Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 2

Jalan Bandungan Karya Nh Dini Bagian 2


Waktu akan membeli karcis, dia juga tidak menolak uang yang kuberikan. Di dalam gedung dan selama pertunjukan, dia duduk tegak. Lampu mati dan keadaan gelap, tapi dia tidak beringsut mendekat. Akulah yang sekali-sekali mendekatkan kepala, berbisik kepadanya. Aku mengingatkan kejadian yang kami alami dalam pengungsian dulu. Tapi dia tetap kaku, tidak menanggapiku.
Menuruti nasihat Ibu, kami langsung pulang. Tinggal kami berdua yang belum makan. Dia kulayani sebagaimana mestinya, lalu aku duduk di hadapannya untuk makan bersama-sama. Karena menyadari sedari tadi semua bicaraku tidak ada gunanya, aku terdiam. Hingga di tengah-tengah waktu makan, Ibu mendekati dan duduk bersama kami.
Bagaimana ilmnya" Makannya kok sepi saja. Nak Wid suka ilmnya"
Mas Wid barangkali agak sakit, Bu. Sedari tadi dia tidak
tika itu pula aku khawatir sendiri oleh keberanianku itu.
Ya" Tidak enak badan, Nak Wid" Capek mungkin, ya" Udara terlalu panas hari-hari ini. Mudah-mudahan hujan akan segera datang. Kabarnya, di daerah selatan sudah turun. Kita di pesisir belum kebagian, ibuku berbicara seperti kepada pendengar yang ramah. Dia langsung bangkit, kembali lagi membawa aspirin sambil meneruskan berbicara, Kalau mau menanggulangi dulu, Nak Wid" Atau anda lebih suka vitamin C" Lalu Ibu berseru memanggil adikku supaya mengambil vitamin C di bupet dekat ruang tamu.
Mas Wid menggumamkan sesuatu. Kami sudah selesai makan, dia bangkit dan akan ke serambi. Aku membenahi meja. Aspirin dan vitamin masih berada di meja.
Bawa obatnya ke depan dengan gelasnya, Mur, kata ibuku. Dia tidak mau, Bu. Bukannya dia lupa tidak meminumnya! Biarkan saja! kataku, sibuk memasukkan lauk pauk ke dalam lemari makan.
Bawa saja ke depan! desak Ibu.
Kok sepertinya kita memaksa-maksa. Dia bukan anak kecil lagi, Bu.
Bukan memaksa. Kita hanya ingin turut ngopeni masmu. Ya kalau yang diopeni mau" Kalau tidak"
Kamu kok begitu! Ibu berdiri di seberang meja, memandangiku, lalu meneruskan, Apa kalian bertengkar"
Tidak. Aku bahkan tidak tahu apa salahku sehingga semua kata-kataku tidak ditanggapi. Nonton ilm bagus juga tidak punya komentar. Dibayari Bapak lagi!
Hush! Jangan keras-keras! Ibu cepat melirik ke pintu luar. Barangkali memang agak sakit dia! Akhirnya itulah kesimpulan
Wid, mengambil vitamin dan aspirin, membawa semuanya keluar.
Aku meneruskan tugasku di belakang.
Ibu selalu baik. Kepada siapa pun. Ketika membawa pecahbelah ke tempat cucian, aku menyesal telah berbuat lancang. Tidak terhadap Mas Wid, melainkan terhadap ibuku. Sabtu malam Minggu biasanya dia tinggal hingga jam setengah dua belas. Tapi malam itu dia pamit jam sepuluh. Orangtuaku tidak menahannya, mengira dia memang betul tidak sehat. Hari Minggunya, Bapak sudah merencanakan keluar kota sampai ke Kendal untuk melihatlihat pasar ikan, mencari kepiting kesukaannya. Aku tidak turut, khawatir kalau-kalau Mas Wid muncul. Adikku yang besar juga mempunyai kegiatan sendiri. Sampai petang, dan akhirnya malam, Mas Wid tidak datang. Orangtuaku berkesimpulan bahwa bakal menantunya jatuh sakit. Terutama Ibu. Dia minta supaya ayah kami mengirim anak buahnya keesokan harinya, mencari keterangan di pondokan Mas Wid.
Akhir pekan telah berlalu. Hari Jumat berikutnya aku menerima surat dari tunanganku. Itu adalah surat pertama sejak dia pindah sekota denganku. Empat halaman bloknot, isinya mengejutkan. Pertama-tama dia mengatakan bahwa akhir pekan ini dia dinas ke Surabaya. Mudah-mudahan akan kembali menjelang Sabtu pekan berikutnya. Selanjutnya, panjang lebar dia menerangkan sifat-sifatnya, bahwa dia begini, dia begitu, bahwa dia menyukai ini, bahwa dia tidak menyukai itu. Dia menuduhku tidak mau mengerti sifat-sifatnya itu. Padahal, menurut dia, dia sangat mengerti sifatku. Kalau aku akan menjadi istrinya, seharusnya aku mau mengubah kebiasaanku. Selama ini, dia, Mas Wid, terus yang mengalah, menuruti kebiasaanku, kebiasaan keluargaku.
kah dia masih harus terus mengikuti cara hidupku saja" Katanya, dalam keluarga, suamilah yang mengambil prakarsa. Istri harus menuruti keputusan suami. Pendek kata, isi surat itu menyangkut kami berdua. Tapi bukan menyinggung soal cinta kasih. Surat itu hanya berisi masalah menurut, diturut, kebiasaan keluarga . Bagiku, jelas bahwa Mas Wid hendak menekankan siapa yang berkuasa dalam sebuah rumah tangga. Suami atau istri"
Dadaku bergolak membaca surat itu. Aku menangis karena marah sekali. Dia menuduhku selama ini memaksa dia untuk menuruti kebiasaan keluargaku. Soal menonton ilm adalah puncak dari kesabarannya. Dia, berkali-kali mengatakan tidak menyukai ilm. Tapi memang kami telah memaksanya, itu benar. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan lain, kukira kami tidak pemah memaksanya. Ayahku selalu bertanya apa rencananya. Karena tidak ada, maka dia kami ajak bertamasya, atau mengujungi keluarga sesepuh. Berkali-kali kami bertanya kapan kami bisa sowan ke keluarganya. Tak pernah ada jawaban yang pasti. Apakah dia ingin membentuk keluarga sendiri dan kemudian memisah dan lepas sama sekali" Itu juga baik. Tapi aku tidak bisa. Bapak, Ibu, dan adik-adikku tetap merengkuhku meskipun kelak aku sudah menjadi istri orang. Aku juga tetap menjadi anggota keluarga mereka.
Surat itu kuberikan kepada Bapak selagi mukaku basah oleh air mata. Kami bertiga berunding. Kata Bapak, Mas Wid salah paham. Ibu menambahkan bahwa orang seperti Mas Wid biasa hidup sendirian, sehingga tidak mengerti sikap orang lain yang justru ingin memperhatikannya. Aku lebih kasar, ingin agar pertunangan kami putus sampai di situ saja.
Belum menjadi istrinya saja dia sudah mau mendiktekan keinginannya. Nanti bagaimana nasibku kalau sudah kawin"!
dirundingkan. Memang ibumu dan aku bersalah waktu itu menyuruh dia membawamu ke bioskop. Seharusnya aku bertanya, dia mau atau tidak.
Dia sudah berkali-kali mengatakan tidak suka ilm, tidak suka tontonan. Dalam bentuk apa saja. Itu hanya ilusi, katanya.
Kukira, dulu hal itu disebabkan karena dia cemburu. Tapi rupanya lebih gawat. Dia ingin supaya kamu sejalan dan sepikiran dengan dia.
Kalau untuk hiburan, untuk makanan, diteruskan untuk idealisme, kan berbahaya bagiku, Pak. Tidak. Aku tidak bisa hidup begitu. Bapak sendiri mengatakan bahwa kami tidak dididik untuk membuntuti orang lain. Kecuali jika memang kami menyetujui dia.
Kalau kamu mencintainya pasti bisa hidup begitu, ibuku menambahkan.
Inilah dia! Apakah aku mencintainya"
Apakah kamu mencintainya" Cukup besar cinta itu sehingga kepribadianmu rela lebur menjadi kepribadian suamimu" Setelah mengatakan itu, ayahku memandang ke arah ibuku seolah-olah meminta pendapatnya pula.
Ibu tidak menjawab, tampak berpikir. Aku demikian pula. Bagaimana hubunganmu dengan dia" tanya Bapak lagi. Lalu meneruskan, Dia mesra kepadamu" Dia mengelus dan merangkulmu dengan penuh cinta" Dan sambil bertanya, ayahku memegang serta membelai tanganku.
Aku tidak dapat menahan tertawa.
Mur! Kamu selalu begitu! Suara ibuku menyesaliku. Tapi aku meneruskan tertawa ketika Bapak mencium tanganku. Cinta yang bagaimana ya, Bu. Dia memang mesra, tetapi .... Tiba-tiba aku kebingungan sendiri bagaimana bercerita kepada orangtuaku. Yang pasti, aku memang mulai biasa dengan kehadirannya. Itu saja. Soal cinta, cium-mencium, dia tidak pernah memperbincangkannya. Aku kan tidak berpengalaman! Kalau Bapak mencium Ibu bagaimana, Pak"
Ibu membentak perlahan, Hush, anak ini!
Lha Bapak bertanya. Jadi aku juga menginginkan informasi! Kini Bapak juga tertawa, matanya membelai wajahku dengan pandang lembut.
Kalau Bapak mencium ibumu ya dengan rasa gregetan, penuh cinta. Bukan begitu, Bu"
Ah, anak dan bapak sama saja ulahnya! Ibu melengos. Tapi matanya melirik ke arah Bapak.
Nah, itulah! kataku dalam hati. Aku tidak pernah mempunyai rasa gregetan, atau merasakan gregetannya Mas Wid. Tapi itu bisa dibangun, kata Bapak. Bisa dibentuk karena kebiasaan kebersamaan, tambah ayahku pula. Pokok dan akhir pembicaraan, ibulah yang menginginkan agar Mas Wid dan aku memperbaiki hubungan. Tunangan itu seperti ujian, katanya. Kalau lulus, ya kalian kawin. Kalau memang sudah tidak bisa disambung, jangan dipaksa, kata ayahku. Pendek kata, dalam hal ini kedua orangtuaku terasa kurang kompak. Tapi jelas keduanya menyarankan supaya semua dirundingkan, di hadapan orangtua. Jika perlu, memanggil paman Mas Wid yang dulu melamar. Atau pergi bersama ke Klaten. Sekali lagi aku menurut. Apa sajalah yang dinasihatkan Bapak dan Ibu. Karena aku percaya pasti hasilnya akan baik. Aku menyadari memang telah biasa dengan kehadiran Mas Wid.
menyesuaikan diri. Sabtu petang kemudiannya, Mas Wid datang. Orangtuaku langsung membicarakan masalah tersebut. Tanpa basa-basi, Bapak memanggilku. Kami duduk berempat dengan Ibu.
Begini, Nak Wid. Ibu, saya, dan Mur ingin menjelaskan kedudukan kami. Dulu Nak Wid datang melamar Mur. Kami tidak pernah menyodorkan atau menawarkan dia. Nah, sekarang kami bertanya apakah Nak Wid masih tetap ingin meneruskan pertunangan dengan Mur apa tidak"
Aku terkejut mendengar ketegasan, bahkan kekasaran ayahku. Kulirik Ibu untuk mengetahui reaksinya. Dia kelihatan biasa, bersandar tetapi tegak, menatap ke depan.
Karena kalau tidak, Bapak meneruskan, kami siap mengembalikan janji-janji anda. Berarti masing-masing akan bebas kembali.
Tampak dari sikapnya, Mas Wid tidak mengira maupun menduga kejadian ini. Dia tidak langsung tanggap, menunduk dan memajukan duduknya seperti mencari kata-kata.
Bapak meneruskan lagi, Mur memperlihatkan surat anda kepada kami. Rupa-rupanya Nak Wid dan kami mempunyai pandangan berbeda dalam menentukan deinisi apa itu yang dinamakan keluarga. Dan panjang lagi ayah kami berpidato. Sekali-sekali dia memandang ke arahku, lalu ke istrinya untuk menekankan, bahwa yang dikatakan olehnya juga merupakan pendapat anak dan istrinya. Bapak menambahkan bahwa antara dia dan Ibu tidak pemah saling menekan. Bahkan anak-anak pun tidak seharusnya merasakan jajahan itu. Sebagai suami dia memang kepala rumah tangga, tetapi itu tidak berarti bahwa dia bisa berbuat sewenang-wenang. Istrinya adalah ibu anak-anaknya.
memutar gaji itu supaya hidup keluarga sejahtera. Bapak juga mengatakan bahwa keluarga tidak seharusnya mendekam di rumah, tertutup. Keluarga yang seimbang harus keluar, bergaul, dan mengetahui lingkungan baik di dalam kota maupun di luar. Sebab itulah ayah dan ibuku membawa anak-anak berekreasi, mencari pemandangan baru, tetapi yang semurah-murahnya. Kebaruan itu juga berupa tontonan. Itu penting buat hiburan. Juga baik untuk selingan setelah sepekan bekerja di kantor, belajar di sekolah, ataupun mendekam di rumah seperti para istri. Dia sebagai ayah tidak senang anaknya kelak mengalami hidup tertekan karena harus menuruti cara hidup suaminya. Seandainya tidak mempunyai cukup uang, rekreasi bisa dikurangi, tetapi tidak seharusnya ditiadakan sama sekali.
Selama ini saya membiasakan anak-anak saya menonton pertunjukan. Paling sedikit sekali sebulan. Dalam hal ini, kalau pasangan hidupnya tidak punya uang, biarlah saya yang menanggung. Karena saya lebih suka mempunyai anak yang bergembira daripada cemberut. Lha kalau anak saya sudah punya tunangan, mengapa dia harus pergi menonton dengan orang lain" Sebab itulah waktu itu Nak Wid saya minta mengantarkan Mur menonton.
Ketika Bapak berhenti, Ibu menyambar kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya. Mas Wid belum juga membawa aku atau kami mengunjungi keluarganya. Pertunangan dianggap sah karena memang Mur sudah dilamar, sudah diberi cincin. Tapi hubungan dengan keluarga Mas Wid juga penting. Setidak-tidaknya keluarga pamannya kalau memang ayah dan ibunya tidak dapat diandalkan.
Aku tidak mengetahui apa yang terjadi di kepala Mas Wid
Jawaban terhadap pertanyaan ayahku pun mengambang. Tentang keluarganya juga tidak jelas.
Dia malahan berkata, Sebetulnya tidak ada masalah antara Dik Mur dan saya. Mengapa Dik Mur menunjukkan surat itu kepada Bapak" suaranya menyesaliku. Aku akan segera menyahut menolak tuduhan yang sangat tidak menyenangkan itu ketika dia langsung menoleh lagi kepada orangtuaku untuk mengatakan, Tentu saja saya ingin meneruskan hubungan dengan Dik Mur. Tidak pernah terpikir oleh saya akan memutuskan pertunangan. Ini hanya hal sepele, tapi dibesar-besarkan.
Ini bukan sepele, Nak Wid, karena ini menyangkut pergaulan kalian berdua dalam rumah tangga kelak, ibuku cepat memotong kata-katanya. Lalu meneruskan, Hidup sehari-hari dengan orang yang sama, kalau tidak didasari pengertian dan cinta kasih, tidak akan mungkin nyaman bagi kedua pihak. Bapaknya Mur dengan saya selama ini berhasil membuat kehidupan kami tidak membosankan. Nah, saya tidak ingin anak saya kelak mengalami tekanan batin yang disebabkan oleh hal-hal yang anda sebut sepele itu.
Aku lega sekali mendengar kata-kata ibuku. Tetapi di samping itu, aku seperti mendapat irasat bahwa Mas Wid mempunyai pikiran sempit. Dia tidak akan memiliki wawasan luas. Kalau dia sudah mengira bahwa sesuatu itu betul, dia akan berkeras kepala meneguhinya. Tiba-tiba aku ingin menyela mengatakan: Sudah" Bubar saja! Aku tidak mau kawin dengan dia! Firasat gila atau tepat ini perlahan-lahan menguasaiku. Setengah dari diriku mengikuti pembicaraan, setengah lagi melamun. Mengenai sekolah, mengenai perjumpaan kesenian yang akan datang dan sudah dirancang programnya. Mengenai ulangan pekan
tertuju kepada Ganik juga mendadak menelusup. Kemarin dia mengatakan bahwa ayahnya sedang mengurus visa di Jakarta. Dokter terkenal dari kota kami itu akan keliling Amerika Serikat memenuhi undangan. Ganik mengatakan ibunya belum memutuskan akan turut atau tidak. Di satu pihak dia ingin mendampingi anaknya yang juga akan ulangan kenaikan kelas. Di sisi lain, ayah Ganik juga senang kalau istrinya turut, karena wanita itu akan banyak membantu menuliskan kembali kertaskertas kerjanya selama berkeliling itu. Kemudian aku terkejut, terbangun dari lamunan ketika namaku disebut Bapak. Aku memandangi muka ayahku, dan berganti menatap ibuku.
Bapak memang betul dalam hal ini, kata Ibu kepadaku. Sekarang semua tergantung kepadamu sendiri. Terserah keputusanmu, apakah akan terus menjadi calon istri Mas Wid atau hanya sampai di sini saja pertunangan kalian. Ibu berpendapat seperti Bapak. Sebaiknya dicoba lagi, karena ini hanya berupa salah pengertian. Tapi sekali lagi kamu yang harus memutuskan sendiri. Kata-katanya diucapkan dengan nada lembut, namun seperti biasanya, tegas dan jelas.
Aku harus menjawab. Kalau Bapak dan Ibu beranggapan demikian, aku mau saja meneruskan pertunangan dengan Mas Wid. Asal ya itu, jangan hendaknya dia keterlaluan lagi, memandangku seperti anak-anak terus. Aku juga mempunyai pendirian. Tidak bisa harus menuruti pendapat dia.
Sudah, sudah, kata ayahku. Itu semua sudah disebut tadi. Masalahnya, dalam hidup bersama harus selalu ada kompromi. Nah, selama ini Nak Wid terus-terusan bersama keluarga kita.
Kapan kita ke Klaten sowan ayah dan ibu anda"
Mas Wid tidak menyahut. Memandang kepadaku, lalu sepintas ke arah Bapak dan Ibu. Aku merasakan kegelisahannya yang tidak kumengerti. Ibu menopang kalimat ayahku.
Ya, benar. Mari kita yang ke sana. Sekalian membalas kunjungan paman Nak Wid dulu.
Paman saya tidak di Klaten. Dia sudah menyeberang ke Lampung, membangun hidup baru di sana. Jadi petani.
Ini juga berita! Tidak sekalipun dia mengabari kami. Kalau orangtuaku bertanya bagaimana kabar pamannya, dia hanya menjawab baik-baik . Sungguh tidak ada komunikasi yang wajar di antara kami!
Melihat gelagat yang kurang menyenangkan, Bapak mengambil prakarsa, memutuskan. Seminggu lagi kita ke sana. Singgah saja. Berangkat pagi, langsung ke Klaten. Lalu kita keliling ke Yogyakarta. Setelah berhenti sebentar, ayahku melanjutkan, Begini, Nak Wid. Karena anda tampak tidak mengambil perkara dalam kedua tangan anda, padahal ini saya anggap penting, maka saya yang memutuskan. Kita harus ke Klaten. Kalau bukan untuk anda, ini perlu buat Mur. Jadi, saya sebagai ayahnya yang mengambil keputusan. Jangan anda kira lagi bahwa kami memaksakan kehendak kami, keluarganya Mur, pada anda. Anda yang seharusnya memperkenalkan calon istri anda kepada orangtua yang bersangkutan. Ini contoh kelembekan anda yang tidak saya mengerti. Dulu ketika kita berjuang bersama-sama, kok anda lebih giat, lebih aktif"
Kata-kata Bapak yang dimulai dengan suara biasa, diakhiri dengan nada kejengkelan. Jarang sekali aku menyaksikan ayah kami marah. Anak buahnya yang sudah biasa keluar-masuk rumah
kantor. Dengan keputusan yang diambil petang itu, segalanya tampak beres. Kami makan bersama dan meneruskan berbicang dengan santai. Mas Wid bergurau dengan adik-adikku seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu ketegangan pun. Tetapi malam ketika berangkat tidur, aku sukar melelapkan diri. Berbagai perasaan berkecamuk, beraneka pikiran mengganggu kepalaku. Aku tidak mengerti mengapa begitu. Apakah aku menyesali keputusanku untuk meneruskan pertunangan dengan Mas Wid" *****
78?"?" aktu itu aku sedang tinggal di asrama untuk menyiapkan ulangan akhir tahun ajaran. Tidak ada hal yang istimewa dalam peristiwa itu, karena semua guru dan teman sudah yakin bahwa aku akan naik kelas. Yang sesungguhnya, bagiku selalu merupakan tantangan. Aku harus mempertahankan prestasiku. Angkatanku waktu itu terdiri dari empat kelas. Tiap kelas berisi kurang lebih tiga puluh siswa. Saingan untuk mendapatkan tempat terbaik lebih ketat dari tahun yang silam. Kata ayah kami, itulah risiko menjadi orang nomor satu. Orang yang mendududuki tempat terpandang dan menyadari mempunyai harga diri, seharusnya mempertahankan apa yang telah dicapainya. Kalau bisa, bahkan memperbaiki rekornya sendiri. Tapi manusia berkekuatan terbatas, tambah ayahku. Bisa mempertahankan apa yang dimiliki saja sudah bagus. Hanya, jangan bersikap mandeg tanpa berusaha, karena orang yang cepat puas dan tidak berusaha, dinamakan apatis.
Lalu Bapak menerangkan apa arti kata yang berasal dari bahasa Belanda itu. Pasif, tidak bergerak tidak sama dengan ilsafat Jawa pasrah, kata Bapak. Kepasrahan kita jangan dijajarkan dengan apatisnya orang asing. Dalam perkataan pasrah tercakup kegiatan, gejolak jiwa kita. Selama pasrah itu orang Jawa memperkaya batin dengan laku dan doa, menghubungkan diri dengan Yang Maha
nyata. Kalau kamu ya belajar, kalau aku ya bekerja keras. Tambahnya lagi, Tuhan memang membagi rezeki. Tapi Dia hanya memberi kepada mereka yang nyata berusaha.
Tinggal di asrama tidak membikinku jauh dari orangtua. Aku menjadi corong mereka, menyalurkan pikiran mereka yang disuntikkan ke dalam diriku. Kali itu pun, di samping belajar, aku banyak berdiskusi dengan teman-temanku. Lebih-lebih dengan Siswi.
Pada hari ketiga ulangan, siang sesudah makan, ibu asrama masuk ke kamarku dan menyuruhku segera pulang. Sopir menunggu dengan jip yang biasa dipakai ayahku. Secara singkat dia mengatakan bahwa ayahku akan dioperasi. Sekarang mondok di rumah sakit. Dengan gugup aku mengikuti ibu asrama yang mengantarku sampai ke halaman sekolah. Mobil tidak membawaku pulang, melainkan langsung ke Rumah Sakit Elisabeth.
Bapak kutemui di kamar sendirian. Satu tempat tidur kosong ada di sampingnya. Dengan tenang dia mengatakan sudah berada di sana dua hari. Sabtu sore ketika mengantarkan aku, badannya terasa tidak enak. Kakinya sukar ditapakkan. Kalau kencing sakit sekali. Waktu malam, punggungnya dikerik ibuku. Hari Minggu, dia merasa lebih enak. Seharian dia santai tinggal di rumah bersama Ibu dan adikku terkecil. Petang, badannya panas sekali. Setelah adikku yang besar pulang, langsung disuruh ke rumah Dokter Liantoro, ayahnya Ganik. Harus agak lama menunggu, karena dokter itu bersama istrinya sedang pergi menghadiri resepsi perkawinan. Tapi malam itu juga Bapak dimasukkan ke rumah sakit. Senin pagi-pagi berbagai pemeriksaan dilakukan. Menurut bapaknya Ganik, ayahku harus dioperasi. Barangkali ada batu yang sudah cukup besar di dalam ginjalnya. Untuk kepastiannya,
diambil: Bapak akan dioperasi Jumat pagi. Selama itu Ibu mondarmandir menunggui ayah kami. Sebenarnya Ibu dapat tidur di rumah sakit. Ranjang di samping ranjang ayahku masih kosong. Itu bisa disewa. Bergantian dengan adikku yang besar, Ibu akan meneruskan menunggui Bapak.
Siang itu kebetulan ibuku baru pulang mengganti bekal pakaian. Aku tinggal di kamar ayahku sampai sore. Ibu datang dengan adik-adikku. Aku hanya sebentar bersama mereka karena diusir buat belajar. Ulangan masih berlangsung beberapa hari. Sabtu nanti aku akan diperbolehkan pulang. Dengan sendirinya aku akan mengunjungi Bapak lagi. Lalu Senin pagi-pagi akan diantar ke sekolah melanjutkan ulangan.
Keesokannya, aku setengah memaksa ibu asrama untuk mengizinkan aku menengok ayahku. Siswi menemani. Kami berjalan kaki dari asrama ke rumah sakit. Waktu itu sudah ketahuan bahwa batu di dalam ginjal memang harus dikeluarkan dengan jalan operasi. Ini kepastiannya. Hari operasi ialah Sabtu pagi, bukan Jumat. Donor darah sedang disiapkan orang-orang kantor. Hatiku gentar. Operasi ginjal bukan hal yang remeh. Meskipun keahlian dan peralatan dapat diandalkan, tubuh manusia yang diiris dan dipotong membangkitkan rasa ngeri padaku. Apalagi yang dioperasi orangtua kami, anggota keluarga kami.
Petang itu dengan sukar aku belajar. Aku kurang bisa memusatkan pikiran. Seringkali aku teringat kepada Bapak. Bapak dan Tuhan kusebut berulang kali. Kami dididik untuk mempercayai kekuasaan Allah. Orangtuaku tidak bersembahyang secara agama Islam. Tetapi keduanya menjalankan laku seperti kebanyakan orang Jawa. Puasa dan tirakatnya tidak pernah terputus sejak masa pengungsian hingga waktu itu. Mengurangi tidur dan mengurangi
dan kami tiru. Dokter Liantoro menjalankan operasi seperti direncanakan. Bude datang dari Purworejo untuk menolong mengawasi rumah dan adik-adikku. Ketika aku menengok hari Sabtu sore, Bapak sudah sadar, tetapi masih mengantuk. Pengaruh obat bius baru akan hilang sama sekali setelah dua puluh empat jam, kata ibuku. Pengunjung yang diperbolehkan masuk baru keluarga sendiri. Dengan suara bisik-bisik, Ibu menceritakan apa yang terjadi sejak kemarin dan paginya. Sekali-sekali, dengan mata terpejam, Bapak menambahkan komentarnya. Tetap ringan, kata-kata yang memang hanya dia yang bisa mengucapkannya. Aku diantar pulang, tetapi Ibu menunggui bersama adikku.
Hari Minggu, panas badan Bapak naik. Kami anak-anak yang besar menengok, adikku yang kecil di rumah bersama Bude. Ganik dan ayahnya juga datang. Bapak tidak sadar, napasnya sesak. Minggu malam dia tetap pingsan. Kami tidak pulang. Senin dinihari, dia membuka matanya. Kami berkumpul mengerumuni tempat tidur. Dengan jelas dan terang, dia sebut nama kami satu demi satu. Bahkan nama adikku terkecil yang berada di rumah. Lalu ayah kami meminta maaf kepada Ibu. Sesudah itu, Bapak mengatakan harapannya kepada anak-anaknya. Tangannya tidak melepaskan tangan Ibu selama dia berbicara kepada kami. Lalu dia pingsan lagi. Dokter jaga mengatakan supaya kami tenang. Udara di atas tempat tidur harus lapang. Meskipun diberi masker untuk bernapas, Bapak tidak tertolong lagi. Tuhan telah menentukan kehendakNya. Pagi itu Bapak yang mencintai kami, yang kami cintai, yang paling hebat di antara para bapak, yang teristimewa dari seluruh suami, meninggal dunia dengan tenang. Wajahnya seperti tertidur.
telah berlangsung baik. Tapi komplikasi paru-paru ditambah tersumbatnya pembuluh darah konon menyebabkan organ-organ utama kurang berfungsi dengan lancar. Ayah kami memang perokok berat. Ibu biasa mengatakan, bahwa berhenti merokok itulah satu-satunya usul Ibu yang tidak pernah digubris suaminya.
Kejadian ini merupakan tikaman yang nyaris melumpuhkan keluarga kami. Aku tidak pernah membayangkan tidak mempunyai ayah. Pukulan dahsyat semacam itu kukira tidak akan habis-habisnya terasa sakit pada jiwa dan seluruh rasa kesadaranku. Untunglah kami memiliki ibu seperti ibu kami. Dia menyandang malapetaka itu dengan ketabahan luar biasa yang hampir tidak masuk di akalku waktu itu. Pada hari kematian dan hari-hari berkabung selanjutnya, sabar dan tawakal Ibu menasihati anakanaknya untuk tidak cengeng. Perlihatkan kekuatan kalian, anakanak revolusi yang pernah turut bapaknya mengembara di bawah tembakan peluru musuh, kata ibu kami. Bapak kalian orang yang berjiwa kuat, katanya lagi. Jangan dia dari dunia sana menyaksikan anak-anaknya berhati lemah. Jangan memalukan bapakmu!
Semula, aku dibingungkan oleh sikap Ibu yang tetap seperti biasa. Seolah-olah tidak terjadi badai yang menggoncangkan keluarganya. Dia memang menangis. Dia berkali-kali memeluk erat adikku yang paling kecil. Air mata terus menetes, tetapi terus dia hapus. Namun tak sekali pun dia memperlihatkan gerak atau sikap yang lebih mencolok atau sedu-sedan yang mengiris pendengaran. Kedua orangtuaku saling dekat, dan pasti saling mencintai. Pastilah kematian ayahku merupakan landaan angin ribut yang meruntuhkan ketegakan ibuku. Bagaimana ibuku bisa bertahan" Bagaimana dia mampu menyelimuti penderitaannya sehingga kami tidak melihatnya dengan jelas.
suk ke gudang mengambilkan tambahan gula pasir. Di dapur beberapa orang membantu menyiapkan selamatan. Sebelum membuka pintu gudang, kudengar suara tangis yang bersahutan. Meskipun lirih, tetapi jelas. Terseling percakapan. Yang seorang menyesali nasibnya. Seorang lainnya membujuk, namun merana dan merajuk Bapak kami yang baru meninggal tanpa memberikan perlambang. Lalu mereka merintih bersama-sama. Suaranya tersengal-sengal.
Aku tidak jadi masuk. Perlahan-lahan aku memutari dinding luar, pergi ke samping. Aku mengintip lewat jendela. Di dalam gudang, kulihat ibuku dan Bude duduk di amben berdampingan. Ibu menyesali nasibnya yang menerima tanggung jawab besar. Dia harus menumbuhkan empat anak sendirian tanpa persiapan, baik mental maupun kebendaan.
Setelah revolusi, suaminya tidak pernah membicarakan kematian mendadak seperti itu. Sekarang tiba-tiba Ibu tertinggal seorang diri. Bude ganti menyesali adiknya. Mengapa begitu tega mendahului pergi, sedangkan anak-anak masih memerlukan dia. Bude rela mengambil tempat Bapak kalau memang dulu diberitahu. Biar Bude mati dulu. Dia tidak punya tanggungan, perempuan yang tidak berguna. Sedangkan tugas ayah kami masih banyak. Ibu dan Bude berangkulan, lama berpelukan sambil tersedu-sedu. Aku menahan napas. Tenggorokanku terasa membengkak karena ingin menangis pula. Dengan berjingkat, cepat-cepat aku berlari dari sana, bersembunyi untuk memuntahkan kecengenganku.
Jadi benarlah semangat ibuku goyah karena ditinggal Bapak. Setelah beberapa saat melampiaskan kepenuhan hatiku, aku termenung berpikir. Alangkah besar tanggung jawab Ibu. Dalam keporakporandaan perasaannya, ibu kami masih kuat bertahan
nya. Mengetahui hal itu, cintaku semakin menggunung dan penuh kepercayaan kepada ibuku. Tahun depan aku harus lulus untuk meringankan bebannya, sekaligus membesarkan harapannya.
*** Kepergian Bapak mengubah banyak hal dalam kehidupan kami. Tanpa ribut-ribut, dan tanpa menunggu selamatan seratus harinya, Ibu menyuruh tukang membangun kios di lorong samping rumah. Jendela lebar terbuka ke halaman depan. Sebegitu selamatan selesai, ibu kami membuka warungnya. Di situ dijual berbagai bahan pokok kebutuhan rumah tangga: beras, gula, kopi, tepung, kacang-kacangan, aneka bumbu dapur, dan jamu-jamu. Beberapa makanan kering dibungkusi kecil-kecil, ditaruh di dalam stoples, juga dijajakan di atas rak.
Daerah tempat kami tinggal adalah pemukiman campuran dari berbagai golongan menengah. Jalan kami sendiri hanya dihuni orang-orang yang disebut priyayi. Hampir semua kepala keluarga berkedudukan yang disegani. Guru, kepala kantor listrik, kepala kantor telepon, polisi, bahkan di ujung jalan ada seorang notaris dan panitera pengadilan negeri. Warung ibuku yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah pulau kepriyayian itu tentulah dianggap sebagai pencemaran.
Pada hari-hari pertama hingga kira-kira sebulan lamanya, tidak ada orang yang secara terang-terangan datang membeli. Yang datang kelihatan seperti pengunjung, langsung ke belakang. Mereka adalah pembantu-pembantu. Kemudian, seorang tamu berkunjung betul-betul. Rumahnya tidak di daerah kami. Dia antusias melihat warung ibuku. Ketika pulang, dia membawa
tidak dipasang, melainkan dilipat ke belakang. Dengan sendirinya, para tetangga yang sedang berangin-angin melihat tamu yang pulang memborong itu.
Beberapa hari sesudahnya, istri panitera pengadilan negeri bertanya kepada Ibu apakah dia bisa titip makanan basah atau jajan pasar. Dengan senang hati ibu kami menerimanya. Wanita itu pulang sambil membawa kacang hijau, gula, tepung ketan, serta kecap satu botol besar. Demikianlah warung itu berangsur-angsur dikenal para tetangga sampai dua atau tiga petak jauhnya.
Meskipun begitu, adik-adikku masih membikin Ibu prihatin. Mereka malu karena ibu kami menjadi bakul, pedagang kecil. Kalau Ibu saudagar berlian, kain batik, itu lain lagi! Pendapat mereka, bakul adalah orang desa. Bagaimanapun orangtua sudah menggosok dan menanamkan pikiran bahwa orang desa atau kota sama saja, tapi lingkungan pergaulan mereka masih mempengaruhi mereka dalam hal itu.
Adik-adikku malu terhadap teman-teman di jalan itu, juga kawan sekolah mereka. Pada waktu ada yang bermain sepulang dari sekolah, atau di saat lain, adik-adikku merasa ada cibiran bibir mengejek jika teman mereka bertanya: Apa saja jualan ibumu" Aku turut menjelaskan, barangkali memang mereka betul-betul ingin tahu. Mengapa tidak diajak ke warung" Mungkin mereka justru ingin membeli permen, makanan atau lainnya yang dijajakan Ibu!
Ibu sendiri dengan halus tapi tegas seperti biasanya mengatakan, bahwa itulah jalan satu-satunya supaya mereka bisa terus sekolah. Pensiun Bapak sangat kecil. Baru akan keluar setelah diurus beberapa bulan lagi. Jumlahnya tidak akan mencukupi buat kami sekeluarga apabila kami ingin hidup dengan cara dan alur
Bapak masih hidup. Mempunyai warung semacam itu halal. Laba yang diperoleh hanya sedikit, tetapi cukup buat hidup kami sehari-hari. Kami hanya numpang makan, begitu saja! kata ibuku. Maka uang pensiun Bapak diharapkan utuh, untuk membayar listrik, air, dan persediaan untuk sekolah kalian. Berdoa sajalah supaya kita dikaruniai kesehatan. Karena sakit sedikit juga harus membayar. Modal ibu kami kecil. Sebab itu, dia tidak bisa berdagang emas berlian. Ibu sudah berusaha. Sekecil apa pun warung itu, katanya sudah menelan dua gelang peninggalan ibunya sendiri dan pemberian Bapak sebelum perang meletus. Nah, kalau memang anak-anak malu, Ibu masih bisa menutup warungnya. Tetapi hidup yang agak mirip seperti ketika Bapak masih ada, tidak mungkin diteruskan. Kami harus siap untuk menjadi miskin seperti anak-anak yatim lain dengan ibu yang tidak bekerja. Masa liburan, harus tinggal di rumah. Kalau sakit, harus minta obat ke mana"
Dan karena pensiun Bapak akan habis dimakan, untuk keperluan sekolah, Ibu tidak berani menanggung jika warung dibubarkan. Jadi anak-anak harus siap berhenti sewaktu-waktu. Semakin negara akan teratur, kata Ibu, semakin semuanya akan bertambah mahal. Demikian pula sekolah. Serta-merta adikku kedua menanggapi bahwa sebentar lagi aku akan bekerja. Akan bisa diandalkan. Dan kalau sudah kawin, Mas Wid pasti mau membantu keluarga kami.
Bukankah Mbak Mur akan kawin" Mas Wid tentu mau membantu kita. Daripada Ibu menjadi bakul seperti mbok-mbok di pasar....
Jangan sekali-kali hal itu kauulangi! cepat Ibu memotong kalimat adikku. Kalau bapakmu mendengarnya, dia pasti sangat
Mas Wid akan menjadi kakak kalian. Tapi dia hanya saudara ipar kalian. Dia tidak sedarah sedaging dengan kalian. Kalau kebetulan kelak terjadi sesuatu, seandainya dia menolong kita, sekecil apa pun pertolongan itu, seumur hidup akan terus diungkit-ungkit. Lagi pula, orang kawin itu membentuk keluarga sendiri. Dia harus siap menghidupi keluarganya, istri dan anaknya. Mungkin Mas Wid akan bisa membantu kita. Barangkali dia memang rela. Hanya saja, membantu bukan menyangga sepenuhnya. Apakah kamu akan bangga kelak jika selesai sekolah, menjadi orang, lalu dikatakan bahwa bukan orangtuamu sendiri yang mendukung keberhasilanmu itu" Orang-orang akan berkata, bahwa selama itu kamu dibantu Mas Wid. Untung ada Mas Wid! Kalau tidak, kamu tidak akan berhasil! Apakah kamu senang mendengar omongan demikian" Karena Mas Wid-lah yang akhirnya akan mendapat pujian. Bukan kamu. Bukan orangtuamu!
Berulang kali, beribu kali kalimat-kalimat itu dicerewetkan oleh Ibu dalam menghadapi adik-adikku. Biasanya, seketika itu juga, adik-adikku tampak sadar. Kelihatan menyesal telah mengecewakan ibu kami. Tetapi dasar anak-anak! Dalam ilmu jiwa yang diajarkan, dikatakan bahwa anak lelaki kalah cepat mengalami kematangan jiwa. Kebenarannya kuamati dalam keluargaku sendiri. Aku segera mengerti betapa ibu kami berusaha melindungi kami, membesarkan kami dalam lingkungan kehidupan yang serba ada.
Adikku tiga, masing-masing berselakan dua setengah tahun. Antara aku dan adikku bahkan hanya berjarak sembilan belas bulan. Dalam beberapa hal, kami berdua merasa dekat sekali. Tapi aku merasakan kesukaran untuk menyadarkan kedudukannya, bahwa sekarang ayah kami meninggal, meskipun aku anak sulung,
keluarga. Sementara itu warung Ibu tetap terbuka. Kehadirannya sudah menjadi hal yang biasa. Langganan sudah berdatangan. Dari bibi temanku Sri, warung mendapat tambahan baju rumah buat wanita. Perkataan baru waktu itu muncul, ialah daster. Rok-rok itu ada beberapa yang digantung sebagai contoh. Tapi kebanyakan terlipat dan disimpan di dalam rumah. Tetangga datang dengan sendirinya. Meskipun cara membayarnya agak merepotkan karena direntang tiga hingga empat kali, tapi ibu kami telaten, mencatat dan sabar menagih lunasan bayaran tersebut.
Dengan kepergian Bapak, Mas Wid lebih menunjukkan kemesraannya terhadapku. Pada hari pemakaman, dia bahkan memelukku di depan umum. Sebulan setelah Bapak meninggal, dalam percakapan antar keluarga di meja makan, dia mengatakan bahwa sebaiknya pernikahan kami dipercepat. Aku terkejut, tetapi menerima isyarat pandang Ibu supaya diam dan mendengarkan. Alasan yang diajukan Mas Wid ialah, kalau hubungan kami sudah resmi, dia akan bisa tinggal di rumah kami. Dia akan menggantikan kedudukan Bapak, menolong Ibu dalam berbagai hal, mengawasi adik-adikku.
Yang disebut paling akhir itu bersemangat menyambut gagasan Mas Wid. Berebutan mereka menyuarakan kegembiraan masingmasing. Terus terang, waktu itu aku sendiri menganggap ide itu tidak jelek. Terbawa oleh suasana hangat dan keakraban yang dipengaruhi oleh sambutan adik-adikku, aku hampir berkata setuju pula.
Kemudian pikiranku melayang. Kalau aku kawin, Mas Wid tentu akan membiarkan aku meneruskan sekolah seperti yang dulu direncanakan. Keuntungan peresmian kami berdua sungguh
jawab Ibu akan berkurang. Bukankah dia sendiri sering mengatakan bahwa anak laki-laki amat berbeda pertumbuhannya" Seorang ayah lebih dibutuhkan dalam masa tumbuhnya anak lakilaki. Sama seperti kehadiran ibu untuk anak perempuan. Anak laki-laki lebih sering berada di luar rumah. Seorang ibu kurang sigap menangani kekerasan tingkah anak laki-laki. Kehadiran seorang bapak bisa diganti dengan laki-laki lain, teman atau keluarga, yang berperan sebagai pengarah atau penasihat. Dalam hal ini Mas Wid akan bisa menopang Ibu.
Tapi di luar dugaanku, Ibu tidak setuju mempercepat perkawinan kami. Tegas dan pasti ibuku menolak gagasan itu. Apa pun yang terjadi, Muryati harus menyelesaikan sekolah sampai mendapat ijazah. Begitu kata ayah kami yang diulangi Ibu. Aku termenung. Benar. Di saat akan meninggal pun Bapak masih mengucapkan harapannya itu. Itu adalah amanat. Dan ini harus dipegang teguh tidak saja oleh Muryati, tetapi juga oleh Mas Wid dan Ibu.
Walaupun seumpamanya Muryati mau kawin sekarang, Ibu tidak akan memberi izin. Dan kalian adik-adiknya, harus mendukung mbakyu kalian meneguhi amanat itu. Bapak juga mengharapkah anak-anak lelakinya tabah, menekuni cita-citanya. Nah, jalankan semua itu. Soal mencari makan, serahkan itu kepada Ibu. Kalau kalian masih mau membantu-bantu di warung, itu bertambah bagus. Tapi Ibu tidak akan terlalu banyak meminta. Sekolahlah, capailah prestasi semampu kalian. Dan selesaikan dengan baik.
Seketika itu juga aku merasa malu karena telah melupakan harapan Bapak di ranjang rumah sakit. Bahkan itu juga katakataku sendiri dulu ketika akan menerima lamaran Mas Wid.
kecoh, terpikat oleh kemesraan sikap Mas Wid. Rupa-rupanya adik-adikku juga mudah dialihkan pikirannya oleh Mas Wid. Sekolah harus diutamakan. Aku harus kuat.
Sejak kemesraannya yang semakin tidak ragu diperlihatkan di hadapan siapa saja, kurasakan desakan lain dari Mas Wid. Dia lebih berani mengelus dan membelaiku. Menurut istilah temanku Ganik, dia sudah meminta itu . Sekali-sekali, di malam-malam libur, adikku membujuk agar Mas Wid tidur di rumah kami. Ibu memang mengizinkan hal itu, asal tidak terlalu sering terjadi. Walaupun aku telah bertunangan, Ibu dan aku harus tetap menjaga nama baik.
Kamu harus sadar, Mur. Ibu ini janda, bakul lagi! Kalau tibatiba perutmu membengkak karena Mas Wid berhasil merayumu, dualah kerugianku! Satu, karena kamu akan berpakaian pengantin dengan perut gendut yang berarti nama keluarga tidak lagi murni. Dua, karena kamu tidak akan bisa meneruskan sekolah.
Dalam hal yang kedua itu, sesungguhnya kamulah yang paling rugi. Kecuali, jika sekolah masih memperbolehkan murid hamil turut ujian! Tidak meneruskan sekolah karena kamu tergila-gila mau kawin, tidak apa-apa. Barangkali seketika itu kamu tidak merasa kehilangan sesuatu pun. Tapi di kemudian hari, kelak, kamu akan menyesal mengapa tidak meneruskan sekolah. Apalagi tanggung sekali! Kamu anak cerdas. Boleh dikatakan ijazah sudah di depanmu. Kamu tinggal mengulurkan tangan dan melangkah setapak. Ibu harus menjaga supaya kamu tidak menyalahkan dirimu maupun Ibu kelak.
Ibu tetap halus dan tegas jika berbicara. Kali itu pun aku diingatkan dengan nada yang sama, bagaimana bahaya rayuan Mas Wid dan bahaya kelemahanku sendiri dalam menerima rabaan
kubayangkan mengenai orang bercintaan sudah kualami. Mas Wid tentu sudah amat berpengalaman. Dia tahu bagian-bagian mana dari tubuhku yang lebih peka dalam merasakan belaiannya. Sentuhannya yang mendesak dari hari ke hari semakin berani.
Terus terang aku pun semakin tenggelam merasakan kenikmatan belaiannya. Itu hal yang baru bagiku, dan ternyata aku menyukainya. Dengan setengah sadar sebagai pengecut, aku juga selalu mengharapkannya akan terulang jika bertemu dengan Mas Wid. Maka aku minta bantuan ibuku untuk menanggulangi kelemahanku sendiri itu. Kuminta Ibu menunjukkan sikap keras. Misalnya dengan halus mengusir Mas Wid jika dia masuk ke kamarku, atau di waktu dia terlalu larut belum juga pulang ke pondokannya. Dengan suara biasa Ibu menunaikan tugasnya. Seolah-olah dia memarahiku.
Tidak baik dilihat tetangga, Mur. Serambi kita terbuka. Apa yang terjadi di situ jelas terlihat dari jalan. Anak muda duduk berdampingan di tempat yang gelap hingga larut malam akan mengundang omongan usil!
Dan di lain hari, kalimat yang lain lagi.
Mur kurang tidur hari-hari ini, Nak Wid. Tugasnya dengan organisasi sekolah mengharuskannya mondar-mandir terusmenerus. Ya olahraga, ya kesenian, ada-ada saja. Jangan terlalu lama di luar, nanti dia masuk angin!
Tempat di dalam adalah ruang makan dan ruang tamu. Di situ selalu ada adikku, Ibu, atau pembantu. Tidak nyaman buat berduaan seperti yang diharapkan. Sebab itu Mas Wid segera pulang. Ibu memang tidak mewajibkan aku membantunya di warung maupun di rumah. Yang penting, kamarku bersih, buku dan batempatnya. Puas-puaskan kesenanganmu bergaul dan berkumpul dengan kawan-kawanmu. Kelak kalau sudah kawin, akan kaulihat sendiri semua berubah. Apalagi biasanya keluarga kita ini subur. Setahun kawin sudah menggendong bayi. Kau akan terikat, mendekam di rumah terus karena urusan rumah tangga, kata ibuku sebagai jawaban jika aku pamit akan ke luar.
Dan kalau aku pamit akan berjalan-jalan atau keluar makan dengan Mas Wid, dia berbisik mengulangi nasihatnya.
Ingat, Mur! Apabila lelaki sudah berniat merayu, kita perempuan sangat mudah tergoda. Pacaran ya pacaran, tapi jangan kebacut! Imanmu yang teguh. Kamu harus terus sekolah dan lulus. Lalu mengajar. Di samping mencari uang, pengalaman juga berharga. Itu ditulis dalam kertas, penting kalau kelak kamu harus mencari makan sendiri. Nanti kalau sudah kawin, kaulihat sendiri. Tidak bisa berbuat ini atau itu. Gerakanmu terbatas sekali!
Mungkinkah dulu ibuku juga kewalahan menanggulangi rayuan Bapak" Dia juga banyak melihat dan mendengar di lingkungan. Semakin sering kami mendengar bahwa gadis si Itu mengandung, terpaksa cepat-cepat kawin. Wanita muda saudara Bu Anu hamil dengan kepala kantornya yang sudah beristri.
Aku memang harus selalu diingatkan. Di waktu-waktu berduaan dengan Mas Wid, ciumannya hampir tidak menimbulkan reaksi padaku. Tetapi rabaan tangannya lebih melumpuhkanku. Aku mencurigai dia mau membawaku ke bioskop tidak untuk menonton. Karena dia selalu memilih tempat duduk di belakang. Tangannya menggerayang dan mengelus sebegitu lampu dipadamkan. Pada mulanya hal itu tidak kusadari bahayanya. Tapi kemudian, sentuhannya itu mengantarkan aku setapak demi setapak ke rasasudah meraba bagian dalam pahaku, mengelus naik, aku tersengal mencoba memanggil kembali seluruh kesadaranku.
Hingga saat pernikahanku, amanat Bapak yang diucapkan di ranjang rumah sakitlah yang menjadi peganganku. Apa pun yang kuperbuat, bagaimanapun kuatnya tolakan tanganku, Mas Wid hanya mau mengendorkan serangannya jika napasku yang sesak terengah-engah sempat membisikkan, Ingat Bapak, Mas. Nanti saja kalau aku sudah lulus. Ternyata dia lebih segan kepada orang yang sudah meninggal daripada lain-lainnya.
Pada mulanya, kehilangan ayah kami serasa menjadi kesedihan yang tak mungkin akan berakhir. Untunglah aku mempunyai Ganik, Sri, Siswi dan Mur. Pada hari-hari pertama kami berkabung, mereka bergantian tidur di rumahku. Macam-macam pemberian dan perbuatan mereka untuk menghiburku.
Dan dari semua saudara serta teman yang meringankan beban kesedihan kami itu, Mur melampaui batas bayanganku sendiri. Caranya ialah dengan menceritakan nasibnya sebagai anak yatim. Dia mengatakan, bahwa aku seharusnya masih bahagia karena ditunggui Bapak sampai umurku menjelang tujuh belas tahun. Murniyah tidak pernah mengenal ayahnya. Sedari kecil, seingat dia, hanya nenek dan ibunya yang mengasuh serta mengasihinya. Sebegitu dia tidak menyusu ibunya lagi, dia ditinggal di rumah neneknya di Muntilan. Ibunya sebagai perawat harus mondok di asrama di Magelang. Karena ketekunannya, ibu Mur mendapat kesempatan untuk belajar menjadi bidan. Kalau Mur bercita-cita menjadi dokter, bukanlah demi kepentingan atau kepuasannya sendiri, melainkan karena dia ingin menyenangkan hati nenek dan ibunya.
Kelak, di waktu lulus SMA, dia berharap akan mempunyai
Gadjah Mada. Dia tidak peduli kelak akan ditempatkan bekerja di mana. Di sudut pulau terpencil sekalipun dia mau. Asal dia bekerja sebagai dokter. Itu tujuannya. Pernah kami sahabatsahabatnya bertanya mengapa dokter" Mengapa tidak insinyur atau sarjana lain. Mur ingin memperbaiki tingkat sosial nenek dan ibunya.
Neneknya adalah penduduk kampung biasa, rakyat jelata, tetapi yang secara alamiah mengetahui bagaimana menyembuhkan penyakit. Dia mengenal beberapa jenis akar, daun, dan kulit kayu yang berkhasiat, baik sebagai penyembuh maupun pemusnah penyakit. Dia dukun di lingkungan dan daerah kampung sampai ke perbatasan Sleman. Lebih dari sepuluh kali di masa mudanya ia menolong wanita bersalin. Pendeknya, nenek Mur mendapat sebutan Mbah yang pintar. Maka Mur sebagai anak asuh sekaligus cucunya, harus melanjutkan garis tanjakan yang tepat. Sebab itulah dia ingin menjadi dokter. Itu adalah puncak karier dalam keluarganya. Batasan tertinggi yang bisa dicapai kemampuan manusia dari nenek ke cucu.
Aku mendengarkan kata-kata temanku itu dengan penuh keharuan. Kami menangis bersama-sama. Kalau anak seperti Mur, yang tidak pernah berkesempatan mengenal bapaknya kini tumbuh memiliki tekad sekuat baja untuk merenggut cita-citanya, apakah aku yang selama hampir tujuh belas tahun dicinta, bahkan dimanja ayahnya berhak menjadi orang tanpa kegigihan karena tiba-tiba menjadi yatim" Akhirnya, didukung oleh persahabatanku dengan Murniyah, semangatnya adalah semangatku.
Meskipun dengan susah payah, berangsur-angsur kesedihan dapat kuatasi. Selama berbulan-bulan teman-temanku merengkuhku. Aku diundang tidur di rumah mereka, atau mereka datang
mauanku dalam hal ini. Dia mendapat jatah Sabtu dan Minggu. Bagiku, dan bagi ibuku, itu sudah mencukupi.
Kesempatan mencari selingan di luar juga dimanfaatkan teman-temanku. Kecuali Siswi, kami berempat mengikuti kegiatan kepanduan. Secara berkala, perkumpulan kami mengadakan perjalanan berkemah. Tapi kali itu aku hampir mundur, karena untuk meringankan biaya panitia, masing-masing anggota diminta tambahan iuran. Mur dan aku tidak berani memintanya kepada ibu kami. Itu berarti tambahan pengeluaran bagi mereka. Sertamerta dan tanpa pamrih, Ganik dan Sri campur tangan. Mereka membayari kami. Dan untuk selanjutnya, di waktu kami berlima keluar bersama-sama menonton atau makan di warung, Ganik dan Sri menjadi bendahara kami. Kami tidak pernah bisa berhasil mempengaruhi Siswi untuk menggabung menjadi pandu. Katanya, dia lebih suka tinggal di rumah menjahit atau menyulam daripada berpanasan begitu. Tapi untuk menonton dan makan, dia selalu bersedia.
Kami lima bersahabat ditumbuhkan dalam keluarga yang berlainan latar belakangnya. Tapi kekompakan dari masa remaja itu akan menopang dan membantuku mengarungi kehidupan yang ternyata masih menyiapkan kejutan lain yang lebih tidak tersangka-sangka.
***** 96?"?" esuai dengan amanat Bapak, dengan kehendak Ibu dan kemauanku sendiri, aku mengajar satu tahun setelah lulus dari SPG. Sebegitu satu tahun pengalaman mengajar dilunasi, Mas Wid tidak tawar-menawar lagi. Pernikahan dilangsungkan. Aku mengenang malam pertama yang memedihkan, yang disusul oleh malam-malam lain yang menyebabkan aku tidak haid sebegitu menikah.
Dengan alasan menunggu surat pemberhentian yang resmi, aku masih meneruskan mengajar. Sebaiknya kamu jangan langsung berhenti bekerja, nasihat Ibu. Dan aku sendiri cukup kuat menghadapi kata-kata Mas Wid yang kadang-kadang halus menyindir, lebih sering pedas menyakitkan hati. Kamu harus memanfaatkan mencari uang dan pengalaman kerja sebanyak mungkin. Tunggu sampai kandunganmu berumur tujuh bulan. Badanmu sehat. Asal jangan lupa pakai setagen, dan menyebut nama Allah. Semua akan selamat. Aku menuruti petunjuk Ibu.
Perdebatan dengan Mas Wid mengenai hal ini terjadi hampir setiap hari. Dia tidak senang mempunyai istri yang tidak pernah ada di rumah, katanya. Padahal aku berusaha keras agar selalu sudah pulang di saat dia tiba dari kantor. Tetapi karena seringkali pula aku memanfaatkan singgah di pasar yang kulewati, sampai di
seolah-olah dia sengaja pulang cepat buat menjebakku.
Dan kalau ada sesuatu kekurangan atau kejadian di rumah sewaktu aku berada di tempat kerjaku, Mas Wid menyambar kesempatan itu untuk menonjolkannya sebagai akibat buruk yang disebabkan oleh ketidakhadiranku. Umpamanya, pembantu mengatakan bahwa ada orang yang mencari kami siang hari itu. Simbok tua tidak menanyakan siapa nama tamu tersebut. Sayang kau tidak di rumah, kata Mas Wid. Kalau kamu ada, pasti sekarang kita tahu jelas siapa tadi yang datang. Nada suaranya kasar penuh sesalan, bahkan tuduhan. Beberapa hari sesudahnya, melalui tetangga, kami mendapat informasi bahwa yang dikatakan tamu itu hanyalah pegawai salah satu perusahaan yang menawarkan produk mereka. Satu hal yang sesungguhnya tidak perlu diributkan!
Kami menyewa sebuah rumah kecil di bagian barat kota. Ruang tamu, kamar tidur, dan dapur merupakan bagian-bagian dalamnya. Kamar mandi terletak di luar. Ketika kami datang, belum ada tempat untuk mencuci-cuci, baik pakaian maupun alat dapur. Karena aku sudah mengandung, itu kujadikan alasan permintaan kepada suamiku supaya menambahkan tempat tersebut di dekat kamar mandi. Tinggal membikin bak dan saluran keran serta lapisan semen selebar yang cukup, lalu dialirkan ke selokan. Dengan kehadiran bayi, cucian akan bertambah banyak. Mas Wid tidak membantah, menyuruh tukang yang didatangkan ibuku untuk menuruti permintaanku.
Ketika aku mulai menyewa rumah tersebut, Ibu tidak tega melepasku dengan pembantu baru. Pembantu kami yang tua disuruh menemaniku. Dia kupasrahi mengatur keberesan rumah, kecuali membersihkan kamar tidur. Sekolah tempat aku mengajar
kandunganku, aku masih naik sepeda. Mengikuti nasihat Ibu, aku mengenakan setagen cukup erat di bagian pinggul supaya menyangga berat perutku. Pada bulan berikutnya aku langganan becak. Pekerjaan sebagai guru mengesankan rasa hormat. Di sekitar tempat kami, banyak tukang becak menunggu muatan. Mendapatkan langganan alat pengangkutan itu tidak menjadi masalah bagiku.
Sejak pernikahan kami, konon Mas Wid pindah bagian di kantornya. Aku katakan konon, karena mengenai pekerjaan, dia tidak mau melibatkanku. Ketika kami kawin, dari kantornya hanya dua orang yang diundang. Katanya, dia tidak mempunyai teman. Sebenarnya rekan juga perlu diundang. Tetapi dia mengatakan tidak perlu. Pada suatu pagi, aku memperhatikan bahwa dia tidak mengenakan seragam lagi. Ketika kutanya, barulah dia memberitahu tentang kepindahannya. Pertanyaan mengapa dariku tidak menyenangkan hatinya; katanya semua tugasnya di kantor adalah urusannya. Istrinya tidak perlu tahu. Asal setiap bulan diberi uang belanja, sudah cukup. Dari suaranya, aku berkesimpulan bahwa aku tidak boleh lagi menyinggung hal tersebut. Jadi aku pun diam. Yang penting, suamiku masih mempunyai pekerjaan tetap. Bukankah dulu orangtuaku menerima lamarannya di antaranya karena hal yang satu itu"
Hampir setahun kawin, bayiku yang pertama lahir. Laki-laki. Kami memanggilnya Eko. Aku berhenti mengajar. Pada mulanya aku tidak menyesali keputusan meninggalkan pekerjaanku. Adanya bayi di rumah ternyata mengambil banyak waktu dan ketelatenan. Kesibukan tidak kurang dari bulan ke bulan. Ketika bayi harus mulai diberi makanan tambahan, aku semakin repot. Sebelumnya, aku tidak pernah mengetahui betapa sukarnya
mengajar di sekolah ternyata berbeda dari kesabaran memasukkan sesendok demi sesendok makanan ke mulut seorang bayi. Kalau makanan yang ini tidak suka, harus dicoba makanan lain. Pada bulan berikutnya diulangi lagi memberikan makanan yang dulu dia tidak suka. Berat badan bayi harus sesuai dengan umurnya. Kalau si ibu tidak telaten, hanya menuruti kemauan si bayi yang melulu minum susu dan menyukai satu jenis makanan saja, kemungkinan pertumbuhannya akan kurang baik.
Dalam hal ini aku mengagumi kemampuan Simbok. Dia selalu mengambil alih tugas memberikan makan. Sebagai gantinya, aku mengalah mengerjakan cucian, memasak, atau bahkan mengepel lantai. Menyuapi anak lebih memerlukan kesabaran daripada mencuci pakaian. Sedangkan kesabaran Simbok tua bagaikan tidak habis-habisnya. Kadang-kadang sampai dua jam dia menyuapi anakku. Tugas yang membosankan namun sangat penting ini juga seringkali dikerjakan ibuku di saat-saat kunjungannya menengokku.
Karena mempunyai tiga adik dan dibiasakan terlibat dalam asuhan serta menjaga mereka, aku mengetahui banyak hal mengenai anak kecil. Di luar waktu-waktu istimewa yang membutuhkan kesabaran, aku senang mengasuh anakku, mengamati perkembangan bayi yang seharian tidur dan minum, lalu menjadi anak kecil yang berangsur-angsur mengenali aku, bapaknya, dan Simbok tua, semuanya itu merupakan pengalaman hidup tersendiri. Belum lagi terhitungkan kekayaan perasaan yang membahagiakan jika anak yang belum berusia setahun itu sudah tahu memilih, lebih menyukai aku daripada pembantu. Atau lebih suka turut aku daripada dengan ayahnya. Meskipun Ibu tidak
100 menyukai ibuku daripada pengunjung lain.
Kelahiran Eko dan Widowati berantara dua tahun. Aku tidak sempat merasakan menganggur maupun kehilangan pekerjaanku sebagai guru. Kesibukan selalu ada di rumah. Tempat tinggalku kecil. Aku dibiasakan Ibu dengan lingkungan yang rapi dan bersih. Maka waktuku sehari-hari habis buat anak serta membenahi rumah sewaan kami. Hubungan kami sebagai suamiistri biasa. Kukatakan demikian karena rasa-rasanya sama dengan keluarga-keluarga lain yang kulihat di sekelilingku. Aku tidak mengelompokkan keluarga bapak-ibuku dengan keluarga lain. Pasangan ayah-ibuku adalah paling istimewa. Aku belum pernah melihat keluarga lain dengan suami-istri seperti mereka, dengan cara mendidik seperti yang kuketahui dan kuterima.
Dalam kedekatan suami-istri, aku hanya melihat kedua orangtua Ganik yang bisa dijajarkan dengan ayah-ibuku sendiri. Orangtua Ganik biasa hidup di Barat. Ketika muda mereka diasuh di rumah yatim piatu. Sebagai orang dewasa mereka hidup saling mengisi. Dokter Liantoro biasa sibuk di rumah, menyiram kebun sendiri atau memperbaiki bagian rumah yang rusak. Istrinya mendukung keberhasilan suaminya. Dia mengetik dan merapikan kertas dan catatan suaminya, karena mengerti dan menyelami bidang suaminya berkat bacaan dan pergaulan dengan para ahli. Ibuku dan aku sendiri berperan hanya sebagai ibu rumah tangga.
Tetapi aku merasa tidak mempunyai suami hebat seperti ayahku maupun bapaknya Ganik. Namun bagiku tidak menjadi masalah. Karena setiap orang mempunyai kekurangan. Mas Wid masa bodoh. Tidak pernah membantu urusan rumah. Untuk bangkit mengambil surat kabar dari kamar tidur saja pun dia memanggil Simbok yang tua. Seolah-olah dia memanfaatkan
101 turut menggendong anak atau menungguinya bermain di lantai. Sambil dia sendiri membaca koran. Tetapi jika anak sedang rewel di waktu malam, bagi dia, tugas ibunyalah, atau pembantu untuk menenangkan. Ada betulnya juga karena siang keesokannya, suami harus bekerja di luar rumah. Hal semacam itu tidak terjadi di rumah ibuku. Bapak tidak peduli apakah keesokannya harus bekerja atau tidak. Dia selalu turut ngemong adikku di waktu malam jika sedang sakit.
Inilah kejelekanku. Kuakui, karena aku tidak bisa menahan diri selalu membandingkan keluargaku dengan apa yang kusaksikan dulu dalam keluarga ayah-ibuku. Kata Ibu, aku harus merelakan yang kudapati sekarang. Di dunia harus ada berbagai jenis suami, keluarga yang berlainan. Aku menjadi istri yang harus menerima apa yang ada. Yang sebenarnya, rasa bahagia itu kamu sendiri yang harus menciptakannya. Begitu kata Ibu.
Hidupku barangkali sama dengan kehidupan kebanyakan istri. Apabila aku mempunyai prakarsa yang berhubungan dengan keluarga, jarang sekali bisa terlaksana. Sedari aku belum mempunyai anak sampai Widowati lahir, aku ingin diajak sowan ke tempat sesepuh, baik di Pati, Purworejo, maupun Klaten. Mas Wid tidak pernah melunasi janjinya dalam hal ini. Banyak janji lain yang juga tetap berupa janji. Akhirnya aku menjadi pasif. Aku harus menerima apa adanya. Begitu kata ibuku. Seluruh pikiran dan perhatianku tertuju dan terikat kepada anak-anakku dan rumahku. Tetapi ada kalanya kepasifan itu mengganjal, menjadi beban.
Anakku Wido berumur setahun, air ledeng semakin sukar sampai di tempat kami. Simbok terpaksa mengusungi air dari jalan di mana saluran dari kotapraja bercabang. Jarak antara tepian bagian
102 Untuk orang tua, cukup menyesakkan napas jika satu kali hanya bisa mengangkut satu ember. Aku minta Mas Wid menambah anggaran buat mengupah tambahan seorang tukang cuci. Biar orang itu yang mengusung air untuk bak kamar mandi serta keperluan rumah lainnya. Kuanggap ini amat penting. Pakaian kotor anak kecil dan bayi saja sudah satu ember besar. Belum ditambah pakaian Mas Wid sendiri. Berhari-hari aku merintis pembicaraan mengenai hal ini. Sikapku kubikin manis, baik di waktu-waktu biasa maupun ketika dia mulai menarik tanganku ke tempat tidur. Sekali-sekali kuingatkan agar dia memikirkan bagaimana jalan keluar untuk kesulitan air kami. Akhirnya aku tidak tahan lagi, secara langsung bertanya.
Kita kawin hampir lima tahun, Mas Wid. Kok selama ini amplop yang diberikan kepadaku tidak juga ada tambahannya. Apa gaji Mas Wid tidak bertambah"
Mengapa bertanya mengenai gaji" dia malahan ganti bertanya, suaranya seperti biasa, tanpa perhatian, sambil lalu.
Karena ingin tahu saja. Karena aku ingin mengerti apa alasan Mas Wid sehingga sudah sebulan lebih tidak mau memberikan kata sepakat supaya kita mengambil tukang cuci.
Kau ini aneh! Kita bukan orang kaya kok ingin punya dua pembantu. Yang punya pembantu satu orang satu itu ya borjuisborjuis itu, yang rumahnya gedong-gedong!
Aku kaget mendengar suamiku berbicara seperti itu. Tapi aku masih bisa mengatakan pendapatku.
Aku bukannya ingin mempunyai pembantu lebih dari seorang, Mas Wid. Simbok sudah kuwalahan karena masalah air. Mas Wid sendiri tidak mau menolong seperti tetangga-tetangga lelaki lainnya itu. Mereka sore hari mau mengangkuti air untuk
103 bisa dibantu tenaga setengah hari. Ada orang yang mau datang pagi. Dia mencuci dan mengusung air. Kita memberi upah harian dengan makan satu kali.
Harus diambil dari mana uang itu"
Aku tidak tahu, ini kebijaksanaan Mas Wid! Aku mulai jengkel dan kesal. Tapi masih bisa menahan suaraku selembut mungkin. Misalnya, kalau tidak ada sisa dari gaji, kita bisa ambil dari uang lembur. Mas Wid sering pulang terlambat, katanya lembur.
Kali ini dia diam. Aku memanfaatkannya untuk meneruskan, Kalau tidak penting kan aku tidak minta. Mana aku pernah minta buat kepentinganku sendiri" Baju" Aku tidak pernah beli. Pakaianku masih yang dulu, kubeli sendiri dengan gajiku ketika masih bekerja. Tabunganku sendiri sudah ludes untuk tambahan ini dan itu. Karena kalau penjual kayu datang menawarkan kayu bakar kering, bagus, aku harus menerimanya. Begitu pula penjual ikan asin.
Salahmu sendiri! Kayu masih banyak, kamu mau saja menerimanya. Ikan asin tidak diperlukan, kamu juga beli! Jangan meniru orang-orang kaya yang menimbun barang!
Bukan Mas Wid yang mengatur keberesan rumah tangga. Jadi Mas Wid tidak tahu bagaimana baiknya. Kelihatannya kayu bakar masih banyak. Tapi kalau kebetulan tukang kayu menawarkan dagangan bermutu ya harus diambil. Apalagi cocok harganya! Begitulah caranya sampai tabunganku pribadi habis. Tapi tidak apaapa karena itu untuk kita sekeluarga. Aku tidak menyesal. Hanya, tunjukkan dong sedikit sikap mengerti! Sekarang aku minta Mas Wid membantu mengenai air.
Suamiku diam, tidak menanggapi ataupun menoleh kepadaku.
104 kan merupakan jalan keluar yang adil. Urusan rumah kami adalah keluarga kami. Mas Wid harus bisa menyelesaikannya. Namun hari itu, aku terpaksa menggunakan gertakan yang memalukan.
Kalau Mas Wid tidak mau membayari upah tukang cuci itu, Ibu yang akan memberikan uang kepadaku. Dia tidak rela melihat aku atau Simbok yang tua mengusungi air. Bagaimanapun juga, aku kan anaknya! Bukan Mas Wid! Simbok pun, ibuku yang memberikannya kepadaku. Untunglah aku mempunyai ibu seperti dia!
Itu hanya merupakan contoh dari pergaulan kami seharihari. Aku diajari Ibu untuk selalu berbicara jelas, tegas, tetapi selembut mungkin. Tetapi sehalus dan seperlahan apa pun, kalau bicaraku menyentuh keuangan buat keperluan rumah, suamiku marah atau tidak memperhatikan. Seolah-olah salahkulah bahwa kami harus menggunakan kayu bakar, bahwa kami harus makan setiap hari, bahwa mencuci membutuhkan air bersih. Menurut dia, barangkali, kalau aku sudah diberi amplop gajinya di akhir bulan, itu sudah cukup. Urusan dengan dia sudah selesai. Padahal harga-harga terus berubah, selalu naik dan tidak pernah turun. Juga bagaimana aku mengetahui dengan pasti bahwa seluruh gajinyalah yang dia berikan kepadaku" Sampul yang kuterima selalu sudah terbuka.
Kesimpulan dari itu semua, meskipun aku tidak menyesali perkawinanku, yang paling menekan dalam hidupku berumah tangga ialah kenyataan bahwa aku tidak mempunyai penghasilan sendiri. Dulu ketika aku masih mengajar, ibuku cerewet menasihati supaya aku berhemat-hemat. Dia tidak suka melihatku sering-sering beli baju. Sesungguhnya dia benar. Tetapi sukar sekali aku menahan nafsu dalam hal ini. Aku sadar memang
105 kelas. Kegenitanku bersolek hanya dalam hal pakaian. Untunglah aku juga mendengarkan Ibu, menyimpan uang dalam bentuk perhiasan kecil-kecil. Emas selalu bisa dijual kembali menurut beratnya, kata ibuku.
Aku semakin merasakan kebutuhan adanya tukang cuci tambahan. Tanpa menunggu, orang yang sanggup mengerjakan cucian itu kusuruh memulai kerjanya. Di samping itu aku juga menghubungi rekan-rekan lamaku. Kepala sekolah tempatku bekerja dan rekan-rekan masih sering kujumpai di pasar. Mereka mengatakan bahwa kalau aku ingin kembali mengajar, tidak akan ada kesulitan. Yang lambat ialah soal surat-surat keputusan. Sementara menunggu gaji yang bulat, kas sekolah dapat kupinjam sedikit setiap bulan.
Apa" Kamu akan kembali mengajar" suara Mas Wid jelas terkejut mendengar keputusanku.
Aku bosan karena harus selalu cekcok dulu jika dibutuhkan tambahan biaya ini atau itu. Kalau aku bekerja, meskipun gajiku sedikit, tapi aku tidak perlu meminta-minta.
Katamu, Ibu mau membiayai upah tukang cuci. Kini ganti aku yang terkejut. Aku terheran-heran. Jadi Mas Wid tidak malu ibuku selalu memberi bermacammacam bahan makanan, dan sekarang gaji tukang cuci" Mas Wid betul-betul mau menerima lagi pemberian mertua, janda yang dulu hampir Mas Wid suruh berhenti sebagai pedagang kecil"
Aku tidak bisa meneruskan. Aku kehabisan kata-kata. Hatiku padat, berbagai perasaan bergumulan. Sungguhkah aku kenal lakilaki yang menjadi suamiku ini" Nyatanya aku tidak juga mengerti jalan pikirannya. Padahal kami sudah hidup bersama lima tahun. Apakah dia berubah" Ataukah sedari dulu dia memang bersifat
106 yang menyebabkan" Aku heran mengapa kamu lebih suka mendidik anak orang lain daripada anak sendiri, katanya tanpa menanggapi omonganku, seperti biasanya.
Ini bukan masalah suka atau tidak. Jangan Mas Wid mencaricari kesalahan atau kekuranganku. Mengapa Mas Wid menjadi begini" Tapi kalau memang membutuhkan jawaban, kalau dicaricari mengapa aku lebih suka mendidik anak orang lain, sebabnya ialah karena aku dibayar! Sedangkan kalau tinggal di rumah, aku tidak mendapat gaji, malahan disesali terus. Padahal, tinggal di rumah pun, aku tidak pernah berhenti bekerja!
Itu kewajiban seorang istri.
Itu adalah penutup percakapannya! Kalau dia mengucapkan kalimat itu, berarti dia akan bangkit, pergi ke ruang tamu atau ke luar. Pokoknya jauh dari aku. Dalam arti lain, dia tidak mau diganggu.
Waktu itu, aku memang tidak sanggup lagi menyahutinya. Perasaanku terlalu meluap-luap. Tapi kepalaku kosong. Aku menyadari bahwa sejak aku kawin, kegesitan pikiranku di masa remaja telah menghilang. Kadang-kadang aku bahkan meragukan apakah aku masih memiliki kepribadian. Buktinya, sering aku mendengarkan suamiku mengatakan sesuatu gagasan yang tidak sepenuhnya kusetujui, namun aku tidak menyanggahnya. Ketika dia berkata bahwa lebih baik aku tinggal di rumah dan mendidik anak-anakku sendiri daripada mendidik anak-anak orang lain, aku sesungguhnya bisa mengemukakan pikiranku yang lebih nalar tanpa kepahitan. Aku bisa mengajar sambil sekaligus menumbuhkan anak-anakku sendiri. Seandainya aku bekerja aku akan bisa menggaji pembantu tambahan sehingga
107 berpengalaman. Dia telah menolong Ibu membesarkan aku dan adik-adikku.
Sejak pernikahanku, sedikit demi sedikit aku menyadari kebenaran kata-kata ayahku dulu. Muryati perlahan-lahan menghilang di balik bayangan Widodo. Dan aku juga menyadari bahwa aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Setengah dirku, aku ingin tetap menjadi diriku sendiri. Setengahnya yang lain aku menerima apa adanya. Aku -ku telah luntur seperti kain yang kehilangan warna aslinya. Aku tidak lagi memiliki gairah terhadap makanan yang dulu kusukai. Karena selama ini aku hanya memasak apa yang disukai suamiku. Selain kekurangan biaya untuk membikin terlalu banyak macam masakan, aku memang kurang bernafsu makan sendirian. Citarasa suamiku menjadi citarasaku meskipun tanpa kehendakku. Aku barangkali kurang memiliki keberanian untuk membelot, menyukai apa yang hanya aku sukai. Dan kekurangan keberanian itu kubuktikan lagi ketika masalah air muncul. Aku kurang berani bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada anak-anakku.
Sanalah kembali bekerja! kata Mas Wid. Tapi kalau anakanak sakit, jangan salahkan aku! Kalimat itu merupakan pelumpuh yang ampuh. Aku mundur.
*** Walaupun aku tidak kembali mengajar, anak-anakku juga sering sakit. Dalam hal ini, aku merasa memang ada baiknya aku tidak bekerja di luar rumah. Seluruh perhatian bisa kucurahkan guna kepentingan anak-anak. Namun dalam diriku pertentangan tetap berkecamuk. Teman dan ibuku mengatakan bahwa aku
108 menyesaliku karena tidak cekatan lagi menanggapi lelucon.
Benar, aku juga menyadari bahwa rasa humorku mengurang. Bapak kami dulu seringkali bilang, rasa humor dapat menolong manusia melewati saat-saat pedih dan kehidupan yang sukar. Humor itu seimbang dengan keimanan layaknya, begitu kata Bapak. Tetapi di hadapan Ibu, di depan saudara-saudaraku, aku tidak mau mengakui semua itu. Keluargaku tidak biasa menghabiskan hari dalam kemurungan. Penolakanku untuk mengakui keadaanku yang sebenarnya dimengerti ibuku. Dia tidak mendesakku, tetapi mengajukan usul berkali-kali.
Datanglah menginap ke rumah. Sejak kamu kawin, belum pernah bermalam di rumah. Berkunjung pun jarang. Barangkali ada baiknya kamu berlibur sebentar, keluar dari rumahmu sendiri selama beberapa hari. Liburan yang paling murah adalah pulang. Kamu tahu, rumah kita selalu terbuka buat kamu. Aku akan mengatakan kepada Widodo supaya membiarkan kamu datang.
Mungkin karena segan terhadap mertuanya, atau oleh sebab yang lain, Mas Wid tidak menolak undangan Ibu. Itu adalah pertama kalinya aku menginap di luar rumahku sendiri sesudah kawin. Ketika pulang dari rumah sakit karena melahirkan, ibuku datang menolong setiap hari. Pagi dia memandikan bayi, lalu tinggal sampai siang waktu makan. Selama beberapa hari, dia selalu datang dengan bawaan masakan yang siap untuk kami makan bersama. Sebagai alasan ingin makan enak, dia juga membawa paling sedikit lima kilo beras. Di rumahku ada beras jelek, pembagian dari kantor Mas Wid.
Aku berlibur santai di rumah Ibu. Di situlah pula aku menyadari bahwa adik-adikku juga bertanya-tanya mengapa Mas Wid berbeda dari waktu permulaan kenal dengan keluarga
109 kata ini benarlah demikian, karena mereka hanya nyaman berbicara dengan aku, bahkan dengan Simbok. Mas Wid bersikap menyendiri. Gurau dan kelakar yang dulu terdengar di saat-saat mereka bersama, tidak terjadi lagi sejak aku kawin.
Untuk memudahkan, dan lebih-lebih untuk menenangkan hati mereka sendiri, adik-adikku mengatakan Mas Wid sudah bersikap seperti orang tua. Tidak banyak bicara dan tidak mau bergaul dengan anak-anak muda lagi. Aku tidak menyanggahnya. Meskipun sebetulnya aku juga tahu bahwa suamiku tidak hanya tidak suka bergaul dengan anak muda. Dengan yang tua seperti Ibu pun dia tidak dekat. Bahkan aku istrinya, selain di tempat tidur, dapat dikatakan tidak digaulinya secara normal, dudukduduk dan berbincang dengan nyaman. Tapi aku tidak bisa mengatakan semua itu kepada adik-adikku.
Aku puas menghirup kembali suasana keluarga yang merasuk ke hati dan yang kukenali sebagai teladan, contoh yang ingin kumiliki. Adikku yang pertama hanya dua tahun duduk di SMA. Karena kemampuannya yang luar biasa di bidang ilmu pasti dan alam, dia diizinkan mengikuti ujian akhir bersama kelas tertinggi. Dia lulus dengan gemilang, berhasil masuk ke Universitas Gadjah Mada dengan beasiswa. Adikku yang kedua di STM, mengambil jurusan listrik. Tapi kegemarannya ialah pertukangan kayu. Yang bungsu sebenamya ingin masuk ke SPG seperti aku dulu. Tetapi ibu kami mengarahkan ke SMP. Katanya, kelak jika masih berminat, bisa meneruskan ke SGA. Yu Dinem, pengasuh adikku yang bungsu, waktu itu akan menikah dengan bekas sopir Bapak.
Ketika aku menginap di rumah Ibu, di sana ada gadis lain, saudaranya Yu Dinem, juga berasal dari desa Guci. Gadis itu harus belajar alur kehidupan sehari-hari. Dia mendampingi Yu Dinem
110 membantu di warung Ibu. Yu Dinem akan kawin, berarti kami akan kehilangan anggota keluarga. Ibulah yang menyiapkan semua pakaiannya. Adikku yang bungsu masih kelihatan aleman terhadap wanita muda yang mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan keluarga kami itu. Dia adalah saksi dari pengalaman kami di zaman revolusi.
Aku menemukan kembali perasaan sejahtera dan percaya diri seperti di masa-masa remajaku. Dan seolah-olah Tuhan hendak menambah kemanjaan untukku, Ganik, Mur, dan Sri berdatangan tanpa direncanakan. Ganik masuk ke Akademi Luar Negeri setelah berhenti dari kursus-kursus bahasa asing. Mur diterima di Universitas Gadjah Mada, menuju ke cita-citanya. Dia menjadi kakak perguruan bagi adikku yang pertama. Kalau semua lancar, kira-kira satu tahun lagi dia akan menyelesaikan studinya. Sri tidak meneruskan sekolah, menjadi pelaksana urusan pabrik tenun neneknya di Sala. Dia kawin dengan kerabat sendiri, seorang sarjana hukum yang sedang meneruskan studi untuk menjadi notaris. Temanku Siswi juga sudah kawin, mengajar di Pekalongan. Waktu itu ia sedang melahirkan anaknya yang kedua. Sri paling sering berhubungan dengan ibuku. Orangtuaku mengambil dagangan langsung dari Sala, dan Sri-lah yang menjadi perantara.
Sahabat-sahabatku tampak puas dengan keadaan dan karier mereka. Dan tanpa aku bercerita panjang lebar, mereka tanggap jenis kehidupan macam apa yang sedang kujalani. Diam-diam, rasa kasih mereka tersalur dalam rengkuhan kedekatan mereka. Juga dalam bentuk oleh-oleh maupun sampul yang sangat berarti dan berharga bagiku.
Ketika Mas Wid menjemput, aku hampir mengucapkan
111 keberuntungan setiap manusia berlainan. Tuhan sudah memastikan jalanku berada di samping Mas Wid. Bagaimanapun, aku kembali ke rumahku sendiri dengan perasaan lebih mantap. Baiklah kalau aku harus hidup hanya sebagai ibu anak-anakku. Sebagai istri suamiku, sebagai petugas rumah tangga tanpa penghasilan. Aku akan mengerjakan semua itu sebaik mungkin.
Bersama Ibu aku sepakat untuk membikin berbagai makanan kecil untuk dijual di warungnya. Ibu mengirim bahan mentah, aku mengolahnya. Aku menggoreng kacang bawang, memasak mihun, dan berbagai kue basah yang mudah. Aku menerima bayaran yang dihitung dari jumlah bungkus makanan. Sebetulnya itu hanya alasan Ibu untuk membantu rumah tanggaku. Dia bisa meminta orang lain membuatkan makanan tersebut, karena sejak istri pegawai pengadilan negeri pindah dan Ibu tidak menjajakan jenis makanan itu lagi, sudah dua kali ibuku menolak tawaran titipan dagangan macam itu.
Ya, ibuku janda yang berpensiun kecil. Tapi dia leluasa mengatur hidupnya, uangnya. Karena meskipun dia bakul, dia wanita mandiri. Warungnya menjadi lebih semarak sejak adikku yang di STM turun tangan, mau membenahi bagian-bagian yang mulai lusuh. Bersama tukang, dia bahkan membikin bagian dalam lebih lebar. Di situ tersekat dua. Di depan untuk rak-rak tempat cadangan dagangan, di belakangnya untuk tidur pembantu yang akan mengganti Yu Dinem.
Dalam kehidupan rutin sebagai ibu rumah tangga itu, berangsur-angsur aku semakin mapan dan mengetahui cara menekan perasaanku: aku menerima takdirku. Kesulitan keuangan yang sekuat kemampuanku kuatasi itu pun akhirnya kuterima dengan cara memasabodohkan makanan yang kusajikan di meja. Aku
112 kudapatkan dari Ibu tidak kupergunakan lagi sebagai penambah pembeli sesuatu pun yang tertuju untuk suamiku. Anak-anak dan aku makan jenis masakan yang kami sukai. Dan uang hasilku sendiri kubelikan makanan itu. Tetapi untuk meja makan, jenisnya lain lagi. Satu kalimat atau empat kalimat teguran dari suamiku yang berisi penyesalan mengenai pelayanan makanan itu tak kujawab dengan penjelasan lain kecuali Semuanya mahal sekarang .
Lama kelamaan aku tidak hanya membikin jajan pasar buat warung Ibu saja. Karena perkembangan kehidupan, orang-orang yang rapat, mengadakan pertemuan, tidak lagi membeli suguhan dari toko. Mereka memesan dari ibu-ibu yang biasa memasak jenis makanan kecil itu. Dengan perantaraan bekas-bekas rekan guru, kenalan-kenalan, dan teman-teman keluarga serta Ibu sendiri, aku berangsur-angsur menjadi pemasak pesanan. Dari makanan kecil berubah dan bertambah. Kadang-kadang satu jenis makanan atau lauk yang akan disuguhkan dengan nasi. Di lain waktu puding untuk cuci mulut.
Bantuan Ibu terus mengalir. Baik berupa alat-alat masak ataupun pinjaman uang sebagai modal. Ibuku sendiri mengembangkan usahanya dengan menyewakan piring dan gelas, peralatan lengkap guna menyuguhi tamu. Semakin lama, ibu kami semakin mapan dalam usahanya. Adikku yang sekolah di Yogya tidak lagi malu mempunyai ibu pedagang kecil. Buktinya, lebih dari satu kali dia pulang membawa teman untuk bermalam di rumah kami.
Kami sudah mulai memasak dengan minyak tanah. Kompor yang ada di rumahku kepunyaan ibuku. Yang satu sebagai pinjaman untuk memasak makanan yang dipesan. Satu lagi hadiah ulang tahunku. Seringkali permintaan makanan dari luar harus
113 rumah menjadi bau. Tentu saja enak dan sedap. Namun ini pun dijadikan alasan untuk mengeluh. Tapi aku sudah kebal. Apa pun yang dikatakan Mas Wid, aku membikin perisai di kuping dan hatiku.
Berkat petunjuk Ibu, aku bisa bertahan tiga tahun tidak mengandung. Pada zaman itu pemerintah belum mencantumkan program keluarga berencana. Besarnya kebutuhan Mas Wid yang harus kutanggapi di tempat tidur menyebabkan aku kuwalahan menjaga diri agar tidak terlalu cepat hamil lagi. Hingga pada suatu saat, aku teledor, terlambat minum jamu. Terakhir kali aku tidur dengan suamiku telah membenihkan adiknya Widowati.
Setelah aku sadar jamu yang kuminum bertubi-tubi tidak memberikan hasil yang kuharapkan, akhirnya aku pasrah. Ibu memperingatkan supaya jamu kuberhentikan, karena siapa tahu, itu akan mempengaruhi pertumbuhan janin. Ketika Seto lahir, jarak yang terentang antara dia dan kakaknya ada empat tahun. Perkawinan tujuh tahun telah memberiku tiga anak. Kata ibu itu sudah cukup. Bagiku sendiri sudah sangat merepotkan. Terangterangan di hadapan Mas Wid, ibuku mengatakan pendapatnya. Seperti biasa, suamiku tidak menjawab.
Karena badanku yang kurang kuat, aku hanya bisa menyusui Seto tiga bulan. Air susu tidak keluar. Untuk meneruskan perkembangannya, Seto harus diberi susu kaleng. Tambahan ini merupakan belanja yang tidak sedikit. Tidak ada susu bayi yang murah. Selama beberapa waktu aku tergoda tantangan untuk melayani permintaan makanan dengan cara rantangan. Tetapi karena aku tidak mempunyai modal guna membeli peralatan serta mengupah pengantar setiap harinya, aku harus melepaskan kesempatan baik itu. Terpaksa aku menerima keadaan sampai batas kemampuan114 rupiah. Aku meneruskan melayani pesanan makanan kecil atau satu dua jenis lauk yang akan melengkapi pertemuan-pertemuan keluarga lingkunganku. Usaha makanan rantangan memerlukan modal dan alat yang lebih besar. Seandainya aku mempunyai sepuluh langganan, aku harus menyediakan paling sedikit dua puluh rantang. Tetapi kalau aku melayani tiga kali makan dalam sehari, jumlah itu harus bertambah sepuluh lagi. Satu rantang diisi, satu rantang sudah dikirim untuk makanan sebelumnya.
Berjualan makanan masak memang repot. Tapi dengan pengaturan waktu serta bahan yang baik, keuntungannya ternyata bisa mencapai lebih dari tiga ratus persen. Berkat petunjuk ibuku, hidupku terasa lebih santai. Tekanan batinku bisa kuringankan. Eko masuk sekolah. Wido sudah mulai sering kutitipkan kepada teman yang membuka Taman Kanak-Kanak di rumahnya. Seto tumbuh menjadi bocah yang mungil, rewel, dan sehat silih berganti.
Keadaan demikian bisa terus berlangsung seandainya Tuhan menghendaki. Alur hidupku terdiri dari rentetan gerak serta kebiasaan yang telah menjadi rutin. Sehingga apa pun yang kukerjakan selalu diiringi rasa wajib yang hampa namun sekaligus berguna. Barangkali ini juga satu bentuk dari keputusasaan. Aku sudah tidak lagi mengharapkan cara hidup yang lain, karena memang aku tidak yakin akan mampu mendapatkan jenis kehidupan lainnya.
***** 115 ?"?" ahun itu kehidupan bagi rakyat bertambah keras. Harga
bahan pokok terus meningkat. Meskipun pemerintah menganut kebijaksanaan membatasi pemasukan barang mewah dari luar negeri, hasil dalam negeri juga tetap mahal harganya Kemiskinan yang mencolok kelihatan di mana-mana. Yang menonjol ialah di pedesaan dan di kampung-kampung.


Jalan Bandungan Karya Nh Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cara hidup yang kotor, pakaian compang-camping serta lusuh yang tampak di zaman pendudukan Jepang, kembali tersuguh dalam kehidupan yang dikatakan modern dan merdeka. Namun begitu, pesta perkawinan tetap ada. Baik di kota ataupun di desa. Bagiku sendiri, tekanan terasa dengan mengurangnya langganan. Pertemuan-pertemuan kerja atau rapat kurang memesan jajanan seperti di waktu-waktu sebelumnya. Ibuku juga mengeluh. Banyak perlengkapan alat pesta yang hilang. Barangkali pecah, mungkin dicuri orang. Meskipun penyewa bertanggung jawab, tetapi ibuku bukan orang yang sampai hati melahap langganannya.
Adikku kedua sudah berangkat ke Bandung meneruskan sekolah di sana. Dia meneruskan di ITB sambil menjadi tukang di sebuah toko. Pemilik toko itulah yang memberinya tempat tinggal. Meskipun dia sudah mempunyai gaji, sekolah termasuk beasiswa, dan makanan terjamin, Ibu tetap prihatin. Dia harus menyediakan sejumlah uang yang tidak boleh disentuh sebagai cadangan jika
116 bekerja keras. Siapa tahu tiba-tiba sakit. Hal ini tidak merupakan keanehan. Semua kerabat dan kenalan kelihatan prihatin. Mereka mengeluh, menghemat untuk merentangpanjangkan gaji, semua khawatir. Untunglah semua kenalan kami tetap bisa makan dan berpakaian secukupnya. Seolah-olah kota kami turut merasakan suasana yang serba menekan, udaranya bertambah panas. Jalanjalan bertambah gersang dan berdebu.
Dalam keadaan semacam itulah pada suatu hari, tiba-tiba suamiku menghilang. Pagi, dia seperti biasa berangkat ke kantor. Sampai saat aku akan menutup pintu halaman jam sepuluh malam, dia belum pulang. Demikianlah dua hari tidak ada berita. Kupikir, barangkali tiba-tiba dia harus dinas ke luar kota. Kutunggu sehari lagi untuk mencari kabar ke kantornya.
Sementara itu aku mendengar dari tetangga mengenai pemberontakan yang gagal, percobaan perebutan kekuasaan yang terjadi di Ibukota. Di daerah tempat tinggalku, aku tidak merasakan adanya kelainan. Apalagi aku jarang keluar rumah. Dan setelah mengetahui berita kericuhan itu, barulah aku meraba-raba sendiri tentang suasana kampung. Terakhir kali aku ke pasar ialah lima hari sebelum tanggal yang disebutkan tetanggaku. Waktu itu kuperhatikan kelompok-kelompok pemuda dan lelaki berdiri menggerombol di beberapa tempat. Sikap mereka seperti berjaga, tetapi ramah dan terbuka. Aku tidak keluar lagi sesudah itu. Jadi tidak mengetahui apakah mereka tetap bersiaga terhadap sesuatu ataukah hanya berkerumun biasa-biasa saja.
Hari ketiga suamiku tidak pulang, pagi-pagi aku pergi ke kantor. Di sana aku mendapat keterangan bahwa Mas Wid sudah lama tidak masuk bekerja. Kata mereka, akhir bulan Agustus dia
117 kerja, sampai hari itu dia tidak muncul.
Tak dapat dibayangkan rasa kebingungan yang merajai hatiku. Aku tidak kuasa menahan kegugupanku, menangis penuh kecemasan di depan pegawai-pegawai kantor suamiku. Pertanyaan apa yang terjadi" berulang kali keluar dari bibirku tanpa bisa kukendalikan. Mas Wid tidak pernah menceritakan hal-hal yang menyangkut pekerjaannya. Tidak pernah menyebut nama rekan atau teman sekerjanya. Dia memang kelihatan serba sendirian dan tidak bermaksud memberitahuku apa yang diperbuat di luar rumah. Aku disisihkan sama sekali. Pagi jika dia berangkat, dengan penuh kepercayaan aku menganggap dia sebagai pegawai negeri yang taat dan patuh. Lebih dari sekali, dalam percakapan yang sesantai mungkin, aku mengusulkan agar aku dikenalkan kepada istri atau keluarga rekan maupun teman kerjanya. Dia selalu menghindari pokok pembicaraan semacam itu. Sama tepat jika aku menyebut soal keluarganya di Klaten. Pada waktu dia mau menanggapi, kalimat yang paling enak didengar ialah: Nanti pasti tiba saatnya untuk beramah-tamah seperti itu. Lalu aku mengalah. Dan sejak aku mengambil sikap masa bodoh, menemukan bentuk kebahagiaan tersendiri dalam kepasifanku itu, tak sekali pun aku bertanya mengenai keluarga maupun temannya.
Kekacauan rupa-rupanya juga terjadi di seluruh Tanah Air. Ini kudengar dari Mas Gun, anak buah Bapak yang paling dekat dengan keluarga kami. Setelah tidak mendapatkan informasi mengenai menghilangnya suamiku, dari kantornya aku langsung mencari Mas Gun. Bekas anak buah ayah kami itu untuk beberapa waktu meninggalkan kota kami, masuk lagi ke pendidikan. Sejak dua tahun lalu menduduki tempat terpandang di kantor CPM. Semua data yang kuterima dari kantor suamiku kuberikan
118 keluarga Mas Wid, di Klaten. Meskipun dia mengetahui tidak adanya hubungan antara Mas Wid dengan orangtuanya selama ini, tetapi kemungkinan yang sekecil apa pun harus ditelesih. Dia akan menelepon kantor polisi di sana guna mencari inforrnasi. Di samping itu dia juga akan mengirim orang ke rumah sakit pusat dan balai-balai pengobatan lain di kota-kota sekitar Semarang. Siapa tahu Mas Wid terjebak dalam kekalutan.
Ibuku seperti biasa tenang meyakinkan dan mendukung kekuatan batinku. Dia dijemput Mas Gun, menengokku sore hari keesokannya. Sudah diterima berita bahwa mertua dan semua keluarga di Klaten tidak mengetahui sesuatu pun. Kemudian hari-hari lain menyusul dengan kewaswasan dan ketidaktentuan yang sama. Itu tidak berarti bahwa kegiatanku sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pembuat makanan berhenti. Aku justru sadar bahwa keperluan uang akan semakin nyata.
Berita lebih panjang dan lebih lengkap bergantian terdengar atau dibawa tetangga, semuanya membicarakan kengerian yang terjadi di Ibukota maupun di tempat-tempat lebih dekat. Kekalutan yang disebabkan oleh pihak Komunis menyebabkan pembantaian besar-besaran. Yang disiarkan oleh media massa ialah kematian orang-orang terkemuka dan berpangkat.
Rakyat yang selalu tanpa nama bergelimpangan di manamana, mengambang di sungai, atau menyumbat parit kampung dan desa. Tak ketahuan jelas siapa nama dan dari mana asal mereka. Kebanyakan mayat sudah tidak dikenali muka maupun pakaiannya. Kebanyakan kematian itu dituduhkan pada kaum Komunis. Meskipun barangkali, dalam masa kericuhan semacam itu, kesempatan pembalasan dendam juga bisa terjadi. Bunuhmembunuh bukan hal yang biasa. Tetapi di waktu perang dan
119 tuk menamatkan riwayat orang yang tidak disukainya.
Hatiku yang runyam oleh suasana yang gawat serta tidak menentu itu baru mendapatkan setitik pandangan terang satu setengah bulan kemudian. Suatu sore, Ibu datang diantar Mas Gun untuk mengatakan bahwa Mas Wid ditahan di sebuah tempat. Ada bukti-bukti bahwa suamiku anggota Partai Komunis. Kabar itu memukul dan menghantam jiwaku. Seandainya aku diberitahu bahwa Mas Wid ditemukan mati, barangkali aku akan lebih bisa menerimanya sebagai kenyataan. Walaupun keakhiran tersebut dipaksakan. Terlibat dalam satu intrik politik, apalagi dia komunis!
Ah! Aku terkejut bagaikan jatuh terlempar dan terjerembap dengan muka terbentur ke tanah. Sungguh aku sukar menerima kenyataan tersebut. Mengapa hal seperti ini kualami" Pilihan orangtuaku rupa-rupanya meleset sama sekali. Dua paman kami terbunuh dalam peristiwa Madiun di tahun empat puluhan karena mereka tidak mau menggabung ke pihak Komunis. Bapak yang selalu mengingatkan pernah bekerja sama dengan Mas Wid selama zaman perjuangan tidakkah melihat benih-benih idenya yang mengarah ke kiri" Ataukah suamiku berubah dengan mengalirnya zaman dan waktu"
Mas Gun bertanya apakah aku ingin menengok suamiku. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu kutolak. Kecewa dan putus asa memenuhi hatiku sehingga tak sedikit pun tertinggal nalar yang seharusnya mengarahkanku pada perbuatan praktis. Untunglah ibuku mengingatkan kewajibanku. Katanya, sebaiknya aku menemui Mas Wid. Kalaupun tidak didasari perasaan rindu dari pihakku, pertemuan itu dapat dipakai untuk menentukan apa tindak lanjut yang harus kulaksanakan.
120 tahanan sementara itu, meskipun kasusnya sudah masuk ke tangan yang lebih berwenang, dia masih bisa menolongku. Keadaan sementara itu sampai kapan" Barangkali hanya sampai besok pagi atau lusa, polisi seperti Mas Gun masih berhak mencampuri urusannya. Keputusan lain dapat saja datang sewaktu-waktu. Dalam hal itu, bekas anak buah ayahku tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Aku menuruti nasihat ibuku. Surat izin menengok kuterima keesokan harinya. Dan hari berikutnya aku bertemu dengan Mas Wid setelah antre bersama para pengunjung lainnya. Mengikuti petunjuk Ibu pula, aku membawa sedikit pakaian, lauk-lauk kering, sikat gigi, odol, dan sabun. Mas Wid kelihatan kurus. Dia kaget menerima kedatanganku, langsung memeluk dan menciumiku. Terdorong oleh perasaan hati, aku kaku menanggapi pengucapan kehangatannya itu. Hampir-hampir aku menoleh menghindari ciumannya.
Ruangan setengah terbuka yang sempit tempat kami bertemu penuh sesak. Suara percakapan dan tangis sangat gaduh, membikinku semakin tidak betah. Mas Wid menarikku ke pinggir. Dengan masih menggenggam tanganku, dia menanyakan keadaan anak-anak dan aku sendiri. Aku menjawab seperlunya. Ketiga anakku kebetulan sedang tidak sehat. Widowati demam, dibawa Ibu ke rumahnya. Lalu Mas Wid memberi nasihat agar aku baikbaik memberi didikan kepada anak-anak.
Kepenuhan hati yang kutahan-tahan selama itu bagaikan air di gelas yang telah mencapai pinggiran batasnya, lalu ditambah satu atau dua tetes lagi sehingga meluap tertumpah ke segala arah. Begitulah keadaanku pada saat itu. Langsung saja aku menangkis kalimatnya dengan kata-kata penyesalan terhadap dia yang hanya
121 tidak bertanggung jawab. Buat apa sih ikut-ikutan berpartai, berpolitik"! Kalau ada kesusahan seperti sekarang, bukan Mas Wid saja yang merasakan. Anak-anak dan istri pun terbawa-bawa!
Aku tidak mau membicarakan hal itu, katanya, dan seketika itu dia melepaskan tanganku.
Aku terheran-heran mendengar jawabannya. Untunglah aku lebih sigap berbicara kali itu daripada di waktu-waktu yang lampau. Aku ingat mengapa aku berada di sana.
Baik. Kita tidak akan membicarakannya. Sekarang yang hendak kutanyakan ialah menurut Mas Wid, bagaimana aku harus menghidupi anak-anak dan diriku. Apakah Mas Wid masih melarang aku kembali mengajar" Seandainya Mas Wid melarang pun, aku tetap harus berbuat sesuatu supaya kami tetap hidup. Sedangkan pekerjaanku adalah guru. Aku akan mencari sekolah yang mau menerimaku. Tentu tidak akan mudah, karena sekarang orang tahu bahwa aku istri laki-laki yang terlibat dalam kericuhan politik.
Pertemuan itu sangatlah menyakitkan hati. Di pihaknya, Mas Wid memperlihatkan kehendak untuk mengetahui apa yang terjadi selama dia berada dalam tahanan, siapa-siapa saja yang terciduk atau tertangkap, dan siapa yang ketahuan meninggal. Sedangkan di pihakku, aku ingin menusuk-nusuk, menggeledah pikiran dan hatinya. Mencari sebab mengapa dia menjadi komunis hingga mengabaikan kepentingan keluarganya. Dalam pembicaraan yang serba kaku dan tegang itu dia mengatakan telah memberitahu orangtuanya mengenai nasibnya. Dia menganjurkan, kalau aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan, lebih baik ke Klaten. Turut hi122 mengekang ketajaman mulutku.
Apa Mas Wid kira aku punya muka untuk berbuat semacam itu" Sejak kita kawin, tidak satu kali pun kita mengunjungi mereka. Kalau aku mengusulkan, Mas Wid selalu bilang nanti saja, nanti saja sampai anak kita tiga! Sekarang, kita dalam kesusahan, tiba-tiba Mas Wid ingat kepada mereka! Alangkah nistanya! Tidak! Aku barangkali akan mengetuk pintu siapa saja. Tapi pintu mertuaku, tidak bakal kuketuk! Aku masih punya Ibu. Kalau aku harus berlindung, ke rumahnyalah anak-anakku akan kubawa!
Sebenarnya kamu hanya membesar-besarkan masalah, Mas Wid masih berusaha mempertahankan diri. Kata-katanya sumbang, palsu. Mereka kan orangtuaku. Mereka juga berkewajiban melindungi istri serta anak-anakku. Mereka pasti mau menerimamu. Setidak-tidaknya mereka punya. Hidup mereka tidak kekurangan.
Aku semakin penasaran mendengar kalimatnya yang terakhir. Apa dikira ibuku hidup kekurangan! Semua kiriman yang kubawa buat Mas Wid hari ini, dialah yang membelikan. Soal punya atau tidak punya, itu bukan alasan. Bagiku, yang penting, selama aku masih punya orangtua dan rumahnya terbuka untuk aku dan anak-anakku, ke sanalah aku pulang. Mengenai sowan ke Klaten, pasti akan kulakukan sebegitu kesempatan tersedia. Karena sementara ini polisi tentara melarangku ke luar kota. Setiap bulan aku harus lapor, seolah-olah aku ini seorang kriminal, kataku. Dan untuk semakin menandaskan betapa aku menyesali semua perbuatannya, kutambahkan, Kalau aku sowan ke Klaten, akan kukatakan bahwa sudah lama sekali aku ingin ke sana, tapi Mas Wid tidak pernah memperhatikan usulku.
123 Dari satu tempat tahanan, suamiku dipindah ke tempat tahanan lain. Selama itu aku menunaikan kewajiban mengirim sesuatu sesuai dengan kemampuan keuanganku. Tapi aku tidak menengoknya lagi. Selain sangat sukar mendapatkan surat izin, juga aku berpendapat tidak ada gunanya kami bertemu. Semua keadaan rumah kusampaikan lewat surat.
Pada akhir tahun, dia dipindahkan ke Nusakambangan. Hingga di masa itulah aku mampu bertahan hidup sebagai satu keluarga yang berdiri sendiri. Keuanganku tandas. Lamaran untuk mengajar lagi tidak ada kabar beritanya. Untuk makan serta keperluan sehari-hari, aku sudah mengorbankan perhiasan yang dulu kukumpulkan dengan gajiku sendiri. Tunggakan sewa rumah belum kulunasi seluruhnya. Akhirnya aku menuruti desakan Ibu dan adik-adikku, pulang ke rumah orangtua. Lemari, alat-alat masak, pakaian dan ember cucian kuselamatkan, kubawa pindah. Perabotan lainnya kujual. Yang terlalu lusuh kubiarkan diambil siapa saja yang memerlukannya.
Hampir bersamaan waktunya, Siswi sekeluarga juga pindah, kembali ke kota kami. Suaminya, Winar, harus ke Jakarta mengurus surat-surat. Aku menyerahkan tindasan berkasku agar dicarikan informasi apa keputusan kementerian mengenai diriku. Ganik waktu itu bekerja di salah satu kedutaan RI di luar negeri. Kenalannya yang berkedudukan cukup tinggi di Kementerian Sosial menjanjikan bantuannya. Dia akan menghubungi bagian personalia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepulanganku ke rumah Ibu banyak membawa hikmah. Tekanan terasa lebih mudah ditanggung. Penderitaan bagaikan menjadi lebih ringan. Aku membantu kesibukan ibuku mengurus rumah, warung, pesanan makanan, dan penyewaan alat-alat pesta.
124 gudang. Peralatan pesta juga kubenahi. Isi warung yang berderet dijajakan tampak lebih rapi sejak rak dan meja kucat lagi. Ibu membeli beberapa pot, lalu kuisi dengan tanaman yang sudah berdesakan terlalu padat di tepi dan sudut halaman. Sebagian kuletakkan di depan warung sehingga mengubah pemandangan. Melihat perubahan yang nyata itu, adikku yang paling muda menjadi tergugah. Dia mau mengecat kembali seluruh warung Ibu.
*** Aku harus menunggu lebih dari dua tahun lagi, barulah surat keputusan untuk mengajar kuterima. Aku kembali bekerja di tempat yang sama. Sekolah itu lebih dekat dari rumah ibuku. Dan mulai dari saat bekerja, hari-hari lewat bagaikan asap, cepat dan tidak tampak. Tetapi bekas-bekas pergulatan selama itu meninggalkan guratan setengah lingkaran di bawah mataku. Setiap kali aku berkaca, garis-garis yang tercoret di sisi kedua mataku mcngingatkanku pada ketajaman malam-malam tanpa tidur yang menguasai hidupku akhir-akhir itu.
Uluran tangan dan simpati yang kuterima dalam bentuk perbuatan nyata datangnya hanyalah dari ibuku dan sahabatsahabatku. Kebanyakan kerabat, saudara serta kenalan berpaling muka karena mereka takut dicurigai terlibat. Suara-suara seperti: Dia istrinya; mustahil tidak tahu apa-apa! Atau: Siapa tahu, dia juga anggota Gerwani! Orang-orang seperti itu pandai menyelundup! tak hentinya dibisikkan tetangga atau kenalan, bahkan keluarga ayah-ibuku sendiri.
Interogasi yang kualami di kantor mereka yang berwenang, yang resmi ataupun yang tidak resmi, satu rentetan terus-menerus
125 cayaanku terhadap maksud baik manusia. Dimulai dari saat orang mengetahui bahwa suamiku masuk penjara karena kegiatannya dalam partai yang nyaris merobohkan pemerintah, aku sebagai istrinya yang tidak mengetahui utara-selatannya tidak berhak lagi berbuat kesalahan sekecil apa pun. Setiap melangkah, harus kupikir dan kuperhitungkan baik-baik. Setiap kata harus kutimbang serta kurenungkan masak-masak sebelum terucapkan di mulut yang serba biasa membungkam di muka umum sejak perkawinanku. Surat keputusan bekerja kembali yang sangat lama kunantikan ini pun kemungkinan besar disebabkan oleh penungguan hasil penyelidikan yang saksama oleh pihak yang berwajib.
Barangkali seharusnya aku bersyukur karena tidak masuk tahanan juga selama itu. Apa pun jenis hinaan, bagaimanapun lemahnya sindiran yang kuterima, baik secara terang-terangan atau diucapkan di belakangku yang bersangkutan dengan kenyataan bahwa suaminya terlibat , kupingku memanas mendengarnya. Dan bersamaan dengan itu, kata-kata atau bisik-bisik itu jatuh ke hatiku bagaikan sengatan angin beku dan berbisa yang memedihkan. Mulai saat itu pula rasa dendamku menumpuk selapis demi selapis. Seandainya aku hidup jauh dari ibuku, pastilah aku sudah dijangkiti rasa rendah diri yang menghancurkan segala kepercayaanku. Baik percaya diri, percaya kepada sesama manusia, maupun percaya kepada keagungan Tuhan dengan Maha Kebajikan-Nya.
Setelah aku mapan bekerja tiga bulan, ibuku memberi gagasan yang kuanggap luar biasa. Pada suatu hari Minggu, dia membekaliku uang bis dan menyuruhku pergi ke Klaten dengan membawa Eko. Kata Ibu, aku tidak memunyai alasan lagi mengapa tidak memulai
126 lalu aku boleh meninggalkan kota, tetapi keleluasaan itu belum pernah kumanfaatkan. Kini aku sudah mempunyai gaji. Sekecil apa pun, sebagai bukti kemampuanku dipercaya oleh kementerian untuk mengajar kembali. Aku sama sekali tidak kehilangan muka. Ibu menambahkan bahwa aku harus menunjukkan, bahwa justru tanpa suami sekarang aku dapat menuruti keinginanku sowan. Ini penting: tekankan kepada mertuamu bahwa kamu datang karena kamu ingin mengunjungi mereka. Dan bahwa keinginan ini sudah lama terkandung dalam hatimu.
Aku berangkat dengan bis pertama. Umur Eko hampir sepuluh tahun waktu itu. Sejak perkawinanku, baru dua kali aku bertemu dengan orangtua suamiku. Pertama kali ketika kami kawin. Mereka datang menghadiri pernikahan. Kedua kalinya, ibu suamiku bertandang ke rumah saudaranya di Semarang. Aku baru melahirkan Widowati. Dan hari ini, tanpa pemberitahuan, aku mengunjungi mereka.
Setiba di sana, aku segera melihat siapa ayah suamiku. Dia adalah semacam tuan tanah pedesaan yang hidup sejahtera dengan mempekerjakan puluhan buruh tani di sawah serta kebun pisang. Selama kunjungan dua jam itu aku mengetahui banyak hal. Yang jelas dan kurasakan tulus ialah sambutan hangat, rangkulan erat ibu suamiku, dan keramahan yang terbuka dari mertuaku lakilaki. Meskipun demikian, aku tetap waspada, menerima semuanya dengan sikap sebiasa mungkin, penuh hormat yang tanpa berlebihan, karena aku belum kenal dengan mereka. Aku tahu kedudukanku. Tetapi aku tidak tahu, atau belum yakin, sampai di mana kedekatan anggapan mereka terhadap aku sebagai istri anaknya Widodo. Hari itu pula aku agak mengerti mengapa suamiku memilih pamannya sebagai sesepuh yang melamarku dulu.
127 sekarang di Lampung. Saya sendiri tidak suka kepada adik saya itu. Pikirannya serba aneh. Selalu memberontak. Tidak pernah puas dengan keadaan. Dia iri akan keberhasilan saya mengelola tanah di sini. Tapi dia sendiri tidak berusaha apa-apa. Bagiannya malahan dia jual, uangnya tidak ketahuan ke mana.
Ya, sayang sekali. Saudara Bapak yang laki-laki hanya satu itu. Kalau dia berhasil mempengaruhi Widodo untuk menjauhi kami, ya kami tidak kehilangan banyak karena anak kami lima, semuanya laki-laki. Tapi kan anak laki-laki lima bagi kami juga berarti mantu perempuan lima sebagai ganti anak perempuan yang tidak pernah kami punyai, kata ibu mertuaku. Dan kalimatnya itu kuanggap sangat membujuk, menyenangkan.
Bagaimana caranya Paman mempengaruhi Mas Wid, Bu" Setahu saya, dia lama berjuang dulu. Waktu itulah bapak saya banyak bekerja sama dengan dia.
Nah, itulah yang tidak begitu kami ketahui. Pamanmu waktu itu berada di Madiun. Kami malah curiga, mungkin waktu itu dia sudah ada di pihak ekstrem kiri. Dan sepulang dari perang kemerdekaan, dia mendekati anak-anak muda. Widodo rupa-rupanya terpikat. Nyatanya.... Bapak mertuaku tidak meneruskan. Tapi aku sudah mengetahui lanjutannya: Nyatanya Mas Wid masuk penjara karena terlibat.
Hari itu aku mendengar dan mengenal nama-nama yang belum pernah kuketahui menjadi saudara suamiku. Tiga anak tersebar ke daerah-daerah di luar Jawa. Yang paling kecil paling jauh perginya. Sebegitu selesai sekolah teknik, juga ke Surabaya. Semula mertuaku khawatir, jangan-jangan dia juga masuk ke genggaman sang paman.
Tapi kalau saya lihat, Handoko punya kemauan sendiri. Sedari
128 gambar perahu, jembatan, pasti dia gunting, dia kumpulkan. Barang permainan apa saja, yang sederhana atau yang rumit, seperti kodok-kodokan dan mobil kecil, keduanya dibuka untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Pantas dia sekarang ingin jadi insinyur kapal, ibu suamiku memberikan pendapatnya.
Pendekar Latah 7 Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya Payung Sengkala 3

Cari Blog Ini