terjadilah pergumulan seru penuh gelora nafsu. Namun mendadak....
"Kragkh...!"
"Oh..."!"
Rangga tersentak kaget seraya melepas pagutannya pada bibir merah merekah itu.
"Kraagkh...!"
"Rajawali Putih...!"
Rangga langsung menyebut nama burung raksasa tunggangannya, sekaligus gurunya. Bahkan tubuh molek di atasnya segera digulingkan agak kasar....
"Kraaagkh...!"
"Oh, tidak... tidak...!"
Suara Rajawali Putih seakan-akan menghunjam telinga Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga menutup kedua telinganya, dengan tubuh belingsatan. Dia berteriak-teriak bagai orang gila. Dan pada teriakan yang terakhir, Pendekar Rajawali Sakti terkulai lemah. Akhirnya, pingsan!
*** Hujan telah berhenti sejak tadi. Di sekitarnya terlihat hening dalam kepekatan malam. Unggas mulai berseliweran satu persatu di sekitar tempat ini. Suara jangkerik menyemaraki. Sesekali terasa angin bertiup lembut, membuat Rangga merasa sedikit segar. Ketika beberapa saat angin bertiup lagi, kesadarannya telah pulih. Berarti seharian penuh Rangga tak sadarkan diri.
"Ohh...!"
Pendekar Rajawali Sakti menggumam lemah seraya bangkit perlahan. Seketika dia merasakan hawa dingin menyengat sampai ke tulang sum-sum. Kini baru disadari kalau saat itu belum berpakaian. Maka buru-buru pakaiannya dikenakan.
"Perempuan terkutuk! Ke mana dia"!" dengus Rangga, begitu teringat kalau tadi bersama seorang wanita.
Saat itu juga bola mata Pendekar Rajawali Sakti liar mencari-cari ke sekeliling tempat. Namun yang dicari tidak kunjung ada. Bahkan ketika telah keluar dari gubuk, matanya menyapu jauh ke depan. Namun yang terlihat hanya sepi dan keheningan malam. Suara unggas terhenti. Demikian juga binatang malam lainnya.
"Perempuan terkutuk! Aku bersumpah akan mencarimu ke mana pun pergi! Kau akan mendapat balasan atas perbuatanmu itu!"
Sesaat Rangga tertunduk lesu memandangi tanah becek di sekitarnya. Pandangannya sayu. Wajahnya kelihatan tidak bersemangat. Matanya terangkat, menerawangkan ingatannya. Dicobanya mengingat-ingat apa yang terjadi tadi.
"Hieee...!"
"Oh, Dewa Bayu!"
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti berseru kaget. Wajahnya sedikit cerah, lalu buru-buru menghampiri kudanya yang sejak tadi tertambat di bawah sebatang pohon.
"Kau memang sahabatku yang setia...," kata Rangga. Suaranya lirih seraya mengelus-elus bulu leher hewan berbulu hitam berkilat itu.
"Hiee...!"
"Ya, aku tahu. Kau kedinginan di sini, Dewa Bayu. Kita pergi sekarang. Karena dengan begitu, tubuhmu bisa hangat," sahut Rangga seraya mengusap-usap leher kuda itu, lalu cepat melompat ke punggungnya.
"Hiee...!"
Dewa bayu meringkik sebentar, seraya mengangkat kedua kaki depannya.
"Kita kejar wanita keparat itu, Dewa Bayu! Tunjukkan padaku, ke mana dia pergi saat aku tidak sadarkan diri!" ujar Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.
Seketika Dewa Bayu berlari kencang menuju arah timur laut.
Tak peduli malam semakin larut dan suasana sepi jalan yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti terus menggebah kudanya. Dengan aji "Tatar Netra"! Dalam kegelapan Rangga bagai berjalan pada siang hari saja. Kudanya terus digebah mengejar gadis itu. Entah ke mana. Tapi dia bertekad, meski ke ujung dunia sekalipun, akan terus dikejarnya.
Braakkh...! "Hieee...!"
Mendadak Dewa Bayu berhenti ketika tiba-tiba sebuah pohon ambruk langsung menghadang perjalanan. Kedua kaki depannya kontan terangkat tinggi. Nyaris Rangga terjungkal, kalau saja tidak sigap mengendalikan tunggangannya.
"Uts, sial!" dengus Rangga, agak kesal juga. "Ayo, Dewa Bayu! Cepat lompati!"
Saat itu juga dengan tangkasnya Dewa Bayu melompati batang pohon yang melintang di depannya. Tapi saat itu juga....
"Berhenti...!"
Disertai bentakan menggelegar, mendadak berlompatan beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan Rangga. Saat itu juga Rangga menarik tali kekang kudanya.
Begitu Pendekar Rajawali Sakti bisa menguasai Dewa Bayu yang mengangkat kaki depannya disertai ringkikan keras, baru jelas terlihat siapa yang menghadang. Ternyata enam orang bertampang kasar telah mengepung Rangga dengan golok terhunus.
"Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian. Minggirlah, sebelum pikiranku berubah!" ujar Rangga. Nada suaranya halus, namun sarat ancaman.
"Kunyuk tidak tahu diri! Turun kau dari kudamu! Dan, menyembahlah padaku! Kau tengah berhadapan dengan Singalodra, pemimpin Gerombolan Golok Terbang!" sentak laki-laki yang berdiri paling dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti seraya mengacungkan golok besar dalam genggamannya.
"Maaf, aku tidak punya waktu bermain-main dengan kalian!" desis Rangga, mulai geram. Dia mulai kesal karena peristiwa yang dialami sebelumnya belum selesai, dan kini muncul masalah baru.
Laki-laki bernama Singalodra yang bertubuh besar dengan kumis tebal itu langsung naik darah mendengar sikap pemuda itu. Selama ini di seantero tujuh desa, namanya amat ditakuti. Orang lebih baik menyingkir bila berurusan dengannya. Atau yang sudah langsung kepergok akan memilih menyerah dan menuruti segala kemauannya ketimbang nyawa melayang. Dan kini seorang pemuda, tiba-tiba seenaknya saja merendahkannya.
"Bereskan kunyuk buduk ini. Dan serahkan kepalanya padaku!" ujar Singalodra, dingin. "Yeaaa...!"
Seketika lima orang bertampang kasar yang menjadi anak buah Singalodra maju berbarengan dengan golok terhunus.
"Kalian telah kuperingatkan. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras," kata Rangga, memperingatkan. "Hup!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melenting dari punggung kuda. Begitu berada di udara disongsongnya salah seorang yang berada di depan sambil melepaskan kibasan tangan yang cepat bukan main.
Des! "Aaakh...!"
Satu orang terjungkal roboh disertai pekik kesakitan, begitu tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya. Sementara goloknya terpental ke udara.
Rangga langsung berkelebat, menyambar golok.
Tap! Begitu golok telah tergenggam di tangan, pemuda itu langsung menyongsong keempat lawan lainnya.
Trang! Trang! Golok di tangan Rangga memapas senjata-senjata anak buah Singalodra yang langsung berpentalan. Dan tanpa banyak mendapat kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan yang cepat secara berturut-turut.
Dess! Desss.... Duk. Digh...!
"Aaakh...!"
Pekik kesakitan saling susul terdengar mewarnai malam yang pekat itu. Empat orang terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi. Pingsan.
"Setan keparat!" maki Singalodra, menggeram.
Amarah laki-laki seram semakin menjadi-jadi saja. Yang pertama karena melihat tingkah pemuda itu. Dan kini melihat anak buahnya yang sekali gebrak langsung ambruk. Maka dengan geram langsung diterkamnya pemuda itu dari samping kiri, disertai babatan goloknya.
"Yeaaa...!"
Rangga cepat membabatkan golok hasil rampasan menangkis senjata lawan.
Trang! Singalodra kontan merasa tangannya gemetar. Bahkan rasa nyeri sampai ke jantung. Namun tanpa mempedulikan hal itu, goloknya kembali menebas ke leher. Pada saat yang sama, Rangga sendiri telah melenting seraya melepas tendangan yang cepat bagai kilat. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Singalodra menjerit kesakitan, ketika terdengar Rangga menghantam dadanya dengan keras.
Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Darah tampak keluar dari mulutnya.
"Aku tak pernah main-main dengan kata-kataku sendiri!" desis Rangga, begitu mendarat di depan Singalodra.
Bukan main kagetnya Singalodra melihat kenyataan itu. Sadarlah dia, bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan yang bisa digertak dan dipermainkannya.
"Ampun! Ampunilah aku, Tuan...!" ratap Singalodra sambil berlutut di depan pemuda itu.
"Aku tak pernah bermain-main dengan begal macam kalian. Sekali kuperingatkan masih membandel, maka nyawa taruhannya," gertak Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Wajah Singalodra yang tadi garang mendadak pucat pasi. Dan kontan kepalanya tidak berani diangkat.
"Ampun, Tuan! Ampunilah aku. Kasihanilah aku. Aku akan berbuat apa saja untuk membantumu. Sebutkan apa saja. Pasti akan kukabulkan permintaanmu...!" ratap Singalodra.
Pendekar Rajawali Sakti yang semula sudah geram dengan kejadian di gubuk itu, ditambah lagi dengan penghadangan Singalodra, perlahan-lahan menghembuskan napas kesal. Sepertinya dia berusaha mengenyahkan segala dendam kesumat di dadanya.
"Baik. Kau kuampuni asal menjawab pertanyaanku. Tahukah kau seorang gadis berambut panjang dengan wajah lonjong lewat daerah ini" Ciri-ciri khususnya, ada tahi lalat kecil di atas bibir agak ke kiri," kata Rangga dengan tatapan tajam.
Singalodra mengangkat kepalanya. Wajahnya berkerut seperti tengah berpikir, kemudian dipandangnya pemuda itu.
"Siapakah yang Tuan maksudkan?" tanya Singalodra.
"Jawab saja pertanyaanku! Kau tahu atau tidak"!" desis Rangga.
Jantung Singalodra berdetak tiga kali lebih cepat. Dan nyalinya ciut seketika melihat sinar mata pemuda di depannya yang mengandung perbawa. Tak terasa tubuhnya bergetar. Masih sempat matanya melirik sekilas pada anak buahnya yang baru saja siuman. Mereka hanya diam dengan wajah bingung, tak tahu harus berbuat apa.
"Eh, i... iya. Aku tahu, Tuan," sahut Singalodra tergagap.
"Ke arah mana dia pergi?" kejar Rangga.
"Ke timur laut, Tuan. Lurus saja ke depan. Tapi, dia bersama dengan Ki Jagad Lor, Tuan."
"Siapa Jagad Lor itu?"
"Beliau bangsawan Desa Jelaga, dan seorang tokoh silat hebat. Aku tidak tahu kenapa. Tapi begitulah kenyataannya."
"Di mana Desa Jelaga itu?"
"Tuan lurus saja melewati jalan ini, lalu setelah ada persimpangan maka beloklah ke kanan. Dari situ, Desa Jelaga sudah terlihat di kaki Gunung Wilis," jelas Singalodra.
Rangga melirik sekilas, lalu tiba-tiba melompat ke punggung kudanya.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah Dewa Bayu. Begitu cepat lari kuda itu, sehingga dalam waktu singkat telah menghilang dari tempat itu, menembus kegelapan malam.
"Terkutuk! Siapa dia sebenarnya"!" desis Singalodra memaki-maki geram, begitu Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.
"Sudahlah, Ki. Tidak usah dipikirkan...," hibur salah seorang pemuda, anak buah Singalodra.
Maksud pemuda ini mungkin saja baik. Dia khawatir kalau pemimpinnya kehilangan muka di depan anak buahnya yang lain, karena baru saja jadi pecundang. Maka dicobanya mengalihkan persoalan, dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi yang terjadi sungguh beda dengan bayangannya, sebab wajah Singalodra semakin memerah dengan mata melotot.
"Kurang ajar kau, Barda! Apa dikira aku bisa melupakan penghinaannya begitu saja"!" bentak Singalodra, membuat anak buahnya yang bernama Barda terjingkat dan kontan tutup mulut.
"Rasanya aku pernah kenal pemuda itu, Ki," timpal seorang laki-laki berkumis tebal.
"Apa maksudmu, Bulalang?" tanya Singalodra dengan kening berkerut.
"Sebentar...."
Laki-laki berkumis lebat yang dipanggil Bulalang coba mengingat-ingat dengan dahi berkerut.
"Ah, iya! Aku pernah jalan-jalan ke Kota Gringsing dua pekan lalu. Dan di sanalah kutemui dia. Eh, maksudku aku bertemu dengannya. Dia memang memiliki kepandaian hebat. Orang gila yang mengamuk dan tak mampu dipatahkan perlawanannya, dengan mudah diringkus dan dipecundanginya. Pemuda itu memang bukan orang sembarangan, Ki. Kita tidak perlu malu kalau dikalahkannya," jelas Bulalang.
"Terkutuk kau, Bulalang! Aku tidak peduli kepandaiannya setinggi langit sekalipun. Penghinaan ini harus dibalas dengan seberat-beratnya. Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Singalodra!" teriak Singalodra.
"Sebentar lagi dia akan mendapat balasannya, Ki," tukas Bulalang, coba memperbaiki sikap dan pendiriannya tadi.
"Apa maksudmu?"
"Dia mencari gadis itu di tempat Ki Jagad Lor, bukan" Untuk urusan apa?" Bulalang malah bertanya.
"Siapa yang tahu" Kau kira aku suka mencampuri urusan seperti itu" Perempuan itu genit. Paling-paling dia kabur dan hinggap kepada si Jagad Lor yang mata keranjang itu!" sahut Singalodra, bersungut-sungut.
"Tepat! Dengan begitu dia akan mengamuk habis-habisan kalau pacarnya berbuat serong dengan Jagad Lor. Dan seperti kita ketahui, Jagad Lor bukanlah tokoh sembarangan. Selain kepandaiannya hebat, anak buahnya pun banyak. Pemuda itu tidak akan selamat!" cetus Bulalang.
Kali ini Singalodra tidak membentak lagi, melainkan berpikir. Sebentar kemudian, bibirnya mengulas senyum.
"Kau memang pintar, Bulalang. He he he...! Dia tidak akan selamat di tempat Ki Jagad Lor. Tapi...."
Wajah Singalodra mendadak murung dengan kata-kata terpotong. Kegembiraannya sirna dalam sekejap. Dan itu berarti ada sesuatu yang tak enak mengganjal pikirannya.
"Tapi apa, Ki?" kejar Bulalang.
"Berarti dia tidak mendapat balasan dari tanganku sendiri. Padahal, mestinya tanganku sendiri yang menghajarnya!" dengus Singalodra dengan wajah geram.
"Mestinya memang begitu, Ki. Tapi kita tidak bisa melawan takdir. Pemuda itu memang sudah ditakdirkan untuk mendapat balasan dendammu melalui tangan Jagad Lor. Maka kita mesti pasrah. Lagipula, bukankah itu menguntungkan" Kita tidak perlu bersusah payah menghajarnya segala, tapi sudah memperoleh hasil dengan enak. Dan kalau ada kesempatan bertemu lagi, baru kita hajar dia!" bujuk Bulalang.
Singalodra mengangguk-angguk seraya menepuk-nepuk pundak anak buahnya.
"He he he...! Kau benar lagi, Bulalang. Tidak salah aku memilihmu menjadi penasihatku!" puji Singalodra.
"Terima kasih, Ki. Sekarang lebih baik untuk sementara kita lupakan persoalan itu. Jangan sampai mengganggu pikiran. Masih banyak orang lain yang akan lewat di jalan ini. Dan kita masih punya kesempatan membegal mereka," ucap Bulalang.
"Ya, ya...! Kalau begitu, kita kembali berjaga-jaga," sahut Singalodra.
*** ? ? 2 Waktu telah menjelang dini hari tatkala Rangga tiba di depan rumah Kepala Desa Jelaga yang disebutkan Singalodra bernama Jagad Lor. Di tempat tersembunyi, sekitar lima puluh tombak dari depan pintu gerbang, Rangga telah menambatkan Dewa Bayu di kerimbunan pohon bambu yang banyak tumbuh di tempat itu. Suasana dingin dan berkabut menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti di rumah yang memiliki halaman luas. Di beranda depan Rangga melihat beberapa orang penjaga tengah tegak berdiri. Sementara yang lain duduk dengan wajah angker. Tak seorang pun yang lengah. Semuanya dengan sikap waspada.
"Maaf, apa ini rumah kediaman Ki Jagad Lor?" tanya Rangga halus, pada seorang laki-laki kekar terbungkus pakaian hitam yang menjaga pintu gerbang.
Laki-laki kekar itu tidak langsung menjawab, melainkan memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh kecurigaan. Tiga orang laki-laki malah serentak mendatangi dan mengelilingi Rangga.
"Tangkap dia!" seru penjaga yang bertubuh kekar itu.
"Yeaaa...!"
Serentak ketiga laki-laki menghunus golok menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar Rangga terkesiap, namun cepat bergerak lincah dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Sedangkan golok-golok itu terus bergerak mengincar leher, pinggang, serta jantungnya.
"Hup!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang. Namun ketiga laki-laki itu terus merangsek dengan nafsu membunuh.
"Yeaaa...!"
"Edan...! Mereka benar-benar menginginkan kematianku!" desis Rangga, begitu mendarat di tanah. Padahal kekesalan hati Rangga belum sirna. Dan kini tambah lagi persoalan baru. Padahal tadi Pendekar Rajawali Sakti sudah berusaha bersikap sopan. Namun perlakuan mereka justru sebaliknya.
"Heaaa...!"
Dengan kemarahan yang telah memuncak, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat sambil melayangkan tendangan dan hantaman tangan.
Duk! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua jeritan kesakitan terdengar berturut-turut ketika tendangan dan pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada dan punggung mereka. Tidak sampai di situ saja. Tubuh Rangga kembali bergerak cepat, kembali melepas tendangan.
Desss.... "Aaah...!"
Telak sekali tendangan Rangga menyodok ke perut membuat orang yang jadi sasaran terjungkal tak berdaya.
Melihat tiga orang telah terjungkal, yang lain mulai ciut nyalinya di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sampai saat ini belum ada yang membuka serangan kembali.
Keributan tadi memicu keramaian dalam waktu singkat. Mereka yang tadi berjaga-jaga di beranda dan di berbagai tempat lainnya, serentak melompat keluar dan mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Pengacau Keparat! Kau datang untuk menyerahkan nyawamu rupanya!" bentak salah seorang yang berjenggot tebal dan bertubuh ramping.
"Beginikah sambutan seorang tuan besar yang tersohor?" sindir Rangga, dingin.
Walaupun tampak marah, namun wajah Pendekar Rajawali Sakti terlihat begitu penuh perbawa. Bahkan sedikit pun tak ada rasa gentar. Dia tidak peduli berapa orang saat ini yang telah mengurungnya.
"Kami biasanya bersikap ramah pada setiap tamu yang sopan. Tapi kepada orang sepertimu, jangan harap! Kau akan mendapat hukuman setimpal!" bentak lelaki berjenggot, yang agaknya menyetujui para penjaga ini.
Sekali lihat saja Rangga tahu kalau laki-laki bertubuh ramping ini tidak bisa dianggap sembarangan. Dari matanya terpancar satu kekuatan tenaga dalam. Dari sini Rangga makin meningkatkan kewaspadaannya.
"Tanyakan pada penjaga itu, apakah aku bertindak kurang ajar"! Kedatanganku untuk satu urusan dengan majikan kalian. Kalau aku bermaksud mencari gara-gara, tidak semestinya aku melewati pintu gerbang ini!" tegas Pendekar Rajawali Sakti.
Laki-laki berjenggot lebat ini melirik pada penjaga bertubuh kekar tadi itu. Kemudian tangannya memberi isyarat agar datang menghadapnya.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi"!" pinta laki-laki berjenggot itu.
"Dia coba untuk masuk dengan merusak gerbang, Kang Karmapala. Maka tentu saja kami tidak bisa membiarkannya," sahut penjaga itu berdusta.
Enteng saja laki-laki bertubuh kekar ini bicara demikian. Bahkan tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Kurang ajar! Berani betul kau bersilat lidah?" bentak Rangga geram, langsung menoleh ke arah penjaga itu.
Dan tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melesat secepat kilat melepaskan kibasan tangan.
"Hei"!"
Laki-laki berjenggot yang bernama Karmapala dan beberapa kawannya terkejut bercampur marah. Mereka bergerak hendak mencegah. Namun gerakan Pendekar Rajawali Sakti memang tak mampu diikuti dengan mata.
"Ohh...!"
Laki-laki kekar itu sendiri terkesiap dengan mata terbelalak lebar. Dan....
Des! Dess...! "Aaakh...!"
Dua hantaman beruntun menghantam dada orang itu hingga memekik kesakitan dan terjungkal delapan langkah dari tempatnya semula berdiri. Dari mulutnya muntah darah segar.
"Heaaah...!"
Pada saat yang sama Karmapala beserta beberapa orang kawannya meluruk maju. Maka cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas.
Siuuut! "Keparat!"
Bukan main geramnya Karmapala melihat buruannya lepas begitu saja. Bahkan dengan santai mendarat di belakangnya pada jarak tujuh langkah. Kalau saja bisa sedikit berpikir tenang, maka akan terlihat bagaimana gerakan yang baru saja ditunjukkan Pendekar Rajawali Sakti. Jelas, gerakan itu tidak sembarang orang mampu melakukannya. Tapi Karmapala telah keburu dibakar amarah, sehingga sama sekali tidak mempedulikannya.
"Yeaaa...!"
Dengan bernafsu, Karmapala kembali menyerang. Kali ini seorang diri. Meski anak buahnya hendak membantu, namun dia telah memberi isyarat agar tetap di tempat untuk berjaga-jaga.
"Kau yang membuat masalah. Maka jangan salahkan kalau aku terpaksa meladenimu!" desis Rangga.
"Tidak usah banyak bicara. Pertahankan saja dirimu, karena aku tidak segan-segan mencabut nyawa busukmu!" dengus Karmapala.
Gerakan Karmapala tergolong lemah, sebab tidak melompat sekaligus. Lompatannya sepotong-sepotong seperti katak. Lalu lompatan terakhirnya tatkala menyerang diikuti desir angin kencang dan tenaga berlipat ganda.
Wuuus! "Uts!"
Rangga mengegos ke samping, menghindari terjangan yang berkekuatan dahsyat. "Hm, lumayan juga. Kau memiliki ilmu "katak" rupanya," gumam Rangga.
"Kenapa" Apakah kau takut" Mudah-mudahan kau tidak mati berdiri kalau tahu siapa guruku!" sahut Karmapala sinis penuh kesombongan.
"Siapa gurumu?" tanya Rangga.
"Ki Laron Nunggal. Atau, lebih dikenal juga sebagai Katak Penggempur Jagad!" sahut Karmapala, bangga.
"Oh, dia" Hm.... Sudah lama sekali aku ingin mengenalnya," sahut Rangga.
"Huh! Tidak ada derajat kau untuk bertemu dengannya!" dengus Karmapala.
"Siapa yang ingin bertemu" Aku hanya ingin sedikit memberi pelajaran, bagaimana seharusnya hidup dalam dunia persilatan," sergah Rangga, membuat telinga Karmapala memerah karena amarah.
Rangga memang pernah mendengar tokoh berjuluk Katak Penggempur Jagad. Menurut orang-orang, tokoh itu memiliki ilmu langkah yang amat dahsyat. Namun sayang, kepandaian Katak Penggempur Jagad justru sering digunakan untuk membuat keonaran demi kepentingan sendiri. Maka sudah barang tentu sepak terjangnya menimbulkan kebencian kaum pendekar. Tidak terkecuali bagi Rangga sendiri. Kini muridnya ada di sini. Maka ini suatu hal yang kebetulan sekali untuk memancing kemunculan Katak Penggempur Jagad yang saat ini lebih banyak bersembunyi.
"Hiyaaa...!"
Karmapala yang sudah amat marah kembali menerjang deras, membawa satu hantaman keras berisi tenaga dalam tinggi.
"Hup...!"
Dengan gerakan ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti meluncur ke atas, menggunakan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Dan setelah berputaran beberapa kali tubuhnya menukik tajam sambil mengibaskan tangannya.
Karmapala terkesiap. Maka cepat kedua tangannya diangkat ke atas untuk melindungi kepalanya dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Wuttt.... Plak! "Uhh...!"
Karmapala terkejut ketika kedua telapak tangannya yang berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Suatu dorongan tenaga dalam seperti menyeruduk ke dadanya lewat pergelangan tangan. Kalau saja tidak buru-buru menjatuhkan diri, niscaya pukulan Rangga akan menghajarnya tanpa ampun.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Karmapala begitu bangkit berdiri.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat ringan di depannya.
Mata Karmapala memandang tajam seperti tidak berkedip. Masih untung pemuda itu tidak melanjutkan serangan. Sebab melihat keadaannya, pemuda itu sama sekali belum kelelahan. Kalau seandainya tadi langsung menyerang, rasanya berat bagi Karmapala untuk menghindar.
"Aku hanyalah seorang pengembara yang hendak bertemu dengan Ki Jagad Lor!" sahut Rangga, kalem.
"Berkata yang jelas, Kisanak!" desis Karmapala.
"Namaku Rangga. Dan aku ingin bertemu Ki Jagad Lor!" tegas Rangga.
"Kau pasti punya julukan...!"
"Apalah arti sebuah julukan...?"
"Setidak-tidaknya, aku bisa menentukan dan golongan mana kau berasal lewat julukanmu."
Rangga sebenarnya paling berat untuk menyebutkan julukannya. Tapi mengingat urusannya harus segera diselesaikan, akhirnya dia mengalah.
"Orang-orang memanggilku Pendekar Rajawali Sakti," jelas Rangga berat.
"Apa"! Tidak mungkin! Jangan coba-coba menggertakku!" dengus Karmapala.
"Aku tidak memintamu percaya. Kau yang mendesakku untuk menyebutkan julukan. Lagi pula tidak ada untungku menggertakmu," tukas Rangga.
Karmapala memandang pemuda di depannya dengan sorot mata menyelidik. Dia belum pernah bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dalam bayangannya, Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang tokoh tua berjenggot panjang. Tubuhnya kurus, dan telah ubanan. Namun siapa sangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini yang justru mengaku pemilik nama besar itu"
Diam-diam Karmapala mengakui kalau pemuda di depannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Buktinya dalam sekali bentrokan, pemuda berbaju rompi putih ini memiliki tenaga dalam yang jauh di atasnya. Mungkin saja dia bisa sedikit menahan kalau dibantu kawan-kawannya. Tapi rasanya tidak berarti banyak. Bahkan pemuda ini sejak tadi belum memainkan pedang. Bila bertangan kosong saja, sudah begitu hebat. Bagaimana pula jika bersenjata"
"Sebenarnya ada kepentingan apa kau ingin bertemu dengan majikan kami?" tanya Karmapala. Nada bicaranya lebih lunak ketimbang tadi.
"Aku mencari seorang wanita muda yang bersamanya," jelas Rangga seraya menyebutkan ciri-ciri wanita muda yang dimaksud.
Mendengar itu wajah Karmapala kelihatan tegang.
"Apakah kau kawannya?"
"Katakan saja, Kisanak. Di mana wanita itu...!" tandas Rangga.
"Bukannya aku tak ingin menjawab. Sebab, urusannya tergantung jawabanmu. Apakah kau menjadi lawan, atau kawan. Karena kalau jawabanmu salah, maka aku tidak peduli meskipun dengan siapa berhadapan!" sahut Karmapala.
Rangga berpikir sejenak, lalu tersenyum dingin.
"Aku ingin menangkap wanita itu! Apa kalian hendak menghalangiku"!"
Sedikit banyak, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Ki Jagad Lor bukan orang baik-baik. Buktinya para kaki tangannya bersikap kasar. Bahkan murid si Katak Penggempur Jagad ada di sini. Dan kesimpulannya, wanita yang dicarinya bukan orang baik-baik pula. Bisa jadi keduanya bersekutu. Namun, Rangga tidak peduli kalau orang-orang ini akan memusuhinya.
"Kalau begitu kau berada di pihak kami," kata Karmapala, membuat Rangga tak mengerti bercampur heran.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga dengan dahi berkerut.
"Majikan kami tewas beberapa waktu yang lalu, sebelum kedatanganmu ke sini," sahut Karmapala dengan suara lirih.
"Tewas" Kenapa?" kejar Rangga.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja. Tidak enak bicara sambil berdiri begini," ajak Karmapala dengan nada ramah.
"Jangan coba-coba menjebakku, sebab kalian tidak akan sempat menyesal nantinya!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Mana berani kami berbuat macam-macam kepada pendekar besar sepertimu. Tapi kalau kau merasa keberatan dan curiga, tidak mengapa kita bicara di sini," sahut Karmapala.
Rangga tidak bisa percaya penuh pada ocehan Karmapala. Dan untuk itu dia mesti membuktikannya. Kalau mereka menjebaknya, maka berarti ada yang disembunyikan. Maka dia mesti hati-hati karenanya. Dan kalau memang benar, rasanya meski mereka menangis darah sekalipun tidak akan dimaafkannya.
"Baiklah. Kuturuti keinginanmu," sahut Rangga mantap.
Karmapala membawa Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruang tamu. Kemudian anak buahnya disuruh ke dalam sebentar. Dan tak lama, Rangga diperkenalkan dengan seorang gadis muda berusia enam belas tahun. Wajahnya kelihatan sembab seperti habis menangis. Namun di matanya, pemuda itu bisa melihat api dendam hebat. Lebih hebat dari dendamnya sendiri!
"Siapa dia?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor. Gadis inilah yang menjadi saksi atas kematian ayah serta ibunya," jelas Karmapala.
Rangga terdiam. Dicobanya mencema keadaan sekelilingnya. Memang di dalam rumah ini suasana berkabung tampak lebih nyata. Rangga melihat beberapa orang tengah menunggui jenazah Ki Jagad Lor dan istrinya yang terbujur kaku tertutup kain. Meski begitu, pemuda ini tidak percaya kalau mereka tidak merencanakan sesuatu untuknya.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Rangga.
"Sore tadi, majikan kami pulang bersama seorang wanita muda yang kelihatannya genit sekali. Beliau seperti mabuk kepayang dan tidak peduli. Padahal, kami sudah mengingatkan bahwa di rumah istrinya sudah menunggu. Kami menduga, istri beliau pasti akan mengamuk melihat kehadiran wanita itu. Dan benar saja. Sesaat kami mendengar suara barang perabotan yang hancur berantakan. Tidak ada seorang pun yang berani masuk, sebab beliau memerintahkan agar kami berjaga di luar. Suara istri beliau yang mengamuk dan marah sejadi-jadinya hanya sebentar. Sesaat suasana sepi kembali. Sampai kami dikejutkan teriakan Kembang Harum yang baru saja tiba dari bepergian. Serentak kami ke dalam dan melihat Ki Jagad Lor serta istrinya tewas," jelas Karmapala panjang lebar.
Mendengar penuturan itu kelihatan gadis bernama Kembang Harum yang masih duduk menangis terisak menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Maafkan Paman, Kembang," lanjut Karmapala lirih penuh penyesalan.
Sesaat mereka terdiam sampai gadis itu betul-betul menghentikan tangisannya.
"Ke mana perginya wanita itu?" tanya Rangga.
"Menghilang entah ke mana. Kami langsung menduga, dia pelakunya. Pencarian dilakukan di sekitar rumah ini, namun jejaknya nihil. Dia hilang seperti ditelan bumi. Kami telah mengutus beberapa orang untuk mencari jejaknya. Kami juga mulai berjaga-jaga takut dia kembali, dan membuat keonaran."
"Kalau begitu kita memang mempunyai persoalan sama. Kudapatkan jejak itu ke sini. Tapi tiba di sini, ternyata wanita itu tak ada. Maka terpaksa aku mesti mencarinya ke tempat lain. Maaf, aku mesti pergi."
Setelah berkata begitu Rangga bermaksud berbalik.
"Kisanak, maaf...."
Mendadak Karmapala mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau memang kau bertemu dengannya, sudikah kau membawanya kepada kami?" lanjut laki-laki ini ketika pemuda itu menoleh.
Rangga tersenyum.
"Tentu saja jika kalian mau menguburkannya. Nanti akan kukirim orang untuk memberitahu kalian, di mana mayatnya berada," jawab Pendekar Rajawali Sakti enteng.
"Kisanak, maafkan kesalahpahaman yang tadi...!" kata Karmapala lagi sambil mengikuti dari belakang.
"Tidak apa," sahut Rangga tidak peduli, langsung melangkah keluar menuju halaman.
*** ? ? 3 Hari masih pagi. Kota kecil di Kadipaten Welirang ini agak sepi. Seorang gadis berpenampilan anggun melintas dengan kudanya. Wajahnya cantik. Rambutnya panjang terlepas begitu saja, menyapu punggung. Pakaiannya agak longgar, namun terbuat dari bahan tipis berwarna putih bersih. Sehingga bila angin bertiup agak kencang, samar-samar terlihat bentuk beberapa bagian tubuhnya. Terutama bagian dada yang menonjol menantang yang menjadi kebanggaan kaum hawa.
Tepat di halaman kedai, gadis cantik berpakaian putih ini menghentikan laju kudanya. Dengan gerakan indah sekali, dia turun dan langsung menambatkan kudanya.
"Silakan, Nisanak...!" sapa seorang laki-laki setengah baya yang agaknya pelayan kedai ini.
Sambil tersenyum manis pada para pelayan itu, gadis ini melangkah tenang ke dalam.
Baru beberapa tindak gadis ini memasuki kedai, para pengunjung yang rata-rata lelaki serentak berpaling ke arahnya. Semua mendecah kagum melihat kecantikan serta bentuk tubuhnya yang memang aduhai.
"Gila! Kalau dia jadi istriku akan kusekap selamanya. Tidak kuizinkan seorang pun melihatnya!" decah seorang laki-laki yang dua buah gigi depannya agak mancung.
"Sinting kau, Tungga. Jangankan dia. Gadis kambing gembel pun enggan melirikmu!" ejek kawannya.
"Jangan menghina kau, Sungta. Gini-gini juga aku sudah pernah diajak kawin oleh putri bangsawan. Tapi, aku menolak. Daripada kau yang tak pernah laku-laku!" sahut laki-laki tonggos yang dipanggil Tungga, mencibir sinis.
Pemuda yang dipanggil Sungta tergelak. Entah bualan dari mana kawannya itu. Seingatnya, Tungga belum pernah didekati cewek barang seorang pun. Jelas sekali, sebab mereka berkawan sejak kecil.
Tapi Sungta tak melanjutkan olokannya, ketika seorang laki-laki setengah baya berbadan gemuk masuk ke dalam kedai, diikuti beberapa orang bertampang seram.
"Juragan Jelorejo...!" bisik Sungta lirih.
"Huh! Mau apa dia ke sini?" cibir Tungga.
"Mau apa katamu" Ya, jelas! Mau apa lagi kalau bukan hendak menggaet bidadari yang baru turun dari kahyangan itu!" dengus Sungta, seraya melirik gadis berbaju putih yang sudah duduk di sudut kedai.
"Lebih baik kita buru-buru tinggalkan kedai ini. Kalau dia hendak mendekati perempuan, ulahnya suka menyerempet ke orang lain. Bisa-bisa kita menjadi pelampiasannya," ajak Tungga.
Apa yang dikatakan Tungga memang tidak salah. Buktinya, banyak pengunjung kedai yang tengah bersantap, tiba-tiba menyelesaikannya terburu-buru lalu meninggalkan kedai, begitu laki-laki gemuk berpakaian dari sutera yang dipanggil Juragan Jelorejo masuk kedai ini.
Memang bukan kali ini Juragan Jelorejo yang dikenal doyan perempuan ini menunjukkan kekuasaan di depan wanita yang ditaksirnya. Pengunjung kedai lain diusir secara paksa dan kasar lewat tangan beberapa laki-laki bertampang seram yang memang tukang pukulnya. Maka daripada cari penyakit, lebih baik mereka menyingkir lebih dulu.
"He he he...! Bagus, bagus! Begitulah bila seorang bangsawan berkunjung. Kalian harus memberi tempat agar leluasa," oceh laki-laki bertubuh gemuk itu, seraya menghampiri gadis berbaju putih.
Sementara, gadis yang jadi pusat perhatian sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan tenang diteguknya arak dalam bumbung bambu.
"Kelihatannya kau sendiri, Nisanak?" sapa Juragan Jelorejo ramah sambil tersenyum-senyum kecil.
"Begitukah?" sahut gadis ini dengan suara lembut mendayu, dengan mata sedikit melirik.
Mendengar basa-basinya mulai mengenai sasaran, Juragan Jelorejo semakin berani saja.
"Boleh aku menemanimu?" lanjut laki-laki gemuk ini seraya memberi isyarat agar para tukang pukulnya menunggu di luar.
"Silakan saja," sahut gadis itu tersenyum kecil.
Sementara laki-laki setengah baya pemilik kedai buru-buru datang menanyai pesanan.
"Keluarkan semua makanan terenak yang dimiliki kedai ini!" sahut Juragan Jelorejo.
"Baik, Gan!" sahut pemilik kedai sigap, dan buru-buru pergi.
Melihat senyuman manis, semangat Juragan Jelorejo kontan melambung. Sambil tersenyum-senyum dan hati berbunga-bunga, dia duduk persis di depan gadis itu.
"Namaku Jelorejo. Tapi orang-orang di kota ini memanggilku Juragan Jelorejo," kata laki-laki gemuk ini memperkenalkan diri.
"Namaku Suti Raswati."
"Nama yang bagus sekali! Sesuai betul dengan orangnya!" puji Juragan Jelorejo.
"Terima kasih. Hm.... Kelihatannya Juragan...."
"Panggil saja aku Kakang Jelorejo. Begitu kan lebih baik!" tukas Juragan Jelorejo, cepat.
"Baiklah, Kakang Jelorejo," sahut Suti Raswati mantap, tidak merasa canggung sedikit pun.
Dada Juragan Jelorejo seperti mau meledak, karena perasaan berbunga-bunga mendengar suara gadis itu yang begitu merdu sampai ke gendang telinganya.
"Eh" Apa yang tadi hendak kau katakan?" tanya Juragan Jelorejo.
"Kakang kelihatannya orang hebat di kota ini. Begitu Kakang masuk, maka yang lainnya segera menyingkir," puji Suti Raswati.
"Oh, tentu! Tentu...!" sambut Juragan Jelorejo cepat.
"Hm, enak sekali tentunya?"
"He he he...! Biasa saja. Mereka menghormatiku, karena di kota ini akulah satu-satunya orang yang berkuasa," kata laki-laki gemuk itu, langsung besar kepala.
"Kakang tentunya kaya sekali?"
"He he he...! Begitulah."
"Hm, sungguh kebetulan!"
"Apa maksudmu?"
"Aku habis melakukan perjalanan jauh. Dan rasanya letih sekali. Aku hendak menginap, tapi takut pada lelaki usil yang menggangguku."
Belum lagi selesai bicara gadis itu, Juragan Jelorejo langsung mengulapkan tangannya.
"Kalau bersedia, kau boleh menginap di rumahku!" tegas laki-laki gemuk itu.
"Betulkah, Kakang?" tanya Suti Raswati, seperti ingin meyakinkan.
"Kenapa tidak" Pintu rumahku selalu terbuka bagi siapa saja. Apalagi bagi tamu sepertimu yang telah melakukan perjalanan jauh. Kau pasti amat lelah sekali!"
"Terima kasih, Kakang. Kau baik sekali!"
"Ah, tidak! Biasa saja. Kau ingin beristirahat sekarang?"
Gadis itu mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang!"
Juragan Jelorejo buru-buru bangkit berdiri menghampiri ketika gadis itu berdiri. Langsung digandengnya tangan gadis itu. Sementara, Suti Raswati seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja sambil tersenyum manis. Maka semakin meledak-ledak saja isi dada Juragan Jelorejo melihat gelagat baik itu.
Sambil bergandengan, mereka melangkah menuju pintu kedai.
"Gan, bagaimana pesanannya" Kami sudah menyiapkannya!" teriak pemilik kedai sambil membawa nampan berisi hidangan-hidangan lezat yang telah siap.
"Batalkan saja!" sahut Juragan Jelorejo, enteng.
"Tapi Juragan...."
Juragan Jelorejo berbalik. Matanya memandang tajam kepada pemilik kedai.
"Apakah kau ingin agar para tukang pukulku untuk menyuruhmu membatalkan pesananku"!" dengus Juragan Jelorejo.
"Eh! Ti..., tidak, Juragan. Baiklah," sahut pemilik kedai, gemetar.
Laki-laki setengah baya ini tahu apa yang terjadi kalau sampai para tukang pukul Juragan Jelorejo bertindak. Mereka tidak akan bicara lagi, tapi isi kedai ini bisa porak-poranda. Bahkan kalau lagi apes, dia pun bisa babak-belur. Maka pemilik kedai membiarkan saja ketika Juragan Jelorejo pergi bergandengan bersama gadis yang baru saja dikenalnya, diiringi para tukang pukul. Dia lebih memilih rugi, ketimbang celaka.
"Dasar manusia tidak punya perasaan!" dengus pemilik kedai geram ketika Juragan Jelorejo dan para tukang pukulnya telah pergi jauh.
"Kau tentu lelah sekali, bukan" Mari, kutunjukkan kamar yang pantas untukmu!" kata Juragan Jelorejo, di dalam rumahnya yang tergolong mewah. Sebuah rumah bagai istana kecil yang tertata apik.
Memang begitu sampai di rumahnya, Juragan Jelorejo langsung mengajak gadis bernama Suti Raswati ke dalam ruangan tengah. Sementara tukang pukul laki-laki gemuk ini segera disuruh untuk menyiapkan santapan yang lezat-lezat.
Selama ini juragan itu hidup menduda dengan dua anak. Namun soal main perempuan, dialah jagonya. Maka begitu mendapat gadis cantik seperti itu tak heran kalau dia kerepotan.
Jantung laki-laki ini semakin berdetak kencang. Hatinya kebat-kebit tidak menentu. Hatinya makin gelisah tidak menentu melihat senyum Suti Raswati. Apalagi saat melihat cara jalan gadis yang mempunyai bentuk tubuh indah bukan main.
Juragan Jelorejo sambil merangkul, membawa gadis itu ke kamar yang akan ditempatinya.
"Ah, indah sekali!" seru Suti Raswati begitu sampai di ambang pintu sebuah kamar yang diperuntukkan baginya.
Di kamar yang tertata indah ini terdapat sebuah tempat tidur besar dengan sebuah lemari di dekatnya. Kemudian sebuah cermin besar, lengkap dengan meja dan tempat duduk. Ruangan itu pun menebarkan aroma harum semerbak seperti khusus disediakan untuknya.
"Kau suka berada di sini?" tanya Juragan Jelorejo, ketika gadis itu memandang ke sekeliling dengan mata berbinar dan sesekali mendecah kagum.
"Suka sekali, Kakang!" sambut Suti Raswati.
"Kalau tidak keberatan, kau boleh berada di sini selama kau suka!" ujar Juragan Jelorejo.
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya gadis ini lembut seraya memandang laki-laki setengah tua itu dengan tatapan sayu. "Kau ingin aku berada di istanamu ini sesukaku?"
"Eh! I..., iya. Apakah, apakah kau tidak suka?"
"Mengapa tidak" Aku suka sekali! Sungguhkah itu"!"
Juragan Jelorejo cepat mengangguk.
Maka tanpa disangka-sangka tiba-tiba saja Suti Raswati menubruk dan memeluk Juragan Jelorejo penuh kegembiraan.
"Oh! Terima kasih, Kakang! Terima kasih. Kau baik sekali padaku!" sambut gadis ini.
Mula-mula Juragan Jelorejo gelagapan. Memang jarang ditemukannya perempuan yang seperti Suti Raswati. Rata-rata, mereka malu melakukannya. Apalagi memeluk laki-laki yang baru dikenal. Tapi gadis ini lain. Dan kelihatannya tidak malu barang sedikit pun.
"Bahkan kalau kau suka, rumah ini pun bisa kau anggap sebagai milikmu. Aku bisa mengabulkan apa saja yang kau inginkan," lanjut Juragan Jelorejo, langsung balas memeluk gadis itu. Bahkan lebih erat seperti takut terlepas.
"Betulkah, Kakang"!" desah Suti Raswati seperti tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Juragan Jelorejo mengangguk.
"Tapi dengan satu syarat mudah."
"Apa itu, Kakang?"
Juragan Jelorejo merasa tidak perlu bicara berbelit-belit untuk menjelaskan maksudnya, melihat sikap gadis itu yang sejak tadi dinilai sebagai gadis murahan. Maka sambil tersenyum-senyum mulutnya mendekat ke telinga Suti Raswati. Berbisik.
"Oh, itukah" Kenapa tidak katakan dari tadi?" kata gadis ini, makin manja.
Tidak terlihat perubahan raut wajah Suti Raswati mendengar bisikan itu. Bahkan tersenyum semakin manis. Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan Juragan Jelorejo.
"Mau ke mana?" tanya Juragan Jelorejo.
"Pintu ini harus terkunci rapat. Kau tidak suka acara kita terganggu, bukan?" jawab gadis ini, segera melangkah dan mengunci pintu.
"He he he...! Kau memang pintar, Suti. Pintar sekali!" puji laki-laki gemuk itu.
"Nah, tunggu apa lagi?" tanya Suti Raswati seraya maju mendekati Juragan Jelorejo.
Dengan gerakan gemulai, gadis itu mulai membuka baju Juragan Jelorejo satu persatu. Senyum mautnya seperti tidak pernah lekang dari bibirnya. Sementara matanya seperti tak ingin lepas menatapi wajah laki-laki itu.
Juragan Jelorejo jadi belingsatan sendiri. Sehingga baru saja tubuhnya telah tak tertutupi selembar pakaian pun, langsung dibopongnya gadis itu dan dibawanya ke atas ranjang.
"Ouw! Pelan-pelan, Kakang. Sabar saja. Aku tidak akan lari dari sisimu...," jerit gadis ini, manja sekali ketika tubuhnya dengan kasar dibaringkan di tempat tidur.
"Aku sudah tidak sabar lagi. Cepatlah!" dengus Juragan Jelorejo dengan napas memburu, langsung ikut berbaring.
"Sabar sebentar. Pakaianku belum lagi dibuka," ujar Suti Raswati.
"Biar kubantu."
Bret! "Ouw! Hati-hati, Kakang. Sobek deh pakaianku...," seru Suti Raswati dengan suara manja merayu.
Juragan Jelorejo memang kelewat bernafsu. Tangannya dengan kasar merenggut pakaian gadis ini. Sementara yang sebelah lagi melingkar erat memeluk bahu gadis ini yang berkulit putih mulus.
"Aku bisa membelikan pakaian itu seratus potong asal kau mau," lanjut Juragan Jelorejo.
Laki-laki itu memang merasakan tubuhnya menggigil. Tapi bukan demam. Isi kepalanya panas seperti air mendidih. Dan pikiran sehatnya terbang entah ke mana. Darahnya mengalir kencang. Rasanya, kesempatan ini memang tak ingin disia-siakannya. Dia ingin segera melampiaskannya. Sementara deru napasnya kian kencang saja, bagai kuda yang berlari kencang.
"Sabarlah, Kakang. Sebentar lagi...," desah gadis ini sambil meloloskan sisa pakaiannya yang robek-robek dicabik Juragan Jelorejo.
Juragan ini seperti tidak mau mendengar. Tangannya langsung bermain lincah di sekitar bukit kembar yang membusung. Amat menantang untuk didaki. Sementara bibirnya yang agak monyong dan menghitam, tidak segan-segan mengulum bibir merah yang menantang ini.
Suti Raswati mulai mendesah-desah dan menggeliat-geliat. Sementara Juragan Jelorejo mulai menggeram hebat laksana seekor serigala lapar yang melihat seekor kelinci yang begitu menawan dan amat menggoda.
"Kakang...," desah gadis ini di sela-sela desah napas mereka yang bagai tengah mendaki ke langit tingkat tujuh.
"Hm...," gumam laki-laki ini dibuat manja.
"Apakah Kakang bersedia menjadikanku sebagai istrimu?" tanya Suti Raswati.
"Jangan pikirkan hal itu, Sayang...," tukas Juragan Jelorejo.
"Tapi aku perlu mendengar jawabanmu...."
Dalam keadaan seperti itu Juragan Jelorejo tidak mau banyak berpikir lagi.
"Ya," jawab laki-laki ini, menyetujui.
"Kakang berjanji?"
"Aku berjanji. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi!" sergah Juragan Jelorejo dengan suara bergetar, menahan hasrat kelelakiannya.
Dan kali ini, agaknya nafsu Juragan Jelorejo sudah tidak tertahankan lagi. Segera dia menerkam buruannya.
"Ouw...!" keluh Suti Raswati manja.
Tak ada suara lagi, selain dengus napas mereka berdua yang sesekali disertai rintihan dan erangan. Semuanya menjadi satu bersama keringat mereka yang membanjir.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 176. Bidadari Penakluk Bag. 4 - 6
6. M?rz 2015 um 07:55
4 ? Semula Juragan Jelorejo ingin membuat pesta meriah untuk melangsungkan perkawinannya dengan Suti Raswati. Tapi untuk membuat pesta meriah, jelas memakan waktu. Baik saat merencanakan, maupun mempersiapkannya. Sedangkan Suti Raswati ingin cepat-cepat saja. Gadis ini tak peduli pesta perkawinan itu meriah atau tidak. Maka dua hari setelah pertemuannya dengan Suti Raswati, Juragan Jelorejo meresmikan perkawinannya secara sederhana yang dihadiri keluarga sendiri. Termasuk kedua anak Juragan Jelorejo yang bernama Sari Dewi dan Jayaprana.
Kedua anak Juragan Jelorejo itu sejak kecil telah ditinggal mati ibu mereka yang tak tahan melihat kebiasaan suaminya yang doyan main perempuan. Tak hanya di luaran, bahkan kadang seorang pelacur pun dibawa ke rumahnya.
Kini kedua anak yang telah meningkat remaja itu telah mempunyai ibu baru, yakni Suti Raswati. Namun kehadiran Suti Raswati di tempat ini agaknya tak disukai oleh anak perempuan Juragan Jelorejo yang bernama Sari Dewi.
Memang beralasan mengapa Sari Dewi muak terhadap Suti Raswati yang memang kelewatan. Selama tiga hari di rumah ini, beberapa kali gadis itu memergoki Suti Raswati bermain mata dengan Jayaprana.
? *** Sejak pagi tadi Juragan Jelorejo dijemput salah seorang kenalannya yang mengajaknya bekerja sama di kota kadipaten dalam urusan dagang.
Sementara keadaan rumah bagai istana ini tampak sepi. Di luar hanya ada beberapa penjaga. Sebab yang lainnya dibawa Juragan Jelorejo untuk mengawal. Dalam keadaan sepi begini, satu sosok tubuh tampak menelusup diam-diam ke kamar yang ditempati Suti Raswati.
"Jayaprana"! Mau apa kau ke sini?" tegur sebuah suara merdu, begitu sosok itu menampakkan wajahnya di ambang pintu.
"Ssst!"
Sosok pemuda bertubuh kurus di ambang pintu buru-buru memberi isyarat dengan telunjuk yang ditempelkan ke bibir. Buru-buru pemuda yang dipanggil Jayaprana menutup pintu, kemudian menguncinya. Buru-buru pula dihampirinya sosok bertubuh ramping yang menegurnya.
"Apa yang kau inginkan di sini, Jayaprana?" tanya sosok bertubuh ramping yang tak lain Suti Raswati ketika pergelangan tangannya digamit erat.
Sementara tanpa menjawab Jayaprana mengajak wanita itu ke atas ranjang. Dan mereka pun duduk di situ.
Melihat ibu tirinya itu tidak berusaha berontak, Jayaprana semakin berani. Malah sebelah tangannya dilingkarkan ke pangkal leher Suti Raswati. Rasa hormatnya terhadap ibu tiri tak ada sama sekali.
"Ayolah, Suti. Kau mengerti apa yang kuinginkan, bukan?" rayu Jayaprana, yang merupakan kakak Sari Dewi dengan suara bergetar.
Jakun pemuda ini turun naik tidak beraturan. Tubuhnya bergetar. Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Terbayang sudah sebuah kenikmatan yang akan direguknya.
"A..., apa maksudmu?" tanya Suti Raswati pura-pura tidak mengerti.
Jayaprana gemas betul mendengar jawaban gadis itu. Suaranya yang manja merayu dan gerak-geriknya yang menggairahkan serta senyumnya yang amat memikat, membuatnya makin melambung saja.
"Kau mengerti apa yang kuinginkan...," desah Jayaprana lirih dengan wajah semakin mendekat.
Dan secepat kilat Jayaprana memagut bibir merah delima milik ibu tirinya! Sebelah tangannya merangkul pinggang. Dan sebelah lagi mulai melepaskan penutup tubuh wanita itu yang hanya mengenakan lipatan kain.
Suti Raswati terkikik geli dan pura-pura menghindar. Tapi tindakannya semakin membangkitkan gairah anak muda yang memang telah kerasukan. Langsung diterkamnya wanita itu.
"Hei, sabarlah sebentar. Kau belum melepas seluruh pakaianmu," ujar Suti Raswati, manja.
Jayaprana tercenung sebentar. Itu isyarat terbaik bagi hasratnya. Buru-buru seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya dilepaskan. Dan secepat kilat pula dia membantu wanita itu melepaskan belitan kain.
Kembali suasana hening. Yang ada hanya helaan napas penuh gairah, dengan erangan-erangan mendesah. Apa yang terjadi di kamar itu, hanya disaksikan seekor cicak yang lantas berlari ke balik lemari. Mungkin malu melihat perbuatan terkutuk antara anak dengan ibu tirinya!
? *** Tanpa sepengetahuan dua insan yang tengah mereguk kenikmatan itu, Sari Dewi, adik Jayaprana, lewat di depan pintu kamar Suti Raswati. Gadis ini kontan tersentak kaget.
"Pelacur keparat!" maki Sari Dewi, mendengar apa yang terjadi dalam kamar itu.
Semula gadis ini ingin masuk untuk memaki-maki wanita itu. Tapi keberaniannya mendadak sirna. Entah kenapa dia malah berbalik dan melangkah pergi. Meskipun dalam hatinya kemarahan telah meletup-letup siap termuntahkan. Mungkin juga, dia takut dengan Jayaprana.
Antara Sari Dewi dengan Jayaprana memang tidak pernah saling usil meski mengetahui tabiat masing-masing. Meski kejadian di dalam kamar sana membuatnya menyumpah habis-habisan karena marahnya.
"Keterlaluan! Biadab...! Perempuan rendah!" rutuk gadis itu sambil melangkah lebar ke luar halaman.
Dari halaman depan, Sari Dewi melangkah menuju istal yang berada di samping.
"Heaaa...!"
Sari Dewi telah melesat bersama seekor kuda putih milik Suti Raswati dengan membawa hati yang galau. Entah apa yang tengah dipikirkan dalam benaknya saat ini. Marah, dan kebencian yang tidak tersalurkan. Yang terlintas saat itu adalah, pergi sejauh-jauhnya dari rumah itu untuk sementara waktu.
"Heaaa...!"
Kembali Sari Dewi menggebah kudanya dengan kencang tak peduli akan daya tahan kuda itu.
San Dewi membuang kekesalannya di bawah sebuah pohon berdaun rimbun, tepat di pinggir sungai. Sambil duduk memeluk lututnya, tangannya sesekali melempar kerikil ke permukaan sungai, menciptakan gelombang kecil-kecil. Walaupun sudah beberapa kali bertindak demikian tetap saja kemarahan pada ibu tirinya tak juga padam.
Kebetulan, tempat yang diduduki gadis ini terletak di tanah yang agak berbukit. Di samping kirinya, tanah menurun yang ditumbuhi ilalang panjang-panjang, yang berlanjut dengan rerumputan yang menghampar diselingi oleh beberapa pepohonan. Dan baru saja Sari Dewi hendak bangkit, mendadak....
"Heh"!"
Mendadak gadis itu terkejut ketika mendengar suara terkikik yang berasal dari bawah sebelah kirinya. Otaknya yang sumpek kian terganggu.
"Setan...!" dengus gadis ini geram.
Sebenarnya gadis ini justru menghindarkan diri dari suara-suara seperti itu di rumahnya, yang berasal dari perbuatan gila dua insan yang tengah dimabuk kepayang. Kini bayangan itu kembali terlintas, begitu mendengar cekikikan seorang gadis. Siapa pun tahu, tidak mungkin seorang gadis berada seorang diri di tempat seperti ini. Pasti ada laki-laki yang mendampinginya.
"Huh!"
Sari Dewi baru saja hendak kembali melangkah, namun terhenti. Rasa-rasanya dia mengenal suara laki-laki yang mendampingi gadis yang tengah cekikikan itu.
"Somadipura...!" desis Sari Dewi.
Gadis itu cepat melangkah mengendap-endap untuk mencari tahu, apakah sepasang anak muda yang tengah memadu cinta itu salah satunya adalah Somadipura yang dikenalnya.
"Jangan keterlaluan, Kakang. Masih banyak kesempatan kalau kita sudah kawin...!"
Terdengar suara manja dari mulut seorang gadis.
"Apakah kau tak percaya padaku?" balas suara berat dari mulut seorang pemuda. Suaranya bernada merayu.
"Aku percaya, tapi...."
"Tapi apa lagi yang kau khawatirkan?"
"Kakang. Cobalah mengerti kalau hal itu belum layak kita lakukan. Ayah dan Ibu pasti marah besar kalau tahu hal ini."
"Mereka tidak tahu kalau kau tidak cerita!"
Tidak terdengar suara lagi.
"Ayolah, apa lagi yang kau tunggu?"
Kembali terdengar suara bernada mendesak. Jelas datangnya dari mulut pemuda itu.
"Tapi Kakang...."
"Tapi apa lagi?"
Belum juga desakan pemuda itu terjawab, mendadak saja....
"Jangan dipaksa kalau dia tidak mau...!" Mendadak terdengar sebuah suara membentak yang disusul dengan melompatnya satu sosok ramping di depan dua insan yang tengah dimabuk asmara. Begitu mendarat, pemuda yang tadi tengah merayu tercekat kaget.
"Sari Dewi...!" desis pemuda itu ketika mengetahui siapa gadis itu.
"Bagus, Somadipura! Kau mengenalku! Kukira kau akan mengelak!" bentak sosok yang baru datang. Dia tak lain Sari Dewi. Sambil berkacak pinggang, matanya menatap tajam pemuda yang bernama Somadipura.
"E, tu..., tunggu dulu, Sari Dewi. Kau salah paham," ujar Somadipura tergagap sambil memperbaiki bajunya yang acak-acakan.
Sementara gadis yang tadi bersama Somadipura cepat berdiri. Matanya langsung memandang Sari Dewi dan Somadipura bergantian dengan wajah bingung. Kalau semula dia merapat pada pemuda itu, namun ketika melihat gelagat aneh perlahan-lahan kakinya melangkah menjauh.
"Kakang, ada apa ini?" tanya gadis ini ragu. Agaknya, dia takut kalau antara Sari Dewi dan Somadipura ada hubungan kekasih.
"Akan kujelaskan nanti, Lestari. Sekarang pulanglah dulu," ujar Somadipura, sedikit melirik pada gadis yang bernama Lestari itu.
"Tapi, tadi Kakang membawaku dengan sepengetahuan kedua orangtuaku. Maka kalau aku pulang sendiri dan mereka menanyakanmu, apa yang mesti kujawab?" tukas Lestari.
"Katakan pada orangtuamu, kalau laki-laki brengsek ini tengah kuadili!" sambar Sari Dewi cepat, meningkahi.
"Ya, Lestari. Sebaiknya kau pulang dulu. Biar nanti aku akan datang menemui orangtuamu dan menjelaskan duduk persoalannya. Tenanglah. Segalanya akan beres!" sahut Somadipura, berusaha meyakinkan.
"Tapi sebelum aku pergi, tolong jawab dulu pertanyaanku, Kakang?"
"Apa?"
"Apa hubunganmu dengan gadis ini...?"
"Dia tunanganku!" sambar Sari Dewi sewot.
"Benarkah, Kakang?" tanya Lestari.
Dada gadis ini bergemuruh mendengar jawaban barusan. Meski begitu dia masih ingin mendengar jawaban langsung dari mulut pemuda itu.
Somadipura diam tertunduk, tak mampu menjawab.
"Jadi..., jadi benar?" desis Lestari dengan mata berkaca-kaca.
Badai Laut Selatan 6 Pendekar Mabuk 05 Murka Sang Nyai Istana Kumala Putih 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama