01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 16
wajah menyala. Bahkan kemudian ia menggeram. "Sidanti.
Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang
takut mendengar anjing menggonggong."
Sidanti terkejut mendengar kata-kata itu. Benar-benar
menyakitkan hati. Karena itu maka tiba-tiba warna merah
menjalar di wajahnya. Katanya, "Siapa kau?"
Api di Bukit Menoreh Bagian 5 "Namaku Bajang."
"Kau masih belum terlalu tua. Kenapa kau mencoba
membunuh dirimu" Apakah kau tidak senang hidup di
lingkungan Macan Kepatihan?"
"Jangan mengigau. Cobalah kau maju selangkah lagi. Maka
kau akan berkubut di tanah ini."
Sidanti benar-benar telah terbakar oleh kemarahannya yang
memuncak. Karena itu tiba-tiba ia meloncat maju sambil
berteriak. "Kumpulkan semua pengawal barak-barak di
perkemahan ini. Ayo, inilah Sidanti, murid Tambak Wedi."
Tundun, kedua prajurit yang lain, dan Bajang sendiri kini tidak
dapat mengelakkan diri lagi. Mereka harus menghadapi anak
muda yang berani dan perkasa ini. Bagaimanapun juga
mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah terlalu sering
bermain-main dengan senjata dan bercumbu dangan maut.
Ketika mereka melihat Sidanti dengan sigapnya meloncat
maju, maka merekapun segera mendekat pula. Tanpa berjanji
mereka berdiri seberang-menyeberang. Seakan-akan mereka
sengaja mengepung Sidanti yang dengan garngnya berdiri di
antara mereka. "Kau yang tajam mulut," geram Sidanti sambil menunjuk
kepada Bajang, "kaulah yang pertama-tama akan aku sobek
mulutmu." Tetapi agaknya Bajang sama sekali tidak takut. Dengan
pisaunya ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Tundunpun kemudian bersiap pula. Ia tidak mau kalah
daripada Bajang. Bajang yang hanya bersenjatakan pisau
dapur betapapun besar dan tajamnya, berani menghadapi
Sidanti dengan tatagnya, maka Tundun yang di pinggangnya
tergantung sebilah pedang, pasti harus lebih berani
daripadanya. Sidanti yang berdiri di antara mereka, sekali lagi memandang
setiap wajah di sekitarnya. Tundun yang cacat, Bajang yang
kecil dan kedua prajurit yang lain. Tiba-tiba Sidanti itu berkata
nyaring. "Ayo, siapkan senjata-senjata kalian. Apakah kalian
dapat menggerakkannya dengan baik?"
Tanpa adikehendaki, maka tiba-tiba tangan mereka yang
berdiri di sekeliling Sidanti itu menarik senjata masing-masing.
Dengan serta merta senjata-senjata itupun segera tertuju ke
arah Sidanti. "Nah, kalian ternyata sigap pula menarik senjata. Sekarang
aku ingin tahu, apakah kalian mampu bermain-main dengan
senjata-senjata itu."
Tundun tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia melompat
menusuk Sidanti. Tetapi Sidanti benar-benar lincah selincah
sikatan. Pedang itu meluncur beberapa cengkang di muka
telinga kanannya. Sambil menghindar Sidanti sempat berteriak. "Ha. Ternyata
kau adalah prajurit yang baik. Meskipun tubuhmu telah
dipenuhi oleh cacat badaniah, namun kesetiaanmu kepada
Macan Kepatihan tidak juga berkurang."
Api di Bukit Menoreh Bagian 6 Tetapi ternyata mereka salah sangka. Sidanti sama sekali
tidak berusaha untuk mencegah orang yang membunyikan
tanda bahaya itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, "Baik.
Aku beri kesempatan kalian memanggil kawan-kawan kalian.
Berapa orangkah semua yang masih ada di perkemahan ini"
Sepuluh atau lebih" Kalau lebih dari sepuluh, aku harus
berpikir-pikir untuk segera mengurangi jumlah itu supaya aku
tidak kelelahan." Kata-kata itu benar-benar menyiksa perasaan prajurit-prajurit
Jipang itu. Dengan penuh luapan kemarahan mereka berjuang
sekuat tenaga mereka. Tetapi bagi Sidanti mereka benarbenar
tidak berarti. Beberapa kawan-kawan mereka di tempat-tempat yang lain
terkejut mendengar tanda itu. Mereka menyangka bahwa
beberapa orang Pajang telah menyerang mereka. Beberapa
orang yang tidak dipasang dalam gelar untuk melawan Macan
Kepatihan. Karena itu segera mereka berlari-lari menuju ke
arah tanda itu. Empat orang dari dua sudut penjagaan datang
hampir bersamaan. Tetapi mereka terkejut ketika mereka
melihat, bahwa di tempat itu hanya ada seorang yang sudah
bertempur melawan empat orang prajurit Jipang.
Dengan nanar mereka mencoba memandang berkeliling.
Namun mereka tidak melihat orang selain daripada yang
sedang bertempur itu. Sehingga salah seorang dari mereka
berteriak, "Kenapa dibunyikan tanda bahaya?"
"Kau lihat lawan ini?" berteriak Tundun.
"Yang hanya seorang itu?"
"Buka matamu lebar-lebar," jawab Tundun. "Meskipun seorang
tetapi ia adalah anak iblis."
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Sidanti,
katanya, "Ya. Yang seorang ini anak iblis. Berapa orang kalian
yang datang" Apakah genap enam orang, sehingga semua
berjumlah sepuluh dengan orang-orang yang pertama?"
Keempat orang yang datang itu baru menyadari keadaan
lawannya, mereka kini melihat keempat kawannya masih
berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata
di tangan. Namun lawannya yang hanya seorang itu, dengan
tersenyum selalu menghindarkan diri dari serangan yang
bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan merekapun kemudian
melihat bahwa yang seorang itu masih belum
mempergunakan senjatanya.
"Jangan berdiri seperti patung!" teriak Tundun. "Apakah kalian
menunggu kami menjadi bangkai?"
Teriakan itu benar-benar telah membangunkan mereka dari
kekaguman mereka melihat tata gerak Sidanti. Lincah,
tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka
mencabut senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena
perkelahian itu. "Apakah kalian tidak akan saling menusuk di antara kawankawan
sendiri?" teriak Sidanti.
Tak seorangpun yang menjawab. Namun kini kepungan
mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin
cepat menyambar kulit Sidanti dari segala arah. Karena itu
maka katanya kemudian, "Nah, sekarang baru aku merasa
perlu mempergunakan pedang. Ayo, sebutkan jumlah kalian,
berapa?" Tetapi pertanyaan itu dijawab dengan serangan yang datang
bertubi-tubi dengan sengitnya. Namun akirnya Sidanti berhasil
menghitung mereka, katanya, "Delapan. Aku harus
mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan
lima orang." "Gila!" geram Tundun. Tetapi segera ia terdiam ketika pedang
Sidanti yang baru saja ditarik itu hampir-hampir menyentuh
hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya bertambah
seleret lagi. Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin
dahsyat. Dalam pada itu Tundun masih menunggu beberapa
orang kawannya yang sedang nganglang.
Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat
yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan
datang bahaya " Api di Bukit Menoreh Bagian 7 Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat
yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan
datang bahaya di perkemahan mereka, sehingga mereka
kehilangan kewaspadaan. Mereka bahkan sedang asyik
berburu rusa dan kijang. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda
yang dibunyikann oleh kawan Tundun di perkemahan.
Maka Tundun terpaksa bertempur dengan kawan-kawannya
yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua
orang, namun mereka sama sekali bukan prajurit. Mereka
adalah orang-orang dapur, kawan-kawan Sumangkar.
meskipun demikian, mereka membawa senjata di tangan
mereka. Tetapi dalam perkelahian itu mereka tidak segera
dapat ikut serta. Sifanti kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan
delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat bermainmain
dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya
berbeda dengan dugaannya. Prajurit Jipang adalah
sebenarnya prajurit. Hanya satu dua dari mereka adalah
orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah
prajurit-prajurit yang cukup. Meskipun bukan orang-orang
puncak. "Hem," desis Sidanti sambil meloncat-loncat, "ternyata kalian
cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya
aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu
sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang
meninggalkan arena ini, aku terpaksa memaksamu."
Tak seorangpun yang menjawab. Bahkan mereka bekerja
semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti
sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin
lama Sidanti semakin merasa bahwa sangat berat baginya
untuk melawan delapan orang itu sekaligus. Ia terpaksa
sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan
cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar
di udara. Kedelapan orang itupun merasa, betapa besar tenaga anak
muda yang bernama Sidanti itu. Kini Tundun mulai dirayapi
oleh kepercayaannya bahwa Sidanti benar-benar mampu
menempatkan diri hampir sejajar dengan Macan Kepatihan.
Namun betapapun kuatnya Sidanti, untuk melawan delapan
orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia kemudian
terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itupun
bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
"Sebenarnya aku tak ingin menyakiti kalian," teriak Sidanti,
"tetapi ternyata melawan kalian berdelapan adalah berat
sekali. Kalian benar-benar prajurit yang tangguh. Karena itu,
seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian,
janganlah kalian menjadi sakit hati."
Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan
dengan demikian Tundun dan kawan-kawannya merasa,
bahwa Sidanti merasa terdesak. Karena itu justru mereka
memperketat tekanan mereka.
Sidanti yang merasa semakin terdesak akhirnya menjadi
marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin
panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai
punggungnya. Goresan itu tidak terlalu dalam. Namun
goresan itu telah menyobek baju dan menyentuh kulitnya.
Luka itu, meskipun tidak seberapa, namun karena darah yang
menetes, maka hati Sidanti telah benar-benar terbakar
karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Dan
dengan demikian maka anak murid Tambak Wedi itu
menggeram dengan dahsyatnya. Sekali ia meloncat dengan
lincahnya beberapa langkah surut, namun kemudian dengan
cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar
dengan sengitnya. Perkelahian itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin
lama semakin dahsyat. Masing-masing piak telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Tundun pun kemudian merasa, bahwa kekuatannya bersama
kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Sidanti yang
hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atu
membinasakan adalah sulit sekali. Sidanti itu benar-benar
seperti anak setan. Sekali ia menerobos di antara lawanlawannya,
namun kemudian melontar dan menyerang dari sisi
dan belakang mereka. Kalau Tundun dan kawan-kawannya
berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal.
Sidanti mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat
mereka jangkau dengan loncatan dan senjata.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka
terdengarlah Tundun berteriak, "Bunyikan kembali lagi tanda
bahaya. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang
mendengarnya." Kembali salah seorang dari mereka meloncat keluar arena
perkelahian. Kali ini Sidanti tidak membiarkannya. Tetapi ia
tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain
dengan garangnya mencoba melindungi kawannya yang
seorang itu. "Gila!" teriak Sidanti. "Bukan maksudku membunuh salah
seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras kepala.
Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya."
Maka Sidanti itupun kemudian sampai pada puncak
permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya
untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian,
terdengar sebuah keluhan tertahan. Bajang meloncat surut
dari lingkaran pertempuran sambil meraba pundaknya.
Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
Api di Bukit Menoreh Bagian 8 "Anak setan!" teriaknya. Kemudian kepada kawan-kawannya
juru masak yang berdiri menonton perkelahian itu dengan
wajah pucat ia berkata, "Berikan pedangmu itu."
Kedua kawannya yang biasanya hanya dapat menunggui
perapian segera berlari kepadanya dan memberikan
pedangnya kepada Bajang. "Terima kasih. Senjataku terlalu
pendek sehingga pundakku terluka."
Bajang yang teruka itu kemudian dengan kemarahan yang
membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena. Tetapi
demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh.
Sekali lagi, salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena.
Kali ini agaknya lebih parah dari luka yang diderita Bajang.
Ternyata darah mengucur dari tangannya. Dua buah jarinya
terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah prajurit yang kehilangan jari-jarinya itu menjadi merah
padam. Merah padam karena menahan marah dan sakit.
Ketika ia melihat seorang juru masak berdiri dengan pedang di
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan, tetapi tidak ikut dalam pertempuran, terdengar ia
berteriak, "Berikan pedangmu."
Orang itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian diberikan juga
pedangnya. Prajurit itu menerima dengan tangan kirinya. Cepat ia
meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan kiri.
Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan,
namun tandangnya hampir-hampir tak berkurang.
Ternyata tanda bahaya yang kedua itu menggema, jauh lebih
dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Tundun, sebanyak
empat orang yang sedang nganglang dan berburu rusa,
terkejut mendengar tanda itu. Sesaat mereka berdiri
termangu-mangu. Seakan-akan bunyi tanda bahaya itu
terdengar di telinga mereka.
"Kau dengar," bergumam salah seorang dari mereka.
"Ya," sahut yang lain.
"Aku hampir tak percaya. Apakah orang-orang Pajang tidak
memasang seluruh orang-orangnya dalam perlawanan kali
ini?" "Mungkin. Mungkin mereka sengaja membagi kekuatan."
"Bodoh. Kalau aku menjadi pemimpin pengawal kemah ini,
aku biarkan mereka masuk. Aku biarkan mereka merusak
kemah-kemah kita, sebab Macan Kepatihan pasti akan
berhasil masuk Sangkal Putung."
"Kau yakin benar."
"Ya, kalau pasukan Pajang mengurangi kekuatannya, Sangkal
Putung pasti akan pecah."
"Tetapi Kakang Tundun memanggil kita dengan tanda itu."
"Mari kita pulang."
Keempatnya segera berlari-lari kembali ke kemah mereka.
Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah
terjadi peperangan antara para pengawal yang jumlahnya
sangat terbatas, melawan sebagian orang-orang Pajang yang
sengaja tidak dipasang dalam peperangan di Sangkal Putung.
Semakin dekat mereka dengan kemah mereka, hati mereka
menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum
melihat tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
"Aneh," desis salah seorang dari mereka.
Sebelum yang lain menyahut, mereka telah memasuki daerah
perkemahan mereka. "Tidak ada apa-apa," gumam yang lain.
"Kita lihat berkeliling," berkata yang lain pula.
Mereka segera berjalan berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat
penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka pun menjadi
semakin berhati-hati. Ketika mereka sampai di sisi Utara, barulah mereka melihat
kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran
perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi
melawan satu orang saja. "Gila!" teriak salah seorang dari mereka. "Apakah aku harus
nonton permainan yang menggelikan ini."
Tundun yang memimpin pertempuran di antara kawankawannya
itu menjadi marah. Jawabnya lantang, "Buka
matamu, jangan mulutmu!"
Keempat kawannya itu berdiam diri. Sesaat mereka
memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang
kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang
terluka. "Bukan main," desis salah seorang dari mereka. "Siapa anak
muda yang gila itu?"
Tiba-tiba salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu.
Jawabnya, "Anak muda yang membunuh Plasa Ireng."
"Pantas ia berhasil membunuh Plasa Ireng. Tetapi ia kini tak
akan lolos lagi." Orang itupun segera berlari menghambur menerjunkan diri ke
dalam arena pertempuran. Tetepi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah
seorang kawannya berteiak tinggi. Ia melihat sosok tubuh
terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.
"Dadaku," kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah
dengan derasnya. Karena itu ia tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang
itu menepi dan diserahkannya kepada dua orang dapur yang
berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga kawankawannya
yang lain telah meloncat pula mendahuluinya
memasuki arena. Sidanti yang melihat kedadiran keempat orang baru itu
menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil
mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih
baik dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
"Kalian benar-benar jemu hidup," teriak Sidanti. "Ternyata
kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku
tidak akan dapat menahan ujung senjataku."
"Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan
dapat keluar dari perkemahan ini, sehingga kau akan berkubur
di sini," sahut Tundun. Namun suaranya itu disaut oleh sebuah
teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores
pedang Sidanti, sehingga hampir putus. Tetapi dengan
demikian yang akan dapat terjadi.
Dengan demikian perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan
segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Sidanti yang
hanya seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya.
Untunglah ia murid Ki Tambak Wedi yang namanya
menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun
melawan sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat
kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.
Tetapi perkelahian itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan
nyaring. Teriakan itu demikian kerasnya, sehingga hampirhampir
memecahkan telinga mereka. Meskipun mereka
sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara itu dapat
menembus ke dada mereka. "Berhenti, berhenti!" berkata suara itu melengking-lengking.
Semua orang di dalam arena berloncatan mundur. Ketika
mereka berpaling, mereka melihat seorang tua dengan wajah
yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu
per satu. Dada para prajurit Jipang berdesir melihat orang itu. Tatapan
matanya terasa terlalu dalam menghunjam ke dalam dada
mereka. Meskipun mata itu tidak seliar mata Sidanti, namun
sinar matanya memancarkan nada serupa.
Tetapi orang itu ternyata kemudian tersenyum. Dipandanginya
Sidanti sambil berkata, "Jangan bersungguh-sungguh Sidanti.
Bukankah kita tidak akan menyakiti hati mereka."
Sidanti menggigit bibirnya.
"Kau telah melukai beberapa orang di antaranya."
"Mereka benar-benar ingin membunuhku," sahut Sidanti.
Para prajurit Jipang masih saja mematung. Mereka belum
pernah melihat orang tua itu. Mereka menjadi semakin heran
ketika orang tua itu berkata kepada mereka, "Maafkanlah
muridku ini." Tak seorangpun yang segera menjawab. Mereka masih berdiri
kaku di tempatnya, dengan senjata-senjata mereka siap di
tangan. "Kalian heran melihat kehadiranku" Mungkin kalian belum
mengenal aku. Aku adalah Ki Tambak Wedi."
Kembali dada prajurit-prajurit Jipang berdesir. Ternyata orang
inilah yang bernama Tambak Wedi. Orang yang namanya
menghantui seluruh lereng Gunung Merapi. Kini orang itu
berada di hadapan mereka dengan muridnya yang bernama
Sidanti. "Aku minta maaf," berkata Tambak Wedi itu pula. "Maksud
kedatangan kami semula adalah baik. Kami ingin mengetahui
keadaan kalian di sini."
Yang menjadi pimpinan pasukan pengawal itu adalah Tundun.
Karena itu, maka ialah yang menjawab, "Kiai, kami minta maaf
atas kelancangan kami. Kami terpaksa melakukan perlawanan
karena tugas-tugas kami."
"Bagus," potong Ki Tambak Wedi. "Kalian adalah prajurit. Jadi
kalian harus melakukan kewajiban kalian."
Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Tundun.
Dan justru karena itu ia menjadi bingung, sehingga ia tidak
tahu, apalagi yang akan dikatakannya.
Yang berkata kemudian adalah Ki Tambak Wedi. "Kisanak.
Kedatangan kami sama sekali tidak bermaksud untuk
menyakiti hati kalian. Kami hanya ingin sekedar
memperkenalkan diri kami. Aku dan muridku. Apakah kalian
bersedia menerima salam perkenalan ini?"
Tundun menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu maksud Ki
Tambak Wedi. Karena itu, maka ia masih saja berdiam diri
tegak seperti tonggak. Ki Tambak Wedi yang melihat para prajurit Jipang itu tertawa.
Katanya, "Kenapa kalian menjadi seperti orang kehilangan
ingatan" Percayalah, aku tidak akan berbuat apa-apa.
Mungkin muridku telah terlanjur melukai beberapa orang di
antara kalian, tetapi itu hanya karena umurnya yang masih
muda sehingga ia tidak mudah untuk mengendalikan dirinya.
Meskipun maksudnya memang ingin mencoba bermain-main
dengan kalian, tetapi tidak untuk melukai apalagi membunuh."
Tundun dan kawan-kawannya semakin tidak mengerti maksud
kata-kata itu. Dengan demikian mereka masih saja berdiri
membisu. Karena tidak seoragpun menyahut, Tamak Wedi itu berkata
terus. "Maksud muridku memang ingin berkelahi untuk
sekedar memperkenalkan diri. Maksudnya akan
memberitahukan kepada kalian bahwa Tohpati sama sekali
bukan manusia yang aneh. Bukan manusia yang melampaui
batas kemampuan manusia yang lain. Sekarang kalian telah
melihat muridku dan mengalami perkelahian. Sudah tentu
kalian akan dapat menilai, manakah yang lebih sakti. Macan
Kepatihan atau Sidanti."
Debar di dada prajurit Jipang itu menjadi semakin deras.
Apalagi ketika terdengar Tambak Wedi berkata, "Itupun aku
masih menganggap bahwa Sidanti masih harus berjuang
membentuk dirinya mempelajari ilmuku untu menjadi
sempurna." "Muridnya telah mampu berbuat sedemikian," pikir para
prajurit itu, "apalagi gurunya."
"Nah bagaimana menurut penilaian kalian" Apakah Sidanti
sudah sama dengan Macan Kepatihan?"
Tak seorangpun yang menjawab pertanyaan itu.
"Bagus, kalian pasti tidak akan dapat menjawabnya. Tetapi
biarlah kami memberikan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Apakah kalian masih tetap ingin berjuang bersama-sama
Macan Kepatihan?" Masih tidak menjawab. "Tentu, kalian tentu tidak akan menjawab. Tetapi ketahuilah,"
berkata Ki Tambak Wedi seterusnya, "bahwa kami pernah
datang kepada Tohpati. Kami ingin berbuat baik kepadanya.
Kami menawarkan jasa-jasa kami dan tenaga kami untuk
kemenangannya. Tetapi maksud kami itu ditolaknya. Saying."
Mendengar keterangan itu Tundun mengerutkan keningnya.
Sejak semula ia sudah menanyakannya kepada Sidanti
kemungkinan itu, tetapi Sidanti malah menghinanya,
menghina pasukan Jipang itu seluruhnya.
Tambak Wedi melihat perasaan yang bergerak di dalam hati
Tundun. Maka segera ia berkata, "Aku mendengar
pertanyaanmu di permulaan perkenalanmu dengan muridku.
Dan muridku sengaja menghinamu, untuk membangkitkan
kemarahanmu, supaya muridku dapat bermain-main dengan
kau. He, apakah kau pemimpin pasukan pengawal ini?"
Tanpa sesadarnya Tundun mengangguk sambil menjawab,
"Ya." "Nah, ketahuilah kami terlampau baik. Kami masih tetap
menawarkan tenaga kami untuk kepentingan kalian." Tambak
Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya, "Tetapi
kalau Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun
demikian, ada yang wajib kalian ketahui. Macan Kepatihan kini
tidak lagi mempunyai tempat yang akan dijadikannya
pencadan dalam gerakannya. Ia berada di mana-mana,
seperti kapuk diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu,
masih mempunyai tempat untuk berpijak. Sedang kalian telah
melihat sendiri, bahwa muridku tidak kalah dengan Macan
Kepatihan." Kembali Tambak Wedi berhenti sesaat, namun
segera diteruskannya, "Aku hanya ingin kalian dapat menilai
keadaan kami." Api di Bukit Menoreh Bagian 9 Tundun dan kawan-kawannya masih belum dapat mengerti
dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang di
antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di
dalam hati. Ki Tambak Wedi yang melihat kebingungan itu berusaha untuk
menjelaskan. "Kisanak. Kalian menurut tangkapanku, adalah
prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia pada citacita.
Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain
untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian
tetap berada dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku
ingin mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya
sekarang tidak akan dapat memenangkan perjuangannya.
Sedang tawaran kami untuk membantunya telah ditolaknya.
Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian,
menolak kekuasaan Pajang, maka kalian dapat
mempertimbangkan antara Macan Kepatihan dan Sidanti.
Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan
perjuangannya dan Sidanti yang baru muIai dengan tekad
yang masih segar. KeIebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti
berkuasa di lereng Gunung Merapi. Suatu daerah yang cukup
luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan.
Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di sebelah
Alas Mentaok, Bukit Menoreh."
Tundun dan kawan-kawannya kini baru menjadi jelas maksud
Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah
menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu
tenyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun
Tundun, seorang prajurit yang sudah lama menjadi bawahan
Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang dan Pajang,
tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena itu
maka jawabnya, "Ki Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali.
Tetapi jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke
dalam lingkungan kami, maka mengharap, mudah-mudahan
pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi kalau kau
mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan
mengharap." Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
tertawa. "Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan berbunyi
demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti
yang diucapkan oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian,
maka kalian sama sekali tidak berharga. Bagi kamipun tidak.
Tetapi karena kesetiaan itulah maka kalian baru dapat disebut
seorang prajurit jang baik. Jawaban itu kalian ucapkan sebab
kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir. Kalau
kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai
kata-kata orang lain, maka kalian adalah sampah jang tidak
berarti. Tetapi kamipun tidak ingin mendengar jawaban kalian
sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan aku
dengar sudah aku ketahui. Namun aku mengharap kalian
sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya ingin kalian
memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak."
Tundun terdiam untuk sesaat. Ia menjadi heran kembali
mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian ia
terpaksa untuk mencari sebab-ebabnya.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Tambak Wedi itu
kembali. "Meskipun seandainya, kami tidak dapat bertemu
dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap
pimpinan kalian, namun biarlah hubungan persaudaraan ini
kita langsungkan. Kami akan selalu menunggu kalian di
tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang memuncak,
muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari
Pajang itu di daerah asalnya: di sebelah Barat Alas Mentaok.
Daerah itu akan dapat dibukanya menjadi daerah yang akan
dapat mangimbangi kekuasaan Pajang. Setidak-tidaknya di
daerah Barat, dan Selatan."
Tundun dan kawan-kawannya seolah-olah menjadi beku
mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang mempunyai
pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya
bergolak di dalam hati para prajurit Jipang itu. Maka katanya
selanjutnya, "Nah. Bandingkan dengan hari depan Tohpati.
Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu daerah. Meskipun
daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah
yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan
padesan. Tetapi di daerah itu dapat dibangun kekuasaan yang
besar. Apalagi dengan bantuan prajurit-prajurit yang
berpengalaman." Terasa sesuatu menyentuh hati para prajurit itu. Seakan-akan
di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak Wedi, betapa
suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan
Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup
mereka, maka hari depan merekapun akan dapat berubah
pula. Tiba-tiba merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan,
"Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?"
Tetapi pertanyaan itu disimpannya di dalam hati. Mereka kini
seakan-akan telah menjadi patung yang hanya boleh
mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya
meneruskan, "Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku
telah memberikan perbandingan-perbandingan."
Suasana di perkemahan itu kemudian menjadi sepi. Beberapa
oranq berdiri tegak dengan senjata di tangan. Namun ujungujung
senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri saja
seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh,
seorang tua namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama
seoreng muridnya yang garang.
Dalam suasana yang sepi itulah maka kata-kata Tambak Wedi
seakan-akan meresap semakin dalam di hati para prajurit
Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan
hidup di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang
liar. Apabila mereka menemukan tempat yang baik, maka
keadaan mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka
masih haruss berjuang untuk menghancurkan Pajang, maka
landasan mereka akan Iebih kokoh.
Sejenak Ki Tambak Wedi pun berdiam diri pula. Dibiarkannya
para prajurit Jipang itu mencernakan kata-katanya. Ia
mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang
itu pasti akan memperbincangkan kata-katanya denqan
beberana orang kawan-kawannya. Semakin lama akan
menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan
Kepatihan. Tetapi kesepian itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran
seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas,
Sumangkar; yang dengan terbata-bata berkata. "Tundun;
Tunduu; rusa itu sudah masak. Apakah kau tidak mencium
baunya" Aku bumbui rusa panggang itu dengan tanganku
sendiri." Dalam suasana yang sepi tegang, kehadiran Sumangkar
benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri hadir di
tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu
melengking di antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar
berlari-lari, maka beberapa orang telah berloncatan menyibak
tanpa mereka kehendaki sendiri.
Tundun pun terperanjat pula. Ia melihat Sumangkar berIari-lari
ke arahnja dan kemudian berdiri di hadapannja sambil
terengah-engah. "Gila!" teriak Tundun yang masih berdebar-debar karena
terkejut. "Rusa itu sudah masak Tundun," ulang Sumangkar.
"Gila. Aku sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau
tidak melihat apa jang sedang terjadi di sini?"
Sumangkar terdiam sesaat. Dipandangnya beberapa orang
yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian dipandanginya
kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid.
Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata sepatah katapun,
maka kembali terdengar Tundun membentak. "He orang tua
yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih
menggenggam senjata. Dan keringat kami masih belum
kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan
pedang kami." "Jangan Tundun," sahut Sumangkar. "Aku datang sekedar
memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah
selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang
gemar sekali akan rusa panggang pula. Dahulu ketika Adipati
Jipang itu masih berkuasa di Jipang."
"Tutup mulutmu!" bentak Tundun.
Tetapi Sumangkar berbicara terus, seakan-akan ia tidak
mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat
kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang
sendiri dan kedua orang asing itu. Katanja, "Tetapi sayang
Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang
tidak pernah melupakan rusa panggang dalam setiap
perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang sekali
akan rusa panggang pula. Sayang, giginja telah hampir habis
karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut
menikmatinja." "He, orang gila," potong Tundun berteriak keras sekali, "pergi
dari sini sebelum aku bunuh kau."
"Ternyata sekarang Macan Kepatihan, kemanakan Mantahun
itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi kasian Macan
Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan
angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya.
Dahulu Arya Jipang mempunjai landasan yang kuat. Satu
Kadipaten Jipanq memihaknja, lengkap dengan seluruh
pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu. Jipanq adalah
Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau
padesan yang masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh
prajurit-prajurit yang berpengalaman. Tetapi Jipang sudah
besar sejak permulaan mengangkat senjata. Prajuritnja sudah
lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di samping Arya
Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden
Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberemg hutan
belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh
kekuatan Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang
bermama Mas Karebet semasa ia masih menjadi seorang
anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan
dan padesan yang ringkih dan sepi."
"Cukup!" tiba-tiba hutan itu tergetar oleh suara Tambak Wedi
yang marah bukan buatan. Ia tahu benar maksud kata-kata
Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari
lereng Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.
Semua orang yang berdiri memutarinya terkejut. Hampir saja
mereka berloncatan menjauh. Tundun pun terkejut pula
mendengar teriakan itu. Bukan saja terkejut karena Tambak Wedi berteriak. Tetapi
segera Tundun pun menjadi cemas melihat Tambak Wedi itu
terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang
matanya seolah-olah menyala seperti bara.
"Kalau Tambak Wedi ini menjadi marah, dalam suasana yang
telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami sekalian, maka
kami tidak akan dapat malawannya," pikir Tundun. Karena itu
maka segera ia menimpakan kesalahan itu kepada
Sumangkar. Untuk mengurangi kemarahan Tambak Wedi,
maka Tundun itupun berteriak pula. "He Sumangkar yang gila.
Bukan orang Iain yang akan membunuhmu karena mulutmu
yang lancang itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan
tanganku, maka kepalamu akan aku pancung di muka kawankawanmu
ini." Tetapi Sumangkar itu seolah-olah tidak mendengar suara
Tundun dan Tambak Wedi. Dan Tundun itupun kemudian
terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju
untuk menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan
kemarahan Tambak Wedi yang menakutkan itu, tiba-tiba
dihatnya Sumangkar memutar tubuhnja, membelakanginya
dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnja
Sumangkar itu tersenjum sambil berkata, "Jangan marah
Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya kau tidak
menjadi lekas tua." "Sumangkar," teriak Tambak Wedi, "kehadiranmu di sini
benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut pergi ke
medan pertempuran Setan tua?"
Sumangkar menggeleng. "Tidak Kakang. Aku adalah seorang
juru masak." "Tetapi kau kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana
yang sudah aku susun bersama muridku ini."
Sumangkar tertawa. Sekali ia berpaling, dan dilihatnja Tundun
berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah pningnya kepala
pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba saja ia
melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu
telah mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.
"Jangan heran Tundun," berkata Sumangkar, "aku kini
berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi
saying bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan
aku menjadi seorang juru masak yang malas. Yang sehari ini
selalu kau bentak-bentak saja."
Namun kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi.
"Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenanya?"
Mendengar teriakan Tambak Wedi itu, sekali lagi Sumangkar
tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata, "Jangan marah Kakang
Tambak Wedi." "Persetan!" teriak Tambak Wadi. "Lihat, kalau kau masih saja
berdiri di situ, aku bunuh kau dan prajurit-prajurit Jipang
seluruhnya." Ancaman itu telah menyadarkan Tundun dari keheranannya.
Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali lagi
Tunduu menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar,
katanja, "He; juru masak yang malas. Untuk membebaskan
kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka aku terpaksa
membunuhmu." Kali ini Sumangkar terpaksa berpaling dan menjawab,
"Jiangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk
memuaskan orang Iain karena kau melihat kepentinganmu
sendiri. Karena kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak mau
menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama,
marilah, biarlah aku mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau
aku sendiri harus mati karena kalian ketakutan akan mati itu,
nanti dulu." Tundun menggeram mendengar kata-kata itu. Terbersit di
hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya
kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka
katanya, "Jangan banyak bicara. Kau tidak berarti di sini."
"Kalau kau bunuh aku Tundun, Macan Kepatihan pasti akan
marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak dari
istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku,
sebab saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang
tidak bertugas di istana Kadipaten maupun di istana
Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka yang bertugas
di istana dan istana Kepatihan sajalah yang menganal
Sumangkar. Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak
Wedi. Bukankah begitu Kakang?"
"Tutup mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu sudah siap akan
membunuhmu," sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian
berkata kepada Tundun, "Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku
maafkan kalian. Tundun yang lebih sayang kepada jiwanya sendiri
menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap
menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar
Sumangkar berkata, "Cara yang baik untuk mengadu sesama
kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah kita ini
sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita
ini sebangsa prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan
kami. Pilihlah olehmu Tundun."
Api di Bukit Menoreh Bagian 10 Tundun terhenti. Kembali dadanya berdesir. Kata-kata
Sumangkar yang terakhir telah benar-benar menggugah
kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki Tambak
Wedi ia menyahut, "Adalah salahmu sendiri Sumangkar. Kau
ternyata ikut campur dalam persoalan yang hampir dapat aku
selesaikan dengan caraku. Tetapi karena kelancanganmu,
maka persoalannya menjadi panas kembali. Dan nyawamu
akan dapat menjadi tebusan dari sekian banyak orang. Karena
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu bersedialah untuk mati."
"Baik Tundun, aku bersedia untuk mati. Tetapi biarlah Ki
Tambak Wedi sendirilah yang membunuh Sumangkar. Itu
kalau ada keberanian padanya. Sebab Tambak Wedi sudah
mengenal siapakah Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan
bersedia mati karena pedang kawan sendiri." Kemudian
kepada Tambak Wedi ia berkata, "Kakang, jangan mengharap
akan timbul perkelahian di antara kita. Kau tahu, bahwa
Tundun tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau
tahu, bahwa apabila dikehendaki Sumangkar akan mampu
membunuh semua orang Jipang yang bertugas di sini
sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak Wedi.
Tetapi kalau lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara
kami, maka aku dapat menghindari, melarikan diri dari tempat
ini tanpa seorangpun yang dapat menangkapnya. Kaupun
tidak." Dada setiap orang yang mendengar kata-kata itu berdesir.
Namun Tundun yang lebih mementingkan keselamatan diri
dan kawannya, dan sejak semula menganggap Sumangkar
tidak berguna itu, agaknya lebih baik mengorbankanya.
Dengan marah ia mendengar seakan-akan kata-kata
Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang memuakkan.
Karena itu tiba-tiba ia meloncat dan menusuk punggung
Sumangkar dari belakang. Geraknya cepat seperti kilat
meloncat di langit. Kawan-kawannya yang melihat loncatan itu
terkejut. Apalagi seorang yang bernama Bajang. Tardengar ia
bertariak nyaring, "Kau gila Tundun. Aku sudah terluka. Kau
sekarang ingin mengorbankan kawan sendiri. Ayo, biarlah aku
jadi banten. Aku akan mati bersama Sumangkar."
Tetapi suara itu tak didengar oleh Tundun. Ia sama sekali
tidak mengurungkan niatnya. Bahkan loncatannya
dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk
mencegahnya. Kawan-kawannya yang lain berdiri saja seperti patung. Tak
seorangpun yang mampu mencegah atau membenarkan
tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam
oleh kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka
menganggap kata-kata Tundun dan tindakannya itu dapat
menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka hampir tidak
rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan.
Betapapun juga Sumangkar telah berada di dalam lingkungan
mereka, sejak mereka meninggalkan Jipang.
Tetapi Bajang yang berdiri agak jauh itu terlambat. Tundun
telah berhasil mencapai Sumangkar dengan ujung pedangnya
yang langsung mengarah punggung.
Beberapa orang yang tidak sampai melihat pembunuhan itu
memejamkan matanya. Bajang sendiri langkahnya terhenti.
Sesaat ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan
wajahnya sambil berteriak, "Gila kau Tundun. Aku kelak yang
akan membunuhmu." Tetapi alangkah dahsyatnya goncangan perasaan mereka
saat itu. Seakan-akan darah mereka membeku dan nafas
mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian sama
sekali bukan Sumangkar yang jatuh tersungkur dan
menyemburkan darah dari Iuka di punggungnya. Tetapi yang
mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah ke samping
dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya
dengan pedang di tangannya.
Belum lagi gelora di dada mereka berhenti, terdengar
Sumangkar berkata, "Terima kasih Tundun. Ternyata kau baik
hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir Tambak
Wedi yang tamak ini."
Yang paling terkejut atas peristiwa itu adalah Tundun sendiri.
Ketika ia meloncat menusuk punggung Sumangkar, maka ia
sudah pasti bahwa pedangnja akan menghunjam sampai ke
jantung. Meskipun di dalam dadanya, merayap juga keraguanraguan
dan kekhawatiran, bahwa Macan Kepatihan akan
marah kepadanja, serta bagaimanapun juga ada rasa kasihan
kepada orang tua itu, namun hasratnya untuk hidup telah
memaksanya melakukan tindakan itu, dan ia akan dapat
mengatakan berbagai alasan kelak kepada Macan Kepatihan.
Tetapi tanpa disangka-sangka, maka terasa bahwa
pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit
orang tua itu, tetapi, ia melihat, orang tua itu bergeser cepat
sekali ke samping. Pedangnya berlari tidak lebih dari tebal jari
tangannya di samping tubuh juru masak yang malas itu.
Namun sasaat kemudian dunianya seakan-akan berguncang.
Ia sendiri terdorong ke samping oleh kekuatan yang dahsyat
dan tangannya terasa nyeri bukan buatan, sehingga tanganya
itu terasa lumpuh. Ketika ia menyadari keadaannya,
pedangnya telah terlepas dari tangannya berpindah ke tangan
Sumangkar, juru masak yang memuakkannya.
Sesaat Tundun membeku di tempatnya. Tangannya masih
terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan Tundun itu
menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di
tubuhnya bertambah-tambah lagi.
"Menepilah anak manis," berkata Sumangkar itu, "jangan turut
mencampuri urusan orang tua-tua."
Tundun memandangnya dengan pandangan yang bergejolak.
Matanya memancarkan beribu macam perasaan yang aneh di
dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam
suatu keadaan yang tak dikenalnya. Sumangkar itu telah
membingungkannya. Tetapi Tambak Wedi dan Sidanti sama sekali tidak terkejut
melihat peristiwa itu. Mereka sudah mengetahui, bahwa akan
demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa
kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan
bersama-sama menyerang Sumangkar. Dengan demikian
maka ia dengan bebas dapat membunuh Sumangkar bersama
muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang
Jipang itu sama sekali tidak akan berarti.
Tetapi keadaan itu berkembang menurut iramanya sendiri.
Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya
cepat-cepat berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil
mempengaruhi suasana. "Nah, orang-orang Jipang. Sekarang,
apakah kalian akan berdiam diri" Apakah kalian akan
mengikuti perbuatan Tundun membunuhku" Dengar. Kalian
bersama-sama telah dapat mengalahkan, setidak-tidaknya
membuat murid Tambak Wedi itu tidak berdaya. Apakah
kalian tidak berbangka karenanya. Murid Tambak Wedi yang
menakutkan itu dapat kalian kalahkan. Sekarang, meskipun
Tundun tidak akan mampu ikut berkelahi, namun kalian masih
cukup kekuatan untuk mengulangi kemenangan itu. Sedang
Tambak Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu
memancung kepalanya, biarlah kepalaku yang kalian pancung
di hadapan Tambak Wedi. Bukan main besar pengaruh kata-kata Sumangkar itu. Yang
pertama-tama menyadari kedudukannya adalah Bajang.
Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata, "Aku telah
dilukainya. Kini aku akan membalasnya."
"Bagus Bajang, kesempatan itu akan datang. Bagaimana yang
lain. Apakah kalian lebih senang melihat kawan sendiri
terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama
melakukan kewajiban dengan baik?"
Apa yang terjadi telah benar-benar menggerakkan hati
prajurit-prajurit Jipang itu. Ketika mereka kemudian melihat
Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak, maka
serentak merekapun bergerak pula. Tanpa disadari, maka
lingkaran di sekitar Tambak Wedi dan Sidanti telah pulih
kembali. Kedua orang itu kini berdada di tengah-tengah
kepungan. "Gila," geram Tambak Wedi, "ternyata kalian telah sekarat.
"Setiap prajurit menyadari, bahwa kemungkinan itu dapat
terjadi. Mati di peperangan. Tetapi bukan mati karena pedang
kawan sendiri," sahut Sumangkar.
"Persetan! Aku akan menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak
dapat dilawan oleh siapapun juga."
"Sumangkar adalah salah satu perkecualian," sahut
Sumangkar lantang. Sidanti ternyata tidak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba
ia memutar pedangnya, dan dengan derasnya pedang itu
menyambar kepala Sumangkar.
Yang melihat gerakan itu berdesir. Gerak itu terlampau cepat.
Jauh lebih cepat dari yang dilakukan oleh Tundun. Karena itu,
maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka pasti
bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas.
Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran. Ternyata Sumangkar
mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula ia berhasil
merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan
dengan satu gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti,
Sumangkar berhasil memukul pedang anak muda itu.
Demikian keras dan dahsyatnya sehingga pedang itu
terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah.
Tambak Wedi yang melihat peristiwa itu menggeram marah
sekali. Ia sudah tentu tidak akan membiarkan muridnya
terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang
meloncat di langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di
tangannya telah tergenggam sepasang gelang yang
melindungi tangannya, sekaligus merupakan senjata yang
berbahaya pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat
memecahkan tulang-tulang kepala dan merontokkan iga.
Seandainya Tohpati ada di tempat itu dan bertempur
berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah tidak
akan dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan
tubuhnya. Tohpati pasti akan dapat menyesuaikan dirinya,
selagi pedang Sidanti itu terjatuh. Sebab Sumangkar telah
langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat tenaganya,
sehingga Tambak Wedi tidak sempat untuk menolong
muridnya itu. Tetapi kali ini yang ada di sekitar perkelahian itu
adalah prajurit-prajurit Jipang yang berdiri keheranan. Mereka
baru menyadari keadaan itu ketika Sidanti telah berhasil
memungut pedangnya kembali dan siap bertempur melawan
mereka itu. Sumangkar yang melihat Sidanti telah berhasil menguasai
dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu segera ia
berteriak, "He, anak-anak Jipang yang berani. Kenapa kalian
berdiri saja seperti tonggak. Ayo, selesaikan tugasmu."
Suara Sumangkar itu seolah-olah jatuhnya sebuah perintah
dari seorang panglima yang mereka segani. Serentak mereka
berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti
pun telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu
datang, maka dengan sekuat tenaganya, serangan itu
dilawannya. Dengan lincahnya ia menari-nari di antara ujungujung
senjata lawannya. Namun lawannya ternyata terlalu
banyak, sehingga dengan seluruh kekuatan dan
kecakapannya ia harus mempertahankan dirinya. Tetapi
terasa jari-jari tangannya menjadi nyeri karena senjatanya
beradu dengan senjata Sumangkar sampai terlepas, sehingga
betapapun kecilnya berpengaruh juga atas kelincahan
tangannya. Tambak Wedi yang melihat keadaan muridnya menjadi
cemas. Sidanti ternyata mengalami tekanan-tekanan yang
berat. Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang
menyerangnya seperti orang yang sedang mabuk, meskipun
pasti tak akan dapat menjatuhkannya.
Sumangkar memang berjuang dengan sepenuh tenaga.
Diperasnya segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut
perhitungannya, seandainya ia akan kehabisan tenaga,
namun Sidanti akan lebih dahulu runtuh daripadanya, sebab
betapapun saktinya anak muda itu, tetapi melawan prajuritprajurit
Jipang yang sekian banyaknya adalah pekerjaan yang
mustahil dapat dilakukannya.
Tambak Wedi yang telah menyimpan pengalaman yang
banyak sekali di dalam dirinya melihat pula keadaan itu.
Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh
Sumangkar. Namun sebagai seorang yang sakti, segera ia
dapat mengerti pula, bahwa sebenarnya muridnya akan
banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya sendiri tidak akan
dapat segera memberinya pertolongan.
"Sumangkar ini benar-benar gila," desahnya di dalam hati.
Karena itu segera ia mencari cara untuk melepaskan diri dari
keadaan yang mengkhawatirkan itu.
Tiba-tiba dalam keriuhan pertempuran terdengar Tambak
Wedi menggeram. "Sidanti jangan kau lukai lawan-lawanmu.
Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar yang gila ini
merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam
pendirianku. Kami harus membuka pintu untuk menolong
anak-anak yang malang ini."
Sidanti tidak segera mengerti maksud gurunya. Bahkan ia
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Beberapa kali terasa
ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya,
dan bahkan beberapa kali terasa goresan pada kulitnya,
namun kenapa gurunya masih melarangnya untuk melukai
lawannya. Dan terdengar kembali suara Tambak Wedi. "Sidanti,
bukankah maksud kita kali ini hanya segera memperkenalkan
diri. Nah kini pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita
tinggalkan perkemahan ini."
Barulah Sidanti menyadari maksud gurunya. Betapapun
kemarahan meluap di hatinya, tetapi ia harus mengakui pula
keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu
melawan orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari
tangannya kini terasa menjadi nyeri.
Dalam pada itu terdengar kembali suara gurunya. "Nah,
Sidanti lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka tetap
dalam keadaannya. Kita akan tetap menanti kedatangan
mereka di padukuhan kita atau di tempat asalmu kelak apabila
perlu." Sidanti tahu benar akan kesulitannya sendiri. Alasan gurunya
mengorbankan harga dirinya. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat
dengan memberinya kesempatan meninggalkan pertempuran
itu dengan lincahnya, memutar senjata untuk menerobos
lawan-lawannya yang selalu berusaha untuk mengepungnya.
Geraknya benar-benar cepat tidak terduga, sehingga sesaat
kemudian Sidanti telah berhasil keluar dari lingkungan
pertempuran. Dengan tangkasnya kemudian Sidanti menghindari setiap
sergapan sambil melangkah surut. "Aku sudah bebas guru,"
katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil
melawan dan berusaha untuk tidak masuk ke dalam
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepungan. Api di Bukit Menoreh Bagian 11 "Bagus," sahut gurunya, "kau adalah muridku yang baik.
Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau tetap
tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani.
Nah, tinggalkan mereka. Akupun akan segera pergi."
Sidanti tidak menunggu perintah gurunya itu diulangi. Segera
ia bersiap melontar surut dan melepaskan diri dari daerah
perkemahan itu. Sumangkar yang melihat cara Tambak Wedi dan muridnya
melepaskan diri mengumpat tak habis-habisnya. Katanya,
"Pengecut. Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala.
Tetapi sifat-sifat kalian lari, meskipun alasan kalian tampaknya
terlalu menyakinkan?"
Sidanti yang sudah agak jauh mendengar teriakan itu. Darah
mudanya kembali menyala di dalam dadanya, sehingga tibatiba
ia berhenti sambil menyahut. "Ayo, kelinci-kelinci yang
mengaku srigala, Inilah Sidanti."
"Jangan hiraukan," teriak gurunya, "kalau kau bertempur lagi
Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh lawanlawanmu.
Dengan demikian di antara kita akan timbul
persoalan-persoalan yang sulit kita lupakan. Tinggalkan
tempat ini." Sidanti menggeram ketika ia mendengar Sumangkar tertawa.
"Bagus. Apapun alasanmu, tetapi kami di sini akan mendapat
kesan atas nilai-nilai pribadi Tambak Wedi dan muridnya."
Tambak Wedi-lah yang menyahut kata-kata itu. "Suatu ketika
kau akan berkata lain, Sumangkar."
Sumangkar tidak menjawab. Tetapi ia menyerang terus dan
bahkan terdengar ia meneriakkan aba-aba. "Jangan lepaskan
Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya.
Jangan biarkan ia dapat melepaskan diri."
"Jangan hiraukan, Sidanti," teriak Tambak Wedi.
Betapapun juga, namun Sidanti dapat mengerti perintah
gurunya. Karena itu, meskipun darah di dalam jantungnya
serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan
pertempuran itu. Demikian Sidanti menghilang, maka demikian pula Tambak
Wedi melontarkan dirinya, menghindari serangan-serangan
Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia melawan
namun di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama
semakin jauh, tetapi Sumangkar masih belum melepasnya.
Namun ternyata Tambak Wedi yang sebenarnya tidak kalah
dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan dirinya. Dengan
menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar tempat
itu, ia dapat menghindari serangan-serangan dan kejaran
Sumangkar. Sumangkar menggeram marah sekali. Terdengar ia berteriak
di antara kawan-kawannya, "Ayo, kenapa kalian hanya berdiri
terpaku seperti nonton pacuan kuda" Kepung setan itu."
Tetapi betapapun usahanya, namun Tambak Wedi benarbenar
berhasil lolos dari mereka, seolah-olah mampu
menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya
melingkar-lingkar di dalam hutan. "Sumangkar, suatu ketika
kau akan menyesal." "Setan!" sahut Sumangkar dengan suara yang keras,
"sekarang kami siap menunggumu."
Tetapi Tambak Wedi itupun lenyap dari antara mereka.
Meskipun demikian, meskipun Tambak Wedi tidak berhasil
mempengaruhi orang-orang Jipang pada saat itu, namun ia
telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah berhasil
menyatakan perbandingan antara diri mereka dengan Macan
Kepatihan. Sehingga bagaimanapun juga, Tambak Wedi yakin
bahwa di saat-saat mereka duduk termenung, tawarannya
akan berkumandang kembali di dalam hati mereka. Dengan
demikian, Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah
persoalan di dalam hati prajurit-prajurit Jipang yang sedang
mengalami kesulitan lahir dan hatin.
Tetapi yang mula-mula menggoncangkan hati anak-anak
Jipang itu adalah Sumangkar itu sendiri. Juru masak yang
malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam
hati setiap orang yang telah melihat apa saja yang telah
dilakukannya. Apalagi Tundun, yang kini berdiri membeku.
Sekali-sekali mulutnya menyeringai karena sengatan rasa
sakit pada tangannya. Ketika ia melihat Tambak Wedi yang
ganas itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar
bergelora. Ia tidak menyangka bahwa juru masak itu berhasil
mengusir Tambak Wedi yang menakutkan di seluruh wilayah
lereng Gunung Merapi itu. Namun setelah itu, setelah Tambak
Wedi tidak nampak lagi di mata mereka, timbullah kecemasan
dan ketakutan yang lain di dada Tundun itu. Betapa
Sumangkar akan membalasnya. Ia pasti tidak akan mampu
berbuat apa-apa, seperti ia tidak akan mampu melawan
Tambak Wedi. Karena itu, maka kemudian dipandangnya Sumangkar itu
dengan gelora di dalam dirinya.
"Apakah yang akan dilakukannya?" katanya dalam hati. Aneh.
Orang itu adalah orang yang aneh. Apakah ada setan yang
manjing ke dalam dirinya"
Sumangkar sendiri kemudian berdiri kaku di tempatnya. Ia
menjadi sangat kecewa atas lenyapnya Tambak Wedi dan
Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya daripada
pasukan Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan
pasukannya. Mungkin suatu saat Macan Kepatihan akan
kehilangan kewibawaannya atas anak buahnya karena pokal
Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi satu akan
menghilang dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng
Merapi itu. Dengan demikian persoalannya akan menjadi
semakin sulit. Macan Kepatihan harus menghadapi persoalan
baru yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan-persoalan
yang telah ada, apalagi hal itu pasti akan langsung menyentuh
harga diri Macan Kepatihan itu.
Sedangkan apabila Macan Kepatihan menerima kehadiran
mereka di dalam lingkungannya, maka keadaannya sama
sekali tidak akan bertambah baik. Hubungan antara pasukan
Jipang dengan Pajang pasti akan bertambah buruk.
Pertentangan akan semakin menyala dan membakar rakyat
Jipang dan Pajang sendiri. Kematian dan bencana akan
menjadi semakin bertambah-tambah. Sedangkan tujuan
terakhir dari perlawanan itu sama sekali tidak akan dapat
diharapkan. Pajang tidak saja berisi Untara, Widura dan anak
buahnya di Sangkal Putung. Tetapi Pajang memiliki panglimapanglima
yang mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah
lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang, dan puteranya
Loring Pasar adalah kekuatan yang tidak ada taranya di
antara angkatan mudanya. Sesaat Sumangkar itu tenggelam dalam angan-angannya.
Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di sekitarnya masih
berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang lukapun
masih belum mendapat perawatan sama sekali.
"He, kenapa kalian menjadi bingung," katanya kemudian.
"Lihat kawan-kawanmu yang luka. Nah, tolonglah dan obati
mereka." Beberapa orang tersadar dari kekagumannya. Segera mereka
mencoba merawat kawan-kawan mereka dan membawa
mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang
mengajak Bajang kembali, terdengar Bajang menjawab, "Aku
masih mampu berjalan sendiri."
Tetapi sepeninggal kawannya itu, Bajang berjalan perlahanlahan
mendekati Sumangkar. Dengan hormatnya ia
mengangguk sambil berkata, "Maafkan aku. Bagaimana aku
harus bersikap setelah aku melihat apa yang telah kau
lakukan." "Oh," seru Sumangkar, "aku tidak menuntut perubahan sikap
kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru masak."
"Hem," desah Bajang, "alangkah bodohnya aku. Kenapa aku
tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak tahu
siapakah sebenarnya Sumangkar itu."
"Jangan ribut," sahut Sumangkar. "Kembalilah dan pelihara
lukamu. Mungkin Sidanti dan Tambak Wedi akan datang di
saat-saat lain." Kembali Bajang mengangguk hormat. Kemudian ia melangkah
pergi meninggalkan Sumangkar yang masih berdiri di
tempatnya. Yang tinggal kemudian adalah Tundun sendiri. Dengan cemas
ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya.
Orang tua itu masih belum meninggalkan tempatnya dan
bahkan kemudian perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
"Kenapa kau masih berdiri disitu?" terdengar orang tua itu
bertanya. Tundun itupun kemudian menjawab dengan gemetar, "Tidak,
tidak." "Apa yang tidak?" bertanya Sumangkar pula.
Tundun menjadi bingung. Ia tidak tahu, bagaimana menjawab
pertanyaan itu. Perlahan-lahan Sumangkar datang kepadanya sambil berkata,
"Kenapa kau tidak kembali ke perkemahan?"
"Ya, ya," sahut Tundun terbata-bata, "aku akan kembali."
"Nah kembalilah," berkata Sumangkar pula.
Tundun memandang Sumangkar tanpa berkedip. Terasa
tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar itu telah
mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan
membantingnya jatuh di tanah.
Tetapi Sumangkar masih tegak. Bahkan kembali ia
mendengar suaranya. "Marilah kita kembali bersama-sama."
Seperti orang kehilangan kesadaran ketika Tundun melihat
Sumangkar berjalan mendahului, iapun berjalan pula di
belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali
terasa sakit di tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia
sama sekali tidak berani mengeluh. Bahkan ia terkejut ketika
tiba-tiba Sumangkar berkata, "Apakah tanganmu masih sakit?"
Sesaat Tundun menjadi bingung. Namun kemudian ia
menjawab, "Tidak. Sudah tidak sakit."
Mendengar jawaban itu Sumangkar berhenti. Ketika ia
berpaling, dilihatnya tangan kiri Tundun meraba-raba tangan
kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula. Tergagap-gagap ia
berkata, "Masih. Tanganku masih sakit."
Sumangkar tersenyum. Ia masih menggenggam pedang
Tundun. Karena itu maka katanya sambil menyerahkan
pedang itu, "Inilah pedangmu."
Tundun memandang Sumangkar seperti memandang hantu
sehingga Sumangkar tertawa karenanya. "Jangan cemas, aku
tidak apa-apa." Kata-kata Sumangkar itu seolah-olah telah mengembalikan
segenap kesadaran Tundun. Tiba-tiba ia merasa betapa besar
kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua itu sehari ini.
Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba
membunuhnya. Karena itu tiba-tiba Tundun itu berjongkok di
hadapan Sumangkar sambil berkata, "Maafkan aku. Maafkan
aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan."
"E, e," Sumangkar terkejut melihat sikap itu. Dengan serta
merta ditariknya lengan Tundun. "Berdirilah, aku bukan orang
berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak."
"Tetapi apa yang Tuan lakukan telah benar-benar
mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir Ki Tambak Wedi."
"Bukan aku seorang diri," jawab Sumangkar, "tetapi bersamasama."
"Tetapi aku telah berani mencoba membunuh Tuan."
"Jangan sebut-sebut itu lagi. Lupakanlah. Namun hal ini dapat
kau jadikan pelajaran, bahwa kau harus lebih banyak
mempergunakan otakmu daripada tenaga dan perasaanmu."
"Baik Tuan." "Jangan panggil aku tuan."
Tundun tidak menyahut, tetapi ia hanya mengangguk saja.
"Nab, kembalilah dahulu," berkata Sumangkar, "rusa
panggang itu telah masak."
"Bukan untukku," sahut Tundun.
Kembali Sumangkar tertawa. Dipandanginya saja kemudian,
ketika Tundun itu meninggalkannya kembali ke perkemahan.
Sekali-sekali ia masih meraba- raba tangannya yang seakanakan
terkilir. la hanya merasakan sebuah tangkapan pada
pergelangan tangannya. Dan yang diketahui kemudian
pedangnya terlepas dan berpindah ke tangan Sumangkar,
sedang dirinya sendiri terdorong beberapa langkah ke
samping. "Benar-benar di luar dugaanku," keluh Tundun.
Sepeninggal Tundun, Sumangkar berdiri seorang diri dalam
terik cahaya matahari yang menyusup di antara celah-celah
dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari itu. Dan
setiap kali ia bergumam dengan lirih, "Apa yang terjadi di
pertempuran itu?" Kedatangan Tambak Wedi dan Sidanti telah menambah hati
orang tua itu menjadi gelisah. Ia tidak sampai hati melihat
Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri, sebagai penerus keturunan
ilmu Kedung Jati. Tetapi ia sebenarnya tidak bisa melihat
perkembangan yang semakin suram dari murid saudara
seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya
Sumangkar tidak dapat menyetujui seluruh apa yang
dilakukan oleh Tohpati. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Ia
tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukannya
sampai saat terakhir. Justru karena Tohpati tahu, bahwa ia
tidak sependapat dalam beberapa hal, maka diletakkannya
Sumangkar di sudut- sudut perkemahan, di tepi-tepi perapian,
seperti kesenangannya sendiri. Memasak.
"Saat ini anak itu sedang berjuang melawan maut," desis
Sumangkar itu sambil sekali lagi menatap matahari, "mudahmudahan
ia selamat." Namun hatinya berdesir mengenang pertempuran kali ini.
Pertempuran yang menurut kata-kata Macan Kepatihan
sendiri, adalah pertempuran
terakhir" "Kenapa terakhir?" gumamnya.
Sumangkar kemudian berjalan menepi. Perlahan-lahan
diletakkannya tubuhnya di bawah rindangnya pohon Benda.
Sekali-sekali dikenangnya
wajah Tambak Wedi yang bengis
dan sekali dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di
medan peperangan sangkal Putung.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keduanya merupakan bahaya," desisnya, "kenapa aku tidak
diperbolehkannya ikut serta." Sumangkar itu berkata kepada
diri sendiri. "Tetapi kalau aku pergi, maka perkemahan ini pasti
akan menjadi ajang pengaruh Tambak Wedi itu. Mungkin
Tundun dan kawan-kawannya telah pergi meninggalkan
Macan Kepatihan. Dengan demikian, maka perkemahan ini
akan menjadi kosong. Nanti apabila laskar itu datang kembali,
maka mereka akan menjadi semakin parah. Parah karena
pertempuran itu, dan parah karena mereka datang di tempat
yang kosong. Tanpa penyambutan,
tanpa makanan. Alangkah sedihnya Macan Kepatihan. Apalagi kalau usahanya
kali ini untuk merebut sangkal Putung tidak berhasil."
Bagian 12 Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun ia tidak juga
berdoa supaya Macan Kepatihan berhasil merebut Sangkal
Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana perempuan
dan kanak-kanak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan
menjadi barang rayahan yang akan diperlakukan dengan
semena-mena. Karena itu Sumangkar menjadi bingung. Apakah yang
sebaiknya dilakukan"
Ketika kemudian ia melihat seseorang di kejauhan, maka
segera ia berdiri dan berjalan ke perkemahan kembali.
Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan
tangannya memanggil. Orang yang dipanggilnya itupun datang mendekat, seolaholah
sedang menyongsongnya. "Akan kemanakah kau?" bertanya Sumangkar.
"Mengambil air," jawab orang itu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah luka Bajang sudah diobati?"
"Sudah." "Bagaimana keadaannya?"
"Tidak apa-apa. Ia sudah dapat bekerja lagi di dapur."
"Tolong panggil anak itu kemari."
Orang itupun segera kembali untuk memanggil Bajang.
Sumangkar sendiri tidak meneruskan Iangkahnya. Kini
kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan.
Sekali-sekali diamat-amatinya burung-burung liar yang
berterbangan, hinggap dari dahan yang satu ke dahan yang
lainnya. Bajangpun segera datang mendekatinya. Tetapi sikap anak itu
telah jauh berbeda dari sikapnya sehari-hari.
"Kiai memanggiI aku?" ia bertanya.
Mendengar pertanyaan itu Sumangkar terkejut, tetapi iapun
tersenyum. "Sejak kapan kau menyebut aku demikian?"
Bajang menjadi tersipu-sipu sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. "Duduklah Bajang," minta Sumangkar.
Bajang pun segera duduk di samping Sumangkar. Terasa
beberapa pertanyaan melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya
itu sama sekali bukan Sumangkar yang dikenalnya setiap hari.
Sumangkar itu seolah-olah adalah orang baru di dalam
perkemahan itu. Orang baru yang sakti melampaui kesaktian
Macan Kepatihan sendiri. "Bajang," berkata Sumangkar. Sumangkar sendiri tidak tahu,
kenapa tiba-tiba ia menaruh kepercayaan kepada anak itu.
Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari orang-orang
lain, sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran
Tundun atasnya. Dan kemudian dilanjutkannya kata-katanya.
"Apakah pekerjaanmu sudah siap?"
"Belum seluruhnya Kiai, tetapi segera akan selesai."
"Maksudku, bagaimanakah kalau aku hari ini berhalangan
membantumu di dapur" Apakah pekerjaan kita dapat selesai
sebelum petang?" "Oh, tentu, tentu. Dan seharusnya Kiai tidak lagi bersusah
payah bekerja di dapur. Kiai dapat memerintahkan Tundun
untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah lagi."
"Tidak Bajang. Aku sendiri memang memilih pekerjaan itu.
Jangan kau sangka bahwa Macan Kepatihan tidak mengenal
aku. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itupun mengenal
siapa Sumangkar. Tetapi sengaja aku minta mereka untuk
membiarkan aku melakukan pekerjaan yang aku senangi."
"Oh, jadi Raden Tohpati telah mengenal Kiai?"
"Sudah Bajang. Sejak di kepatihan Jipang. Mantahun adalah
kakak seperguruanku."
"Oh," Bajang menjadi pucat.
Tetapi cepat-cepat Sumangkar
menyambung, "Tetapi aku
sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti
Patih Mantahun. Aku sejak di kepatihan, adalah seorang juru
masak." Bajang menundukkan kepalanya. Baru kini ia menjadi jelas
siapakah kawannya yang selama ini dianggapnya sebagai
seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu keras,
yang oleh orang-orang lain disebutnya juru masak yang
malas. "Tetapi Bajang," berkata Sumangkar kemudian, "jangan
kau menganggapku berlebih-lebihan. Sikapmu jangan kau rubah
seperti terhadap seorang pemimpin."
"Bajang," kembali terdengar suara Sumangkar, "bagaimana
dengan pertanyaanku" Hari ini aku tidak dapat
membantumu?" "Tidak apa-apa Kiai. Betul, aku dan kawan-kawan yang lain
akan dapat menyelesaikannya. Silahkan Kiai beristirahat."
Sumangkar menggeleng. Katanya, "Aku tidak ingin
beristirahat, Bajang."
Sekilas Bajang berpaling. Dilihatnya wajah Sumangkar yang
suram. Lalu terdengar ia bertanya, "Apa yang akan Kiai
lakukan sekarang?" "Aku akan pergi."
"Pergi?" "Ya." "Kiai akan pergi ke mana?" desak Bajang.
Sesaat Sumangkar menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian
jawabnya, "Sebenarnya sejak Macan Kepatihan berangkat,
hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku melepas anak di tepi
sungai." Bajang mengangkat wajahnya. Tiba-tiba ia bertanya, "Kenapa
Kiai tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah tenaga Kiai akan
sangat berguna untuk merebut daerah itu?"
"Aku tidak tahu, kenapa Macan Kepatihan menolak tawaranku.
Disuruhnya aku tinggal di perkemahan ini."
"Apakah sekarang Kiai akan menyusul ke Sangkal Putung?"
Sumangkar mengangguk. "Ya," jawabnya, "aku ingin melihat
pertempuran itu." Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Apakah aku dapat ikut serta Kiai."
Sumangkar menggeleng. "Jangan. Perjalananku mempunyai
bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan. Karena itu,
biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan
yang cukup penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan
itu." Bajang mengangguk. Gumamnya, "Baik Kiai."
Mereka berdua, Bajang dan Sumangkar, untuk sesaat saling
berdiam diri. Mata Sumangkar yang redup memandang jauh
menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh
kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakanakan
kini ia berdiri di simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa
kedua simpangan itu sama-sama tidak dikehendakinya.
Bahkan kembalipun tidak akan dapat ditempuhnya.
Tiba-tiba Sumangkar itu tersentak ketika ia mendengar seperti
jerit seseorang. Ketika ia mengangkat wajahnja, barulah
disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor burung
elang yang bertempur di udara.
"Hem," desahnya, "aku harus pergi Bajang."
Bajang berpaling sambil mengangguk, "Silahkan Kiai.
Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada
pasukan itu." Sumangkar menggeleng. "Belum tentu. Bahkan mungkin aku
akan diusir oleh angger Tohpati."
"Kalau Raden Tohpati itu memerlukannya, maka kehadiran
Kiai akan sangat membesarkan hatinya."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berdiri, membenahi pakaiannya dan berbisik seakan-akan
kepada dirinya sendiri, "Aku akan pergi. Tetapi aku harus
kembali dulu ke perkemahan."
"Marilah Kiai," sahut Bajang.
Sumangkar kemudian tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia
berjalan ke perkemahan langsung masuk ke dalam gubugnya.
Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di muka pintu gubug
sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu
di bawah tumpukan jerami, tempat ia tidur di malam hari.
Bajang terkejut ketika ia melihat benda itu. Ia pergi ke mana
saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana saja bersama
Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.
"Benda ini adalah benda peninggalan," desis orang tua itu.
"Jarang kau melihatnya. Aku selalu membawanya di antara
barang-barang yang lain dan terbalut kain."
Benda itu mirip benar dengan benda yang paling berharga
dalam pasukan itu, meskipun agak lebih kecil. Tongkat baja
putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan. Mirip
benar dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara gemetar Bajang bertanya, "Apakah benda itu
lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?"
"Gurunya adalah seperguruan dengan aku. Kami masingmasing
menerima senjata serupa. Dan Senjata kakak
seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid
satu-satunja." Bajang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia belum pernah
melihat Sumangkar menjinjing senjata, selain menjinjing
kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah kayu.
Kini orang tua itu menjinjing sebatang tongkat baja putih
berkepala kekuning- kuningan berbentuk tengkorak, agak
lebih pendek sedikit dari tongkat Tohpati. Alangkah jauh
bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur
dan Sumangkar yang menjinjing tongkat itu. Karena itu maka
terasa hatinya berdesir. "Kiai, ternyata Kiai adalah seorang yang menakjubkan.
Meskipun Kiai dapat mengimbangi kesaktian Tambak Wedi,
namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam
keprihatinan," berkata Bajang kemudian.
"Kau salah sangka Bajang," sahut Sumangkar. "Selama ini
aku sama sekali tidak merendam diri dalam keprihatinan.
Bahkan aku merasa bahwa aku mendapat istirahat yang
panjang. Aku tidak perlu lagi bekerja terlalu berat di
peperangan. Betapapun saktinya seseorang, namun perang
adalah pekerjaan yang berat. Mungkin aku merasa bahwa
seseorang tidak berarti dalam olah senjata, namun di dalam
peperangan ia tidak berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya
melawan musuh-musuh itu seorang lawan seorang.
Seandainya musuh-musuhku adalah orang-orang yang lemah
dan sama sekali tidak berarti sehingga aku akan dapat
membunuhnya seperti menebas batang ilalang, namun dalam
keadaan yang demikian, musuh yang terberat adalah
perasaan sendiri. Apakah aku akan dapat tidur dengan tenang
setelah aku mengotori tanganku dengan darah orang yang
lemah dan tidak berarti itu" Apakah aku akan dapat tidur
nyenyak kalau aku sempat menghitung orang yang telah aku
bunuh" Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan di
dapur adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Bagi
seorang pemalas." Bajang tidak menjawab. Kini ia melihat Sumangkar itu telah
siap. Dan Bajang itu mendengar Sumangkar berkata,
"Lakukan pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke
Sangkal Putung untuk melihat peperangan itu."
Bajang melangkah ke samping ketika Sumangkar berjalan ke
pintu. Lamat-lamat terdengar ia berdesis, "Selamat jalan Kiai.
Mudah-mudahan perjalanan Kiai akan sangat berarti."
Sumangkar mengangguk. Sahutnya, "Mudah-mudahan.
Apakah kau ingin aku turut bertempur?" bertanya orang tua
itu. Bajang mengangguk, "Ya," jawabnya.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata
Bajang adalah kata-kata yang wajar. Setiap prajurit Jipang
menghendaki kemenangan. Setiap prajurit Jipang ingin segera
membelah Sangkal Putung, menguasainya, dan memiliki
setiap kekayaan yang ada di dalamnya. Tetapi apakah dengan
mengalahkan Sangkal Putung,
Pajang akan tunduk di bawah
kaki Macan Kepatihan"
"Hem," Sumangkar itu menggeleng. "Jauh. Terlalu jauh jalan
yang harus ditempuh," katanya di dalam hati. "Mungkin
sepanjang umurku keinginan untuk itu tidak akan pernah
tercapai. Yang dapat dilakukan adalah menduduki suatu
tempat, untuk kemudian meninggalkannya setelah dirampas
segenap kekayaan. Dalam keadaan demikian, maka sulitlah
bagi laskar Jipang untuk mengekang diri dalam lingkaran
peradaban dan kemanusiaan."
Dalam kebimbangan itulah kemudian Sumangkar siap
meninggalkan perkemahannya. Ia tidak tahu, manakah yang
paling baik dilakukan. Ia tidak sampai hati melihat Macan
Kepatihan selalu disiksa oleh kekalahan demi kekalahan,
namun ia tidak akan sampai
hati pula melihat Sangkal Putung
menjadi ajang kehancuran.
Sebelum Sumangkar itu meninggalkan perkemahan, maka
pesan yang diberikan kepada Bajang adalah, "Hati-hatilah
dengan kawan-kawanmu Bajang. Tawaran Tambak Wedi
dapat mempengaruhi kesetiaan mereka kepada Macan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepatihan." "Aku akan mencoba memperhatikannya Kiai," jawab Bajang.
Sumangkar itupun kemudian berjalan dengan hati yang
bimbang. Dijinjingnya tongkatnya, namun ia tidak yakin,
apakah tongkat itu akan dipergunakannya. Sudah terlalu lama
ia menyimpannya, bahkan hampir ia tidak pernah
membayangkan, bahwa tongkat itu akan dipergunakannya
lagi, meskipun keadaannya masih terbelenggu dalam
kekalutan dan peperangan.
Tetapi tongkat itu kini dijinjingnya. Sekali-sekali Sumangkar
yang tua itu menengadahkan wajahnya. Di langit matahari
berjalan dengan malasnya. Namun terik panasnya seakanakan
membakar kulit. Sumangkar itu kemudian mempercepat langkahnya. Sekalisekali
ia masih harus meloncati air yang tergenang, sisa hujan
yang lebat semalam. Dalam pada itu di ujung Kademangan Sangkal Putung
pertempuran yang dahsyat masih saja terjadi. Pekik dan ratap
di antara dentang senjata. Anak-anak muda Sangkal Putung
sudah tidak berteriak-teriak lagi. Mereka seakan-akan sudah
kehabisan tenaga dalam perlawanan yang semakin berat.
Semakin lama terasa bahwa anak-anak Sangkal Putung
menjadi semakin kendor. Untara yang melihat keadaan itu
menjadi semakin prihatin. Pertempuran itu semakin bergeser
ke kanan. Bukan saja bergeser ke kanan, tetapi Untara
terpaksa beberapa kali menarik diri untuk memberi
kesempatan kepada Sedayu dan Swandaru
untuk membantu mengurangi tekanan-tekanan di induk pasukan. Hudaya di
satu sisi bersama Agung Sedayu dan Sonya beserta Patra
Cilik di sisi yang lain bersama Swandaru telah memeras
tenaga mereka. Mereka bertempur sambil berusaha untuk
tetap memberi kesegaran kepada anak-anak muda Sangkal
Putung. Namun pedang-pedang mereka sudah tidak terayun
sederas pada saat mereka mulai. Bahkan
dengan demikian, maka korban berjatuhan. Satu demi satu.
Setiap kali Swandaru mendengar pekik kesakitan, setiap kali
ia menggeram, dan pedangnya menyambar-nyambar seperti
kilat di langit. Tetapi lawannya adalah prajurit-prajurit terlatih
yang sedang berputus asa, sehingga bagaimanapun juga,
maka ia harus berjuang sekuatkuat tenaganya. Untunglah
bahwa Kiai Gringsing telah memberinya
bekal secukupnya, sehingga ia tidak perlu berkecil hati menghadapi prajuritprajurit
itu. Tetapi kawan-kawannya, anak-anak muda Sangkal
Putung adalah berbeda. Tohpati tersenyum melihat kemenangan-kemenangan yang
dicapainya. Ia telah lupa segala-galanya. Ia lupa
kebimbangan-kebimbangan yang mencengkam hatinya. Ia
lupa kejemuan-kejemuan yang selama ini merayapi
jantungnya. Sebagai seorang prajurit yang mendapatkan
beberapa kemenangan di medan perang, maka pastilah akan
menggugah tekadnya lebih dahsyat. Demikianlah Macan
Kepatihan saat itu. Kemenangankemenangan itu seakanakan telah menambah kekuatannya. Bahkan perasaan itu
melimpah kepada setiap prajurit yang ikut dalam pertempuran
itu. Api di Bukit Menoreh Bagian 13 Agak jauh dari pertempuran itu, Sumangkar berhenti di bawah
rindangnya pepohonan liar di pinggir lapangan rumput dan
tanah-tanah persawahan yang tidak ditanami, tempat
pertempuran itu terjadi. Begitu asyiknya ia melihat
pertempuran itu, sehingga perhatiannya seluruhnya
ditumpahkannya kepada gemerlapnya pedang dan sorak
kemenangan pada tiap-tiap kelompok. Sorak yang masih
dapat membangkitkan gairah dan nafsu untuk menggerakkan
senjata. Berganti-ganti para prajurit itu bersorak-sorak. Sekalisekali
terdengar prajurit Pajang meneriakkan kemenangankemenangan
kecil apabila ada lawan-lawannya yang terdesak
dan jatuh tersungkur di kaki mereka. Namun kemudian prajurit
Jipang berusaha menebus kekalahannya. Dan bersorak
pulalah mereka, apabila mereka dapat merebut kembali garis
pertempuran yang semula ditinggalkan mundur beberapa
langkah. Namun semakin lama prajurit Jipang-lah, yang
semakin sering mendesak. Apalagi di sisi kanan.
Widura yang berada di sisi kiri dalam gelar pasukan Pajang
berusaha mengimbanginya dengan gigih. Widura mengharap,
bahwa kemenangan yang betapapun kecilnya akan masih
dapat menyalakan tekad dan membesarkan hati anak-anak
muda Sangkal Putung. Namun karena induk pasukan itu
sendiri mengalami beberapa tekanan yang tak dapat
dihindarkan, maka pasukan Pajang benar-benar harus
menarik diri beberapa kali.
Widura melihat kesulitan di induk pasukan itu. Karena itu,
maka dilepaskannya beberapa orangnya untuk ikut serta
memperkuat induk pasukan. Justru mereka adalah prajuritprajurit
yang cukup baik. Sebab menurut perhitungan Widura,
lebih baik sayap yang dipimpinnya yang agak mengalami
kesulitan daripada induk pasukan.
Usaha Widura dapat juga sedikit membantu. Untara dapat
menahan arus yang semakin dahsyat dengan beberapa
tenaga dari sayapnya, sehingga pasukan itu tidak harus
menarik diri terus menerus.
Sumangkar melihat pertempuran itu sambil menganggukanggukkan
kepalanya. Sekali-kali ia tersenyum melihat
kemenangan-kemenangan yang didapatkan oleh Macan
Kepatihan. Meskipun Macan Kepatihan sendiri tidak dapat
mengatasi lawannya, seorang lawan seorang, namun
pengaruh pertempuran itu seluruhnya, ternyata telah
memperkuat kedudukannya. Untara yang pikirannya terpecahbelah,
ternyata harus berjuang sekuat tenaganya, agar
kepalanya tidak disambar oleh tongkat baja putih yang
berkepala tengkorak di tangan Macan Kepatihan itu.
Sekali-kali terlintas juga di dalam hati Sumangkar, betapa
sengsaranya rakyat Sangkal Putung apabila anak Jipang yang
telah menjadi buas itu berhasil menembus pertahanan Untara
kali ini. Anak-anak, perempuan dan orang-orang tua pasti
akan banyak mengalami bencana. Namun apakah ia akan
dapat rnembiarkan laskar Jipang itu terpecah porak-poranda.
Di luar kehendaknya sendiri, maka Sumangkar itu berbangga
atas murid kakak seperguruannya itu. Ia bangga melihat
tongkat yang mirip dengan tongkatnya itu, menyambarnyambar
dengan dahsyatnya, seolah-olah ia melihat dirinya
sendiri pada masa-masa mudanya.
"Dahsyat" geramnya "Macan Kepatihan memang pantas
memakai gelarnya. la benar-benar garang segarang harimau
jantan." Sumangkar kini berdiri bersandar sebatang pohon yang
rindang. Ia tidak dapat melihat seluruh medan dengan jelas.
Namun karena pengalamannya dan pengetahuannya
mengenai peperangan, ia dapat membayangkan seluruhnya di
garis peperangan itu, sekali-kali ia berdiri di atas ujung-ujung
kakinya, dan bahkan sekali-kali ia meloncat pada bongkahanbongkahan
tanah yang agak tinggi. Lalu kemudian kembali ia
bersandar di batang pohon itu.
Ketika ia mengangkat wajahnya menatap langit, maka
dilihatnya matahari telah melampaui puncaknya. Perlahanlahan
matahari itu merayap turun, menuju ke cakrawala di
ujung Barat. "Tentu." Sumangkar itu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan dapat bertahan
sampai tengah hari. Sebentar lagi pertahanan Untara pasti
akan terpecah belah. Anak-anak sangkal Putung pasti
meninggalkan pertempuran. Meskipun mereka sama sekali
tidak takut mati, tetapi mereka tidak akan mampu bertempur
selama itu." Namun tiba-tiba ia bergumam, "Kasihan. Mereka akan menjadi
korban karena mereka ingin mempertahankan tanahnya,
kampung halamannya. Agaknya Untara melupakan keadaan
itu." Kembali timbul berbagai persoalan di dalam dada sumangkar.
Namun akhirnya ia berdesis, "Biarlah pertempuran itu
berlangsung sebagaimana seharusnya. Biarlah aku menonton
di sini, apapun yang akan terjadi."
Sebenarnya bahwa laskar Sangkal Putung bersama-sama
dengan prajurit Pajang mengalami kesulitan. Meskipun Widura
telah menyerahkan beberapa bagian dari kekuatannya, namun
karena kekuatan anak-anak Sangkal Putung telah menjadi
semakin surut, maka pasukan Pajang dan Sangkal Putung itu
berkali-kali harus menarik diri, membuat kedudukankedudukan
baru yang dapat mengurangi tekanan laskar
Jipang. Beberapa orang yang memillki kelebihan dari prajuritprajurit
biasa, telah mencoba memeras tenaga mereka. Agung
Sedayu, semakin lama menjadi semakin tatag. Kalau semula
ia ragu-ragu karena pertimbangan-pertimbangan yang
bersimpang-siur di kepalanya, maka kini ia tidak lagi dapat
mempertimbangkannya. Setiap kali ia mendengar anak-anak
muda Sangkal Putung berdesis menahan goresan-goresan
pedang lawan, dan sekali-kali terdengar mereka memekik
tinggi, karena tubuhnya terluka. Karena desakan rasa iba akan
nasib kawan-kawannya itulah maka lenyaplah segi-segi
perasaan ibanya yang lain. Dengan demikian, maka anak
muda itu menjadi seakan-akan burung rajawali yang
menyambar-nyambar di antara anak-anak kelinci yang lemah.
Hanya dalam kelompok-kelompok yang kuat orang-orang
Jipang berani menempuhnya. Demikian pula Swandaru Geni.
Namun mereka dikelilingi oleh lawan-lawan mereka. Sedang
kawan-kawannya telah menjadi semakin lemah, semakin
lemah. Meskipun prajurit Pajang berjuang sekuat tenaga
mereka, tetapi lawan mereka seakan-akan menjadi bertambah
banyak. Dalam keprihatinan itulah tiba-tiba mereka mendengar di
kejauhan sorak yang gemuruh. Pemimpin laskar cadangan
yang datang dari sangkal Putung telah mendengar, betapa
laskar mereka di garis peperangan mengalami kesulitan.
Karena itu, meskipun mereka masih jauh, namun mereka
barusaha untuk mempengaruhi gairah setiap prajurit yang
sedang bertempur itu. Kedua belah pihak terkejut mendengar sorak yang bergelora
itu. Sesaat mereka mencoba melihat, siapakah yang sedang,
bersorak-sorak. Dan apa yang mereka lihat, benar
mempengaruhi perasaan mereka, sebelum laskar cadangan
itu mempengaruhi pertempuran itu dengan tenaga mereka
yang segar, maka keadaan pertempuran itu telah berubah.
Anak-anak muda Sangkal Putung yang seakan-akan telah
kehabisan tenaga tiba-tiba menjadi bingar kembali. Meskipun
mereka tidak dapat bertempur sesegar pada saat mereka baru
mulai, namun kedatangan kawan-kawan mereka itu telah
menumbuhkan semangat yang menyala-nyala. Dengan
demikian, maka seakan-akan di dalam diri mereka tumbuh
kembali kekuatan-kekuatan yang seolah-olah telah larut
dihanyutkan angin. Melihat kehadiran laskar cadangan itu Tohpati menggeram.
Terasa di dalam dirinya sesuatu yang bergejolak. Mau tidak
mau terpaksa ia mengumpat di dalam hatinya. "Gila Untara ini.
Ternyata ia cerdik seperti setan. Kenapa ia menyimpan tenaga
cadangan itu?" Bukan saja Tohpati yang mengumpat-umpat di dalam dirinya,
namun semua orang di dalam pasukan Jipang itu mengumpatumpat.
Bahkan ada di antara mereka yang menjadi cemas
bahwa pasukannya akan mengalami kegagalan lagi. Karena
itu, maka mereka menjadi semakin buas karena keputusasaan.
Mereka sudah tidak tahan lagi untuk tinggal di hutanhutan,
makan apa saja yang diketemukan. Berkawan dahandahan
kayu yanq beku dan tidur beralas yang kotor. Ketika
tumbuh di dalam dada mereka harapan untuk merubah nasib
mereka dengan memecah pertahanan rakyat Sangkal Putung,
maka tiba-tiba harapan mereka larut bersama datangnya
anak-anak muda Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit
Pajang yang ditarik dari gardu-gardu perondaan.
Kini Untara merasa, bahwa ia akan dapat bernafas kembali. la
bersyukur bahwa laskar cadangan itu tidak terlambat datang,
karena kelambatan perintahnya, Untara pun sama sekali tidak
menyangka bahwa laskar Jipang itu terlampau kuat, sehingga
laskar cadangan itu hampir-hampir menemukan pasukannya
telah bercerai-berai. Pasukan cadangan itu sendiri, ketika melihat ujung-ujung
pedang yang berkilat-kilat di kejauhan, seakan-akan mereka
tidak bersabar lagi. Langkah mereka serasa terlalu lambat.
Karena itu, maka tanpa mereka sengaja, seakan-akan mereka
berjanyi untuk berlari bersama-sama. Semakin lama semakin
cepat. Senjata-senjata merekapun telah mereka tarik dari
sarungnya dan mereka acung-acungkan ke udara. Sedang
gemuruh sorak mereka, tidak henti-hentinya membelah udara
yang panas karena terik matahari.
Pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung yang kelelahan
dan kecemasan itu tiba-tiba menjadi meluap-luap. Merekapun
tiba-tiba bersorak gemuruh menyambut kedatangan kawankawan
mereka. "Gila"!!" geram Macan Kepatihan "Kau menyimpan cecurutcecurut
itu, Untara.." Untara tidak menjawab. Namun di kejauhan di luar
kesengajaannya, ia melihat sesosok tubuh meloncat ke atas
sebuah bongkahan tanah yang agak tinggi, menjinjing
sebatang tongkat putih berkilat-kilat.
Untara mengernyitkan alisnya. Namun dari jarak itu ia tidak
segera dapat melihat, siapakah orang yang agaknya sangat
tertarik melihat pertempuran yang semakin sengit. Orang itu
tidak lain adalah Sumangkar. Ketika in mendengar suara
sorak yang menghambur di kejauhan dan kemudian melihat
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepasukan laskar Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit
Pajang mendatangi pertempuran itu, hatinya berdesir. Di luar
sadarnya ia berkata kepada diri sendiri, "Oh, alangkah
bodohnya aku. Ternyata aku salah sangka. Aku kira Untara
melupakan kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa anak-anak
muda sangkal Putung kehilangan kekuatan dalam peperangan
ini karena kelelahan. Tetapi ternyata Untara dan Widura
adalah orang yang limpat pengetahuannya dalam olah
peperangan." Sumangkar itu menjadi semakin tegang ketika ia melihat
pasukan yang datang itu menjadi semakin dekat dengan induk
pasukannya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar melihat
Macan Kepatihan yang bertempur melawan Untara di tengahtengah
hiruk pikuknya peperangan.
Ketika laskar cadangan itu telah menjadi semakin dekat,
Sumangkar melihat pasukan itu memecah diri. Agaknya
Untara telah meneriakkan aba-abanya, yang disaut dan
diteruskan oleh penghubungnya. Dan perintah itu kemudian
telah dilaksanakan. Tenaga yang segar itupun kemudian
terbagi. Di induk pasukan, sayap kanan, dan sayap kiri.
"Hem," Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. la dapat
segera melihat akibat dari kehadiran tenaga yang segar itu.
Pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang semula telah
terdesak itu, kini dapat bertahan pada garis yang terakhir.
Bahkan kemudian Sumangkar
melihat bahwa keseimbangan
pertempuran itu segera berubah.
Laskar sangkal Putung dan pasukan Pajang yang baru, yang
telah ditarik dari gardu-gardu peronda itu, segera melibatkan
diri dalam pertempuran yang sudah menjadi semakin berkisar
masuk ke garis pertahanan Pajang. Para prajurit yang baru
datang itu dapat melihat, betapa parah keadaan kawankawannya
yang selama ini mencoba bertahan mati-matian.
Karena itulah maka darah mereka serasa mendidih sampai di
kepala. Jantung mereka serasa meledak karena kemarahan
yang meluap-luap. Mereka merasa, seperti tubuh mereka
sendiri yang telah tersayat oleh kekuatan lawan. Dengan
demikian maka segera mereka mengerahkan tenaga mereka
yang masih segar menempuh prajurit Jipang yang sedang
mengamuk seperti harimau Iuka.
Segera peperangan itu meningkat semakin dahsyat. Tohpati
menggeram penuh dendam dan kemarahan. Tongkatnya yang
putih berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Untara, yang menjambut kedatangan pasukannya yang segar,
segera memberikan perintah-perintahnya. Dicobanya untuk
melihat segenap kemungkinan dan pertimbangan.
Namu tiba-tiba Untara itu terkejut mendengar sorak orangorang
Jipang di sayap kanannya. Tetapi ia tidak segera
melihat, apakah yang telah terjadi. Justru tepat pada saat
orang-orangnya yang segar itu terjun ke arena.
Yang dilihat sepintas, adalah pergolakan di sayap itu.
Beberapa lamanya ia melihat orang-orangnya mendesak
dalam satu lingkaran dan orang-orangnya yang baru datang,
segera masuk ke dalam pertempuran.
Baru kemudian disadarinya bahwa telah terjadi malapetaka di
sayap itu. Ternyata ketika Sanakeling, yang memimpin sayap
kiri lawan, melihat kehadiran orang-orang baru dari Sangkal
Putung, kemarahannya seakan-akan meledak. Itulah
sebabnya, maka dari dalam dirinya meledak pulalah kekuatan
yang tidak disangka-sangka. Meskipun
Citra Gati tidak melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia kehilangan
kesempatan untuk menghindari serangan yang datang seperti
air bah. Ketika ia menangkis pedang di tangan kanan
Sanakeling itu, tiba-tiba terasa sebuah sengatan di pundak
kirinya. Begitu kerasnya sehingga tubuhnya terguncang, dan
seolah-olah ia telah dilemparkan ke samping. Ternyata senjata
sanakeling yang lain, sebuah bindi di tangan kirinya, telah
meremukkan tulangnya. Sesaat Citra Gati menyeringai, ia
masih sempat melihat ujung pedang iang mengarah ke
dadanya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir ia memukul
pedang itu. Tetapi ia sudah tidak memiliki keseimbangan
yang mantap, sehingga meskipun pedang itu tidak
mengehunjam ke dadanya, namun Iambungnya tersobek oleh
tajam senjata lawannya. Citra Gati mengeluh pendek. Matanya menjadi gelap dan ia
tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak melihat ketika
Sanakeling meloncat sambil memekik tinggi, untuk sekali lagi
menusukkan pedangnya di tubuh Citra Gati. Tetapi untunglah
bahwa Sendawa melihat semuanya itu. Seperti orang gila ia
menyerbu Sanakeling yang sedang gila pula. Senjata orang
yang bertubuh raksasa itu terayun deras sekali mengarah ke
tubuh Sanakeling. Tetapi Sendawa benar-benar tidak
menyangka bahwa Sanakeling dapat melenting secepat
belalang, sehingga dengan demikian, serangannya itu dapat
dihindarkan. Sendawa sendiri bahkan terseret oleh kederasan
senjatanya, sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah ke
samping. Meskipun demikian, apa yang dilakukan itu ternyata berguna
pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah menyadari
keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama
menyerbu, seperti apa yang dilakukan oleh Sendawa itu.
Dengan demikian, maka Sanakeling sekali lagi berteriak tinggi
melontarkan dendam dan kemarahan yang meluap-luap.
Namun orang-orang Jipang yang sempat menyaksikan
Sanakeling berhasil menjatuhkan lawannya, bersorak dengan
kerasnya, meneriakkan kemenangan itu. Merekapun segera
berloncatan mengambil kesempatan, selagi orang-orang
Pajang lagi berbuat gila, melindungi pimpinannya yang terluka
parah tanpa menghiraukan keadaan mereka sendiri.
Namun beruntunglah. Pada saat yang demikian itulah maka
tenaga baru yang segera terjun dan meluas di arena itu,
sehingga orang-orang Jipang tidak sempat berbuat banyak.
Mereka harus segera menghadapi lawan-lawannya yang baru,
sementara beberapa orang sempat membawa Citra Gati
mengundurkan diri dari pertempuran.
"Gila!" teriak Sanakeling membelah hiruk pikuknya dentang
senjata. "Ayo siapa menyusul?"
Teriakan Sanakeling itu bagi anak buahnya seakan-akan
merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi.
Seolah-olah merekapun ikut serta meneriakkan kata-kata itu.
Dan bahkan beberapa orangpun ikut serta menantang dengan
kata-kata yang garang. "Ayo, laskar Pajang. Majulah bersamasama.
Bawalah panglima-panglimamu beserta kalian."
Setiap prajurit Pajang yang melihat peristiwa itu, seakan-akan
darahnya meluap ke kepala. Kemarahan, kebencian dan
dendam membakar dada mereka. Citra Gati adalah salah
seorang pemimpin kelompok yang baik. Seorang yang telah
cukup mengendap di dalam pertempuran dan di dalam
pergaulan. Karena itu, banyak orang yang senang kepadanya.
Sehingga jatuhnya Citra Gati telah membuat prajurit Pajang
terbakar. Betapapun orang-orang Jipang meneriakkan kemenangan,
namun orang Pajang sama sekali tidak menjadi gentar.
Apalagi di antara mereka telah hadir orang-orang baru itu,
demikian mereka hadir, demikian mereka melihat Citra Gati
jatuh tersungkur di tanah. Maka kemarahan dan kebencian
merekapun segera tertumpah pula.
Teriakan orang-orang Jipang, mengatakan bahwa pemimpin
sayap kanan itu telah jatuh. Bahkan sebelum mereka tahu
pasti apa yang terjadi, maka mereka telah berteriak,
"Pemimpin sayap kanan telah binasa."
Untarapun akhirnya mendengar pula bahwa Citra Gati
mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah
Citra Gati terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah
menggoncangkan hatinya. Demikjan ia mendengar berita itu,
demikian giginya gemeretak karena marah. Apalagi ketika
kemudian ia mendengar Tobpati tertawa sambil berkata,
"Sayapmu patah, Untara."
Untara mencoba melihat sayapnya. Sesaat itu terdesak
beberapa langkah. Namun untunglah Sendawa bertindak
cepat. Segera ia mengambil alih pimpinan sambil berteriak,
"Sayap ini tidak akan terpengaruh karena hilangnya Kakang
Citra Gati. Apalagi sekarang telah datang laskar cadangan
yang akan mampu menebus setiap kekalahan."
Untara menjadi agak tenang melihat kesigapan Sendawa.
Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yanq lain ia
mendengar sebuah teriakan nyaring, "He, apakah Citra Gati
mengalami bencana?" Tak ada jawaban. Namun kembali terdengar suara,
"Serahkan pembunuh itu kepadaku."
Akhirnya Untara melihat, seseorang yang mencoba
menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap
lang lain. Orang itu adalah Hudaya. Karena itu segera ia
berteriak, "Hudaya. Berhenti."
"Kakang Citra Gati terbunuh. Akulah gantinya. Siapakah yang
telah berani berbuat itu?"
"Hudaya," teriak Untara, "kembali."
Hudaya benar-benar telah menjadi gila. Citra Gati adalah
sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka telah
bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak
semula mereka mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup
sebagai seorang prajurit. Kini tiba-tiba ia mendengar
sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka perasaannya tidak
lagi dapat dikendalikan. Tingkah laku Hudaya itu benar-benar mencemaskan Untara.
la tidak mau melihat korban dari antara pemimpin-pemimpin
kelompoknya jatuh satu lagi. Karena itu, maka sekali lagi
Untara berteriak, "Hudaya. Kembali ketempatmu."
"Aku akan menuntut kematian Citra Gati."
Untara menjadi semakin cemas. Lawan Citra Gati itu adalah
Sanakeling. Citra Gati ternyata tidak dapat menahan arus
serangan Sanakeling itu. Sedang Hudaya seorang pemimpin
kelompok yang tidak berada di atas tingkat Citra Gati. Sekali
lagi ia mencoba mencegah perbuatan gila itu, menyeberang
langsung dari sisi yang satu ke sayap yang lain, apalagi di
sayap yang lain itu telah menunggu seorang yang bernama
Sanakeling. Katanya, "He, Hudaya. Kembali ketempatmu. Kau
dengar?" "Tidak." "Jangan gila. Kau dengar. Ini perintah senopati daerah lereng
Merapi atas nama Panglima Wira Tamtama."
Sebutan itu ternyata berpengaruh pada hati Hudaya yang
sedang gelap. Ia sadar, bahwa Untara kini sedang
mengemban jabatan. Namun dengan demikian hatinya
menjadi semakin sakit. Dan sakit di hatinya itu diteriakannya
keras-keras. "Jadi apakah dibiarkannya saja pembunuh Citra
Gati itu?" Untara berpikir sejenak. Namun serangan Tohpati justru
semakin dahsyat, sehingga Untara menjadi terdesak beberapa
langkah. Ia harus segera mengambil keputusan. Dan tiba-tiba
keputusannya jatuh. "Agung sedayu. Kau mendapat tugas itu.
Sayap kanan." Agung Sedayu yang tidak terlampau jauh dari Untara
mendengar teriakan itu. Sekali ia meloncat surut melepaskan
lawan-lawannya. Dan terdengar ia menjawab. "Baik. Aku
lakukan." "Bersama aku," teriak Hudaya.
"Hem," Untara menggeram. Hudaya telah kehilangan
kepatuhannya karena perasaan yang lepas kendali. Kali ini
Untara tidak mencegahnya. Namun sisi kiri dari induk
pasukannya harus mendapat seorang pemimpin. Maka
katanya berteriak sekali lagi, "Sonya, gantikan tugas Hudaya."
Terdengar Sonya menyahut. Suaranya kecil melengking
tinggi. "Ya. Aku kerjakan."
Untara masih melihat Hudaya melangkah mundur. Ia tidak
langsung menyeberangi pertempuran itu, berjalan dan induk
pasukan ke sayap yang lain. Sementara itu Agung sedayu
telah mendahului meloncat ke sayap kanan lewat belakang
garis peperangan. Namun karena kesibukan itulah, Untara kehilangan sebagian
dari perhatiannya. Tiba-tiba selagi ia sedang sibuk mengatur
orang-orangnya, ia merasa Tohpati mendesaknya. Agaknya
Macan Kepatihan sedang mempergunakan kesempatan itu
untuk mendesak lawannya. Dengan sepenuh tenaga.dan
kemampuannya ia menyerang Untara seperti badai
menghantam gunung. Betapa deras dan cepatnya. Tongkat
putihnya terayun dengan dahsyatnya ke arah kepala Untara
yang sedang disibukkan oleh hilangnya Citra Gati.
Untara terkejut melihat tongkat baja putih Macan Kepatihan
seperti seekor burung elang menyambarnya. Untunglah.
Bahwa pada saat terakhir, ia berhasil mengerutkan tubuhnya
dan merendahkan kepalanya, sehingga ia dapat
menyelamatkan dirinya dari benturan yang dahsyat. Benturan
yang pasti akan memecahkan
kepalanya. Meskipun demikian, namun tongkat Macan Kepatihan
telah menyambar ikat kepalanya, sehingga ikat kepala itu terlempar jatuh.
Bukan main dahsyatnya gelora hati Untara. Seolah-olah
dadanya akan meledak karenanya. Senopati itu merasa
bahwa nyawanya hampir-hampir terlepas dari tubuhnya.
Tetapi meskipun ternyata ia berhasil menghindarkan diri dari
maut, namun betapa ia merasa dihinakan. Ikat kepalanya
terlempar dari kepalanya.
Dengan penuh dendam Untara menggeretakkan giginya.
Sekali ia melontar surut. Seolah-olah ia ingin memandangi
seluruh tubuh Tohpati sepuas-puasnya. Dan tiba-tiba ia
berteriak nyaring di antara dentang dan gemerincingnya
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata. "He, prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Jangan kau beri kesempatan pada lawan-lawanmu untuk
bertahan sampai senja. Waktu telah menjadi semakin sempit.
Besok adalah hari yang harus dapat kita nikmati sebagai hari
kemenangan. Karena itu hancurkan musuhmu hari ini."
Tohpati mencoba tidak memberi kesempatan kepada Untara
untuk menyelesaikan kata-katanya. Dengan dahsyatnya ia
menyerang dengan senjatanya yang mengerikan. Tetapi
Untara telah benar-benar siap melawannya. Itulah sebabnya
ia dapat menghindarkan diri dan menyelesaikan kalimatnya.
Sesudah itu maka Untara-lah yang bergerak
seperti angin pusaran. Menyerang Tohpati dengan kemarahan
yang menyala di dalam dadanya.
Pertempuran antara keduanya menjadi semakin dahsyat.
Keduanya telah sampai pada puncak kemarahan dan
kekuatannya sehingga keduanya benar-benar tenggelam
dalam permainan maut yang mengerikan. Untara kini hampirhampir
tidak terpengaruh lagi oleh keadaan pasukannya.
Menurut perhitungannya, maka setidak-tidaknya pasukannya
tidak akan dapat dikalahkan segera. Ia mengharap bahwa
pertempurannya akan lebih dahulu dapat menentukan
keadaan daripada seluruh pasukan itu. Kehadiran orangorang
baru membuatnya tenang dan memberinya kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada
lawannya, Macan Kepatihan.
Agung Sedayu yang berpindah tempat dari sisi induk pasukan
ke sayap yang berseberangan telah masuk ke dalam
lingkungan peperangan. Ia melihat betapa Sendawa dan
beberapa orang mengalami kesulitan untuk menahan arus
kemarahan Sanakeling. Agung Sedayu masih sempat melihat
seseorang terlempar jatuh karena sentuhan pedang
Sanakeling. Betapa ia melihat Sanakeling seperti orang gila
mengamuk sambil mengayun-ayunkan pedang serta bindinya.
Beberapa orang yang mencoba bersama-sama melawannya,
hampir tak berani mendekatinya.
Agung Sedayu menarik nafas melihat kedahsyatan gerak
Sanakeling. Kasar dan betapa kuat tenaganya. Sesaat Agung
Sedayu dirayapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Namun
tiba-tiba ia menggeram. Ia pernah merasakan betapa maut
pernah menyentuhnya. Dan ia masih tetap hidup.
Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan kungkungan
perasaan takutnya itupun segera membulatkan tekadnya,
untuk menghadapi lawannya yang seakan-akan telah menjadi
liar dan buas. Dengan nyaringnya ia berteriak, "Sendawa,
lepaskan lawanmu." Sendawa terkejut mendengar suara itu. Ia tidak segera tahu,
siapakah yang akan menggantikan kedudukan Citra Gati.
Jangan Percaya Pada 1 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bloon 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama