Jalan Bandungan Karya Nh Dini Bagian 6
Saya minta semua ini diurus secepat yang dapat anda kerjakan. Semua ini menjadi beban bagi saya sehingga tidak akan bisa tenang menghadap Tuhan. Tanpa surat-surat resmi dan pembagian yang pasti, akan ada kericuhan. Saya tidak rela kalau rumah dan tanah jatuh ke tangan pemerintah atau orang-orang lain.
Ya. Saya mengerti. Akan saya kerjakan secepatnya. Tentu saja anda mengambil imbalan dari uang yang biasanya. Saya minta diberi laporan perhitungan paling akhir. Tentunya sudah ada, bukan"
Ya, sahut Notaris sambil melihat kepada sekretarisnya. Besok pagi saya suruh kirim, sekretaris itu menanggapi. Rundingan mencapai kesepakatan kapan kertas akan ditandatangani dengan saksi-saksi yang sudah disebutkan. Sri mengantar tamu ke luar. Aku terpaku di kursiku memandangi Ganik. Mulutku terkunci. Pengucapan di wajahku barangkali begitu aneh sehingga temanku menegur. Suaranya hampir membentak.
316 yang kamu ingin dapatkan tapi terlewatkan tidak terpikir olehku"
Aku bangkit mendekatinya. Kudesak dia agak ke dinding supaya aku bisa duduk di tepi dipan bersamanya. Kuambil tangannya.
Aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan.
Ya sudah diam saja. Asal jangan cengeng. Kalau kau menangis, aku sakit kepala.
Sri menaiki tangga dari halaman, mendekati kami. Dia berlutut di samping dipan, memandangi kami berdua.
Aku bilang kepada Mur bahwa kalau dia menangis, bikin kepalaku pusing.
Kupeluk sahabatku erat dan kutahan airmataku sekuat kehendakku. Dia membiarkan sejenak dirinya kurengkuh. Lalu menjauh, mencium pipiku.
Aku senang karena kau hampir cerai. Aku tanyakan kepada Winar. Katanya, dia sudah menelepon saudaranya di Jakarta. Paling lambat pekan ini juga kau akan menerima surat. Bersamaan dengan itu, rumah ini sah akan menjadi milikmu. Kuharap kau tidak berkeberatan membiarkan aku tinggal di sini sampai hariku yang terakhir.
Jangan bodoh begitu! kataku menyesalinya. Lalu kuteruskan, Jadi tanah kosong di samping ini juga kepunyaan ayahmu"
Ya. Bapak bercita-cita membangun klinik tetirah sesudah operasi . Semacam hotel-klinik begitu. Dia ingin memberimu tempat di situ juga supaya kamu membikin Children Group berbahasa Inggris. Sebab itu rumah dan tanah itu kujadikan satu, buatmu. Ini memenuhi kehendak orangtuaku.
Aku benar-benar tidak bisa menahan airmataku. Tenggo317 cepat berdiri untuk bergerak. Kupandang luasan tanah seribu meter persegi atau lebih yang disebutkan di depan kami tadi. Pantas pagarnya rapi, tanamannya yang hanya sedikit di sana juga selalu tampak terpelihara. Rupanya memang si penjaga adalah pembantu rumah ini juga. Aku membalikkan badan. Kulihat Sri duduk di tempatku semula.
Sri tidak iri dengan apa yang kuterima" tiba-tiba aku khawatir.
Sri sudah tahu, kata Ganik. Dia kuberi rumahku yang di Jatiwaringin. Mur mendapat tanah ayahku di Condet. Itu sudah diurus ketika kami di Jakarta.
Kalaupun aku tidak mendapat rumah itu, aku juga bisa beli sendiri, kata Sri dengan ringan. Lain dari kau. Gajimu sebagai guru akan sampai ke mana"
Kalimatnya yang terakhir setengah mengejek, tapi aku tidak tersinggung. Dia memang benar.
Kamu benar bisa beli sendiri. Tapi masih harus nunggu memilih dan segalanya. Sedangkan ini kuberi, mau atau tidak harus kau terima. Kalau rundinganmu dengan orang Swiss itu jadi, kau harus punya rumah di Jakarta. Kau akan sering ke luar negeri, harus lewat Jakarta. Tinggal di rumah adikmu bukan merupakan jalan keluar yang baik. Ganik sudah menimbang dan memikirkan semua sebaik-baiknya. Dia menambahkan, Mur juga tidak memerlukan rumah. Dia sudah terlanjur menjadi orang seberang. Tanah di Condet itu biar dijadikan sebagai jaminan masa depan. Buat anaknya. Sama seperti tanah di Boja yang kuberikan kepada Siswi dan kalian berdua. Itu untuk anak-anak. Yayasan aku beri yang di arah Sampangan karena itu harganya sudah mahal sekarang. Biar dijual. Uangnya untuk menjalankan Rumah Yatim.
318 atur menuruti kebutuhan masing-masing. Dia memandang kepadaku sambil meneruskan, Kalau aku pergi, tolong beri sesuatu dari rumah ini kepada Mas Gun dan Irawan. Mereka berdua teman baik Bapak. Biar mereka menyimpan sesuatu yang nyata sebagai kenang-kenangan, dan pandangnya menyeberangi pintu masuk, ke arah ruang duduk.
Penyekat ruangan itu misalnya, kan ada dua. Biar kamu tidak merasa kehilangan. Meja marmer juga ada beberapa. Bisa kautentukan sendiri dengan pasangan kursinya. Tidak perlu empat. Itu ada kursi panjang dua. Kamu berikan satu, lalu carikan dua kursi yang cocok.
Aku tidak bisa menahan tangisku. Kali itu benar-benar keterlaluan. Ganik berbicara seolah-olah dia akan mati besok pagi. Padahal suaranya ringan dan jemih seperti dia meninggalkan pesan akan berlibur ke luar kota untuk kembali lagi pekan depan. Aku menoleh menyembunyikan gemetaran bibirku.
Aku hanya lupa menanyakan satu hal tadi kepada Notaris, Sri. Bagaimana dengan pemutihan rumah Ibu"
Yang dimaksud Ganik adalah rumah ibuku.
Aku juga belum tahu. Besok kalau perlu ditelepon. Mestinya kalau sudah siap, Ibu disilakan datang atau diberitahu. Aku tidak tahu bagaimana jalannya urusan itu, sahut Sri.
Ganik juga menyuruh orang kepercayaannya memperbarui surat-surat rumah ibuku. Dia memang penuh perhatian.
Semua harus beres. Jadi aku akan mati dengan tenang, kata sahabatku itu. Kuharap melihat semua surat-surat selesai, ditandatangani, barulah aku dipanggil Tuhan.
Siapa tahu, dengan tindakanmu ini, tiba-tiba kau sembuh, sehat kembali seperti dulu! kata Sri.
319 akan ke mana aku" Aku ingin melompat memeluknya lagi, membujuknya bahwa tentu saja dia bisa tetap tinggal di situ, di rumahnya. Tapi ketika kulihat matanya mengerling, seluruh pengucapannya penuh senyum, aku jadi gemas. Di waktu sakit keras seperti itu pun dia masih saja berkelakar.
Kau masih bisa lari ke luar negeri, kata Sri sambil menunduk, mencium dahi kawan kami yang tercinta.
Sebelum Sri pulang, Ganik memberitahukan tempat kertaskertas penting, memperlihatkan data-data keuangannya yang paling akhir. Dia sudah minta kepada banknya di dalam dan di luar negeri supaya dikirimi formulir seperlunya. Ganik akan menunjuk kami, Sri dan aku, sebagai orang yang disahkan berhak menandatangani cek atau menarik kembali uang yang dititipkan di bank-bank tersebut.
Ganik masuk rumah sakit. Secara sederhana, adikku yang sudah menjadi dokter dan bertunangan dengan teman sekuliahnya, kawin. Mereka segera berangkat ke Sulawesi Utara. Yang sekolah di Bandung juga sudah selesai, menjadi insinyur, juga merantau ke Kalimantan Barat. Adikku guru tetap di Jawa Timur. Sekarang sudah menjadi kepala sekolah di Batu. Ibu sudah merasa selesai pula tugasnya. Sebab itu dialah yang kelihatan nyata paling sedih dalam menanggapi keadaan Ganik. Di waktu duduk-duduk bersama kami di luar kamar rumah sakit, dia selalu mengulangi bahwa dia mau menggantikan tempat Ganik. Indonesia memerlukan orang-orang pandai. Dan wanita Indonesia yang pandai tidak banyak. Mengapa justru Tuhan membikin Ganik menderita, memanggil terlalu cepat Dokter Liantoro yang diperlukan oleh masyarakat" Katanya, dia
320 dekat selalu memberinya cinta dan perhatian. Apalagi Sri yang memang sedari dulu bekerjasama, berdagang dengan dia. Kadangkadang, jika temanku akan pergi ke luar kota hanya ulang-alik, dia mengajak ibuku. Memang ibu kami selalu siap untuk berjalanjalan. Lalu toko ditutup. Seto dan Wido pulang makan siang ke Jalan Bandungan. Sore Eko menjemput mereka. Atau jika aku sempat, sebelum kendaraan pulang ke rumah Sri, membawa kami ke rumah ibuku.
Bulan November datang dengan hujan yang beruntunan. Karena keadaan Ganik yang memprihatinkan, kami tidak berpesta ketika urusan perceraianku rampung waktu itu. Sebagai tanda bersyukur, aku mengirim sumbangan ke mesjid dan gereja terdekat serta ke Palang Merah. Setiap malam kami bergilir menemani, tidur di kamar Ganik. Dalam keadaannya yang menyedihkan, pada saat-saat kejernihan pikiran yang datang sekilas-sekilas, sahabat kami masih tetap memperlihatkan keunikannya yang selalu kami kagumi. Di saat semacam itulah di antaranya dia mengatakan bahwa dia minta supaya Tuhan tidak memanggilnya selama kertas-kertas hak milik yang diurus notarisnya belum selesai. Semula, aku mencurigai, barangkali dia juga menunggu ditengok kekasihnya. Ketika dia belum diangkut ke rumah sakit, kulihat masih datang dua surat dari Kanada. Karena tidak bisa menahan keinginan meringankan isi hatinya, aku menawarkan diri sebagai juru tulisnya. Kalau-kalau dia hendak memberi berita kepada teman-temannya. Tanggap, dia hanya tersenyum. Lalu katanya, Dia sudah tahu aku tidak akan menyurat lagi. Kami sudah saling menelepon yang terakhir kalinya. Kemudian kami sepakat hanya akan berhubungan dalam batin, dalam kenangan. Kalau dibenarkan oleh Tuhan, kami berkencan akan bertemu di
321 mejaku. Yang kugarisbawahi dengan tinta hijau itu yang harus kauberitahu jika aku mati nanti.
Kalimat-kalimat itu dia ucapkan seperti biasanya. Hatiku pedih bagaikan teriris. Mulutku turut terbungkam tidak menemukan sesuatu kata pun untuk menyahutinya.
*** Ketika Handoko menelepon, aku sedang mendapat giliran tidur di rumah sakit. Pembantu yang menerima, kurang jelas mengerti pembicaraan karena komunikasi yang buruk sekali. Kupikir, kalau Handoko pintar, tentu menelepon lagi ke rumah Sri. Sudah dua hari aku tidak bertemu sahabatku itu. Dia bergilir dengan Eko untuk menengok atau menemani Ganik. Hatiku harap-harap cemas, ingin segera mengetahui kapan Handoko datang. Namun aku malu bertanya kepada Ganik mengenai berita itu. Lalu tibatiba, setelah beberapa hari aku agak lupa karena terjerat oleh kesibukan rutin, Sri mengatakan akan menjemput Handoko keesokan harinya.
Dia sudah di Jakarta beberapa hari ini. Nanti malam naik kereta, aku jemput di Tawang. Kata Ganik, biar dia tidur di Jalan Bandungan. Kau suruh pembantu menyiapkan kamar tamu. Sudah lama tidak dipakai, kata Ganik.
Semua itu dikatakan dengan suara pasti. Bahkan nadanya sedikit memerintah. Seolah-olah aku tidak berhak memberikan suara.
Mur juga datang besok. Dia biar di rumahku saja. Kali itu aku membantah.
Mengapa" Dia juga bisa tinggal di Jalan Bandungan, aku
322 bahkan Ganik sendiri, selalu mengatakan nama jalannya.
Sri tidak cepat menyahut. Lalu katanya, Ganik yang bilang supaya Mur tidur di rumahku. Aku menurut. Dan lebih baik kamu juga. Mur dan aku santai. Bisa bersama memakai satu kendaraan. Kau masih sibuk mengajar. Kapan cutimu" Ibu dan kamu tetap berbagi colt. Tapi nanti kalau Handoko datang, biar dia yang bawa Suzuki. Dengan begitu, kalian berdua leluasa lebih bebas. Tapi dia harus mengantar dan menjemputmu.
Aku memang sedang ancang-ancang minta cuti tanpa digaji. Dengan keparahan penderitaan Ganik, aku ingin lebih bebas, bisa sering-sering berada di rumah sakit. Guru yang waktu itu sedang cuti melahirkan baru akan kembali mengajar pekan depan. Aku harus menunggu.
Handoko tiba, aku sudah berangkat ke sekolah pagi. Sri memapankan dia di Jalan Bandungan dan dipasrahkan kepada pembantu. Jam sebelas dia dijemput untuk menengok Ganik. Dan siang, ketika waktunya aku selesai mengajar, kendaraan kulihat mendekat. Handoko turun memapakku. Seolah-olah kami tidak pernah berpisah, lenggang dan senyumnya dari jauh tampak biasa dan begitu kukenal. Dia langsung mencium pipiku. Tas berisi map-map dan buku langsung dia ambil. Kami bersama-sama duduk di belakang. Sambil berkabar, badannya diarahkan menghadapku, matanya meneliti rambutku, wajahku, bajuku, kembali ke wajah. Ketika disadarinya bahwa aku mengetahui sikapnya, dia tersenyum. Barulah dia bersandar, menghadap ke jalan. Tangannya meraih, mengambil tanganku. Kami tidak saling memandang. Kami juga berhenti berbicara.
Selama berada di meja makan, aku kewalahan menghindari pandang Handoko. Rasa-rasanya debaran jantungku sedemikian
323 telah makan, aku biasa minum teh hangat manis sebagai bekal energi untuk mengajar di sekolah sore. Kami duduk di ruang buku. Jendela-jendela di sana lebar dan menghadap ke kebun dalam. Oleh karenanya, di siang hari, ruangan itu selalu sejuk. Handoko melihati deretan judul buku-buku yang teratur di rak, hingga ke langit-langit rumah. Kulihat ada jendela kasa anti nyamuk yang kurang rapat. Aku bangkit untuk menutupnya. Ketika aku berbalik, Handoko berdiri dekat di hadapanku. Pinggangku dirangkulnya, dia mengecup bibirku sebentar. Sedari tadi aku mengkhawatirkan ini akan terjadi. Dan ketika pandangnya lebih dekat tertancap di mataku, aku menjadi gamang. Kebakaran yang menggelegak dalam diriku serasa tak tertahankan. Handoko mencium lagi. Kali itu dia menegukku tuntas, bermain dan membelai dengan lidahnya. Aku meleleh dalam sentuhannya. Ketidaksabarannya keras dan kuat menekan perutku. Segalanya lepas, tertanggal dari kepalaku. Aku lena menuruti dan menganut gerakannya. Kubiarkan diriku terdesak ke arah dipan.
Delapan tahun aku tidak bermain cinta. Aku juga tidak pernah merasakan kebutuhannya. Apa yang terjadi siang itu amat melegakan sekaligus mengejutkan diriku sendiri. Lega karena aku masih bisa. Kaget karena aku sedemikian cepat siap untuk menerima, langsung disusul ledakan bersama yang belum pernah kualami dengan bapaknya anak-anak. Dan malamnya, ketika kami yakin bahwa sahabat-sahabatku memang membiarkan kami berduaan berkangenan, aku merasakan kenikmatan paling padat yang belum pernah kudapatkan selama hidupku. Seolah-olah hendak memperbaiki desakannya yang setengah memaksa siang tadi, malam itu Handoko mengulur waktu. Dia bikin lubang-lubang di kulit seluruh tubuhku tersengal menerima kecupan dan ciuman324 cara pencapaian kepuasan yang dia yakin merupakan pikatan yang memabukkan aku. Yang akan menyatukan aku pada dirinya untuk selama-lamanya.
Dan Handoko memang telah berhasil menyihirku. Sejak malam kami berjalan bersama di dunia cinta itu, tak akan aku bisa melewati hari-hariku selanjutnya tanpa memikirkan dia. Pada saat apa pun, di mana pun, ketika bisikan namanya terpetik di telinga hatiku, seluruh hayat aku menjadi tegang. Usapan udara hangat serasa naik ke wajahku. Semua bulu di badanku meremang. Sesuatu di kedalaman diriku menanti. Begitu saja aku telah siap untuk menerima kedatangannya.
*** Musim hujan sudah berada di seluruh pesisir utara. Kota kami menerima tumpahannya sehingga berkali-kali mengalami banjir. Tata bangunan yang sejak selesai perang tidak selalu mengikuti aturan semestinya, menyebabkan jalan-jalan tergenang air di waktu turun hujan lebat. Kalau orang terpaksa keluar pada saat atau sesudah hujan, terpaksa dia menghindari bagian-bagian tertentu di dalam kota.
Aku baru akan cuti setelah guru yang melahirkan kembali mengajar. Sejak Handoko datang, aku tidak dikenakan giliran tidur di rumah sakit. Kami berdua menengok Ganik. Sahabatku ini bahkan satu kali mengusirku dari kamarnya, karena dia ingin berbicara sendirian dengan Handoko.
Pada waktu itulah keluargaku mendapat cobaan lagi. Karena kami makan di rumah Sri, kami baru pulang jam setengah sepuluh malam. Pembantu mengatakan bahwa dua kali ada
325 terangan. Beberapa saat kemudian, dia balik menelepon. Katanya jelas: Eko ada di rumah sakit umum, karena mobilnya terbalik di Pudakpayung. Kami berjanji akan bertemu di rumah sakit. Handoko mengantarkan aku ke sana.
Kami temui Eko belum dirawat, masih menunggu. Katanya, sudah satu setengah jam dia berada di ruangan tersebut. Dalam memandangi anakku yang menceritakan apa yang terjadi, aku merasa tenang. Aku teringat kegugupanku ketika dia terkena tusukan di perut beberapa tahun yang silam. Kali itu anakku tampak utuh. Di betis tergores luka kecil. Tetapi dia mengatakan bahwa kakinya sakit sekali. Dia mengira ada tulangnya yang retak atau patah. Dia sampai ke ruang itu karena didorong dengan kursi roda. Untuk berdiri pun dia tidak sanggup.
Rupa-rupanya sejak siang dia tidak pulang. Dia singgah di rumah temannya. Lalu kakak teman itu mengajak mereka ke Ungaran mengambil obat buat ayah mereka. Eko mau, karena pikirnya, daripada menganggur di rumah. Ngobrol ini dan itu, mereka baru sadar harus kembali ke kota ketika hujan sudah turun jam setengah tujuh petang. Lalu lintas mulai pukul lima sore selalu padat di antara Ambarawa atau Salatiga dan kota Semarang. Truk dan bis saling mengejar dan hendak saling mendahului. Di Pudakpayung, karena membanting setir keterlaluan untuk menghindari tabrakan, mobil anak-anak muda itu terguling, meluncur ke sawah. Untunglah tidak menghantam jembatan yang terkenal gawat di daerah itu.
Baru ketika Mas Gun campur tangan, Eko mendapat perawatan semestinya. Lalu kusadari betapa aku tidak merasa was-was sedikit pun. Barangkali karena aku sudah lebih tua. Atau karena Handoko ada di sisiku. Mungkin juga karena aku merasa sudah
326 dan membikin kesakitan hatiku. Maka setelah kaki Eko difoto dan digips, aku semakin tenang tanpa rasa ketidakpastian yang mana pun. Kami mengantar Eko masuk ke bangsal bersama lima pasien lain. Kata dokter jaga, Eko akan boleh pulang beberapa hari lagi. Perawatan bisa diteruskan dengan kunjungan teratur ke rumah sakit.
Sejak bersama dengan Handoko, secara perlahan tetapi pasti, aku berusaha mempengaruhinya supaya menengok orangtuanya ke Klaten. Dia berdalih, katanya menunggu aku cuti. Lalu kami berdua sowan ke sana. Terus terang, aku enggan pergi berdua ke Klaten. Ya, aku bodoh seperti kata Sri, seperti kata Siswi, karena aku masih terlalu memikirkan apa kata orang . Aku baru cerai dari Widodo. Sekarang bersama dengan adiknya! Sejak pulang dari luar negeri, aku belum mempunyai kesempatan ke luar kota. Memang sesungguhnya ada alasan buat ke Klaten. Kini, dengan kejadian yang menimpa Eko, aku merasa berkewajiban menghubungi Irawan. Dia belum tahu bahwa. Handoko ada di Indonesia, di rumah Ganik, yang juga menjadi milikku.
Malam itu aku menelepon Irawan dan memberitahu seperlunya. Tepat keesokan harinya dia harus ke Surabaya. Di sana ada lokakarya selama sepuluh hari. Setibanya di sana dia akan melihat jadwal dan suasana. Dia akan ke Semarang secepat mungkin. Lalu telepon kuberikan kepada Handoko. Sesudah lewat kalimatkalimat keterkejutan, agak lama mereka mengobrol.
Mulai keesokan harinya, Ganik minta supaya Eko dipindah ke rumah sakit yang sama dengan dia. Aku ragu karena memikirkan biaya. Tapi Mur dan Sri bertindak tanpa menunggu pendapatku. Ketika Irawan datang dua hari sesudahnya, kami bertemu di kamar Ganik. Kemudian dia menghilang bersama Handoko untuk
327 kembali memanggilku. Katanya, Irawan sedang mengantar Eko ke ruangan darurat. Gips harus dibuka karena Irawan mencurigai sesuatu. Kali itu aku kehilangan akal. Langsung bergegas mencari anakku. Gugup dan tidak sabar mendesak-desak di dadaku. Rasa takut, rasa bersalah karena kemarinnya bersikap tenang dan tidak cukup berdoa buat keselamatan keluargaku membikin aku gemetar.
Yang selanjutnya dialami anakku adalah di luar bayangan siapa pun di antara kami orang lingkungan dekatnya. Apalagi aku ibunya. Meskipun kakinya sudah mendapat perawatan dan digips, setiap hari dia memang terus mengeluh karena rasa sakit yang amat ngilu dan pedih. Padahal Eko bukan anak yang suka mengeluh. Aku sudah mengatakan hal itu kepada dokternya. Dia menjawab itu normal. Akan ditunggu lagi perkembangannya. Ternyata kaki Eko membusuk karena gangren sudah menguasai bagian bawah hingga ke lutut. Kaki harus diamputasi untuk menyelamatkan pasien.
Aku tidak pernah tahu-menahu masalah medis. Nama-nama obat yang diberikan di waktu aku sendiri sakit pun selalu lupa. Handoko menjelaskan secara singkat bahwa disebabkan oleh tidak adanya oksigen di dalam jaringan otot, kuman anaerobe tumbuh pesat. Kuman itu bisa saja masuk ke luka yang tampaknya hanya goresan. Lorong rumah sakit atau bahkan ruangan perawatan darurat tidak selalu bebas kuman. Aku hampir pingsan mendengar kabar tersebut. Kami keluarganya harus memutuskan apa yang akan dikerjakan, paling tidak sebelum dua puluh empat jam mendatang. Karena jika kaki tidak dipotong, kuman akan naik ke paha dan meracuni seluruh tubuh.
Pertama-tama yang kupikir ialah Tuhan menghukumku. Sebe328 aku telah memuaskan diri semau-mauku bersama Handoko. Tuhan tidak berkenan. Dia menghukumku lewat anakku yang tidak bersalah. Aku harus menjauhi Handoko. Dia merupakan tantangan iblis yang harus kutaklukkan. Sambil hendak berpikir lebih terang dan tenang, aku tinggal di rumah sakit semalaman. Irawan dan Handoko pulang ke Jalan Bandungan. Sahabatsahabatku jelas menasihatkan amputasi. Ibuku juga. Eko masih dalam koma, belum bisa diberitahu. Aku tidak berani bertanggung jawab, menyerahkan segalanya kepada Irawan.
Aku takut menghadapi seorang diri. Irawan kuminta berada di sampingku ketika Eko mulai sadar. Kutahan airmataku sebisanya. Kubiarkan Irawan berbicara dengan kemenakannya. Setelah dua hari keadaan anakku agak stabil, Irawan berangkat ke Surabaya dan berjanji akan kembali lagi. Handoko bisa dipengaruhinya, turut pergi bersamanya. Dia hendak memperkenalkan adiknya dengan relasinya di Surabaya. Banyak bidang usaha besar dan bangunan, mungkin Handoko bisa menemukan sesuatu yang cocok.
Mengeluarkan isi hatiku kepada sahabat-sahabatku agak meringankan tekanan yang menghimpit perasaanku. Kata Siswi, Eko bersalah karena kecelakaan itu menimpanya ketika dia pergi tanpa pamit. Apalagi ke luar kota. Kepada Eko, temanku itu berkata bahwa orang tua itu malati, bisa menimbulkan kuwalat jika tidak dihormati. Selagi masih hidup dalam tanggungan ibumu atau eyangmu, kamu harus taat dan menghormati mereka, kata Siswi kepada anakku. Kamu sudah besar dalam arti umur, tapi kamu masih berada di rumah orangtua yang membiayai hidup dan studimu. Jadi bukan merupakan hal yang aneh jika Tuhan mengingatkan kamu bahwa orangtua itu perlu dituruti ajarannya.
329 dengan ketenangan. Setidak-tidaknya begitulah yang kelihatan. Dia bahkan bisa berkelakar bersama adik-adiknya mengenai kakinya yang sekarang cacat itu. Katanya, jika pada suatu saat kelak dia terjepit dan sukar melepaskan diri, dia hanya harus mengendorkan ikatan di pinggulnya dan kaki palsunya akan ditinggal saja tertindih terus. Sementara dia sudah membebaskan diri. Aku tidak tahan mendengarkan pembicaraan seperti itu.
*** Tanpa sepengetahuanku, rupa-rupanya Handoko sudah mencari keterangan bagaimana perkawinan di Pencatatan Sipil dilaksanakan. Sri menanyakan mengapa Handoko ingin tahu. Katanya dia ingin kawin dengan aku sebelum berangkat lagi ke Eropa.
Apa yang dikatakan Sri ini menjadi pikiran bagiku. Mengapa Handoko begitu cepat mengambil keputusan" Aku takut dia akan menyesal kelak. Lain dari hal-hal yang telah lewat, kali itu Sri dan Ganik sependapat dengan aku. Mur dan Siswi netral, terserah kepada yang menjalani, berarti kepada aku dan Handoko. Ganik mengira, barangkali dia berbuat begitu karena hendak melindungi aku. Sudah tinggal serumah dan nyata bepergian bersama ke mana-mana, tetapi belum resmi kawin.
Padahal yang sesungguhnya, hal itu sama sekali tidak merupakan masalah bagiku. Handoko akan segera pergi lagi. Dia memang ingin balik menetap di Indonesia jika ternyata bisa ditemukan kontrak yang menarik. Sekurang-kurangnya untuk jangka waktu pendek, sebagai permulaan sebelum mapan betul-betul. Menurut pendapatku, di waktu dia kembali lagi itulah kami baru akan mengambil keputusan mengenai pergaulan kami. Karena
330 merasa terikat. Akan ada rasa harus kembali karena istriku menunggu . Siapa tahu di sana dia mendapat kontrak yang lebih menarik, bertemu dengan perempuan lain yang lebih muda dan cocok" Debat yang terjadi dalam diriku kukatakan kepadanya ketika dia menelepon dari Surabaya.
Di telepon, mula-mula dia mengatakan bahwa Irawan tahu mengenai hubungan kami. Kutanyakan apa pendapat kakaknya. Handoko tidak peduli, katanya. Yang penting, kami berdua tidak berbuat kesalahan. Lalu dia berbicara mengenai perkawinan.
Apa menurut Mbak Mur tidak lebih baik jika kita kawin sebelum aku kembali ke Eropa"
Dia melamarku. Mbak Mur, panggilnya, karena aku terdiam.
Lalu, Bagaimana kemauanmu sebenarnya" Tinggal di Indonesia atau di Eropa"
Di Indonesia. Baru dua pekan kamu di sini. Untuk keputusan apa pun, sebaiknya kau tunggu dua pekan lagi. Tiketmu berlaku sampai Januari, bukan"
Ya. Tapi aku sudah mantap, ingin kawin dulu dengan Mbak Mur.
Aku diam lagi. Apa yang Mbak Mur tunggu lagi" Aku ingin kita bisa bebas, kelihatan bersama-sama. Kalau tidak, kita akan sembunyisembunyi terus karena Mbak Mur malu kelihatan selalu bersama aku, bukan"
Dia tahu betul sifatku. Kuminta pikirkan lagi baik-baik. Aku khawatir kau menyesal kelak. Perbedaan kita besar. Aku sudah hampir punya cucu
331 itu. Jangan bicara yang aneh-aneh. Mbak Mur mestinya kan tahu bahwa aku bukan orang serampangan. Kalau aku mempunyai pendapat, kelak pun akan tetap sama. Mbak Mur tidak mempercayaiku.
Bagaimana aku akan mudah percaya" Perkawinanku yang terdahulu membikinku hampir dua puluh tahun terombang-ambing.
Mestinya sekarang Mbak Mur sudah tahu bagaimana aku ini yang sesungguhnya.
Justru itulah! Aku masih ragu mengerti, bagaimana kamu yang sebenarnya. Dan apakah tidak akan berbalik bertolak belakang dalam waktu-waktu mendatang. Semua orang berubah. Aku tahu, karena itu memang perkembangan jiwa yang dipengaruhi pengalaman serta lingkungan. Tetapi apakah perubahan itu layak menuruti ukuran normal ataukah keterlaluan, itulah yang aku khawatirkan. Aku minta maaf, tapi benar-benar sukar percaya sekarang. Dan hampir kutambahkan bahwa dulu kakaknya juga berubah. Padahal orangtuaku mengira mengenal sifatnya. Tapi mereka pun terkecoh.
Aku menyarankan agar pembicaraan itu diteruskan jika kami bertemu lagi. Lalu Irawan ingin berbicara denganku. Seketika aku menjadi gugup, karena mengetahui bahwa selama kami berunding mengenai perkawinan itu, Irawan berada tidak jauh dari Handoko. Kukira kakak itu akan mengatakan pendapat atau usulnya mengenai hubungan kami berdua. Tetapi tidak. Dia menanyakan kabar Eko. Kemudian dia mengatakan bahwa setelah dipikir-pikir, dia bermaksud membawa anak sulungku hidup bersamanya di Ujung Pandang. Dia sudah berbicara dengan istrinya mengenai hal itu.
332 menjadi Arjuna di tengah putri-putri itu. Kalau Mbak Mur sudah pasti tidak berkeberatan, tolong katakan kepada Eko mau atau tidak turut saya ke Ujung Pandang. Barangkali ada baiknya saya mengawasi dari dekat perkembangannya setelah diamputasi. Saya khawatir, pada suatu ketika, kecacatannya itu akan membikin dia stress atau minder.
Argumentasi itu memang nalar. Kujawab bahwa aku berterima kasih atas perhatiannya, dan menurutku, tidak merupakan masalah. Aku akan menanyakannya kepada anak itu sendiri.
Eko sudah tahu, ingin masuk ke bidang kedokteran dan riset. Melihat gelagatnya, anak-anak saya yang besar tidak akan ada yang bisa mencapai kesarjanaan. Istri saya orang yang sangat biasa saja. Kurang bisa memacu kemampuan anak. Saya sudah berusaha, tapi anda tahu, saya lebih sering tidak di rumah. Kalau Eko tinggal bersama kami, siapa tahu dia bisa menolong menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Itu juga logis. Ketika tawaran Irawan kusampaikan kepada Eko, dia tampak gembira. Tetapi dengan sopan dia ganti bertanya bagaimana pendapatku. Kukatakan bahwa aku sedih kalau dia pergi. Selama itu dia menjadi anak sulungku yang selalu tahu mendukung dan mengobarkan semangatku. Tetapi barangkali demi kekuatan perkembangan mental untuk selanjutnya, dia memang harus dekat dengan pamannya. Selain sebagai wakil orangtua, dia juga dokter. Dia pasti akan bisa mengarahkan jalan yang dicita-citakan Eko. Kutambahkan bahwa dia harus pula tahu membangkitkan gairah belajar sepupunya di sana.
Ibuku mempunyai reaksi lain. Dia khawatir kalau-kalau anak333 kalau Eko mengalami nasib seperti anak tiri.
Kita tidak pernah bisa tahu pasti apa yang tersimpan dalam lubuk hati manusia. Kelihatannya baik, tapi siapa tahu...
Kukira ibuku hanya bersikap terlalu melindungi terhadap cucunya. Untuk menenangkan hatinya, kami harus menyiapkan Eko supaya bisa berhadapan dan tahu melayani bibi serta saudarasaudaranya di Ujung Pandang.
Eko pergi bersama pamannya.
Sudah dua hari aku tidak mengajar. Aku jadi mengambil cuti supaya bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Ganik. Kertas-kertas hak milik telah selesai dan diserahkan kepada kami masing-masing. Hakku adalah rumah di Jalan Bandungan dan tanah yang bersambung, hampir seribu lima ratus persegi luasnya. Jika aku kawin, suamiku tidak mempunyai hak sesuatu pun atas rumah dan tanah tersebut. Kalau terjadi sesuatu padaku dan pada anak-anakku, rumah dan tanah akan kembali kepada Notaris bersama kantornya, digabungkan dengan harta yayasan yatim piatu yang didirikan oleh Dokter Liantoro bersama istrinya.
Sebelum singgah menjemput Eko, Irawan berhasil mengajak Handoko sowan ke Klaten. Sudah beberapa hari dia di sana. Meskipun merasa sangat rindu, aku bermaksud untuk tidak memperlihatkannya jika dia kembali.
Sore itu aku siap akan ke rumah sakit, membawakan pakaian Ganik yang bersih. Kutunggu-tunggu kendaraan Sri yang harus menjemput tidak juga datang, akhirnya aku naik bis. Sebelum melangkah memasuki gerbang rumah sakit, aku kibaskan seribu pikiran yang mungkin membayangi pandangku. Ganik mempunyai kepekaan luar biasa untuk menduga isi hati seseorang. Ketika aku sampai di kamar, temanku baru selesai diman334 sedang rewel. Aku bersikap seolah-olah tidak menanggapinya, menyilakan Mur segera pulang beristirahat. Malam itu adalah giliranku tidur menemani sahabat kami.
Perawatan penyinaran diberikan lebih sering dalam seminggu. Satu kali dengan kepadatan radiasi yang tinggi. Sisa-sisa rambut sudah dicukur. Kepala yang gundul semakin menonjolkan kekurusan muka Ganik. Tapi bagiku justru menampilkan kemurnian garis-garis lembut sekaligus matang. Sedari dulu, Ganik merupakan anak dan orang dewasa. Gerak-gerik, sifat lahiriah dan wataknya dapat berubah dengan cara-cara yang mengejutkan. Kami berempat adalah teman dekatnya yang bisa berbangga mengatakan paling mengenalnya. Dan di antara kami, karena aku yang paling sering berhubungan baik secara bersuratan ataupun bersama hidup sehari-hari, aku merasa paling mengerti bagaimana manusia Ganik sampai ke lubuk hatinya.
Sedari awal kebersamaan kami di satu kelas, aku tahu bahwa Ganik bersifat keras dalam hal-hal tertentu. Tapi dalam menghadapi sesuatu yang lain, hatinya amatlah lunak. Dari matanyalah aku bisa melihat mengalirnya rasa haru. Perasaan kelembutan itu seringkali dianggap orang lain sebagai sifat kekanak-kanakan. Ganik memang bisa brandalan, mendekati urakan di kala lepas di alam terbuka. Padahal itu menyimpan kesigapan dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan sesaat. Umpamanya, bagaimana mendapatkan air di tempat yang paling kering pun. Atau menggotong kawan yang terjatuh dan luka di sungai yang bertebing amat curam serta sukar dipanjat maupun dituruni. Pendek kata, pada Ganik terkumpul segala cara dan sifat manusia hidup yang paling lengkap yang pernah kami kenal. Dia langka. Itulah kesimpulan kami empat sahabatnya pada saat-saat
335 dipulihkan selama setahun lebih. Ternyata tahun terakhir ini harus menyerah. Kami tidak dapat melestarikan teman kami yang langka. Tetapi kami akan melestarikan kenangan kedekatannya yang luar biasa yang telah menyertai kami berpuluh tahun.
Karena mengetahui bahwa keakhiran tidak jauh lagi, para dokter yang kebanyakan pernah menjadi rekan dan teman baik ayah Ganik, memberi kemudahan-kemudahan yang mengabaikan peraturan. Dalam keadaannya selama dua bulan ini, segala sesuatunya sangat tergantung pada obat. Kalau pengaruh obat masih kuat, Ganik kelihatan giat dan bergairah. Apalagi ditambah dengan sifatnya yang pantang mundur.
Ganik menolak ketika aku akan memasangkan kain penutup kepala.
Aku bosan dikira haji, katanya menjawab keheranan yang terkandung dalam pandangku.
Belum pernah dia bersikap demikian. Sejak dia mondok di rumah sakit kota kami, sebelum waktu kunjungan tiba, Ganik selalu ingin kelihatan rapi. Dia bahkan mengambil waktu memolesi sendiri mukanya dengan seminimum ramuan kosmetika supaya tidak tampak muram. Tanpa melupakan goresan warna cokelat merah jambu di bibir buat memberi sinar di wajah yang telah alum itu. Atau ganti pakai wig"
Ganik tidak menyahut. Kukeluarkan benda itu dari laci. Kuatur kerapian rambut demi rambut yang berbentuk topi. Inilah yang dibelikan Sri ketika mereka masih berada di Negeri Belanda.
Ketika akan kukenakan di kepala, Ganik menghindar perlahan.
Mengapa" aku tidak bisa menahan, bertanya lagi. Panas, sahutnya.
336 alat pendingin yang berfungsi baik.
Ayolah! kataku. Kuteruskan, Ada apa" Biasanya kau ingin kelihatan cantik sebelum tamu-tamu datang. Kau sudah bersolek. Tinggal pakai ini, sambil sekali lagi aku akan memasangkan rambut palsunya. Tangannya menolakku. Aku duduk di samping ranjang. Tangannya kugenggam.
Ada apa" tanyaku lagi.
Ganik tidak menjawab. Kami berpandangan. Matanya sayu, perlahan terisi, lalu diluapi air yang tidak terbendungkan. Kalaupun tidak menjawab, aku mengerti pastilah ada kebaruan. Sejak berlima kami bersama, dalam kediaman pun kami merasakan selalu berkomunikasi secara batiniah.
Katakan apa yang kau ingini. Apa" Makan" Mau makan apa" Ingin dijenguk siapa" Nanti kutelepon orangnya supaya datang.
Alangkah bohongnya semua itu. Kami semua tahu bahwa akhir-akhir itu Ganik sudah tidak dapat membedakan rasa mana yang manis dan mana yang asin. Kunjungan" Dia memang sopan dan tenang menerima tamu. Kebanyakan dari mereka adalah bekas rekan-rekan atau teman orangtuanya. Tapi yang sebenarnya, Ganik lebih suka hanya bertemu kami sahabat-sahabatnya.
Tangannya dingin dan kering. Dia menekankan jari-jarinya. Kurasakan sisa-sisa semangatnya meresapi kedekatan kami. Katanya perlahan, Mulai pagi ini aku tidak makan obat apa pun. Kami tetap berpandangan. Aku akan menanyakan sesuatu ketika dia menambahkan, Dokter mengetahuinya. Mur tidak setuju.
Aku menunduk, melarikan pandang ke tangan dalam genggamanku. Temanku meneruskan, suaranya tetap perlahan.
Sedari dulu, aku mau minum obat karena aku takut merasa sakit. Karena dulu aku tidak betah menahan sakit. Tidak sabar
337 Fungsi obat sekarang hanya menunda, memperpanjang hidup tanpa harapan sembuh. Umurku bisa mencapai sekarang, itu sudah bagus sekali. Sedari kecil hingga dua tahun yang lalu aku dikaruniai hidup sehat. Tuhan sungguhlah Maha Pemurah.
Dalam suasana apa pun Ganik tidak pernah melupakan Dia. Aku akan mengatakan persetujuanku ketika dia meneruskan lagi, Aku hanya merepotkan orang lain akhir-akhir ini. Hush, protesku yang segera dipotong oleh Ganik. Bukan kau. Bukan kalian. Kita dulu sudah bersumpah, bahwa meskipun kemudian berkeluarga dan masing-masing punya tanggung jawab, hubungan kita berlima harus tetap sama eratnya. Yang repot ialah orang-orang itu. Mereka ingin membesarkan hatiku dengan cara datang menengok. Tetapi sebetulnya mereka malahan menjadi beban bagiku.
Dan memang benarlah demikian. Seandainya aku mengatakan bujukan berupa sanggahan yang lain pun, kami berdua tahu bahwa itu pun hanya omong kosong. Kami sahabatnya bergilir menemani dan menengoknya dengan rasa ikhlas. Orang-orang lain menjenguk dengan teratur. Tetapi nyata bahwa masingmasing mempunyai tanggung jawab lain. Sengaja atau tidak, selalu ada yang memperlihatkan ketidaksabaran karena harus melunasi tanggung jawab mereka yang lain dulu sebelum datang ke rumah sakit. Semua dari kami mengerti bahwa mereka harus menyisihkan waktu spesial. Demi kemanusiaan, atau sebutlah demi persaudaraan maupun kekawanan. Bagiku dan bagi kami lima bersahabat, itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu ditunjukkan dengan cara berlebihan, tidak ada gunanya dibesar-besarkan. Itulah artinya teman dan saudara, bersama dalam duka serta kegembiraan.
338 dan lingkungannya. Dia adalah orang yang paling memperhatikan kepentingan orang lain. Terhadap rekan dan teman orangtuanya, Ganik juga selalu bersikap terlibat. Ulang tahun nyonya ini atau dokter itu, Ganik tahu semuanya. Dia adalah orang yang berprinsip sama seperti alrnarhum ayahku. Baginya, pemberian atau hadiah yang sekecil apa pun selalu baik asal disertai kerelaan dan ketulusan. Karena hadiah kecil-kecil itu merupakan ikatan supaya saling mengenang. Tetapi di samping itu semua, Ganik juga bersifat sangat mandiri. Dia tidak suka menggantungkan diri kepada orang lain. Sekarang dia terkapar tidak berdaya. Perasaannya tertekan oleh kesadaran bahwa dirinya tidak berguna bagi siapa pun. Bahkan tidak bagi dirinya sendiri.
Mur sebagai dokter tidak menyetujui ulah Ganik menolak semua obat dan perawatan. Tetapi Siswi, Sri, dan aku mengertinya. Dia lebih menderita karena ketidakgunaannya. Maka dia merasa lebih rela cepat mati jika Tuhan mengizinkannya.
Tanpa obat tanpa infus, Ganik masih bersedia disuapi makanan halus. Perutnya menerima hanya lima sampai enam sendok sekaligus. Itu sudah bagus menurut dokter. Handoko menyusulku ke rumah sakit dengan naik bis. Kami berdua menjaga Ganik bersama-sama pada malam pertama tanpa perawatan itu. Secara singkat dia menceritakan rengkuhan orangtuanya di Klaten. Dia membenarkan gagasanku untuk menengok mereka. Ternyata dia memang tidak menyesal. Dia juga mengatakan rasa kagum orangtuanya terhadapku. Sebenarnya apa pun perasaan mereka terhadapku, aku tidak begitu mempedulikan. Tetapi mendengar cerita Handoko, aku senang juga. Setidak-tidaknya mereka tidak menyembunyikan penghargaannya kepadaku, bekas menantunya. Ketika kutanya mengapa Handoko tidak tinggal lebih lama
339 kalau aku pulang, aku ke Semarang, menengok Mbak Mur. Bapak dan Ibu juga menahanku, mereka suruh tinggal lagi beberapa hari. Tapi aku katakan bahwa aku kangen Mbak Mur.
Mengapa kaukatakan begitu kepada mereka" Itu bisa menyinggung perasaan mereka.
Aku tidak sengaja. Jawaban itu keluar begitu saja. Spontan. Jadi mereka tahu bahwa kau ingin bersamaku" Bapak atau Ibu"
Waktu itu mereka berdua ada. Jadi keduanya mendengar. Apa komentar mereka"
Tidak ada. Mungkin karena begitu kaget sehingga tidak bisa cepat menanggapi.
Mungkin. Kalaupun mereka menanggapi, aku akan menjelaskan sikapku. Aku tidak ingin punya istri gadis yang masih kemayu dan tidak berotak. Waktuku singkat, ingin kunikmati dengan Mbak Mur saja, katanya sambil memandangiku, bibirnya mengulum senyum yang panas.
Tetapi dia sabar dan sopan. Dia tahu menghormati Ganik. Kami menunggu hingga keesokannya ketika Mur datang mengambil gilirannya menunggui Ganik, untuk pulang dan berkangenan di Jalan Bandungan. Siangnya, kukatakan kepada Handoko bahwa aku akan ke rumah sakit lagi. Hatiku tidak enak. Aku merasa bahwa hari-hari itu adalah puncak dari krisis yang akan dihadapi sahabat kami. Aku ingin selalu berada di sisinya. Handoko mengerti. Dia akan mengantarkan aku. Tapi Sri menelepon pukul sebelas.
Sopir akan ke situ membawa Suzuki minibus. Biar mobil di situ saja kalian pakai. Aku harap kau tidak lupa bahwa Ganik
340 muanya! Aku akan ke situ siang ini. Semula akan naik bis saja. Tapi kalau kau kirim kendaraan, aku tunggu. Sopirnya disuruh pulang naik apa" Bisa diantar Handoko sekalian"
Biar naik Daihatsu. Sudah kusuruh ambil colt satu lagi. Ketika tiba waktunya kunjungan siang itu, Ganik tampak lesu melayani tamu. Dia lebih banyak memejamkan mata, meskipun pendengarannya tetap tajam. Winar juga datang. Dia kami beritahu keadaan yang sebenarnya. Sri juga sudah menelepon Mas Gun. Tapi yang terakhir ini baru bisa datang setelah pukul dua siang. Dia berbicara dengan kami di luar kamar. Katanya, lebih baik Ganik tidak menerima tamu mulai sore itu. Jika perlu, minta kamar lain. Biar tenang, hanya dilingkungi kami sahabatsahabatnya. Itu memang gagasan yang bagus. Mas Gun dan Sri pergi ke bagian administrasi, mengurus usulan tersebut. Sementara aku dan Mur mulai mengemasi barang dan pakaian Ganik.
Siang itu juga sahabat kami dipindah ke ujung lorong. Kamarnya lebih kecil, tetapi mempunyai serambi. Pengunjung bisa duduk menunggu di situ. Atau kalau memang ingin melihat Ganik, dapat melongokkan kepala di pintu. Dari sore sampai larut malam kami berkumpul. Yang mendampingi Ganik bergantian. Karena Siswi belum pernah bisa menjenguk sampai lebih dari setengah jam, sore hari kedua itu dia terus duduk di samping Ganik. Sahabat kami juga tidak menolak didoakan. Mur dan Siswi bergantian menunggu dan mengaji dalam suara rendah. Orang-orang yayasan beragama Katolik mempunyai cara lain. Ganik sendiri percaya kepada Tuhan, ketika kecil dibaptis secara agama Katolik seperti bapak dan ibunya. Tetapi dia lebih universal. Menurut katanya sendiri, dia percaya bahwa Tuhan
341 utusan Tuhan tersebut tanpa memilih.
Pada saat-saat Ganik merasa ringan, kami tetap berbincangbincang. Ganik senang sekali mengingati masa-masa pengembaraan kami, masa perkemahan kami di lereng pegunungan. Dia tidak pernah jemu mendengar ulangan cerita kami tentang pesta sekolah tahun sekian, atau perayaan kesenian tahun yang itu. Dalam bernostalgia, tidak jarang tiba-tiba suara kami terhenti karena kami melihat bahwa mata sahabat itu terpejam kembali. Dia sedang menahan rasa sakit. Keningnya berkerut. Urat-urat di pelipis menonjol tegang. Dari ujung kedua matanya keluar tetesan air yang mengalir ke telinga atau langsung ke leher, membasahi kerah baju atau bantal. Lima puluh detik, satu menit. Saat demikian itu berlalu dengan kelambatan yang menguras seluruh kemampuan kami. Yang duduk paling dekat mengusapkan handuk lembap ke dahi serta lehernya untuk sekadar memberikan rasa kenyamanan. Seorang lain memijit-mijit kakinya di bawah selimut. Sebegitu Ganik membuka matanya kembali, dialah pula yang memulai berbicara. Tak terdengar keluhan. Tak sekalipun dia mengaduh.
Di salah satu akhir landaan krisis semacam itu, kukatakan rasa kagumku, Kau hebat, Ganik. Kau tidak merintih. Sama sekali tidak mengeluh menyesali nasibmu.
Siswi tetap memijit-mijit kakinya, meneruskan, Pada saat sakit seperti itu, apa yang kaupikirkan sehingga kau bisa tahan" Tidak berteriak maupun mengaduh"
Aku memusatkan perhatian pada ucapan terima kasihku kepada Tuhan.
Kau tidak meminta maaf kepadaNya" Mur bertanya. Aku meminta maaf kepadaNya memang. Tapi aku tidak
342 kujadikan bahan konsentrasi ialah ucapan terima kasihku kepadaNya. Karena aku merasa telah banyak, sangat banyak menerima pemberianNya. Berpuluh tahun aku hidup sehat, mempunyai kawan-kawan seperti kalian. Tanpa membesar-besarkan arti katanya, selama itu Dia memberiku hidup yang penuh dan bahagia.
Lalu pembicaraan berkisar mengenai Tuhan. Apa Tuhan itu menurut kami seorang demi seorang.
Kalau menurut kamu, Ganik, bagaimana Tuhan itu" tanya Siswi.
Sedari kecil, orangtuaku mengajarkan, bahwa Tuhan adalah sahabat terdekat. Kita seharusnya memikirkan Dia dengan perasaan kasih dan cinta. Bukan dengan ketakutan atau kekhawatiran. Apabila ibuku menyebut Dia dalam percakapan, nadanya selalu disertai hormat, kemesraan yang khusyuk. Ayahku, jika dengan sepenuh tenaga keahliannya sebagai dokter tidak bisa lagi menyelamatkan pasiennya, dia tidak pernah lupa menyerahkan kelanjutannya kepada Tuhan. Kemudian, aku menjadi dewasa, aku menyatakan sendiri betapa Dia adalah Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Pengasih. Semua keputusanNya kami terima sebagai sesuatu yang baik dan adil. Meskipun adakalanya kami kehilangan kebijaksanaan sehingga menafsirkan sesuatu keputusanNya dengan meleset. Tapi bukankah itu salah satu kekurangan kita manusia ini"
Menerima atau tidak pendapat Ganik tersebut, kami berempat merasa lebih baik diam. Kami biarkan teman kami. Kami turuti apa kehendaknya. Dia minta supaya anak-anak Siswi masuk seorang demi seorang. Lalu anak-anak Sri, kemudian anak-anakku. Kepada masing-masing, dia masih sempat menemukan dua
343 pertemukan kalimat dengan si anak yang semestinya. Lalu Ibu juga datang mencium dahinya. Mas Gun dan Winar yang paling akhir. Kami di luar terkejut mendengar suara Ganik yang terkikih perlahan.
Handoko duduk bersamaku di samping Ganik.
Berangsur-angsur, detik-detik kediamannya memanjang menjadi menit, menjadi bertambah lama lagi. Reaksi tubuhnya melemah. Air mata tidak lagi membasahi pipinya atau lehernya. Walaupun pada saat-saat sadar suaranya tetap jelas dan mengandung sisa-sisa kejernihan pikirannya, kurasakan bahwa gairahnya untuk tinggal bersama kami telah lenyap. Dia bosan hidup. Dari saat kejernihan semacam itu, dia masih berdaya untuk mengingatkan Siswi dan Ibu agar cepat pulang, karena anak-anak akan sekolah besok pagi.
Semua keputusanNya baik dan adil, kata Ganik. Setelah dua hari tanpa perawatan, hidup mengambang tanpa satu kali pun menyesali penderitaannya, sahabat kami tidak berbicara lagi. Hingga tiba waktu kepergiannya pun tak terdengar suara apa pun yang tersekat-sekat di tenggorokannya. Pada suatu saat, dia masih kuat menyembulkan cahaya senyum yang redup di wajahnya kepada kami, lalu menutup mata, tertidur buat seterusnya.
Ganik menyambut kematiannya dengan rasa hormat. Sungguh Tuhan Maha Pengasih. Bahkan pada saat keakhirannya pun Ganik masih diberi kesempatan untuk berpamitan kepada sahabat-sahabatnya dengan cara yang tepat, sebagai manusia yang bermartabat.
Kehilangan Ganik merupakan lubang menganga yang tidak mungkin akan dapat terisi kembali. Benar bahwa kematiannya
344 masih remaja. Tapi masing-masing dengan cara dan kebesaran kegunaannya, mereka adalah orang-orang penting dalam hidupku. Kehadiran Ganik yang sudah rapuh tidak bisa dia nikmati lagi. Dan kami sahabat-sahabatnya tidak mempunyai pilihan, terpojok dan terpaksa mendoakan sembuh atau mati secepat mungkin. Seperti katanya sendiri yang sering dia ulangi di waktu-waktu kami bertemu, kematian harus dianggap sebagai hal yang lumrah seperti halnya kelahiran. Kalau pada suatu ketika dia mati, jangan dilihat sebab-sebab kepergiannya. Karena sebab itu hanya berupa alasan, atau jalan. Apakah itu kecelakaan mobil, jatuh di kamar mandi, kebakaran atau sakit dan segera mati, atau sakit lama baru kemudian meninggal. Itu semua hendaklah tidak dijadikan masalah, kata Ganik. Seseorang yang mati karena kebakaran selalu lebih dibicarakan dengan berkepanjangan. Dicari-cari kesalahan sebagai penyebab kematian yang dianggap keluar dari kebiasaan itu. Kata orang, alangkah tersiksanya. Si pembicara tidak tahu bahwa dalam suatu kebakaran, korban kebanyakan kali pingsan lebih dahulu karena kekurangan udara buat bernapas, sehingga mereka tidak merasakan badannya dimakan api. Tidak sedikit pula korban yang terjatuh atau terbentur lalu tidak sadarkan diri sampai saat ajalnya tiba.
*** Aku tidak kuasa menahan desakan Handoko untuk menikah dengan dia. Tindakanku lebih didorong oleh ketakutanku menghadapi masyarakat: Sesudah cerai, sekarang dia menjadi gundik adik iparnya. Padahal yang sebenarnya, omongan orang tetap
345 diteruskan oleh pembantunya: Kawin lagi saja kok dengan bekas iparnya. Seperti tidak ada lelaki lain!
Kupasrahkan nasibku di tangan Tuhan yang selama itu telah memberiku gemblengan aneka percobaan serta tekanan batin, dan yang telah mengimbangi percobaanNya dengan kehadiran orang-orang yang amat merengkuh dan mencintaiku. Kini Dokter Liantoro dan istrinya sudah meninggal, Ganik begitu pula, aku tegak di atas kakiku sendiri meneruskan karier dan napas seharihari sebagai manusia yang sadar mempunyai tugas.
Ibuku tetap hadir. Dia tampak semakin tua. Barangkali karena capek turut mengurusi Ganik. Mungkin pula karena dia kaget menyatakan kenekatanku kawin lagi dan dengan Handoko. Kami berdua menyediakan waktu istimewa untuk sowan dan menjelaskan perbuatan kami. Handoko mengajukan alasanalasan mengapa dia lebih suka hidup bersama dengan aku daripada dengan wanita lain, baik yang gadis atau wanita lebih muda dariku. Dikatakan bahwa sejak mengenalku, dia merasa aku cocok tidak hanya sebagai istri, tetapi juga untuk menjadi teman. Dia selalu kangen dan ingin berdekatan dengan aku, berbincang-bincang dengan aku. Seandainya pun ada perempuan lain, kalau pun dia menyukainya, dia tidak akan bisa menikah jika wanita itu hanya pantas menjadi boneka karena tidak ada isi di kepalanya.
Ibu memang tidak bisa melarang kami untuk meresmikan hubungan kami. Dia akhirnya melihat sendiri bahwa Handoko bukan jenis lelaki muda yang sembarangan dan berbuat asal saja. Ketika kami pamit akan pulang ke Jalan Bandungan, dua hari sebelum hari pendaftaran di Pencatatan Sipil, ibuku hanya mengatakan bahwa mudah-mudahan Handoko tidak seperti ka346 keluarga mertuanya. Handoko sangat tersinggung dicurigai akan sama dengan kakaknya. Dia bahkan menantang aku untuk bersumpah tidak akan berubah. Dan bahwa untuk menekankan kesungguhannya, dia mau menandatangani kontrak perkawinan di depan notaris. Aku hanya tersenyum menanggapi rajukannya itu. Kukatakan bahwa Tuhan sudah mendengar perkataannya, dan itu sudah sangat mencukupi bagiku.
Kepada ibuku sudah kupaparkan sebab-sebab kepraktisan yang mendasari perkawinanku dengan Handoko. Soal perasaan tersendiri, perkawinan kembali itu memberiku rasa keamanan yang sangat kuperlukan dalam meneruskan karierku. Kedudukan janda dalam masyarakat hampir sama rapuhnya dengan kedudukan sebagai istri tahanan Pulau Buru. Hanya jenis tantangannya yang berlainan. Wanita matang yang bersendiri lebih gampang menimbulkan kejahilan ulah laki-laki maupun keisengan lidah; baik omongan lelaki maupun lidah perempuan. Selalu ada yang merasa lebih pintar omong dari lainnya guna mengatakan ketidaksenonohan terhadap janda di lingkungan mereka. Kecurigaan akan lebih mudah membayangi setiap kerjasamaku dengan laki-laki bujangan maupun yang telah berkeluarga. Aku tidak kuat menghadapi pandangan umum yang biasanya gegabah, menganggap semua janda adalah obyek pergunjingan. Kalau orang membicarakan janda, langsung saja si pembicara sampai pada soal biologis, masalah penyampaian nafsu atau pelampiasan kepuasan sementara. Kalau laki-laki tergoda, yang disalahkan kebanyakan kali pihak wanita. Apalagi jika dia janda. Aku kawin lagi tidak seperti kebanyakan janda yang nubruknubruk dan kawin dengan siapa saja. Asal kawin, mempunyai
347 janda. Pertemuanku dengan Handoko pun tanpa aku mencarinya. Kuingatkan ibuku bagaimana aku menolak usulnya supaya menulis surat kepada adik ipar itu sebelum keberangkatanku ke Negeri Belanda. Handoko memang benar adik bekas suamiku. Itu hanya merupakan satu kebetulan. Tetapi seandainya dia orang lain, pertemuan di luar negeri, siapa tahu tetap terlaksana jika Tuhan memang menghendakinya demikian. Sekarang aku kawin lagi, dan dengan Handoko, karena aku menganggap meneruskan tindakan yang ditunjukkan Tuhan kepadaku.
Widowati dan Seto kelihatan lebih santai dari ibuku. Anakanakku segera bisa cocok dengan Handoko, berangkat dan pulang sekolah dikawal oleh pamannya ini. Hingga kemudian Widowati menerima kendaraan roda dua dari Sri, karena mengganti Eko mengawasi anak-anak yang berekreasi berolahraga di halaman rumah temanku. Seto sebagai si bungsu mempunyai sifat yang masih sangat mudah dipengaruhi. Dan karena Handoko pandai menarik hati, Seto terpikat, tampaknya tidak menyimpan ganjalan terhadap perkawinanku dengan Handoko. Anakku yang perempuan memang pernah mengajukan masalah, bagaimana harus menjawab jika temannya bertanya dengan siapa ibunya kawin lagi. Jawablah dengan insinyur lulusan luar negeri, kataku kepada Widowati. Biasanya, dengan menyebutkan gelar, apalagi yang didapatkan di negeri asing, orang akan terkagum-kagum sehingga terbungkam mulutnya, segan akan menanyakan hal lain-lainnya lagi.
Aku meneruskan mengajar pagi dan sore. Sebelum Handoko pergi lagi ke Eropa, dia sempat mengajarku menyetir mobil. Kini aku sudah mendapat SIM, memegang Suzuki minibus yang dipinjamkan Sri sementara menunggu kesempatan adanya tawaran
348 dari Ganik yang kuterima setiap tahun untuk keperluan rumah dan tanah yang diberikannya kepadaku. Urusan keuangan kuserahkan kepada Sri. Temanku ini menasihatkan agar aku melepaskan sekolah pagi, tapi meneruskan mengajar bahasa Inggris di sekolah percobaan. Menurut dia, itulah yang lebih sesuai dengan karierku. Gajiku ditambah berbagai tunjangan dan jatah beras di sekolah pagi tidak mencapai jumlah enam puluh ribu rupiah. Padahal aku dengan tekun masih terus membikin persiapan mengajar sebagaimana guru-guru kuno lain. Sri tidak menyetujui aku meneguhi profesi yang tidak mendatangkan gaji yang sesuai itu.
Terus terang, aku tidak tega keluar dari sekolah pagi. Sekarang keadaanku telah lebih mapan dan baik, aku meninggalkan mereka. Seolah-olah tidak ada rasa kesetiakawanan. Bukannya aku menghina dan menyombongkan diri sebagai lulusan guru di zaman terdahulu, tetapi aku bisa menyatakan, betapa muda dan tampak kurang matangnya guru-guru Sekolah Dasar yang baru menyelesaikan pendidikan di masa sekarang. Ditunjang oleh fakta, bahwa empat dari sepuluh guru yang lulus, tidak bercitacita mengabdikan diri di dunia pengajaran.
Kalau aku keluar dari SD yang dulu telah sudi menampungku di masa kesukaranku, benarlah aku merasa sebagai pengkhianat. Mereka tentulah akan dengan mudah mendapatkan guru baru. Tetapi bagaimana mutunya" Apakah pengganti itu juga seperti aku, yang memilih mengajar sebagai profesiku yang sejati" Di samping itu, aku juga tidak dapat menyalahkan guru yang merangkap mengajar di mana-mana supaya mendapatkan jumlah uang yang mencukupi untuk menutup kebutuhan bulanannya. Tetapi apakah dia sadar dan melaksanakan kerjanya seperti aku"
349 kekhawatiran yang timbul karena melihat fakta, membikin aku merasa bahwa profesi guru memang sedang merosot citranya. Tidak sedikit rekanku yang mengerjakan sambilan sebagai penjahit, menitipkan makanan di toko atau warung, atau mempunyai warung sendiri karena gaji mereka tidak cukup untuk makan, berpakaian, apalagi berekreasi sekeluarga. Pengetahuan guru juga mandek berhubung tidak adanya anggaran guna meningkatkan atau mengembangkan pengetahuan, baik dengan bacaan ataupun dengan mengikuti kursus tambahan. Diskusi mengenai nasib guru yang sering timbul di antara kami tidak pernah membuahkan satu kesepakatan.
Kami semua tahu bahwa sejak dulu profesi guru sangat dihormati. Tapi di Indonesia, sejak kemerdekaan, imbalan yang diterima guru terengah-engah hanya mencapai sepertiga panjangnya bulan. Ibu Siswi sering benostalgia. Katanya gajinya dulu juga tidak banyak, tetapi sangat mencukupi. Dia masih menerima tunjangan untuk dapat membeli buku sebagai bahan tambahan pengetahuannya. Kegiatan tambahan yang diadakan bersama murid juga disetujui serta dibayar oleh pihak sekolah. Winar sendiri mengakui, bahwa persatuan guru tidak mendapat cukup tunjangan untuk memperbaiki keadaan. Semua datang dari pokok mulanya, karena anggaran pemerintah yang dimasukkan di bidang pendidikan dan kebudayaan jauh lebih kecil dari bidang lainnya. Misalnya, bukan merupakan rahasia bahwa anggaran terbesar negara ditelan oleh Kementerian Pertahanan. Dia katakan, barangkali hal itu akan berubah jika kelak Indonesia sudah mapan betul, tidak mengkhawatirkan serangan dari luar lagi.
Nasib guru yang bergaji rendah sering kali dikaitkan dengan mutu pendidikan dan kenakalan remaja. Jika yang satu diting350 yang tidak dapat hidup berkecukupan hanya dari gajinya terpaksa mengerjakan aneka sambilan lain, yang kadang-kadang dianggap rendah oleh para murid. Hal ini mengakibatkan turunnya wibawa guru. Mutu guru dan mutu pendidikan, ditambah topangan cara mendidik anak dalam keluarga, masing-masing merupakan mata rantai yang harus saling berkaitan. Selama ini aku selalu dibantu ibuku hingga bisa menumbuhkan tiga anak. Kami juga tidak menyewa rumah. Berangsur-angsur, sejak Sri pindah di kota kami, dia merupakan tiang penyangga perekonomian kami. Aku merasa menjadi guru yang tidak bernasib terlalu buruk berkat ibuku dan sahabatku itu.
Sejak Handoko telah berangkat lagi ke Eropa, kebanyakan kali aku tinggal sendirian di Jalan Bandungan. Widowati mempunyai kamar di rumah baru kami, tetapi dia hanya kadang kala tidur di sana. Seto tetap bersama neneknya, kurang senang untuk pindah. Sedikit demi sedikit kakaknya berusaha mempengaruhinya. Dia diajar mengatur kamarnya dengan cara modern. Poster-poster dan tulisan apa saja dijadikan dekorasi menarik di dinding atau pintu bagian dalam. Sri sedang memacu anak bungsuku ini agar menjadi pemuda yang bergerak gesit. Janjinya, kalau dalam waktu dua bulan itu Seto bisa berenang dengan baik, Sri akan membelikan alat pemotret setengah amatir setengah profesional. Dan kalau memang anakku berminat, alat itu akan berangsur diperlengkapi. Seandainya pelajaran di sekolah memungkinkan, Seto akan dibayari masuk kursus atau magang di toko foto kepunyaan kenalan sahabatku itu.
Hidup bersendiri lagi setelah selama lebih dari sebulan didampingi seorang laki-laki seperti Handoko, aku merasakan selintas-selintas singgahan kesepianku. Sesungguhnya bukan ra351 sedikit demi sedikit belajar mengerti bagaimana mencintainya seperti dia mencintaiku. Kuakui, bahwa semula aku memang tertarik terhadapnya. Tetapi perasaan cinta, tetap tertahan oleh ketidakpastianku apakah aku percaya kepadanya atau tidak. Apakah dia benar-benar mencintaiku seperti apa yang seringkali dia katakan dan dia ulang-ulangi. Rasa-rasanya tidak mungkin ada seorang laki-laki muda, apalagi dia, Handoko, yang mencintai perempuan seperti diriku. Dia mempunyai keleluasaan luar biasa untuk mendapatkan perempuan yang mana pun di luar diriku. Mana mungkin tiba-tiba aku yang dia pilih"
Perpisahan itu kuanggap sebagai waktu yang amat baik bagiku. Aku berkesempatan merenungkan kembali semua yang telah kami kerjakan bersama, yang telah kami bicarakan berdua. Kalimat demi kalimat kembali terdengar dalam hatiku, berdengung menggemakan suaranya yang rendah. Kadang setengah mengejek, kadang benar-benar jengkel menghadapi keraguanku, atau lebih sering tegas tetapi merayu. Dan bisikannya di kala mencumbuku, ah, kenangan itulah yang membikin bulu romaku bangkit menyeluruh, menggugah limpahan kebakaran dalam diriku. Kartuposnya datang secara tidak teratur. Selalu berisi kata-kata aneh, lucu, tetapi tidak pernah jauh dari pengutaraan perasaan cintanya atau ingatannya kepadaku. Dia memang tidak suka menulis surat panjang. Diakuinya, bahwa dia lebih suka berbicara di telepon. Oleh karenanya, setelah tiga kartupos, biasanya lalu dia meneleponku. Kuingatkan agar uangnya dihemat-hemat, jangan terlalu sering meneleponku. Dia sedang mendapat kontrak di Italia, dan akan selesai di bulan Juni. Pertengahan bulan itu dia berencana pulang ke Indonesia buat seterusnya.
Sementara menunggu kedatangannya, berbagai kegiatan di luar
352 hubungan erat, Sri dan Siswi bergantian mengadakan piknik bersama. Kadang-kadang keluarga Mas Gun menggabung. Di lain waktu kami menjelajah tanah bekas perkebunan di Boja yang diwariskan Ganik kepada kami berempat. Kemudian Mas Gun ganti mengundang kami ke daerahnya, di mana dia juga telah berhasil menabung hak milik, seluasan sawah di Purworejo. Ibuku selalu turut bersama kami. Apalagi jika tujuan ke arah tempat leluhurnya.
Empat bulan berlalu lambat atau cepat, sesuai dengan keadaan pikiran dan hatiku. Semakin lama berpisah dengan Handoko, aku semakin merindukan dan mencintainya. Mulai timbul pula benih-benih kecemburuan yang semula tidak kukenal terselinap di dadaku. Di mana pun ada gadis atau wanita cantik. Italia lebihlebih lagi, memiliki laki-laki dan perempuan berpenampilan Latin yang sangat menarik. Sabtu malam hingga Senin pagi apakah kesibukan suamiku untuk membunuh waktu" Di salah satu kartupos tidakkah dia menyebutkan terlalu panjangnya malam dan siang di setiap akhir pekan" Dapatkah aku mempercayai nasib baikku, bahwa suamiku yang muda bisa bertahan terhadap godaan menjamah dan membelai tubuh perempuan lain selama empat bulan" Karena tidak kuasa mengendalikan kecemburuan yang tersimpan itu, aku katakan kepadanya di telepon apakah dia sudah berkencan dengan wanita Italia.
Dia tertawa. Ini benar-benar aku bertanya. Mengapa kau tertawa" kataku dengan kesal.
Mbak Mur cemburu" Ya, tentu saja aku cemburu! cepat dan tegas aku menjawab. Begitu dong. Aku senang kalau Mbak Mur cemburu dan
353 kehilangan aku. Sakit sekali dadaku mendengar kata-kata yang diucapkan dengan perlahan tetapi pasti itu.
Tentu saja aku takut kehilangan kau, Yang, sahutku lagi. Sebab itu aku dulu takut kawin, karena takut kehilangan kau sehagai milikku yang sah.
Jangan diungkit-ungkit lagi hal itu. Kamu juga milikku, sama seperti aku milikmu. Kita tidak akan saling kehilangan. Mbak Mur jangan memikirkan yang enggak-enggak. Aku banyak membaca, banyak menonton ilm. Memang aku kesepian karena kita berjauhan. Tinggal kali ini kita berjauhan lama. Aku minta Mbak Mur percayalah kepadaku. Aku juga percaya kepadamu, bukan" Di situ Mbak Mur selalu dikelilingi rekan-rekan lelaki juga. Apalagi Mas Gun. Kadang-kadang aku curiga ada perasaan lain di antara kalian berdua.
Aku kaget mendengar Handoko menyebutkan hal itu. Aku memang tidak pernah mengingati kejadian yang dulu, karena kuanggap tidak penting. Pernah Mas Gun berkata kepada ayahku bahwa dia tidak menyukai Mas Wid. Waktu itu pertunanganku sedang dalam keadaan agak guncang. Bapak kami lalu mengatakan kepada Ibu, barangkali Mas Gun yang waktu itu adalah salah satu anak buah ayah kami, juga menaruh hati kepadaku. Untuk selanjutnya, hal itu tidak pernah timbul kembali dalam percakapan-percakapan kami. Aku sendiri selalu menganggap Mas Gun sebagai kakakku. Rupa-rupanya Handoko melihat pandang mata Mas Gun yang tidak hanya berisi rasa persaudaraan.
Dalam surat berikutnya yang kutujukan kepada Handoko, aku menulis panjang mengenai perasaanku terhadapnya. Dia langsung
354 bahagia sekali. Belum pernah dia menerima surat sebagus itu. Dia sangat terharu. Katanya dia baca berulang kali. Hatiku luluh mendengar suaranya memuji dan mengatakan cintanya kepadaku.
Dan mulai dari saat itu, hari ke pekan hingga ke bulan berlalu bagaikan merangkak amatlah perlahan. Mengerti bahwa Handoko mencintaiku juga disebabkan oleh kemampuan kecerdasanku, aku semakin rajin membaca. Isi rak di kamar buku yang termasuk ke dalam warisan Ganik untukku aku kupas deretan demi deretan. Kupelajari dan kuingat sejarah arsitektur, musik, dan bentuk kebudayaan Eropa lain supaya aku dapat melayani perbincangan dengan suamiku sebaik-baiknya. Demikianlah empat bulan tibatiba mencapai ujungnya. Mula-mula datang barang pindahan yang dijatuhkan atas nama perusahaan rekanan temanku Sri. Lalu aku ke Jakarta menjemput suamiku. Setelah berkangenan selama beberapa hari di rumah Sri di Jatiwaringin, kami pulang ke Jawa Tengah untuk memulai hidup sebagai suami-istri di Jalan Bandungan.
***** Bagian Empat 356 357?"?" elama lima tahun kami kawin, hidup kami tidak terganggu oleh siapa pun, melainkan oleh godaan perasaan kami sendiri. Kami tidak mempunyai anak. Sedari awal pergaulan intim kami, Handoko sudah mengatakan bahwa jika kami menikah, dia minta agar aku tidak mengharapkan anak dari dia. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, semasa kuliah di Jerman dia sudah menjalani vasektomi. Aku mengerti dan aku menerimanya. Dia telah berterus-terang kepadaku dan aku pun sudah mempunyai anak tiga yang menjelang dewasa. Kami berdua sepakat untuk hidup bersama dan berkarier. Rasa-rasanya tidak ada ganjalan yang membikin hidup kami menderita. Dapat dikatakan segalanya berjalan seperti di atas rel yang tersedia. Roda-roda yang membawa kami lancar berputar. Kadang kala diminyaki oleh kesalahpahaman atau kecemburuan, baik dari pihak Handoko maupun dariku sendiri. Setiap rajukan, setiap kesalahmengertian, setiap kelalaian maupun pertikaian kata pedih yang sebetulnya diucapkan dengan rasa yang menusuk hati, kemudiannya membawa kami pada kedekatan kembali yang tetap erat. Seolah-olah pada pertemuan badaniah yang menyusul setiap bentrokan kecil itu, kami hendak saling melumatkan diri satu pada lainnya agar tidak ada lagi keduaan kami. Supaya yang ada ialah kami sebagai satu kehendak dan satu napas.
Jalan Bandungan Karya Nh Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
358 kanlah aku yang lebih berumur yang merasa semakin khawatir ditinggalkan Handoko. Kebalikannya, justru suamiku yang mudalah yang selalu tampak kurang mempercayaiku. Aku tidak mengerti atau melihat alasan mengapa dia demikian. Handoko cukup kuat dan percaya diri di bidangnya. Disebabkan oleh ketulusanku, seringkali aku lupa bahwa dia terlalu peka dalam hal dengan siapa aku bergaul. Terang-terangan aku memuji kegagahan atau kemampuan kerja seorang rekan laki-laki. Kejadian yang kuanggap biasa itu tidak dilupakan suamiku. Nama laki-laki itu tertempel di ingatannya, hingga pada suatu ketika dia keluarkan untuk menjegalku. Umpamanya, pada suatu petang dia pulang dari luar kota, aku tidak di rumah. Sebegitu aku tiba, dia langsung menyerang, Mengapa sampai begini malam" Kuliah atau berkencan dengan si Itu" Semula, sikapnya itu tidak kuperhatikan benar. Tetapi lama-kelamaan, perasaanku tersinggung juga. Karena akhirnya kuperhatikan bahwa dia tidak bergurau. Dia sungguh-sungguh dikuasai oleh praduga, bahwa kalau aku memuji atau mengatakan nilai seorang lelaki, walau selintas atau sedikit pun, dia pastikan aku menaruh minat untuk bercintaan dengan laki-laki itu. Perbuatanku kuhati-hati benar. Sikapku tidak genit maupun mencoba menarik perhatian. Mengapa suamiku selalu mencurigaiku" Pertanyaan itu memang dia jawab. Tetapi aku tetap tidak puas, karena bagiku itu bukan jawaban yang sesuai dengan tindakanku sehari-hari. Karena kecurigaannya itu didasarkan atas pengalamannya pribadi yang tidak kuberikan kepada siapa pun. Juga tidak kepada bapaknya anak-anakku, suamiku terdahulu. Handoko berpendapat bahwa aku bersifat panas di tempat tidur. Tidak mungkin perempuan seperti aku melihat laki-laki hanya sebagai rekan atau kawan. Paling tidak, di sudut kepalaku selalu
359 dia tidak suka, katanya. Dia ingin membongkar isi kepalaku, membersihkan dari semua rencana untuk menggoda lelaki lain.
Suamiku yang muda rupa-rupanya juga amat egois. Tetapi aku mengerti dan mencintainya demikian. Berapa kali saja aku mencoba meyakinkan perasaanku yang dalam terhadapnya. Bahwa tidak pernah terpikirkan olehku bercumbuan dengan orang lain sejak aku merasakan belaian dan bisikannya. Di dalam hatiku hanya ada nama dan kenangan yang selalu tumbuh berdaun dan bercabang, semuanya mcngandung namanya Handoko. Dalam kungkungan kecemburuan itu, dia hanya berhasil mempercayaiku setengah-setengah. Maka hidupku yang sebenarnya bisa tenang, masih mendapatkan sebaran godaan yang terdapat di luar dan di dalam hati kami masing-masing. Handoko sebagai suamiku amat bertanggung jawab. Dia menyerahkan setengah dari gajinya yang cukup besar kepadaku. Tidak lama setelah dia pulang, langsung mendapat kontrakan, bekerja pada perusahaan patungan Jepang- Indonesia yang mengurus galangan kapal dan konstruksi bangunan besi. Tugasnya sering membawanya ke luar kota. Pada saat-saat demikian, setiap keberangkatan merupakan perpisahan yang sangat menekan bagiku. Siapakah yang dia temui di tempat lain" Perempuan-perempuan muda di daerah ataupun di kota pasti ada yang mahir memikat lelaki. Di saat-saat istirahat, apakah yang dikerjakan suamiku" Kepiluan kecemburuanku juga kuperlihatkan kepadanya. Tampaknya dia mengertiku. Setiap kali kami berpisah, selalu ada janji kepulangan yang berarti pertemuan kembali, disertai kobaran api kerinduan yang tidak kunjung padam dari kedua belah pihak.
Kini ada berita bahwa bekas suamiku akan keluar dari tahanan yang telah menyekapnya selama empat belas tahun. Sementara
360 terjadi di lingkungan dekatku sejak aku kawin lagi.
Setahun setelah Handoko kembali lagi dari Eropa, ibu kami yang tercinta meninggal dunia. Dia sempat dibawa adikku yang menjadi dokter dan menetap di Sulawesi Utara untuk menengok cucunya di sana. Pada waktu Lebaran berikutnya, adikku yang bekerja di Kalimantan Barat juga berkunjung ke Jawa bersama keluarganya. Rumah ibuku penuh waktu itu, karena adikku yang bungsu, yang lahir ketika kami mengungsi di zaman revolusi, juga datang membawa keluarganya. Dia sudah pindah dari Batu ke Malang dan tetap menjabat kepala Sekolah Dasar. Meskipun aku amat sedih ditinggal Ibu, aku juga merasa lega, karena lebih dari setahun dia menyaksikan sendiri betapa aku hidup bahagia bersama Handoko. Semula memang dia tidak begitu senang dengan keputusanku untuk kawin dengan laki-laki yang juga menjadi paman dari anak-anakku.
Anakku sulung sudah di tingkat lima di Fakultas Kedokteran, tetap ikut pamannya di Ujung Pandang. Setiap akan ujian, tidak lupa menelepon kepadaku dan minta supaya didoakan segalanya berjalan lancar. Meneruskan tradisi yang telah diajarkan ayahibuku, aku berpuasa serta mengurangi tidur untuk mengirim kekuatan kepada anakku Eko. Widowati sudah menjadi pramugari. Karena pekerjaannya, dia tinggal di Jakarta. Tetapi sebegitu ada kesempatan, dia menelepon, lalu kami berbincang-bincang dengan asyik. Aku cukup dekat dengan dia. Barangkali karena dia anak perempuan, perasaannya lebih banyak menanggapi keadaan sekelilingnya dengan caraku pula. Tidak jarang jadwal penerbangannya membikin dia menginap di kota kami. Seto, anakku yang bungsu, tinggal bersama kami di Jalan Bandungan. Hingga waktu ini, kelihatan bahwa dia tidak memiliki kecerdasan
361 di sekolah teknik. Angka-angka rapornya hanya cukup untuk menariknya ke tingkat yang biasa saja.
Sri juga tahu bahwa tahanan Pulau Buru akan dikeluarkan. Tentulah Siswi yang mengabarinya. Dua tahun terakhir itu aku sibuk memajukan tesis, lalu ujian akhir. Kembali kuliah untuk melengkapi kesarjanaanku sebenarnya hanyalah merupakan formalitas bagiku. Sejak Dokter Liantoro meninggal, aku tetap berhubungan dengan Kedutaan Belanda melalui kenalan baik ayah sahabatku itu. Kesempatan untuk meneruskan belajar di luar negeri tetap terbuka bagiku. Setelah melengkapi gelarku, aku menambah pengalaman mengajar di Sekolah Lanjutan Atas swasta. Sekolah laboratorium dan SD pagi telah lama kutinggalkan. Sri sendiri juga berhasil mengembangkan usahanya. Kini dua anaknya yang besar duduk di universitas di kota kami. Ibu Sri yang seumur dengan ibuku diboyong dari Sala, tinggal di rumahnya di Jalan Puspowarno. Sahabatku semakin sering berada di Jakarta. Kukira dia menjalin hubungan intim dengan seorang direktur bank. Tetapi selama dia tidak mendahului berbicara mengenai hal itu, aku tidak hendak mendesak atau mengorek isi hatinya. Seperti Winar, Sri sangat prihatin dengan datangnya kabar mengenai keputusan pemerintah akan mengeluarkan para tahanan politik. Kamu harus tahu bertindak dengan tepat, nasihatnya.
*** Kuatur sedemikian rupa sehingga sejak sore aku sudah berada di rumah supaya dapat menyambut Handoko ketika pulang. Suatu kebetulan yang luar biasa tersuguh, karena Seto bermalam di
362 telah makan, seperti biasa kami berdua berjalan-jalan di halaman depan rumah selama sepuluh atau lima belas menit. Lalu acara kami ialah duduk-duduk di serambi sambil menunggu siaran yang menarik di televisi. Kami menikmati udara sejuk yang dibawa oleh kerindangan pohon-pohon besar di kompleks rumah sakit serta dari atas bukit kuburan kota. Kadang kala tersilir bau wangi bunga melati dan kenanga yang telah rimbun, termasuk peninggalan ibunya Ganik. Sebegitu duduk, aku berkata langsung ke pokok pembicaraan.
Winar mendapat kabar bahwa tahanan Pulau Buru akan dikeluarkan semua. Widowati tentu akan menelepon jika dia menerima surat dari bapaknya.
Sejak anakku perempuan bekerja, dialah yang mengurus suratmenyurat dan kiriman kepada bapaknya. Eko terlalu sibuk dan tekun sehingga merasa kewalahan. Katanya, dia jarang sekali berhubungan dengan ayahnya.
Handoko tidak segera menanggapi bicaraku. Aku menoleh, memandanginya dari samping.
Kira-kira kapan" suaranya biasa. Kuraba tangannya.
Kata Winar, dalam waktu sebulan, mungkin semua sudah keluar. Kecuali mereka yang sukarela memilih tinggal di sana. Aku berhenti sebentar, lalu kusambung, Tolong katakan bagaimana sebaiknya.
Apa maksud Mbak Mur"
Kami masih meneruskan kebiasaan menggunakan panggilan yang dulu. Kecuali kadang-kadang aku menambahkan perkataan Mas di depan namanya. Dalam hal itu, kumaksudkan Mas sebagai singkatan dari Dimas yang berarti adik lelaki. Di antara
363 menghormati. Panggilan Mbak dan Mas merupakan kelumrahan yang sekaligus intim bagi kami. Dalam percakapan di mana nama bapaknya anak-anakku terpaksa disebut, Handoko tetap memakai pula perkataan Mas. Sebaliknya dengan diriku. Untuk menandakan jarak, juga disebabkan oleh tuntutan perasaan, aku selalu berusaha menghindari sebutan itu.
Tentu Widodo akan kemari buat menengok Seto. Kita harus siap. Cepat atau lambat, dia pasti muncul.
Menurut Mbak Mur, bagaimana sebaiknya"
Irawan sudah lebih banyak memberiku penerangan mengenai apa yang dulu terjadi dalam keluarga mertuaku. Widodo mempunyai sifat suka meneror adik-adiknya. Karena Handoko adalah anak termuda, dialah yang paling tertekan oleh kelakuan Widodo yang maunya selalu menang. Ditambah pula karena orangtua mereka mempunyai kecenderungan memihak kepada anak sulung. Kepergian Handoko dari rumah di masa remaja dan berani hidup sendirian bekerja sambil bersekolah di Surabaya, merupakan akibat dari puncak bentrokannya dengan kakak pertama itu. Pada suatu hari, sehabis berkelahi dengan Widodo, dengan muka bengkak dan kaki pincang, Handoko mencari perlindungan di rumah kepala desa. Secara sembunyi-sembunyi, Irawan mengambilkan pakaian seperlunya; lalu adik bungsu itu mengikuti keluarga kepala desa untuk menetap di Surabaya. Kejadian itu mendasari kekakuan hubungan antara Handoko dengan orangtuanya maupun dengan Widodo. Aku mengerti perasaan serta sikap suamiku. Sore itu, kusampaikan rundinganku bersama Winar dan Siswi. Kujelaskan pendirianku.
Syukur kalau dia langsung ke Klaten. Biar Seto yang ke sana. Aku tidak ingin Widodo tinggal di Jalan Bandungan sini.
364 Semasa hidupnya, sahabatku itu tidak menyukai Widodo. Aku tidak ingin mencemarkan kenangan Ganik. Yang tinggal di rumah ini hanyalah orang-orang yang aku sukai dan disukai oleh sahabatku.
Dengan perasaan lega, malam itu aku menyatakan tidak terlihatnya kesalahmengertian di antara Handoko dan aku. Tetapi meskipun demikian, jauh di dalam lubuk hatiku kurasakan ketidakamanan. Semacam adanya ancaman yang tidak jelas dalam bentuk apa.
Benarlah Widowati meneleponku pada suatu malam untuk mengatakan bahwa bapaknya memberitahukan berita tersebut. Berdua bersama ayahnya, mereka membuat rencana. Wido akan mengambil cuti tahunan. Lalu mereka ke Jawa Tengah. Kutanyakan apakah ke Klaten" Anakku menjawab, bahwa mereka akan ke Semarang karena bapaknya ingin ketemu Seto. Menunggu sampai hari Sabtu, kemudian bertiga bersama-sama ke Klaten menengok Mbah Kakung. Mertuaku perempuan meninggal dua tahun setelah aku menikah dengan Handoko. Kami sepakat untuk tidak terlalu sering berkunjung ke sana. Kebetulan kesibukan kami sedemikian padat, sehingga waktu-waktu bersantai berduaan lebih terasa nikmat jika kami habiskan sendirian di rumah kami di Jalan Bandungan.
Ternyata aku terpaksa menjelaskan lebih dari satu kali bagaimana pendirianku, karena anakku perempuan yang kukira mengertiku selama ini, tidak bisa menerima mengapa aku menolak dia mengajak ayahnya ke rumahku. Ketika aku bertanya di mana bapaknya akan menginap selama tinggal di Semarang, dengan suara pasti dia menjawab: di rumah kita. Seolah-olah sudah sepatutnya Widodo bermalam di Jalan Bandungan. Tanpa
365 nya dan aku sudah tidak mempunyai hubungan sesuatu pun. Bahwa dengan adanya suamiku yang lain, meskipun dia saudara ayahnya, bukan kewajibanku untuk memberi tempat bermalam kepada bapaknya. Untuk menambah kekukuhan argumentasiku, Ganik juga kusebut-sebut. Lalu kukatakan bahwa keluarga Winar bersedia menampung Widodo jika hanya untuk dua atau tiga hari saja.
Pada kesempatan itu, kuberitahukan pula perihal hubungan Handoko dengan ayahnya. Selama itu anak-anakku mempunyai tanggapan yang normal terhadap pamannya yang telah menjadi suamiku. Handoko tahu kedudukannya. Sejak semula dia sudah mengatakan tidak akan campur tangan dalam hal pendidikan Seto atau dalam keputusan apa pun mengenai anak-anakku. Kerapuhan posisinya sebagai ayah tiri dia kenal dengan baik. Katanya, biarlah Sri dan Winar meneruskan peranannya sebagai pengarah dan sahabat keluarga mengenai anak-anak. Setelah kuceritakan sedikit apa yang kudengar dari Irawan, Widowati agak terbuka pikirannya. Barangkali dia terlalu mabuk oleh kegembiraan akan bertemu lagi dengan ayahnya. Sebab itu, anakku menjadi kurang tenggang rasa tentang pendirianku terhadap bapaknya.
Widowati mengantarkan bapaknya langsung ke rumah Winar sewaktu mereka sampai di kota kami. Selama tiga hari aku bisa bertahan terhadap bujukan anak-anakku. Mereka ingin aku menemui bapak mereka di rumah Siswi, atau memperbolehkan mereka membawa ayah mereka ke Jalan Bandungan. Di depan Handoko, Wido bahkan mengatakan bahwa bapaknya baik sekali, ramah, dan selalu penuh cerita. Mengapa Paman dan Ibu tidak mau turut kami ke rumah Bu Siswi" Handoko tidak menjawab tegas bahwa dia tidak hendak bertemu dengan kakaknya. Tapi
366 berbaik-baik lagi dengan Widodo.
Memang ada waktu-waktu di mana rasa kemanusiaanku ingin mengalah. Suamiku mengatakan, jika aku merasa sebaiknya menemui Widodo, dia mau menemaniku. Tapi hatiku masih mendendam. Dan ternyata dendam itu lebih tebal dari rasa lain. Meskipun dengan dasar pikiran demi anak-anak pun, aku tidak bisa berhadapan dan berbicara dengan Widodo seramah di kala aku berhadapan dengan orang lain. Sampai saatnya tiba mereka berangkat ke Klaten, kami tetap tidak bertemu dengan bapaknya anak-anak.
Semua berjalan dengan cukup baik. Winar dan Siswi sepakat mengatakan bahwa memang Widodo sangat berlainan sikapnya. Dia banyak sekali tersenyum dan tertawa. Bicaranya lanear, penuh kehangatan dalam suaranya. Tidak sedikit pun tampak sisasisa kekakuan yang dulu mereka kenali merupakan ciri khas di masa dia masih menjadi pendampingku. Tapi Winar juga berkata bahwa itu bisa saja merupakan tameng bagi Widodo. Seperti almarhum ibuku, sahabatku suami-istri itu tidak menaruh kepercayaan sedikit pun kepada orang yang pernah menjadi anggota partai terlarang. Widodo sekarang beragama Kristen Protestan. Kau tahu, kata Winar, dia kelihatan begitu saleh, jenis orang yang menaruh Kitab Suci di samping tempat tidur. Tetapi kita tidak pernah bisa tahu bagaimana isi hatinya yang sesungguhnya, sambung temanku.
Selama beberapa waktu aku berusaha untuk tidak memikirkan keberadaan Widodo. Widowati kembali bekerja seperti sediakala. Seto juga tidak memperlihatkan perubahan sifat maupun kelakuan. Kendaraan yang dulu dipakai kakaknya, diberikan Sri kepada anak bungsuku dengan janji, bahwa dia harus selalu men367 dari kami kembali menjalankan tugas sehari-hari. Namun rasa kesejahteraanku tetap belum pasti seperti dulu. Rasa kekhawatiran tetap hadir. Aku merasa seolah-olah ada jala yang terentang di atas sana, yang pada suatu ketika, entah kapan, akan dilemparkan dengan mendadak buat menjebak kami berdua, Handoko dan aku.
Kemudian tibalah hari Sabtu yang lain, kira-kira sebulan setelah anak-anakku kembali dari menemani bapak mereka. Seto minta izin untuk ke Klaten akan menjenguk ayahnya. Pada saat itulah aku sadar bahwa bagaimanapun aku menghindar, aku masih akan terus mendengar apa dan bagaimana jadinya bekas suamiku yang pernah menjadi musuh besar pemerintah itu. Aku harus menerima hal itu sebagai suatu kebiasaan, kelumrahan yang serba umum. Yang sama sekali tidak mengancam ataupun merusak kehidupanku bersama Handoko.
Demikian berlangsung dua bulan, menyusul tiga bulan. Dan suatu siang, di waktu makan, Seto mengatakan bahwa ayahnya ada di kota kami.
Bagaimana kau tahu" Apakah kau menerima suratnya" Atau pesan"
Tadi Bapak ke sekolahku. Nanti setelah makan, aku akan ke rumahnya, sahut anakku.
Ke rumahnya" Ya. Bapak bekerja sebagai penjaga gereja, mendapat kamar di belakangnya. Aku ingin lihat, kata Seto.
Nyata hatinya ringan. Kurasakan ada kepuasan dalam nada suaranya.
Dia meneruskan, Senang aku! Bisa bertemu Bapak sewaktuwaktu. Aku tidak usah ke Klaten lagi.
368 dak menetap sekota dengan kami! Tetapi bagaimana aku akan melarang Seto mengunjungi bapaknya" Aku hanya bisa mengingatkan, Tugas sekolah jangan diabaikan!
Mulai dari waktu itulah peristiwa-peristiwa yang tampak biasa, menjadi batu di perjalanan hidup kami sehari-hari. Batu itu jika tersandung bisa saja menggelinding dengan sendirinya meminggir. Namun jika kami kurang waspada, adakalanya hampir membikin kami terjatuh.
Aku berusaha untuk tidak terlalu mempedulikan kehadiran Widodo. Tapi berangsur-angsur, kuperhatikan perubahan anak bungsuku. Dia kurang meneguhi, kemudian sama sekali tidak mengindahkan peraturan yang telah kami sepakati bersama. Handoko tidak atau jarang sekali makan siang di rumah. Kebalikannya, aku selalu berusaha untuk berada di rumah supaya bisa makan bersama Seto. Seandainya meleset hari ini, keesokannya harus diusahakan agar kami bertemu selama paling sedikit lima belas menit di meja makan. Seperti dulu juga dengan Eko dan Wido, aku ingin menerapkan disiplin itu sebaik mungkin, demi rasa keterlibatan timbal-balik antara anak-anak dan aku sendiri. Kalau memang pertemuan makan itu tidak dapat dilaksanakan disebabkan oleh kepadatan kegiatan sekolah atau kursus, aku tidak merasa keberatan. Yang membikin sakit hatiku ialah karena aku tahu dengan pasti, bahwa Seto melalaikan peraturan bersama itu karena dia lebih mementingkan ayahnya. Aku sadar memang ada rasa iri yang menguasaiku. Di samping itu aku tetap ingat bahwa Seto bukan anak berkemampuan kecerdasan yang sama seperti kakak-kakaknya. Dia memerlukan kekangan kendali dan pengarahan yang lebih ketat dalam hal belajar. Dengan
369 khawatir Seto akan nunggak kelas. Dipandang sepintas lalu, ini pun bukan hal yang patut dianggap sebagai sebuah tragedi. Tidak naik kelas bukan berarti tamat riwayat. Yang menyedihkan bagiku ialah pengetahuan bahwa anakku berada di bawah pengaruh buruk bapaknya. Berkali-kali, dengan perlahan serta penuh kecintaan aku mengingatkan kewajibannya belajar. Jika memang dia ingin lebih sering bersama ayahnya, makan siang berdua denganku dapat kukorbankan. Namun lama-kelamaan, petang pun aku jarang melihat anakku. Kebaruan lain dari dia, ialah dia menjawab kata-kata lembutku dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah terbayang akan dia ucapkan. Katanya dia sudah besar sekarang. Mengapa aku hendak terus menyekapnya" Dia tidak akan bisa berkembang kalau aku tidak memberinya kebebasan.
Sakit hatiku berubah menjadi kesedihan. Aku sebegitu terkejut menyatakan betapa Seto bisa membantah dengan katakata semacam itu sehingga kepalaku kosong, tidak mempunyai tangkisan kalimat yang tepat namun tidak menyinggung jiwa remajanya. Aku hanya bisa mengadukan halku kepada Winar, Siswi, serta Sri. Entah karena mereka adalah sahabatku, pendapat mereka sama: Widodo sedang mengacau kehidupanku. Hati manusiaku yang wajar tidak dapat menerima pemikiran semacam itu. Tidak mungkin orang yang telah mengalami percobaan empat belas tahun di penjara mempunyai kelicikan sedemikian keji. Apalagi terhadap anaknya, terhadap bekas istrinya. Apakah sebenarnya yang dia kehendaki" Winar tetap mengharap aku waspada. Dia sendiri sekali-sekali singgah ke tempat kediaman Widodo dan berbicara mengenai ini atau itu. Sekadar untuk mengetahui apa yang dikerjakan bapak anak-anakku itu. Winar juga berbicara dengan pendeta yang memberi tanggung jawab dan ka370 rus tidak hanya mempercayai apa yang kelihatan.
Pada suatu siang ketika aku pulang, seperti biasa pintu pagar sudah terbuka. Mobil kubawa langsung ke sisi rumah. Sekilas aku melihat seseorang duduk di beranda depan. Turun dari kendaraan, pembantu yang menolong membawakan tas dan mapku berkata bahwa ada tamu yang menunggu Seto. Tanpa memperhatikan siapa tamu itu, aku berganti baju santai, lalu masuk ke kamar buku. Sambil menunggu anakku, aku melihat-lihat isi map di atas meja kerjaku. Beberapa waktu kemudian kudengar Seto datang serta membawa tamunya ke kamarnya. Kubiarkan anakku menyelesaikan urusannya beberapa saat. Lalu kupanggil untuk makan bersamaku.
Di kala dia datang ke meja makan, barulah aku melihat siapa tamu itu. Hampir aku tidak bisa menahan rasa terkejutku. Untunglah aku masih kuasa menarik kekangan dalam diriku, dan tanpa mengulurkan tangan aku menyalami dengan sikap dan suara sebiasa mungkin. Widodo mengatakan mempunyai kencan dengan anaknya. Dan karena siang itu kebetulan dia mempunyai keperluan di daerah rumah sakit, daripada Seto yang ke rumahnya, dialah yang singgah ke Jalan Bandungan. Aku tidak menanggapi omongannya. Namun bagaimanapun juga, tatacara kesopanan tidak bisa kuhilangkan. Aku terpaksa bertanya apakah dia sudah makan. Aku tidak mau melayaninya. Maka kusuruh Seto mengambilkan keperluan untuk makan buat bapaknya. Sambil makan, Widodo menanyakan berita Handoko, aku sendiri, dan adik-adikku. Semua kujawab secara sederhana, tanpa berkepanjangan. Dalam kebingungan karena tiba-tiba berhadapan dengan Widodo di rumahku sendiri itu, aku masih memiliki kejernihan pikiran: aku tidak ingin berbaik-baik dengan dia.
371 maan baik dariku, dia sering sekali datang ke Jalan Bandungan. Alasannya selalu sama, ialah mencari Seto. Yang sebenamya, dia menjadi pengganggu bagiku dan bagi suamiku. Kuperhatikan ketika Handoko bertemu dengan kakaknya untuk pertama kalinya juga dingin saja. Seperti aku, dia tidak mengulurkan tangan maupun memberinya sambutan akrab. Perkataan Eh, Mas Wid itu pun sudah amat mencukupi bagi pendengaranku.
Gangguan kedatangannya benar-benar kuanggap merajalela. Pagi di waktu masing-masing dari kami sibuk bersiap untuk bekerja, Widodo muncul. Langsung dia duduk di meja makan tanpa kami silakan. Selalu Seto yang serta-merta melayaninya, atau berteriak menyampaikan perintah kepada pembantu. Hal yang sangat bertentangan dengan prinsipku. Bagiku, pembantu hanyalah untuk mengerjakan tugas yang berat, yang tidak mungkin kami laksanakan sendiri berhubung kekurangan waktu. Aku meneruskan mempergunakan tenaga orang-orang yang dulu dipakai oleh Ganik serta orangtuanya. Mereka sudah mengenal rumah itu dengan baik. Kebiasaan cara kerja mereka sedapat mungkin tidak kuubah. Keluarga Ganik memang dilayani. Tetapi untuk hal-hal yang ringan, mereka amat mandiri. Maka dengan kebiasaan baru yang berupa kedatangan Widodo pagi, siang, dan petang tanpa mengikuti tatacara bertamu yang sopan, pembantu-pembantu kami bertambah pekerjaan.
Hatiku tertekan. Kulihat muka Handoko tidak cerah. Waktu petang adalah saat ketenangan kami berdua. Tapi sejak Widodo semena-mena menjadi pendatang yang tidak dikehendaki, keduaanku bersama Handoko tercemar oleh kehadirannya. Dia pintar berbicara. Bagaimanapun kami tidak menanggapi omongannya yang panjang lebar, dia mempunyai keterampilan bermonolog.
372 aku pulang siang, kutemui Widodo seenaknya duduk di kamar buku. Seolah-olah dia sudah mapan di sana, santai setengah berbaring di dipan yang pernah menjadi tempat tidur sahabatku terkasih Ganik. Hal itu menimbulkan kegusaran yang tidak bisa kutahan lagi. Aku bicarakan dengan Handoko, bagaimana caranya mengusir atau mengingatkan Widodo pada tempatnya. Suamiku mengatakan bahwa itu adalah kewajibanku, karena rumah ini adalah rumahku. Hanya aku yang berhak berbuat itu. Mbak Mur harus tegas, katanya. Dan lama-kelamaan, karena aku tidak sampai hati mengatakan sesuatu pun kepada bapaknya anakanak, juga tidak ingin menimbulkan kesalahmengertian dengan Handoko, pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku mengingatkan pembantu agar mengunci semua kamar setelah dibersihkan. Lemari di ruang tamu pun begitu pula. Meskipun Widodo datang dan turut makan pagi, kamar-kamar aku kunci sendiri sebelum pergi. Siangnya, baru dibersihkan ketika aku pulang.
Seperti yang telah kukhawatirkan, lima bulan setelah kedatangan Widodo, anakku tidak naik kelas. Kalau ini dianggap sebagai akibat, ya itulah akibat yang ditanggung Seto. Dia kelihatan biasa saja. Ketidaksadarannya semakin menyedihkan hatiku. Dengan lembut aku mencoba membukakan pengertiannya bahwa selama itu dia kurang menekuni studinya. Di luar persangkaanku, dia membantah. Katanya, dia tidak naik kelas karena ada dua guru yang sentimen terhadapnya. Dan ayahnya setuju dengan dia, tambahnya. Aku tidak mengerti mengapa bapaknya turut menyetujuinya. Apakah dia kenal dengan guru itu" Anakku mengatakan semua ulangan dia garap dengan baik. Bapaknya menolong mengerjakan PR. Kalau dia tidak naik kelas, tentulah dua guru itu yang memberinya angka paling buruk.
373 doko, pada kesempatan pertama, aku menelepon Irawan. Anak sulungku Eko belum bertemu dengan Widodo sejak keluar dari tahanan. Kuadukan kepada Irawan keadaan yang kualami sejak kakaknya tinggal di kota kami hingga Seto nunggak kelas. Kusampaikan teori Winar dan Sri, bahwa Widodo sengaja mengacau kehidupan keluargaku. Seperti aku, reaksi pertama Irawan ialah apakah dia sejahat itu benar"
Saya juga tidak percaya dia demikian. Apalagi setelah empat belas tahun berprihatin, tentunya dia lebih luwes dalam pergaulan dan dalam mengerti orang lain, kataku.
Irawan sebentar tidak bersuara. Lalu, Tapi Mbak Mur harus tetap hati-hati. Winar ada benarnya. Orang-orang seperti Mas Wid bisa hanya kelihatan baik dari luar. Tapi kalau Seto, dia kan anaknya sendiri" Meskipun begitu, bisa juga terjadi! Semua dikorbankan asal tujuan sampai.
Kalau begitu, lalu apa tujuannya"
Itulah yang kurang jelas. Harus diadakan pembicaraan terbuka dengan Mas Wid, apa yang dia kehendaki. Apakah dia ingin Seto turut dia"
Kalau hanya itu, tentu akan saya berikan Seto kepadanya. Mbak Mur rela"
Mengapa tidak" Kalau anaknya mau, malahan lebih lega saya! Tapi ya harus dididik yang benar, jangan dijadikan komunis. Dan harus dicukupi kebutuhannya. Saya tidak mau bertanggungjawab mengenai pengeluaran Seto kalau dia turut bapaknya. Handoko bagaimana" Dia berbicara dengan Mas Wid" Ya, berbicara biasa-biasa saja. Anda kenal dia, dalam hal anak-anak, dia tidak mau turut campur. Memang kami sudah
374 hati, bagaimana mengatakannya kepada Seto, kepada bapaknya.
Kalau ribut-ribut begitu di situ, Seto saya ambil saja sekalian. Biar sekolah di Makassar. Mas Wid tidak akan berani kepada saya. Memang kalau Handoko lain. Sedari dulu, dia pikir, Handoko paling muda. Bisa diteror semaunya.
Tiba-tiba aku melihat keadaan lebih terang. Benar. Usul Irawan adalah jalan keluar yang baik. Tapi apakah Seto mau"
Eko sudah mencapai setengah jalan studinya. Saya berhasil mempengaruhinya agar tidak tergesa-gesa ketemu dengan ayahnya. Biar tahun depan saja dia ke Jawa, bersama rombongan studi, naik kapal dan kereta api.
Itu juga merupakan kelegaan. Bagaimanapun, Eko lebih kuat imannya. Selain karena umurnya, jiwanya juga matang. Jalan yang menuju ke cita-citanya sudah tergaris. Agamanya juga mantap. Dia Islam, dengan meneguhi tradisi kejawen. Ini yang kusukai padanya. Tidak seperti Widowati. Anakku yang perempuan condong menjadi fanatik. Aku selalu terganggu jika berbincang dengan dia mengenai tradisi yang tidak terlalu merugikan kemajuan pikiran maupun gerak dalam kehidupan praktis. Berbicara dengan Widowati, kalau menyinggung agama Islam, kurasakan semua menjadi tegang. Kemudian, kekakuan bertambah lagi sejak bapaknya tinggal sekota dengan kami. Apa pun yang menyentuh ayahnya, dia bela mati-matian. Ada satu hal yang belum dia sadari, ialah perubahan Seto dalam beribadah. Sajadah yang dibelikan Widowati ketika dinas dalam penerbangan haji, sejak lebih dari tiga bulan tidak berguna lagi. Seperti juga mengenai peraturan bertemu satu kali dalam sehari di meja makan, beberapa kali aku mengingatkan Seto pada kewajibannya
375 suara sebagai jawabannya.
Dalam percakapan telepon dengan Irawan, dia juga menyarankan agar aku menghubungi Mas Gun. Sudah lama aku tidak bertemu dengan bekas anak buah ayahku itu. Mengenal watak Handoko, serta mengetahui bahwa suamiku yang muda itu telah memiliki bibit kecemburuan terhadap Mas Gun, aku memang sengaja tidak terlalu mencari waktu buat menelepon maupun mengunjungi keluarganya. Ditambah pula dengan kegiatanku kuliah kembali, sikapku itu kuanggap semakin beralasan. Dan semua kenalan dekat atau jauh pun memahami hal tersebut. Kata Irawan, Mas Gun seharusnya lebih bisa mengarahkan bagaimana tindakanku jika untuk seterusnya bapak anak-anakku tetap merupakan gangguan. Irawan menyebutkan soal pengawasan yang dilakukan pihak berwajib kepada bekas tahanan seperti Widodo. Dalam hal kesukaran apa pun, Mas Gun adalah orang yang tepat yang akan bisa membantuku.
Sebelum menemui Mas Gun, aku mencari kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan anak bungsuku. Kesempatan itu tanpa kusangka-sangka tersuguh dengan mudahnya. Sore setelah aku berbicara dengan Irawan, Seto masuk ke kamar buku untuk minta uang. Dia harus membeli kertas gambar buat menggarap tugas sekolahnya. Aku berdiri, mengambil dompet dari tas, lalu menghampirinya. Kupeluk dia sebentar, lalu kucium kedua pipinya.
Ayo kita berbicara sebentar, kataku sambil menarik lengannya. Kami duduk berdampingan di atas dipan, serta kuteruskan, Begini, Yang. Ibu ingin tahu, apa sebenarnya yang mengganggu hubungan kita. Kamu dan aku.
Seto tidak menjawab. 376 sebentar, kataku lagi, Ada apa" Kamu membenci Ibu" Setiap kali aku mengatakan sesuatu, kamu selalu sudah siap untuk membantahku. Sampai-sampai persetujuan bersama yang selama bertahun-tahun menjadi kesepakatan kita, juga kamu abaikan. Tidak naik kelas, bagiku bukan hal yang paling menyedihkan. Kamu tentu akan bisa memperbaiki prestasimu tahun ajaran ini. Hanya, aku minta, tenangkan sedikit hatimu. Ibu sedih melihat kamu tidak pernah di rumah. Aku tahu, kalau kamu tidak di sini, selalu di tempat bapakmu. Apa yang kamu inginkan" Apakah kamu lebih suka tinggal bersama dia" Katamu kamu sudah besar sekarang. Sebetulnya, kamu baru mulai besar . Pikiranmu belum terbuka seperti seharusnya orang dewasa. Kurasa kamu belum bisa menyaring secara tepat mana yang baik dan mana yang kurang baik.
Mengapa Ibu berkata begitu" Apakah Bapak itu kurang baik" suaranya tiba-tiba keluar dengan tekanan pembelaan yang keras.
Aku tidak tahu bagaimana dia sekarang, kataku cepat dan tulus. Dan seketika itu juga aku memutuskan untuk lebih jauh berterus-terang, Dulu, dengan dia sebagai suami, aku memang tidak bahagia bersama bapakmu. Dia pelit, sifatnya mau menang sendiri, melarang aku bergaul dengan lingkungan. Sebagai bapak, karena pelit, tidak memanjakan anak-anaknya. Saudara-saudara kandungnya sendiri mengatakan bahwa dia orang yang suka meneror. Hubungan dengan orangtuanya sendiri pun tidak baik. Barangkali kamu tidak ingat, bahwa baru setelah bapakmu masuk tahananlah kita mempunyai keakraban yang normal dengan Embah di Klaten. Itu disebabkan karena aku yang mendahului sowan ke sana setelah bekerja kembali untuk menghidupi kalian. Sekarang, setelah empat belas tahun masuk penjara, apakah
377 ingin anak bungsuku yang belum cukup berpendidikan ataupun jiwanya masih mencari keteguhan, terpengaruh oleh jalan pikiran bekas suami dan bekas musuh pemerintah itu.
Pemerintah sih memusuhi semua orang yang tidak menyetujui politiknya, bentak Seto lagi.
Aku sekali lagi terkejut mendengar suaranya.
Ssst! Mengapa kamu berteriak begitu" Ini juga baru, bukan" Dulu sebelum bapakmu datang, sebelum dia menetap di kota kita, kamu selalu berbicara biasa-biasa saja. Dan lagi, politik pemerintah yang bagaimanapun, selama ini kita hidup dengan baik. Dilindungi Tuhan, diatur oleh pemerintah yang kelihatannya tetap dibenci oleh ayahmu. Terbukti bahwa kamu sudah terpengaruh berpikir seperti dia. Tentu saja banyak kekurangan pemerintah. Banyak pejabatnya yang korupsi. Tapi apakah kamu pernah berpikir bahwa tidak gampang mengatur negara yang sebegini besar, dengan suku bangsa serta kepulauan yang tersebar luas, masing-masing memiliki adatnya sendiri-sendiri" Coba kamu bandingkan dengan Vietnam, dengan Irlandia! Kamu seharusnya bersyukur setiap hari hidup tanpa khawatir kejatuhan mesiu atau terkena jebakan, dapat makan dan bersekolah dengan normal. Bayangkan orang-orang di negara yang kusebutkan tadi. Makan pun belum tentu mereka dapatkan setiap hari. Di negeri ini, dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain, apakah kamu tidak merasa lebih beruntung" Kita mempunyai rumah. Dulu karena turut Eyang, dibantu segalanya oleh dia. Teman-teman Ibu juga sangat menolong kita. Apakah kamu tidak senang mendapat kendaraan dan uang saku dari Bu Sri" Dalam negeri yang mempunyai politik lain, belum tentu diperbolehkan setiap orang memiliki barang-barang seperti itu.
378 lanjut. Segera kutekan luapan perasaanku. Kuambil tangan Seto, kugenggam serta kuteruskan berbicara, Sekarang, coba katakan apa sebenarnya yang kauinginkan!
Kupegang mukanya supaya menoleh dan melihat ke arahku. Kau ingin turut bapakmu" Daripada turut aku tapi tidak mau mengikuti pengarahanku lagi"
Kuterka ada sinar di wajahnya.
Kamu dan bapakmu pernah berbicara mengenai hal ini" sambungku lagi untuk memberinya keberanian berterus-terang. Ya. Bapak sudah berbicara kepada Ibu" dia bertanya. Tidak perlu bapakmu memberitahuku, aku sudah bisa mengira bahwa itulah gagasannya, kataku dengan menyembunyikan kesedihanku sedapat mungkin. Jadi benarlah bahwa mereka telah berkomplot untuk menyisihkanku.
Mengapa kamu tidak mau berbicara langsung saja kepadaku tanpa aku bertanya, tanpa kamu begitu sering tidak berada di rumah" Kamu pasti tahu bahwa aku sangat menyayangimu, Seto. Semua masalah bisa kita bicarakan dengan terus terang. Apakah aku pernah marah dengan membentak dan memukulmu" Aku selalu menginginkan supaya anak-anakku senang, bahagia. Kalau memang kamu tidak senang turut aku, apa boleh buat. Sekarang aku punya tandingan ialah bapakmu. Boleh! Tapi dengan sendirinya, kalau kamu hidup bersama ayahmu, dialah yang bertanggung jawab untuk semuanya. Dia harus membiayai semua kebutuhanmu. Apakah ada tempat di rumahnya"
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 12 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Badminton Freak 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama