Api Di Bukit Menoreh 33

Api Di Bukit Menoreh 33

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 33


demikian tidak sewajarnya bahwa Ki Tambak Wedi menjadi
curiga. Bukankah dengan demikian dapat timbul dugaan,
bahwa kedua anak muda itu merupakan penghubung antara
Angger Wuranta dan Untara tanpa mencurigakan" Tetapi aku
tidak banyak mengetahui, Ngger. Aku adalah orang kecil.
Tugasku sekarang membawa Angger menghadap Angger
Sidanti. Marilah." Wuranta memandang wajah orang tua itu dengan pandangan
mata yang berapi-api. Kini jelas baginya, bahwa nyawanya
telah berada di ujung nenggala Sidanti yang mengerikan itu.
Tetapi apakah ia akan dengan suka-rela dituntun oleh kakekkakek
tua itu menghadap pada Sidanti untuk menyerahkan
lehernya" Berbagai persoalan telah merangsang jantung Wuranta.
Sesaat ia berdiri saja seperti tonggak. Namun gemuruh di
dalam dadanya serasa gemuruhnya perut Gunung Merapi.
Yang juga menumbuhkan pertanyaan di dalam hatinya adalah
orang tua yang bernama Ki Tanu Metir. Kalau Ki Tambak
Wedi mendengar suara Agung Sedayu dan Swandaru di
dalam rumahnya, lalu apakah Ki Tambak Wedi tidak
mengetahui bahwa Ki Tanu Metir ada di dalamnya pula"
Wuranta itu tersadar ketika orang tua yang berdiri di mukanya
itu berkata, "Sudahkah Angger siap menghadap Angger
Sidanti?" Wuranta memandang wajah orang tua itu dengan tajamnya.
Sekilas ia melihat pedang di lambung kakek tua itu dan di
lambung laki-laki yang datang bersamanya, seolah-olah ia
ingin mengetahui, apakah kedua pedang itu akan mampu
mematahkan pedangnya. Tetapi kemudian disadarinya,
bahwa di luar rumah itu pun agaknya berkeliaran orang-orang
Sidanti. Karena itu, maka ia harus berhati-hati.
Meskipun demikian, apakah ia akan menurut saja dijerat
lehernya seperti seekor kambing yang akan disembelih.
"Aku adalah laki-laki," katanya di dalam hati, "aku sudah
menyanggupi melakukan pekerjaan seperti ini yang oleh Ki
Tanu Metir sudah disebut-sebut pula kemungkinankemungkinannya.
Karena itu aku tidak boleh menghindar.
Lebih baik bagiku mati di sini, dikeroyok orang-orang itu
daripada aku harus menjawab beribu macam pertanyaan yang
pasti akan diberikan oleh Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan
mungkin juga Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda."
Karena itu maka tiba-tiba Wuranta itu mundur selangkah
sambil meraba hulu pedangnya, katanya, "Kakek, siapakah
yang memerlukan, aku atau Sidanti. Kalau Sidanti yang
memerlukan aku, biarlah ia datang kemari. Kalau aku yang
memerlukannya, maka aku akan datang kepadanya."
Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ditatapnya
wajah Wuranta dengan tajamnya. Namun sesaat kemudian ia
tersenyum, "Jangan begitu, Ngger. Sebaiknya Angger datang
kepadanya, apapun yang akan terjadi. Kami hanyalah utusanutusan
yang tidak banyak mengerti persoalannya. Tetapi aku
menyesal bahwa aku telah mengatakan sebagian dari
persoalan yang aku ketahui."
"Tidak, Kakek. Aku tetap di sini."
"Ah," orang tua itu berdesah, "jangan memperberat pekerjaan
kami." Wuranta melihat cahaya mata orang tua itu. Tetapi ia sudah
membulatkan tekadnya. Hanya tiba-tiba saja terasa hatinya
berdesir tajam ketika teringat olehnya akan nasib Sekar Mirah.
Apakah yang akan terjadi dengan gadis itu" Apakah saat ini
Alap-alap Jalatunda telah memasuki pondok gadis itu"
Adalah bertepatan sekali, ketika Wuranta sedang
mencemaskan Sekar Mirah, maka Alap-alap Jalatunda benarbenar
sedang merayap-rayap mendekati pondoknya. Sehabis
mendengarkan beberapa penjelasan dari Ki Tambak Wedi
tentang Jati Anom yang baru saja dilihat oleh orang tua itu,
maka dengan tergesa-gesa Alap-alap Jalatunda berusaha
untuk memenuhi pesannya lewat Wuranta meskipun ia tahu
bahwa Wuranta pasti akan dipanggil oleh Sidanti. Tetapi ia
mengharap Wuranta tidak mengatakan tentang dirinya. Ia
mengharap Wuranta memerlukannya untuk mengurangi
kesalahannya atau mungkin menolongnya. Seandainya
Wuranta akan mengatakan juga tentang dirinya, maka ia akan
dengan mudahnya menjawab, bahwa semuanya itu hanyalah
fitnah saja. Wuranta itu dapat dituduh sedang mencari kawan
menjelang tiang gantungan. Apabila kemudian Sidanti
bertanya kepada Sekar Mirah, maka gadis yang telah bersedia
menunggunya itu pasti tidak akan mengatakan apa yang telah
terjadi. Namun pertimbangan-pertimbangan Alap-alap Jalatunda
ternyata sudah tidak jernih lagi, karena keinginannya yang
meluap-luap untuk segera mendapatkan Sekar Mirah.
Otaknya seakan-akan sudah tidak dapat lagi dipakainya untuk
membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Itulah
sebabnya, maka ia tidak dapat memperhitungkan, bahwa
Sidanti akan segera saat itu juga memanggil Wuranta. Pada
sangkanya, maka hal itu akan dilakukannya nanti atau besok
atau kapan saja, bahkan mungkin setelah Jati Anom jatuh.
Sebab menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Jati Anom pasti
tidak akan mampu bertahan terhadap sergapan yang akan
dilakukan dengan tiba-tiba. Sayang, bahwa Alap-alap
Jalatunda tergesa-gesa meninggakan pertemuan setelah
penjelasan Ki Tambak Wedi selesai. Hanya Sanakeling-lah
yang kemudian ikut memutuskan, bahwa malam itu juga
pasukan Jipang dan Tambak Wedi akan turun ke Jati Anom.
Keputusan itu kemudian dibicarakan lagi dalam pertemuan
yang lebih lengkap. Tetapi mereka tidak menemukan Alapalap
Jalatunda di dalam pertemuan itu. Seorang yang
bertugas di regol banjar pertemuan itu berkata, bahwa ia
bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang sedang pergi
nganglang. Tetapi karena Sanakeling bersedia mempertanggungjawabkan
keputusan itu bersama beberapa orang pemimpin laskarnya
yang lain, maka keputusan itu jatuhlah atas semua kekuatan
di Tambak Wedi. "Aku akan mencari Alap-alap Jalatunda," berkata Sanakeling,
"Kalau aku tidak menemuinya karena ia pergi nganglang ke
luar padepokan, maka biarlah aku memanggilnya dengan
tanda." "Baik," sahut Sidanti, "sementara ini aku memanggil Wuranta.
Anak gila itu lebih baik diselesaikan sekarang daripada
menjadi duri di dalam padepokan ini."
Tetapi baik Sidanti maupun Sanakeling tidak menyangka
sama sekali, bahwa Alap-alap Jalatunda itu sedang dituntun
oleh nafsunya menuju ke gubug Sekar Mirah.
"Persetan dengan sesorah demit tua itu," Alap-alap Jalatunda
menggerutu di dalam hatinya, "aku sudah terlanjur mengikat
janji. Aku harus datang. Kalau ada sesuatu yang penting,
biarlah Kakang Sanakeling mendengarnya. Ia pasti akan
menyampaikan kepadaku nanti. Tetapi malam ini aku harus
bertemu dengan gadis itu supaya kelak semua pesan-pesanku
tidak dianggapnya sebagai pesan yang kosong, bahkan
berbohong. Kalau mereka memerlukan aku segera maka
Kakang Sanakeling pasti akan membunyikan tanda."
Demikianlah, maka dengan hati-hati Alap-alap Jalatunda
melangkah semakin dekat dengan pondok gadis yang sedang
menunggunya itu. Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Di
kejauhan masih saja terdengar burung hantu mengeluh
berkepanjangan. Embun yang sejuk setetes-setetes jatuh di
antara rerumputan yang hijau kekuning-kuningan.
Desah kaki Alap-alap Jalatunda hampir tidak terdengar.
Perlahan-lahan sekali ia mendekat pondok Sekar Mirah. Ia
tidak berani mengambil jalan dari depan, sebab ia tahu benar,
bahwa Sidanti meletakkan beberapa orang pengawas di
sekitar pondok itu. Meskipun Alap-alap Jalatunda tahu juga,
bahwa pengawasan itu tidak begitu ketat. Karena Sidanti
menganggap bahwa Sekar Mirah tidak akan mungkin dapat
lari meninggalkan padepokannya.
Tetapi kali ini Alap-alap Jalatunda cukup berhati-hati.
Keinginannya untuk bertemu dengan Sekar Mirah telah
mendorongnya untuk berbuat apa saja, asal maksudnya itu
tercapai. Dengan sangat hati-hati anak muda itu merayap-rayap dari
satu halaman ke halaman berikutnya. Dengan hati-hati anak
muda itu meloncati dinding batu yang satu kemudian dinding
batu berikutnya. Ia harus mendekati pondok itu dari belakang,
supaya tak seorangpun yang melihatnya.
Pengenalannya tentang padepokan itu sudah cukup baik,
sehingga dengan tidak banyak kesulitan, maka Alap-alap
Jalatunda itu pun menjadi semakin dekat.
Ketika ia tinggal terpisah oleh selapis dinding batu, maka Alapalap
itu berhenti sejenak. Dicobanya mengatur detak jantung,
serta pernafasannya. "Tengah malam," desisnya, "mudah-mudahan aku tidak
dianggapnya berbohong."
Namun demikian, dadanya kini menjadi berdebar-debar.
Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Bagaimanapun juga
ia harus memperhitungkan, apakah yang akan dilakukannya,
apabila seseorang melihatnya masuk ke dalam pondok itu.
"Hem," Alap-alap itu menggeram, "tak akan ada seorang pun
yang melihat. Kalau aku berhasil masuk, maka aku akan
mendapat sambutan yang tak akan dapat aku lupakan seumur
hidupku. Sambutan itu pasti akan sangat berbeda dengan
sambutan yang pernah aku terima dari perempuan yang
manapun. Nyai Sari, Nyai Lames, dan bahkan Nyai Pinan,
yang menyebabkan aku hampir saja menjadi lumat karena
kemarahan Tohpati." Alap-alap Jalatunda itu menyadari, bahwa Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang jauh berbeda dengan perempuanperempuan
yang pernah dikenalnya. Perempuan-perempuan
yang tidak lagi membedakan, apakah yang datang itu Alapalap
Jalatunda, apakah laki-laki yang manapun juga. Tetapi
Sekar Mirah itu telah menunggunya. Alap-alap Jalatunda.
Bukan laki-laki yang lain. Bukan pula Sidanti atau Wuranta
sendiri. Angan-angan itu telah mendorong Alap-alap Jalatunda ke
dalam suatu tindakan yang lebih berani. Kini pagar yang
tinggal selembar itu telah diloncatinya. Dan kini ia telah berada
di halaman belakang pondok yang dipakai untuk menyimpan
Sekar Mirah oleh Sidanti. Sebuah pondok kecil yang didiami
oleh Sekar Mirah seorang diri. Hanya kadang-kadang saja,
setiap hari satu dua kali, seorang perempuan tua yang
memasak untuknya, datang mengantarkan makanannya dan
meminjaminya satu dua lembar pakaian.
Di halaman belakang itu Alap-alap Jalatunda bersembunyi.
Sejenak ia berdiam diri melihat keadaan di sekitarnya.
Dipasangnya telinga dan matanya sebaik-baiknya. Ia tidak
ingin gagal untuk mendapatkan Sekar Mirah malam itu juga.
Ketika tidak seorang pun yang dilihatnya, dan tidak
didengarnya gemerisik apapun, perlahan-lahan ia merayap
mendekati pondok itu. Ia berlindung dari satu gerumbul ke
gerumbul yang lain. Sangat berhati-hati, seperti seseorang
yang sedang mengintai lawannya yang sangat disegani.
Akhirnya Alap-alap Jalatunda itu sampai juga beberapa
langkah dari dinding pondok Sekar Mirah. Sekali lagi ia
menjadi ragu-ragu. Di dalam pondok itu terasa sangat
sepinya. Tetapi Alap-alap Jalatunda melihat sinar pelita yang
berkeredipan, berloncatan dari lubang-lubang dinding bambu
rumah itu. Terasa suatu pergolakan yang dahsyat di dalam dada anak
muda itu. Kadang-kadang tumbuh juga keinginannya untuk
membatalkan saja niatnya dan menunggu sampai kesempatan
lain yang lebih baik. Tetapi ketika teringat olehnya, bahwa
pasukan Untara sudah berada di hadapan hidungnya, maka
nafsunya menjadi berkembang kembali.
"Mungkin besok atau lusa aku harus sudah meninggalkan
padepokan ini. Mungkin Ki Tambak Wedi akan mengambil
keputusan untuk menduduki Jati Anom. Kalau aku harus
berangkat besok malam, maka aku tidak akan pernah
mendapat kesempatan sama sekali."
Dengan demikian, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi
semakin bernafsu. Kini ia maju beberapa langkah lagi. Dengan
sangat hati-hati ia melekatkan tubuhnya pada dinding rumah
itu. Beberapa kali ia bergeser, sehingga suatu ketika ia
berhenti sambil menarik nafas dalam-dalam. "Di sini gadis itu
tidur," desisnya. Telinganya yang tajam ternyata berhasil
mendengar desah nafas Sekar Mirah di dalam pondok itu.
Perlahan-lahan, sangat perlahan-lahan ia mengetuk dinding.
Dan sangat perlahan-lahan pula ia menyebut nama Sekar
Mirah. Ternyata ia berhasil membangunkan gadis itu. Ia mendengar
pembaringan Sekar Mirah berderit.
"Mirah," desis Alap-alap Jalatunda.
"Siapa?" bertanya Sekar Mirah. Suaranya hampir tidak
terdengar. Dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda
menjadi sangat gembira. Sekar Mirah benar-benar akan
menyambutnya seperti yang diharapkannya.
"Aku, Mirah." "Alap-alap Jalatunda?"
Alangkah gembiranya hati anak muda itu. Tanpa sesadarnya
terloncat pertanyaannya, "Darimana kau tahu, bahwa aku
yang datang?" "Sidanti tidak akan datang lewat belakang rumah. Apalagi
kawanmu telah menyampaikan pesan itu kepadaku siang
tadi." Alap-alap Jalatunda hampir-hampir menjadi pingsan karena
gembira mendengar jawaban itu. Ternyata Wuranta benarbenar
telah menepati kesanggupannya, dan Sekar Mirah
benar-benar telah menunggunya. Karena itu maka ia berdesis
di dalam hatinya, "Terima kasih Wuranta. Kau telah berjasa
kepadaku. Tetapi maaf, bahwa aku tidak sempat
menolongmu. Mudah-mudahan kau besok atau lusa segera
naik ke tiang gantungan, atau mudah-mudahan aku mendapat
tugas untuk memenggal lehermu. Aku sekarang sama sekali
tidak memerlukanmu lagi."
Ketika angin malam berdesah di dedaunan membawa udara
yang sejuk dingin, maka terdengar Alap-alap Jalatunda
berbisik di balik dinding, "Sekar Mirah, apakah benar kau telah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menungguku seperti yang dikatakan oleh Wuranta?"
Sekar Mirah terdiam sejenak. Wajahnya menjadi kemerahmerahan.
Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda mendengar
suara Sekar Mirah sendat, "Ya, ya, aku menunggumu."
Alap-alap Jalatunda menarik nafas dalam-dalam. Kini ia
benar-benar telah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh
Sekar Mirah. Maka ia tidak akan menjumpai kesulitan lagi
masuk ke dalam gubug itu, dan kemudian meninggalkannya.
"O, alangkah bodohnya Sidanti," desahnya di dalam hati, "ia
tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang sama sekali tidak
seperti yang diharapkannya. Anak itu yang bersusah payah
mengambilnya ke Sangkal Putung, maka aku lah yang akan
mendapatkannya. Agaknya aku tidak hanya mendapat
kesempatan satu kali dua kali datang ke rumah ini, asal aku
tidak terbunuh saja besok atau lusa di medan Jati Anom.
Seandainya terbunuh sekalipun, maka aku sudah tidak akan
menyesal lagi." Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian bergeser beberapa
langkah maju sambil berbisik, "Sekar Mirah, aku akan masuk."
"Masuklah, pintu tidak terkancing. Aku tidak memasang slarak
di dalam." "Aku tidak dapat masuk lewat pintu, Mirah. Aku tidak ingin
kedatanganku dilihat oleh para pengawas."
"Kau akan masuk dari mana?"
"Maaf Mirah. Aku akan membuka dinding bambu yang ringkih
di sudut rumah ini. Tolong, singkirkanlah pelita, sehingga
sinarnya tidak jatuh ke sudut di sebelah kanan ini."
"Oh. Apakah kau tidak akan mendapat kesulitan?"
"Tidak Mirah. Pekerjaan itu terlampau mudah aku kerjakan."
"Baiklah. Aku akan memindahkan pelita itu ke sisi sebelah
kiri." Sesaat kemudian terdengarlah gemerisik kaki Sekar Mirah
pada lantai pondoknya, Perlahan-lahan gadis itu berjalan
memindahkan pelita minyak tanah ke sisi yang lain.
Alap-alap Jalatunda hampir-hampir tidak dapat bersabar lagi
menunggunya. Begitu sinar pelita bergerak, maka anak muda
itu segera menarik pedangnya, dan memutuskan beberapa
utas tali pengikat dinding pada tiang di sudut rumah. Dinding
itu memang tidak begitu kuat, sehingga dalam waktu yang
pendek, Alap-alap Jalatunda telah berhasil masuk ke
dalamnya. Ketika Sekar Mirah melihat anak muda itu telah berada di
dalam pondoknya, maka tiba-tiba tubuhnya menggigil
karenanya. Tiba-tiba ia menyesal bahwa ia telah membuat
suatu permainan yang berbahaya. Tetapi meskipun demikian,
ia masih tetap menyadari apa yang sedang dihadapinya.
Karena itu, maka sesaat Sekar Mirah itu berdiri saja
mematung. Ditatapnya Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap tenang, dan
sadar mempergunakan nalarnya.
Alap-alap Jalatunda yang telah berada di dalam rumah itu pun
sejenak berdiri tegak seperti tiang-tiang bambu yang berjajar
di dalam rumah itu. Sejenak ia kehilangan akal. Dan sejenak
ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Ternyata Sekar Mirah itu sama sekali tidak seperti yang
dibayangkannya. Tidak seperti Nyai Sari, Nyai Lames, dan
lebih-lebih Nyai Pinan. Seandainya yang berdiri di
hadapannya itu Nyai Pinan, maka perempuan itu pasti akan
segera lari menubruknya, menyeretnya duduk di atas
ambennya. Tetapi Sekar Mirah tidak berbuat demikian. Tidak
menyambutnya seperti yang dibayangkannya. Justru karena
itu maka ia menjadi bingung.
Alap-alap Jalatunda mengharap Sekar Mirah itu berlari dan
kemudian memeluknya, sambil membisikkan kata-kata-yang
mesra. Tetapi yang dijumpainya adalah Sekar Mirah itu berdiri
beberapa langkah daripadanya sambil memandanginya
seperti memandangi hantu.
Namun Alap-alap Jalatunda itu pun segera menyadari
keadaannya. Waktunya tidak terlampau banyak. Ia harus
segera menemui Sanakeling dan mungkin Ki Tambak Wedi
masih akan mengadakan beberapa pembicaraan lagi. Karena
itu, maka ia harus segera meninggalkan tempat itu.
Karena Sekar Mirah masih saja berdiri mematung, maka
dengan sepenuh keberaniannya, Alap-alap Jalatunda berkata,
"Bukankah kau menungguku Sekar Mirah?"
Sekar Mirah tergagap mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia
menjawab, "Ya, aku menunggumu."
"Waktuku tidak banyak Sekar Mirah. Aku harus segera
kembali ke tempat pertemuan."
Sekar Mirah menjadi merah padam mendengar kata-kata itu.
Tetapi ia tidak mengetahui maksud sebenarnya dari Alap-alap
Jalatunda. Karena itu maka ia menjawab, "Aku hanya ingin
tahu maksudmu." "He," kata-kata itu benar-benar mengejutkan Alap-alap
Jalatunda. Bagaimana mungkin Sekar Mirah itu masih
bertanya apakah maksudnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu
terdesak oleh kesempatan yang sangat sempit. Maka sifatsifatnya
segera nampak pada sikapnya. Dengan kasar ia
berkata, "Mirah. Aku menginginimu. Bukankah Wuranta telah
mengatakan?" Sekali lagi wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi kini ia
hampir berhasil menguasai dirinya. Dengan agak tenang ia
menjawab, "Ya, Wuranta telah mengatakannya. Karena itu,
aku ingin membicarakannya dengan kau langsung."
Sesaat Alap-alap Jalatunda berdiri termangu-mangu. Ia sama
sekali tidak mengerti maksud Sekar Mirah. Apakah yang
masih harus dibicarakan"
Dalam keragu-raguan itu ia melihat Sekar Mirah membetulkan
letak sanggulnya yang kurang rapi karena ia baru saja
terbangun dari tidur. Namun dalam keadaannya itu, Alap-alap
Jalatunda melihat wajah Sekar Mirah menjadi bertambah
cantik. Matanya yang redup dan beberapa helai rambutnya
yang jatuh terkulai di sisi telinganya, membuat wajah itu
seolah-olah menjadi semakin berseri.
Dengan penuh keragu-raguan, Alap-alap Jalatunda itu
kemudian bertanya, "Sekar Mirah, apakah masih ada yang
harus dibicarakan lagi?"
Sekar Mirah pun menjadi tidak mengerti pula jalan pikiran
Alap-alap Jalatunda. Bukankah menurut pesannya dan seperti
yang dikatakannya sendiri, Alap-alap Jalatunda itu
menginginkannya. Karena itu, maka jawabnya, "Alap-alap Jalatunda. Bukankah
kau telah menyampaikan pesan lewat Wuranta dan kemudian
telah kau ulangi sendiri pula" Bukankah dengan demikian di
antara kita lalu timbul persoalan" Alap-alap Jalatunda, apabila
benar demikian maka kita harus membicarakan, apakah yang
akan kita lakukan?" Alap-alap Jalatunda menggeleng-gelengkan kepalanya yang
mulai terasa pening. Tidak saja karena tuak yang diminumnya
ketika ia berada di dalam banjar para pemimpin padepokan
tetapi juga karena kata-kata Sekar Mirah itu.
Dalam pada itu Sekar Mirah berkata pula, "Alap-alap
Jalatunda. Kita harus tahu benar bahwa apa yang ingin kita
lakukan bersama itu berhasil tanpa diketahui oleh Sidanti."
"Tak seorang pun yang tahu. Aku yakin, bahwa tak seorang
pun yang melihat aku masuk kemari."
"Mungkin Alap-alap Jalatunda, tetapi persoalan kita tidak
hanya sekedar persoalan hari ini. Persoalan kita adalah
persoalan yang cukup panjang."
"Sekar Mirah," sahut Alap-alap Jalatunda, "aku tidak
berkeberatan kalau persoalan kita menjadi persoalan yang
panjang, tidak hanya berhenti saat ini. Tetapi itu tidak perlu
dibicarakan. Aku akan selalu kembali apabila ada
kesempatan. Mungkin besok atau lusa aku harus turun ke Jati
Anom karena pasukan Untara kini telah berada di depan
hidung kita. Apabila aku kemudian kembali ke padepokan ini,
aku akan selalu datang kepadamu pula."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Berita kedatangan
pasukan Untara mendekati padepokan itu telah membuatnya
agak berpengharapan. Tetapi kemudian ia menjadi cemas.
Apabila Sidanti menjadi mata gelap, bukankah kedatangan
Untara mendekati padepokan itu hanya mempercepat
kehancurannya. Tetapi kini yang berdiri di hadapannya bukanlah Sidanti, tetapi
Alap-alap Jalatunda. Dan jawaban Alap-alap Jalatunda tidak
dapat dimengertinya. Buku 23 MAKA katanya kemudian, "Alap-alap Jalatunda, aku tidak
dapat mengerti maksud kata-katamu. Bukankah dengan
demikian persoalan kita akan menjadi berkepanjangan" Kau
harus berbuat sesuatu supaya kita untuk seterusnya tidak
terganggu lagi. Baik oleh Sidanti maupun oleh orang-orang
lain." "Sekar Mirah," jawab Alap-alap Jalatunda, "kalau aku dapat
datang kemari tanpa diketahui oleh seorang pun, maka pasti
tak akan ada yang mengganggu kita, seperti saat ini pula. Tak
akan ada seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun
yang akan kita lakukan."
"Tetapi lambat laun pasti akan ada yang mengetahuinya pula.
Apabila kau sering datang kemari. Karena itu, apakah kita
tidak lebih baik menempuh suatu cara yang lain, yang tidak
akan mendapat gangguan apa pun lagi?"
"Apalagi yang harus kita lakukan" Cara yang mana lagi yang
harus kita pilih" Kalau tidak ada orang yang mengganggu kita,
maka kita tidak usah memikirkan cara yang mana pun juga."
Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat lagi menahan diri ia ingin
Alap-alap Jalatunda mengerti maksudnya. Namun agaknya
pembicaraan itu menjadi bersimpang-siur. Karena itu maka
Sekar Mirah berkata berterus terang. "Begini maksudku Alapalap
Jalatunda. Kita tidak akan dapat berhubungan hanya
sekedar bertemu selama kau mendatangi pondokku.
Berbicara dan menyusun harapan-harapan saja. Marilah kita
hadapi masa depan kita dengan bersungguh-sungguh. Kalau
kau benar mengingini aku, maka lakukanlah usaha yang
langsung dapat membuka jalan bagi persoalan itu. Bukankah
kau masih harus datang kepada kedua ayah-bundaku untuk
melamarku" Kemudian kita tentukan hari perkawinan kita.
Setelah itu, maka kita akan dapat mencari perlindungan
kepada orang-orang yang kita anggap mengerti persoalan
kita. Maka semua perbuatanmu, semua yang telah kau
lakukan pasti akan dilupakan orang. Akulah yang akan
menanggung semuanya. Sehingga persoalan kita sekarang
adalah, bagaimana kita berdua dapat menghadap ayah dan
ibuku di Sangkal Pulung untuk membicarakan keputusan kita
ini." Alap-alap Jalatunda mendengar kata-kata Sekar Mirah itu
seperti mendengar gemelegarnya Gunung Merapi yang akan
meledak. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, tetapi sesaat
kemudian menjadi kemerah-merahan. Sejenak ia terbungkam,
tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Diingatnya pula
pertanyaan Wuranta yang serupa, bagaimana ia akan
mengawini Sekar Mirah. Tetapi hal itu sama sekali tidak ada di
dalam benaknya. "Sekar Mirah," berkata Alap-alap Jalatunda kemudian dengan
suara yang bergetar. Kepalanya menjadi semakin pening.
Pening karena kata-kata Sekar Mirah itu dan pening karena
pengaruh tuak yang semakin mencengkam jantungnya.
"Kenapa kau mencari cara yang terlampau sulit itu" Aku tidak
akan mempedulikan apakah ayahmu sependapat atau tidak.
Marilah kita nikmati pertemuan kita ini. Dengan bersusah
payah aku berusaha memasuki pondokmu ini. Karena itu
jangan pikirkan orang yang tidak ada. Yang ada di dalam
ruangan ini adalah Sekar Mirah dan Alap-alap Jalatunda. Kita
adalah orang-orang yang kesepian, dan kini kita telah bertemu
tanpa seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang
akan kita lakukan." Tanah tempatnya berpijak serasa berguncang dengan
dahsyatnya ketika Sekar Mirah mendengar dan menangkap
maksud Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang berdiri
dihadapannya itu kini tampak seperti seekor serigala buas
yang siap untuk menerkamnya. Karena itu maka tubuh Sekar
Mirah menjadi semakin menggigil karenanya. Wajahnya
menjadi merah padam dan jantungnya menjadi semakin
berdebar-debar. Untunglah bahwa gadis itu tetap menyadari dirinya. Menyadari
bahwa pondoknya telah kemasukan seekor serigala yang
buas dan liar. Sedang dirinya sendiri tak ubahnya seperti
seekor anak kambing yang lemah.
"Aku harus mempergunakan otakku," berkata Sekar Mirah di
dalam batinya. Ia tidak mau menyerah dalam keputus-asaan.
Apa pun yang dapat dilakukan, akan dilakukannya untuk
menyelamatkan dirinya. Karena Sekar Mirah tidak segera menyahut, maka berkatalah
Alap-alap Jalatunda yang menjadi semakin buas, "Mirah. Apa
lagi yang kita tunggu?"
Alap-alap Jalatunda itu maju selangkah, dan dengan kaki
gemetar Sekar Mirah surut selangkah.
"Kemarilah Mirah," desis Alap-alap Jalatunda. Tengkuk Sekar
Mirah meremang mendengar panggilan itu.
Bahkan ia menjadi semakin jauh surut. Namun Alap-alap
Jalatunda itu menjadi semakin mendekat.
"He, kenapa kau menjauh?" bertanya Alap-alap Jalatunda
yang kepalanya menjadi semakin pening dan matanya
menjadi semakin merah dan liar. "Bukankah kau menunggu
kedatanganku" Kini aku telah datang" Aku telah datang
memenuhi janji." Sekar Mirah menjadi semakin ketakutan melihat wajah yang
liar itu. Ia menyesal bahwa ia telah bermain-main dengan
seekor serigala. Kini serigala itu telah siap untuk
menerkamnya. Ketika Alap-alap Jalatunda itu melangkah semakin maju,
maka Sekar Mirah itu pun menjadi semakin surut. Tetapi
akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mundur lagi ketika tubuhnya
telah melekat dinding biliknya.
Hati gadis itu telah hampir menjadi pepat. Tetapi Sekar Mirah
masih mencoba untuk bertahan dengan caranya.
"Mirah. Kenapa kau berdiri di situ?" bertanya "lap-alap
Jalatunda. "Apakah kau akan masuk ke dalam bilikmu?"
Pertanyaan itu benar-benar hampir merontokkan segenap
nalar dan perasaannya. Namun Sekar Mirah masih berusaha


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengumpulkan segenap
kekuatannyai gadis itu tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Alapalap
Jalatunda. Kau memang terlampau tergesa-gesa.
Kenapa" Apakah kau sangka bahwa hari hampir kiamat?"
Alap-alap Jalatunda terdiam. Dipandangnya wajah Sekar
Mirah yang sedang tersenyum itu. Terpancarlah keheranan
pada sorot matanya yang liar.
Dan terdengarlah suara Sekar Mirah, "Duduklah. Bukankah
kita dapat bercakap-cakap dengan baik?"
"Waktuku tidak banyak Mirah. Aku harus segera kembali ke
banjar para pemimpin padepokan ini. Aku adalah seorang
panglima sebuah pasukan yang besar. Pasukan Jipang.
Sehingga karena itu tanggung jawabku pun besar pula. Nah,
jangan terlampau banyak tingkah. Kau harus membantu aku,
supaya aku tidak terlambat apabila ada pembicaraanpembicaraan
yang penting di banjar nanti."
Dada Sekar Mirah menjadi semakin terguncang-guncang
mendengar jawaban-jawaban Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia
masih mencoba terus. Sekar Mirah yakin, bahwa ia tidak akan
dapat membebaskan dirinya apabila Alap-alap Jalatunda
memilih jalan kekerasan. Meskipun besok ia dapat
mengatakan kepada Sidanti atau kepada orang lain, dan Alapalap
itu digantungnya, tetapi apa yang hilang daripadanya tak
akan diketemukan lagi sepanjang hidupnya. Karena itu ia tidak
boleh kehilangan akal. Sehingga Sekar Mirah itu masih saja
tersenyum untuk melunakkan hati Alap-alap Jalatunda,
supaya serigala itu tidak segera menerkamnya.
Tetapi senyum Sekar Mirah itu telah membuat Alap-alap
Jalatunda menjadi semakin gila. Pengaruh tuak di kepalanya,
serta nafsunya yang hampir tak terkendali telah membuat ia
menjadi mata gelap. "Alap-alap Jalatunda," berkata Sekar Mirah, "jangan terlampau
kasar, supaya Sidanti tidak mengetahui apa yang terjadi di
pondok ini. Setidak-tidaknya pengawas-pengawasnya yang
sering berkeliaran di sini. Kita harus berhati-hati dan kita harus
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan."
"Persetan dengan Sidanti,"sahut Alap-alap Jalatunda. Anak
muda itu sudah tidak dapat lagi mempertimbangkan apa pun
juga. Yang tampak di matanya kini adalah Sekar Mirah itu
saja. "Kita tidak dapat menempuh jalan seperti yang kau
kehendaki," sambung Sekar Mirah. "Dengan demikian kita
tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan selalu
dikejar-kejar oleh waktu seperti sekarang ini. Tetapi apabila
kita kelak menjadi suami isteri, maka hidup kita akan tenteram.
Kau dapat hidup dengan tenang. Dan aku dapat melayanimu
dengan tenteram pula."
"Persetan semuanya itu."
Dada Sekar Mirah berdesir. Namun Ia masih berkata lebih
lanjut, "Kau hanya terburu oleh nafsu-nafsu sesat. Tetapi kau
tidak membayangkan suatu masa yang panjang. Alap-alap
Jalatunda. Ingatlah masa depanmu. Marilah kita pergi ke
orang tuaku. Kau akan mendapat tempat yang baik di
Kademangan Sangkal Putung."
Alap-alap Jalatunda itu terdiam sejenak. Dipandanginya wajah
Sekar Mrah dengan mata yang membara. Tampaklah
mulutnya berkomat-kamit. Sekar Mirah menunggu jawabannya
dengan penuh harap. Tetapi gadis itu hampir menjadi pingsan
ketika ia mendengar Alap-alap itu berkata, "Kau akan
membujukku, memperalat aku, dan kemudian menjebakku
he" Aku bukan seorang yang gila Mirah."
Sekar Mirah itu pun kemudian berdiri saja seperti patung.
Mulutnya serasa tersumbat dan darahnya serasa berhenti
mengalir. Ditatapnya saja wajah Alap-alap Jalatunda seperti
menatap wajah hantu yang akan menghisap darahnya. Dan
sebenarnyalah Alap-alap Jalatunda itu akan menghisap
mahkota hidupnya. Lebih baik ia mati dihisap darahnya oleh
iblis pemakan darah daripada maksud Alap-alap Jalatunda
yang kini berdiri di hadapannya.
Dan Alap-alap Jalatunda itu agaknya benar-benar telah
menjadi mata gelap. Selangkah ia maju sambil menggeram,
"Sekar Mirah. Kau sangka aku tidak tahu maksudmu itu" Kau
pura-pura mengajakku menghadap kepada ayah bundamu.
Tetapi belum lagi aku sampai ke Sangkal Pulung, maka
leherku pasti akan sudah dijerat. Kau pasti akan memberi
kesempatan kepada ayahmu atau kepada siapa saja. mungkin
kakakmu yang gemuk itu, untuk bersama-sama
mengeroyokku seperti rampogan matian di alun-alun."
Dada Sekar MSrah serasa akan pecah karenanya. Ia. kini
melihat Alap-alap Jalatunda melangkah semakin dekat dan
mulutnya masih saja bergumam, "Bagiku Mirah, tak ada jalan
lain daripada mendapatkan kau sekarang. Tak pernah ada
perempuan yang menolak kedatanganku atau setidaktidaknya
menunda keinginanku. Nyai Lasem, Nyai Pinan,
semuanya, dan kini kau. Kau tidak akan dapat menghindar
lagi. Perempuan-perempuan justru mengejarku dan
memegangi ujung bajuku apabila aku akan pergi. Kau pun
harus berbuat demikian."
Wajah Sekar Mirah kini telah menjadi pucat seperti mayat.
Tetapi ia masih juga menyadari bahwa ia tidak seharusnya
menyerah dalam keputus-asaan. Dengan memeras
keberaniannya ia berkata gemetar, "Alap-alap Jalatunda.
Urungkan niatmu." "Tak ada yang dapat menahan Alap-alap Jalatunda."
"Aku akan dapat berteriak memanggil para pengawal. Aku
tahu bahwa di halaman di depan rumah ini tinggal para
pengawas yang bertugas mengawasi aku."
"Kalau kau mencoba berteriak, aku cekik kau sampai pingsan.
Dan kau tidak akan banyak tingkah lagi."
"Sidanti akan mengetahui apa yang terjadi kalau kau tidak
mengurungkan niatmu. Dan kau akan digantung besok."
"Persetan Sidanti!" Alap-alap Jalatunda yang sudah bermata
gelap dan menjadi kian pening karena pengaruh tuak di
kepalanya itu sama sekali sudah tidak dapat berpikir bening.
Apalagi ketika sekali lagi ditatapnya wajah Sekar Mirah yang
pucat itu tampaknya menjadi kian kuning semburat kemerahmerahan
karena cahaya pelita yang menggapai-gapai oleh
sentuhan angin. Katanya selanjutnya, "Sidanti tidak akan
berani berbuat apa pun atasku. Kini pasukan Untara sudah
berada di depan hidung kita.Ia memerlukan anak-buahku.
Apakah kira-kira yang akan dilakukan atasku meskipun ia
melihat apa yang terjadi sekarang ini" Tidak. Ia tidak akan
berani berbuat sesuatu. Ia akan menyesal sepanjang
hidupnya, bahwa ia berbuat sebagai seorang banci. Dan aku
tidak akan melupakan kemenanganku saat ini. Sekar Mirah.
Jangan banyak solah. Kau tidak akan dapat melawan aku dan
berteriak memanggil para pengawas. Apalagi menipu aku
untuk melarikan kau dari tempat jahanam ini dan kemudian
menjerat leherku sendiri."
Sekar Mirah kini merasa bahwa ia telah berdiri diujung bara
api yang menyala. Sebentar lagi ia akan hangus terbakar.
Tetapi ia tidak akan dapat menyerahkan diri tanpa berbuat
sesuatu. Karena itu tiba-tiba Sekar Mirah pun bergeser
setapak. Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi seolah-olah gila.
Mulutnya kemudian bergerak-gerak dan terdengarlah ia
tertawa perlahan-lahan seperti iblis yang tertawa melihat
sesosok mayat terkapar di hadapannya.
"Akan lari kemana kau Sekar Mirah?"
Sekar Mirah masih mempunyai secercah harapan, meskipun
sangat tipisnya. Ia akan dapat berteriak dan para pengawas
pun pasti akan datang menengoknya.
Tiba-tiba saja di kejauhan terdengar kentongan berbunyi.
Empat pukulan sebelum nada dara muluk diulang dua kali.
Alap-alap Jalatunda yang hampir gila itu masih mendengar
tanda itu. Itu adalah tanda bahwa para pemimpin padepokan
harus segera berkumpul termasuk para pemimpin laskar
Jipang yang berada di padepokan itu.
"Setan!" geramnya. "Apa lagi yang akan diperbuat oleh iblis
tua itu." Sekar Mirah yang mendengar suara kentongan itu merasa
bahwa serigala itu akan mengurungkan niatnya. "Mudahmudahan
suara kentongan itu merupakan suatu pertanda
yang memaksa Alap-alap yang liar ini pergi meninggalkan
aku," desisnya di dalam hati. Dan dengan luka di hatinya ia
berdoa, "Semoga Tuhan menyelamatkan aku dari tangan anak
muda yang gila ini."
Tetapi kembali harapannya seakan-akan lenyap dihembus
oleh angin malam yang kencang ketika tiba-tiba Alap-alap
Jalatunda itu berkata, "Persetan dengan segala pertemuan.
Aku tidak perlu mengunjunginya. Biarlah semuanya
diselesaikan oleh Sanakeling. Aku akan menyelesaikan
urusanku sendiri." Kemudian ia menggeram seperti seekor
serigala lapar, "Mirah. Jangan menunda-nunda lagi. Kau
dengar waktuku tidak terlampau banyak."
Sekar Mirah itu kini hampir-hampir menjadi putus-asa. Satusatunya
kemungkinan yang dapat dilakukan adalah berteriak.
Kini ia benar-benar kehilangan rasa takutnya seandainya ia
akan dibunuh sekalipun. Sebab mati baginya akan lebih baik
dari apa yang dapat terjadi saat itu.
Karena itu, maka dengan segenap tenaga yang ada padanya,
maka gadis itu telah mencoba untuk berteriak.
Tetapi malang baginya. Ternyata Alap-alap Jalatunda adalah
seorang prajurit muda yang lincah. Dengan kecepatan yang
sukar dimengerti oleh Sekar Mirah, tiba-tiba saja tangan Alapalap
Jalatunda telah menyentuh mulutnya. Alangkah
terkejutnya gadis itu, sehingga suaranya tertahan karenanya.
Bahkan demikian terkejut cemas dan takut bercampur baur,
Sekar Mirah itu seakan-akan telah kehilangan segenap
tenaganya, sehingga ia tidak mendengar bahwa di kejauhan
suara kentongan masih juga mengumandang memenuhi
padepokan. Bukan saja Sekar Mirah yang tidak lagi mendengar suara
kentongan itu, tetapi Alap-alap Jalatunda pun kini sudah tidak
mendengar lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan
Sanakeling atau Sidanti lewat suara kentongan itu. Baginya
lebih penting menerkam mangsanya daripada datang
memenuhi panggilan itu. Sekar Mirah pun kemudian benar-benar menjadi putus asa.
Tak ada lagi cara yang dapat ditempuhnya untuk
membebaskan dirinya. Apabila ia akan berusaha berteriak,
maka secepat itu pula Alap-alap Jalatunda akan berhasil
membungkam mulutuya. Tiba-tiba terbersitlah di dalam dada Sekar Mirah itu suatu cara
yang masih dapat dilakukannya. Yaitu mati. Satu-satunya cara
untuk melepaskan diri dari tangan Alap-alap itu adalah mati.
Justru karena itu maka timbullah kembali keberanian di dalam
dada gadis itu. Keberanian di dalam keputus-asaan. Sehingga
dengan demikian tiba-tiba gadis cantik itu menggeram.
Alap-alap Jalatunda melihat sikap Sekar Mirah yang tiba-tiba
menjadi garang. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Apalagi
Sekar Mirah, sedang seorang laki-laki yang menggenggam
senjata di tangannya pun dapat dilumpuhkannya.
Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda itu melangkah maju.
Dibiarkannya Sekar Mirah menjadi bertambah garang. Bahkan
ketika ia telah menjadi semakin dekat, maka Sekar Mirah itu
mncoba menerkam wajahnya dengan kuku-kukunya.
Alap-alap Jalatunda tertawa sambil menarik kepalanya.
Tangan Sekar Mirah itu terayun tidak lebih setebal daun di
hadapan wajah Alap-alap Jalatunda yang justru menjadi
semakin liar. Dan dengan buasnya, Alap-alap Jalatunda itu
pun kemudian menangkap tangan Sekar Mirah dan memutar
gadis itu sehingga membelakanginya.
Sekar Mirah mengerahkan segenap kekuatannya untuk
melepaskan dirinya. Tetapi tangan Alap-alap Jalatunda benarbenar
telah menjepitnya seperti sebuah kancing besi. Ketika
Sekar Mirah sekali lagi akan berteriak, maka suaranya hilang
di dalam mulutnya, karena Alap-alap Jalatunda itu telah
membungkamnya dengan telapak tangannya.
Kemudian Sekar Mirah benar-benar tidak akan dapat berbuat
sesuatu lagi. Bahkan bunuh diri pun ia sudah tidak mampu.
Alap-alap Jalatunda yang buas itu benar-benar telah dapat
menguasainya dengan kekuatan yang berlipat-lipat dari
kekuatan Sekar Mirah. Namun Alap-alap Jalatunda itu tidak menyadari, bahwa
sepasang mata telah mengintipnya dari balik dinding di
belakang rumah itu dengan tajamnya, setajam ujung mata
keris berlipat tujuh. Dengan darah yang mendidih, orang yang mengintip ke dalam
pondok itu mengikuti saja apa yang telah terjadi. Dibiarkannya
kebuasan Alap-alap Jalatunda itu memuncak. Dengan
demikian maka orang itu akan kehilangan segenap
kewaspadaannya dan tidak akan melihatnya apabila ia
memasuki pondok itu lewat jalan yang tadi dilalui oleh Alapalap
Jalatunda itu sendiri. Kini ia melihat bahwa Sekar Mirah sudah tidak berdaya lagi.
Maka ia tidak akan dapat membiarkannya. Ia tidak ingin
terlambat dan menemukan Sekar Mirah telah kehilangan.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia merayap mendekati sudut
rumah yang dindingnya sudah terbuka. Tetapi orang itu
tertegun ketika telinganya mendengar sesuatu di muka
pondok itu. Baik orang yang mengintip di belakang dinding itu, maupun
Alap-alap Jalatunda dan bahkan Sekar Mirah terkejut bukan
kepalang ketika tiba-tiba saja pondok itu berderak dengan
kerasnya, sehingga seluruh rumah kecil itu bergetar. Sejenak
kemudian terdengar pintu itu terbuka dan sesosok tubuh yang
tegap berdiri tegak di muka pintu, seperti sebuah tonggak
yang kokoh kuat bertiang besi. Dari sepasang matanya
memancar sinar kemerahan yang seakan-akan membakar
wajah Alap-alap Jalatunda yang berdiri kaku tegang.
Dengan suara bergetar maka orang yaug berdiri di muka pintu
menggeram, "Kau Alap-alap kerdil."
Sejenak Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi sorot
matanya pun kemudian memancarkan api kemarahan.
"Apakah kau sudah menjadi gila?" sambung orang yang
berdiri di muka pintu. "Kenapa kau menggangguku, Sidanti?" sahut Alap-alap
Jalatunda tidak kalah garangnya.
Dada Sidanti hampir meledak mendengar kata-kata Alap-alap


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lapar itu. Tetapi ia menjawab, "Perbuatanmu adalah
perbuatan yang paling biadab yang pernah kau lakukan."
Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda melapaskan Sekar Mirah.
Demikian gadis itu terlepas dari tangannya, maka gadis itu
pun segera terjatuh di tanah. Meskipun Sekar Mirah tidak
pingsan, tetapi otot bayunya seakan-akan telah dilolosi.
Namun kedatangan Sidanti itu sedikit memberinya harapan.
Meskipun kalau ia kemudian lepas dari tangan Alap-alap itu,
maka suatu ketika Sidanti sendiri akan menerkamnya pula.
Tetapi ia masih mempunyai waktu.
Kini Sidanti dan Alap-alap Jalatunda telah berdiri berhadapan,
tetapi Alap-alap Jalatunda menyadari bahwa Sidanti tidak
seorang diri. Tetapi Sidanti agaknya telah membawa beberapa
orang laskarnya bersamanya.
"Sidanti, aku masih ingin memberimu peringatan. Tinggalkan
tempat ini. Jangan kau ganggu aku."
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Katanya, "Apakah aku
harus membiarkan kebiadabanmu itu tanpa berbuat sesuatu."
"Jangan terkejut, bahwa Sekar Mirah telah memilih aku dari
padamu." "Tutup mulutmu!" teriak Sidanti, "aku tidak percaya. Kau pasti
tidak usah mempergunakan kekerasan apabila demikian."
"Persetan dengan mulutmu! Seandainyai demikian, maka
apakah yang akan kau lakukan" Ayo, majulah bersama
semua orang-orangmu yang kau bawa sekarang. Aku tidak
akan gentar. Aku tidak akan lari. bahkan saat inilah yang aku
tunggu-tunggu. Kapan aku dapat membalas sakit hatiku, pada
saat aku mendengar apa yang telah kau lakukan atas Kakang
Plasa Ireng." Wajah Sidanti menjadi merah padam mendengar sindiran itu.
Terdengar giginya gemeretak, tetapi justru mulutnya serasa
terkunci untuk sesaat. Sehingga Alap-alap Jalatunda masih
berkata terus, "Kau menganggap perbuatanku ini sebagai
suatu kebiadaban. Lalu katakan, apa yang pernah kau perbuat
atas Kakang Plasa Ireng. Bukankah itu juga kebiadaban yang
lebih biadab dari tindakanku kali ini. Aku hanya dapat
dianggap melanggar pagar kesusilaan. Tetapi kau telah
melanggar pagar perikemanusiaan. Menurut aku, maka
kemanusiaan lebih berharga dari kesusilaan."
"Persetan!" jawab Sidanti berteriak keras sekali. "Pendirianmu
itu benar-benar pendirian seorang yang telah menjadi gila.
Kau sangka apa yang kau lakukan ini bukan suatu
pelanggaran kemanusiaan. Kau akan merenggut sesuatu
yang paling berharga dari Sekar Mirah. Gadis itu akan
menderita sepanjang hidupnya. Ia akan merasa tidak berharga
lagi. Dan bagi seorang gadis akan lebih baik mati bunuh diri
daripada hidup dalam keadaannya."
Terdengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak.
Kepalanya kini benar-benar telah dicengkam oleh pengaruh
tuak. Jawabnya, "O, Sidanti. Kau merasa tanganmu bersih
sebersih tangan bayi. Siapakah yang membawa domba itu ke
kandang serigala" Bukan salah serigala kalau ada
kesempatan menerkam anak domba yang manis ini."
Kembali terdengar gigi Sidanti gemeretak. Sejenak ia
terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Sepasang mata dibalik dinding di belakang rumah itu
mengikuti semua peristiwa itu dengan saksama. Dilihatnya
raksasa-raksasa padepokan ini berkumpul di pondok yang
kecil itu. Orang itu bergumam dalam hatinya, "Untung Sidanti itu tidak
terlambat. Aku pergi lama kemudian sesudah ia meninggalkan
pondoknya. Tetapi kenapa baru sekarang ia hadir di sini" Ah,
sebagai seorang pemimpin mungkin ia memerlukan singgah di
tempat-tempat tertentu."
Suasana rumah itu untuk sesaat dicengkam oleh kesepian
yang mengerikan. Wajah-wajah yang berada dipondok itu
menjadi semakin lama semakin tegang.
Apalagi ketika seorang yang tegap bersenjata sebatang
tombak pendek melangkah masuk sambil berkata, "Apa yang
kau tunggu Sidanti. Sebaiknya kau binasakan monyet itu."
"Ha, kau akan ikut serta pendatang dari Menoreh. Meskipun
kau bernama Argajaya, tetapi kau sama sekali tidak dapat
menakut-nakuti anak-anak sekalipun. Soal ini adalah soal
antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Persoalan ini adalah
persoalan seorang gadis, kau tahu. Nah, sebaiknya kau
minggir saja. Meskipun seandainya kau akan turut serta, maka
aku pun bersedia melayanimu berdua."
"Setan alas!" teriak Argajaya yang hampir saja meloncat
sambil berteriak. "Aku sendiri mampu membunuhmu."
Alap-alap Jalatunda mundur setapak. Tetapi Argajaya itu tidak
jadi meloncat maju. Di antara orang-orang yang berdiri di
muka pintu datanglah seorang yang acuh tidak acuh saja
melihat semua peristiwa itu. ia berjalan sambil mulutnya
mengunyah segumpal daging rusa muda. Dengan seenaknya
ia masuk ke dalam gubug itu, kemudian bersandar dinding di
dekat Alap-alap Jalatunda berdiri.
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi semakin tegang melihat
kehadirannya. Ia sama sekali tidak mengetahui, apakah
maksud kedatangannya, karena wajahnya yang hitam itu
sama sekali tidak menunjukkan kesan suatu apa.
Baru sejenak kemudian orang itu berkata, "Kau ulangi lagi
peristiwa yang serupa Alap-alap yang malang. Dahulu
kepalamu hampir melesat dipukul oleh Tohpati ketika kau
membawa Nyai Pinan ke dalam pondokmu. Sekarang kau
terpaksa berhadapan dengan Sidanti."
Alap-alap Jalatunda menggeram, tetapi ia tidak segera
menjawab. "Aku tahu bahwa ilmumu maju dengan pesat tanpa bimbingan
seorang guru pun. Tetapi kau tidak akan mampu melawan
kedua orang itu bersama-sama." Kemudian kepada Argajaya
orang itu berkata, "Kakang Argajaya. Biarkan saja persoalan
anak-anak muda ini. Kita yang sudah lebih tua sebaiknya tidak
usah turut campur." Wajah Argajaya menjadi merah pula. Jawabnya. "Tetapi ia
telah menghina Sidanti."
"Biarlah Sidanti yang menyelesaikannya. Tidak baik akibatnya
seandainya kita yang tua-tua ini akan turut serta."
"Apakah kau akan membela orangmu yang berbuat gila itu?"
Sanakeling, orang yang sedang mengunyah daging rusa
muda itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Kalau ia harus
bertanggung jawab secara jantan, maka aku akan
membiarkannya. Tetapi kau pun jangan mencampuri
urusannya. Kau adalah seorang pendatang seperti kami di
padepokan ini." Dada Argajaya hampir meledak mendengar kata-kata
Sanakeling itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawab katakata
Sanakeling. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah panggilan
yang mencengkam segenap jantung orang-orang yang berdiri
di tempat itu, "Sidanti."
Sidanti berpaling. Ia melihat Ki Tambak Wedi tergesa-gesa
memasuki tempat itu. Dengan wajah yang merah padam ia
bertanya, "Apakah yang telah terjadi?"
Sidanti mengatakan dengan singkat apa yang telah dilihatnya,
dan Ki Tambak Wedi pun menggeram pula. "Perempuan ini
adalah biang keladi dari kegagalan rencanaku. Supaya tidak
ada persoalan lagi di antara kita dan kita dapat meneruskan
rencana penyerangan ke Jati Anom maka sebaiknya
perempuan ini dibunuh saja. Besok fajar kita datang ke Jati
Anom dan melemparkan mayatnya di hadapan pasukan
Untara." Semua wajah yang mendengar kata-kata itu tampak berkerutmerut.
Hampir tak masuk di dalam akal mereka, bahwa Ki
TambaK Wedi telah mengucapkan kata-kata itu. Namun justru
dengan demikian maka mereka berdiri tegang tanpa dapat
mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sekar Mirah yang
masih terduduk dengan lemahnya di tanah, tiba-tiba
menengadahkan wajahnya. Dalam keputus-asaan ia bahkan
mampu menyahut, "Bagus. Itu adalah keputusan yang paling
baik buat aku." Tetapi agaknya Sidanti berpendirian lain. Sejak lama ia
terpikat oleh gadis itu, yang kemudian dengan susah payah
diambilnya dari Sangkal Putung. Tetapi sekarang gurunya
mengambil suatu sikap yang terlampau keras. Karena itu
maka katanya, "Guru. aku memerlukan gadis itu."
"Buat apa kau inginkan gadis Sangkal Putung itu?" bertanya
gurunya. "Bukankah guru menyetujui pula pada saat aku
mengambilnya?" "Aku mempunyai kepentingan lain dengan gadis itu. Dengan
gadis itu di sini, maka Untara tidak akan berani dengan sertamerta
saja menghancurkan padepokan ini, meskipun ia
membawa pasukan seluruh prajurit Pajang."
"Kenapa ia akan dibunuh?" bertanya Sidanti. "Apabila gadis itu
sudah mati, maka Untara tidak akan terpengaruh oleh gadis
yang sudah mati itu."
"Ternyata pasukan Untara sama sekali tidak berarti bagi kita di
sini. Kalau kalian tidak menjadi gila karena gadis itu, maka
pada saat fajar nanti menyingsing maka kalian pasti sudah
akan menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom."
"Guru," berkata Sidanti kemudian, "aku mohon gadis ini
dihidupi. Aku ingin mengambilnya sebagai seorang isteri.
Kalau Sidanti kelak menggantikan kedudukan ayahanda
Argapati di pegunungan Menoreh, maka ia akan menjadi
seorang isteri yang kajen keringan. Aku sama sekali tidak
berhasrat mempermainkannya seperti Alap-alap yang gila ini."
"Persetan dengan keinginanmu!" potong Alap-alap Jalatunda.
"Aku tidak peduli apakah ia akan kau ambil sebagai isterimu
atau kau bunuh sekali. Aku hanya akan mengambilnya yang
aku ingini daripadanya."
"Diam!" teriak Sidanti dengan kemarahan yang meluap-luap.
"Seharusnya kau diam saja," berkata Ki Tambak Wedi kepada
Alap-alap Jalatunda. "Itu tidak adil," tiba-tiba terdengar Sanakeling yang berdiri
bersandar dinding sambil melipat tangan di dadanya.
"Persoalan ini adalah persoalan Sidanti dan Alap-alap
Jalatuda. Kalau Sidanti dapat dan boleh menyatakan
pendiriannya, maka Alap-alap Jalatunda pun harus mendapat
kesempatan yang serupa."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi ia adalah
seorang yang cukup memiliki perhitungan. Karena itu, betapa
hatinya menjadi marah mendengar bantahan Sanakeling,
tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu atasnya, karena di
belakang Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu berdiri
sepasukan laskar yang kuat.
"Aku pun ingin bersikap adil," tiba-tiba Sidanti menggeram,
"karena itu guru, serahkan persoalan ini kepadaku dan kepada
Alap-alap Jalatunda."
"Bagus!" sahut Alap-alap Jalatunda lantang. "Itu adalah sikap
jantan. Kita melakukan perang tanding, Kalau aku mati dalam
perkelahian ini, maka aku merasa puas, karena taruhanya
cukup berharga bagiku. Bukankah taruhan dari perang tanding
itu nanti adalah Sekar Mirah" Kalau kau menang Sidanti,
maka Sekar Mirah menjadi milikmu. Apakah ia akan kau
peristeri atau apa saja, sekehendak hatimu. Tetapi kalau aku
menang, maka kau tidak boleh mencampuri lagi urusanku
dengan gadis itu. Apakah yang akan aku lakukan."
"Aku terima tantanganmu," sahut Sidanti tidak kalah
lantangnya. Namun kemudian ruang yang tidak terlalu luas itu digetarkan
oleh teriakan Sekar Mirah, "Tidak, tidak!"
Gadis itu pun tiba-tiba berdiri. Seperti orang gila ia berlari
kearah Ki Tambak Wedi. Dengan serta-merta Sekar Mirah
berpegang baju orang tua itu sambil berteriak-teriak, "Kiai,
Kiai. Apakah kau pemimpin orang-orang ini" Kalau demikian,
tolong Kiai, perintahkan saja mereka membunuh aku, supaya
persoalan ini tidak berlarut-larut. Aku tidak mau jatuh ketangan
kedua-duanya. Aku ingin mati saja Kiai. Karena itu bunuh saja
aku." Sejenak Ki Tambak Wedi diam mematung. Namun kemudian
perlahan-lahan didorongnya Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah
tidak mau melepaskan baju Ki Tambak Wedi, sehingga orang
tua itu berkata, "Lepaskan bajuku. Lepaskan!"
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengar kata-kata itu. ia masih
saja berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
"Lepaskan!" bentak Ki Tambak Wedi kemudian. Sekar Mirah
terkejut mendengar bentakan itu. Tiba-tiba ia menyadari
keadaannya. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi
mendorongnya perlahan-lahan, maka Sekar Mirah itu kembali
terduduk di tanah. Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Orang yang
mengintip di belakang rumah itu pun terpaksa menahan
nafasnya, supaya Ki Tambak Wedi, yang bertelinga setajam
telinga serigala itu tidak mendengarnya. Agaknya orang itu
mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan, meskipun ia
tidak berani berbuat apa-apa. Jangankan setelah kehadiran Ki
Tambak Wedi. Terhadap Sidanti dan Alap-alap Jalatunda pun
ia harus memperhitungkan seribu satu macam pertimbangan.
Namun orang itu menyadari pula, bahwa di depan rumah itu
menjadi semakin banyak orang berkumpul. Baik ia orang
padepokan itu sendiri, maupun orang-orang dari laskar
Sanakeling. Sehingga di luar gubug itu pun telah dirayapi pula
ketegangan seperti yang terjadi di dalamnya.
Ki Tambak Wedi, pemimpin dari padepokan itu menjadi pening
melihat keadaan berkembang demikian buruknya. Sedangkan
di hadapan hidung mereka telah berkumpul orang-orang
Pajang yang sebentar lagi akan dimusnahkan. Tetapi kalau
keadaan tidak segera dapat diatasi, maka rencananya pasti
akan tertunda. Karena itu bagaimanapun juga, Ki Tambak Wedi mencoba
berusaha untuk meredakan keadaan. Maka katanya, "Baiklah.
Kalau kalian telah sependapat untuk melakukan perang
tanding, maka baiklah dilakukan lain kali. Sekarang, kita akan
melakukan rencana yang telah kita susun. Kita harus turun ke
Jati Anom dengan segenap kekuatan. Kita hancurkan pasukan
Uutara yang tidak seberapa kuat itu."
Kesenyapan yang tegang kembali mencengkam ruangan yang
tidak terlampau luas itu, Sidanti dan Alap-alap Jalatunda
berdiri berhadapan dengan wajah yang membara. Sedang
Sanakeling masih saja berdiri sambil melipat tangan di
dadanya. Di lambung kirinya tergantung sebilah pedang,


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang di lambung kanannya tergantung sebuah bindi. Di sisi
lain Argajaya berdiri tegak meremas-remas tangkai tombak
pendeknya. "Kenapa kalian berdiri saja seperti patung!" bentak Tambak
Wedi. "Tinggalkan tempat ini. Siapkan pasukan kalian dan kita
akan segera turun ke Jati Anom. Kita masih mempunyai
waktu. Kita akan sampai ke Jati Anom sebelum fajar. Setelah
beristirahat sebentar kita akan melanda Kademangan itu tepat
pada saat matahari terbit."
Tetapi Alap-alap Jalatunda dan Sidanti belum juga beranjak
dari tempatnya, sehingga sekali lagi Ki Tambak Wedi
berteriak, "He apakah kalian telah menjadi tuli!"
Kedua orang yang sedang berdiri berhadapan itu benar-benar
seperti patung yang mati. Mereka tidak beringsut sama sekali.
Bahkan berkedip pun tidak.
Yang berkata kemudian adalah Argajaya, "Urusan ini harus
diselesaikan dahulu Kiai. Kalau tidak, maka hubungan mereka
di garis perang pun akan dapat mengganggu kelancaran
seluruh pasukan." "Tidak," potong Ki Tambak Wedi, "setiap prajurit pasti tahu
menempatkan diri. Persoalan pribadi akan disimpan lebih
dahulu sebelum persoalan kita bersama dapat diselesaikan.
Persoalan Jati Anom bukan persoalan yang dapat diabaikan.
Kalau kita kehilangan waktu ini, maka kita akan menyesal
sepanjang hidup kita. Karena itu, maka tinggalkan urusan
kalian. Kita akan segera berangkat."
Sanakeling mengerutkan keningnya melihat sikap Argajaya.
Karena itu maka ia menyahut, "Aku sependapat, dengan tamu
kita yang terhormat itu. Pasukanku tidak akan bergerak
sebelum persoalan ini selesai."
"Tidak, Tidak!" Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi marah.
Tetapi Sanakeling yang masih saja berdiri dalam sikapnya,
tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi saat ini sedang
memerlukannya. Memerlukan pasukannya untuk membantu
menghancurkan Jati Anom, atau kalau Untara mengambil
sikap lebih dahulu, Ki Tambak Wedi memerlukannya untuk
mempertahankan padepokan ini.
Melihat sikap Sanakeling dada Argajaya hampir meledak
karenanya, seperti juga dada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki
Tambak Wedi terpaksa menahan segenap kemarahan itu di
dadanya sehingga dada itu menjadi panas sepanas bara.
"Tak akan ada bedanya kalau serangan kita atas Jati Anom itu
kita tunda sehari," berkata Sanakeling.
"Kau seorang prajurit, Ngger," berkata Ki Tambak Wedi yang
tiba-tiba menjadi lunak. "Kau pasti tahu. bahwa satu hari
dalam kesempatan seperti ini adalah penting sekali.
Jangankan satu hari, sedang sekejap pun di dalam
perhitungan tata peperangan akan sangat besar sekali
artinya." "Kiai benar," sahut Sanakeling, "tetapi bagi sebuah pasukan
yang utuh bulat. Sedang tak ada tanda-tanda pada lawan kita
akan mendapat perubahan yang berarti, bukankah begitu"
Bahkan seandainya besok datang sepasukan yang kuat dari
Pajang, maka kita akan dapat menyusun perhitungan baru.
Tetapi menilik keadaan Pajang sekarang, maka apa yang
diberikan oleh Karebet kepada Untara itu sudah tidak akan
dapat ditambah dengan segera."
"Kau memperingan persoalan, Ngger," sahut Ki Tambak Wedi.
"Apa pun yang sedang dilakukan oleh Karebet dan
Pemanahan, tetapi semakin cepat pekerjaan kita selesai,
maka kita pun akan segera melakukan rencana kita
berikutnya." "Kenapa Kiai berkeberatan memenuhi permintaannya," potong
Argajaya yang wajahnya benar-benar semerah bara. "Beri
malam ini kesempatan untuk melakukan perang tanding.
Setelah itu apabila kita masih mempunyai kesempatan, kita
pergi ke Jati Anom. Kalau tidak, kita tunda serangan kita
dengan satu hari." Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia merasa
bahwa betapa sulitnya mengatasi keadaan ini. Ia menyesal
bahwa ia dahulu mengijinkan Sidanti mengambil perempuan
itu dari Sangkal Putung. Ternyata perempuan itu kini telah
menumbuhkan kesulitan baginya dan bagi rencananya.
Sejenak Ki Tambak Wedi itu terdiam. Dipandanginya Sidanti
dan Alap-alap Jalatunda berganti-ganti. Orang tua itu tahu,
bahwa Alap-alap Jalatunda selama ini telah mesu diri, melatih
berbagai macam ilmu yang telah dimilikinya dengan berbagai
macam cara dan alat. Pasir, batang-batang kayu di tepian,
batu-batu, dan melatih kecepatan bergerak. Tetapi menurut
penilaian Ki Tambak Wedi, betapa kemajuan yang dicapai
oleh Alap-alap Jalatunda, namun ia masih belum akan dapat
menyusul Sidanti. Karena itu sebenarnya Ki Tambak Wedi
tidak akan mencemaskan nasib muridnya. Meskipun demikian,
ia masih juga mencemaskan sikap orang-orang Jipang yang
lain. Seandainya Alap-alap Jalatunda itu terbunuh dalam
perang tanding, apakah mereka tidak akan membelanya"
Harapan Ki Tambak Wedi hanyalah terletalak pada
Sanakeling. Menilik sikapnya maka Sanakeling dapat
dipercayanya, bahwa ia akan membiarkan perang tanding itu
berlangsung dengan jujur dan dalam sikap jantan.
Karena itu, maka setelah tidak diketemukan lagi jalan lain,
serta menurut penilikannya di Jati Anom, tidak ada tandatanda
bahwa akan segera datang perubahan yang berarti,
maka akhirnya Ki Tambak Wedi pun dengan hati yang berat
berkata, "Baiklah, kalau itu menjadi pilihan kalian. Tetapi
ketahuilah, bahwa siapa pun yang kalah dan siapa pun yang
menang, maka kita akan kehilangan satu tenaga yang sangat
kita perlukan. Karena itu, untuk menghindari hal yang
demikian, maka aku menentukan ketetapan, bahwa perang
tanding itu berlangsung sampai salah seorang tidak lagi
mampu melawan. Tetapi tidak sampai mati. Aku harap
kebesaran jiwa kalian dan kejujuran kalian sebagai seorang
prajurit jantan." Meskipun tanpa berjanji, tetapi hampir bersamaan Sidanti dan
Alap-alap Jalatunda terpaling. Wajah-wajah mereka
menyatakan, bahwa mereka tidak senang mendengar
keputusan Ki Tambak Wedi itu. Bagi mereka, perang tanding
hanya dapat diakhiri dengan maut. Sehingga tanpa
sesadarnya Sidanti menyahut, "Guru, itu tidak lazim bagi
sebuah perang tanding."
"Aku tidak peduli. Tetapi aku, tetua padepokan ini berhak
membuat ketetapan sendiri yang sesuai dengan keadaan di
padepokan ini. Satu kematian dari kau berdua, adalah pasti
merugikan. Karena itu, maka aku tidak ingin kekuatan kita
berkurang dengan sebuah kematian yang sia-sia," jawab Ki
Tambak Wedi. "Kematian ini bukan kematian yang sia-sia," potong Alap-alap
Jalatunda. "Tetapi kematian ini adalah kematian jantan.
Karena itu biarlah kami saling membunuh dengan sikap
jantan." "Tutup mulutmu!" Ki Tambak Wedi membentak keras sekali
sehingga semua yang mendengarnya menjadi terkejut
karenanya. Bahkan orang yang sedang bersembunyi di
belakang dinding rumah itu pun terkejut pula. "Semua harus
tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku dapat berbuat apa saja
sekehendak hatiku di sini. Tak ada orang yang dapat melawan
kekuasaan Ki Tambak Wedi. Aku dapat membunuh seratus
limapuluh orang sekaligus dan membunuh seribu orang tidak
lebih dari satu malam. Ayo, kalau memang kita sudah ingin
meninggalkan tujuan kita. Kalau kita sudah tidak
mempedulikan lagi kepada pasukan Untara. Ayo, kita
melakukan perang tanding, bunuh-bunuhan di antara kita. Aku
cukup seorang diri, dan kalian semuanya di satu pihak. Aku
akan berkelahi sampai aku menjadi bangkai. Tetapi di antara
kalian yang hidup akan menjadi saksi, berapa banyaknya
mayat akan bertimbun di samping mayatku."
Pengaruh kata-kata orang tua itu ternyata tajam sekali. Sidanti
dan Alap-alap Jalatunda tidak lagi berani mengucapkan
sepatah kata pun. Sedang Sanakeling, meskipun masih saja
berdiri bersandar dinding sambil melipat tangannya, namun ia
pun berdiam diri menunggu perkembangan keadaan.
Dengan demikian maka ruangan itu kembali menjadi sunyi.
Sinar pelita yang redup bergerak-gerak oleh sentuhan angin
malam dari lubang pintu yang menganga.
Karena tidak ada seorang pun yang bersuara, maka berkata
pula Ki Tambak Wedi, "Ayo, sekarang, sediakanlah arena. Kita
akan mulai dengan perang tanding. Kita akan segera melihat,
siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Kemudian
perempuan ini tidak akan menimbulkan keonaran lagi."
Ki Tambak Wedi tidak lagi menunggu sebuah jawaban.
Segera ia beranjak dari tempatnya, melangkah ke arah pintu.
Tak seorang pun yang menghalanginya. Bahkan beberapa
orang segera menyibak memberinya jalan. Di muka pintu
orang tua itu berhenti sejenak, sambil berpaling ia berkata,
"Arena itu berada di halaman banjar pimpinan padepokan ini.
Para pemimpin akan menjadi saksi dan semua orang harus
menyaksikannya, selain yang sedang meronda. Setelah itu,
apabila masih saja timbul persoalan maka aku sendirilah yang
akan membunuhnya." Orang-orang di sekitarnya kemudian melihat orang tua itu
melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu
hilang di dalam gelapnya malam.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti pun segera pergi
pula sambil berkata, "Aku tunggu kau Alap-alap cengeng."
"Persetan!" sahut Alap-alap Jalatunda.
Langkah Sidanti terhenti. Hampir-hampir ia melangkah
kembali kalau Sanakeling tidak berkata, "Bukan di sinilah
arena yang ditentukan oleh Ki Tambak Wedi."
Sidanti menggeram mendengar kata-kata Sanakeling itu.
Dipandanginya wajahnya yang hitam-kelam. Namun
Sanakeling sendiri tampaknya seperti acuh tak acuh saja
menanggapinya. Alangkah panasnya hati Sidanti. Namun ia tidak dapat
membantah lagi, bahwa memang bukan di ruangan itulah
arena yang sudah ditentukan.
Dengan hati yang bergelora ia meneruskan langkahnya diiringi
oleh pamannya dan kemudian orang-orang di luar pintu
ruangan itu. Alap-alap Jalatunda pun kemudian melangkah
keluar bersama Sanakeling yang bergumam, "Kau memang
bodoh Alap-alap kerdil. Kau terlampau percaya kepada
latihanmu di pinggir kali itu. Dua kali kau terlibat dalam
persoalan dengan perempuan, dalam keadaan yang serupa.
Kau memang tidak dapat menyamakannya dengan
perempuan jalanan yang kau jumpai di mana-mana."
*** Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali
tidak menyesal menghadapi perang tanding ini. Kecuali
kepalanya memang telah dicengkam oleh tuak, juga karena
kebenciannya kepada Sidanti telah benar-benar memuncak.
Namun berbeda dengan Alap-alap Jalatunda, Sekar Mirah
yang masih juga mendengar ucapan itu, hatinya menjadi
semakin pedih. Ternyata dalam tanggapan Alap-alap
Jalatunda, dirinya tidak lebih daripada perempuan-perempuan
yang dijumpai orang itu di sepanjang jalan. Karena itu, maka
tiba-tiba Sekar Murah itu jatuh tertelungkup. Wajahnya
disembunyikannya di bawah telapak tangannya. Dan
tangisnya meledak tanpa dapat dikendalikannya.
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda tertegun sejenak. Sesaat
mereka berpaling, tetapi ketika Alap-alap Jalatunda akan
berbalik, berkatalah Sanakeling, "Kau masih harus melakukan
perang tanding untuk dapat menjamahnya."
Alap-alap Jalatunda mengangguk. Tetapi Sekar Mirah
memekik tinggi. Dan tangisnya meledak-ledak semakin keras.
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian
meninggalkan ruangan itu pula diikuti oleh orang-orangnya.
Dan pintu depan pun kemudian tertutup. Dua orang pengawas
telah mendapat tugas untuk mengawasinya.
Ruangan itu pun kemudian menjadi lengang. Hanya tangis
Sekar Mirahlah yang masih terdengar memenuhinya. Tetapi
tangis itu pun seakan-akan hilang saja ditelan oleh gelapnya
malam. Bahkan kedua pengawas itu pun berjalan menjauh,
karena mereka tidak tahan mendengar tangis Sekar Mirah
yang sama sekali tidak terkendali.
Tetapi di balik dinding belakang rumah itu, sepasang mata
masih saja mengintai dari lubang-lubang dinding, melihat ke
dalam ruangan yang lengang itu. Orang itu masih belum
beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak sampai
hati untuk meninggalkan Sekar Mirah dalam keadaan itu.
Sekali-sekali orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
tiba-tiba timbullah niatnya untuk mencoba masuk dan
mencoba menghibur gadis itu supaya berhenti menangis dan
tidak lagi terlampau mencemaskan dirinya.
Dengan hati-hati orang itu berdiri. Digesernya tubuhnya ke
sudut rumah itu. Tidak dengan sengaja, maka dicobanya
untuk melihat dinding di sudut rumah.
Orang itu melihat tali-tali pengikat dinding rumah itu telah
diputuskan. Sehingga segera ia tahu cara Alap-alap Jalatunda
masuk. "Hem," ia bergumam lirih sekali, "dari sini Alap-alap itu
masuk." Kemudaan bulat pulalah tekadnya untuk memasuki ruangan
itu pula. Tak ada niat apa pun di dalam hatinya, selain
meredakan kepedihan hati Sekar Mirah. Mungkin dengan
kehadirannya, maka luka hati gadis itu dapat sedikit terobati,
dan dengan kehadirannya, maka gadis itu tidak terlampau
dalam dicengkam oleh ketakutan melihat masa-masa yang
akan datang. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali ia mencoba menarik
dinding bambu di sudut itu. Sedikit kekuatan yang diberikan,
maka dinding itu telah menganga. Dan ia akan segera dapat
masuk ke dalamnya. Tetapi orang itu terperanjat bukan main, sehingga darahnya
hampir berhenti mengalir. Tanpa diketahui sangkan-paran
arah datangnya, tiba-tiba ia telah melihat sesosok tubuh
berdiri di sampingnya. Karena itu, maka dengan serta-merta
dilepaskannya dinding rumah itu. Selangkah ia meloncat surut
sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum ia dapat berbuat
sesuatu, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya.
Orang itu seolah-olah membeku karenanya. Ia tidak dapat
membayangkan, kekuatan dan ilmu apakah yang telah
menggerakkan bayangan itu demikian cepatnya, merampas


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang hanya dalam waktu sekejap, dengan seolah-olah
tanpa menggerakkan tubuhnya"
Sejenak orang itu tercenung memandangi bayangan yang
hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam.
Hatinya berdesir ketika bayangan itu kemudian berkata
perlahan-lahan, "Kau memang berani, terlampau berani."
Tanpa dikehendakinya sendiri orang itu pun menjawab
perlahan-lahan, "Apa pedulimu" Tetapi siapakah kau?"
Terdengar suara tertawa lirih.
"Siapa?" orang itu mendesak.
"Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi sedang ditegangkan oleh
peristiwa yang dihadapinya, yang agaknya sangat memukul
hatinya," bayangan itu berkata seakan-akan tidak
menghiraukan pertanyaan orang itu. "Kalau tidak, maka kau
pasti sudah menjadi pengewan-ewan di sini, Ngger."
"Siapa kau?" orang itu mendesak pula, dan ia pun seolah-olah
tidak mendengar kata-kata bayangan itu.
"Inilah pedangmu," berkata bayangan itu sambil memberikan
pedang yang dirampasnya. Orang itu merasa aneh. Tetapi ia merasa pula bahwa orang itu
tidak bersikap bermusuhan terhadapnya. Ketika orang itu
berkata seterusnya dalam nada yang berbeda, maka orang itu
pun sekali lagi terperanjat, "Apakah kau tidak kenal aku,
Ngger." Nada yang kini adalah nada yang pernah didengarnya.
Bahkan sering didengarnya memberinya berbagai macam
petunjuk, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, "Apakah
Kiai ini Ki Tanu Metir?"
Terdengar bayangan itu tertawa. Suara tertawanya pun kini
berbeda dari suara yang didengarnya tadi. "Ah," desah orang
itu, "Kiai mengganggu dan menakut-nakuti aku."
"Tidak, Ngger," jawab bayangan yang tidak lain adalah Ki
Tanu Metir. "Aku berkata sebenarnya. Angger terlampau
berani berbuat malam ini. Mungkin Angger kurang menyadari
bahaya yang dapat menerkam Angger setiap saat. Tetapi aku
tidak sempat memperingatkan Angger. Untunglah Ki Tambak
Wedi benar-benar sedang dibingungkan oleh muridnya."
"Bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam sini?" bertanya orang
itu. "Kenapa Angger Wuranta malam ini tidak turun ke Jati Anom?"
bertanya Ki Tanu Metir. Orang itu, yang tidak lain adalah Wuranta, menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, "Aku hampir digantung Kiai. Kalau
malam ini aku tidak dapat keluar dari padepokan ini, maka
besok pagi, sesudah perang tanding itu selesai, orang-orang
padepokan ini akan beramai-ramai memburuku dan
menangkap aku seperti menangkap kelinci."
"Kenapa?" "Ki Tambak Wedi telah mengetahui segalanya. Bahkan Ki
Tambak Wedi telah mengetahui, bahwa Adi Swandaru dan
Agung Sedayu berada di rumahku. Tetapi Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak menyebut Kiai berada di sana pula."
Orang tua yang terlindung dalam kegelapan itu tegak seperti
patung. Tetapi terdengar nafasnya menjadi semakin cepat.
Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia
bertanya, "Jadi Ki Tambak Wedi sendiri telah melihat Jati
Anom dan rumahmu?" "Ya. Lalu sepulang dari Jati Anom agaknya para pemimpin
padepokan ini mengambil keputusan untuk malam ini juga
menyerang Jati Anom."
"Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Tetapi serangan itu
tertunda karena peristiwa ini."
"Ya, Kiai." "Kita berselisih jalan," gumam Ki Tanu Metir. "Ki Tambak Wedi
ke Jati Anom, dan aku datang ke mari. Mungkin Ki Tambak
Wedi menempuh jalan yang sering kau lalui pula. Aku
memang mengambil jalan lain. Hem," Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam. Wuranta pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu
sekarang, kenapa ketika Ki Tambak Wedi mengintip
rumahnya, yang dijumpainya hanya Swandaru dan Agung
Sedayu. Agaknya pada saat itu Ki Tanu Metir telah
meninggalkan Jati Anom pula menuju ke padepokan ini.
Dan Wuranta itu pun kemudian bertanya pula, "Tetapi
bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini?"
Ki Tanu Metir tersenyum. Ia tidak segera menjawab
pertanyaan itu, bahkan ia bertanya kepada Wuranta, "Angger.
Apakah sebabnya Angger besok akan menjadi orang buruan
di dalam padepokan ini" Apakah Ki Tambak Wedi dapat
mengetahui hubungan Angger dengan orang-orang Jati
Anom?" "Ya, Kiai," sahut Wuranta, "justru karena Adi Swandaru dan
Agung Sedayu yang berada di rumahku. Sebelum itu Ki
Tambak Wedi telah bertanya-tanya pula kepada Sidanti
bagaimana saat-saat ia menemukan aku di Jati Anom.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi berkesimpulan
bahwa aku harus digantung."
"Tetapi kenapa Angger dapat datang ke halaman ini?"
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkannya
wajahnya ke arah rumah tempat Sekar Mirah masih berbaring
di lantai sambil menangis.
"Biarkan, Ngger. Tangis kadang-kadang dapat menjadi kawan
yang baik bagi seorang wanita. Dan kali ini dapat menjadi
kawan yang baik bagi kita, karena dengan demikian
percakapan kita tidak didengar orang."
Wuranta mengerutkan keningnya.
"Bukan maksudku membiarkannya dalam keadaan putus-asa,
Ngger. Tetapi sementara ini, biarlah ia meringankan
perasaannya dengan tangisnya."
Wuranta masih tegak seperti patung.
"Sekarang, bagaimanakah kau dapat datang kemari" Apakah
dengan keputusan Ki Tambak Wedi tentang dirimu, kau tidak
mendapat pengawasan sama sekali?"
"Aku memang sudah ditahan Kiai," jawab Wuranta. "Aku
ditahan di dalam sebuah gubug dengan empat orang
pengawal." "Lalu?" "Salah seorang daripada mereka memberi aku kesempatan
meninggalkan rumah itu."
"He?" Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
"Orang itu adalah seorang tua tempat aku menumpang
selama aku berada di padepokan ini. Agaknya ia senang
mendengar sendau-gurauku tepat pada siang hari sebelum
aku harus masuk ke dalam rumah itu. Orang itu pulalah yang
menangkap aku dan membawa aku ke dalam tahanan. Orang
itu pulalah yang sepanjang jalan berada di sisiku sambil
berbisik, bahwa aku akan dapat melepaskan diri lewat atap
yang ditunjukkan kepadaku, yang ternyata beberapa utas
talinya telah diputuskannya. Dan aku diperingatkan adanya
seorang pengawas di sudut belakang halaman."
"Kau dapat memaanfaatkannya?"
"Ya, Kiai. Aku berhasil keluar dari atas atap itu dan diam-diam
menerkam penjaga yang terkantuk-kantuk di halaman
belakang. Pedang ini adalah pedang penjaga itu."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya, "Kau memang mempunyai bakat yang kuat di
dalam tubuhmu untuk menjadi seorang petugas sandi. Lalu
bukankah dengan demikian kau harus keluar dari padepokan
ini supaya kau selamat?"
"Ya Kiai. Orang tua yang memberi aku kesempatan itu berkata
kepadaku, "Angger, aku hanya dapat memberi kau petunjuk
sampai pada lubang di atap ini. Seterusnya, terserah
kepadamu. Juga tentang penjaga yang berada di sudut
halaman belakang, di bawah pohon ramin itu. Sayang, aku
tidak dapat memberimu petunjuk, darimana kau harus keluar
dari padepokan ini. Barangkali kau dapat melakukannya besok
apabila pasukan padepokan ini sudah berangkat ke Jati
Anom. Dengan demikian aku juga tidak berkhianat terhadap
pimpinanku. Sebab apabila kau keluar dari padepokan malam
ini, maka kau pasti akan menyampaikan kabar ini kepada
orang-orang di Jati Anom."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar ceritera
Wuranta. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, "Angger, kau memang harus segera turun ke Jati
Anom sebelum orang-orang itu mencarimu. Kau akan
membawa pesan yang harus kau sampaikan kepada Untara.
Agung Sedayu dan Swandaru akan mempertemukan kau
meskipun kesan tentang dirimu bagi beberapa orang Jati
Anom kurang menyenangkan."
"Tetapi bagaimana aku harus keluar, Kiai?"
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Tiba-tiba ia bertanya, "He,
apakah sebabnya orang itu memberimu kesempatan" Apakah
bukan sekedar suatu pancingan saja bagimu?"
"Aku rasa tidak, Kiai. Kemarin siang aku berbincang dengan
orang itu tentang kesempatan untuk menikmati sinar matahari
pagi. Ia berkata kepadaku sebelum aku dilepaskannya. "Aku
sependapat dengan kau ngger. Aku memang tidak mendapat
kesempatan menikmati cerahnya matahari hampir di
sepanjang hidupku. Apalagi menikmati keagungan
Penciptanya. Sampai setua ini aku adalah budak dari kerja
duniawi melulu.?" Sekali lagi Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Hem, agaknya kau mampu juga menyentuh
perasaannya yang paling dalam. Nah, Ngger. Sekarang
dengarlah. Sebaiknya kau turun ke Jati Anom. Cepat, secepatcepatnya.
Pasukan Untara harus berada di ambang pintu
padepokan ini sebelum fajar."
"He," Wuranta terkejut, "bagaimana mungkin, Kiai?"
"Keluarlah dari padepokan ini. Aku membawa kuda. Kau
pergunakan kudaku. Demikian kau sampai di Jati Anom, maka
Agung Sedayu dan Swandaru harus masuk kepadepokan ini
secepat-cepatnya. Pasukan Untara yang sempat
mendapatkan kuda, kuda yang dibawanya dari Pajang atau
kuda yang dapat diambil di Jati Anom harus mendahului yang
lain, sedang yang lain secepatnya pula harus menyusul. Aku
akan memberi tanda dengan panah sendaren. Ingat, Agung
Sedayu harus membawa panah sendaren. Aku atau anak itu
harus menunggu di sini."
"Lalu bagaimana dengan pesan selanjutnya buat Kakang
Untara?" "Ia harus sudah siap secepatnya. Aku mengharap keadaan
akan berkembang dengan cepat tanpa dapat terkendali lagi.
Aku akan memberikan tanda-tanda untuk setiap gerakan
berikutnya." Tetapi Wuranta tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia
masih saja berdiri memandangi wajah Ki Tanu Metir dengan
sorot mata bertanya-tanya.
"Apakah masih ada yang ingin Angger tanyakan?"
"Ya, Kiai," sahut Wuranta.
"Tentang apa?" "Tentang pesan itu."
"Pesan itu?" Ki Tanu Metirlah yang menjadi heran, tetapi
kemudian ia menyadari bahwa pesannya terlampau singkat
buat Wuranta, sehingga, ia masih perlu banyak penjelasan.
Demikianlah Ki Tanu Metir memberinya beberapa penjelasan
tentang pesannya. Untara harus membawa seluruh
pasukannya ke ambang pintu padepokan Tambak Wedi.
Tetapi supaya sebagian dari mereka segera siap
dipergunakan apabila perlu, maka mereka yang mendapatkan
kuda harus berangkat lebih dahulu. Sedang yang lain harus
segera menyusul. "Kalau aku melepaskan tiga panah sendaren berturut-turut,
ingat Ngger, tiga," berkata Ki Tanu Metir seterusnya, "maka
pasukan Untara harus bergerak memasuki padepokan ini.
Tetapi kalau aku melepaskan dua panah sendaren berturutturut
beberapa kali, maka mereka harus mengurungkan
niatnya dan kembali ke Jati Anom. Sedang apabila aku
melepaskan lima panah sendaren berturut-turut beberapa kali,
maka aku memberi tahukan bahwa keadaan Jati Anom gawat.
Mereka harus bersiap sedia menyingkiri sergapan Ki Tambak
Wedi dan menghindari benturan pasukan."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu
Metir berkata selanjutnya, "Nah, cepat ke Jati Anom, pakai
kudaku." "Di mana kuda Kiai, dan dari mana aku akan keluar?"
Ki Tanu Metir tersenyum. Jawabnya, "Bukankah kau pernah
berceritera tentang urung-urung sungai. Nah, aku masuk lewat
urung-urung itu, Ngger. Aku menyelam sejenak, lalu muncul
lagi di balik dinding padepokan ini."
"Oh," Wuranta berdesah.
"Apakah kau tidak dapat berenang?"
"Dapat, Kiai." "Dan apakah kau kira-kira dapat menyelam lewat, urung-urung
yang pendek itu?" "Ya, Kiai." "Nah, ambillah kudaku. Kudaku ada di bagian Selatan dari
padepokan ini. Kau berjalan saja sepanjang pinggiran sungai.
Kau akan menemukan kudaku terikat pada sebatang pohon
turi." "Apakah Kiai masuk dari sebelah Selatan?"
"Tidak, sangat sulit untuk menentang arus sungai. Aku masuk
lewat urung-urung Utara mengikuti arus."
"Tetapi kenapa kuda Kiai berada di Selatan?"
"Aku siapkan kuda itu lebih dahulu, apabila setiap saat aku
harus menghindarkan diri dari padepokan ini. Aku telah
meneliti seluruh keadaan di sekitar padepokan ini."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, "Begitu hati-hati
orang tua ini, sehingga semuanya telah diperhitungkannya
dengan rapi. Dan kini ia harus pergi ke Jati Anom dengan
kuda Ki Tanu Metir itu untuk menyampaikan pesannya kepada
Untara." Sebelum Wuranta berangkat, Ki Tanu Metir masih berpesan,
"Kau, dan juga Agung Sedayu dan Swandaru harus berbuat
serupa itu pula, Ngger. Kalian nanti harus mengikat kuda-kuda
kalian di bagian Selatan meskipun kalian, akan masuk lewat
bagian Utara." "Baik, Kiai." "Nah, yang paling cepat harus sampai di sini adalah Agung
Sedayu, Swandaru, dan kau, Ngger. Kalau aku tidak ada
karena aku sedang melihat keadaan, maka kalian harus


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu aku di sini."
"Baik, Kiai." "Kalau keadaan berbahaya bagi kalian aku akan menungu di
bawah pohon turi itu. Kecuali kalau aku ditangkap oleh Ki
Tambak Wedi." Wuranta tersenyum. Jawabnya, "Aku akan segera pergi Kiai,
mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas ini."
"Jangan kau pacu kudamu sebelum kau yakin bahwa derap
kudamu tidak akan didengar oleh setiap orang di padepokan
ini. Demikian pula apabila, kau nanti kembali beserta pasukan
berkuda Angger Untara. Apabila mereka menyadari bahwa
kau lolos maka keadaan akan dapat berubah dan berkembang
ke arah yang tidak kita kehendaki."
"Baik, Kiai." Wuranta itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir. Orang
tua itu masih memberinya beberapa petunjuk dan pesan,
kemudian sekali ia berkata, "Jangan kau cemaskan nasib
gadis ini. Aku akan mencoba mempertanggungjawabkannya."
Wuranta mengangguk. Lalu melangkahkan kakinya hilang di
dalam gelap. Namun Wuranta itu harus berhati-hati.
Ditempuhnya jalan-jalan yang sepi, yang tidak sering dilalui
orang. Namun terasa padepokan itu amat sunyinya. Ketika ia
memberanikan diri mendekati simpang-simpang empat di
dalam padepokan itu ternyata tak seorang pun yang
mengawalnya. Agaknya mereka sedang berkumpul di
halaman banjar yang luar untuk dapat menyaksikan apa yang
sedang terjadi di sana. Ketika Wuranta sampai ke pinggir sungai, ia menjadi raguragu
sejenak. Tetapi ia adalah perenang yang baik sejak
kanak-anak. Karena itu, maka disangkutkannya kainnya tinggitinggi
dan betapapun dingin malam menggigit tubuhnya,
namun Wuranta itu pun kemudian terjun juga menyelam.
Sambil meraba-raba dinding padepokan menyelusur mengikuti
arus sungai. Ternyata dinding itu tidak begitu tebal, dan
sejenak kemudian ia telah rnuncul pula di seberang dinding di
luar padepokan. "Hem," Wuranta itu menjadi basah kuyup. Terdengar giginya
gemeretak karena dingin. "Segar juga mandi di malam buta."
Sejenak kemudian Wuranta itu telah menemukan kuda Ki
Tanu Metir di pinggir kali di belakang sebuah gerumbul terikat
pada sebatang pohon turi yang tinggi. Hati-hati dipakainya
kuda itu menuju ke Jati Anom. Tetapi selalu diingatnya pesan
Ki Tanu Metir. Dihindarinya jalan yang lazim. Ia melingkar
lewat sebuah lapangan perdu yang agak rimbun. Meskipun
jalan tidak datar, tetapi Wuranta berhasil memotong arah dan
agak jauh dari padepokan ia berhasil menemukan jalan yang
harus dilalui. Ketika ia yakin bahwa ia sudah cukup jauh dari
padepokan, maka segera ia berpacu seperti angin, meskipun
jalan yang ditempuhnya kadang-kadang terjal, tetapi ia ingin
segera sampai di Jati Anom untuk menyampaikan pesan Ki
Tanu Metir kepada Untara.
Sepeninggal Wuranta, Ki Tanu Metir berdiri diam untuk
sesaat. Dicobanya untuk mendengar tangis Sekar Mirah.
Ternyata tangis itu masih saja berkepanjangan.
Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian
diputuskannya untuk membiarkan saja Sekar Mirah itu dalam
keadannnya, supaya tidak menimbulkan kecurigaan pada para
pengawasnya. Bahkan Ki Tanu Metir itu pun segera
meninggalkan tempat itu dengan hati-hati untuk melihat apa
yang sedang terjadi di padepokan ini.
Orang tua itu sama sekali belum pernah menginjakkan
kakinya di dalam padepokan ini. Tetapi ia telah mengenal
beberapa arah menurut petunjuk dan ceritera Wuranta.
Sebagai seorang yang telah kenyang minum air di
perantauan, maka Kiai Gringsing pun segera mampu
menyesuaikan dirinya. Tetapi orang tua itu menyadari
sepenuhnya, bahwa di dalam padepokan itu ada seorang
yang sebaya dengan dirinya. Bukan saja sebaya umurnya,
tetapi hampir segala-galanya. Itulah sebabnya maka ia harus
berada di puncak kewaspadaan.
Perlahan-lahan orang itu menyusuri halaman demi halaman.
Mengingati setiap pengamatannya atas sesuatu. Pohon-pohon
yang cukup besar, rumah-rumah dan pagar-pagar.
Dikenalinya setiap regol yang dijumpainya dan arah yang
dapat ditempuhnya apabila ia menjumpai bahaya.
Akhirnya dari kejauhan Ki Tanu Metir itu melihat berpuluhpuluh
obor yang ditancapkan di halaman. Itu adalah halaman
banjar para pemimpin padepokan Tambak Wedi. Ternyata
Sidanti dan Alap-alap Jalatunda tidak dapat menunda
persoalannya sampai besok apabila matahari telah
menyingsing. Mereka benar-benar ingin menyelesaikan
persoalannya malam ini. Bahkan sekarang.
Dari kejauhan Kiai Gringsing melihat bahwa laskar padepokan
itu benar-benar telah terbagi. Sebagian di sebelah sisi adalah
laskar Tambak Wedi, sedang di sisi yang lain, yang
tampaknya lebih sigap, adalah para prajurit Jipang. Tetapi
kelebihan pada orang-orang Tambak Wedi adalah para
pemimpinnya. Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya dan
beberapa orang lagi. Mereka adalah orang-orang pilihan, yang
mempunyai takaran yang cukup banyak bagi prajurit-prajurit
biasa. Apalagi Ki Tambak Wedi sendiri.
Kiai Gringsing masih melihat beberapa orang mempersiapkan
arena. Beberapa orang yang lain memasang obor-obor di
tempat-tempat yang telah ditentukan. Perang tanding kali ini
adalah benar-benar sebuah perang tanding yang sangat
menarik. Sambil melihat persiapan itu Kiai Gringsing masih saja selalu
menghitung waktu. Wuranta itu benar-benar diharapkannya
dapat menyampaikan pesannya. Kalau tidak, maka Untara
akan banyak kehilangan kesempatan. Dan orang tua itu
mengharap bahwa Wuranta akan jauh lebih cepat mencapai
Jati Anom dengan kudanya. Menurut perhitungannya, maka
pasukan Untara yang mendapatkan kuda akan segera datang
pula. Sedang mereka yang berjalan akan menyusul. Mereka
akan sampai di ambang pintu padepokan ini selambatlambatnya
pada saat fajar menyingsing. Sehingga sesaat
sebelum fajar, ia sudah dapat mengharap pasukan berkuda
Untara bergerak apabila diperlukan, sementara menunggu
pasukannya yang lain. "Mudah-mudahan aku tidak salah hitung," gumam Kiai
Gringsing di dalam hatinya, "dan mudah-mudahan perkelahian
itu tidak segera selesai. Apabila demikian, maka aku akan
mendapat kesulitan. Yang paling mungkin aku lakukan adalah
melarikan Sekar Mirah, membenamkannya di bawah urungurung
kemudian membawanya bersembunyi di balik belukar.
Hem." Orang tua itu menarik nafas. Tampaklah ia tersenyum,
tetapi sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tegang
kembali. Sebenarnyalah bahwa hatinya selalu gelisah dan
berdebar-debar. Tanpa disadari ia telah menggerakkan
sepasukan prajurit Pajang di bawah pimpinan senapati muda
yang berkuasa di daerah sekitar Gunung Merapi.
"Kalau aku gagal, dan laporannya nanti didengar oleh Ki Gede
Pemanahan, maka aku akan digantungnya," desisnya kepada
diri sendiri. Kini Kiai Gringsing melihat persiapan hampir selesai. Oborobor
telah terpasang berkeliling. Dan sebagian dari laskar
kedua pihak telah berada di sekitar arena itu pula.
Sementara itu Wuranta berpacu tanpa mengingat jalan yang
dilaluinya. Sekali-sekali kudanya meloncati tempat-tempat
yang terjal, dan sekali-sekali terpaksa mendaki sedikit untuk
seterusnya berlari lagi menuruni tebing. Yang terpahat di
dalam dadanya adalah, secepatnya menemui Agung Sedayu
dan Swandaru untuk mempertemukannya dengan Untara.
Waktu yang diperlukan oleh Wuranta ternyata terlampau
pendek. Kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan dan
Wuranta sendiri ternyata mampu menguasai kuda yang
sedang berlari dalam kecepatan yang sangat tinggi. Dipilihnya
jalan-jalan sempit dan memintas untuk menghindarkan diri dari
para peronda dan memilih jarak terdekat.
Tanpa turun dari kudanya Wuranta memasuki halaman
rumahnya, sehingga Agung Sedayu dan Swandaru menjadi
sangat terkejut karenanya. Berloncatan mereka turun dari
pembaringannya dan dengan tergesa-gesa pula berlari ke
arah pintu dengan pedang masing-masing di tangan,
meskipun belum mereka tarik dari sarungnya.
"Adi Agung Sedayu dan Swandaru," berkata Wuranta dengan
nafas terengah-engah, "marilah, ikut aku. Pertemukan aku
dengan Kakang Untara."
Swandaru dan Agung Sedayu tidak sgera menjawab. Suara
itu adalah suara Wuranta. Perlahan-lahan Swandaru
membuka pintu. Sejenak mereka menatap wajah Wuranta yang tegang.
Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya, "Apakah yang
terjadi Kakang Wuranta?"
"Aku harus segera bertemu dengan Kakang Untara."
"Adakah sesuatu yang penting?"
"Ya. Penting dan tergesa-gesa."
Sejenak Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan.
Kemudian bertanyalah Swandaru, "Apakah yang penting itu?"
"Nanti, nanti kau akan mendengarnya juga. Aku harus
menghadap Kakang Untara, tetapi aku tidak berani seorang
diri. Sebab ada kesan yang kurang baik tentang diriku."
Belum lagi Swandaru menjawab, maka mereka pun segera
dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang seolah-olah saja
langsung meloncat di jalan di muka halaman itu. Ketika kudakuda
itu telah berada tepat di muka regol, maka mereka pun
berhenti. Salah seorang daripada mereka masuk dengan hatihati
ke halaman sambil berkata, "Siapa di situ" Aku melihat
seekor kuda memasuki halaman ini. Tetapi terlampau cepat
bagi kami yang hanya melihat dari kejauhan. Tetapi agaknya
kuda dan penunggangnya masih berada di halaman."
"Ya," Agung Sedayulah yang menjawab, "yang datang adalah
Kakang Wuranta." "He, Wuranta anak Jati Anom?"
"Ya." "O, kalau begitu aku berkepentingan dengan anak itu.
Bukankah anak itu yang dikatakan selama ini berpihak kepada
orang-orang di lereng Merapi, dari padepokan Ki Tambak
Wedi." Dada Wuranta berdesir mendengar kata-kata itu. Hampirhampir
ia berteriak menjawabnya, tetapi segera disadarinya
kedudukannya dan dipercayakannya dirinya kepada Agung
Sedayu dan Swandaru. "Akulah yang bertanggung jawab atasnya saat ini," jawab
Agung Sedayu. "Kami adalah petugas ronda malam ini. Kamilah yang
bertanggung jawab atas keamanan Jati Anom dan sekitarnya."
"Tetapi aku mempunyai wewenang khusus dari Kakang
Untara, senapati di daerah ini, meskipun aku bukan seorang
prajurit." Kedua prajurit berkuda itu terdiam. Tetapi belum lagi mereka
puas dengan jawaban itu, maka kemudian menyusul empat
orang peronda datang berjalan kaki masuk kedalam regol
halaman setelah sejenak bercakap-cakap dengan prajurit
berkuda yang seorang di luar halaman.
"Aku juga melihat kuda itu. Aku ikuti arahnya. Ternyata ia telah
berada di sini." Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun tahu, betapa
ketatnya penjagaan Kademangan Jati Anom yang tampaknya
begitu lengang. Tetapi agaknya setiap jengkal tanah selalu
mendapat pengawasan yang teliti.
Dalam pada itu pun Agung Sedayu berkata, "Berdasarkan
wewenang khusus yang aku miliki, biarlah aku membawa
Kakang Wuranta menghadap Kakang Untara."
Para prajurit yang berada di regol halaman, itu sejenak saling
berpandangan. Tetapi mereka harus mempercayai Agung
Sedayu. Mereka mengenal anak itu sebagai adik Untara. Dan
mereka pun telah mendengar apa yang telah dilakukan oleh
Agung Sedayu. Karena itu tidak ada alasan bagi mereka untuk
mencurigainya. Meskipun demikian para prajurit itu sejenak masih diselubungi
oleh keragu-raguan, sehingga Agung Sedayu berkata,
"Berikan kuda kalian. Aku dan Adi Swandaru akan
mengantarkan Kakang Wuranta sekarang juga. Ada hal yang
penting harus segera diketahui oleh Kakang Untara."
Kedua prajurit berkuda itu tidak menjawab. Sesaat mereka
saling berpandangan. Sementara itu Agung Sedayu telah
melangkah di halaman mendekati kedua prajurit berkuda itu
diikuti oleh Swandaru. "Maaf, aku memerlukan kuda kalian untuk kepentingan Jati
Anom dan Pajang." Kedua prajurit itu menjadi seperti orang yang sedang
kebingungan. Prajurit itu tidak berbuat apa-apa ketika Agung
Sedayu menarik kendali kudanya, dan bahkan prajurit itu pun
meloncat turun tanpa disadarinya. Demikian prajurit yang
seorang lagi. Dengan kepala kosong diserahkannya kudanya
kepada Swandaru. "Aku akan pergi ke kademangan," berkata Agung Sedayu
kepada prajurit-prajurit yang berdiri tegak mematung di
halaman itu, "susullah kami ke sana. Mungkin kalian pun akan
mendengar sesuatu yang penting itu."
Agung Sedayu tidak menunggu prajurit itu menjawab. Segera
ia berkata kepada Wuranta, "Mari Kakang, aku antarkan kau
kepada Kakang Untara."
Sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari dengan
cepatnya menuju ke kademangan. Para prajurit yang
melihatnya seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka
memandangi kepulan debu yang putih yang sesaat kemudian
telah lenyap dalam kegelapan malam.
Ketika kuda-kuda itu telah hilang dari pandangan mata mereka
maka seolah-olah mereka pun baru menyadari keadaan
mereka sehingga salah seorang berkata, "He, kenapa kita
berdiri saja di sini. Mari kita lihat, apakah mereka benar-benar
pergi ke kademangan."
Seperti berloncatan berebut dahulu mereka pun segera
melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah Wuranta,
pergi menyusul ketiga ekor kuda itu ke kademangan seperti
yang dikatakan oleh Agung Sedayu.
Demikian Wuranta memasuki jalan induk kademangan
bersama Agung Sedayu dan Swandaru, segera ia melihat,


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa penjagaan di Jati Anom pun kini tidak kalah rapatnya
dibanding dengan Padepokan Tambak Wedi. Bahkan ia sama
sekali tidak dapat menilai, manakah yang lebih kuat di antara
kedua pasukan itu. Namun agaknya mata Ki Tambak Wedi
mempunyai ketajaman penglihatan yang jauh melampaui
penglihatannya. Karena Wuranta berjalan beriring dengan Agung Sedayu dan
Swandaru maka ia tidak banyak mendapat pertanyaan.
Bahkan untuk menghindari hal-hal yang dapat memperlambat
perjalanan itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru sama
sekali tidak menyebut-nyebut nama Wuranta. Sebab nama itu
mempunyai kesan yang tidak menyenangkan bagi orangorang
Jati Anom, terutama anak-anak mudanya dan bagi
orang-orang Pajang yang telah mendengarnya. Wuranta
adalah salah seorang yang mereka anggap telah hilang dari
lingkungan mereka dan berada di dalam lingkungan lawan.
Tetapi ketika Wuranta memasuki halaman kademangan, maka
suasana tiba-tiba menjadi tegang. Di halaman kademangan,
Agung Sedayu dan Swandaru tidak lagi berhasil
menyembunyikan anak muda itu dari pengamatan anak-anak
muda Jati Anom yang berada di halaman kademangannya.
Bahkan beberapa orang datang berlari-lari sambil bertanya,
"Agung Sedayu, apakah kau telah berhasil menangkapnya?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi wajah Wuranta-lah
yang menjadi merah padam. Ketika kuda-kuda mereka
berhenti, maka segera mereka dikerumuni oleh beberapa
anak muda dan prajurit Pajang. Wajah-wajah mereka
menunjukkan pancaran kebencian bercampur-baur dengan
teka-teki tentang kedatangan anak muda itu.
"Kita menghadap Kakang Untara," desis Agung Sedayu.
Wuranta tidak menyahut. Setelah mengikatkan kudanya pada
tiang di halaman, maka ia pun segera berjalan rapat di
belakang Agung Sedayu untuk menghindari hal-hal yang tidak
dikehendaki. Namun demikian, Wuranta itu mengeluh di dalam
hati sampai demikian dalam pengorbanan yang harus
diberikan kepada kampung halamannya. Seandainya tak
seorang pun sempat menerangkan apa yang senenarnya
dilakukan, maka seandainya ia mati dibunuh anak muda
sepadukuhannya, maka mayatnya pasti akan dilempar saja ke
kali sebagai seorang pengkhianat. Tetapi kali ini ia masih
menggantungkan diri kepada Agung Sedayu. Bukan soal
hidup atau mati, tetapi soal kebersihan namanya itulah yang
lebih penting baginya. "Akan kau bawa ke mana anak itu?" tiba-tiba terdengar suara
di antara mereka yang berdiri di seputar ketiga anak muda itu.
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya seorang bertubuh tinggi
agak kekurus-kurusan, "Oh, kau Kakang Jawawi."
"Ya, tetapi akan kau bawa ke mana anak itu?" Wuranta
mengerutkan keningnya. Jawawi adalah salah seorang anak
muda yang banyak mendapat kepercayaan di Jati Anom
seperti dirinya. Dan ia sadar sesadar-sadarnya bahwa Jawawi
pun telah menjadi salah paham memandang persoalannya.
"Akan aku bawa menghadap Kakang Untara."
"Jangan," berkata Jawawi. Matanya menjadi semakin tajam
memancarkan kebencian, "Wuranta adalah anak Jati Anom.
Persoalannya adalah persoalan kami. Bukan persoalan
prajurit Pajang." Dada Agung Sedayu dan Swandaru berdesir. Apalagi
Wuranta. Tetapi dalam keadaan ini, Wuranta mengambil sikap
yang baginya paling menguntungkan. Diam.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Jawawi
berkata terus sambil melangkah maju, "Adi Sedayu. Serahkan
anak itu kepadaku, kepada anak-anak muda Jati Anom."
"Jangan, Kakang," sahut Agung Sedayu. "Yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di daerah ini sekarang adalah Kakang
Untara. Kakang Untara adalah senapati yang mendapat
kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama."
"Sekali lagi aku peringatkan," potong Jawawi, "persoalan ini
bukan persoalan prajurit Pajang. Persoalan ini adalah
persoalan anak-anak muda Jati Anom."
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi
sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyerahkan Wuranta
kepada Jawawi. Maka jawabnya, "Kakang, biarlah Kakang
Untara. mengambil sikap. Kecuali Kakang Untara sedang
mengemban tugas sebagai seorang senapati, ia pun seorang
anak Jati Anom pula. Aku pulalah yang menemukan Kakang
Wuranta. Aku pun anak Jati Anom. Nah, percayakanlah
Kakang Wuranta kepadaku dan Kakang Untara. Kami akan
memenuhi keinginanmu, karena kami pun anak-anak muda
Jati Anom pula." Agung Sedayu tidak ingin persoalan ini menjadi
berkepanjangan. Segera Ia berjalan maju menyibakkan orangorang
yang mengelilinginya. Wuranta pun mengikutinya,
dekat-dekat di belakangnya. Sedang di belakang Wuranta
berjalan Swandaru yang gemuk.
Beberapa orang tanpa menyadari, segera menyibak memberi
mereka jalan. Tetapi agaknya Jawawi masih belum puas
dengan keadaan itu, sehingga segera ia melangkah pula
mengikuti Agung Sedayu sambil berkata, "Adi Agung Sedayu.
Jangan membuat kami kecewa. Supaya kami tidak berbuat
hal-hal yang tidak kalian inginkan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tetap
pada pendiriannya. Jawabnya, "Jangan memaksa, Kakang
Jawawi. Supaya keadaan Jati Anom tidak menjadi bertambah
kisruh hanya karena kau menuruti perasaanmu saja."
Wajah Jawawi menjadi merah mendengar jawaban Agung
Sedayu. Hampir-hampir ia membentaknya dan mencoba
menahannya, seandainya pintu kademangan itu tiba-tiba tidak
terbuka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat di muka
pintu itu berdiri Untara dan Ki Demang Jati Anom.
"Apa yang kalian ributkan?"
Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar Jawawi
mendahului, "Kami hanya ingin Wuranta diserahkan kepada
kami. Tetapi Adi Agung Sedayu berkeberatan, sehingga kami
terpaksa memaksanya."
Untara mengerutkan keningnya. Ketika dilihat olehnya dalam
keremangan malam, orang-orang berkerumun di halaman
demikian tegangnya. "Bawa anak itu kemari," tiba-tiba terdengar suara Untara.
Suara yang penuh memancarkan kewibawaan seorang
pemimpin prajurit yang bertanggung jawab. "Aku mempunyai
kekuasaan tidak terbatas di sini sebagai pengemban perintah
dari Pajang." Tak ada seorang pun yang berani menentang kata-kata itu.
Kecuali kata-kata itu mengandung ancaman, tetapi wibawanya
seolah-olah memukau setiap hati orang yang mendengarnya.
Karena itu ketika kemudian Agung Sedayu membawa
Wuranta meninggalkan halaman dan menaiki pendapa
kademangan langsung masuk ke pringgitan, orang-orang yang
berada di halaman itu hanya memandangi mereka saja.
Namun demikian, setelah Wuranta itu hilang di balik pintu
pringgitan, terbersitlah kata-kata di antara mereka, bahwa
mereka akan menunggu di halaman sampai Wuranta
diserahkan kepada mereka. "Hanya kamilah yang berhak
menghukumnya," gumam mereka.
Di dalam pringgitan, Ki Demang Jati Anom memandangi
Wuranta dengan hampir tak berkedip, seakan-akan baru
pertama kali ini ia melihat. Sedang Wuranta yang merasakan
tatapan mata itu, hanya menundukkan kepalanya saja. Ia
masih tetap berpendirian, bahwa segala sesuatunya akan
sangat tergantung kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
"Duduklah Wuranta," Untara mempersilahkan. Wuranta
terperanjat mendengar suara Untara. Suara itu telah
dikenalnya sejak beberapa puluh tahun yang lampau, selagi
mereka masih kanak-anak. Wuranta telah mengenal Untara
dalam permainan, dalam pergaulan yang lebih dewasa,
sampai suatu ketika Untara itu meninggalkan Jati Anom
mengabdikan diri kepada Adipati Pajang. Tetapi nada suara
itu agak berbeda dengan nada suara Untara di masa-masa
mudanya. Kini terasa bahwa kata-kata itu diucapkan bukan
oleh seorang anak muda padesan seperti dirinya, tetapi
nadanya adalah nada seorang pimpinan prajurit.
Wuranta itu pun kemudian duduk diapit-apit oleh Agung
Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali anak muda Jati Anom itu
mengangkat wajahnya pula, namun kemudian wajah itu pun
tertunduk lagi. "Kau baru datang dari padepokan Tambak Wedi, Wuranta?"
Wuranta mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menjawab,
"Ya, Untara, eh, Tuan, eh."
"Panggil namaku," potong Untara.
"Ya, Kakang Untara."
"Hem," tiba-tiba terdengar Ki Demang Jati Anom menggeram.
Ketika Wuranta beserta orang lain yang berada di dalam
pringgitan itu berpaling kearahnya, maka tampaklah wajah itu
menjadi tegang. Dengan kata-kata yang bergetar Ki Demang
berkata, "Wuranta, ternyata kau sangat mengecewakan kami,
orang-orang Jati Anom. Apakah sebabnya maka tiba-tiba saja
kau telah berada di padepokan setan lereng Merapi itu"
Apakah tanah ini, kampung halaman ini, kurang memberimu
kepuasan" Kurang memberimu sandang pangan dan
perlindungan?" "Nanti dulu, Ki Demang," potong Untara, "jangan tergesa-gesa
menyatakan sikap. Aku ingin tahu, kenapa tiba-tiba saja ia
menemui Agung Sedayu dan Swandaru."
*** Perkelahian itu sendiri kini benar-benar telah mencapai
puncaknya pula. Alap-alap Jalatunda telah memeras segenap
kemampuan dan tenaga yang ada padanya. Sedang pada
saat itu Sidanti jusrtru telah menemukan suatu kepastian,
bahwa ia akan segera memenangkan perang tanding itu.
Terasa bahwa Alap-alap Jalatunda telah menumpahkan
segenap kemungkinan yang ada padanya. Dan karena itu
maka ia telah kehilangan perhitungan tentang waktu. Tentang
daya tahannya menghadapi waktu yang sengaja diperpanjang
oleh Sidanti supaya murid Tambak Wedi itu mendapat suatu
keyakinan bahwa saatnya telah datang untuk mengakhiri
perkelahian tanpa kesulitan. Dan waktu itu kini telah menjadi
semakin dekat. Dalam ketegangan itu Ki Tanu Metir berbisik, "Angger, lihatlah,
langit telah memerah di Timur."
"Hampir fajar, Kiai," desis Agung Sedayu.
"Apakah kira-kira Angger Untara telah datang?"
"Aku rasa sudah, Kiai. Kedatangan Kakang Untara tidak akan
terpaut lama dengan kedatanganku."
"Baiklah. Berikanlah panah itu kepadaku. Kita akan sampai
pada saat yang menentukan. Kalau aku salah hitung, maka
sebaiknya Angger Untara kembali ke Jati Anom. Dan kalian
harus segera pergi mengambil Sekar Mirah. Setelah memberi
tanda-tanda kepada Angger Untara, aku akan segera
melindungi kalian apabila ada bahaya yang mengancam."
Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta merasakan
ketegangan dalam pesan Ki Tanu Metir. Ternyata orang tua itu
benar-benar sedang menghadapi saat yang menentukan,
apakah rencananya dapat berjalan atau gagal sama sekali.
Tetapi setidak-tidaknya usaha menyelamatkan Sekar Mirah
akan dijalankan, betapapun besar bahayanya.
Panah sendaren dan busurnya segera diberikan oleh Agung
Sedayu kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir-lah yang nanti
akan memberikan tanda-tanda itu kepada Agung Sedayu.
Ketika mereka melihat arena perkelahian, maka jelaslah kini
bahwa Alap-alap Jalatunda telah menjadi semakin terdesak.
Meskipun dari jarak yang agak jauh, tetapi kemampuan
mereka mengenal tata perkelahian cukup memberi mereka
pengertian apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Sesaat lagi ngger. Sesaat lagi kita akan melihat apa yang
akan terjadi. Dan sesaat kemudian akan kita lihat, apakah aku
tidak akan mendapat marah dari Angger Untara."
Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tambak Wedi tampak
menjadi tegang lagi. Kini ia tidak saja berdiri memperhatikan
setiap gerak kedua anak muda di dalam arena itu, tetapi kini ia
bergeser semakin dekat. Ketika cahaya merah di Timur menjadi semakin jelas, maka
Alap-alap Jalatunda pun menjadi semakin payah. Ternyata
dalam perkelahian yang terjadi itu, ia telah memeras segenap
kemampuan yang ada padanya, sehingga dalam waktu yang
singkat ia seakan-akan telah kehabisan tenaga. Pada saat itu
keadaan Sidanti masih cukup baik. Tenaganya masih segar
dan perhitungannya atas kelemahan Alap-alap Jalatunda
menjadi semakin masak. Sanakeling pun ternyata melihat keadaan itu. Wajahnya yang
hitam menjadi semakin tegang. Kini ia berdiri terbungkukbungkuk
di dalam lingkaran orang-orang yang melihat
perkelahian itu seperti Ki Tambak Wedi. Seakan-akan apa
yang dilihatnya itu tidak begitu jelas di matanya. Namun
sebenarnya, dadanya telah dipenuhi oleh kecemasan yang
memuncak. Kalau Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya,
maka Alap-alap Jalalunda itu akan mengalami nasib yang
sangat jelek. Maka setiap wajah orang-orang yang melihat perkelahian itu
kini menjadi kian tegang. Mereka menyadari bahwa
perkelahian itu sudah akan sampai pada akhirnya. Meskipun
Alap-alap Jalatunda masih tetap dalam perlawanan yang
Anak Harimau 7 Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Pedang Angin Berbisik 5

Cari Blog Ini