Ceritasilat Novel Online

Tapak Dewa Naga 1

Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga Bagian 1


TAPAK DEWA NAGA Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Raja Naga
Dalam Episode 001 :
Tapak Dewa Naga
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 MALAM berkabut dalam. Lolongan
serigala di kejauhan,
menambah keangkeran malam. Gumpalan awan hitam padat di atas, tak bergeming sedikit pun
jugaterhembus angin. Beberapa helai daun berguguran, beterbangan jauh. Malam
kali ini lain dengan malam-malam sebelumnya.
Lebih mencekam, dingin dan dalam.
Keheningan malam pun melanda sebuah
rumah besar yang terletak di sebuah
lembah. Lembah yang tak begitu curam dan luas. Hanya beberapa buah pohon yang
tumbuh di sana. Tak jauh dari sana
puncak-puncak tebing bebatuan berdiri angkuh. Seolah hendak menantang siapa saja
yang berniat untuk merobohkannya.
Asap kemenyan tercium dari rumah
itu. Rumah yang biasa tenang dan damai, kini telah menjadl rumah duka. Dua orang
lelaki bertubuh tegap dan gagah, dengan sebllah pedang di pinggang, berdiri di
depan rumah itu. Menyambut ramah
beberapa orang yang datang dan kemudian pergi setelah memberikan ucapan
belasungkawa pada tuan rumah.
Di dalam rumah itu, di sebuah
ruangan yang cukup besar, nampak satu sosok tubuh terbujur kaku di atas sebuah
dipan. Di bawah dipan itu, tepat di
bagian kepala dan kaki, mengepul uap kemenyan dari anglo hitam.
Seorang perempuan berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun, nampak khusuk duduk berlutut di samping kanan jenazah
lelaki berwajah tampan yang mengenakan pakaian putih bersih, yang pada kening
lelaki itu terdapat untaian daun lontar.
Mata si perempuan berpakaian hitam itu sembab. Di lehernya menggantung untaian
daun lontar yang dirajut indah. Dia
berulang kali mengusap kedua matanya.
Dan dengan ketabahan tinggi, dia
berusaha untuk menahan tangis.
Tak jauh dari tempatnya, berdiri dua lelaki setengah baya yang mengenakan
pakaian serba kuning panjang. Jubah
mereka berwarna hijau. Satu sama lain memiliki raut wajah yang sama. Keduanya
pun datang dengan belasungkawa yang
dalam. Salah seorang dari kedua orang itu,
yang berdiri di samping kiri, menoleh pada seorang lelaki bertubuh pendek,
gemukkekar. Lelaki yang diperkirakan berusia sekitar enam puluh tahun itu
mengenakan pakaian warna biru terbuka dl bagian dada, hingga tak bisa tutupi
perut gemuknya. Mungkin karena lemak yang
berlebihan di setiap inci tubuhnya,
hingga tak terlihat adanya kerutan atau keriput di wajahnya. Sebuah tombak
berwarna biru tergenggam di tangan
kanannya yang gempal, lebih tinggi dari tubuhnya.
Orang yang menoleh tadi berbisik,
"Dewa Tombak... apa yang sebenarnya terjadi?"
Si gemuk pendek mengangkat
kepalanya, karena orang yang bertanya lebih tinggi. Mata bulatnya sesaat
memandangi orang itu, lalu kembali
diarahkan pada jenazah lelaki gagah yang terbujur kaku.
Masih memandang dia menjawab, "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Lima hari yang
lalu... aku datang seperti biasa, untuk menyambangi Pendekar Lontar. Saat itu
dia dalam keadaan segar bugar. Tak terlihat tanda-tanda sedang sakit atau kena
penyakit. Tetapi kemarin malam, ketika aku datang kembali ke tempat ini, dia
sudah tewas...."
"Kau tidak tahu apa yang terjadi?"
Dewa Tombak gelengkan kepalanya.
Lehernya yang seperti menyatu dengan bahunya seperti tak kelihatan bergerak.
"Bukan hanya aku yang tidak tahu apa yang menyebabkan kematian Pendekar
Lontar. Tetapi istrinya sendiri, Dewi Lontar, ketika kutanyakan
sebab-sebabnya, dia mengaku tidak tahu sama sekali."
"Sebagai seorang sahabat, kau sudah memeriksa keadaan Pendekar Lontar?"
"Aku sudah melakukannya. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya normal.
Bagian tubuhnya tak terlihat terkena satu serangan. Tadi siang, aku sudah
menghubungi Dewa Segala Obat. Biar bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui
penyebab kematian Pendekar Lontar. Bila memang Pendekar Lontar meninggal karena
panggilan Sang Pencipta, itu tak perlu dipermasalahkan lagi. Tetapi kita tahu,
Pendekar Lontar banyak mempunyai musuh akibat dari segala tindakannya yang
selalu membela kebenaran."
"Katamu tadi, kau sudah menghubungi Dewa Segala Obat. Apa katanya?"
"Dia berjanji untuk datang. Dan aku berharap, dia dapat menemukan
sebab-sebab kematian Pendekar
Lontar...," sahut Dewa Tombak. Lalu mengangkat kepalanya,
"Sema Kuriang... aku tahu
kesibukanmu dengan saudara kembarmu itu.
Tetapi kau tetap bisa datang. Aku
mengucapkan terima kasih...."
Si lelaki berjubah hijau itu
menganggukkan kepala.
"Kendati kami jarang berjumpa
dengan Pendekar Lontar, tetapi kami
sangat menghormatinya. Dalam usianya yang baru tiga puluh tahun, julukannya
sudah membedah sebagian jagat raya ini sebagai orang yang berada dalam golongan
lurus. Selain dikenal dengan ilmu yang dimilikinya, Pendekar Lontar juga pandai
memainkan ilmu pedang. Tak seorang pun yang
menyangsikan kehebatannya
mempergunakan pedang. Sudah tentu, kami, Dua Serangkai Jubah Hijau, merasa perlu
untuk datang memberikan penghormatan terakhir...."
Baik Sema Kuriang maupun Dewa Tombak tak buka suara. Mereka melihat perempuan
berpakaian ringkas warna hitam
perlahan-lahan bangkit. Sepasang mata yang biasanya bersinar ceria dan indah,
kini sembab akibat menahan tangis. Si perempuan yang ternyata istri dari si
lelaki yang telah menjadi mayat,
memandang pada keempat orang itu.
Dia mencoba tersenyum.
"Terima kasih atas kedatangan
kalian...," katanya agak tersendat.
Dewi Lontar..., kata Sema Kuriang.
"Aku sudah bertanya pada Dewa Tombak, penyebab kematian suamimu, si Pendekar
Lontar. Tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi. Sebagai orang yang menghargai
sekaligus menghormati Pendekar Lontar, kami merasa perlu untuk mengetahui
penyebab kematiannya....".
Perempuan berambut hitam indah
dikuncir kuda yang dari tubuhnya
menguarkan aroma harum itu, menarik
napas pendek. Hidung bangirnya agak
memerah, demikian pula dengan kulit
putih bersihnya.
Sambil memainkan kalung daun lontar
yang tergerai di dadanya, perlahan-lahan dia menggeleng.
"Aku sendiri tidak tahu sama
sekali.... Kemarin malam, kami masih bercanda. Bahkan, kami sama-sama
mencandai putra kami satu-satunya, si Boma Paksi, sampai putra kami yang
berusia lima tahun itu tertidur."
"Apakah kau tidak melihat gelagat buruk saat itu?" tanya lelaki berjubah hijau
yang berdiri di samping Sema
Kuriang. Wajahnya mirip dengan Sema
Kuriang. Tetapi ada tahi lalat tepat di tengah keningnya.
Dewi Lontar kembali menggelengkan
kepalanya. Gerakannya sangat lemah.
Perempuan perkasa itu merasa sebagian jiwanya telah terampas pergi bersamaan
meninggalnya suaminya. Sebelum subuh tadi, dia terbangun karena hendak buang
air. Lalu dia pergi ke belakang. Setelah itu dia kembali ke kamarnya. Dilihatnya
suaminya yang tertidur dengan kedua mata mengatup.
Rasa cinta kasihnya membuatnya
lebih lama memperhatikan suaminya.
Sampai dia merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Karena dia tak mendengar
desahan napas lembut suaminya seperti biasa. Rasa herannya itu membuatnya jadi
penasaran. Dijulurkan telunjuknya ke hadapan hidung suaminya.
Hati Dewi Lontar seketika tercekat
karena dia tak merasakan adanya hembusan atau tarikan napas. Rasa penasarannya
berubah menjadi panik. Dia segera
tempelkan telinganya pada bagian jantung suaminya. Sama sekali dia tak mendengar
bunyi detakan lembut jantung suaminya.
Untuk beberapa saat Dewi Lontar
tertegun. Seperti tak mempercayai apa yang terjadi. Dan perlahan-lahan dia
sadar, kalau suaminya sudah meninggal.
Kala matahari sepenggalah, Dewa
Tombak muncul sesuai janjinya dua hari lalu. Diceritakannya apa yang telah
terjadi dengan penuh kesedihan.
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya. Perempuan berwajah bulat
telur Ini berusaha untuk kelihatan
tegar. "Aku tak melihat tanda-tanda
kecemasan suamiku akan sesuatu pada
malam itu. Dia tetap kelihatan tenang dan selalu ceria seperti biasanya...."
"Dewi Lontar... selama ini suamimu dikenal sebagai orang yang membela orang yang
Eemah. Berpuluh orang pernah
dikalahkannya karena orang-orang itu berbuat makar. Menurut penilaianku, tak
mustahil bila ada orang yang mendendam padanya dan malam itu datang melakukan
serangan...."
"Serangan gelap seperti apa pun akan selalu diketahui oleh suamiku...."
Jawaban Dewi Lontar tidak bernada
sombong sama sekali. Dua Serangkai Jubah Hijau dan Dewa Tombak, sama-sama tahu
kalau Pendekar Lontar memiliki ilmu
'Raga Pasa. Ilmu yang membuatnya dapat mengetahui serangan gelap apa pun juga.
Bahkan Ilmu sihir yang dilancarkan oleh seorang ahli sihir yang sangat ahli pun
dapat diketahui.
Dewa Tombak berkata, "Dewi
Lontar... tabahkanlah hatimu. Bila
memang suamimu meninggal karena sudah batas usianya, relakanlah...."
Dewi Lontar menganggukkan
kepalanya. "Ya... aku akan merelakannya.
Kematian apa pun yang telah menimpanya, aku akan rela menerimanya...."
"Tidak!" Dewa Tombak berkata tegas.
Perutnya yang besar sesaat bergerak.
Lalu suaranya berubah lembut ketika
tatapan Dewi Lontar tak berkedip ke
arahnya, "Maksudku... aku tak akan pernah terima, bila ternyata ada orang yang
telah menjahati suamimu. Bila
memang demikian adanya, dugaanku dia tewas akibat ilmu hitam...."
Pernyataan Dewa Tombak membuka
sepasang mata perempuan jelita
berpakaian hitam. Untuk sesaat dia
terdiam memlkirkan apa yang dikatakan orang bertubuh gemuk itu. Tetapi di kejap
lain perempuan itu sudah gelengkan
kepala. "Untuk saat Ini, aku tak ingin
memikirkan keadaan itu. Besok... aku akan mengadakan upacara penguburan...."
Dewa Tombak tak tersinggung dengan
ucapan si perempuan. Dia dapat
memakluminya. "Selama aku mengenal Dewi Lontar, belum sekali pun kulihat dia bersedih seperti
ini. Dia selalu ceria dengan kegembiraan yang alami. Tak pernah
dibuat-buat. Tetapi di saat lain, dia bisa berubah menjadi seseorang yang
sangat garang, melebihi garangnya
harimau betina. Dan biasanya, dia selalu memikirkan baik-baik setiap urusan yang
terjadi. Nampaknya kail ini, kesedihan sudah melandanya hingga dia seolah tak
pedulikan apa yang kukatakan tadi," kata Dewa Tombak dalam hati.
Lalu tamu-tamu pun berdatangan
untuk mengucapkan belasungkawa kepada janda Pendekar Lontar. Mereka
berdatangan dan segera pergi.
Sampai tinggal orang-orang yang
sejak tadi memang berada di sana. Saat Itulah terdengar suara anak kecil
menangis. Dewi Lontar segera beranjak ke salah sebuah ruangan yang terdapat di
rumah itu. Sema Kuriang berbisik pada Dewa
Tombak, "Di mana Dewa Segala Obat"
Mengapa sampai saat ini dia belum juga hadir?"
Lelaki gemuk itu menggelengkan
kepalanya. "Aku juga heran. Mengapa dia belum hadir juga?"
Tak lama kemudian mereka melihat
Dewi Lontar sudah muncul kembali, kali ini sambil menggendong bocah laki-laki
yang tertidur manja dalam rangkulan-nya.
Bocah itu berambut gondrong. Di
punggungnya terdapat sebuah gambar
seekor naga berwarna hijau.
Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama
memandang tak berkedip pada tato seekor naga yang terdapat pada punggung si
bocah. Sementara Dewa Tombak tak acuh saja, karena dia sudah sering melihat
gambar seekor naga disana.
Dewi Lontar sadar apa arti tatapan
kedua lelaki setengah baya berjubah
hijau. Dia berkata, "Aku
tidak tahu bagaimana asal mulanya gambar naga hijau ini terdapat pada punggung bayiku. Saat
kulahirkan, gambar naga hijau yang
seperti sebuah tato Ini, sudah terdapat pada punggungnya...."
Dua Serangkai Jubah Hijau tak
bersuara. Mereka masih memperhatikan tato naga hijau yang terdapat pada
punggung si bocah.
Sema Kuriang membatin, "Aku seperti melihat sisik tipis warna coklat yang
terdapat pada kedua tangannya sebatas siku. Ah, mungkin aku salah melihat.
Rasanya agak janggal kalau bocah Itu memiliki sisik."
Di pihak lain, saudara kembarnya
juga membatin, "Pada punggungnya, terdapat tato naga hijau. Pada kedua tangannya
sebatas siku terdapat
sisik-sisik kecoklatan. Aneh Mengapa kedua tangannya sampai bersisik seperti


Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu" Padahal Pendekar Lontar
dan istrinya tak memiliki sisik seperti itu.
Jangan-jangan... sisik-sisik coklat
yang terdapat mulai jari-jemarinya hingga batas siku, juga dibawanya sejak
lahir." Selagi keheningan terjadi,
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di depan. Dewa Tombak segera berkelebat ke
sana. Dia melihat dua orang
bersenjatakan pedang yang menjaga di depan rumah besar itu, sedang ribut
omongan dengan seorang kakek yang mengenakan jubah merah. Kepala si kakek
lonjong. Kumis putihnya panjang turun ke bawah. Rambutnya yang sudah memutih
semua diikat ekor kuda. Bola matanya tajam dengan sepasang aiisyang seperti
menyatu. Dari apa yang ada pada tubuh si kakek, yang mengejutkan adalah kedua
punggung tangannya. Karena, di sana ada sisik-sisik berwarna hijau. Sangat
jelas. Sisik itu pun terdapat pada bagian wajahnya, tetapi tlpis saja. Karena
dia mengenakan pakaian panjang, jadi tak bisa diketahui apakah sisik-sisik Itu
juga,terdapat pada bagian tubuhnya yang lain.
Si kakek saat ini sedang
marah-marah. Bahkan tangan kanannya siap terangkat untuk menampar kedua penjaga
itu. "Selamat datang ke rumah duka, Dewa Naga...."
Ucapan Dewa Tombak yang disusul
dengan sosoknya yang mendekat, membuat si kakek mengurungkan niatnya untuk
menampar kedua penjaga yang bersiaga.
Bahkan tangan kanan masing-masing sudah menggenggam pedang, siap dihunuskan.
"Brengsek! Apa-apaan kedua cecunguk ini melarangku masuk, hah"! Hei, Orang
bulat! Katakan pada mereka, jangan
banyak tingkah di hadapanku!"
Dewa Tombak tersenyum. Saat
melangkah tubuhnya mengegal-ngegol. Dia memberi isyarat pada kedua penjaga yang
menuruti tetapi tatapannya tajam pada si kakek muka lonjong.
"Hanya kesalahpahaman saja...,"
kata Dewa Tombak dengan senyuman lebar.
"Dan kau tetap selalu bersikap keras seperti itu rupanya."
Si kakek muka lonjong yang bersisik
halus itu menggeram.
"Brengsek! Apanya yang kesalah
pahaman, hah"! Mereka melarangku masuk!
Memangnya di dalam sana ada pertunjukan yang mengharuskan aku membayar untuk
melihat"!"
Salah seorang penjaga itu berseru,
"Tuan Dewa Tombak... sikap si kakek sungguh tak menyenangkan. Dia datang dengan
sikap yang angkuh. Bahkan
mulutnya terus berbunyi yang justru
menimbulkan kegaduhan..."
"Eh, busyet maki si kakek dengan mata tajam. "Mulutku berbunyi"! Keparat betul
kau ya" Jangan-jangan kau memang mengharapkan kugaplok"!"
Si penjaga sama sekali tak kelihatan takut, karena mereka memang tidak tahu
siapa kakek bersisik hijau yang datang ini. Saat ini dia sedang berduka karena
majikan mereka tewas tanpa ketahuan
penyebabnya. Dan dia sangat tersinggung bila ada orang yang bermaksud
menyembangi majikannya bersikap tak
menyenangkan. Selama delapan tahun,
Markuto dan adiknya yang bernama Gerada sudah mengabdikan diri pada Pendekar
Lontar. Bahkan dengan senang hati Pendekar Lontar mengajarkan mereka sedikit
ilmu pedang yang dimllikinya. Rasa
hormat mereka pada Pendekar Lontar
melebihi sayangnya mereka pada nyawa sendiri.
Sementara si penjaga mendelikkan
matanya gusar, Dewa Tombak justru tertawa-tawa
keras. Si kakek muka lonjong menggeram.
"Kau teruskan tawamu, kubunuh
kau!!" Dewa Tombak sendiri segera
menghentikan tawanya. Bukan karena takut akan ancaman si kakek yang berjuluk
Dewa Naga, melainkan karena dia kembali
teringat, kalau saat ini suasana duka sedang melanda.
Lalu katanya pada Markuto, "Kau salah sangka, Markuto. Bukan mulutnya yang
berbunyi, tetapi pantatnya!"
Sementara Markuto melongo, si kakek
muka lonjong menggeram.
"Brengsek! Kau membuka aibku ya"!
Memang... pantatku ini terkadang tidak bisa diajak kompromi! Selalu bunyi tanpa
kuminati! Eh, selagi kuminati... susah sekali bunyinya...."
Dewa Tombak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu diajaknya Dewa Naga
masuk ke dalam. Markuto dan Gerada
memperhatikan dengan seksama. Mereka membuka pendengaran lebih lebar. Dan mereka
tak mendengar suara yang seperti sebelumnya mereka dengar.
Sementara itu, menyadari kalau dua
pasang mata tertuju pada pantatnya, si kakek muka lonjong menggeram jengkel.
Mendadak dijentikkan ibu jari dengan telunjuknya.
Claaap....! Gerakan yang sangat ringan dan cepat itu seperti tak mengandung apa-apa,
tetapi Markuto dan Gerada mendadak saja jatuh terjengkang.
Dewa Tombak berkata, "Kau terlalu ringan tangan, Kawan...."
"Keparat kau, Kakek Bulat! Siapa yang tidak risih kalau pantatnya
dilihati terus" Memangnya aku janda
kembang yang punya pantat bulat yang memancing perhatian untuk
diremas-remas"!" seru si kakek gusar.
Dewa Tombak mendengus.
"Bila kakek ini mau, kedua orang itu bukan hanya akan langsung tewas
seketika. Tetapi tubuhnya akan lebur menjadi debu," katanya dalam hati.
Kemudian melanjutkan, "Tokoh satu ini memang dikenal memiliki sifat
angin-anginan. Setiap orang yang
mendengar julukannya, pasti akan merasa copot jantungnya. Siapa yang tak
mengenal julukan Dewa Naga?"
Lalu dengan langkah yang
mengegal-ngegol dia masuk kembali ke ruangan duka, disusul oleh Dewa Naga yang
mendengus. Di pihak lain, Markuto dan Gerada
sedang bangklt sambil meringis. Dan
mereka tidak mengerti apa yang telah menimpa mereka tadi.
* * * 2 KEKADIRAN Dewa Naga membuat Dua
Serangkai Jubah Hijau segera
merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Yang dihormati justru mendengus
saja. Dia berkata pada Dewi Lontar yang
sedang mengangguk hormat, "Siapa orang keparat yang membunuh pendekar gagah itu,
Dewi Lontar?"
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya. Lalu dengan suara pelan dia menyahut,
"Dewa Naga... suamiku tidak mati dibunuh orang. Tetapi ajal memang sudah
menjemputnya...."
"Huh! Bicaramu terlalu ringan! Kau
terlalu diliputi
oleh kesedihan rupanya!" dengus si kakek berjubah merah. Dia berjalan mendekati jenazah
Pendekar Lontar. Saat berjaian mendadak saja sesuatu berbunyi,
Brrut! Bruuut! Kontan Dewa Naga menghentikan
langkahnya. Dia melirik ke kanan kiri dengan wajah agak memerah. Keanehan
terpampang. Karena sisik halus warna hijau pada wajahnya, seperti berubah
menjadl merah. Setelah dilihatnya tak ada yang ketawa atau meringis, dia
melangkah lagi.
Padaha! saat ini Dewa Tombak sudah
tertawa keras dalam hati. Sementara Dua Serangkai
Jubah Hijau hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kakang Segala Jaka memang tak
pernah menghilangkan kebiasaannya itu,"
desis Sema Kuriang dalam hati.
"Ah... kebiasaan buruk. Tapi mau bagaimana lagi" Dia tak akan pernah bisa
menghilangkannya...."
Dewa Tombak membatin, "Tak kusangka kalau Dewa Naga, Majikan Lembah Naga, akan
hadir di sini. Ya, ya... siapa pun akan menyambangi kematian pendekar besar
seperti Pendekar Lontar."
Saat itu Dewa Naga sudah berdiri di
samping kanan sosok Pendekar Lontar yang terbujur kaku. Sepasang mata tajam si
kakek yang memperlihatkan Sinar
kewibawaan kendati kalau bicara asal saja, memperhatikan sekujur tubuh
Pendekar Lontar. Saat lain mulutnya
terlihat berkemak-kemik di saat tangan kanannya digerakkan di atas tubuh
Pendekar Lontar. Sisik-sisik hijau pada wajahnya semakin menyala.
Tak ada yang menahan apa yang
dilakukannya. Mereka tahu, kalau Dewa Naga yang memiliki kesaktian luar biasa
itu, sedang mencari penyebab kematian Pendekar Lontar.
Kemudian terlihat tangannya
bergetar. Dia buka Suara, "Aku tak percaya kalau dia tewas tanpa ada
penyebabnya...."
Kata-katanya itu membuat
orang-orang yang berada di sana,
termasuk Dewi Lontar jadi membuka mata lebih lebar. Mereka melihat tangan kanan
Dewa Naga semakin bergetar, tepat pada jantung Pendekar Lontar.
"Aku mencurigai ada sesuatu di
jantungnya, yang menyebabkannya
meninggal...."
"Kakang Segala Jaka...," kata Gala Kuriang salah seorang dari Dua Serangkai
Jubah Hijau, "Apakah kau berpendapat kematian Pendekar Lontar tidak wajar?"
"Brengsek! Jangan ganggu aku kalau aku sedang mencari sesuatu, hah"! Kau ingin
wajahmu kuhantamkan ke tembok"!"
maki Dewa Naga keras.
Gala Kuriang tidak tersinggung
dengan ucapan itu. Dia justru menutup mulutnya.
"Aku yakin, Pendekar Lontar mati tidak wajar. Tetapi aku tidak tahu apa
penyebabnya. Semua orang tahu, kalau dia memiliki
ilmu 'Raga Pasa'. Boleh
dlkatakan, kalau orang yang
membunuhnyaini memiliki limu yang tinggi dan aneh. Bisa juga kalau dia
mempergunakan sesuatu untuk
membunuhnya."
"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau katakan dia meninggal tidak wajar?"
tanya Dewa Tombak.
Dewa Naga melotot padanya.
"Orang bulat banyak omong! Aku bukan ahli penyakit dan juga bukan ahli obat!
Yang bisa menerangkan semua ini hanya Dewa Segala Obat!"
"Aku telah menjumpainya dan
memintanya datang ke sini...."
"Bagus! Tapi, mengapa dia belum juga datang"!"
"Dewa Segala Obat selalu tepati janji. Kalaupun dia terlambat datang, mungkin
ada sesuatu yang menghambatnya.
Tetapi aku yakin, dia pasti datang."
Justru yang datang kemudian, dua
orang lelaki berwajah tirus. Kedua
lelaki ini diperkirakan berusia sekitar enam puluh tahunan. Tampang mereka sadis
dan angker. Yang berambut panjang tetapi botak di tengah, memiliki mata tajam
mengerikan. Tak berkumis, tetapi
berjenggot yang dikepang. Mengenakan pakaian hitam dengan rompi biru. Di
pergelangan tangannya yang kurus
terdapat gelang-gelang hitam hingga
batas lengan. Sementara yang seorang lagi,
mengenakan pakaian panjang dengan jubah hitam. Lebih tinggi dari yang satunya
lagi. Tatapannya pun tajam, dengan
kelopak mata agak menurun. Kepalanya plontos, dan terdapat tanda matahari tepat
di ubun-ubunnya.
Masing-masing orang yang berada di
sana memandang tidak enak akan kehadiran keduanya. Mereka mengenal kedua tokoh
itu. Yang berjenggot dikepang berjuluk Iblis Penghancur Raga, sementara yang
seorang lagi berjuluk Iblis Telapak
Darah. Kedua orang ini dikenal sebagal orang sesatyang menguasai daerah timur.
Iblis Penghancur Raga mengedarkan
pandangannya ke orang-orang yang berada di sana. Begitu tertumbuk pada mata Dewa
Naga, dia kelihatan berusaha untuk tidak menatapnya lebih lama.
"Keparat! Kupikir kakek sialan itu tidak hadir di sini!" makinya dalam hati.
Lalu melangkah mendekati jenazah
Pendekar Lontar. Ditatapnya jenazah itu dengan seksama. Dan tanpa sungkan dia
memperlihatkan senyuman sinisnya. Lalu melakukan pertghormatan tiga kali. Lalu
mundur. Iblis Telapak Darah ganti melakukan
penghormatan yang sama. Tetapi sambil berkata, "Kehebatanmu ternyata
tak seberapa, Pendekar Lontar. Kau yang
selama ini dikenal sebagai orang sok suci yang selalu lancang mencampuri urusan
orang, akhirnya pun mampus juga...."
Kata-kata sinis Ibiis Telapak Darah
membuat muka Dewi Lontar memerah. Tetapi perempuan Jelita yang sedang
menggendong Boma Paksi yang masih tertidur, segera tindih amarahnya. Dia tahu,
kalau tiga bulan yang lalu, Ibiis Penghancur Raga dan iblis Telapak Darah pernah
dikalahkan suaminya di Lembah Air Mata.
Dan dapat dipastikan kalau keduanya
datang untuk mencari gara-gara.
Tetapi Sema Kuriang tak menyukai
kata-kata iblis Telapak Darah.
"Ada seekor kucing yang hendak
berubah menjadi harimau, tetapi sampai kapan pun tak akan pernah bisa terjadi
walaupun sudah diupayakan seperti apa pun. Keberaniannya tak akan ada meskipun
dia telah berubah menjadi harimau.
Karena masih ada harimau sesungguhnya yang siap menerkamnya...."
Sindiran halus Sema Kuriang membuat
iblis Telapak Darah seketika menoleh.
Lelaki berjubah hitam ini sudah hendak buka mulut menyemprot, tetapi tangannya
dijentik oleh ibiis Penghancur Raga.
Mengerti maksud dari Iblis
Penghancur Raga kalau di sana ada Dewa Naga yang sedang melotot pada mereka,
iblis Telapak Darah menelan bulat-bulat kejengkelannya.
Iblis Penghancur Raga berkata pada
Dewi Lontar, "Dewi Lontar... kuhaturkan ucapan belasungkawa yang
sedalam-dalamnya atas kematian suamimu.
Terus terang, kami hadir dengan membawa persahabatan dalam. Tak ada dendam
sedikit pun di hati kami kendati pernah dikalahkannya di Lembah Air Mata...."
Kendati tak mempercayai kata-kata
Iblis Penghancur Raga, Dewi Lontar
mengangguk.

Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih kuucapkan atas
kesediaanmu menyambangi jenazah
suamiku...."
Iblis Telapak Darah berkata,
"Suamimu adalah seorang tokoh besar yang pernah hidup di zaman in!. Sayang,
usianya sangat pendek. Padahal, masih banyak yang bisa dilakukannya...."
"Siapa pun tak akan bisa menentang ajal...," kata Dewi Lontar sopan.
Iblis Telapak Darah menganggukkan
kepalanya. "Ya, siapa pun tak akan bisa
menentang ajal. Maafkan kami... kami tak bisa tinggal lebih lama di sini. Sekali
lagi, kami turut
berduka cita sedalam-dalamnya...."
Setelah itu, keduanya melangkah
keluar dengan kepala terangkat, angkuh.
Iblis Telapak Darah melirik Sema Kuriang penuh amarah yang dibalas oleh Sema
Kuriang tak kalah garangnya.
Sepeninggal keduanya, Dewa Tombak
berkata, "Sejak tadi kita memikirkan penyebab kematian Pendekar Lontar. Tak
seorang pun yang memungkiri kalau
sesungguhnya ini sudah panggilan Tuhan.
Tetapi, kita wajib berusaha untuk
mengetahui segala penyebabnya. Untuk itu... aku bermaksud untuk menjemput Dewa
Segala Obat. Mungkin dia
mendapatkan satu halangan hingga
terlambat hadir di sini. Padahal, dia sudah berjanji padaku...."
Dewi Lontar sebenarnya ingin
melarang, karena dia tak mau kematian suaminya menjadi urusan yang panjang.
Baginya, suaminya memang sudah diberikan umur yang cukup oleh Sang Pencipta. Dan
bila Dia menghendakinya untuk pulang, bukan hanya suaminya yang tak dapat
menolak, siapa pun orangnya tak akan mungkin bisa menghindari keadaan itu.
Gala Kuriang berkata, "Dewa
Tombak... kau adalah sahabat terdekat dari Pendekar Lontar. Akan lebih baik bila
kau tetap berada di sini menemani Dewi Lontar. Sebaiknya, biar kami saja yang
menjemput Dewa Segala Obat...."
Bukannya Dewa Tombak yang menyahut,
Dewa Naga yang berkata, "Brengsek! Apa kau pikir kehadiranku di sini tidak akan
jadi lebih baik" Benar-benar ingin..."
Bruuutt! Kata-kata Dewa Naga terputus karena
pantatnya sudah berbunyi lagi. Sekali lagi sisik hijau pada wajahnya berubah
menjadi merah. Tetapi dia justru
mengangkat dagunya tinggi-tinggi seraya berkata,
"Daripada kutahan jadi uban, kan lebih baik kulepas saja?"
Baik Dewa Tombak maupun Dua
Serangkai Jubah Hijau tak menghiraukan selorohannya. Tetapi Dewi Lontar
tersenyum. Perempuan perkasa yang sedang berduka itu, merasa agak terhibur
dengan ulah si kakek muka lonjong yang penuh sisik hijau.
Lalu penuh duka, dltatapnya jenazah
suaminya. Ada keinginan kuat yang
mendorongnya untuk memeluk jenazah Itu.
Tetapi ditahan sebisanya.
"Suamiku... mungkin hanya Sang
Penguasa Jagat dan kau sendiri yang
mengetahui penyebab kematianmu. Tetapi mungkin pula kau tak mengetahuinya.
Semula... aku tak mempedulikan keadaan itu, karena kau tentunya tahu bila ada
satu serangan gelap yang datang. Hanya saja... kata-kata Dewa Naga tadi,
mengubah keyakinanku. Aku mencurigai kematianmu, suamiku...," katanya dalam
hati. Dewa Tombak berkata pada Gala
Kuriang, "Bila kalian berkenan
melakukannya, silahkan."
Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama
menganggukkan kepaia.
Dewa Naga berkata setelah
mendengus, "Gala Kuriang! Bila kau sudah berjumpa dengan Dewa Segala Obat dan
masih memiliki waktu, kuminta kau
mendatangi Menara Berkabut"
Kata-kata bernada perintah dari
Dewa Naga itu bukan hanya mengejutkan Gala Kuriang saja, tetapi orang-orang yang
berada di sana. Siapa pun tahu, Menara Berkabut adalah sebuah tempat yang penuh
dengan misteri. Bahkan tempat itu seolah telah melegenda karena
kemisteriusan dan keangkerannya.
Kalaupun Dewa Naga memerintahkan Dua Serangkai Jubah Hijau untuk mendatangi
Menara Berkabut, tentunya ada sesuatu yang dimaksud.
Tetapi dengan konyolnya si kakek
muka lonjong penuh sisik hijau itu justru nyengir, "Eh... tidak usah saja, deh!
Tidak usah! Cepat kalian pergi dari sini!
Kalau bisa, selekasnya membawa orang tua pikun berjuluk Dewa Segala Obat itu!"
Lalu sambungnya sambil menggeleng
gelengkan kepala seperti ditujukan pada dirinya sendiri, "Heran! Sudah
sedemikian tua... kenapa dia masih hidup juga, ya?"
Kendati demikian, masing-masing
orang merasa pasti kalau Dewa Naga
mengetahui sesuatu. Tetapi seperti yang mereka ketahui, Dewa Naga adalah seorang
tokoh yang selain memiliki kesaktian tinggi juga memiliki sifat
angin-anginan. Dan bila ada orang yang berani mendesaknya, bisa jadi mulutnya
sudah mencong tanpa orang itu tahu apa penyebabnya!
Mendadak dia membentak, "Hei,
Kenapa kalian masih berada di sini"! Tadi kalian yang mau untuk pergi menemui
Dewa Segala Obat! Sekarang masih diam di sini kayak kambing ompong! Ayo, sana
pergi! Kalau tidak... kujitak kepala kalian!"
Sesungguhnya, sikap Dewa Naga
tidaklah tepat. Karena saat ini suasana sedang berkabung tengah melanda rumah
besar itu. Tetapi dia masih bersikap semau jidatnya saja. Karena memang
begitulah sifatnya. Hanya saja,
janganlah sekali-sekaii memancing
amarahnya! Dua Serangkai Jubah Hijau segera
mengangguk dan melangkah keluar.
"Brengsek!" dengus Dewa Naga. Lalu diarahkan pandangannya pada Dewi Lontar yang
masih menggendong putranya yang tetap tertidur. Mulut Dewa Naga hendak membuka,
tetapi mendadak saja dia
melongo. Seperti melihat sesuatu yang baru, kakek muka lonjong ini terdiam
dengan muiut ternganga.
"Ada apa, Orang Tua?" tanya Dewi Lontar pelan.
"Busyet! Astaganaga! Benar-benar astaga! Dewi Lontar... bocah siapakah yang
sedang kau gendong itu?"
"Dia adalah putraku, Orang Tua."
"Siapa namanya?"
"Boma Paksi."
"Nama yang bagus. Berapa usianya?"
"Jalan lima tahun...."
"Gila! Sudah hampir lima tahun" Dan selama ini aku tidak tahu kalau kau dan
Pendekar Lontar sudah mempunyai anak sebesar itu" Benar-benar busyet! Ke mana
aku selama ini?"
"Kau memang tidak ke mana-mana...
tetapi asyik menggoda janda dusun
sebelah," sahut Dewa Tombak.
Dewa Naga mendengus. Matanya
mendadak tajam memerah.
"Kakek buntal! Kau terlalu banyak omong! Ingin perutmu kukempeskan"!"
Dewa Tombak hanya mengangkat
bahunya saja, tak acuh.
Dewa Naga kembali memandang Boma
Paksi yang masih tertidur.
"Astaganaga!" desisnya dalam hati.
"Bertahun-tahun aku mencari seorang bocah yang pada punggungnya terdapat gambar
seekor naga hijau. Bertahun-tahun pula aku dibingungkan oleh mimpiku
mengenai bocah itu. Dan tidak tahunya, bocah itu terlahir dari rahim Dewi Lontar
yang merupakan perpaduan dengan Pendekar Lontar. Nasib baik, walaupun hari
buruk. Tak perlu lagi aku melangkah jauh,
melanglang buana melewati sebagian jagat untuk mencari bocah itu. Kini sudah
terpampang di depan mata...."
Dewi Lontar tahu ke mana tatapan
Dewa Naga ditujukan. Tetapi perempuan jelita ini tak menghiraukannya.
Dilihatnya si kakek muka lonjong hendak membuka suara dengan kedua mata masih
tak berkedip. Namun urung dilakukannya, karena
pada saat itu Sema Kuriang melangkah masuk. Dewa Naga sudah mau membentaknya,
tetapi didahului oleh Sema Kuriang yang berkata tenang, "Ada orang yang hendak
tunjuk ilmu di sini Markuto dan Gerada tewas dengan leher putus"
* * * 3 DISAAT Sema Kuriang mengatakan
keadaan Markuto dan Gerada, saat ini Gala Kuriang sedang menyipitkan matanya ke
depan. Dalam keremangan malam dia
melihat satu sosok tubuh kontet sedang melangkah ke arahnya.
Dari menyipitkan matanya, mendadak
saja sepasang mata lelaki setengah baya yang pada keningnya terdapat cebuah tahi
lalat, membesar. Saat itu pula dia merasa tegang.
"Hantu Sejuta Setan!" desisnya pelan dan dia berusaha untuk menenangkan
perasaannya. Orang kontet yang ternyata seorang
perempuan itu makin lama makin mendekat.
Langkahnya santal saja, seperti tidak tergesa ataupun memburu waktu. Tak lama
kemudlan, dia telah tiba di hadapan Gala Kuriang.
Sosok perempuan Ini lebih pendek
dari Dewa Tombak. Wajahnya dipenuhi
keriput dan berkulit hitam. Semakin
kelam karena pakaian yang dikenakannya pun berwarna hitam, panjang hingga ke
mata kaki. Dan terbetah hingga batas dengkul. Memperlihatkan sepasang kaki hitam
yang keriput. Kepalanya bulat
dengan rambut panjang acak-acakan hingga pinggul. Hidungnya juga bulat dengan
bibir lebar tanpa gigi, Yang mengerikan dari sosoknya adalah sepasang boia
matanya, yang menyala-nyala merah.
"Kudengar kabar.... Pendekar Lontar sudah mampus!" kata Ratu Sejuta Setan dengan
suara cempreng. Kepalanya agak ditengadahkan saat menatap tajam pada Gala
Kuriang. Yang ditatap kembali menindih
gentarnya. Siapa pun sudah mengenal
sepak terjang ganas dari perempuan
kontet ini. Lalu dengan sikap tenang, Gaia Kuriang menganggukkan kepalanya.
"Kabar yang kau dengar tidak salah.
Dan sungguh menakjubkan, kalau dari
tempat ini kabar itu menyebar ke tempatmu yang sangat jauh."
Perempuan kontet itu mendengus.
"Minggir! Aku ingin lihat lelaki yang selalu banyak tingkah itu!"
Sikap kurang ajar dan memandang
enteng yang diperlihatkan Ratu Sejuta Setan, membuat Gala Kuriang menjadi
geram. Saat itu pula kegentarannya
lenyap. "Siapa pun yang datang dengan maksud baik dan bertujuan semata-mata
menyembangi Pendekar Lontar, pintu akan selalu terbuka. Tetapi muncul dengan
memperlihatkan tingkah tengik dan tangan telengas, apakah masih dapat dibukakan
pintu lebar-lebar untuk kehadirannya"!"
"Keparat, Apa yang kau maksudkan dengan tangan telengas itu, Gala
Kuriang"!"
Gala Kuriang menunjuk mayat Markuto
dan Gerada yang telah terpisah dari
kepala masing-masing.
"Apakah kau mau memungkiri keadaan dengan melihat kedua mayat ini?"
Ratu Sejuta Setan lagi-lagi
mendengus. Dia kembali berkata-kata, dan karena tak memiliki gigi, pipinya jadi
semakin kempot,
"Aku cuma ingin tahu kehebatan dua orang penjaga Ini! Menjadi penjaga
Pendekar Lontar tentunya memiliki ilmu yang lumayan! Tapi dari jarak dua puluh
tombak, keduanya tak mampu menghalangi lesatan angin yang kulepaskan!"
Makin mengkeiap Gala Kuriang
meiihat tingkah Ratu Sejuta Setan, yang selain memancing amarahnya juga enak
saja mengakui perbuatannya.
"Selama ini, aku tak pernah
memandang rendah pada perempuan kontet berjuluk Ratu Sejuta Setan! Tetapi malam
ini, kedatanganmu sungguh menaikkan
amarah! Akulah yang menjadi penjaga
pintu rumah duka ini!"
Sepasang boia mata perempuan kontet
yang selalu menyala, mendadak bersinar terang. Merah pekat.
"Bagus kalau kau memutuskan untuk menjadi penjaga! Aku ingin lihat apakah kau
mampu menghalangi langkahku, atau kau hanya menjadi orang ketiga yang malam ini
kubunuh!" Habis ucapannya, mendadak saja Ratu
Sejuta Setan melingkarkan telunjuknya pada ibu jarinya. Dengan tiga jari
lainnya yang terentang, dia mendorongnya ke arah Gala Kuriang.
Gala Kuriang bukanlah anak kemarin
sore. Dengan saudara kembarnya dia sudah cukup lama malang melintang di rimba
persilatan. Dengan mudahnya dia dapat menghindari Sesatan sinar merah yang
berbentuk lingkaran. Namun yang
mengejutkannya, karena mendadak sontak sinar merah berbentuk lingkaran itu
seperti sebuah bumerang berbalik arah!
Kali ini diiringi suara dengungan
keras. "Heiiiit!"
Gaia Kuriang terkejut dan cepat
mengibaskan tangan kanannya. Serangkum angin besar memutuskan gerakan sinar
merah berbentuk lingkaran Itu. Kalau blasanya gelombang angin berbenturan dengan
tena-ga lain, akan menimbulkan letupan, ini justru tidak.
Gala Kuriang memang mampu memutuskan sinar merah berbentuk
lingkaran milik Ratu Sejuta Setan.
Tetapi yang terjadi kemudian, sinar
merah itu justru membesar dan merangkum gelombang angin yang dilepaskan Gala
Kuriang. Menyusul....
Wrrrrr!! Desss!! Gelombang angin itu menghantam dada
pemiliknya sendiri yang terjengkang di atas tanah dengan keluhan tertahan.
Ratu Sejuta Setan menggeram.
"Kau belum pantas menjadi seorang penjaga! Bila kau tahu malu, seharusnya kau
sudah menjadi petani di
gunung-gunung!"
Lalu dengan enaknya Ratu Sejuta
Setan masuk ke rumah duka. Dia langsung mengedarkan pandangannya pada
orang-orang yang berada di sana. Begitu matanya berbenturan dengan tatapan Dewa
Naga, perempuan kontet ini segera
berkata,

Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya Lembah Naga juga sudah kebagian berita hingga penghuninya perlu untuk
datang! Padahal, seorang Pendekar Lontar tak patut didatangi oleh tokoh
kenamaan!"
Lalu dengan santainya, perempuan
kontet berpakaian hitam in! melangkah mendekat jenazah Pendekar Lontar. Dia tak
memandang sebelah mata pada Dewi Lontar, Dewa Tombak, maupun Sema
Kuriang. Ratu Sejuta Setan tak melakukan
gerakan apa-apa, hanya sedikit
berjingkat untuk melihat jenazah
Pendekar Lontar. Masih memandangi
jenazah dia berkata, "Tak kulihat Pusaka Pendekar Lontar ada di sisinya!
Orangnya kini sudah mampus! Pusaka itu tentunya tak berguna lagi untuknya! Aku
datang untuk mengambil pusaka itu!"
Tingkah menjengkelkan Ratu Sejuta
Setan membuat Dewi Lontar menggeram.
Perempuan yang masih menggendong Boma Paksi yang masih tertidur, segera
berkata, "Siapa pun yang datang dengan
baik-baik untuk menyambangi suamiku, kuterima dengan tangan terbuka. Bila dia
datang untuk memancing persoalan,
silakan angkat kaki dari sini. Dan tunggu beberapa hari lagi bila tak puas
dengan tindakan yang kulakukan!"
Ratu Sejuta Setan menyahut tanpa
menoleh, "Tanpa suamimu lagi di sisimu, kau tak akan bisa berbuat banyak, Dewi
Lontar. Selama ini, orang hanya memandang suamimu yang memiliki iimu tinggi!
Sekarang, bila kau banyak tingkah, aku tak akan segan untuk menampar mulutmu
sampai berdarah!"
Menggigil tubuh Dewi Lontar
mendengar kata-kata yang menyakitkan itu. Dia sudah hendak bergerak, tetapi
begitu melihat Dewa Tombak menggelengkan kepala, terpaksa dia surutkan niat.
Hati perempuan yang masih dilanda duka karena kematian suaminya, kini
berbalur kemarahan tinggi terhadap Ratu Sejuta Setan.
Masih tanpa berbalik, perempuan
kontet itu berkata lagi, "Kurasakan gerakanmu itu, Dewi Lontar! Tapi mengapa kau
menahannya" Apakah kau sudah sadar kalau Kau tidak memiliki kemampuan
apa-apa tanpa suamimu" Bagus kalau kau sudah menyadari hal itu! Itu artinya, kau
sadar siapa dirimu sebenarnya! Sekarang, berikan padaku Pusaka Pendekar Lontar!"
Di akhir kata-katanya, Ratu Sejuta
Setan membalilkkan tubuh. Bola matanya menghujam dalam pada bola mata bening
Dewi Lontar. Dewi Lontar sesaat
mengkelap mendengar ucapan si perempuan tua kontet. Tetapi dia tak buka suara.
Hanya mengerahkan tenaga dalam, karena merasakan adanya gelombang tenaga yang
mencoba menerjang kedua matanya.
Tiba-tiba terdengar dengusan Dewa
Naga, keras. Disusul makiannya,
"Perempuan kontet! Kau datang dengan sikap memuakkan! Ayo, tinggalkan tempat Ini
sebelum kau kutendang sampai
menggelinding!"
Tanpa mengalihkan pandangannya dari
Dewi Lontar, Ratu Sejuta Setan menyahut dingin, "Silang sengketa tak pernah
kulakukan dengan orang Lembah Naga!
Tetapi kalau malam ini hendak buka
urusan, aku sudah siap menghadapi!"
"Eh! Brengsek kau ya"! Kau pikir kau ini siapa, hah" Sudah kontet, banyak lagak
lagi! Kau mau tubuhmu kubuat lebih kontet, hingga kau akan dijadikan sebuah bola
oleh anak-anak di sebuah dusun" Atau kau...."
Bruuut! Pantat Dewa Naga berbunyi. Kali ini
si kakek tak mempedulikan bunyi 'merdu'
itu. Dia berkata lagi, "Eh, tadi aku ngomong sampai mana ya" Makan nasi uduk,
ya" Wah, bukan! O ya, kau ini masih mau hidup atau tidak"! Masih mau... waduh!
Betul tidak sih memang itu yang mau kukatakan" Brengsek betul!"
Kali Ini Ratu Sejuta Setan segera
memalingkan kepalanya. Dia mendongak dan memandang tajam pada Dewa Naga. Yang
ditatap justru membelalakkan kedua
matanya. "Busyet! Kau mencoba mengerahkan tenaga dalam melalui matamu" Huh! Apa kau pikir
kau sudah mampu melakukan hal itu, hah"!" gerutunya Jengkel.
Lalu seiring bunyi dari pantatnya
lagi. mendadak saja sosok Ratu Sejuta Setan terhuyung dua tindak ke belakang.
Saat itu pula darah merembas dari
sela-sela bibir kempotnya. Kejadian yang tak disangka itu membuat gusar si
perempuan kontet. Mulutnya terlihat
berkemak-kemik tetapi tak ada suara yang keluar.
"Wah! Kau hendak perlihatkan ilmu sihirmu ya" Tak guna! Tak guna!" seru Dewa
Naga dengan bibir mencibir.
Lalu.... Bruuutt Enak saja dia buang angin.
Sementara itu, Dewa Tombak
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak menyukai tindakan yang dilakukan Ratu
Sejuta Setan. Datang-datang bersikap kurang ajar dan menginginkan Pusaka
Pendekar Lontar. Dewa Tombak tahu, kalau Pendekar Lontar memiliki sebuah benda
yang berbentuk gumpalan daun lontar.
Menurut cerita Pendekar Lontar di kala masih hidup, gumpalan daun lontar yang
sejak bertahun-tahun ada padanya tetapi masih tetap berwarna hijau segar, bila
direndam ke dalam air, maka akan
menyembuhkan penyakit apa pun juga. Dan bila dilemparkan ke arah lawan, setinggi
apa pun ilmu lawan, maka tubuhnya akan remuk terkena hantaman gumpalan daun
lontar yang sebesar kepalan tangan.
Yang menjengkelkannya, suasana duka
masih meliputi rumah itu, terutama hati Dewi Lontar.
Sebelum Ratu Sejuta Setan bersuara,
kakek bertubuh buntal ini sudah berkata,
"Perempuan kontet... di tempat ini, bukanlah tempat yang tepat untuk adu ilmu.
Bila kau penasaran... aku bisa mewakili Dewa Naga...."
"Busyet! Orang buntal! Kau jangan sok jago ya" Kau pikir aku tak mampu
menghadapinya"!" bentak Dewa Naga.
Dewa Tombak hanya mendengus, lalu
melangkah keluar sambil membawa
tombaknya. Langkahnya egal-egol.
Kata-kata Dewa Tombak sudah
menggelegakkan darah Ratu Sejuta Setan.
Dia berkata dulu pada Dewa Naga,
Tingkahmu malam ini, akan kuingat terus"
Lalu serunya pada Dewi Lontar, "Bila dua puluh hari mendatang kau juga tidak
menyerahkan pusaka itu, jangan salahkan aku bila kau akan segera menyusul
suamimu!" Kemudian dia melangkah menyusul
Dewa Tombak keluar. Sema Kuriang sendiri segera menyusul karena merasa heran,
mengapa saudara kembarnya belum muncul juga.
Dewi Lontar yang dilanda gusar
menarik napas dalam-dalam. Hati
perempuan ini sangat masyguL. Hari Ini dia sedang berduka dalam karena kematian
suaminya, tetapi tamu yang menyembangi suaminya justru bersikap menjengkelkan.
Kendati demikian, Dewi Lontar dapat
memaklumi kejadian itu. Karena dia tahu, begitu banyaknya orang-orang yang
mendendam pada suaminya, bahkan mungkin, saat ini ada seseorang atau sekelompok
orang yang sedang berpesta merayakan kematian suaminya.
Bruuutt! Pantat Dewa Naga berbunyi lagi. Dia
mendengus jengkel pada dirinya sendiri.
Lalu berkata, "Kau tak perlu
menghiraukan perempuan kontet itu! Biar Dewa Tombak menghajarnya! Tapi kalaupun
Dewa Tombak kalah, biar saja! Toh itu sudah maunya sendiri!"
Dewi Lontar hanya tersenyum tipis.
Lalu memandangi jenazah suaminya. Saat itu, putranya yang sejak tadi tertidur,
terbangun. Sejenak bocah ini menggeliat.
Lalu dia tersenyum pada Dewa Naga yang menganggukkan kepala, Lalu dengan wajah
segar, seperti tidak terlihat kalau
sebelumnya dia lelap tertidur, bocah Itu turun dari pelukan ibunya.
Begitu meiihat ayahnya terbujur di
atas dipan, dia segera melangkah
diiringi tatapan sedih dari Dewi Lontar. Sejenak bocah yang pada punggungnya
terdapat tato naga hijau memandangi
ayahnya. Dia menoleh pada ibunya.
"Ibu...mengapa sejak pagi Ayah tidak bangun-bangun juga" Mengapa
tidurnya lama sekali?"
Dewi Lontar sesaat merasa sesak pada dadanya. Napasnya dirasakan putus.
Tetapi sebagai perempuan perkasa dia masih dapat kendaiikan diri, kendati dia
ingin berteriak sekeras-kerasnya,
menumpahkan segala kepedihan di hatinya.
Lalu perlahan dia menjawab,
"Boma.... Ayahmu bukannya tertidur...."
"Kalau tidak tertidur, mengapa Ayah tidak bangun juga?" tanya si bocah dengan
kening berkerut.
Dewi Lontar lagi-lagi
menahan gemuruh di hatinya. Dipandanginya wajah tampan putranya. Ketampanan yang
diwarisi dari suaminya.
Sambli memaksakan sebuah senyum,
Dewi Lontar menjelaskan apa yang telah terjadi pada ayah Boma Paksi. Dia
menjelaskan begitu
lembut dan sejelas-jelasnya.
Bocah itu ternyata cerdik. Dia dapat memahami apa yang dikatakan ibunya. Tak ada
tangisan apa-apa kecuali sepasang bola mata yang berkaca-kaca.
"Ketegaran bocah ini iuar biasa. Dia paham apa yang dikatakan ibunya, kalau dia
tak akan pernah lagi melihat ayahnya mulai besok. Tetapi dia dapat bersikap
tenang. Ah, rupanya... pencarianku
selama bertahun-tahun memang harus
kusudahi. Bocah itullah yang kucari
selama ini, bocah yang hadir dalam
mimpi-mimpiku. Tetapi... apakah Dewi Lontar mau menyerahkannya kepadaku?"
Dewa Naga yang membatin tadi,
menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin ini bukan saat yang tepat.
Tetapi, aku harus memintanya. Aku merasa yakin, kalau jantung Pendekar Lontarlah
yang menyebabkan kematiannya. Bukan
karena penyakit, tetapi satu serangan yang dilakukan seseorang. Hanya saja, aku
belum bisa memastikan, bagaimana Pendekar Lontar yang memiliki ilmu 'Raga Pasa'
tidak mengetahui atau tidak dapat menghindar kalau dirinya diserang.
Hemm... hanya Dewa Segala Obat yang
mengetahui penyebabnya secara pasti..."
Sementara Itu, diluar telah
terdengar suara teriakan disusul letupan berkali-kali. Saking kerasnya letupan
itu, orang-orang yang berada di dalam rumah duka, agak bergetar karena lantai
yang mereka pijak pun bergetar.
Dewa Naga menggeram.
"Brengsek betul Ratu Sejuta Setan itu!"
"Ibu...," panggil Boma Paksi dengan kening berkerut. "Apakah saat ini sedang
terjadi gempa seperti lima bulan yang lalu?"
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya. "Tidak, Anakku. Tidak terjadi gempa
apa-apa. Kau tak perlu menghiraukannya.
Sekarang, menyembahlah pada jenazah
ayahmu untuk terakhir kalinya...."
Boma Paksi masih mencoba merasakan
letupan keras yang kembali terjadi, yang menyebabkan lantai yang dipijaknya
bergetar. Lalu suara....
Glegaaarrr! Mungkin tembok yang mengelilingi
rumah itu sudah jebol. Entah akibat serangan siapa.
Lalu dengan sikap tak mempedulikan
kejadian itu, bocah gagah yang pada kedua tangannya sebatas siku dipenuhi
sisik-sisik halus warna coklat, segera berlutut dengan merangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Dia berdoa
khusuk, khusus untuk arwah ayahnya.
Kakek muka lonjong memperhatikannya
tak berkedip. Samar-samar terlihat
senyuman bibirnya. Sikapnya itu tak
luput dari perhatian Dewi Lontar.
* * * 4 DILUAR rumah duka itu, Dewa Tombak
sedang berusaha melayani
serangan-serangan ganas yang
dilancarkan Ratu Sejuta Setan. Berulang kali sinar-sinar merah melingkar yang
dilepaskan perempuan tua kontet itu
berhasil dihindarinya. Namun
sinar-sinar merah itu justru berpentalan dan berbalik arah ke arahnya dengan
ganas. Bahkan sinar-sinar merah lainnya naik ke atas, lalu muncrat menyebar dan
laksana hujan mengguyur Dewa Tombak.
Tanah di mana sebelumnya Dewa Tombak berdiri, langsung meletup keras dan
muncrat ke udara.
Mendapati setiap serangannya dapat
dihindari oleh Dewa Tombak, perempuan kontet berpakaian hitam itu semakin
ganas. Serangan demi serangannya terus diiancarkan, yang membuat Dewa Tombak
mulai terdesak.
Kakek bertubuh gemuk ini pun muiai
dibuncah kemarahan. Tetapi meskipun
kemarahannya sudah tiba di ubun-ubunnya, Dewa Tombak tetap tertawa-tawa.
"Selama ini kudengar, Ratu Sejuta Setan memiliki ilmu yang sangat tinggi, hingga
berani melanglang buana dengan ilmunya itu! Tetapi malam ini, aku
melihat sesuatu yang sangat lain dari yang pernah kudengar!!"
"Terkutuk! Kau
hanya bisa melompat-lompat seperti bola ditendang ke sana kemari!"
"Dan bola itu dapat menghindari permainan anak kecil yang kau
perlihatkan!"
Ucapan Dewa Tombak semakin membuat
keganasan Ratu Sejuta Setan kian
menjadi-jadi. Kalau tadi sinar merah yang dilepaskannya muncrat ke atas dan
turun laksana hujan, kali ini diiringi gemuruh angin lintang pukang.
Dewa Tombak yang sejak tadi terus
menghindar, sesaat menahan napas melihat ganasnya serangan lawan. Tombak birunya
mendadak saja diputar yang kecepatan putarannya melebihi sebuah
baling-baling. Diiringi gemuruh angin yang menderu-deru, bermuncratanlah
sinar-sinar biru yang mengandung hawa panas.
Jlegaaarrr! Bertemunya dua gelombang angin
dahsyat itu menimbulkan letupan yang keras, diiringi muncratnya tanah
keudara. Saking kerasnya lagi-lagi
tempat itu seperti bergetar. Dinding tembok yang mengelilingi rumah duka, bagian


Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depannya kontan roboh. Mengiringi letupan keras itu, bermuncratanlah
sinar-sinar merah yang berbenturan
dengan sinar-sinar biru. Malam pekat laksana dihiasi kembang api.
Berulang-ulang.
Begitu muncratan sinar-sinar itu
jatuh ketanah, terdengar
letupan-letupan kecil. Namun akibatnya, tanah bermuncratan secara bersamaan!
Di tempatnya, Gala Kuriang yang
masih menahan sakit, memandang tak
berkedip pada Ratu Sejuta Setan. Saudara kembarnya yang kini tahu mengapa Gala
Kuriang tidak segera masuk tadi,
menyipitkan mata.
Gelegak amarah sudah terpampang di
depan matanya. "Gala Kuriang... nenek kontet itu sudah menunjukkan sikap yang tidak baik.
Dia bukan hanya buka ucapan yang
menyakitkan hati, terutama hati Dewi Lontar. Tetapi sekarang, dia justru
menimbulkan keonaran di sini...."
Gala Kuriang menganggukkan
kepalanya. "Sikap Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah pun tak mengenakkan hati,
tetapi mereka tak sampai
menimbulkan keributan. Lain halnya
dengan perempuan tua kontet satu ini."
Sema Kuriang melirik saudara
kembarnya. "Apakah kau tak ingin menuntut balas atas perlakuannya terhadapmu?"
Sesungguhnya Gala Kuriang sudah tak
bisa menahan diri untuk membalas
perbuatan Ratu Sejuta Setan tadi. Tetapi agaknya, lelaki setengah baya yang pada
keningnya terdapat tahi lalat hitam, masih dapat mengendalikan amarahnya.
"Sebelum kedatangannya tadi, kita sudah menyetujui, untuk menjemput Dewa Segala
Obat. Orang tua yang mengerti bermacam penyakit dan pemunahnya itu, harus tiba
di sini sebelum matahari
sepenggalah besok pagi. Karena, upacara penguburan akan dilakukan besok. Bila
ternyata dia tidak bisa datang ke sini, berarti kita tak punya rasa curiga lagi
akan penyebab kematian Pendekar
Lontar...."
"Dewa Naga sempat mengucapkan kata Menara Berkabut. Aku yakin, sesungguhnya
kakek muka lonjong bersisik hijau itu sudah mencurigai sesuatu."
"Tetapi kau tentunya tahu akan sifat Kakang Segala Jaka. Orang itu memiliki
sifat angin-anginan. Sudah tentu kita tak akan pernah mendengar apa yang
diketahuinya... Kalaupun kita berhasil mendengar dari mulutnya, mungkin karena
sifat baiknya lagi muncul...."
Sema Kuriang tak membuka mulut, dia
melihat Ratu Sejuta Setan kembali
melancarkan serangannya pada Dewa Tombak yang membalas dengan tombak birunya
itu. Lalu katanya pada saudara
kembarnya, "Ya... sebaiknya kita segera menjemput Dewa Segala Obat...."
Kejap berikutnya, Dua Serangkai
Jubah Hijau sudah melesat meninggalkan tempat itu. Gala Kuriang berlari dengan
masih menahan rasa sakit.
* * * Pertarungan sengit yang terjadi di
depan rumah duka itu semakin mengganas.
Ratu Sejuta Setan semakin menggila. Dia benar-benar jengkel karena setiap kali
melancarkan serangan, setiap kali pula dapat dilumpuhkan oleh Dewa Tombak.
Bahkan, satu tendangan yang
dilancarkan oleh Dewa Tombak, tepat
mengenai perutnya, hingga perempuan tua kontet itu terjengkang.
Pakaian hitam yang dikenakannya
tersingkap! Dewa Tombak yang sudah hendak
melancarkan serangan, justru
menghentikan gerakannya. Saat lain dia berpaling sambll menutup mata dengan
tangan kirinya.
"Astaga! Kau tidak pakai apa-apa di balik pakaianmu itu"! Astaganaga! Rumput
keringmu hitam betul! Kupikir... kau tidak punya kue cucur seperti kebanyakan
perempuan! Sudah peot kali, ya"! Duh!
Baunya begitu busuk! Tidak pernah kau cuci apa tidak pernah disentuh pacul lakilaki"!"
Bukan kata-kata itu yang membuat
Ratu Sejuta Setan semakin mengkelap.
Tetapi tendangan yang bersarang telak pada perutnya yang seketika dirasakan
seperti diaduk-aduk
tangan kasar. Sebenarnya dia cukup heran sekaligus terkejut, karena dia sama sekali tak
melihat Dewa Tombak lepaskan tendangan.
"Hei, hei! Kau masih pamerkan kue cucurmu tidak" Cepat tutupi! Nanti
keburu banyak lalat!"
"Terkutuk!" maki Ratu Sejuta Setan geram. Paras hitamnya nampak semakin
menghitam. "Kakek gemuk keparat! Untuk saat ini, kuputuskan untuk menghentikan
pertarungan! Tetapi tak akan pernah
kulupakan kejadian ini!"
Masih berpaling dan menutupi kedua
matanya dengan telapak tangan kirinya, Dewa Tombak berseru,
"Tidak melupakan ya tidak
melupakan! Tapi kau sudah menutupi
belum" Baunya sungguh tak sedap nih!"
"Setan buntal! Selama dua puluh hari di muka, kau masih kuberi kesempatan hidup!
Katakan pada Dewi Lontar, bila dia tak menjumpaiku di Tanah Terbuang, dia tak
akan pernah menikmati cahaya
matahari pada hari kedua puluh satu!
Demikian pula denganmu!"
"lya, iya! Tapi... kau sudah
menutupi kue cucur hangus itu apa
belum"!" seru Dewa Tombak keras.
Ratu Sejuta Setan merutuk
sehabis-habisnya mendengar kata-kata Dewa Tombak. Tetapi perempuan kontet ini
tak melakukan serangan. Sedikit
banyaknya, dia dapat menduga kalau dia akan sulit menghadapi Dewa Tombak.
"Sambil menunggu dua puluh hari di muka, sebaik nya aku ke Menara Berkabut.
Aku yakin, dialah yang telah membunuh Pendekar Lontar...."
Habis membatin demikian, dengan
membawa sejuta kemarahannya, perempuan tua kontet berkulit hitam legam itu sudah
melesat menjauh.
Dewa Tombak yang mendengar
lesatannya berseru, "Heiii! Bau busuknya masih tertinggal, nih"! Kau harus
mensucikan kembali tempat ini dari bau kue cucurmu!!"
Ratu Sejuta Setan tak menghiraukan
seruan ejekan itu. Dia mendesis
berulang-ulang, "Kau akan menerima balasannya... kau akan menerima
balasannya...."
Di tempatnya, Dewa Tombak hanya
menggeleng-gelengkan kepala sambil
tertawa. "Dua puluh hari di muka... perempuan kontet itu tentu akan menjalankan
janjinya.... Hemm. rasanya, aku tak
perlu menyampaikan urusan ini pada Dewi Lontar. Biarlah aku yang akan datang ke
Tanah Terbuang pada hari kedua puluh."
Habis membatin demikian, kakek
bertubuh bulat berpakaian biru ini
memperhatikan mayat Markuto dan Gerada yang tanpa kepala. Ada kepedihan di
hatinya. Lalu sambil menarik napas
pendek, dia muiai menggali makam untuk keduanya dengan tombak birunya.
Di dalam rumah duka, Boma Paksi
masih berlutut dihadapan jenazah
ayahnya. Dewa Naga masih memperhatikan tak berkedip. Matanya yang bersinar merah
berwibawa dalam, seperti
mengandung kekuatan yang tak bisa
dihindari. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Lontar, kakek muka lonjong penuh sisik hijau ini
berkata, "Dewi Lontar... nampaknya Sang Pencipta telah melakukan satu pilihan
utuh yang sangat sempurna. Pilihan yang telah dijatuhkan pada keluargamu...."
"Apa maksudmu dengan pilihan itu, Dewa Naga?"
"Bertahun-tahun lamanya aku
bermimpi. Mimpi aneh yang membuatku
semakin tak mengerti. Tetapi
bertahun-tahun pula kupaksakan diri
untuk mencari titik temu dari mimpiku itu. Dan baru sekarang ini, kuhentikan
semua pencarianku...."
"Aku sama sekali tak mengerti apa yang kau maksudkan, Dewa Naga?"
"Dewi Lontar... aku tak tahu, apakah kau tahu makna dari tato naga hijau yang
terdapat pada punggung putramu atau
tidak. Tetapi, bocah dengan gambar tato seekor naga hijau pada punggungnya, yang
dlbawa sejak lahir itulah yang selalu datang dalam mimpi-mimpiku...."
Kening Dewi Lontar berkerut. Dia
melirik Boma Paksi yang masih berlutut di samping jenazah suaminya.
"Aku belum mengerti...."
"Memang sulit bila kujelaskan,"
kata Dewa Naga. Ketika dia hendak
menyambung, dia urung. Karena...
bruuutt! "Busyet! Nih pantat tidak bisa
diajak diam"!"
Dewi Lontar hanya memperhatikan.
"Kesaktian yang dimilikinya tiada banding. Sulit mencari tandingan tokoh satu
ini. Tetapi sifat angin-anginannya masih saja terlihat," katanya dalam hati.
"Menjelaskannya saat ini pun, bukan saat yang tepat. Tetapi telah kubulatkan
tekad, bila aku berjumpa dengan bocah yang hadir dalam setiap mimpiku... aku
akan mengangkatnya menjadi seorang
murid." Mendengar kata-kata Dewa Naga,
kepala Dewi Lontar terangkat. Sepasang mata perempuan perkasa itu membulat dan
mengerjap-ngerjap. Dia tahu arah ucapan si kakek berjubah merah.
"Dewa Naga... aku dan suamiku pernah berangan-angan, bila putra kami sudah
berusia enam tahun, maka dia mulai kami gembleng untuk mewarisi segala ilmu yang
kami miliki. Kendati suamiku sudah
tiada. aku tetap akan mewujudkan
angan-angan kami itu. Jadi...aku pikir, biarlah putraku, si Boma Paksi tetap
bersamaku...."
"Aku tak pernah memaksa. Bila kau tak menyetujuinya... aku akan menurut
saja...." "Terima kasih atas
pengertianmu...."
"Satu hal yang harus kukatakan sebelum kutinggalkan tempat ini...
adalah tentang penyebab kematian
suamimu. Mungkin Dewa Segala Obat yang dapat menjelaskan lebih rinci. Tetapi
telah kutangkap sesuatu yang tak
mengenakan, sesuatu yang menyesakkan dada...."
Terbuka kedua mata Dewi Lontar.
"Dewa Naga... apakah yang kau
maksudkan, kalau suamiku tewas dibunuh seseorang?"
"Ya! Pada balik jantungnya,
terdapat sebuah titik hitam yang telah menghanguskan sebagian jantungnya.
Jantung bagian atas masih utuh dan tetap normal, tetapi bagian bawahnya telah
menghitam. Aliran darah tak bisa
mengalir secara sempurna. Dan aku yakin, suamimu tewas tanpa mengetahui apa
penyebabnya. Itulah yang agak kusesali sebenarnya, selain kematian yang
merenggut nyawa suamimu...."
"Kau tahu apa penyebabnya?" Dada perempuan perkasa itu bergetar.
"Hanya Dewa Segala Obat yang bisa menerangkannya...," sahut si kakek muka
lonjong. Lalu sambungnya, "Kendati begitu... aku tahu siapa yang telah
melakukannya...."
"Okh! Kau tak mau mengatakan
penyebab kematiannya, sekarang, apakah kau juga tidak mau mengatakan siapa yang
telah melakukannya?"
"Aku menginginkan putramu menjadi muridku. Karena, niat telah kucanangkan.
Bila aku mendustai apa yang selama ini kucari... berarti aku tak pernah
menghargai diriku sendiri... Satu hal yang perlu kuceritakan padamu. Sisik yang
ada pada tubuhku ini bermula setelah aku menguasai ilmu-ilmu naga. Sisik ini
bertumbuhan dan semakin lama semakin jelas. Tetapi sisik-sisik coklat pada kedua
tangan putramu sebatas siku telah dibawanya dari lahir. Dewi Lontar... aku telah
berniat untuk menggembleng
putramu. Karena... dialah satu-satunya orang yang tepat untuk kujadikan sebagai
penerus ilmu yang kumiliki."
Kata-kata Dewa Naga membuat Dewi
Lontar terdiam. Perempuan perkasa ini diliputi kebimbangan dalam. Di satu
segi, dia ingin sekali mengetahui
penyebab kematian suaminya dan siapa orang yang telah melakukannya. Tetapi di
segi lain, dia tak mau berpisah dengan putranya. Apalagi sekarang, dia hanya
memiliki Boma Paksi seorang.
Lalu dengan membesarkan hati dia
berkata, "Maafkan aku... aku terpaksa memilih untuk tidak mengetahui siapakah
orang yang telah membunuh suamiku."
"Itu lebih baik!" suara Dewa Naga terdengar agak serak.
"Dan aku berharap, Dewa Segala Obat mau mengatakannya."
"Mudah-mudahan...."
"Sayangnya, aku merasa tak bisa menghargaimu lagi...."
"Itu hakmu. Dewi Lontar, aku
terpaksa pamit sekarang. Aku tak bisa menghadiri pemakaman suamimu besok.
Tiba-tiba saja aku merasa sedih, karena kau menolak permintaanku...."
"Maafkan aku, Orang Tua..."
Dewa Naga tak menjawab. Dibalikkan
tubuhnya dan hendak melangkah.
"Kakek" panggilan si kecil itu urungkan niatnya melangkah.
Dewa Naga tak berpaling.
"Ada apa?"
"Hendak ke manakah kau?" tanya si kecil Boma Paksi.
"Aku akan kembali ke Lembah Naga."
"Besok ayahku akan dimakamkan, kau tak ingin hadir dalam upacara
pemakamannya?"
"Aku tak biasa melakukan hal itu."
"Mengapa?"
"Karena aku memang tak biasa
melakukannya."..," sahut Dewa Naga, lalu melangkah keluar.
Dewi Lontar merangkul putranya yang
mencoba memanggil si kakek muka lonjong.
"Biarkan dia, Boma."
"Ibu... aku menyukai kakek itu. Dia lucu. Pantatnya selalu berbunyi terus.
Mukanya memang galak tetapi dia baik hati. Aku dapat merasakannya, Ibu. Pada
wajah dan tubuhnya ada sisik hijau!"
"Ibu pun menyukainya," sahut Dewi Lontar sambil mengangguk. "Tetapi seperti yang
dikatakannya tadi, dia
mungkin memang tak biasa menghadiri
upacara pemakaman...."
"Padahal, aku mau ikut dengannya, Ibu...."
Dewi Lontar tercekat mendengar
kata-kata putranya. Sesaat


Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipandanginya wajah tampan Boma Paksi.
Lalu hati-hati diliriknya tato naga
hijau yang terdapat pada punggung
putranya, yang telah ada sejak dia
dilahirkannya. "Mungkin... kelak kau akan ikut dengannya, Boma.... Tetapi untuk saat ini...
sebaiknya kau menemani Ibu saja."
Boma Paksi tersenyum.
"Ibu... sampai kapan pun aku akan menemani Ibu. Aku akan menjaga Ibu. Ayo kita
berdoa untuk Ayah...."
Sementara kedua ibu dan anak itu
berlutut di samping jenazah orang yang mereka cintai, Dewa Naga sedang
mendengus tatkala berpapasan dengan Dewa Tombak yang sedang melangkah masuk.
Pertanyaan Dewa Tombak tak disahutinya sama sekali. Tetapi pantatnya berbunyi.
Bruuuttt Dewa Tombak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu masuk ke dalam. Dia
melihat Dewi Lontar sedang berdoa khusuk bersama bocah gagah berusia lima tahun
itu. Ditunggunya beberapa saat sampai
Dewi Lontar menyadari lagi kehadirannya.
Perempuan jelita yang berkalungkan
rangkaian daun lontar itu meliriknya sejenak, lalu kembali menatap putranya yang
masih khusuk berdoa.
Dewa Tombak berbisik, "Mengapa
orang tua bersisik itu kelihatan gusar?"
Dewi Lontar sejenak menatap kakek
gemuk di sampingnya. Lalu diceritakan apa yang kira-kira membuat Dewa Naga
kecewa. Dewa Tombak hanya mengangguk-angguk
mendengar penjelasan istri mendiang
Pendekar Lontar.
"Yah... siapa pun pasti akan merasa kecewa
bila keinginannya ditolak.
Terutama, setelah memastikan kalau dia akan mengangkat seseorang menjadi murid,
yang dapat diharapkan sebagai pewaris dari seluruh ilmu yang dimilikinya."
* * * 5 MALAM terus beranjak, keheningan
tetap terjaga. Dua pertiga perjalanan malam telah terlampaui. Dua bayangan
kuning terus berkelebat. Saat berkelebat cepat, masing-masing orang yang di
punggung terdapat jubah warna hijau itu tak ada yang buka suara. Mereka bukan
lain adalah Dua Serangkai Jubah Hijau.
Kendati mereka masih memikirkan tingkah Ratu Sejuta Setan, tetapi mereka merasa
yakin kalau Dewa Tombak dapat
mengatasinya. Lagi pula, di sana masih ada Dewa Naga yang meskipun memiliki
sifat angin-anginan namun tak seorang pun yang menyangkal kesaktian yang
dimilikinya. Dua Serangkai Jubah Hijau sengaja
mempergunakan ilmu lari mereka hingga yang nampak hanyalah bayangan belaka.
Mereka berharap, sebelum malam punah, mereka sudah tiba di kediaman Dewa Segala
Obat. Tetapi, dua sosok tubuh yang berdiri sejarak dua puluh langkah dari saat
mereka berlari, membuat keduanya sating pandang. Semakin dekat, mereka mengenali
siapa dua lelaki yang berdiri menghadang itu. Dan mau tak mau keduanya harus
menghentikan lari.
Baru saja mereka menghentikan lari
dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari keduanya, lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun yang kepalanya botak
ditengah tetapi rambut lainnya panjang tergerai ke belakang, sudah keluarkan
dengusan. "Beberapa saat lalu, bukanlah saat yang tepat untuk unjuk gigi! Tetapi di sini,
tanpa sosok Dewa Naga maupun Dewa Tombak, kegatalan tanganku harus segera
dihentikan!"
Dua Serangkai Jubah Hijau
berpandangan. Sema Kuriang berkata
dingin, "Iblis Penghancur Raga! Kalau kau merasa beberapa saat lalu, tepatnya di
rumah mendiang Pendekar Lontar, kau memutuskan untuk tidak cari keributan, kami
juga memutuskan, saat ini pun bukan saat yang tepat untuk melakukannya!"
Lelaki yang jenggotnya dikepang itu
menggeram. Tangan kurusnya yang terdapat gelang-gelang hitam menuding ke arah
Sema Kuriang. "Malam sebentar lagi berlalu! Aku ingin menikmati kematian kalian sebelum pagi
datang!" Kata-kata lelaki berompi biru yang
memang Ib;is Penghancur Raga membuat dada Sema Kuriang dilanda amarah.
Tatapannya menyipit dan siratkan
keangkeran. Tetapi mengingat dia dan saudara kembarnya harus segera menemui Dewa
Segala Obat, Sema Kuriang berusaha agar tidak terjadi pertikaian sekarang.
"Tak pernah terpikirkan saat ini aku atau saudara kembarku akan tewas! Tetapi
bila memang ajal telah diturunkan oleh Sang Kuasa, tentunya tak akan bisa
ditolak! Hanya saja... tangan maut yang kau turunkan, bisa-bisa. kembali pada
dirimu sendiri!"
Lelaki berjubah hitam berkepala
plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara,
"Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus berlama-lama lagi! Siapa orang yang kau
pilih untuk kau bunuh saat ini"!"
"Aku memilih orang yang banyak omong itu!"
Habis ucapannya, lelaki berjenggot
dikepang itu sudah menggebrak ke arah Sema Kuriang. Dari gelombang angin yang
mendahului lesatan tubuhnya, jelas kalau dia sudah mengerahkan setengah dari
tenaga dalam yang dimilikinya.
Sema Kuriang menjerengkan matanya.
Mulutnya merapat dingin. Saat itu pula dikibaskan kedua tangannya ke atas.
Segera menggebrak satu pusaran angin yang menyeret dan membuat tanah
membubung. Iblis Penghancur Raga hanya
mendengus. Tak surutkan kecepatannya.
Begitu dekat, segera ditepukkan kedua tangannya.
Blaaaarr! Letupan keras terdengar dan
menyusul munculnya gelombang angin yang masuk dalam pusaran gelombang angin Sema
Kuriang. Blaaam! Blaaam! Blaaam!!
Tiga kali letupan terdengar keras
disertai muncratan tanah ke udara.
Tatkala sirap, terlihat masing-masing orang sudah mundur beberapa langkah.
Kalau Iblis Penghancur Raga berdiri
dengan kepala terangkat angkuh, Sema Kuriang agak sempoyongan. Tangan
kanannya memegang dadanya yang terasa sesak.
"Gila! Dia telah mengeluarkan ilmu
'Penghancur Raga'nya. Uh! Bila aku belum tamengkan diri dengan hawa murni, entah
apa jadinya!"
"Ilmu yang kau miliki tak seberapa!
Tetapi kau sudah berani unjuk gigi di hadapanku".
Dengan memperlihatkan ketenangan,
Sema Kuriang menyahut, "Kau baru melihat sebagian kecil dari ilmu yang
kumiliki!"
"Bagus! Perlihatkan semuanya
kepadaku!"
Bersamaan Iblis Penghancur Raga
menggebrak kembali, lelaki berkepala plontos pun menerjang Gala Kuriang.
Kedua telapak tangannya diangkat
tinggi-tinggi saat menerjang dan
mendadak diturunkan dengan cara
menyentak. Angin dibaluri asap merah melesat ke arah Gala Kuriang. Dengan cara yang
dilakukan oleh Sema Kuriang tadi, Gala Kuriang berhasil memutuskan serangan
lawan. Iblis Telapak Darah mundur dengan cara bersalto. Begitu kedua kakinya
menginjak tanah kembali, tiba-tiba saja terlihat kedua telapak tangannya
memancarkan sinar warna merah. Lalu
terlihat tetesan darah dari sana. Angker dan menyebarkan bau busuk.
Gala Kuriang tahu, kalau lawan tak
mau bertindak ayal. Maka dia segera putar kedua tangannya ke atas. Lalu
meletakkannya pada dada. Samar-samar terlihat sinar kuning menyelubungi
dirinya. "Huh! Ilmu picisan itu kau
perlihatkan kepadaku!" bentak Iblis Telapak Darah.
Kejap kemudian dia sudah menerjang
ke depan. Kedua telapak tangannya yang meneteskan darah, didorong ke atas.
Sinar merah bergelombang muncrat.
Mengeluarkan suara berdenging
menggiriskan. Tindakan yang dilakukan oleh Iblis
Telapak Darah sesaat membuat kening Gala Kuriang berkerut. Dia masih tetap
berdiri di tempatnya. Kejap berikutnya, lelaki berjubah hijau ini berteriak
tertahan dan segera melompat dari
tempatnya. Karena muncratan sinar merah yang
masih meneteskan darah mendadak meluncur ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara
berdenging-denging.
Jgaaarrr!! Tanah di mana tadi Gala Kuriang
berdiri, langsung retak lebar. Tempat sepi itu bergetar laksana hendak am bias
ke bumi. Yang lebih mengejutkan lagi, karena sinar merah yang meneteskan darah
Itu mendadak muncrat kembali ke udara.
"Gila!" seru Gala Kuriang keras.
Menyusul diputar tubuhnya membentuk pusaran cepat. Sinar kuning yang
membaluti dirinya berpentalan menerjang sinar-sinar merah yang meneteskan darah.
Letupan beruntun terjadi
berkali-kali. Di pihak lain, Iblis Penghancur Raga terus mendesak Sema Kuriang yang kini tak
berani berbenturan. Karena tadi
dilihatnya. bagaimana sebatang pohon langsung menjadi debu tatkala telapak
tangan kanan Iblis Penghancur Raga
menyentuhnya. Pertarungan sengit yang tak dapat
dihindari, membuat tempat itu
Naga Beracun 13 Pendekar Pulau Neraka 32 Raja Kera Iblis Tokoh Dari Masa Silam 2

Cari Blog Ini