Ceritasilat Novel Online

Asleep Or Dead 3

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 3


Quote:sms : From Nona Ve : Sayang, lagi apa " Aku bsok pulang loch, kmu apa kbar " Gua pun membalas sms yang sudah dikirim dari setengah jam lalu itu.
Gua : Hai Ve, alhamdulilah aku baik, aku lagi makan nih.. Kamu udh mkan " Oh kamu bsok pulang, jam brp brngkat dari situ "
Nona Ve : Pantes lama balesnya hihihi, aku udh mkan Yang, bsok subuh aku brngkat dri sini. Oh iya, aku ada oleh-oleh utk kmu, Ayah kmu dan Nenek juga, mudah2an klian suka y.
Gua : Hati2 di jalan ya bsok Ve.. Wah ngerepotin aja, makasih banyak Ve, pasti aku & keluarga suka kok hehehe..
Nona Ve : Gk ngrpotin kok Yang, gk apa2. Ya udah nnti aku sms kmu lgi ya sayang. Aku mau jalan sma Papah ke rumah sodara lgi nih.. Miss You Sayang (: :*
Gua : Sip, salam utk Papah kamu ya.. Miss You Too..
Selesai berbalas sms dengan Nona Ukhti, Gua pun mengantongi hp kedalam saku celana jeans. Gua lihat Echa masih asyik telponan dengan Mamahnya. Tidak lama menu sate kelinci berikut lontong dan dua minuman datang, lalu disajikan di atas meja makan di depan kami berdua.
Gua menunggu Echa selesai menelpon dan barulah kami bersama-sama menyantap makanan. Seperti kebiasaannya sejak dahulu, Echa menyantap makanan tanpa berbicara sedikitpun, alhasil Gua pun jadi lebih cepat menghabiskan makanan.
"Enak juga Za, bener rasanya kayak daging ayam ya..", ucap Echa setelah selesai meminum teh manis hangatnya.
"Iya, aku juga baru sih nyobain..",
"Jadi enggak mengecewakan toh makanannya ?", tanya Gua. Echa tersenyum lalu mengacungkan satu jempol kepada Gua. "Apa kabar Papah sama Mamah Teh ?", tanya Gua kemudian.
"Alhamdulilah mereka baik Za..",
"Mereka titip salam untuk kamu", jawabnya.
"Alhamdulilah kalau baik semua Teh", "Oh makasih, walaikumsalam",
"Besok berangkat jam berapa mereka dari Solo Teh ?", tanya Gua lagi.
"Eumm.. Selesai shalat subuh katanya sih..",
"Oh iya, besok kamu ke rumah juga ya, sekalian ketemu mereka..", ucapnya. "Oke Teh...".
Oke oke oke aja Gua. Besok jadwal padat banget. Nona Ukhti pasti ingin ketemu, belum lagi hari ini gagal ketemu Mba Siska, jadinya pasti besok Gua harus nemuin dia. Masih untung Mba Yu belum pulang dari mudiknya. Tambah lagi sekarang keluarga Echa besok pulang dan meminta Gua untuk nemuin. Hadeuuh...
... Sekarang kami berdua sudah sampai di jalan raya tengah kota. Hujan diluar sudah reda, meyisakan butiran air yang menempel pada kaca mobil dan jalanan yang basah.
"Za, ke rumah aku dulu ya..",
"Aku mau ambil baju lagi untuk nanti malam..", ucap Echa ketika kami sebentar lagi sampai di rumah Nenek.
"Oh.. Ke rumah kamu dulu, ya udah oke..", jawab Gua.
Gua pun melewati komplek perumahan Nenek, sempat Gua melihat sebuah mobil sedan berwarna merah masuk ke dalam komplek perumahan Nenek, rasanya Gua pernah lihat mobil itu, tapi Gua lupa dimana. Akhirnya Gua melajukan si Black menuju ke arah jalan rumah Echa. Gua lihat jam digital di dashboard sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Sekitar 15 menit kami berdua sudah sampai di depan rumah Echa. Setelah satpam rumahnya membukakan gerbang, Gua pun memarkirkan si Black di halaman parkir rumahnya. Kemudian kami berdua turun dari mobil dan menuju pintu utama rumah.
"Assalamualaikum Bi..", ucap Echa ketika pintu dibuka kan oleh Bibi (art).
"Walaikumsalam..",
"Eh Non Echa, loch sama A' Eza...",
"Abis jalan-jalan ya ?", tanya Bibi seraya tersenyum kearah kami berdua.
"Iya Bi, abis dari atas..",
"Nyobain sate kelinci..", jawab Gua.
"Oh ya, ini Bi ada sate kelinci buat Bibi sama Pak Satpam..",
"Dicicipi ya Bi..", ucap Echa seraya memberikan bungkusan sate kelinci yang dia beli tadi.
"Aduh makasih banyak ya Non..",
"Alhamdulilah..", ucap Bibi menerima bungkusan makanan lalu tersenyum sumringah.
"Ya udah, aku ke kamar dulu ya Bi..", pamitnya kepada Bibi, "Za, sebentar ya, aku cuma ambil pakaian aja...", ucapnya kali ini kepada Gua. "Oke Teh..", jawab Gua, lalu Echa beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Gua duduk di bangku teras rumahnya. Bibi yang memang belum kembali masuk ke dalam rumah pun menawari Gua minum.
"A', mau minum apa ?", tanyanya.
"Eh enggak usah Bi, makasih, udah kenyang tadi makan sama minum bareng Echa.. He he he..", tolak Gua.
"Oh, ya udah..",
"Kalo gitu Bibi masuk ke dalam dulu ya A'..", ucap Bibi pamit masuk ke dalam rumah.
Gua pun duduk sendirian dibangku teras rumah keluarga Echa. Hanya melamun memandangi rintikan hujan yang masih deras turun dari langit di luar sana, ke taman rumahnya itu. Tidak lama, Echa pun kembali keluar rumah, menghampiri Gua yang berada di terasnya ini. Gua lihat dia sudah berganti pakaian atasnya, sweater putih yang basah tadi sore sudah berganti dengan jaket berwarna pink, dan ditangannya sudah ada tas berukuran sedang yang Gua yakin isinya adalah pakaian miliknya. "Yuk Za, langsung berangkat lagi..", ajaknya sambil mengenakan sandal model wanita. "Okey..", jawab Gua seraya bangkit dari bangku.
Kami berdua hendak menuju mobil ketika Pak satpam membuka gerbang depannya, Gua dan Echa langsung melirik kearah gerbang, sama-sama ingin tau siapa yang bertamu malam-malam begini. Sebuah mobil model minibus memasuki halaman parkiran, lalu turunlah seorang lelaki yang memang sudah Gua rindukan dari malam takbiran.
"Assalamualaikum Sa..", ucapnya setelah berdiri beberapa meter dari hadapan Gua dan Echa. "Walaikumsalam", ucap Echa dingin.
Gua tersenyum melihatnya, lalu bergegas menuju si Black, membuka pintunya dan mengambil hammer.
"Sa.. Gua kesini mau..", ucapannya terpotong.
Duuagh!! Bunyi sebuah tendangan tepat mengenai kepala bagian belakangnya. Si Bajing*n langsung tersungkur ke depan dan jatuh tepat ditangga teras.
"Ezaa!", teriak Echa berlari menuruni anak tangga teras, "Udaah stoopp!", ucapnya ketika sudah memeluk Gua.
"Wooiii Anj*ng!",
"Urusan kita belum selesai kemarin!"
"Bangun Lu J**ng!!", ucap Gua seraya mencoba melepaskan kaitan tangan Echa pada punggung Gua.
"Eza! udaaah..",
"Udah jangan berantem Za!",
"Lepasin itu palu Za, lepas!", teriak Echa sambil mencoba mengambil palu ditangan kanan Gua. "Amanat Teh..", ucap Gua.
"Amanat " Maksudnya ?", tanya Echa bingung.
"Amanat Ayah, aku harus remukin jarinya si Bajing*n yang lentik itu..", "He he he he", jawab Gua lalu terkekeh.
Echa melotot kepada Gua. Lalu mencubit hidung Gua penuh kegemasan.
"Aaawww...", "Sakiittt...", teriak Gua.
"Udah deh gak usah diperpanjang lagi!", ucapnya.
"Sa, dan Euu.. Bang.. ",
"Maaf, Gue kesini cuma mau minta maaf secara langsung ke Elsa..",
"Sumpah Gue enggak ada niat apapun selain minta maaf Bang..", ucap si Bajing*n Evan yang sudah kembali berdiri sambil memegangi kepala belakangnya yang terkena tendangan Gua tadi.
"Udah ya Van", "Gue enggak mau lagi liat Lo",
"Gue enggak mau ketemu Lo, jadi sebaiknya Lo pergi dari sini sekarang!", ucap Echa tegas. "Iya Sa, Gue enggak akan deketin Lu lagi, maafin Gue Sa", jawab si Bajing*n. "Ya udah, sekarang pulang deh!", usir Echa.
"Maafin Gue sekali lagi ya Sa, Bang.. Gue pamit dulu...", "Assalamualaikum..", ucapnya.
"Walaikumsalam".
Echa sudah melepaskan pelukkannya daritadi pada tubuh Gua. Kami berdua melihat Si Bajing*n berjalan menunduk kearah mobilnya. Ketika dia membuka pintu kemudi mobil, Gua berlari menghampirinya.
Gua raih rambut bagian atas kepalanya dari belakang dengan kasar, lalu Gua tarik dan membantingnya ke depan Kap mobilnya.
Dugh! Gua remas keras wajahnya, posisi wajahnya miring, tertekan tangan kiri Gua ke bodi depan mobilnya. Lalu tangan Gua yang masih menggenggam palu pun Gua dekatkan ke arah hidungnya.
Lu semua tau kan palu ada beberapa jenisnya. Biasanya dua sisi palu itu ada bagian untuk memukul paku yang berbentuk pipih dan sisi lainnya berbentuk tajam dengan belahan ditengahnya, yang fungsinya untuk mencabut paku. Sekarang, bagian sisi tajam palu untuk mencabut paku itu Gua tempelkan, bukan, lebih tepatnya Gua masukkan sisi tajamnya itu ke lubang hidungnya.
Echa berlari lalu memeluk Gua dari belakang, berusaha menarik tubuh Gua sambil meminta Gua melepaskan si Bajing*n.
"J*ng! Denger!",
"Seharusnya Gua remukkin jari-jari lentik Lu itu!",
"Tapi rasanya lebih bagus Gua bongkar ini sumur penciuman Lu!", ucap Gua kepada si Bajing*n lalu menarik keatas palunya sehingga membuat si Bajing*n berteriak kesakitan.
"Aaaarrrghhh.. Amppunn Baaangng!! Aampuun!! Aawww..", teriaknya.
"Ezaaa!! Udah! Lepasin Zaaa!!", teriak Echa, "PAK SATPAAAAMM!!",
"PAAAK.. TOLOONGIIIN!!", teriak Echa lagi kali ini kearah pos satpam.
Gua tersenyum lebar ketika kucuran darah pekat mengalir indah dari dalam hidungnya lalu membasahi sisi palu yang tajam itu. Nikmatnyaaa..
"AARRGGHH... SAKIITTT.. AAMPUUUNN!!! AARGH!!", teriak si Bajing*n meraung-raung kesakitan karena tarikan palu pada hidungnya semakin Gua tarik keatas lagi dan darah yang keluar pun semakin banyak.
Pak Satpam yang berlari menghampiri kami pun akhirnya berhasil menarik tubuh Gua dan Gua pun melepaskan siksaan pada si Bajing*n.
Gua lihat si Bajing*n menggelapar diatas kap mobilnya itu, dan memegangi hidungnya dengan kedua tangannya.
"Pak, tolong panggil Bibi, bilang sama Bibi bawain kotak p3k ya Pak.", ucap Echa kepada Pak satpam. "Baik Non", Pak satpam pun berlari ke dalam rumah.
"Eza! Keterlaluan kamu!", "Kamu tuh apa-apaan sih!",
"Mau bunuh dia!", ucap Echa dengan raut muka yang benar-benar marah kepada Gua.
Seumur-umur, Gua belum pernah melihatnya semarah itu, terlebih kepada Gua. Otak Gua yang masih dilingkupi darah yang mendidih karena amarah dan hati yang diliputi emosi tidak terima dengan ucapan Echa.
"Kamu belain dia ?", tanya Gua dengan nada dingin.
"Enggak Za!", "Tapi kamu tuh keterlaluan!",
"Kamu mau bunuh orang "!", jawabnya dengan penuh emosi.
"Kamu bilang aku keterlaluan ?",
"Lupa kamu apa yang udah dia perbuat ke wajah kamu ?", nada bicara Gua masih dingin. Echa terdiam.
"LUPA "!!",
"MASIH MAU BELAIN DIA SEKARANG "! HAH "!!"
"JAWAB!!!", habis sudah kesabaran Gua dan meluapkannya hingga berteriak kepada Echa.
Echa langsung tersentak hingga memundurkan wajahnya. Gua tidak memperdulikan Echa yang masih shock karena sikap Gua tadi. Gua berbalik badan melangkah menghampiri si Bajing*n yang masih kesakitan diatas kap mobilnya. Gua lempar keatas palu agar berbalik ke sisi pipihnya dan kembali menangkapnya.
Dagh!! Bunyi suara palu beradu dengan tulang dengkulnya. "UAAHHH.. AARGGH!!", teriak si Bajing*n lagi.
"Mampus Lu J*ng!", ucap Gua sembari mengayunkan palu keatas dan mengarahkannya ke tulang kepalanya.
Settt Tlaangg Palu terlempar ke sisi lain halaman parkir. Gua menengok ke samping.
"Udah Mas, udah", ucap Pak satpam yang ternyata tadi merebut palu dari tangan Gua, "Lihat itu sudah kesakitan, bahaya Mas",
"Ingat Mas ada hukum", lanjutnya.
Gua menghela napas pelan lalu tersenyum sembari menggelengkan kepala. Lalu sebuah pelukkan dari Echa menenangkan Gua.
PART 13 Kami semua sekarang berada di Pos satpam kediaman keluarga Echa. Melihat si Bajing*n Evan diobati oleh Bibi dan Pak satpam.
Gua dan Echa berdiri di depan mereka bertiga yang sedang duduk. Rintihan perih terdengar semakin pelan dari si Bajing*n, matanya terpejam berkerut menahan sakit ketika kapas yang dilumuri betadine oleh Bibi membasuh luka dihidungnya.
Gua berjongkok di depan si Bajing*n, menggengam pundaknya pelan. Si Bajing*n menatap Gua dengan ekspresi wajah yang ketakutan.
"Bro..", "Sampai ada laporan yang diterima penegak hukum soal keajadian ini..", ucap Gua sembari memindahkan tangan dari pundaknya.
Lalu Gua pegang kepalanya dan mengucek rambutnya pelan sembari menyeringai lebar, "Gua pastiin kepala Lu ini bakal terbelah dua", lanjut Gua.
"Ii.. Iiya Broo..",
"Sumpah Gua gak bakal lapor..", jawabnya.
"Good boy..", "See ya later dude..", jawab Gua.
Gua pun mengerlingkan mata lalu berdiri lagi, kemudian Echa meminta Pak satpam untuk mengantar si Bajing*n pulang setelah selesai diobati. Lalu Echa mengaitkan tangannya kepada lengan Gua dan mengajak Gua beranjak ke mobil.
Kami berdua kini sudah berada di dalam si Black, Gua pacu dengan kecepatan sedang ketika pagar rumah Echa sudah terlewati untuk pulang menuju rumah Nenek lagi. Dalam perjalanan, Gua melirik Echa hanya terdiam dengan raut muka yang bete.
"Maafin aku Teh...", ucap Gua melirik kesamping kiri.
Echa masih terdiam, kini kedua tangannya dilipat di depan dadanya, wajahnya dipalingkan dari Gua, menatap ke kaca mobil di sampingnya.
Sebelum sampai di dekat perumahan Nenek, Gua pinggirkan mobil di jalan raya. Gua tarik handbreak. Lalu Gua melepaskan seatbelt yang melingkar pada tubuh ini. Gua dekati Echa seraya memegang lengan kanannya.
"Hei.., Aku minta maaf udah ngebentak kamu tadi..", ucap Gua pelan.
Echa masih saja terdiam dan memalingkan mukanya, kini Gua belai lembut rambutnya dengan tangan kiri, lalu Gua pegang sisi pipinya menggunakan tangan kanan, Gua putar pelan dan lembut wajahnya agar menengok kearah Gua. Kini mata kami saling bertatapan, Gua lihat kedua bola matanya berkaca-kaca.
Gua dongakkan kepala sedikit lalu maju mengecup keningnya. Gua tatap kembali wajahnya, Echa langsung memeluk Gua, mendekap tubuh ini erat, wajahnya bersandar ke bahu ini.
"Jangan bentak aku kayak tadi Za..", "Aku takut..", ucapnya lirih.
"Iya Teh, maafin aku..", "Maafin aku..",
"Maafin...", jawab Gua.
Lalu dia melepaskan pelukkannya, kembali kami saling menatap dengan jarak wajah yang sangat dekat, tangan kirinya memegang pipi kanan Gua, matanya nanar menatap mata Gua. Tangan kanan Gua kini memegang pinggangnya.
Lama kami saling menatap, kedua kelopak mata Echa pun semakin turun kian menutup bersamaan dengan wajah Gua yang semakin mendekatinya, Gua miringkan wajah ke kanan, lalu... Cupp... Gua kecup pipinya.
Echa membuka matanya menatap Gua sambil mengerutkan keningnya. Gua tersenyum lebar melihat ekspresinya itu.
"Iiishhh...", "Nyebeliiiinn..", ucapnya sambil mencubit pipi kanan Gua.
"Aaw..", "Aha ha ha ha ha...", tawa Gua pun lepas melihatnya yang cemberut,
"Ciee.. Ngarep di kiss yaa.. ha ha ha ha..", lanjut Gua sembari memundurkan tubuh kembali duduk bersandar di jok kemudi.
"Tau ah!", jawabnya lalu bersandar ke jok dengan kasar dan menatap ke depan.
Gua semakin tertawa melihatnya yang cemberut itu. Lalu kembali Gua dekatkan wajah ke sisi wajahnya, tepat di dekat telinga kananya, Gua pun berbisik...
"Nanti ya.. Aku halalin kamu dulu..", bisik Gua pelan, sangat pelan.
Echa cukup terkejut mendengar bisikkan Gua, lalu menengok kearah Gua dengan wajah yang merona merah.
"Serius ?", tanyanya malu-malu.
Gua mengangguk pelan seraya tersenyum, lalu Gua tempelkan kening ini ke keningnya, menggoyang hidung pelan ke kanan-kiri, hidung kami pun bersentuhan.
"Sabar ya Teh..",
"Biarkan aku bebas sekarang..", ucap Gua.
Echa tersenyum, kemudian merangkulkan kedua tangannya kebelakang tengkuk Gua dan.. Cuupp.. Secepat kilat bibirnya mengecup bibir Gua.
Gua kaget dan memundurkan wajah. Echa malah tersenyum dan terkekeh pelan, Gua pelototi dirinya yang malah dibalas dengan menjulurkan lidah meledek Gua. Gua pun langsung menggelengkan kepala lalu memasang kembali seatbelt.
... Gua hentikan mobil tepat dibelakang sebuah sedan merah yang berada di halaman rumah Nenek. Gua matikan mesin seraya membuka seatbelt, begitupun dengan Echa.
"Mobil siapa itu Za ?", tanyanya.
"Euumm..", "Aku pernah liat mobil itu, tapi lupa siapa pemiliknya", jawab Gua.
Kami pun keluar dari mobil dan melangkah masuk menuju ruang tamu, ternyata disini sudah ada Nenek, Tante Gua dan seorang perempuan cantik yang sudah sangat lama tidak bertemu dengan Gua.
"Assalamualaikum..", ucap Gua dan Echa bebarengan.
"Walaikumsalam", jawab mereka bertiga.
"Nih temanmu nunggu daritadi loch..", ucap Tante Gua seraya melirik kepada sip perempuan.
Gila, makin cantik aja ini perempuan, dandanannya sopan banget sekarang, serba tertutup. Gua sempat terkesima sejenak sebelum akhirnya Echa menyadari Gua yang sedang menatap perempuan itu tanpa berkedip lalu menyenggol siku Gua.
"Eh.." "Iya Te..", "Kita abis dari atas makan sate kelinci..", jawab Gua lalu duduk bersama Echa disalah satu sofa yang masih kosong.
"Apa kabar Za ?", tanya si perempuan cantik itu kepada Gua.
"Alhamdulilah baik..",
"Udah lama ?", tanya Gua balik.
"Lumayan..", jawabnya seraya tersenyum.
Gua yakin yang lainnya merasakan hal yang sama dengan Gua, canggung. Mungkin karena suasana yang sedikit canggung ini membuat kami tidak santai untuk mengobrol, Nenek dan Tante Gua pun pamit masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Sedangkan Echa, setia duduk di samping Gua. "Oh ya, kenalin ini Echa...", ucap Gua.
"Hai..", ucap Echa lalu bangkit sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk memperkenalkan diri.
"Echa..", lanjutnya.
"Aku Luna", jawabnya menyambut tangan Echa.
"Teman Eza ?", tanya Echa setelah kembali bersandar ke sofa.
"Iya, teman lama..",
"Kamu pacarnya Eza ?", tanya Luna balik.
Echa tersenyum kepada Luna, senyum yang menawan.
"Bukan..", jawabnya menggelengkan kepala pelan,
"Aku calon istrinya..", lanjut Echa seraya mengaitkan lengan kirinya ke lengan kanan Gua.
Jelas Gua terkejut dengan ucapan Teteh tercinta di samping Gua ini. Luna " Sama, tapi ekspresinya langsung biasa lagi dan tersenyum kepada kami berdua. Echa lalu menengok menatap wajah Gua dengan senyum yang seolah-olah mengatakan "Iya kan sayang ?", Gua hanya bisa membalas senyumannya itu dengan tertawa pelan dan garing.
'Benteng' sudah dibangun oleh Echa untuk diri Gua. Bisa apa lagi Gua kalau sudah begini " Kecuali menggaruk pelipis yang tidak gatal.
"Selamat ya..",
"Ternyata sudah tunangan", ucap Luna.
"Iya, makasih ucapannya..",
"Oh iya, sudah larut ya..", ucap Echa,
"Jam berapa sekarang ya Za ?", tanya Echa kepada Gua. Gokil, ini orang maen usir aja secara halus. Bahaya ini coy. "Eeuu.. jam.. jam..", ucap Gua terbata.
"Jam setengah 10..", ucap Luna,
"Aku lama nungguin kamu Za, untuk silaturahmi..", "Maaf ya jadi ganggu..",
"Aku pamit dulu kalau gitu", lanjutnya seraya bangkit dari sofa sambil tersenyum manis dan cantik.
Gua malah terpukau lagi menatap Luna yang sedang berdiri lalu melangkah melewati meja ruang tamu ke arah pintu rumah. Sumpah enggak bohong, tinggi semampai, cantik, bak ratu catwalk, bener kata Mba Yu dulu. Goyah Gua gooyaahh. Kampret.
Kyuuutt.. kulit pinggang Gua dipelintir.
"Waadaaaww...",
"Aaaww.. Ampuun..", teriak Gua meringis kesakitan.
Gua menatap wajah perempuan manis nan cantik di samping Gua, lalu bergidik ketakutan karena matanya tajam melotot menatap Gua.
"Matanya!", ucap Echa berbisik kepada Gua.
Singkat cerita kami bertiga sudah di depan rumah. Gua berjalan kearah si Black untuk memindahkannya, karena posisi mobil Luna berada di depan. Echa menunggu di depan teras ketika Gua dan Luna jalan ke mobil kami masing-masing.
Ketika Luna membuka pintu kemudi mobilnya, Gua masih berjalan di sampingnya, lalu Luna berbalik badan menghadap Gua sambil menahan pintu mobil yang sudah terbuka.
"Za..", ucap Luna.
"Ya ?", jawab Gua seraya menengok kepadanya.
"Saingan aku berat ya..", ucapnya lagi seraya menengok kepada Echa kali ini sambil tersenyum. "Eh ?", Gua kaget sekaligus bingung mendengar ucapannya itu.
Kemudian Luna masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Gua pun bergegas menuju si Black ketika melirik kepada perempuan yang sudah melipatkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Gua dari teras rumah.
Gua sudah memarkirkan mobil ketempat seharusnya, baru saja Gua menutup pintu mobil dan melirik kepada mobil merah milik Luna yang melaju meninggalkan rumah Nenek, suara merdu nan penuh ancaman terdengar nyaring menyapa telinga Gua.
"Masuk!", ucapnya tegas.
... "Iiiihh...", "Ngeseeliiinn...", ucapnya.
"Aaww.. Aww.. Aaw.. Udah udah udaah.. Amppunn Teeh.. Ampuun..", teriak Gua memohon menahan perih karena cubitannya kembali menyapa pinggang Gua.
"Syukurin!", sungutnya sambil cemberut.
"Kamu ma gitu, sadis sama aku..",
"Hiks..", ucap Gua pura-pura sedih nan galau dan bermuram durja. "Biarin!",
"Kamu tuh emang pantes disiksa!", "Biar matanya gak jelalatan!", balasnya.
Gua menghela napas pelan lalu mengusap-ngusap pinggang yang masih terasa perih. Kami berdua sedang duduk bersebelahan diatas ranjang kamar Gua. Echa memalingkan muka ke sisi lain dengan kedua tangannya dilipatkan di depan dadanya.
"Teh..", ucap Gua.
Echa masih diam, Gua menggaruk kening, lelah hari ini rasanya ngadepin sikap Teteh tercinta. Tapi enggak boleh nyerah, biarlah, kalo perlu sekalian digampar ama dia Gua rela deh. Gua memeluknya dari samping, mencium pipinya. Masih juga dia diam dan tak bergeming.
"Hey, mau apa sih ?",
"Marah-marah terus..", bisik Gua dengan pipi yang bersentuhan dengan pipinya. "Enggak mau apa-apa..", jawabnya judes.
cupp cupp cupp Habis sudah Gua ciumi pipi kirinya tapi tetap saja perempuan istimewa ini tak bergeming. Wah, perlukah jurus Empu Asmara Gua keluarkan sekarang, tapi bahaya, kalo sampe dia baper sangat, urusannya melebar kemana-kemana. Kalo sampe bikin kecewa dan nangis dirinya, habis sudah Gua di dor, pala bisa bolong ini ma.
"Teh..", "Aku sayang kamu", bisik Gua pelan dengan penuh perasaan.
Sukses! Echa langsug menengok kearah wajah Gua. Sangat dekat kini wajah kami, jarak hidung diantara kami pun hanya beberapa centi. Pelukkan tangan gua yang memang sedari tadi melingkar diperutnya kini di genggamnya, tangannya bertumpuk diatas tangan Gua.
"Jadi ?", tanyanya berbisik.
"Jadi maafin aku ya..", jawab Gua.
Dugh kening Gua di adu dengan keningnya pelan.
"Aduh..", "Kok malah jedugin jidat sih ?", tanya Gua sambil pura-pura kesakitan. "Masih aja nyebelin..", ucapnya.
Gua tidak membalas ucapannya, mata kami saling menatap, Gua tersenyum kepadanya, lalu kembali Gua tatap matanya lekat-lekat, begitupun dirinya yang membalas tatapan Gua. Baru Gua menemukan perempuan seperti dirinya, yang tidak tersipu malu ketika Gua tatap tajam matanya seperti sekarang.
Suasana yang hening ditambah rintikan hujan di luar sana mulai kembali terdengar membuat hasrat kedua manusia yang saling berdekatan di dalam kamar ini bangkit dan saling memajukan wajah. Gua miringkan wajah ke kanan, dan dirinya memiringkan wajah ke kiri, bibir kami sudah sama-sama terbuka sedikit, deru napas yang pelan dan tertahan sampai bisa kami rasakan. Dan nyariiissss... Triiiingg... Triiingngng...
Dering telpon mengagetkan kami berdua dan langsung memundurkan wajah, Gua langsung mengeluarkan hp dari saku jaket dan melirik ke layarnya.
"MY-Ku" Alamaaaakk... Mba Yu menelpon Gua. Echa juga melirik ke layar hp yang masih Gua genggam dan belum Gua angkat.
"Siapa ?", tanyanya.
"Mba Yu..", jawab Gua pelan. "Mba Yu ?", ulangnya bingung. "Eeuu.. Sher.. Sherlin maksud ku".
tap tap tap... Ceklek.. Braak.. Kampret! Langsung pergi, pake banting pintu kamar Gua pula. Haalaah manjang lagi ini ma ngambeuknya...
... Quote: Percakapan via line : Gua : "Hallo Assalamualakium"
Mba Yu : "Hallo Walaikumsalam.. Mas apa kabaaaarrr " Hi hi hi hi" Gua : "Hai Mba, alhamdulilah aku baik.. Kamu apa kabar ?"
Mba Yu : "Alhamdulilah baik juga.. Oh ya, maaf ganggu kamu Mas malam-malam gini, belum tidur kan ?"
Gua : "Enggak apa-apa, aku belum tidur kok.."
Mba Yu : "Eh iya, aku mau ngabarin kalo kamu ditanyain sama Papah dan Mamah nih.."
Gua : "Ditanyain gimana Mba ?"
Mba Yu : "Iya nanyain kamu kenapa jarang main kerumah lagi.. hi hi hi.., terus kamu diminta datang besok kesini, bisa kan " Sekalian lebaran Mas.."
Doeeng! Anjiiirrr! Besok " Ah gile lu ndro, piye iki rek "! Gua : "Hah " besok " Kesini kemana ?"
Mba Yu : "Iya besok, ya kerumah lah.. Kan aku baru sampai rumah tadi jam 8 malam... Bisa ya Mas ya.. Oke ?"
Gua : "Eeuu.. Duh gimana ya, euu.. besok aku ada acara sih.. Gimana kalo.."
Mba Yu : "Oh ada acara, ya udah gini aja, aku sama keluarga yang ke rumah kamu aja ya, sekalian Papah sama Mamah mau ketemu Nenek.."
WTF "! Aduh mama' eeee... apa kareba dengan si manis yang marah-marah di kamar depan sana eeee... Bisa ancur berantakan esok mamaaaa..
Gua : "Mba-Mba tunggu dulu, bentar-bentar, denger dulu... Aku besok sekeluarga mau ke rumah Echa.. Lebaran juga.."
Mba Yu : "Siapa Mas "! ECHA "!"
Mangvus! Malah nyebutin nama Echa! Alaaaaah kampret bener nih mulut enggak bisa di rem!.
Gua : "Eh.. Euu.. Itu.. Euu.. Keluarga ku kan udah deket sama mereka, jadi biasalah silaturhami lebaran aja kok.."


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gua : "Hallo Mba " Hallooow " Mbaa ?"
Mba Yu : "Iya Mas, yaudah kalau gitu, lain kali aja. Maaf ganggu malam-malam, Assalamualaikum".
Tut.. tuutt.. tuuuuuuutttt.. End of Call.
"Walaikumsalam..." ucap Gua dalam hati sambil menatap layar hp.
Sebelum layar hp Gua mengunci otomatis, masuklah satu sms. Gua buka sms tersebut lalu tubuh gua pun lemas dengan hati yang menclos, lelah hati Gua setelah membaca isi pesannya.
Quote: Isi sms : From Teh Echa : Anter aku pulang besok pagi!.
PART 14 Sebuah dering telpon membangunkan Gua di pagi buta ini. Gua lihat layar hp untuk mengetahui siapa gerangan yang mengganggu istirahat Gua.
Quote:Percakapan via line : Gua : "Hallo Assalamualaikum Ve..".
Nona Ve : "Walaikumsalam sayaaang...
Hehehe, maaf ya bangunin kamu subuh gini, tapi aku sengaja kok hi hi hi hi...". Gua : "Ada-ada aja kamu, ada apa Ve ?"
Nona Ve : "Pasti belum shalat subuh kan " Kamu shalat subuh dulu sayang... Aku mau berangkat pulang nih, baru aja jalan mobilnya..".
Gua : "Iya Ve, ini bentaran mau shalat kok.. Kamu hati-hati di jalan ya Ve...".
Nona Ve : "Oke sayang, sampai ketemu nanti malam ya... miss you.. Eh langsung ambil wudhu loch yaa.. Jangan bobo lagi, Hi hi hi...".
Gua : "Iya iya Ve.. Ini mau ambil wudhu kok, oke Ve, see you.. miss you too..."
Selesai telponan Gua pun mengucek mata sambil menguap, dan bergegas ke kamar mandi untuk memberikan bom atom kepada wc, lalu membilas tubuh dan terakhir mengambil wudhu.
Beres menjalankan kewajiban dua raka'at subuh, Gua keluar kamar masih dengan mengenakan sarung dan hanya memakai atasan kaos oblong putih. Gua duduk di kursi ruang makan, sambil menyalakan tv di ruangan ini. Lalu terdengar suara orang yang sedang memasak di balik lemari makan, dimana dapur terletak. Entah siapa yang memasak, Gua masih asyik menonton berita pagi. "Udah shalat subuh Za ?", ucap Nenek keluar dari kamarnya.
"Eh iya Nek, sudah tadi..", jawab Gua sembari menengok ke kiri, dimana Nenek berdiri, "Loch " Nenek mau kemana ?", tanya Gua lagi ketika melihat dirinya sudah rapih dengan pakaian gamisnya.
"Nenek mau ke kota xxx dengan Om dan Tante mu, ke rumah Adiknya alm. Kakek..", jawabnya sambil merapikan kerudung yang dia kenakan.
"Ooh.. Ya udah salam aja ya Nek, Eza ada jadwal padat hari ini.. Hehehe", jawab Gua sambil terkekeh.
"Gaya mu jadwal padat Za Zaa..", ucap suara laki-laki dari arah kanan dekat tv, "Temenin istri mu loch Za sampai mertua mu pulang, nanti kami semua nyusul ke rumah Om Sigit sehabis pulang dari rumah Adik Kakek..", lanjutnya.
Gua yang sudah menengok ke kanan melihat Om Gua dan juga Tante yang menggendong si kecil. Mereka semua sudah rapih dan pamit kepada Gua, lalu keluar halaman rumah dan pergi menggunakan mobil holden milik Om Gua.
Gua kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar mereka sampai teras. Gua lihat sudah ada dua piring nasi goreng kecap dengan potongan sosis dan ayam yang tersaji diatas meja makan. Wah siapa gerangan yang memasak di pagi hari ini untuk Gua. Mantap deh sarapan nasgor spesial nih.
"Teh ?", "Kamu yang masak ?", tanya Gua ketika Echa keluar dari kamar mandi di dekat dapur. "Iya Za, ayo sarapan bareng...", jawabnya, lalu duduk di kursi sebelah Gua.
"Eh sebentar", ucapnya lagi sambil kembali berdiri dari duduk, "Kamu mau minum teh manis hangat atau teh tawar ?", tanyanya. "Teh tawar hangat aja", jawab Gua.
Gua tidak jadi menyendok nasgor yang sudah meminta dikunyah. Lebih enak makan bareng perempuan istimewa, menunggu minuman yang dibuat olehnya. Tidak lama perempuan istimewa itu kembali dengan dua gelas teh dikedua tangannya.
"Ini Za tehnya..", ucapnya seraya menaruh segelas teh di samping piring. "Makasih banyak ya..", ucap Gua sambil tersenyum.
"Sama-sama Ezaa..", timpalnya yang juga tersenyum manis sekali kearah Gua.
Kami pun menyantap nasgor spesial buatannya. Rasanya T.O.P B.G.T, pas di lidah Gua. Tidak butuh waktu lama untuk Gua menghabiskan nasgor buatannya, karena memang sudah lapar dan enak, bersih kinclong tuh piring.
"Gimana Za " Enak nasi gorengnya ?", tanya Echa setelah kami selesai menghabiskan sarapan. "Kurang..", ucap Gua santai.
"Hah " Kurang apa Za ?",
"Kurang asin ya " Atau kurang kecapnya ?", tanyanya sedikit khawatir.
"Kurang banyak Teh..",
"Huehehehehe....", jawab Gua terkekeh.
"Iiih.. Dasar kelaparan kamu tuh..", ucapnya, lalu mencubit pipi kanan Gua pelan.
"He he he...", "Enak banget kok Teh, sumpah deh..",
"Makasih ya udah mau masakin aku sarapan..", balas Gua sambil tersenyum.
"Sama-sama Za.."
"Nanti juga aku bakal sering masakin untuk kamu kan..", balasnya seraya tersenyum manisssss sekali lalu mengerlingkan mata.
Aih aih, bisa banget kamu Teh, luluh sudah hati Gua ini. Kemudian Echa pun mengangkat piring kotor dan gelas kotor dari meja makan lalu membawanya ke dapur. Gua berdiri dan mengikutinya dari belakang. Echa menaruh piring di wastafel cucian, dia mulai mencuci piring kotor bekas kami makan tadi, Gua pun hendak membantunya.
"Eh, enggak usah Za..",
"Jangan di cuciin, biar aku aja udah..", ucapnya ketika tangan Gua mengambil satu piring kotor.
"Aku bantuin enggak apa-apa..", "Udah sini sabunnya", jawab Gua.
"Za.. Ini urusan aku, udah enggak apa-apa, biar aku yang cuci piring..", "Tugas kamu kan mencari nafkah untuk keluarga kita, hi hi hi...", jawabnya.
Wadaaaww, mamvus Gua, aselih dah, pagi-pagi udah double kill aja ini. Ah mantap kalii harii iniii.. Thanks GOD! Echa enggak menyinggung sedikitpun soal semalam, duh baiknya kamu Teh Teh. "Ya udah tunggu di depan sana..",
"Nanti aku buatin kamu kopi habis ini..", ucapnya lagi dengan tetap tersenyum. "Ya udah deh, makasih ya Teh..", jawab Gua, lalu..
Cup... Gua kecup pipinya.
Merona sudah pipinya. Hehehe.. Kils banget dah. Gua pun beranjak meninggalkannya di dapur dan menuju kamar, berganti pakaian lalu duduk di sofa teras depan kamar.
Sebatang racun sudah Gua bakar dan Gua nikmati. Senyum terukir di wajah Gua, pikiran pun melayang membayangkan sosok perempuan istimewa yang sudah tiga malam menginap di rumah ini.
Alangkah baik dirinya kepada Gua selama ini. Fisiknya jangan ditanya deh ya, idaman semua kaum adam maybe. Cemburunya bikin Gua kangen, dan kerinduan akan cubitannya di pinggang Gua bagaikan candu. Rela Gua dicubit olehnya, biar Gua bisa mendekapnya erat. Ah jatuh hati Gua kepadanya. Duh maafin A'a Eza ya Nona Ukhti, maafin Mas Eza ya Mba Yu, maafin Dik Eza ya Mba Polcan. Teteh di dapur sana sudah mencuri hati ku.
"Silahkan Za kopinya..", ucap Echa yang sudah berdiri di hadapan Gua dengan segelas kopi yang dia taruh di meja teras.
"Eh makasih banyak Teh..", ucap Gua yang tersadar dari lamunan.
Kemudian Echa duduk disebelah Gua, cukup dekat hingga Gua mematikan rokok ke asbak.
"Za..", "Maafin aku udah marah sama kamu kemarin..",
"Aku enggak beneran marah kok..", ucapnya sambil tersenyum dan menaruh tangannya di paha Gua.
"Enggak Teh", "Aku yang minta maaf..",
"Maafin aku kalau udah buat kamu kesel seharian kemarin..", "Kamu enggak bener-bener mau pulang pagi ini kan ?", ucap Gua.
"Iya Za.. Enggak, aku enggak beneran mau pulang sekarang", "Nanti kamu sendirian di rumah..",
"Aku kan calon istri yang setia sama kamu, enggak mungkin aku ninggalin suami ku dan berani pergi tanpa izin kamu..", jawabnya sambil tersenyum dan lagi-lagi mengerlingkan mata. Gua ngangkat bendera putih, aseli dah. Ampuuun Teh ampuun! Tiga hari Gua dibuat K.O sama perlakuan, sikap dan ucapannya. I'm yours Teh, i'm yours pokok'e.
"He he he...", "Kamu kok jadi jago gombalin aku sih Teh ?",
"Belajar dimana nih ?", goda Gua seraya mencubit hidungnya mesra.
"Aku enggak gombal loch..",
"Emang kenyataannya seorang perempuan harus jadi calon istri yang bisa melayani suaminya dengan baik kan ?", ucapnya mesra.
"Bisaa ajah kamu nih ya..",
"Sini sini sini...", ucap Gua lalu merangkul lehernya dan mendekatkan dirinya kepada Gua.
Kemudian Gua kucek rambutnya gemas. Echa terkekeh pelan, lalu memundurkan tubuhnya. Dia menatap Gua sambil tersenyum lagi dan lagi.
"Za, kamu kemarin pasti lelah ya bawa mobil seharian..", "Sini deh tangan kamu..", pintanya.
Lalu Gua mengulurkan tangan kanan kepadanya, dan disambut oleh kedua tangannya, Echa langsung memijat tangan Gua turun naik, dimulai dari pergelangan tangan.
Gua tersenyum lebar melihat sikapnya. Sumpah deh, kamu itu benar-benar istimewa dimata ku Teh. Kini Gua menyandarkan tubuh kebelakang, ke bahu sofa. Lalu mata Gua terpejam sambil menikmati pijatannya di tangan kanan ini. Entah berapa menit lamanya Echa memijat Gua, yang jelas Gua sudah membuka mata ketika pijatannya sudah terhenti. Gua menengok ke kanan dan melihatnya sedang tersenyum kearah Gua. Tangan kirinya mengusap lembut kening Gua, menyibakkan rambut yang menutupi kening Gua.
"Za..", "Aku sayang kamu", ucapnya terdengar tulus dengan memainkan jarinya di kening ini. "Aku juga sayang kamu Teh", jawab Gua.
Lalu Echa merapatkan tubuhnya ke tubuh Gua. Dia dekatkan wajahnya ke wajah Gua. Masih ada jarak sedikit diantara wajah kami. Echa lagi-lagi tersenyum sambil menatap mata Gua lekat-lekat.
"Za", "Aku izinkan kamu bebas sekarang, menikmati masa muda ini..", "Tapi kamu harus tau satu hal..", ucapnya sedikit berbisik.
Lalu Echa menaruh telapak tangan kanannya ke dada Gua.
"Pada akhirnya, Aku pastikan hanya ada nama Elsa Ferossa di hati kamu", lanjutnya kemudian mencium pipi kanan Gua.
Ciuman dipipi kanan Gua itu berbeda, sangat berbeda. Mesra sekali, lembut, pelan, namun mampu membius pusat saraf di otak Gua. Jantung Gua berdegup kencang, ciuman dipipi macam apa yang Echa berikan ini "! Gua sampai menelan ludah merasakan ciuman dipipi ini. Gua enggak kuat, Gua palingkan muka perlahan kearah wajahnya, dan...
I kiss ?" Her. . . . . . Lama kami berciuman mesra di teras rumah ini. Gua pagut bibirnya dan tangan kiri Gua sudah memegang tengkuknya, lalu tangan kanan Gua menyapa pinggangnya. Echa menaruh kedua tangannya di bahu kanan-kiri Gua.
Semakin lama, tubuh Gua malah condong kedepan kearahnya, lalu Echa melepaskan pagutan kami, dan kedua tangannya menahan bahu Gua. Sial! Gua beneran nafsu! Enggak bener ini. Nafas Gua pun sampai terengah-engah, mata Gua sayu menatap ke bibirnya yang sudah basah. Echa tersenyum...
"Aku tagih janji kamu..", ucapnya.
"Heum ?", "Janji ?", tanya Gua bingung.
"Kamu harus segera halal-in aku", ucapnya lalu tersenyum semakin lebar.
OH BLOODY HELL!!! I lost my mind! That promise... That's my promise last night! Damn it Agatha! What you gonna do rite now "!
... Menjelang siang hari, sekitar pukul 10 pagi Gua berada di rumah Pak Rw. Menepati permintaan Mba Siska untuk datang menemuinya.
"Masih libur ya Mba ?", tanya Gua ketika sudah duduk di sofa ruang tamunya.
"Iya Za, terakhir hari ini sih",
"Besok juga udah masuk kerja", jawabnya.
"Ooh.. Eh iya, pada kemana Mba keluarga mu " Kok sepi ya ?", tanya Gua.
"Oh, Papah dan Mamah lagi antar Mas Santo ke bandara Za, dia kan dinas di Aceh..", jawabnya, "Oh ya, kamu mau minum apa ?", tanyanya lagi.
"Enggak usah Mba..",
"Aku cuma sebentar kok..", jawab Gua sambil tersenyum.
"Heum ?", "Lagi ada acara Za ?", tanyanya.
"Eumm.. Iya, aku ada janji mau lebaran ke rumah sodara..", jawab Gua lagi.
"Ooh..", "Hmmm.. Ya udah kalo gitu, mungkin lain kali aja..", ucapnya dengan wajah yang nampak kecewa.
"Heum ?", "Kenapa Mba " Maksudnya gimana ya yang 'lain kali aja' "', tanya Gua bingung.
"Enggak apa-apa..",
"Udah enggak usah dipikiran Za..", ucapnya sambil tersenyum yang Gua tau jelas dipaksakan.
"Mba..", "Soal kejadian kem..".
"Ezaa.. Udah jangan bahas ituu..", "Sms Mba keterima kan ?",
"Masih kurang jelas aku bilang apa Za di sms ?", tanyanya.
"Aku mau kamu ngomong langsung ke aku sekarang Mba", jawab Gua tegas.
Mba Siska tertunduk sedikit, lama kami terdiam. Hingga akhirnya Gua mendekatinya, duduk disampingnya.
"Mba, aku minta maaf, bener-bener minta maaf..", ucap Gua tulus.
Mba Siska lalu mendongakkan kepala dan menengok ke kiri kearah Gua. Dia menggeleng pelan sambil tersenyum simpul.
"Aku udah maafin kamu, dan aku enggak marah Za..", ucapnya pelan.
Kami saling menatap dari jarak yang tidak begitu jauh. Sempat terbesit suasana hening seperti ini membuat Gua mengingat kejadian di kontrakannya, tapi buru-buru Gua tepis pikiran bodoh itu. Gua hendak saja berdiri untuk pamit, tapi tangan kiri Mba Siska menggenggam tangan kanan Gua. "Za..", ucapnya masih menatap Gua.
"Ya Mba ?" "Kamu suka sama aku ?". ...
Sore hari pukul 16.00 wib.
"Assalamualaikum..", ucap Gua di ambang pintu.
"Walaikumsalam..", jawab seorang perempuan sambil berjalan menghampiri.
"Maaaassss...",
"Ya ampuuun..", teriaknya.
Gua dipeluk erat olehnya. Gua balas pelukkannya, gak mungkin kalau Gua tidak merindukkan dirinya. Mba Yu semakin terlihat cantik.
"Kamu makin tinggi aja Mas..", ucapnya yang sudah melepas pelukkan.
"Heheh.. Masa sih Mba ?",
"Eh iya, kamu makin cantik aja Mba..", balas Gua.
"Iih malah ngegombal..",
"Eh masuk yuk, tuh Papah sama Mamah lagi di ruang tv..", ajaknya.
Mba Yu tanpa sungkan menarik lengan kanan Gua untuk ikut masuk ke dalam rumahnya, lalu kami berjalan berdampingan dengan tangan kirinya dikaitkan ke tangan kanan Gua.
Sampai di ruang tv nya, Gua pun menyalami kedua orangtua Mba Yu seraya saling memaafkan karena momen idul fitri masih sangat terasa. Lalu Desi pun menyalami Gua.
Sekedar obrolan biasa di ruang tv ini, saling menanyakan kabar antara kami. Mba Yu pergi ke dapur lalu diikuti oleh Desi juga. Tinggal lah Gua dengan kedua orangtua nya disini.
"Mas, kamu sudah tau kalo Mba nya Desi itu sudah putus dengan pacarnya ?", tanya Ibundanya Mba Yu kepada Gua.
Jelas Gua cukup terkejut mendengar pertanyaan yang lebih Gua anggap sebagai informasi up to date. Gua benar-benar tidak mengetahui status Mba Yu yang sudah putus dari pacarnya. "Belum, saya malah baru tau sekarang..", jawab Gua jujur.
"Hoo.. Ta pikir kamu sudah tau Mas..", "Mereka putus bulan puasa kemarin...",
"Sepertinya Mba Yu enggak nyaman sama pacarnya yang kemarin itu..", lanjut Ibunda Mba Yu.
"Ooh gitu.. Tapi saya beneran baru tau..", jawab Gua bingung harus menjawab apa untuk menanggapi obrolan ini.
Bukan apa-apa, Gua tidak mungkin menanyakan hal apa yang benar-benar membuat hubungan Mba Yu dengan pacarnya itu putus kepada kedua orangtuanya, Gua sungkan dan memilih tidak mencampuri urusan mereka. Dan obrolan kami itu sampai kepada sebuah amanat yang cukup berat untuk Gua jalani.
"Mas Eza..", ucap Papahnya kali ini, "Saya titip Levanya",
"Saya lebih suka dia menjalin hubungan dengan Mas Eza..", tandasnya.
"Kami setuju kalau kamu yang mendampingi Mba nya Desi..",
"Ya jujur saja, Mamah berharap kalian jodoh loch Mas..", timpal Ibundanya kali ini. "Aamiin, semoga ya Mas yaa", ucap Papahnya mengamini harapan sang istri.
Tidak lama Mba Yu kembali dengan secangkir kopi hitam ditangannya. Lalu dirinya mengajak Gua untuk mengobrol di teras rumahnya.
Khusus untuk rumah Mba Yu, tepatnya teras rumahnya ini adalah tempat favorit kami berdua, bukan dibangku teras tapi di lantai teras rumahnya, disisi ujung antara lantai teras dengan taman kecil halaman rumahnya.
Gua duduk bersila ditemani seorang perempuan yang pernah mengisi hati Gua dulu. Kepalanya bersandar ke bahu kiri Gua. Gua menatap langit senja di sore ini.
Desiran angin yang kami rasakan di teras ini membuat Mba Yu memejamkan matanya. Gua tau dia sedang menikmati suasana sore hari, suasana yang sama, sama seperti dahulu saat kami berdua masih berstatus sebagai sepasang kekasih.
"Mas..", "Aku kangen masa-masa saat kita bersama dulu..", ucapnya dengan mata masih terpejam.
"Oh ya ?", "Kenapa ?", tanya Gua dengan tetap menatap langit sore.
"Aku kangen kebersamaan kita..",
"Aku kangen sama cemburunya kamu, galaknya kamu, nyebelinnya kamu, dan...", ucapannya terhenti.
Mba Yu menegakkan tubuhnya, lalu menengok kearah Gua, kami berdua saling menatap. Entah mungkin perasaan yang sama yang saat ini kami rasakan membuat kami sama-sama tersenyum. "Dan aku kangen sama kasih sayang kamu Mas".
... Malam hari Gua berada di taman kota. Duduk didalam mobil, karena cuaca diluar sangat dingin, dan angin malam sedang galak-galaknya berhembus.
"Makasih sayang hadiahnya", "Kamu kok repot-repot gini sih..",
"Akunya juga masih lama kan ulang tahunnya", ucap Sang Nona Ukhti yang duduk dibangku samping kemudi.
"Enggak kok, itu hadiah biasa aja, pingin aja ngasih kamu kejutan kecil..", ucap Gua. "Makasih ya, aku suka sama jam tangannya..",
"Sayaang kamuu...", ucapnya lagi lalu memeluk Gua.
"Sama-sama, makasih juga untuk kamu yang selalu ada untuk aku ya Ve..", balas Gua lalu mengelus lembut kepalanya yang berbalut hijab biru muda.
"Za, tanpa kamu kasih aku hadiah apapun, aku akan selalu ada untuk kamu..", "Rasa sayang dan cinta aku ke kamu enggak akan bisa diukur oleh barang semewah apa pun..", "Jangan berubah ya Za, aku mencintai kamu apa adanya", ucapnya seraya memegang kedua pipi gua dengan kedua telapak tangannya.
Vera dan Gua sama-sama tersenyum. Gua lihat ketulusannya terpancar dari ekspresi wajahnya. Lalu Vera mendekatkan wajahnya sambil memejamkan mata. Gua tersenyum semakin lebar, lalu... Tep... Gua menahan bibirnya dengan menempelkan satu jari ke bibirnya.
"Suatu saat nanti, aku yang akan mencium bibir kamu duluan..", "Dan jika hari itu tiba, aku akan nyatain perasaan aku ke kamu Ve..", ucap Gua.
"Aku pasti menunggu kamu..", "Love You...", jawabnya.
Cup... Dikecupnya pipi Gua sebentar, lalu Vera memeluk Gua kembali dan menyandarkan kepalanya di bahu ini.
*** Quote: "Apa kabar Za ?".
"Alhamdulilah baik..", "Papah apa kabar ?".
"Alhamdulilah baik juga..", "Gimana kuliah mu ?".
"Lancar, baru awal semester..".
"Baguslah..", "Ada hal yang mau Papah bicarakan ke kamu Za..".
"Soal apa ya Pah ?". "Ini sebuah permintaan". "Permintaan ?".
"Berikan kebahagiaan kepadanya ya..".
"Kebahagiaan ?",
"Kebahagiaan bagaimana ?".
"Jadikan 'Dia' pendamping hidup kamu...".
. . . . . . WELCOME to THE ELEGY PART 15
"Za kita berangkat sekarang ya, mungkin satu jam lagi mereka sampai rumah..", ucapnya.
"Oh oke", "Barang-barang kamu enggak ada yang ketinggalan ?", tanya Gua. "Enggak kok, cuma pakaian aja nih di tas...", jawabnya.
Setelah Gua memastikan semua pintu rumah terkunci dengan aman, kami pun masuk ke dalam mobil. Gua nyalakan mesin si Black, menunggu beberapa menit lalu mobil mulai meninggalkan halaman rumah Nenek.
"Za, tadi kamu ada perlu apa ke rumah Pak Rw ?", tanyanya ketika kami masih dalam perjalanan. "Ada yang aku obrolin sama Mba Siska", jawab Gua tanpa menoleh ke kiri.
"Eumm..", "Boleh aku tau soal apa ?", ucapnya terdengar hati-hati dengan nada suara yang pelan.
Gua menggelengkan kepala lalu menengok kearahnya dan tersenyum, "Belum saatnya kamu tau..", jawab Gua lagi dengan tetap tersenyum.
"Oh okey, maaf ya", ucapnya lalu membalas senyuman Gua dan mengelus punggung tangan kiri Gua yang berada diatas persneling.
Pukul 12 siang Gua sudah berada di rumahnya, selang setengah jam kemudian, keluarganya pun datang lalu di ikuti oleh keluarga Gua. Kami semua bercengkrama saling memohon maaf layaknya lebaran kepada saudara. Yang belum hadir disini hanyalah Ayahanda. Gua dengar dari Om Gua, Beliau akan menyusul ke sini langsung dari Bandung.
Obrolan seputar pekerjaan Om Gua dan Papahnya menjadi topik pertemuan keluarga kami. Sedangkan Gua dan Echa menikmati makanan khas dari kampung halaman Papahnya itu di ayunan halaman belakang rumahnya.
"Za, kamu bilang tadi putusnya kamu dengan Sherlin karena Luna ?", tanyanya.
"Ya bukan salah Luna juga, aku gak bisa nyalahin Luna aja kalo nyatanya aku sendiri terbawa suasana waktu itu..", jawab Gua.
Echa menggeleng pelan, lalu menghela napas kasar.
"Ya aku rasa emang wajar sih kalo Luna sampai bisa buat kamu tergoda",
"Walaupun rasanya aku enggak suka dengan kenyataan ini, tapi aku harus akui kalo Luna memang cantik..", jelasnya.
"Kesalahan yang udah aku lakukan bukan hal yang bisa diterima dengan mudah oleh Sherlin..", "Jauh-jauh hari Sherlin udah ngingetin aku, kalo dia enggak suka dengan Luna, dan minta aku jauhin Luna",
"Nyatanya ", Aahh.. Semuanya udah terlambat..", sesal Gua mengingat kembali kenangan bersama Luna dan Mba Yu.
Echa hanya menatap Gua tanpa senyuman, lalu kedua tangannya memegang satu tangan kanan Gua.
"Belum terlambat kok Za, buktinya kamu dengan Sherlin masih bisa berteman baik kan ?", "Seenggaknya kalian bisa jadi teman..",
"Jarang kan ada pasangan yang putus karena orang ketiga lalu mereka masih bisa berteman baik ?", jelasnya lagi.
Gua hanya bisa menganggukkan kepala menanggapi ucapannya itu. Lalu kami berdua kembali ke dalam rumah.
Gua lihat ternyata sudah ada Ayahanda yang sedang duduk disamping Om Gua, mereka berdua sedang mengobrol dengan Papah dan Mamahnya Echa di ruang tamu, sedangkan Nenek dan Tante Gua berada di kamar tamu rumah ini, menidurkan si kecil.
Gua salami Ayahanda yang langsung datang kesini setelah dari Bandung, begitupun Echa yang mencium tangan Beliau setelah Gua. Lalu kami berdua duduk berdua disalah satu sofa yang masih kosong. Entah kenapa semuanya malah menatap kami seraya tersenyum. Gua dan Echa jelas kebingungan, dan kami berdua pun malah saling memandang satu sama lain, sepertinya apa yang ada dipikiran kami sama. 'Ada apa sih "'.
Sebelumnya, saat Gua bertemu diawal dengan kedua orangtua Echa, Gua banyak mengobrol dengan Mamahnya, dan dengan Papahnya belum sempat Gua mengobrol panjang lebar, karena ketika mereka datang, Papahnya Echa sedang menelpon seseorang, alhasil Gua hanya menyalami Beliau dan langsung mengobrol dengan Istrinya itu bersama Echa.
"Apa kabar Za ?", tanya Papahnya kepada Gua.
"Alhamdulilah baik Pah", jawab Gua, "Papah apa kabar ?", lalu balik bertanya.
"Alhamdulilah baik juga..",
"Gimana kuliah mu ?", tanyanya lagi.
"Lancar, baru awal semester soalnya", jawab Gua lagi.
"Baguslah..", "Ada hal yang mau Papah bicarakan ke kamu Za..", ucapannya kali ini penuh penekanan.
Seketika itu juga suasana ruang tamu yang berisikan enam orang ini mendadak hening, tidak ada suara obrolan dan tawa seperti sebelumnya.
"Soal apa ya Pah ?", tanya Gua bingung.
"Ini sebuah permintaan", nadanya tegas, seolah-olah bukan permintaan, melainkan perintah.
Setidaknya itu yang Gua rasakan, sebuah perintah atasan berpangkat tinggi kepada anak buahnya. Bagaimanapun pembawaan Beliau tidak terlepas dari jabatannya di militer. Karakter seorang pemimpin yang penuh kharisma dan wibawa yang tinggi. Cukup membuat semua orang yang ada di dalam ruang tamu ini terdiam dan tidak ada yang berani mengintrupsi.
"Permintaan ?", tanya Gua lagi mengulang ucapannya.
"Berikan kebahagiaan kepadanya ya..", jawabnya sambil melirik seorang perempuan di sebelah Gua.
Gua pun mengikuti arah mata Beliau, Gua menengok ke kiri, dimana Echa duduk tepat di sebelah Gua. Lalu kembali Gua menengok kepada Papahnya.
"Kebahagiaan ?",
"Kebahagiaan bagaimana ?", tanya Gua lagi yang jelas semakin bingung dengan apa yang Beliau maksud.
"Jadikan Echa pendamping hidup kamu", tandasnya seraya tersenyum kepada Gua.
Sontak Gua terkejut dengan apa yang diucapkan Beliau, rasanya seperti hal yang tidak pernah akan Gua dengar diumur Gua yang belum juga menginjak 19 tahun. Gua menelan ludah, lalu melirik ke Wanita disampingnya, sang istri pun ikut tersenyum kepada Gua, lalu Gua tengok kepada Om Gua, sama, semua tersenyum termasuk Echa kecuali satu orang. Ayahanda. Ya, Ayahanda Gua hanya menatap Gua tanpa ekspresi apapun, Beliau menyandarkan punggung ke bahu sofa dibelakangnya, mengatupkan kedua tangannya diatas pahanya, memandang Gua lekat-lekat tanpa senyuman, tanpa emosi, tanpa ekspresi yang bisa Gua tangkap. Entahlah apa yang ada dipikiran Ayanda saat ini. Gua menghela napas pelan, lalu terkekeh sambil menggelengkan kepala.
"Kebahagiaan macam apa yang bisa saya berikan untuk anak Papah ?", tanya Gua kepada Papahnya Echa,
"Saya masih terlalu muda untuk menjalani apa yang Papah pinta..", lanjut Gua.
"Oh tentunya kamu tau hal apa yang bisa membuat Echa bahagia..", jawabnya, "Sebuah pernikahan tidak harus dilangsungkan pada saat umur kalian berdua menginjak 20 tahun toh ?", lanjutnya,
"Dan materi, pekerjaan atau apapun itu yang menyangkut duniawi tidak perlu kamu pusingkan..", lalu Beliau tersenyum.
Gw menggigit bibir bawah, lalu memejamkan mata, kedua tangan Gua terkepal kuat. Lalu Gua rasakan ada tangan lembut yang mengelus punggung tangan kiri ini. Gua menghela napas lagi ketika punggung tubuh Gua pun disentuh oleh tangan lembutnya.
"Za, orangtua tentunya ingin yang terbaik untuk anaknya",
"Begitupun kami.. Harapan Papah dan keluarga kamu adalah pernikahan kalian", "Papah dan keluarga mu sudah membicarakan hal ini sejak kalian masih kecil", lanjut Papahnya Echa.
"Tapi Saya rasa tidak perlu secepat ini Mas..", potong Ayahanda, "Elsa dan Reza masih kuliah",
"Biarkan mereka menyelesaikan pendidikannya dulu", lanjut Ayahanda kepada Papahnya Echa.
"Dik Altar, kita sudah membicarakan ini toh ?",
"Kita semua setuju dengan rencana pernikahan mereka sebelum saya pensiun..", "Kuliah mereka berdua masih bisa diteruskan walaupun statusnya nanti sudah jadi suami -istri, dan itu bukan masalah yang besar", jawab Beliau panjang lebar.
"Akan jadi masalah yang besar dikemudian hari, karena saya tau..", "Anak saya belum mampu untuk berumah tangga Mas", ucap Ayahanda, "Mentalnya belum mampu untuk menghadapi tekanan dalam kehidupan berumah tangga", "Tentunya kita semua tidak ingin melihat mereka berpisah ditengah jalan kan Mas ?", tandas Ayahanda dengan nada yang halus dan sopan.
Suasana di ruang tamu ini pun terasa berbeda, tidak seramah seperti sebelumnya, sedikit ada ketegangan diantara dua kepala keluarga. Gua memang tidak menginginkan melepas masa lajang di usia yang masih terlalu muda untuk menikah, dan apa yang Ayahanda katakan benar. Gua belum mampu untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang suami saat ini. Tapi bagaimanapun, Gua juga tidak ingin ada perpecahan diantara keluarga kami berdua.
"Mas Sigit...",
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada keluarga besar Mas", "Saya rasa pernikahan ini harus ditunda dulu..",
"Biarkan Reza mendapatkan pengalaman hidupnya, begitupun dengan Elsa", lanjut Ayahanda, "Dan...",
"Untuk kamu Elsa...", ucap Ayahanda kali ini kepada Elsa. "Iya Om ?", ucap Elsa.
"Kamu tidak keberatan kan ?",
"Menunggu Reza, dan diri kamu pribadi menjadi lebih dewasa lagi dengan pengalaman kalian hingga nanti tiba saatnya kalian sudah cukup untuk menjalani bahtera rumah tangga", lanjut Ayahanda. Gua melirik kepada Echa, dia tersenyum kepada Ayahanda.
"Enggak Om..", "Aku enggak keberatan sama sekali untuk menunggu...", jawabnya yakin tanpa beban.
Ayahanda pun ikut tersenyum kepada Echa. Lalu sekarang kami semua menatap kepada sang kepala keluarga rumah ini.
Beliau tersenyum kepada Gua dan Echa, memejamkan mata seraya mengangguk pelan, lalu berdiri dari duduknya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana kanan dan kiri.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berdiri tegap, Beliau menatap tajam kearah Ayahanda.
"Dik Altar, pastikan Reza datang ke rumah ini lagi dua tahun kedepan dengan niat untuk melamar Elsa".
Ayahanda balik menatap tajam kepada lelaki bintang satu itu. Lalu Ayahanda menyunggingkan senyuman menantang, dan mengangguk satu kali.
... Sekarang Gua dan Elsa berada di teras rumahnya.
"Za, soal obrolan tadi jangan dijadiin beban ya..",
"Maafin ucapan Papah", ucap Elsa yang berdiri dihadapan Gua. "Enggak kok Teh, santai aja ha ha ha ha...", jawab Gua. Lalu Echa tersenyum dan memegangi pipi kanan Gua.
"Teh, aku janji akan selalu jagain kamu..",
"Tapi menjaga kamu bukan berarti kita harus terikat dalam satu hubungan kan ?".
"Iya Za, aku paham maksud kamu", "Aku tau kamu akan selalu jagain aku..",
"Kalau memang itu menjadi tugas kamu, biarkan aku yang akan merjuangin cinta ini..", "Aku yang akan berusaha untuk membuat kamu mencintai aku", jelasnya lalu memeluk Gua. Gua balas pelukkannya, mendekapnya dengan erat, lalu membelai lembut rambutnya.
"Maafin aku Teh",
"Biarkan lah untuk saat ini semuanya mengalir apa adanya",
"Dan jika memang nanti aku sudah bisa membalas cinta kamu, aku pastikan enggak akan melepaskan kamu dari sisi ku..", ucap Gua.
Lalu Gua rasakan wajahnya semakin terbenam di dada ini.
"Aku yakin kamu tau siapa yang terbaik pada akhirnya Za...",
"Aku enggak peduli dan enggak takut untuk bersaing dengan perempuan manapun..", "Karena impian aku adalah kamu", ucapnya lirih.
"Makasih untuk cinta kamu..", balas Gua.
Tidak lama, kami berdua melepaskan pelukkan, lalu berganti kini Gua yang memegangi kedua pipinya, Gua lihat Echa tersenyum tanpa airmata, syukurlah dia tidak menangis. "Aku pamit dulu ya..".
"Ke rumah Sherlin ?".
Gua mengangguk pelan. Lalu Echa tersenyum dan mengecup kening Gua.
Cup... "Hati-hati di jalan ya Za..",
"Jangan kebut-kebutan", ucapnya.
"Okey...", "Aku pamit dulu ke dalam deh..", ucap Gua lagi.
Lalu Gua pun pamit kepada keluarga Echa dan Keluarga Gua. Gua sempat melihat semuanya baikbaik saja, tidak ada adu argumen ataupun suasana yang tegang seperti sebelumnya. Malah Gua lihat Ayahanda sedang tertawa bersama Papahnya Echa, entah apa yang mereka obrolkan sekarang. Singkat cerita Gua sudah menyalami semua orang yang ada di dalam rumah ini. Kemudian Gua kembali keluar rumah menuju si Black. Echa berdiri di luar pintu kemudi ketika Gua sudah berada di dalam bangku kemudi.
"Za..". "Ya ?". "Salam untuk Sherlin ya..". "Okey..".
......... Teras rumah Mba Yu, pukul 17.00 wib.
Desiran angin yang kami rasakan di teras ini membuat Mba Yu memejamkan matanya. Gua tau dia sedang menikmati suasana sore hari, suasana yang sama, sama seperti dahulu saat kami berdua masih berstatus sebagai sepasang kekasih.
"Mas..", "Aku kangen masa-masa saat kita bersama dulu..", ucapnya dengan mata masih terpejam.
"Oh ya ?", "Kenapa ?", tanya Gua dengan tetap menatap langit sore. "Aku kangen kebersamaan kita..",
"Aku kangen sama cemburunya kamu, galaknya kamu, nyebelinnya kamu, dan...", ucapannya terhenti.
Mba Yu menegakkan tubuhnya, lalu menengok kearah Gua, kami berdua saling menatap. Entah mungkin perasaan yang sama yang saat ini kami rasakan membuat kami sama-sama tersenyum. "Dan aku kangen sama kasih sayang kamu Mas".
Gua menggeser posisi duduk lalu mendekatinya, Gua belai rambut atasnya lalu turun membelai lembut wajahnya.
"Aku takut mengulang kesalahan yang sama..", "Aku belum bisa benar-benar ngejaga hati ini untuk kamu",
"Tapi aku tetap menyayangi kamu sampai sekarang, aku berusaha untuk selalu ngejaga kamu walaupun kita hanya sekedar teman..",
"Dan mungkin untuk kita bisa balikkan seperti dulu bukan sekarang Mba". jelas Gua.
Mba Yu terdiam sejenak, entah apa yang ada dipikirannya, lalu yang kami lakukan hanyalah saling menatap beberapa lama. Lalu Gua memberikan sebuah kado kecil untuknya. "Ini apa Mas ?", tanyanya.
"Buka aja..", jawab Gua tersenyum.
Mba Yu pun membuka kertas kado yang membalut barang yang Gua beli untuknya. Lalu bungkusan kado pun terbuka semua dan memperlihatkan sebuah kotak jam tangan berlogo ceklist.
"Mas.. Ini..", "Ini untuk apa ?",
"Maksud aku dalam rangka apa ?", tanyanya dengan wajah yang cukup terkejut melihat barang digenggamannya itu.
"Dalam rangka kasih kejutan aja buat kamu...", "Enggak ada apa-apa kok, hehehe..".
"Makasih banyak ya Mas, aku suka banget sama jam tangannya",
"Ditambah warnanya, warna favorit aku...", ucapnya seraya mengenakan jam itu pada pergelangan tangan kanannya.
Lalu suara Desi membuat kami berdua menengok kearah pintu rumah.
"Mba, ada telpon tuh..", ucap Desi yang berdiri diambang pintu rumah.
"Eum ?", "Telpon dari siapa ?", tanya balik Mba Yu. "Dari Mas Feri..", jawabnya.
Gua melihat respon Mba Yu yang malas, lalu sambil berdiri, dia sedikit ngedumel.
"Orang gak mau ngomong kok malah nelpon ke rumah sih.. Hiih..!", ucapnya sambil berjalan ke dalam rumah.
Gua hanya memperhatikan Mba Yu yang semakin jauh dan masuk ke dalam rumahnya, Desi masih berada di ambang pintu, lalu menengok kearah Gua ketika Kakaknya itu sudah semakin jauh masuk kedalam.
"Mas..". "Ya Des ?". "Feri itu nama mantannya si Mba..". "Terus ?".
"Iiiihhh.. Mas Eza enggak cemburu apa ?".
"Ha ha ha ha...",
"Ya enggak lah Des, ngapain cemburu ?", "Kan aku bukan pacarnya Mba mu lagi sekarang".
"Iya aku juga tau kalo itu Mas..",
"Tapi seenggaknya Mas Eza bisa ngungkapin perasaan cemburu dong, karena Mba masih dideketin sama mantannya..",
"Eh sebentar...",
"Atau jangan-jangan...",
"Mas Eza udah gak sayang sama Mba ku ya "!".
Gua menghela napas lalu tersenyum geli mendengar ucapan Desi. Gua berdiri dari duduk lalu mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang.
"Des, denger ya..",
"Perasaan aku ke Mba mu enggak berubah sampai sekarang..", ucap Gua lalu menyelipkan sebatang rokok tadi ke mulut ini dan membakarnya,
"Fuuuuuhh....",
"Aku tetap sayang sama Mba mu sampai kapan pun..", "Dan...",
"Rasa cemburu bukanlah sebuah bukti bahwa kita cukup sayang kepada orang itu..", jelas Gua kepadanya.
"Terus apa dong ?", tanyanya lagi.
"Menjaganya lebih penting dari sekedar cemburu.. Dan itu cukup membuktikan bahwa kita menyayangi seseorang".
......... Taman Kota, 19.30 wib. Vera dan Gua sama-sama tersenyum. Gua lihat ketulusannya terpancar dari ekspresi wajahnya. Lalu Vera mendekatkan wajahnya sambil memejamkan mata. Gua tersenyum semakin lebar, lalu... Tep... Gua menahan bibirnya dengan menempelkan satu jari ke bibirnya.
"Suatu saat nanti, aku yang akan mencium bibir kamu duluan..", "Dan jika hari itu tiba, aku akan nyatain perasaan aku ke kamu Ve..", ucap Gua.
"Aku pasti menunggu kamu..", "Love You...", jawabnya.
Cup... Dikecupnya pipi Gua sebentar, lalu Vera memeluk Gua kembali dan menyandarkan kepalanya di bahu ini.
'Semoga apa yang aku jalani ini benar, setidaknya untuk saat ini, biarlah aku membiarkan kamu menunggu untuk beberapa lama. Aku gak akan tega untuk menyakiti hati kamu. Dan jika suatu saat itu sampai kejadian, aku akan menebusnya dengan apa pun yang kamu ucapkan, sumpah serapah mu, agar aku mendapatkan maaf mu Ve'.,Ucap Gua dalam hati.
"Ve, kita pulang ya..",
"Udah larut, kamu juga kan pasti masih cape karena baru sampai..", ucap Gua kepadanya. "Iya Za, ya udah yu..", jawabnya seraya melepaskan pelukkannya.
Gua pun memacu si Black dari taman kota ini untuk menuju ke rumah Nona Ukhti. Sekitar lima belas menit kami pun sampai di depan rumah Nona Ukhti.
"Za mau masuk dulu ?", tanyanya setelah melepaskan seatbelt.
"Mmm.. Lain kali ya Ve, maaf",
"Aku masih ada perlu soalnya..", jawab Gua.
"Ooh gitu, ya udah oke deh..",
"Kamu hati-hati di jalan ya Sayang, jangan ngebut bawa mobilnya..", ucapnya.
"Iya Ve, aku gak akan kebut kok bawa mobilnya..",
"Salam untuk Papah kamu ya, maaf belum bisa nemuin Beliau..", ucap Gua lagi. "Okey Sayang...".
Lalu dia, Nona Ukhti Vera, perempuan dengan pakaian gamis dan hijab berwarna biru mudanya itu mengulurkan tangan kepada Gua. Gua sempat bingung dan dia tersenyum kepada Gua. Gua pun tersenyum lebar ketika Gua menyambut tangannya.
Cup... Nona Ukhti Vera mencium punggung tangan kanan Gua.
Seolah-olah dia ingin menujukkan bahwa dirinya pantas untuk menjadi istri yang baik dan taat pada suaminya. Setelah itu dirinya pun pamit keluar mobil.
"Assalamualaikum Za..", ucapnya dari luar mobil dan sedikit menunduk untuk melihat Gua dari jendela pintu mobil yang sudah Gua turunkan sebelumnya.
"Walaikumsalam Ve..", "Aku pulang ya..". .........
Gua sudah memarkirkan mobil di halaman rumah Nenek, Gua lihat mobil Holden Om Gua dan si Kiddo sudah terparkir rapih. Pintu rumah pun sudah terbuka.
Gua masuk ke dalam ruang tamu dan menyalami semua keluarga Gua yang sudah pulang dari rumah Echa. Lalu setelah itu Gua menuju kamar dan bergegas membilas tubuh di dalam kamar mandi. Selesai bersih-bersih, Gua pun mengenakan pakaian rapih lagi, baju polo warna merah dengan longjeans hitam.
"Mau kemana lagi kamu ?", tanya Ayahanda dari pintu kamar.
"Ada janji Yah..",
"Mau makan di luar", jawab Gua sambil menengok kearah Beliau.
"Hm...", "Sama perempuan ?", tanya Ayahanda lagi. "Iya Yah".
"Pacar kamu ?". ....
"Iya". *** Gua kembali berada di dalam mobil celica, memacunya pelan di jalan raya kota ini.
"Za, kamu enggak alergi makan seafood kan ?", tanya seorang perempuan cantik di bangku sebelah kemudi.
"Enggak kok..",
"Tenang aja..", jawab Gua tanpa menengok kearahnya karena fokus pada jalanan di depan.
Sekitar 20 menit kemudian Gua sudah memarkirkan mobil di depan warung tenda yang menyediakan menu laut. Gua mematikan mesin mobil, lalu membuka seatbelt.
"Za..". "Heum ?". "Makasih ya..".
"Untuk apa ?". Dirinya membuka seatbelt yang melingkar pada tubuhnya, lalu mendekatkan tubuh kepada Gua. Cup... Dikecup mesra pipi kiri ini.
"Makasih sudah mengakhiri penantian aku selama ini", ucapnya dengan wajah yang tepat berada di depan wajah Gua.
Gua tersenyum lalu mengangguk pelan, lalu Gua belai rambutnya, Gua tundukkan sedikit kepalanya. Cup... Gua kecup keningnya.
"Aku sayang kamu Za..". "Aku juga sayang kamu Mba..".
PART 16 Selesai makan kerang, kepiting saos tiram, dan es teh manis kenyang sudah perut ini. "Mau nambah Za ?", tanya sang kekasih.
"Udah Mba, aseli kenyang nih huufft...", "Eumm.. Mba..".
"Yaa ?", "Aku boleh ngerokok ?", tanya Gua meminta izin.
"Iya, boleh Za..",
"Tapi jangan keseringan ya Za", jawabnya. "Oke Mba".
Gua pun membakar sebatang racun dan menikmati setiap hisapannya. Meminta izin seperti tadi kok rasanya Gua kayak anak kecil ya, tapi Gua rasa hal seperti itu adalah salah satu bentuk saling menghargai diantara kami.
Perempuan yang sedang duduk sambil memainkan hp di samping Gua ini benar-benar membuat Gua jatuh hati. Pertanyaan yang dilontarkan ketika Gua hendak pulang dari rumahnya itu malah membuat kami berdua saling mengungkapkan kejujuran. Gua tidak pernah mengetahui kalau dirinya ternyata menyukai Gua selama ini. Gua pun tidak memungkiri, kalau rasa suka kepadanya sudah lama Gua pendam, namun hanya sebatas suka, sama halnya dengan sahabat-sahabat Gua yang lain seperti Rekti cs saat kami masih berstatus pelajar smp dan sma.
Lama-kelamaan setelah kami berdua lebih sering bertemu dewasa ini, entah sengaja ataupun tidak, perasaan Gua semakin ingin menjadikannya sebagai kekasih hati. Bukan hanya pesona fisiknya yang jelas-jelas aduhai amboy seksinya, apalagi untuk ukuran seorang perempuan, dirinya memiliki tinggi 172 cm, semakin bertambah saja pesonanya.
Nah, yang membuat Gua jatuh hati karena lebih kepada sikapnya, sikap yang baik dan ramah kepada Gua ketika kami bertemu. Berbeda dengan sikapnya saat bertemu Rekti cs, bukan berarti dia judes, jual mahal ataupun menunjukkan hal negatif lainnya, dia tetap ramah dan baik kepada sahabatsahabat Gua itu, tapi hanya sekedar 'say hai' saja dan jarang sekali, malah mungkin tidak pernah mengobrol dengan para sahabat Gua. Tidak seperti kepada Gua, yang bahkan dirinyalah yang memulai obrolan duluan ataupun mengajak Gua pergi untuk sekedar mengantarnya ke suatu tempat.
Karena alasan-alasan itulah Gua merasa bahwa perempuan di samping Gua ini memiliki perasaan yang sama kepada Gua. Dan ternyata benar adanya, kini kami sudah bukan lagi sekedar tetangga satu komplek, bukan lagi teman biasa, bukan lagi kakak-adik karena perbedaan umur. Lalu, tanpa disangka-sangka sebelumnya, Gua benar-benar bisa mendapatkannya. Kini kami berdua sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, dimulai sejak pagi tadi di rumahnya. "Za, pulang sekarang ?", tanyanya ketika melihat Gua sudah selesai merokok. "Yuk..".
Gua hendak membayar makanan kami berdua, tapi dirinya malah menahan Gua dan memilih untuk membayarkan makanan yang kami pesan tadi, alhasil Gua hanya tersenyum dan asyik-syik aja dapet traktiran ha ha ha...
Hari yang melelahkan, menguras tenaga dan pikiran, sekarang Gua sedang berada di teras depan kamar, tentunya masih bersama sang kekasih baru.
"Cape ya hari ini Za ?", tanyanya yang duduk di samping Gua.
"Iya Mba..", "Seharian ini muter-muter hehehe...", jawab Gua sambil menyandarkan kepala ke bahu sofa.
Tiba-tiba tangannya sudah menyapa lengan kanan Gua, sambil tersenyum teduh dirinya memijat pelan lengan ini.
"Maaf ya..". "Kok minta maaf Mba ?".
"Maaf aku udah cemburu ke kamu..", lanjutnya.
"Enggak apa-apa Mba", "Wajar kok..",
"Aku yang salah baru cerita sama kamu tadi", jawab Gua.
Pada saat perjalanan pulang sehabis kami makan, dirinya memang baru Gua ceritakan kalau siang hingga malam sebelum jalan dengannya, Gua silaturahmi ke rumah Echa, Sherlin dan Vera. Dari ketiga perempuan itu, yang dia kenal hanya Echa dan Sherlin, dan dia tau kalau Echa menaruh hati kepada Gua, sedangkan nama Sherlin, dia tau kalau Gua pernah berpacaran sebelumnya dengan Mba Yu Gua itu. Ya otomatis dia langsung cemberut dan bete ketika Gua ceritakan. Lucu sebenarnya mengetahui dirinya juga cemburu seperti itu, Gua pikir dia lebih mengerti karena mengingat umurnya yang sudah sangat dewasa, but girls always be girls. Ha ha ha, Love You lah pokoke Mba. "Aku pulang dulu ya Za".
"Iya Mba, udah malam ya",
"Besok kerja berangkat subuh kan ?", tanya Gua. "Iya Za..".
"Yuk aku antar pulang".
Kami pun bangkit dari duduk, baru saja melangkah sampai halaman rumah, si Kiddo datang bersama Ayahanda.
"Loch mau kemana lagi Za ?", tanya Ayahanda dari atas si Kiddo dengan mesin yang masih menyala. "Mau antar pulang aja ini", jawab Gua seraya melirik kepada perempuan disebelah Gua. "Oh, enggak pakai mobil ?", tanya Ayahanda lagi lalu mematikan mesin si Kiddo.
"Enggaklah Yah, rumahnya deket kok..", "Oh ya kenalin Yah, ini....", lanjut Gua.
"Malam Om, kenalkan saya Siska..", ucap sang kekasih. Mba Siska pun mencium tangan Ayahanda.
"Oh ya, saya Altar, Ayahnya Reza", "Rumah kamu dimana Mba ?", tanya Beliau. "Di nomor xx Om...", jawab Mba Siska.
"Oh masih disini, rumah xx ?", "Kamu anaknya Pak Rw ya ?". "Iya Om saya anak kedua nya". "Kamu kuliah dimana Mba ?", "Atau sudah kerja ?", tanya Ayahanda lagi. "Alhamdulilah saya sudah kerja Om..". "Oh sudah kerja, dimana Mba ?".
"Saya...", "Saya Polwan Om..", jawabnya dengan nada suara yang pelan.
Ayahanda terlihat sedikit terkejut setelah mendengar profesi sang kekasih hati Gua itu. Lalu...
"Oh syukurlah sudah kerja ya Mba", "Mudah-mudahan karir kamu bagus ya". "Amin, terimakasih banyak do'a nya Om..".
"Ngomong-ngomong... Kok bisa mau kamu Mba sama Si Cuplis ini " Ha ha ha...". Wah wah wah, gak beres ini Bokap, malah ngecengin Gua.
"Enggak tau juga Om, Eza nya melet saya kayaknya, hi hi hi...". Eeaa, makin aja dah Gua dicengin, parah.
"Ha ha ha...", "Ya sudah Mba, sing sabar yo Mba..",
"Kalau Si Cuplis ini nakal, jangan sungkan untuk 'dor' kepalanya Mba, daripada beban hidup mu bertambah.. Ha ha ha ha...".
"Wah parah, makin gak bener nih obrolan, udah yuk Mba pulang...", potong Gua ketika mereka masih asyik tertawa.
"Ya sudah antar dulu pulang pacar mu..", ucapnya kepada Gua, "Salam ke Bapak ya Mba", ucap Ayahanda kali ini kepada Mba Siska.
"Iya Om, insha Alloh disampaikan salamnya..",
"Saya pamit dulu Om..", jawab Mba Siska sambil menyalami Ayahanda lagi, "Assalamualaikum".
"Iya, walaikumsalam..", "A' antar sampai bertemu orangtuanya ya..", pesan Beliau kepada Gua. "Okey".
Kami pun berjalan meninggalkan Ayahanda yang mendorong si Kiddo masuk ke halaman rumah. Mba Siska mengaitkan lengannya ke lengan Gua ketika kami berjalan berdampingan. "Za, enggak marahkan tadi ?", tanyanya ketika kami masih tetap berjalan. "Males aku!", jawab Gua lalu memalingkan muka.
"Iiihh maaarah diaaa...",
"Ha ha ha ha, jelek ah kamu sok-sok marah gitu..", ucapnya seraya menoel pipi Gua. "Biarin jelek juga! Marah pokoknya lah!".
"Ih ih ih ih... Apaan itu ?", "Marahnya kayak cewek deh..". "Bodo amaat!".
"Ha ha ha ha...",
"Maaf deh yaa sayang..", Cupp.. Dikecupnya pipi Gua.
Weh maen kecap-kecup aja ditengah jalan, untung udah larut, rumah-rumah para tetangga sudah pada tertutup.
"Udah gak bete kan ?", tanyanya lagi seraya tersenyum. "Masih lah".
"Loch ?". "Yang ini belom...", ucap Gua sambil memanyunkan bibir. Tuing.. kampret, pala Gua ditoyor.
"Enak aja!", "Sini enggak apa-apa deh, kalau udahnya mau ta Dor!", jawabnya sambil melotot. "Sadis ih, pingin apa jadi janda ditinggal mati ?", ucap Gua ngawur.
"Iih Amit-amit!",
"Sembarangan kalau ngomong kamu!".
"Kamu yang duluan sembarangan..",
"Eh udah sampe nih, masih dibukain pintu gak tuh ?", ucap Gua ketika kami sudah sampai di depan rumahnya.
Lalu Mba Siska melepaskan kaitan lengannya, dan melirik ke ventilasi rumahnya itu.
"Masih nyala lampu ruang tamu tuh..", "Bapak belum tidur berarti Za..", jawabnya. "Ya udah hayu masuk sana..".
Gua lihat Mba Siska malah tersenyum kepada Gua, bukannya melangkah ke teras rumah. Gua mengerenyitkan kening kebingungan.
"Apaan Mba senyam-senyum ?", tanya Gua. "Gak ada kecup kening dulu gitu ?", tanyanya malu-malu. "Sini-sini...", jawab Gua lalu mengaitkan tangan ke tengkuknya.
Ketika kepalanya sudah sedikit tertunduk, Gua dekatkan wajah ke sisinya, lalu berbisik. "Nanti aja ya, daripada di dor..".
"Iiiih... Ngeselin ya kamu tuh!", ucapnya sewot sambil mencubit pipi Gua. "He he he he..", Gua pun terkekeh pelan.
"Ya udah aku masuk dulu deh..", ucapnya cemberut lalu berbalik menuju pintu rumahnya.
Gua tahan tangan kanannya, lalu Gua balikkan lagi tubuhnya dengan cepat. Kini Gua rangkul pinggang belakangnya, telapak tangan kiri Gua lembut memegang sisi kanan pipi wajahnya.
"Eummpphh..", desahnya pelan. capcipcupcepcop...
Napasnya ter-engah-engah ketika pagutan bibir Gua sudah terlepas. Gua tersenyum kepadanya yang tersipu malu.
"Kamu tuh nakal ya Za..",
"Baru juga jadian tadi pagi", ucapnya pelan dengan wajah tertunduk tapi matanya mendelik keatas menatap mata Gua.
"Nakalnya cuma sama kamu kok Mba", jawab Gua sambil menyeringai. Cupp... Gua kecup keningnya.
"Makasih untuk hari ini ya Za, aku masuk dulu",
"Selamat malam Za..", ucapnya dengan senyuman menawan.
. . . . . . Quote: Enggak usah protes Gais, nikmati aja hidup, rejeki ma enggak kan ketuker. Gak usah komen Gua bakal di dor, entar kalo Gua lempar part lebih dari ini yang ada ente semua Bundir lagi... Buahahahaha.
*** Napas Gua kembang-kempis, cucuran keringat membasahi wajah dan tubuh Gua. Brugh!
Gua merebahkan tubuh diatas rerumputan lapangan sepak bola depan rumah, lalu memejamkan mata sejenak, menikmati desiran angin sepoi-sepoi di sore ini yang menyapa tubuh bagian atas tanpa terbalut baju. "Za..".
"Heum ?", sebelah mata Gua buka sedikit untuk melihat kearahnya. "Bangun dulu Za".
Gua pun bangun dan kembali terduduk diatas rerumputan. Gua menerima sebotol air kemasan yang disodorkannya. Lalu setelah membuka tutupnya, kerongkongan ini terasa segar kembali oleh air yang mengalir dari air kemasan pemberiannya itu.
"Waduh waduuh...",
"Kita juga mau dong dibawain minum... Hehehehe..", ucap Rekti yang berjalan menghampiri bersama Unang dan Dewa.
"Duh maaf ya, Aku enggak bawa minuman lebih untuk kalian bertiga, hi hi hi...", jawabnya.
"Aah apatis ini namanya, kita gak kebagian gini ya Nang..", jawab Dewa sambil menyenggol lengan Unang yang ada disebelahnya.
"Yoi Wa, sedih Gua gak ada yang merhatiin gini...", timpal Unang.
"Yowes, Gua aja yang ambil minum buat kita..",
"Tunggu sini ya Lu semua...", ucap Rekti lagi, kemudian berjalan kearah rumahnya.
"Lumayan kuat Lu sob, dapet 10 keliling...", ucap Dewa yang sudah duduk di samping Gua, diikuti Unang disebelah Dewa.
"Gua pikir cuma si Rekti yang kuat ampe 10 keliling..", timpal Unang.
"Tapi megap-megap nih napas Gua broooh... Hosh... hosh... hosh..", jawab Gua sambil terengahengah.
"Jadi laki harus kuat dong, masa lari 10 keliling doang gak sanggup..", ucap perempuan yang tadi memberikan sebotol air kemasan yang kini berdiri di samping Gua.
"Hehehe cape kan, udah lama enggak olahraga, masih untung Gua dapet 7 keliling hehehe...", jawab Unang.
"Pada kuat ngerokoknya sih",
"Kurangin dong, biar hidup sehat", jawab si perempuan lagi.
"Eh Sob, Istri Lu ini calon dokter bukan sih " Cerewet amat sekarang..", timpal Dewa dengan suara yang cukup keras kepada Gua,
"Wadaaaaww....",
"Ampuun Teh... Ampuuuun... Sakit Teeehh..", teriak Dewa yang langsung dijewer oleh Echa. "Enak aja ngomong cerewet ke Aku!", semprot Echa sambil melepas jewerannya itu.
Gua pun tertawa sambil menyukuri si Dewa dalam hati, 'Mampuusss, emang enak dijewer ama Teteh Gua huahahaha...
Tidak lama kemudian Rekti kembali ke lapangan dengan teko dan dua gelas pada kedua tangannya. Bebarengan dengan itu, Tante Gua memanggil Echa dari halaman rumah ke arah kami di lapangan ini.
"Teh, dipanggil tuh..", ucap Unang yang memebritahukan Echa.
"Oh, yaudah aku tinggal dulu ya Zaa..",
"Bye Unang, Rekti, Dewa..", ucap Echa sambil berlalu. "Okey Teeehh...", jawab tiga sahabat Gua serempak.
"Gile Sob, si Elsa makin TOP gitu euy..", ucap Rekti yang sudah duduk di depan Gua tapi matanya tidak lepas dari sosok Echa yang berjalan semakin menjauh.
Paak.. "Adaw!", "Ngehe Lu!", ucap Rekti sambil mengelus tulang keringnya karena Gua tendang.
"Mata Lu biasa aja Coy!",
"Kepret bolak-balik juga nih!", jawab Gua.
"Yoi Ti, makin TOP ya..",
"Tapi sayang euy...", ucapan Dewa terhenti. "Sayang kenapa Wa ?", tanya Gua.
Sebelum Dewa menjawab, Unang berdiri dari duduknya sambil menuangkan air minum dari teko ke gelas.
"Sayang Laki ama Bini samanya..", ucap Unang.
"Yoi Nang, sama-sama suka kekerasan!", "Huahahahaha....", timpal Dewa lagi.
Gua dan yang lainnya pun tertawa menanggapi ucapan Dewa tadi. Lalu kami pun mengobrol santai di lapangan ini, sambil menikmati waktu sore menjelang maghrib.
"Sob, istri Lu beneran calon dokter ?", tanya Unang ketika bahan obrolan kami sudah habis.
"Ah Elu Nang, si Dewa didengerin", jawab Gua, "Dia ma kuliahnya ambil jurusan arsitektur...", lanjut Gua.
"Ya kirain beneran mau jadi dokter",
"Ngomong-ngomong kapan jadian Lu sama Teh Elsa ?", tanya Unang lagi.
"Ck.. Siapa yang jadian sama dia, kagak lah..", jawab Gua santai,
"Lagian Lu semua kenapa jadi pada nganggep Gua ama dia suami-istri gini ?", tanya Gua.
"Yaelah Zaa Za..",


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jelas kali kalo Elsa sama lu da deket banget gitu, tiga malem da nginep di rumah Lu dari takbiran kemaren, sekarang ampe tiap hari dia maen kesini.. Gimana gak kaya suami-istri coba Lu bedua..", jelas Rekti kali ini.
"Iya tuh, Lu ama dia juga cocok Sob...", "Udah nikahin aja lah Za..", timpal Unang.
"Ah Lu semua ngawur, Gua sama dia deket kan emang dari dulu", "Biasa aja kok... Lagian Gua udah punya bokin brooh..", jawab Gua. "Hee " Serius " Siapa bokin Lu ?", tanya Rekti.
Gua tidak langsung menjawab pertanyaan Rekti, Gua berdiri dari duduk, lalu merentangkan kedua tangan keatas.
"Tanya tuh si Dewa", ucap Gua lantang sambil melirik kepada Dewa yang masih duduk.
"Kampret emang nih kadal atu..", ucap Dewa. "Kenapa Wa ?", tanya Unang kali ini. "Macarin kakak ipar Gua dia..", jawab Dewa. "HAH "!", teriak Unang.
"ANJIIIIRR! Yang bener aja Lu kadal kampret!",
"Mba Siska Lu pacarin "!", tak kalah kagetnya si Rekti bertanya lagi kepada Gua.
"Ah Gua mau lari lagi aaahh..",
"Mau ikut A'a Eza bro-bro sekalian ?", ucap Gua sambil tersenyum penuh kebahagiaan dan siap berlari lagi.
"Taaeeeee..!", "Asyu emang koe Za!", umpat Unang kepada Gua.
Gua pun terkekeh lalu berlari meninggalkan mereka bertiga, tapi kali ini Gua berlari kecil kearah rumah. Dan ketika baru beberapa meter Gua berlari, teriakkan Rekti sedikit membuat langkah kaki Gua melambat...
"Zaaa..", "Elsa berarti kosongkaaann "!", "Bilangin ke diaaa...",
"Mas Rekti siap menerima cintanyaaaa...", teriak Rekti kepada Gua.
Gua tidak menjawab ucapan ngehe si Rekti, tanpa berbalik badan, dan kembali melangkahkan kaki kearah rumah, Gua mengacungkan jari tengah keatas untuk Rekti yang berada jauh dibelakang Gua. ...
Dewa memang mengetahui kalau kakak pacaranya itu sudah menjalin hubungan dengan Gua. Awalnya Gua kira Dewa mengetahui dari Meli, tapi ternyata Gua salah, Dewa mengetahui hubungan Gua dan Mba Siska dari sosial media. Dewa yang berteman dengan Meli dan Mba Siska di friendster melihat satu foto yang diunggah oleh akun FS Mba Siska. Foto yang menunjukkan Gua dan Mba Siska sedang berada di dalam Monas dengan posisi kepala Mba Siska yang bersandar ke bahu Gua, tidak lupa kedua tangan kami terkait satu sama lain. Dan semakin yakinlah Dewa akan hubungan spesial diantara Gua dan Mba Siska, karena judul foto yang diunggah itu bertuliskan "My Precious One".
Kini Gua sudah berada di dalam kamar, tubuh sudah kembali segar oleh basuhan air dari kamar mandi. Gua pun sudah bersuci untuk menunaikan kewajiban 3 raka'at. Selang beberapa menit kemudian, Gua sudah selesai melaksanakan ibadah.
Kemudian Gua keluar kamar menuju ruang makan. Terlihat sudah ada Ayahanda, Nenek, Om, Tante, si kecil dan Echa. Gua yang bingung karena bangku makan sudah terisi penuh malah disuruh Ayahanda makan di ruang tamu dengan Echa berdua. Ya mau enggak mau, Gua pun menuruti 'pengusiran' Beliau.
"Ini Za makan malamnya..", ucap Echa memberikan satu piring yang sudah berisi nasi dan lauk kepada Gua.
"Terimakasih Teh", jawab Gua menerima makanan.
Lalu kami berdua pun beranjak ke ruang tamu, dan makan berdua di salah satu sofa. Makan dengan khidmat, itulah kalimat yang tepat jika Gua makan berdua dengan Echa, fokus menyantap makanan tanpa berbicara sedikitpun adalah kebiasaan Echa yang menjadikan Gua selalu cepat menghabiskan sajian diatas piring makan.
Selesai menyantap makanan, piring kotor pun dibawa kembali oleh Echa ke dapur. Seperti biasa Gua keluar dari ruang tamu dan duduk di sofa teras depan kamar. Untuk saat ini rasanya tidak memungkinkan bagi Gua untuk merokok sampai Ayahanda keluar rumah sebentar lagi. Ya, Gua harus menunggu Beliau pergi berkencan dengan Mba Laras, baru Gua bisa menikmati si racun, eh tapi itu pun kalau Echa mengizinkan juga.
"Ini Za kopinya..", ucap Echa lalu menaruh kopi hitam di meja teras. "Makasih banyak Teh..", balas Gua.
Echa duduk di sofa depan Gua yang terhalangi meja teras.
"Tumben belum ngerusak paru-paru..", sindirnya karena tidak melihat Gua sedang 'ngebul'.
"Hehehe..", "Nanti Teh, bentaran", balas Gua sambil cengar-cengir.
Tidak lama, Ayahanda benar saja pergi keluar dengan pakaian rapih malam ini, sampai memakai jas segala. Beliau menggunakan si Black untuk menyambangi calon Istrinya. Setelah si Black benarbenar keluar dari halaman rumah, barulah Gua bisa menikmati sebatang racun tembakau dan segelas kopi hitam.
Lalu Gua dan Echa banyak mengobrol mengenai sahabat-sahabat kecil kami, Rekti cs. Kemudian membicarakan beberapa teman masa SD yang kami sudah tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.
"Kamu kapan masuk kuliah Za ?", tanya Echa.
"Euummm...", "Dua atau tiga minggu lagi kalau gak salah sih, lupa liat jadwalnya", jawab Gua.
"Loch cepet ya Za liburannya", "Aku aja libur satu bulan setegah..". "Wah " Lama banget Teh..".
"Ya gitulah, malah ada yang libur dua bulan loch".
"Diih, kalau dipikir-pikir rugi tuh, bayar uang semester full tapi liburnya sampe dua bulan gitu, kapan lulusnya coba, ha ha ha..".
"Ya gimana lagi, memang sistemnya kayak gitu..", "Oh iya..", Echa seperti mengingat sesuatu, "Dewa itu pacaran sama Meli ya ?", lanjutnya lagi.
"Iya Teh, dia pacaran sama Meli..", "Udah 3 tahunan mungkin..",
"Sama kayak Rekti dan Desi suka putus-nyambung...",
"Tapi si Rekti macarin Desi udah hampir 5 tahun mungkin..", jelas Gua. "Desi ?", ulangnya bingung.
"Oh iya, aku lupa, kamu enggak kenal Desi ya..", "Desi itu adiknya Sherlin..", jelas Gua lagi.
"Ooh adiknya Sherlin..", "Rekti macarin Desi",
"Kamu macarin Sherlin..", ucapnya. "Iya tapi kalau aku kan dulu..", "Sekarang enggak Teh...", jawab Gua seraya menghembuskan asap dari mulut.
"Dan sekarang Dewa macarin Meli", "Terus...",
"Kamu macarin Mba Siska juga ?", tanyanya kali ini menyelidik
Seketika itu juga Gua berhenti menghisap rokok, mematikannya kedalam asbak, lalu meneguk kopi hitam buatannya tadi.
"Za". "Ya ?". "Kamu pacaran sama Mba Siska ?". .........
PART 17 Pukul 8.30 malam di dalam kamarnya yang sunyi. "Teh".
"Hm "!". "Duuh... Jangan ngambek terus ya", "Maafin aku...".
"Enggak mau!". "Ih kayak anak kecil". "Biarin!".
Mulut Gua sudah seperti bunyi radio berisik tanpa ada saluran yang mengudara dari mulai di teras rumah tadi, diperjalanan dalam mobil ke rumahnya, sampai sekarang kami berdua ada di kamarnya. Tak henti-hentinya Gua cuap-cuap memintanya untuk tidak marah dan bete setelah dirinya mendengar sebuah kejujuran soal hubungan Gua dengan Mba Siska.
Echa tidak menangis sama sekali ataupun sedih, tapi dia marah semarah-marahnya, sampai kulit lengan, pinggang, perut dan dada Gua memerah, bahkan dibeberapa titik sampai membiru, sakit dan perih menerima cubitan melintirnya itu. Tapi apa daya, konsekuensi Gua ya begini ini, mana bisa Gua membela diri ketika dia bilang 'Lebih sakit hati aku Za!'.
"Teteh cantik..", "Teteh cakep..",
"Teteh baik hati dan tidak sombong..", "Dan rajin menabuuung..",
"A'a Eza minta maaf ya..",
"Pleeeaaasssee...", ucap Gua kemudian mencoba memegang kedua bahunya dari belakang. Tapp... Tangan Gua ditepisnya.
Gua menggaruk kepala yang tidak gatal, lalu mengusap-usap wajah. Kemudian memandangi punggungnya dari sisi ranjang ini. Melihat seorang perempuan istimewa yang level kemarahannya sudah ditingkat kecamatan.
Pusing amat, Gua pun memilih rebahan di ranjang kamarnya ini. Tiduran memeluk gulingnya dan tetap memandangi punggungnya dari sini, tapi kok lama-lama mata Gua turun sedikit demi sedikit, mulut pun menganga dan, 'Hooaaamm..', ngantuk dah, cape kan sore abis lari di lapangan, belum lagi tadi pagi nganter Tante ke pasar sampai siang, lanjut jemput Teteh tercinta di bandara Soetta. Sekarang lebih baik tidur aja tanpa pikir panjang lagi.
... Gua terbangun ketika wajah dan tangan Gua merasakan hawa dingin. Gua kerjapkan mata sebentar, menyapu pandangan ruangan kamar besar ini. Lalu Gua terduduk, memandang tubuh kebawah karena sudah ada selimut yang menutupi. Gua lihat jam tangan, ternyata sudah pukul 11.30 malam.
Gua bangun dan berjalan keluar kamar, hanya lampu beranda depan kamarnya ini yang masih menyala, Gua lihat kebawah, ruang tamu gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Gua pun berjalan lagi lalu menuruni tangga sampai Gua berada di depan kamar tamu dibawah yang pintunya terbuka setengah. Gua melirik kedalam, dan mata Gua menemukan sosok perempuan istimewa yang berada diatas ranjang kamar itu sedang telengkup memainkan laptopnya.
"Teh..", sapa Gua pelan sambil melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Echa menengok dengan mata sayu, yang Gua rasa bukan sedih tapi menahan kantuk.
Gua pun duduk di lantai persis disebelah ranjang. Dagu Gua bersandar pada sisi ranjang itu, lalu tangan kanan Gua mengusap punggungnya yang tertutupi selimut. Echa kembali menatap layar laptop di depannya. Gua pun ikut melirik kelayar laptopnya, disana terpampang sebuah sketsa bangunan yang Gua rasa menggunakan sebuah aplikasi autocad atau apalah.
"Libur Teh..", "Belajar mulu", ucap Gua.
"Biarin..", "Daripada pusing mikirin hati yang disakitin terus", balasnya pelan tapi menusuk ke hati Gua. Gua menghela napas pelan, lalu tangan Gua kembali mengusap punggungnya perlahan.
"Maafin aku", "Maaf...".
"Heum". "Jangan 'heum' aja Teh..", "Ngomong dong".
"Heum!", makin keras suaranya.
"Maaf", ucap Gua lagi lalu berdiri dan kini duduk diatas ranjang.
Gua beranikan diri memeluknya dari atas, menaruh dagu Gua ke bahu kanannya, sisi wajah kami pun bersentuhan.
"Aku kan udah janji untuk jagain kamu Teh", ucap Gua pelan. "Heum".
"Kan aku udah bilang Teh sama kamu..", "Biarkan aku bebas sekarang",
"Kalau kita memulainya sekarang, aku gak yakin dan gak bisa mencintai kamu dengan tulus".
Echa menghela napas pelan, lalu wajahnya terbenam diatas tangannya. Gua usap lembut kepala belakangnya lalu mencium pipi kanannya pelan.
"Teh, maafin aku",
"Aku akan berusaha untuk ngebagi waktu, buat kamu..", "Buat kita berdua".
Echa langsung menoleh ke arah Gua, sorot matanya tajam, dan sukses membuat Gua memundurkan wajah karena terkejut.
"Enak aja kamu bilang membagi waktu!",
"Kamu pikir Mba Siska rela gitu dengan kehadiran aku "!", "Jangan berani macem-macem kamu Za!",
"Seenaknya mainin perasaan perempuan!", sentaknya.
Gua langsung bangun seraya melepaskan pelukkan. Gila! Gua bodoh apa guobl0k! Sama ajalah! Beruntung Gua disadarkan oleh ucapan Echa itu. Apa yang dikatakan Echa benar, kok bisa-bisanya otak Gua malah merespon membagi waktu antara Mba Siska dan Echa, gimana perasaan kekasih hati nanti, bagaimana juga perasaan perempuan istimewa di depan Gua ini.
"Maafin aku", "Tapi kamu juga udah tau..", "Sekarang aku memilih siapa", ucap Gua.
"Aku mau istirahat..",
"Tolong tutup pintunya dari luar", balas Echa dengan suara pelan tanpa menengok lagi kearah Gua.
Gua menutup pintu kamar tamu yang dia tiduri, lalu Gua beranjak keluar rumah, duduk di sofa teras depan dan membakar sebatang rokok. Tidak mungkin Gua bisa tidur lagi, memikirkan kedua hubungan yang bertentangan, Siska dan Echa.
Tiga batang rokok sudah Gua habiskan dalam waktu setengah jam, Gua lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi rasanya Gua masih belum juga ingin tidur. Otak Gua masih bekerja memikirkan kedua nama perempuan tadi, dan sialnya, entah kenapa tiba-tiba nama Mba Yu dan Nona Ukthi terbesit dipikiran Gua. Fak! Bertambah lagi beban di otak Gua.
Jika Echa saja dengan logikanya mengatakan perempuan mana yang rela membiarkan kekasihnya membagi waktunya kepada perempuan lain, apalagi sekarang " Ada tiga nama perempuan yang menunggu kepastian Gua saat ini. Tentunya satu nama sudah Gua pilih terlebih dahulu, Mba Siska. Lalu apa kabarnya dengan Mba Yu yang sudah Gua janjikan "
Gua perkecil lagi, Mba Yu dan Sang Teteh sama saja. Gua buai mereka dengan janji manis yang akan Gua tepati untuk kebahagiaan masa depan. Kemudian Nona Ukhti " Memang tidak pernah Gua janjikan untuk menjadi pendamping hidup Gua kelak, tapi Gua menjanjikannya sebuah ciuman, ciuman yang akan Gua berikan nanti adalah jawaban atas penyambutan cinta Gua kepadanya. Well, it's not easy to be me, hard to love and be love. Simalakama (lagi).
Kadang kalau sedang berpikir begini, ada saja khayalan yang ngawur. Seperti sekarang, saat sebatang rokok mulai Gua bakar lagi untuk keempat kalinya, pikiran dan khayalan Gua tiba-tiba memberikan gambaran bagaimana jika Gua pacari semua perempuan itu, tapi ini jelas tidak mudah, tidak efektif. Enak enggak, pusing iya kalo ke gep. Lah belum juga Gua mulai menduakan, mentigakan atau mengempatkan mereka, otak Gua ikutan ngebul layaknya asap rokok.
Kampretnya nih otak malah terus mencari cara bagaimana membuat semuanya bahagia, yang jelasjelas kemungkinannya hanya 0.000000001%. Mana bisa semuanya bahagia secara bersamaan! Dan sial, pikiran Gua mengatakan berikan mereka kebahagaiaan di masa nya masing-masing. Pacari beberapa waktu dulu lalu putuskan, kemudian lanjut ke 'waiting list' berikutnya, begitu seterusnya hingga semua mendapatkan kebersamaan dengan Gua di waktu yang berbeda. Dan pikiran itu langsung Gua buang jauh-jauh, karena kembali lagi Gua mengingat ucapan Ayahanda... "Jika kamu buat mereka sakit hati, maka kamu akan menebusnya dengan sakit yang lebih mengenaskan..."
Damn it!!! Ketar-ketir Gua membayangkannya.
Tapi, bukan Agatha namanya kalau sudah memilih malah tidak bisa menyelesaikan apa yang sudah dijalani sekarang. Konsekuensi pasti ada, dan ucapan sudah tidak bisa ditarik lagi. Wejangan Ayahanda ada benarnya, dan bisa saja terjadi, tapi Gua masih memiliki satu kata kunci dari Ayahnya, Kakek Gua. Dan kali ini, Gua akan memilih untuk memberikan semua perempuan itu wejangan dari maha empu asmara. Ngoahahaha...
... Adzan subuh sedang berkumandang dari masjid komplek perumahan Echa ketika Gua membuka mata perlahan, lalu Gua rentangkan kedua tangan untuk sekedar meregangkan sendi yang terasa sakit karena tidur menyamping beralaskan satu tangan untuk menopang kepala diatas sofa teras ini.
Dan... Hattciiih... Hadeuh! Urang katirisan coy sare diluar kos kieu teu make selimut komo deui jaket. (Gua kedinginan coy tidur diluar kaya gini gak pake selimut apalagi jaket).
Brrrrr... Dingin banget ini subuh. Gua beranjak masuk lagi ke dalam rumah dan... Oh My Goodness! Inikah bidadari yang berasal dari surga " Dan turun ke dunia untuk sekedar menyapa Gua " Iman Gua diuji lagi.
"Pagi Za..", sapa Echa, lalu tiba-tiba ingat sesuatu, "Eh ?",
"Kok kamu dari luar ?",
"Jangan bilang kalo semalaman kamu tidur di...".
"Eeuuu...", "Iya, Heheheh.."
"Ketiduran Teh semalam di sofa teras...", jawab Gua salah tingkah.
"EZAA!", ucapnya sedikit berteriak kaget, lalu Echa pun berjalan mendekati Gua seraya menarik kain yang menutupi bagian bawah kakinya,
"kamu apa-apaan tidur diluar sih..", ucapnya lagi yang kali ini sudah tepat berada di depan Gua, "Masuk angin nanti Zaaa, ya ampuuun... Hiiissshh..",
"Eh..", tidak jadi itu cubitan menyapa lengan Gua karena dia tersadar sesuatu.
"Hayooo...", "Nih cubit kalau berani", ucap Gua jail seraya menyodorkan tangan kepadanya.
Echa pun mundur dua langkah sambil mendekap tubuhnya sendiri. Gua terkekeh pelan melihatnya ketakutan.
"Iiih, udah sana ambil wudhu, shalat subuh dulu Za",
"Nanti abis itu aku buatin teh anget..", ucapnya lalu bergegas menuju mushola dibagian belakang rumah.
Dududududuuuuh... Echa, memakai mukena, wajahnya bersinar terang karena basuhan air wudhu. Ya Alloh, indah sekali ciptaan Mu Ya Alloh...
Andai... Ah sudahlah, jangan andai andai terus, nanti malah jadi nyanyi lagunya 'huntu' yang judulnya 'andai'. Tapi liriknya emang mirip dikit kayak cerita Gua. Kampret emang!.
Subhanalloh itu Teteh Gua kalau dirinya memakai mukena untuk menjalankan ibadah wajib gini, cantiknya gak ketulungan, tanpa make-up, auranya keluar bingits, inner-beauty nya bukan main deh. Bisa gagal fokus Gua, bahaya ini. Istigfar Za, istigfar! Mau shalat subuh juga! Inget ma ka Gusti Alloh.
Singkat cerita, Gua pun sudah melaksanakan kewajiban dua raka'at di mushola pribadi keluarganya ini. Oh iya, Gua melaksanakan shalat berjamaah bersama Papah dan Mamahnya Echa, tentu saja Papah Echa yang menjadi imam. Gua sudah keluar dari mushola, meninggalkan Papah dan Mamahnya Echa yang masih melanjutkan membaca Al-Qur'an setelah shalat berjamaah tadi. ...
Btw, sebenarnya Gua diajak ngaji bersama sih, tapi jujur aja karena Gua semalam tidur diluar, Gua merasa perut Gua tidak beres, mules coy. Hubungannya " Angin malam bukan aja bisa membuat ente kemasukan angin lalu kerokkan, tapi tuh angin juga masuk perut, eh sakit perut dah. Enggak perlu diceritain lah gimana Gua duduk tegang diatas closet duduk dan mem-bombardir-nya, yang jelas wanginya semerbak, wahahahaha...
Sekarang Gua dan Echa sudah berada di meja makan, sepotong roti sandwich buatannya telah tersaji di depan Gua, ditambah teh tawar hangat, ah istriable kamu Teh. Apalagi dirinya duduk tepat di bangku sebelah Gua. Benar-benar subuh yang indah...
"Diminum ya Za tehnya..",
"Biar mulesnya sedikit berkurang, nanti aku minta tolong Pak satpam beli obat warung ya..", ucapnya sambil menyuapi Gua roti sandwich.
Yoi dong, Gua kan lagi sakit, dimanja dan disuapin juga doong... Ah lebay Lu Za. Yeee Sirik aja Lu pada.
Jomblo kok dipiara... Eh. SORRY GAIS... wakakakakak
"Iya Teh siaap!", jawab Gua sambil mengunyah makanan,
"Eh tapi enggak usah minum obat segala, sekarang udah gak mules kok..", lanjut Gua.
"Ck, kamu tuh mules karena ketiduran diluar, kena angin malam, jadinya sakit, terus kalo bla bla bla bla bla bla....".
Kok bener ya ucapan si Dewa sore kemarin, ini Teteh Gua cerewet abis kalo soal kesehatan, harusnya masuk fakultas kedokteran nih, bukan arsitektur.
"Enggak ah Teh, orang cuman mules biasa, enggak masuk angin juga kok..", jawab Gua setelah mendengar pidatonya.
"Nurut kalo dikasih tau tuh!",
"Jangan bandel!", balasnya sambil menyodorkan suapan terakhir roti ke mulut Gua. "Mmppfftt...", gile nyuapinnya pake tenaga, membungkam ini namanya, bukan nyuapin! Hadeuh!. ...
Matahari sudah terasa hangat menyapa kulit Gua ketika sedang menemani Teteh tercinta bersepeda ria mengelilingi taman komplek perumahannya. Gowes dan gowes pelan kaki Gua mengimbangi laju sepedanya di samping kiri, dan sudah lima putaran kami mengitari taman, akhirnya Gua pun berhenti tepat di samping bangku beton pada sisi taman ini.
Echa pun seketika menghentikan laju sepedanya dan menengok kebelakang, kepada Gua.
"EZA!", "Kamu kenapa "!", ucapnya lalu memutar sepeda dan mendekati Gua.
"Duuuh periih Teh perutt kuu..",
"Ssshh... Adududuh...", rintih Gua menahan sakit pada perut.
"Ya Alloh!", "Yaudah-yaudah, yuk kita pulang, langsung ke dokter aja ya Za...", "Eh kamu masih bisa jalan enggak ?", tanyanya semakin khawatir. Gua hanya menggeleng pelan dengan mata yang tertutup dan kening yang berkerut.
"Ya Alloh..", "Bentar ya, aku telpon Pak satpam dulu..", ucapnya sambil mengeluarkan hp dari saku celananya.
Tidak butuh waktu lama bagi satpam pribadi keluarganya datang menjemput Gua setelah ditelpon oleh Echa, karena memang letak rumah keluarga Echa dan letak taman berdekatan.
Singkat cerita Gua dan Echa sudah berada di klinik umum, dan setelah Gua diperiksa oleh dokter, sakit perut yang Gua alami hanyalah diare biasa. Haaaa... Gini aja ke dokter segala Teh! ucap Gua tapi dalam hati ketika sudah berada di dalam mobil menuju arah pulang. Ya mana berani Gua ngomong kayak gitu langsung, yang ada nih perut malah sakit luar dalam, diare dan cubitan melintir cap Teteh.
Tapi ternyata penyakit diare enggak bisa Gua remehin. Si diare ini nih! Emang ngajak ribut! Dan Gua K.O! Sial!
Di rumah Nenek, tepatnya di kamar Gua, tubuh Gua tergolek lemas tak berdaya, tenaga Gua hilang bagai ditelan oleh Perfect Cell musuh Son Goku. Kalo ini Son Toloyo versus Perfect Diare! Oke garing syuh!.
Gua benar-benar lemas terbaring diatas ranjang kamar, bolak-balik kamar mandi dan 'bom' ke closet adalah penyebabnya, alias efek diare.
Echa yang sudah selesai memasak bubur tanpa tambahan apapun kecuali sedikit garam kini berada di samping Gua, duduk diatas ranjang sambil menyuapi bubur buatannya itu kepada Gua yang kini telah menyandarkan punggung ke dinding kamar.
"Aaaa..", ucapnya seraya menyuapi Gua.
"Udah ah..", jawab Gua sambil menggelengkan kepala pelan.
"Satu sendok terakhir Za", "Sayang loch ini..",
"Lagian kan kamu enggak bisa sembarangan makan sekarang, nanti diarenya makin parah loch..", "Ayo satu suap lagi nih..", ucapnya panjang-lebar.
"Eeuumm..", Gua mengunyah sebentar suapan terakhir tersebut lalu menelannya.
"Nah gitu dong..", "Nih minumnya",
"Oh ya, Nenek kapan pulang Za ?", tanyanya seraya menaruh mangkuk diatas lemari kecil samping ranjang Gua.
"Mungkin minggu depan",
"Soalnya kalau ke rumah si Om, Nenek tuh nginapnya 5 harian", jawab Gua.
"Ooh.. iya jauh sih ya di Bandung",
"Jadi gak mungkin cuma 2 atau 3 hari..", ucap Echa. "Tuh tau, make nanya lagi..", iseng nih mulut.
"Istigfar Echa, istigfar", ucapnya kepada dirinya sendiri sambil mengelus dadanya, "Untung ya kamu lagi sakit, bisa bebas dari cubitan gemes aku...", ucapnya kini kepada Gua dengan tersenyum tapi menahan sabar. Ha ha ha ha ha ha...
... Efek positif dari sakitnya Gua membuat hari ini full pokoknya dirawat manja sama Teteh tercinta. Makan dan minum diambilin lalu disuapin, gak boleh Gua makan sendiri. Mau ke kamar mandi ampe dipapah, Gilbert! Gila berat! Padahal cuma diare ini, gimana kalo Gua sekarat, oh enggak-enggak, bahaya, kalo sekarat, bisa-bisa dia yang malah dirawat karena sedih dan jatuh sakit melihat Gua menderita. Wong waktu dulu Gua gak sakit, tapi masuk hotel prodeo aja, dia malah jatuh sakit 3 hari ampe dirawat inap. Apalagi kalo Gua sekarat.
Salah satu efek positif lainnya dari sakit diare yang Gua rasakan hari ini adalah Teteh Gua tercinta itu tidak menyinggung sama sekali soal perdebatan kami semalam dirumahnya. Yoi, dari mulai bangun pagi di rumahnya tadi, sampe sekarang di rumah Gua, Echa benar-benar tidak lagi marah, kesal, bete karena hubungan antara Gua, Mba Siska dan dirinya. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Pokoknya ma sakit membawa berkah judulnya.
... Obat mujarab itu salah satunya adalah dukungan keluarga dan orang yang menyayangi kita dengan tulus. Dan Gua setuju untuk hal itu. Sore hari Gua sudah sehat, seenggaknya Gua sudah tidak merasakan lemas dan mules lagi. Kini Gua sedang duduk tampan sendirian di sofa teras depan kamar setelah mandi tadi, tapi tidak bersama perempuan istimewa.
Teteh dimana " Di dalam kamar Gua. Sedang tidur " Bukan. Lalu " Membaca ayat suci Al-Qur'an setelah ibadah ashar. Subhanalloooh...
... 15 menit kemudian Echa keluar kamar dan bergabung bersama Gua duduk di sofa teras ini. Kami duduk bersebrangan.
"Hm..", "Udah atuh ngerokoknya Za..",
"Nanti sakit paru-parunya..", ucapnya seraya melirik kepada kepulan asap yang keluar dari mulut Gua. "Iya Teh, tanggung gope lagi hehehe...", jawab Gua.
"Emang gak sayang diri sendiri apa ?".
"Iya-iya, ya sayanglah...".
"Kalau kamu gak sayang diri sendiri, gimana bisa menyayangi orang lain...", "Mulai lah dari diri kamu dulu...",
"Aku cerewet sama kamu karena sayang Za...", ucapnya dengan nada lembut nan tulus. ***
PART 18 Dua minggu sudah libur lebaran terlalui. Teteh tercinta sudah jarang main dan menemani Gua. Yang dulunya kadang Gua yang bertamu ke rumahnya, atau lebih sering dirinya yang datang ke rumah Nenek. Lalu acara menginap, baik Echa yang menginap di rumah Nenek atau Gua yang menginap di rumahnya kini tidak ada lagi acara menginap seperti itu. Karena...
2 hari setelah Gua sakit diare.
Quote:Percakapan via sms :
From Mba Siska : Aku di rumah, bisa kesini sekarang ". Gua : Oke Mba, bntr ya.
"Teh, aku keluar sebentar ya..", ucap Gua seraya bangkit dari ruang tamu rumah.
"Mau kemana Za ?",
"Sebentar lagi kan maghrib..", ucapnya.
"Maghrib masih satu jam lagi, bentaran aja ini..",
"Aku tinggal bentar ya, gak bawa kendaraan kok..", jawab Gua lalu melangkah kearah pintu rumah.
"Za...", "Kemana ?". "Rumah Mba Siska Teh..". ...
Setelah Gua tinggalkan Echa di ruang tamu tadi, kini Gua sudah berjalan kearah rumah Pak Rw. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumahnya, karena jarak rumah kami hanya berbeda 10 rumah. "Assalamualaikum..", salam Gua ucapkan ketika sudah berdiri di ambang pintu rumahnya.
"Walaikumsalam..",
"Eh nak Eza, sini masuk Le'..", ucap Bu Rw kepada Gua.
Gua pun masuk lalu menyalami Ibu Rw yang sedang menjahit pakaian. Lalu duduk di sofa ruang tamu untuk satu orang dekat pintu.
"Janjian sama Siska ya Le'..",
"Sebentar yo, si Ndo lagi mandi dulu, tadi baru sampai dari Jakarta...", ucap Bu Rw lagi.
Oh ternyata kekasih Gua baru pulang kerja, tumben dia enggak ngabarin kalau mau pulang. Kirain memang lepas dinas.
"Iya Budeh, tadi Mba Siska minta saya kesini..",
"Saya kira enggak pulang, biasanya kan seminggu sekali ya Budeh.. Mba Siska pulang..", ucap Gua.
"Iyo Le', tumben itu dia pulang ke rumah, biasanya ya seminggu sekali..", "Kangen mungkin Le' sama pacarnya.. hi hi hi hi...".
Eh eh eh.. Kok, Kok " Iki opo maksudne " Udah tau apa hubungan Gua sama anak nomor duanya itu " Atau... Yang dimaksud pacarnya bukan Gua " Waduh.
"Hehehe.. Mungkin ada urusan Mba Siskanya disini..",
"Ngomong-ngomong Mba Siska sudah punya pacar toh Budeh ?", tanya Gua memancing.
"Halaaah.. Kamu tuh kok suka pura-pura..",
"Itu loch cucunya Bu (menyebutkan nama Nenek Gua), yang rumahnya no. xx..", jawabnya sambil tersenyum lebar.
Aiiissshh... Tengsiiiiiiiiiinnn.
"Duh.. Euu.. Euu..", gerogi-salah-tingkah-canggung.
"Ah kamu malu-malu Le'..",
"Sudah ndak papa, sing penting Budeh amanatkan si ndo sama kamu yo Le'..", "Walaupun si ndo lebih dewasa dari kamu Le', dan profesinya aparatur negara, yo kamu kan laki -laki toh.. Tolong jagai dia yo Le'..",
"Budeh titip si ndo..", jelasnya Bu Rw kali ini tidak bercanda. Degh... Hati Gua langsung berdegup kencang.
Si Rase Kumala 4 Anak Kos Dodol Karya Dewi Dedew Rieka Pendekar Sadis 9

Cari Blog Ini