Ceritasilat Novel Online

Supernova Partikel 6

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari Bagian 6


Mendekat ke area Stonehenge.
Monumen megalitikum berbentuk sirkular dengan dua
lingkaran konsentris itu dibentuk oleh pilar-pilar batu. Ada
dua jenis batu utama yang digunakan, batu pasir dan batu
biru. Pilar di lingkar luar Stonehenge rata-rata tingginya
417 Keping 40 empat meter, sementara lapis berikutnya yang tertinggi men"
capai sepuluh meter dengan berat mendekati lima puluh ton.
Konon, jumlah batu biru yang asli seharusnya ada 80, kini
tersisa hanya 45. Banyak yang sudah bergelimpangan di ta"
nah. Jika bukan dilihat dari atas, agak sulit untuk menerka
bentuk asli yang dimau oleh desainer Stonehenge. Belum lagi
misteri fungsi, ritual, dan teknologi apa yang dipakai oleh
para pembuatnya. "Kamu tahu apa itu ley lines, Zarah?" tanya Pak Simon
sementara aku masih terpana melihat batu-batu besar ini.
"Ley lines itu jalur arkaik yang menghubungkan tempattempat sakral di satu area," jelasnya langsung. "Ley lines itu
istilah modern, tapi sebetulnya banyak tradisi kuno yang
mengungkapkan konsep serupa. Di Inca dikenal istilah ceque,
di Aborigin dikenal istilah turinga, di China dikenal dengan
long mei, di Irlandia dipercaya ada fairy path. Pengertiannya
kurang lebih sama. Di jalur tersebut biasanya dibangun mo"
numen, bangunan, struktur megalitik, apa pun bentuknya,
tapi semua itu berfungsi sebagai titik-titik penanda. Tidak
ada yang tahu persis bagaimana ley lines tercipta. Seringnya,
ley lines merupakan warisan atau pola berulang. Titik-titik di
mana Katedral besar biasanya dibangun, misalnya, ada di
jalur dari warisan budaya sebelumnya, yakni kuil pagan. Dan
budaya pagan mewarisi jalur tersebut dari budaya sebelumnya
lagi. Ketika direntangkan waktunya kita bisa mendapatkan
418 Partikel angka ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu tahun dan le"
bih," tutur Pak Simon.
"Di Inggris, ada beberapa ley lines. Salah satunya St.
Michael"s Ley yang meliputi Glastonbury. Dari Glastonbury
ada jalur geometris menuju Stonehenge yang dikenal dengan
Stonehenge Ley, bentuknya segitiga dengan sudut 90 derajat.
John Michell, orang yang pernah intensif menyelidiki ley
lines di Inggris, menemukan pola geometris berbentuk deka"
gon yang menghubungkan titik-titik ini, mulai dari White"
leaved Oak di Herefordshire, Glastonbury, Stonehenge,
hingga Desa Goring di dekat Sungai Thames," lanjutnya.
"Karena itu Bapak memilih tinggal di Glastonbury" Ka"
rena ingin dekat dengan ley lines?" tanyaku iseng.
"Salah satunya," Pak Simon tersenyum. "Di sana saya bisa
mengunjungi simposium dengan gampang, dekat ke Stone"
henge, dekat ke Wiltshire, dekat ke Warminster. Jadi, kalau
mereka kembali lagi ke daerah sana, saya nggak perlu
traveling jauh-jauh."
"Mereka siapa?"
"UFO," jawabnya mantap, "Warminster itu dikenal se"
bagai pusat UFO-nya Inggris tahun "60-"70-an. Di sana,
UFO pernah terlihat setengah jam. Tidak bergerak. Seperti
parkir." "Kalau Wiltshire?"
"Itu pusat crop circle dunia, Zarah. Tidak ada tempat lain
yang mengalami fenomena crop circle sesering Wiltshire. Pola
419 Keping 40 crop circle yang terindah dan terumit bisa kamu dapatkan di
Wiltshire. Jadi, jelas, kan" Di sinilah taman bermain saya,"
jawabnya sambil tertawa. Dalam hati, aku mengagumi keseriusan Pak Simon, me"
nyadari kemiripan sifatnya dengan Ayah. Tak heran mereka
bisa akhirnya tersambung. Meski bukan ilmuwan, Pak
Simon memiliki kegigihan untuk mencari dan menggali sen"
diri. Persis Ayah. Bedanya, Ayah perlu berjuang dengan se"
gala keterbatasan. Sebaliknya, sarana berlimpah dan kebe"
basan bergerak membuat Pak Simon menjalani semua ke"
giatan penelusurannya bagai tamasya.
"Ley lines bisa ada di Indonesia juga, kan?"
"Pasti. Cuma saya belum tahu sudah ada yang meneliti
atau belum. Kalau Firas sanggup, pasti sudah dia yang turun
tangan." Aku setuju. Jika saja kaki dan tangannya tidak ditahan
oleh begitu banyak pemberat dari kondisi dan lingkungan,
entah apa saja yang sudah Ayah lakukan.
"Kalau skalanya adalah Bumi, bentuknya seperti apa ya,
Pak?" "Di tahun "60-an, ilmuwan Rusia sudah ada yang meng"
ajukan pola kisi-kisi seperti kristal dengan potongan dua
belas pentagon. Titik-titik itu menunjukkan matriks energi
kosmik. Ini sejalan dengan yang pernah dibilang oleh
Socrates bahwa Bumi bisa dilihat sebagai bola yang dibuat
dari sambungan dua belas potongan pentagon."
420 Partikel "Dodekahedron," gumamku.
"Betul," Pak Simon mengangguk. "Seorang bernama
David Zink pernah memetakan kisi-kisi itu dan ia menemu"
kan bahwa posisi monumen batu-batu neolitik di dunia
mengikuti kisi-kisi yang sama. Artinya, di titik-titik itu akan
selalu ada fenomena yang berpengaruh terhadap peradaban
manusia. Juga jangan heran kalau ada anomali alam di sana."
"Bapak percaya kisi-kisi itu betulan ada?"
"Kamu percaya Bumi ini makhluk hidup, Zarah?" ia ber"
tanya balik. "Selalu," tandasku. Tanpa ragu.
"Pengobatan tradisional Timur sudah lama tahu, jauh se"
belum dunia medis Barat, bahwa tubuh manusia memiliki
titik-titik energi yang mereka sebut sebagai sistem meridian.
Tidak terlihat oleh mata telanjang, tapi itu ada. Ketika sese"
orang sakit, bukan cuma bagian tubuh yang terlihat yang
diutak-atik, tapi justru yang tak terlihat itulah yang mereka
perbaiki lebih dulu. Sistem meridian itu seperti pola matriks
yang meliputi tubuh manusia. Begitu juga dengan chakra.
Chakra ibarat roda-roda yang memobilisasi tubuh fisik kita.
Jadi, kalau ada apa-apa dengan tubuh fisik ini, mereka me"
meriksa matriks perlistrikannya lewat sistem meridian. Me"
reka juga memeriksa apakah ada chakra yang terganggu.
Intinya, tubuh manusia diperlakukan secara utuh. Tidak ada
pemisahan karena semua sistem tadi saling mendukung," je"
las Pak Simon. "Kalau Bumi ini hidup seperti kita, maka dia
421 Keping 40 pun akan punya sistem meridian, dia punya chakra. Jadi, bagi
saya, ley lines, teori World Crystalline, teori World Grid,
menunjukkan bahwa ada aspek lain dari Bumi kita yang be"
lum sepenuhnya kita kenali. Aspek yang menunjukkan bah"
wa Bumi kita adalah makhluk hidup yang berkesadaran."
"Ayah pernah bilang, manusia adalah penyakit terjahat
bagi Bumi," aku tersenyum pahit.
"Kita bisa jadi dua-duanya, Zarah," balas Pak Simon lem"
but. "Kita bisa membantu Bumi untuk pulih, atau kita bisa
memperparah sakitnya. Bumi kita ini organisme hidup ber"
inteligensi tinggi dan dia sadar atas semua yang kita lakukan
padanya. Saya percaya itu."
"Saya juga, Pak," gumamku.
"Nah, kalau kita bisa melihatnya demikian, monumenmonumen seperti ini akan punya makna baru. Bagaimana
bisa ia berdiri di titik ini" Apakah semata-mata karena faktor
inteligensi manusia yang membangunnya" Atau sebetulnya
ada dialog antara Bumi dan manusia?"
Mendengar perkataan Pak Simon, julangan batu-batu ini
membawa persepsi lain. "Tidak pernah ada kesimpulan pasti tentang misteri tem"
pat ini, Zarah. Yang jelas, pada satu titik di masa lalu, entah
kapan, para pembangun Stonehenge punya kapasitas untuk
mengangkut batu biru yang jumlahnya ada delapan puluh
dengan berat masing-masing tiga sampai empat ton dari
Wales yang jaraknya sekitar 250 kilometer, menegakkan
422 Partikel batu-batu pasir seberat 30 sampai 50 ton, membuat
konstruksi dengan lingkaran sempurna dan celah yang tepat
dengan lurusan sinar matahari terbit pada musim panas."
"Mereka bisa saja dibantu oleh pihak lain," cetusku.
"Alien, maksudmu?"
Aku mengangkat bahu. "Banyak yang menduga begitu. Tapi ada juga yang men"
duga bahwa teknologi yang dimiliki para pembangun Stone"
henge jauh lebih maju daripada yang kita perkirakan. Malah,
bisa jadi lebih maju dari kita," kata Pak Simon. "Tahun "50an akhir waktu tempat ini direstorasi, dibutuhkan derek
terbesar yang dimiliki industri konstruksi di Inggris saat itu
untuk mengangkut satu batu Stonehenge. Yang kita lihat ini
sudah tidak lengkap lagi. Bayangkan, bagaimana para pem"
bangun aslinya bisa menyusun batu sebanyak dan sebesar
ini?" "Kalau ada teknologi secanggih itu, kok, bekasnya nggak
ada" Harusnya ada jejak alat, kek, teknologi, kek?"
"Bagaimana kalau ternyata teknologi mereka tidak meng"
gunakan alat eksternal?" sela Pak Simon.
Aku terdiam. "Bagi peradaban yang cuma fokus pada materi, bukti yang
mereka cari pasti berkisar di alat dan perkakas. Tapi, seperti
yang dikatakan ayahmu, ada teknologi lain yang sifatnya
internal, yang jika dieksplorasi bisa melakukan pencapaianpencapaian yang mungkin lebih dahsyat dari sekadar meng"
423 Keping 40 andalkan teknologi eksternal. Itu juga bisa jadi satu ke"
mungkinan, kan?" Berat, aku mengangguk. "Sejak Firas menunjukkan hubungan hipotesis antara
enteogen dan perjalanan dimensi lain, banyak persepsi saya
yang ikut berubah, Zarah. Pikiran saya jadi terbuka untuk
kemungkinan-kemungkinan lain yang tadinya tidak saya li"
rik. Stonehenge bukan satu-satunya bangunan neolitik. Di
daerah Salisbury ini saja ada ratusan yang tersebar. Di dunia
apalagi. Bagaimana kita bisa menjelaskan bangunan-ba"
ngunan cyclopean2 seperti Saqsayhuaman di Peru" Konstruksi
seperti Giza" Atau anomali seperti Nazca Lines" Banyak
yang berteori, berusaha membuat miniatur, tapi kita tahu
persis, semua misteri itu tidak pernah terjawab tuntas. Tidak
ada manusia modern yang berhasil mengulang keajaiban
yang sama, biarpun kita sudah merasa memiliki teknologi
maju. Dan satu pertanyaan paling besar tetap tidak terjawab:
mengapa" Mengapa Stonehenge dibangun" Untuk apa
piramida didirikan" Apa tujuan Nazca Lines" Menurut saya,
itu pertanyaan yang lebih besar. Ada masalah relasi yang
belum terungkap. Peradaban masa lalu memiliki sebuah re"
lasi dengan sesuatu. Entah apa. Relasi yang sekarang tidak
lagi kita miliki. Atau belum kita sadari."
Bangunan yang dibuat dengan metode penyusunan batu-batu masif dengan ukuran
dan bentuk yang acak (interlocking).
424 Partikel "Mungkin, monumen-monumen seperti ini sebetulnya
untuk mengingatkan kita pada relasi itu?"
"Bagiku, itulah keping teka-teki yang paling penting,
Zarah," Pak Simon menebarkan pandangan. "Monumen-mo"
numen ini dibuat dengan kekuatan yang memungkinkan
mereka bertahan menembus waktu ribuan bahkan puluhan
ribu tahun. Saya rasa, mereka memang didesain sebagai
pengingat akan sesuatu yang tidak boleh dilupakan sampai
kapan pun." Dalam jatah waktu yang tersisa, aku bergeming meman"
dangi batu-batu keabuan yang berdiri bagai gigi-gigi raksasa
merobek angkasa terbuka. Berusaha membayangkan ritual,
pemujaan, upacara, penyembuhan, dan keajaiban apa saja
yang pernah terjadi di sana. Lagi-lagi, bulu kudukku mere"
mang. Untuk menengok crop circle, Pak Simon tidak membawa
Lance dan Bentley-nya. Ia mendaftarkan kami berdua ikut
tur. Pak Simon menunjuk ke seorang bapak tua berusia enam
puluhan yang sedang mengetes mikrofon di dalam bus. "Un"
tuk crop circle, dia guide yang lebih baik dari saya," bisiknya.
Laki-laki yang ditunjuk Pak Simon itu bernama Dave
425 Keping 40 Moore. Moore terlibat fenomena UFO sejak tahun 1970-an,
saat dia masih bekerja di badan intelijen militer Inggris.
Tahun 1976, Moore adalah salah satu orang dari grup yang
ditugasi meneliti aktivitas UFO di Wiltshire.
Dengan mikrofon, Moore mulai menceritakan awal mula
ketertarikannya terhadap fenomena UFO dan crop circle.
Suatu malam, saat Moore diposkan di bukit, dia menyaksi"
kan tujuh bulatan cahaya mengambang di udara. Setelah
sekian lama, bulatan-bulatan cahaya itu bergabung menjadi
sebuah bulatan besar. Bulatan besar itu kemudian naik terus
hingga menyaru dengan bintang-bintang di langit, sebelum
akhirnya lenyap dalam sekejap. Ketika Moore menyelidiki
lingkungan sekitar, barulah ia tahu bahwa tepat di bawah
bundaran tersebut, di ladang gandum, batang-batang gandum
merebah, rapi seperti dibengkokkan satu demi satu, mem"
bentuk lingkaran berdiameter kurang lebih sembilan meter.
Sejak itu, Moore tidak berhenti meneliti crop circle.
Moore bercerita, ketertarikannya terutama pada peru"
bahan medan elektromagnet di sekitar lokasi tempat formasi
terbentuk. Ia bahkan menemukan beberapa pola tertentu
memancarkan gelombang suara. "Kita tidak selalu menang"
kap suara tersebut karena frekuensinya yang sangat tinggi,"
jelas Moore. "Kita harus menganalisisnya dengan bantuan
mesin." Crop circle pertama yang akan kami kunjungi baru ber"
umur sehari. Moore membagikan fotonya kepada semua
426

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Partikel peserta tur. Foto dari angkasa itu menunjukkan gambar ling"
karan yang di dalamnya ada serupa pohon, bagian daunnya
membentuk setengah lingkaran, padat oleh buah bundarbundar yang banyak, batangnya pendek, dan akarnya tersebar
membentuk kipas. "Menurutmu, apa itu, Zarah?" tanya Pak Simon.
"Mmm... pohon apel?"
Pak Simon membolak-balik foto itu. "Aneh. Saya, kok,
melihatnya seperti jamur."
Bertepatan dengan itu, Moore telah selesai membagikan
foto dan kembali ke mikrofonnya. "The Tree of Life," katanya
lantang, "melambangkan pohon pengetahuan yang dimakan
buahnya oleh Hawa. Awal dari kehidupan. Dan, formasi ini
terjadi di tempat bernama Adam"s Grave. How ironic is that?"
Moore nyengir lebar. Pak Simon mengangkat tangan tanpa ragu. "I think it"s a
mushroom!" serunya. "Mushroom?" Moore mengecek fotonya sendiri sambil
membenarkan letak kacamata.
"Ah, ya. The Fly Agaric," seseorang berceletuk.
"Hmm. Bisa jadi. Ada yang ikut sesi shamanisme dan
enteogen tempo hari bersama Hawkeye?" seseorang lagi ber"
suara. "Ini mirip dengan jamur Amanita di fresko Prancis itu."
Di bus itu, yang isinya adalah para peserta simposium,
terciptalah diskusi dadakan tentang bentuk crop circle yang
akan kami datangi sebentar lagi.
427 Keping 40 Aku memilih tidak bersuara, tapi diam-diam aku melihat
kebenaran dari pengamatan Pak Simon.
Gambar pohon itu pada dasarnya adalah lingkaran di"
belah dua, maka perspektifnya memang bisa dibolak-balik.
Lalu, batang pendeknya memang lebih menyerupai batang
jamur ketimbang pohon. Dan, ketika bagian yang "berbuah
bundar" dilihat sebagai bagian atas, gambar itu jadi cocok
dengan tudung Amanita muscaria yang totol-totol. Ketika
gambar tersebut dibalik, jadi mirip Psilocybe cubensis.
Ke dalam mikrofon, Dave Moore akhirnya berkata, "Crop
circle ini baru berumur sehari. Kesimpulan bisa berubah.
Entah itu pohon atau jamur, yang jelas, sebentar lagi kita
bisa lihat sendiri."
Bus kami merapat di sebuah rumah petani. Di Wiltshire,
fenomena crop circle sudah bagian dari keseharian masyarakat
setempat. Para petani merangkulnya menjadi bagian dari
pariwisata, dan mereka sudah terbiasa berkoordinasi dengan
pemandu wisata untuk menampilkan crop circle di ladangnya.
Ditandai dengan panah, kami berjalan menuju lokasi
tempat formasi terbentuk. Menembus ladang gandum yang
tingginya sepinggang. Bulir-bulirnya yang keemasan ber"
gemeresik, menggelitik saat menyentuh kulit.
Mulai terlihat bulir-bulir yang merebah. Aku dan Pak
Simon hampir berbarengan menghentikan langkah. Ben"
tangan formasi itu mencapai hampir seratus meter.
"Lihatlah, Zarah. Masih percaya kalau ada manusia yang
428 Partikel bisa membuat ini dalam semalam, dalam keadaan gelap gu"
lita?" tanyanya. Aku menebarkan pandanganku. Tidak ada batang yang
hancur. Bulir-bulir itu membengkok dan memuai seperti di"
panaskan dari dalam. Di setiap bentuk "totol" terlihat se"
macam "biji" di bagian pusat. "Biji" itu dibentuk dari pucuk
bulir-bulir yang tidak ikut rebah, yang kemudian seolah me"
nari berputar membentuk lingkaran. Dan entah ada berapa
puluh lingkaran yang sama. Siapa pun yang melakukan ini
punya kemampuan presisi luar biasa dan kehalusan di luar
akal. Semakin lama berdiri di dekat sana, aku menyadari ke"
palaku mulai semaput. Beberapa saat kemudian aku bahkan
harus duduk. Ternyata aku tak sendiri. Beberapa dari rom"
bongan mulai berbaring. Banyak yang memilih memulai
meditasi. Moore menenangkan kami dan memberi tahu bahwa itu
hal biasa. Crop circle yang masih baru biasanya sangat kuat
medan elektromagnetnya. "Kamu baik-baik saja, Zarah?" tanya Pak Simon.
Aku mengangguk cepat, "Iya, Pak." Dalam hati, aku
ingin bilang, sesuatu di tempat ini mengingatkanku pada
Bukit Jambul. Entah apa. "Saya bercita-cita mengajak Firas ke lokasi crop circle.
Ayahmu pernah cerita, di bukit rahasia tempat laboratorium"
nya itu, ia menemukan anomali elektromagnetis dan anomali
429 Keping 40 tingkat radiasi. Waktu saya baca, saya langsung ingat crop
circle. Semua yang ayahmu tulis mirip ciri-cirinya."
Penuturan Pak Simon membulatkan kesimpulan dalam
benakku. Setelah kurang lebih setengah jam, kami berangkat ke
lokasi crop circle yang kedua. Lokasi kedua ini cukup jauh.
Kami harus berkendara hampir sejam untuk mencapainya.
Tepatnya, hingga ke daerah Hampshire.
"Pasti ada yang khusus," bisik Pak Simon. "Crop circle di
Wiltshire itu banyak. Kalau hanya untuk cari yang bagus,
kita nggak perlu sampai sejauh ini."
Kecurigaan Pak Simon tidak salah. Moore membawa
kami ke sebuah lokasi yang menjadi perbincangan hangat di
kalangan peneliti crop circle.
Usia crop circle kedua ini lebih awal beberapa minggu. Per"
bedaan usia itu juga kami rasakan langsung. Efeknya ter"
hadap fisik kami jauh lebih lemah dibandingkan waktu
mengunjungi lokasi yang pertama.
Formasi di lokasi kedua ini dikenal dengan sebutan The
Alien Face. Dari namanya, jelas terungkap bahwa objek yang
digambar adalah wajah alien. Ini merupakan hal tidak lazim,
meski menurut Moore bukan hanya sekali ini muncul crop
circle bergambar wajah. The Alien Face menggambarkan
430 Partikel wajah alien sebagaimana yang biasa ditampilkan lewat media.
Kepala botak, membulat besar di bagian puncak, mata bun"
dar. Di sampingnya, ada semacam cakram dengan kode-kode
terukir di atasnya. Bagi Moore, cakram itulah bagian yang
menarik. Sebagai peneliti crop circle, Moore biasa meneliti makna
dan kode dari setiap formasi. Ia, dan peneliti lainnya yang
tersebar di berbagai tempat dunia, akan berkorespondensi,
lalu sama-sama meneliti dan bertukar opini masing-masing.
Salah seorang kolega Moore menemukan bahwa cakram
tersebut mengandung kode biner yang ketika diterjemahkan
memakai karakter ASCII3 maka muncullah pesan: Berhatihatilah dengan mereka yang membawa pesan palsu dan janji
ingkar. Percayalah. Ada kebaikan di luar sana. Kami menentang
kepalsuan. Seusai bercerita, Moore mendatangi Pak Simon. Dengan
wajah serius ia bertanya, "Apa menurutmu tentang lokasi ini,
Simon" Ada yang mencurigakan?"
"It doesn"t have a "wow" factor," jawab Pak Simon tegas.
"I thought so," Moore menghela napas. "I feel wonky about
this one. Tapi, saya ingin kasih pengalaman yang berbedabeda bagi para peminat crop circle, makanya saya bawa ke"
mari." "Selama ini crop circle selalu memakai kode matematis
American Standard Code for Information Interchange.
431 Keping 40 yang universal. Kenapa, kok, di sini mereka pakai karakter
ASCII?" ujar Pak Simon lagi.
"Formasi ini membingungkan bagiku," timpal Moore.
"Mungkin ada pesan yang berlapis. Entahlah. Kalau ini
hoax, kehalusan kerjanya mirip sekali dengan yang asli. Dan
kamu tahu apa akibatnya, Simon. Ini bisa memukul mundur
riset puluhan tahun kami."
"Selalu ada kemungkinan imposter, Dave. Kemampuan
mereka pun pasti tambah canggih. Sudahlah, yang penting
kita tidak berhenti meneliti," hibur Pak Simon sambil me"
nepuk bahunya. "Atau, ada dua kubu alien?" celetukku.
Baik Dave Moore maupun Pak Simon terdiam.
Tak lama, bus kami kembali bergerak, balik ke arah
Wiltshire. Formasi ketiga, dengan bentangan hampir 150
meter, merupakan formasi terbesar dari yang kami kunjungi
hari ini. Kunjungan terakhir ini melipur semua orang. Tak
terkecuali aku. Keindahan polanya dan energi tempat itu secara keselu"
ruhan seolah membangkitkan semangat semua orang. Un"
tunglah, Dave Moore mengambil lokasi ini sebagai yang
terakhir. Perjalanan kami terasa klimaks.
Aku berterima kasih kepada Dave sebelum kami berpisah.
Di luar dari formasi yang mencengangkan, energi yang di"
berikan oleh sebuah lokasilah yang membuat pengalaman itu
432 Partikel tak terlupakan. Sesuatu yang juga baru kusadari setelah ber"
interaksi dengan Bukit Jambul.
"Itulah satu hal yang tidak bisa kamu palsukan: intention,"
jelas Dave. "Mau manusia atau ET, saya rasa itu hukum uni"
versal. Intention speaks louder than any code."
Pagi di Weston Palace merupakan fenomena yang tidak
kalah alien dari perjalananku beberapa hari terakhir bersama
Pak Simon. Pintu kamarku akan diketuk, lalu Robert akan masuk
membawa meja troli berisi sarapan dengan menu kontinental.
Lengkap dengan vas berisi mawar potong segar. Atau, seperti
pagi ini, Robert masuk membawa selembar kartu polos putih.
Saat kubuka, terbacalah tulisan tangan Hardiman: Sarapan
bersama di meja makan"
Robert lalu menyilakanku keluar kamar dengan gestur-nya
yang sopan, kemudian berjalan mengiringiku ke ruang ma"
kan. "Selamat pagi, Zarah," sapa Pak Simon yang sudah duduk
di meja makan berkapasitas dua belas orang itu. Ada dua
orang yang bersiaga di dekat meja. Robert, dan satu pelayan
perempuan bernama Emily. 433 Keping 40 "Terima kasih sudah mau sarapan bersama. Ada yang
ingin saya obrolkan," kata Pak Simon lagi.
"Tenang, Pak," cengiran lebar tak bisa kutahan. "Saya
nggak punya janji sarapan dengan siapa-siapa lagi di
Glastonbury." "Sejak kita bertemu, saya sudah memikirkan hal ini," kata
Pak Simon bersemangat. "Kita butuh seorang shaman."
"Shaman?" "Satu-satunya jalan paling jitu untuk melacak ayahmu
adalah menelusuri ulang penelitiannya. Karena, jika sampai
ia menghilang, saya yakin pasti berhubungan dengan pene"
litian yang selama ini dia lakukan."
"Hubungannya dengan shaman?"
"Karena cuma dengan bimbingan seorang shaman-lah kita
bisa melakukan apa yang dilakukan ayahmu dengan aman."
"Tapi, apa yang persisnya Ayah lakukan, Pak" Kita nggak
punya catatan apa-apa!"
"Kamu tahu dia punya jurnal, kan?"
Aku menelan ludah. Api itu. "Saya sempat punya, Pak.
Lima jurnal Ayah, ditulis tangan. Semuanya musnah ter"
bakar. Bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada sehalaman pun
tersisa." Pak Simon sontak menahan napas. "Rumahmu keba"
karan?" Aku menggeleng. "Ibu saya yang membakarnya. Dia pikir
434 Partikel informasi dalam jurnal itu ajaran sesat dan nggak berguna
untuk menemukan Ayah," lanjutku getir.
"Pantas saja," Pak Simon mengangguk-angguk. "Ayahmu
sudah mengantisipasi kemungkinan itu. Makanya dia me"
ngirimkan fotokopi jurnalnya kepada saya."
Nyaris aku tersedak irisan apel yang sedang kukunyah.
"Pak Simon punya fotokopi jurnalnya?"
Pak Simon gantian menatapku tak percaya. "Untuk ba"
rang sepenting itu" Firas" Pasti dia menyimpan salinan,
Zarah. Tidak mungkin tidak."
"Pak Simon sudah pernah baca isinya?"
"Sudah, sekilas. Ayahmu mengirimkannya tanpa pesan
apa-apa sama sekali. Aku sudah curiga dia cuma numpang
menitip. Dan karena waktu itu tidak ada indikasi darurat
apa-apa, saya nggak pernah benar-benar mempelajarinya."
Aku berhenti mengunyah sama sekali. Berhenti berkatakata. Punggungku menempel rapat pada sandaran kursi ber"
ukir itu. Selama ini" Seseorang menyimpan salinan jurnal Ayah"
"Saya menerimanya lewat pos. Sebelas, dua belas tahun
lalu" Saya nggak ingat persis. Mungkin, sebelum Firas
menghilang, dia menyempatkan mengirim fotokopi jurnalnya
kepada saya," tahu-tahu Pak Simon menatapku cemas,
"Zarah, kamu kenapa?"
Aku sibuk menyeka mataku yang berkaca-kaca. "Waktu
Ibu membakar jurnal-jurnal Ayah, saya pikir saya kehilangan
satu-satunya kesempatan untuk menemukannya lagi. Tapi,
435 Keping 40 sekarang saya ketemu Bapak, dan ternyata Bapak menyimpan
salinan jurnal Ayah, saya...." Aku tak sanggup meneruskan.
"Kita akan cari Firas," sahut Pak Simon mantap.
"Bagaimana dengan shaman yang tadi Bapak bilang" Kita
bisa menemukan di mana?"
"Di Inggris ada beberapa yang saya tahu dan percaya.
Tapi, ada satu orang yang sepertinya paling pas. Dia seorang
periset dari Amerika. Pengetahuan dan pengalamannya luar
biasa. Dan ia amat dekat dengan enteogen."
"Hawkeye?" Pak Simon tersenyum puas. "Ya. Dia. Kamu hadir waktu
sesinya di simposium, kan?"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, aku tak percaya akan menggunakan kata-kata ini,
"Saya suka energinya. Sepertinya dia bisa dipercaya."
"Asal tahu saja, Hawkeye itu sangat sibuk. Dia punya
jadwal ceramah keliling dunia. Semoga kita beruntung."
Tak sampai jam makan siang. Lance telah kembali lagi ke
Weston, membawa seorang penumpang ekstra: Hawkeye.
Kami berdua menyambutnya di pintu depan. Hawkeye
turun dengan langkah ringan, memakai celana putih dan
kemeja tenun warna-warni, rambut putih sepunggungnya
tergerai. 436 Partikel "Brother!" Hawkeye menyapa Pak Simon hangat sambil
membentangkan kedua tangannya.
"Selamat datang, Hawkeye. Sungguh suatu kehormatan
kamu sudah mau mampir ke tempat saya," Pak Simon me"
rangkulnya. "You"re like the godfather of our community. The honor is
mine," Hawkeye menempelkan tangannya di dada.
"Ini Zarah. Ayahnya adalah teman lama saya," Pak Simon
memperkenalkanku. Hawkeye menjabat tanganku sambil memicing, "We"ve
met. Right?" "Ya, di simposium. I was the girl who asked too many
questions," aku tertawa.
"Questions are good," Hawkeye balas tertawa. "Questions
move us forward." "Dan kita punya banyak pertanyaan yang perlu dijawab
hari ini," timpal Pak Simon. Menggiring kami masuk.
Kami bertiga duduk di perpustakaan. Dengan lugas, Pak
Simon langsung menjelaskan maksudnya kepada Hawkeye.
Pak Simon meminta bantuannya untuk terlibat dalam pe"
nelusuran ini, menjadi shaman yang akan menyeberangkanku
bolak-balik ke dimensi lain.
437 Keping 40 Dengan sama gamblangnya, Hawkeye berkata, "Saya ti"
dak bisa." "Kenapa?" Pak Simon bertanya langsung.
"Pertama, jadwal. Festival Burning Man, Simon. Saya
harus kembali ke Amerika secepatnya. Saya akan ikut
Burning Man seminggu penuh. I was there every year, and
I"m not going to miss this one either. Kedua, dan ini yang lebih
penting, saya tidak merasa terpanggil untuk membantu.
Maaf, Zarah. Nothing personal," ia beralih kepadaku.
Aku hanya diam. Tidak tahu harus bereaksi apa.
"Hawkeye, tolonglah, saya mohon. Satu kali ritual, dan
kita lihat lagi ke depannya seperti apa. Saya tidak akan me"
maksa." Aneh rasanya melihat sosok Pak Simon yang biasanya
selalu tampil sebagai pemimpin, pemberi perintah, kini me"
mohon kepada Hawkeye. "Saya bisa kasih daftar orang-orang yang bisa saya per"
caya"healers, shamans"untuk membantu kalian. Dan, me"
reka tinggal di Inggris."
"Hawkeye. Saya kenal mereka semua," potong Pak Simon.
"Ini bukan masalah mereka kompeten atau tidak. Ini me"
nyangkut rasa percaya, intuisi, chemistry. Saya percaya kepada
kamu. Dan, yang lebih penting lagi, Zarah percaya ke"
padamu." "Saya benar-benar nggak bisa," Hawkeye menegaskan.
438 Partikel "Kamu tahu betapa pentingnya Burning Man untuk saya.
Saya harus pulang." Aku mengamati mereka. Ini konyol, pikirku. "Boleh saya
ngomong sedikit?" aku menyela. Kutarik kursi, mendekat ke
mereka berdua. "Hawkeye, saya nggak bermaksud memaksa, apalagi me"
nahanmu untuk sesuatu yang sama sekali bukan urusanmu.
Saya minta maaf," ucapku sungguh-sungguh. "Pak Simon,
saya sendiri belum pernah cerita lengkap apa yang terjadi.
Rasanya tidak adil kalian jadi meributkan sebuah urusan
yang belum jelas. Boleh saya cerita dulu semuanya?"
Pak Simon dan Hawkeye sama-sama mengangguk.
Dari mulutku, bergulirlah sejarah Zarah Amala. Batu
Luhur, Bukit Jambul, keluargaku. Mengalirlah cerita tentang
jurnal Ayah, tentang pengalamanku dengan Amanita, tentang
kamera misterius. Meluncurlah babak kehidupanku di Kali"
mantan, pertemuanku dengan Paul dan The A-Team, hingga
aku tiba di London. Kututurkanlah tentang Storm dan Koso.
Akibatnya padaku. Dan betapa dalam dua tahun terakhir aku
hampir tidak berhenti keliling dunia.
"Saya ingin bisa berhenti," tuturku. "Entah itu jawaban,
atau kesimpulan, tapi saya menanti sesuatu yang bisa mem"
buat saya berhenti berlari. Berhenti mencari."
"Dan jika jawabannya ternyata tidak ada" Kamu masih
mau mencoba?" Tajam, Hawkeye bertanya.
"Bagi saya, "tidak ada" pun adalah jawaban," tegasku.
439 Keping 40 "Dan, saya mau terbuka dari sekarang kepada kalian berdua.
Saya tidak punya ketertarikan sama sekali dengan UFO,
alien, dan sejenisnya. Biarpun ayah saya terobsesi meng"
eksplorasinya, saya tidak. Tujuan saya cuma satu. Saya ingin
cari Ayah. Dan kalau itu ternyata mengharuskan saya ke di"
mensi lain, ke mana pun itu, saya mau."
"Kita tidak mungkin mengarbit pengalaman enteogen,
Zarah. Bukan cuma kamu yang memilih tanaman-tanaman
ini. Mereka juga memilih kamu. Kalau kamu dirasa bukan
kandidat yang siap, sekeras apa pun keinginan kita, ritual
tidak akan pernah terjadi. Akan selalu ada penghalang," tu"
tur Hawkeye. "Saya mengerti."
"Zarah... pernahkah kamu terpikir...." Pak Simon seperti
mengurungkan kembali niatnya bicara. Wajahnya seperti
terbebani. "Ayah saya sudah mati?" tembakku langsung.
Pak Simon menelan ludah. "Kamu sudah pernah terpikir
kemungkinan ayahmu tidak hidup lagi?" tanyanya hati-hati.
"Setiap hari, Pak," jawabku. "Setiap hari saya berpikir
kemungkinan itu pasti ada."
"Ada satu enteogen. Karakternya beda dengan yang lain.
Yang satu ini spesifik. Tanaman ini bisa mempertemukan
kita dengan mereka yang sudah mati. Namanya?"
"Iboga," sela Hawkeye.
"Ini hanya intuisiku saja, dan kamu boleh tidak setuju,"
440 Partikel kata Pak Simon kepadaku. "Kalau kita sama-sama ingin
mengeksplorasi pencarian ayahmu lewat jalur ini, saya rasa
Iboga adalah enteogen pertama yang harus kamu coba. Ka"
rena, kalau?" "Saya mengerti, Pak," potongku. "Kalau ternyata lewat
Iboga saya dipertemukan dengan Ayah, itu artinya dia sudah
meninggal, dan pencarian saya selesai."
Pak Simon diam menatapku.
"Saya siap," aku berkata.
Hawkeye melirikku sekali lagi, seakan memastikan bahwa
pengorbanan waktunya tidak akan sia-sia.
"Satu minggu, Simon," ucap Hawkeye tiba-tiba.
"Kamu bisa tinggal satu minggu?" Pak Simon menganga.
"Bagaimana dengan Burning Man?"
"Seperti yang saya bilang. Yang lebih penting adalah, saya
merasa terpanggil atau tidak. I am now," tandas Hawkeye.
Pak Simon tersenyum cerah, "I"m forever grateful, my
brother." Hawkeye menepuk bahu Pak Simon. "Sampai nanti ma"
lam, Zarah," ujarnya seraya bangkit berdiri, "I"m going to take
a walk in the woods."
"Robert will arrange for your stay!" seru Pak Simon.
Hawkeye hanya melambaikan tangan dan terus berjalan
keluar. 441 Keping 40 Malam terasa hadir lebih cepat. Terutama bagi mereka yang
gelisah. Seperti aku. Begitu Hawkeye mengiyakan menjadi shaman bagiku, ada
yang terasa berubah dengan waktu. Dengan semuanya. Se"
olah ritual itu sudah dimulai. Kami bertiga lebih banyak
menghabiskan waktu bersama, dalam ruangan yang sama,
sekaligus lebih banyak diam.
Hawkeye hampir selalu terlihat duduk bermeditasi. Se"
mentara aku diam menontoninya. Atau diam menontoni Pak
Simon yang duduk membaca.
Menjelang petang, Pak Simon kembali dari toko herbal
langganannya. Hawkeye menerimanya dan langsung mulai
bekerja. Berawal dari praktik agama tradisional bernama Bwiti,
tanaman Iboga, atau Eboka, adalah jenis tanaman semak
berbunga yang dipakai para shaman di Afrika Tengah, me"
liputi Gabon, Kamerun, dan Zaire. Inisiasi melalui tanaman
Iboga adalah tahap yang harus dilewati semua penganut
Bwiti. Kini, Bwiti sudah tergeser agama-agama besar yang
masuk ke Afrika Tengah seperti Katolik dan Kristen. Un"
tungnya, prinsip Bwiti yang universal memungkinkan ia
bersinkretis dengan agama-agama besar hingga jejaknya terus
bertahan sampai hari ini.
Mulai dikenalnya Iboga di dunia Barat lebih karena efek
442 Partikel pengobatannya yang menyembuhkan adiksi. Di Eropa, Iboga
adalah tanaman legal yang dipakai di beberapa pusat rehabi"
litasi. Efek penyembuhan Iboga dikenal cepat, dahsyat,
mampu menyembuhkan pasien ketergantungan narkotika
dan alkohol dalam hitungan hari. Terapi Iboga juga dilapor"
kan membawa perubahan besar bagi mental dan spiritual.
Demikian penjelasan yang dituturkan Hawkeye sambil
menumbuk kulit akar Iboga yang sudah dikeringkan. Pak
Simon mendapatkannya dari supplier yang ia percaya. Itu pun
Hawkeye masih ekstra berjaga-jaga. Ia menyuruh Pak Simon
membeli Iboga dalam bentuk kulit kayu dan bukan bubuk
supaya ia bisa menumbuk sendiri. Kemurnian enteogen ada"
lah faktor yang sangat penting, menurut Hawkeye.
"Bagi shaman Bwiti, Iboga adalah "kepala suku" dari se"
mua enteogen. It"s the Zeus," kata Hawkeye lagi. "Agama
Bwiti sendiri nggak punya teks atau kitab. Inisiasi Iboga
adalah pengalaman universal yang menyatukan pengikutnya."
"Saya belum pernah dengar ada agama yang nggak punya
teks," celetukku. "Dalam Bwiti cuma dikenal dua dunia. Dunia materi dan
dunia spirit. Kalau mau tahu spiritualitas, ya, seseorang ha"
rus berani nyemplung sendiri dan mengenal dunia spirit.
Makanya Bwiti nggak butuh teks. Karena, menurut mereka,
teks bisa berbohong. Spirit tidak."
"Jadi, Iboga akan memberikan hal yang sama buat semua
orang?" 443 Keping 40 Hawkeye tersenyum, "No. Iboga akan memberikan apa
yang kamu butuhkan."
"What about you?" tanyaku. "Apa yang sudah Iboga kasih
untukmu?" "Saya diinisiasi Iboga di Gabon. Bersama shaman Bwiti di
Babongo," jawab Hawkeye. Ia kemudian bercerita, ritualnya
dimulai di sungai. Ia disuruh melepas baju dan berendam di
sungai sebagai simbol dilucuti dan dicucinya dirinya yang
lama. Mereka percaya, sesudah inisiasi komplet dilakukan,
akan lahirlah Hawkeye yang baru. Setelah mandi di sungai,
Hawkeye diberi Iboga. Sepanjang ritual, shaman dan para
penganut Bwiti yang menemaninya bernyanyi dan memain"
kan genderang. Dalam sebuah tenda, Hawkeye diberi cermin.
Cermin itu akan menjadi simbol dari dunia batin yang harus
ia masuki. Upacara itu berlangsung tiga hari. Dosis Iboga
yang mereka kasih bertahan efeknya dalam tubuh Hawkeye
selama dua hari. Hari ketiga menjadi hari pemulihan.
"Hari pertama adalah hari yang berat. Sepertinya itu jadi
momen detoks besar-besaran bagi saya. Padahal saya nggak
punya adiksi apa-apa. Iboga menunjukkan segala hal yang
kamu perlukan untuk penyembuhanmu, untuk luka dan sakit
yang kamu bahkan nggak sadari," Hawkeye menambahkan.
"Penyembuhan seperti apa" I"m not sick," kataku cepat.
"Saya nggak mau cerita banyak. Saya nggak mau meng"
intervensi persepsimu, Zarah. Alami saja. If you trust Nature
as you much as you told me, then you shall trust The Spirit of
444 Partikel Iboga. Dia yang nanti akan membimbingmu. Saya hanya
memfasilitasi di alam ini. Di alam spirit, kamu akan di"
temani oleh Iboga." "Kamu bicara tentang Iboga kayak dia manusia," ko"
mentarku. "You shall see," sahut Hawkeye kalem.
"Kamu akan baik-baik saja, Zarah," Pak Simon menim"
pali. Dari air mukanya, aku menebak bahwa Pak Simon pun tak
akan bicara soal pengalaman Iboga-nya. Percuma bertanya.
"Saya bukan shaman Bwiti. Saya akan membimbingmu
sebisa saya. Creating a sacred space for all of us, in a way that I
know. Satu-satunya bagian dari ritual asli yang bisa saya
ulangi di sini hanya memberi kamu ini," Hawkeye menye"
rahkan cermin bergagang. "Ketika kamu mulai merasakan
efek Iboga di tubuhmu, usahakan lihat ke cermin ini."
Aku menyimpan cermin itu. Ragu. Membayangkan apa
yang nanti akan kutemukan di sana.
"Kita akan mulai kalau matahari sudah turun," ucap
Hawkeye. 10. Aku jatuh tertidur di sofa panjang di perpustakaan. Ter"
bangun lagi ketika Hawkeye mengguncang pelan bahuku,


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbisik, "Zarah, it"s time."
445 Keping 40 Langit di luar sudah kemerahan, tampak dari refleksi
tirai besar di jendela. Aku kemudian pamit sebentar untuk
mandi. Rasanya aku ingin membersihkan diri sebelum me"
mulai ritualku yang pertama.
Lima belas menit kemudian, kami berkumpul di kamar
tidurku. Kamar tidur ini lebih menyerupai apartemen mu"
ngil. Tempat tidur besar, kamar mandi sendiri, dan pojokan
yang cukup lega dengan sepasang sofa untuk menerima
tamu. Di sinilah kami akan menghabiskan malam bersamasama.
Di dalam sebuah mangkuk kaca, membukitlah bubuk ke"
hitaman. Hawkeye membawanya ke hadapanku.
"Ini dosis kecil" Sedang" Besar?" Aku bertanya.
"Iboga dosis kecil cuma menambah sensitivitas panca"
indra. Bukan itu yang kita butuhkan, toh?" Hawkeye terse"
nyum. "Hanya Iboga dosis besar yang bisa membawamu
menyeberang ke dunia spirit."
Aku memperkirakan ada dua sendok makan munjung
bubuk Iboga di hadapanku kini.
"Kunyah" Telan?"
"Kunyah lebih bagus. Kalau tidak kuat, telan juga boleh.
Saya siapkan madu." Kupandangi bubuk hitam dalam mangkuk kecil kaca itu.
Menyiapkan hati. Sekaligus, kutenggak seisi mangkuk.
Sejenak, tak bisa kudefinisikan rasanya. Tapi setelah li"
dahku mengecap bubuk itu dengan lebih menyeluruh, aku
446 Partikel menduga begitulah rasa bubuk gergaji dicampur isi baterai.
Lewat empat kunyahan, aku tak kuat lagi. Beberapa kali aku
tersedak menahan muntah. Buru-buru kuminum madu yang
disiapkan Hawkeye. Duduk lagi di tempat tidur.
Tak lama, terdengar bunyi genderang. Ternyata Hawkeye
membawa genderang kulit kecil. Ia bernyanyi asyik sambil
memainkan genderangnya, memejamkan mata, seolah aku
dan Pak Simon tak ada di ruangan.
Setengah jam. Tidak terjadi apa-apa lagi selain ketukan
genderang dan nyanyian Hawkeye. Aku hanya berbaring.
Empat puluh lima menit. Nyanyian Hawkeye sudah ber"
henti. Masih tidak terjadi apa-apa. Aku mulai meragu de"
ngan dosis yang tadi diberikan oleh Hawkeye.
Sementara itu, tampak Pak Simon masih tenang membaca
buku di pojok, dan Hawkeye duduk bermeditasi.
Lima puluh lima menit. Aku mengecek lagi jam. Menya"
dari hatiku mulai gelisah. Bertepatan dengan itu, Hawkeye
bangun dari meditasinya. "Kamu mau coba meditasi bareng saya, Zarah?" tanyanya.
"I"ll guide you."
"I"m not sure," jawabku. Jujur.
"Kamu sudah pernah meditasi sebelumnya?"
Aku menggeleng. "Relaks saja. Duduk, atau berbaring. Sadari apa pun yang
terjadi pada tubuhmu, pada pikiranmu. Tidak usah dilawan.
Amati saja." 447 Keping 40 Mungkin ada baiknya dicoba, pikirku. Tapi saat ini rasanya
aku lebih butuh jalan-jalan. "Sebentar, saya mau jal?"
Kalimatku terputus. Gerakanku yang bangkit berdiri pun
terputus. Kakiku tak bisa digerakkan. Aku ambruk lagi ke
tempat tidur. Kepalaku mulai berputar, badanku gemetar. Butir-butir
keringat dingin mulai kurasa bermunculan di sekujur tubuh.
Napasku mulai satu-satu. Sayup, seperti dari kejauhan, padahal aku tahu ia berada
di dekatku, terdengar Hawkeye berkata, "Let go, Zarah.
Kamu akan baik-baik saja."
Rasa mual dan pusing menyerangku gelombang demi ge"
lombang. "M"muntah... muntah...," rintihku.
Entah siapa yang menyodorkan baskom ke depanku, aku
sudah tak tahu lagi. Yang jelas, muntahku langsung meng"
hambur keluar begitu melihat ada baskom yang siap menam"
pung. Aku muntah berkali-kali. Hawkeye sudah mengingat"
kanku untuk makan sesedikit mungkin hari ini. Namun,
rasanya aku memuntahkan makananku sejak setahun yang
lalu. Sampai tak ada lagi yang tersisa selain air dan angin.
Aku merintih dan mengerang. Badan ini diremuk redam
satu demi satu bagian. Sistematis dan menyakitkan. Timbul
rasa kesal dan sesal. Mengapa kulakukan ini" Ingin rasanya
kubatalkan keputusanku. Tapi terlambat. Tidak ada penawar
untuk Iboga. Siksa ini harus dijalani sampai titik peng"
habisan. 448 Partikel Sayup, terdengar lagi suara Hawkeye, "Let go. Trust the
spirit." Aku berusaha membuka mata. Tapi pandanganku begitu
terdistorsi. Seperti televisi rusak. Muncul garis-garis hitam.
Semuanya bergoyang. Aku berusaha melihat jam. Aku ber"
usaha melihat Hawkeye dan Pak Simon. Namun, mereka
seolah terpisah lapis kaca yang tak bisa kutembus. Baskom
yang kupegang dengan kedua tanganku pun tak terhubung
lagi dengan realitasku, walau aku masih muntah-muntah
sambil memegang kedua sisinya. Entah siapa "aku" itu. Diri"
ku direnggut jauh, makin jauh, entah ke mana. "Aku" meng"
hilang. Kendaliku atas waktu ikut menghilang. Visual, rasa di
tubuh, rasa di hati, tidak lagi berpijak di dimensi yang ku"
kenal. Segalanya terasa panjang dan lama.
Kasur tempat tubuhku terbaring bertransformasi menjadi
sebuah lubang yang menelanku pelan-pelan. Ada kekuatan
yang membelesakkanku. Mendorongku. Berat mengimpit
dada. Perlahan, seiring dengan melumpuhnya tubuhku bagian
demi bagian, sebuah kesadaran merambat naik. Aku sekarat.
Inilah dia kematian, batinku.
Lamat-lamat aku menyadari di ruangan itu ada penghunipenghuni lain di luar kami bertiga. Mataku berketap-ketap.
Berusaha mengusir mereka. Tapi mereka tetap di sana. Ini
bukan halusinasi, aku membatin lagi.
449 Keping 40 Aku memberanikan diri memperhatikan wajah-wajah itu.
Aku tak yakin aku mengenali mereka. Kebanyakan hanya
terlihat seperti bayangan. Beberapa ada yang tampak lebih
jelas. Mereka diam kaku, tatapan mereka dingin, kulit me"
reka seperti tak pernah diterpa matahari. Kelabu.
Aku tak merasa mereka berniat jahat. Namun, aku juga
tak nyaman dengan kehadiran mereka. Anehnya, mereka
seperti tahu itu. Beberapa dari mereka menghilang. Kum"
pulan itu melengang. Di baris paling belakang, berdirilah sesosok yang berbeda.
Tubuhnya tinggi besar, kulitnya hitam kecokelatan, tampak
bertekstur mirip batang pohon. Fitur wajah dan badannya
menunjukkan ras negroid. Namun, ia juga tidak terlihat se"
perti manusia biasa. Matanya hanya bola besar berwarna
hitam. Berkilau bagai obsidian. Ia tidak berkata-kata. Tapi
aku merasa ia berbicara kepadaku.
"Mirror... mirror...." Terdengar lagi sayup suara Hawkeye.
Kata-kata Hawkeye mengingatkanku akan cermin berga"
gang yang sedari tadi kubaringkan di sisi. Tanganku meng"
gapai-gapai. Sulit sekali berpijak pada realitas fisik, pada
ruangan ini, benda-benda ini. Permintaan Hawkeye terasa
mustahil. Namun, aku berusaha sekuat tenaga.
Tanganku akhirnya berhasil menggenggam cermin. Sam"
bil meringkuk, menahan tremor yang mengguncang seluruh
tubuh, kuhadapkan cermin itu di depan muka. Berusaha
melihat refleksi yang disuguhkannya.
450 Partikel Sosok manusia kayu itu kembali muncul. Persis di bela"
kang bahu. Mata obsidiannya mencekamku, mengisapku
masuk ke dalam lorong hitam yang tercipta dari bola mata"
nya. Cerminku terlepas. Melorot jatuh ke lantai. Kudengar
sayup benturan bingkai peraknya beradu dengan lantai.
Kesadaranku meluncur dalam lorong itu. Terlihat polapola geometris yang berganti cepat, membesar, mengecil,
berpendar. Monokrom. Dan tiba-tiba lorong itu berhenti.
Aku melihat sebuah ruangan yang kukenal. Kamar tidurku
di Bogor. Kulihat diriku yang masih kecil terbaring di tempat tidur,
terbungkus selimut wol cokelat, ada sesosok pria yang me"
ngecup keningku dan berkata, "Jangan sombong jadi ma"
nusia." Ayah. Kukerjapkan mataku. Tak lagi bisa kubedakan mana vi"
sual asli dan mana yang halusinasi. Bayangan Ayah meng"
hilang. Kamar tidurku lenyap. Dan aku meluncur lagi dalam
lorong monokrom itu. Tak lama, nuansa hitam putih itu mulai berganti jadi ber"
warna. Oranye kekuningan. Belakangan, aku menyadarinya
sebagai api. Dari balik lidah api yang meliuk, samar kulihat
sosok Ibu dan Hara. Wajah mereka cemas, menangis. Aku
melihat sekelilingku. Ternyata akulah yang tengah dirubung
api. Bersama lembaran-lembaran jurnal Ayah yang berte"
baran. Bersamaan dengan itu, ada panas membakar terasa di ulu
451 Keping 40 hati, yang kemudian bertransformasi menjadi gelombang rasa
mual. Enek yang sudah berkumpul di leher membuatku
kembali tersadar akan tubuhku. Setengah mati aku berusaha
membalik badan, merangkak. Entah Hawkeye atau Pak
Simon yang kembali sigap menyodorkan baskom. Aku mun"
tah lagi. Setiap sehabis muntah, keringat dingin membanjir. Dan
aku berharap itu pertanda efek Iboga mereda. Tapi tidak.
Iboga masih mencengkeramku erat. Kembali aku diempaskan
ke dalam lorong monokrom.
Kali ini, beberapa ruang dan adegan berjalan tumpang
tindih. Aku merasa digiring melihat ulang kehidupanku,
masa kecilku, bercampur dengan tempat-tempat yang tak
pernah kulihat. Ada gedung zaman Belanda, ada hutan yang
tak pernah kumasuki, air terjun yang tampak asing, wajahwajah yang tak kukenal. Dan otakku tak sanggup meng"
analisis. Aku hanya bisa pasrah menyaksikan potongan demi
potongan gambar. Gambar-gambar itu kemudian melambat dan aku kembali
berhenti di sebuah ruangan. Apartemen Storm. Ketika me"
ngenali ruangan itu, seketika aku ingin kabur. Sialnya, lo"
rong untuk meluncur tidak muncul. Seolah aku sengaja di"
tahan di sana. Storm pun hadir. Tersenyum hangat. Se"
nyuman yang membuatku jatuh hati. Tak lama, seseorang
muncul di belakangnya, Koso.
Kehadiran mereka menyadarkanku akan sebuah rongga
452 Partikel hitam dalam dadaku. Rongga kosong dengan gravitasi kuat,
mengisap segalanya. Segala yang indah. Rongga yang tidak
mengizinkanku berbahagia. Dan tiba-tiba saja, muncul kesa"
daran entah dari mana, bahwa akulah yang menyabotase
hidupku sendiri. Bukan Storm. Bukan Koso. Bukan siapa
pun yang kuanggap pernah mengkhianatiku. Melainkan
rongga yang kupelihara sendiri. Kehancuranku adalah ma"
kanan baginya. Segumpal besar emosi menghantam dadaku dan aku
ingin menjerit. Lorong itu bergerak lagi. Dan aku tiba di
kamar orangtuaku. Jeritanku yang tadi tertunda kini terde"
ngar melengking, mendenging memenuhi ruangan, me"
mekakkan kepalaku, tapi suara itu bukan berasal dari diriku.
Melainkan dari sebuah bungkusan di tempat tidur.
Bungkusan itu lalu mengguling jatuh, terbuka di lantai.
Seorang bayi bermata merah darah menggeliat keluar. Ta"
ngannya yang tak sempurna berusaha meraihku. Adek.
Manusia kayu tadi sekonyong-konyong muncul dari bela"
kang bahuku, dan aku dapat merasakan ia berkata, "Peluk"
lah." Seketika aku menghambur, mendekap makhluk mungil
yang penuh luka itu dengan segenap hati, dengan segenap
kerinduan yang terasa pedih mengiris. Bertubi-tubi, aku me"
mohon maaf kepadanya. Atas ketidakberdayaanku, atas kega"
galanku melindunginya, atas kegagalan kami memahaminya.
Dalam dekapanku, Adek melebur menjadi rasa hangat
453 Keping 40 yang memenuhi rongga kosong di dada. Kehangatannya me"
menuhi setiap molekul dan mengisi celah di antaranya.
Memberiku rasa kecukupan. Dengan segala ketidaksempur"
naannya, Adek menyembuhkanku. Inilah rasa nyaman per"
tama yang kurasakan sepanjang perjalanan Iboga. Memeluk
adik yang tak sempat kukenal dan berdamai dengan keter"
batasanku. Menerima bahwa tak mungkin aku sanggup me"
lindungi semua orang yang kucinta.
Iboga belum selesai. Kembali gelombang rasa mual meng"
hantam. Aku muntah lagi. Bedanya, aku tidak merasa ter"
siksa. Meski terus tremor dan mengucurkan keringat dingin,
muncul keyakinan bahwa ini adalah proses pembersihan
yang perlu kulalui. Hatiku berhenti melawan.
"Can you tell us what you see" Zarah?" Terdengar kembali
suara Hawkeye. Entah sudah berapa kali ia memanggilmanggil sejak tadi, mengulang pertanyaan yang sama. Baru
kali ini aku sanggup bicara.
"Ada orang... seperti pohon... hitam... matanya hitam...."
jelasku tergagap. "Spirit of Iboga," balas Hawkeye lembut. "Kamu sudah
bertemu dengannya." Mataku kembali memejam. Sisa malam itu aku berhenti
muntah. Hanya melayang dan meluncur dalam alam antahberantah. Mimpi dan realitas teraduk. Memori dan halusi"
nasi bercampur. Batasan yang biasanya begitu jelas dan baku
kini lebur sudah. 454 Partikel 11.

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari kedua, yang tidak kurasakan seperti 24 jam melainkan
tak berbatas, aku sepenuhnya terbaring di tempat tidur. Ha"
nya berjalan tertatih ke kamar mandi jika perlu buang air.
Di kesempatan tiga-empat kali aku ke kamar mandi itulah,
kurasakan secercah koneksi ke dunia yang kukenal. Sisanya,
aku ada di alam Iboga. Tubuhku lemas seperti kain, menggeletak di atas kasur.
Tremor, mual, dan keringat dingin, datang silih berganti.
Saat aku memejamkan mata, aku melihat pola-pola geo"
metris, aku melihat gambar dan bayangan yang tak kukenal,
entah alam apa itu, entah kapan, entah siapa. Ada arus me"
mori yang seperti dipicu. Ada arus informasi yang seperti
diunduh oleh otakku. Semua itu mengalir deras tanpa bisa
kukendalikan. Pada hari ketiga, terjadi perubahan drastis. Tubuhku ri"
ngan. Yang kurasakan hanya nyaman.
Sinar matahari mulai menembusi celah-celah kecil dari
tirai jendela kamarku. Dinding-dinding memendarkan ca"
haya dan kamar ini terselimuti terang yang lembut. Rasanya
aku ingin melonjak menyambut keindahan pagi. Tiba-tiba
saja dengan mudah kudekati jendela. Terlalu mudah. Hingga
rasanya aku mengambang mendekati langit-langit kamar.
Dan pada saat itulah, aku menyadari aku tak lagi bersatu
dengan jasadku. 455 Keping 40 Kutengok ke bawah dan terlihat tubuhku meringkuk da"
lam selimut. Anehnya, aku tidak takut. Bahkan kunikmati
betul rasa ringan ini. Kebebasan ini. Ringan, melayang, se"
olah kesadaranku bersatu dengan udara.
"Zarah." Aku menengok ke bawah lagi. Mendapatkan Abah se"
dang duduk di pinggir tempat tidur. Ia mengenakan setelan
baju koko warna putih dengan bordir biru muda di bagian
dada. Peci putihnya melekat di kepala. Wajahnya bersih se"
perti baru bercukur. Abah menatapku jenaka. Mata bundar"
nya, yang dinaungi alis hitam lebat yang mulai bercampur
uban, bersinar hangat. Tatapan yang samar kuingat dari ke"
nangan masa kecil, saat sesekali ia berbaik hati membelikan
balon dari tukang mainan yang lewat dengan gerobak setiap
hari Minggu. "Sini, Abah mau ngobrol," panggilnya.
Aku menghampirinya. Entah bentukku seperti apa, ka"
rena ada Zarah lain yang sedang tertidur. Namun, jelas
Abah sedang menatapku dan mengajakku bicara.
"Kamu masih marah sama Abah?" tanyanya.
Aku tersenyum. "Nggak, Bah. Dulu, iya. Zarah pernah
marah sekali. Sekarang nggak lagi. Abah masih marah sama
Zarah?" Abah balas tersenyum. "Nggak. Abah sayang sama
Zarah. Paling sayang."
456 Partikel "Ini... Abah betulan, kan?" tanyaku. Meragu. Tak pernah
Abah selembut ini. "Ini hati Abah."
"Ini hati Zarah," bisikku.
Aku menghambur memeluknya. Merasakan tangan besar"
nya yang balas merengkuh. Dalam pelukan Abah, aku bagai"
kan boneka mungil yang rapuh. Tak peduli umurku empat
tahun atau dua puluh tiga. Dan tangannya adalah pilar ku"
kuh yang menopangku. Melindungiku dari wajah dunia yang
tidak ia kenal. "Kamu cucu Abah paling pintar. Paling berani. Kamu
jaga baik-baik ibu dan adikmu, ya."
"Abah, Zarah minta maaf."
"Abah juga." Sekilas, kutangkap bayangan hitam di balik punggung
kakekku. Manusia kayu itu lagi. Ia hadir menontoni kami
berdua. Dan ketika kutatap mata obsidian itu, kembali aku
terisap. Napasku menderu. Ada rasa berat menggelayuti bagian
tubuhku satu-satu. Aku tidak lagi melayang. Abah menghi"
lang. Dan ruangan itu meredup. Mataku mengerjap, ku"
gerakkan jemariku, berusaha mengukur kenyataan apa yang
kini kupijak. Kutengok jendela. Kembali mendapatkan sinar matahari
yang menembusi celah tirai. Tapi, rasanya beda dengan tadi.
Yang ini lebih familier. Bermimpikah aku barusan"
457 Keping 40 "Zarah. Welcome back." Suara Hawkeye menyadarkanku.
Ia bangkit dari sofa di pojok kamar.
"Dari tadi kamu duduk di situ?" tanyaku.
"Saya tidur di sofa ini dari semalam."
"Kamu nggak lihat siapa-siapa lagi barusan?"
"No." "Am I still alive?"
Hawkeye tergelak. "Saya panggilkan Simon sebentar,"
katanya seraya berjalan ke pintu.
Pintu kamar sudah duluan membuka. Pak Simon masuk,
"Selamat pagi," sapanya. "Gimana sekarang rasanya?"
"Aneh," jawabku langsung.
"Kamu bisa jalan?"
Aku mencoba. Tubuhku ternyata masih limbung. Tremor
itu belum sepenuhnya hilang, walau getarannya halus dan
hanya sesekali. "Istirahat dulu saja seharian ini, Zarah," kata Hawkeye.
"Tenagamu baru seratus persen pulih besok pagi."
"I need to make a phone call."
Hawkeye bengong, "Phone call" Now?"
"Zarah, sebaiknya kamu baringan dulu. Memangnya ada
keperluan mendesak?" tanya Pak Simon.
"Keluarga saya."
458 Partikel Aku menumpang bertelepon di perpustakaan Pak Simon.
Ponselku sengaja kumatikan sejak kumulai ritual Iboga. Baru
kunyalakan lagi pagi ini.
Ada dua pilihan. Menghubungi rumah Pak Ridwan atau
nomor ponsel Hara. Intuisiku memilih yang kedua.
Setelah terdengar nada sambung beberapa kali, kudengar
suara adikku menyapa assalamualaikum.
"Waalaikumsalam, Hara. Apa kabar?"
"Kakak" Ini benar kakak?" Suara Hara langsung mening"
gi. Parau. "Iya, Hara. Ini Kak Zarah."
Di ujung sana, Hara malah terisak-isak. "Hara baru saja
mau telepon Kak Zarah," tangisnya.
"Kamu kenapa?" "Kakak lagi di London?"
"Kakak lagi di kota lain. Glastonbury. Ada apa?"
"Abah, Kak." Cukup sampai di situ. Sisa penjelasan Hara seolah ber"
gaung di ruang lain. Di ruang lain itu, kudengar Hara memberitahukan bahwa
Abah kena serangan jantung, siang tadi waktu setempat. Ia
jatuh di kamar tidur sehabis berpakaian, dalam persiapannya
mengantar Umi ke sebuah acara. Beliau dilarikan ke rumah
sakit. Kurang dari tiga jam Abah bertahan. Sore hari, yang
bertepatan dengan pagi hari di tempatku, ia meninggal te"
nang. Ditemani Umi, Ibu, dan Hara. Hara bilang, Abah se"
459 Keping 40 perti tertidur. Sekilas senyum menghiasi wajahnya yang baru
bercukur. Abah berbaring resik dalam baju kesayangannya.
Setelan koko putih dengan bordir biru muda di bagian dada.
Dalam ruang satunya lagi, aku diam mendekap kenangan
terakhirku bersama Abah. Bukan saat aku dihantam men"
cium ubin, bukan ketika ia menggelegarkan kepada seisi
rumah bahwa aku bukan cucunya lagi. Bukan itu semua.
Kenangan terakhirku adalah saat kami berpelukan pagi tadi.
Hatiku dan hatinya. 12. "Semua baik-baik saja?" tanya Pak Simon begitu aku kembali
ke kamar. "Iya dan tidak," aku menjawab dengan senyum.
"Akan sangat membantu kalau kamu bicara tentang
pengalaman Iboga-mu. Apa pun yang terjadi harus kita in"
tegrasi bersama. Tapi, jika tidak sekarang, juga tidak apaapa. Kita masih punya cukup waktu," ujar Hawkeye.
"Sepertinya saya harus pulang ke Indonesia. Segera."
Mereka berdua terdiam. "Saya bertemu dengan kakek saya tadi pagi. Di kamar ini.
Saya rasa Iboga sengaja mempertemukan kami. Barusan saya
dapat konfirmasi dari rumah. Kakek saya meninggal. Hari
ini." 460 Partikel "Did you meet your father?" tanya Hawkeye.
Aku menggeleng. Hawkeye bangkit dari tempat duduknya. Memelukku.
Dan aku bisa merasakan tangan hangat Pak Simon yang
menepuk bahuku. "Mungkin ini kedengarannya aneh. Tapi, saya berbahagia
untuk kakek saya," bisikku.
"Seharusnya begitu. Kesempatan yang kalian miliki sa"
ngatlah indah. Saya ikut bahagia untukmu," bisik Hawkeye.
Aku menatap kedua pria itu. Seminggu yang lalu mereka
adalah orang asing yang tak kuketahui keberadaannya. Kini,
mereka bagaikan keluarga.
"Sebelum kamu berkemas, saya ingin cerita tentang le"
genda awal mulanya Iboga ditemukan manusia," Hawkeye
mendudukkanku di sofa. Ia lantas berkisah tentang seorang perempuan pigmi ber"
nama Atanga yang mendapat kabar bahwa ia ditinggal mati
suaminya. Atanga berusaha mencari tubuh suaminya tapi
tidak ketemu-ketemu. Setelah lama mencari, akhirnya ia ma"
suk ke sebuah gua di hutan, dan di sana ada tumpukan tu"
lang belulang. Ia lalu mendengar suara yang mirip suara
suaminya, menyuruhnya mengambil tanaman di depan mulut
gua. Tanaman bernama Eboka. Atanga diminta memakan
akar Eboka. Ketika ia berbalik, suami dan semua keluarganya
yang sudah mati berdiri di hadapannya. Itulah legenda
461 Keping 40 inisiasi Bwiti yang pertama, dan sejak itu manusia mendapat"
kan akses untuk dibimbing leluhur dari dunia spirit.
"Kegigihanmu mengingatkan saya kepada Atanga," sam"
bung Hawkeye. "Dan gara-gara itu kamu berubah pikiran membantu
saya?" "Saya melihat kekuatan yang luar biasa, yang sepertinya
kamu sendiri tidak sadari, Zarah."
Ucapan Hawkeye justru membuat sesuatu dalam diriku
merapuh. Tiba-tiba sulit bagiku berkata-kata. "S"saya nggak
tahu, apakah saya kuat melanjutkan ini semua, pencarian
ini," kataku terbata. Air mataku membubung tanpa bisa di"
tahan. "Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan
berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada ke"
mampuanmu bangkit lagi setelah berkali-kali jatuh. Jangan
pikirkan kamu akan sampai di mana dan kapan. Tidak ada
yang tahu. Your strength is simply your will to go on."
"Weston Palace akan selalu terbuka untukmu, Zarah.
Anggap ini rumah keduamu," ucap Pak Simon.
"Saya bahkan nggak tahu rumah pertama saya yang
mana, Pak," balasku sambil tersenyum kecil, dan aku men"
duga Pak Simon dapat menangkap kegetiran dalam suaraku.
"Kalau suatu saat, tempat ini mau kamu anggap rumah
pertama sekalipun, silakan," Pak Simon tersenyum. "Kamu
sudah saya anggap keluarga sendiri."
462 Partikel Ternyata itulah persamaanku dengan Pak Simon. Misi
yang telah kami tetapkan masing-masing akhirnya meng"
alienasi kami dari sanak saudara, memaksa kami untuk men"
cari dan menciptakan rumah sendiri. Misi itulah yang kemu"
dian menjadi pertalian antara kami, dua manusia tak seda"
rah. "Kita akan bertemu lagi, Zarah. Saya yakin itu," ucap
Hawkeye. "Of course," jawabku sambil mengusap air mata. "Saya baru
pakai tiga hari dari jatah seminggu saya, kan?"
"Next time, we will have all the time we need," Hawkeye
merangkulku. Sebelum pulang, Pak Simon membekaliku sesuatu. Bendabenda yang teramat penting. Jurnal-jurnal Ayah yang sudah
ia fotokopi satu set. Terjilid rapi.
Ia lalu melepaskan sebuah benda lagi. Benda yang selama
ini kulihat menggantung di lehernya. Benang lima warna"
biru, hijau, kuning, putih, dan merah"dianyam menjadi
seuntai kalung. "Saya ingin kasih kamu ini," ia mengacungkan benda itu
di depan mukaku. "Apa ini sebetulnya, Pak?"
"Ada yang belum saya ceritakan kepadamu," Pak Simon
463 Keping 40 menggeser kursi, menyuruhku duduk. "Setahun setelah
makhluk ET mengoperasi kepala saya, ada perubahan fisik
terjadi. Saya sering pusing, migren, kalau kambuh sakitnya
bukan main. Padahal sebelumnya tidak. Saya ke dokter. Saya
diperiksa, di-scan, dan ternyata ada tumor di otak saya."
"Ganas" Bapak apa nggak curiga" Bisa jadi tumor itu efek
dari operasi ET," rentetku.
"Mungkin," Pak Simon mengangkat bahu. "Saya nggak
pernah tahu karena saya nggak meneruskan pengobatan.
Saya nggak mau buang waktu di rumah sakit. Saya pikir,
kalau saya harus mati, ya, matilah. Lebih baik meneruskan
petualangan, mumpung masih ada umur. Saya malah pergi
ke Tibet.

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya pernah dengar tentang satu kitab Tibet, namanya
Bardo Thodol, atau Kitab Kematian. Kitab itu menerangkan
tahap-tahap kematian yang akan dijalani seseorang. Bagi
saya, itu lebih berguna daripada operasi. Waktu itu, saya su"
dah siap mati, Zarah. Setengah tahun saya di Lhasa. Saya
pergi ke pusat pengobatan di sana, kemudian jadi getsul di
satu kuil. Saya belajar meditasi. Saya yakin, berlatih meditasi
akan membantu saya untuk menghadapi alam Bardo."
"Apa itu alam Bardo?"
"Alam Bardo adalah alam transisi. Ketika kita mati, ke"
sadaran kita akan memasuki tahapan-tahapan alam Bardo.
Alam itu sebetulnya bisa dicapai tanpa kematian. Ada jalan
lain. Enteogen, atau lewat meditasi. Di Tibet, saya belajar
464 Partikel jalur yang kedua. Perubahan besar terjadi setelahnya. Saya
jadi sadar, kematian dan kehidupan sesungguhnya satu dan
tidak terpisahkan. Mempelajari Kitab Kematian akhirnya
membuat saya belajar untuk hidup."
"Seperti apa alam Bardo itu, Pak?" desakku penasaran.
Pak Simon menepuk lututku, "Kamu harus mengalaminya
sendiri. Kata-kata saya nggak akan berguna. Lagi pula, saya
yakin, sebagian dari alam itu sudah kamu cicipi lewat
Iboga," ia lalu menyerahkan kalung benang itu ke tanganku.
"Anyaman benang ini berguna sebagai pelindung. Tidak se"
mua entitas di dimensi lain sepenuhnya berniat baik, Zarah."
"Ini?" tanyaku sekali lagi. Memastikan bahwa yang di"
maksud Pak Simon sebagai pelindung adalah seutas mungil
benang warna-warni ini. Setelah dari dekat baru aku melihat
bahwa di tengah untaiannya, benang itu melilit segulung
kertas kecil berwarna biru tua.
"Dalam kertas itu, ada mantra Dorje Gotrab. Ditulis de"
ngan tinta emas. Itulah mantra terkuat dalam ajaran Tibet,
melindungimu dari apa pun, termasuk alien."
Aku menerimanya dengan ekspresi campur aduk.
"Kedengarannya aneh, kan?" Pak Simon tersenyum.
"Tapi, tidakkah itu membuatmu curiga, bagaimana tradisi
Tibet yang sudah ada ribuan tahun bisa mengantisipasi
makhluk seperti alien" Berarti, jangan-jangan, sejak per"
adaban manusia ada, makhluk seperti alien sudah bersamasama dengan kita."
465 Keping 40 "Boleh saya tanya tentang tongkat Bapak?"
Pak Simon terkekeh. "Pasti kamu mau tanya, kenapa saya,
kok, jalan selalu pakai tongkat, padahal kaki saya baik-baik
saja. Ya, toh?" ia mengetukkan tongkatnya, lalu menunjuk
puncaknya yang berwarna hitam mengkilap, "Ini obsidian,
Zarah. Pengguna kristal tahu bahwa obsidian memang di"
kenal sebagai pelindung supranatural yang ampuh. Tapi,
yang satu ini spesial. Di Aztec, obsidian dipercaya sebagai
perwujudan dari Dewa Batu yang disebut Itzli. Itzli sendiri
adalah bagian dari Tezcatlipoca, Spirit Kegelapan."
Pak Simon cepat menambahkan, "Kegelapan tidak selalu
mengerikan. Tidak ada terang tanpa gelap. Keduanya harus
terus berkolaborasi supaya kehidupan ini berjalan. Sama se"
perti mitos Aztec yang percaya bahwa Quetzalcoatl"figur
pencipta yang dikonotasikan dengan cinta, terang, dan segala
yang baik-baik"bekerja sama dengan Tezcatlipoca mencipta"
kan dunia ini. Tezcatlipoca pada intinya adalah simbol peru"
bahan. "Saya dapat batu ini dari seorang shaman Aztec. Ini ada"
lah salah satu obsidian tertua yang pernah ditemukan di
sana. Saya beruntung," lanjut Pak Simon sambil mengeluselus bongkahan kaca vulkanik hitam yang membulat licin
itu. "Saya pasangkan di tongkat karena kalau jadi kalung
terlalu berat," ia terkekeh lagi. "Saya memakainya ke manamana karena batu ini menyeimbangkan saya, Zarah. Me"
rangkul kegelapan sebagai bagian hakiki hidup ini."
466 Partikel "Spirit Iboga yang saya lihat, matanya hitam gelap.
Obsidian adalah hal pertama yang langsung saya ingat ketika
melihat matanya. Mungkinkah ada hubungannya" Iboga,
spirit yang menjaga alam kematian, dengan makna obsidian
di Aztec?" aku geleng-geleng kepala sendiri, meredam spe"
kulasi yang menurutku sudah terlampau jauh.
Pak Simon malah mengentakkan tongkatnya dengan se"
mangat. "Tentu saja! Mengapa tidak" Jangan kecil hati,
Zarah. Kita tidak bisa memakai keterbatasan logika untuk
memahami kompleksnya dimensi lain. Kalau logikamu tidak
sanggup mengikuti, tapi intuisimu merasakan sesuatu, bukan
berarti kita pasti salah, kan" Buat saya, segalanya mungkin."
Simon Hardiman adalah manusia terkaya yang pernah
kutemui. Kaya dalam segala arti. Bukan hanya karena ia
memiliki properti mahal di Inggris dan bisnis konglomerasi
di Indonesia. Ia kaya karena keterbukaannya menerima ber"
bagai sisi tanpa gentar. "Bapak pernah coba scan tumor itu lagi?"
"Hilang tanpa bekas," Pak Simon tertawa. "Tapi, bukan
berarti dia nggak bisa balik lagi, kan" Bedanya, sekarang
saya nggak takut lagi. Persepsi saya jadi berubah. Saya me"
lihat tumor itu semacam pemicu untuk saya mencari lebih
dalam, mempertemukan saya dengan lebih banyak penge"
tahuan, membuka mata saya bahwa penyakit bukan sekadar
gangguan. Tapi kode. Kode dari tubuh bahwa ada hal dalam
hidup kita yang harus dibereskan."
467 Keping 40 "Sekarang saya percaya itu. Karena Iboga, persepsi saya
tentang kematian rasanya berubah. Tidak lagi menakutkan,"
aku ikut tersenyum. "Kematian adalah gerbang petualangan baru," sahutnya
ringan. "Hidup bukan cuma terbatas yang kita alami seka"
rang ini saja. Ini hanya sekelumit dari berbagai bentuk kehi"
dupan lain." Setelah melewati apa yang kulalui bersama Iboga, aku
harus mengakui bahwa aku sepakat dengan Pak Simon.
"Petualangan kita belum selesai," ucap Pak Simon sambil
menjabat tanganku. "Sama sekali belum," aku membalas jabatannya."
468 KEPING 41 Jurnal Terakhir e2003f London nilah transitnya tersingkat di London.
Setelah dua hari berada di alam enteogen yang mem"
buat badannya terkapar tak berdaya, pada hari yang
ketiga fisiknya segar luar biasa. Seakan segenap selnya diper"
barui sekaligus dan tubuhnya bangkit menjadi Zarah Amala
yang serupa tapi tak sama. Sembilan hari di Glastonbury
terasa bagai mimpi panjang. Dari sana, Zarah keluar sebagai
manusia baru. Lahir batin.
Tiket pulangnya ke Jakarta sudah diurus Pak Simon dari
Glastonbury. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Paul dan
Zach. Kedua orang itu sedang tidak ada di tempat saat ia
469 KEPING 41 pulang ke rumah teras mereka di Clapham. Tapi, ia memang
tidak punya banyak waktu untuk bercerita kepada mereka.
Zarah cuma sempat membongkar ranselnya, membawa tam"
bahan baju, memuatnya kembali dalam ransel yang lebih
besar. Berangkat ke Heathrow.
Di ruang tunggu, Zarah menekan speed dial pertama.
Zach. Ponselnya tidak aktif. Zach mungkin lagi asyik memotret
gelondongan sampah, pikirnya. Nomor kedua ia tekan. Paul.
Entah mengapa, jantungnya berdebar lebih kencang.
"Missy?" Suara Paul menyapanya.
"Cro-Mag, I"m back."
"How was Glastonbury" Did you find him" Did you find any
clue?" Paul langsung memberondong.
"Saya berhasil menemukan Simon Hardiman. And more.
Tapi, saya belum bisa cerita sekarang. Saya harus boarding."
"Ke mana kamu?"
"Indonesia." "Kamu pulang?" ulang Paul tak percaya. "For real?"
"Kakekku meninggal. I need to be there."
Hening sebentar di ujung sana."Very sorry to hear that."
Dengan suara rendah, Paul berkata.
"Thank you," balas Zarah tenang, " he"s in a happy place,
Paul. I"m sure about it."
"Kamu bakal kembali ke Inggris, kan?"
"Nggak tahu. Saat ini hidup terlalu mengejutkan untuk
memastikan apa pun."
470 Jurnal Terakhir "But, if I say "please", will you come back?"
Zarah tersenyum, "Mungkin."
"Please come back," sahut Paul cepat, "please?"
"Saya pikir-pikir dulu."
"Or I will have to hunt you down."
Tawa Zarah meluncur lepas. "Try me," sahutku.
"I"m going to miss you."
Hening sebentar di ujung sini. "Sama," balas Zarah sete"
ngah bergumam. Paul menguatkan hati, bersiap menyampaikan satu-satu"
nya pertanyaan penting, "Pelarian kamu selesai?"
Tak ada jawaban. Hanya embusan napas berat. Paul sabar
menanti. "Saya tidak lagi berlari. Cuma mencari," akhirnya Zarah
menjawab. "Dulu, keduanya bercampur. Sekarang, tidak
lagi." Paul mengembuskan napas lega. Perjuangannya tidak siasia. "Take care, love," ucapnya.
"You too." Zarah menutup telepon itu. Ia amat memahami
kelegaan Paul. Upaya Paul selama ini menyuruhnya pulang
tercapai. Melalui Abah, Zarah menemukan kembali jalan itu.
471 KEPING 41 Perjalanan tiga belas jam menuju Singapura sebelum pener"
bangannya lanjut ke Jakarta, Zarah isi ulang dengan mem"
baca ulang jurnal Firas. Dari segala yang telah diberikan
Simon Hardiman dalam sembilan hari kunjungannya ke
Glastonbury, inilah oleh-oleh terpenting. Pencariannya yang
sempat kehilangan peta kini kembali ke jalur semula.
Setelah menyaksikan sendiri bagaimana buku-buku itu
berubah menjadi abu, tak pernah Zarah membayangkan bisa
bertemu lagi dengan lembar-lembar bertulisan tangan ayah"
nya. Bayangan lidah api yang menjilati jurnal Firas di kebun
belakang masih jelas dalam ingatan Zarah. Meski yang seka"
rang ia pegang hanya fotokopinya, kini ia bisa membaca
tanpa diikuti lagi dengan lidah api yang membakar hati.
Bermacam perasaan menyerbu Zarah saat merunuti ulang
kisah dan sketsa yang dulu ia jadikan dongeng pengantar
tidur setiap malam. Jurnal terlarang yang dicari polisi dan
dianggap buku sesat oleh keluarganya.
Di jurnal terakhir, tiba-tiba ia temukan keganjilan. Ada
selembar halaman yang dulu tidak ada. Ditulis bukan de"
ngan tulisan tangan ayahnya, melainkan diketik dengan
mesin. Halaman itu menjadi halaman penutup jurnal ter"
akhir Firas. 472 Jurnal Terakhir Untuk: Partikel. Di mana pun kamu berada. Lama tidak bertemu bukan berarti saya lupa.
Tujuh gardu di Bumi mulai teraktivasi. Jangan buang
waktumu untuk menemukan semuanya. Carilah satu gardu
yang perlu kamu jaga. Tiga teman yang paling utama sudah
menunggu. Banyak yang akan membantu. Mereka semua
adalah bagian dari rencana.
Partikel, matahari kelima akan terbenam tidak lama lagi.
Jangan takut. Jalan kalian seperti tidak punya peta. Tapi,
lihatlah baik-baik. Ke dalam. Di poros keempat, peta kita
tergambar jelas. Ingat, satu getaran akan membangunkan semua. Tanpa
terkecuali. Selamat menjadi: Zarah tersentak. Surat itu hadir bagai gempa yang meng"
guncang tanpa aba-aba. Ia membolak-balik satu lembar yang
sama, mengulang kata demi kata. Semakin diulang, barisbaris kalimat dalam surat itu mencekam Zarah sekaligus
membangunkan sesuatu dalam dirinya.
Firas memilihkan kedua nama anaknya secara spesifik.
Zarah paham betul itu. Hara, yang berarti unsur pembangun
kehidupan dalam tanah. Zarah, yang artinya unsur terhalus
dalam setiap benda. Partikel.
473 KEPING 41 Zarah tak mengerti bagaimana surat itu bisa ada dalam
jurnal ayahnya, Zarah juga tidak tahu siapa penulisnya. Satu
hal yang tak bisa ia sangkal. Surat itu jelas ditujukan untuk"
nya." 474 KEPING 42 Kedua Tangan yang Bertemu
e2003f Bandung andung adalah kota yang masih mengenal tidur.
Setidaknya, bagi sebagian orang di sebagian daerah
tertentu. Tidak di tempat itu.
Sebuah bangunan arsitektur Belanda bercat putih bersih,
terletak di sudut jalan, pekarangan luasnya ditutup paving
block dan menjadi tempat menginap sekian banyak motor dan
mobil yang saling silang menunggu pemiliknya. Kadang me"
reka baru keluar tengah malam, kadang sampai pagi men"
jelang. Ke dalam pintu besar itu, mereka menyerahkan
waktunya untuk menjelajah realitas maya. Ke luar pintu be"
sar itu, mereka dipertemukan kembali dengan realitas saja.
475 KEPING 42 Berharap keduanya tidak tertukar karena kian hari batas ke"
dua realitas itu kian saru.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di atas pintu besar tadi, terpahatlah tulisan di tembok:
ELEKTRA POP " 1931. Bodhi berdiri memandangi pintu itu. Berpikir. Meragu.
Jika bukan karena Bong, yang sudah ia anggap manusia
kombinasi kakak-sahabat-belahan jiwa, ia tidak akan kemari.
Sudah lama ia mendengar tempat nongkrong garis miring
warnet kondang bernama Elektra Pop yang konon adalah
semacam "kuil" inisiasi pergaulan di kota ini. Beberapa wak"
tu lalu, ia mengetahui bahwa salah satu pemilik Elektra Pop
ternyata adalah sepupu kandung Bong sendiri, bernama Toni
garis miring Mpret. Terpisah selama sebelas tahun dan di"
pertemukan kembali oleh jejaring sosial di internet, Bong
baru saja reuni besar-besaran dengan Mpret.
Tapi, bukan karena semua alasan itu ia disuruh kemari.
Ada satu sekat dalam bangunan besar ini, entah di sebelah
mana, yang juga menjadi tempat kondang baru di Kota Ban"
dung. Mewakili dunia yang sama sekali berbeda dengan
internet, gamers, dan pergaulan. Konon, di sekat itu, seorang
perempuan menyalurkan talentanya sebagai penyembuh alter"
natif. Kombo yang aneh, pikir Bodhi. Tempat gaul dan tempat
praktik dukun. Lebih aneh lagi karena penyembuh alternatif
garis miring dukun itu adalah anak muda seusianya. Dialah
pemilik rumah besar itu. Perempuan keturunan Tionghoa
yatim piatu bernama Elektra.
476 Kedua Tangan yang Bertemu
Bodhi tidak merasa ia sakit. Entah untuk apa Bong ber"
sikeras menyuruhnya kemari. Apalagi, Elektra konon meng"
gunakan listrik sebagai sarana terapinya. Bodhi benci ke"
setrum. Amat, sangat, benci. Tidak pernah terpikir olehnya
menyerahkan diri untuk disetrum sukarela. Semakin lama ia
berdiri di situ, semakin ingin ia kabur.
Bodhi merogoh kantongnya, mengeluarkan sepotong jam
plastik digital berlayar retak tanpa tali. Sederet angka itu
berkedip-kedip. 11.10 PM. Memacunya berpikir, ke mana ia
bisa minggat" Semenit kemudian, selagi otaknya masih berputar mencari
opsi tempat numpang, seseorang menyeruak keluar dari sisi
samping. Bagian itu adalah tempat makan-minum para pe"
ngunjung. Sebuah gerobak nasi goreng mangkal di sana.
"Hai! Bodhi?" Ramah, orang itu langsung mengulurkan
tangan, "Mpret." Kedua matanya bersinar hangat, menembus
penampilan berantakan yang meliputi rambut jabrik tak ter"
sisir, kaus longgar yang lusuh, dan sehelai sarung terbelit asal
di pinggang. Mau tak mau, Bodhi menyambut jabat tangannya. Tak
bisa lagi kabur. "Hai. Beneran sepupunya Bong?" tanyanya
langsung. "Iya. Nggak mirip, ya?" Mpret nyengir, "Bong lagi keluar
bentar. Dia tadi titip pesan, lu bakalan datang jam seginian.
Makanya, tadi pas lu muncul, gua langsung tahu." Mpret
tidak sepenuhnya berterus terang. Orang keluar-masuk
477 KEPING 42 Elektra Pop setiap saat, tapi ada yang berbeda dengan
Bodhi, yang membuatnya seketika yakin bahwa pemuda itu"
lah yang selalu mendominasi topik pembicaraan sepupunya.
"Sudah makan" Mau pesan nasi" Mi" Kopi" Teh?" Mpret
menawarkan. "Nggak, makasih." Aku ingin ditawari kesempatan kabur
dari sini. "Elektra sudah tidur. Dia, sih, manusia normal. Nggak
kalong kayak kita-kita. Jadi, paling besok baru bisa ketemu,"
kata Mpret lagi. Sialan. Bahkan dia pun sudah tahu. Bodhi menghela napas.
"Nanti tidur di ruangan gua saja. Kita ngampar ramerame. Kalau mau pakai internet juga bebas. 24 jam nonstop.
Pesan makan-minum, tinggal bilang."
Bodhi tersenyum, "Makasih, Mpret." Kalau saja bukan
karena misi yang satunya lagi, ia pasti akan kerasan di sini.
Mpret adalah manusia yang bisa ia bayangkan menjadi te"
man baiknya. Seakan membaca bahwa Bodhi lebih membutuhkan ruang
untuk sendiri, Mpret memutuskan mengambil jarak dulu.
Mengamati tamunya itu dari jauh. Bertanya-tanya, apa ge"
rangan yang membuat Bong, manusia paling independen
yang ia tahu, bisa menganggap manusia bernama Bodhi se"
bagai gurunya" Dari kali pertama muncul, Mpret seketika
tahu Bodhi berbeda. Meski ia berjalan dengan dua kaki se"
bagaimana manusia umumnya, berpakaian seperti banyak
478 Kedua Tangan yang Bertemu
anak punk yang ia kenal, ada kualitas lain yang membuat ia
mencuat. Namun, entah apa. Dan Mpret amat penasaran
mencari tahu. Elektra terbangun dengan kepala berdenyut sebelah. Se"
makin lama semakin menekan. Sampai-sampai mata kanan"
nya tidak bisa dibuka penuh. Dengan mata pecak, ia mandi,
berpakaian, dan siap-siap ke ruang makan untuk sarapan.
Sebagai pemilik rumah, ia memiliki hak istimewa untuk
menempati bagian belakang, yang merupakan bagian ter"
sunyi dari rumah besar nan hiruk pikuk ini. Di ruang ma"
kan yang bergabung dengan dapur itu, Elektra berkesem"
patan untuk membuat sendiri sarapan paginya, menghirup
secangkir tehnya, melamun, berlatih pernapasan. Dalam ke"
sunyian. Dalam kesendirian. Sisa harinya ia harus berteman
dengan kegaduhan dan menghadapi lalu lalang ratusan ma"
nusia. Pagi hari adalah segalanya bagi Elektra.
Namun, denyutan kepalanya terasa sangat mengusik. Su"
dah lama sekali Elektra tidak minum obat, dan hari ini ia
masih belum tertarik menenggak parasetamol untuk sarapan"
nya. Elektra mulai mengatur napas. Merasakan pusat sakit
kepalanya. Membiarkan kesadarannya mengiringi setiap de"
nyut. 479 KEPING 42 Sepuluh menit berlalu dan sakitnya tidak berkurang.
Pintunya sudah keburu diketuk.
"Masuk," ucap Elektra setengah menghela. Momen me"
nyendirinya bubar jalan sudah.
"Tra, temannya Bong sudah datang. Dia nginap di sini
semalam," Mpret melapor. Dan tanpa basa-basi, Mpret men"
comot selembar roti bakar yang disiapkan Elektra di meja.
"Tumben bangun pagi," celetuk Elektra, "dan... tumben
amat mandi." Wangi sampo meruap dari rambut Mpret yang
masih basah. Wajahnya putih bersih tanpa kilap.
"Udah mulai bau mujair," sahut Mpret kalem. "Mata
kamu kenapa?" "Nggak tahu. Kepala saya pusing. Banget."
"Kalau lagi nggak fit, jangan dipaksa."
Elektra menggeleng. "Temannya Bong sudah datang jauhjauh. Saya nggak apa-apa, kok," ia berusaha tersenyum, me"
nutupi hantaman godam di kepala kanannya yang makin
kencang. Pintu ruangan itu dibuka. Elektra, diiringi Mpret, me"
langkah masuk. Ruang beralas karpet yang dulunya dipakai
sebagai rental Play Station itu sudah berubah menjadi kamar
praktik Elektra. Hanya ada satu dipan berseprai krem, se"
480 Kedua Tangan yang Bertemu
buah kursi beroda, dan satu sofa kecil. Cahaya matahari pagi
menembus tirai putih tipis yang melapisi jendela.
Elektra merasa mata kanannya masih pecak. Namun, ia
bisa melihat jelas sosok yang duduk di sofa. Tubuh ramping"
nya dibalut kaus hitam polos, sepatu Converse setengah betis
terlihat dari jins sobek-sobeknya yang menggantung, kepala"
nya ditutup bandana merah. Satu tangannya yang menopang
dagu menunjukkan sebulat tato di pergelangan tangan dalam.
Dan ia menatap Elektra dengan sorot yang membuatnya ter"
tegun. Sulit ditentukan suku dan ras apa wajah di hadapannya
itu. Kulitnya bersih, langsat cenderung pucat, bingkai mata"
nya bersudut tajam, alis hitam legamnya terbentuk rapi, bulu
matanya panjang dan lentik, bibirnya merah. Garis wajah
yang condong feminin itu menimbulkan kesan androgini.
Yang jelas, Elektra tidak bisa menyimpulkan apakah laki-laki
itu turunan Tionghoa seperti dirinya, atau asli Melayu, atau
Indo, atau Arab, atau apa pun.
Ia bangkit berdiri. Ternyata ia cukup tinggi. Elektra harus
sedikit mendongak untuk menemukan matanya.
"Hai. Bodhi," sapanya sambil mengulurkan tangan. Dari
sepotong penyebutan namanya saja suara itu begitu empuk.
Cocok memimpin kebaktian, Elektra menyimpulkan.
Elektra menyalam tangan pucat itu. Kulitnya sangat ha"
lus. Pasti jarang cuci piring dan cuci baju, Elektra menuduh
dalam hati. 481 KEPING 42 "Elektra. Panggil Etra saja," balas Elektra dengan se"
nyum. Sakit kepalanya makin menggila.
Bong ada di sofa satunya lagi. Duduk selonjoran sambil
mengunyah sedotan plastik. Sementara Mpret berdiri sambil
melipat tangan di dada laksana seorang pengawas.
Elektra mengambil posisi di kursi beroda. Ia berdeham.
"Sebenarnya, saya lebih nyaman kalau ditinggal berdua de"
ngan yang mau terapi."
Bong dan Mpret saling lirik. Tak lama, mereka mengerti.
Keluar dari ruangan dengan muka terpaksa.
Tinggal mereka berdua. Elektra dan Bodhi. Duduk ber"
hadapan. Gestur keduanya yang kaku mirip pasangan yang
dipertemukan oleh biro jodoh dan kini terperangkap kencan
buta perdana. "Apa yang bisa saya bantu?" Elektra membuka sesi itu.
Bodhi tidak langsung menjawab. Ia ingin mempelajari
"dukun"-nya terlebih dulu. Elektra tampak jauh lebih muda
dari yang ia sangka. Jika mereka betul seumur. Anak itu se"
perti baru lulus SMP. Berperawakan mungil dengan rambut
sebahu yang dikucir dua. Poninya rata menutup jidat. Sorot
matanya ringan, jenaka. Ia memakai baju terusan bergambar
buah ceri dengan dua kantong warna merah di bagian depan.
Bodhi tidak akan kaget kalau di satu tempat pada tubuh
Elektra ditemukan tulisan Made in China. Perempuan ini
cocok dipajang di rak toko boneka.
"Jujur saja, tadinya saya pikir saya nggak ada keluhan apa482
Kedua Tangan yang Bertemu
apa. Ketemu kamu hari ini cuma permintaannya Bong. Dia
bilang saya harus check-up," Bodhi tersenyum.
"Tadinya?" Elektra mengangkat alis. "Jadi, sekarang ada
keluhan?" "Dari semalam, sejak sampai ke sini, kepala saya sakit
banget," Bodhi mengurut pelipisnya. Sebelah kanan.
Elektra tertegun untuk kali kedua. "Cuma yang kanan?"
"Iya," Bodhi mengangguk, "sampai mata saya susah di"
buka." Ludah Elektra tertelan seperti gumpalan duri.
"Saya nggak suka banget kesetrum. Ada cara lain, nggak"
Yang nggak pakai listrik?"
"Aneh. Saya juga sakit kepala. Sebelah kanan. Dari tadi
pagi waktu bangun." Mendengar itu, Bodhi tertawa geli. "Jadi, kita diterapi
siapa, dong" Bong?"
Elektra berhenti sejenak menikmati ekspresi itu. Bodhi
seketika berubah ketika tertawa. Ia tampak terang bende"
rang. Sebelumnya, wajah itu mendung seperti sedang dirun"
dung beban besar. "Sejak kapan jadi"hmm"terapis?" Bodhi bertanya. Ber"
usaha menemukan terminologi yang tepat.
"Baru setahun lebih. Masih junior."
"Bakat dari kecil?"
"Sama sekali nggak," Elektra terkekeh. "Waktu kecil ba"
kat saya cuma tidur siang. Jago banget. Asli."
483 KEPING 42 Bodhi ikut tertawa. "Saya juga jago molor dari kecil.
Tapi, kok, nggak jadi suka listrik, ya?"
"Saya juga tadinya nggak suka, kok. Padahal almarhum
bapak saya dulu tukang servis elektronik. Yang saya suka itu
petir," lalu Elektra tergelak. "Lebih ngeri, ya?"
Sesuatu dalam kalimat Elektra seperti mengirim setruman
kepada Bodhi. Ia bergidik tiba-tiba. Teringat akan niatnya
untuk kabur. Rasanya tak ada waktu yang lebih tepat untuk
melakukannya selain sekarang.
"Jadi, kapan-kapan saja terapinya, ya" Kalau kamu lagi
sehat," Bodhi bangkit berdiri. Kepalanya berdenyut semakin
kencang. "Saya nggak sakit, kok," sergah Elektra.
Bodhi mengerucutkan bibirnya. Berpikir alasan apa lagi
yang bisa membawanya keluar dari ruangan ini. Dan Elektra
bisa membaca itu. "Bodhi, kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa. Hal
begini memang nggak bisa dipaksa. Anggap saja ini ngobrolngobrol. Senang bisa kenalan," Elektra tersenyum, mengulur"
kan tangannya. Setengah mati mengencangkan otot mata
kanannya agar ia terlihat normal.
Perasaan tidak enak membersit di hati Bodhi. Sikapnya
yang kentara enggan terasa tidak sopan. Ia jadi merasa ber"
salah kepada Elektra. Tapi, perempuan berbaju buah ceri itu
benar. Hal seperti ini tidak bisa dipaksakan. Dan, Bodhi
lebih suka jujur. 484 Kedua Tangan yang Bertemu
"Thanks. Sori jadi ngerepotin. Sampai ketemu lagi," Bodhi
menyambut tangan Elektra. Dan saat kedua tangan mereka
bertemu kali ini, keduanya roboh.
Jemari itu bergerak, menggaruk karpet dengan gemetar. Ke"
lopak mata Elektra perlahan membuka. Persis, di depan
mukanya, ada muka Bodhi. Kelopak mata itu masih ter"
pejam, tapi bola di dalamnya terlihat bergerak-gerak cepat.
Elektra berusaha bangkit. Hal yang pertama terlintas ada"
lah mensyukuri lantai ruangan ini dilapis karpet, cukupan
meredam benturan sehingga badannya tidak terlalu nyeri.
Hal kedua yang dilakukannya adalah melihat jam dinding.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak sampai dua menit. Paling lama tiga. Elektra tercekat
ngeri. Sementara ia merasa baru saja pulang dari perjalanan
berjam-jam. Badan Bodhi mulai bergerak. Kelopak matanya mem"
buka. Susah payah, keduanya mencoba duduk.
"Akar?" Elektra berbisik.
"Kamu"Petir?" bisik Bodhi.
Keduanya terpaku di tempat masing-masing. Berusaha
mencerna sesuatu yang begitu besar hingga membekukan
waktu. Berusaha kembali ke realitas yang mereka kenal.
Ruang praktik. Elektra Pop. Kota Bandung. Bodhi dan
Elektra. 485 KEPING 42 Hampir bersamaan, mereka mengurut pelipis kanan ma"
sing-masing. Menyadari hantaman godam di kepala mereka
telah sirna. Berganti tanda tanya yang lebih besar."
486 Dari Penulis Delapan tahun bukan masa yang singkat. Selama itulah para
pembaca Supernova menanti episode Partikel"kelanjutan
dari episode Petir yang diterbitkan pada tahun 2004. Selama
itu jugalah saya menunggu. Dalam masa delapan tahun, ada
empat judul buku yang saya produksi. Namun, Partikel terus
membayangi. Menanti. Tak heran jika pertanyaan yang paling sering diajukan
pembaca adalah: kapan Partikel terbit" Kenapa begitu lama"
Sejak dulu ingin saya menjawabnya, tapi jawaban yang saya
miliki rasanya belum pernah utuh. Setelah saya melewati
proses kreatif Partikel, pemahaman saya pun melengkap. Jadi,
izinkan saya menjawab pertanyaan itu.
Embrio Partikel, diwakili oleh tokoh utamanya, Zarah,
selama delapan tahun seolah dibekukan dalam laboratorium
cryogenic. Ia mulai dihangatkan kembali pada bulan Juli
2011, saat saya mulai menyusun jadwal menulis intensif se"
telah peluncuran kumpulan cerita Madre. Dari laboratorium
cryogenic yang beku, Partikel pindah ke sebuah tempat yang
saya juduli " batcave". Semacam gua imajiner, rahim kreasi
nan hangat, tempat saya menggodok, menggarap, mematang"
kan ide dan mentransformasikannya menjadi kata-kata.
Delapan bulan, Partikel bertumbuh dan mewujud. De"
489 lapan bulan, saya menyelam dalam semesta seorang Zarah
Amala, nama yang artinya tak lain adalah "partikel cinta".
Dalam masa menulis intensif itulah saya memahami menga"
pa Zarah harus menunggu delapan tahun untuk menemui
pembacanya. Semua benang yang saya perlukan untuk merajut semesta
seorang Zarah adalah kumulasi pengetahuan, pengamatan,
dan pengalaman. Jika saja Partikel "dipaksakan" untuk lahir
sebelum ini, maka kemungkinan besar ia akan lahir prema"
tur. Ketersediaan literatur serta fasilitas teknologi yang kini
lebih mudah saya akses, memungkinkan riset saya berjalan
lancar. Namun, yang lebih penting lagi adalah matangnya
ketertarikan alamiah saya pada topik-topik yang dibahas da"
lam Partikel, yang dulu cuma saya kenali sepintas lalu. Tak
terhitung pengalaman langsung yang perlu saya alami secara
pribadi untuk menjadi "ibu" dari Partikel. Perkenalan saya
dengan berbagai metode meditasi, tantra, trauma healing,
Tibetan mantra healing, Zen Counseling, mengubah banyak
persepsi saya tentang konstruksi batin manusia dan apa yang
selama ini kita anggap sebagai "realitas". Tanpa mengalami
semua, Zarah Amala tak akan genap menyampaikan kisah"
nya. Sama seperti semua proses kelahiran sebuah karya, yang
selalu diwarnai tantangan, kesulitan, kelelahan, sekaligus
kebahagiaan, pencerahan, dan kepuasan tak terhingga, demi"
kian pula proses saya melahirkan Partikel. Volume informasi
490 yang harus saya pilah dan pilih mengharuskan saya memeta"
kan ulang dunia Zarah berkali-kali, sebuah proses yang sa"
ngat memakan energi. Laksana pematung yang memahat
dari kekosongan, inci demi inci kehidupan Zarah saya ukir
dalam batcave. Kehidupan riil saya pun ikut kena imbas. Se"
tahun terakhir saya menyatakan cuti kepada dunia pekerjaan
non-menulis. Dan meski saya bekerja di rumah, keluarga
saya pun terpaksa beradaptasi dengan ritme kerja intens yang
membuat saya seolah hidup di dua dunia. Sebelah kaki men"
jalankan kehidupan nyata, sebelah kaki terbenam dalam
rahim Partikel. Tak mungkin rasanya menuliskan pengantar ini tanpa
berterima kasih lebih dulu kepada mereka yang telah men"
dampingi saya. Suami saya, Reza Gunawan, dan kedua anak
saya, Keenan dan Atisha. Pendampingan dan cinta kasih
merekalah yang sanggup membuat saya bertahan dan tetap
tersenyum di hari paling melelahkan sekalipun.
Terima kasih pula untuk Bentang Pustaka yang bersedia
menjadi rumah baru bagi serial Supernova. Tim produksi
yang telah mendukung saya bertahun-tahun, Fahmi
Ilmansyah dan Irevitari. Semoga senantiasa tercipta kerja
sama yang manis dan produktif di antara kita semua.
Saya juga ingin berterima kasih kepada Paul Stamets,
Graham Hancock, Andrew Collins, Daniel Pinchbeck,
Dolores Cannon, Barbara Hand Clow, Drunvalo Melchi"
zedek, Bob Frissel, Gregg Braden, Ralph Metzner, Gordon
491 Wasson, Terrence McKenna, Albert Hoffman. Mereka ada"
lah orang-orang yang mewakili berbagai disipliner, orangorang yang saya tak kenal langsung, tetapi riset dan karya
mereka adalah pilar-pilar yang menopang Partikel. Juga un"
tuk Dr. Birute Galdikas, yang syukurnya bisa saya kenal
langsung, atas bukunya yang indah (dan penting), Reflections
of Eden, yang menjadi inspirasi salah satu babak utama
dalam Partikel. Ada satu pihak penting yang perlu saya sebutkan, yang
entah sayakah yang harus berterima kasih kepadanya atau
sebaliknya. Dua belas tahun lalu, saya mengirimkan sebuah
niatan kepada semesta, kepada matriks kehidupan, apa pun
sebutannya, bahwa saya ingin menuliskan buku tentang pe"
nelusuran spiritual. Dan, lahirlah manuskrip Supernova yang
pertama. Dalam proses kreatif menuliskan Supernova, saya
menyadari satu hal yang kemudian mengubah persepsi saya
selamanya terhadap inspirasi.
Inspirasi akan memilih inangnya. Seperti jodoh, ketika
bertemu dan pas, terjadilah perkawinan, dan muncullah
entitas baru. Sebuah inspirasi memilih saya sebagai inangnya,
dan lahirlah entitas berbentuk novel serial yang berjudul
Supernova. Kekuatan yang sama membimbing saya untuk
menulis episode demi episode dalam dinamika relasi yang
kerap membuat saya bertanya: siapa menulis siapa"
Yang jelas, saya tidak pernah merasa sendiri. Supernova
adalah sebuah karya kolaborasi, antara saya dan sesuatu da"
492 lam alam abstrak yang ingin menyampaikan pesannya,
suaranya. Saya hanyalah medium sekaligus partner yang di"
pilihnya. Karya ini adalah karya kami bersama. Dan saya
berterima kasih sedalam-dalamnya atas kesempatan itu.
Masih ada lagi pihak dalam konstelasi ini, yang juga per"
lu saya sebut dan saya ucapkan terima kasih. Anda semua,
para pembaca. Terima kasih atas kesabaran Anda menanti.
Terima kasih atas ketertarikan Anda pada buku ini. Sebagai
seseorang yang percaya pada sinkronisitas, saya meyakini
hadirnya buku ini di tangan Anda bukanlah kebetulan.
Buku ini dan Anda bertemu untuk sebuah tujuan. Entah
apa. Waktu yang akan mengungkap.
Sampai bertemu di episode berikutnya,
493 Tentang Penulis DEWI LESTARI, dikenal dengan nama pena Dee,
lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Debut Dee dalam
kancah sastra dimulai dengan novel Supernova episode
pertama Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang diterbitkan
pada 2001. Disusul episode kedua, Akar pada 2002, dan episode
ketiga, Petir pada 2004, serial Supernova konsisten menjadi
bestseller nasional, dan membawa banyak kontribusi positif
dalam dunia perbukuan Indonesia. Kiprahnya dalam dunia
kepenulisan juga telah membawa Dee ke berbagai ajang
nasional dan internasional.
Pada 2012, serial Supernova kembali hadir dengan
episode terbarunya, Partikel. Serial ini akan dilanjutkan
dengan episode Gelombang dan Inteligensi Embun Pagi.
Dee juga telah melahirkan buku-buku fenomenal
lainnya, yakni Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008),
Perahu Kertas (2009), dan Madre (2011).
Berinteraksi dengan Dee: ID: @DeeLestari Fanpage: Dewi Lestari Pendekar Buta 6 Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Interograsi Maut 3

Cari Blog Ini