Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera Bagian 1
. 180. Penghianatan di Bukit Kera ~ Bag. 1-3
19. M?rz 2015 um 08:11
1 ? "Air...?"
Sebuah suara terdengar menggema, memantul pada dinding-dinding sempit di ruang gelap dan suram. Tak ada penerangan sedikit pun. Satu sosok tubuh yang tergeletak dalam kubangan air dangkal itu bergerak-gerak perlahan. Sambil menahan dingin, dia memandang ke sekeliling. Tubuhnya yang telah basah perlahan-lahan bangkit, bergerak menepi.
"Oh.... Di mana ini" Apakah aku sudah berada di akherat?" gumam sosok ini seraya mengedar pandangan ke sekeliling.
Untuk sesaat hanya kegelapan yang terlihat. Namun setelah terbiasa, matanya mulai melihat keadaan sekelilingnya sedikit lebih jelas.
"Air" Aku tadi tergeletak dalam air?" gumam sosok ini lemah. "Oh.... Kalau saja tubuhku mem-bentur benda keras, niscaya hari ini aku tidak akan bernyawa lagi. Eh! Tapi..., apakah saat ini aku memang masih hidup?"
Sosok yang ternyata seorang muda berwajah tampan itu mencubit lengannya. Dan ketika terasa sakit, hatinya baru sedikit yakin kalau apa yang dilihatnya adalah nyata.
"Oh, Gusti Yang Maha Agung! Kau selamatkan aku dari kematian. Tapi... apa dayaku di tempat seperti ini?" ucap pemuda berpakaian serba putih ini.
Untuk beberapa saat, pemuda ini termenung memikirkan cara keluar dari tempat ini. Di sekeli-lingnya hanya ada batu cadas dan telaga kecil. Kalaupun ada yang lain, maka hanya bebatuan. Tidak ada pepohonan, meski setinggi kelingking.
"Aku harus cari jalan keluar! Harus!" tekad pemuda itu.
Berpikir demikian, pemuda tampan itu bangkit. Mulai disusurinya dinding terjal itu sambil memeriksa dengan teliti. Beberapa saat dia melakukan hal ini, namun hasilnya nihil. Pemuda itu duduk di atas sebuah batu melepaskan letih dan penat.
"Buntu! Berarti aku akan terkurung selamanya di sini...," gumam pemuda ini lirih.
Entah sudah berapa lama pemuda tampan ini berada di sini. Juga tidak tahu, apakah saat ini malam atau siang. Karena keadaannya sama saja, yaitu kegelapan. Hanya rasa letih yang semakin menjadi-jadi mulai menyiksa tubuhnya.
Tapi, mendadak perhatiannya terganggu ketika sebongkah batu besar yang didudukinya bergoyang-goyang.
"He, apa ini"!" seru pemuda ini kaget.
Dia melompat, memperhatikan dengan sek-sama. Batu itu berhenti bergoyang" Lalu dengan ragu pantatnya kembali diletakkan di atas batu. Dan batu itu kembali bergerak-gerak, seperti sebuah perahu yang tengah dinaiki.
"Hm.... Batu ini seperti diganjal sesuatu," pikir pemuda ini seraya melompat turun. "Di bawahnya pasti ada sesuatu."
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang dimiliki, pemuda tampan berbaju serba putih itu berusaha menggeser batu. Agak sulit memang. Namun, perlahan-lahan berhasil dengan baik. Seperti dugaannya, di bawah batu itu memang terdapat sesuatu. Tanahnya berlekuk, dan di bawahnya terdapat selembar benda agak tebal dan kenyal. Diangkatnya benda itu. Dan dia langsung melihat sebatang kayu penyangga benda tadi. Panjang kayu itu sekitar satu tombak. Ujungnya menyentuh dasar lubang, dengan tinggi yang sama dengan kayu.
Pemuda itu menyingikirkan kayu itu. Otaknya berpikir sebentar, apakah ada gunanya turun ke bawah.
"Aku mesti coba!" tekadnya, mantap. Dengan ragu-ragu, pemuda itu melompat turun. Dari situ, dia langsung bisa melihat sebuah lubang di sebelah kanannya. Disusurinya lorong itu dengan langkah ragu. Dan tidak lama kemudian, dia tiba di sebuah tempat yang agak luas.
Yang pertama-tama terlihat di situ adalah se- buah altar batu yang berada di tengah-tengah ru-angan. Di atas altar terdapat sebuah peti kecil, terbuat dari batu pula. Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya, didekatinya altar itu.
"Hentikan langkahmu, Anak Muda!"
"Hei"!"
Sebuah suara mengejutkan, terpaksa membuat langkah pemuda itu berhenti. Saat itu juga, jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya. Bola matanya seketika mencari-cari ke setiap sudut. Dan di atas sebelah kanannya, pada sebuah dinding ruangan yang berlubang, terlihat seseorang berdiri tegak mengawasinya.
"Eh, maafkan. Aku tidak bermaksud lancang di sini...!" ucap pemuda itu.
"Tapi nyatanya begitu!" sergah sosok di dalam dinding ruangan yang berlubang.
"Aku..., aku tersesat di sini...," kilah pemuda ini.
"Bagaimana mungkin?" sahut suara itu dingin dan curiga.
"Aku terjerembab ke dalam lubang yang ada di dalam Gua Griwa. Lalu, aku menemukan jalan keluar ke sini," jelas pemuda itu jujur.
"Hup!"
? *** ? Tiba-tiba saja sosok tubuh itu mencelat turun. Gerakannya ringan laksana sehelai daun kering tertiup angin. Dan tahu-tahu, dia telah berdiri di depan pemuda itu pada jarak tiga langkah. Se-hingga, wajah orang itu bisa terlihat jelas.
Yang berdiri di depan pemuda itu adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh agak kurus. Rambut panjang awut-awutan. Dan wajahnya sebagian tertutup rambutnya yang kelabu. Sepasang matanya menatap tajam.
"Siapa namamu?" tanya laki-laki agak kurus itu.
"Badrawata...," sahut pemuda tampan berbaju putih ini.
"Kau menginginkan Patung Dewi Ratih?"
"Eh! Sebenarnya tidak. Aku hanya ikut-ikut-an."
"Hm...!"
"Sungguh! Ketika tengah berada di kedai, kudengar banyak orang yang bercerita soal patung itu. Lalu, seseorang mengajakku ke sini," tegas pemuda bernama Badrawata, menjelaskan.
"Siapa?" cecar laki-laki setengah baya ini.
"Seorang laki-laki setengah baya. Namanya, Ki Darta Rawon. Kukira dia orang baik. Tapi setelah melihat aku terperosok ke dalam lubang, dia diam saja. Bahkan meninggalkan aku seorang diri," jelas Badrawata (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: "Patung Dewi Ratih").
"Hmm...!"
"Aku bercerita dengan sejujurnya!" lanjut Badrawata berusaha meyakinkan.
"Apakah menurutmu si Darta Rawon berhasil mendapatkan patung itu?" tanya laki-laki setengah baya itu tanpa mempedulikan ocehan Badrawata.
"Aku..., aku tak tahu."
"Hmm...!"
"Sungguh" Aku benar-benar tidak tahu! Bahkan kenal dengannya pun saat itu. Sebelumnya, aku tidak kenal dia!" tegas Badrawata, seperti orang kebingungan sendiri.
"Diamlah. Kenapa kau kelihatan takut?"
"Oh, maaf. Aku..., aku hanya tak tahu bagaimana caranya untuk keluar."
"Kalau telah berada di sini, maka kau tidak akan bisa keluar!"
"Oh! Jadi..., jadi tidak ada jalan keluar"!" seru Badrawata kaget.
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab. Kepalanya malah berpaling, lalu melangkah mendekati altar batu di dekat mereka.
"Benarkah di tempat ini tidak ada jalan keluar?" desak pemuda itu seraya melangkah meng-ikuti laki-laki setengah baya itu.
Namun laki-laki setengah baya itu diam membisu tak menjawab. Matanya tajam memandang altar batu.
Sementara, Badrawata gelisah sendiri. Hatinya bingung, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya melewati hari-hari membosankan dalam gua ini. Hari-hari membosankan" Entah, mungkin dalam seminggu ini dia akan mati kelaparan karena perutnya memang kosong. Atau..., barangkali laki-laki di dekatnya ini akan membunuh dan menguliti dagingnya. Bisa jadi! Dia kelihatannya seperti makhluk hutan yang telah lama tidak mandi. Sorot matanya buas, seperti harimau, Kedua tangan dan kakinya kusam dan kotor dengan kuku-kuku tajam dan menghitam.
Berpikir begitu mendadak bulu kuduk Badrawata berdiri. Dan hatinya pun diliputi ketakutan hebat. Bahkan tanpa sadar, tubuhnya beringsut ke belakang untuk kembali ke tempat semula di ujung lorong yang dilewatinya tadi.
"Kau beruntung bisa selamat dari dalam kubangan itu...," kata laki-laki setengah baya itu, seperti bicara sendiri tanpa menoleh.
"Eh" Apa maksudmu?" tanya Badrawata ragu.
"Di dalam kubangan itu, hidung seekor ular besar yang dapat menelanmu hidup-hidup," jelas laki-laki itu.
"Ohhh..."!"
Badrawata tercekat. Dan tanpa sadar, tubuhnya bergidik ngeri. Buru-buru dijauhi mulut lubang tadi.
"Kau tak percaya?" tanya laki-laki setengah baya ini tersenyum kecil, seraya membalikkan tubuhnya.
"Eh! Aku terjatuh di situ. Tapi..., tidak menemukan makhluk hidup satu pun..."!"
"Itu karena nasibmu tengah mujur. Ular itu tengah bertapa di dasar kobakan."??
"Dari mana kau tahu?"
"Seumur hidup aku tinggal di sini. Semua se-luk-beluk gua ini sedikit pun tak ada yang tidak kuketahui."
"Kau penghuni gua ini?"
"Ya."
"Berarti, kau orang yang diceritakan Ki Darta Rawon?"
"Apa yang diceritakannya tentang aku?" laki-laki setengah baya yang ternyata Penunggu Gua Griwa itu malah balik bertanya.
"Dia hanya yakin kalau Gua Griwa memiliki penghuni, manusia biasa seperti yang lainnya. Padahal, tokoh-tokoh yang lain sudah curiga dan merasa kalau penghuni Gua Griwa adalah makhluk halus," jelas Badrawata.
"Ha ha ha...!"
Saat itu juga, Penghuni Gua Griwa ini melepas tawanya yang menggelegar. Walaupun tubuhnya agak kurus, namun suaranya terdengar berat dan kasar."
"Kenapa kau tertawa?" tanya Badrawata dengan kening berkerut heran.
"Mereka tidak akan berhasil mendapatkan Patung Dewi Ratih!" jawaban Penghuni Gua Griwa malah makin membingungkan.
"Ya! Tentu saja kalau kau menyembunyikan-nya," kata Badrawata, mulai berani.
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab, melainkan kembali tertawa keras.
"Kisanak! Aku tidak tahu, bagaimana kelanjut-an hidupku di sini. Tapi kalau kau hendak membunuhku, maka cepat lakukan. Jangan siksa aku dengan segala cerita-cerita yang membuat nasibku tak menentu!" ujar Badrawata.
"Siapa yang akan membunuhmu?" tukas Penunggu Gua Griwa.
"Jadi..., jadi kau tidak membunuhku"!" seru Badrawata, girang.
"Aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku bahkan bermaksud memulangkanmu," sahut Penunggu Gua Griwa, kalem.
"Memulangkanku" Bagaimana mungkin" Bu-kankah tadi kau katakan tempat ini tidak ada jalan keluar lagi" Jadi, aku tidak mungkin bisa keluar," sergah Badrawata, bingung.
"Bukankah tadi kukatakan, bahwa aku mengetahui seluk-beluk gua ini" Maka tentu saja aku tahu, di mana jalan keluarnya. Aku hanya mengelabuimu sebentar, sebelum kutahu niatmu yang sesungguhnya," jelas laki-laki setengah baya itu.
"Kisanak! Aku amat berterima kasih atas kebaikan hatimu!" ucap Badrawata, seraya berlutut di hadapan Penunggu Gua Griwa.
"Kau tidak pantas berbuat begitu. Tugasku adalah menjaga pusaka leluhurku. Bukan membunuh orang. Kalaupun aku terpaksa membunuh orang, itu karena mereka hendak merebut pusaka leluhurku. Nah, sekarang pejamkan matamu. Aku akan membawamu keluar," ujar Penunggu Gua Griwa.
Badrawata segera saja memejamkan matanya. Dan sesaat, dirasakan kalau laki-laki setengah baya itu menutup matanya dengan sehelai kain hitam.
"Maaf... Aku terpaksa melakukan hal ini, karena kerahasiaan gua harus tetap terjaga. Nanti setelah keluar dan berada cukup jauh dari gua, maka barulah kau boleh membuka penutup mata ini," ucap Penunggu Gua Griwa menjelaskan.
"Ya, aku mengerti."
"Bagus! Kalau begitu, kita berangkat sekarang!" lanjut laki-laki Penunggu Gua Griwa seraya menggamit lengan Badrawata.
Pemuda berbaju serba putih itu tidak bisa melihat ke mana akan diajak. Hanya beberapa kali terdengar suara batu bergeser. Lalu dia merasakan jalan yang semakin menanjak naik. Dan setelah beberapa saat berjalan, mereka berhenti di suatu tempat.
"Sekarang, kau boleh membuka mata!" ujar Penunggu Gua Griwa.
Badrawata segera membuka matanya yang mendadak suram, karena terlalu lama tertutup kain. Dan perlahan-lahan matanya mulai menangkap suasana terang. Meski agak samar, tapi lama-kelamaan menjadi terbiasa juga. Dan ketika kepalanya menoleh ke belakang, tampak Gua Griwa ada di dekatnya.
"Ke mana lelaki tadi?" tanya Badrawata bingung, karena tidak menemukan siapa pun di tempat itu. "Apakah aku tengah bermimpi?"
Sesaat pemuda ini memandang mulut gua itu.
Lalu perlahan-lahan kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
? *** ? Lewat senja baru Badrawata tiba di depan per-guruannya. Di depan Perguruan Macan Putih yang biasanya ramai, kini kelihatan sepi. Hanya dua orang saja yang tampak berjaga-jaga di pintu gerbang.
"Badra!"
Terdengar sebuah panggilan ketika Badrawata berjalan memasuki pintu gerbang. Saat itu juga, pemuda ini menoleh ke arah asal suara. Tampak seorang pemuda yang tadi menjaga pintu berlari-lari kecil menghampiri. Dia diikuti seorang kawannya.
"Astaga! Kau masih hidup"! Ke mana saja kau selama ini"!" lanjut pemuda itu.
"Aku..., eh, tidak dari mana-mana. Apakah Guru ada?" sahut Badrawata tergagap.
"Huuu.... Kami susah-payah mencarimu ke mana-mana. Malah kukira kau mati di dalam Gua Griwa!" sahut pemuda yang memakai ikat kepala hitam.
"Ya! Bahkan orangtuamu sudah diberi kabar. Kami semua mengira, kau mati. Sehingga, suasana berkabung diberlakukan Guru," timpal yang seorang lagi.
"Seperti kalian lihat, aku sehat-sehat saja, bukan?" tukas Badrawata.
"Jadi kau berhasil masuk ke dalam gua itu"!" tanya pemuda betikat kepala hitam, penasaran.
Badrawata mengangguk.
"Apa yang kau temui di dalamnya?" kejar yang seorang lagi.
"Banyak," sahut Badrawata, pendek.
"Dapat patung yang menghebohkan itu?" cecar pemuda berikat kepala hitam.
"Sudahlah. Aku mau ketemu Guru dulu, lalu makan yang kenyang dan istirahat panjang!" tukas Badrawata, seraya melenggang melewati kedua kawannya.
Kedua pemuda murid Perguruan Macan Putih ini menggerutu kesal. Kalau saja tidak sedang bertugas jaga, mereka pasti akan mengintil ke mana saja Badrawata pergi untuk memuaskan rasa penasaran.
? *** ? Kehadiran Badrawata disambut rasa keterke-jutan oleh semua penghuni Perguruan Macan Pu-tih" Tak urung Ki Pulung, guru mereka sendiri. Karena pemuda itu memang sudah dianggap tewas. Dan Badrawata pun langsung ditodong untuk bercerita diruang utama perguruan.
"Banyak yang cerita, ribut-ribut itu berlangsung di muka Gua Griwa. Jadi, kami kira kau pun ikut tewas...," desah Ki Pulung lirih.
"Ini tentu berkat doa Guru dan kawan-kawan semua, sehingga aku masih selamat," kata Ba-drawata.
"Lalu, apa sebenarnya yang kau cari di dalam gua itu?" tanya Ki Pulung.
"Hanya untuk memuaskan rasa penasaranku saja. Guru...," jawab Badrawata lugu.
"Hm.... Ini memang suatu keajaiban. Padahal banyak orang tewas setelah masuk ke dalam gua itu. Tapi, kau malah diantarkan untuk keluar oleh si Penunggu Gua Griwa.
"Aku yakin, dia dari semula memang ingin mencelakakanmu, Badra!" dengus seorang pemuda yang dikenal sebagai kawan akrab Badrawata di tempat ini. Dia tak lain dari Teja Rukmana.
Badrawata diam saja tak menjawab. Dia memang salah, karena tidak mau mendengar nasihat Teja Rukmana tadinya (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode : "Patung Dewi Ratih"). Tapi bukankah dengan begitu dia memperoleh pe-ngalaman yang mengesankan"
'Ya! Kau tidak boleh percaya begitu saja pada orang yang belum dikenal, Badra," timpal Ki Pulung. "Di dunia ini banyak orang licik yang demi kepentingan pribadi, rela mengorbankan orang lain."
"Aku mengerti. Guru."
"Anggaplah pengalamanmu ini sebagai pe-lajaran. Kau beruntung bisa keluar dengan sela-mat."
Badrawata kembali mengangguk.
"Ada satu hal yang masih membingungkanku, Guru," cetus Badrawata.
"Hm, soal apa itu?" tukas Ki Pulung.
"Tokoh yang menolongku keluar dari gua itu. Aku tidak yakin apakah dia benar ada, atau tidak. Apakah Guru tahu riwayat gua itu?"
"Tidak. Aku tidak tahu banyak, selain dari cerita orang-orang yang belakangan ini kudengar. Ada pun mengenai tokoh itu, bisa saja itu orang biasa. Atau juga, makhluk halus."
Badrawata bergidik ngeri membayangkan per-temuannya dengan laki-laki aneh di alam Gua Griwa. Kalau saja orang itu hendak membunuhnya, maka hal itu rasanya mudah sekali dilakukannya. Tapi untunglah nasibnya lagi mujur. Sehingga, nyawanya masih melekat di badan.
"Sudahlah. Mungkin kau lelah dan sangat la-par. Aku telah menyuruh seseorang untuk menghangatkan masakan. Kau boleh bersantap sepuasmu, lalu tidur nyenyak. Besok pagi kau boleh pulang ke rumah orangtuamu. Kasihan mereka. Tentu mereka bersedih karena kehilanganmu...," ujar laki-laki tua beaisia tujuh puluh tahun itu.
"Baik, Guru. Aku mohon pamit dulu!" ucap Badrawata seraya membungkuk hormat, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
? *** ? 2 ? Satu sosok berpakaian serba hitam dengan wajah terselubung kain hitam pula bergerak mengendap-endap, memasuki Perguruan Macan Putih. Ketika melihat lima orang penjaga berada di gerbang depan, tubuhnya berkelebat mengambil jalan memutar.
"Hup!"
Sosok ini melompat ke atas pagar tembok setinggi dua tombak, dan terus mencelat ke genteng tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sepasang matanya tajam mengawasi keadaan sekelilingnya. Lalu bagai seekor kucing, dia berjalan tenang melewati genteng demi genteng. Tepat di atas sebuah ruangan, dia berhenti. Kembali pandangannya beredar ke sekelilingnya. Setelah merasa aman, maka satu persatu dibukanya genteng di bawahnya.
Begitu empat buah genteng telah terlepas, sosok bertopeng hitam ini bisa melihat jelas seorang pemuda yang tengah tertidur pulas di-bawahnya. Kemudian dengan ringan dia melayang turun.
"Hup!"
Begitu mendarat di lantai ruangan ini, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok ini meng-hampiri pemuda yang tertidur di balai-balai. Dan seketika, tangannya bergerak ke tubuh pemuda itu.
Tuk! Tuk! Dengan gesit orang bertopeng ini menotok urat suara dan urat gerak pemuda yang tak lain Badrawata. Sehingga meskipun terjaga, Badrawata tidak akan berkutik lagi.
Dengan cepat, orang bertopeng ini membo-pong pemuda itu. Dia segera bergerak ke jendela kamar, lalu tubuhnya melesat keluar. Tak seorang pun di perguruan ini yang mengetahui, ke mana Badrawata dibawa kabur oleh orang bertopeng itu.
? *** ? "Ohh, di mana aku?" tanya Badrawata ketika orang bertopeng itu melepaskan totokan urat suaranya.
Mereka saat ini berada di sebuah pinggiran hutan kecil yang tak jauh dari Perguruan Macan Putih.
"Kau aman di sini," kata orang bertopeng ini, menenangkan.
"Siapa kau"!" sentak Badrawata, bertanya.
"Kau tak perlu tahu!" desis orang bertopeng itu dengan suara parau dan berat.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya pemuda itu dengan hati cemas.
"Kau baru saja dari Gua Griwa. Maka, kau pasti tahu seluk-beluk gua itu. Kalau ingin selamat, ceritakanlah padaku!"
"Aku..., aku tidak tahu apa-apa soal itu."
"Jangan membuatku marah!" dengus orangbertopeng ini, seraya menghentakkan tangan kiri ke sebuah batu sebesar kepala kerbau sepuluh tombak di depan Badrawata.
Blarrr...! Kontan batu itu pecah berantakan, ketika se-?? buah angin menderu tajam menghantamnya. Bisa dibayangkan kalau pukulan itu menghantam kepala Badrawata.
"Kau tidak ingin kepalamu?? bernasib sepertibatu itu, bukan"!" desis orang bertopeng ini mengancam.
"Eh, tentu saja tidak," sahut Badrawata, tergagap.
"Nah, katakanlah padaku!" tekan orang bertopeng.
"Tapi aku betul-betul tidak tahu apa-apa soal isi gua itu...."
Kata-kata Badrawata terhenti, ketika tangan orang bertopeng itu mencengkeram lehernya.
"Kau ingin lehermu yang lebih dulu kupatah-kan"!"
"Eh! Ti..., tidak."
"Kalau begitu, katakan! Katakan saja apa yang kau ketahui! Mulai kau masuk ke dalam gua, sampai bisa keluar!"
"Ba..., baiklah."
*** ? Dengan terbata-bata penuh ketakutan, Badrawata mulai menceritakan kejadian ketika pertama kali masuk ke dalam Gua Griwa.
"Tunggu dulu! Kira-kira berapa langkah dari ujung lorong gua sampai kau terperosok ke dalam lubang?" ujar orang bertopeng, menyela cerita Badrawata.
"Kira-kira enam atau tujuh langkah agak ke sebelah kiri...," jelas pemuda itu.
"Bagus! Lanjutkan lagi!"
"Aku jatuh ke dalam kobakan kira-kira sedalam pinggang. Tapi rasanya kedua kakiku tidak menyentuh dasar kobakan. Sepertinya hanya lumpur saja. Di situ terdapat ruangan yang agak besar, seperti sumur yang agak luas yang berdinding karang dan batu-batuan. Secara tak sengaja, aku duduk di atas sebuah batu yang agak besar berbentuk hampir bulat. Batu itu bergoyang-goyang tidak mau diam ketika kududuki. Dan ketika kulihat di bawahnya, ternyata ada terowongan yang menghubungkan lubang itu dengan sebuah ruangan yang agak luas. Di tempat itu aku bertemu orang yang tidak kukenal. Dan dia menolongku keluar dari gua itu," jelas pemuda itu mengakhiri ceritanya.
"Coba ingat-ingat jalan yang kau lalui ketika keluar dari gua itu," kata orang bertopeng itu, me-minta penjelasan lagi.
"Mataku tertutup. Jadi, aku tidak tahu apa-apa...," sahut Badrawata.
"Ingat-ingat kataku!" tukas orang bertopeng ini seraya lebih menguatkan cekalan di leher Ba-drawata.
"Ba..., baik. Tapi, kendorkan dulu cekikanmu. Aku..., aku sulit bernapas."
"Cepat!" bentak orang bertopeng ini seraya mengendorkan cekikannya.
Tapi sebelum pemuda itu sempat berkata.
"Badra...! Badrawata...!"
Mendadak terdengar teriakan-teriakan me-manggil nama pemuda itu. Tak lama, dari kejauhan terlihat banyak sekali cahaya obor yang bergerak ke arah mereka.
"Kurang ajar!" dengus orang bertopeng itu ge-ram.
Tiba-tiba saja orang bertopeng ini mening-galkan tempat itu. Tubuhnya berkelebat cepat se-perti angin. Sementara Badrawata terpaku dan heran sendiri. Tapi hatinya lega juga karena terlepas dari ancaman maut.
"Badra...!"
"Badrawata, di mana kau..."!" Kembali terdengar teriakan, memanggil nama pemuda itu.
"Aku di sini, kawan-kawan!" sahut Badrawata seraya berteriak lantang, menghampiri orang-orang yang membawa obor.
"Astaga! Apa yang kau lakukan di sini"! Kami telah mencarimu ke mana-mana!" kata salah se-orang pembawa obor yang tidak lain dari murid-murid Perguruan Macan Putih.
"Seseorang menculikku dan membawaku ke sini," jelas Badrawata.
"Pantas! Kami melihat jendelamu terbuka, dan beberapa genteng di atas kamarmu terbuka. Siapa orang itu?" tanya seorang murid.??
"Entahlah. Dia memakai topeng hitam."
"Apa maunya darimu?"
"Dia ingin mengetahui keadaan Gua Griwa."
"Huh, kurang ajar! Orang itu pasti ingin mengetahui tentang tempat patung itu berada. Mungkin disangka, kau mengetahuinya!"
"Hei, ada apa ribut-ribut di sini"!"
Mendadak terdengar satu suara yang disusul menyeruaknya kerumunan orang-orang itu.
Ketika mengetahui siapa yang muncul, buru-buru mereka memberi jalan seraya menjura hormat.
"Seseorang telah menculik dan membawa Badrawata ke sini, Guru!" jelas salah seorang murid.
"Benar apa yang dikatakannya, Badra?" tanya laki-laki tua yang tak lain Ki Pulung.
"Benar, Guru!"
"Kurang ajar! Sungguh gegabah orang itu. Dia sama sekali tidak memandang mukaku!" umpat Ki Pulung geram.
"Saat itu aku tengah terlelap, Guru. Sehingga, tidak mengetahui kehadirannya...," jelas Badra-wata.
"Apa saja kerja kalian yang bertugas jaga"! Seseorang masuk dan menyelinap tanpa kalian ketahui. Dan tahu-tahu dia telah menculik Badra. Masih untung Badra selamat!"
Orang-orang yang merasa bertugas jaga diam membisu, tak berani berkata apa-apa. Mereka memang salah, tapi bukan berarti lengah. Sebab, tugas jaga itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam arti, mereka benar-benar menjalankan tugasnya.
Baru saja Ki Pulung berkata demikian, lima orang murid segera berlutut seraya menjura hormat
"Ampuni kami. Guru! Kami terima salah atas kejadian ini! Kami memang patut dihukum," ucap mereka bersamaan.
Orang tua itu menarik napas panjang seraya memandangi mereka satu persatu.
"Apakah kalian bermain-main dalam menjalankan tugas?" tanya Ki Pulung, menatap tajam.
"Ampun, Guru! Mana berani kami melalaikan tugas yang Guru berikan. Seperti biasa, kami ma-sing-masing bertugas jaga. Dua orang berada di gardu, dan tiga lainnya berkeliling. Begitu seterusnya kami berganti-ganti," jelas salah seorang murid, mewakili keempat kawannya.
"Sudahlah, kumaafkan kelalaian kalian. Orang itu mungkin tidak bisa dianggap sembarangan. Tapi lain kali, perketat penjagaan," ujar Ki Pulung.
"Terima kasih. Guru! Akan kami lakukan yang terbaik untuk tugas itu!"
Ketua Perguruan Macan Putih ini lalu berpaling pada Badrawata.
"Kau benar tidak apa-apa?" tanya Ki Pulung lagi.
"Tidak, Guru," jawab Badrawata, singkat.
"Hm.... Apa yang diinginkan orang itu darimu?"
"Dia ingin agar aku menunjukkan seluk-beluk gua itu."
"Hmm.... Syukurlah dia tidak mencideraimu. Sekarang, lebih baik kita kembali ke perguruan."
Ki Pulung segera memerintahkan murid-muridnya untuk kembali ke perguruan.
"Guru! Kurasa orang itu belum jauh. Bagaimana kalau kita cari saja sekarang juga?" tanya seorang murid, memberi usul.
"Tidak! Itu sangat berbahaya. Kalau dia bisa masuk ke perguruan tanpa diketahui, berarti bukan tokoh sembarangan. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang buruk pada kalian. Ayo, mari kita pulang!" tolak Ki Pulung.
"Baiklah, Guru!"
Mereka segera melangkah meninggalkan tempat itu. Sedangkan Ketua Perguruan Macan Putih bersama Badrawata berjalan paling belakang.
"Betul kau tak apa-apa, Badra?" tanya laki-lald tua ini lagi, sambil berjalan.
"Betul, Guru," sahut pemuda itu, pendek.
"Kau tidak menyembunyikan sesuatu dari kami?"
"Maksud, Guru?"
"Tentang pengalaman yang kau alami di gua itu?"
"Bukankah semua sudah kuceritakan, Guru?"
"Sudahlah. Aku hanya berpikir kalau orang yang menculikmu tahu bahwa kau telah keluar dengan selamat dari gua itu. Sehingga, dia mengira kau membawa sesuatu.
"Maksud Guru, patung itu?"
"Iya! Atau mungkin salah satunya."
"Tidak, Guru! Aku sama sekali tidak membawa apa-apa dari gua itu. Apalagi patung itu!" sahut Badrawata, meyakinkan.
"Ya, sudah. Aku percaya, kau anak jujur. Mulai sekarang, kau harus hati-hati. Mungkin banyak orang yang akan mengincarmu karena dia kira kau memiliki patung itu," sergah Ki Pulung.
Badrawata tercekat. Hatinya bergetar mendengar kata-kata gurunya. Satu orang telah berusaha menculiknya. Dan..., entah berapa orang lagi nanti yang akan berusaha menculiknya. Bahkan memaksanya untuk menyerahkan Patung Dewi Ratih yang tidak pernah diketahuinya.
? *** ?
Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam yang semakin larut, menjadi semakin terang benderang oleh cahaya api unggun di pinggiran Hutan Ketapang. Dalam jilatan api unggun, duduk seorang pemuda berbaju rompi putih, menghadap ke perapian di dekatnya. Sesekali mulutnya menguap lebar. Namun, pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu berusaha untuk tidak memejamkan mata. Suasana terasa sunyi. Sesekali kelelawar terbang di dekatnya. Kadang kala terdengar suara gemeretak ranting yang patah diiahap api.
"Ohhh...!"
Kesunyian kembali terpecah oleh suara seseorang yang mengerang lirih. Seketika pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Rupanya, dua tombak di sampingnya berbaring satu sosok tubuh ramping yang tengah menggeliat pelan. Segera didekatinya sosok itu.
"Syukurlah kau telah sadar, Sakaweni...," kata Rangga, perlahan. Agaknya Rangga sudah mengenai sosok ramping yang terbaring itu. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya untuk menegaskan pandangan. Dia memang Sakaweni, seorang gadis berhati sombong dan selalu memandang dengan kecurigaan. Rangga mengenal namanya, ketika paman gadis ini yang bernama Ki Wangsa Kelana menyebut nama Sakaweni (Tentang gadis ini baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode : "Patung Dewi Ratih"). Hanya saja baru kali ini Rangga memanggil nama gadis itu. Sementara Sakaweni sendiri hanya mengenai wajah Rangga, tanpa tahu namanya.
"Oh, kau rupanya! Apa yang telah kau lakukan padaku..."!" sentak Sakaweni, menuntut jawaban secepatnya.
"Aku berusaha mengobatimu, Sakaweni. Kalau kau tidak terima, tak apa-apa. Begitu kau telah merasa sehat, aku akan pergi meninggalkanmu. Jangan khawatir!" sahut Rangga, agak mangkel juga hatinya mendapat jawaban yang menyebalkan.
Gadis itu terdiam tak menjawab. Dalam hati dia berpikir, kok pemuda ini mengenai namanya"
"Minumlah dulu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya mengangsurkan sebuah mangkuk yang terbuat dari bambu.
"Ini ramuan obat untuk memperlancar peredaran darahmu."
"Kenapa aku mesti mempercayaimu?" tanya gadis ini dengan suara lemah. Namun, nada bica-ranya tetap curiga dan memperlihatkan ketidak-senangan.
"Terserahlah. Kalau kau takut kuracuni, jangan diminum."
"Aku tidak takut racun. Karena kalau kau menginginkan kematian, tentu akan kau lakukan sejak tadi," kata gadis ini seraya bangkit duduk.
"Lalu, apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Aku khawatir kau akan membiusku. Lalu, berbuat gila padaku tanpa kusadari!" sahut Sakaweni, seenaknya.
"Cukup, Nisanak!" bentak Rangga geram. Bahkan merubah panggilannya pada Sakaweni dengan menyebut nisanak.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dipandangnya gadis itu dengan perasaan gusar.
"Entah kenapa aku mesti menologmu. Padahal, aku sadar kalau kau manusia tak tahu diri! Aku menolongmu atas dasar kemanusiaan. Namun kau malah berprasangka buruk terhadapku. Apakah dikira aku manusia bejat" Apakah selama kau tak sadarkan diri aku telah menodaimu" Bukankah kau sekarang bisa merasakannya" Padahal kalau aku mau, sudah sejak tadi kulakukan. Sekarang kau sudah sadar, maka selanjutnya terserahmu! Kalau kau anggap berdekatan denganku membahayakanmu, maka aku akan pergi!" dengus Rangga gusar, seraya melangkah mendekati Dewa Bayu yang selalu setia menunggui.
Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat ke punggung kudanya.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi sekarang!" ujar Rangga,
"Hieee...!"
Baru saja Rangga hendak menggebah kudanya....
"Hei, tunggu!" teriak Sakaweni, mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa lagi?" tanya Rangga, dingin. Sedikit pun kepalanya tak menoleh pada Sakaweni.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Namun dia segera bangkit berdiri.
"Ada apa" Apa yang hendak kau katakan" Ingin mencaci-maki lagi sebelum aku pergi"!"
"Kenapa kau pikir begitu?" tanya gadis itu lirih seraya menundukkan kepala.
"Tidak heran. Mungkin kau selalu begitu. Padaku saja, bahkan ingin memenggal kepalaku!"
"Aku..., aku tidak bermaksud begitu...."
"Tapi kenyataannya begitu, kan?" cecar Rangga, baru menoleh seraya menatap tajam.
"Kenapa kau malah memojokkanku"!" bentak Sakaweni mulai berang. ?????
?"Nah, mulai lagi!"
Gadis itu memandang Rangga dengan mata melotot. Tapi disadari kalau itu menunjukkan kemarahannya lagi. Pandangannya lantas dibuang sambil menghela napas panjang.
"Mau apa lagi?" tanya Rangga lagi.
"Kau ingin pergi" Meninggalkan aku sendiri di sini?" tanya Sakaweni lirih.
"Bukankah kau tidak suka dengan kehadiran-ku?" Rangga balik bertanya.
"Aku tidak bilang begitu...."
"Sikapmu mengatakan begitu!"
"Baiklah.... Aku minta maaf!" ucap Sakaweni dengan suara kaku.
"Aku telah memaafkannya sejak dulu...."
"Keadaanku belum pulih betul. Kalau ada yang mengetahuiku di sini, mereka tentu akan menghabisiku. Apakah kau sengaja memberikan aku pada mereka untuk disiksa sesuka hati?"
"Tempat ini aman dari orang-orang itu...."
"Mereka telanjur menyebar fitnah bahwa aku membawa patung itu. Maka tentu saja mereka tidak akan melepaskan aku begitu saja...."
"Lalu apa maumu?"
"Tidak bisakah kau..., kawani aku di sini?" tanya gadis itu dengan nada ragu.
"Kau pasti tidak sungguh-sungguh!"
"Aku bersungguh-sung..."
Belum habis kata-kata Sakaweni, mendadak tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat dari kudanya dan berkelebat ke arah Sakaweni dengan kecepatan tinggi.
"Awaaas...!" seru Rangga memperingatkan.
? *** ? 3 ? Sakaweni terkejut. Semula dikira Rangga akan berbuat kurang ajar. Tapi sekilas tadi terlihat olehnya sesosok bayangan hitam bergerak cepat ke arahnya. Dan pemuda itu berusaha melindungi dengan bergerak memapak.
Plak! Plak! "Hup!"????
"Yeaaa....'"
Tampak Rangga dan sosok bayangan hitam yang baru datang saling pukul dan tangkis. Sebentar kemudian, keduanya terpental ke belakang sambil membuat gerakan salto yang indah. Kemudian dengan bernafsu bayangan hitam itu berkelebat gesit, menyerang pemuda berbaju rompi putih.
"Hmm!"
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah tegak berdiri dalam keadaan siap menghadapi serangan, hanya menggumam pelan. Namun ketika satu sodokan keras menyambar mukanya, tubuhnya berkelit ke samping. Di luar dugaan, sebelah kaki bayangan itu tiba-tiba menyambar pinggangnya.
Wut! "Hiih!"
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Kemudian serangan terus mencecarnya. Satu sodokan keras dari sebatang tongkat yang ujungnya runcing tahu-tahu telah mengancam dadanya. Namun keberaniannya luar biasa, Rangga segera menangkapnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tap! Begitu tertangkap, tongkat itu berputar seperti hendak menggeser telapak tangan Rangga. Pen-dekar Rajawali Sakti sendiri heran, walaupun tenaga dalamnya telah dikerahkan untuk mencengkeram, tapi tongkat itu seperti belut dengan mudah melepaskan diri dari cengkeraman. Bahkan tiba-tiba tongkat itu menyodok ke arahnya.
Pendekar Rajawali Sakti tak hilang akal. Segera tubuhnya jungkir balik ke belakang dengan kaki kanan menendang batang tongkat kuat-kuat.
Tak! "Hi hi hi...!"
Baru saja Rangga menjejakkan kedua kaki ke tanah, terdengar suara tawa nyaring dari sosok bayangan yang sempat tergetar mundur ketika tongkat terpapak.
"Hebat! Sungguh hebat kau, Bocah!" lanjutbayangan hitam.
"Hmm!"
Kini Rangga baru sadar kalau sosok yang me-nyerangnya tadi adalah seorang wanita tua berjubah hitam. Rambutnya panjang kelabu dan sebagian telah memutih, dikuncir satu ke atas seperti layaknya gadis belia. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat sebesar lengan orang dewasa, sepanjang satu tombak.
"Bibi Gandasari! Ah, kau rupanya!" seru Sakaweni kegirangan. Agaknya dia mengenali sosok yang baru datang ini. Segera dihampirinya perem-puan tua itu.
"Hi hi hi...! Anak nakal. Apa yang kau lakukan di sini, Sakaweni"! Ibumu pasti cemas memikirkanmu," kata perempuan tua bernama Gandasari.
"Ah! Aku tak apa-apa, Bibi...," kilah Sakaweni.
"Tak apa-apa katamu" Hm. Kulihat sekujur tubuhmu penuh luka" Dan kaupun terluka dalam. Siapa yang berani menyakitimu" Pemuda itukah?" cecar Nyai Gandasari.
"Bukan, Bi. Malah dia yang menyelamatkan-ku!" sahut gadis itu cepat. Lalu kepalanya berpaling pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kisanak, ke sinilah! Jangan khawatir. Dia bibiku sendiri!"
"Hei" Bahkan kau sendiri tidak tahu namanya"!" sem Nyai Gandasari, heran.
Sakaweni tersipu-sipu sendiri jadinya. Memang setelah beberapa kali bertemu, gadis ini seperti enggan berkenalan. Bahkan Rangga tahu nama Sakaweni dari Ki Wangsa Kelana.
"Namaku Rangga...," kata si pemuda berbaju rompi putih ini mengenalkan diri seraya menghampiri mereka.
"Hm, Rangga. Bagus sekali, Bocah. Ilmumu tidak rendah. Siapa gurumu?" tanya Nyai Gandasari.
"Beliau hanya orang biasa yang tidak suka disebutkan namanya," sahut Rangga merendah.
"Ya, terserahmu saja. Hm.... Mulai kapan kalian bersama-sama?"
"Hanya secara kebetulan saja, Bi...," jelas Rangga.
Janggal juga rasanya Pendekar Rajawali Sakti memanggil 'Bibi' pada wanita tua ini. Tapi Nyai Gandasari agaknya tidak terlalu mempersoalkan,
"Jadi, kau suka padanya?" cecar perempuan tua ini.
Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu Rangga jadi kaget. Dia tak tahu harus menjawab apa. Sekilas tampak Sakaweni menunduk dengan perasaan jengah. Kalau saja saat itu siang hari, tentu akan terlihat perubahan wajah gadis ini yang bersemu merah, mendengar kata-kata bibinya. Untung saja cahaya api membantu pembahan rona wajahnya, sehingga tidak terlalu menyolok.
"Eh! Aku..., aku hanya sekadar menolongnya. Harap Bibi jangan salah sangka," kilah Rangga, tergagap.
"Kau baru mengenalnya. Dan sudah begitu baik menolongnya. Apa tidak ada keinginan lain" Barangkali, naksir padanya" Dia tidak terlalu jelek, bukan" Aku toh pernah muda. Dan aku tahu watak anak-anak muda!" lanjut Nyai Gandasari terus menyudutkan Rangga dan Sakaweni.
"Bagiku menolong tidak mesti mendapat im-balan...," kilah Rangga lagi.
"Hm, mulia sekali!" puji perempuan tua ini. Namun jelas kata-katanya tidak tulus keluar dari sanubarinya.
"Bibi.... Saat itu kami tengah menghadapi keroyokan banyak orang. Aku terluka dan.... Ka-kang Rangga menolongku," tengah Sakaweni.
Suara gadis ini ragu ketika menyebut Rangga dengan tambahan 'kakang'. Sempat matanya melirik sekilas pada pemuda itu. Tapi, Rangga diam saja. Tidak memperlihatkan perubahan apa pun pada raut wajahnya.
? *** ? "Hei"! Siapa yang berani-beraninya menge-royokmu"!" sentak Nyai Gandasari dengan wajahgarang.
"Orang-orang serakah yang mengingikan patung itu!" sahut Sakaweni, mendengus.
"Patung" Patung apa yang kau maksudkan?"
"Makanya jangan kebanyakan berdiam diri dipertapaan!" umpat gadis itu. "Apakah Bibi tidak tahu kalau belakangan ini Patung Dewi Ratih direbutkan banyak orang?"
"Astaga! Kurang ajar betul!" rutuk Nyai Gandasari sambil mengempalkan kedua tangan. "Lalu, kenapa mereka mengejar-ngejarmu?"
"Ya, karena mereka mengira kalau patung itu ada padaku!"
"Apakah kau merasa memiliki patung itu?"
"Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin aku bisa masuk ke dalam gua itu" Kita tahu, kalau tidak seorang pun diperkenankan masuk ke dalam sampai waktu yang ditentukan."
"Tapi pasti mereka punya alasan, sehingga begitu yakin menuduhmu memiliki patung itu?"
"Hm.... Kurasa itu gara-gara ulah Paman Darta Rawon!" jelas gadis ini sambil bersungut-sungut.
"He, ada apa dengannya?" tanya Nyai Gandasari dengan dahi berkerut.
"Kebetulan saat itu aku berada di sekitar wi-layah gua itu, tiba-tiba saja muncul Paman Darta Rawon. Dan dia agaknya berusaha menghindarkan keroyokan banyak orang," jelas Sakaweni menceritakan pengalaman selanjutnya.
"Hm.... Sungguh picik orang-orang itu!" desisperempuan tua itu.
"Huh! Ingin rasanya kuhajar mereka satu persatu, Bi!" dengus Sakaweni.
"Jangan khawatir. Akan Bibi balaskan sakit hatimu pada mereka!"
"Terima kasih, Bi. Tapi aku masih sanggup menghadapi mereka!"
"Eee.... Kau tengah terluka! Hati-hati, jangan sampai amarahmu tak terbendung sehingga men-celakakan dirimu sendiri."
"Aku tahu, Bi. Tentu saja akan kuhajar mereka setelah sembuh betul."
"Nah, duduklah. Biar kucoba untuk mengobati luka dalammu!" ujar Nyai Gandasari seraya duduk bersila, diikuti Sakaweni.
Gadis itu duduk membelakangi. Dan kedua telapak perempuan tua ini melekat di punggungnya. Sesaat terlihat keduanya tak ada yang bicara. Hening.
Rangga tahu kalau perempuan tua itu tengah menyalurkan sebagian hawa murninya untuk me-lancarkan peredaran darah Sakaweni. Sekaligus, mendesak darah-darah beku di tubuhnya agar keluar secepatnya. Juga, memberikan tenaga baru bagi gadis itu.
"Hoeeekh...!"
Sakaweni memuntahkan darah kental beberapa kali, sebelum Nyai Gandasari menyudahi pengobatannya.
"Bagus, Weni! Bagaimana keadaanmu kini?" tanya perempuan tua itu, seraya menarik kedua tangannya.
"Lumayan, Bi...."
Nyai Gandasari melihat sebuah bumbung bambu di dekatnya. Ramuan obat yang tadi disodorkan Rangga pada gadis itu. Diambilnya, lalu diciumnya sebentar.
"Hm.... Siapa yang membuatkan ramuan ini?" tanya perempuan tua ini.
Sakaweni tak menjawab. Matanya melirik sekilas ke arah Rangga. Dan perempuan tua ini cepat mengerti.
"Hebat, Bocah! Ternyata kau bukan hanya hebat dalam ilmu olah kanuragan, tapi juga dalam ilmu ketabiban," puji Nyai Gandasari, tulus.
"Aku hanya memiliki sekadarnya untuk mengobati diriku sendiri...," sahut Rangga, merendah.
Sementara, Sakaweni hanya tertunduk malu dengan wajah memerah. Dia tadi sempat menuduh kalau ramuan Rangga berupa ramuan yang membiuskan. Menurut gadis ini bila keadaannya tak berdaya, dengan leluasa Rangga akan menggagahinya.
"Jadi, kenapa kau diamkan saja sejak tadi" Ayo minum!" sentak perempuan tua ini seraya mengangsurkan bumbung bambu itu.
Sakaweni mengambilnya. Lalu matanya melirik sejenak pada pemuda itu, sebelum menenggak isi bumbung bambu sampai habis.
"Rasanya pahit dan getir!" seru Sakaweni dengan wajah berkerut.
"Ya! Tapi, bagus untuk kesehatanmu. Itu akan cepat melancarkan peredaran darah dan menge-ringkan luka dalam maupun luka luar," tegas Nyai Gandasari seperti tahu betul khasiat ramuan obat yang dibuat Rangga.
Apa yang dikatakan perempuan tua ini memang terbukti beberapa saat kemudian. Khasiat ramuan obat itu cepat bekerja, di dalam tubuh gadis itu. Hawa hangat menjalar dari bawah perut ke sekujur tubuhnya, menimbulkan perasaan segar. Bahkan membuat tubuhnya terasa enteng.
"Bagaimana?" tanya Nyai Gandasari.
"Aku merasa lebih baik, Bi," jawab Sakaweni, tersenyum manis.
"Bagus! Nah, apa rencanamu selanjutnya" Kau ingin ikut denganku atau...."
Perempuan tua ini tak melanjutkan kata-katanya. Malah matanya melirik pada Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum penuh arti.
"Eh! Aku akan melaporkan hal ini pada, ibu, Bi...," kata gadis itu, tersipu malu.
'Ya. Begitu memang baik."
"Bibi tidak biasa-biasanya keluar dari pertapaan. Apakah ada sesuatu yang Bibi kerjakan?" tanya Sakaweni, seperti ingin mengalihkan perhatian.
'Ya! Kebetulan aku lewat tempat ini. Dan dari kejauhan kulihat kau dan bocah ini. Lalu, aku tergerak untuk ke sini," jelas perempuan tua ini.
"Apakah..., apakah Bibi tidak berniat membe-reskan soal patung itu?"
"Hi hi hi...! Bocah manis, untuk apa Bibi ikut campur persoalan yang bukan urusan kita?"
"Tapi..., tapi bukankah kita berkewajiban me-lindunginya, Bi?"
"Patung itu telah memiliki pelindung. Dan, tak perlu lagi kita bersusah-payah melibatkan diri."
Sakaweni diam saja mendengar jawaban bibinya.
"Aku hendak pulang. Apakah kau akan ikut denganku?"
"Eh! Ng..., biarlah nanti aku pulang sendiri, Bi."
'Ya, ya. Aku tahu!" kata Nyai Gandasari seraya tersenyum manis ketika melirik Rangga. "Baik-lah.... Jaga dirimu baik-baik, Anak Manis. Aku pergi dulu."
Setelah berkata demikian, perempuan tua ini berkelebat cepat meninggalkan mereka berdua. Sebentar saja tubuhnya hilang ditelan kegelapan malam.
Sementara kedua anak muda itu terdiam seju-rus lamanya.
"Kau telah tahu namaku...," kata gadis ini, me-mecah kebisuan.
Nadanya lebih ramah ketimbang sebelumnya.
"Dan kau juga telah tahu namaku, bukan?" tukas Rangga.
Gadis itu mengangguk.
"Terima kasih, kau telah selamatkan nya-waku...," ucap gadis ini lirih.
"Sudahlah, jangan pikirkan hal itu," ujar Rangga sambil mengulapkan tangannya.
"Maaf, aku..., eh! Aku memang selalu berprasangka buruk pada setiap orang yang tidak kukenal. Apalagi laki-laki."
"Itu baik. Tapi kecurigaan yang membabi-buta, terkadang merugikan."
"Ya, kau benar. Sekali lagi..., maafkan sikapku yang buruk padamu."
"Tidak apa. Aku berusaha menghilangkan hal-hal buruk dalam benakku."
"Ada satu lagi permintaanku. Hm.... Sudikah kau mengabulkannya?" tanya Sakaweni seraya tersenyum manis.
"Apa itu?"
"Aku ngantuk sekali. Dan aku merasa butuh istirahat secepatnya. Kau bersedia menjagaiku, bukan?"
Tanpa menunggu jawaban Rangga, Sakaweni membaringkan tubuhnya di dekat perapian seraya memejamkan mata. Sebentar saja sudah terdengar dengkurannya yang halus, seirama dengan tarikan napasnya.
"Sial! Dikiranya aku pembantunya barangkali!" rutuk pemuda itu di hati.
Nyenyak sekali Sakaweni terbuai dalam mimpi. Tubuhnya baru menggeliat bangun ketika matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Sebentar dia mengucek-ngucek matanya. Bau harum daging panggang langsung menusuk hidungnya. Sebentar saja Sakaweni bangkit, dan langsung melihat Rangga tengah menggeragoti sepotong daging panggang.
"Perutku jadi lapar...," kata gadis ini pelan.
"Kusediakan dua potong untukmu!" tunjuk Rangga pada daging setengah matang di atas rumput yang berada dekat dengannya. "Kau tinggal membakarnya sebentar lagi, lalu matang."
Tanpa mempedulikan keadaannya lagi, Sakaweni cepat menyambar dua potong daging panggang itu dan membakarnya sebentar. Lalu masih panas-panas digeragotinya sedikit demi sedikit. Sesekali, wajahnya terlihat meringis dan mulutnya meniup-niup daging panggang itu.
"Kasihan. Kelihatannya kau lapar sekali. Kalau suka, kau boleh memakan bagianku," kata Rangga menawarkan bagiannya yang tinggal sedikit.
Sakaweni memandang sebentar lalu menyambar daging panggang Rangga. Langsung disantap-nya daging panggang dengan nikmat. Sebentar saja makanan lezat itu telah berpindah tempat ke dalam perutnya.
"Semalam kau tertidur seperti orang mati...," kata Rangga.
Gadis itu hanya tersenyum malu, lalu mengalihkan perhatian pada daging panggangnya yang belum matang.
"Bagaimana keadaan Paman Wangsa Kelana?" tanya Sakaweni seperti mengalihkan perh?tian. Atau juga, untuk menutupi perasaan jengah di hatinya.
"Ketika kutinggalkan, beliau tengah kerepotan menghadapi lawan-lawannya. Mudah-mudahan saja dia selamat dan bisa meloloskan diri...."
"Dia pasti selamat!" sahut gadis itu, yakin.
"Mudah-mudahan saja. Musuh-musuhnya terlalu tangguh...," desah Rangga, kurang yakin.
"Kau meragukan kemampuan beliau?" tukas Sakaweni.
"Beliau mungkin saja hebat. Tapi yang diha-dapinya pun bukan orang sembarangan...."
"Hei" Jangan merendahkan keturunan pem-bantu Dewi Ratih!" sahut gadis itu gusar.
"Pembantu Dewi Ratih" Apa maksudmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening ber-kerut.
Sakaweni tercekat. Dia kelepasan omong. Dan hal itu agaknya tidak bisa ditarik lagi. Pemuda itu telah mendengarnya. Padahal, itu mesti dirahasia-kan pada orang lain.
"Ada apa, Weni" Siapa yang kau maksudkan sebagai keturunan pembantu Dewi Ratih" Ki Wangsa Kelanakah?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh, tidak! Tidak apa-apa. Aku hanya bergu-rau," sahut gadis itu sambil tersenyum.
Rangga hanya mengangguk sedikit. Dia dapat merasakan kebohongan gadis itu. Tapi kalau Sakaweni bermaksud menyembunyikan sesuatu, apa gunanya dia mendesak" Toh itu bukan urusannya"
"Hm.... Perutku sudah agak kenyang!" kata Sakaweni setelah menyantap daging panggang ba-giannya. "Apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku akan melanjutkan perjalanan...."
"Hm, ya! Selamat menempuh perjalanan!"
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Seperti yang kukatakan semalam, aku akan pulang."
"Baiklah. Hati-hati."
"Terima kasih sekali lagi atas pertolonganmu. Juga, makanan itu! Aku pergi dulu!" pamit Saka-weni seraya berbalik dan melangkah panjang meninggalkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mematikan perapian, lalu melompat ke punggung kudanya. Diperhatikannya gadis itu sejurus lamanya, sampai hilang dari pandangan. Kemudian dia mengambil jalan ke kiri.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita pergi dari sini!"
Tapi belum lagi Rangga menggebah kuda, pe-rasaannya jadi tak enak. Gadis itu berusaha merahasiakan sesuatu padanya. Ada apa" Kenapa" Lalu, apa hubungannya dengan wanita tua semalam" Lalu, siapa pula Ki Wangsa Kelana itu" Hm.... Rasanya dia memiliki kaitan dengan pemilik patung itu. Berpikir begitu, Rangga membalikkan arah kudanya, mengambil jalan yang tadi ditempuh gadis itu. Segera digebahnya Dewa Bayu.
"Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat, apa yang coba disembunyikan dari kita!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Dewa Bayu meringkik halus, lalu berlari pelan seperti yang dikehendaki majikannya. Bagaimanapun, dia tidak ingin kalau Sakaweni mengetahui dia dibuntuti.
Baru saja Dewa Bayu melesat beberapa puluh tombak, mendadak....
Trang! Trang! "Yeaaat...!"
"Hei"!"
Rangga terkejut sendiri ketika pada jarak tangkap pendengarannya terdengar suara pertarungan seru di depan.
"Ayo, Dewa Bayu! Coba lari lebih kencang!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya menggebah kudanya.
Pikiran Rangga langsung terlintas akan bahaya yang dialami gadis itu. Dan..., ternyata benar saja! Pada sebuah tempat yang amat luas di bawah sana, terlihat tiga orang bertopeng hitam tengah mengeroyok Sakaweni.
"Serangan-serangan mereka ganas! Jelas mereka ingin menghabisi gadis itu secepatnya dari sini!" gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera melompat dari punggung kudanya, dan langsung mencelat hendak membantu.
"Heaaat...!"
? *** ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Penghianatan di Bukit Kera
? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 180. Penghianatan di Bukit Kera ~ Bag. 4-6
19. M?rz 2015 um 08:11
4 ? Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di samping Sakaweni. Dan gadis itu hanya tersenyum kecil melihat kehadiran Rangga. Mereka pun segera saling memilih lawan masing-masing.
"Sebenarnya aku masih mampu menghajar mereka," kata Sakaweni.
"Ya, aku tahu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa membiarkanmu terancam bahaya," sahut Rangga cepat.
"Kukira kau tak peduli...."
"Siapa mereka?" tanya Rangga, berusaha mengalihkan perhatian.
"Kenapa tidak kau tanyakan langsung?" tukas Sakaweni.
"Ya, kau benar!"
Begitu kata-katanya habis, Rangga segera me-luruk dengan kepalan tangan kanan menuju ke muka salah satu orang bertopeng. Namun serangannya segera dipapaki dengan sabetan pedang. Maka, buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menarik pulang tangannya.
"Hup!"
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil jungkir balik. Namun, pada saat yang sama orang bertopeng itu berbalik. Kembali pedangnya disabetkan.
Wuttt! "Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat merendahkan tubuhnya, sambil melepas tendangan berputar ke dada. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Orang bertopeng itu menjerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat telak di dada. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Namun dengan gesit, dia bangkit kembali. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti tanpa menghiraukan rasa sakitnya.
"Yeaaa...!"
Bet! Wuuut! Pedang di tangan orang bertopeng itu me-nyambar-nyambar mengincar seluruh tubuh Rangga. Tapi dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga berusaha menghindarinya. Tubuhnya meliuk-liuk indah, seperti orang mabuk.
Pendekar Rajawali Sakti 180 Penghianatan Di Bukit Kera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa sebenarnya kalian" Dan, apa yang kalian inginkan dari gadis itu"!" bentak Pendekar Rajawali Sakti sambil terus berkelit lincah.
"Huh! Mampuslah kau!" dengus orang berto-ping itu sambil membabatkan pedangnya.
"Uts!"
Nyaris ujung pedang orang bertopeng itu menyambar leher Rangga, kalau tak cepat mencelat ke belakang.
Yeaaa...!"
Orang bertopeng itu terus mengejar sambil mengibaskan pedang. Rangga yang baru saja menjejak tanah cepat menjatuhkan diri. Tubuhnya segera bergulingan di tanah sebentar seraya mengayunkan tendangan.
"Hiih!"
Orang bertopeng itu terkejut. Namun dia cepat melompat ke belakang. Sementara, Rangga telah melenting bangkit. Saat itu juga tubuhnya berkelebat cepat melepaskan satu hantaman lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss...!?? "Aaakh...!"
Orang itu kontan terjajar ke belakang begitu sambaran telak Rangga menghantam dadanya. Saat itu juga napasnya terasa sesak. Matanya berkunang-kunang. Dan belum sempat dia menguasai diri, Rangga telah melepas tendangan berputar ke perut.
Bugkh...! "Hoaakh!"
Kontan orang bertopeng itu terjungkal disertai semburan darah segar. Sebelum dia bangkit, Rangga telah mencengkeram leher baju sambil menepiskan senjata.
"Aku bisa memecahkan batok kepalamu sekarang juga! Maka cepat katakan, apa yang kalian inginkan dari gadis itu"!" gertak Rangga.
"Hiih...!"
Plup! "Hei"!"
Rangga terkejut karena tiba-tiba orang bertopeng itu meraup sesuatu dari pinggangnya. Dan secepat itu pula memasukkannya ke mulut. Seketika tubuhnya kejang-kejang dengan sepasang mata melotot tajam. Sesaat kemudian, dia menggelepar tak berdaya. Dari mulutnya keluar cairan merah bercampur cairan kuning berbusa.
"Sial! Dia malah meracuni dirinya sendiri!" dengus Pendekar Rajawali Sakti seraya melepas cengkeramannya.??
"Aaa...!"
Pada saat yang hampir bersamaan, Sakaweni berhasil menumbangkan orang bertopeng lainnya. Maka kini, sisa orang bertopeng itu tinggal satu.
Ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti ikut mendekati, sisa orang bertopeng ini mundur beberapa langkah. Dari sorot matanya terlihat ketakutan. Apalagi ketika Sakaweni ikut pula mendekati.
"Lebih baik katakan, apa yang kau inginkan dari gadis ini" Kenapa kalian berniat membunuh-nya?" tanya Rangga, dingin.
"Huh! Percuma saja kalian coba mendesakku!" dengus orang bertopeng ini.
"Kalau begitu, kau akan mati!" ancam Sakaweni.
"Ha ha ha...! Mati" Kau kira aku takut mati?" leceh orang bertopeng.
"Tenang dulu, Weni!" cegah Rangga ketika melihat gadis itu akan melompat menyerang.
"Kenapa" Dia ingin mati, maka akan kuka-bulkan permintaannya!"
"Terlalu enak. Bukankah dia ingin mati" Jadi kalau kau mengabulkannya, maka musuh akan senang. Buatlah dia tidak senang. Maka kita akan puas," kata Rangga.
"Caranya?"
"Buat dia mati pelan-pelan. Kalau perlu sehari, dua hari, atau seminggu!"
? *** ? "Hm, usul bagus!" gumam Sakaweni sambil tersenyum mengancam.
"Huh! Kalian tidak akan bisa melakukan apa pun terhadapku!" dengus orang bertopeng.
"Apa" Mau membunuh diri seperti kawanmu tadi" Cobalah lakukan. Aku ingin lihat, mana lebih cepat tanganmu atau pedang ini!" ancam Pendekar Rajawali Sakti, seraya menimang-nimang pedang yang tadi berhasil dirampasnya dari salah satu orang bertopeng.
Entah kenapa, orang bertopeng itu termakan gertakan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal jarak mereka saat itu terpaut sekitar empat langkah. Dari gerakannya, orang bertopeng ini bukan tokoh berilmu rendah. Kalau mau adu cepat, mungkin saja dia mampu mengambil pil racun di balik pinggang, dan langsung menelannya. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Entah takut dengan ancaman pemuda itu, atau tak yakin dengan kemampuannya sendiri.
"Pilih! Mau kupatahkan tanganmu dulu atau kedua kakimu"!" ancam Sakaweni.
"Huh!"
Orang bertopeng itu hanya mendengus sinis. Sama sekali rasa takutnya tidak ditunjukkan.
"Aku tidak bisa menunggu lama. Katakan! Apa maksud kalian hendak membunuh gadis ini"!" cecar Rangga.
"Kalian tidak akan bisa memaksaku!" dengus orang bertopeng.
"Kurang ajar!"
Sakaweni jadi geram bukan main melihat jawaban orang bertopeng itu. Seketika dia melompat sambil mengibaskan pedang.
"Heaat!"
Tapi orang bertopeng itu ternyata tidak tinggal diam. Dia cepat menangkis dengan sengit.
Trang! "Bagus! Setelah nyawamu terancam kau bermaksud bunuh diri, he"!"
"Kau harus mampus, Gadis Liar!" dengus orang bertopeng, langsung menyerang dengan tu-sukan-tusukan pedangnya.
"Huh! Buktikan kalau kau mampu!"
Pedang di tangan gadis itu bergerak lincah me-mapaki setiap serangan. Bahkan sekaligus balas menyerang dengan gencar. Dan tatkala jurus-jurus ilmu pedangnya mulai dikerahkan, orang bertopeng itu mulai terdesak hebat.
"Hiih!"
Trang! Satu tebasan menyilang Sakaweni yang mengancam leher, dapat dipatahkan. Tapi bersamaan dengan itu, Sakaweni mengayunkan kaki kanan. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak terhindarkan lagi. Dan....
Duk! "Aaakh!"
Orang bertopeng itu mengeluh kesakitan sambil terhuyung-huyung ke belakang saat tendangan Sakaweni menghantam dadanya.
"Yeaaa...!"
Sakaweni tak memberi kesempatan. Secepat itu pula tubuhnya mencelat seraya mengibaskan pedang mengancam leher.
"Hup!"
Dalam keadaan demikian orang bertopeng masih sempat melindungi diri dengan mengibaskan pedang.
Trang! Namun, senjata gadis itu terus meliuk-liuk, dan kembali berbalik dari bawah menyambar perut.
Bret! "Aaakh...!"
Orang bertopeng itu terpekik. Seketika cela-nanya putus ditebas pedang Sakaweni. Tapi bukan itu yang membuatnya berteriak kesakitan, melainkan karena perutnya robek disambar ujung pedang.
"Ini yang kedua!" dengus gadis itu, kembali mengibaskan pedangnya ke arah tangan.
Tes! "Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya, orang bertopeng itu terpekik. Pergelangan tangan yang memegang pedang langsung putus dibabat senjata Sakaweni.
"Katakan! Apa maumu ingin melenyapkan-ku"!" bentak gadis itu mengancam dengan ujung pedang menyentuh leher.
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" desis orang bertopeng ini.
"Membunuh mudah. Tapi jangan harap akan kau dapatkan begitu mudah. Seperti kata kawanku tadi, kau akan mati pelan-pelan! Dengan cara yang mengenaskan! Begitu lebih pantas bagimu. Kecuali, kau mau menjawab beberapa pertanyaan dengan jujur!" desis gadis itu.
Orang bertopeng itu terdiam. Mungkin tengah berpikir. Atau, pasrah menerima nasibnya.
"Kenapa kau ingin membunuhku"!" ulang Sakaweni geram.
"Begitu perintahnya!" sahut orang bertopeng ini.
"Perintah siapa?" desak Sakaweni.??
"Majikan kami."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu. Dia selalu bertopeng."
"Hm.... Di mana majikanmu itu?"
"Di Bukit Kera."
"Bukit Kera" Bukankah itu tempat Goa Griwa berada" Kau pasti tahu di mana tempatnya majikanmu berada. Katakan!"
"Aku tidak tahu!"
"Katakan! Atau, kutebas lehermu"!" bentak Sakaweni.
"Hiih!"
Jrees! "Akh!"
Rupanya, kesempatan itu digunakan orang bertopeng untuk memajukan kepalanya. Sehingga, lehernya tertembus ujung pedang. Dia mengeluh tertahan. Matanya melotot lebar, sebelum akhirnya ambruk tak berdaya.
"Sial!" umpat Sakaweni seraya mencabut pedang. Dibersihkannya noda darah pada baju korbannya.
"Seharusnya kau perhitungkan kemungkinan itu. Kawannya bunuh diri. Maka, dia pasti akan mengikuti jejaknya...," kata Rangga, datar.
Tapi, Sakaweni tidak tertarik dengan penye-salan Rangga. Dia justru sibuk memikirkan, kenapa ada orang yang hendak membunuhnya"
"Siapa" Apa yang diinginkannya dariku?" gumam gadis ini aneh.
"Mungkin dia mengira kau memiliki patung itu...."
"Hm, aku tidak yakin."
"Kau dikejar sejak di wilayah Gua Griwa. Dan semula, mereka menduga bahwa kau memiliki patung itu."
Gadis itu terdiam seperti memikirkan sesuatu. Tapi, tidak juga kunjung ketemu.
"Hm.... Aku harus mencari jawabannya di Bukit Kera!" tandas gadis ini.
"Kalau kau datang ke sana, berarti mencari penyakit!" kata Rangga mengingatkan.
"Aku harus tahu, siapa yang menyuruh mereka!" sergah Sakaweni seraya berbalik arah menuju Bukit Kera, tempat Gua Giiwa berada.
Rangga menghela napas pendek. Sambil menggeleng lemah, dia menghampiri kudanya. Langsung dinaikinya Dewa Bayu. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti malah kembali mengintili gadis itu dari belakang.
? *** ? Satu sosok tubuh berjubah hitam berdiri tegak dengan tajam bersedekap. Sudah sekian lama dia berdiri di sebuah bukit kecil yang penuh semak-semak. Sepertinya, sosok ini tengah menunggu seseorang.
Benar saja. Tak lama, muncul satu sosok lain yang langsung berlutut di hadapan sosok berjubah hitam.
"Hamba datang, Tuanku Jubah Hitam," kata sosok yang baru datang ini.
"Hm, bagaimana tugasmu?" tanya sosok yang dipanggil Jubah Hitam dengan suara di hidung. Sikapnya seperti tak peduli.
"Aku telah menghubungi beberapa orang. Dan mereka mampu membuat benda itu," jelas sosok yang baru datang. Wajahnya tidak jelas, karena terselubung kain hitam.
"Bagus! Lalu, orang-orang yang akan digiring ke dalam gua?" tanya Jubah Hitam.
"Ada lima puluh orang lebih," jawab sosok bertopeng hitam.
"Hmm!"
Si Jubah Hitam menggumam dengan ang-gukan puas.
"Tapi, tiga orang yang ditugasi menghabisi gadis itu belum kembali...," lanjut orang bertopeng itu.
"Hm.... Kalau mereka gegabah, pasti akan me-nemui ajal."
"Apakah Tuanku kira mereka gagal menjalankan tugas?"
"Kukira begitu. Kirim orang lain untuk mena-ngani mereka. Hati-hati! Aku khawatir, pemuda itu ikut bersamanya," ingat Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!"
"Hmm...!"
Si Jubah Hitam tiba-tiba mendengus dingin. Pendengarannya yang tajam seperti menangkap desah napas, selain mereka berdua. Jadi jelas ada orang lain di tempat ini. Dan setelah bisa memas-tikan tempat orang yang mencuri dengar pembi-caraan ini, si Jubah Hitam memutar tubuhnya. Seketika kedua tangannya menghentak ke arah semak-semak di belakangnya, melepaskan pukulan jarak jauh.
"Hiih!"
Bres! Krak! Serumpun semak yang dihantamnya kontan tecerabut dari akarnya. Sementara sebatang pohon di dekatnya hancur berantakan, menandakan kehebatan pukulan jarak jauh yang dilancarkan si Jubah Hitam. Hampir bersamaan, melesat sesosok tubuh dengan lincah. Tubuhnya bergulung-gulung di udara beberapa kali, lalu mendarat di dekat orang berjubah hitam itu.
"Hm, hebat sekali!" puji sosok yang tadi bersembunyi, dan ternyata seorang laki-laki setengah baya.
"Rupanya ada yang coba mencuri dengar pem-bicaraanku! He, jangan kira aku tak tahu keha-diranmu di sini!" dengus si Jubah Hitam.
"Syukurlah kalau kau tahu. Aku sekadar ingin membuktikan bahwa orang-orang yang mengejarku punya alasan. Dan ternyata benar. Kau adalah dalangnya!" tuding laki-laki setengah baya yang baru muncul. "Hanya aku tidak mengerti, mengapa kau menginginkan kematianku."
"Tuanku! Perkenankan aku membereskan orang ini!" ujar orang bertopeng yang tadi berlutut di depan si Jubah Hitam.
"Tidak perlu! Pergilah. Dan, panggil yang lain. Kalian hanya perlu berjaga-jaga agar dia tidak bisa kabur lagi!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!" sahut orang bertopeng_ini lalu berlalu.
"He, memandang rendah padaku rupanya!" dengus laki-laki setengah baya itu tersenyum sinis.
"Apa yang mesti kupandang tinggi darimu, Darta Rawon?"
"Hm, kau kenal aku rupanya!" kata laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Darta Rawon.
"Aku bahkan banyak tahu tentangmu."
"Itu membuatku semakin penasaran untuk menyingkap wajah di balik topeng yang menginginkan nyawaku!" dengus Ki Darta Rawon.
Cring! "Heaaat...!"
Tanpa buang-buang waktu lagi, laki-laki setengah baya itu mencabut pedang pendek dari balik bajunya yang lebar. Lalu langsung diserang si Jubah Hitam yang ternyata juga mengenakan selubung kain hitam pada wajahnya.
Bet! Bet! "Hi hi hi...! Kau mengeluarkan jurus 'Pelangi Berwarna Lima'?" ejek si Jubah Hitam seraya me-lompat ke sana kemari menghindari serangan.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Darta Rawon. "Tidak banyak yang mengetahui jurus ilmu pedangku!"
"Apa hebatnya jurus ilmu pedang bulukan itu" Aku bahkan mampu memunahkannya!"
"Buktikan!"
"Hmm!"??
Si Jubah Hitam mendengus kasar! Lalu tong-katnya diputar sedemikian rupa. Dan tiba-tiba tu-buhnya mencelat menyerang.
Secepat kilat Ki Darta Rawon mengebutkan pedang pendeknya, memapak.
Trang! Dari benturan ini, Ki Darta Rawon mulai merasakan kedahsyatan ilmu pedang si Jubah Hitam yang dimainkan dengan menggunakan tongkat. Kuat dan ganas! Beberapa kali dia mesti mengeluh tertahan, tatkala pedangnya berbenturan dengan tongkat. Terasa himpitan tenaga dalam besar yang membuat tubuhnya bergetar.
Ki Darta Rawon melompat ke belakang. Tapi sebelum kedua kakinya menjejak di tanah, serangan si Jubah Hitam telah kembali datang.
"Heaaat...!"
Dengan gesit laki-laki setengah baya itu mengibaskan pedang untuk menangkis.
Trang! Bahkan Ki Darta Rawon masih harus bergulingan ke samping, tatkala tendangan si Jubah Hitam menyusuli.
Suramnya Bayang Bayang 14 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama