Ceritasilat Novel Online

Untuk Sebuah Pengabdian 3

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata Bagian 3


bicara. Biar semuanya menjadi jelas, dan kita bisa menyusun
rencana selanjutnya Untuk memecahkan hal ini," Usul si Jabir
mencoba mendinginkan suasana.
Lelaki gendut itu pUn tampak mUlai melemah hatinya, "Baik.
Baiklah. Janggut, coba kaUceritakan semuanya."
Setelah memandangiwajah pimpinannya,siJanggUtkemudian
mulai menceritakan asal mula kejadian yang menggagalkan
perjalanan mereka malam itu. Mulai dari mendengar suara batuk
anakmudayang menjadi penghalang merekaitu hinggabagaimana
perjalanan mereka bisa sampai ke gudang penampungan di hilir
Sungai Luk Buhaya dengan susah payah.
Lelaki itU manggut"manggut dan berubah sedikit iba
mendengar cerita si Janggut. Namun, sesungguhnya, hatinya
sangat geram menerima kegagalan anak buahnya itu.
"Hm", sekarang ketahuan belangnya. Ternyata kaU hanya
seorang pengecut, Janggut!" ucapnya kepada si Janggutyang baru
saja selesai menceritakan kehebatan mUsuhnya. "Menghadapi
seorang tikus kecil itu saja kau sudah kalah sebelum bertarung.
Apalagi menghadapi orang banyak. Jauh sekali dengan
kelompoknya Brewok dulu. Mereka selalu mampu menghabisi
tikus- tikus yang mencoba menghalangi perjalanan mereka.
SUpaya kautahU, orang" orangdesa di sana tidak ada yang berani
dengan kelompokmu adalah karena mengingat kekuatan dan
kekejaman kelompok Brewok dUlU. Mereka belum tahu kalau si
Brewok sudah tid ak bersama kita lagi. Kaud engar itU pengecut"!"
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
rrTetapi, ia tidak seorang, Bos," ujar si Janggut memberi
alasan. "Tidak peduli! Yang jelas kau memang pengecut, Janggut!"
bentak lelaki gendut lagi. "S ekarang bagaimana dengan si Rompa,
ha"!" "Ia tidak bisa ikut, Bos. Kepalanya terkena pukulan berat anak
muda itu. Sekarang ia sedang di tenda bersama yang lainnya. Dia
terpaksa harUs istirahat dulu, Bos."
"Lalu, siapa anak muda itu, Janggut"! Akan kUpatahkan
lehernya nanti!" "Kami juga belum mengetahuinya, Bos. Tampaknya ia
penduduk baru di daerah sitU. Kami telah menyuruh Lantur Untuk
menghubungi Bang Bakir ke Desa Halimun dan si Engot ke Desa
Lasung Gangsa untuk menemui Bang SUruk agar menyelidiki
orang itu. Mudah-mudahan salah satunya segera mendapatkan
keterangan." "Hm... bagus!" ucap lelaki gendut itu puas, "Kapan kira-kira
mereka datang kemari, Janggut?"
"S ecepatnya, Bos. Kalau sudah berhasil mendapatkan
keterangan yang cukuptentang orang itu, barangkali besok malam
mereka sudah sampai ke sini."
"BagU s. BagUs. Lebih cepat lebih baik. Kita harUs segera
menyingkirkan orang itu. Tampaknya ia bakal membahayakan
usaha kita bila kita terlambat bertindak."
"Iya, Bos.Orangitu harus segerakitasingkirkan," ujarsiJanggut
membeo. N amun, sang pemimpin tam pak tidak menghiraukannya
lagi. Lelaki gendut itu malah berpaling ke arah si Pulan.
"Pulan, sekarang apa rencana kita selanjutnya. Barangkali
kaupunya pendapat." "Em... sebaiknya kita menunggu keterangan dari Bang Suruk
dan Bang Bakir dulu, Bos. Mungkin merekatidak terlalu lama lagi
akan datang." "Kau bagaimana, Jabir?"
"Oh, saya sependapat saja, Bos. Sebab, keterangan mereka
tentu sangat berguna bagi pertimbangan kita selanjutnya," jawab
si Jabir sem au perutnya.
"Yang lain punya pendapat?"
"Kami menurut saja, Bos," sahut beberapa orang lainnya.
"Kalau begitu, kita terpaksa diam dulu dalam dua"tiga hari ini.
Sekarang kita boleh bubar," ucap lelaki gendut botak itu sambil
berlalu menin ggalkan anak buah nya ke ruangdalam. Keenam oran g
yang ditinggalkannyaitu pun segera berpandangan satu sama lain
sambil tersenyum-senyum. Mereka merasa senang karena tidak
sempat mend apat tamparan atau dipecat dari pekerjaan mereka.
Keesokan harinya, orang"orang lelaki bertubuh gendut itU
tampak semakin gelisah menunggu kawan mereka yang belum
juga kelihatan batang hidungnya. Mereka menjadi cemas kalaukalau kedua orang utusan itu pun mengalami hal yang sama
dengan mereka. Terbayang oleh mereka bagaimana orang muda
itu mengobrak"abrik si Lantur sebelum sampai ke rumah orang
yang bernama Bakir, atau si Janggut sebelum ia sampai ke Desa
Lasung Gangsa. Mereka sungguh tidak mengetahui kalau orang
muda yang mereka takuti itU saat ini telah berada di tengah
anggota Kepolisian Sektor Kecamatan Kintapura sejak berjam"
jam yang lalu. Tidak terlalu jauh dari tem pat mereka di Kintapura
itu, Joko sesungguhnya tengah asyik berbincang-bincang dengan
Sersan Siswanto dan para bawahannya di kantor Polsek. Mereka
tengah mengatur siasat untuk menggulung sindikat penebangan
liar itu. Dua hari kemudian, Bang Bakir dan lantur datang dengan
tergesa"gesa menuju rumah mewah di pinggiran kota kecamatan
itu. Saat itu hari sudah menjelang malam. Lelaki gendut yang
menjadi pimpinan mereka itu pun tampak dengan tergopohgopoh menyuruh kedua tamunya itu masuk ke ruang belakang
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
rum ahnya. Bakir dan Lantur segera duduk di tengah kawan"kawan
yang telah menunggunya di ruang rahasia itu sejak tadi.
"Bagaimana, Bakir" Kau sudah mendapatkan keterangan
tentang tikUs kecil itU?" tanya lelaki gendut tak sabar sambil
menghempaskan pantatnya di atas kursi goyangnya. Matanya
tajam menunggu jawaban si Bakir. Sesekali mulutnya menghisap
pipa rokok dan menghembuskan asapnya pelan-pelan hingga
terbUrai beterbangan memenuhi ruangan.
"Beres, Bos," jawab si Bakir pasti, "saya sudah mengetahui
siapa anak muda yang menjadi duri dalam usaha kita itu."
"Siapa dia sebenarnya, Bakir?"
"Ah, tidak masuk di akal rasanya, Bos. Orang seperti dia
ternyata memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi. Orangnya
tidak tampak kekar seperti jago silat. Penampilannya lembut dan
ramah. Wah, pokoknya sulit bisa kita percaya kalau orang macam
dia yang melakukan semua itU. Tetapi, dari keterangan Lantur,
jelas bahwa dialah orangnya. Hanya dia orang baru yang ada
di Desa Halimun. Apalagi dengan logat bahasanya yang sangat
kentara itu." "Iyaaa..., tetapi siapa sebenarnya anak muda itu, Bakir" Tidak
Usah berteletele seperti itu."
"Iya, Bos. Kalau tidak salah, namanya... Joko Pranowo, Bos.
Ia seorang guru baru yang ditempatkan di Desa Halimun."
"Hm... jadi, dia seorang gUru rUpanya. Kita harUs lebih
berhati"hati menghadapinya. Lalu, dia seorang teman"temannya
itu, Bakir?" "Soal itu... sampai sekarang saya belum dapat memastikan
siapa mereka itu, Bos. Tetapi, saya yakin, mereka tidak terlalu
banyak. Mungkin hanya lima atau enam orang."
"H m... begitu. Sekarang bagaim ana pendapatmu
tentang rencana kita selanjutnya. Apakah mungkin kita bisa
menyingkirkannya, Bakir?"
"Wah, itu harus, Bos. Kita harus bisa menyingkirkan tikus"
tikus yang mengganggu kelancaran usaha kita. Apalagi kalau
hanya seorang gurU muda itu."
"Tetapi, kita harus menemukan cara menyingkirkannya yang
terbaik dalam waktu yang cepat."
"Kita serang saja secara sembunyi"sembunyi dari belakang,
atau kita serang rumahnya beramai-ramai. Pasti gUru muda itU
tidak bisa berkutik lagi."
"Wah, saya kita itu tindakan yang terlalu gegabah, Bang
Bakir," Ujar si Pulan mencoba buka suara. "Menghadapi orang
seperti dia tidak akan semudah itu. Kalau cara itu kita lakukan,
maka usaha kita akan hancur sia"sia. Rahasia kita akan terbongkar.
Dia adalah pegawai pem erintah yang keberadaannya di desa itU
pastilah diketahui oleh para atasannya. Oleh karena itu, kita harus
berusaha agar dia terjebak dalam perangkap kita. Itu yang harus
kita atur." "Nah, itu usul menarik. Bagus! Kita harus membuat agar dia
terjebak dalam rahasia yang telah kita atur. Kita harus mencari
jalan untuk itu. Coba, bagaimana caranya, Pulan?"
Lama si Pulan mem ikir"mikir mencari jalan agar bisa menjebak
guru mudaitu. Tetapi, agaknyajalan pikiran si Pulanjustru semakin
bUntU oleh pikiran"pikiran lainnya yang tidak karuan.
"Bagaimana kaU, Janggut?"
"Saya, Bos. Ah, otak saya tidak bisa berpikir lagi, Bos."
"Dasar! Kau memang cuma bisajadi kerbau, Janggut!"
"Kerbau, Bos" Iya, kitatidak bisa menarik batang-batang kayu
itu tanpa bantuan kerbau, Bos."
"Tolol!" hujat lelaki gendut itu sambil memelototkan matanya
ke arah si Janggut. Kemudian, ia berpaling ke arah si Bakir yang
tampak maU angkat bicara lagi.
"Bagaimana, Bakir?"
"Sekarang saya ingat, Bos. Kita harUs menggunakan orang lain
untuk menjebaknya. Di Desa Halimun masih ada sekelompok
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
orang yang tidak menyukai kehadiran guru muda itu. Mereka
adalah bekas para peladang berpindah yang cara berladangnya
pernah dilarang oleh gurU muda itu. Namun, diam"diam ada
juga yang masih melakukannya. Bahkan, beberapa waktu lalu
saya berhasil menghasut mereka agar menyingkirkan guru muda
yang rewel itu. Sebab, saya berpikir bahwa orang cerewet seperti
dia bakal menyusahkan komplotan kita pada suatu ketika nanti.
Tetapi, ia memang cukup cerdik untuk mengatasi semua itu. Ia
mengandalkan Pak Kades untuk mengatasi kemarahan penduduk
yang menyerang ke rumahnya. Tentu saja mereka kemudian tidak
berani membantah lagi."
"Lalu?" "Yah, kita gunakan saja oran g"orang itU. Kita pilih beberapa
orang yang bisa dipercaya, baru kita jelaskan maksud kita
mengajaknya bekerja sama. Saya yakin, pasti di antara mereka
masih ada yang menaruh dendam kepada gurU muda yang sok
tahu itu." rrTerus?" "Mereka kita suruh untuk memancing guru muda itu agar
kembali menghadang kelompok Bang Janggut di tempat dulu
dengan berpura-pura akan membantunya. Kemudian, kita
tentukan waktunya dengan tepat. Nah, setelah dia sampai di
tempat itu, baru kita keroyok bersama-sama. Bagaimana?" Ujar
Bakir menyampaikan rencana jahatnya.
"H a, ha, ha. Hebat! Kau memang hebat, Bakir.Tidak sia"sia saya
memilihmu sebagai mata"mata. Mari bersama"sama kita ringkUs
tikus kecil itu. Ha. ha. ha. Lalu kau, Janggut. Kali ini kalian tidak
boleh gagal lagi. Ha, ha, ha!" sambut sang pemimpin komplotan
penyelundUp itU dengan tawanya yang segeradisambut pula oleh
tawa keras para anak buahnya. Seakan mereka sudah yakin benar
akan keberhasilan rencana jahatnya itu.
Dua Belas Tiga hari sudah Joko menginap di rumah Sersan Siswanto yang
terletak di samping Kantor Polsek Kecamatan Kintapura. Banyak
sudah perbincangan mereka seputar rencana penumpasan para
penebang liar itu. Joko juga banyak mendapatkan penjelasan dan
petunjuk"petunjuk Untuk pelaksanaan rencana yang telah mereka
atur. Kini Joko merasa sudah saatnya Untuk berpamitan dan akan
kembali ke Desa Halimun yang sunyi. Waktu masuk sekolah
Untuk caturwulan ketiga kini tinggal sehari lagi. Besok lUsa ia
harUs kembali mengajar seperti biasadi sekolahnya. Ia juga sudah
merasa rindu untuk bertemu dan melihat kembali wajah"wajah
lUgu anak didiknya di desa di balik timbunan hutan itu.
"Pak Sersan, rasanya saya sudah saatnya untuk kembali ke
Desa Halimun. Besok lusa saya harus kembali bertugas mengajar
di sana seperti biasa lagi. Mudah"mudahan segala rencana kita
bisa berjalan lancar. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih
banyak atas segala bantuan dan kebaikan Bapak sekeluarga selama
saya di sini. Sekalian saya juga mohon pamit, Pak," ucap Joko Pagi
itu menjelang kepulangannya kembali ke Desa Halimun.
"Ah, kaU tidak perlu lagi memanggil saya dengan sebutan
Pak Sersan, Dik Joko. Anggaplah saya ini kakakmu sendiri.
Panggilah saya Mas Wanto saja. Begitu kan terasa lebih akrab dan
kekeluargaan. Kita ini sama-sama hidUp di perantauan. Hanya
bidang pekerjaan saja yang mem bedakan kita", Ucap Sersan
Siswanto ramah. "Ah, maafkan saya Pak Sersan. Sulit rasanya saya harus
memanggil Bapak dengan sebutan itu."
"Tidak akan berat, Dik Joko. Asal dibiasakan, lama"lama nanti
akan terbiasa juga. Mulailah dari sekarang."
"Baiklah, Pak Sersan, eh, Mas Wanto," Ujar Joko agak kaku
dan ter" senyu m"senyUm lUcu.
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"N ah, begitu. Sekarang kau akan kuantarkan sampai ke
Desa Salamah Kau tidak perlu naik ojek ke sana. Nah, tunggulah
sebentar! Saya akan mengeluarkan kendaraan dulu."
Sebentar kemudian, Sersan Siswanto telah siap dengan sepeda
motornya Untuk m engantarkan Joko. Mereka pun segera berangkat
menuju Desa Salaman yang cUkUp jauh dari kota Kecamatan
Kintapura. Jalan menuju ke sana mem ang tidak beraspal sehingga
sepanjang perjalanan mereka harus terus" menerus menerobos
dalam kabut debu di musim kemarau seperti ini Jika musim hujan
telah tiba, kabut debu itu akan digantikan oleh becek dan lumpur
tanah pegunungan. Maklumlah jalan itu merupakan jalan satusatunya menuju desa"desa yang ada di sekitar hutan Kintapura
yang sangat luas itu. Sesampainya di Desa Salaman, Sersan Siswanto kembali
mengingatkan segala pesan-pesan yang telah disampaikannya.
Kemudian, ia juga mengingatkan kembali akan pentingnya alat
komunikasi yang diberikannya kemarin.
"O, ya, Dik Joko. Jangan lupa dengan fungsi alat itu. Pesawat
radio itU merUpakan satu"satunya alat komunikasi termudah bagi
kita yang berjauhan seperti ini. Nanti setelah sampai di rumah,
lebih baik langsung saja memasang antenanya dengan bambu
yang cukup tinggi. Jangan sampai terlindung pepohonan di
sekelilingnya. Karena hal itu dapat menghambat arUs penerimaan
pesan atau daya tangkap suara pada pesawat radio itu. Tetapi,
apabila kau terpaksa membawanya ke luar rumah, tentu yang


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dipergunakan hanya antena tariknya saja. Tentu saja daya
tangkapnya semakin berkurang. Hanya bisa berkomunikasi dalam
jarak yang tidak terlalu jauh. Jadi, pada waktunya nanti kita hanya
akan bisa berkomunikasi apabila jarak kita sudah cukup dekat.
Hal itU berarti kau sudah boleh beraksi. Nah, saya kira itU saja
yang perlu saya ingatkan kembali."
"Terima kasih, Mas Wanto. Nanti akan segera saya pasang
antenanya setiba di rumah.
"Nah, sekarang ada yang perlu kautanyakan lagi, Dik Joko"
Mumpung kita belum berpisah."
"Saya kira sudah cukup, Mas."
"Kalau begitu, saya segera saja kembali ke Kintapura."
"Selamat jalan dan terima kasih banyak, Mas."
"Iya. Kau juga harus lebih waspada. Selamat tinggal, Dik
Joko. Mudah- mudahan rencana kita bisa berhasil dengan baik,"
ujar Sersan Siswanto lalu menghidupkan mesin kendaraannya.
Sejenak kemudian ia telah berlalu meninggalkan tempat itu.
Kini tinggal Joko sendirian berdiri sambil menatap kepergian
Sersan Siswanto. CukUp lama ia menunggu perahu kelotok yang
akan berangkat ke LasU ng Gan gsa. Ketika ada sebuah perahu yang
segera berangkat ke sana, ia langsung naik untuk meneruskan
perjalanannya. Berjam-jam kemudian, sesampainya di Desa Halimun,
Joko tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia mampir sebentar
ke rumah Pak Kades yang terletak di tengah desa itu. Kepada
Pak Kades kemudian ia ceritakan pertemuan dan rencana yang
telah disUsUnnya bersama satuan kepolisian dari kecamatan. Pak
Kades menyambut baik rencana yang disampaikan Joko. Bahkan,
ia menyarankan agar rencana itU bisa secepatnya dilaksanakan.
Setelah pembicaraan itu selesai, Pak Kades melangkah ke kamar
dan kemudian keluar kembali membawa sepucuk surat. Ia
menyerahkan surat itu kepada Joko.
"Ini surat untuk Pak Guru."
"Dari siapa, Pak Kades?" tanya Joko agak heran melihat
amplop surat itu tanpa pengirim.
"Bukalah dahulu. Surat itu saya temukan pagi kemarin di
bawah pintu depan. Mungkin seseorang telah menyusupkannya
disana pada malam harinya. Sudahlah, buka dan bacalah dahulu
apa isinya." "Membingungkan, Pak Kades. Kalau tujuannya untuk saya,
mengapa mesti disusupkan ke rumah sini. Sudah tanpa pengirim,
tanpa sepengetahuan orang pula datangnya."
94 -'._', ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"Entahlah. Mungkin karena saat itu Pak Guru belum ada di
rumah. Tetapi, mungkin pula ada maksud-maksud lain yang juga
ditujukan kepada saya sebagai kepala desa di sini."
"Ya mungkin juga. Semua memang belum jelas, Pak Kades.
Tetapi, apa sebenarnya isi surat ini," Ujar Joko sambil membuka
amplop surat di tangannya. Dengan dada berdebar"debar guru
muda itU kemudian mulai membaca isi surat yang hanya terdiri
dari kalimat"kalimat pendek itu. Begitu selesai membaca dan
memahami maksud surat itu, sontak rona wajahnya berubah
memerah. Tubuhnya terasa mengeluarkan keringat dingin.
Ternyata surat kaleng itu berisi sebuah ancaman pembunuhan
terhadap dirinya dan semua orang yang berusaha menghalanghalangi komplotan penebang liardalam menjalankan operasinya
di wilayah hutan Kintap itu.
"Mengapa, Pak Guru?" tanya Pak Kades ketika melihat
perubahan di wajah Joko. "Ah, rupanya ini surat orang gila, Pak. Coba Pak Kades baca
sendiri apa isinya," jawabJoko singkat, lalu memberikan kembali
surat itu kepada Pak Kades.
Wajah Pak Kades mendadak pula berubah geram setelah
membaca kalimat-kalimat ancaman dalam surat kaleng itu. Tidak
disangkanya kalau ada seseorang telah berani berbuat kurang ajar
seperti itu. "AstaghfirUllah! Siapa yang telah berani menulis surat seperti
ini. Keterlaann sekali orang itu. Barangkali orang itU sudah
menjadi antek"antek mereka, komplotan yang merasa terganggu
itu. Ah, mungkinkah ia salah seorang penduduk desa ini, Pak
Guru?" " Mungkin saja begitu, Pak Kades. Sejak semula saya juga
sudah merasa curigajika di Desa Halimun ini komplotan itu telah
memasang mata"telinga mereka dengan memperalat seseorang.
Mereka tampak cepat sekali menerima kabar bila ada seseorang
yang mencoba menghalangi operasi gelapyang selama ini mereka
jalankan. Tetapi, sayang sampai hari ini saya belum melihat bukti
maUpun hal-hal yang mencurigakan dari orang yang diperalat itu.
Mereka tampaknya pandai sekali menyimpan rahasia."
"Kalau begitu, sekarang Pak Guru sedang terancam. Saya
khawatir kalau mereka main bokong dari belakang. Sebaiknya
mUlai sekarang Pak GurU tinggal di sini saja Untuk menghindari
kemungkinan itU. Berbahaya kalau tetap tinggal di rumah yang
sunyi itu sendirian."
"Ah, Pak Kades tidak usah terlalu cemas dengan keselamatan
saya. Saya yakin orang itu hanya bermaksud iseng untuk menakut"
nakuti agar saya tidak berani lagi tinggal di desa ini. Tampaknya
ada sekelompok orang yang tidak puas dengan sikap saya selama
ini. Hal ini, kemungkinan masih berkaitan dengan masalah yang
telah saya ceritakan tadi. Namun, Pak Kades tidak Usah terlalu
khawatirdengan masalah itU."
"Iya, tetapi Pak Guru perlu lebih waspada!"
"InsyaAllah, Pak Kades. Saya akan selalu berhati-hati. Biarlah
untuk sementara saya ingin tinggal di rumah dulu."
"Yah... itu terserah Pak Guru saja. Tetapi, pikirkanlah sekali
lagi. Di rumah ini ataUpun di rumah lain bagi saya tidak menjadi
masalah. Yang penting Pak Guru merasa lebih aman."
"Nanti akan saya pikirkan kembali, Pak. Sekarang saya mohon
pamitdulu. Sudah beberapa hari sayatidak menengok rumah lagi.
Mungkin sudah berantakan diganggu tikUs."
"O, ya, Pak GurU. Bagaimana dengan rencana itu" Apakah
sersan dan anak buahnya sudah menentukan kapan waktunya?"
"Waktunya memang belum dipastikan, Pak Kades. Kami
akan melihat perkembangannya dah ulu. Baru akan kami tentukan
waktu penggerebekan itu bila keadaan sudah sangat mendesak."
"Tetapi, Untuk berhubungan dengan mereka harUs memakan
waktu yangtidak cukup sehari. Jarak kecamatan dengan desa ini
terlalu jauh rasanya. Itu justru bisa mengacau kan rencana yang
sudah disusun" ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
"Insya Allah tidak begitu, Pak Kades. Sebab, kami bisa
dengan mudah berhubungan dengan menggunakan pesawat
radio ini. Walaupun tidak langsung bertatap muka, pesan-pesan
dapat dikirim dan diterima dengan sangat cepat," tutur Joko
sambil memperlihatkan sebuah pesawat radio kecil yang biasa
digunakan oleh anggota ORARI, kepolisian, atau dari satuan
organisasi lainnya. Pak Kades merasa tertarik melihat alat itu. Kemudian, ia
mengambil dan mengamat"amatinya sambil manggut"manggut.
Namun, sesungguhnya ia sama sekali tidak mengerti bagaimana
cara kerja alat komunikasi yang sedang dipeganginya itu.
Bentuknya memang mirip seperti radio transistor biasa, namun
fungsinya tidak sekadar sebagai alat penerima pesan. Iajuga bisa
digunakan Untuk mengirim pesan kepada orang yang ditujukan
sehingga terjadilah komunikasi dua arah seperti halnya cara
kerja telepon. Hanya saja tidak menggunakan kabel sebagai alat
perantara suara. Setelah beberapa lama Joko terpaksa menunggu Pak Kades
mengamat"amati pesawat radio itu, kemudian ia segera minta
diri untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah. Akan tetapi,
sesampainya di rumah, kembali ia dikejutkan oleh sepUcUk
surat yang diselipkan di bawah pintu masuk rumahnya. Ia segera
membuka dan membaca surat kaleng yang kedua itu. Ternyata
isinya sama persis dengan surat pertama yang diselipkan di bawah
pintu rumah Pak Kades, yaitu sebuah ancaman pembunuhan
terhadapnyadan siapa pun yang mencoba menghalangi gerak para
penebang liar yang mengaku sebagai pengUsaha hutan Kintap.
Surat itU kemudian dimasukkannya kembali ke dalam
amplopnya dan disimpannya ke dalam lemari pakaian. Kini baru
terasa lelahnya perjalanan yang ditempuhnya dari kecamatan
hingga sampai ke ujung Desa Halimun. Apalagi dengan datangnya
dua pucuk surat ancaman itu. Rasa lelahnya semakin bertambah.
Pikirannya bertambah runyam. Kepalanya terasa semakin berat
dan berdenyut"denyut. Kemudian, dihempaskannya tubuhnya di
atas pembaringan untuk menghalau semua kegelisahan itu. Tetapi,
semakin ia berUsaha menghindari, semakin terasa pikirannya
bertambah runyam. Kini guru muda ini terhenyak dalam dunia
bayangan. Dunia kemustahilan.
Dalam keadaan galau seperti itu, tiba-tibaJokoteringatwajah
Cenut yang lugu. Ia teringat kebaikan hati Pak Lumbah. lateringat
segala jasa baik keluarga itu kepadanya selama ini. Lalu, ia segera
bangkit dan bermaksud mengadukan permasalahan itU kepada
Pak Lumbah yang sudah seperti keluarganya sendiri. Ia melangkah
gontai membawa beban yang menghimpitnya.
Di halaman rumah kecil itU tampak Cenut sedang sibuk
menata kayu bakar ke kolong rumah yang bertiang cukUp tinggi.
Maklumlah! Sebagai pemukiman yang berada di tengah hutan,
rumah"rumah di daerah ini harUs dibangun dengan tiang yang
cukUp tinggi untuk menghindari serangan binatang liar dan buas.
Anak itu langsung menghentikan pekerjaannya ketika melihat
gurunya memasuki halaman rumah. Tangannyayang kotor segera
diusap"usapkan ke bagian belakang kain celana pendeknya.
"Ee, Pak Guru. Baru datang, Pak?" sapa Cenut kemudian.
"Iya, baru saja. Bapak ada Nut?"
"Ada di dalam, Pak. Silakan masuk!"
Joko langsung saja masuk ke ruang depan rumah itu tanpa
harUs merasa segan lagi seperti awal kedatangannya dUlU. Kini di
rumah itu Joko seperti sudah bukan orang lain lagi. Pak Lumbah,
Cenut, dan lebih"lebih ibunya selalu mem perlakukan Joko seperti
anggota keluarga sendiri.
Rupanya Pak Lumbah saat itu sedang beradadi ruang tengah.
la asyik dengan pekerjaannya mengurai bibit bayam yang baru
sajadiangkat dari jemuran. Bibit sayuran yang sudah dikeringkan
itu, kemudian disimpannya ke dalam kaleng sebagai persiapan
menyongsong musim hujan yang sebentar lagi akan tiba. Joko
melangkah mendekatinya. Orang tUa itu tampaknya tidak
menyadari kehadiran Joko di dekatnya.
";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
r"Nah, wah, sedang sibuk rupanya. Apa yang sedang
dikerjakan, Pak?" sapa Joko mengagetkan lelaki setengah baya
itU. "E e, Pak Guru. Beginilah yang namanya petani. Dari jauh-jauh
hari sudah harus menyiapkan bibit yang akan ditanam menjelang
musim hujan nanti. Mari, Pak Guru. Kita omong-omong di ruang
depan saja Di sini sedikit sumpek rasanya. Mari, Pak Guru," ujar
Pak Lumbah mengajak Joko duduk ke ruangtamu rumahnya. Joko
pUn segera pula mengikutinya ke ruang depan. Di situ kemudian
keduanya melanjutkan obrolan dengan santai. Pak Lumbah mulai
menggulung tem bakaunya dengan selembar kertas rokok sambil
membubuhkan saos dan cengkih. Sebentar kemudian, di antara
kedua bibirnya yang tampak sudah menghitam itu telah terselip
sebatang rokok yang segera pula dinyalakannya. Kini tampak ia
mengisap dan mengembUskan asapnya pelan"pelan.
"Katanya kemarin Pak GUru pergi ke kecamatan, kapan
datangnya?" tanya Pak Lumbah ingin tahu.
"Baru satu jam yang lalu, Pak."
"O, begitu. Kenapa tidak lama"lama" Kan jarang ada
kesempatan bisa ke kecamatan, Pak Guru."
"Yah... maunya memang agak lama. Tetapi, besok hari Senin,
anak"anak sudah harUs masuk sekolah kembali. Jadi, saya juga
harUs secepatnya pula ke sini. Kasihan, rasanya anak"anak kalau
tidak ada gurunya, Pak. Mereka sudah lama tidak punya guru
tetap di sekolah itu. Lagi pula, untuk apa saya berlama"lama di
Kintapura. Di sana juga tidak ada sanak"famili saya. Pak."
"N ah, makanya Pak GurU cepat"cepat saja mencari istri.
Biar tidak terlalu kesepian lagi di rumah. Kalau bisa tidak usah
jauh"jauh mencarinya. Biar tetap tinggal di desa ini saja" ujar Pak
Lumbah berkelakar. "Ah, bisa saja Pak Lu mbah. Saya belum berpikir ke san a. Pak.
Rasanya saya belum saatnya berumah tan gga."
"Alaa, Pak GurU. Macam"macam saja alasannya. Menunggu
apalagi?" "Benar, Pak. Saya belum berani berpikir untuk itu. Lagi pula,
UmUr saya sekarang baru menginjak dUa puluh tiga tahun. Belum
sesuai dengan program Keluarga Berencana, Pak. Paling tidak
saya harus berumur dua puluh lima. Bahkan, kalau bisa lebih dari
itU," jelas Joko sambil tertawa"tawa kecil.
"Yah... terserah Pak GUru saja," Ujar Pak Lumbah mengalah.
"O, ya, bagaimana kabar dari kecamatan. Apa sudah dilaporkan
ke pihak kepolisian?"
"Pak Lumbah sudah mengetahuinya?"
"Cenut sudah menceritakan tentang kejadian malam itu."
"Ooh..." sahutJoko sambil mengangguk"angguk, la berhiirap
oranglain belum adayangmengetahui peristiwa yang dirahasiakan
itu. "Mudah-mud ahan Cenut maUpUn kedua kawannya tid ak
menceritakan hal itu kepada sembarang orang," batin Joko saat
itU. Joko lalu menceritakan semuanya kepada Pak Lumbah. Mulai
dari peristiwa yang terjadi pada malam itu bersama Cenut dan
kedua kawannya hingga tentang rencan anya bersama satuan
kepolisian untuk melakukan penggerebekan terhadap komplotan
penebang liar itu. Diceritakannya pula tentang surat ancaman
yang baru diterimanya sepulang dari kecamatan. Joko meminta
pertimbangan kepada Pak Lum bah bagaimana sebaiknyamengatasi
masalah itU. Namun, rUpanya pemikiran Pak Lumbah tidak jauh
berbeda dengan yang dikemukakan Pak Kades sebelumnya.
"Kalau begitu keadaannya, untuk sementara Pak GUru lebih
baiktinggaldisinisaja.Palingtidak adaoranglain yangmelihatPak
Guru jika mendapat kesulitan. Kalau tetap tinggal di rumah yang
sunyi itu, rasanya keselamatan Pak Guru tetap merasa terancam.
Hati akan selalu menjadi waswas. Pikirkanlah keselamatan Pak
Guru," ujar Pak Lumbah memberi saran.
Demikianlah, setelah cukup lamaJoko menimbang-nimbang
saran Pak Lu mbah dan Pak Kades Untuk mengosongkan rumahnya.
Akhirnya, ia pUtUskan juga menuruti saran Pak Lumbah. Sejak hari
10"

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
itu Joko meninggal kan rumahnya dan tinggal bersama keluarga
Pak Lumbah selama keadaan dirasanya masih rawan. Ia memilih
lebih baiktinggal di rumah kecil itu daripadadi rumah Pak Kad es,
agar segala gerak-geriknya tidak banyak diketahui orang. Hal itu
tidak lain sUpaya rencana yang telah disUsUnnya dengan Sersan
Siswanto dan para bawah annya tetap bisa dirahasiakan.
101 Tiga Belas Di bawah naungan pohon nangka yang rindang, Joko duduk
beristirahat sambil memandangi hasil pekerjaannya. Ia baru saja
merampungkan pemasangan antena radio dengan menggunakan
sebuah tiang pembantu, sebatang bambu yang tingginya lebih
kurang sepuluh meter sehingga pucuk antena itu terpasang cukup
tinggi melampaui pucuk-pucuk pohon yang tumbuh di sekeliling
rumah Pak Lumbah. Di sisi kirinya, Cenut duduk"duduk sambil matanya terUs
mengamat"amati hasil keija gurunya. Meskipun ia belum
memahami benar apa sesungguhnya fungsi antena itU, tetapi ia
dapat membayangkannya sebagai alat bantu untuk menerima
su ara pada pesawat radio yang dibawa Joko dari kecamatan itu.
"Tinggi sekali memasang antenanya, Pak?" tegur Cenut sambil
terUs memandangi pUcUk antena radio itu.
"ItU memang harUs tinggi, NUt. Lebih tinggi akan lebih baik.
Semakin tinggi kita memasang antenanya, semakin jaUh pula
jangkauan suaranya yang bisa diterima dan dikirim. Meskipun
tUjUan kita sebenarnya hanya sam pai ke kecamatan," sahut Joko
menjelaskan. "Oo, saya kira sembarangan saja memasangnya, Pak."
"Tidak bisa, Nut. Cara memasangnya saja harus menuruti
petunjuk"petunjuk khUsUs. Kalau tidak, yah... kita akan sia"
sia membawa alat itU. Sama saja dengan orang yang tidak
memilikinya." "Dari mana Pak Joko mendapatkan pesawat radio itu?"
"Dari Sersan Siswanto di kecamatan. Beliau adalah Kepala
Kepolisian Sektor Kecamatan Kintapura, atau sering disebut orang
secara singkat dengan Kapolsek saja. Kebetulan selama di sana
saya menginap di rumahnya. Kami telah banyak berbincang"
1"2 ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
bincang tentang rencana pengepungan para penebang liar itu.
Sebab, perbuatan mereka sudah melanggar hukum dan dapat
membahayakan masyarakat banyak. Setiap pelanggar hukum
harus menerima sanksi yang setimpal dengan perbuatan mereka.
Sesuai dengan hukum yang berlaku di negara kita."
"Apakah Pak Joko juga sudah menceritakan kejadian yang
kita alami seminggu yang lalu itu, Pak?"
"Iya. Itu harus, Nut. Semua telah saya ceritakan kepada
Sersan Siswanto dan para bawahannya di kantor itu. Malah
kami sudah menyusun siasat untuk menggerebek para perusak
lingkungan itu. Pengepungan itu nanti justru harus dilakukan
bersama-sama dengan kita. Jelasnya, kitalah nanti yang akan
menjadi umpan untuk memancing orang-orang itu agar keluar
dari tempat persembunyiannya. Nah, karena itu, kau harUs ikut
belajar pula menggunakan pesawat radio itu. Sebab, jika saya
sedang berhadapan dengan orang-orang itu, kau masih bisa
melanjutkan hubungan dengan pihak kepolisian yang akan
melakukan pengepungan. Engkau dapat memberikan keterangan"
keterangan tentang hal"hal yang terjadi kepada mereka. Kau mau
kan, Cenut?" "Wah,. tentu dengan senang hati, Pak. Tetapi, bagaimana
melakukannya" Saya belum mengerti sama sekali."
"Mudah saja. N ah, mari kitan aik ke rU mah Untuk mencobanya.
Nanti kaUperhatikan baik-baik."
CenUt pUn segera pula mengikuti langkah gurunya menuju
rumah. Mereka memasuki ruang dalam di mana pesawat radio
itu diletakkan. Joko kemudian mengambil pesawat radio itu
dan langsung memasang kabel yang menghubungkannya
dengan antena. Setelah itu ditekannya tombol "on" untuk
menghidupkannya, dan lampu kontrol tampak menyala. Namun,
berkali"kali ia mengutak"atik alat canggih komunikasi jarak jauh
itu, belum juga menangkap satu suara pun. Ia terpaksa kembali
meneliti apa-apa yang telah dikerjakannya sambil mengingat103 ingat petunjuk yang telah diberikan Sersan Siswanto tempo hari.
Beberapa saat kemudian, barulah suara-suara orang yang sedang
berkomunikasi dapat ditangkap dengan jelas.
"Wah, suaranya keras seperti radio transistor biasa, ya, Pak.
Apakah radio ini juga menggunakan tenaga baterai, Pak?"
"Iya. Alat ini kebetulan memakai tenaga baterai. Sebab, kita
tidak punya aki atau mesin listrik. Karenanya saya cukUp banyak
membawa persediaan baterai dari Kintapura. Kalau tidak, nanti kita
tidak bisa lagi menghubungi pihak kepolisian. Dengan demikian,
rencana akan gagal berantakan."
"Lalu, bagaimana cara menggunakannya kalau kita ingin
mengirim suara atau pesan kepada orang lain, Pak Joko?"
"Coba lihat tombol di samping ini, NUt. Ini fungsinya Untuk
menyambung dan memutuskan bila kita sedang mengirim pesan.
Jika kita yang ingin mengirim pesan, tekan saja tombol ini selama
kita masih berbicara. Jika kita ingin menerima pesan kembali,
maka tombol ini harus kita lepaskan. Begitulah selanjutnyajika
kita sedang berkomunikasi dengan seseorang. Nah, sekarang coba
perhatikan. Saya akan mencoba menghubungi Sersan Siswanto di
kecamatan ." Joko kemudian menekan angka-angka yang tertera di atas
tombol-tombol kecil bagian depan radio sesuai dengan nomornomor yang telah diberikan Sersan Siswanto tempo hari. Setelah
itu, terdengar komunikasi jarak jauh antara Joko di Desa Halimun
dengan Sersan Siswanto di Kecamatan Kintapura. Sesekali
terdengar humor dan tawa di sela pembicaraan mereka. Akrab
sekali kedengarannya. Cenutyangterkagum"kagum mendengarkan
pembicaraan Sersan Siswanto dengan gurunya itU serasa seperti
sedang bermimpi. Kini telah disaksikannya sendiri sebuah alat
komunikasi jarak jauh hasil teknologi canggih yang lebih praktis
daripada telepon yang pernah diketahuinya dari cerita oran g"
orang tua. Namun, mimpi Cenut itu tiba-tiba saja terhenti oleh
suara seseorang di luar. Cenut segera bangkit dan melangkah ke
10" ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
ruang depan mencari asal suara itu. Di depan pintu dilihatnya
seorang pemuda bernama Tobor dengan seorang kawan yang
belum dikenalnya. "Oo, Kak Tobor. Mencari siapa?"
Pemuda yang dipanggil Tobor itU tersenyum"senyum sambil
ekor matanya melirik-lirik ke dalam rumah. Sementara yang
satunya hanya diam memandangi Cenut.
"Bapak ada, Nut?" Tobor balik bertanya.
"Sedang ke ladang."
"Lalu, dengan siapa Cenut di dalam tadi?"
"Bersama Pak Joko. Kebetulan ia sedang ke sini," jawab Cenut
agak gugUp. "O, kebetulan kalau begitu. Kami memang sedang mencari
Pak Joko kemari. Tadi kami sudah mencari ke rumah nya."
"Ada perlu, Kak Tobor?"
"Iya. Ada sedikityang ingin kami bicarakan. Tolong pan ggilkan
sebentar, ya, Nut?" "Ya. Silakan masukdulU, Kak. Sebentar saya panggilkan," Ujar
Cenut sambil melangkah ke ruang dalam. Sebentar kemudian, ia
telah kembali bersama gurunya.
"Eh, ada tamu rupanya. Mari silakan masuk, Bor," sapa Joko
sedikit terkejut ketika melihat siapa tamunya. Tumben orang ini
mencariku, pikir Joko saat itu.
Tobor dan kawannya kemudian masuk dan duduk di lantai
ruang depan rumah itu. MerekadUdUk berhadapan dengan sikap
agak kaku. Sementara itu, Cenut pura"pura mengerjakan sesuatu
untuk mengikuti pembicaraan gurunya dan kedua tamu itu.
"Em... maaf kalau kedatangan kami ini mengganggu Pak
Joko. Sebelumnya kenalkan ini teman saya dari Desa Kuranji,"
Ujar Tobor membuka pembicaraan setelah beberapa saat terjadi
kebisuan. 105 "O, tid ak apa"apa. Saya senang menerima kedatangan Saudara
berdua," Ucap Joko sambil menyalami kawan baru itu. "O, ya,
barangkali ada yang bisa saya bantu?"
"Em... begini, Pak Joko," ujar pemuda yang ternyata bernama
Badak itu. "Kami di Desa Kuranji telah mendengar kabar tentang
kehebatan Pak Joko ketika menghadapi komplotan penebang liar
seminggu yang lalu di pinggir Sungai Bidawang itu. Sebenarnya,
pendudukdesa kami juga sudah larnaingin bertindak menghalangi
perbuatan orang-orang itu, tetapi kami belum punya keberanian
untuk melakukannya. Semua penduduk tidak ada yang berani
memulainya, apalagi untuk menghadapinya seorang diri seperti
yang telah Pak Joko lakukan. Karena itu, kami bermaksud untuk
bekerja sama dengan Pak Joko untuk melawan mereka. Nanti Pak
Joko yang akan memimpin kami."
"Benar, Pak Joko. Saya sendiri sebenarnya juga sudah lama
ingin menghabisi mereka. Akan tetapi, selama ini sayatidak berani
melakukan semua itu seorang diri. Saya tidak memiliki ilmu silat
seperti Pak Joko. Selain itu, tidak ada teman yang mau diajak
bekerja sama menghadapi mereka. Sebab, anggota komplotan itu
cukup banyak. Tidak mungkin saya hadapi sendirian. Karenanya
saya juga ingin bergabung dengan Pak Joko," ujar Tobor dengan
bersemangat menimpali pengakuan Badak.
Joko tidak berani langsung menelan pembicaraan kedua
pemuda itu. Matanya menatap tajam ke kedalaman mata kedua
tamunya. Seolah ingin mencari kejujuran maUpUn kebohongan
yang tersembunyi di sana. Namun, ia tidak mampu menangkap
cahaya apa pun di dalamnya. Sinar kedua pasang mata itu tampak
kosong. Joko hanya mencoba bersikap seadanya.
"Baiklah Saya percaya S audara berdua punya tekad yang sama
dengan saya," ucap Joko akhirnya, masih dalam keraguannya.
Hatinya tidak yakin kalau cerita yang masih dirahasiakannya itU
sudah tersebar sampai ke Desa Kuranji yang cukUpjauh dari Desa
Halimun. Lagi pula, yang mengetahui hal itu di desa ini hanya
10" ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
Cenut, Sulung, dan adiknya, Gendut. Ia percaya kalau ketiga anak
itu tetap bisa menutup mulut. Lebih tidak masuk akal lagi jika
anggota komplotan itU sendiri yang menceritakan peristiwa yang
memalukan itu kepada orang lain. Tetapi, Joko kembali bimbang
ketika teringat bahwa Cenut telah menceritakan rahasia itu kepada
ayahnya, Pak Lumbah. "Apakah Pak Joko nanti bersedia memimpin kami?" kembali
Badak mencoba mendesak Joko. "N anti saya akan mengajak
beberapa pemuda lagi dari Desa Kuranji. Mereka bersedia dan siap
menyumbangkan tenaga kapan saja diperlukan. Sebab, mereka
sudah sangat benci kepada komplotan penebang liar itu."
"S aya kira Pak Joko tidak ada salahnya menerima kami
meskipun saya yakin Pak Joko bisa melakukannya sendiri. Akan
tetapi, tidak ada salahnya pula kalau kami ingin membantu Pak
Joko," ujar Tobor kembali menimpali pembicaraan kawannya.
"Baik. Kita boleh bekerja sama. Saya pribadi sebenarnya
juga sangat mengharapkan bantuan dari orang-orang seperti
saudara berdua. Sekarang untuk sementara kita berjaga"jaga
dahulu. Saudara berdua harap terus mencari keterangan tentang
gerak komplotan itu. Jika sudah dirasa tepat waktunya, Saudara
secepatnya menghubungi saya di tempat ini."
"Terima kasih. Kami akan segera menyelidiki mereka hingga
mendapatkan keterangan yang jelas. Jika semua telah siap, kami
akan secepatnya menghubungi Pak Joko. Sekarang kami mohon
diri dUlU. Mudah"mudahan dalam minggu"minggu ini juga kami
sudah bisa memutUskan Untuk bergerak," Ujar pemuda bernama
Badak itu dengan nada pasti. Kemudian, ia bangkitdan melangkah
keluar rumah. Tobor pun segera mengikutinya di belakang.
Begitu kedua pemuda itU menghilang dari penglihatannya,
perasaan Joko kem bali tidak tenang. Hatinya semakin menaruh
curiga kepada mereka setelah merasakan hal"hal yang kurang
wajardalam pembicaraannya itu. Cenut yang sedaritadi mengikuti
pembicaraan itu ikut pula merasa bingU ng dan waswas mendengar
pengakuan kedua orang itu.
10" l'l r llmu" /"!- "."-;" ..." J.. '" _ _ '" rl'iiiln ,"
"Wa/*. ' "&?"ng . "),
,, 'I), rif/" ' ?" Tetapi juga tidak ada salahnya kalau kami
ingin membantu Pakfoko. "
108 "Pak Joko harus hati"hati dengan mereka, Pak. Jangan"jangan
mereka hanya ingin memancing Bapak. Padahal, selama ini Kak
Tobor itu kan sangat memusuhi Bapak. Apalagi dia membawa
kawan dari desa lain. Dia belum tentu dari Desa Kuranji. Pak."
Ucap Cenut ikUt merasa prihatin.
"Yah... semua masih mungkin, NUt. Yang penting kita harUs
selalu menghubungi polisi apabila ingin bergerak atau mau
melakukan sesuatu." "Oh, iya. Sekarang kita teruskan lagi menghubungi Sersan
Siswanto. Saya belum paham benar, Pak."
Begitulah, gurU muda dan muridnya itU pUn kemudian
kembali ke ruang dalam untuk melanjutkan komunikasi mereka
dengan Sersan Siswanto. Tidak terasa mereka melakukannya
sampai sore hari. Cenut kini sudah mengerti betul bagaimana
cara menggunakan alat itU. Ia juga sudah berani mencobanya
berbicara dengan Sersan Siswanto. Pekerjaan itu baru dihentikan
setelah ayahnya pulang dari ladang.
Selang dua hari kemudian, pemuda yang bernama Tobor dan
Badak itU datang lagi mencari Joko. Mereka hanya sin ggah sebentar,
sekadar menyampaikan pesan kawan-kawannya yang sudah siap
bergerak esok sore. Mereka meminta Joko dengan penuh harap
agar bersedia datang ke tempat yang telah dijanjikan itU Untuk


Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergabung dengan kawan"kawan Badak yang akan menunggu
kedatangannya. Bahkan, mereka mengatakan kemungkinan
menggagalkan rencana itu apabila Joko tidak datang pada waktu
yang sudah mereka tetapkan itu.
109 Empat Belas Sesuai kesepakatan dengan kedua pemuda itu, sekitar pukul
lima sore Joko berangkat menuju tempat yang telah dijanjikan di
hutan di tepi Sungai Bidawang. Ia sebenarnya merasa ragu pada
kejujuran ucapan Tobor. Lebih"lebih kepada kawannya yang
mengaku dari Desa Kuranji itu. Hatinya bahkan merasa curiga
kalau kedua pemuda itu bakal menjebaknya. Sebab, selama
ini pemuda yang bernama Tobor itu sama sekali tidak pernah
bersikap baik dengannya. Bahkan, ia adalah salah satu sekelompok
penduduk Desa Halimun yang pernah ingin mengeroyoknya di
rumah dulu. Sementara kedatangannya bersama Badak jUstrU
memperkuat kecurigaannya. Karena itulah, sebelum berangkat
tadi Joko terlebih dahulu menghubungi Sersan Siswanto di Polsek
Kecamatan Kintapura untuk meminta perlindungan. Kapolsek
itu menyambut baik permintaan Joko. Ia berjanji akan segera
mengirimkan enam orang anggotanya untuk membantu Joko
melakukan pengepungan. Bahkan, ia sendiri bersedia langsung
turun tangan jika tidak ada tugas mendadak.
Kali ini pun Joko tidak berangkat seorang diri. Ia digiring
oleh ketiga orang pengawal setianya. Sulung, Gendut, dan Cenut
tanpa merasa ragu lagi mengikuti perjalanan guru yang telah
mereka kenal keberaniannya itu. Mereka sudah menyaksikan
sendiri bagaimana kehebatan Joko dalam menghadapi lima orang
mUsuhnya beberapa waktu yang lalU. WalaUpun demikian, cerita
menarik yang pernah mereka saksikan itU tidak pernah mereka
ceritakan kepada siapa-siapa. Gendutdan Cenut sebenarnya sudah
tidak tahan lagi menyimpan semua itU sebagai rahasia. Tetapi,
mereka mengkhawatirkan keselamatan gurunya jika peristiwa
tersebut diketahui oleh orang lain yang bersekongkol dengan
komplotan penebang liar itu. Lebih"lebih karena Joko sendiri
selalu mengingatkan agar mereka jangan buka suara sebelum
110 . _'; |._' . 613 "!." V mmm-namum.- Balai Pusuk: komplotan itu dapat diringkus. Cenut pun merasa menyesal
karenatelah menceritakan peristiwa itu kepada ayahnya beberapa
hari yang lalU. Menjelang matahari terbenam, mereka telah mendekati
tempatyang pernah menjadi kenangan itu. Pohonan yang berjejer
tumbuh di pinggiran Sungai Bidawang sudah berada di hadapan
mereka. Namun, kali ini mereka memilih merintisjalan lain untuk
menuju tepi sungai agar tidak langsung diketahui pihak mUsuh
yang mungkin telah menunggu dan siap menjebak mereka. Di
balik rerimbu nan semak yang agak rapat, Joko menyuruh ketiga
anak buahnya berhenti untuk bersembunyi. Tempat itU cUkUp
terlindung dan bisa melihat orang dengan jelas lewat celah
dedaunan. "N ah, kalian cukup bertahan di tempat ini. Di sini tampaknya
cukup aman sebagai tempat persembunyian," perintah Joko
dengan suara setengah berbisik.
"Baik, Pak. Kami akan berjaga"jaga dari sini. Nanti saya yang
akan menghubungi Sersan Siswanto lewat pesawat radio ini,"
sahut Cenut dengan nada pasti.
"O, ya, kita harus menghubungi sersan dulu sebelum
bertindak. Apabila anggotanya telah bergerak menuju tempat
ini, baru saya akan bergerak ke luar. Kalian harus tetap di tempat
sambil terus mengawasi keadaan agar semua tindakan kita tidak
menjadi konyol." Joko kemudian mengambil radio lalu menarik antenanya.
Berkali-kali ia mencoba menghubungi Sersan Siswanto, namun
hingga beberapa saat belum juga bersambut. Setelah cukup
lama tidak terdengar sahutan, perasaan Joko mulai waswas.
Hatinya menjadi cemas kalau"kalau anggota kepolisian telah
membatalkan rencana mereka. Tetapi, Joko tetap berharap hal
itu tidak akan terjadi. Kemudian, dengan rasa kesal ia kembali
mencoba menghubungi Sersan Siswanto, namun tetap belum ada
sahutan, Joko kemudian membiarkan pesawat radio itu dalam
keadaan monitor. Beberapa saat kemudian, barulah terdengar
111 sebuah suara yang ku rang jelas. Joko segera meraih kembali radio
itu, memperbesar yolumenya dan mencoba berkomunikasi lagi.
"Break.... break... Joko di sini. Apa bisa dicopy, ganti."
"Break... Kopral Sadli di sini. Silakan masuk, ganti."
"Apa suara kami bisa dim onitordengan baik. Kopral" Mohon
informasinya, ganti."
"Suara Anda dapat kami terima. Harap tambah yolUme,
ganti." "Akan segera kami lakukan. Bagaimana dengan Sersan
Siswanto" Mohon informasi, ganti."
"Maaf. Sersan terpaksa tidak bisa menyertai kami. Ada tugas
mendadak ke kabU paten. Bagaimana dengan persiapan Anda
sendiri" Moh on informasi balik, ganti."
"Kami tinggal menunggu instruksi. Harap Kopral secepatnya
bergerak, ganti." "Baik, kami sed ang bergerak menuju lokasi. Tiga orang
menembUs Desa Lasung Gangsa dan langsung menuju ke sana.
Saya sendiri bersama dua anggota lainnya sedang bergerak
menyusuri Sungai Bidawang menggunakan perahu dayung. Anda
sudah bisa bergerak sekarang, ganti."
"Baik. Saya segera bergerak. Sementara saya overhandle
dengan Cenut. Selamat berjuang!" ucap Joko menutup
pembicaraannya dengan Kopral Sadli seraya menyerahkan radio
kepada Cen ut yang segera melanjutkan komunikasi itu.
"Sulung, Gendut, jangan lupa meledakkan petasan itu jika
melihat saya dalam keadaan terjepit. Itu satu-satunya tipuan kita.
Ingat ya"!" pesan Joko sebelum melangkah keluar.
Sementara itU Cenut terUs melakukan komunikasi dengan
Kopral Sadli yang mengomandoi operasi pengepungan itu, Joko
terus bergerak menyusup di semak-semak menuju tepi sungai.
Meski jantungnya terasa semakin berdetak keras, tetapi ia tetap
berUsaha tenang dan waspada dengan sebatang toya kayu
tergenggam kuat di tangannya. Matanya mawas ke kiri-kanan
sambil terus melangkah. Namun, sebelum sampai di tepi sungai,
112 ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
tiba"tiba sebuah pekikan yang disertai ayunan sebilah golok telah
membuat tUbUhnyaterpental beberapa langkah ke belakang. Joko
telah membuat sebuah lompatan refleks menghindari tebasan
golok itU. Ia kemudian kembali siap dengan toyanya menghadapi
orang yang tadi menyerangnya secara mendadak. Wajahnya
ditutupi dengan sehelai cadar berwarna hitam. Hanya di bagian
matanya yang sedikit terbuka.
"Ciiaaaaattt...!!"
Tiba"tiba serangan dari sisi kanan kembali mengagetkannya.
Joko kembali melakukan lompatan refleks seraya berusaha
menangkisnya dengan hambatan toya di tangannya. Terdengarlah
bunyi benturan kedua senjata itu.
Kini Joko harUs menghadapi dua mUsuh sekaligUs yang
terus mengeroyoknya dengan kibasan"kibasan golok mereka.
Kedua penyerang gelap itU mengenakan cadar hitam seperti
kawanan Ninja dalam film-film silat. Namun, permainan toyaJoko
tampaknya masih tetap mampu mengimbangi serangan-serangan
lawan yang tidak memberi kesempatan sedikit pun kepadanya
Untuk melakukan serangan balasan. Kedua orang bercadar hitam
itu terus berusaha untuk memojokkan posisinya sehingga ia
benar"benar merasa terdesak dan semakin kewalahan. Menyadari
keadaan yang tidak menguntungkan itU, Joko kemudian mundur
selangkah dengan lompatan tinggi. Ia lalu memutar toyanya
dengan kecepatan luar biasa, sehingga tampak sebagai kitiran
yang ditiUp angin kencang.
Melihat kehebatan Joko memainkan toyanya kedua lawannya
kini tampak mulai panik dan ragu. Dalam keadaan musuh bingung
itulah Joko segera mengambil kesempatan untuk melakukan
serangan balasan. Kemudian, secepat kilat ia menerjang dan
membabatkan toyanya kepada kedua lawannya sekaligus.
Detik berikutnya kedua orang bercadar hitam itu terpental dan
mengerang sambil memegangi kepala dan dada mereka. Tanpa
menunggu musuhnya bangkit kembali untuk menyerangnyaloko
113 segera m elompat ke depan dan melakukan salto berkali"kali untu k
mencari tempat yang lebih terbuka. Sejenak kemudian, tubuhnya
kembali berdiri sigap dengan kuda-kuda terpasang kuat di
tempat lapang itu. Matanya tajam mengawasi sekeliling menjaga
kemungkinan munculnya penyerang lain.
Rupanya guru muda itu sudah memperhitungkan taktik
musuhnya Perasaannya temyata benar, secara mendadak lima
orang lainnya telah mengelilinginya dengan golok terhunUs pula.
Mata Joko kembali menyapu sekeliling mengawasi setiap gerakan
kelima musuh yang telah mengepung tempatnya berdiri. Namun,
kelima orang itu tidak memakai cadar sepeti penyerang gelapnya
yang pertama tadi sehingga Joko dengan mudah dapat mengenali
wajah-wajah mereka. Joko ingat kembali peristiwa yang terjadi
sekitar seminggu yang lalu di tempat ini setelah mengenali wajah
orang-orang itU. "Ha ha ha. Tentu kau masih mengenal kami bukan"! Dulu
kau boleh merasa menang, tetapi kali ini... huh, jangan harap
kau bisa pulang dalam keadaan selamat. Kami akan segera
menghabisi nyawamu, tikus gundul! Ha. Ha. Ha," seni seorang
di antara mereka yang bertubuh tinggi-besar. Joko langsung ingat
siapa orang jangkung yang bersuara besar itU. Dialah si Janggut
yang pengecut dulu. "Huh, orang pengecut! Tidak usah besar omong. Buktikanlah
kejantan anmu di hadapan cecurut"cecurutmu ini. Tetapi, kau
jangan lari lagi bila sudah tinggal sendiri menghadapiku!" balas
Joko melecehkannya dengan bibir monyong. Si Janggut segera
terpancing emosinya. "Bangsat! Kubunuh kau, setan kecil!" seru si Janggut lagi
seraya menerjang ke arah Joko dengan ayunan gol oknya.
Keempat lainnya serentak pula bergerak mengeroyok Joko
dengan tebasan"tebasan golok maut mereka. Kini terjadilah
pertarungan sengit yangtidak seimbanngmlahnya. Satu melawan
lima. Namun, dengan kelihaiannya memainkan toya, tampaknya
114 . _'; |._' . 613 "!." V mmm-namum.- Balai Pusuk: Joko masih mampu mengimbangi serangan" serangan maut kelima
lawannya. Kemudian, dengan sekali putaran keras, toyaJokotelah
menerbangkan dua bilah golok musuhnya sekaligus. Seorang lagi
tampak roboh dan mengerang kesakitan karena ayunan toya di
tangan Joko menghantam kepalanya. Dada gUrU mUda itU sudah
merasa sedikit lapang melihat kedua mUsUh lainnya tampak
kewalahan dan mulai kehilangan semangat. Namun, perasaan itu
segera lenyap seketika oleh munculnya penyerang lain.
"Ciiaaattt...! Ciiaaaatttt...! Heeaaaaa...!!"
Beberapa orang kembali bermunculan dari balik semak dan
pohonan sekitar tempat itu. Joko tidak sempat lagi menghitung
berapajumlah musuh baru yang langsung menyerangnya. Mereka
tidak memberi peluang sedikit pun kepada Joko untuk mengatur
siasat menghadapi keroyokan itu. Komplotan itu terUs menyerang
dan berUsaha memojokkan posisi Joko ke tempat yang sempit.
Dalam keadaan panik dan kritis itu, Joko terpaksa melakukan
serangan untung"untungan untuk menghindari agar posisinya
tidak benar"benar terpojok.
"H eeaaaaa...!!"
Joko mengamuk membabi-buta. Melompat-lompat sambil
menerjang dan memutar-mutarkan toyanya menyingkirkan
lawan-lawannya. Ia melakukan salto beberapa putaran dengan
cepatnya menghindari keroyokan yang membahayakan itu.
Ketika ia kembali tegak berdiri di luar kepungan mUsuh, tiba" tiba
ia merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Telapak tangannya
segera mengUsap bagian tubuhnya yang terasa nyeri itu. Basah!
Darah! Pinggang kanan gUru muda yang bersemangat baja itu
telah terluka oleh sebuah sabetan golok lawannya.
Sulung, Gendut, dan Cenutyang sedari tadi terus m enyaksikan
dengan kagum kehebatan silat dan kepiawaian guru mereka
dalam memainkan toya, kini mendadak menjadi cemas melihat
darah yang memerah di baju guru mereka itu. Ketiga anak itu
saling berpandangan satu sama lain dengan rasa bingung. Tetapi,
115 mereka tidak dapat berbuat apa"apa. Hanya kekhawatiran yang
luar biasa yang mereka rasakan melihat keadaan Joko yang mulai
kewalahan itu. "Kopral! Segera bantuan! Pak Joko sedang kritis!"
"Kami telah bergerak mengepung lokasi!"
Demikianlah percakapan Cenut dengan Kopral Sadli melalui
pesawat radio. Cenut merasa semakin cemas terh adap keselamatan
gurunya. Sementara itu, Sulung dan adiknya telah berbagi tugas
untuk meledakkan petasan yang telah diberikan Joko kepada
mereka sebelum berpisah tadi. Joko mendapatkan petasan itu
dari Sersan Siswanto yang mengatur siasat itu. Sulung kemudian
bergerak menyUsUp-nyUsUp ke arah barat. Sementara itu, Gendut
tetap berada di tempat bersama Cenut yang terus mendesak agar
Kopral Sadli secepatnya datang membantu gurunya yang sedang
terjepit. Guru muda itU tampak menyeringai menahan nyeri
lukanya Senja tampak kian meremang, berangkat menuju malam.
Komplotan si Janggut semakin rapat mengepung Joko. Kini,
ia dikelilingi oleh orang"orang itu dengan golok terhunus.
Konsentrasinyakini mulai buyaroleh keadaan lukadi pinggangnya
yang cukup parah. Tidak ada jalan lain bagi Joko kecuali berusaha
tetap bertahan dan mengadakan perlawanan hingga titik darah
penghabisan. Satu keyakinan yang dipegangnya dengan teguh
pada saat-saat kritis seperti itu; sura dhirajay'a ningrat, lebur dening
pangastuti, bahwa yang benar pasti berjaya dan yang salah akan
selalu hancur. Melihat Joko kehilangan keseimbangan dan tampak panik,
komplotan si Janggut pun tidak menyia"nyiakan kesempatan baik
itu untuk segera menghabisi lawan berat mereka. Empat orang
dari arah yang berbeda segera kembali menerjang Joko dengan
tebasan maut golok"golok tajamnya. Dengan segenap tenaganya
yang masih tersisa Joko menangkis serangan-serangan beruntun
lawannya dengan putaran toya yang kian lamban gerakannya
116 ";.- QE-

Untuk Sebuah Pengabdian Karya Jamal T. Suryanata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
Tetapi, tiga golok musuh serentak rontok terpelanting jauh ke
sem ak"semak. Walaupun demikian, seorang musuhnya yang lain
berhasil melukai Joko dengan ujung goloknya. Ujung senjata
tersebut melukai lengan kirinya.
Kini Joko benar"benar telah kehilangan keseimbangannya.
Pegangan toya di tangannya seketika terlepas tanpa mampu
dikendalikannya lagi. Sambil telapak tangan kanannya menutupi
bagian luka di lengan kirinya, ia tetap berusaha berdiri siaga
menghadapi mUsuh-mUsuhnya. Wajahnya tampak berkerut-kerut
menahan perih. Keringatdingin mulai ke luar di sekujur tubuhnya
Matanya terasa semakin gelap. Kini hanya tinggal doa yang tersisa
di hatinya "Rompa, cepat habisi nyawa tikUs sekarat itu! Cepat.!"
teriak si Janggut memerintah anak buahnya yang sempat terpaku
melihat darah di tubuh Joko. Rompa bergerak menghampiri Joko
dengan golok terhunUs. "Dor...! Dor...!"
Tiba"tibadua ledakan menghentikan ayunan golok si Rompa.
Seluruh anggota komplotan itu kini tampak menjadi panik tidak
karuan. Mereka masing"m asing bergerak cepat ke arah sungai
meninggalkan Joko yang sudah tidak berdaya lagi. Sulung dan
Gendut berhasil mengelabui mereka dengan ledakan petasannya
masing"masih g. Sebuah ledakan kembali terdengar dari arah sungai. Kopral
Sadli dan dua anggotanya telah siap menghadang mereka di bibir
Sungai Bidawang itu. Kini komplotan penebang liar itU tampak
semakin kacau melarikan diri tidak tentu arah lagi. Sementara
letUsan pistol anggota kepolisian lainnya terdengar bagai
mengepung mereka dari segala penjuru.
"Menyerahlah! Kalian telah terkepung!" serU Kopral Sadli
melalui sebuah gramofon di tangannya. "Jatuhkan semua senjata
kalian dan jangan coba mengadakan perlawanan atau melarikan
diri! Akan kami tembak di tempat!"
Anggota komplotan si Janggut itu tampak semakin panik dan
bingung. Mereka tidak sempat lagi memperhatikan keadaan Joko
11" yang sudah semakin payah. Ia duduk lemas sambilterus berusaha
bertahan merasakan perih luka-lukanya. Sedetik kemudian,
kembali terdengar sebuah letusan senjata. Seketika si Janggut
jatuh tersungkur ke tanah. Sebuah peluru telah menembus
paha kanannya saat berUsaha melarikan diri. Melihat pimpinan
komplotan nya telah tertembak, satu demi satu mUlai menjatuhkan
senjata masing-masing. Semua diam di tempat dengan tangan
terangkat tanda menyerah. Sementara itu, anggota kepolisian terus
berUsaha mendesak mereka hingga benar"benar tidak berdaya
lagi. Kemudian, tangan"tangan mereka segera diborgol secara
bersambung. Betapa terkejutnya Joko setelah mengetahui, bahwa
kedu a orang bercadar hitam yang pertama kali menyerangnya tadi
ternyata pemuda bernama Tobor dan Badak yang kemarin datang
menghubunginya untuk bekerja sama.
Hari sudah semakin gelap. Joko segera mendapat pertolongan
darurat. Lukanya dibalut dengan kain bajunya. Cenut dan kedua
kawannya segera datang mengerubungi gurunya dengan mata
berkaca"kaca. Mereka terenyuh, menyesal karena tidak mampu
berbuat apa-apa Untuk menolong gurunya yang sedang terluka
parah itu. Malam itu juga Joko dan seluruh anggota komplotan
yang tertangkap langsung diangkut ke kecamatan Untuk dirawat
dan diadakan pemeriksaan lanjutan, sedangkan Cenut dan kedua
kawannya diantarkan pulang ke Desa Halimun oleh seorang
anggota kepolisian. 118 mmm-namum.- Balai Pusuk: Lima Belas Keesokan harinya, di Kantor Kepolisian Sektor Kecamatan
Kintapura tampak anggota kepolisian tengah sibuk mengadakan
pemeriksaan terhadap sebelas orang yang terlibat dalam kasUs
penebangan liar di hutan Kintap. Sementara itu, tiga orang lainnya
yang terluka sedang dirawat di Puskesmas Ki ntapura bersama Joko
sejak tadi malam. Setelah komplotan itudiinterogasi, kini barulahterungkap siapa
biang kerok sindikat penebangan liar dan sekaligus penyelundup
kayu yang berjalan hampir puluhan tahun itU. Satuan kepolisian
kemudian segera mengadakan operasi penggerebekan terhadap
pimpinan penyelundup kayu yang tidak lain adalah lelaki gendut
dan setengah botak bernama Anang KUth. Lelaki ini dikenal
sebagai pedagang kayu bangunan terbesar di kota Kecamatan
Kintapura. Ia sesungguhnya termasuk pendatang baru di daerah
itU. Pekerjaannya berdagang kayu bangunan hanyalah sebagai
kedok untuk menutupi perbuatannya yang melanggar hukum itu.
Pada saat yang sama seorang warga terkaya di Desa
Halimun, yang biasa dipanggil masyarakat dengan Bang Bakir
dan secara kebetulan masih berada di rumah mewah milik
lelaki gendut itu, tidak ketinggalan pula dibekuk polisi. Ia harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya sebagai mata"
mata komplotan penebang liar. Sementara sebuah gudang yang
selama ini dipergunakan sebagai tempat penampungan kayu di
pinggir Sungai Luk Buhaya, di daerah Pulau Kadap, kini lelah
menjadi sitaan. Gudang beserta isinya itU kini dinyatakan sebagai
milik negara. Pagi itu Gendut dan Cenut tengah asyik bercerita di tengah
kerumunan kawan"kawan sekolahnya tentang peristiwa kemarin
soreyang benar"benar mereka alami sendiri bersama guru muda itu.
119 Gend ut menceritakan dengan penuh semangat bagaimana kejadian
itu sesungguhnya telah berlangsung sekitar seminggu sebelumnya
di tempat yang sam a. la ceritakan juga bagaimana kehebatan gurU
mereka itu; yang dengan mudah dapat melumpuhkan beberapa
orang lawan yang mengeroyoknya; bagaimana sang gUru bersalto
dengan indah dan jumpalitan di udara mengelakkan serangan
musuh; serta bagaimana kemahirannya memainkan toya hingga
berputar-putar sangat cepat bagai gerak baling-baling yang m ampu
merontokkan beberapa golok lawan sekaligus.
Sementara itu, puluhan anak yang mengerubungi Gendut
dan Cenut hanya bisa ternganga dan berdecak"decak kagum
mendengar cerita kedua anak itu tentang segala kejagoan guru
yang selama ini hanya mereka kenal sebagai guru yang lembut,
ramah, dan penuh kasih sayang. Cenut juga dengan penuh
rasa bangga menceritakan bahwa ia telah pintar berkomunikasi
dengan sebuah pesawat radioyang belum pernah dikenal kawan"
kawannya. Ia ceritakan juga bagaimana ia pertama kali bisa
menggunakan alat tersebut sambil dibimbing gurunya di rumah
hingga ia akhirnya ikut terlibat sebagai penghubung dengan
Kopral Sadli saat peristiwa terakhir itu.
Desa Halimun hari itU benar"benar telah digemparkan oleh
berita tentang tertangkapnya komplotan penebang liar yang
selama ini meresahkan warga masyarakat. Di sisi lain, kini
mereka semakin bangga atas kehadiran Joko di desa itu, yang
ternyata memiliki semangat pengabdian yang tinggi terhadap
pembangunan desa, terutama bagi Desa Halimun. Pak Kades yan g
telah mendengar pula kabar tentang keberhasilan Joko bersama
dengan anggota kepolisian kecamatan meringkus komplotan
perusak hutan itu hanya bisa tersenyum haru di rumahnya. Lebih"
lebih lagi Pak Lumbah yang sudah menganggap Joko sebagai
anggota keluarganya, juga hanya mampu meneteskan air mata
menyambut berita yang mengharubirukan hati itu. Hari ini ia
bersama istrinya akan langsung berangkat ke kecamatan untuk
menengok keadaan Joko yang masih dalam perawatan.
12" ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
Di sana"sini tampak warga desa berkelompok"kelompok
membicarakan berita yang menggemparkan itu. Mereka ham pirhampir tidak percaya kalau guru yang mereka kenal selalu
berpenampilan lembut dan simpatik itu, ternyata memiliki
keberanian yang luar biasa. Sebaliknya warga Desa Halimun
merasa bingung terhadap Bang Bakir laki"laki yang selama ini
mereka kenal sangat penyantUn dan suka bederma, ternyata
hanyalah seorang kacung licik sindikat penebang liar. Dialah yang
selalu mem ata"matai segala gerak"gerik masyarakat atau siapa pun
yang berUsaha menghalangi perbuatan yang merugikan itU.
Di ruang rawat inap Puskesmas Kintapura Joko terbaring
lemas di atas kasur berseprai putih dalam keadaan tidak berdaya.
Di bagian depan pinggang dan lengan kirinya tampak telah
terbalut rapi dengan kain kasa berplester. Luka-lukanya terpaksa
harus dijahit karena cukup parah. Sersan Siswanto dan Kopral
Sadli sudah lama berkunjung di sana. Kedua anggota kepolisian
kecamatan itU memandangi Joko dengan wajah haru.
"Dik Joko," Ucap Sersan Siswanto ketika akan pamit siang
itu, "kami akan segera pergi ke kantor lagi. Mudah"mudahan
luka"lukamu itu cepat sembuh seperti semula. Nanti kita akan
berbincang"bincang lagi di rumah. Untuk sementara, kau jangan
terlalu banyak bergerak dulu. Bersabarlah..."
"Iya, Mas. Tolong sampaikan salam saya untuk Mbakyu di
rumah," sahutJoko dengan senyum pias.
"O, ya, jangan lupa! Kalau sudah ke luar nanti, kau harus
ke rumah kami barang dUa"tiga hari sebelum kembali ke Desa
Halimun. Bagaimana, DikJoko?"
"Insya Allah, Mas. Saya juga bermaksud demikian."
Sersan Siswanto kemudian mundur dan melangkah menuju
pintu. Kini ganti Kopral Sadli yang mendekat ke arah Joko seraya
mengulurkan tangannya. "Mudah"m udahan Anda cepat sembuh. Kami sangat berterim a
kasih atas segala bantuan dan jerih"payah Anda. Jika bukan karena
121 kegigihan usaha Anda barangkali kami belum bisa menyingkap
sindikat terlarang itu secepat ini," Ucap Kopral Sadli seriUs.
"Ah, Kopral terlalu memuji. Saya jUstru akan mati konyol
dicincang komplotan itu jika saja Kopral dan kawan-kawan tidak
segera datang. Saya telah berhutang nyawa, Kopral."
"Tidak. Itu sudah tugas kami sebagai penegak hukum dan
pengayom masyarakat. Tetapi, kami pun menyesal agak terlambat
datang ke lokasi sehingga Anda harUs mengalami hal yang tidak
diinginkan ini. Maafkan kami. SaudaraJoko."
"Tidak ada yang harUs saya maafkan, Kopral. Semua ini terjadi
karena keadaan. Untunglah saya masih dilindungi Tuhan."
"Yah..., tetapi kita telah berhasil meringkus mereka. Kami
sangat menghargai orang"orang seperti Anda."
"Itu semua berkat kerja sama kita."
"Memang, kerja sama seperti itu harus selalu dijalin untuk
mengatasi suatu persoalan. Lebih"lebih kerja sama antara kami
dari kepolisian dengan warga masyarakat harus terus dibina."
"Betul sekali, Kopral. Antara polisi dan masyarakat memang
sudah seharusnya dapat menyatu dalam menegakkan hukum dan
menumpas segala bentuk pelanggarannya."
"Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih atas semua
bantuan Anda dalam hal ini. Jangan lUpa, mampirlah lagi ke
kantor kami. Dengan senang hati kami akan menerima kedatangan
Anda." Kopral Sadli dan Sersan Siswanto kemudian ke luar untuk
kembali menjalankan tugasnyadi kantor Polsek yang tidak terlalu
jauh dari tempat itu. Kini tinggal Joko sendiri di kamar serba putih
itu den gan pikiran m engambang tidak karuan. Pada saat"saat sunyi
seperti, Joko kembali terkenang kampung halamannya nan jauh di
seberang sana, yang kini sudah bertahun-tahun ditinggalkannya.
Kerinduannya pun kem bali terasa menggebu-gebu kepada tanah
kelahiran itu. Di matanya kini telah terbayang secara bergantian
wajah ibu, Nati, Larmin, Mas Bambang, dan Mas Parno yang
122 ";.- QE- v"nnmmm-uun Balai Pusuk:
tidak pernah lagi dilihatnya itu sejak bertahun"tahun yang lalu.
Ingin rasanya ia kembali berkumpul bersama seluruh anggota
keluarganya seperti masa kanak-kanaknya dulu. Namun, semua
kini hanya tinggal sebagai kenangan. Semua harus dijalaninya
dengan tulUs ikhlas._.fer basuki mawa bea, segala sesuatu mestilah
membutuhkan pengorbanan. Tanah Laut, 30Juli 1993 124 mmm-mmm.- Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka [Pamamj 6 Jalan Bunga Nda"BA
Matraman, Jakarta Timur 13140
V Teli'Faks. (az-21] 35333 69
Website: hdp:lew.t:"alaipuataka.co.id
Seruling Naga Sakti 2 Benteng Digital Digital Fortress Karya Dan Brown Senja Jatuh Di Pajajaran 1

Cari Blog Ini