Ceritasilat Novel Online

Asleep Or Dead 8

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 8


Kesedihan dalam hidup. Salah satunya adalah ditinggalkan oleh orang tercinta, bisa kekasih, sahabat ataupun keluarga. Dan Gua pernah mengalami, jauh sebelum umur Gua menginjak dewasa. Ibu, dia salah satu orang tercinta yang pergi meninggalkan Gua ketika masih kanak-kanak, kemudian pergi untuk selama-lamanya ketika Gua sudah masuk masa remaja. Kemudian Dini, mantan kekasih Gua saat di SMP dulu, lalu sahabat Gua di masa SMA, Topan. Itu semua meninggalkan luka yang cukup dalam bagi Gua, bukan perkara mudah membangkitkan kembali setiap kenangan pahit yang pernah Gua alami.
Dan sepertinya... Sang maut bersama aura duka dalam dirinya masih senang menyapa jiwa Gua...
. . . . . Untuk jiwa-jiwa yang pergi... Untuk semua yang sudah terlewati... Bahagialah kalian disana. Semoga amal ibadah kalian diterima oleh Sang Pencipta dan diampuni segala dosa-dosanya. Aaamiin Yaa Robbal'alamiin.
*** Satu minggu setelah fitting baju.
Di hari minggu pada bulan agustus pukul 8.15 pagi.
Gua menghela napas pelan, kepala Gua tertunduk, suara Gua tercekat, sulit rasanya mengucapkan kalimat dari mulut ini.
"Nak, jangan dilanjutkan, kita undur dulu saja", ucap seorang penghulu kepada Gua. Gua mendongakkan kepala dan menatapnya.
"Za, kamu sudah dua kali gagal mengucapkan Qobul.. Kita undur saja ya Za, Om paham kondisi kamu", ucap Om Gua.
"Za, kalo memang harus diundur, gak masalah, biar kita atur saja sekalian sama resepsinya nanti", timpal calon Papah mertua Gua.
Gua berdiri dari duduk, lalu melepaskan kopiah dari kepala dan sekaligus melepas jas hitam pada tubuh ini, Gua membalikkan badan dan menyerahkannya kepada Rekti yang berada di belakang Gua. "Tunggu sebentar, saya ingin ambil wudhu..", ucap Gua kepada mereka semua.
Gua berjalan kearah ruang makan yang sebelumnya ada Nenek yang sedang duduk diatas kursi kayu, diantara ruang tamu dengan ruang makan, beliau tersenyum kepada Gua. Lalu Gua kembali berjalan melintasi dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Gua buka kancing kemeja panjang ini pada lengannya, lalu menggulungnya, begitu pun dengan celana yang Gua gulung keatas. Keran Gua putar dan tumpahlah air dari keran tersebut, lalu Gua basuh kedua telapak tangan ini. Tanpa terasa airmata Gua kembali mengalir. Dalam tangis Gua bersuci.
. . . Beberapa jam sebelumnya...
Sebuah kemeja putih yang bersih dan rapih membalut tubuh Gua. Jas hitam masih tergeletak di atas kasur kamar. Gua menatap cermin, di sana terlihat seorang lelaki dengan wajah tirus dan pucat. Gua menepuk-nepuk pipi sambil membuka sedikit mulut, lalu Gua kencangakan sabuk yang mengikat celana bahan hitam yang menutupi tubuh bagian bawah. Kancing pada lengan kemeja panjang itu Gua kaitkan, dan rasanya semua atribut yang membalut tubuh ini sudah rapih. Tinggal jas saja yang belum Gua pakai.
Gua menghela napas pelan, lalu Gua sadar akan sesuatu, segala kerapihan pada pakaian yang Gua kenakan ini ternyata tidak mampu menutupi rasa sedih yang terpancar dalam diri Gua. Dan wajah itu, oh bukan.. Mata, ya kantung mata ini sedikit bengkak dan bola mata ikut memerah. Gua duduk di atas kasur, menutupi wajah dengan kedua telapak tangan yang sikunya bertumpu pada kedua paha Gua. Mencoba menetralisir emosi di dalam hati. Agar bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan yang baru saja Gua terima satu setengah jam lalu.
Suara pintu kamar terbuka lebar, seorang perempuan masuk dan berjalan mendekati Gua. Lalu usapan lembut tangannya menyapa kepala Gua, dia duduk tepat di samping kanan.
"Za..", suaranya terdengar serak, nyaris tidak terdengar,
"Ikhlas ya Za, Mba tau ini semua berat untuk kamu", lanjutnya dengan tangan yang bergetar pada punggung Gua.
Gua masih menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Mencoba dan berusaha menerima ucapannya tersebut dengan sepenuh hati. Merelakan seseorang pergi...
Tapi tubuh Gua mulai bergetar, seolah-olah belum cukup hati ini menumpahkan kesedihannya sejak subuh tadi. Gua lepaskan kedua tangan dari wajah lalu menyilangkannya, memeluk tubuh Gua sendiri. Menahan gejolak di dalam dada. Dan pelukkan hangat dari perempuan di samping ini merubuhkan pertahanan Gua. Gua kembali menitikan air mata, dengan menggigit bibir bagian bawah dan mata yang terpejam, tubuh Gua bergetar hebat. Tangispun pecah bersamaan dengan tangis seorang perempuan itu. Kepalanya yang terbalut hijab disandarkan pada bahu kanan ini. Kami berdua menangis, menangis untuk orang yang sama-sama kami cintai.
..... Masih di hari yang sama, pukul 4 subuh, Gua terbangun karena guncangan pada bahu Gua mulai terasa kencang. Gua mengerjapkan mata dengan cepat sambil menahan sedikit pusing yang terasa menyapa kepala ini mulai menyeruak. Gua terduduk diatas kasur seraya mengurut-ngurutkan kening. Tangan yang tadi menggoyang bahu Gua masih berada diatas bahu.
"Za...", "Ayah..", ucapnya dengan suara yang lirih.
"Heum ?", Gua menengok ke kiri, kepadanya,
"Loch... Ada apa Mba "!", tanya Gua dengan ekspresi terkejut karena melihat wajah Mba Laras yang sudah bersimbah airmata,
"Mba.. Kenapa "!", tanya Gua lagi kali ini sambil memegang kedua bahunya.
Bukan jawaban yang Gua terima, tapi pelukkan eratlah yang Gua terima dari Mba Laras. Dia sandarkan kepalanya ke bahu kanan Gua, dengan tubuh yang bergetar hebat dan suara isak tangisnya yang mengisi seluruh ruangan kamar, Mba Laras membisikkan kalimat-kalimat yang meluluh lantakkan hati ini.
"Maafin Ayah...",
"Maafin semua kesalahannya..", bisiknya dalam tangis, "Ayahmu sudah berpulang Zaa...".
Dan semua yang sudah Gua lewati akhirnya kembali ke titik duka. Duka yang senang menyapa dengan 'baiknya'.Why you love me so much "!.
... Satu setengah jam sesudahnya, jasad Ayahanda telah selesai dimandikan, dan diberikan pakaian terkahir yang bersih. Kain kafan. Lalu jasadnya yang sudah tertutup kain kafan itu kembali dibalut dengan kain lainnya, jasad Beliau di tempatkan di ruang tamu rumah Nenek. Lalu Gua menelpon calon istri Gua...
Quote:Percakapan via line :
Gua : Halo Assalamualaikum...
xxx : Ya Walaikumsalam Za... Eh.. Kenapa " Za " Kok kamu.. Kamu nangis "!! Gua : Maafnya untuk Ayah, ya..
xxx : Za... Ada apaa..."! Hiks...
Gua : Beliau sudah pulang, maafin jika ada salah... xxx : ....
Suara tangis pun semakin terisak dari ujung telpon. Gua : Beliau meninggal karena serangan jantung...
Kembali dimana Gua masih terduduk di atas kasur bersama Mba Laras. Gua seuka airmata ini. Dan mencoba tegar, setegar dirinya, ya setegar seorang janda muda yang masih memeluk Gua. Gua sadar pada akhirnya, bahwa ini bukanlah duka Gua seorang, ada seorang wanita yang belum lama menikah dan kini dia harus mengalami kepergian sang suami, meninggalkannya seorang diri dan takkan pernah kembali. Jika dirinya bisa, kenapa Gua tidak. Dan ini bukanlah akhir dari segalanya untuk kami sekeluarga.
"Mba, maafin aku ya Mba...",
"Seharusnya aku juga tau, kalau kamu pasti merasakan sakit yang lebih dalam dari aku..", ucap Gua sambil menatap wajah Mba Laras.
Mba Laras tersenyum, lalu memeluk Gua lagi. Gua balas pelukkannya dan mengusap punggungnya.
Tidak lama kemudian Om, tante, Nenek, Kinan, kedua orangtua Kinan yang juga orangtua Mba Laras masuk ke kamar Gua. Lalu Nenek bersimpuh tepat dihadapan Gua, kedua tangannya memegang wajah ini. Tidak ada airmata lagi yang nampak dari wajah Beliau, senyuman mengembang.
"Za..", "Ikhlas ya Nak..", ucap Nenek.
Nyaris, nyaris saja Gua kembali menangis, tapi cepat-cepat Gua mengingat Mba Laras. Ya, Gua harus bisa menghadapi ini semua.
"Maaf Za", ucap Om Gua kali ini yang berdiri di samping Nenek, "Lebih baik diundur Za pernikahannya...", lanjutnya.
Nenek masih tersenyum kepada Gua. "Tapi semua terserah sama kamu Za..", ucap Nenek kali ini dengan satu tangannya yang membelai rambut Gua.
Gua tersenyum, lalu berdiri yang diikuti oleh Nenek, Gua peluk Nenek. "Aku mau nikah hari ini juga Om..", jawab Gua sambil memeluk Nenek dan menatap wajah Om Gua.
... Segala persiapan sederhana di rumah Nenek sudah tertata alakadarnya. Tidak ada bunga-bunga indah ataupun kain yang menghiasi dinding rumah. Bukan janur kuning yang berada di dekat tembok halaman, melainkan sebuah bendera kuning. Hari ini kami bahagia, dan hari ini pula kami berduka....
Sekitar pukul 8 pagi rombongan mempelai wanita datang, tidak banyak mobil yang mengiringi, hanya sekitar 4 mobil saja yang memenuhi jalan di depan rumah. Segalanya serba mendadak, semua rencana di hari pernikahan Gua ini seketika harus diubah. Awalnya, Gua dan keluarga akan berangkat pukul 7 pagi untuk melaksanakan akad nikah di rumah calon mempelai wanita. Dan satu hal... Entah Gua harus bilang ini sebuah kebetulan belaka atau pertanda. Dari awal rencana pernikahan ini memang hanya akan dilangsungkan akad nikah tanpa resepsi, dan kurang lebih satu bulan setelah akad ini, barulah kami akan melangsungkan sebuah resepi dan menyebar undangan satu minggu sebelum resepsi itu.
Kini, semuanya sudah berkumpul di rumah Nenek, keluarga calon mempelai wanita berikut tetangga rumahnya yang hanya ikut beberapa orang dan satu tamu istimewa bagi keluarga mereka yang akan menjadi saksi. Seorang ketua DPRD kota kami. Lalu dari pihak Gua, jelas tetangga sekitar rumah dan sahabat-sahabat Gua.
Calon mempelai wanita berada di kamar Gua, sedangkan Gua berada di ruang tamu, duduk bersila di depan seorang penghulu dan calon Papah mertua. Ketua DPRD tadi menjadi saksi dari keluarga mempelai wanita, sedangkan Om Gua menjadi saksi dari pihak keluarga Gua. Jasad Ayahanda... Ya jasadnya yang masih tertutupi itu berada di ruang tamu ini, agar Beliau bisa menyaksikan bahwa anak satu-satunya ini akan menikahi seorang wanita yang akan menjadi pendamping hidup, sekarang dan selamanya.. Ya selamanya.
... Hari yang sama, pukul 8.30 pagi.
Kembali di saat Gua telah selesai wudhu, lalu Gua keluar dari kamar mandi dapur dan menuju ke ruang tamu. Gua kembali duduk di hadapan penghulu dan calon Papah mertua Gua setelah sebelumnya Gua kenakan lagi jas dan kopiah. Gua jabat erat kali ini tangan kanan calon Papah mertua, dan senyuman pun menghiasi wajahnya.
Dan Proses Ijab-Qobul pun kembali di mulai.
Quote:"Saya nikahkan engkau, Reoda Agathadera bin Gibraltar *******, dengan putri saya, Elsa Ferossa binti Wisnu ****** dengan mas ka-win seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah dua ratus tujuh ribu rupiah dibayar tunai...", ucap Papahnya Elsa.
"Saya terima nikahnya, Elsa Ferossa binti Wisnu ****** dengan mas ka-win tersebut dibayar tunai", sambut Gua.
Selesai mengucapkan ijab-qobul, saksi-saksi pun menyatakan bahwa proses ijab dan qobul ini sah. Maka kemudian penghulu melanjutkan dengan membaca do'a. Kami semua disini menengadahkan tangan untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Lalu tidak lama kemudian...
Pintu kamar Gua terbuka, Mba Laras keluar terlebih dahulu dengan menggandeng tangan seorang wanita dibelakangnya yang kini telah sah menjadi istri Gua. Mereka jalan mendekat dan kini... Istri Gua, Elsa Ferossa, Echa, Teteh tercinta Gua selama ini, kini benar-benar menjadi pendamping hidup Gua. Sekarang dan untuk selamanya.
Gua melihat senyuman pada wajahnya yang cantik. Demi Tuhan pemilik alam semesta, dia benarbenar cantik, hingga Gua sempat tidak menyangka, kalau dia adalah Echa yang Gua kenal selama ini. Kalo istilah orang sunda bilang pangling.
Sekalipun Gua sempat terkesima dengan wajahnya yang sangat cantik dan tubuhnya yang terbalut busana kebaya berwarna putih gading itu, tapi aura kesedihan dan sisa tangis pada matanya masih terlihat jelas. Ya kami semua disini merasakan hal yang sama.
Kami berduka dalam bahagia. Dan kami tersenyum dalam duka...
*** Quote:Ada hal-hal yang tidak sempat A'a katakan kepada mu Yah, berbagai macam kalimat yang sudah tersusun rapih ketika hari itu tiba menguap dengan sendirinya...
Tak ada lagi yang bisa A'a ucapkan selain Do'a untuk mu Yah, sebagai pembasuh dosa dan berharap Tuhan mengampuni mu...
Semoga Engkau bahagia di alam sana. Aaamiin Yaa Robbal'alamiin.
PART 42 Tujuh hari sudah Ayahanda berpulang dan selama itu juga pelaksanaan pengajian setiap ba'da maghrib di rumah Nenek kami selenggarakan. Hari-hari Gua setelah pernikahan dan kepulangan Ayahanda berjalan seperti biasa, bukan berarti segala duka dan pedih yang terasa sudah hilang, tapi seorang wanita yang kini selalu mendampingi Gua lah yang bisa mengikis sedikit demi sedikit kepedihan di dalam hati ini. Dia lah wanita pemilik cinta ini. Pendamping hidup Gua, Elsa.
... ... ... Di pagi yang cerah masih di bulan agustus, Gua sedang bersama istri pergi ke rumah salah satu sahabat masa kecil kami, Dewi. Tidak jauh dari komplek rumah Nenek. Maka kami berdua pun menggunakan si RR untuk pergi ke rumahnya. Sesampainya di sana, sayang sekali Dewi sedang tidak ada di rumah kata keluarganya. Ya akhirnya kami menitipkan satu surat undangan kepada Ibunya.
Dari rumah Dewi, Gua memacu si RR kearah balkot dan singgah di salah satu kedai mie ayam pinggir jalan, sebenarnya ini bukan kedai sih, gerobak mie ayam biasa yang memakai terpal gitu, berada di dekat salah satu sekolah swasta elite kota Gua. Gua dan Echa duduk di bangku plastik dan memesan dua porsi mie ayam pangsit. Sambil menunggu pesanan jadi, Echa mengeluarkan setumpuk surat undangan dari tas kecilnya.
"Yang, dari sini kita ke rumah Ardi aja ya, kan deket dari sini...", ucapnya sambil memilih surat undangan dan mencari nama Ardi teman SD kami.
"Boleh, dari rumah si Ardi, langsung ke rumah Olla sama Mba Yu ya, kan deket tuh..", ucap Gua. "Sip..", jawabnya sambil mengerlingkan satu mata dan mengangkat satu ibu jarinya.
Tidak lama kemudian, pesanan mie ayam kami datang, dan langsung kami santap. Singkat cerita kami sudah menghabiskan mie ayam, setelah beres makan dan membayar dua porsi mie ayam tersebut, Gua dan Echa pun naik ke atas motor dan berlalu untuk kembali mengantar undangan pernikahan kepada teman-teman sekolah kami.
Selesai mengantar undangan ke rumah Ardi, Gua dan Echa beranjak ke kediaman keluarga Olla, yang jaraknya cukup dekat. Tidak sampai 5 menit kami sudah berada di depan rumahnya. Gua membuka pagar rumah orangtua Olla, ada perasaan dari masa lalu yang menyeruak dalam hati Gua. Segala kenangan indah dan buruk pernah Gua lalui disini. Seorang perempuan di masa lalu yang pernah mengukir kenangan bersama Gua harus berakhir pilu pada hubungan kami saat itu. Tapi itu semua sudah lama Gua relakan, dan senang rasanya, benar-benar senang ketika Olla dan Indra sampai saat ini membina rumah tangganya dengan baik.
Gua bertemu Om Rambo, alias Papahnya Olla bersama istrinya. Dia memeluk Gua setelah Gua mencium tangannya, begitupun dengan sang istri. Sedikit melepas rindu dan saling menanyakan kabar sambil memperkenalkan istri Gua kepada orangtua Olla, akhirnya kami pun menitipkan dua surat undangan, tentunya untuk Indra dan Olla, dan yang satu lagi jelas untuk Bernat. Tidak begitu lama kami bertamu disini, karena masih cukup banyak surat undangan yang harus kami antar. Setelah Gua mendapatkan no.hp Olla dan Indra yang baru dari Papahnya, Gua dan Echa pun pamit pulang.
Gua kebut si RR karena matahari sudah mulai terasa panas menyapa tubuh ini, Gua bergeming ketika istri Gua yang duduk di belakang sambil memeluk pinggang ini tiba-tiba mencubit pelan perut Gua. Sekitar kurang dari 10 menit, akhirnya kami sampai di kediaman keluarga Mba Yu. "Assalamualaikum", salam Gua dari depan pintu rumahnya yang terbuka.
"Walaikumsalam", jawab Desi sambil berjalan mengahampiri, "Eh Mas Eza.. Oh ada Mba Echa juga, mari masuk..", ucapnya kemudian.
Gua dan Echa pun masuk ke dalam ruang tamu rumahnya dan duduk bersebelahan di salah satu sofa. Kemudian Desi memanggil Mba Yu yang berada di kamarnya.
"Hai Mas.. Eh sama Echa..", sapa Mba Yu setelah berdiri di dekat kami.
Istri Gua berdiri lalu memeluk Mba Yu dan mereka saling mencium pipi kanan-kiri. "Ganggu ya Mba.. Hehe", ucap Echa.
"Ah enggak kok, lagi santai aja di kamar, kamu dari mana De ?", tanya Mba Yu kali ini seraya duduk di sofa sebrang kami.
"Kita berdua lagi nganterin surat undangan Mba, tadi habis dari rumahnya Olla..", jawab Echa setelah duduk kembali disamping Gua.
"Olla " Teman sekolah kalian ?", tanya Mba Yu sambil melirik kepada Gua dan Echa bergantian.
"Iya, kakak kelas kita berdua di SMA, tapi mantannya Eza juga sih.. Hihihi..", jawab Echa sambil tertawa pelan.
Gua menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Hmmm... Biasa deh ada yang gak cerita gituuu..", ucap Mba Yu sambil memicingkan matanya kepada Gua.
"Hahaha.. Apaan sih Mba, masa lalu ituu.. Da lama banget..", jawab Gua sambil tertawa.
"Hm.. Oh ya sebentar ya, aku bikinin minum dulu... Kamu mau kopi Mas ?", tanya Mba Yu seraya bangkit dari duduknya.
"Eh gak usah repot-repot Mba, kita gak lama kok..", ucap Echa. "Loch kok gitu " Santai dulu di sini De..".
"Enggak Mba, kita masih harus anter beberapa undangan nih, takut kesiangan udah mulai panas juga Mba, dan kita gak bawa mobil...", timpal Gua.
Ya akhirnya walaupun Mba Yu memaksa kami untuk sekedar ngobrol, Echa dan Gua tetap menolak secara halus tawarannya itu. Bukan tidak mau mengobrol, tapi memang banyaknya undangan yang belum disebar membuat kami berdua tidak bisa berlama-lama. Tidak lupa Gua juga menitipkan surat undangan untuk Ben cs kepada Mba Yu. Ada rasa tidak enak sebenarnya kepada Mba Yu, apalagi dia yang mengurus dan membantu Echa dalam mempersiapkan resepsi pernikahan, lebih tepatnya mencari E.O, dan alhamdulilah, berkat bantuannya, kami berdua bisa memakai jasa E.O yang harganya cocok dengan budget Gua. Belum lagi bantuan soal kenalannya ke butik dan salon milik Seus Ayu. Pokoknya Mba Yu adalah salah satu orang yang berjasa besar untuk resepsi Gua dan Echa.
Gua kembali naik ke atas si RR, Echa masih berdiri di samping Gua, lalu menaikkan zipper jaketnya keatas.
"Kita kemana lagi Za ?", tanyanya. "Ke rumah Dini ya..", jawab Gua. ...
Hari ini cukup melelahkan, kami memutari kota sekitar 3 jam lamanya, yang sudah tentu mengantarkan surat undangan untuk teman-teman kami. Setelah memberikan surat undangan ke keluarga Dini, kami berdua ke rumah Wulan, Gladis, Shinta, Wildan, Sandhi, Gusmen, Topan, Airin, dan tidak lupa juga untuk Kang Dodo cs, pemilik fotocopy di dekat SMA kami dulu.
Sampai di rumah Nenek, Echa mengingatkan Gua untuk shalat dzuhur dulu, karena dirinya sedang berhalangan, maka Gua melakukan ibadah wajib itu seorang diri di dalam kamar, sedangkan Echa berada di dapur untuk menyiapkan makan siang untuk kami berdua. Selesai melaksanakan kewajiban, Gua berjalan kearah ruang makan, dan melihat Nenek sedang bersama Echa di meja makan, menyiapkan segala hidangan menu makan siang. Saat itu Nenek sedang berpuasa. "Ayo Za makan dulu bareng istri mu", ucap Nenek sambil bangkit dari kursi meja makan. "Ehm.. Iya Nek", jawab Gua.
Nenek menatap Gua dengan ekspresi bertanya "ada apa ?", tapi Gua hanya memberikan senyuman yang langsung dibalasnya juga dengan tersenyum. Lalu Nenek meninggalkan kami berdua di ruang makan ini. Echa sedang menyendok sayur sop ke mangkuk, Gua mendekatinya dan berdiri tepat di sampingnya.
"Lauknya mau ayam goreng atau gepuk sapi Za ?", tanyanya tanpa menoleh kearah Gua. Echa masih sibuk mengambil beberapa lauk ke piring makan. "Teh..", panggil Gua.
Echa menengok kali ini, tersenyum dan menaruh piring makan di atas meja. "Aku sudah jadi istri kamu sayang, jangan panggil aku Teteh lagi", ucapnya dengan senyuman yang sangat manis dan tangan kanannya ditaruh ke dada Gua.
Gua tersadar lalu tertawa pelan seraya menepuk jidat Gua sendiri, "Hehehe.. Kebiasaan, maaf ya", jawab Gua masih terkekeh.
"Ada apa ?", tanyanya.
"Mmm.. Aku mau anter undangan dulu ya, sebentar kok..", jawab Gua. "Makan dulu Za, sudah siang, tadi pagi kita cuma makan mie ayam kan..". "Deket kok..", ucap Gua lagi.
"Heum ?", "Kemana ?", tanyanya kali ini seraya menyelipkan helaian rambut kebelakang telinga kanannya. "Ke rumah Pak Rw...", jawab Gua.
... Sekitar pukul 2 siang Gua sedang makan dengan sang istri di teras depan kamar, panasnya sinar matahari di luar sana membuat kami enggan untuk keluar rumah lagi. Gua memandangi Echa yang sedang menyuap setiap sendok makanannya ke dalam mulut tanpa suara. Perempuan ini, ah bukan, wanita ini benar-benar memberikan keteduhan dalam hati Gua.
Segala apa yang sudah Gua lewati beberapa waktu lalu, dirinya lah yang paling mengerti akan kondisi batin ini. Ada banyak hal yang telah kami lalui bersama-sama sebelum sampai ke titik ini dengan waktu yang cukup singkat. Bukan hal yang mudah bagi Gua memutuskan untuk melamarnya dan akhirnya menikahinya saat ini. Tapi dengan segala pertimbangan yang terbilang terburu-buru, Gua mulai yakin, kalau ucapan Alm. Ayahanda benar adanya, Echa lah yang bisa meredam segala tingkah laku negatif dalam diri Gua. Dan Gua berharap, hati ini kini benar-benar bisa menerimanya dan melupakan nama seorang wanita lain.
... ... ... Beberapa hari menjelang acara resepsi, Gua mengendarai si Black melintasi jalan tol, tidak ada kemacetan yang berarti dalam perjalanan ke ibu kota, mungkin karena Gua berangkat di waktu siang. Sekitar 1 jam Gua sudah keluar dari tol dan mulai mengarahkan mobil ke arah kampus. Sekitar pukul setengah 3 Gua sudah sampai di parkiran kampus, lalu turun dari mobil dan menuju kantin. Di sini tidak cukup banyak mahasiswa/i yang sedang bersantai, hanya ada beberapa orang saja, dan tidak ada yang Gua kenal, karena mereka kakak tingkat Gua sekaligus mahasiswa D4.
Gua duduk di salah satu bangku besi dan memesan segelas ice cappuccino. Lalu sambil menunggu minuman, Gua keluarkan hp untuk sekedar memberi kabar kepada istri Gua. Beres mengirim sms kepada Echa, Gua sms Lisa dan Kinan. Tidak lama minuman pun datang. Sambil menunggu Lisa, Gua membakar sebatang rokok.
Setengah jam Gua menunggu, dua orang perempuan datang menghampiri Gua bersama seorang lelaki.
"Wah ada manten baru...", ucap Pak Boy sambil berjalan mendekat.
Gua terkekeh mendengar ucapannya, lalu Kinan, Vero dan Pak Boy duduk bersama Gua di bangku kantin ini.
"Apa kabar Pak ?", sapa Gua.
Puuk.. bahu kiri Gua ditepuk oleh Pak Boy.
"Sehat.. Hehehe..",
"Ngomong-ngomong Gua turut berduka cita atas meninggalnya Bapak ya Za", ucap Pak Boy. "Iya Za, turut berduka cita atas meninggalnya Bapak Lo ya.. Sorry Gue gak dateng", timpal Veronica. "Makasih ucapan belasungkawa nya", jawab Gua pelan seraya tersenyum tipis. "Ah.. Mana nih undangan buat Gua ?", pinta Pak Boy sambil menyodorkan tangan kanannya.
"Adaaa, tenang aja..", ucap Gua sambil mengeluarkan beberapa surat undangan dari tas, "Nih untuk Bapak, namanya benerkan ?", tanya Gua seraya memberikan satu undangan.
Pak Boy sok-sok mengecek nama yang diperuntukkan untuknya yang tertulis di bagian depan surat dengan ekspresi wajah yang serius, lalu Gua tertawa sambil menepuk paha kanannya. "Udeeh, bener ituu.. Kalo tulisannya salah tip-eks aja sendiri yaa, hahaha..", ucap Gua yang langsung membuatnya tertawa.
"Echa gak ikut Za ?", tanya Kinan kali ini.
"Nah iya, bini Lu kok gak dibawa Za, Gua pingin liat padahal..", timpal Pak Boy lagi.
"Lagi ada urusan dia, lagian nanti juga Bapak ketemu sama istri saya di resepsi kan..", jawab Gua, "Oh ya, ini untuk Lu Vo", lanjut Gua seraya memberikan satu surat undangan kepada Veronica. "Oh makasih Za, kirain Gue gak di undang, hihihihi..", jawabnya sambil menerima surat undangan. "Gak mungkinlah Gua gak ngundang Lu Vo, jangan sampe gak dateng ya..". "Sipp...", jawabnya sambil mengangkat satu ibu jarinya.
Setelah itu Gua menanyakan kabar perkuliahan kepada mereka, bukan soal kelas Gua, tapi soal kegiatan Vero dan Kinan lebih tepatnya. Sebenarnya ini hanya basa-basi saja, Gua tau betul kabar perkuliahan dari Tante Gua yang satu itu. Ya Kinan lah yang sebelumnya membantu Gua untuk mengambil cuti kuliah sebelum akad nikah. Dan sudah barang tentu setelah Gua cuti, Kinan pasti memberikan informasi seputar perkuliahan.
Lama kami mengobrol sampai akhirnya teman kelas Gua datang, Lisa dan Mat Lo menghampiri kami berempat. Lalu Gua juga memberikan surat undangan kepada mereka, tidak lupa beberapa lembar surat undangan untuk teman kelas yang lain. Tidak lama, Pak Boy pamit untuk pergi bekerja, ya rutinitas dia selain menjadi dosen dan pemilik cafe adalah sebagai manager Bar juga di salah satu hotel di Jakarta ini. Lalu disusul oleh Mat Lo yang harus menjemput adiknya dan Vero yang sudah ditunggu oleh kekasihnya di parkiran kampus.
Akhirnya, tinggallah Gua dan kedua perempuan yang berada di kantin ini. "Lis, Bianca masih kost ditempat mu kan ?", tanya Gua kepada Lisa. "Iya Za.. Ka Bianca masih kost di situ", jawabnya.
"Kira-kira dia ada di kost-an gak ya Lis " Soalnya aku telpon dari kemarin nomornya gak aktif", jelas Gua.
"Oh dia ganti nomer hp Za, sebentar aku sms dulu ya", jawab Lisa seraya mengeluarkan hpnya lalu mengetik sms.
Sambil menunggu balasan sms dari Bianca ke hp Lisa, Gua menghabiskan minuman lalu membayarnya. Tidak lama setelah membayar minuman, Lisa memberitahukan kalau Bianca sudah membalas smsnya dan ada di kost-an.
Gua pun mengajak Kinan dan Lisa untuk ikut ke kost-an bertemu Bianca. Tapi Lisa tidak bisa menemani Gua dan Kinan karena hari ini dia sudah ada janji dengan teman kelasan Gua yang lain untuk mengerjakan tugas kelompok. Akhirnya Gua dan Kinan lah yang pergi ke kost-an. Kami berdua menggunakan mobil milik Kinan, sedangkan si Black Gua tinggal sementara di parkiran kampus. Gua mengemudikan mobil dan mengarahkannya ke tempat dimana Gua pernah tinggal di Jakarta ini pada awal kuliah. Ketika Gua sudah memasuki pelataran parkir kost, seketika itu juga beberapa kenangan yang masih baru Gua alami di tempat ini kembali hadir memenuhi pikiran Gua.
Gua dan Kinan turun dari mobil lalu berjalan kearah kamar no. 3, saat berjalan, Gua sempat tersenyum dan menengok ke kamar yang berada di sisi kanan, dimana di kamar no. 20 itu beberapa waktu lalu Gua tinggal di dalamnya.
Bianca membuka pintu kamar setelah Gua memanggil namanya sambil mengetuk pintu 2 kali. "Rezaa!!", ucapnya seraya terkejut.
"Hai Ka'.. Apa kabar ?", tanya Gua.
"Alhamdulilah baik Za, ayo masuk Za, eh sama temen ya atau... Pacar nih ?", tanya Bianca lagi.
"Bukan.. Dia temen kampus Gua kok", jawab Gua seraya masuk ke dalam kamar kostnya bersama Kinan.
Gua kenalkan Kinan kepada Bianca. Lalu Bianca keluar kamar untuk membuatkan minuman, beberapa menit kemudian Bianca kembali ke dalam kamar dengan dua gelas sirup untuk Gua dan Kinan. Lalu kemudian dia duduk di hadapan Gua, kami bertiga duduk di lantai kamarnya ini.
"Kemana aja Lo.." Pergi dari kost-an gak bilang! Gue tanya Lisa dia bilang gak tau! Ada apa sih..." Pasti Lo ada masalah ya " Gak cerita sama Gue..", ucapnya dengan wajah kesal.
Gua tersenyum lalu menghela napas pelan, Gua melirik kepada Kinan yang berada di samping kanan Gua. Kinan ikut tersenyum tipis kepada Gua dan mengangguk pelan.
"Ka'..", "Maaf ya gak cerita selama ini, gak pamit waktu itu..", ucap Gua dengan nada yang pelan.
"Eh.. Ada apa sih " Kok jadi gak enak gini Za.. Lo gak kenapa-kenapa kan ?", tanyanya mulai khawatir.
Gua ambil satu surat undangan dari dalam tas setelah menemukan untuk nama Bianca lalu Gua berikan kepadanya. Wajah Bianca semakin kebingungan sambil menerima surat undangan tersebut. "Ini... Ini undangan untuk Gue ?", tanyanya.
Gua mengangguk sambil memberikan senyuman kepada Bianca. "Buka aja Ka'...", jawab Gua.
Bianca membuka surat undangan tersebut dan membacanya dengan seksama. Lalu mulutnya terbuka yang sekaligus dia tutup dengan tangan kirinya. "Eza! Ini.. Ini nikahan Lo "!", Bianca benar-benar terkejut kali ini.
"Iya". "Oo.. Ookey.. Okey.. Kayaknya Lo perlu cerita semuanya deh.. Gue beneran gak paham.. Dan ini kok namanya bukan Siska Za " Lo putus sama Siska ?",
"Za.. Cerita sama Gue.. Ada apa sebenarnya " Lo tiba-tiba pergi dari kost-an terus gak ada kabar ke Gue dan sekarang tiba-tiba datang, bawa surat undangan nikahan pula.. Maksudnya gimana Za ?".
Gua mengambil gelas sirup dan meminumnya seteguk, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambilnya sebatang. Gua bakar rokok dan menghembuskan asapnya keatas. Gua menghela napas dengan cepat. Lalu menatap Bianca lekat-lekat dan tersenyum. Bianca mengerenyitkan keningnya, menunggu semua penjelasan yang masuk akal untuk dia pahami, dan untuk kalian semua... Para pembaca cerita ini.
PART 43 Gua mulai bercerita kepada Bianca, ketika kejadian pada saat setelah Gua dan dia clubbing di tempatnya perform. Gua ceritakan semuanya tanpa sedikitpun Gua tutupi, dari mulai kedatangan teman kampus Dewa yang mengabadikan kejadian ciuman hingga berakhir di RS karena sebuah tembakkan dari pacar Gua. Bianca jelas tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah, kenapa sampai emosi Gua meledak karena ucapan Dewa hingga berani menakutinya dengan sebuah granat non-aktif. Tentu Gua tidak bisa menceritakan kenapa Gua tersulut emosi karena kalimat "Ibu" yang diucapkan Dewa menjadi pemicunya.
"Za, Gue.. Gue. Minta maaf", ucapnya setelah mendengar cerita Gua dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ka', ini semua bukan salah Lu, toh Gua juga yang memulaikan", ucap Gua.
"Tapi kenapa Lo gak cerita sama Gue " Harusnya Lo langsung cerita ke Gue Za kalo ternyata Siska udah tau kejadian di club itu", balasnya dengan nada emosi.
"Emangnya Lu mau kena labrak sama Siska ?", tanya Gua.
"Kalo emang dengan dia ngeluapin emosinya ke Gue bisa buat dia ngerti kenapa enggak " Walaupun kita berdua salah dan belum tentu bisa ngebalikin hubungan Lo sama Siska, tapi Gue bisa ngomong sama dia Za!",
"Seenggaknya Gue bisa jelasin ke Siska Za! Gue gak suka cara Lo yang ngadepin semua ini sendiri!", Bianca benar-benar marah kali ini.
"Ka', sabar dulu, Eza juga belum selesai cerita.. Lagian hal yang membuat Eza putus dengan Siska bukan karena kalian berdua ciuman di club itu", sela Kinan kali ini.
"Maaf, tapi Gue perlu ngomong juga sama Siska, untuk minta maaf sama dia", jawab Bianca kepada Kinan.
"Dia udah gak masalahin soal hubungan kita Ka', sekarang Lu gak perlu nyalahin diri Lu sendiri karena putusnya hubungan Gua sama Siska", timpal Gua.
"Terus karena dia nembak Lo kalian putus ?", tanyanya lagi.
Gua kembali mengeluarkan batang rokok kedua dan mulai membakarnya. Memikirkan kejadian yang sudah Gua lewati. Memilih darimana Gua harus menceritakannya kepada Bianca. Dan apakah Gua perlu menceritakan semuanya kepada Bianca...
"Za, aku rasa gak masalah kamu ceritain semuanya sama Bianca..", ucap Kinan meyakinkan Gua.
Lalu dengan dukungan Kinan, Gua mulai bercerita lagi kepada Bianca setelah menghembuskan asap rokok yang sebelumnya Gua hisap dalam-dalam.
. . . . . . Desember 2006. Gua diperbolehkan pulang setelah menjalani perawatan selama 5 hari di RS. Dengan segala apa yang sudah terjadi dan perlakuan Gua yang sangat keterlaluan di mata semua orang, terutama di komplek rumah Nenek, membuat keluarga Gua berpikir kalau sebaiknya Gua diberikan pendidikan agama yang lebih dalam, agar bisa menahan emosi. Apalagi kalo bukan pesantren. Gagasan tersebut diungkapkan oleh Nenek juga Om Gua.
Stress rasanya kalau sampai benar Gua masuk pesantren, takut " Ya takut terkekang dan tidak bebas, bukan soal bebas berprilaku buruk, tapi bebas menjalani keseharian Gua. Gua tidak mau kalau sampai harus nyantri. Jelaslah Gua menolak mentah-mentah, dan Gua menceritakan ulang kejadian kenapa Gua sampai gila harus memberikan pelajaran untuk Dewa kepada Om dan Nenek. Tapi rasanya semua itu percuma, mereka tetap menginginkan Gua belajar di pesantren. ...
Setelah kejadian itu, Gua belum masuk kuliah sama sekali, sudah satu minggu lamanya Gua bolos. Gua kabur dari rumah dan tidak tinggal juga di kost-an. Dimana Gua berada " Gua berada di apartemen Tante Gua, Kinanti.
Gua ceritakan semua permasalahan yang terjadi antara Gua, Mba Siska dan Dewa kepada Kinan. Jangan tanya gimana terkejutnya dia setelah mendengar semua cerita Gua. Setelah semuanya Gua ceritakan kepadanya, Kinan jelas meminta Gua untuk tidak kabur dari rumah, dan jelaslah Gua tolak permintaannya.
"Aku gak mau kalau sampai harus mondok Kak!", sentak Gua kepada Kinan.
"Za, apa salahnya sih "!",
"Ini kan demi kebaikan kamu juga!", jawab Kinan tak kalah emosi.
"Aku kesini untuk minta tolong sama kamu Kak, tapi kamu malah dukung keluarga aku!", balas Gua sambil bangun dari bangku dan menuju ke balkon kamar apartemennya.
Gua membakar sebatang rokok, lalu menyandarkan tangan ke railing balkon, memandangi jalan raya ibu kota yang penuh dengan kendaraan di malam hari.
"Za..", Kinan menghampiri Gua, "Kamu inget kejadian di sekolah dulu ?",
"Waktu kamu dicari sama orang suruhan keluarga Nindi ?", ucapnya setelah berdiri disamping Gua, "Akhirnya gimana " Kacau semuanya kan ?".
Gua menundukkan kepala dan ucapan Kinan membuat memori di otak Gua mengingat kembali kekacauan yang terjadi 2 tahun lalu. Gua menghirup udara dalam-dalam, lalu melepaskannya perlahan, Gua menengok kepada Kinan yang sedang menatap Gua.
"Maaf Kak, aku gak bisa..",
"Aku gak bisa ngikutin mau Nenek dan Om aku..".
Kinan memejamkan matanya sebentar, lalu kembali membuka matanya, tangan kanannya memegang bahu kiri Gua.
"Za, sekarang kamu mau gimana " Lari terus " Pergi ?", tanyanya.
Gua membuang muka, menatap ke jalanan dibawah sana. "Aku enggak tau, cuma satu hal yang aku mau saat ini..", ucap Gua.
"Hal apa ?". "Aku harus temuin Siska". ...
Keesokan harinya Gua terbangun di pagi hari. Gua bangun dari kasur, lalu keluar dari salah satu kamar dan melihat Kinan sedang memasak sarapan (Apartemen Kinan memiliki 2 kamar tidur). Gua menuju kamar mandi di dekat dapur dan membasuh muka, lalu keluar lagi. Gua hampiri Kinan yang masih asyik memasak mie goreng.
"Sarapan dulu ya Za..", ucapnya sambil tetap memasak. "Iya, makasih Kak..", jawab Gua.
Kemudian Gua mengambil gelas dan membuka kulkas, Gua ambil satu botol air mineral dan menuangkannya ke gelas. "Ka, kamu kuliah hari ini ?", tanya Gua setelah meneguk habis segelas minuman.
"Iya Za, hari ini aku kuliah..",
"Kamu sendiri yakin hari ini mau nemuin Siska ?", tanyanya sambil memindahkan mie dari wajan ke piring.
"Yakinlah Kak, mau kapan lagi aku bisa ketemu dia ?", ucap Gua.
"Hmm.. Ya mudah-mudahan dia gak jadi di pindahin Za..", jawab Kinan sambil berjalan ke arah Gua, kemudian duduk di samping Gua.
"Makasih Kak..", ucap Gua setelah menerima sepiring mie goreng yang ia berikan, "Menurut kamu, gak mungkinkan dia udah dipindah " Masa iya sih secepat ini...", Gua mencoba meyakinkan diri kalau Mba Siska masih bekerja di kantornya yang sekarang.
"Aku gak paham ya soal pindah tugas kayak gitu..",
"Cuma kalo kata aku sih kayaknya dia belum pindah Za, apa yang kamu bilang masuk akal kok.. Gak mungkin secepat itu dia udah pindah, seenggaknya butuh proses kan..", jawabnya meyakinkan harapan Gua.
Pagi ini Gua berangkat ke kantor Mba Siska sekitar pukul 7 pagi. Kinan saat itu belum berangkat kuliah karena jadwalnya mulai pukul 9. Gua menggunakan motor melintasi jalan raya ibu kota yang sudah padat kendaraan, sekitar pukul setengah 8 Gua sampai di depan kantornya, berharap dia belum sampai di kantor, Gua parkirkan motor di sebrang kantornya lalu menyebrang jalan dan menunggu di dekat warung persis di samping kantor Mba Siska. Keberuntungan hari ini masih memihak Gua, 15 menit menunggu sebuah mobil crv masuk ke dalam kantor, Gua pun segera membayar kopi yang Gua pesan lalu bergegas masuk kedalam kantor itu. Saat melintasi pos jaga, Gua sempat di tanya hendak kemana dan ada keperluan dengan siapa. Mau tidak mau Gua jujur saja untuk bertemu Mba Siska, salah satu anggota yang baru saja masuk dengan menggunakan mobil crv, setelah diberikan izin, Gua kembali berjalan lebih kedalam, ke area parkiran mobil yang berbeda dengan di area depan kantor ini.
Gua melihat Mba Siska baru saja mengunci mobilnya dan berjalan ke salah satu gedung di bagian dalam, Gua berlari kecil menghampirinya dari arah belakang.
"Mbaa.. Mba Siska", panggil Gua. Mba Siska menengok kebelakang. "Eza!", ucapnya kaget.
Gua berjalan hingga berdiri tepat di hadapannya dengan jarak kurang dari 2 meter. Mba Siska masih terkejut menatap Gua. Lalu Gua pegang tangan kirinya.
"Mba, maafin aku..", ucap Gua, "Aku perlu ngomong sama kamu Mba..".
Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca, tangan kiri pada genggaman tangan kanan Gua sedikit bergetar. Sebelum airmatanya terjatuh, dia buru-buru mengendalikan diri.
"Za, aku ada kerjaan hari ini.. Kita gak bisa ngomongin semuanya disini", ucapnya sedikit terbata. "Iya aku paham Mba, tapi aku coba hubungin kamu selama ini dan nomor hp kamu gak pernah aktif..".
"Maaf Za, aku ganti nomor..",
"Ini, kamu catet nomor hp ku yang baru", ucapnya seraya mengeluarkan hp dari tas kerjanya.
Gua pun mengeluarkan hp dan mulai menuliskan angka pada layar hp untuk kemudian menyimpan nomor hp barunya.
"Za, aku harus kerja sekarang, aku janji nanti sore kita ketemu ya", ucapnya setelah Gua menyimpan no.hp nya.
"Janji ya Mba.. Kamu gak akan pergi lagi sebelum kita omongin semuanya...", ucap Gua penuh harap. "Iya.. Aku janji..", jawab Mba Siska seraya menggenggam erat tangan kanan Gua lalu tersenyum.
Tidak lama kami mengobrol disini, karena sebentar lagi dia harus ikut upacara, belum ditambah banyaknya rekan kerjanya yang mulai keluar dari beberapa ruangan dan menuju lapangan. Sebenarnya Gua tidak enak sampai menemuinya di kantornya seperti ini, tapi Gua tidak ada pilihan lain, dan Gua bersyukur hari ini masih bisa menemuinya. Selesai bertemu Mba Siska secara singkat, Gua pun kembali keluar kantornya dan menggeber si RR untuk menuju kota sebelah. Hari ini Gua memang sudah berniat untuk mencoba menyelesaikan sedikit masalah. Setidaknya untuk orang terdekat Gua, bukan masalah pribadi sendiri dengan keluarga. Sekitar hampir 1 jam lamanya Gua berkendara, akhirnya Gua sampai di salah satu universitas negeri. Gua tidak tau gedung fakultasnya berada di sebelah mana, jadi saat itu Gua menanyakan letaknya ke pos satpam, setelah mendapatkan informasi dan petunjuk arah yang cukup membingungkan, Gua pun melajukan si RR untuk masuk lebih dalam ke area kampus ini.
Gua mengikuti jalan di dalam kampus untuk menuju ke salah satu gedung fakultas. Beberapa gedung fakultas sudah Gua lewati tapi Gua belum sampai di gedung yang Gua tuju, mungkin lebih tepatnya belum ketemu. Semakin lama Gua mengitari area kampus, semakin banyak orang-orang yang melintas, dari mulai pejalanan kaki yang bukan mahasiswa karena pakaiannya mengenakan pakaian olahraga, sampai ke ibu-ibu yang mengajak anaknya bermain di area kampus. Bebas ya ini kampus, siapa saja boleh bermain di dalamnya.
Tidak lama kemudian, Gua harus benar-benar menghentikan si RR karena Beberapa mahasiswi menyebrang dari arah kanan ke kiri, melintasi jalanan yang Gua lalui. Saat keempat mahasiswi itu menyebrangi jalan tepat di depan Gua. Mata ini tertuju ke salah satu mahasiswi, seorang perempuan yang mengenakan kaos putih yang dibalut lagi dengan almamater khas kampus ini dan celana jeans biru laut serta tas selempang berwarna coklat yang melingkar pada tubuhnya itu membuat Gua terpaku sesaat ditengah jalan, sampai pengendara motor di belakang Gua memberikan klakson agar Gua kembali jalan. Gua tersadar lalu buru-buru menjalankan si RR ke pinggir dan memarkirkannya. Gua turun dari motor lalu membuka helm full face dan menaruhnya di atas stang motor. Gua berlari kecil menghampiri keempat mahasiswi tadi.
"Ka..". "Ka Nindi", panggil Gua seraya berteriak kecil.
Salah satu dari perempuan itu menghentikan langkahnya dan menengok kebelakang. Seorang perempuan yang dulu pernah dekat dengan Gua sekaligus menjadi kakak tiri Gua itu kini berada di hadapan Gua. Wajahnya semakin cantik dan manis. Tubuhnya sudah bertambah tinggi dari terakhir kami bertemu beberapa bulan yang lalu.
"Eza "!", ucapnya tak kalah kaget dengan Gua.
Gua tersenyum kepadanya. Lalu Gua kembali berjalan untuk mendekatinya lagi. "Ka.. Apa kabar ?", tanya Gua.
"Eh, euu.. Alhamdulilah baik.. Kamu.. Kamu gimana kabarnya ?", tanyanya balik. "Alhamdulilah baik Kak", jawab Gua.
Lalu salah satu dari ketiga temannya mengingatkan Nindi untuk segera masuk kelas, karena perkuliahan mereka akan segera dimulai. Nindi menghampiri teman-temannya lalu tidak lama kemudian dia kembali mendekati Gua setelah ketiga temannya tersenyum melihat kami berdua dan pergi ke arah gedung fakultas.
"Za, kita ngobrol di sana aja ya..", ucap Nindi menunjuk taman di dekat sini. "Loch " Kamu enggak kuliah " Itu teman mu pada masuk kan ?", tanya Gua. "Udah lama juga gak ketemu kamu kan.. Jadi gak apa-apa kalo sekali-sekali bolos, hihihihi...".
Gua menggelengkan kepala sambil ikut tertawa. Lalu kami berdua berjalan ke taman di dekat sini dan duduk di salah satu bangku taman.
Nindi yang terkahir kali bertemu dengan Gua sekitar 5 bulan yang lalu di rumahnya di daerah Jakarta, kini sudah banyak berubah, lebih dewasa penampilannya, walaupun Gua tau dari dulu dia memang sangat dewasa. Tapi tentu ada perubahan yang baru Gua lihat karena sudah lama tidak bertemu. Kami memang jarang berkomunikasi bahkan tidak pernah setelah terkahir kali kami bertemu dulu. Sekarang di sini lah kami, duduk bersebelahan di sebuah taman kampus dekat gedung fakultasnya. "Kamu kemana aja Za ?", tanyanya seraya menengok kepada Gua yang duduk di sebelah kirinya.
"Ada Kak, cuma rasanya ada banyak hal yang terjadi beberapa bulan terakhir ini..", jawab Gua sambil menatap taman bunga di tengah taman.
"Za", "Cerita sama aku..", ucapnya dengan tersenyum seraya menaruh tangan kanannya ke bahu ki ri Gua. ...
Satu jam kurang Gua menceritakan hal-hal yang sudah Gua lalui selama 5 bulan terakhir ini kepada Kakak tiri Gua. Dan sepertinya dia sudah hafal dengan karakter Gua karena kejadian yang pernah kami alami di masa SMA dulu, jadi Gua yakin dia tidak terlalu terkejut.
"Za.. Rasanya hidup kamu selalu penuh dengan kejutan ya", ucapnya setelah Gua bercerita.
"Kejutan yang gak pernah aku inginkan Kak.. Aneh rasanya, semuanya terlalu cepat Kak untuk anak seusia aku", jawab Gua.
"Tapi kamu masih bertahan kan, kamu kuat seperti biasanya, aku yakin kamu bisa melalui semuanya Za...", ucapnya lagi.
"Aku gak tau.. Sekarang satu perempuan sampai harus menerima akibatnya", jawab Gua. "Siska ?".
Gua mengangguk pelan. "Za, setelah denger semua cerita kamu, gak ada pilihan lain selain kamu nemuin Echa.. Kalau aku liat, karir Siska sekarang bergantung sama Papahnya Echa kan ?", tanya Nindi. "Iya, makanya aku ke sini Kak..", jawab Gua.
"Loch " Maksud kamu ?",
"Echa kuliah di sini juga ?", tanya Nindi terkejut kali ini. "Iya, tapi beda fakultas sama kamu".
"Kamu tuh ya, jelek banget tau gak jaga silaturahmi sama aku dan keluarga aku semenjak Mamah meninggal",
"Dari terakhir kita ketemu di rumah pas aku kasih wasiat Mamah, kamu malah ilang gak ada kabar sama sekali, di sms sama telpon gak pernah dibales malah gak aktif nomornya..", ucapnya.
"Maaf Kak maaf banget ya..", sesal Gua menyadari kesalahan yang tidak bisa menjaga hubungan silaturahmi diantara kami.
"Udah ya, kita kan sama-sama udah lupain kejadian yang lalu.. Sekarang..", "Aku ini kakak kamu, walaupun cuma tiri",
"Apapun yang terjadi sekarang, kamu gak boleh menanggungnya sendiri Za, jangan anggap aku orang lain ya..",
"Gak ada manusia yang bisa menyelesaikan masalahnya sendirian, kita pasti butuh bantuan orang lain, dan terutama Tuhan..", ucapnya sambil memegang punggung tangan kiri Gua.
Gua tersadar oleh segala ucapannya, apa yang Kakak tiri Gua katakan itu benar adanya. Selama ini Gua terlalu egois, Gua buta bahwa banyak orang yang bisa mendukung Gua, menyemangati Gua dan berada di saat Gua terjatuh. Mereka ada di sekitar Gua tapi Gua tidak pernah menyadarinya. Gua bukanlah pahlawan yang mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan masalah seorang diri. Bahkan super hero dari marvel sekalipun bergabung dalam Avengers untuk melawan musuh-musuhnya. Behahaha!
... Pada akhirnya Gua diantarkan Nindi ke gedung fakultas Echa. Setelah sampai di depan gedung, Gua kembali mencoba menelpon Echa dan mengirimkan pesan, tapi nomor hpnya tidak aktif. Nindi akhirnya meminta Gua untuk sabar, siapa tau Echa masih ada mata kuliah. Gua dan Nindi sekarang berada di kantin. Sekedar mengganjal perut dengan camilan plus segelas kopi panas sambil menunggu Echa. Di sini kami kembali mengobrol, tapi kali ini Gua yang banyak bertanya mengenai kehidupannya sekarang. Dari ceritanya, Gua mengetahui kalau kakak tiri Gua ini sudah memiliki kekasih yang statusnya seorang pegawai kantoran. Papahnya alhamdulilah masih dalam kondisi sehat, kemudian Dian, adiknya yang pertama itu bersekolah di Jakarta dan terakhir, adik bungsunya juga sudah mulai beranjak dewasa.
Lama kami mengobrol sampai Gua lihat jam pada pergelangan tangan kiri sudah menunjukkan pukul 11 siang. Saat itu kami melihat kantin ini mulai penuh dengan banyaknya mahasiswa/i yang mulai berdatangan untuk makan siang.
Salah satu dari banyaknya kerumunan para mahasiswa/i di kantin ini membuat Nindi menyapukan pandangannya ke sekitar, lalu dia memicingkan matanya dan menggoyangkan tangan kanan Gua yang berada di atas meja.
"Za.. Itu Echa bukan ya ?", ucapnya.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Gua menengok ke belakang, mencari seseorang yang kami tunggu. Tapi Gua belum melihat sosok Echa dari banyaknya orang di sekitar kami.
"Mana Kak " Enggak ada ah..", ucap Gua tanpa melepas pandangan ke sekumupulan orang di kantin. "Ituu.. Yang deket outlet burger.. Yang pakai sweater hitam sama tas putih..", jawab Nindi.
Gua kembali mencari Echa dengan petunjuk yang dikatakan Nindi dan benar rupanya, perempuan yang Nindi lihat adalah Echa. Gua pun berdiri dan mengajak Nindi untuk berjalan menghampiri Echa di dekat outlet burger.
"Teh.", panggil Gua setelah berada di belakang Echa bersama Nindi.
"Loch Eza " Kok ada di sini ?", tanyanya terkejut setelah melihat Gua, terlebih bersama Nindi. "Kak Nindi ?".
"Teh, ada yang perlu kita omongin, ini penting soal Siska..", ucap Gua to the point.
Echa nampaknya paham dengan apa yang Gua inginkan, lalu kami bertiga keluar dari kantin ini menuju ke area parkiran mobil. Echa memilih membicarakan semuanya di salah satu restoran sekalian makan siang. Alhasil kami bertiga masuk ke dalam mobil Echa, Gua yang mengemudikan mobil, Echa duduk di jok samping kemudi, sedangkan Nindi duduk di jok belakang. Gua arahkan mobil ke salah satu resto setelah keluar dari area kampusnya.
... "Jadi aku cuma minta satu hal Teh..", ucap Gua setelah kami bertiga selesai menghabiskan makanan, "Tolong kamu bantu Mba Siska agar gak di pindahkan...", ucap Gua.
Echa menatap Gua dengan ekspresi datar, Gua tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
"Kenapa Za ?", "Kenapa kamu belain dia setelah apa yang kamu terima ?", tanyanya.
Gua memundurkan tubuh dan menyandarkan punggung ke bahu kursi, Gua mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai membakarnya.
"Dari awal ini semua salah aku Teh..", ucap Gua setelah menghembuskan asap rokok, "Tindakan dia bukan tanpa alasan, aku yakin.. Coba kamu pikir, apa mungkin dia gak terkejut setelah apa yang aku lakuin di malam itu di rumah Dewa ?", lanjut Gua lagi.
"Dan tindakan dia karena naluri profesinya " Iya " Itu yang kamu maksud ?", tanya Echa lagi.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskannya lewat hidung, Gua menatap ke piring kotor bekas makan tadi.
"Za, sekalipun dia punya wewenang untuk itu, bukan berarti dia bisa seenaknya... Apa dia gak mikir kalo pelurunya bersarang ke jantung kamu " Atau ke kepala kamu ?",
"Dia gak mikir juga kalo siapa yang dia tembak Za " Pacarnya sendiri".
"Tapi pasti dia punya alasan kuat ngelakuin itu Teh.. Kamu denger sendiri ceritanya dari Rekti kan " Aku lempar granat ke rumah Dewa".
Echa menggelengkan kepalanya lalu memutar gelas yang ada di depannya. "Aku fikir dia kenal kamu lebih dari apa yang aku tau", ucapnya lagi.
"Maksud kamu ?", tanya Gua.
Echa mendengus kasar. Lalu menatap Gua lekat-lekat. "Ternyata dia gak cukup tau isi hati kamu..", ucapnya seraya memajukan tubuhnya ke depan. "Seperti aku tau segala emosi yang ada di dalam hati kamu Za..".
Gua terdiam mendengar jawabannya itu. Nindi menatap Gua dari samping kanan, Gua menengok kepadanya. Lalu Gua lihat Nindi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya sekali.
PART 44 Gua masih terdiam mendengarkan ucapan Echa, apa yang baru dijelaskannya kepada Gua di depan Nindi benar-benar membuat Gua bahagia dan senang. Tapi ada satu hal lainnya yang Echa bahas. "Za, kamu mau tau siapa yang gak bisa menahan emosi di kejadian itu ?", tanya Echa. Gua menatapnya. "Aku Teh..".
"Bukan.. Tapi Siska..", jawab Echa. "Kok ?", tanya Gua heran.
"Kamu jelas ngeluapin semua emosi kamu sampai bertindak nekat dan di luar akal sehat Za. Karena Dewa yang gak bisa menjaga ucapannya...", ucap Echa seraya memundurkan tubuhnya, "Tapi Siska " Kenapa dia bisa berani ngelepasin tembakan itu, kamu udah tanya alasannya ke dia ?", tanyanya lagi.
"Aku emang belum nanya ke dia Teh, tapi aku rasa tindakannya untuk menjaga orang-orang yang ada disitu..",
"Ya kan kamu sendiri udah tau apa yang aku lakuin di malam itu", jawab Gua.
"Jangan kamu pikir aku gak tau cerita yang sebenarnya Za..",
"Rekti dan Unang cerita semua ke Papah di depan aku, gimana detail kejadian malam itu..", lanjutnya. "Maksudnya ?", tanya Gua bingung.
"Siska ngelepasin tembakan sebelum atau sesudah kamu lempar granat ?", tanyanya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Gua terkejut mendengar pertanyaannya itu. Ah gak mungkin Mba Siska... Gak... Gak mungkinlah...
"Za, siapa yang mau Siska selamatkan " Heum ?", "Lucu banget Za...",
"Sekalipun kamu benar-benar ingin meledakkan rumah Dewa, kenapa Siska gak bertindak langsung ketika dia melihat kamu ngeluarin granat ?",
"Kenapa harus nunggu kamu benar-benar ngelempar granatnya ?", "Yang jadi pertanyaannya sekarang...",
"Untuk apa Mba Siska nembak kamu setelah kamu lempar granatnya ?".
Gua menghela nafas dengan cepat jantung Gua berdegup kencang, sedikit keringat mulai keluar dari kening Gua.
"Teh, mungkin saat itu Siska emosi, dan aku rasa... Aku rasa dia juga gak berniat nembak aku Teh..", "Maksud aku gini Teh.. Dia bingung dengan kondisi saat itu..", jawab Gua mulai menyangkal semua ucapan Echa.
"Artinya apa Za ?", tanya Echa dengan nada yang dingin.
Gua mulai tidak bisa menjawab pertanyaan Echa. "Apa ?", tanya Gua balik.
"Artinya dia gak mampu memegang amanat dari profesinya..", "Patut dipertanyakan Za kenapa dia bisa lalai mengambil tindakan...",
"Kamu tau kan, ada prosuder dan test yang harus ditempuh untuk mendapatkan izin memegang senjata api Za..",
"Aku dari awal udah curiga, aku sampai nanya ke Rekti.. Siska kerja di bagian apa " Apa memang dia diberi kewenangan untuk memegang senjata " Memiliki senjata " Atau enggak sama sekali ?".
Semua yang Echa ucapkan benar-benar membuat mulut Gua terkunci, tidak ada alasan yang bisa Gua berikan untuk semua pertanyaannya itu.
"Za, pernah gak sih kamu nanya dia kerja di bagian apa selama ini ?", tanyanya lagi.
"Aku tau Teh, dia di bagian apa, tapi kan gak menutup kemungkinan dia punya izin untuk memiliki senjata, itukan rahasia pribadi dia..", jawab Gua.
"Okey...", "Kalo gitu tanya sama dia nanti Za...",
"Kenapa dia nembak kamu setelah melempar granat " Kenapa dia gak nembak kamu pada saat nunjukin granatnya ?",
"Logika aja Za.. Siapa yang mau dia selamatkan setelah kamu lempar granatnya ?", tandas Echa. Oh gat-damit! Logika-logika yang Echa berikan terlalu sulit untuk Gua sangkal saat itu.
"Terus kalo misalkan kamu yang ada di posisi Siska.. Apa kamu akan nembak aku sebelum granat itu aku lempar ?", tanya Gua.
"Aku gak akan ragu untuk nembak tangan kamu saat pertama kali kamu keluarin granat itu Za", jawab Echa dengan keyakinan yang Gua rasakan pada nada suaranya.
Gleuk.. Gua menelan ludah.
"Karena akan jadi pertanyaan besar kalo aku yang punya kewenangan tapi malah telat mengambil keputusan",
"Itu semua demi menyelamatkan orang yang ada disitu kan " Jadi untuk apa aku nunggu kamu benarbenar ngelempar granat itu..", jawab Echa menjelaskan.
Gua mendengus pelan sambil menggelengkan kepala. Dan penjelasan terakhir untuknya dari Gua malah membuat Gua bungkam dan akhirnya benar-benar menyerah.
"Teh, kamu perempuan sama seperti Siska, apalagi posisinya aku adalah pacar di a, jadi aku rasa gak salah kalau Siska bimbang dan akhirnya terlambat mengambil keputusan, maksud aku dia serbasalah...", jelas Gua mencoba memberikan pengertian.
Echa tersenyum kepada Gua lalu berdiri dari duduknya. "Kalo gitu, dia udah gagal psikotes dari awal mengikuti ujian kepemilikkan senjata", jawabnya.
Echa pergi kearah kasir untuk membayar makanan kami bertiga. Lalu sebuah tepukkan pelan pada bahu kanan Gua membuat Gua menengok kearahnya.
"Ada yang menunjukkan kepeduliannya ya Za..", ucap Nindi kepada Gua sambil tersenyum penuh arti. ...
Pada akhirnya, kami bertiga kembali ke kampus Echa dan Nindi. Kemudian Nindi turun di depan fakultasnya dan langsung pergi ke kelas untuk mengikuti kuliah pada kelas siang. Gua menanyakan Echa apakah ada kelas lagi atau tidak. Tapi sepertinya dia ingin ikut dengan Gua untuk bertemu Siska. Ya apa boleh buat, Gua mengikuti maunya. Sekarang Gua mengendarai si RR yang tadi di parkir di dekat kantin, Echa mengendarai mobilnya sendiri, yap, kami mengendarai kendaraan masing-masing.
Sekitar pukul 3 sore Gua dan Echa sampai di basement apartemen Kinan. Gua parkirkan motor lalu berjalan kearah mobil Echa dan masuk ke jok kemudi setelah Echa bergeser ke jok samping. "Mau kemana dulu Teh ?", tanya Gua sambil mulai menjalankan mobil perlahan. "Ke Mall aja Za, cuci mata".
"Jauh amat, sini aku beliin aer mineral aja, sama ajakan bisa buat cuci mata, hehehe...".
"Garing deh ah", jawabnya sambil membuang muka ke kiri.
"Diih judes banget, masih marah soal Siska nih ?", tanya Gua dengan nada menggoda.
Echa menghela napas pelan, lalu menengok kepada Gua. "Maksudnya apa sekarang kamu suka ke apartmen Kinan ?", tanyanya.
Degh... Oh sial, Gua lupa tadi malah keceplosan ngomong mau naruh motor di apartemen Kinan. Pantes aja dia sok-sok biasa aja, taunya ini yang nyulut emosinya. Hadeuh mumet otak Gua kalo gini caranya. "Huufftt.. Teh.. Kamu emang gak tau kalo aku udah gak pulang ke rumah ?", tanya Gua.
Echa langsung menyerongkan tubuhnya kearah Gua, dan sudah pasti membuatnya terkejut. "Ada apalagi sekarang Za "!".
Lalu Gua mulai menceritakan persoalan Gua dengan Nenek dan juga Om Gua. Setelah mendengar apa yang Gua jelaskan dan ketidak inginan Gua untuk mengikuti mereka, Echa malah terkekeh. "Lucu kamu.. Disuruh ngedalemin agama kok gak mau.. Hihihi", tawanya pelan. "Lah.. Kok malah lucu.. Lucu darimananya ?".
"Ya harusnya bagus dong Za.. Apa kata Nenek dan Om kamu benerkan " Biar kamu bisa meredam emosi kamuuu..", jawabnya seraya mencubit pipi Gua.
... Kami berdua sudah berada di dalam suatu mall di daerah selatan Jakarta. Kami hanya mengitari mall ini, sekedar membunuh waktu memanjakan mata untuk melihat-lihat segala barang yang di jual dibeberapa gerai. Tapi itu hanyalah awalnya... Semua berubah ketika Echa menemukan sebuah outlet yang menjual TAS!!! Ckckck... Ampun ini Teteh Gua, begitu matanya menemukan outlet tersebut, jiwa shopping nya meledak.. Bak anak kecil yang menemukan mainan baru, Echa berjalan kesana kemari melihat dan membandingkan satu tas A ke satu tas B, begitu terus hingga Gua lelah berjalan dan menjawab pertanyaannya.
"Za yang ini bagus gak " Cocok mana sama aku " Atau yang ini ya " Hmmm.. Tapi yang ini juga bagus sih..".
"....". "Hm.. Atau yang ini ya " Gimana menurut kamu..?".
"Bagus.. Itu bagus.. Yang itu cocok.. Ambil aja semuanya deh", jawab Gua pusing melihat tangannya memegang empat tas sekaligus.
"Masa semuanya "!",
"Kamu tuh jadi laki harus punya pendirian dong, milih tas aja dibilang semua bagus!", "Gimana milih pacar! Huh!", balasnya kesal lalu berlalu ke rak lainnya.
Eeebusyeeettt.. Ini yang mau beli tas Gue apa Elooo... Please deh!
Segitu lamanya kami berada di dalam outlet tas ini akhirnya Echa membeli dua tas sekaligus dan ya ya ya.. Baru deh wajahnya sumringah setelah dirinya selesai membayar di kasir. Baru saja kami keluar outlet tersebut, langkahnya terhenti lagi tepat di pintu keluar.
"Eh.. Za!", ucapnya kaget sambil menengok ke kanan.
"Hah " Kenapa Teh ?", tanya Gua terkejut karena mendengar ucapannya yang tiba-tiba dengan sedikit berteriak.
"Ituuu... Tas yang itu kan yang awalnya aku mauu.. Iiiihh... Kenapa jadi beli yang ini siih!", jawabnya kesal kesal kesaaall.
Gua hanya bisa menelan ludah lalu buru-buru menggandeng tangannya agar segera keluar dari outlet terkutuk ini!!!
Setelah pergi dari outlet tas Gua kira dia sudah lebih tenang, tapi ya namanya perempuan, kalo barang yang dia mau gak kesampean kebeli, eh bukan, salah beli lebih tepatnya, pasti deh moodnya langsung bete to the max.
"Kamu kan juga tau kalo aku tadi maunya yang di pajang tadi!", ucapnya dengan wajah bete.
"Ya kenapa kamu malah liat yang laen " Lagian kamu juga sih malah kalap liat yang di dalem, harusnya langsung ambil aja yang di depan tadi Teh.. Hadeuuh", jawab Gua.
"Kamu ngingetin aku dong! Gimana sih Za! Dasar gak peuka!", kesalnya langsung meninggalkan Gua di tengah mall.
Gile ini Teteh, ampun deh. "Teeh, tungguin lah...", ucap Gua sedikit berteriak lalu mengejarnya.
Cowok tuh kalo udah gini salah aja dimata cewek! Dasar mahluk absurd! Huahaha.. Peace ya kaum hawa Lebih tepatnya maaf Bun, Behahahaha...
Satu cup ice cream cokelat yang di mix dengan rasa vanilla sedang Gua pegang di tangan kiri, lalu tangan kanan Gua dengan telatennya menyendok ice cream tersebut dan menyuapinya ke mulut yang sedang manyun milik Teteh tercinta.
"Udah gak usah bete lagi ya...", ucap Gua setelah menyuapinya.
"Mmnpphh.. Pokoknya... Hmmpp.. Mau beli lagi... Nyam nyam.. Yang tadi...", jawabnya sambil mengunyah ice cream dengan wajah betenya.
"Iya beli deh, tapi enggak sekarang, sayang uangnya ah..", timpal Gua. "Huh!", Echa membuang muka ke kiri lalu melipat kedua tangannya.
Gua menghela napas panjang lalu memikirkan satu hal, gini kali ya kalau Gua nanti punya anak terus anak Gua pingin beli maenan..
... Pukul 4 lewat kami berdua sudah keluar dari Mall tersebut, Gua kembali mengendarai mobil. Saat mobil melintasi sebuah masjid, Echa menepuk tangan kiri Gua pelan dari sisi kiri Gua. "Za.. Za..", ucapnya.
"Heum ?", Gua menengok ke kiri, "Kenapa ?", tanya Gua.
"Puter balik Za", jawabnya. "Loch kenapa ?".
"Shalat Ashar dulu..".
Gua tersenyum mendengar jawabannya, lalu Gua putar balik mobil dan mobil pun Gua parkir di area parkiran masjid. Kami berdua turun lalu masuk ke dalam masjid tersebut. Singkat cerita Gua dan Echa sudah selesai melaksanakan ibadah 4 raka'at di masjid tersebut. Sekitar pukul setengah 5 lewat kami berdua kembali melintasi jalan raya dengan mobil miliknya. Pukul 5 sore Gua menelpon Mba Siska.
Quote:Percakapan via line :
Mba Siska : Hallo Assalamualaikum Za.
Gua : Walaikumsalam Mba.. Eeuu.. Gimana Mba sore ini " Jadi ketemu ".
Mba Siska : Iya jadi Za, tapi aku bentar lagi baru pulang, kita ketemu di resto xxx aja ya.. Gimana " Sekalian makan.
Gua : Iya boleh Mba, aku duluan kesitu ya, nanti aku sms kamu Mba. Mba Siska : Okey Za.
"Gimana Za " Jadi ?", tanya Echa dari bangku sebelah Gua.
"Jadi Teh, ketemuan di resto yang di deket optik, sekalian makan katanya, kita langsung kesana aja ya", jawab Gua sambil kembali menyalakan mesin mobil.
Echa tersenyum lalu mengangguk pelan. Lalu mobil pun kembali berjalan meninggalkan pinggir jalan tadi. Gua pacu mobil dengan kecepatan sedang, kendaraan di jalan raya mulai padat karena sudah jam pulang kerja. 10 menit kemudian kami sudah sampai di resto sunda yang disebutkan Mba Siska di telpon tadi.
Gua dan Echa sudah duduk di salah satu bangku resto di bagian smoking area. Setelah memesan dua jus jeruk, Gua sms Mba Siska, untuk memberitahukan kalau Gua sudah sampai dan mengatakan Gua duduk di meja nomor 10 bagian luar. Gua sempat menanyakan apakah dia ingin Gua pesankan minuman dahulu dan Mba Siska membalas tolong dipesankan satu gelas ice lemon tea. Beres menambah pesanan ke pramusaji, Gua membakar sebatang rokok.
"Ngerokok mulu ih", ucap Echa sambil memainkan hpnya. "Baru ini Teh, hehehe..", jawab Gua lalu menghisap rokok tersebut.
"Baru darimana, tadi siang udah berapa batang coba... Mau tuanya penyakitan ?", balasnya.
"Ya enggak sih, tapi.. Ya asem rasanya kalo gak ngerokok, lagian ini aku lagi pusing Teh.. Hehehe", jawab Gua berkilah.
"Pusing kok ngerokok, minum obat lah.. Aneh deh".
Gua hanya bisa memanyunkan bibir lalu memalingkan muka. Susah ngomong ama dia ma deh. Lagian salah Gua juga sih. Hadeuh.
Tidak lama kemudian datanglah Mba Siska dari arah depan dan wajahnya terkejut ketika melihat ada Echa di samping Gua. Sempat Gua lihat dia meragu tapi secara tiba-tiba dirinya berusaha mengendalikan diri dan kembali berjalan lagi ke meja makan ini. Lalu berdiri di belakang bangku dihadapan kami berdua.
"Hai Za..", "Hai... .... Cha", sapanya.
"Hai Mba, ayo duduk", balas Gua menyapanya sambil tersenyum.
Echa memundurkan bangku yang ia duduki lalu berdiri. Mba Siska yang melihat itu tidak jadi menarik bangku di depannya dan memperhatikan Echa. Lalu Echa berjalan kearah Mba Siska dan.. "Sehat Mba ?", tanya Echa sambil menyodorkan tangannya.
Ada jeda sedikit sebelum Mba Siska benar-benar menyambut tangan Echa. Setelah mereka berjabat tangan barulah Mba Siska menjawab. "Sehat alhamdulilah Cha..", jawabnya.
Lalu... Tep.. Tep.. Echa merapatkan sedikit tubuhnya ke Mba Siska dan mencium pipi kanan-kirinya Mba Siska (cipika cipiki ala wanita). Mba Siska sedikit terkejut melihat perilaku Echa. Ya Gua rasa dalam pikiran Mba Siska, Echa masih tidak suka dengannya tapi sekarang malah berubah. "Ayo duduk Mba", ajak Echa sambil menarik bangku.
"Eh.. Ii... Iya".
Sekarang mereka duduk dihadapan Gua, ya Mba Siska dan Echa duduk bersebelahan. Gua berada tepat dihadapan Mba Siska dengan meja makan di depan kami yang menjadi peanghalang. Lalu Echa mengambil gelas jus jeruk miliknya yang sebelumnya berada disebelah Gua. Kemudian Echa memutar-mutar sedotan dalam gelas itu.
"Mba..", ucap Echa memulai obrolan,
"Sebelum Mba sama Eza ngebahas hubungan kalian berdua.. Ada yang perlu aku omongin dulu sama kamu Mba", lanjut Echa.
"Soal ?", tanya Mba Siska menengok kepada Echa. "Kerjaan kamu", jawab Echa.
Wajah Mba Siska sedikit terkejut, lalu kembali Mba Siska mendengarkan semua penjelasan Echa yang sebelumnya sudah diceritakan kepada Gua dan Nindi saat siang tadi. "Mba, kamu nerima surat perintah pemindahan gak ?", tanya Echa. "Belum Cha..", jawab Mba Siska.
"Bukan belum Mba, tapi kamu enggak akan pernah nerima surat itu", ucap Echa kali ini seraya tersenyum dan menoleh kepada Mba Siska.
Jelas Mba Siska terkejut lalu bingung dengan apa yang dia dengar itu. Mba Siska menengok kepada Gua yang berada di depannya. Seolah-olah bertanya, Gua hanya tersenyum lalu menghisap rokok pelan-pelan dan menghembuskan asapnya ke kanan.
"Mba, apa yang aku tuntut kemarin hanya emosi aku Mba..", lanjut Echa. "Maksudnya ?", tanya Mba Siska yang masih kebingungan.
"Yaaa.. Siapa yang enggak kesal dan emosi Mba kalo orang yang kita sayang terluka.. Dan aku yakin, kamu pasti juga tau kan kalo kita sama-sama menyayangi laki-laki yang sama", jawab Echa sambil menatap Gua.
Gua tersenyum melihat Echa lalu melirik kepada Mba Siska yang ikutan menengok kepada Gua.
"Aku gak pernah benar-benar meminta tolong ke Papah untuk menyulitkan karir pekerjaan kamu Mba", ucap Echa kali ini menengok lagi kepada Mba Siska,
"Aku gak sejahat itu untuk memutuskan rejeki orang lain", lanjut Echa.
"Terus, omongan yang minggu lalu di rumah kamu itu maksudnya apa ?", tanya Mba Siska dengan nada suara yang pelan.
"Aku udah bilang, kalau itu luapan emosi aku aja, untuk kamu dan Bapak kamu Mba..", jawab Echa, "Aku kesal sama kamu, dan aku pingin tau reaksi kamu nerima itu semua", lanjutnya.
Mba Siska menghela napas pelan lalu melirik kepada Gua, Gua hanya bisa tersenyum menanggapi tatapan Mba Siska itu.
"Mulai sekarang, kamu gak perlu mikirin pemindahan itu Mba, karena memang gak akan pernah terjadi", lanjut Echa.
"Mba.. Mungkin apa yang dilakukan Echa minggu lalu di rumahnya ke kamu sama dengan emosi aku ke Dewa waktu malam itu", timpal Gua.
"Aku bingung harus ngomong apa ke kalian berdua...", jawab Mba Siska.
"Soal pekerjaan kamu gak perlu dipikirin lagi Mba..", ucap Echa kali ini seraya memundurkan bangku lalu meminum jus jeruk miliknya dan berdiri dari duduknya,
"Sekarang, silahkan Mba obrolin masalah hubungan Mba dengan Eza", lanjut Echa.
Echa mengambil tasnya di bangku samping Gua lalu berjalan meninggalkan kami berdua, baru beberapa langkah, Mba Siska memanggil Echa.
"Cha..", panggil Mba Siska.
Echa menengok kebelakang, kepada Mba Siska. "Makasih ya", lanjut Mba Siska.
Echa tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Mba, aku harap kamu bisa kasih penjelasan yang masuk akal untuk Eza ya", ucap Echa lalu kembali berjalan keluar resto.
Dan... Kini Gua tinggal berdua bersama Mba Siska di meja resto no. 10 ini. Kedua mata kami saling bertemu, Gua tersenyum kepada Mba Siska. Lalu tangan kanan Gua memegang tangan kirinya yang berada di atas meja makan.
. . . Saat Gua, Echa dan Nindi berada di restoran siang sebelumnya. Ketika Gua meminta Echa untuk menolong Mba Siska soal pekerjaannya, ternyata apa yang dijelaskan Echa kepada Mba Siska tadi adalah hal yang sebenarnya. Ya, Echa memang tidak sungguh-sungguh meminta Papahnya untuk memindahkan Mba Siska ke luar daerah. Sama halnya seperti Gua yang emosi kepada Dewa. Ada hal-hal yang bisa membuat seseorang meluapkan kekesalan dan emosinya kepada orang lain dengan berbagai cara. Apapun bentuknya, yang jelas itu adalah salah satu luapan emosi sesaat. B elum tentu kita benar-benar berani melakukan hal buruk kepada orang lain selagi kita masih memiliki iman di dalam hati, sekalipun hanya sedikit yang kita miliki, maka rasa kemanusiaan pada orang lain pun masih ada.
... "Mba...", "Aku mau minta maaf atas apa yang udah terjadi kemarin-kemarin..", ucap Gua.
Mba Siska tersenyum lalu tangan kanannya merapihkan rambut yang menghalangi sebagian wajahnya.
"Aku yang minta maaf udah.. Udah...", "Nembak kamu..", ucapnya.
"Jangan mikirin hal itu Mba, sekarang kan aku di sini, di depan kamu, gak ada hal buruk yang terjadi kan.. Maksud aku, seenggaknya gak seburuk apa yang kita takutin", timpal Gua. "Aku gak tau Za harus ngomong apa sama kamu sebenarnya".
Mba Siska melepaskan tangan kirinya dari genggaman tangan kanan Gua. Lalu dia bersandar kebelakang, ke bahu bangku. Gua menunggu apa yang akan dia ucapkan selanjutnya. "Za.. Aku minta maaf, benar-benar minta maaf sama kamu", ucapnya.
"Kamu gak perlu minta maaf, karena aku udah maafin kamu Mba, lagian.. Ehm..", Gua berdeham sekali,
"Aku yang salah kan, udah khianatin kamu", lanjut Gua.
Mba Siska tersenyum tipis, lalu menatap mata Gua lekat-lekat. "Za.. Aku udah gak masalahin soal kelakuan kamu sama Bianca di club itu", ucapnya.
"Terus ?", tanya Gua menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Aku..", "Huuuftt..", Mba Siska menghela napas dengan kasar, "Tapi aku cuma belum bisa nerima kelakuan kamu yang lepas kendali di rumah Dewa", tandasnya dengan wajah yang sedikit tertunduk.
PART 45 Terkadang ada hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kalimat yang jelas dan masuk akal, tapi ada juga hal yang bisa diungkapkan lewat kalimat sekalipun kita sulit menerimanya, hanya bisa mencoba memahami dan berusaha menerima segala alasan-alasan tersebut agar semuanya kembali seperti sediakala...
... Hampir jam 6 sore Gua masih berada di resto sunda ini. Tapi tidak lagi bersama Mba Siska, melainkan Echa.
"Kamu terima gitu aja alasannya ?", tanya Echa setelah mendengar keputusan Mba Siska dari cerita Gua.
"Ya aku gak bisa memaksa Teh", jawab Gua seraya kembali membakar sebatang rokok.
"Kenapa kamu gak berusaha untuk yakinin dia kalo kamu bisa berubah Za ?", tanya Echa lagi kali ini sambil menyantap pisang cokelat pesanannya.
Bukan hal yang biasa ketika Echa sedang makan sesuatu dia mau berbicara seperti sekarang. Tapi mungkin saat ini, apa yang jadi pembahasan kami terlalu sulit untuk dia tahan dalam hati jika harus menunggu menghabiskan pisang bakar cokelat tersebut.
"Udah Teh, aku udah bilang mau berubah, tapi dia..",
"Huufttt...", Gua menghela napas dengan kasar sambil mendongakkan kepala, "Dia malah ungkit kejadian yang lalu", jawab Gua.
"Maksud kamu ?", tanyanya setelah mengunyah makanan, "Kejadian yang mana ?".
"Dia bahas soal keributan di rumah Nenek waktu aku ribut sama keluarga Nindi", jawab Gua lagi.
"Loch " Kok dia bisa tau " Bukannya waktu itu dia gak ada " Maksud ku dia belum pindah dinas ke sini kan ?".
"Iya, memang dia waktu itu masih di Jawa Tengah..",
"Tapi dia pasti denger dari tetangga, ah bukan, pasti Bapaknya cerita Teh, belum lagi Rekti, Dewa dan yang lainnya", jawab Gua.
"Jadi..", kali ini Echa menaruh garpu ke piring makan, "Alasan dia gak bisa lanjutin hubungan kalian karena emosi kamu ?".
Gua mengangguk lemah. Lalu menghisap rokok dalam-dalam. "Gitulah.. Dia terlalu takut untuk ngejalanin ini semua sama aku Teh", lanjut Gua seraya menghembuskan asap rokok kebawah.
"Aku gak bisa ikut campur soal hubungan kalian Za, aku gak mau sampai Siska nganggap aku kasih masukkan yang salah sama kamu, lagi pula ini keputusan dia, seenggaknya kamu udah berusaha jelasin kan ?".
"Ya..". Satu hal yang membuat Mba Siska memilih mengakhiri hubungan kami adalah emosi Gua yang membuat Gua selalu lepas kendali jika menghadapi masalah. Dia menganggap kalau dirinya tidak akan bisa menjadi peredam emosi Gua selama ini. Dia sempat mengungkit keributan antara keluarga Gua dengan keluarga Nindi di rumah Nenek beberapa tahun yang lalu. Dan kejadian di rumah Dewa satu minggu yang lalu adalah puncaknya. Dia menyerah, dia tidak bisa menerima keadaan Gua ini, tidak bisa menerima kekurangan yang ada dalam diri Gua. Dan disinilah akhir hubungan kami. ...
Beberapa hari setelahnya Gua masih berkomunikasi dengan baik lewat sms ke Mba Siska, kami memang belum pernah bertemu lagi sejak terakhir kali dia memutuskan hubungan kami di resto sunda, tapi Gua berusaha untuk menjaga hubungan baik, menjaga silaturahmi dengannya agar tidak ada kesalahpahaman atau jangan sampai kami berdua menjadi musuh.
Sudah hampir dua minggu lamanya Gua tinggal bersama Kinanti di apartemennya, dan Gua juga sudah mulai masuk kuliah lagi. Entah kenapa Gua enggan untuk kembali ke kost-an. Echa selalu memberikan kabar tentang Nenek yang cemas menanyakan keberadaan Gua, tapi Gua sudah bilang kepada Echa, kalau Gua baik-baik saja di Jakarta bersama adiknya Mba Laras, dan Echa pun menyampaikan pesan tersebut kepada Nenek.
Masalah lain muncul ketika Echa marah karena Gua memilih tinggal bersama Kinan di apartemen ini. Echa tidak lagi menanyakan Gua walaupun hanya sekedar sms atau telpon. Gua pun mencoba memahaminya, jadi ya maaf untuk hal satu ini. Gua biarkan Echa sementara waktu.
Beberapa minggu sudah berlalu hingga malam tahun baru sudah di depan mata. Gua menerima telpon saat itu dari Om Gua yang memberitahukan kalau Gua tidak akan dipaksa lagi untuk masuk pesantren, lega rasanya. Gua menceritakan semuanya lagi kepada Kinan yang langsung disambutnya dengan rasa senang juga. Gua sempat ingin kembali ke kost-an tapi Kinan melarang Gua, dia bilang gak ada salahnya kalau Gua tinggal bersamanya untuk sementara waktu, hitung-hitung menemani Tante katanya, hahahaha. Gua berasa brondong Gais.
Dengan segala apa yang sudah terjadi beberapa waktu ini, Gua berpikir ulang untuk menjalani hidup. Maksud Gua, sepertinya Gua tidak bisa menganggap remeh pergaulan di Jakarta ini. Gua yang berasal dari kota sebelah dengan pergaulan biasa saja sudah memiliki prilaku dan emosi yang buruk, apalagi jika ditambah pergaulan yang bebas, bisa lebih gila nanti. Untuk menghindari hal-hal yang bisa memicu emosi, Gua menjalani semuanya apa adanya. Gua mulai mawas diri, Gua lebih mendekatkan diri kepada sang pemilik alam semesta ini.
Orang mungkin beranggapan Gua dan Kinan seperti sepasang kekasih yang memiliki pergaulan bebas, anggapan mereka bisa saja melihat kami berdua layaknya sepasang suami-istri yang belum menikah, melewati batas yang ada dan di luar norma yang berlaku. Tapi Gua tidak ambil pusing soal itu, toh tetangga apartemen Kinan juga biasa saja, dan Gua cukup kenal beberapa orang tetangganya. Teman kampus " Hmmm.. Lisa sempat sih berpikir yang enggak-enggak soal ini, tapi sepertinya Lisa tidak mau ambil pusing lagi setelah Gua ceritakan alasannya. Dan Gua bilang juga sama dia kalau jangan sampai ada yang tau perihal pindahnya Gua dari kost-an miliknya kepada anak-anak kost lain.
Dan hanya ini lah yang bisa Gua ceritakan kepada Bianca. ***
Kembali saat Gua, Kinan dan Bianca berada di kost-annya.
Bianca menggelengkan kepalanya sambil menatap Gua setelah mendengar semua yang terjadi antara Gua dengan Mba Siska. Dia mengambil bungkus rokok miliknya di meja lalu membakar sebatang rokok menthol dan kembali duduk dihadapan Gua dan Kinan.
"Okey, Gue paham sekarang soal putusnya hubungan Lo sama Siska..", ucapnya seraya menghembuskan asap rokoknya,
"Nah yang Gue pertanyakan... Ehm..",
"Sorry ya Za, ini cuma asumsi Gue aja.. Apa... Mmm.. Apa Lo sama Echa itu..", ucapnya ragu-ragu.
Gua terkekeh pelan menunggunya menanyakan hal yang sudah bosan Gua jawab kepada teman lainnya, yang menanyakan hal yang sama seperti Bianca. Ya Gua tau apa yang ingin dia tanyakan. "Gua hamilin Echa gitu ?", tembak Gua sambil tersenyum kepada Bianca.
"Eh.. Euu.. Ya.. Ya gitu bukan " Hehe.. Maaf loch kalo salah", jawabnya.
"Santai aja Ka', Lu orang ke sekian yang ngira pernikahan Gua dan Echa karena hal itu.. Tapi sayangnya prasangka semua orang salah.. Gua sama Echa gak pernah bersetubuh loch sampai kami udah nikah sekarang", ucap Gua.
"Loch " Kok " Kan udah sah ?".
"Hmmm.. Saat Gua akad kemarin, Bokap Gua meninggal Ka', tepat di hari Gua menikahi Echa.. Beliau meninggal karena serangan jantung jam 4 subuh".
Bianca terbelalak dan satu tangannya menutupi mulutnya, tidak lama kemudian matanya berkacakaca dan airmatanya pun turun membasahi pipinya.
"Ya ampun Za..",
"Gue.. Gue enggak percaya sebenernya..",
"Di saat hari bahagia Lo, di saat itu juga Lo berduka karena kehilangan Bokap.. Ya ampun Zaa.. Gue gak bisa bayangin perasaan yang ada di dalam hati Lo saat itu..", ucap Bianca sambil menangis.
Kinan mengambilkan tissu dari tasnya lalu memberikannya kepada Bianca. Lalu Bianca pun mengusap pipi dan matanya yang sudah basah.
"Ka', alasan Gua menikahi Echa..", ucap Gua sambil memainkan bungkus rokok di lantai kamar kostan,
"Gua lihat sosok Echa lah satu-satunya wanita yang bisa meredam emosi Gua Ka'..", lanjut Gua. "Za..", panggil Kinan dari samping Gua.
Gua menengok kepada Kinan lalu tersenyum dan menggelengkan kepala pelan.
"Lo gak jujur sama Gue soal alasan pernikahan Lo "!", tembak Bianca kali ini setelah melihat Gua dan Kinan barusan.
"Gua jujur, sumpah..",
"Tapi alasan lainnya Gua gak bisa cerita ke Lu Ka'.. Maaf ya.. Gak semua hal bisa Gua ceritakan sama Lu, tapi seenggaknya alasan Gua tadi adalah hal yang jujur dan benar kok", jawab Gua.
"Ya... Oke Za, Gue gak mungkin maksa Lo juga kan..", ucapnya sambil tersenyum kali ini, "Sekarang...",
"Gue cuma bisa mendo'a kan Lo supaya bisa jadi suami yang bertanggungjawab buat istri Lo dan kalian bahagia sampai ajal menjemput yaa..", ucapnya lagi kali ini berdiri dari duduk dengan kedua tangannya yang direntangkan.
Gua tersenyum lebar menatap Bianca, lalu Gua berdiri dan menyambut pelukannya. Gua rasakan usapan tangannya yang lembut pada punggung Gua. "Makasih ya Ka', makasih atas do'a nya, semoga Lu juga bisa bahagia dengan kehidupan Lu ya..", ucap Gua dalam pelukkannya.
"Makasih Za, semoga ya...",
"Salam untuk istri Lo", ucapnya seraya melepaskan pelukkannya.
Gua menatap matanya lekat-lekat lalu menyibakkan rambut yang menghalangi wajahnya.
"Ka', Gua harap Lu menemukan pasangan yang terbaik ya... Mmm... Siapapun dia Ka', yang jelas bisa buat hidup Lu bahagia".
"Hahahah.. Eza jahat iiih", tawanya sambil menepuk dada Gua. "Kok jahat sih ?", tanya Gua.
"Gue paham maksud Lo kaliii",
"Siapapun dia itu maksud Lo cowok atau cewek kan, hayo ngakuu ?", tanyanya sambil tersenyum lebar.
Gua tertawa ternyata Bianca menyadari maksud kalimat yang Gua ucapkan. "Hehehe.. Yaa.. Gitulah hahaha.. Sorry loch Ka'.. Hehehe".
"Za..". "Heum ?". "Gue udah putus dari Eshter..", jawabnya pelan. "Loch " Serius " Kok bisa ?", tanya Gua cukup terkejut.
"Iya.. Sekarang Gue.. Gue pacaran sama kamar sebelah.. Hehehe...", jawabnya malu-malu kali ini.
"Sebelah " Mba Ina ?", tebak Gua menyebutkan nama seorang perempuan yang tinggal di kamar no.
4. "Yeee.. Enak aja! Bukanlah dodol!", jawabnya seraya menepuk kepala Gua pelan.
"Hahaha... Terus siapa dong ?".
"Mas Berry..", jawabnya sambil tersenyum lebar.
Yap, pada akhirnya inilah salah satu teman satu kost-an Gua, Bianca yang Gua kenal belum sampai setahun ternyata memiliki kelainan seksual dan setelah apa yang dia coba kepada Gua beberapa bulan lalu bisa merubah orientasinya. Gua senang mendengarnya kembali normal seperti layaknya perempuan pada umumnya. Gua berharap dia bersama pengacara muda yang bernama Berry bisa langgeng sampai menikah. Semoga yang terbaik untuk kalian berdua.
Gua dan Kinan pun pamit kepada Bianca. Tidak lupa Gua mengingatkannya untuk hadir di acara resepsi pernikahan Gua dan Echa nanti yang langsung dibalasnya dengan anggukan kepala.
Kinan berjalan duluan ke area parkiran mobil. Gua baru beberapa langkah dari depan pintu kost-an Bianca. Lalu Bianca memanggil...
"Za..". Gua berbalik badan, melihatnya yang tersenyum di ambang pintu kamarnya. Tidak lama kemudian dia berlari dan langsung memeluk Gua.
"Makasih.. Makasih banyak atas semuanya", ucapnya lirih dengan wajah yang bersandar ke dada ini.
"Ka'.. Gua gak banyak bantu apa-apa, toh niat dari dalam hati Lu yang ngerubah semuanya kan..", balas Gua sambil mengelus punggungnya.
"Makasih ya Za..".
... Gua dan Kinan berada di dalam mobil menuju kampus lagi, untuk mengambil mobil Gua yang terparkir disana. Dalam perjalanan ke kampus, Kinan yang mengemudikan mobil.
"Za..". "Ya ?", jawab Gua sambil membalas sms untuk istri Gua.
"Kamu kenapa gak cerita alasan kenapa nikahin Echa ke Bianca ?", tanya Kinan. Gua hentikan jemari Gua yang masih mengetik sms untuk sang istri, lalu tersenyum kepada Kinan.
"Gak semuanya perlu tau cerita yang satu itu Ka", jawab Gua.
Kinan mengerti maksud Gua. Dia tersenyum dan menengok kepada Gua sesaat. "Terus.. Mmm.. Kamu gak undang 'dia', ke acara nikahan kamu nanti ?".
"Aku gak tau sekarang dia dimana..",
"Aku udah nanya ke sepupunya tapi jawabannya sama, gak ada yang tau dia dimana..", jawab Gua sambil mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu.
Seorang perempuan yang sempat ingin Gua miliki. Sekarang entah kamu ada dimana. Kenapa dengan kejadian itu kamu harus pergi dari aku.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . . . . Masih beberapa hari sebelum acara resepsi Gua dan Echa diselenggarakan. Saat itu Gua masih ingat dengan jelas, kami berdua baru pulang dari rumah Echa. Sekitar pukul 3 sore Gua duduk di sofa depan teras kamar, sedangkan Echa baru saja masuk ke dalam kamar Gua untuk mengganti pakaian. Gua membakar sebatang rokok sambil menyandarkan punggung ke bahu sofa ketika sebuah mobil sedan berwarna hitam masuk ke halaman rumah Nenek dan berhenti tepat di depan teras.
Seorang perempuan turun dari pintu kemudi lalu disusul perempuan lainnya dari pintu penumpang di depan. Mereka berdua berjalan kearah teras sambil tersenyum.
Gua berdiri dan menyambut kedatangan mereka. "Assalamualaikum Za", salam salah satu perempuan itu.
"Walaikumsalam Kak..", jawab Gua, "Ayo masuk Kak..",
"Wah ini makin cantik aja ya udah lama gak ketemu", ucap Gua kepada perempuan satunya yang berada di belakang.
"Hihihi.. Udah abg gini, makin cantiklah", jawabnya lalu mencium tangan Gua.
Mereka berdua duduk di sofa teras yang panjang, Gua duduk di sofa yang membelakangi kamar Gua. "Dari rumah Kak ?", tanya Gua.
"Iya, waktu aku sms kamu itu baru mau berangkat", "Oh iya, gak ganggu kan ?".
"Enggak lah, santai aja, aku juga baru pulang dari rumah mertua nih", jawab Gua. "Oh ya, istri kamu mana " Gak ikut kesini ?", tanyanya lagi.
"Ada, lagi ganti pakaian mungkin", "Chaaaa...", teriak Gua dari teras,
"Ada Kak Nindi sama Dian nih..", lanjut Gua.
"Heh! Asal kamu manggil istri sendiri pake teriak-teriak gitu", sergah Nindi sambil melotot kepada Gua. "Hahaha.. Males bangunnya ah, lagian pasti kedengaran ini hehehe".
Tidak lama kemudian pintu kamar Gua terbuka, lalu istri Gua pun keluar kamar dan menghampiri Nindi dan Dian, biasalah cipika-cipiki mereka sambil saling menanyakan kabar masing-masing. "Gimana Kak, macet ya di jalan ?", tanya Echa sambil duduk di samping Gua. "Enggak juga, cuma malah keluar tol aja baru macet pas arah kesini", jawab Nindi. "Kalo weekend emang gitu, rame kendaraan yang maen ke tempat wisata...", timpal Gua. "Oh ya mau teh atau sirup Kak " Dian ?", tawar Echa sambil bangkit dari duduknya. "Aku teh manis anget aja Cha", jawab Nindi.
"Aku sirup dingin deh Kak", jawab Dian sambil tersenyum lebar. "Yaudah bentar ya..", ucap Echa seraya masuk ke dalam kamar lagi. "Za, Nenek kemana ?", tanya Nindi sambil melepaskan cardigansnya.
"Oh Nenek lagi di Bandung, lagi di rumah Om, nanti dua hari sebelum resepsi mereka kesini", jawab Gua.
"Ooh.. Tapi Beliau sehatkan ?".
"Alhamdulilah Sehat Kak, oh ya kabar Papah mu gimana ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah sehat juga", "Za..".
"Heum ?". "Aku mau nagih janji kamu", ucap Nindi sambil menyandarkan kedua tangannya diatas pahanya. "Janji apa ?", tanya Gua mengingat-ingat pernah berjanji apa kepada Kakak tiri Gua itu.
"Lupa kan..", "Waktu kamu akad nikah kemarin kan kamu janji mau cerita di lain hari", ucapnya.
"Cerita " Soal apa ?",
"Ooh.. Ya ya ya... Aku inget hahaha... Sorry sorry", Gua pun akhirnya mengingat janji tersebut.
Tidak lama berselang, Echa kembali dari dalam rumah dengan nampan yang diatasnya berisi dua gelas minuman untuk Kakak dan adik tiri Gua. Lalu Echa duduk di samping Gua. Gua menoleh kepada istri Gua dan membelai rambutnya hingga ke pundaknya.
"Cha..", panggil Gua.
"Ya ?". "Aku mau ceritain kenapa aku harus sampai nikahin kamu ke Kak Nindi sama Dian", ucap Gua.
Istri Gua tersenyum lalu mengangguk, dan kami berdua menengok kepada Nindi yang tidak sabar mendengarkan cerita dari kami. Cerita yang membuat Gua kehilangan seseorang dan nyaris membuat gila.
PART 46 Throwback Stories Awal januari 2007 adalah sebuah cerita dimana Gua bertemu lagi dengan seorang perempuan cantik yang memiliki hati lembut dengan sifatnya yang sedikit menggemaskan. Saat itu adalah hari ulang tahun Gua.
"Hai Zaaa", ucapnya.
"Hai.. Maaf ya lama nungguin aku", jawab Gua seraya melepaskan jaket sambil berjalan ke arah teras,
"Eh, Assalamualaikum hehehe", ucap Gua lupa mengucapkan salam.
"Walaikumsalam", balas Nenek bersama perempuan di sampingnya, "Berangkat jam berapa dari Jakarta Za ?", tanya Nenek kali ini. "Tadi jam 4 Nek", jawab Gua lalu mencium tangan Beliau.
"Teman mu nunggu daritadi tuh.. Nenek ke dalam dulu ya", "Mari Nak", ucap Nenek kepada perempuan tadi.
"Oh iya Nek, makasih udah ditemanin", balasnya sambil tersenyum manis.
Gua duduk di salah satu sofa lalu menaruh tas di lantai. "Huufft.. Capeee", ucap Gua sambil menyandarkan punggung dan juga kepala.
Gua menatap langit-langit teras sambil memainkan kunci motor di jari tengah. "Mau aku ambilkan minum ?", tawarnya.
Gua melirik kepadanya, lalu tertawa pelan. "Emangnya... Berani gitu masuk ke dalam rumah pas ada Nenek ?", tanya Gua menggodanya.
"Berani.. Orang tadi aku ambil minum sendiri disuruh Nenek.. Weee", jawabnya sambil memeletkan lidahnya lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah.
Nona Ukhti masuk lewat pintu utama rumah, bukan lewat pintu kamar Gua. Lalu Gua pun berdiri dan mengambil tas dan membuka kunci pintu kamar. Gua masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian santai, Gua mengenakan celana pendek dengan kaos oblong berwarna hitam. Setelah itu Gua membasuh wajah untuk sekedar membersihkan debu, karena sudah berkendara dari Jakarta tadi bersama si RR. Beres bersih-bersih, Gua keluar kamar lewat pintu yang menghubungkan kamar Gua dengan ruang tamu, lalu Gua berjalan kearah dapur.
Nona Ukhti sedang memasak air panas di dapur untuk membuatkan Gua secangkir kopi hitam. Gua berjalan mendekatinya dari belakang, lalu pelan-pelan Gua isengin dia dengan mencolek bahu kanannya, lalu Gua bergeser ke kirinya.
"Dor!", ucap Gua mengagetkannya ketika dia menengok ke kanan tapi Gua sudah berada di kiri. "Ah! Kamu tuh jail deh..", ucapnya sambil menepuk bahu Gua dengan wajah yang kesal. "Hahaha.. Serius amat abisnya.. Cuma masak aer doang juga", balas Gua.
"Huu.. Ngeselin ah!", jawabnya lalu mengangkat ketel dan menuangkan air panas ke cangkir yang sudah berisi bubuk kopi dan gula.
Gua cubit pipinya. "Iiihh.. Sakiit tauu!", ucapnya sambil mengaduk kopi.
"Hehehe.. Gemesin sih",
"Udah kan " Yu ke depan lagi", ajak Gua.
Lalu kami berdua pun kembali ke teras depan kamar Gua setelah sebelumnya Nona Ukhti mengambil air mineral dari dispenser dekat kamar Nenek.
"Nih kopinya.. Nih air mineralnya... Silahkan Tuaaan..", ledeknya sambil menaruh minuman diatas meja teras.
Gua tarik tangannya pelan lalu Nona Ukhti terduduk di samping Gua. Gua pegang tangan kanannya. "Makasiiiih Nyonyaaa..", balas Gua sambil melingkarkan tangan pada pinggangnya.
"Iih.. Ih.. Ih.. Hussh", ucapnya sambil menyentil-nyentil tangan Gua, "Nakal ini tangan meluk-meluk niih".
"Gak kangen sama aku gitu ?". "Enggak.. Weee".
Gua tertawa melihat tingkahnya yang menggemaskan itu. Ah Veeee.. Vee. I'm falling in love Ve.
... Selepas shalat maghrib kami berdua pergi menggunakan si Black ke salah satu tempat makan di Cibubur dengan diiringi hujan yang cukup deras. Kami duduk di meja bagian tengah di dalam resto, begitu bagus set-up meja reservasi yang dia pesan. Tidak lama kemudian makanan pun datang dan disajikan di depan kami. Singkat cerita kami berdua telah menghabiskan makanan lalu sambil menyantap hidangan terakhir, dessert, kami sedikit mengobrol soal perkuliahannya yang sudah memasuki semester 2.
"Alhamdulilah lancar Za, cuma ya paling makin banyak aja tugas dari dosennya..", ucap Vera sambil menyendok puding.
"Semangat ya Ve", jawab Gua menanggapinya, "Oh ya, dari sini mau langsung pulang ?", tanya Gua.
Vera mengunyah puding sambil menganggukkan kepalanya, Lalu setelah menelan makanannya dia tersenyum. "Tapi kamu gak mau ngajak aku kemana dulu gitu Za ?", tanyanya sambil menaruh puding.
Gua terkekeh pelan lalu Gua pun menaruh puding juga. "Ya udah, kita pergi sekarang ya, takut kemalaman nanti", jawab Gua.
... Gua mengajaknya ke salah satu tempat ibadah yang baru saja dibangun satu tahun yang lalu. Gua kepikiran mengajaknya ke tempat itu karena kami memang belum melaksanakan ibadah shalat isya. Jadi ya sekalian beribadah. Gua mengetahui masjid itu saat melintas ketika hendak menjemput Echa di kampusnya sebelum tahun baru beberapa minggu lalu.
Singkat cerita Gua sudah mengendarai si Black lagi bersama Nona Ukhti yang duduk dengan manis di sebelah Gua. Sekitar pukul 8 malam lewat kami sampai di sana. Ternyata banyak juga pengunjung yang datang ke masjid ini, ada yang beribadah, ada yang memang sekedar melihat keindahan salah satu bagian masjid yang memang menjadi daya tariknya, adalah kubahnya yang dilapisi emas. Kami berdua turun dari mobil setelah Gua memarkirkan mobil dan masuk ke dalam masjid.
Selesai membasuh bagian tubuh untuk berwudhu, Gua pun melaksanakan shalat isya bersama Nona Ukhti yang tentunya di bagian berbeda. Selesai beribadah 4 raka'at. Kami berdua duduk di bagian luar masjid untuk sekedar menikmati malam yang dingin, apalagi hujan masih turun walaupun tidak begitu deras seperti saat berangkat tadi.
"Ve.. Aku foto ya", ucap Gua menawarkannya untuk berfoto. "Heum " Emang bawa kamera ?", tanyanya.
"Ada kok di mobil", lalu Gua pun bergegas ke mobil dan mengambil kamera.
Gua kembali dengan sebuah kamera pocket di tangan, dan sesi foto ala amatir pun kami lakukan, tentunya dengan latar belakang masjid itu. Beberapa foto Nona Ukhti sudah Gua abadikan, sampai akhirnya giliran Gua yang di foto olehnya. Dan terkahir kami berdua meminta tolong kepada pengunjung lain untuk mengabadikan foto kami berdua. Tidak lama kami di sini, karena malam semakin larut dan hujan juga sepertinya belum ingin berhenti membasahi bumi ini.
Pukul 9 malam lewat kami sudah dalam perjalanan pulang lagi ke rumah. Dalam perjalanan kami sempat mengobrol sedikit.
"Ve, kamu tadi ke rumah Nenek naik angkot ?", tanya Gua tanpa menoleh kepadanya karena menatap jalan raya di depan sana.
"Iya Za, aku naik angkot tadi sore dari rumah", jawabnya.
"Tumben Ve.. Kenapa gak bawa mobil ?", tanya Gua lagi kali ini sambil melirik sekilas kepadanya. Vera hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Gua menangkap ada hal yang dia tutupi ketika dia tidak menjawab pertanyaan Gua itu, tapi Gua buruburu membuang pikiran negatif dalam otak Gua.
Pukul 10 malam kurang Gua sudah menghentikan mobil tepat di depan rumahnya. Nona Ukhti melepaskan seatbeltnya lalu dia membuka tas nya dan mengeluarkan sebuah hadiah yang berbentuk persegi dengan kertas kado berwarna biru muda.
"Za, ini hadiah untuk kamu", ucapnya sambil memberikan kado tersebut.
Gua tersenyum kepada Nona Ukhti lalu menerima kado tersebut. "Makasih banyak untuk hari ini Ve, makasih untuk hadiahnya juga", ucap Gua.
Vera mengangguk sambil tersenyum lalu Gua menarik kepalanya pelan dan mengecup keningnya sesaat.
"Za..". "Ya ?". "Kamu gak usah anter aku masuk ya, ada Papah..". ...
Setelah Nona Ukhti turun dari mobil, dia pun bergegas masuk ke dalam rumah, barulah Gua kembali menjalankan mobil untuk pulang ke rumah, Gua sempat melihat mobilnya terparkir di halaman rumahnya itu.
... ... ... Keesokan harinya Gua sedang berada di rumah keluarga Echa, hari ini Gua tidak pergi bersama Nona Ukhti karena hari minggu seperti ini sudah jadwalnya Nona Ukhti bersama Mamah tercinta.
"Za, aku malam kerumah kamu, tapi kata Nenek kamu pergi sama Vera", ucap Echa sambil duduk di atas kasur kamarnya.
"Iya dia nungguin aku dari sore di rumah.. Hehehe.. Maaf ya, jadi aku jalan sama dia sampai malem".
"Huh.. Putus dari Siska langsung ke Vera.. Yang disini gak di lirik sama sekali apa..", ucapnya lagi sambil tiduran tengkurap dengan wajahnya yang kesal.
Gua tertawa cukup keras mendengar ucapan Teteh tercinta itu. Kemudian Gua duduk di lantai kamarnya persis di sisi kasurnya dengan kedua tangan yang Gua taruh ke atas kasur tersebut. "Diih ada yang cemburu niiih..", goda Gua sambil memainkan rambutnya.
"Tau ah! Sebel!".
Jiiir.. Ketawa lagi deh Gua mendengarnya makin kesal dan bete gitu. Hahaha.. Kamvreeeettt.. "Maaf deh, jangan marah dong".
Echa masih diam saja, sekarang dia malah memalingkan mukanya ke sisi lain. Gua usap-usap punggungnya. "Teh, jalan yuk..", ucap Gua lagi.
"Enggak mau!", jawabnya judes.
Gua bangun dan berpindah duduk dari lantai ke sisi kasurnya, Gua condongkan tubuh agar bisa membisikan sesuatu kepada Echa, tepat di telinga kirinya.
"Japanese food...", bisik Gua lembut.
Gua dan Echa sudah berada di salah satu resto japanese food kota kami, Echa mengambil beberapa menu makanan yang memang disajikan ala prasmanan, begitupun Gua mengambil beberapa makanan dan menaruhnya ke piring makan di atas nampan. Beres mengambil makanan, kami pun duduk di salah satu meja dan mulai menyantap menu kami masing-masing.
Singkat cerita kami sudah menghabiskan makanan. Echa menaruh kedua tangannya di atas meja, lalu menatap Gua lekat-lekat. "Za.. Kamu deket sama Vera sekarang ?", tanyanya.
Gua menaruh sumpit di atas mangkuk nasi, lalu mengambil satu tissu dan mengelapkannya ke mulut ini. "Ya.. Gitu Teh", jawab Gua tanpa menatapnya balik sambil mengangkat segelas teh hijau lalu meneguknya.
"Kok bisa ?". Gua kembali menaruh gelas, dan kali ini Gua menatap matanya balik. "Ya kita emang cukup deket Teh, tapi gak sering ketemu.. Ehm.. Bahkan saat aku pacaran sama Siska kemarin dia gak tau", jawab Gua jujur.
Echa mendengus pelan lalu menggelengkan kepalanya. "Yakin ?", tanyanya penuh penekanan. "Apanya ?".
"Kamu ngerti maksud aku Za".
Gua menggaruk daun telingan bagian belakang lalu menatap ke meja di depan ini. "Semoga Teh..", jawab Gua yang terdengar ragu.
Setelah selesai mengajak Echa makan dan kami berdua kini sudah kembali ke rumahnya. Gua berada di ruang tamunya, secangkir kopi hitam sudah tersaji di atas meja ruang tamunya untuk Gua, lalu sebatang rokok sudah terselip diantara jemari tangan kiri. Echa sedang berada di kamarnya ketika Gua masih asyik menikmati setiap hisapan racun tersebut. Tidak lama kemudian suara pintu kamar atas terbuka. Gua buru-buru berlari ke luar rumah sampai di terasnya, lalu melempar rokok tersebut ke taman yang basah karena guyuran air hujan.
Tidak lama kemudian suara langkah kaki yang mengenakan sandal terdengar dari arah belakang. Gua belum menengok kebelakang, mulut Gua masih meniup-niup nafas agar bau rokok hilang. Padahal itu kan percuma, mau makan permen sekalipun tetep aja bau rokok pasti masih melekat.
Bahu Gua dicolek dari belakang, barulah Gua menengok dan melihat Echa sedang tersenyum dengan kedua tangan yang memegang kotak kado cukup besar. Gua cukup terkejut melihatnya yang membawa kado itu, lalu senyuman pun mengembang dari bibir ini.
"Selamat ulang tahun Eza",
"Semoga menjadi pribadi yang lebih baik lagi ya, selalu di lindungi dalam setiap langkah oleh ALLAH SWT dan diberikan kebahagiaan..", ucapnya.
"Aamiin.. Aamiin. Aamiin.. Makasih banyak ya Teh atas do'a nya", "Duh repot-repot segala pake kasih kado hehehe", timpal Gua.
"Iyalah, emang Vera aja yang boleh kasih kamu jam tangan..", kali ini matanya melirik ke pergelangan tangam kiri Gua dengan bibirnya yang manyun.
"Loch " Tau dari mana Vera kasih aku kado jam tangan ?".
"Itu kan baru aku liat, lagian kamu mana pernah pakai model analog gitu, malah baru punya kan ?", tebaknya.
Gua tersenyum salah tingkah mendengar tebakkannya yang tepat sasaran itu. Duh Teteh Gua emang suka merhatiin Gua diem-diem nih. Sampai hafal dari sekian banyak jam yang Gua punya baru ini yang modelnya analog.
... ... ... Beberapa hari setelahnya Gua berada di apartemen Kinan, setelah kami pulang dari kampus selesai menjalani kuliah tentunya. Sehabis maghrib dan beribadah, Gua sedang mengikuti petunjuk Kinan untuk memasak. Yap, tiba-tiba saja hari ini kami berdua ingin memasak sendiri dan tidak ingin membeli makanan di luar. Saat itu kami hanya memasak makanan sederhana, ayam goreng saus tiram dan sop ayam jamur.
Beberapa bahan sayuran dan daging sudah di potong oleh Kinan, lalu Gua menyiapkan bumbunya, mengikuti arahannya ketika memasukkan bahan-bahan tersebut ke wajan dan mulai memasaknya. Lumayan ilmu baru dari Tante sendiri untuk Gua praktekan suatu hari nanti. Setelah menyicipi sedikit masakan tersebut dan dirasa sudah cukup pas rasanya, Gua pun memindahkannya ke piring dan Kinan membawanya ke ruang tv yang sekaligus ruang tamu apartemennya, di situ terletak sebuah meja kayu ukuran kecil, dan Kinan menaruhnya di atas meja tersebut. Kemudian Gua mengambil nasi dari rice cooker mini lalu menaruhnya keatas dua piring makan.
Sekarang kami berdua sudah siap menyantap makanan masakan ala chef Eza, hehehe...
Nikmat rasanya menyantap makanan sendiri, apalagi sampai disanjung oleh perempuan manis di samping Gua. Ya walaupun sebenarnya dia sih yang memberikan resep dan cara memasaknya, tapi seenggaknya kan Gua yang meracik dan menggoreng masakan ini dengan tangan sendiri. "Kak, nanti kasih resep yang laen ya..", ucap Gua setelah menelan makanan dalam mulut. "Mau masak apalagi nanti ?", tanyanya.
"Ya yang kayak gini-gini aja, main course lah.. Menu sapi atau sayuran laen..", jawab Gua. "Boleh, nanti kita beli bahan-bahannya lagi ya, tapi jangan di supermarket ah". "Loch kenapa ?".
"Mahal, mending di pasar tradisional aja, jauh beda harganya..".
Gua mengangguk cepat seraya mengunyah lagi nasi dan ayam saus tiram di dalam mulut ini.
Ya, Kinan, Tante Gua yang satu ini adalah salah satu mentor Gua dalam memasak makanan. Rasanya banyak yang sudah dia ajarkan dalam memasak beberapa menu hingga Gua bisa benarbenar meracik masakan tesebut sendiri.
. . . . . . Semakin hari Gua semakin dekat dengan sosok perempuan yang kini selalu mengenakan hijab, memang sih sebenarnya sudah cukup lama Gua ketahui kalau Vera mengenakan hijab dari awal puasa 2006 lalu. Tapi kedekatan kami sempat renggang ketika Gua berpacaran dengan Mba Siska beberapa waktu lalu, bukan berarti dia mengetahui hubungan Gua dengan Mba Siska, tapi mungkin karena waktu dan jarak yang memisahkan kami lah yang membuat kami jarang bertemu.
Dan kini, semuanya akan berbeda bagi Gua dan dirinya. Sekalipun jarak menjadi penghalang untuk saling bertemu, tapi rasanya bukan hal yang sulit bagi Gua mendekati Vera, karena status Gua yang sekarang tidak memiliki pacar dan bebas untuk dekat dengan siapa saja membuat Gua yakin bahwa pilihan kali ini tidaklah salah. Semoga...
Vera pada akhirnya tau kalau Gua tinggal bersama Kinan di ibu kota. Bukan apa-apa, Gua hanya ingin jujur kepada Vera, apalagi dirinya kan sudah tau kalau sekarang Kinan adalah adik dari Ibu baru Gua. Awalnya tetap saja dia berprasangka negatif dan cemburu. Namun setelah Gua ajak Vera main ke apartemen Kinan dan bertemu dengan Tante Gua itu, dia baru mengerti, bahwa Gua dan Kinan benar-benar tidak ada hubungan apapun selain menjadi keluarga baru.
Tidak mudah bagi Gua untuk mengungkapkan perasaan kepada Vera. Ada banyak pertimbangan yang Gua pikirkan, dan salah satunya adalah restu dari Papahnya yang sulit Gua dapatkan. Sampai beberapa minggu kami dekat dan jalan bersama, Gua belum berani mengungkapkan perasaan Gua.
Selama Gua berpacaran dengan beberapa perempuan, Gua selalu memposisikan diri sebagai laki -laki yang bertanggungjawab dihadapan orangtua mereka. Bukan berarti Gua ingin mencari muka atau menjilat, kasarnya. Tapi Gua ingin menunjukkan bahwa anak mereka di luar sana sering berpergian dengan seorang laki-laki yang bertanggungjawab sebagai pacarnya.
Sebenarnya mendapatkan hati Vera itu tidak sulit, Gua bisa langsung menyatakan perasaan dan dengan keyakinan 99% pasti dia menerima Gua, tapi itu jika Gua berani backstreet. Masalahnya kan Gua gak mau seperti itu, Gua ingin menunjukkan bahwa ini loch Pak, saya pacarnya anak Bapak.
Hmmm... Njelimet kalau udah urusannya restu orangtua. Pusing tujuh keliling mendengar harapan Papahnya yang berharap anaknya mendapatkan pendamping sepadan dengan keluarganya itu. Apalah daya Gua yang cuma anak kuliahan semester awal harus dibandingkan dengan anak seorang konglomerat.
Dindingnya begitu kokoh dan tebal, Gua hancurkan dengan apa yang Gua punya pun rasanya belum bisa membuat retakkan pada dinding tersebut.
Beberapa hari Gua habiskan memikirkan untuk menyatakan perasaan ini kepada sosok Nona Ukhti, tapi setiap Gua sudah menemukan cara yang pas dan tempat yang romantis untuk menyatakan perasaan, lagi-lagi angan-angan Gua itu ditampar oleh bayangan Papahnya. Okelah, mungkin ini mudah bagi beberapa orang yang dengan santainya tidak ambil pusing karena merasa masih tahap remaja. Betul sih, enggak salah. Tapi lain halnya dengan sifat dan prilaku Gua yang mudah emosi dan meledak jika menghadapi masalah yang menyangkut keluarga, sudah banyak kejadian buruk yang Gua lalui karena masalah tersebut. Dan sosok Vera adalah salah satu yang bisa meredam emosi Gua, terlepas dari Echa tentunya.
Harimau Harimau 2 Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa Langit Rumah Beratap Tiga 1

Cari Blog Ini