Ceritasilat Novel Online

Jalan Bandungan 7

Jalan Bandungan Karya Nh Dini Bagian 7


Aku tidak perlu pindah ke tempat Bapak. Biar dia saja yang kemari, sahut anakku.
Apa maksudmu" tanyaku tidak mengerti. Ibu kawin lagi dengan Bapak.
379 gup mengucapkan sesuatu pun. Dan jawaban anakku itu melecut keluar dari mulutnya, seolah-olah telah lama tersedia, siap untuk dikatakannya.
Seto, kataku keras, kemudian cepat suaraku kuturunkan. Lebih lembut aku meneruskan, Dari mana kamu punya pikiran semacam itu" Katamu kamu sudah besar! Mengapa kamu masih berpikir seperti anak-anak" Kamu melihat sendiri bahwa aku punya suami. Kamu juga tahu bagaimana hubunganku dengan Paman Handoko. Apa kamu pernah menyaksikan ketidakserasian di antara kami berdua sehingga kamu menyimpulkan bahwa kami akan bercerai" Seandainya pun Ibu berpisah dengan Paman, mengapa aku mesti kawin lagi dengan bapakmu"
Karena demi kami anak-anak Ibu. Demi aku. Kata Ibu tadi menyayangi Seto, sahutnya dengan suara pasti. Dia sungguhsungguh yakin bahwa dia benar. Bahwa gagasannya patut didukung.
Kali itu aku tidak bisa lagi menahan emosiku. Tapi di samping itu aku menyadari bahwa Seto hanyalah korban dari suntikansuntikan gagasan orang lain. Aku berdiri untuk menyentakkan kekesalan dari hatiku. Kubuka dompetku sambil menuju ke meja kerja. Kuambil uang lima ribuan. Ketika akan memberikannya kepada anakku, aku berkata, Kesayanganku kepada anak-anak ada batasnya, karena Ibu tetap ingat bahwa selama lebih dari sepuluh tahun sudah mengorbankan banyak sekali. Sekarang aku tidak akan terlalu bertele-tele lagi. Kamu saja, pikirkan baikbaik, ikut Ibu atau pindah turut bapakmu. Turut bapakmu berarti belum tentu Bu Sri akan membiarkanmu membawa kendaraan yang sekarang kaupakai. Atau ada kemungkinan lain, aku tibatiba ingat harus menyampaikan tawaran Irawan, Paman Irawan
380 Kehidupanmu di tempat Paman Irawan akan sama seperti di sini. Ada uang saku, sekolah dibayari. Mungkin diberi kendaraan juga. Besok malam Paman akan menelepon. Jangan pergi supaya kamu bisa berbicara sendiri untuk menjawab mau atau tidak.
Sesungguhnya masih banyak lagi yang ingin kukatakan kepada Seto. Tapi aku takut dia akan jenuh mendengarnya. Semua yang kukatakan bisa dia anggap sebagai nasihat yang memuakkan. Aku tahu bahwa kebanyakan remaja tidak menyukai nasihat. Apalagi jika itu datang dari orang yang hidup serumah, namun kedekatan rasa di antaranya sangat rapuh.
Malam itu dan keesokan harinya aku tidak tenang. Aku menyadari telah terlalu banyak berbicara dengan keterusterangan yang mungkin menyinggung jiwa muda anakku. Seto sedang mabuk oleh kehadiran bapaknya. Dengan mengatakan fakta yang kuketahui mengenai bapaknya, tidakkah aku menjelekkan citra ayah di depan si anak" Aku juga telah menyebutkan keadaan ekonomi sang ayah yang meragukan apakah akan bisa menyangga keperluan Seto jika mereka hidup bersama. Tanpa menyembunyikan rasa egoisku, memang aku mempunyai harapan terpendam. Meskipun gajiku amat sedikit ketika anak-anakku masih kedl, ibuku dan sahabat-sahabatku membantuku menumbuhkan Seto dan kakakkakaknya dalam kehidupan yang nyaman. Segalanya dilingkupi rasa keprihatinan, namun makanan dan pakaian tidak pernah kami batasi. Bahkan hiburan yang berupa tontonan maupun pergi ke luar kota bukan merupakan hal yang terlalu mewah bagi kami. Jadi Seto biasa hidup serba ada meskipun dengan batasan tertentu. Apakah kini tiba-tiba dia akan berani meninggalkan semuanya untuk turut bapaknya" Apakah ayahnya sungguh-sungguh mau mengambil-alih beban menyokong seorang remaja seperti Seto"
381 akan berlangsung lama tanpa ada bentrokan"
Kuakui, bahwa dalam hatiku terselip rasa ingin tahu tersebut, sehingga harapan agar Seto mau pergi ke Ujung Pandang sama besarnya dengan kehendak agar anak bungsuku benar-benar jadi turut ayahnya. Biarlah dia mengalami bagaimana hidup bersama laki-laki yang menjadi idolanya itu. Biar dia rasakan sendiri bedanya dari kenyamanan dan kesejahteraan dulu selama hidup bersama ibuku dan kini bersama aku dan Handoko. Orang selalu mengidamkan apa yang tidak dimilikinya. Dalam pepatah bahasa Inggris dikatakan bahwa rumput di kebun tetangga selalu kelihatan lebih hijau daripada di kebun sendiri. Kukira, Seto mempunyai kecenderungan senang hidup enak, namun dia sadar tidak yakin apakah bapaknya mampu memberikannya kepadanya. Sebab itulah tanpa berpikir panjang dia menerima gagasan persatuan kembali antara aku dan Widodo. Aku mempunyai uang cukup, punya rumah dan pekerjaan tetap dengan gaji yang dapat menutup biaya hidup sederhana. Dua yang pertama adalah berkat kecintaan sahabatku Ganik terhadapku. Anak-anak tidak tahu bahwa hak milik atas rumah dan tanah di Jalan Bandungan bisa diubah hanya jika Sri, Siswi, dan Mur memberikan suara terbanyak untuk setuju. Ganik mengenalku dengan baik. Kawanku itu khawatir kalau-kalau di masa mendatang aku tertipu oleh suami, anak atau saudara yang berhasil mendekatiku. Seperti kebanyakan orang lain. Seto hanya melihat kemapanan hidupku. Dia ingin menarik ayahnya, turut memanfaatkan kesenangan, tinggal bersama kami di Jalan Bandungan.
Aku teringat harus menghubungi Mas Gun. Karena kurang mantap berbicara di telepon, aku pergi ke kantornya setelah menentukan janji. Dia tampak senang bertemu dengan aku.
382 memaparkan kesulitanku. Widodo masih berkewajiban melapor secara teratur ke pihak yang berwajib. Dik Mur harus tahu ini. Kalau dia bertingkah, bisa saja dia diperingatkan. Kemudian, jika dia tetap pada sikapnya, tekanan bisa diperketat, kata bekas anak buah ayahku itu.
Saya malu kalau hal itu dilaksanakan. Seolah-olah saya tidak memiliki rasa perikemanusiaan. Tega terhadap bekas suami sendiri, bapak anak-anak saya sendiri. Mentang-mentang punya teman di pihak yang berwajib!
Ah, Dik Mur selalu begitu: tidak sampai hati. Dia mengganggu, bukan" Winar memang benar. Orang seperti Widodo tidak mungkin berbuat sesuatu tanpa mempunyai rencana tertentu. Ya mengacau itu maunya! Seto tidak naik kelas! Itulah hasilnya. Karena dengan kenyataan ini, Dik Mur menjadi gelisah. Ini satu bentuk dari peneroran.
Tiba-tiba aku teringat bahwa sedari masa muda, Handokolah yang paling diteror Widodo. Apakah benar ini yang dikehendaki" Mengacau hidupku bersama Handoko" Sementara ini dia menunggu hasil ulahnya dengan keramahan dan kemunculannya yang melekat seperti lintah. Perlahan dan pasti, dia menghisap kesabaran dan keteguhan cinta kami berdua. Dia yakin akan menang.
Apa yang harus saya lakukan" tanyaku hampir putus asa. Yang paling penting, jangan diperlihatkan bahwa Dik Mur cemas maupun takut kepadanya. Saya sudah melihat bahwa anda bisa menunjukkan kewibaan terhadap anakanak. Sekarang harus lebih lagi dalam hal ini. Seto harus setengah dipaksa turut Dokter Irawan. Di sana ada Eko. Jadikan itu alasan kuat. Kalau dibiarkan Widodo mengambil Seto, selain dia pasti tidak mampu
383 ngan. Saya ikut tidak rela kalau Seto turut bapaknya.
Apakah aku akan dapat memaksa Seto supaya berangkat ke Ujung Pandang" Bagaimana caraku"
Pada kesempatan pertama Widodo datang lagi, langsung anda berbicara dengan tegas. Katakan bahwa anda tidak mau lagi dia mengganggu, baik di Jalan Bandungan maupun memikat Seto. Beritahu dia bahwa rumah anda diawasi. Tunjukkan bahwa anda tahu mengenai kewajiban melapor paling tidak sebulan sekali. Kapan Dokter Irawan menelepon"
Nanti malam. Dia pasti bisa memberikan pengertian yang lebih jelas kepada Seto. Suruh Eko juga berbicara langsung kepada adiknya. Saya juga berpendapat begitu.
Jangan lupa bahwa bagaimanapun juga, Dik Mur berada di pihak yang menang segalanya. Semua hak ada pada anda, di mata hukum maupun masyarakat atau keluarga. Widodo belum bersih. Sedangkan anak-anak, andalah yang membesarkan mereka, memenuhi kebutuhan cinta kasih, pendidikan, dan makanan mereka. Dik Mur harus ingat ini.
Ya, aku ingat. Oh, betapa aku akan melupakan hal itu! Belum lagi disebutkan oleh Mas Gun tekanan batinku dalam menghadapi sikap lingkungan karena nasibku sebagai istri tahanan Pulau Buru.
Nanti, kalau anda sudah berbicara secara terbuka kepadanya, tetapi tetap saja dia mengganggu dan datang ke Jalan Bandungan, beritahu saya!
Belum terjadi saja aku sudah merasa ragu. Alangkah nistanya membawa-bawa polisi dan pihak yang berwajib dalam urusan keluargaku! Mentang-mentang punya teman yang berkedudukan!
384 lah yang terdengar. Seolah-olah mengerti kata hatiku itu, Mas Gun menyambung, Betul-betul Dik Mur harus berbicara tegas! Ataukah perlu anda menelepon saya sebegitu dia datang" Jadi saya saja yang berbicara kepadanya"
Tidak, ah, jangan! kataku cepat. Biar saya saja. Akan semakin kelihatan betapa aku meminta temanku yang berkedudukan untuk mendampingiku dalam menghadapi bekas suami pengganggu itu. Tidak. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku takut kepadanya. Lebih-lebih lagi, kalau Handoko mengetahui bahwa akhirnya Mas Gun sedemikian banyak campur tangan dalam urusan keluargaku, dia tidak akan bersenang hati. Meskipun sesungguhnya, kesimpulanku ialah Handoko dan Mas Gun mempunyai pendapat sama: aku harus bersikap tegas. Sedari permulaan perkenalan kami pun, Handoko mempunyai kalimat kesenangan, Mbak Mur harus tegas menghadapi sesuatu. Mengapa selalu ragu-ragu" Lima tahun bersama dia, aku merasa memiliki sifat lebih kokoh, lebih berani, lebih tegas. Tetapi sekarang, aku menjadi goyah kembali. Apakah Widodo masih begitu berpengaruh sehingga membikinku surut" Tidak. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan kenyamanan dan kedamaian hidupku lagi.
*** Ketika Irawan menelepon, dia langsung berkata akan datang pekan depan. Tetapi dia minta agar Seto tidak diberitahu. Katanya, biar anak itu tiba-tiba saja melihat pamannya datang. Lalu tambahnya, Mbak Mur biasa pulang jam berapa"
385 Baik. Saya akan menelepon dari Jakarta. Mungkin sorenya saya datang. Kalau tidak, hari Selasa pagi, tapi langsung ke rumah sakit. Mana Seto"
Eko bagaimana" Baik-baik. Ini! kudengar dia memanggil anak sulungku. Kami berdua berbicara sebentar. Kukatakan pendapatku agar dia membujuk adiknya untuk berangkat ke Ujung Pandang. Eko sudah tahu, karena Irawan sudah berunding dengan dia.
Lama sekali anak bungsuku berbicara dengan paman serta kakaknya. Malam itu aku tidak langsung bertanya mereka berbicara mengenai apa saja. Sudah kuketahui bahwa Seto tidak suka didesak. Irawan mengatakan agar Seto memutuskan sebanyak mungkin seorang diri. Dia harus mengerahkan kepercayaan dirinya semaksimum yang bisa dia capai. Akan saya minta dia supaya tidak memberitahu bapaknya mengenai tawaran pindah ke Sulawesi bersama kami, kata iparku. Saya tidak ingin Mas Wid mempengaruhinya. Coba kita lihat, apakah Seto bisa menahan berita ini dan menyembunyikannya dari ayahnya, tambah Irawan.
Aku tidak begitu percaya anak bungsuku akan sanggup mengerjakan hal itu. Sama seperti kami meminta dia menimbang besarnya cintanya terhadap paman dan kakak serta ibunya dengan cintanya kepada bapak yang baru saja dia kenal. Bagiku, pastilah bapaknya yang akan dimenangkan. Tetapi hal ini tidak terlalu menggangguku. Sejak pembicaraanku bersama Mas Gun, aku merasa lebih kuat. Dia membuka pengertianku mengenai orangorang bekas tahanan yang mempunyai kewajiban tertentu. Kuakui bahwa keraguan yang telah mengakar menguasai diriku masih bisa saja muncul dan mengkhianatiku dalam hal ini. Meskipun
386 Gun dan lingkunganku untuk menentukan Seto akan turut siapa. Kini semuanya tinggal tergantung kepada anakku. Dan seperti kata Mas Gun, dia harus setengah dipaksa menuruti pengarahan orangtua yang berhak.
Handoko baru akan pulang dari Juana pekan depan. Aku masih memiliki waktu luang untuk meluruskan suasana dengan cara sendirian. Ketika dia meneleponku beberapa hari yang lalu, aku tidak membicarakan masalah tersebut. Kupikir, dia selalu menyerahkan semua urusan anak-anak kepadaku. Jika segalanya telah beres, baru akan kuberitahukan kepadanya.
Seolah-olah Tuhan hendak memberikan kemudahan kepadaku, keesokan hari setelah Irawan dan Eko berbicara dengan Seto, siang ketika kami sedang makan, Widodo muncul. Aku baru menelan suapan paling akhir. Dengan demikian kehadiran bapak anak-anakku itu sama sekali tidak mengganggu nafsu makanku. Pembantu yang telah mengetahui kebiasaan, segera menyediakan piring dan peralatannya, serta menaruhnya di hadapan Widodo.
Selagi dia mengambil nasi dan lauk, aku mulai berbicara, Ini adalah yang terakhir kalinya anda makan di sini, karena saya mengharapkan inilah yang terakhir kalinya anda datang kemari.
Kuperhatikan wajah Widodo setengah menunduk melihat ke makanan di piringnya. Aku tidak melihat bayangan rasa terkejut. Kuteruskan, Sudah saatnya saya beritahukan bahwa kedatangan anda yang tidak mengenal waktu, pagi-siang-petang ini sangat mengganggu Handoko dan aku. Anda juga merebut waktu Seto, mondar-mandir ke tempat anda sehingga pelajarannya terganggu. Buktinya dia tidak naik kelas tahun ini.
Lho! Anak tidak naik kelas kok aku yang disalahkan! suara Widodo cepat dan gesit menangkisku.
387 harus tahu bahwa saya tidak buta selama ini. Kalau anda ingin Seto turut anda, mengapa tidak berterus-terang" Malah kebetulan bagi saya. Biar kita gantian. Selama anda ditahan, Ibu, saya, dan sahabat-sahabat sayalah yang membesarkan dan membiayai anak"anak. Sekarang anda sudah keluar, kalau anda memang mampu, silakan anda ambil Seto. Asal ya itu! Jangan sampai dia dijadikan komunis, memusuhi pemerintah.
Widodo tertawa sendirian. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Apakah untuk menggoyahkan kenekatanku, ataukah untuk menutupi kegugupannya sendiri. Suaranya mengakhiri ketawanya yang perlahan itu, Ibumu ada-ada saja! diarahkannya pandangnya kepada Seto. Sedari dulu dia selalu begitu, berpikir yang aneh-aneh!
Tenang sekali dia berbicara. Aku hampir menjadi penasaran karena dia mengatakan sedari dulu dengan cara akrab. Aku tidak suka dia menunjukkan bahwa kami pernah hidup serta bergaul dekat. Diam-diam aku menghela napas sebelum melanjutkan apa yang harus kubereskan.
Tidak perlu membicarakan yang dulu-dulu. Anda sudah menghancurkan hidup saya, baik ketika kita serumah maupun sewaktu anda berada dalam tahanan. Sekarang anda tidak akan mudah mengacau. Anda tidak meninggalkan harta secuil pun untuk menghidupi anak-anak hingga empat belas tahun lamanya. Dengan mengerahkan semua hak saya, dengan bantuan beberapa teman, saya bisa mempertahankan supaya Seto tetap turut saya. Tapi ini tidak saya anggap benar, karena jika Seto dipaksa, dia tidak akan bahagia. Hatinya akan tertekan. Sebab itu, sebagai manusia dewasa dan berpendidikan, lebih baik kita berunding. Seto
388 untuk turut anda, hidup berdesakan di belakang gereja.
Widodo tetap makan. Aku heran melihat dia mengunyah dan memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya dengan ketenangan yang nyata. Tentulah dia telah merasa mapan di rumahku ini, sehingga omongan yang tidak mengenakkan pendengarannya pun bukan merupakan halangan untuk menikmati hidangan siang itu.
Saya harus mendapat jawaban secepatnya mengenai hal ini. Karena jika Seto tetap menuruti pengarahan saya, dia akan diambil pamannya ke Ujung Pandang.
Kali itu kepalanya tertegak. Mulutnya tetap mengunyah, pandangnya terpancang ke depannya, pengucapan di wajah tidak berubah. Tetapi nyata bahwa kata-kataku yang paling akhir menjadi perhatiannya. Ini membuktikan bahwa Seto tidak memberitahukan tawaran pamannya. Hatiku bersorak dua kali. Pertama karena anakku ternyata bisa menahan diri dan menuruti nasihat Irawan. Kedua, kejutan itu pastilah tidak diperhitungkan oleh Widodo. Tuhan Maha Bisa. Kumohon agar Dia bikin Seto terpikat untuk berangkat ke Sulawesi mengikuti Irawan. Agar Dia selipkan dalam hati anak bungsuku rasa ingin tahu yang sebesar-besarnya buat mengenal tanah lain, lingkungan lain. Pada saat itu juga, tak terpikirkan olehku hal apa pun selain keinginan agar Widodo mendapat pelajaran yang setimpal. Karena aku tidak bisa, dan tidak mungkin akan sanggup menyakiti ataupun merugikannya, kuminta kepada Tuhan untuk membukakan matanya bahwa yang sesungguhnya sudah selesai urusannya dengan aku. Selama bertahun-tahun aku telah memberikan apa yang bisa kuberikan kepadanya. Mengapa sekarang dia tidak mau menerima ketenangan hidup yang kumiliki"
389 Widodo dengan suara biasa.
Sejenak aku tidak mengerti arti kalimatnya. Selintas dia melihat ke arahku, lalu ganti kepada anakku. Mungkin dia membaca apa yang tersirat di mukaku, karena dia melanjutkan, Adikku sendiri mengkhianatiku.
Ah, itulah! Dia merasa dikecoh oleh Irawan karena tanpa memberitahukan kepadanya, bersepakat dengan aku untuk mengambil Seto.
Ini bukan masalah komplotan atau pengkhianatan, kataku. Dan kurasakan suaraku agak memanas. Sekali lagi aku mengatur napas untuk mengendalikan perasaanku yang tersinggung oleh tuduhannya.
Kalau anda memang hendak memakai sebutan pengkhianatan, lalu apa yang bisa dikatakan mengenai ulah anda menjadi anggota PKI dan mengabaikan kesejahteraan serta keselamatan istri dan anak-anak sendiri" Apakah itu bukan pengkhianatan" Aku berhenti berbicara karena ingin melihat akibat kata-kataku terhadapnya.
Dia diam tanpa memandang kepadaku maupun kepada anakku. Aku meneruskan, Dalam hal Seto, tidak perlu pengkhianatan disebut-sebut. Anda yang memulai mengacau. Kami mempertahankan diri. Saudara-saudara anda memang berada di pihak saya. Bahkan kalau sedari sekarang anda masih tetap mengganggu, teman-teman saya yang berwenang akan terpaksa bertindak untuk melindungi saya. Bukankah sebagai bekas tahanan politik anda harus melapor setiap bulan"
Itu kuanggap sebagai akhir dari apa yang perlu kusampaikan kepada Widodo. Aku bersiap-siap akan berdiri, sambil melihat
390 pakmu. Bu Sri akan datang. Dia ingin mendapat kepastian, apakah kendaraan akan tetap kaupergunakan atau dikembalikan kepadanya. Dia sudah berpesan mau berbicara sendiri dengan kamu. Lebih baik kamu juga mulai membenahi barang-barangmu. Mana yang akan kaubawa dan mana yang harus dikirim jika kamu ikut pamanmu ke Ujung Pandang. Tapi kalau kamu turut bapakmu, hanya pakaian serta buku pelajaran yang bisa kaubawa.
Aku masuk ke kamarku dengan perasaan lega. Akhirnya semua yang dianjurkan oleh Mas Gun harus kukerjakan, telah kulaksanakan dengan kelancaran yang kuakui kuherani sendiri. Biasanya aku tersendat-sendat, apalagi dengan kehadiran Seto. Kali itu aku kurang memikirkan perasaan anakku. Dia sudah besar, kata Mas Gun. Dia pasti sudah melihat sendiri bagaimana kehidupan kami selama ini. Dia tidak akan merasa terluka atau tersinggung jika kami orang dewasa mengatakan apa yang sebenarnya mengenai sifat bapaknya. Dan ketika kuketahui bahwa Seto mengikuti nasihat Irawan tidak memberitahu bapaknya mengenai kemungkinan keberangkatannya ke Ujung Pandang, semakin yakinlah aku. Ternyata anak bungsuku bisa diandalkan. Dia bisa kupercayai memiliki kasih sayang yang sama besarnya antara pamannya Irawan, aku, dan kakaknya Eko. Ataukah dia memang tidak tahu bagaimana membicarakan hal itu kepada ayahnya" Karena dia khawatir ayahnya akan terkejut dan kecewa" Syok semacam itu barangkali akan bisa menyebabkan dia jatuh sakit dengan mendadak. Ya, mungkin inilah yang benar. Bagaimanapun juga, aku menarik keuntungan dari sikap Seto tersebut.
Seperti kataku, Sri datang tidak lama setelah aku masuk ke kamar. Kudengar bunyi mobilnya, kemudian dia sendiri masuk
391 Wid sampai di kamarku dengan kedataran yang tidak berbentuk salam maupun berisi kekagetan.
Aku ingin berbicara dengan kamu, Yang, terdengar temanku menegur Seto. Ayo kita duduk di depan! Sudah selesai urusanmu dengan Bapak, bukan" Mas Wid pulang saja. Ada hal-hal penting yang harus dirundingkan berduaan antara Seto dan saya. Barangkali lama kami berbicara.
Sri selalu bisa menguasai suasana dengan tepat. Kubiarkan setengah jam berlalu. Kemudian aku keluar dari kamarku, masuk ke kamar buku. Sambil melihat kertas-kertasku, kupasang kaset musik klasik. Beberapa waktu sesudah itu, Sri masuk dan langsung berkata, Seto kuberitahu bahwa kalau dia berangkat ke Ujung Pandang, aku akan mengirim uang buat membeli kendaraan baru di sana.
Sebenarnya kau tidak usah repot-repot begitu. Aku juga sudah memikirkannya dengan Irawan.
Biar. Setidak-tidaknya itu urunanku untuk menarik dia menjauhi ayahnya.
Mengenal Sri dengan baik, aku bertanya, Apa lagi yang kaujanjikan kepadanya"
Temanku tertawa perlahan. Mengapa kau bertanya demikian"
Aku tahu caramu. Kau mengharapkan orang berbuat sesuatu dengan menjanjikan imbalan seketika itu juga.
Mengapa" Kau tidak setuju"
Aku tidak segera menjawab. Aku tidak terlalu suka membiasakan orang, lebih-lebih anak-anakku, kepada kebendaan, kepada uang. Kalau aku menuntut mereka berbuat sesuatu, kusadarkan bahwa itu memang kewajiban mereka. Tetapi di samping itu,
392 memiliki kemampuan otak, keterampilan, serta uang. Aku merasa tidak perlu menjawab Sri.
Kau tidak bisa mengingkari bahwa sampai sekarang caraku itu hampir selalu berhasil. Apalagi terhadap anak-anakmu, apakah aku tidak boleh memanjakan mereka sedikit"
Tentu saja boleh. Kalau bukan karena pertolonganmu dan dukungan Ibu, mana mungkin aku membesarkan mereka selama ini!
Sri tersenyum puas. Sinar yang menggoda terpancar di matanya.
Menurut kau, apa lagi yang kujanjikan kepada Seto" Tentu sejumlah uang saku yang menggiurkan, sahutku. Nah, kan! Kita mempunyai pendapat yang sama, senyum penuh kepuasan tetap tersungging di bibirnya. Kukatakan bahwa kusediakan pula uang saku yang akan terus bertambah sesuai dengan prestasinya di sekolah atau dalam pergaulan. Bagiku, banyak anak-anak yang tidak mampu mencapai angka terbaik di kelas, tetapi berolahraga dengan baik, atau melaksanakan kegiatan sampingannya dengan lancar. Kalau berita yang sampai pada kita mengatakan bahwa Seto mengikuti pengarahan Irawan atau Eko, berarti dia patut mendapat imbalan. Dia pasti memerlukan uang untuk membeli kaset dan buku. Atau membayar kursus maupun kegiatan lain. Itu harus kita dorong.
Kalau kau dan Irawan sudah memenuhi kebutuhannya, lalu apa yang harus kuberikan kepadanya"
Kau berdoa saja. Doa ibu adalah yang paling kena. Itu langsung memesat ke arah tujuan.
Seolah-olah hendak mengakhiri pembicaraan mengenai anakku sampai di situ, Sri segera berpindah ke hal lain. Dia beritahu
393 Belanda, dan Swiss. Ada gagasan baru untuk berhubungan juga dengan Spanyol. Sepintas lalu dia bertanya apakah Handoko masih memikirkan tawaran paling akhir yang datang dari negeri itu. Aku bahkan sudah melupakannya. Memang suamiku tampak tertarik ketika membicarakan surat temannya yang masih tinggal di Eropa. Kontrak dengan perusahaan yang sekarang berupa perjanjian yang selalu bisa diperbarui setiap tahun. Pada tahuntahun pertama tidak kudengar keluhannya mengenai sesuatu pun yang bersangkutan dengan kerjanya. Tetapi akhir-akhir itu dia mengatakan bahwa bendahara dipegang orang baru yang sangat aneh kelakuannya. Untuk pengeluaran yang paling remeh pun petugas tersebut selalu membikin kesukaran. Meskipun pegawai yang meminta uang sudah membawa surat tanda setuju dari dua direktur, orang itu tetap masih menanyakan mengapa jumlah itu yang harus dikeluarkan, baru saja diambil uang untuk keperluan yang sama dan seterusnya. Seolah-olah dia memegang uang milik dia sendiri. Handoko belum pernah langsung memerlukan pengeluaran uang. Tetapi pegawai dan sekretarisnya yang selalu mengeluh serta membicarakan keributan atau omelan orang itu membikin suamiku merasa kurang tenang lagi bekerja di perusahaan tersebut. Katanya dia sudah beberapa kali menyampaikan, meneruskan keluhan itu kepada direktur utama perusahaannya. Namun sampai saat dia berbicara denganku, belum kelihatan tanda-tanda perubahan. Aku sendiri tidak terlalu khawatir mengenai masa depanku. Ke mana pun Handoko mendapatkan kontrak pekerjaan, bagiku, di sisinyalah tempatku yang paling tepat.
Seperti kata Sri, aku melipatgandakan doaku agar Seto berangkat bersama pamannya ke Ujung Pandang. Dari Jakarta,
394 kami, menginap di Jalan Bandungan. Sebegitu bertemu dengan anak bungsuku, dia tidak bertanya sesuatu pun, melainkan langsung memberitahu bahwa ada waktu dua hari untuk berkemas. Dia juga pergi sendiri ke sekolah Seto dan meminta surat keterangan pindah. Dia bahkan menemui Widodo di pondoknya.
Saya tidak minta pendapatnya, Mbak Mur, Irawan bercerita kepadaku. Saya hanya mengatakan bahwa Seto saya bawa ke Ujung Pandang supaya menjadi orang.
Aku percaya bahwa Irawan seperti sahabat-sahabatku. Dia berbuat dengan kemantapan rencana yang telah diperhitungkan pasti akan berhasil. Dalam hal ini, walaupun aku merasa berkepentingan, kubiarkan dia menanganinya sesuai dengan kemauannya.
Handoko sempat bertemu dengan kakaknya. Secara singkat, kami menjelaskan suasana. Dengan kepasifannya seperti biasa dalam menanggapi apa yang kuperbuat terhadap Seto, suamiku mengatakan turut gembira karena Irawan datang dan membereskan keadaan.
*** Semua menjadi teratur kembali.
Tak hentinya aku berterima kasih kepada Tuhan di saat mana pun aku berkesempatan tenang buat berbicara kepadaNya. Kejadian yang baru lewat merupakan cobaan yang paling mengguncangkan yang kualami sejak aku bisa mengatasi hinaan sebagai istri tahanan Pulau Buru. Setelah Seto berangkat dibawa pamannya, dipandang dari luar, barangkali aku kelihatan seperti seorang ibu yang tidak mau menyelesaikan tugas membesarkan
395 yang sampai ke telingaku mengenai hal itu. Tetapi dengan sifatku yang serba khawatir, ditambah dengan pengalaman yang pernah kuderita, aku merasa segan sendiri. Tidak jarang teman-teman dekatku menyindir dengan kalimat-kalimat seperti: Wah, kalian berdua ini berbulan madu terus tampaknya! ; atau: Kamu dengan Handoko kok seperti pengantin baru saja!
Aku bahagia dan bangga mendengarnya. Tetapi jika itu diucapkan oleh orang lain yang bukan lingkungan akrabku, artinya menjadi berbeda. Hatiku menjadi tersinggung, karena aku menafsirkannya sebagai tuduhan: Enak saja kamu! Anakmu kautitipkan kepada orang lain, kamu bersenang-senang dengan suami mudamu! Hingga akhirnya, menuruti nasihat sahabat-sahabatku, aku mengambil sikap lebih pasif. Jika tidak ditanya, aku tidak bercerita bahwa anak bungsuku hidup bersama pamannya di pulau lain. Kalau hal itu terpaksa kuberitahukan kepada orang lain, selalu segi kejiwaan anakkulah yang kutekankan sebagai alasan kepergiannya dari kota kami. Dan memang demikianlah yang sebenarnya.
Tawaran pekerjaan kepada Handoko di luar negeri bertambah lagi. Bekas rekannya di Finlandia dua kali menelepon. Kemudian suratnya datang, berisi keterangan yang lebih lengkap. Meskipun suamiku tampak tidak bersemangat, tetapi aku tahu bahwa dia membaca informasi dari teman tersebut berkali-kali. Kalau kutanya, dia berterus-terang, itu adalah tawaran yang amat bagus. Dan menjawab pertanyaanku apakah dia tertarik, dia menyahut akan berpikir-pikir dulu. Dipandang dari sudut keuangan memang amat menguntungkan. Apalagi disertai janji atau kemungkinan, bahwa setelah menyelesaikan kontrak itu, mereka akan dipakai lagi ke Venezuela, Amerika Selatan. Dia
396 dangan sesuatu pun. Bagiku sudah pasti bahwa di mana pun dia berada, di situlah tempatku yang paling tepat. Bagiku tidak peduli apakah aku akan aktif bekerja atau tidak. Aku bahkan tergoda oleh kemungkinan kembali menjalankan peranan sebagai istri yang hanya menyelenggarakan keberesan rumah tangga.
Bulan-bulan sejak keberangkatan Seto, Handoko lebih sering berada di rumah. Sekali-sekali dia ke daerah Pemalang, Comal, atau Juana, tetapi pulang di waktu petang, hari itu juga. Sementara keputusan mengenai kariernya kuserahkan sepenuhnya di tangan suamiku sendiri, alur kehidupan kami berlangsung seperti sediakala. Atau setidak-tidaknya kelihatan demikian. Seperti tidak ada perubahan. Namun kepekaan rasaku menerima adanya sesuatu yang kabur. Gangguan itu hadir; tetapi tidak jelas. Ini menyangkut hubungan intimku dengan Handoko. Sebenarnya kami tetap bergaul hangat, berdiskusi dan berbincang-bincang mengenai apa saja yang menjadi kesibukan kami masing-masing. Lingkupannya luas. Dari bidang kami berdua hingga ke segi budaya dan kemanusiaan. Tidak terasa kekakuan sikap ataupun kekurangan kalimat yang ditujukannya kepadaku. Dipandang dari luar, semua sama seperti dulu. Petang hari, kami masih rukun berduaan di ruang buku, menyempatkan diri membaca. Piringan hitam telah lama diganti dengan kaset. Gamelan dan musik klasik bergantian kami dengarkan. Dalam hal ini, tradisi yang dilaksanakan orangtua Ganik di kamar buku, tetap kami teruskan. Handoko mengakui bahwa simpanan di sana serasa tidak habis-habisnya. Selagi duduk bersama suamiku begitu itu, tidak jarang pikiranku melayang kepada Dokter Liantoro dan istrinya. Dalam hati tersembunyi keinginan, bahkan doa, agar
397 Mati pun mereka bersama-sama.
Tetapi benar, aku memang mendeteksi adanya perubahan di pihak Handoko terhadapku dalam bercintaan. Menjelang tahun ketujuh perkawinan kami, aku sadar tentulah ada sedikit gerakan rutin yang tidak dapat dihindarkan. Masing-masing dari kami tahu menerka apa tindak lanjut yang mengikuti sesuatu gerak yang telah dimulai. Tidak ada lagi kejutan atau kebaruan yang mengagetkan, baik secara menyenangkan maupun sebaliknya. Alur terlalu dikenal yang telah menjadi rutin inilah yang aku yakin bisa mengantarkan pasangan-pasangan pada kebosanan. Dan memang pikiran ini pula yang timbul padaku. Jika memang itulah yang sedang terjadi pada kami, aku mengerti Handoko yang bersikap agak dingin. Barangkali aku terlalu berlebihan, karena sesungguhnya bukanlah kedinginan yang kudapatkan. Melainkan perubahan. Mungkinkah Handoko mulai jenuh" Kegairahannya masih membikin dia memulai permainan cinta itu. Dia tetap bersemangat dan panas. Hanya berubah. Suami mudaku tidak lagi mengulur waktu langkah-langkah pertama kebersamaan kami. Dia lebih langsung. Lebih segera menyerang secara jantan. Hingga setelah berbulan-bulan kami menghabiskan waktu bersama yang berlainan dari waktu dahulu itu, aku merindukan belaian dan kehangatan napas yang mengelus seluruh tubuhku, dan yang menjadi ciri kekhasannya. Ya, benar, itulah. Dia telah kehilangan kesabarannya dalam memulai permainan cinta-bersama kami. Padahal kesabarannya dalam mengulur waktu itulah yang membuatku tergila-gila kepadanya. Dia seharusnya mengetahui hal itu. Karena dahulu, dia selalu bertanya, apa dan mana dari gerakannya yang aku sukai, mana yang tidak berkenan di hatiku. Dia tidak mengabaikan apa yang seolah-olah telah menjadi perjanjian
398 dia sukai. Jadi aku merasa tetap mempedulikan perasaannya. Dalam memikirkan perubahan tersebut, kadangkala aku merasa sedih. Mungkinkah dia berpikir, bahwa aku bukan merupakan pasangan yang patut lagi dia rayu atau dia cumbu sebelum diajak menjelajah bersama dalam kenikmatan sejenak" Memang itu juga bisa terjadi. Karena kini dia terlalu yakin, bahwa aku selalu sudah siap menerimanya. Di samping itu, bagaimanapun dekat dan menyatunya kami selama tujuh tahun ini, aku tetap tidak dapat menyampaikan isi hatiku tentang perubahan itu kepadanya. Aku ingin bertanya, mengapa demikian. Namun suaraku tidak dapat keluar membentuk kata-kata.
Kebersamaan kami tidak semata-mata hanya terdiri dari saatsaat bercintaan. Kami juga memiliki waktu keasyikan lain yang tidak kalah membawakan kepuasan tersendiri. Dengan pemikiran yang kucoba sedekat mungkin dengan nalar, aku mengerti bahwa umurku pun bertambah. Siapa tahu aku kurang bereaksi dalam beberapa hal. Barangkali ada gerakanku yang salah, sehingga membikin suami mudaku pun berubah" Hubungan jasmaniah mempunyai arti lain bagi laki-laki dan perempuan. Sedari masa remaja, aku mengetahuinya. Ketika aku turut terbawa arus keingintahuan teman-teman di sekolah, meneliti serta membaca gambar dan penjelasan buku-buku terlarang , aku mulai mengetahui rahasia pergaulan dalam antara dua jenis manusia. Pertemuanku kembali dengan Ganik lebih-lebih lagi memberiku penyuluhan nyata dalam hal tersebut. Laki-laki bersanggama didorong oleh kebutuhan jasmaniah. Yang disebut Ganik kemudian dengan perkataan biologis. Kalau sudah selesai, dia puas, dia tidak mempedulikan kita lagi. Begitu kata sahabatku. Tetapi kalau kita, perempuan, maunya ya manja terus. Karena kita bercintaan dengan
399 kemudian kawin lagi setelah menjanda lebih dari sepuluh tahun, aku menyatakan sendiri kebenaran kata-kata setengah kasar itu. Oleh kesadaran itu pulalah maka aku akhirnya berdiam diri menerima perubahan Handoko. Sudah terlalu lama aku berbulan madu bersama suami mudaku. Mungkin sekarang tiba saatnya aku harus menerima keadaan yang berlainan. Aku harus bersyukur melewati masa enam tahun penuh kemanjaan sebagaimana kukehendaki. Apa pun ulah dan sikap Handoko, asal dia masih mempedulikan aku sebagai istrinya, dengan cara apa pun, aku tetap mencintainya.
Pergaulan yang demikian itu berlangsung. Dan tidak akan lebih kusesali lagi seandainya tidak ada perubahan lain. Di masa-masa lampau, kami tidak jarang mengundang makan rekan-rekan kerja suamiku, yang juga kadang-kadang kami gabung dengan beberapa teman yang bisa berbahasa Inggris. Jika tamu asing datang untuk perusahaan, tidak pernah Handoko melewatkan kesempatan memamerkan masakan istriku, yang meskipun wanita berkarier, tetapi bisa memasak dan enak . Itulah kata-kata suamiku. Kini jamuan semacam itu tidak pernah ada lagi di Jalan Bandungan. Handoko berkata bahwa dia mengundang tamu-tamunya ke restoran. Pembicaraan mengenai pekerjaan, antara lelaki saja. Hal itu amatlah mengejutkanku. Pertama kali itu terjadi, kukira memang suamiku menginginkan pergantian suasana. Kupikir, sekali-sekali barangkali tidak mengapa. Namun hal itu kini telah menjadi kebiasaan pula. Pernah sekali aku mengusulkan, supaya jamuan diseling-seling. Beberapa kali ke restoran, lalu pada kali lainnya diadakan di Jalan Bandungan seperti dulu lagi.
Handoko menolak. Dia tahu saja mengatakan alasan yang entah bagaimana, kuakui memang berdasarkan kebenaran. Dia
400 aku mau. Rasanya tidak nyaman jika suamiku sedang di luar karena bertugas menemani tamunya, sedangkan aku, di pihakku, sendirian pula menemui tamu-tamuku makan di rumah. Maka begitulah. Dalam hal jamuan pun aku tidak berbuat banyak, menerima apa adanya saja. Hingga soal itu pun telah menjadi kebiasaan. Disusul kemudian oleh waktu pulangnya yang tidak keruan. Dulu, dia selalu meninggalkan pesan pada petugas di kantornya jika akan pulang terlambat. Ada sekretaris yang menelepon, atau sopir singgah untuk memberitahukan hal tersebut. Apalagi kalau tibatiba dia ke luar kota. Handoko mengerti benar trauma yang pernah kuderita, karena dia mengetahui cerita bagaimana bapaknya anakanak yang mendadak menghilang dan kemudian kutemukan di penjara. Sedangkan yang kedua kalinya ialah keterlambatan anak sulungku Eko yang mendapat kecelakaan, lalu berakibat gangren dan kakinya diamputasi. Jadi, seharusnya Handoko tidak lupa akan perasaanku, akan kecemasanku di waktu dia tidak pulang hingga jam tujuh malam. Apa pun yang dikerjakannya, jika dia terlambat pulang, aku ingin diberitahu.
Kebiasaan terlambat pulang tanpa berita itu mempunyai segi yang menyenangkan. Di siang hari, ketika aku memasuki halaman depan, sambil membawa kendaraan ke samping rumah, aku selintas melihat suamiku telah duduk santai di serambi. Dia pulang sebelum aku. Di waktu-waktu demikian, aku selalu memperlihatkan kegembiraanku. Bagiku, itu adalah kejutan yang berupa hadiah untuk menyenangkan hatiku. Sesungguhnyalah, aku tidak seharusnya mengeluhkan keadaanku. Menjelang tujuh tahun berdampingan dengan Handoko, tak satu detik pun aku merasakan kebosanan.
Lalu pada suatu acara piknik berkala dengan keluarga Wi401 Mas Gun juga diundang. Itu bukanlah pertama kalinya mereka menyertai kami. Yang pertama kali adalah Handoko kebetulan bisa turut bersama kami. Di waktu-waktu terdahulu, di mana keluarga Mas Gun bergabung dengan kami, Handoko mempunyai tugas lain. Yang kuingat, ialah sekali dia harus mendampingi tamu perusahaan ke luar kota. Kali lainnya, dia harus ke Jakarta mengurus izin pengeluaran barang dari pelabuhan. Bagaimanapun juga, hari itu adalah hari besar bagi sahabat-sahabatku, karena keluarga Mas Gun bisa datang bersantai bersama kami, dan Handoko tepat dapat berada di sisiku pula.
Tempat itu merupakan bagian dari tanah yang ditinggalkan sahabat kami Ganik untuk kami. Di situ sudah diatur Winar; lengkap dengan pondok dari gedek sederhana yang cukup besar. Meja panjang dengan bangku-bangkunya terdapat di serambi depan yang dibangun seperti warung, setengah terbuka. Di dalamnya tertumpuk amben dan perlengkapan lain. Sebegitu kami datang, masing-masing meletakkan makanan yang dibawa di atas meja panjang di serambi. Balai-balai dari bambu dikeluarkan, ditaruh di bawah pohon-pohon yang lindung. Lalu kami leluasa berbuat apa saja, asal berkumpul lagi untuk makan bersama. Mengerti perasaan Handoko, aku berhati-hati untuk tidak terlalu bersendirian dengan Mas Gun. Secara biasa, aku melayani perbincangan, tanpa menunjukkan perhatian yang istimewa kepada bekas anak buah ayahku itu.
Entah bagaimana, pada suatu ketika, karena menuruti panggilan Winar, aku berada di belakang pondok. Di sana sudah ada Mas Gun. Mereka berdua berdiri di dekat onggokan durian yang telah terkumpul.
402 kata Winar dengan suara rendah.
Agak heran, aku memandangi kedua temanku silih berganti. Ada apa" tanyaku ringan.
Mas Gun tidak segera berbicara, hanya memandangiku. Dia berjongkok. Aku menurutinya berjongkok. Demikian pula Winar.
Tidak ada gangguan-gangguan lagi, Dik Mur" suara Mas Gun seolah-olah setengah ditelan.
Gangguan apa" Dari Widodo, maksudnya, Winar menyela. Kedengaran dia tidak sabar dan menyambung, Cepat, Mas Gun! Sebelum suaminya kemari dan turut mendengar.
Semakin tidak mengerti, aku menoleh ke arah Winar. Lalu ganti kepada Mas Gun, kukatakan, Ada apa, Mas Gun" kecurigaan mulai timbul padaku.
Winar mendekatkan kepalanya, berbisik kepadaku, Dua kali Widodo ketahuan ke kantor Handoko. Apakah suamimu tidak memberitahu"
Aku tidak menjawab. Seandainya aku berdusta dengan maksud menutupi Handoko, dari sikap dan air mukaku jelas teman-temanku itu mengetahui hal yang sebenarnya.
Dik Mur tahu, bahwa Widodo masih selalu diawasi. Dalam laporan, dua kali dia dicatat pergi ke kantor Handoko. Yang kedua kalinya bisa dikatakan lama. Lebih dari setengah jam. Ketika keluar, suami anda malahan menemaninya hingga di pintu.
Benar kan, Mas Gun! Seperti yang kukirakan, Mur tidak mengetahui kunjungan tersebut, suara Winar nyata berisi kekesalan. Dia berdiri, meneruskan, Ayo kita tanyakan bersama kepada suamimu. Apa yang mereka rundingkan!
403 sadar bahwa aku telah bersikap terburu-buru sehingga suaraku penuh ketakutan. Apa sebenarnya yang kukhawatirkan"
Mengapa" temanku menghadapiku. Ada apa" Kau menyembunyikan sesuatu dari kami"
Tidak! Bukan begitu, cepat aku menyahut. Tapi kan sekarang banyak orang lain! kataku asal saja.
Tidak ada orang lain. Kita semua ini teman! Winar sudah berbicara dengan suara yang biasa. Dia tampak semakin kehilangan kesabarannya. Katanya meneruskan, Kalau memang ada apa-apa, ya kita harus tahu sekarang. Handoko tidak pernah berbaik-baik dengan kakaknya. Mengapa tiba-tiba mereka berhubungan! Ya kalau kamu tidak dirugikan" Kalau ini menyangkut ketenanganmu, mana aku bisa berdiam diri!
Winar, Mas Gun memanggil dengan suara tenang, dengan nada tanpa berubah, Dik Mur benar. Jangan membicarakan hal itu kepada lain-lainnya sekarang. Hari ini hari bersantai. Jangan sampai suasananya jadi rusak.
Winar kembali diam, mengikuti Mas Gun yang memilihi durian, membikin onggokan baru.
Kapan itu terjadi, Mas Gun" tanyaku sambil mengendalikan suaraku sebiasa mungkin.
Tidak lama setelah Seto berangkat bersama Dokter Irawan. Yang kedua kalinya"
Ya berdekatan dengan itu.
Aku berani bertaruh pasti Widodo mau mengacau lagi. Barangkali malahan sudah terlaksana apa yang dikehendakinya!
Sssst, Winar! Seorang guru tidak bertaruh! kata Mas Gun. Lalu bertanya lagi kepadaku, Betul tidak ada perubahan apa-apa, Dik Mur"
404 malah jarang keluar kota, jawabku. Dan segera kutambahkan, Buktinya, hari ini pun dia untuk pertama kalinya piknik bersama kita.
Ya, benar, Winar menyetujui. Tapi aku tetap curiga. Janganjangan ada hal-hal lain yang tidak kauperhatikan! pandangnya kepadaku penuh selidik.
Aku tidak menjawab. Sekuat tenagaku kutantang mata temanku itu. Winar, kataku setengah mengeluh, kau tahu bagaimana aku, bukan" Kalau ada apa-apa, kepadamulah aku mengadu. Sedari dulu, selalu kamu yang menolongku. Kalau tidak ada kamu, mana mungkin aku masih berdiri utuh!
Sebentar tidak seorang pun yang berbicara.
Winar sahabatku. Dia seorang laki-laki. Bisakah nalurinya mendeteksi sesuatu yang tidak nyata, yang mengaburkan hubungan Handoko dan aku"
Kalau terjadi sesuatu, Dik Mur harus memberitahu kami, kata Mas Gun.
Tentu saja, Mas Gun. Dari jauh tampak Sri datang bersama penjaga tanah kami yang menyorong gerobak.
Ini durian dari bagian kebun yang sebelah sana, kata Sri terengah-engah. Lalu menunjuk ke onggokan di tanah dekat kami, Sudah ada yang akan dibuka sekarang"
Yang ini, sahut Winar. Nanti kami bawakan ke depan. Sri meninggalkan kami, membuntuti penyorong gerobak. Saya ingin mendapatkan informasi yang lebih jelas, Mas Gun, kataku perlahan. Di kantor saja. Kapan" Cepat aku berpikir, mengingati jadwalku pekan yang mendatang. Kukatakan suatu hari tertentu. Mas Gun setuju.
405 anku hanya diatur oleh gerakan terpaksa supaya tidak mengecewakan sahabat-sahabatku dan keluarganya. Pada kesempatan yang tersuguh, kupandangi suamiku baik-baik. Pemuda matang yang kutemukan di Negeri Belanda bertahun-tahun yang silam, kini telah menjadi laki-laki mantap. Kelihatan lebih gemuk, tetapi badannya seimbang. Pemuda-pemuda zaman tanpa perang biasanya langsung menjadi lelaki berperut gendut sebegitu memiliki pekerjaan tetap. Walau belum berumahtangga sekalipun. Handoko tidak demikian. Kuamati selagi dia berbicara. Kuteliti mata yang kebanyakan kali menyimpan pandang yang tidak bisa diterka. Memang benar. Mata suamiku selalu tampak dingin. Seluruh masa perkenalanku dengan dia, jarang sekali aku menemukan ekspresi yang lain daripada perasaan biasa-biasa saja. Pada Handoko, yang mengandung pengucapan isi hatinya ialah garis bibirnya. Tarikan-tarikan di sanalah yang nyata dapat langsung ditangkap, dalam keadaan bagaimana hati suamiku.
Dua kali aku termenung mengamati wajah laki-laki yang telah mengajakku menyertai hidupnya selama hampir tujuh tahun. Dua kali itu dia tertegun, sejenak menghentikan bicaranya karena sadar kupandangi. Sedetik dua detik kami berpandangan, aku segera tersenyum untuk menutupi keterkejutanku. Bagaimanapun, suami-istri berhak untuk saling memandang. Bagi pasangan resmi tidak ada perkataan mencuri pandang atau diam-diam memperhatikan . Ketika matahari mulai terlindung oleh pucukpucuk pohon di bagian kebun sebelah barat, teman-teman mulai berpamitan. Yang kami pakai hari itu adalah kendaraanku. Aku masuk untuk duduk di sebelah lain, membiarkan Handoko membawa mobil. Sebegitu kendaraan meninggalkan jalan tanah, laju meluncur di jalan besar, kurapatkan diriku ke arah Handoko.
406 darkan di sana. Hari ini Mbak Mur istimewa benar, kata suamiku tanpa mengalihkan pandang dari jalan.
Mengapa" Aku dilihati terus-terusan. Apa tidak boleh"
Dia tidak menyahut. Aku tidak suka melihati orang lain. Yang aku sukai hanya melihati suamiku, karena suami itu aku cintai. Betul-betul aku cintai, sambil mengucapkan kalimat terakhir kutekankan lagi kepalaku ke lengannya. Di tenggorokan terasa ada sesuatu yang tersekat. Kerisauan hatiku menggumpal memberati dada.
Sampai di rumah, setelah mandi, tiba-tiba dia memeluk dan langsung mencium bibirku. Dalam seluruh waktu menanggapinya, pikiranku tidak bisa lepas dari berita yang kudengar hari itu. Seperti siang ketika aku meneliti pandangnya dan bicaranya, petang itu kuhitung dan kurinci setiap gerakannya. Masihkah dia mencintaiku" Dia bercintaan denganku, apakah semata-mata karena aku berada di sisinya bertepatan dengan timbulnya rasa kegairahannya" Karena aku adalah istrinya, sehingga dia merasa berhak memilikiku" Ah, mengapa begini berjubelan pertanyaan yang semakin menggelisahkan" Mengapa aku tidak menuruti saja gerakannya, manut dan setia tanpa banyak pikiran" Hingga sampai di ujung perjalanan, di puncak kepuasannya, dia tidak lagi menyebutkan nama kesayangan yang dulu begitu sering dia panggilkan. Pada waktu itulah aku hampir tidak kuasa menahan jeritan yang telah siap terlepas dari hatiku, Kekasihku! Sayangku! Apa sebenarnya yang menjadi dinding di antara kita" Pertemuanku dengan Mas Gun tidak membikinku lebih banyak
407 menerima tanggal-tanggal kepastian kapan Widodo mengunjungi adiknya. Informasi lain-lain tidak menyangkut kepentinganku. Tetapi Mas Gun menambahkan, bahwa bertemu dua kali tidak berarti tidak ada kelanjutannya. Kurasakan ketegangan yang amat melelahkan selama duduk berhadapan dengan bekas anak buah bapakku itu. Aku tidak tahu pasti mengapa demikian. Aku marah. Tetapi aku juga malu. Marah, karena rasa egoisku menyalahkan Mas Gun, sebagai orang lain bahkan mengetahui lebih banyak mengenai kelakuan Handoko bersama kakaknya. Pertemuanpertemuan di belakang punggungku itu apakah berisi sekongkol, perserikatan yang akan mencelakakan aku" Akan menjebakku" Ataukah menjebak serta mencelakakan banyak orang, seperti halnya yang dilakukan Widodo dahulu" Aku juga marah kepada Winar. Mengapa dia tidak langsung memberitahuku" Dengan kemarahan tersebut, rasa malu karena suamiku berbuat sesuatu di luar persetujuan maupun pengetahuanku yang malahan diketahui orang lain membikinku tidak berani menentang mata Mas Gun. Alangkah nistanya Handoko jika benar dia telah mengkhianatiku. Sama tepat seperti tindakan kakaknya bertahun-tahun yang silam.
Dua hari dua malam aku mencari jalan, bagaimana membuka pembicaraan dengan suamiku mengenai hal itu. Setiap ulah dan bicaranya kuselidik. Aku malu kepada diriku sendiri. Seolaholah aku bersiap-siap untuk menjebaknya pula, menangkap basah apakah dia berkata dengan jujur ataukah hanya penuh kebohongan. Badanku menyekap rasa demam karena kekurangan tidur. Ditambah ketegangan yang semakin mapan dalam diriku, semua itu membikinku gugup. Cobaan apa lagikah yang ditimpakan Tuhan kepadaku" Aku mengerti bahwa hidup ini selalu bergerak,
408 perubahan itu bisa muncul kebaruan. Tetapi apakah benar Tuhan tidak berkenan memberiku jenis kehidupan yang tenang untuk jangka waktu yang lebih panjang dari enam tahun" Mengurangkah gairah Handoko terhadapku"
Meskipun badan terasa tidak sehat, pagi itu aku berangkat seperti biasa dengan maksud akan mencoba mengajar. Tetapi oleh rasa mual yang sangat mengganggu, di tengah jalan aku berbalik. Pada waktu seperti itu, obat yang paling mujarab bagiku ialah dikerik, diseka dengan air panas, lalu berbaring mencoba tidur. Dan memang itulah yang aku lakukan. Setelah dikerik pembantu, digosok dengan minyak kayu putih, kemudian minum madu yang kuberi beberapa tetes air jeruk nipis, aku menyelubungi diri dengan selimut di tempat tidurku.
Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Tiba-tiba saja aku terkejut mendengar pintu mobil yang ditutup. Suara Handoko berbicara dengan pembantu lelaki, disusul oleh langkahnya memasuki rumah. Sakit kepalaku sudah mengurang. Hanya perasaan demam yang masih memberati keningku. Kuraih jam tangan yang terletak di meja kecil. Dua kali aku mengulang melihat jarum jam. Baru pukul setengah sebelas. Suamiku benar-benar pulang pagi hari itu. Dia tidak langsung masuk ke kamar, melainkan ke ruang buku. Tentulah untuk meletakkan tas dan map-mapnya. Kutunggu sampai sepuluh ataukah lima belas menit" Bagaimanapun juga, terasa lama bagiku. Namun dia tidak menengokku. Kuputuskan untuk keluar menemuinya. Ketika sampai di pintu ruang buku, kulihat Handoko duduk menghadapi meja kerjanya. Dia tidak membaca ataupun menulis. Badannya disandarkan santai, mukanya menengadah. Matanya terpejam.
409 terletak di kursi sebelah.
Kok sudah pulang, Yang, tegurku perlahan.
Matanya terbuka. Tetapi dia tidak menegakkan kepala buat melihat kepadaku.
Atau akan berangkat ke luar kota" Pulang untuk mengambil pakaian" Ayo kubantu.
Letak badan diluruskan. Barulah wajahnya dihadapkan ke arahku. Bibirnya bergerak, seperti akan berbicara, tetapi tidak jadi. Matanya tiba-tiba menyorotkan pandang yang tidak kukenal. Bahkan seluruh wajah itu kelihatan asing oleh kepucatannya.
Kau tampak capek sekali, aku mendekat. Kuulurkan tangan dengan maksud akan memijit tengkuknya. Seketika itu juga dia mengelak, menghindari sentuhanku. Gerakan ini bagaikan tamparan bagiku. Handoko amat suka jika dipijit-pijit pangkal leher serta bahunya. Tapi hari itu dia menolak.
Mengapa kau" tanpa kukehendaki, pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Tegang dan kaku. Secepatnya kulembutkan dengan kalimat lain, Kalau masuk angin, mau dikerik juga" Aku tidak ke sekolah akhirnya tadi. Setelah dikerik, bisa tidur sebentar. Sekarang agak ringan rasanya. Ayo kukerik!
Sama sekali aku tidak akan menyentuhnya, tetapi Handoko bersiap-siap akan menjauhkan lengan yang terletak di sebelah tempatku berdiri.
Tidak usah, katanya pendek. Suaranya setengah menghilang di tenggorokan.
Dia tidak mau dikerik. Dia tidak mau kusentuh. Inikah kebaruan lain yang juga kemudian akan menjadi kebiasaan di hari-hari mendatang" Jadi perubahan telah bertambah satu lagi! Ini keterlaluan. Ketika kulihat badannya beringsut ke depan
410 Mendadak kepalaku dihantam oleh rasa pening. Mual kembali menusuk-nusuk bawah jantungku. Perlahan aku menuju ke dipan, lalu membaringkan diri di sana. Antara sadar dan tiada kudengar suaraku, Kukira kita harus bicara. Tidak bisa terus-menerus begini. Kita hidup bersama, suami-istri, tetapi akhir-akhir ini aku merasakan perubahan kelakuanmu terhadapku. Perubahan itu terus beruntunan, selalu bertambah. Aku tidak mengingkari bahwa kau tetap menjalankan kewajibanmu sebagai suami. Aku tetap kauberi nafkah. Lahir dan batin. Namun ada perubahan. Apa salahku" Apa perbuatanku yang tida kausukai sehingga kau berubah, Yang" Katakan apa salahku! Kita tidur bersama, tetapi aku tidak merasakan kelembutanmu lagi. Aku bahkan merasa seolah-olah kau hanya memperalat aku. Ada kalanya aku merasa, seakan-akan kau benci kepadaku. Kau kasar sekali. Kau seperti mau menghukumku.
Aku berhenti berbicara. Semua itu keluar dengan kelancaran yang tiba-tiba mencemaskan diriku sendiri. Kulemparkan pandangku sejenak ke arah Handoko. Dia masih duduk, matanya tertancap ke meja. Lunglai dan letih membikinku sukar bernapas. Tapi aku kini sadar telah memulai pembicaraan yang sesungguhnya harus dilaksanakan sedari dulu. Aku harus meneruskan.
Apa yang terjadi, Handoko" Nama itu jarang sekali kupergunakan selagi berbicara dengan suamiku. Kau tidak mencintaiku lagi"
Atau Mbak Mur yang tidak mencintaiku lagi" cepat dia menyahut. Suaranya perlahan, tetapi tekanannya keras dan pasti.
Aku terkejut mendengar tuduhannya itu. Aku tidak salah dengar, bukan" Kau menuduhku tidak mencintaimu" Atas dasar apa"
411 ditengadahkan, matanya dipejamkan sebentar, lalu dibuka kembali. Kelakuan itu kuteliti, kusimpulkan sebagai gerakan orang yang bingung, tidak mengetahui bagaimana mengutarakan pendapatnya.
Yang, panggilku dengan penuh kecintaan, kecintaanku yang hanya kutujukan kepadanya, tolong jelaskan. Bicaralah tenangtenang, tetapi jelaskan! Kita dua manusia dewasa yang sama-sama mengerti apa itu pendidikan dan apa itu kehidupan. Kita sudah bersama selama enam tahun. Kau pasti mengerti bagaimana aku. Semula kukira aku juga mengerti bagaimana kamu. Tapi empat bulan, bahkan lebih, belakangan ini aku merasa kehilangan kamu. Ada apa" Kalau ada yang mengganjal di hatimu, kita selesaikan masalahnya dengan berbicara tenang, dengan nalar yang sehat.
Baru saja Mbak Mur menunjukkan bukti betapa senangnya jika kutinggal pergi ke luar kota. Kamu bisa berkencan mestinya.
Sebentar aku tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. Apa yang tadi telah kukatakan" Ah, ya. Tadi kukira dia akan ke luar kota, pulang hanya untuk mengambil pakaian. Jadi Handoko menafsirkan kata-kataku sebagai usiran. Sebagai pengucapan harapan agar dia pergi dari rumah. Untuk berkencan" Dengan siapa" Kalau Handoko yang mengatakan itu, berarti dia mengira aku mempunyai pacar, mempunyai simpanan lelaki! Alangkah tololnya dia! Waktu itulah aku betul-betul yakin bahwa suamiku telah seratus persen berubah. Dan kecurigaan yang tersekap, rabaan-rabaan bawah-sadar yang sering mengganggu saat kantukku, tiba-tiba menyeruak, meledak dalam sinar yang gamblang: Widodo! Seperti wahyu jawaban itu tertera dalam benakku. Handoko telah mendapat pengaruh dari kakak yang dulu dia benci. Kini
412 tahu, sekarang suamiku telah terkena kata-kata getahnya yang melekat dan sukar dielakkan. Tidak mungkin tidak. Handoko biasa mempunyai nalar yang jernih. Enam tahun di sampingnya, aku mendapat ajaran cara-cara berpikir secara praktis dan langsung. Perubahan yang sedemikian besar, hampir bertolak belakang, hanya bisa terjadi kalau ada yang menggosoknya. Ditambah sifat kecemburuan yang telah mendasarinya, gampang saja semua menyala dan menjalar.
Kau berubah karena aku yakin bahwa kau bergaul dengan Widodo, akulah kini yang menuduhnya. Keras dan pasti, segera kulanjutkan, Ya, aku tahu dia telah mengunjungimu beberapa kali.
Nyata dia terkejut. Aku cepat menyambung lagi, Mas Gun memberitahu Winar. Lalu aku melihat sendiri catatan resmi tanggal-tanggal pertemuan kalian. Apa saja yang dia katakan sehingga kau begitu membenciku" Sampai-sampai tadi tidak mau kusentuh"
Handoko tidak menjawab. Aku terdiam. Perasaan capek dan letih semakin menguasaiku. Kutengadahkan mukaku. Mata kubiarkan melayang, mengedar ke langit-langit ruang itu. Di beberapa tempat tampak bekas rembesan air. Sebegitu musim hujan usai, catnya harus diperbarui. Kualihkan pandangku ke arah Handoko. Dia masih bersandar. Pengucapan di wajah itu membikinku iba. Aku ingin bangkit dan memeluknya. Aku ingin merengkuh kepala itu ke dadaku sambil membisikkan bujukan apa saja yang mampu menenangkan hatinya. Kegelisahan yang berbaur dengan kebingungan jelas terpajang di muka itu. Tapi aku takut bergerak, karena aku tidak yakin lagi akan bisa men413 paknya diam, namun mengandung reaksi yang meragukan.
Yang, tolonglah katakan ada apa" kataku perlahan, hampir berbisik. Aku semakin merasa tidak berdaya.
Beberapa detik lewat. Kemudian dia berkata, Aku serba kalah di sini. Aku tidak punya apa-apa. Ini rumah Mbak Mur. Anakanak juga anak-anak Mbak Mur. Demi anak-anak itu, Mbak Mur hampir kembali kepada Mas Wid. Aku hanya suami sambungan. Mengapa Mbak Mur tidak berterus-terang kepadaku bahwa ingin berbalik dengan Mas Wid"
Aku tertegun sejenak. Napasku serasa terhenti oleh keterkejutanku. Apa" secepat itu pula aku terduduk. Aku mau kembali kepada Widodo" Siapa yang bilang"
Dia sendiri, suara Handoko lebih jelas. Dia tampak lebih menghadapkan kursinya ke arah tempatku.
Dan kaupercaya" Kau mempercayai orang yang sudah bertahun-tahun, sedari masa remajamu kaukatakan menerormu"
Aku berdiri. Aku menginginkan posisi tegak agar bisa bernapas lebih leluasa. Lalu aku duduk di kursi tepat di depan suamiku. Kami berpandangan.
Widodo menyuntikkan gagasan kawin kembali itu kepada Seto. Aku tidak pernah, demi Tuhan, tidak sekali pun pernah mempunyai niat akan kembali kepadanya, kataku setengah gugup. Kemudian, kuatur jalan pikiranku, kurinci peristiwa beberapa bulan yang lalu ketika anak bungsuku menyampaikan ide yang dikatakan demi anak aku harus kawin lagi dengan bapaknya. Kusampaikan semuanya kepada Handoko.
Aku benar-benar heran, mengapa kau percaya begitu saja kepadanya. Omongannya seakan-akan lebih bisa kaupegang daripada kenyataan yang tersuguh. Apakah pernah aku menun414 kapan! Handoko menggelengkan kepalanya. Menghela napas. Menghindari pandangku. Tangannya terangkat, jari-jarinya menelusup ke celah-celah rambut, diusapkan ke belakang. Terdengar helaan napasnya lagi.
Ada apa" Katakan" Apa lagi yang masih mengganjal" Berkalikali dulu kamu selalu mengajariku untuk tegas. Untuk berbuat menuruti nalar yang praktis. Yang logis. Mengapa sekarang kau begini tidak masuk akal" Ada apa dengan kamu, Yang"
Tidak tahu. Aku tidak tahu! dikibaskannya kepalanya ke kiri dan ke kanan. Seolah-olah dia hendak mengusir suatu kekangan yang tidak tampak olehku.
Mas Gun! Selalu Mas Gun! Tidak adakah orang lain" Kau selalu menyebut dia. Kau bahkan mengunjungi kantornya kemarin! Siapa tahu kau selalu berkencan selagi aku tidak di kota" Lalu dia menghadap betul-betul ke arahku, menambahkan, Benar, bukan" Mbak Mur bertemu dengan dia kemarin, suaranya bukannya berisi kekesalan atau kemarahan.
Aku terdiam. Reaksi pertama justru aku ingin tertawa. Menertawakan kekonyolan kejadian itu. Mas Gun mengatakan, bahwa Widodo selalu diawasi gerak-geriknya. Dari pengawasan itu pula dapat dicatat hampir semua kegiatannya di luar. Sekarang Handoko memberitahuku bahwa perbuatanku pun, dia bisa mencatatnya. Apakah itu berarti bahwa dia membayar orang untuk menguntitku" Ataukah Widodo yang mempunyai kaki tangan, kemudian mengusulkannya kepada adiknya"
Sekilas kegelian akan kekonyolan tersebut musnah oleh suguhan kenyataan yang kuhadapi. Kupandangi wajah suamiku. Dia menderita. Bayangan yang tertera di muka itu belum per415 cemburannya. Ya Tuhan. Suami mudaku menderita tekanan rasa kecurigaannya yang bertumpu-tumpu terhadapku. Dia meragukan kesetiaanku kepadanya. Selama ini aku tahu, bahwa dia memang selalu mencemburuiku. Tapi sedemikian besar dan seperti sekarang yang tampak di depanku, benarlah aku tidak menyangka. Semua itu karena setulus hatiku aku setia kepadanya. Karena sungguhlah aku mencintainya. Apakah Widodo akan berhasil merenggut kepercayaan Handoko terhadapku" Lalu bagaimana cintaku jika tidak lagi ditanggapi" Widodo rupa-rupanya bertekad hendak menghancurkan hidupku, hidup Handoko. Barangkali sekarang dia sedang berpuas diri menyaksikan kebingungan adiknya. Apakah aku akan kalah" Ya, Tuhan; apakah aku akan dikalahkan orang seperti Widodo setelah pernah Kau beri kebangkitan yang sedemikian membanggakan dan membahagiakan"
Barulah aku sadar bahwa tusukan-tusukan di perut menghilang. Kepalaku jernih. Bisa kugerakkan tanpa menimbulkan gaungan ngilu yang terpantul-pantul di dalam tengkorakku. Kujangkau tangan kiri suamiku yang tergeletak di meja. Kugenggam erat.
Lihatlah aku, Yang. Tataplah dalam-dalam mataku! Tidakkah kau melihat betapa besar cintaku kepadamu" Kaulah dulu yang mengajariku bagaimana mencintai, betul-betul mencintai itu. Tidak ada orang lain yang kucintai. Hanya kau. Apa yang harus kukerjakan supaya kau mempercayaiku" Aku harus bagaimana" Mas Gun sudah seperti anak sulung orangtuaku. Kau menyaksikan sendiri bagaimana eratnya hubungannya dengan Ibu ketika dia masih hidup. Dia kakak kami. Mengapa yang kaucurigai hanya dia" Padahal Winar juga selalu bekerjasama dengan aku. Katakanlah aku harus bagaimana"
Kami berpandangan lagi. Matanya merah, lembap. Tangannya
416 kemarin, tadi pagi, beberapa menit yang lewat. Kata orang, nasib manusia ditentukan oleh Tuhan. Tapi apakah Tuhan menyediakan hanya satu nasib" Aku telah belajar dari hidup yang kujalani selama ini, bahwa sesungguhnya dihidangkan pilihan-pilihan, lalu kutentukan sendiri mana yang kuambil. Jadi ternyata Tuhan menyuruh manusia memilih, kemudian mengolah nasibnya sendiri. Seandainya dulu aku memilih tidak meneruskan sekolah, demi anak-anak dengan pasif menunggu kembalinya Widodo, penuh empat belas tahun, bagaimanakah nasibku" Mungkin kaku tergilas oleh kemasabodohan, kepasrahan tanpa gerak maupun usaha. Barangkali pula aku sudah menjadi gila, tertekan oleh trauma atau stress yang mengeram di alam bawah sadarku. Sekarang, dengan pilihan nasib yang mempertermukanku dengan Handoko, sekali lagi muncul pilihan tingkat lain. Kalau aku diam, apakah aku akan bisa mempertahankan Handoko sebagai teman hidup, sekaligus sebagai tambatan cintaku" Aku tidak mau tergantung kepadanya. Sama seperti aku tidak menghendaki dia tergantung kepadaku. Sejak semula kami sudah sepakat, bahwa perkawinan kami harus didasari kesejajaran. Tidak harus ada yang berkorban. Karena dalam pengorbanan selalu ada yang kalah dan yang menang. Dalam berkarier, kami sejajar. Dalam perasaan, kami juga harus mengimbangkan diri.
Apalagi dalam keadaan kami sekarang ini! Tidak harus ada pihak yang menang maupun yang kalah dalam permainan yang didalangi oleh Widodo. Karena menang atau kalah, sebenamya Widodo-lah yang mendapatkan keuntungannya. Ya Tuhan. Kembalikanlah kepercayaan suamiku kepadaku.
Aku tahu bahwa persoalan ini adalah persoalan kita berdua. Sangat pribadi. Hanya kita yang bisa menyelesaikannya. Tetapi
417 kita. Lingkungan dekat kita. Apakah aku mempunyai sifat mata keranjang, suka berganti lelaki, sehingga patut kau hukum dengan kelakuanmu itu" Seolah-olah kau bersekutu dengan Widodo untuk menjebakku. Ya, itulah sebabnya mengapa aku mengunjungi Mas Gun di kantornya. Ya, dia lagi! Tetapi dialah pula yang telah menolongku dulu, sehingga aku berani membuka kedok Widodo yang mempengaruhi Seto. Untunglah pula Irawan keras, mau membawa Seto ke Ujung Pandang. Irawan juga bisa kau tanyai mengenai aku. Dia kenal aku lebih dulu dari kamu. Kita harus kuat, Yang. Kalau kau lemah sedikit saja dalam menghadapi Widodo, kita berdua yang hancur. Kau ingat, dulu kau juga yang mengajari aku harus tegas terhadapnya ketika dia mengganggu ketenangan kita, sampai berakibat Seto tidak naik kelas. Sekarang dia sedang berhasil mengacau kerukunan kita berdua. Sifat kecemburuanmu dijadikan alat. Kita berdua harus kuat, karena hanya kita sendiri yang bisa menolong diri kita. Kalau kita hancur, Widodo-lah yang puas. Inilah, Yang. Kau harus sadar, bahwa dia sedang mempermainkan kita.
Bunyi telepon berdering. Setelah dua kali suaranya menggema, pembantu menerimanya. Aku masih memegangi tangan Handoko. Pandang di matanya tidak jelas apakah mengandung kebencian ataukah kecintaan. Tetapi bibirnya yang semula terkatup menggariskan lengkung kekakuan, merekah seolah-olah menanggapi bicaraku dengan pengertian.
Pak Irawan di telepon, pembantu berdiri di tepi pigura pintu.
Mencari siapa" Saya atau Bapak" tanyaku. Katanya siapa saja.
Aku akan berdiri, tetapi Handoko mendahului.
418 Baru saja kusebut namanya. Kini dia menelepon. Betapapun aku tahu bahwa kebetulan-kebetulan seringkali memenuhi kejadian di dunia ini, namun aku lebih percaya bahwa Tuhan-lah yang menyodorkan garis kehidupan itu kepada manusia. Dia masihkah mendengar jeritanku" Masihkah mempedulikan aku sebagai umat-Nya yang selalu mengingatNya"
Ketika kembali Handoko langsung mengambil kunci kendaraan. Katanya tanpa melihat kepadaku, Mas Ir minta dijemput. Di lapangan udara"
Di rumah sakit. Begitu dekat!
Akan tinggal lama" Tidur di sini" kusadari bahwa suaraku penuh kegembiraan.


Jalan Bandungan Karya Nh Dini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa hari katanya. Ini tadi telepon dari bagian mana" Kamu tahu di mana menjemput"
Di apotek. Mas Ir agak {#3}u katanya. Dia cari obat di sana. Kutunggu sampai deru mobilnya menjauh. Kemudian aku menelepon ke rumah sakit. Secara singkat Irawan kuberitahu apa yang terjadi.
Mbak Mur harus sabar, katanya tenang. Kita harus mengerti Handoko yang tumbuh sendirian. Dapat dikatakan tanpa menerima perhatian dari orang-orang yang seharusnya merengkuhnya. Bisa saja dia selalu dibayangi ketakutan akan kehilangan Mbak Mur. Menurut saya, kecemburuannya lebih didasari oleh ketidakpercayaannya kepada dirinya daripada oleh sikap atau kelakuan Mbak Mur.
Anda pasti tahu bahwa saya bukan perempuan gampangan.
419 mau main dengan orang itu!
Tentu saja saya tahu bagaimana Mbak Mur! suara Irawan amat meyakinkan. Lalu meneruskan, Sudah, jangan dirisaukan. Nanti saya atur.
Tapi anda harus hati-hati. Saya khawatir Handoko akan marah jika tiba-tiba anda menyinggung hal ini. Jangan-jangan dia salah mengerti lagi! Tentu dia akan mengatakan bahwa saya mengadu! Meskipun memang begitu yang sebenarnya.
Kita cari jalan nanti. Mbak Mur bisa mengulangi percakapan kita ini di depan Handoko. Misalnya, perlahan-lahan, sambil berkabar. Saya yang akan banyak bertanya.
Sedari dulu aku tahu bahwa Irawan sama seperti Sri. Keduanya selalu bisa mengatasi suasana dengan ketepatan yang kukagumi. Tapi kali itu aku agak ragu.
Anda harus hati-hati kali ini. Kelihatannya kakak anda sudah berhasil membalikkan pikiran Handoko. Nalarnya menyempit.
Saya masih percaya bahwa Handoko tidak selemah itu benar. Seandainya Mas Wid memakai guna-guna yang ampuh pun, mudah-mudahan cinta saya kepada adik saya yang satu itu akan mampu membukakan mata hatinya.
Kalimatnya yang akhir diucapkan dengan nada tanpa berubah, namun hatiku mendadak seperti diremas rasanya. Irawan tinggal di Ujung Pandang dan biasa menceritakan kasus-kasus penderitaan pasien yang macam-macam. Sebagai dokter dan ahli bedah dia mengikuti cara berpikir eksakta, yang berdasarkan fakta. Namun dia juga mengakui sendiri bahwa masih begitu banyak hal di alam ini yang belum terungkapkan menurut kemampuan akal manusia.
Sedari Irawan masuk rumah di Jalan Bandungan hingga pe420 aku berusaha mengendalikan kegugupanku. Untuk mengurangi salah tingkah, aku membatasi bicaraku. Irawan menceritakan kesibukannya siang tadi, tetapi dia menyempatkan diri menelepon kenalan-kenalan dekatnya. Di antaranya dia menyebutkan nama Mas Gun. Menyusul pula nama Winar. Katanya, dia akan singgah besok atau lusa sore ke rumah temanku itu. Sementara itu dia menanyakan beritanya kepadaku. Aku memberitahukan apa adanya. Kuceritakan juga piknik bersama yang paling akhir. Kutambahkan, bahwa pada hari itu, Handoko bisa turut dengan kami.
Kau harus menyisihkan waktu lebih sering untuk bersantai bersama-sama seperti itu, kata Irawan kepada adiknya. Setidaktidaknya itulah caramu menunjukkan kepada mereka rasa terima kasihmu. Merekalah yang selalu mendampingi Mbak Mur dulu di masa-masa sukar.
Kata-kata Irawan kuterima sebagai bentangan jalan yang disediakannya untukku. Aku segera mengambil kesempatan baik tersebut.
Anda menelepon semua kenalan baik, menanyakan berita teman-teman, apakah anda tidak ingin mengetahui kabar kakak anda sendiri"
Mas Wid" Oh, saya tahu dia pasti baik-baik, suara Irawan tetap biasa. Orang seperti dia bisa manjing ajur-ajer.
Itu adalah ungkapan dalam bahasa Jawa. Artinya, bisa membaur dengan siapa pun dan dalam keadaan yang bagaimanapun tanpa ketahuan bentuk aslinya.
Kalau anda sudah berbicara dengan Mas Gun, tentunya juga sudah diberitahu apa yang terjadi, kataku lagi dengan hati-hati. Kusadari suaraku agak lirih.
421 ke arahku sambil bertanya, Tentang apa" Aku tidak menjawab, memandang kepada suamiku. Irawan meneruskan, Di telepon, kami berbicara mengenai tenis, mengenai penataran, dia berhenti sebentar. Lalu, Ada apa"
Aku tetap memandangi suamiku. Perlahan dan selembut mungkin, aku berbicara kepadanya, Mas Han. Kita ceritakan apa tidak"
Seharusnya memang aku mengetahui apa yang terjadi. Mas Wid keluarga kita. Kalau dia berbuat yang aneh-aneh, apalagi yang mencurigakan, lebih baik kamu sendiri yang memberitahuku. Aku tidak percaya lagi kepadanya. Ada apa" Kata-kata terakhir diucapkan dengan suara mendesak. Dia berhenti makan, memandangi Handoko.
Aku menahan napas. Bagiku, kata-kata Irawan bagaikan gertakan. Tapi tidak. Rupanya suamiku menerimanya dengan baik. Setelah sebentar membiarkan kami menunggu, suaranya perlahan tetapi jelas menceritakan kunjungan Widodo ke kantornya. Dengan mahir, Irawan menyela, bertanya, menoleh ke arahku untuk menyampaikan pertanyaan lain yang ditujukan kepadaku. Rincian pertemuan yang pertama disusul oleh kunjungan berikutnya. Lalu diteruskan tandangan Handoko ke tempat kakaknya di belakang gereja. Jadi benarlah seperti yang dikirakan Mas Gun maupun Winar: Mereka berdua bertemu berkali-kali dan tidak hanya di kantor Handoko. Alangkah hebat perubahan itu! Tindakan Handoko didorong oleh rasa ingin-tahunya mengenai diriku, katanya. Bagaimana aku, apa saja ulahku yang mencurigakan dan telah diselidiki oleh Widodo. Begitulah cerita suamiku. Selama waktu-waktu dinas Handoko ke luar kota, memang dua
422 minar. Kegiatan itu sudah kuberitahukan kepada suamiku. Tetapi kejadian tersebut rupa-rupanya dibumbui Widodo dengan aneka ramuan yang pedas sehingga berhasil membangkitkan nyala kemarahan dalam diri Handoko.
Mendengarkan suara suamiku yang datar, kadang lancar, di lain saat terbata-bata, diselingi oleh ketegasan di pihak Irawan, hatiku merana. Air mata tidak dapat kutahan lagi. Aku tidak sanggup mengucapkan satu kata pun untuk membela diri. Irawan-lah yang menjadi pengacaraku. Dalam keporak-porandaan perasaanku, kudengar Irawan bahkan mengusulkan konfrontasi: harus diundang tiga lelaki yang disebut Widodo sebagai pacarku, ditambah Mas Gun. Lalu Irawan menambahkan bahwa kalau konfrontasi itu terjadi, justru pandangan orang terhadap Handoko akan turun. Sebabnya ialah karena itu membuktikan ketidakpercayaan Handoko kepadaku sendiri, di samping meremehkan dan menghina para teman laki-laki yang dicurigai itu. Irawan berbicara biasa saja. Seolah-olah dia sedang membahas sesuatu masalah di depan hadirin yang netral. Penyesalannya terhadap kelakuan adiknya dia perlihatkan dengan sikap yang tidak berlebih-lebihan. Di luar dugaan, Irawan bahkan menyinggung-nyinggung masa lalu dengan memaparkan perlakuan kakak mereka ketika aku masih menjadi istrinya. Dia ceritakan bagaimana aku harus selalu tunduk, manut dan terpisah dari pergaulan. Aku tidak pernah menceritakan hal itu kepada Irawan. Tentulah dia mengetahuinya dari sahabat-sahabatku. Terutama pastilah dari ayah-ibu Ganik yang dikenalnya dengan baik.
Melalui kedatangan Irawan, seolah-olah Tuhan mengelus dan merapikan keadaan rumah tanggaku.
Ambillah cuti bersamaan, hidup bersantai di gunung selama
423 malam itu. Memang telah bertahun-tahun kami berdua tidak pergi secara santai berlibur. Aku merasakan kebutuhan untuk pergi dari kota buat menjauhi Widodo. Dengan demikian, kalau memang Mas Wid mempergunakan kekuatan hitam untuk mempengaruhimu, dayanya akan mengabur dengan bertambahnya jarak antara kamu dan dia. Dengan hidup santai, mudah-mudahan jiwamu menjadi kuat kembali. Begitu kata Irawan kepada adiknya.
Kami langsung mengambil cuti.
Tujuan kami ialah desa-desa pegunungan di selatan kota tempat tinggal kami yang dilengkapi dengan penginapan-penginapan sederhana namun nyaman. Liburan yang dimaksudkan sebagai masa bersantai itu, pada hari pertama telah dimulai dengan ketegangan. Di tengah perjalanan, Handoko yang pegang stir, menghentikan mobil ketika melihat penjual durian. Agak lama kami tawar-menawar serta memilih buah yang sesuai dengan selera kami. Setelah dicapai kesepakatan, kuusulkan agar durian ditaruh di dalam mobil saja. Dengan demikian, tempat bagasi tidak perlu dibuka. Tetapi Handoko tidak mengindahkan gagasanku itu. Dia membuka tempat bagasi dan menolong penjual memasukkan buah-buah ke sana. Aku tidak berkata sesuatu pun, kembali duduk di tempatku. Sebentar kemudian Handoko menyusulku. Kulihat dia memasukkan tangan ke saku celananya, yang kanan, yang kiri, lalu melongok ke samping kemudi.
Kuncinya di mana" Tadi kamu yang bawa, sahutku.
Handoko pergi ke belakang mobil. Kedengaran beberapa penjual membantu mencari kunci di bawah kendaraan, bahkan ada yang datang melihat-lihat di samping tempat dudukku. Aku
424 hasil menemukannya. Akhirnya kukatakan kesimpulanku, bahwa tentulah kunci itu berada di dalam tempat bagasi. Secara tidak sadar, Handoko meletakkannya di sana, lalu lupa mengambilnya ketika akan menutup dan mengunci pintu kembali. Semula sukar sekali Handoko menerima perkiraan tersebut. Dia mencurigai salah seorang penjual itulah yang mengambil kunci mobil. Aku tidak mengerti mengapa dia mempunyai pikiran semacam itu. Akhirnya dia tidak berkata apa-apa, mengeluarkan lipatan benda dari kulit yang mirip sebuah dompet dari tasnya. Di situ tersimpan cadangan kunci mobilnya.
Bagaimanapun juga, kita harus mencari kunci lain untuk membuka tempat barang. Pakaian kita ada di situ semuanya, dan aku tidak punya kunci kedua.
Aku diam saja. Kita cari bengkel. Atau agen penjual mobil. Barangkali ada mobil bermerek sama. Siapa tahu kunci mobil yang sama bisa dipergunakan buat membuka tempat bagasi kita.
Meskipun gagasan itu agak masuk di akal, aku menyimpan keraguan. Kalau mobil-mobil bermerek sama mempunyai kunci yang sama, tentu terjadi banyak pencurian! Tapi aku tetap diam. Kami turnn dari daerah yang sudah mencapai punggung gunung itu untuk menuju ke Salatiga. Beberapa bengkel kami singgahi. Demikian pula satu-satunya agen penjual mobil yang ada di kota kecil itu. Tak satu pun dari mereka yang berhasil membuka tempat bagasi mobil Handoko. Kepalaku pusing. Kota kecil yang dulu terkenal kecantikan dan kesejukannya itu, sekarang tampak lusuh dan gersang. Untuk mengurangi ketegangan, aku tidak berkutik, tidak bertanya. Setelah lima bengkel dikunjungi tanpa ada yang dapat menolong, aku baru bersuara, Lebih baik kita pulang saja.
425 kota Semarang bersama-sama hari ini.
Sebentar Handoko tidak menyahut. Lalu, Kita masih bisa meneruskan berlibur. Kita beli pakaian dan apa-apa yang kita perlukan buat beberapa hari di gunung. Masalahnya ialah, sesudah beberapa hari itu, apakah durian yang disekap di tempat bagasi akan tetap baik" Membeli durian enak hanya untuk dibiarkan busuk, kan bodoh sekali! Sambil mengatakan kalimat itu, Handoko menoleh, tersenyum kepadaku. Entah mengapa, aku tidak menerima senyuman itu sebagai tanda keramahan. Kulemparkan pandang biasa saja ke arahnya.
Mengapa, Mbak Mur" Sedari tadi kok diam saja" Pusing, sahutku singkat. Dan memang itulah jawaban yang paling tepat dan sungguh-sungguh.
Suamiku melihat ke jam di tangannya. Kita cari restoran saja sekarang.
Meskipun aku menyambut baik usul tersebut, aku tidak menyahutinya. Aku juga tetap tidak berkata sesuatu pun ketika tangannya terulur untuk menyentuh, lalu menggenggam tanganku sejenak. Itu adalah gerakan kelembutan pertama yang pernah dia lakukan terhadapku sejak berbulan-bulan. Sekali lagi anehnya, aku tidak bergerak ataupun mengatakan sesuatu buat menanggapinya. Pekan sebelumnya, pembicaraan bersama Irawan disusul oleh keesokan hari yang memang lebih mesra di antara kami suami-istri. Walaupun tidak diiringi gerakangerakan yang dulu menyihirku dan yang kemudian membikinku terikat erat kepadanya. Barangkali Handoko menyertakan niat kelembutannya ketika membelai dan mengelusku pagi itu. Tetapi aku menerimanya sebagai pendahuluan, pemanasan supaya aku mencapai taraf ketinggian nafsu yang sesuai dengan nafsunya
426 muaskan dirinya. Berlainan dari sentuhannya siang ketika kami dalam perjalanan ke gunung. Untuk selanjutnya, selagi kami makan di restoran, dia memperlihatkan perhatian yang telah lama tidak kuterima darinya.
Di rumah makan itu aku mengambil prakarsa bertanya kalaukalau ada tukang kunci yang bisa diandalkan di dekat-dekat sana. Pemilik rumah makan memberikan sebuah alamat. Handoko kurang bersemangat menuruti usulku agar mencoba tukang kunci tersebut. Apalagi setelah melihat bahwa tukang kunci itu adalah seorang pemuda yang nyata belum melewati umur dua puluh tahun. Suamiku semakin tidak percaya akan kemampuannya. Dia membiarkan aku merundingkan upah yang akan diberikan jika tempat bagasi bisa dibuka. Sebegitu selesai berunding, tukang kunci itu mengambil kotak bekas tempat biskuit di mana tersimpan berbagai alat kerjanya. Dia duduk di bangku kecil, di tentangan lubang kunci tempat bagasi. Aku kembali ke dalam mobil. Pintu kubiarkan terbuka. Tidak lama kemudian, Handoko mendekat. Tangannya berpegang pada pintu kendaraan, katanya, Lima ribu terlalu mahal.
Karena terkejut menghadapi reaksi yang sama sekali di luar dugaan itu, aku tidak segera menyahut. Kami berpandangan sebentar. Untuk menghibur kekecewaanku, kuhindari tatapan matanya. Aku kembali melihat foto-foto di majalah yang terletak di pangkuanku. Kataku perlahan, Lima ribu tidak cukup banyak sebagai imbalan membuka tempat bagasi tanpa kunci. Keahlian itu patut dihargai. Dan untuk kesekian kali, anehnya, aku tertekan oleh keinginan yang mendesak-desak buat menambahkan: yang bodoh ialah meninggalkan kunci di dalam tempat bagasi itu! Hatiku kesal oleh panjangnya hari yang habis
427 bukan apa-apa , tetapi yang mendadak bagiku amat mencolok bagaikan sesuatu yang menentukan hidup-matiku: dia tidak mengikuti kataku supaya memuatkan durian ke dalam mobil, bukan di tempat bagasi; dia memandang rendah tukang kunci yang amat muda. Bahkan di waktu memesan makanan di restoran pun, terjadi perbantahan kecil, karena dia hendak memaksaku memilih sesuatu yang tidak kusukai. Tapi kelelahan menolongku untuk tidak mengucapkan tambahan kalimat tersebut.
Handoko meninggalkanku. Kucoba membaca majalah. Beberapa saat berlalu, suamiku datang kembali. Kelihatannya dia tidak bisa. Alatnya ganti-ganti terus. Sudah sepuluh menit lebih.
Kali itu aku hampir berteriak menyuruhnya diam. Kalau dari semula dia mendengarkan aku, waktu itu kami tentu sudah enak duduk-duduk di serambi hotel yang dituju! Usahanya di beberapa bengkel gagal, sekarang dia ingin tukang kunci berhasil dengan cepat. Alangkah semena-menanya dia! Benarkah ini suamiku" Kita tunggu berapa menit lagi"
Sampai seluruhnya setengah jam, sahutku tanpa semangat. Sudah dibuka, Pak, terdengar suara dari belakang mobil. Cepat aku mengikuti Handoko ke tempat bagasi. Waktunya tepat untuk melihat dia mengambil kunci di antara tas-tas dan kopor. Kemudian dia menutup pintu kembali, mengambil dompet. Dia keluarkan selembar lima ribuan. Kuperhatikan dia sebentar ragu-ragu. Kuharapkan dia menambahkan seribu rupiah, atau bahkan lebih. Tapi tidak. Dia ulurkan uang lima ribu rupiah kepada pemuda tukang kunci.
Terima kasih, Dik, katanya. Dia masih sopan! Namun aku kecewa. Mungkin aku yang keterlaluan, karena aku berharap agar
428 Apalah arti seribu rupiah baginya. Jika itu diberikan kepada tukang kunci, barangkali lebih banyak gunanya. Sesungguhnya aku bisa memberikan jumlah tersebut, kuambil dari sakuku sendiri. Entah mengapa, aku begitu terbelenggu, tidak bertindak cepat. Mungkin karena aku ragu terhadap reaksinya pula. Karena siapa tahu, tindakanku itu akan menimbulkan sengketa kecil lagi antara Handoko dan aku.
Untuk selanjutnya, kami tidak saling berbicara. Dalam meneruskan perjalanan ke tujuan semula, aku tenggelam dalam perbantahan batin yang berbelit-belit. Kutemukan diriku bertanyatanya, apakah sebenarnya yang sedang kukerjakan pada waktu itu. Duduk di samping suami, dikatakan akan berlibur santai berduaan, tetapi yang nyata telah gagal sedari permulaan. Apa yang terjadi dapat dianggap sebagai godaan. Tetapi benarkah godaan itu terus-menerus hanya tertuju kepadaku" Apa pun yang dikerjakan Handoko seolah-olah disengaja berbalikan dengan yang kusukai, bertolak belakang dari kebiasaan kami dulu. Yang kukatakan dulu bukanlah jauh di masa lalu. Paling lama empat setengah bulan yang lewat, sejak kepergian Seto dari rumah kami di Jalan Bandungan. Kepedihan hati telah kutanggung sendirian karena memikirkan perubahan-perubahan Handoko yang ternyata merupakan akibat hasutan kakaknya. Mengapa harus selalu aku yang mengatasi suasana" Apakah kepekaan Handoko telah mengurang sehingga hatinya tidak sejalan lagi denganku" Sehingga dia tidak lagi tanggap bahwa semua yang kami alami itu berupa godaan pula terhadap dirinya, dan seharusnya ia berusaha bertahan diri demi kebersamaan kami" Kini tiba-tiba aku merasa heran, karena aku telah sedemikian merana ketika Irawan dan Handoko bertanya-jawab mengungkapkan kebenaran mengenai
429 cinta Handoko itu sekarang tak setitik pun meninggalkan bekasnya, mendadak terdesak oleh melambungnya harga diriku. Kesejajaran dalam segala hal yang telah kami sepakati bersama dalam perkawinan, tidak lagi nyata kehadirannya. Bagiku, jelas Handoko menghendaki jalannya sendiri. Secara kebetulan, Widodo muncul pada waktunya sehingga mempercepat proses perubahan-perubahan yang memang telah siap akan terjadi. Dalam hati aku tersenyum seorang diri. Santet, guna-guna atau ilmu hitam maupun putih tidak perlu bercampur tangan. Karena sumber semuanya adalah diri kami sendiri. Selama kami berdua kuat, tetap mendasari kebersamaan kami dengan kesejajaran dan keseimbangan dalam prinsip pergaulan lahir maupun batin, apa pun yang terjadi di luar diri kami tidak mungkin mampu merenggangkan kedekatan kami.
Ganjalan dalam hati itu membuntutiku selama hari-hari berikutnya. Alur hidup keduaan kami kumasabodohkan. Walaupun aku masih mempertahankan keluwesan dengan memasrahkan prakarsa pengisian waktu kepada suamiku. Bermain tenis, berjalan kaki, lebih-lebih bercumbuan. Tak satu kali pun aku mendahului langkah. Yang sepenuhnya menjadi milikku adalah bangun pagipagi, pergi ke ujung jalan untuk membeli jajan pasar, karena makanan kecil asin dan manis kurasakan tepat sebagai sarapan bersama kopi panas. Seusai makan pagi, kubenahi pakaian dan tempat tidur. Lalu aku mencari tempat yang nyaman, di mana aku bisa duduk sambil merajut atau membaca. Tak satu kesibukan pun yang kulaksanakan dengan rasa gairah. Bahkan bercintaan bersama Handoko pun tidak lagi kuanggap sebagai milikku. Memang aku menanggapinya. Tapi aku sadar sepenuhnya bahwa aku hanya mengikutinya. Padaku tidak terasa lagi kehendak kuat
430 alat yang ditekan tombolnya, berfungsi dalam keterbatasan. Gelombang panas yang dulu biasa melandaku sebegitu Handoko menyentuhku, kini tidak kualami lagi. Dalam kesadaran itu, aku juga menyatakan tanpa rasa heran, betapa aku tidak lagi mengharapkan dia akan mencumbu dan membelaiku dengan cara yang dulu, yang telah menyihir serta membikinku terlekat kepadanya. Badanku tidak bereaksi sebagaimana beberapa bulan yang lalu, yang sedemikian langsung siap dan dibakar gairah begitu Handoko menyentuhku.
Aku mengerti apa yang terjadi. Dan aku tidak berusaha sedikit pun untuk menolak, menyanggah, maupun memberontak. Gejolak dalam diriku kubiarkan merembet dan mengembang, mengakahi pikiran, perasaan hingga seluruh nalarku. Anehnya, aku bahkan merasa lega dengan penguasaan perubahan dalam diriku itu. Kemudahan Handoko terpikat oleh pengaruh Widodo menunjukkan kelemahannya. Harga dirinya turun di mataku. Sekaligus aku merasa sangat direndahkan. Sedari dulu telah kumengerti bahwa di antara kami tidak pernah ada kepercayaan yang sesungguhnya. Namun hubungan jasmaniah dari pihakku kurasakan mampu menghapus berbagai kekhilafan. Selama terasa pemberian kelembutan suamiku tidak berubah, apa pun yang dia kerjakan bisa menyelubungi harga diriku. Bagiku, hubungan yang paling jelek pun masih bisa diselamatkan selama sepasang manusia dapat saling memuaskan. Jalan bersama antara kami masih bisa diteruskan seandainya masalah karier dan persahabatan mendasari keduaan kami. Sedangkan dalam hal kami, rasa-rasanya amat meragukan. Kuteliti dengan tekun, selama dua tahun itu, akulah yang lebih menuruti alur suami. Baik di bidang pekerjaan ataupun dalam soal perasaan. Kesempatan untuk mengadakan riset ini atau
431 dari samping suamiku terlalu lama. Orang berkata bahwa istrilah yang patut mengalah demi karier suaminya. Hal itu pastilah tidak akan kumasalahkan seandainya Handoko tidak menyisihkan aku dari hakku terhadap kelembutannya.
Pulang dari berlibur di gunung memberiku ilham dalam hubungan baruku dengan Handoko. Entah dia merasa atau tidak, bukanlah menjadi kekhawatiranku. Kuteruskan sikapku yang pasif di tempat tidur. Tetapi sebaliknya, karierku kurintis ke arah pelaksanaan idamanku di masa Dokter Liantoro masih hidup. Di Ibukota, para pendidik wanita sudah lama menerima kanak-kanak di rumah mereka untuk bermain sambil belajar. Usaha itu dinamakan dalam bahasa Inggris Children Group . Aku ingin membikin kumpul-kumpul yang sama, tetapi dengan memasukkan bahasa Inggris secara aktif. Tanah kosong di samping rumah Jalan Bandungan hendak kumanfaatkan untuk keperluan tersebut. Diam-diam, aku berunding dengan Sri bagaimana caranya memperoleh pinjaman dari bank. Jika permintaan kredit ditolak, bagian tanahku di Boja akan dapat dijual, kata temanku itu. Bersamaan waktunya, kuperhatikan suamiku gencar bersuratsuratan dengan hubungannya di luar negeri. Berkali-kali dia menelepon atau ditelepon. Hingga pada suatu hari dia berkata bahwa bulan berikutnya dia akan mulai bekerja di Eropa Utara.
Aku menerima berita dengan perasaan yang tenang sekali. Seolah-olah telah lama aku mengetahui bahwa dia akan segera pergi jauh. Bahwa kami memang akan berpisah.
Kontraknya hanya sampai musim dingin. Hanya empat bulan. Sesudah itu, aku langsung ke Venezuela. Sebaiknya aku berangkat sendirian dulu. Setelah mapan, mendapat apartemen, Mbak Mur menyusul.
432 dilibatkan dalam hidupnya. Tetapi tidak dalam kariernya. Tak satu kali pun dia memperbincangkan tawaran atau keputusan penerimaannya denganku. Dia juga tidak mempertanyakan bagaimana kesibukanku di kemudian hari. Apakah aku akan sepenuhnya berada di sisinya sebagai seorang istri yang mengabdikan seluruh waktu untuk rumah tangga" Ataukah aku akan mengikuti sesuatu kursus, atau mencari pekerjaan sambilan di sana guna kelangsungan kemampuan intelekku" Anehnya lagi, aku pun tidak bertanya. Alangkah berubahku! Dulu aku pernah mempunyai cita-cita di sudut hatiku untuk melulu menjadi istrinya, hanya sibuk mengurusi rumah serta memuaskan hatinya. Bulan-bulan berlaluan, tidak sampai mencapai satu tahun, kini aku berganti pikiran dan perasaan. Kurasakan ada kekerasan dan kepahitan dalam hatiku. Meskipun demikian, aku tidak merasa sedih. Kuterima kejadian dan perubahan yang kualami sebagaimana adanya. Aku bahkan tidak lagi mengaitkan semuanya ini sebagai cobaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dengan sadar aku mengikuti aliran kehidupan. Aku sudah membuat pilihan. Kalau Tuhan menyodorkan lagi jenis kehidupan yang lain, mengapa aku tidak meraihnya dengan kepastian serta keyakinan bahwa itulah yang paling tepat untukku"
Aku mengantar Handoko ke Jakarta. Beberapa hari kami bersama, kami saling banyak mengeluarkan isi hati. Lebih banyak daripada bulan-bulan yang telah kami lewati, sejak kepergian Seto. Karena mendekati perpisahan, barangkali kami merasakan kebutuhan untuk mengosongkan kepenuhan yang berdesakan dalam diri masing-masing. Sekaligus kurang peduli, atau tidak mengkhawatirkan lagi penerimaan kata-kata yang berisi kebenaran bagi masing-masing pihak. Pada waktu itulah aku baru me433 dakanku yang kuanggap sebagai biasa sekali, yang pada hari itu pun tetap kupandang tidak berarti. Sedangkan sikap Handoko yang meremehkan aku ketika dia dengan mudah melahap aduan kakaknya mengenai aku berpacaran dengan beberapa lelaki lain, yang kupandang sebagai tusukan berbisa terhadap harga diriku, dia anggap sebagai hal yang lumrah. Alasannya ialah dia berhak mencurigai istrinya. Pendek kata, jelas bagiku, bahwa kami tidak mempunyai arah jalan yang sama lagi.
Handoko berangkat. Kami berpisah sebagai dua orang sahabat. Hubungan kami sudah sampai pada taraf yang berbeda. Aku tidak tahu apakah aku akan menyusul ke tempatnya bekerja. Perpisahan ini pastilah ada baiknya bagi kami berdua.
Kali ini suamiku tidak menghilang, melainkan kuketahui dengan jelas pergi ke mana dan untuk keperluan apa. Aku melepasnya tidak dengan kesedihan, tetapi juga tidak dengan kelegaan. Setelah berbulan-bulan kami tidak pernah menyepakati sesuatu pun secara bersama, pada saat keberangkatan itu kami saling setuju, bahwa kami akan membiarkan waktu mengalir menuruti alurnya. Kami berpisah, namun kami tidak bercerai. Terlalu banyak kejadian dan pengalaman yang telah kami jalani bersama-sama. Masa kebersamaan yang padat itu tidak akan mudah menguap begitu saja dari kenangan.
SELESAI 435 Nurhayati Sri Hardini atau lebih dikenal dengan nama Nh. Dini adalah salah satu pengarang wanita Indonesia yang sangat produktif. Ia mulai menulis sejak tahun 1951, ketika masih duduk di bangku kelas II SMP. Pendurhaka adalah tulisannya yang pertama dimuat di majalah Kisah dan mendapat sorotan dari H.B. Jassin; sedangkan kumpulan cerita pendeknya Dua Dunia diterbitkan pada tahun 1956 ketika dia masih SMA.
Nh. Dini pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways, lalu menikah dengan Yves Cofin, seorang diplomat Prancis, dan dikaruniai sepasang anak, Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang.
Setelah lebih dari 20 tahun melanglang buana, di antaranya tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis, pada tahun 1980 Dini kembali ke Indonesia. Sejak itu, pengarang yang mendapat Hadiah Seni untuk Sastra, 1989 dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini aktif dalam Wahana Lingkungan Hidup dan Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana.
Enam tahun kemudian (1986), Dini mendirikan Pondok Baca Nh. Dini, sebuah taman bacaan untuk anak-anak yang sampai sekarang terus berkembang dan bercabang-cabang.
436 Utama, antara lain seri Cerita Kenangan: Sebuah Lorong di Kotaku (1986), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1988), Sekayu (1988), Kuncup Berseri (1996), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), serta La Grande Borne (2007); dan novel-novel lain yaitu Pada Sebuah Kapal (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Namaku Hiroko (1986), Keberangkatan (1987), dan Tirai Menurun (1993).
Novel-novelnya yang diterbitkan penerbit lain adalah La Barka (Grasindo, 1975) dan Tanah Baru, Tanah Air Kedua (Grasindo,
1983). Nh. Dini juga menulis novelet yang berjudul Hati yang Damai (1961); kumpulan cerita pendek, antara lain Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Monumen (2002), Istri Konsul (2002), Pencakar Langit (2003), Janda Muda (2003); serta biograi Amir Hamzah berjudul Pangeran dari Seberang (1981). Dia juga menerjemahkan La Peste karya Albert Camus (Sampar, 1985) dan Vingt Mille Lieues sous le Mers karya Jules Verne (20.000 Mil di Bawah Lautan, 2004).
Tahun 1988, Nh. Dini memenangkan hadiah pertama lomba penulisan cerpen dalam bahasa Prancis se-Indonesia yang diselenggarakan oleh surat kabar Le Monde, bekerja sama dengan Kedutaan Prancis di Jakarta dan Radio Franche Internationale, dengan cerpen berjudul Le Nid de Poison dans le Baie de Jakarta. Tahun 1991 dia menerima penghargaan Bhakti Upapradana (Bidang Sastra) dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Dia juga berkeliling Australia untuk memberikan ceramah di berbagai universitas atas biaya Australia-Indonesia Institute.
Tahun 1998, Nh. Dini diundang Pemerintah Kota Toronto, Kanada, untuk membaca karya sastra bersama pengarang-penyair437 kebudayaan kota tersebut. Tahun 1999, selama tiga bulan Nh. Dini tinggal di Prancis atas biaya pemerintah Prancis, untuk melakukan riset penulisan lanjutan Seri Cerita Kenangan.
Tahun 2000, Nh. Dini menerima Hadiah Seni dari Dewan Kesenian Jawa Tengah dan tahun 2003 menerima SouthEast Asia Writers Award di Bangkok, Thailand.
Sejak tahun 2002, sampai empat tahun kemudian, Nh. Dini tinggal di Graha Wredha Mulya, Sendowo, Yogyakarta, dan mengisi hari-harinya dengan menulis, mengurusi Pondok Baca, merawat tanaman, dan melukis.
Menjelang akhir tahun 2006, Nh. Dini bergabung ke Wisma Lansia Langen Werdhasih di Lerep, sebuah desa yang tenang di lereng Gunung Ungaran, kira-kira 30 km di selatan kota Semarang.
Di awal bulan November 2007, Dini diundang mewakili Indonesia untuk mengikuti Jeonju 2007 Asia-Africa Literature Festival , di Korea Selatan, yang dihadiri oleh kurang-lebih 100 perngarang dari Asia-Afrika, termasuk dari Timur Tengah (a.l. dari Mesir, Jordania, dan Arab Saudi). Di Seoul, sebagai bagian dari acara festival tersebut, Dini berceramah di depan gabungan mahasiswa dan dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hankuk dan Universitas Pusan.
Tahun 2008, Dini menerima Hadiah Francophonie dari negara-negara yang mempergunakan bahasa Prancis sebagai bahasa resmi dan bahasa kedua. Pada bulan Oktober 2009, Dini diundang menghadiri Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali. Kesempatan berada di Bali juga ia gunakan untuk menerima undangan berceramah di Universitas Udayana dan IKIP PGRI, Denpasar.
Ah manusia! Selalu tergiur oleh 'seandainya'. Seolah-olah dengan perkataan itu kita bisa membentuk dunia baru atau kehidupan lain yang sesuai dengan idaman masing-masing. Demikian kata hati Muryati ketika menerima berita bahwa tawanan Pulau Buru akan dibebaskan. Berita ini dia terima dari Winar, sahabatnya.
Muryati adalah seorang dari ribuan wanita yang tidak pernah tahu ke mana pasangan hidupnya pergi sesudah waktu kantor selesai. Kalau suami berkata akan rapat, atau menengok rekan yang sakit, atau ke Pak RT merundingkan soal warga kampung, istri tentu percaya saja. Lelaki begitu leluasa meninggalkan rumah jika kesal mendengar rengekan anak, kalau pusing memikirkan serba tanggung jawab keuangan rumahtangga, bahkan pergi ke tempat tertentu bertemu dengan orang-orang tertentu guna membicarakan hal yang berlawanan dengan politik Pemerintah. Sedangkan para istri 24 jam terikat di rumah bersama kerepotan kehidupannya yang ituitu melulu.
Lalu pada suatu hari, Muryati diberitahu bahwa suaminya terlibat. Mulai saat itu, perkataan terlibat akan menyertainya dalam seluruh kelanjutan hidupnya yang tiba-tiba menjadi jungkir balik. Bagaikan dijangkiti penyakit menular, tetangga dan lingkungannya mengucilkan dia. Bahkan saudara kandung dan kerabat dekatnya sekalipun. Dalam usahanya untuk meraih kembali pekerjaan yang telah dia tinggalkan lebih dari sepuluh tahun, di mana-mana pintu tertutup. Muka masam, kalimat sindiran atau mentahmentah tolakan: khawatir dicurigai, takut terlibat!
Namun dalam kegelapan masa depan itu, lengan ibunya terbuka lebar merengkuhnya: Muryati kembali ke rumah orangtua bersama anakanaknya. Dan ketegaran Ibu, si pedagang kecil inilah yang mengilhami kegigihan perjuangan Muryati untuk berjuang, mencari selinapan peluang di sana-sini, demi harga diri sebagai perempuan dan kemampuan orangtua tunggal yang membesarkan anak. Beruntun akan dia alami berbagai bumbu kehidupan. Malahan dia terpilih di antara sedikit orang yang di masa itu berkesempatan belajar ke luar negeri. Bahkan kebahagiaan yang sangat mewah: pengalaman mencintai dan dicintai laki-laki yang dia kira akan merupakan puncak jalan kehidupannya & .
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I Lantai 4-5
Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270
Pendekar Mata Keranjang 17 The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi Rahasia Kastil Bulan 3

Cari Blog Ini