Ceritasilat Novel Online

Rindukan Aku 1

Rindukan Aku Karya Andros Luvena Bagian 1


?"Rindukan Aku Andros Luvena PROLOG Aku sedang mewarnai buku bergambar bersama Gagah ketika tawa seorang wanita menarik perhatian kami. Aku menoleh ke asal suara, melihat Gagah juga melakukan hal yang sama denganku. Kami melihat Tanta Delita memasuki ruangan bersama seorang pria yang membuatku tertawa kecil karena perutnya yang buncit.
Tante Delita masuk ke kamarnya, diikuti laki-laki itu, melewati kami yang duduk di depan pintu kamarnya. Lalu mereka menutup pintu kamar. Kemudian kami mendengar suara cekikikan Tante Delita.
Gah, panggilku mencoba menarik perhatian Gagah yang masih memperhatikan pintu kamar yang tertutup rapat.
Gagah tetap bergeming mendengar panggilanku, masih dengan keasikannya memperhatikan pintu kamar Tante Delita. Kini suara cekikan Tante Delita berubah menjadi suara-suara yang terdengar aneh di telingaku. Meski aku sering mendengar suara seperti itu sebelumnya -bukan hanya suara Tante Delita, tapi juga suara tante-tante lain yang tinggal di sini-, tapi suara itu tetap membuat bulu-bulu di leherku meremang.
Aku ingat, terkadang mama juga membawa seorang pria ke kamarnya, dan dia akan melarangku masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba Gagah berdiri dari duduknya, menghampiri dinding kamar tante Delita yang terbuat dari bilik. Tangannya mengorek-ngorek bilik tersebut, membuat lubang sebesar ibu jari. Lalu dia membungkuk, melihat melalui lubang tersebut. Gagah, panggilku dengan suara berbisik, memperhatikan sekelilingku, khawatir ada yang melihat perbuatan Gagah.
Tanpa menoleh padaku, Gagah melambaikan tangannya ke arahku. Sini, Amy! katanya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang aneh. Aku menggelengkan kepalaku.
Melihat aku yang tidak mau mendekat ke arahnya, Gagah menghampiriku. Menarik tanganku dan mengajaknya ke bilik tersebut.
Lihatlah! perintahnya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Aku kembali menggeleng, teringat pesan mama yang melarangku untuk mengintip siapapun. Aku takut dimarahi Mama. Bisikku.
Tidak apa-apa, kalau Mamamu marah, aku akan melindungimu. Kata Gagah membujukku.
Aku tetap menggelengkan kepalaku. Suara-suara dari dalam kamar terdengar lebih keras, dibarengi dengan suara deritan-deritan kayu.
Gagah kembali melihat ke dalam lubang, Mereka hanya bermain kudakudaan. Bisik Gagah.
Aku menelengkan kepalaku ingin tahu, Kuda-kudaan" tanyaku. Iya. Tante Delita menaiki Om itu. jawab Gagah, Kau ingin lihat" tanyanya seraya menegakkan tubuhnya kembali.
Aku agak mendongak menatapnya ragu, meski aku tiga tahun terlahir lebih dulu dari Gagah, tapi tinggi Gagah jauh melebihi aku.
Lihatlah! kata Gagah lagi.
Aku masih ragu, namun akhirnya kembali aku menggelengkan kepalaku. Ya sudah, gumam Gagah, kemudian dia membungkuk lagi. Hei, Om itu ngempeng kaya bayi. Kata Gagah sambil cekikikan.
Aku menggoyang-goyang bahu Gagah. Ayo, Gah. Jangan di sini. Sebentar, Amy. Bisiknya lagi. Apa aku sudah bilang kalau mereka telanjang" tanya Gagah kemudian.
Mereka telanjang" Gagah mengangukkan kepalanya.
Kenapa telanjang kalau main kuda-kudaan" Gagah mendengus, Bodoh. Memang harus seperti itu.
Suara deheman membuat aku dan Gagah menegakkan tubuh kami dan berbalik. Aku mengkeret ketakutan melihat siapa yang memergoki kami, Gagah menggeser tubuhnya ke depanku, seakan ingin melindungiku dari amukan wanita dewasa yang kini berdiri garang di hadapanku.
Mamih ... bisik Gagah dengan cengiran pada wajahnya. Aku heran kenapa dia masih bisa tertawa di depan mamihnya yang terlihat marah.
Apa yang kalian lakukan di sini" tanya Mamih. Tangan gemuknya yang penuh dengan gelang emas menggerak-gerakkan kipasnya. Membuat gelanggelang tersebut saling berbenturan dan menimbulkan bunyi yang terdengar indah di telingaku.
Tapi aku sedang tidak ingin menikmati bunyi gelang itu kali ini. Jawab! bentak Mamih membuat aku terlonjak dan semakin menyembunyikan tubuhku di belakang Gagah.
Gagah menggaruk-garuk tengkuknya, Aku dan Amy hanya sedang mewarnai, Mih. Tuh. Jawab Gagah, tangannya menunjuk buku mewarnai kami dengan pensil warna yang berserakan di sekitarnya.
Mamih mengulurkan tangannya dan menjewer telinga Gagah. Pintar alasan kamu ya. gumamnya geram, lalu menarik jewerannya hingga Gagah tergeret mengikuti langkah Mamih yang meninggalkan tempat itu.
Aduduh ... Mih, sakit Mih ....
Aku masih mendengar suara Gagah sampai dia sudah tidak terlihat lagi. Kemudian aku buru-buru membereskan buku mewarnai dan pensil warnaku, cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
"RatuBuku SATU Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)
Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia mengambil semua yang ada padaku.
Suasana temaram, sudah menjadi ciri khas komplek Kembang Dadap ketika malam menjelang. Aku berjalan tergesa-gesa menyusuri sebuah gang sempit, menyelinap masuk ke dalam sebuah bilik.
Amy, kaukah itu nak" suara parau yang kukenal bertanya padaku, menyusul kemudian suara batuknya.
Ya, Ma. Jawabku menghampiri satu-satunya ranjang kecil yang ada di kamar ini. Mengambil segelas air putih dan meminumkannya pada wanita renta yang telah melahirkanku 25 tahun silam.
Kenapa baru pulang" tanya Mama ketika sudah minum. Tadi Mba Vero nitip beli obat, Ma. Jadi, Amy pulangnya mampir dulu ke apotik. Jelasku. Meletakkan kembali gelas itu ke atas meja dan menutupnya. Mama kembali terbatuk.
Mama sudah makan" tanyaku.
Sudah, tadi sore Mamih sendiri yang nyuapin Mama. O ya" aku berhutang banyak pada Mamih.
Ya. Mama terdiam. Aku tahu Mama sedang memperhatikanku, tapi aku pura-pura sibuk melipat baju.
Amy. Aku mendongak, Ya Ma. Dia baik-baik saja.
Aku kembali menunduk, melanjutkan pekerjaan yang tadi terhenti. Tanganku tiba-tiba menjadi gemetar. Aku menumpuk baju jadi satu, kemudian berdiri. Amy mandi dulu, Ma. Kataku meraih handuk dan peralatan mandi milikku. Mama tidak menjawabku.
Ada lima kamar mandi di belakang, kami menggunakannya secara bergantian. Selesai mandi, aku kembali ke kamar. Melihat Mama yang sudah terlelap. Aku menggantungkan handukku di tempatnya dan meletakkan kembali perlengkapan mandiku. Lalu menghampiri Mama, memandangnya dengan sayang. Aku membetulkan letak selimutnya, mengecup dahinya lembut. Amy sayang Mama. Bisikku.
Perlahan aku berjalan menuju meja kecil, membuka lacinya dengan kunci yang ada di saku celanaku, mengambil buku bersampul hitam dan sebuah pulpen. Kemudian menutup lagi laci tersebut, menguncinya dengan hati-hati. Lalu aku mengambil sebuah selimut dan senter. Berjalan mengendap-endap menuju pintu, membukanya pelan-pelan.
Aku keluar dari kamar, melangkahkan kakiku ke belakang. Di mana rumah Mamih berada. Rumah Mamih adalah satu-satunya bangunan yang bukan terbuat dari bilik, melainkan keseluruhan dindingnya terbuat dari tembok. Bagian atasnya dipakai untuk tempat jemuran.
Aku menaiki tangga besi yang curam menuju tempat jemuran. Sampai di atas, aku menggelar selimutku, berbaring telentang dengan kedua tanganku sebagai bantalnya. Menatap bintang-bintang yang bertebaran memenuhi langit malam. Jangan menangis. Aku akan membawamu ke suatu tempat yang sangat indah. Benarkah"
Gagah mengangguk, Tapi berjanjilah kau tidak akan pernah menangis lagi. Aku berjanji.
Aku tersenyum mengingat kejadian 15 tahun yang lalu. Ke tempat inilah Gagah membawaku, kami membawa banyak lilin dan menyalakannya, lalu berbaring di sekitarnya.
Gagah. Menyebut namanya saja membuat denyut jantungku bekerja lebih keras. Apa kabarmu sekarang" Apa kau baik-baik saja" Tentu saja. Mama baru memberitahuku tadi, dia pasti mendengarnya dari Mamih. Mungkin Mamih baru menerima telepon darinya.
Aku membalikkan tubuhku, tengkurap. Menyalakan senter dan membuka buku bersampul hitam yang kubawa. Membalik beberapa lembar ke halaman awal. 22 Juni 2010
Hari ini kau pergi ... Kau bertengkar dengan Mamih, aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan. Tapi itu membuatmu sangat marah.
Aku berpapasan denganmu di pintu keluar. Melihatmu memakai ransel besar di punggungmu ... aku merasa khawatir.
Kau mau pergi" tanyaku.
Kau hanya mengangguk tanpa melihatku. Kemana" tanyaku lagi.
Kali ini kau memandangku. Mata hitammu terlihat sedih. Aku akan pergi jauh, Amy. Katamu lirih.
Apakah kau akan kembali" Ya. Suatu saat aku akan kembali.
Aku memegang lenganmu, mendongak untuk menatapmu. Jangan pergi. Kumohon. Pintaku berharap kau berubah pikiran.
Tapi kau tidak menjawabku. Kau hanya meloloskan peganganku dari tanganmu. Lalu berjalan meninggalkanku.
Gah. Panggilku. Kau menghentikan langkahmu tanpa menoleh.
Apa kau akan merindukanku. Tanyaku memberanikan diri. Kau tidak menjawab. Hanya kembali melangkah ... meninggalkanku. Aku merebahkan kepalaku menyamping bersebelahan dengan buku itu. Meraih pulpen, aku menuliskan satu kalimat di atasnya ... aku merindukanmu . Sebaris air mata membasahi pipiku. Dadaku terasa sesak. Lalu, aku tertidur dalam kesedihanku.
"RatuBuku Kokok ayam jantan membangunkanku, aku tersentak dan segera bangun dari tidurku. Terburu-buru membungkus buku dan senterku dengan selimut, lalu setengah berlari menuruni tangga besi. Kakiku dengan lincah melewati undakan demi undakan, tanpa takut tergelincir. Aku sudah terbiasa melakukan ini. Sampai di depan kamarku, aku masuk dengan hati-hati. Melihat Mama yang masih tertidur pulas. Aku agak tenang karenanya.
Menguap, aku mengikat rambut sebahuku menjadi satu dan menggelungnya ke atas. Mendekati dua keranjang penuh cucian kotor yang ada di sudut kamar. Mengangkat salah satu keranjang dan membawanya ke sumur. Lalu kembali lagi untuk mengambil keranjang yang satunya.
Aku mencuci semua pakaian penghuni komplek Kembang Dadap. Mendapatkan banyak uang sebagai bayarannya. Penghuni komplek sangat royal padaku, kalau mereka lagi banyak rejeki, mereka selalu memberikan uang berlebih sebagai upah mencucikan baju mereka. Terkadang, aku mendapatkan baju-baju bekas yang sudah tidak mereka pakai. Tapi aku tidak berani memakainya. Pakaian mereka sangat minim dan terbuka.
Banyak sekali cucianmu, Amy.
Aku mendongak, melihat Megy yang baru datang. Iya. Jawabku. Mau mandi Meg"
Iya, tapi masih kepagian nih. Megy jongkok di depanku, Eh, bajuku yang kemaren sudah" tanyanya.
Tinggal disetrika, nanti siang aku antar. Kataku.
Sorean juga gak pa-pa kok. Megy mengulurkan tangannya ke bak cucianku, mengambil sebuah baju dan menguceknya.
Eh, jangan Meg, biar aku aja. Cegahku merasa tidak enak.
Santai aja keles, aku juga biasa, di kampung kaya ginian. Ah, tapi kan aku dibayar. Gumamku.
Sudah ga pa-pa. Aku tidak mencegah lagi, untuk gadis sekeras kepala Megy, percuma melarang apa yang ingin dia kerjakan.
Makasih, ya. gumamku. Megy hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Hoi, lagi pada ngapain.
Mba Vero, Kak Vely dan Kanya yang baru datang menghampiri kami. Aku hanya tersenyum pada mereka.
Eh, My. Makasih ya, kemaren dah beliin obatnya, badanku jadi ga sakit lagi. kata Mba Vero.
Aku mengangguk. Jadi bisa nerima tamu lagi dong. Goda Megy.
Pasti, lah. Semalem aja aku dapet empat tamu. Jawab Mba Vero disambut cekikikan gadis lainnya.
Aku hanya senyum-senyum mendengarkan mereka. Perbincangan seperti ini sudah menjadi rutinitas setiap pagi.
Masih banyak ya, My. Aku bantuin ya" kata Kanya, tanpa menunggu jawabanku dia ikut mengucek baju.
Kak Vely menimba air, dan mengisi ember-emberku, Mba Vero membilas bajubaju yang sudah di cuci.
Eh, ko malah jadi pada nyuci sih. Jangan dong. Seruku berusaha mencegah mereka. Tapi mereka tidak mendengarkanku.
Aku menepis tangan-tangan mereka, menjauhkan mereka dari cucianku. Usahaku tidak berhasil, mereka malah mencipratiku dengan air sabun. Akhirnya, jadilah kami mencuci baju sambil perang air sabun. Saling menciprat, meledek, mencubit kemudian tertawa bersama ketika Mba Vero yang paling tua di antara kami bercerita tentang tingkah para tamunya semalam. Pekerjaanku selesai dengan cepat. Aku berpamitan untuk menjemur cucianku, sementara mereka bersiap-siap untuk mandi.
Selesai menjemur, aku mandi, lalu kembali ke kamar. Sudah pukul tujuh pagi. Mama masih terlelap, aku membiarkannya, tersenyum melihat wajahnya yang tampak tenang.
Aku menyiapkan setumpuk baju yang harus kusetrika. Mulai menyetrikanya satu per satu. Pukul 8.30, setrikaanku selesai. Aku membagi-baginya menjadi beberapa keranjang, masih ada waktu satu setengah jam sampai aku berangkat kerja, aku memutuskan untuk mengantar pakaian-pakaian ini terlebih dahulu sebelum berangkat kerja.
Keranjang terkahir yang kuantar milik Mamih, aku mengetuk pintu rumahnya. Yaaa sebentar. Suara khas Mamih terdengar menyahuti ketukanku. Pintu terbuka, wajah terpoles make up tebal melongok dari dalam. Eh, Amy. Masuk My. Mamih membuka pintu lebar-lebar. Aku masuk ke dalam, menuju tempat penyimpanan baju Mamih, lalu menatanya ke dalam lemari seperti yang biasa aku lakukan. Bagaimana kabar Mamamu" tanya Mamih.
Masih tidur, Mih. Tadi Amy mau bangunin kasihan. Jawabku. Obatnya masih ada"
Masih Mih. Aku selesai menata baju. Sudah selesai, Mih. Amy ke kamar dulu ya.
Tunggu sebentar. Terburu-buru Mamih menuju dapur, keluar lagi dengan membawa rantang. Tadi Mamih beli bubur ayam buat Mamamu. Katanya seraya menyodorkan rantang tersebut.
Aku menerimanya. Makasih ya, Mih. Jadi ngrepotin.
Ah, enggak. Kata Mamih. Lalu dia merogoh sakunya dan meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tanganku. Ini yang bulan kemarin ya. Aku mengangguk, Iya, Mih. Makasih banyak. Kataku suka cita. Mamih menepuk-nepuk pundakku. Ya ya. Sudah sana. Kasihan, Mamamu belum makan.
Kembali aku menganggukkan kepalaku. Lalu berpamitan pada Mamih. Sampai di kamarku, aku menghampiri Mama. Tersenyum melihatnya yang masih terlelap. Aku duduk di sampingnya, menepuk pipinya perlahan dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku memegang rantang bubur. Ma. Panggilku pelan.
Mama bergeming. Aku menepuk pipinya lagi, merasa khawatir ketika merasakan kulitnya yang dingin. Aku menepuk lebih keras, Mama tetap bergeming.
Kali ini aku panik, aku membuka selimut Mama dan mencari-cari pergelangan tangannya. meraba nadinya ....
Rantang bubur yang kupegang terjatuh, suaranya riuh saat menyentuh lantai. Tanganku gemetar ketika tidak menemukan denyut pada nadinya. MAMA .... Teriakku histeris, sebelum akhirnya tubuhku terasa lemas dan semuanya menjadi gelap.
"RatuBuku DUA Aku menempelkan kepalaku menyamping ke atas gundukan tanah merah yang bertabur bunga-bunga warna warni. Tanah yang semula kering kini basah karena tetesan hujan yang tiba-tiba turun, menghasilkan aroma petrichor yang memenuhi indera penciumanku.
Aku tidak peduli dengan aroma petrichor, aku tidak peduli dengan hujan deras yang kini menghujamiku dengan tetesan-tetesannya, membuat bajuku menjadi kuyup. Yang aku pedulikan sekarang ... kepergian Mama untuk selamanya. Amy .... Megy memanggilku lirih.
Aku tahu dia menungguiku dari tadi, membawa payung hitam yang tidak bisa melindunginya dari tetesan air hujan.
Kita harus pulang. Gumamnya lagi.
Aku tidak menjawabnya, tenggorokanku terlalu kering untuk mengucapkan sesuatu. Aku memejamkan mataku sekilas, membuat aliran hangat dari sudut mataku kembali turun, berbaur dengan air hujan yang membasahi wajahku. Megy berjongkok di sampingku, kerudung hitamnya yang terjuntai melambailambai tertiup angin, menyapu gundukan tanah merah di depanku. Kau harus kuat, Sayang ... bisikya. Mamamu akan sedih kalau tahu kau seperti ini. Aku meremas segumpal tanah dengan tanganku yang gemetar. Berjuanglah. Tuhan akan mengambil semuanya pada waktunya. Aku kembali memejamkan mataku. Tidak menolak ketika Megy membimbingku untuk berdiri.
Bersandar pada bahu Megy, aku menyeret langkahku. Membiarkannya membawaku menuju mobil yang menunggu kami.
Air hujan membuat kaca mobil menjadi berembun, aku meletakkan ujung-ujung jari tangan kananku ke atasnya, menyandarkan kepalaku pada jendela mobil. Semua yang ada di dalam mobil terdiam. Membuat suasana semakin kelam. Kini ... aku tidak punya siapa-siapa lagi. Semua pergi meninggalkanku .... "RatuBuku
Melalui hari-hari tanpa Mama menjadi berat buatku. Aku akan tertegun saat membuka pintu kamar sepulang bekerja, berharap mendengar suara paraunya yang menyapaku ... atau mendengar suara batuknya, atau mendengar deru napasnya yang seperti kelelahan. Lalu, aku akan tersadar, semua itu tidak akan mungkin bisa aku dengar lagi.
Aku melakukan kegiatanku seperti biasa, mencuci baju penghuni komplek Kembang Dadap, menyetrika, bekerja. Melakukuan rutinitasku setiap pagi. Terkadang Megy membantuku mencuci, besoknya Kayna, besoknya lagi Kak Vely. Atau Mba Vero yang secara rutin mengirimi aku sarapan, Melisa yang setiap sore menemaniku, bergantian dengan Julia dan Erika. Lalu Mamih akan menemaniku sampai aku tertidur. Mereka tidak pernah membiarkanku sendiri. Tiga bulan seperti itu, aku nyaris melupakan kesedihanku. Aku mulai bisa tersenyum lagi, terkadang tertawa ketika Mba Vero kembali menceritakan tingkah para tamunya.
Aku kembali pada kebiasaanku yang dulu, berbaring di tempat jemuran seraya menghitung bintang, berharap suatu saat aku akan bisa menghitung kesemuanya.
Kemudian, paginya kembali menjalankan rutinitasku. Satu malam, Mamih memanggilku.
Duduklah, Amy! Katanya. Aku duduk di hadapannya. Mamih menatapku dan tersenyum, matanya terlihat lelah, tubuhnya yang dulu gemuk dan segar, kini mulai mengurus. Kulitkulitnya yang mengendur, bergelambir pada bagian lengan dan dagunya. Tapi dia tetap cantik dengan make up tebal yang terpoles di wajahnya. Mamih meletakkan amplop putih ke atas meja yang ada di depannya. Amy, Mamamu pernah berpesan pada Mamih agar menjagamu seperrti anakku sendiri. Mamih menghela napas, Sejauh ini Mamih berusaha melakukannya dengan baik.
Aku menundukkan kepalaku.
Mamih pikir, sekarang sudah waktunya kau mandiri. Jangan salah sangka, Mamih tidak mengusirmu. Tapi Mamih pikir, tempat ini tidak baik untukmu. Kau gadis baik, bukan di sini tempatnya.
Amy suka di sini, Mih ... bisikku lirih.
Mamih tahu, kita sudah seperti keluarga. Tapi Mamih sudah tua, tidak akan bisa selamanya menjaga kamu. Mamih mendorong amplop yang dipegangnya ke arahku, Pergilah mengenal dunia, Nak. Mamih tahu kau bisa menjadi lebih baik.
Aku tidak menerima amplop itu, masih tetap menundukkan kepalaku. Amy akan tetap di sini. Amy lahir di tempat ini, besar di sini. Amy enggak akan pergi dari Kembang Dadap. Jadikan Amy anggota, Mih.
Aku tidak bisa melihat Mamih, tapi aku tahu dia terkejut mendengar keputusanku.
Mamamu tidak akan suka kalau mendengar ini, Amy. Gumamnya menarik napas panjang.
Aku terdiam. Aku tahu itu. Mama ingin aku mendapatkan pekerjaan yang baik, bukan seperti dia. Tapi aku tidak akan bisa meninggalkan tempat ini, ada yang kutunggu di sini.
Tolong pikirkan lagi, Amy.
Amy sudah mantap, Mih. Amy tidak akan berubah pikiran. Mamih sedih mendengarnya.
Aku terdiam, tapi tidak merubah keputusanku. "RatuBuku
Malam ini, di usiaku yang ke 25 tahun, untuk pertama kalinya aku berdandan. Megy dan Mba Vero membantuku. Mereka memoleskan make up minimalis pada wajahku, lalu menata rambutku menjadi ikal dan memberikan jepitan berbentuk kembang dadap pada salah satu sisinya. Aksesoris wajib yang di pakai penghuni komplek Kembang Dadap.
Megy memilihkan baju untukku, salah satu dari yang diberikan penghuni komplek padaku. Gaun model bakcless hitam selutut yang menempel ketat pada tubuhku. Dengan hiasan manik-manik pada bagian dadanya yang bergaris leher V.
Apa tidak ada baju yang lain" tanyaku kurang nyaman. Ini sudah yang paling tertutup. Kata Megy. Kau bercanda. Gumamku.
Megy tertawa, mengeluarkan semua baju yang ada di lemariku, akhirnya aku setuju dengannya.
Mba Vero meminjamkan sepatu hak tingginya yang mempunyai warna senada dengan gaunku.
Kau terlihat sangat cantik. Decak Mba Vero.
Dan seksi. Sambung Megy. Wah, pendapatanku bakalan menurun drastis. Guraunya di sambut tawa Mba Vero.
Aku hanya tersenyum mendengar gurauan mereka.
Sudah siap" Mamih memasuki kamarku dan tertegun ketika melihatku. Kau sangat cantik. Bisiknya lirih, menatapku sedih. Aku masih berharap kau berubah pikiran.
Aku menggelengkan kepalaku. Ya, sudah. Ayo keluar! Kata Mamih.
Aku mengikuti Mamih keluar dari kamarku, beriringan dengan Megy dan Mba Vero.
Memasuki ruangan tempat semua berkumpul, aku merasa risih ketika hampir semua mata memandangku. Beberapa orang lelaki terlihat langsung menghampiri Mamih. Lalu Mamih mengajak mereka ke sudut ruangan. Aku tahu mereka sedang melakukan penawaran terhadapku.
Santai saja. Bisik Megy di telingaku. Kakinya bergoyang mengikuti irama musik yang berdentum.
Aku hanya mengangguk. Mba Vero menghampiriku dengan membawa sebuah gelas, menyodorkannya padaku. Ini akan membuatmu lebih relax. Katanya.
Aku menerima gelas itu dan meminumnya, mengernyit ketika merasakan asam di lidahku.
Benar saja, beberapa saat kemudian, aku merasa lebih santai. Amy. Mamih memanggilku.
Aku melihatnya melangkah ke arahku bersama seorang pria yang terlihat berusia awal 40an.
Kenalkan ini Mas Rangga. Kata Mamih, Kau akan menemaninya malam ini.
Aku menganggukkan kepalaku dan mengulurkan tanganku pada Mas Rangga. Mas Rangga tersenyum tipis, menyambut uluran tanganku hangat. Ajak Mas Rangga ke kamarmu! perintah Mamih lembut. Aku mengangguk gugup, menggandeng tangan mas Rangga ke kamarku. Sampai di kamar, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Jantungku berdetak kencang, tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kemarilah! Panggil Mas Rangga. Suaranya terdengar berwibawa.
Aku menghampirinya, duduk di sampingnya.
Mas Rangga menggenggam tanganku, Tidak usah buru-buru, aku tahu ini baru buatmu.
Aku menunduk, menghargai pengertiannya.
Berapa umurmu" tanya Mas Rangga seraya membuka jaketnya. 25 tahun. Jawabku pelan.
Mas Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat denganku, mendekatkan mulutnya pada leherku. Berlama-lama di sana.
Perasaan gugup lebih menguasaiku, tapi aku berusaha mengikuti permainannya. Aku wanita dewasa, aku bisa melakukan ini.
Saat aku terbangun, Mas Rangga masih tertidur dengan tangannya yang melingkar di pinggangku. Aku menyingkirkannya hati-hati. Tapi ketika aku mencoba bangun, tangan kokoh itu kembali melingkari pinggangku, kali ini lebih kuat.
Satu kali lagi saja. Bisiknya dengan suara serak khas bangun tidur, menciumi punggung telanjangku.
"RatuBuku Aku sudah selesai mandi ketika Mamih masuk ke kamarku. Mas rangga sudah pergi sejak satu jam yang lalu.
Mamih duduk di ranjangku yang sudah rapi. Menatapku yang sedang menyisir rambut.
Siapa yang pertama" tanya Mamih mengejutkanku.
Mamih menghela napas, Mas Rangga bilang, semalam bukan yang pertama buatmu.
Aku menatap Mamih takut-takut.
Jangan takut. Mas Rangga tidak marah. Mamih mendesah. Meski Mamih mengatakan kau masih perawan.
Aku menundukkan kepalaku.
Itu tidak menjadi masalah buat Mas Rangga, dia sangat puas denganmu dan tidak mengambil kembali uangnya.
Aku memberanikan diri kembali mengangkat kepalaku, berjalan menghampiri mamih dan duduk di sampingnya.
Mamih hanya ingin tahu, siapa yang pertama. Apa pria itu memaksamu" Aku menggelengkan kepalaku.
Gagah" Aku mendongak dan menatap Mamih terkejut. Gagah kan"
Aku kembali menunduk. Maafkan Amy, Mih. Bisikku lirih. Mamih memelukku, Bukan salahmu. Oh, Amy ... andai Gagah mau kembali, aku akan dengan senang hati menerimamu menjadi menantuku. Sudut mataku terasa panas mendengarnya.
Kapan kau kembali, Gagah. Aku merindukanmu ... sangat .... "RatuBuku
TIGA 6 tahun kemudian. Mamih meninggal. Kabar itu menyebar dengan cepat. Kembang Dadap menjadi muram, tidak ada keceriaan seperti hari-hari biasa. Semua penghuni komplek terlihat bersedih, tidak terkecuali aku yang kini tengah berkumpul bersama yang lain. Tak ada yang banyak bicara setelah acara pemakaman Mamih. Hati kami terasa gamang memikirkan apa yang terjadi selanjutnya dengan kami. Apa tempat ini akan ditutup" Lalu bagaimana dengan nasib kami" Sore ini, aku duduk di atas atap sendirian. Menatap langit senja yang tampak temaram. Bola jingga besar yang mulai kembali ke peraduan, menghadirkan semburat kemerahan. Beberapa burung terlihat terbang melintas di bawahnya, bersiap untuk pulang.
Gagah akan pulang. Aku mendengarnya siang tadi, gosip yang beredar dia akan menggantikan Mamih. Sekarang, aku merasa bingung apa harus gembira atau bersedih dengan kematian Mamih.
Terpikir dalam benakku, apa dia merindukan aku" Apa dia akan merangkul pundakku -seperti biasa yang dia lakukan dulujika kami bertemu" Apa senyumnya masih terlihat sama seperti dulu" Dengan cengiran khas yang selalu membuatku tertawa jika melihatnya.
Kau tahu, Amy. Kalau aku dewasa, aku akan bermain kuda-kudaan bersamamu.
Aku menatapnya polos. Bermain kuda-kudaan" Ya, seperti yang dilakukan Tante Delita sama Om Perut Buncit. Kenapa harus menunggu dewasa"
Gagah menatapku meremehkan, seolah dia tahu segalanya. Kata Mamih, kita hanya boleh bermain saat sudah dewasa.
Kenapa" Kali ini Gagah menggaruk-garuk belakang telinganya, Aku enggak tahu ... gumamnya berpikir, ayo tanya Mamih. Gagah menyeret tanganku setengah berlari.
Aku berlari di belakang Gagah, hanya dengan melihat punggungnya, percaya sepenuhnya kepada langkahnya.
Kami menemukan Mamih yang tengah berbincang dengan seorang wanita yang menawarkan perhiasan.
Mih. Kenapa aku dan Amy tidak boleh bermain kuda-kudaan seperti Tante Delita, sekarang"
Gerakan tangan Mamih yang sedang menggoyangkan gelang yang dicobanya terhenti, menoleh ke arah kami cepat, wajahnya merah padam. Sebentar ya, Jeng. Katanya tersenyum kikuk pada tamunya yang sedang menahan tawa. Berdiri untuk menjewer telinga Gagah dan menariknya ke belakang.
Aku yanng masih bergandengan tangan dengan Gagah ikut terseret Mamih. Kamu jangan bikin Mamih malu dong, Gah. Bisik Mamih terlihat kesal, melepaskan jewerannya.
Gagah mengusap-usap telinganya yang merah, Kenapa Mih" Gagah Cuma tanya kenapa Gagah dan Amy tidak boleh main ...
Ucapan Gagah terhenti, ketika Mamih membekap mulutnya. Lalu Mamih menggiring kami ke dapur. Membuka pintu belakang dan menyuruh kami keluar.
Mamih belum jawab. Protes Gagah bertahan di tempatnya. Mamih menghela napas, Karena kalau kau lakukan sekarang, Gagaaah ... gumam Mamih geram, Amy akan kesakitan. Kau mau Amy kesakitan" Gagah menggeleng cepat. Lalu menyeret tenganku meninggalkan tempat itu. Aku tersenyum geli mengingat memory itu. Mencerna kalimat-kalimat yang terucap setelah aku dewasa sungguh sangat berbeda dengan dulu. Kejadian itu sering menjadi lelucon Mamih bersama para penghuni komplek ketika kami remaja, menjadi bahan ledekan buat kami. Membuat wajahku dan Gagah memerah setiap kali mendengar kisah tersebut.
Aku merebahkan tubuhku telentang, masih menatap langit yang mulai menggelap. Bulan sabit yang bersinar keperakan mulai muncul menggantikan cahaya terang sang mentari, berdampingan dengan bintang-bintang yang tersebar memenuhi langit malam.
Gagah tidak suka melihat aku kesakitan, dulu ... dia akan menangis lebih keras dariku setiap aku terluka karena terjatuh atau tanganku berdarah karena teriris pisau. Itu berlanjut sampai aku beranjak remaja ....
Amy! Bahuku tertarik ke balakang ketika Gagah meraihnya dan membalik tubuhku hingga berhadapan dengannya.
Aku mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi melihat wajahnya yang pucat pasi. Kau kenapa" Tanyaku heran.
Kau sakit" dia balik bertanya dengan nada khawatir. Aku menggeleng.
Lalu kenapa rokmu ada darahnya"
Aku terkejut, memutar tubuhku untuk melihat bagian belakang rok. Gagah benar, ada noda darah yang melebar pada rok biruku.
Kau sakit Amy ... kata Gagah mengernyit seolah sedang menahan sakit yang amat sangat. Lalu dia menurunkan tas, melepas seragam putih yang dikenakannya dan mengikatkan seragam itu di pinggangku, hingga bagian belakang rokku tertutup. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Gumamnya mengambil kembali tasnya yang tergeletak di tanah kemudian membimbingku. Aku yang masih bingung berjalan mengikuti Gagah yang kini hanya mengenakan kaos singlet berpasangan dengan celana merah SD-nya. Gagah membawaku ke rumah sakit kecil yang letaknya tidak jauh dari gedung sekolah kami, tangannya tak pernah lepas dari tanganku. Sampai di dalam rumah sakit, kami menghampiri seorang perawat yang tengah berjalan di lorong.
Ada apa, Dik" tanya perawat itu membungkuk ke arah kami. Teman saya sakit, Kak. Kata Gagah menoleh ke arahku dan mempererat genggaman tangannya pada tanganku.
Perawat itu tersenyum, Kalian daftar aja sama kakak perawat yang di sana, katanya menunjuk seorang perawat yang duduk di belakang loket pendaftaran. Gagah menengok ke arah perawat yang dimaksud, kemudian kembali berpaling ke perawat yang di depan kami. Teman saya tidak bisa menunggu, Kak. Dia mengeluarkan banyak darah.
Kali ini perawat itu terlihat terkejut, berpaling ke arahku. Kau masih bisa berjalan, Dik" tanyanya padaku.
Aku hanya menganguk. Kalian ikuti kakak, ya.. Kata kak perawat, kemudian dia berbalik dan melangkah cepat.
Setengah berlari kami mengikuti langkah kak perawat, sampai di depan sebuah ruangan dengan tulisan UGD pada pintunya.
Kak perawat membuka pintu, mengajak kami masuk ke dalam ruangan, lalu dia meletakkan papan yang dari tadi didekapnya ke atas meja, dan menghampiriku. Dimana yang mengeluarkan darah" tanya kak perawat.
Gagah membuka seragam yang diikatkannya pada pinggangku, kemudian membalik tubuhku agar membelakangi kak perawat, memperlihatkan noda darah pada rokku.
Aku mendengar kak perawat menghela napas, kemudian membalik tubuhku agar menghadapnya, memegang kedua bahuku dan tersenyum. Berapa umurmu" tanyanya mengusap kepalaku. 13 tahun, Kak. Jawabku.
Dan kau" tanya kak perawat lagi pada Gagah.
10 tahun. Jawab Gagah cemberut. Amy kesakitan Kak, Kakak harus cepat mengobati dia, bukannya mengajak kami mengobrol. Aku tidak suka melihat Amy sakit.
Senyum kak perawat semakin lebar, Kakak tidak melihat Amy kesakitan. Gumamnya melirikku.
Aku memang tidak merasakan sakit, hanya perutku yang sedikit mulas karena gugup.
Tapi dia berdarah. Gagah bersikeras.
Kak perawat tertawa, Gagah semakin cemberut karenanya. Okey, siapa nama pria kecil ini Amy" tanya kak perawat padaku. Gagah. Jawabku pelan.
Gagah, sekarang kamu keluar biar Kakak bisa memeriksa temanmu, okey" Gagah terlihat ragu. Tapi kemudian dia mengangguk dan meninggalkan kami keluar dari ruangan setelah sebelumnya menatapku sedih.
Aku menutup wajahku mengingat itu, benar-benar kejadian yang memalukan. Saat itu adalah hari pertama aku mendapatkan menstruasi. Mama tidak pernah memberitahuku sebelumnya, jadi aku sama sekali tidak mengerti. Justru kak perawat itu yang pertama kali memberitahuku, memberikan pengertian kenapa wanita mendapatkan menstruasi ... proses terjadinya haid ... dan mengajariku menggunakan pembalut yang benar.
Besok aku bisa melihat Gagah lagi ... setelah 10 tahun terlewati, apa dia masih terlihat sama" Apa dia akan tetap bersikap baik padaku" Apa dia masih akan menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Seperti malam itu .... ketika untuk terakhir kalinya aku dan dia berbaring di tempat yang sama denganku berbaring saat ini.
Lihat, bintang itu bersinar lebih terang daripada yang lainnya. kataku menunjuk salah satu cahaya di gelapnya langit malam.
Gagah terkekeh, Honey Amy, itu planet bukan bintang. Aku memalingkan wajahku menghadapnya, Darimana kau tahu" tanyaku menahan debaran jantung yang semakin kencang ketika melihat wajah tampannya dari dekat.
Honey Amy, bintang akan selalu berkelap-kelip sedangkan planet tidak. Yang kau lihat itu, apa dia berkelap-kelip"
Aku kembali menatap langit, kemudian menggeleng pelan. Berarti itu planet. Kau tahu itu planet apa"
Kembali aku menggeleng. Planet Venus. Lalu Gagah menunjuk ke tiga buah bintang yang membentuk garis sejajar. Itu baru bintang, kau lihat ketiga bintang itu berkelap-kelip kan" Aku mengangguk, Ketiga bintang itu terlihat sangat indah ... gumamku. Gagah lebih mendekatkan kepalanya padaku, tangannya kembali menunjuk ketiga bintang itu. Yang itu namanya Mintaka, bawahnya Alnilam, yang satu lagi Alnitak.
Debaran jantungku semakin kencang,merasakan hembusan napasnya di pipiku. Kau lihat di sebelah kiri ketiga bintang itu" Gagah agak menggeser letak telunjuknya. Ada dua bintang di sana, yang terang bernama Rigel dan yang redup bernama Saiph. Terus di sebelah kanan ketiga bintang yang sejajar ada dua bintang lagi, Gagah kembali menggeser jari telunjuknya ke arah yang berlawanan, melewati bintang Mintaka, Alnilam dan Alnitak, yang berwarna merah namanya Betelgeuse, sedangkan yang putih agak redup itu namanya Bellatrix.
Aku terpana mendengar penjelasan Gagah, tak kusangka bintang-bintang itu memiliki nama yang terdengar indah di telingaku.
Mereka bergabung menjadi satu membentuk rasi bintang Orion. Lanjut Gagah menurunkan tangannya, berpaling ke arahku. Kau lihat kabut tipis sayup-sayup di antara ketujuh bintang itu, Honey Amy"
Aku menajamkan penglihatanku, kemudian mengangguk ketika melihat kabut tipis yang berada di tengah-tengah rasi Orion.
Itu disebut Nebula, tempat terlahirnya bintang-bintang. Aku membelalakkan mataku, berpaling ke arah Gagah tak percaya. Benarkah" gumamku, terperangkap pada keindahan matanya yang tengah menatapku.
Gagah mengangguk dan tersenyum, tanpa melepaskan tatapannya dariku. Aku gadis 21 tahun yang bodoh, sama sekali tidak mengerti tentang itu. gumamku rendah diri.
Kau tidak bodoh Honey Amy, aku tahu karena aku mempelajarinya di sekolah.
Mataku meredup, Kalau Mama tidak sakit-sakitan, mungkin aku bisa sekolah SMA sepertimu ... dan aku akan tahu lebih dulu tentang bintang-bintang itu. Gagah mengulurkan tangannya, menyentuh pipiku lembut. Sekarang kau juga tau kan" Aku memberitahumu.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya, merasakan sentuhannya yang terasa hangat di pipiku. Agak kecewa ketika Gagah kembali menarik tangannya. Ada sebuah kisah mytologi tentang rasi bintang Orion. Kata Gagah membalikkan tubuhnya menyamping, menghadap kepadaku. Ceritakanlah. Aku melakukan hal yang sama sehingga kami saling berhadapan.
Dulu ada seorang pemburu dari bangsa Boetia yang tampan dan perkasa bernama Orion. Dia menjalin cinta dengan Eos sang Dewi Fajar. Menjelang fajar, Eos akan membuka gerbang istana emasnya di timur, kemudian akan terbang dengan sayap-sayapnya yang bersinar redup namun makin lama makin terang. Melintasi angkasa dari timur ke barat menghalau bintang-bintang memasuki Sungai Ocean, kecuali rasi ursa Mayor dan Minor yang tak pernah tenggelam dan terbit di ufuk saat fajar menyingsing maupun senja menjelang. Eos membawa sekendi air dingin dalam perjalanannya dan memercikkan air tersebut ke atas permukaan rerumputan, dedaunan, dan bunga-bungaan sebagai embun pagi. Gagah berhenti, tersenyum saat melihatku menatapnya tak berkedip. Kau suka mendengarnya, Honey Amy" bisiknya. Aku mengangguk, Lanjutkan. Pintaku.
Karena kecantikan Eos yang teramat sangat ... Gagah menatapku sayu, meletakkan ujung jarinya di atas pipiku dan menjalankannya pelan sampai ke ujung dagu. Orion menjadi sangat tergila-gila padanya, sehingga mengucapkan sesumbar akan memusnahkan semua hewan buas di muka bumi dan mempersembahkannya untuk Eos.
Aku harus menjaga konsentrasiku ketika jari Gagah meluncur turun ke leherku. Apollo yang mendengar sesumbar Orion mengirim seekor kalajengking raksasa untuk membunuhnya. Namun Eos memohon bantuan pada Diana untuk menyelamatkan kekasihnya, Diana yang menyanyangi Orion sebagai sesama pemburu bersedia untuk menyelamatkannya. Pada saat Orion sedang dikejarkejar kalajengking raksasa, Diana bersiap-siap membidikkan anak panahnya untuk membunuh kalajengking tersebut. Tiba-tiba Apollo muncul dan mengaburkan pandangan Diana ...
Aku tercekat dan menahan napas bersamaan dengan ujung jari Gagah yang menekan ceruk di pangkal leherku. Jantungku berdebar kencang, entah karena kisah itu atau apa yang dilakukan Gagah.
Sehingga anak panahnya meleset dan mengenai Orion yang tewas seketika. Lanjut Gagah, jarinya kembali berkelana menyusuri leher dan bahuku. Diana yang berduka karena tidak bisa menyelamatkan Orion kemudian menempatkan Orion di angkasa sebagai rasi bintang Orion. Sedangkan kalajengking raksasa itu oleh Apollo juga di tempatkan di angkasa sebagai rasi bintang Scorpion dalam posisi sedang memburu Orion. Gagah menghela napas, Cerita berakhir... bisiknya parau, jarinya mulai menyusuri dadaku. Rasanya ... dadaku akan meledak karena menahan napas terlalu lama. Bernapas, Honey Amy ... bisik Gagah lagi, mendekatkan bibirnya ke arahku. Aku terbelalak, menyadari jarak kami yang semakin dekat, dan saat dia benarbenar dekat ... aku memejamkan mataku, merasakan sentuhan bibirnya pada bibirku.
Aku terhanyut dengan ciumannya, juga sentuhan tangannya yang membangkitkan setiap sel-sel di tubuhku yang tertidur. Debaran pada jantungku berdetak semakin kencang, menghadirkan sensasi aneh yang menyenangkan, membuat aku melayang dan terbuai. Sampai rasa sakit yang teramat menyentakku, membuat pelangi yang kulihat berubah menjadi pendar-pendar bintang yang bertebaran di sekitarku. Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa sakit itu, merasakan sesuatu yang basah mengalir dari ujung mataku, namun perlahan rasa sakit itu berkurang, berubah menjadi sesuatu yang lebih nyata. Seakan gumpalan gulali berada dalam genggamanku, dan aku pun kembali terhanyut ....
Aku terbangun dari euforia yang kurasakan dan melihat Gagah yang meringkuk di sampingku. Wajahnya terlihat muram dan sedih, aku memeluknya ... mencoba untuk menghiburnya, meski aku sendiri merasa bingung dengan apa yang terjadi. Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menghilangkan wajah sedih Gagah.
Hei, apa yang membuatmu sedih" tanyaku pelan.
Aku menyakitimu, aku sudah menyakitimu, Honey Amy .... bisiknya dengan suara parau.
Itu tidak benar, kau tidak menyakitiku. Aku baik-baik saja sekarang. Aku melihat kau kesakitan tadi, dan aku tidak bisa berhenti ... aku terus melakukannya meski melihatmu kesakitan.
Jangan bodoh, bisikku dengan wajah memerah. tadi aku memang kesakitan, sekarang aku baik-baik saja.
Kau yakin" Aku mengangguk. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi, Honey Amy. Aku tidak suka melihatmu kesakitan. Gumamnya, lalu dia membantu merapikan pakaianku, kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
Aku menyambut uluran tangannya, bangun dan berdiri di samping Gagah. Melihat ke bawah ketika merasakan ada yang mengalir di kakiku. Gagah mengikuti arah pandanganku, dengan cahaya temaram lampu yang ada di salah satu sudut atap, kami bisa melihat ada cairan kental di kakiku.
Gagah berjongkok, menyentuh cairan itu dan mendekatkannya ke hidungnya, lalu mendongak menatapku khawatir. Kau berdarah, Honey Amy. Apa kau haid"


Rindukan Aku Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggeleng, aku baru selesai haid dua hari yang lalu. Kali ini Gagah terlihat panik, Kau harus ke rumah sakit Honey Amy. Dia berdiri dan menyeretku.
Aku bertahan di tempatku, perasaanku mengatakan aku baik-baik saja. Aku pernah mendengar wanita akan mengeluarkan darah saat pertama kali berhubungan dengan laki-laki. Tidak Gagah, aku baik-baik saja. Tapi kau berdarah. Gagah bersikeras.
Aku baik-baik saja, percaya padaku. Gumamku dengan penekanan pada katakataku.
Gagah menatapku sedih. Maafkan aku Honey Amy .... Honey Amy ....
Entah sejak kapan Gagah selalu memanggilku dengan panggilan itu, dan aku suka saat mendengar nama Honey Amy terucap dari bibirnya. Apa aku masih menjadi Honey Amy buat Gagah .... "RatuBuku
EMPAT Aku melihatnya ... hanya berjarak 7 langkah di depanku, menatapku dengan sorot mata yang selama ini aku rindukan. 10 tahun berlalu dan dia terlihat semakin dewasa ... rambut hitam ikalnya terlihat berantakan, kulitnya yang kecoklatan berkilau saat sinar mentari mengenai keringat di lengan berototnya... dagunya dipenuhi cambang-cambang kecil karena belum bercukur, sungguh aku sangat merindukan dia.
Gagah ... bibirku terasa bergetar saat membisikkan namanya. Wajah Gagah mengeras, pandangan matanya tiba-tiba berubah menjadi dingin. Hai, Amy" Kau baik-baik saja"
Sesaat aku terpana dia tidak memanggilku Honey Amy lalu menganggukkan kepala, Ya, aku baik.
Bagus. Gumamnya sinis. Membetulkan letak ransel di bahunya, dan berjalan melewatiku.
Begitu sajakah" Apa dia tidak merindukanku" Kenapa hatiku terasa perih"
Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku, hancur dan terluka melihat sikap Gagah padaku.
Kau kenapa" tanya Megy ketika kami berkumpul di ruang tengah, menyambut kedatangan Gagah.
Aku tidak menjawab pertanyaan Megy, memperhatikan Gagah dari kejauhan. Melihatnya yang sedang berdiskusi dengan beberapa orang kepercayaan Mamih.
Aku mendengar Megy menghela napas, Dia tidak bersikap baik padamu ya" desahnya pelan.
Aku berdiri, Aku mau ke kamar. Gumamku. Aku temani. Megy ikut berdiri.
Kalian mau ke mana"!
Aku dan Megy terdiam, melihat Gagah yang menatap kami tajam. Amy sakit, aku akan menemani dia ke kamar. Megy menjawab pertanyaan Gagah gugup, bagaimanapun sikap mengintimidasinya membuat orang yang tidak mengenal dia akan ketakutan.
Tapi aku mengenalnya, aku hanya bisa menatapnya sedih. Siapa namamu" tanya Gagah pada Megy.
Megy. Kemari Megy, biarkan Amy istirahat di kamarnya. Aneh, suara Gagah berubah menjadi lembut. Megy, kemari! Gagah mengulang perintahnya, Duduk di sampingku.
Megy menatapku bingung. Pergilah, aku tidak apa-apa. Gumamku pelan.
Megy melangkah menghampiri Gagah, melirikku meminta maaf dan duduk di samping Gagah. Gagah memeluk bahu Megy, merapatkan tubuh Megy ke tubuhnya.
Aku memalingkan wajah sedih, mencoba menyembunyikan air mata yang ingin menyeruak begitu saja. Lalu berjalan perlahan menuju kamarku. Megy sangat cantik, wajar kalau Gagah tertarik padanya.
Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur kapuk yang mulai mengeras. Meringkukkan tubuh menyamping, menatap bilik yang menjadi penyekat kamar, yang semakin lama semakin kabur dari pandangan .... Honey Amy ... Honey Amy ....
Aku mendongak mendengar Gagah memanggilku. Melihatnya berjongkok di hadapanku. Seragam putih merahnya tampak basah tertimpa curahan hujan. Tidak jauh berbeda dengan seragam biruku.
Kenapa kau menangis" tanya Gagah mengulurkan tangan, menyentuh pipiku. Aku menatap wajahnya yang mengabur karena mataku penuh air mata. Menggelengkan kepala kuat-kuat.
Gagah memicingkan mata, menatapku curiga. Kau berbohong padaku, Honey Amy.
Aku kembali menunduk, lirih ... sebuah kalimat terucap dari bibirku. Apa anak seorang pelacur sepertiku, akan menjadi pelacur juga"
Siapa yang mengatakan itu padamu"
Aku kembali mendongak, menatap Gagah khawatir, lalu menggelengkan kepala. Merasakan tangan Gagah yang menegang di pipiku, melihat ekspresi wajahnya berubah mengeras.
Siapa yang mengatakan itu padamu" ulangnya masih dengan ekspresi yang sama.
Radita. Bisikku. Apa dia melakukan sesuatu padamu" Aku menunduk.
Apa yang dia lakukan" suara Gagah mengeras. D-dia ... dia mencoba ... mencium bibirku.
Gagah berdiri, tangannya terkepal di samping tubuhnya. Lalu berlari meninggalkanku.
Gagaaah ... tunggu. Panik aku ikut berdiri dan berlari mengejarnya. Aku tahu apa yang akan dilakukan Gagah. Aku harus mencegahnya, anak kelas 6 SD tidak akan mungkin bisa melawan siswa kelas 9.
Aku kehilangan Gagah, dia menghilang begitu saja. Di bawah curahan hujan, aku memutar tubuhku, mencari sosok yang kini menghilang dari pandangan. Kemana kau, Gah ... bisikku lirih.
Dahan yang bergoyang, menjatuhkan tetesan-tetesan air. Angin berhembus kencang menerbangkan sebagian rambutku, membuat aku harus menyibaknya berkali-kali. Aku melepas sepatu dan menentengnya di tangan, menajamkan pendengaran ketika mendengar suara teriakan di antara deru hujan. Berlari, aku menuju asal suara itu. Menjatuhkan sepatu dan menutup mulut dengan kedua tangan melihat apa yang kusaksikan.
Gagah terlihat kalap memukuli Radita. Bertubi-tubi .... Darah segar menetes dari sudut bibir Radita, matanya sudah mulai meredup.
Berhenti, Gah! teriakku lebih mengkhawatirkan Gagah daripada Radita. Gagah tidak mempedulikan teriakanku, dia masih terus memukuli Radita. Aku berlari menghampiri Gagah, mendekapnya dari belakang. Berhenti, kumohon berhenti ... aku tidak mau kau dikeluarkan dari sekolah. Isakku sedih.
Gagah berhenti, melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Radita, membuat anak itu terjatuh lemas. Dadanya bergerak naik turun menahan amarah. Bergetar, tangannya menyentuh punggung tanganku. Ayo kita pulang, Honey Amy ... bisik Gagah.
Yah ... ayo pulang. Jawabku pelan.
Aku terbangun dengan mata yang basah, tengkurap dengan kepala menghadap ke samping di atas pipiku. Aku tidak ingin bangun ... aku hanya ingin berdiam diri di kamar. Aku tidak ingin bertemu Gagah ....
Beberapa saat aku terdiam dalam posisi seperti itu, sampai akhirnya aku menguatkan hati untuk mulai beraktifitas. Waktu terus berjalan, dan aku harus terus melangkah apapun yang terjadi.
Bangkit dari tempat tidur, aku keluar dari kamar, menuju kamar Megy untuk mengambil baju kotor yang harus kucuci.
Sampai di depan kamar Megy, aku mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Meg ... Megy ... panggilku pelan, takut membangunkan yang lain. Masih tidak ada sahutan.
Aku mendesah dan mendorong pintu kamar Megy, itu yang selalu kulakukan jika Megy tidak menyahuti panggilanku. Aku bebas keluar masuk kamarnya kecuali di hari kerja dengan tanda kutip .
Aku masuk ke kamar Megy, mendapati ruangan yang masih dalam keadaaan gelap gulita. Kau masih tidur, Meg" tanyaku seraya meraba-raba mencari saklar lampu.
Menemukannya aku pun menekan tombol, seketika ruangan menjadi benderang. Aku terpekik ketika menyadari Megy tidak sendiri, tangan maskulin yang kokoh tampak melingkari pinggang rampingnya. Apa Megy menerima tamu malam ini"
Megy membuka mata, terkejut melihat kehadiranku. A-Amy ... k-kau di sini" dia mengangkat kepalanya, terlihat salah tingkah. Tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.
Aku heran kenapa Megy terlihat gugup, bukan hanya sekali aku memergoki dia bersama tamunya, dan biasanya dia selalu bersikap santai.
Baru kemudian aku mengerti.
Siapa, Sayang" Jantungku seakan berhenti berdetak. Suara serak khas bangun tidur itu ... aku sangat mengenalnya.
Duniaku seakan terbalik ketika muncul seraut wajah maskulin dari balik punggung Megy, dengan mata yang masih agak terpejam karena mengantuk. Gagah ... bibirku bergetar saat menyebut namanya lirih, tak percaya dengan apa yang kulihat.
Kau hebat tadi malam, Sayang. Gagah nampak tidak mempedulikan kehadiranku, dia mencium pipi Megy mesra.
Mataku mengabur, lupa dengan tujuanku mendatangi tempat ini aku berbalik dan berlari keluar. Masih sempat mendengar suara Megy yang memanggilku. Amy ... tunggu.
Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya, kembali menghempaskan tubuh, menelungkupkan wajah ke atas bantal. Terisak sedemikian rupa. Pintu kamarku diketuk dari luar, Megy memanggil-manggil namaku, meminta aku untuk membuka pintu.
Aku tidak beranjak, tidak ... aku tidak marah pada Megy. Aku hanya marah pada diriku sendiri. Aku yang terlalu bodoh untuk berharap Gagah mencintaiku, bahkan setelah 10 tahun dia meninggalkanku.
Mataku terpejam berusaha menahan air mata, tapi air mata ini masih saja terus mengalir tanpa aku bisa menghentikannya ....
Jangan menangis, Honey Amy .... Aku tidak pernah suka melihatmu menangis....
"RatuBuku LIMA Aku keluar dari kamar menjelang sore, mendapati Megy yang duduk meringkuk di depan pintu. Melihatku, Megy langsung berdiri dan memelukku. Maaf ... maafkan aku, Amy. Isaknya di bahuku.
Aku mengelus punggungnya pelan, Tidak ada yang harus dimaafkan ... ini bukan salahmu. Bisikku.
Megy melepas pelukannya, Tidak. Kau salah. Ini tidak seperti yang kau pikirkan, ada yang harus kubicarakan denganmu.
Aku menatap Megy tak mengerti.
Semalam ... Kau sudah keluar" Ucapan Megy terpotong suara keras Gagah, yang sekarang berjalan menghampiri kami.
Bagus. Sekarang kau bisa bersiap-siap dengan yang lainnya. Malam ini kita buka kembali. Lalu dia menyeret Megy menjauh dariku.
Aku memperhatikan mereka, terlihat sekali Gagah tidak ingin jauh dari Megy. Menghela napas, aku menekan dada, berusaha mengurangi rasa sakit yang tibatiba muncul di sana.
Kemudian aku melangkah ke kamar mandi.
Aku sedang mengeluarkan baju-baju lamaku ketika pintu kamar terbuka. Menoleh, aku melihat Megy yang sudah siap.
Apa yang kau lakukan" tanya Megy melihat aku membongkar seluruh isi lemari.
Aku mengangkat bahu, Kau tidak dengar, tadi Gagah menyuruhku bersiap seperti yang lainnya.
Megy berjalan cepat menghampiri, meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Amy, kenapa tidak kau katakan saja pada Gagah"
Sesaat aku terdiam, lalu menggeleng pelan. Biarkan saja, Megy. Biar saja seperti ini. Gumamku.
Megy menghentakkan tangan kesal, Aku tidak mengerti dengan kalian. Kalian... menggantung ucapannya, Megy tampak berusaha menenangkan diri. Kalian hanya menyakiti diri kalian sendiri. Kemudian dia berbalik dan keluar dari kamar, menutup pintunya keras.
Aku terduduk di samping ranjang, meraih sebuah gaun yang tergeletak di sampingku, memilin-milin ujung roknya dengan tangan gemetar. Oh, Amy ... andai Gagah mau kembali, aku akan dengan senang hati menerimamu menjadi menantu. Mamih melepas pelukannya, Mulai sekarang, aku tidak akan pernah mengijinkan kau melakukan pekerjaan ini lagi. Aku mendongak menatap Mamih yang menatapku serius.
Tinggallah di sini, Amy. Kau bisa mencari pekerjaan yang lain, atau mencuci baju penghuni kompleks seperti yang biasa kau lakukan. Tapi aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri, jika tetap membiarkan kau menjual diri. Aku memeluk Mamih terharu, menangis seperti anak kecil di bahunya. Membuat baju bagusnya basah terkena air mata dan ingusku.
Saat Gagah kembali nanti ... aku ingin kau menjadi pengantin wanita yang paling cantik ....
Gedoran pada pintu kamar menarikku dari lamunan. Kau sudah siap" itu suara Gagah.
Gugup aku melepas baju yang kupakai dan mengenakan gaun sekenanya. Ya, sebentar. Jawabku menghentikan gedoran pada pintu.
Sial, aku salah memilih baju. Gaun ini terlalu mini ... terlalu ketat ... terlalu terbuka .... Aaahh. Aku menghentakkan kaki kesal.
Suara gedoran mulai terdengar lagi.
Tidak ada waktu buat mengganti apa yang sudah aku kenakan. Sebentar. Menyisir rambut asal, aku memasang penjepit kembang dadap di sisi rambut. Lalu meraih sepatu dan memakainya seraya menghampiri pintu. Membuka pintu terburu-buru.
Apa yang kau ... Gagah tidak meneruskan ucapannya, menatapku dengan mulut terbuka. Huh, kau berdandan habis-habisan rupanya. Lanjutnya sinis, kemudian memalingkan wajah dan meninggalkanku.
Apa maksudnya dengan habis-habisan" Aku bahkan tidak sempat menggunakan make up. Aku menoleh ketika merasa ada yang menggamit lenganku, melihat Mba Vero sudah di samping.
Dia malu mengakui kalau dia terpesona melihatmu. Bisik Mba Vero di telingaku.
Wajahku memerah, itu tidak benar. Gagah tidak mungkin terpesona padaku, dia tertarik pada Megy.
Aku berjalan canggung saat memasuki ruang temaram tempat penghuni kompleks berkumpul. Aku hanya pernah sekali melakukan ini, itupun 6 tahun yang lalu ....
Mba Vero menyenggol bahuku, Jangan kaku seperti itu, Amy. Goyangkan tubuhmu.
Aku merasa gerah berada di sini, rasanya ... ingin lari dan kembali ke kamar. Mba Vero mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti irama, menatap tajam menyuruhku menirukannya. Aku berpaling berusaha menghindar, tapi Mba Vero meraih tanganku, mengangkat dan menggerakgerakkannya. Menyenggol kakiku dengan lututnya, terpaksa aku mengikuti kemauannya, bergerak canggung mengikuti irama.
Aku memperhatikan sekeliling, khawatir ada yang menertawakan perbuatan gilaku. Tubuhku menegang saat beradu pandang dengan Gagah yang tengah menatapku dengan mata membara. Kenapa dia terlihat begitu marah" Seorang lelaki berbisik di telinga Gagah, aku mengernyit ketika melihat dia menenggak habis minumannya. Gagah mengangguk, kemudian berdiri dan berjalan menghampiriku bersama pria itu.
Temani dia, Amy. Katanya dingin ketika sudah berada di hadapanku, mendorong pria yang ada di sebelahnya.
Aku memperhatikan laki-laki itu, agak ngeri melihat caranya menatapku, tapi tak urung aku mengangguk juga.
Pria itu meraih pinggangku, mendekapnya erat. Tunjukkan di mana kamarmu. Bisiknya, aroma alkohol menguar dari mulutnya.
Menyeret kaki, aku mengajaknya ke kamar.
Tunggu, Om. Kataku ketika pria itu membuka pintu kamar dan menyeretku kasar.
Pria itu terkekeh, Karena aku suka padamu, kau boleh memanggilku Danu. Aku belum terlalu tua untuk dipanggil Om . Katanya tetap menyeretku. Tanganku terasa panas saat Danu sudah melepas pegangannya. Aku mengelus bagian pergelangan yang memerah, memperhatikannya yang sedang mengunci pintu.
Pria bernama Danu itu ... mungkin dia hanya dua atau tiga tahun lebih tua dariku. Wajahnya terlihat biasa saja, memiliki bekas luka pada sudut mata bagian kiri. Tapi yang aku tidak suka darinya adalah matanya. Caranya menatap terlihat ... aneh.
Kemari ... siapa namamu" ... ah ya, Amy. Kemari Amy, kau harus berbaring di ranjangmu. Gumamnya lebih terdengar seperti racauan.
Takut-takut, aku menaiki ranjang. Danu membuka lemari baju, mengobrakabrik isinya seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian berhenti ketika tangannya memegang selendang hitam milikku.
Berbalik ke arahku, Danu menyeringai. Berbaring! serunya, merobek selendang itu menjadi beberapa bagian.
Aku menurutinya. Danu menghampiri, meraih kedua tanganku dan mengikatnya di kepala ranjang.
Tu-tunggu, apa yang kau lakukan" aku meronta panik. Diam. Bentak Danu.
Aku terdiam, melihat ekspresi Danu yang kini terlihat datar. Dia mengikat dengan kuat. Kemudian membuka kedua kakiku dan mengikat masingmasingnya pada sudut ranjang.
Aku mulai ketakutan. Meggyyy ... Mba Verooo ... teriakku panik. Aku pikir orang ini gila, aku tidak pernah mendengar ada tamu yang berbuat seperti ini. Danu mendekat, menampar pipiku keras.
Aku memekik kesakitan. Berani kau berteriak seperti itu lagi, aku akan lebih keras menamparmu. Geramnya marah.
Berbalik, Danu berjalan memutari ranjang. Melepas ikat pinggangnya perlahan, kemudian meloloskan sesuatu dari dalam ikat pinggang. Danu menghentakkan benda yang kini ada di tangannya, menimbulkan bunyi yang membuat mulut dan mataku terbuka lebar.
Aku kembali meronta berusaha melepaskan ikatan. Ketakutan, melihat cambuk coklat kehitaman yang ada di genggamannya.
Danu kembali melecut cambuk itu di udara, lalu mendekatkan cambuk itu ke atas tubuhku. Ujung cambuk itu menyentuh pipi, kemudian turun perlahan ke dada ... lalu ke perut ... dan berhenti tepat di paha. Tiba-tiba Danu melecutkan cambuknya, rasa perih seperti terbakar langsung menyengat kulit telanjangku. Aku berteriak kesakitan.
Kembali berteriak ketika ujung cambuk itu singgah lagi di bagian tubuhku yang lain. Entah sampai berapa lama, yang aku rasakan kemudian hanya rasa pening di kepala, pandangan mataku sudah mulai kabur.
Samar-samar aku mendengar pintu kamarku di gedor dari luar. Mendengar mereka memanggil namaku, aku mencoba untuk menyahut. Tapi yang keluar dari tenggorokan hanya suara seperti tercekik.
Lalu aku melihat pintu yang terbuka dengan paksa, beberapa orang yang menghambur ke arahku. Di antara batas kesadaran, tiba-tiba semuanya bergerak menjadi sangat lambat dalam penglihatanku ... Megy yang berusaha melepas ikatanku ... Mba Vero yang berteriak-teriak marah ... dan Gagah yang memukuli Danu ... terlihat sangat marah.
Mataku mulai menggelap ... bumi seakan berputar mengelilingiku ... pusaran gelap menyedotku ke dalamnya ketika aku mendengar suara yang sangat kukenal menyebut namaku dengan panggilan yang paling ingin aku dengar .... Honey Amy ... bangun, Sayang ....
"RatuBuku ENAM Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)
Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia mengambil semua yang ada padaku.
Aku merasa ada kekuatan yang mendorongku keluar dari kenyamanan yang kurasakan saat ini. Membangkitkan kembali rasa perih pada sekujur tubuh, aku mencoba bertahan di ambang batas ... tidak ingin rasa sakit itu menguasaiku lebih jauh.
Honey Amy ... Honey Amy ....
Panggilan itu menarikku, nyeri dan perih kembali kurasakan .... Honey Amy ... bangun, Sayang.
Aku merasa meringkuk dalam pangkuan seseorang yang mendekapku erat, sesuatu yang kasar menyentuh pipi dan dahi, menggesek-geseknya di sana. Membuka mata perlahan, aku merasakan goyangan pelan ... lalu kusadari aku benar-benar berada dalam pangkuan seseorang ... Gagah.
Gagah melihat aku telah sadar, wajahnya terlihat sangat lega ketika dia mengencangkan pelukannya. Oh, Syukurlah ... gumamnya lirih. Aku merintih kesakitan.
Gagah melonggarkan pelukan, menatapku khawatir. Aku akan mengobati lukamu. Katanya sedih, merebahkan aku ke atas ranjang hati-hati.
Saat itulah aku baru tahu ada banyak orang yang berkerumun di kamarku, termasuk Mba Vero dan Megy. Megy ... aku bergerak gelisah, merasa tidak enak padanya, dia pasti melihat perlakuan Gagah padaku barusan. Bubar, bubar! Mba Vero merentangkan kedua tangan, menggiring mereka yang berkerumun keluar dari kamar.
Aku akan kembali. Kata Gagah seraya berdiri, lalu keluar meninggalkanku. Hanya tinggal aku dan Megy sekarang. Dia menghampiri, duduk di samping ranjang.
Aku mengalihkan pandangan, salah tingkah.
Andai kau melihat saat dia menghajar laki-laki itu, Amy ... gumam Megy menyentuh lenganku.
Dia tidak suka ada orang yang melukai anggotanya. Desahku. Tidak, dia marah ada orang yang menyakiti Honey Amy -nya. Aku menyatukan kedua telapak tangan dan meremas-remasnya. Gagah membuat pria itu tidak bisa berdiri. Mereka membuangnya ke jalanan dalam keadaan pingsan.
Memberanikan diri, aku menatap Megy. Melihat tidak ada kemarahan sama sekali di matanya.
Dia sangat mencemaskanmu. Megy tersenyum. Siapapun yang melihatnya saat itu, akan tahu kalau dia sangat mencintaimu.
Jantungku berdebar keras. Benarkah yang dikatakan Megy" Sesaat aku merasa melambung, tapi kemudian tertunduk sedih saat mengingat kejadian yang kulihat di kamar Megy.
Itu tidak benar ... dia tertarik padamu.
Megy tertawa. Bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu" Aku menatapnya bingung, Aku melihat kalian di kamarmu, maksudku aku tahu kalian saling tertarik satu sama lain. Gumamku ragu. Megy kembali tertawa.
Aku akan menceritakan sebuah rahasia padamu, kata Megy mendekatkan kepalanya, berbisik di telingaku, aku tidak peduli lagi dengan ancamannya sekarang.
Megy menjauhkan lagi kepalanya setelah membisikkan kalimat itu. Tatapannya membuat aku hampir mati penasaran, aku bergerak mencoba untuk duduk, tapi rasa nyeri di tubuh kembali menyerangku.
Ssshhh ... santai saja, kau tetap bisa mendengarkan sambil tiduran. Gumam Megy geli, membantu memperbaiki posisi tidurku.
Apa" tanyaku tidak sabar.
Malam itu, tidak ... pagi itu. Dia datang ke kamarku pukul 4 pagi, menanyakan apa kau berhubungan secara serius dengan salah satu langgananmu. Mulutku terbuka mendengar cerita Megy, bagaimana bisa Gagah berpikiran seperti itu.
Aku hampir menjelaskan pada Gagah bahwa dia salah sangka padamu ketika kau datang, dan ... Megy mengangkat bahu, entah ide dari mana, tiba-tiba Gagah membuka kaosnya lalu menarikku ke tempat tidur, menutupi tubuh kami dengan selimut. Dia menurunkan tali dasterku sehingga terlihat seolah-olah aku telanjang. Tapi aku tidak telanjang, Amy. Lanjutnya cepat. Kau melihat kami, dan yah ... bisa diduga kelanjutannya seperti apa.
Mulutku terbuka semakin lebar.
Aku ingin menceritakan padamu sore itu, tapi kau tahu Gagah mencegahku. Dia mengancam akan mengusirku kalau aku berani menceritakan ini padamu. Tapi sekarang aku tidak peduli lagi.
Aku mengangkat punggung, bertumpu pada salah satu tangan untuk duduk. Tidak mempedulikan lagi rasa sakit yang kurasakan. Kau tidak bohong, kan" tanyaku tak percaya.
Kau tidak boleh banyak bergerak, Honey Amy.
Aku belum sempat menoleh ketika tangan kokoh itu meraih tubuhku dan merebahkan aku kembali ke atas ranjang. Saat aku sudah terbaring, aku melihat sorot matanya yang menatapku lembut. saat itulah aku tahu, Megy tidak berbohong.
Aku akan mengobati lukamu. Gumamnya lirih, tanpa melepas tatapan. Kedua tangannya masih berada di bawah tubuhku.
Lalu dia meloloskan tangan kanannya dan membelai pipiku dengan ibu jari. Tangan yang membuat tanda ini ... sudah kupatahkan. Katanya bergetar, sarat dengan amarah.
Aku terpana melihat ekspresi Gagah, bodohnya aku melupakan satu hal yang paling kutahu dari dirinya. Caranya melindungiku.
Aku keluar dulu, deh. Aku berpaling ke arah Megy, melihatnya sudah melangkah menuju pintu. Meg ... panggilku.
Megy menoleh. Terimakasih. Bisikku lirih.
Megy hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu dia menjatuhkan pandangan pada Gagah yang membelakanginya, Kau harus ingat apa yang kukatakan tadi, Bos. Katanya dengan nada mengancam. Kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu.
Aku menautkan kedua alis penuh tanya, melihat Gagah penuh rasa ingin tahu. Tapi Gagah hanya diam, tangannya dengan cekatan mengoleskan kapas basah ke pipi dan sudut bibirku.
Megy berkata apa" tanyaku tidak tahan. Aku benar-benar ingin tahu. Tangan Gagah beralih ke lenganku, Bukan apa-apa ... gumamnya menahan senyum.
Aku merengut tidak suka. Akan kuceritakan jika aku selesai, Oke" kemudian mengangkat sedikit tubuhku, menurunkan ritsleting gaun.
Mau apa kau" tanyaku panik.
Gagah terkekeh, Aku tidak akan macam-macam, Honey Amy. Aku hanya ingin mengobati lukamu.
Wajahku memerah, Tidak usah. Gumamku.
Jangan keras kepala. Dengan mudah dia meloloskan gaunku. Hanya mengenakan pakaian dalam di depan Gagah membuat aku canggung. Tanpa merasa risih, Gagah mulai merawat lukaku. Kau malu padaku" tanyanya.
Apa" Tidak. Aku menjawab kesal. Lalu kenapa wajahmu merah padam" Aku memalingkan wajah, tidak bisa menjawab.
Gagah tertawa geli, Tidak usah malu, aku pernah melihatmu lebih dari ini" Aku menoleh, menatapnya tajam. Bahkan ketika kami melakukan itu pun, aku tidak melepas baju.
Kau lupa" Dulu kita sering mandi bersama. Gumamnya masih menatapku geli.
Aku kembali berpaling, merasakan pipi yang mulai memanas. Itu dulu. Kita masih kecil waktu itu.
Kali ini Gagah tertawa. Tawanya menular, tanpa bisa ditahan, aku melengkungkan bibir membentuk senyuman lebar. Gagah sudah selesai dengan lukaku, dia menyingkirkan perlengkapan yang baru digunakannya, kemudian naik ke atas ranjang hati-hati.
Tunggu. Apa yang ... Ucapanku terhenti ketika Gagah mengecup bibirku sekilas. Tapi mampu membuat jantungku berdebar dengan sangat keras. Aku hanya ingin memelukmu, Honey Amy. Katanya seraya berbaring, menarik selimut untuk menutupi tubuh kami dan merengkuhku dalam pelukannya.
Tubuhku menegang di dalam pelukannya. Namun perlahan tapi pasti, kenyamanan yang kudapatkan setelahnya membuat syaraf-syaraf pada tubuhku mengendur, hanya menyisakan debaran pada dadaku.
Aku memejamkan mata, meresapi perasaan yang kini hadir di dalam dada .... Oh, Tuhan ... betapa aku sangat merindukan laki-laki ini.
"RatuBuku TUJUH Aku terbangun keesokan harinya, sendirian. Meneliti tubuhku yang sudah mengenakan gaun tidur, aku melihat bekas-bekas luka cambukan benar-benar ada, bahkan masih terasa perih saat kusentuh. Berarti aku tidak bermimpi semalam. Lalu ... apa semalam Gagah benar-benar memelukku" Atau aku hanya memimpikannya"
Kau sudah bangun" Aku menoleh, tersenyum malu-malu mendapati Gagah yang sedang menghampiriku dengan mangkuk di tangannya.
Kau tidur nyenyak sekali, untungnya kau tidak kesakitan semalam. Gagah menarik kursi kayu yang ada di tengah ruangan dan membawa ke samping ranjang, kemudian duduk di atasnya. Menyuapiku ketupat sayur yang dibawanya perlahan.
Aku makan dalam diam, dia menyuapi sampai mangkuk kosong. Kemudian meletakkan mangkuk itu di atas meja samping tempat tidur dan mengambilkan segelas air putih yang sudah ada di sana untukku.
Kau benar-benar menemaniku semalam" tanyaku masih tak percaya. Gagah tertawa, Tentu. Kau pikir ini mimpi" candanya, meletakkan gelas ke tempatnya semula.
Aku menundukkan pandangan, Ya, kupikir ini mimpi. Aku terlalu sering memimpikanmu sampai tidak tahu lagi ini kenyataan atau hanya sebuah mimpi. Gumamku.
Honey Amy, Gagah menyentuhkan jari-jarinya ke wajahku, kemudian mengangkatnya perlahan, lihat aku. Bisiknya.
Aku memberanikan diri menatap wajahnya, sorot mata yang semula hangat kini meredup. Mendekatkan bibirnya, dia menciumku. Bukan kecupan singkat seperti semalam, tapi ciuman yang panjang dan dalam ... seperti yang pernah kami lakukan dulu, dan masih sama seperti dulu ... ciumannya masih tetap membakarku. Membuat seluruh tubuhku bereaksi sepenuhnya akan dirinya, menyadari keberadaanya secara nyata.
Sekarang kau percaya ini nyata" tanyanya pelan, melepas ciumannya. Percayalah Honey Amy, aku pun merasakan hal yang sama denganmu. Dia mengelus pipiku. Memimpikanmu setiap malam.
Aku menatapnya sayu, tak percaya dengan apa yang kudengar. Aku sangat marah ketika Mamih memberitahu kau memilih menjadi anggota. Aku meletakkan tangan di atas tangan Gagah yang masih berada di pipiku, meremasnya lembut, menatap meminta maaf.
Gagah tersenyum, Aku tahu kau melakukan itu hanya karena kau ingin tinggal. Kau menungguku. Megy yang mengatakannya kemarin.
Megy ... Itu yang dia katakan kalau kau ingin tahu. Gagah menghela napas. Tepat setelah kau masuk kamar bersama pria brengsek itu. Sesaat aku melihat sorot matanya berubah menjadi dingin saat mengucapkan kalimat terakhir. Maafkan aku Honey Amy ... aku terbakar rasa cemburu sehingga memperlakukanmu dengan kasar.
Ada dorongan yang besar untuk memeluknya ... dan aku tidak melawan dorongan itu. Aku memeluknya, erat.
Jangan bicara seperti itu. Melihatmu lagi itu sudah cukup buatku. Gumamku. Gagah mengelus rambutku, mengecup belakang telinga pelan. Aku tahu, karena aku pun begitu.
Ada yang ingin kutanyakan. Gumamku, melepaskan pelukan enggan. Gagah mengangkat sebelah alisnya dengan menawan.
Aku pernah menjadi anggota meski hanya semalam, aku terdiam sesaat, merasa berat mengucapkan kalimat selanjutnya. Menekatkan hati, aku mengatakan apa yang mengganjal dalam hatiku. Lebih baik Gagah tahu sekarang. Apa kau tahu yang kulakukan di satu malam itu" lanjutku menundukkan kepala.
Aku menunggu tanggapan dari Gagah. Tapi dia hanya diam, dan tiba-tiba saja perutku terasa mulas. Apa dia kecewa padaku" Memberanikan diri, aku meliriknya dari balik bulu mataku. Melihat dia yang menatapku dengan sorot mata geli.
Kenapa" Kau khawatir aku meninggalkanmu" guraunya dengan seringai pada bibirnya.
Wajahku merah padam merasa dipermainkan, memalingkan wajah karena malu, namun dalam hatiku ... aku bernapas lega.
Gagah terkekeh, dia mengacak rambutku sayang. Aku menepis tangannya, Aku bukan anak kecil. Gumamku kesal.
Bagiku kau tetap gadis kecilku, Honey Amy. Katanya, beralih duduk di samping dan merangkul bahuku.
Aku mendengus, Aku lebih tua tiga tahun darimu. Tapi aku lebih dewasa.
Aku menoleh padanya dan terbelalak melihatnya yang memasang wajah menyebalkan. Kau menyebalkan. Gumamku mendorong bahunya. Tapi kau suka. Goda Gagah mendekatkan wajah padaku.
Aku tak bisa bersuara, rasanya bernapas saja susah melihat dia sedekat ini. Aku tidak bisa menghentikan tanganku yang terulur menyentuh rahangnya, menyapukannya pada bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitarnya. Kau belum bercukur" gumamku serak.
Selanjutnya, Gagah mencium bibirku dengan keras dan bertubi-tubi. Kenapa kau boleh naik ke atas dan aku tidak" teriakku mendongakkan kepala melihat Gagah yang sudah berada di atas pohon.
Diamlah, Amy. Aku menatapnya khawatir ketika melihat tangan kecilnya meraih sarang lebah yang menggantung di salah satu dahan. Melihatnya menyeringai ketika sarang itu sudah berada di tangannya. Dengan lincah dia turun dari atas pohon dan melompat begitu jaraknya sudah tidak terlalu jauh dari tanah.
Aku memperhatikan Gagah yang mulai memukul-mukulkan sarang lebah itu ke atas batu hingga terbelah. Aku berjongkok di sampingnya, melihat Gagah yang merogohkan tangan ke salah satu rongga sarang tersebut.
Gagah mengeluarkan tangandari rongga tersebut, jari-jarinya kini penuh dengan cairan kental berwarna coklat keemasan.
Ini namanya madu, lebih enak dari permenmu yang jatuh tadi. Katanya sok tahu. Lalu dia mengulurkan jarinya ke mulutku. Coba jilat. Aku menjilat jari Gagah sekali, dia benar. Rasanya manis. Aku menjilat lagi sampai jari-jarinya bersih.
Gagah tertawa, Kau suka"
Hmm ... ini enak. Gumamku sambil mengangguk. Madu ya" ... honey. Apa" gagah yang kembali merogohkan tangan ke rongga sarang mendongak menatapku. Dia tertarik dengan kata yang kuucapkan.
Honey. Kata Bu Guru, bahasa inggrisnya madu, honey. Honey" Honey Amy ...
Kali ini aku yang berpaling menatapnya.
Gagah tertawa. Aku suka nama itu. Honey Amy. Kau manis seperti madu, jadi aku akan memanggilmu Honey Amy mulai sekarang.
Aku mengangkat bahu tak peduli, ikut merogoh rongga sarang lebah dan menjilati jari-jari ketika mendapatkan cairan itu di tanganku. Kenapa tadi aku tidak boleh ikut naik ke atas pohon. Tanyaku saat madu di sarang lebah tersebut sudah habis.
Kau terlalu kecil untuk naik ke atas pohon. Gumam Gagah melempar belahan sarang lebah ke semak-semak.
Aku mendengus. Aku lebih tua tiga tahun darimu. Tapi aku lebih dewasa.
"RatuBuku Aku merasakan kebahagiaan yang teramat sangat dalam hatiku ... sampaisampai aku takut ini tidaklah nyata. Berkali-kali mengelus pipi bercambang pria yang kini terbaring di sampingku, mencoba meyakinkan diri bahwa dia benar-benar ada.
Wajahnya terlihat tenang, dadanya naik turun mengantarkan hembusan napasnya yang teratur, tangannya melingkar erat di pinggangku. Kata Megy, dia tidak tidur semalaman. Hanya duduk di samping ranjangku.
Aku melirik kisi-kisi di atas jendela kamar yang tertutup, kurasa ini sudah terlalu siang. Aku mengangkat tangan Gagah yang berada di pinggangku, menyingkirkannya perlahan.
Jangan pergi. Gagah mempererat pelukannya. Kau sudah bangun"
Aku tidak ingin kau pergi.
Tidak. Aku hanya ingin menggerakkan tubuh. Badanku pegal-pegal kalau aku tidak bergerak. Kataku meletakkan tangan di pipi Gagah.
Gagah memegang tanganku dan menggeser ke bibirnya. Mengecupnya lembut. Apa kau sudah merasa lebih baik" tanyanya, menatap tepat di bola mataku dari balik bulu matanya.
Aku sudah baikan. Gumamku, tidak lagi merasakan nyeri pada memar-memar di tubuhku. Mungkin karena aku terlalu bahagia sehingga rasa sakit itu terkalahkan.
Gagah bangun dan melompat turun, Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Bersiap-siaplah. Katanya, bibirnya mengembang membentuk senyuman yang paling indah.
Aku ikut tersenyum melihat matanya yang berbinar, seakan mengajakku untuk ikut merasakan apa yang dia rasakan. Kemana" tanyaku ingin tahu. Gagah hanya mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum misterius sebelum dia keluar dari kamar.
Aku menghela napas, kemudian turun dari ranjang dan menghampiri handuk yang tersampir. Bersiap untuk mandi.
Sampai di depan kamar mandi, aku melihat kerumunan penghuni komplek di dekat sumur. Hai, sapaku.
Kerumunan itu langsung berpindah mengelilingiku. Kau sudah baikan Amy"
Kenapa keluar kamar"
Kau masih harus istirahat, Amy.
Mereka bertanya dan memberikan saran dengan hampir bersamaan. Aku sudah baik sekarang. Jawabku tersenyum.
Mereka menatapku tak percaya.
Percayalah. Aku tertawa, berusaha meyakinkan mereka.
Hei, percaya saja. Dia kan dirawat dokter paling handal. Dokter cinta. Goda mba vero membuat sebagian yang ada di sini tertawa.
Wajahku memerah. Kalian ini ... gumamku malu.
Kami ikut senang, Amy. Kanya menyeletuk dari barisan belakang. Omong-omong, apa kalian sudah saling melepaskan rindu" Megy mengedipkan mata, ikut menggodaku.
Pasti lah, mereka di kamar terus setengah hari ini. Aku tahu itu suara Melisa. Wajahku semakin memerah mendengar kikikan geli teman-temanku. Tidak. Tidak seperti yang kalian bayangkan, dia hanya menemaniku. Jelasku berusaha menghentikan mereka.
Tapi mereka malah semakin terkikik.
Ah, sudahlah. Gumamku putus asa, masuk ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Meredam suara tawa dan selorohan nakal mereka. Di dalam kamar mandi, aku tersenyum mengingat kalimat yang Gagah ucapkan setelah dia menciumku.
Kalau Orion berakhir dengan menjadi rasi bintang karena cintanya pada Eos, aku ingin berakhir sebagai denyut pada nadimu, Honey Amy. "RatuBuku
Masuk ke kamarku, aku dikejutkan dengan kotak bercorak cantik warna biru muda yang ada di atas ranjang. Aku menyampirkan handuk tanpa melepaskan pandangan dari kotak tersebut, kemudian menghampirinya. Menemukan sehelai kertas merah jambu yang tertempel di atas tutup kotak. Membungkuk, aku membaca pesan itu.
Ketika melihat gaun ini, aku tahu kau akan terlihat sangat cantik jika memakainya.
Aku membuka penutup kotak, tersenyum ketika mendapati potongan kain batik berwarna biru tua dengan corak lingkaran obat nyamuk. Mengambilnya dan mengepaskan ke tubuh sambil bercermin. Lalu, dengan tidak sabar mengenakan gaun tersebut.
Berkaca, aku terpana melihat betapa potongan gaun itu sangat pas di tubuhku. Sackdress dengan tali bahu berbentuk A-Line yang panjangnya tepat di atas lutut, ada kerutan pada bagian pinggang belakang dan selembar kain sifon biru muda yang menutupi bagian kiri gaun dari bawah lengan sampai panggul, berakhir dengan tiga corsage yang menempel di tengah pinggang.
Aku merapikan rambut ikalku, menyisirnya menjadi satu di tengah dan menjepit kedua pinggirnya dengan jepitan rambut. Menyapukan make-up tipis pada wajah. Mengambil sebuah selop, aku berdiri sekali lagi di depan cermin. Kini aku sudah siap.
Saat aku keluar dari kamar, Gagah sudah menunggu. Berdiri bersandar pada samping pintu dengan kedua tangan di dalam saku celana. Gah. Panggilku. Gagah menoleh dan terdiam sesaat, kemudian menghembuskan napasnya yang tertahan. Kau sangat cantik ... gumamnya pelan.
Pipiku terasa panas mendengar pujiannya. Terimakasih. Sahutku. Tersenyum, Gagah meraih tanganku dan menggandengnya. Jantungku berdebar keras, entah karena tangannya yang menggenggam tanganku hangat, atau karena aroma pinus pada tubuhnya.
Kau bercukur" tanyaku spontanitas melihat dagunya sudah licin. Yang kemudian kusesali saat dia melirikku dengan mengangkat sebelah alisnya jenaka.


Rindukan Aku Karya Andros Luvena di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya. Jawabnya tersenyum lebar.
Aku tertunduk malu, mengutuki mulutku yang lancang. Sementara Gagah tertawa melihat reaksiku. Jangan menertawakanku. Gumamku sebal. Tidak. Aku suka kamu. Katanya, tapi aku tidak yakin dia tidak menertawakanku.
Gagah menarikku, memeluk bahu dan mengecup puncak kepalaku. Sudah kubilang, aku lebih dewasa darimu. Gumamnya.
Itu karena dulu, kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk lebih dewasa darimu. Kelitku.
Itu karena kau selalu tergantung padaku. Gagah tidak mau kalah. Tidak. Bantahku cepat, melupakan betapa aku kehilangan dia saat Gagah meninggalkanku.
Gagah tertawa, mencubit hidungku pelan. Sekarang kau bisa lihat siapa yang lebih dewasa.
Tarian Kematian 1 Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Kasih Diantara Remaja 6

Cari Blog Ini