Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 2

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 2


ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu
alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah didalam benaknya
"Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan
kudaku?" Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu
semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung
Sedayu menjadi pasti. Pikirnya "Derap kuda itu adalah derap
kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda
dipunggungnya". Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar.
Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang
jernih. Yang ada didalam hatinya tinggallah "Bagaimana aku
harus bersembunyi dibulak ini?"
Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi
semakin dekat. Ia tidak dapat menira-irakan, masih seberapa
jauhnya. Namun dimalam yang sepi itu, suara derap itu rasarasanya
tinggal beberapa langkah dibelakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit
yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesagesa
ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga
ia jatuh terjerebab ditanah yang becek. Tertatih-tatihia bangun,
kemudian berlari-lari terjun kedalam parit, sehingga pakaian
yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama
sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan
tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi
kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu
dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut.
Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan
berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan
dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun
berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat
seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. "Adakah
kuda itu kuda kawan Untara?" Jarak kedua ekor kuda itu
masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap
Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa dipunggung kuda
itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia
masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan
penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan
Untara. "Bukankah aku Alap-alap Jalatunda" desisnya. "Alap-alap
Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang
berkuda itu Untara sendiri". Alap-alap yang muda itu
tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban
"Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka
parah" Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya
secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau
menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera
ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap
itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang
berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang
seperti gila. Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit
yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat
diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam
keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal,
bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi
bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari
itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena
kemarahannya. Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat
menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya
berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak
didalam rongga dadanya. Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama
semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan
kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah
hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya
hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu
diujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada
gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat
melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang
keputih-putihan ditengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain
adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik
nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya.
Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti
kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin
menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga
akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja
ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang
yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari
kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya
membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap
Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk
lari kemana saja. Tidak kearah Alap-alap Jalatunda dan tidak
kembali ke kakaknya. Tetapi kemana" Dan apakah yang akan
terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu
maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung
Sedayu hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang
itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar
derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti. Dicobanya
untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia
menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu,
sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat.
Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya
sehingga kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu
melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu
untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru
mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia
meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu
sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya
menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka Agung Sedayu
terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya
wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia
mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi
semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati.
Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.
Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram.
Dan kemudian didengarnya orang itu berkata "Siapa yang
bersembunyi di dalam parit?"
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang.
Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.
"He, jawablah" terdengar suara itu pula. Berat dan lantang
"Siapa itu" Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau
tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur."
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat
berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun
mulutnya masih terkunci. "Nah" suara itu berkata pula "Kau tidak mau menampakkan
dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita
mengadu kesaktian." Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun.
Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya
dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar
hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng
untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut
dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung
Sedayu, maka berderailah tertawanya.
"He" kenapa kau berbaring disitu" Apakah kau sedang
mulai bertapa" Tapa kungkum" Ayo wudarlah tapamu
sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum
adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama
merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo
bangunlah" Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara
sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara
yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi
"Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup
segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh
kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa
membangunkan kau" Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta
ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi
tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata
"Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah
menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan
kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak". Hem"
orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata
pula "Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya.
Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku
membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu"
Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang
pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu
diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya
sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga
sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu
mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah
payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah
payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar
kedua belah tangannya. Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur
selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring "Ha" katanya
"ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah,
kita bertempur" Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang
berdiri dihadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu
perasaan yang aneh didalam dadanya. Meskipun orang yang
baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya
sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh
si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda.
"Berdirilah" tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian
tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya
orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri.
Katanya "Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air"
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu
memandangnya dengan seksama. Lalu katanya "Kau gagah
benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh
idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk
bertempur?" Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung
Sedayu menggeleng lemah. "Tidak?" teriak orang bertopeng itu "Kau tidak mau
berkelahi?" Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
"Hem" desis orang bertopeng itu "Kau belum mengenal
aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan
namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian"
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada
Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu
mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba
ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat
jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat
dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum
dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak
mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu
mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih
belum dapat melepaskan perasaan takutnya.
"Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai
permusuhan. Baik. Akupun tidak akakn memaksa. Dahulu
akupun pernah mengenal orang serupa kau ini" berkata orang
bertopeng itu. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu
sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang
bertopeng itu mendengarnya "Siapa?" katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya "Namanya Ki
Sadewa" "He" Agung Sedayu terkejut "Kau sebut nama itu?"
"Ya, kenapa" Kau kenal dia" Atau orang itu gurumu" Kalau
demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin
bermusuhan dengan siapun juga" sahut kiai Gringsing.
"Orang itu ayahku" berkata Agung Sedayu dengan penuh
kebanggaan. "He" orang itu terkejut "Kau anak Ki Sadewa" Benarkah
demikian?" "Ya" jawab Agung Sedayu pendek.
"Pantas, pantas" gumamnya "Kau memiliki kekekaran tubuh
seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan
sifat-sifat yang sama pula". Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu
bertanya menyentak "Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku.
Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama
Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?"
"Tidak" jawab Agung sedayu "orang itu benar-benar
ayahku" "Kalau demikian akan aku buktikan" desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya
membuktikan" Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung
Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama
ayahnya. Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula "Kau masih tetap
pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?"
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia
mengangguk. "Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa" berkata orang
bertopeng itu. "Tetapi" ia meneruskan "kau dapat berpurapura.
Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak.
Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa
adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan
sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?"
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan
yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena iru
Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar
mewarisi keahlian ayahnya itu. "Baiklah" jawabnya.
"Nah" berkata Kiai Gringsing "aku akan melambungkan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula".
"Bagus" teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu
memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan
kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan
dilemparkannya tak begitu tinggi "Aku sudah mulai" teriaknya.
Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang
dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya
dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
"Dahsyat" teriak Kiai Gringsing "Didalam cahaya bulan yang
hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau
benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani
menanatangmu" "Kau percaya?" bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
"Ya, aku percaya" jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi
agak tenteram. Ia merasa bahwa didalam dirinya tersembunyi
pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas
kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor
kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup
kembali "Suara kuda" desisnya.
"Ya" jawab Kiai Gringsing "dari arah tikungan randu alas"
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap
Jalatunda yang sedang mencarinya" Keringat dingin mulai
mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu
menjadi gemetar. Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik
pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya "Jangan
hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia
lewat" Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian.
Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing "Anak
muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan
anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?"
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi
meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa
seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab "Sejak kecil"
Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak
itu. Kakaknya lebih suka berburu kehutan daripada berlatih
membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani
kut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah,
paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak
dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk
anak-anak. Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kakikaki
kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya
semakin gemetar pula. "Anak muda" berkata Kiai Gringsing "agaknya kau tertarik
sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu" Kalau
demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu"
"Jangan, jangan pergi Kiai" tanpa diduga-duga Agung
Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati
orang bertopeng itu. "Kenapa?" Kiai Gringsing bertanya.
"Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda"
jawab Agung Sedayu. "Alap-alap Jalatunda" Darimana kau tahu?" bertanya orang
bertopeng itu pula. "Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku" jawab
Sedayu. "Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah
keberatanmu?" desak Kiai Gringsing "Kalau Alap-alap
Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia
sudah gila?" "Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka" jawab
Agung sedayu. "Kau dan kakakmu" Siapakah namamu he anak muda dan
siapa nama kakakmu?" sahut kiai Gringsing "Apakah Aka-alap
Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?"
"Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama
Untara "jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan
terbata-bata "Kiai, tolonglah aku" minta anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan
seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya
"Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian
melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain.
Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak"
"Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku" desak Agung
Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga,
namun kemudian terpaksa ia berkata "Aku tidak pernah
berkelahi. Aku takut"
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Katanya "Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki
Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia
mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan.
Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang
percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena
Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah
membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu
Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan
dan diusahakan untuk meluruskan jalannya"
Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu.
Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun
menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang
dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda
berpacu kearahnya. "Itulah dia kiai" berkata Sedayu "Tolonglah aku"
"Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai
kemampuan lebih baik dari aku" jawab Kiai Gringsing "Atau
kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?"
"Tidak, tidak" jawab Sedayu mendesak "aku takut"
"Angger Sedayu" berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba
suaranya menjadi bersungguh-sungguh "Seandainya kau
bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak
kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal.
Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak
membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti
akan dibunuhnya" Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri.
Maka jawabnya "Aku tidak berani Kiai, aku takut"
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali.
Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak.
"Baiklah" katanya "agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin
mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau
mampu melawan Alap-alap itu?" Dan tiba-tiba saja orang yang
bertopeng dan berselimut kain gringsing itu melonca, ringan
sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata
"Jangan berendam lagi didalam air Sedayu, kau akan
membeku" Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang
hanya dapat didengarnya sendiri "Tak berhasil"
Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun
menjadi semakin dekat. Diatas punggung kuda itu tampak
seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh
kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat
seekor kuda berhenti ditengah jalan. Karena itu, timbullah
pertanyaan didalam hatinya. "Siapakah gerangan orang
berkuda itu?" Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda.
Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil
menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
"Setan" dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak
berpenumpang "Dimana kau sembunyi kelinci licik" Dan
karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut
perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih
bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika
ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap
Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. "Persetan, siapa saja
orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku,
maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku
lemparkan disekitar Sangkal Putung"
Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi
semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin
gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya
menanti kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
"Aku baru kenal namanya" berkata Kiai Gringsing "Kalau
aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah"
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu
bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah,
maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana.
Karena itu desisnya "Jangan Kiai, jangan kalah"
Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa
karena geli. "Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap
perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak
akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib
seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri,
meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk
berusaha" Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap
Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas
punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda
itu berhenti beberapa langkah saja dihadapan kuda Kiai
Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya seorang
bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba
dilihatnya didalam parit seorang lain berdiri gemetar "Ha"
teriaknya kegirangan "Kaukah itu?"
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjaklonjak.
Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang
bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat
kepalanya "Apakah kau penari topeng?"
Tetapi orang bertopeng itu menjawab "Tepat. Aku adalah
tokoh Panji dalam setiap ceritera"
"Huh" Alap-alap itu mencibirkan bibirnya "Jangan mainmain,
kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda"
"Ya, aku sudah tahu" jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya "Dari mana
kau tahu?" "Dari anak muda itu" sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu. "Apamukah itu?"
bertanya Alap-alap Jalatunda pula. "Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah" jawab Kiai
Gringsing "Karena itu
aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda" Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya
Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah
kemudian anak muda itu menggeram "Hem, kanapa kau pakai
topeng" Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur
kesaktianmu" "Namaku Kiai Gringsing" jawab orang bertopeng itu.
"Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?"
bertanya Alap-alap Jalatunda.
"Aku berkata sebenarnya" jawab Kiai Gringsing.
"Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap
Jalatunda" Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orangorang
sakti yang tak terkalahkan?" desak Alap-alap yang
sedang marah itu. "Tidak" sahut Kiai Gringsing "Aku sama sekali tak berniat
untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah
mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu
mendekam didalam parit. Dengan serta merta ia
menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata
aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap
Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku
mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya
keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap
Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi ".."
"Cukup!" bentak Alalp-alap Jalatunda "jangan membual"
Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir
terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul
pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai
Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan
"Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah
maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku
kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak
akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut
topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau
ini dan apa maksudmu sebenarnya"
**** Kiai Gringsing menggeleng "Tidak" jawabnya "Tak
seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah
melekat pada kulit wajahku"
"Hem" Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan.
"Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu".
Meskipun demikian timbul pula pertanyaan didalam dadanya.
Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti
yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untarapun ia
pernah mendengar hal itu. Tau, adakah orang bertopeng ini
Untatra yang sedang menjebaknya" Alap-alap itu menggeleng
"Tak mungkin, Untara terluka"
Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing "Jangan.
Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menakuti anak-anak kelak"
"Jangan banyak bicara" potong Alap-alap Jalatunda yang
menjadi kian marah "bersiaplah. Kau atau anak muda itu
bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh.
Atau kalian berdua sekaligus. Mari" Alap-alap itupun segera
bersiap. Agaknya ia mau epat-cepat selesai sehingga tiba-tiba
saja ditangannya tergenggam pedangnya jang putih berkilatkilat.
"O" berkata Kiai Gringsing "baiklah. Karena aku yang harus
bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu
sebentar, aku mengambil senjataku" Kiai Gringsing tidak
menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia
berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian "Apakah kau
akan bertempur diatas punggung kuda?"
Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya "Aku dapat
berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai"
"Aku akan bertempur diatas tanah" sahut Kiai Gringsing.
Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia
meloncat turun dari kudanya.
Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti
didalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh
mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi
itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar
bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar
menakut-nakutinya didalam mimpi, maka kembali bulubulunya
meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi
pula oleh keringat dinginnya.
Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar
mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak
lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena
itu Alap-alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki "Setan
topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh
pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan
jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap
pembunuhan yang aku lakukan. Didaerah pertempuran tak
pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya".
"Kau benar" sahut Kiai Gringsing "Hukum didaerah perang
seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang.
Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia,
seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya"
"Persetan" bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak
sbar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang
Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung
pedangnya tepat mengarah kedada orang bertopeng itu.
"Mampus kau" teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai
Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun
ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
"Gila" geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang
itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti
angin prahara ia menyerang lawannya.
Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap
Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing
dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang
garang itu selalu dapat dielakkan.
Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan
cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu
segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai
Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun
adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat
mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang
aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka
bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh
tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset.
Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang
membingungkan bagi Alap-alap yang masih muda itu.
Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi cemas.
Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur
semakin garang. Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat
karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Diatas tanah yang
becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang
kemerah-merahanpun memercik seperti hendak
menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang
bertempur. Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya.
Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai
kepuncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah.
"Hampir fajar" bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian
menyambar anak muda yang masih berdiri kaku didalam parit
dengan sudut pandangannya. "Perkelahian ini harus segera
selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat" kembali Kiai
Gringsing itu berkata didalam hatinya. Karenak itu, maka tibatiba
gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini
tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk
menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil
keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring
kepada Agung Sedayu "Sedayu, selagi kau sempat,
bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi"
Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku
ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia
terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap Jalatunda.
Sedang Alap-alap yang garang itupun terkejut melihat
perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih
menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena
senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang
dihadapinya itu benar-benar ornang yang setidak-tidaknya
melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah
berbagai pertanyaan didalam dirinya. Kiai Gringsing adalah
nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang
bertopeng yang berkeliaran didaerah inipun belum juga
pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah
orang ini Untara yang sedang menjebaknya, namun menilik
tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara
Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan
sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatankesempatan
untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap
keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenakenaknya.
Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru
pada saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng semakin
cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap
Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat
melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa
Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang
yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu
menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat
mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang
bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan
beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.
Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung.
Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak
lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya.
Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga
ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi
kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang
aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
"Persetan dengan kakang Plasa Ireng" gumam Alap-alap
Jalatunda "Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang
bertopeng dan berselimut kain gringsing ini"
Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak
ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan
demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya.
Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu
belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil
kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya
telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai
pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak
nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai
Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik
serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari
kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap
bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia
melontarkan diri dan jatuh langsung diatas punggung kuda itu.
Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi
dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu
meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.
Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang
melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk
mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih
menunggunya. Agung Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari
tanggul ia berkata "Bukankah aku menang?"
Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu
melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan
disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin.
Maka anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya.
Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.
"Nah Agung Sedayu" berkata Kiai Gringsing "sekarang
sebutlah namaku, setelah kau melihat tata
perkelahianku"Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur
"Aku tak tahu Kiai"
Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak
melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya
memandang anak muda itu dengan penuh kecewa.
Gumamnya didalam hati "Sayang" Tetapi orang itupun
kemudian segera berkata "Sedayu, bukankah kau akan pergi
ke Sangkal Putung?" "Ya" jawab anak muda itu "Dari mana Kiai mengetahuinya?"
"Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura
perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar
akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu
akan dapat dielakkan" berkata orang bertopeng itu.
"Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana
itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Ah" desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya
"Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya
yang akan mengancamnya" Dan dengan kehadiranmu, maka
bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka
yang mampu melawan putera Ki Sadewa?"
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu
berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus
"Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu"
Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata
kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak
sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu
maka iapun menjawab "Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal
Putung sekarang" "Kenapa kita?" bertanya Kiai Gringsing "Kaulah yang akan
pergi. Aku tidak" "Tidak" sahut Agung Sedayu cepat-cepat. "Kiaipun akan
pergi kesana" "Aku tidak berkepentingan dengan mereka" sanggah Kiai
Gringsing. Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu
memandangi pohon randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba bulubulunya
tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk
mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan
percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa.
"Hem" Agung Sedayu mengeluh.
Meskipun demikian ia berkata "Aku akan terlambat"
"Mungkin" sahut Kiai Gringsing. "Nah, pakailah kudaku
supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang
yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal
Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh
diatas pedukuhan itu"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng
itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara
sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya,
orang bertopeng itu berkata "Naiklah. Dan pakai kudaku"
Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan
tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke
utara. "Kiai, kiai?" panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu
segera menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang
bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri
"Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu,
agaknya kau lebih senang berendam didalam parit"
Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak
berani tinggal ditempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia
memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih
berdiri ditempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal
Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih
kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena
nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia
dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal
Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti,
atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu
terhadapnya. Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal
Putung. Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai
Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya
untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan
kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.
"Nah" bisik Agung Sedayu, "Kawani aku ke Sangkal
Putung". Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan
dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke
Sangkal Putung. Dihadapannya terbentang sebuah jalan
ditengah sawah yang panjang. Dan diujung jalan itu
menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba
untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga
kudanya melaju terus. Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak
saja dihadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan
dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu
takut pula kepada genderuwo bermata satu.
Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam
dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan
randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya.
"Hem" anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya
seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh.
Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata
orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka
yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani
menoleh betapapun keinginan mendesaknya. "Ah mungkin
genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa" pikirnya.
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itupun
tak diganggunya. Jalan dihadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini
dihadapannya dilihatnya paedukuhan yang kecil. Kali asat.
Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya.
Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok kekanan
sampailah ia kejalan lurus menuju Sangkal Putung.
Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi
semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat
berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang
bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. "Alangkah
senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar
ada padaku" pikir Agung Sedayu. "Kalau aku seorang sakti
yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat
mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan
mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan
liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka
satu demi satu." "Ah, tidak" bantahnya sendiri. "Setiap orang
akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka,
anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni,
apabila mereka kelak menjadi orang yang baik". Namun
disudut hatinya yang lain berkata "Tetapi mereka telah berbuat
jauh lebih kejam daripada membunuh". Dijawabnya sendiri
"Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat
demikian pula, apakah bedanya" Alap-alap Jalatunda
misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar
telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu
pernah berceritera, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh
miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar
hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar
itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu
sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin
kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti
dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja
mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi
murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut
kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja
kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya".
Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas
dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati
"Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau
kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita"
Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia
menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan
orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada
orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari
kesesatan. "Ya, seandainya" kembali ia bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja
kakinya terasa gemetar ketika dedengarnya sebuah terikan
melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika
diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak
yang pulang kekandangnya, setelah semalam-malaman
mencari mangsanya. "Hampir pagi" desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu
dipacunya kudanya semakin cepat. Dimukanya tampak
sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang
mengapung didalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung.
Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding
telah dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah gardu
perondan. Agung Sedayu langsung berpacu kegardu itu. Ia tahu benar
bahwa digardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya,
Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan
Alap-alap Jalatunda. Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang
digardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat
seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orangorang
yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti
ada sesuatu yang penting.
Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda
Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhitung
mancung maju kedepan dan bertanya "Siapa kau?"
"Agung Sedayu" jawab Agung Sedayu lantang "Aku akan
bertemu paman Widura"
"Apakah keperluanmu?" bertanya orang itu pula.
"Penting sekali. Hanya paman Widuralah yang boleh
mengetahuinya" jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang
yang berhidung mancung itu berkata "Apakah kau tidak dapat
menunggu sampai besok?"
"Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu
sekalian" sahut Sedayu dengan bangganya.
"Antarkan anak muda ini" berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua
orang mendekatinya "Marilah" berkata salah seorang
daripadanya. "Berjalanlah dimuka" sahut Agung Sedayu.
Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka
berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung, yang
agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung
itupun kemudian berkata "Anak muda, kami para penjaga tidak
mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan,
bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas
sampai digardu ini" "Oh" sahut Agung Sedayu "Maafkan aku. Aku tergesa-gesa
sehingga aku melupakan kebiasaan itu" dan dengan tergesagesa
pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
"Nah" berkata pemimpin itu "Kami silahkan mengikuti
orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah
kuda itu disini". "Baik" jawab Sedayu "Terima kasih".
"Marilah" ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun
segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak.
"Silahkan" katanya.
Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya
tahulah ia, bahwa ia harus berjalan dibelakang orang pertama,
kemudian orang kedua itu berjalan dibelakangnya.
"Anak buah paman Widura sangat berhati-hati" katanya
didalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia
menoleh juga kebelakang, seakan-akan orang yang berjalan
dibelakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka
menyusur jalan desa, diantara pagar-pagar batu setinggi
dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas.
Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar
disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak sebuah regol
yang tertutup rapat. Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu
itupun segera mengetuk pintu regol itu.
Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang
terdengar ketokan pula didalam. Empat kali berturut-turut.
Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan
itu. Ia menjadi heran ketika orang yang dimukanya itu sekali
lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama
kemudian pintu itupun terbuka.
"Siapa?" terdengar sebuah pertanyaan.
"Peronda digardu utara" jawab orang itu. "Kami membawa
seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura".
"Sekarang?" bertanya orang didalam halaman.
"Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri" jawab orang itu.
Kemudian kepada Sedayu ia berkata "Marilah anak muda"
Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebardebar.
Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan
yang dibuat-buat "Ya. Aku akan bertemu dengan paman
Widura" "Adakah sesuatu hal yang penting sekali?" bertanya orang
itu. "Ya" jawab Agung Sedayu "Penting sekali. Paman Widura
harus segera mendengarnya sebelum fajar".
Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan
wajahnya. Ditimur laut dilihatnya bintang panjer esuk
memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu
tidak mau kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itupun
bertanya "Siapakah kau?"
"Agung Sedayu" jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah
didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang
itu berdesis "Nama itu asing bagi kami disini"
Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya "Paman
Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya"
"Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir
diseluruh kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat.
Besok kau akan menemuinya" berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak
didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.
Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang
berjalan keregol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu
berkata "Apa yang terjadi?"
"Oh" orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan
kemudian membungkukkan kepalanya "Selamat malam bapak
Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura
sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok"
Bapak Demang Sangkal Putung itu menganggukanggukkan
kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan
seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya "Kabar
apakah yang kau bawa?"
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya
berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura"
Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya" Tibatiba
ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka
dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan
kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian,
dirinyapun akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya "Aku
membawa berita dari kakang Untara"
"Untara" Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan
hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang
pula meskipun hanya didalam hati.
"Adakah angger ini utusan angger Untara?" bertanya
Demang itu. "Ya" sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan.
"Aku adiknya" "Oh" desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera
membungkukkan kepalanya. Katanya "Maafkan kami. Kami
belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas
adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang anakmas bawa
pasti kabar yang penting"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu,
sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
"Marilah ngger" ajak Demang Sangkal Putung. "Biarlah adi
Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting"
Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang
Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang
luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa
bahwa dua orang berjalan dibelakangnya.
"Rumah ini adalah rumahku" berkata Demang itu lirih "Dan
kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu
Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi Widura
disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran.
Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai"
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak
menjawab. "Sayang" demang itu meneruskan "Persoalan
antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan
pertumpahan darah. Sebenarnya adipati Jipang itupun tidak
sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang
disekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan
kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang
agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya
Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan
jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar".
Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan
"Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana.
Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau
seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan
saling membunuh karena mereka berada dipihak yang
berlainan?" Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus
menanggapi kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi
didalam hatinyapun timbul pertanyaan "Kenapa kita mesti
bertengkar?" Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran
adalah perbuatan yang mengerikan.
Buku 02 Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itupun
kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik
kependapa. Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun
berdesir tajam. Dilihatnya dipendapa itu, terbaring beberapa
orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya
lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras
tajam. Sedang beberapa orang diantaranya tumbuh janggut,
jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka
terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah
betapa nyenyak mereka itu. Sedang disudut pendapa Agung
Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan didindingdinding
tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan
yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki
berwajah keras dan senjata-senjata.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa
dipinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah
keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya
baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris
itu. Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi
pendapa, menuju kepringgitan.Dipringgitan itu dilihatnya
sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil.
Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.
"Disitulah adi Widura sedang beristirahat" berkata demang
itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar.
Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang
disaat-saat yang begini. Demang itupun berbisik pula "Duduklah ngger. Biarlah aku
sendiri yang membangunkannya"
Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu
meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya dapat bekerja
dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu
sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka
berdua masuk, dan pintu pringgitan itu bergerit meskipun
perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun ia
tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang
kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang,
maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera
disadarinya, bahwa kecuali pak Demang ada orang lain.
Bukan dari anak buahnya. Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati
supaya tidak megejutkan orang yang dibangunkannya, dan
menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu
tersenyum asam "Hem" desisnya, "Ternyata aku tidak perlu
membangunkan adi" Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang
Sangkal Putung itu menjenguknya "apakah ada seorang tamu
yang ingin menemui aku?" bertanya Widura.
"Ya adi" jawab Demang Sangkal Putung "Demikian
pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok"
"Siapa?" bertanya Widura.
"Angger Agung Sedayu" jawab Demang.
"Agung Sedayu?" Widura terkejut, dan segera ia bangun
dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan
tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung
Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya.
Desisnya "Kau Sedayu".
Sedayu mengangguk. Jawabnya "Ya paman" .
"Sendiri?" pertanyaan itulah yang bertama-tama
dilontarkannya. "Ya paman" jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakanakan
ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang
diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang
lain. Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan
penuh pertanyaan didalam dadanya. Dan Sedayupun tidak
menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya
"Paman, aku disuruh kakang Untara untuk menemui paman
sebelum fajar" "Untara?" bertanya Widura dengan kening yang terangkat.
Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung
Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah
mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya
sendiri. "Dimana kakakmu?"
"Nantilah aku ceriterakan paman" jawab Agung Sedayu,
seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam
menanggapi setiap persoalan. "Ada yang lebih penting dari
kakang Untara" "Oh" sahut pamannya "Apakah itu?"
Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah
didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali
belum menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat.
Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut
Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya "Kenapa Untara sendiri tidak
datang kemari" Apakah anak itu sudah harus kembali ke
Pajang?" "Belum paman" sahut Sedayu "Kakang Untara masih akan
tinggal dirumah. Tugasnya disekitar Jati Anom belum selesai"
Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana
mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus,
Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga
Untara terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
sempat juga ia bertanya "Kau dan kakakmu bertempur
berpasangan?" Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya
masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh,
memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu.
Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia
malu mengakuinya dihadapan orang lain. Pamannya melihat
kesulitan itu, maka segera ia bertanya "Adakah Untara akan
segera menyusul?" "Aku tidak tahu paman" jawab Sedayu "Luka itu agaknya
parah juga" "Baiklah" berkata Widura itu kemudian "Kami sangat
berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita
tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang
perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat
senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi
pekerjaan yang berat" Lalu kepada demang Sangkal Putung
itu Widura berkata "Kakang Demang. Persoalannya pasti akan
menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija
serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan
makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar
Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang bersedia
menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami
untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?"
"Tentu adi" jawab Demang itu "Sebab apabila lumbung itu
lenyap, kamipun akan kelaparan, Isteri-isteri kami dan anakanak
kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat
membantu perbekalan untuk Pajang"
"Terima kasih kakang" sahut Widura "Siapkan mereka.
Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan
diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui
persiapan kita. Tempatkan mereka dihalaman banjar desa.
Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan
bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita
jalankan" Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan
terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata
dijalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang
terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi.
Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam
oleh kegelisahan. Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegaptegap,
para pemimpin kelompok telah berkumpul dipringgitan
itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain,
rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat
kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak tenangtenang
dan berpakaian rapi. Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung
Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah
orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya.
Tidak disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada
diantaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande
besi Sendang Gabus. Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan
dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu
demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masingmasing
sedang mencoba merenungkan dan membayangkan
apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan
oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk disudut
ruang itu. Katanya "adakah Ki Lurah sependapat dengan aku,
bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa
hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?"
"Ya" Widura mengangguk "Aku sependapat"
"Kalau demikian" orang itu meneruskan "Laskar itu dipimpin
langsung oleh Macan Kepatihan Jipang".
Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan
kemudian memandang wajah Widura seperti minta
penjelasan. Widurapun kemudian menjawab "Aku kira demikian. Laskar
itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan,
kemanakan Patih Mantahun"
Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah
seorang "Laskar di Karang Anom telah bergerak ketimur.
Tidak kebarat" "Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari
mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya hampirhampir
saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah
Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu
sempat menyampaikan berita itu kepada kita"
Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan
penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan
membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan
yang cerdik itu. "Kalau angger Untara sekarang ada disini" desis orang
setengar umur disudut itu.
"Kenapa?" bertanya yang lain.
"Macan itu tidak akan berbahaya" jawab orang sengah
umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah
tampan dan bergelang akar dipergelangan kirinya tampak
tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat
senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian adalah Widura "Kita tidak akan
menunggu mereka. Kita sambut mereka diprapatan Pandean.
Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya
laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum
mereka menyadari kehadiran kita".
Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba
berkatalah orang setengah umur itu "Meskipun angger Untara
tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan
Macan Kepatihan itu?"
Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar
kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan
demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan
Kepatihan itu" Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat
orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan,
namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah
hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang
mengangguk-angguk dan bergumam "Tak ada bedanya.
Untara atau adiknya". Dengan tidak disadarinya, Sedayu
memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam
yang minta perlindungan pada induknya.
Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh
kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan
tenangnya ia berkata "Sedayu, kami akan berterima kasih
sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira,
kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini"
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata "Agung
Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua
dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande
besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus
beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia
beristirahat" Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula
agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang diantara
mereka berkata "Lalu siapakah yang akan berhadapan
dengan Macan yang garang itu?"
Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian
Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas
karenanya. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura "Karena aku
yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku
mencoba melawan Tohpati yang sakti itu"
"Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran
melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin
kami?" bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga
tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang
akar ditangannya itu berkata "Apakah aku diperkenankan
melawan Macan Kepatihan itu?"
Semua orang memandang kepadanya dengan penuh
pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya,
namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada
laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang
dibeberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan
kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu
telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok
anak-anak muda dalam laskar Widura itu.
Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat
kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang
bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki
Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu
mendesaknya, katanya "Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku
akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding
dengan kesaktiannya"
Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang
menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat
keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka
meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata "Aku akan selalu
memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah
bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat
bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia
dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang"


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya" jawab Sidanti "Aku pernah mendengar ceritera itu.
Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa
rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku
coba untuk menangkapnya"
Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar,
bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa
pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya
dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu
menangkap asap" Kemudian berkata Widura itu "Terserahlah kepadamu
Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan" Meskipun
demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri,
maka katanya kepada dua orang lain "Hudaya dan Citra Gati.
Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah
kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu,
namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan
biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak
terlalu jauh daripadanya"
Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya
ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam,
memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya
"Baiklah. Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan
harimau itu" "Baiklah kakang" jawab Sidanti.
Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap
kehadiran Untara itupun tersenyum, katanya "Baiklah. Aku
sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudahmudahan
angger Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya"
Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasarasanya
begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin
terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin
karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk
melakukanna. Bahkan menyebut nama Tohpati itupun ia tak
berani. Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata
kepadanya "Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan
pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. MudahTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik.
Bukankah begitu?" Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia
menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang
dapat diucapkan. Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap
Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya
kemudian "Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah
setelah bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan
Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku
melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan
dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda
itu" Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak
merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apaapa.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu
apa yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu. Maka katanya "Jangan
berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam.
Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan
sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri".
Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya "Adakah
Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan
kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala.
Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap
Jalatunda" Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya.
Seorang yang berkumis lebat menyahut "Sudahlah Sidanti,
tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham"
"Aku tidak mulai" jawab Sidanti.
Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak
diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum
itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali
tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak
terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang sempat melihat
wajah Sedayu yang pucat. Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula
telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai
sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama
sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa
orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang
berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan katakatanya
"Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan
mengada-ada" Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang
diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun
ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya.
Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati
bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan
"Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu.
Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan"
Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir
kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada
Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum.
Senyum yang aneh. Karena dibalik senyum itu tersimpan bibitbibit
ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarutlarut
segera berkata "Adakah kita akan menyergap laskar
Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali
tak berarti" Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan
anak buah kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita
harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu".
Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan
kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia
sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil
berkata "Beristirahatlah dipembaringanku Sedayu"
Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu
mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah
demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung
Sedayu sambil berbisik "Terima kasih ngger, kami penduduk
Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali
ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari
cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan
mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun
apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan
memberitahukan kepadamu, apakah ada diantara kita yang
mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun
yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami
masih mohon perlindunganmu".
Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan.
Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan
anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal
Putung itupun akan salah mengerti dan menyangkanya anak
muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa
setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata "Ya, ya, Bapak
Demang" Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati
Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia
mengangguk dalam-dalam. Katanya "Terima kasih anakmas"
Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang.
Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya
Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan
besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung.
Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa
mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan
dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab
apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang
Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri
dipaling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun
tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia
menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai
gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung.
Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan
namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
"Ayah" ia bertanya kepada ayahnya "adakah Macan
Kepatihan itu sangat menakutkan?"
"Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru" jawab
ayahnya. Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa,
sedang didadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita
yang tanpa batas. Katanya "Apakah ukuran kesaktian
seseorang" Apakah Macan Kepatihan itu kebal" Biarlah aku
nanti mencoba melawannya"
Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya.
Jawabnya "Dalam laskar adi Widura, seseorang telah
menempati dirinya sebagai lawannya".
"Siapa?" bertanya anak muda itu.
"Angger Sidanti" jawab ayahnya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka
kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu.
Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas,
tiba-tiba saja tangannya telah terpilin kebelakang. Sidanti
dapat bergerak secepat tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama
sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
"Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku" pikirnya "Nanti
pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah
melampauinya" Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam.
Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi
anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidantipun
dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu
mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi,
meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada
bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang
kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu,
apabila ia berlatih terus, maka ilmunyapun akan masak
dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya
dari ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya
itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamaipun tidak,
dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah
membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda
itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya
itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan
mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar,
kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama
beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama
dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan
yang berusaha merebut perbekalan mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir
kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda
Sangkal Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka
berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar
itupun segera menyembunyikan diri dibelakang puntuk-puntuk,
parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka
menunggu. Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya
yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang
tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya.
Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar.
Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibanggabanggakan.
Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua
ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah
kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu.
Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai
Muncar itu. *** Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada didalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya,
seakan-akan ia bertanya kepadanya "Apakah kau
akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?" Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata
sebuah tongkat baja putih. Diujung tongkat itu terdapat sebuah
logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak.
Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah
mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan
membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada
muridnya "Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang
dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah
Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau
mati, maka namamupun akan segera ditempatkan tepat
dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah
seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang
itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan
yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka
bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk menyingkirkan
Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani
kelak menjadi urusanku"
Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya
sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik
dibelakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan
terbungkuk-bungkuk kepadanya.
"Apa kerjamu?" bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih
"Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?"
Sidanti mengangguk

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sendiri?" Kembali Sidanti mengangguk.
"Aku ikut" minta Swandaru
"Jangan gila" desisi Sidanti.
"Kenapa?" "Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita
akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung"
"Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok
berdua" "Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu"
"Aku disini" bantah Swandaru.
Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak
perlahan-lahan "Kembali. Atau aku tampar mulutmu"
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar
untuk kedua kalinya. Karena itu iapun diam.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara
burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan
telah dilihat oleh pengawas.
"Kembali kekelompokmu" Sidanti mengulangi, dan
Swandarupun segera merangkak ke kelompoknya.
Widura telah berdiri dibalik sebatang pohon yang berdiri
didekat perapatan. Dari kelokan jalan diujung bulak yang
pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal
Putung. Namun mereka tidak melewati jalan disimpang empat itu.
Mereka segera meloncati parit, dan menyusur pematang,
memotong langsung menuju Sangkal Putung.
"Mereka menyusuri pematang" bisik Ki Demang.
Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia
sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik
untuk kedua kalinya. Karena itu katanya "Bukan induk
pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing lawannya
kearah yang keliru" Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya.
Gumamnya "Macan yang cerdik"
"Macan itu memang berotak terang" sahut Widura.
"Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka
menyangka bahwa kita masih belum tahu akan
kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak
muda Sangkal Putung menyongsongnya keutara, maka induk
pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari
jurusan ini" Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah
persoalan didalam dadanya, karena itu ia bertanya "Kita
menunggu induk pasukan?"
"Ya " jawab Widura."Bagaimanakah dengan orang-orang
yang memintas diatas pematang itu?"
Widura berpikir sejenak "Sedang aku pikirkan" katanya.
Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak
buahnya "Sonya" katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri
disampingnya "Adakah kau masih jagoan lari?"
Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan.
Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan.
"Pancinglah orang-orang itu"
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya orang itu.
Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya "Mudahmudahan
berhasil". Widura itu berhenti sesaat. Kemudian
dilanjutkannya "Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah
memanggil mereka seakan-akan mereka adalah orang
Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, beritahukan
kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk
menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi raguragu.
Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka
hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi
kekuatannya. Yang memintas itu adalah laskar pancingan,
dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus berlari ke
Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya".
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa
tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka
"Apa selanjutnya?" ia bertanya.
"Serahkan kepada kami" jawab Widura.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura
masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia
hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak.
Meskipun demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada
juga bahayanya. "Sekarang?" bertanya orang itu.
"Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah
persawahan" sahut Widura.
Sonya itupun kemudian merangkak, dan melompat
kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa puluh
tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring
"Hei, siapa itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?"
Didalam kesepian ujung malam suara itu melengking
seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan
dipematang itupun mendengar suaranya. Serentak mereka
berhenti dan memandang kearah suara itu. Pada saat itulah
Sonya meloncat dari dalam parit sambil mengulangi
pertanyaannya. Rombongan yang tak begitu besar itupun berhenti. Mereka
tegak berjajar dipematang seperti wayang sedang disimping.
Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika
mereka mendengar suara Sonya berteriak "Hei dengar, desa
kalian akan mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu
akan datang" Orang-orang dalam rombongan itupun saling bertanyatanya.
Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah ia
orang Sangkal Putung" Tetapi bagaimanapun juga, ternyata
bahwa orang itu telah melihat induk pasukannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan
tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka
masih tegak diatas pematang itu. Bahkan terdengar salah
seorang diantara mereka bergumam sesama "Siapakah dia?"
Kawannya menggeleng, jawabnya "Entahlah, tetapi ia
melihat induk pasukan"
"Berbahaya" sahut yang lain.
"Ya" akhirnya pemimpin pasukan itupun berkata "Tangkap
orang gila itu" Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah
kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain
masih diam mematung. Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang.
Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk
pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan
laskarnya, maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun
apabila tidak, maka ia harus mengambil kebijaksanaan lain.
Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan
rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.
Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka
katanya didalam hati "Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku harus
berlomba lari" Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi
terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak "Hei, ternyata kalian bukan
orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar
Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran
disebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang
kemudian adalah induk pasukan."
"Siapa kau?" tiba-tiba terdengar salah seorang dari
rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura
yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke
Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itupun
mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan
dan kedua orang itu mengejarnya terus, tiba-tiba saja
keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.
Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang
agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya
itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan
perapatan. Kawan-kawan merekapun melihat kedua orang itu hilang.
Karena itu mereka menjadi heran.
Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali
ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak dilihatnya lagi.
Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain,
maka iapun berlari terus ke Sangkal Putung.
Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di
timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain
dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata
Widura, demikian ia meraba hulu pedangnya. "Hem"
geramnya "Itulah induk pasukan mereka"
Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-angguk.
Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur, seperti
habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka
adalah prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari
prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena kekalahan-kekalahan
yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga gugur, maka
tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.
Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang
bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar terkejut ketika
dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak dipematang. Dan
dengan serta merta ia berteriak "Hei, kenapa kalian masih
disana?" Pemimpin rombongan itupun menjadi bimbang. Sebelum ia
menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema
dikademangan Sangkal Putung. Kentong titir.
"Gila" umpat anak muda itu. "Cepat, capai Sangkal Putung
lebih dahulu sebelum kami"
"Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari
mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk pasukan akan
menyusul" jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.
Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak "Dari mana
kau tahu?" "Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriakteriak
tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan" Sahut
yang di pematang. "Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?"
"Kami sudah berusaha. Tetapi gagal"
Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak
muda yang tidak lain adalah kemenakan patih Jipang
Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan
Kepatihan itu mengerutkan keningnya.
"Berhenti ditempat kalian!" teriak Tohpati. Kemudian
dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang
dihadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa
tegang. Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan
cermat disetiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia
berkata nyaring kepada yang masih tegak dipematang "Jalan
terus, kamipun akan mengikuti jalanmu itu"
"Bukan main" desis Widura sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Anak itu cerdik seperti demit"
Demang Sangkal Putung itupun menggeleng-geleng pula.
Katanya "Apakah yang akan kita lakukan?"
Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia
berkata "Kita harus cepat mulai, sebelum jarak diantara laskar
kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian
rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita
pasti akan dapat mencapai hasil seperti apabila mereka
berjalan tepat dimuka hidung kita"
Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian
dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang
disampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi
burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus
bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu,
masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar
Macan Kepatihan itu tidak akan lewat disimpang empat.
Kepada Ki Demang, Widura berkata "Bapak Demang,
bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong
laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan
berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu pasti
bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar
untuk mengelabuhi lawan-lawannya".
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura
melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali
terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Sindanti tersenyum. Iapun telah tegak dibelakang pohon
aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya,
anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk
menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan
dengan cepat ia menghambur lari langsung kearah Macan
Kepatihan. Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya
yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu
sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu
iapun segera berteriak nyaring "Siapkan senjata kalian!"
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan
segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa
kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja.
Namun tiba-tiba saja dihadapan mereka, muncul laskar
Widura berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit.
Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena
mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera
mereka dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya
mereka mencabut senjata-senjata mereka.
Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata
kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya.
Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya "Bagus,
kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!"
Kedua laskar itupun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar
Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah lama
bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus
mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak
menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi aba-aba
kepada pecahan laskarnya "Jangan kembali, langsung
kejantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada
disana dan bunuh semua orang!"
Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah
perhatian lawannya. Karena itu iapun berteriak pula
"Swandaru, cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak
berarti, yang lain tetap pada rencana!"
Swandarupun segera meloncat dari persembunyiannya.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading
ditangannya. Terdengarlah anak itu berkata "Ayah, apa yang
harus aku lakukan sekarang?"
"Kau dengar perintah pamanmu Widura?" sahut ayahnya.
"Adakah Macan Kepatihan itu disana?" bertanya anak itu
pula. "Tak ada waktu untuk meributkannya" potong ayahnya,
"Pergilah segera"
Swandaru yang gemuk itupun kemudian berlari, seperti
roda yang menggelinding ditanah-tanah yang becek. Sambil
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti
sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi disawah.
Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itupun segera
berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriakteriak
pula memekakkan telinga. Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal
Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriakteriak
saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian
memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah asuhanasuhan
pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri
dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura
berserta laskarnya. Anak-anak itupun menjadi semakin
bernafsu melatih diri. Karena itu, maka merekapun
mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan
senjata-senjata mereka. Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu,
dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian
demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan
terhadap laskar Jipang yang terlatih itu, meskipun hanya
sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. Karena itu,
maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk
membantu mereka, serta untuk menjaga agar tekad anakanak
itu tidak goyah karena kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itupun
menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura
tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun
masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura.
Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad
perlawanan musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh
pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan
yang pendek itupun dipergunakannya baik-baik. Semula ia
akan menarik suatu garis datar langsung menghadapi laskar
lawannya. Tetapi laskar Widura itupun laskar yang cukup
masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena
kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah
merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa orang anak
buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat
oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari
lambung. Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik
sebagian laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah garis
pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.
Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan
kelincahan laskarnya. "Luar biasa" desisnya "Apakah kira-kira
yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa
hidupnya?" Kemudian Widura itupun melihat, betapa lincahnya Sidanti
menyusup diantara kesibukan laskar kedua belah pihak yang
sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih
tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi
keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan
kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan
laskarnya ditengah-tengah sawah yang juga sudah melakukan
perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang
melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang
menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata,
meskipun Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit
Jipang, namun kekuatannya benar-benar berpengaruh atas
pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan.
Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah
pedang lawannya itu terpental jatuh.
Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat
kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang
itu berkata "Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang
bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?"
Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya "Apa maumu?"
"Aneh" sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. "Kita
berada didalam pertempuran"
"Bagus" seru Tohpati. "Mana paman widura?"
"Aku akan mewakilinya" jawab Sidanti.
Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari
Widura diantara laskar lawannya. Sebelum pecah perselisihan
Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin
mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masamasa
lampaunya. "Siapa yang kau cari?" tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
"Pergilah!" bentak Tohpati. "Orang yang pertama-tama
akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu
berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau". Semantara itu
tangan kiri Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah
seorang anak buahnya kesisinya. "Selesaikan anak ini"
katanya. Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya.
Hiruk pikuk pertempuran disekitar mereka tak banyak memberi
mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itupun
segera menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang.
Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itupun terbeliak. Yang dilihatnya,
dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata,
Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan
yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek
perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu
berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting ditanah.
"Hadiah yang tak menyenangkan" desis Sidanti.
Wajah Macan Kepatihan itupun menjadi merah. Ditatapnya
muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.
Sementara itu langitpun telah menjadi semakin cerah.
Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan berloncatloncatan
diujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka
kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung
pangkalnya ditangan Sidanti itu. Tohpati itupun terkejut.
Terdengarlah ia menggeram parau "Tambak Wedi"
Sidanti masih tersenyum. Jawabnya "Kau kenal nama itu?"
"Ya" sahut Macan Kepatihan. "Aku kenal Ki Tambak Wedi,
aku kira kau adalah salah seorang muridnya"
Sidanti mengangguk, "Kau benar" katanya.
"Bagus!" seru Tohpati, "Tambak Wedi telah mengkhianati
pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun
ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia
mengingkari persahabatannya. Bahkan kini muridnya
ditempatkannya dipihak Pajang"
"Jangan merajuk" jawab Sidanti. "Guruku melihat, bahwa
tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan
hancur" "Pamankupun berkata demikian" potong Tohpati cepatcepat.
"Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan
mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat
batang ilalang" Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara,
maka tunduklah ia kearah angin itu, bila angin kemudian
berputar keselatan, batang ilalang itupun berputar pula"
"Cukup" teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar
kata-kata Tohpati. Karena itu iapun segera bersiap dengan
nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.
"Senjata itu ada ditanganmu sekarang" berkata Tohpati
pula, "Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat
mempergunakannya". Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya
ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.
Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan.
Meskipun demikian Tohpati itupun terkejut pula melihat
kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang
prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan
dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti
itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu
pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat
memanfaatkan kedua tajam senjatanya diujung dan
pangkalnya itu. Nanggala itu berputar seperti baling-baling,
kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang
sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tibatiba
dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya
menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti
sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat
baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi,
seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran
mutiara dan menghambur disekitar tempat perkelahian itu.
Dan diujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah
leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang
berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap
ditubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala
tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk
tengkorak kecil. Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya.
Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai
nafsu yang sama-sama berkobar didalam dada masingmasing.
Disekitar merekapun pertempuran menjadi semakin seru.
Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak buahnya
hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup disegala
titik pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi
berbesar hati, sebab setiap kali dilihatnya pemimpin mereka
yang perkasa itu ada disampingnya.
Ditengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari
induk pasukannya itupun bertempur dengan sengitnya. Anakanak
muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadijadinya.
Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan
hari depan kampung halamannya sedang terancam. Apabila
mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk
seterusnya mereka akan kehilangan masa depan mereka.
Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini,
akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang
panjang karena lumbung-lumbung mereka akan habis
dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibuibu
mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan
menjadi korban pula karenanya. Meskipun demikian, lawanlawan
mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah
sebabnya maka kadang-kadang mereka menjumpai
perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga.
Untunglah bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang
berpengalaman pula. Jagabaya Sangkal Putung, yang
meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas
prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh
dengan tanggung jawab ada pula diantara mereka. Meskipun
batapa berat hati Demang itu melihat darah yang harus
tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu
saat pedang ditangannya harus diayunkan, apabila kebenaran
dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula diantara
mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat
memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit.
Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti
menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan
keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat
juga Widura berloncatan kian kemari hampir diseluruh daerah
pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena
itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga
kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk
segera menghancurkan lawannya. Sidantipun kemudian
memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan
Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya
harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang
Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak
henti-hentinya oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa
kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun
tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti
merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat
dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan
angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning
yang berbentuk tengkorak itu.
"Setan" Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habishabisnya
didalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu benarbenar
melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat
bergerak demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya Tohpati dapat berubah menjadi asap -.
Meskipun demikian, betapapun garangnya Macan
Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk
mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu
adalah anak yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya
segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap melawan
Macan Kepatihan itu betapapun berbahayanya.
Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya
maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja putih
berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk
yang berputar-putar ditelinganya. Karena itu, maka kemudian
Sidanti terpaksa beberapa kali melangkah surut, semakin
lama semakin dalam dibelakang garis semula.
Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak
mencemaskannya. Sebab disamping anak muda itu bertempur
Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya
untuk setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan
Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih
tetap berputar-putar disepanjang garis pertempuran. Karena
itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada
dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya.Hudayapun
kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi
kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu
segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan
menyerahkannya kepada beberapa orang lain.
*** Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya
ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah
tombak pendek ia menyerang sambil berteriak "Sidah aku
katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main"
Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram.
Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan
geramnya ia memjawab "Ayo majulah, kenapa Widura tidak
kau bawa serta" Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia
tertawa. Namun didalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas
usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia
berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah
didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika
sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya
berkata didalam hatinya "Pantaslah orang ini disebut Macan
Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan
segenap urat darah" Walaupun demikian, Hudaya adalah
seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya,
namun ia harus berjuang. Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian
itu,Citra Gati tersenyum.
"Hem, desisnya alangkah
sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada
diantara kita." Tetapi Citra
Gatipun tidak sampai hati
membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera menyelinap diantara
anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya "Kita yakin atas kemenangan kita,
majulah." Kemudian Citra Gati itupun berdiri didalam lingkaran
pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan di selasela
Hong Lui Bun 7 Shugyosa Samurai Pengembara 5 Si Penakluk Dewa Iblis 2

Cari Blog Ini