Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali Bagian 1
. 209. Memburu Rajawali Bag. 1 - 4
21. Juli 2015 um 09:09
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Memburu Rajawali
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Saat ini, Pendekar Rajawali Sakti tengah menemani seorang tokoh persilatan dari negeri Sakura bernama Buntaro. Laki-laki itu tengah diobati oleh tabib istana, setelah bahu membahu bersama Rangga bertarung melawan pasukan Kerajaan Pasir Angin. Buntaro terluka parah, setelah tertembus paku-paku beracun yang dilepaskan para prajurit Kadipaten Demak.
Rangga merasa tak enak meninggalkan Bun?taro begitu saja. Pemuda ini tak ingin dikatakan pengecut. Walaupun Buntaro sudah menyarankan agar Rangga menunggu saja di Bukit Muria pada dua purnama yang akan datang, tapi Pendekar Ra?jawali Sakti telah memilih untuk menemani saja.
Di Istana Pasir Angin, Pendekar Rajawali Sakti diterima Gusti Prabu Wisnu Palaran dengan suasana penuh keakraban. Namun karena banyak urusan, terutama dalam mengatur pencarian terhadap Adipati Sangkaran, Gusti Prabu tak lama menemaninya.
Saat ini Rangga ditemani Jonggol Maraka yang baru saja memasuki ruang balairung. Jonggol Maraka adalah seorang pejabat istana yang ditolong Rangga, saat hendak dibunuh oleh orang-orang suruhan Adipati Sangkaran.
Kerajaan Pasir Angin, sebuah kerajaan besar di wilayah utara tanah Jawa, dipimpin Gusti Prabu Palaran yang sangat adil dan bijaksana. Belum la?ma, kerajaan itu nyaris diguncang pemberontak yang didalangi seorang adipati berhati busuk. Adipati Sangkaran yang menguasai Kadipaten Demak. Untung saja seorang pendekar besar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti telah mencium gelagat itu. Dan akhirnya, pemberontakan pun dapat dipadamkan (Baca Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah : "Ancaman Dari Utara").
"Rangga, aku senang mendengar berita bahwa kau selamat! Kini aku semakin yakin akan kehebatanmu. Kalau dulu hanya mendengar cerita-cerita saja, maka kini punya kesempatan menyaksikan sendiri!" oceh Jonggol Maraka panjang lebar. "Kau tahu" Para prajurit membicarakan, bagaimana ka?lian berdua menyikat anak buah adipati terkutuk itu lebih dari setengahnya. Padahal, di antara mereka banyak terdapat jago silat yang tak diragukan lagi kehebatannya. Memang benar apa kata orang. Meski hebat dan memiliki kepandaian selangit, namun kalau di jalan kotor pasti akan binasa. Dan...."
"Ki Jonggol...," potong Rangga.
"Eh, maaf!" ucap Jonggol Maraka seraya tersenyum. "Apa?"
Rangga tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?" tanya pemuda berbaju rompi putih ini setelah menarik napas. Pertanyaan itu agaknya dikeluarkan asal-asalan. Yang penting, ocehan Jonggol Maraka segera putus.
"Baik! Baik...! Aku tak pernah merasa sebaik ini sebelumnya!"
"Baik?"
Rangga melirik wajah Jonggol Maraka yang tampak pucat. Darah kering di sudut bibir. Dan wajahnya pun agak lebam. Belum lagi tubuh di balik baju yang babak belur bekas pukulan, tendangan, atau sabetan senjata.
"Kau tahu" Belum pernah aku merasa bangga seperti ini. Meski tubuhku tinggal tulang pembalut kulit, tidak akan kudiamkan orang seenaknya menggulingkan Kanjeng Gusti Prabu," tegas laki-laki ini dengan raut wajah bangga. "Meskipun jasaku kecil...." Kata-kata Jonggol Maraka yang terakhir terdengar lirih.
"Ki Jonggol, jasamu amat besar! Percayalah. Bila kau gagal memberitahukan pihak kerajaan, niscaya mereka tak akan berangkat menggempur Ka?dipaten Demak. Dan itu berarti..., nasib kami berdua tak akan selamat..," sergah Rangga.
"Benarkah"!" tukas Jonggol Maraka dengan-wajah kembali berseri.
Rangga mengangguk. Tampak wajah Jonggol Maraka terus berseri. Hidungnya kembang-kempis dengan dada berbuncah menahan ledakan kegirangan. Namun tiba-tiba dipandangnya pemuda itu dengan senyum dikulum.
"Kau tak akan percaya jika kukatakan sesuatu!" kata Jonggol Maraka.
"Apa?" tanya Rangga.
"Gadis itu ada di sini!" sahut Jonggol Maraka dengan wajah berseri-seri. "Gadis yang mana?"
"Gadis yang menari di istana Adipati terkutuk itu!"
"O...!" Rangga mengangguk. "Di sini" Apa yang hendak dilakukannya?"
"Dia datang khusus untukmu!"
"Untukku"!"
Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sepasang matanya memandang lawan bicaranya setengah tak percaya.
? *** "Ketika Panglima Utama menyerbu ke Kadi?paten Demak, semua tawanan yang selama ini menentang kehendak adipati keparat itu dibebaskan!" jelas Jonggol Maraka. Kata-katanya yang terakhir itu sengaja dijelaskan, menyiratkan kebenciannya terhadap Adipati Sangkaran yang sekarang jadi buronan. "Dia bertanya tentang kita. Dan pang?lima Utama mengatakan kalau kau terluka parah dan dibawa ke istana. Dia memohon agar panglima utama sudi membawanya ke istana untuk merawatmu....
"Merawatku"!" ulang Rangga tersenyum bingung, masih dengan wajah setengah tak percaya.
"Ya! Kau tak percaya" Pada mulanya, pang?lima utama menolak. Dan dia mengatakan kalau di istana tersedia banyak orang yang akan merawatmu. Namun, dia tetap bermohon. Katanya, dia punya kesalahan besar terhadapmu dan bermaksud hendak menebusnya dengan merawatmu...."
"Lalu"!"
"Lalu..., ya, dia di sini sekarang!"
Rangga terkekeh. Matanya memandang geli pada Jonggol Maraka. "Kau pasti mempermainkanku, 'kan"!" tebak pemuda itu.
"Kau tak percaya?" tukas Jonggol Maraka.
'Tidak! Sebelum melihat buktinya."
Jonggol Maraka tak banyak bicara. Dipandanginya seorang prajurit yang berjaga di depan pintu kamar dengan isyarat lambaian tangan. Dan prajurit itu cepat menghampiri.
"Katakan pada prajurit yang ada di ruanganku untuk membawa gadis yang ku maksud ke sini!" perintah Jonggol Maraka pada prajurit itu.
"Siap, Panglima...!" sahut prajurit ini.
Rangga masih terkesima ketika melihat prajurit itu berlalu. Dipandanginya Jonggol Maraka. Dan di hatinya terasa kalau kepercayaan atas kata-kata pejabat kerajaan ini mulai bertambah.
"Ki Jonggol! Kau bersungguh-sungguh?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau kira aku berbohong"!" tukas laki-laki itu.
"Gila! Kalau ini benar, maka dunia betul-betul kiamat!" rutuk Rangga.
"Hei" Kenapa kau ini"! Seorang gadis jauh-jauh mencarimu, tapi kau kelimpungan seperti kebakaran jenggot!" Rangga terkikik geli.
"Sepertinya dia naksir padamu!" bisik Jonggol Maraka sambil memasang telapak tangan kanannya di pinggir bibir.
"Naksir" Waduh, ini lebih gila lagi!" umpat Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Kenapa" Semuanya gila! Apa-apa gila! Jangan-jangan otakmu nanti ikut-ikutan gila!" kali ini Jonggol Maraka yang mencibir kesal.
"Ya, aku memang sedang gila. Bagaimana ti?dak gila kalau seorang bidadari mencari-cari kira"!"
Tapi senyum Pendekar Rajawali Sakti mendadak hilang ketika ingat sesuatu. Dipanggilnya Ki Jonggol dengan isyarat agar menghadapkan wajah lebih dekat
"Jangan-jangan dia dibawa ke sini sebagai penari istana!" tebak. Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila kau! Gusti Prabu tidak akan berbuat begitu!"
"Bisa saja! Toh, istana kadipaten bisa mengadakannya. Apalagi istana kerajaan."
"Sinting! Aku saja kaget ketika adipati sialan itu menggelar tarian itu."
"Gadis itu menunggu di luar, Panglima," lapor prajurit yang tadi diperintah Jonggol Maraka.
"Terima kasih. Kau boleh keluar. Dan, suruh dia masuk," ujar Jonggol Maraka.
"Baik, Panglima."
Dari ambang pintu terlihat seorang gadis bertubuh tinggi padat sepasang matanya bulat indah dinaungi sepasang alis tebal berbaris rapi. Hidungnya mancung dengan bibir agak lebar namun berbentuk bagus. Pakaian yang dikenakannya amat sederhana, tapi tetap tak mampu menghalangi kecantikannya.
"Kemarilah Malini!" panggil Jonggol Maraka ketika melihat gadis itu tegak berdiri dengan kepala tertunduk. "Kemarilah! Bukankah kau ingin bertemu Rangga?"
"Terima kasih, Tuanku...," sahut gadis yang ternyata bernama Malini lembut. Kemudian kakinya melangkah pelan mendekati. Namun kepalanya tetap tertunduk. Tak berani memandang mereka berdua.
"Katakanlah, apa yang hendak kau sampaikan padaku...," ujar Rangga.
"Aku, eh, hamba ingin...." Kata-kata Malini seolah tertahan di tenggorok?an. Lidahnya terasa kelu saat berhadapan dengan Rangga, orang yang hendak dibunuhnya.
"Aku bukan seorang raja di sini. Juga bukan seorang pejabat. Bahkan bukan seorang prajurit rendahan sekalipun. Aku hanya orang biasa, karena itu tak usah merasa sungkan," kata Rangga, berusaha membantu Malini yang berusaha mengenyahkan rasa sungkannya.
"Baiklah...."
Meski menjawab begitu, namun gadis cantik ini tetap bingung untuk bicara selanjutnya. Maka dia hanya terdiam untuk sejurus lamanya.
"Aku tak mendengar suara apa pun. Apakah kau mendengarnya Ki Jonggol?" goda Rangga.
'Tidak!" sahut Jonggol Maraka.
"Malini, suaramu kurang keras. Dan telingaku sedikit budek. Maukah kau mengeraskannya?" pinta Rangga.
Gadis itu tersenyum kecut.
"Aku..., eh! Soal tempo hari, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, Kakang...," ucap Malini terbata-bata. "Aku tak bermaksud mencelakaimu."
"Aaah! Tak usah dipikirkan! Aku sudah memaafkan dan melupakannya...!" sergah Pendekar Ra?jawali Sakti.
"Benarkah"!"
"Ya!"
"Terima kasih. Aku..., aku terpaksa melakukan itu karena...."
"Dipaksa Adipati Sangkaran?" sambar Rangga. Malini mengangguk.
'Ya, aku mengerti. Aku tidak marah padamu. Dan karenanya, kau tak berhutang apa-apa pada?ku!"
"Kakang Rangga, aku..., aku...."
Rangga menunggu beberapa saat. Gadis ini tampak masih kikuk.
"Bagiku itu bukan soal hutang, namun harga diri. Aku merasa bersalah. Dan meskipun kau ampuni, tetap saja aku merasa bersalah. Dan rasa salah itu akan terobati bila telah berbuat suatu kebaikan padamu. Dengan begitu, akan mengembalikan harga diriku...," ungkap Malini
"Tidak perlu begitu. Kau tak perlu harus memaksakan diri untuk berbuat kebaikan. Karena de?ngan kejujuran itu, berarti kau telah berbuat ke?baikan. Bukan saja pada diriku, tapi juga pada dirimu sendiri. Sebab kejujuran bagi seorang gadis amat mulia di mata orang lain...," tolak Rangga, halus.
'Terima kasih, Kakang Rangga.... Tapi, itu adalah suatu kebiasaan dalam keluarga kami turun-temurun. Yang sulit dihapus begitu saja. Kalau kau tak menerima kebaikan ku secara nyata, maka harga diriku akan terus terbelenggu oleh hutang. Jadi ketimbang tak punya harga diri, keluarga kami akan memilih kematian. Dan jika Kakang menolak pula, maka jalan itu yang terbaik bagiku," tegas Malini.
"Aduh! Kenapa jadi begini"!" keluh Rangga dalam hati.
Rangga menatap Jonggol Maraka seperti minta pendapat. Namun ketika laki-laki itu mengangkat kedua bahunya, Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Malini.
"Malini, aku...."
"Apakah Kakang tak mau menerima kebaikan ku?"
Suara gadis itu terdengar agak lantang. Dan sepasang matanya kini berani memandang Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Kebaikan apa yang kau maksudkan?" tanya Rangga.
"Aku akan merawatmu," sahut Malini.
"Merawatku" Lihatlah, aku tak sakit! Aku tak apa-apa!" tolak Rangga.
"Apakah..., apakah ini berarti Kakang menolakku?" tanya Malini, lirih. "Bukan begitu. Tapi...."
Sring! Belum lagi habis bicara Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba gadis itu memasukkan tangannya ke balik pakaian. Begitu keluar tangannya telah menggenggam sebilah pisau yang segera ditempelkannya di perut.
"Kalau begitu biarkan aku ma...."
?gadis itu menghujamkan pisau berkilat itu ke perut, dengan kecepatan luar biasa Pendekar Rajawali Sakti menyambar sebutir buah rambutan yang ada di meja, lalu melemparkannya dengan tenaga dalam sempurna.
Tak! "Aaah...!"
Malini terpekik. Pisau itu terlepas dari genggaman. Gadis itu merasakan tangannya sakit dan kesemutan. Kini yang dilakukannya kemudian adalah membalikkan tubuh dan menangis tersedu-sedu. Gadis ini merasa kecewa, karena baru saja hen?dak membuktikan kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghalangi.
? *** ? 2 ? Untuk sesaat tak ada yang bisa dilakukan Pen?dekar Rajawali Sakti. Dipandanginya Jonggol Mara?ka, laki-laki ini pun terdiam sebelum bergerak bangkit.
"Rangga, aku permisi dulu! Ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan," ucap Jonggol Maraka seraya menjura hormat.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Jonggol Maraka segera angkat kaki dari tempat itu.
Tinggal kini Rangga dan gadis itu berada di da?lam ruang balairung. Pemuda ini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatap Malini.
"Baiklah, Malini. Kuterima kebaikanmu itu...," desah Rangga.
Malini tersentak girang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan memandang haru. Rangga bisa melihat lelehan air mata membasahi pipi halus gadis ini.
"Sungguhkah"!" tanya Malini seperti kurang yakin dengan pendengarannya.
"Kalau kau tak berhenti menangis, kata-kataku tadi akan kutarik," sahut Rangga sambil tersenyum.
Dengan wajah berseri Malini buru-buru menghapus air matanya. Kemudian cepat berlutut.
"Tuanku.... Mulai kini hamba adalah pelayanmu! Akan hamba abdikan hidup hamba untuk Tu?anku!"
Rangga sungguh terkejut dengan tindakan Mali?ni. Sungguh tak diduga kalau persetujuannya malah membuatnya jadi serba salah.
"Malini, apa-apaan kau! Jangan begini!"
'Tidak! Tuanku adalah majikan hamba. Oleh karena itu, hamba mesti berlutut. Jangan halangi rasa syukur hamba, Tuanku!"
Khawatir kalau gadis itu akan ngambek lagi, Rangga membiarkannya saja untuk beberapa saat.
"Begini saja, Malini. Anggap saja aku ini kakangmu. Dan kau adalah adik yang selalu menurut pada kakangmu. Bagaimana?" Rangga memberikan penawaran.
Perlahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung keteduhan.
"Dengan begitu, kaupun sudah bisa menebus kesalahanmu. Kaupun bisa merawatku. Rasanya itu lebih baik. Nah, jangan panggil aku tuanku. Seperti tadi, aku lebih suka kau memanggilku Kakang," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, Kakang...!"
Malini langsung memeluk Rangga penuh keharuan. Sungguh dia memuji budi pekerti Pendekar Rajawali Sakti yang begitu luhur.
"Tak baik kalau kita berdua di dalam ruangan ini. Bagaimana kalau kau menemani aku ngobrol di luar sambil jalan-jalan!" tanya Rangga, sambil melepas pelukan perlahan-lahan, agar gadis itu tak tersinggung.
"Kalau itu sudah kehendak Kakang, aku akan menuruti saja...," desah Malini.
Rangga dan Malini segera melangkah.
? *** ? "Aku ingin bertemu Buntaro!" kata Rangga kepada seorang prajurit, ketika tiba di lorong terbuka yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu kamar. Jalan lorong ini cukup lebar.
"Dia ada di kamar nomor delapan ratus, Tuan Pendekar!" jawab prajurit berusia sekitar dua puluh lima tahun itu yang menjaga pintu utama lorong. "Kalau Tuan Pendekar mau, biar hamba antarkan."
'Tidak usah! Aku mau sekalian jalan-jalan. Eh, ngomong-ngomong, ada berapa kamar di istana ini sampai ada nomor delapan ratus segala?" tanya Rangga.
"Hanya ada delapan kamar untuk tamu istimewa, Tuan Pendekar. Tiap kamar diberi angka kelipatan seratus. Seperti kamar Tuan Pendekar yang memiliki nomor seratus. Berarti, Tuan Pen?dekar dianggap tamu mulia oleh Gusti Prabu. Sedangkan orang asing itu mestinya di tempatkan di kandang kuda, karena diketahui berkawan dengan pengkhianat. Namun karena Tuan Pendekar menganggapnya sebagai kawan, maka di tempatkan di urutan terakhir kamar yang diperuntukkan bagi tamu-tamu istimewa," jelas prajurit muda ini.
Rangga mengangguk. Diperhatikannya nomor kamar yang ditempatinya.
"Peraturan aneh...," gumam pemuda berbaju rompi putih ini pelan.
Dan kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, arah mana yang dituju. Karena, delapan kamar yang dikatakan kamar untuk tamu-tamu istimewa bersebelahan dengan jarak-jarak tertentu. Kamar no?mor seratus, terletak dekat sebuah taman dan kolam yang ditata apik. Dan di seberang taman pada arah menyamping, merupakan balairung istana yang sekaligus tempat pertemuan yang sering dihuni Gusti Prabu setiap hari. Sedangkan kamar nomor delapan ratus kurang lebih berjarak lima belas tombak dari tembok pembatas bangunan kerajaan.
Setelah mendapat keterangan itu, Pendekar Rajawali Sakti dan Malini melangkah pelan-pelan ke kamar nomor delapan ratus.
Pintu terbuka lebar ketika mereka tiba di depan kamar Buntaro. Tampak pemuda dari negeri Matahari Terbit itu tengah bersemadi. Rangga dan Malini menunggu di depan pintu untuk beberapa saat. Dan tak lama kemudian Buntaro menutup semadinya. Dia bangkit berdiri, lalu membungkuk hormat.
"Rangga..., silakan masuk," ucap Buntaro.
"Apa kabar, Buntaro" Bagaimana keadaanmu" Mudah-mudahan kau baik saja," tanya Pende?kar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Kawan! Keadaanku jauh lebih baik. Mereka merawatku sungguh-sungguh," sahut Buntaro.
"Syukurlah...."
"Kebetulan sekali kau datang. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan."
"Apa itu" Katakanlah!"
Buntaro menoleh pada Malini. Dan suaranya tak keluar ketika kembali berpaling pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerti. Kepalanya segera berpaling pada gadis itu.
"Malini, maukah kau menunggu kami di luar?"
"Baiklah...," sahut Malini, langsung berbalik dan melangkah keluar.
Buntaro segera menutup pintu rapat-rapat
"Nah, katakanlah apa yang hendak kau bicarakan," lanjut Rangga setelah Buntaro melangkah menghampirinya.
"Aku membatalkan tantangan itu."
"Kenapa?"
? *** Buntaro tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam. 'Tiga kawanku mati sia-sia. Dan aku merasa berhutang budi pada orang yang hendak kuajak bertarung. Dan yang lebih terpenting, kau memperlihatkan sikap ksatria. Dan itu membuatku kagum dan bangga. Kau punya kesempatan membunuhku. Namun, tak kau lakukan. Padahal kami mengajakmu bertarung untuk alasan yang tidak dimengerti. selain ingin menunjukkan kehebatan kepandaian kami. Tapi di sini aku belajar banyak, ada sesuatu yang patut dibanggakan ketimbang menjadi jago nomor satu. Yaitu persahabatan yang saling didasari ketulusan hati...," tutur Buntaro.
"Syukurlah kalau memang pendirianmu seperti itu. Kalaupun aku menerima tantangan, itu hanya sekadar untuk menghormatimu. Lain tidak," sahut Rangga, mantap.
"Jadi kau bersedia melupakan soal itu, dan merubahnya menjadi persahabatan sejati di antara kita berdua?" tanya Buntaro..
"Senang sekali aku mendengarnya, Buntaro....
'Terima kasih, Kawan!"
Buntaro menjulurkan tangan. Dijabatnya ta?ngan Pendekar Rajawali Sakti erat-erat.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" tanya Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Entahlah. Negeri ini indah. Dan raja di sini menawarkan pekerjaan padaku. Tapi, aku belum bisa melupakan begitu saja negeri leluhur ku...," desah Buntaro sambil mengangkat kedua bahunya.
"Itu bagus! Kau bisa pikirkan baik-baik selama menunggu masa penyembuhan mu," kata Rangga.
"Ya. Ada beberapa hal yang memberatkan ku untuk tinggal di sini. Sebelumnya, aku pernah ber?buat kejahatan. Dan aku merasa berhutang pada negeri ini. Sekali hutang, tetap hutang. Dan aku akan membayarnya. Namun, di negeri leluhur pun aku punya tugas yang tak bisa ku tinggalkan begitu saja. Pilihan ini membingungkan bagiku," papar Buntaro.
"Sobat! Ada pepatah yang mengatakan, memilih satu di antara dua pilihan baik, adalah perbuatan mulia ketimbang keduanya'. Jadi menurutku, hendaknya pilihanlah salah satu. Dan, tetapkan pilihan itu dengan keyakinan, kalau pilihan kita cukup bijaksana. Dengan begitu, kau telah berbuat sesuatu. Sebagai manusia, kita punya batas kemampuan. Ada yang bisa dikerjakan hanya satu orang, namun ada pula yang tidak...," urai Rangga, bijaksana.
"Terima kasih, Kawan. Itu baik sekali! Aku akan mengingatnya," Buntaro mengangguk. "Dan kau sendiri, apa yang hendak kau kerjakan?"
"Aku seorang pengelana. Maka setelah ini aku akan melanjutkan perjalanan...," jawab Rangga tegas.
"Tidakkah pernah terpikir olehmu untuk menetap" Punya istri, anak-anak dan sawah ladang" Kemudian hidup tenteram?" pancing Buntaro.
Rangga tersenyum manis. "Pernah...."
"Gadis itu kulihat tidak jelek Dan dari cahaya wajahnya bisa kutebak kalau dia punya hati bersih...," pancing Buntaro lagi.
Rangga tertawa renyah.
"Kenapa" Kenapa kau tertawa?"
'Tidak! Tidak apa-apa."
"Perkataanku salah" Atau..., barangkali kau masih suka gonta-ganti pasangan?"
"Dua-duanya tidak! Hanya saja, aku belum berminat mewujudkan angan-angan itu dalam waktu singkat. Mungkin karena merasa masih banyak yang mesti kukerjakan," kilah Rangga.
"Sayang sekali...," desah Buntaro.
Rangga tersenyum-senyum. Mereka ngobrol hal-hal lain beberapa saat kemudian.
? *** Hujan gerimis mulai turun membasahi Desa Kragan. Jalanan mulai becek dan tergenang air. Malam ini tampaknya semakin buruk bagi mereka yang hendak keluar rumah. Banyak orang lebih memilih untuk tinggal di dalam rumah. Tidur-tiduran, duduk dan ngobrol sambil menghirup kopi panas.
Di beranda sebuah rumah yang paling besar ini, berkumpul beberapa orang laki-laki berbadan kekar dengan senjata golok di pinggang masing-masing. Mereka agaknya adalah para centeng yang tengah ngobrol ngalor-ngidul.
Penduduk desa ini tahu, rumah besar berbentuk pendopo dari kayu dan berpanggung itu milik Juragan Aswatama, Selain pedagang besar juragan itu juga dikenal sebagai tuan tanah.
"Malam Jumat begini biasanya banyak hantu berkeliaran, Timan," kata salah seorang centeng.
"Jangan bicara sembarangan kau, Kliwon?" desis centeng yang dipanggil Timan. "Biasanya yang suka ngomong itu yang suka didatangi hantu."
"Hantu" Perkara itu kecil!"
Centeng bernama Kliwon menjentikkan jempol di ujung kelingkingnya. Namun baru saja dia bertingkah demikian...
Set! Tuk! "Aduhh...!"
Para centeng yang berkumpul di beranda terkejut ketika tiba-tiba Kliwon berteriak kesakitan sambil mendekap kepalanya. Dari sela-sela jarinya merembes darah segar.
Mereka semua mengedarkan pandangan de?ngan perasaan tegang. Tepat di tengah halaman, pandangan semua mata kini terpatri. Di antara derai rintik hujan gerimis, tampak seorang bocah berkepala botak dengan mata bulat seperti hendak keluar dari sarangnya. Sepasang kupingnya besar melebihi kuping rata-rata manusia biasa. Bocah tak berbaju dan tak bercelana itu terkekeh-kekeh kegirangan.
"Bocah edan! Kau rupanya yang melempar batu ke kepalaku, heh"!" bentak Kliwon, geram.
Laki-laki ini segera turun dan hendak menjewer telinga bocah itu. Namun baru melangkah dua tindak, mendadak dari sekujur tubuh bocah itu mengepul asap putih tebal disertai bunyi mendesis seperti bara tersiram air.
Blup! "Heh"!"
Begitu asap sirna terbawa angin ke udara, bocah itu telah berubah menjadi seekor monyet hitam yang terus melompat-lompat seperti mengejek. Kliwon yang memang pemberani sempat terkejut. Namun bukan berarti langkahnya tersurut.
"Jahanam!"
Kliwon mendengus, setelah memompa semangatnya. Langsung goloknya dicabut
"Kubunuh kau keparat!"
"Kliwon, eling! Jangan dikejar...!" teriak salah seorang centeng mengingatkan.
"Kliwon, jangan dilayani! Itu makhluk jejadian! Kau akan celaka!" timpal yang lainnya.
Bukan main khawatirnya para centeng melihat kejadian itu. Mula-mula mereka tercengang. Tapi ketika monyet itu mulai keluar menggoda, Kliwon terus mengejarnya. Tak dipedulikannya lagi luka di kepalanya.
"Kubunuh kau, Monyet Sial!" teriak Kliwon seraya membabatkan goloknya. Wuuttt...!
Monyet itu melompat ke atas tembok pagar. Kembali Kliwon menebaskan goloknya.
Wuuttt! Has...! Tapi, monyet itu mendadak menghilang di balik asap tebal. Begitu asap menghilang, yang terlihat kini seekor hewan yang mengejutkan. Seekor kelelawar raksasa!
"Coeeett..!"
"Heh..."!"
Dengan suaranya yang khas, hewan itu menjerit melengking. Dan sebelum Kliwon mampu meng?usir keterkejutannya, kelelawar raksasa itu telah menerkamnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan menyayat dari mulut Kliwon. Sebentar kemudian laki-laki ini ambruk dengan leher terkoyak. Darah menyembur deras dari lukanya. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi.
Melihat keadaan ini para centeng itu terkejut bukan main. Namun sebelum mereka mencabut golok, kelelawar raksasa itu menjerit panjang.
Jeritan itu disambut oleh jeritan-jeritan lain di angkasa. Ketika semua mata memandang ke langit, tampak gerombolan bayangan hitam tengah berarak, Malam pun semakin pekat. Dan ketika gelombang bayangan itu mendekat...
"Astaga! Kelelawar! Pasukan kelelawar...!" te?riak seorang centeng.
? ? *** ? 3 ? Para centeng di rumah Juragan Aswatama benar-benar kalang kabut begitu melihat ribuan kele?lawar berseliweran di sekitar mereka. Namun yang sudah terlelap dari tadi, seakan tak menyadari adanya bahaya.
"Ayo, bangun! Bangun! Ada ribuan kelelawar ke sini!"
"Aaah...!"
"Sial! Bangun! Hei, bangun! Jangan menggeliat terus! Kita terancam! Hantu jadi-jadian telah membunuh Kliwon. Cepat selamatkan diri kalian!"
"Sudah! Jangan macam-macam, Barja. Tidurlah kalau kau mau tidur...," teriak yang seorang.
"Brengsek!" centeng yang bernama Barja memaki kesal. "Terserah! Aku telah memperingatkan. Kalau kalian memang mau mampus, silakan saja. Tapi aku masih sayang nyawaku!"
Setelah itu Barja buru-buru masuk ke rumah besar ini. Salah seorang centeng sudah membunyikan kentongan kuat-kuat. Sementara centeng-centeng lain sudah keluar rumah menyelamatkan diri.
Barja tiba di depan pintu kamar Juragan As?watama.
"Juragan, bangun! Bangun, Juragan...! Ada yang tak beres! Bangun, Juragan...!" teriak laki-laki bertubuh tegap itu sambil mengetuk pintu keras-keras.
"Brengsek! Siapa itu"!"
Terdengar suara makian dari dalam kamar.
"Barja, Juragan! Ada yang perlu disampaikan, Juragan!" kata Barja, dengan suara keras.
"Malam-malam begini"!"
"Ini penting sekali, Juragan!"
Juragan Aswatama sudah hendak membuka pintu. Namun....
"Kakang...! Masa' begitu."
Orang terkaya di Desa Kragan itu terkesiap melihat apa yang ditunjuk wanita cantik di atas ranjang kamarnya. Saat ini dia hanya memakai celana dalam saja. Buru-buru dia melompat menyambar celana dan baju yang berserakan di bawah ranjang. Dengan terburu-buru dia memakai pakaian seperti gaya para prajurit yang tengah berperang. Sampai-sampai celananya terbalik. Yang mestinya di dalam, jadi di luar. Baru kemudian dia melangkah langsung membuka pintu.
"Ada apa, Barja"!" tanya Juragan Aswatama.
Wajah laki-laki ini kelihatan masam. Suaranya pun terdengar kesal ketika kepalanya muncul dari balik pintu kamar.
"Ada kawanan kelelawar menuju ke sini, Gan! Salah satunya berukuran raksasa. Bahkan Kliwon mati diterkam!" jelas Barja agak tergagap.
Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa urusannya denganku" Kalian kubayar untuk melindungi kami, bukan membangunkan ku tengah malam begini!" sentak Juragan Aswa?tama.
"Betul, Gan! Tapi jumlahnya banyak sekali. Dan kalau kami tak sanggup menghadapinya, Juragan siap-siap melarikan diri."
"Melarikan diri bapakmu!" maki Juragan As?watama. "Kau datang tengah malam dan menggedor pintu kamarku keras-keras. Lalu, menga?takan hal-hal aneh! Kau kira aku percaya semua itu" Otakmu memang encer! Tapi, jangan dikira aku tak tahu kalau kau bekas penipu, garong, ma?ling! Sekarang juga kau boleh berhenti, Barja! Pergiii...!"
"Juragan memecat ku?" tanya Barja, coba me-yakinkan.
"Apa telingamu tuli. Atau, kau berpura-pura tolol"! Kau ku pecat tanpa pesangon! Pergi dan cepat angkat kaki dari sini!"
Tapi sebelum Barja angkat kaki, terdengar suara riuh dari luar. Tak lama, disusul jeritan panjang.
"Apa itu" Apa yang terjadi"!" teriak Juragan Aswatama blingsatan. "Barja, cepat periksa...! Periksa apa yang terjadi di luar, lekas!"
"Maaf, Aswatama! Apakah kau tak ingat kalau aku penipu" Apa yang kukatakan tak bisa dipercaya. Percuma mendengar omonganku. Lagi pula, kau mesti ingat. Aku bukan pekerja mu lagi. Baru saja kau telah memecat ku tanpa pesangon. Seka?rang hadapi sendiri bahaya yang mengancam mu," sahut Barja tanpa memandang hormat lagi kepada laki-laki setengah baya ini.
Setelah bicara begitu, Barja berlari menyelamatkan diri sendiri.
"Barja, kembali kau! Barjaaa...!" teriak Juragan Aswatama.
Tapi percuma saja laki-laki ini berteriak-teriak. Karena jangankan Barja kembali. Menoleh pun ti?dak.
"Brengsek!" maki Juragan Aswatama, geram. Sementara suara-suara di luar semakin santer saja terdengar. Hati laki-laki ini mulai ciut. Tubuhnya gemetar ketiga jantungnya berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya.
"Jangan ke mana-mana! Jangan bukakan pintu untuk siapa pun, kecuali aku. Mengerti?" pesan Juragan Aswatama pada istrinya sebelum menutup pintu kamar.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengangguk. Dia melihat wajah suaminya kelihatan pucat ketakutan. Tapi dia pun lebih ketakutan lagi.
Dengan hati-hati Juragan Aswatama melang?kah ke depan. Dia bermaksud menutup pintu serta jendela yang lupa dikunci sebelum tidur tadi. Tapi saat itu juga....
Siuuttt..! Mendadak melesat sebuah bayangan hitam ke arahnya. Buru-buru dia menunduk, kalau tak ingin tersambar.
"Binatang haram jadah!" maki Juragan Aswa?tama geram, ketika melihat bayangan hitam yang ternyata seekor kelelawar besar.
Dan saat itu juga dari depan terlihat puluhan kelelawar menerobos masuk, beterbangan di dalam rumah. Binatang-binatang itu langsung memporak-porandakan barang-barang yang bisa dihajar.
"Binatang terkutuk! Keluar kalian! Keluaarrr!" bentak Juragan Aswatama garang.
Laki-laki setengah baya itu kalang kabut sen?diri. Cepat dia melompat ke dinding. Buru-buru disambarnya sepasang pedang yang menempel di dinding di ruang tamu.
Siut! Siut! "Mampus kalian! Mampus...! Hiih!" dengus Ju?ragan Aswatama seraya menyabetkan kedua pedangnya ke sana kemari.
"Hi hi hi...! Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Gendut!"
"Hei"!"
*** ? Juragan Aswatama yang memang bertubuh tambun itu menoleh ke pintu. Tampak di ambang pintu depan berdiri seorang laki-laki kurus dan berkulit hitam. Badannya tak terbungkus baju sepotong pun. Kepalanya memakai sorban putih. Celananya panjang gombrong berwarna putih. Di bawah hidungnya yang bagai paruh burung betet, tumbuh kumis lebar. Kelopak matanya agak ke dalam.
"Siapa kau"!" bentak Juragan Aswatama.
"Perkenalkan! Aku Banghadur Gupta alias Penyihir Sakti Dari Benggala," sahut laki-laki hitam itu.
"Namamu aneh. Dan negeri yang kau sebutkan belum pernah kudengar sebelumnya. Apa maumu"!" tanya Juragan Aswatama, dengan mata melotot.
"Memang! Aku berasal dari tempat yang cukup jauh di seberang lautan sana. India namanya dan keinginanku ke sini karena tertarik pada harta benda yang kau miliki, sehingga menimbulkan hasratku untuk segera memilikinya. Hi hi hi...! Kalau kau tak mau celaka, berikanlah padaku dengan cuma-cuma!" papar laki-laki bernama Banghadur Gupta atau berjuluk Penyihir Sakti Dari Benggala.
"Keparat! Jadi kau sebangsa rampok, he"! Ja?ngan harap aku akan menyerah, begitu mudah. Kau boleh mampus dan mengambilnya di akhirat sana!" desis Juragan Aswatama, berang.
Sebentar laki-laki bertubuh tambun itu memandang ke sekeliling. Sepertinya dia mencari-cari sesuatu.
"Gumira! Sukma! Ke mana kalian"! Keparat! Kalian hanya makan gaji buta saja!" Juragan Aswatama berteriak-teriak memanggil para centeng-centengnya. Namun tak seorang pun yang menyahut. Apalagi datang menghampiri.
"He he he...! Kau memanggil mereka yang ada di luar" Mereka telah kukirim ke akhirat!" kekeh Banghadur Gupta.
"Kurang ajar! Kalau begitu susullah mereka ke sana. Heaaat!" Juragan Aswatama mendengus geram, lalu melompat menyerang. Kedua bilah pedangnya dibabatkan ke arah leher dan pinggang Banghadur Gupta.
Wus! Wut! "Hei"!"
Juragan Aswatama tercekat dengan wajah penuh keheranan. Mendadak saja, orang yang jadi sasaran dua pedangnya lenyap dari pandangan. Se?hingga, pedang itu hanya menerabas angin saja!
"Keparat! Ke mana kau, Jahanam! Jangan kira bisa mempermainkan ku!" teriak laki-laki tambun itu sambil berjalan berkeliling ruangan ini dengan sorot mata nyalang. "Tunjukkan dirimu!"
"He he he...! Aku tengah mempermainkan di?rimu, Juragan!" mendadak terdengar suara tanpa wujud.
"Hei"! Hiih!"
Bet! Wut! Juragan Aswatama menggeram seraya menyabetkan pedang ke kiri. Dari situlah suara tadi didengarnya. Dan seperti tadi, pedangnya hanya membabat angin.
"Hi hi hi...! Juragan tolol, aku di sini! Kenapa kau malah menebas angin" Aku di sini! Ayo, tebas leherku! Aku di sini...! Hi hi hi...! Ayo, kemari! Kemari Juragan goblok!" Kembali terdengar suara tanpa wujud yang bernada mengejek.
Juragan Aswatama menoleh ke sana kemari. Suara yang didengarnya memang bagai datang dari segala arah.
"Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau! Kubunuh kaaaauu..!"
Juragan Aswatama menjadi kalap. Seketika kedua pedangnya menerabas ke sana kemari, membabi-buta.
Wut! Prak! Bruk!
"Heaaa...!"
Bret! Bret! Brukkk!
"Hi hi hi...! Juragan tolol! Goblok! Otak kerbau! Apa yang kau kerjakan di rumahmu sendiri" Kau merusak barang-barangmu! Dasar goblok! Hi hi hi...! Kau kira bisa menghalangi niatku mengambil segala perhiasan dan uang yang kau miliki?" Suara tanpa wujud itu kembali bergema. Dan bersamaan dengan itu, terlihat cahaya-cahaya berkilauan tertimpa sinar lampu.
Juragan Aswatama terkesiap seraya menegaskan pandangan. Tampak kelelawar-kelelawar yang beterbangan itu keluar dari kamar pribadinya de?ngan membawa sesuatu yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
"Ohh.... Permata! Perhiasan ku! Emas"! Kembalikan! Kembalikan! Binatang keparat!" teriak laki-laki tambun ini seraya mengejar kelelawar-kelelawar yang membawa kabur perhiasan-perhiasannya.
Tapi ketika Juragan Aswatama mengejar ke pintu, dari halaman depan terlihat seekor banteng liar tengah mengais-ngais kaki depan sambil menggeleng-gelengkan kepala disertai semburan napas kasar.
"Mooughh...!"
Disertai lenguhan panjang, banteng liar itu berlari kencang menghampiri Juragan Aswatama.
"Astaga! Apa itu"! Celaka! Aku mesti lari! Aaah...!"
Tanpa pikir panjang laki-laki tambun itu berbalik, langsung berlari kencang menyelamatkan diri.
Bruk! Brak! Banteng liar itu menghajar pintu depan sampai lepas dari engselnya. Bahkan langsung memporak-porandakan kursi dan meja serta segala perabotan yang ada di ruangan depan. Kemudian menerobos ke dalam, menghajar pintu-pintu kamar sampai jebol dan merusak segala yang ada.
"Aouuww...! Tolong! Kakang, tolooong...!"
"Ayahhh...!"
Sebentar saja suasana gaduh mewarnai isi ru?mah. Anak-anak Juragan Aswatama yang tadi terlelap tidur, kini terbangun dan langsung kalang kabut Demikian pula istri laki-laki tambun itu.
Juragan Aswatama sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya mampu mendengar serta meli?hat anak istrinya yang kalang kabut dari jauh di belakang rumahnya. Ketika melarikan diri tadi, dia tak sempat memperingatkan mereka.
"He he he...! Ayo, sobat-sobatku! Habiskan semua benda berharga di rumah ini! Hi hi hi...! Lekas! Karena kita akan berpesta di tempat lain!" teriak Banghadur Gupta yang telah menampakkan wujudnya kembali.
Kini yang masuk ke dalam rumah bukan hanya kelelawar dan banteng liar, tapi segala hewan lain seperti kambing, kerbau, ular, dan lain sebagainya. Isi rumah juragan itu seperti hutan saja layaknya. Penuh hewan-hewan beraneka ragam.
"Ayo kita pergi! Hi hi hi...!" ajak Banghadur Gupta sambil tertawa mengekeh meninggalkan rumah itu. Di belakang laki-laki dari India itu, menyusul hewan-hewan suruhannya. Mereka amat penurut seperti mengerti apa yang diperintahkan manusia ceking bertelanjang dada itu. Bahkan para penduduk desa yang terbangun karena keributan itu, mendecah kagum melihat pemandangan aneh didepan mata.
"Duh, Gusti Allah! Apa dosa Juragan Aswata?ma hingga mengalami nasib buruk seperti ini?" gumam seorang penduduk. Belum lagi habis rasa kaget, mendadak terde?ngar derap langkah kuda menghentak-hentak bumi.
? *** ? Para penduduk Desa Kragan melihat dua laki-laki berkuda tengah berteriak-teriak di sepanjang jalan utama ini. Mereka menggebah kudanya kencang-kencang sambil mengacung-acungkan golok besar di tangan kanan.
"Dua orang bersaudara yang dikenal sebagai Golok Kembar!" desis seorang penduduk, ketika mereka melintasinya.
"Mau apa mereka ke sini?" tanya penduduk lain yang berdiri di sebelah.
"Mana kutahu"! Tapi melihat gelagatnya mere?ka mengejar orang aneh yang merampok harta Ju?ragan Sendang Awur."
Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Dua manusia berjuluk si Golok Kembar yang bernama Subala dan Subali memang mengejar Penyihir Sakti Dari Benggala. Dan yang dikejar bukannya tidak mengetahui. Malah sengaja memperlambat jalannya.
"Keparat busuk, berhenti kau!" bentak yang bernama Subala seraya menghentikan lari kudanya.
"Eee, apa"! Ada apa"!" tanya Banghadur Gup?ta berbalik, pura-pura berlagak bodoh.
"Masih juga kau berlagak pilon, Jahanam"! Kau telah menguras harta Juragan Soma. Dan sekarang kau malah menggasak harta keluarga Juragan Aswatama. Kau benar-benar harus mampus!" desis yang bernama Subali.
"Mampus" He he he...! Siapa sudi" Tapi siapa yang mau mampus duluan" Kalian" Hi hi hi...! De?ngan senang hati aku akan melihatnya," sahut la?ki-laki kurus dari India itu.
"Setan!"
Subala bersiap akan lompat dari punggung ku?danya. Begitu juga Subali saudara kembarnya. Na?mun sebelum hal itu dilakukan, kuda mereka meringkik keras dan melompat-lompat liar.
"Hieeekh...!"
"Brengsek!"
Subala dan Subali memaki-maki tak karuan. Langsung mereka melompat turun. Namun kedua kuda yang ditunggangi masih tetap mengamuk. Bahkan menyerang mereka.
"Hi hi hi...! Anak manis, ayo lekas injak me?reka! Kalian tahu, apa yang mesti dilakukan. Bunuh mereka! Injak tubuh mereka sampai gepeng!" teriak Banghadur Gupta.
"Keparat! Iblis itu memiliki ilmu sihir!" desis Subala.
"Ya! Seperti yang dikatakan Juragan Soma." "Kita mesti bunuh kuda-kuda ini, sebelum membunuh kita! Tak ada jalan lain."
'Ya." Kedua orang kembar itu bukan orang sembarangan. Kalau hanya dua ekor kuda mengamuk tentu perkara mudah. Meski bisa menghindari setiap amukan kedua kuda itu, namun tujuan si Golok Kembar terhambat untuk meringkus Banghadur Gupta. Sebab, setiap kali mendekati laki-laki kerempeng berkulit hitam itu, kedua kuda itu selalu menghalangi. Sehingga mau tak mau terpaksa mereka menyerang kedua kuda itu.
Seketika mereka melompat sambil menebaskan golok ke arah leher-leher kuda.
Cras! Bret! "Hieeekh!"
Golok-golok itu tepat menebas leher. Darah memancur deras. Dan kedua kuda itu kontan roboh tak bernyawa.
"Sayang sekali...!" ucap Banghadur Gupta dengan suara lirih. "Kedua kuda itu amat penurut. Dan kalian telah membunuhnya dengan kejam...."
"Tidak usah bersedih karena sebentar lagi kau akan menyusulnya!" dengus Subala.
"Mampus!" desis Subali sambil melompat Go?loknya cepat menghantam batok kepala laki-laki dari India itu.
Wut! Plas! "Hei"!"
Tiba-tiba saja Banghadur Gupta menghilang dari pandangan sehingga golok di tangan Subali hanya memapas angin. Namun tahu-tahu orang bersorban itu muncul kembali di belakangnya. Dekat dengan Subala.
"Apakah Juragan Soma tidak memberi tahu kalau kalian hanya mengantar nyawa bila berani macam-macam denganku?" leceh Banghadur Gup?ta.
"Beliau hanya bilang kalau kau bakal mampus di tanganku!" dengus Subala sambil membabatkan goloknya ke leher Penyihir Sakti Dari Benggala.
Wut! Kali ini Banghadur Gupta tidak menghilang, tapi melompat ke belakang. Dan Subali tak menyia-nyiakan kesempatan. Goloknya cepat berkelebat ke leher.
Wut! Tapi Banghadur Gupta hanya mengegoskan kepalanya sedikit, sehingga golok itu luput dari sasaran.
Tepat ketika Penyihir Sakti Dari Benggala tegak kembali, tangannya bergerak cepat. Langsung ditangkapnya pergelangan tangan Subali.
Tap! "Hiih!"
Banghadur Gupta langsung memelintir tangan Subali. Sementara kaki kanannya menyodok ke ulu hati.
Desss...! "Aaakh...!"
Subali berteriak kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan goloknya pun berpindah tangan.
"Itu giliranmu, Sobat" kata Banghadur Gupta, begitu melihat banteng liar suruhannya yang sudah menyelesaikan tugasnya dan kini berdiri garang dengan mata nyalang tak jauh dari situ.
Begitu mendapat isyarat dari majikannya, se?rentak banteng itu menunduk hingga jelas terlihat sepasang tanduknya yang runcing melengkung tajam. Dan seketika banteng itu berlari kencang menyeruduk Subali.
Jrosss! "Aaa...!"
Subali tak mampu menghindari. Tak ampun lagi, ujung tanduk banteng liar menyeruduk perutnya. Pekik kesakitannya kontan menggema di tengah malam.
Sementara Banghadur Gupta terus terkekeh kegirangan. Apalagi ketika melihat Subala terkejut, lalu buru-buru lari dari tempat itu dengan wajah pucat ketakutan.
"Hi hi hi...! Dasar pengecut-pengecut hina! Kematian lebih baik ketimbang kalian hidup!" ejek laki-laki dari India itu, seraya melangkah tenang.
? *** ? 4 ? Gunung Karacak berdiri kokoh seperti hendak menentang langit. Di bawahnya, membentang sebuah lembah yang makin lama makin menjorok ke bawah bila berjalan menuju timur. Di sebelah timur lembah yang cukup terpencil, terdapat sebuah gubuk sederhana terbuat dari kayu. Namun bagian dindingnya ditutupi kamar yang selalu basah. Agaknya lumpur itu didapat dari dasar telaga yang tepat berada di sebelahnya.
Gubuk itu memang tersamar oleh pepohonan yang banyak terdapat di sepanjang tepi telaga. Sehingga penduduk sekitar tak ada yang menyangka kalau di tempat itu berdiri sebuah gubuk.
Seorang laki-laki setengah baya keluar dari gubuk itu. Bertelanjang dada, dengan celana pendek yang merupakan kain panjang dibalut sedemikian rupa untuk sekadar menutupi aurat bagian bawah. Kulitnya hitam. Hidungnya persis paruh betet dengan kelopak mata agak dalam. Sepasang matanya bersinar tajam ketika memandang sesuatu. Di kepalanya terdapat sorban putih. Siapa lagi kalau
bukan Banghadur Gupta"
"Hi hi hi...! Hasil tadi malam lumayan juga. Harta ku telah banyak bertumpuk. Dan..., kurasa telah cukup untuk membangun sebuah istana megah. Kemudian aku akan menjadi rajanya. Maha?raja Banghadur Gupta! Hi hi hi...!" oceh Penyihir Sakti dari Benggala.
Laki-laki dari India ini tertawa sendiri, lalu duduk di atas batu depan gubuk tadi. Tengah ter?tawa begitu, burung-burung yang berada di sekitar tempat itu mendekat. Demikian pula buaya-buaya yang ada di dalam telaga, keluar dan mendekat ke arahnya. Ular-ular berdatangan dari semak-semak. Bahkan segala hewan yang berada di sekitar tempat itu.
"Dengarkan baik-baik!" ujar Penyihir Sakti Dari Benggala pada hewan-hewan itu seperti merasa yakin kalau mereka mengerti ucapannya. "Bila kelak aku menjadi mahajara, maka kalian kuangkat men?jadi bala tentara ku. Kita akan menjadi suatu kera?jaan kuat. Lalu, satu persatu kerajaan di dunia ini akan kita taklukan. Dan akan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak kurang ajar pada kerajaan kita. Aku ingin agar setiap orang yang mendengar nama Banghadur Gupta akan menggigil tubuhnya karena ketakutan!"
Seketika terdengar suara riuh hewan-hewan itu sebagai sahutannya Tak jelas apa yang dikatakan binatang-binatang itu. Namun Banghadur Gupta agaknya mengetahui. Dia terkekeh senang sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"He he he...! Jadi kalian setuju aku menjadi maharaja" Hi hi hi...! Bagus! Tapi..., tadi kudengar ada yang meragukan kerajaan kita, kenapa" Apa karena kita kurang kaya" Kurang kuat balatentaranya" Atau...."
"Hauummm...!"
Mendadak seekor harimau loreng mengaum keras, sehingga kepalanya terdongak ke atas dan mulutnya terbuka lebar.
"Ha ha ha...! Sahabatku yang perkasa! Jadi, itulah alasanmu" Raja negeri ini lebih kaya dari kita" Dan dia juga memiliki bala tentara kuat" Itu mudah saja. Kalau begitu, mengapa tidak kita rebut kekayaannya" Kemudian kita patahkan kekuatan bala tentaranya"!" sahut Banghadur Gupta, lantang.
Harimau tadi kembali mengaum. Suaranya tetap menggelegar seperti tadi. Sementara kawanan serigala saling melolong bersahutan. Demikian pula kawanan banteng liar yang melenguh panjang de?ngan napas kasar. Yang lainnya pun memperlihatkan sikap sama. Kalau tidak, tak mungkin Bangha?dur Gupta terus mengekeh.
"Ha ha ha...! Kalian setuju" Bagus! Itu baru prajurit-prajurit setia. Barang siapa yang tak setia padaku akan kupenggal lehernya. Dia lebih baik mati!"
Hewan-hewan itu kembali mengeluarkan suara khas masing-masing, membuat Banghadur Gupta mengangguk-angguk puas. "Kalau begitu, malam nanti juga akan kita adakan pesta besar-besaran di istana kerajaan ne?geri ini!" lanjut si Penyihir Sakti Dari Benggala. "Dan seperti yang kukatakan tadi, kita rampas kekayaan mereka. Lalu kita patahkan kekuatan ba?la tentara mereka!"
Hewan-hewan itu mengeluarkan suara lebih keras ketimbang tadi. Dan Banghadur Gupta kem?bali mengangguk-angguk. Tapi pada saat itu terlihat belasan ekor burung terbang dari arah selatan menuju ke tempatnya.
"Hei, ada apa di sana"!"
Pertanyaannya itu tak perlu dijawab, sebab Penyihir Sakti Dari Benggala segera mengetahui apa penyebab terbangnya burung-burung itu.
"Rajawali raksasa"! Kalian melihatnya"!" tanya Banghadur Gupta tampak kaget. Namun di satu isi terlihat seringai senyum kegembiraan. "Ini berita bagus untukku! Perlihatkan! Di mana rajawali rak?sasa itu berada!"
Dua ekor burung kecil terbang berputar seben?tar di atas kepala. Dan bersamaan dengan melesatnya Banghadur Gupta dari tempat duduk, maka secepat itu pula dua ekor burung tadi melesat
? *** ? Mata Penyihir Sakti Dari Benggala jelalatan beredar ke sekeliling. Kemudian bibirnya tersenyum ketika memandang ke tempat yang ditunjukkan ke?dua burung. Semak-semaknya kelihatan menyingkir ke pinggir. Dan di sekitar itu pun debu-debu menepi membuat lingkaran besar yang samar dipandang mata.
"Ini dia!" seru Banghadur Gupta gembira ke?tika melihat setumpuk benda lembek berbau tak enak. Mirip tahi kerbau! "Dia membuang hajat di sini. Berarti terbang ke sana..., sana!" tunjuk Banghadur Gupta ke utara.
Dan mendadak, Banghadur Gupta bersuit nyaring. Dan tak lama seekor kuda jantan berbulu coklat berbelang putih muncul. Dengan sigap laki-laki berkulit hitam ini lompat ke punggung dan menggebahnya kencang-kencang.
"Ayo, lari sekuat-kuatnya! Kerahkan semua tenagamu. Kita harus cepat-cepat menyusulnya. Rajawali itu harus kumiliki!"
"Hieee...!"
Seperti mengerti kata-kata Penyihir Sakti Dari Benggala. Sebentar saja, mereka telah melewati padang datar seluas ratusan tombak. Kuda itu terus berlari, dan belum juga memperlihatkan tanda-tanda letih. Bahkan larinya masih mantap seperti semula.
"Titik itu! Aku yakin pasti dia!" seru Banghadur Gupta dengan wajah berseri-seri. "Lekas pacu te?nagamu lagi! Cepaaat!"
Namun, kuda coklat itu tak lagi punya persediaan tenaga. Larinya masih kencang seperti tadi, namun tak berubah. Bahkan ketika Banghadur Gupta memukul-mukul pantatnya, larinya semakin lambat.
Pukulan itu bukan pukulan untuk memberi semangat. Karena geregetan dan kesal, Penyihir Sakti Dari Benggala memukul kuat-kuat hingga kuda itu kadang meringkik kesakitan. Dan sedikit pun Bang?hadur Gupta tidak menghiraukannya. Hatinya malah kesal dan marah melihat kudanya berlari semakin lambat
"Celakalah kau! Apa ingin kepalamu kupenggal" Lekas lari yang kencang!"
Namun, kuda itu tetap berlari seperti tadi. He?wan itu bukan berarti tak mengerti apa yang diperintahkan majikannya. Juga bukan tidak takut oleh ancaman itu. Tapi tenaganya memang sudah terkuras habis. Malah saat ini pun tenaganya telah berusaha dikempos habis.
"Brengsek kau! Cepat! Lebih cepat lagi...!" teriak Banghadur Gupta sambil menepuk pantat kuda keras-keras.
Kuda coklat itu meringkik kesakitan. Namun Banghadur Gupta tak peduli. Mata dan hatinya ha?nya tertuju pada satu titik di langit luas. Titik hitam itu bergerak pelan, namun terlalu tinggi di angkasa.
"Suiiit...!"
Banghadur Gupta bersuit nyaring. Suitan itu tidak bisa dianggap sembarangan, karena mengandung getaran sihir. Bahkan mampu mengadakan hubungan batin antara dirinya dengan hewan yang diminati. Kalau saja ada seekor hewan yang men?dengar suitan itu, niscaya akan berpaling dan men?dekat padanya serta siap menerima perintah. Na?mun titik hitam di atas langit itu tak bergeming. Dan itu membuatnya geram.
"Kurang ajar! Kau coba melawanku, he"! Tak satu hewan pun yang tak bisa ku peroleh! Termasuk kau! Kau akan segera kumiliki!" desis Banghadur Gupta, geram.
Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit Lebih nyaring dibanding sebelumnya. Beberapa ekor burung yang berada di sekitarnya mengalihkan terbangnya dan mengikutinya.
Sementara itu titik hitam di angkasa yang dikejar sejak tadi, kelihatan merendahkan terbang?nya secepat kilat. Sehingga, Banghadur Gupta bisa melihat jelas sepasang sayap terentang demikian besar.
"Astaga! Jadi cerita itu benar! Dan, aku tidak bermimpi! Kutemukan rajawali raksasa yang benar-benar langka!" decak laki-laki ini penuh kekagum-kagum. Tapi hal itu membuatnya lengah. Karena dalam sekejap, rajawali raksasa itu kembali membubung jauh ke angkasa.
"Suiiittt...!"
Banghadur Gupta kembali bersuit. Saat itu juga rajawali tadi menukik. Gerakannya seperti menahan sedotan luar biasa yang datang dari bawah. Sayapnya dikepak-kepakkan untuk mengatur keseimbangan.
"Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul bertenaga, ya" Rasakan yang ini!" dengus Banghadur Gupta.
Kembali Penyihir Sakti Dari Benggala bersuit. Kali ini disertai tenaga dalam sepenuhnya, sehingga memekakkan siapa pun yang mendengar.
"Suiitt...!"
Hasilnya terlihat nyata. Rajawali raksasa itu menukik tajam, tak tertahankan lagi.
"Hi hi hi...! Baru tahu rasa kau sekarang!"
"Hieeekh...!"
Namun Banghadur Gupta agaknya melupakan sesuatu. Akibat suitannya tadi, kudanya meringkik lirih dengan tubuh ambruk terkulai.
Bruk! "Hup!"
Karuan saja laki-laki ini terkejut. Buru-buru dia melompat. Padahal saat itu kedua sayap rajawali raksasa itu telah menaungi mereka.
Wuusss...! "Uhh...!"
Banghadur Gupta dalam keadaan tak siap. Se?hingga tanpa ampun tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, lalu terjerembab bersama kuda tunggangannya yang sekarat ketika kedua sayap raja?wali raksasa itu terkepak-kepak.
Waktu yang singkat telah cukup bagi rajawali raksasa itu untuk kembali melesat ke angkasa ketika pengaruh sihir Banghadur Gupta hilang dalam pikirannya. Sementara laki-laki berhidung mancung dengan kepala bersorban itu masih terengah-engah ketika bangkit berdiri. Bola matanya memandang kesal ke arah rajawali yang telah membubung se?makin tinggi.
"Awas kau! Suatu saat nanti, kau akan kumi?liki!" umpat Banghadur Gupta, geram.
"Hi hi hi...! Dasar serakah! Sebaiknya sesuatu yang bukan milik kita tak perlu dikejar-kejar. Hasil?nya akan seperti tadi!"
Mendadak terdengar suara dari belakang. Nadanya jelas mengejek. Banghadur Gupta menoleh. Matanya meman?dang tajam pada seorang laki-laki tua berambut putih yang tengah berdiri seenaknya sambil bersandar di batang pohon. Kedua tangannya terlipat di dada. Di pinggangnya tersampir sebuah guci.
"Orang luar sebaiknya tidak usah ikut campur kalau tak ingin celaka!" dengus Banghadur Gupta dingin.
"Maaf kalau penilaianmu begitu, Sobat. Namaku Ki Demong. Siapa Kisanak ini" Dan, datang dari mana?" ucap laki-laki tua yang ternyata Pemabuk Dari Gunung Kidul.
? *** ? "Kau tak perlu tahu. Dan juga aku bukan sobatmu!" desis Banghadur Gupta masih ketus. Nadanya sama sekali tidak bersahabat. Apalagi ketika berbalik dan meninggalkan Ki Demong begitu saja.
"Hei, Sobat! Tunggu dulu...!" cegah Pemabuk Dari Gunung Kidul, seraya mengikuti.
"Aku bukan sobatmu! Apakah kau tak tahu malu"!" sahut Banghadur Gupta tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya.
"Ya, ya..., aku tahu!" Kata Ki Demong. "Dalam perjalananku selama ini, sering kulihat orang-orang sepertimu. Berkulit hitam, memakai sorban dan bertelanjang dada. Serta..., maaf! Hanya memakai cawat!" Ketika mengucapkan kata yang terakhir, Ki Demong tertawa mengikik. "Mereka berdagang obat yang khusus untuk laki-laki! Harganya cukup mahal. Dan aku tak kuat membelinya. Karena kau tidak sedang berdagang, mungkin sudi memberikan padaku barang sebotol atau dua botol" Ayolah.... Itu tidak membuatmu rugi kan" Aku sangat memerlukannya!" lanjut Ki Demong.
Banghadur Gupta menghentikan langkah, lalu berbalik. Matanya memandang tajam, sampai-sampai Ki Demong bergidik ngeri. Namun dia berusaha menepis dengan tersenyum-senyum kecil.
"Dengar, Pemabuk! Aku bukan kawanmu! Dan akupun bukan penjual obat kuat. Jadi jangan ganggu aku lagi! Kalau tak menuruti, jangan menyesal kalau kau akan mendapat celaka!" dengus Pe?nyihir Sakti Dari Benggala, geram.
"Mendapat celaka" Celaka apa?" tanya Ki De?mong berpura-pura.
"Kupatahkan lehermu!" desis Banghadur Gup?ta mengancam. Dan setelah itu, tubuhnya berbalik dan meneruskan langkahnya.
"Aduh, galak betul!" seru Ki Demong. "Bagai?mana dengan kudamu" Dia sekarat. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja"!"
Banghadur Gupta tak menjawab.
Ki Demong terkekeh-kekeh sendiri. Diambilnya guci dari pinggang dan diangsurkan ke bibirnya. Ditenggaknya tuak dalam guci. Matanya tak lepas memandangi orang asing itu dari kejauhan.
"Dasar orang aneh! Dikiranya di dunia ini ha?nya dirinya saja yang hitam dan berhidung mancung!" umpat Ki Demong kesal.
Beberapa saat setelah Banghadur Gupta lenyap dari pandangan, dari arah lain dua orang berjalan ringan dan agak cepat. Ki Demong tersenyum. Wajahnya berseri-seri ketika melihat salah seorang yang dikenalnya dengan baik.
"Sobatku, Rangga! Dari mana saja kau selama ini?" sapa Ki Demong.
Salah seorang yang tengah berjalan ringan itu menoleh. Dia tak lain adalah Rangga. Di sampingnya, seorang gadis cantik yang tak lain Malini.
"Apa kabar, Ki Demong" Mudah-mudahan kau selalu baik...," balas Rangga seraya menjura hormat
"Wueeeh! Kau selalu menanyakan kabarku dan berharap aku selalu baik-baik. Padahal, tidak! Aku selalu kekurangan uang. Dan yang paling penting, aku tetap saja tak laku-laku di mata perempuan. Beda denganmu. Setiap kali bertemu, selalu menggandeng gadis cantik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau ini kalah tampan dibandingkan aku!" cibir si Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan wajah sombong.
"Memang betul, Sobat. Kau ini kelewat tam?pan. Tapi sayang, tak ada yang tahu. Kenapa tidak kau katakan saja setiap kali bertemu" Katakan pada mereka bahwa kau laki-laki tertampan sejagat ini!" kata Rangga, sedikit berseloroh.
"Kau kira aku sinting, apa"!"
Rangga tersenyum-senyum ketika melihat se?pasang mata Ki Demong membulat lebar.
"Ya, kadang-kadang aku memang berniat be?gitu. Tapi, perlu juga pendukung...," desah Ki De?mong.
"Aku selalu mendukungmu! Kenapa, tidak?" sambar Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan kau yang ku maksud!" semprot Ki Demong.
"Lho, lalu apa?"
"Yaaah, seperti yang pernah kulihat di tukang obat yang suka berjualan di tengah keramaian. Obat pemikat perempuan!"
"Obat pemikat perempuan" Pelet"!"
Mata Rangga mendelik lebar. Malini tersenyum-senyum.
"Gila! Orang setampanmu tak perlu menggunakannya. Minyak pelet itu akan kalah pamornya ketimbang ketampananmu!" kata Pendekar Raja?wali Sakti.
"Semprul kau, Bocah! Bisa saja kau ngecap di depanku. Siapa bilang tidak ada khasiatnya" Buktinya banyak orang memakainya, dan berhasil. Tadi aku minta pada orang asing itu. Tapi sayang, tak diberi..," keluh Ki Demong tampak masygul.
"Minta pada orang asing" Memangnya dia punya minyak pelet?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Biasanya orang seperti mereka punya!"
"Bagaimana bisa seyakin itu?"
"Entahlah. Selama ini yang kulihat berjualan obat, yaaah, orang-orang seperti mereka! Dan yang membuatku lebih yakin, dia mampu memanggil burung-burung dan hewan-hewan. Mereka semua mendekati dan berkeliling di dekatnya. Dan..., yang satu ini kau pasti tak akan percaya!" jelas Ki De?mong dengan wajah berbinar. Bibirnya tersungging senyum.
"Apa yang membuatku tak percaya?" tanya Rangga.
"Dia sedang mengakali burungmu!" Bola mata Ki Demong membulat lebar. Bibir?nya masih menyungging senyum bangga.
"Burungku?" ulang Rangga.
"Jangan jorok kau, Rangga! Maksudku, burung rajawali raksasa tungganganmu yang edan itu"!"
Sungguh Rangga tak bermaksud jorok. Hanya Ki Demong saja yang terbiasa dengan hal-hal yang ngeres. Dan orang tua itu tersenyum dalam hati melihat wajah Rangga memerah bagai udang rebus, karena malu. Apalagi di sisinya ada Malini
"Rajawali Putih sahabatkku..."!" desis Rangga, kaget.
"Nah! Kau tak percaya, 'kan" Aku tidak mabuk, Sobat. Kulihat setitik hitam di angkasa, lalu aku mengikuti. Titik hitam itu melesat turun, namun secepatnya kembali membubung ke angkasa. Aku terus mengikuti. Dan kulihat orang asing itu penasaran sekali. Dia bersuit dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, sampai-sampai telingaku mau pecah rasanya. Namun tidak sia-sia. Karena ternyata titik hitam itu rajawali raksasa sahabatmu. Dia menukik tajam sambil mengibaskan kedua sayapnya. Sehingga orang asing itu jungkir balik dibuatnya. Lalu secepat kilat membubung kembali ke ang?kasa, menjadi setitik hitam lagi," jelas Ki Demong.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " ?"?"?" ?"?" ?"?"?"?"
?"?"?"?"" alt + /, ?"" ?"?"?"?" ?" ?"?"
209. Memburu Rajawali Bag. 5 - 8 (Selesai)
Pendekar Rajawali Sakti 209 Memburu Rajawali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
21 ?"?"" 2015 ". " 9:16
5 ? "Apa kau yakin?" tanya Rangga, coba menegaskan.
"Sialan! Kau mengira aku mengarang-ngarang cerita"!" sahut Ki Demong, kesal.
"Bagaimana bentuk orang asing itu?"
"Kenapa" Kau ingin minta minyak pelet juga?"
"Mungkin...," sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum,
"Aku saja tak diberi.... Apalagi kau! Orangnya galak, sombong, dan..., hati-hati saja kau! Karena dia penasaran. Salah-salah kepalamu dipecahkan. Begitu ancamannya padaku kalau aku terus merongrong!"
"Mungkin denganku lain...."
"Sial! Kau ingin mengatakan kalau nasibmu lebih baik dariku" Dasar bocah edan!"
'Tapi, buktinya begitu 'kan" Aku sering membayarimu makan, sedangkan kau tidak. Aku sering bersama perempuan cantik. Dan kau tidak."
Dahi Ki Demong berkerut. Kepalanya meng?angguk kecil.
"Iya, benar juga...," sahut Ki Demong.
"Nah! Kalau begitu, katakan saja bagaimana ciri-cirinya! Siapa tahu dia mau memberikannya padaku," ujar Rangga.
"Kau ingin menyusulnya?"
Rangga mengangguk.
"Kalau begitu, ajak juga aku!" pinta Ki De?mong.
"Tidak bisa...."
"Kalau begitu tak akan kukatakan!" potong Ki Demong sebelum bicara Rangga habis.
"Brengsek!" Rangga memaki di hati. Namun wajahnya coba dimaniskan. "Kenapa kau tidak menunggu saja di sini" Kau sudah coba meminta, tapi tak diberi. Berarti, dia tak suka padamu. Dan kalau kau ikut mengejarnya, dia tentu akan menduga kalau kau kawanku. Se?hingga dia tak mau memberikannya pula."
Ki Demong mengangguk-angguk.
"Ya, benar juga kau...!"
"Ayo, kalau begitu lekas katakan!" kejar Rang?ga.
'Tap" sebenarnya untuk apa sih minyak pellet bagimu?" tanya Ki Demong.
"Alah, kau ini seperti yang tidak tahu saja! Terkadang ada juga perempuan yang tak suka pada?ku!" kilah Rangga.
"He he he...! Kalau begitu, kaupun pernah mengalami kekecewaan sepertiku!" tebak Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Iya, iya...! Maka cepat katakan!"
"Orang itu bertubuh ceking seperti papan. Kulitnya hitam. Tapi hidungnya mancung seperti paruh betet. Bertelanjang dada, dan memakai cawat Kepalanya bersorban putih. Dia mengejar burung rajawali raksasa itu ke selatan!" tunjuk Ki Demong.
Rahasia Hiolo Kumala 5 Dewa Arak 91 Sapu Jagad Lembah Nirmala 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama