Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 28

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 28


terlampau pendek." "Tidak. Ini bukan soal lapar."
"Hus," Gupita berdesis sambil menarik lengan adiknya,
"marilah. Jangan membuat kesulitan. Kau di sini menjadi
seorang tamu. Kau harus tunduk kepada tuan rumah. Dan kita
memang dipersilahkan keluar dari dapur. Aku yakin bahwa
Pandan Wangi tidak akan ingin menyakitkan hati kita."
"Memang bukan Pandan Wangi. Anak yang kasar itulah yang
memang harus mendapat pelajaran sekalkali." Gupala
menggeram, tetapi ia sudah menjadi semakin jauh dari pintu
dapur, "Kenapa anak itu tidak kau putar saja batang lehernya
ketika kau mendapat kesempatan untuk berkelahi."
"Ah, kau terlalu terburu nafsu, itulah yang selalu dicemaskan
oleh Guru." Gupala mengumpat. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan
Wangi juga meninggalkan dapur, justru keluar dari pintu
belakang dan cepat melingkari sudut rumah, masuk ke pintu
butulan samping. Sebenarnya bahwa Pandan Wangi pun menghindari
pertemuan seorang dengan seorang. Ia tidak mau tersudut
dalam kesulitan. Karena itu ketika Gupala ditarik oleh Gupita
keluar dari dapur, maka ia pun segera menyusulnya pula.
"Pandan Wangi," panggil Wrahasta, "aku perlu dengan kau
sebentar." Pandan Wangi tertegun sejenak. Sepercik keragu-raguan
melonjak di hatinya. Apakah ia akan tetap tinggal di dapur
bersama Wrahasta, atau tidak. Kalau ia tetap berada di dapur,
maka ia pasti harus menjawab berbagai macam pertanyaan
yang dapat membuatnya pening.
"Aku ingin berbicara dengan kau, Wangi," berkata Wrahasta
kemudian. Terasa tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia tidak dapat
mengerti sendiri, kenapa ia tidak berani menyatakan
perasaannya berterus terang. Bukan karena pertimbanganpertimbangan
tentang pertahanan Tanah Perdikan Menoreh
saja, tetapi karena ia memang tidak akan sampai hati untuk
mengatakannya. Ia tidak akan sampai hati melihat Wrahasta
menjadi kecewa dan mungkin menjadi patah hati dan bermata
gelap. Seandainya kedua anak-anak muda gembala kambing
itulah yang menjadi sasaran, maka hal itu pasti akan menjadi
bencana bagi dirinya sendiri karena Pandan Wangi telah dapat
menjajagi imbangan kekuatan mereka.
Ketikta Wrahasta melangkah mendekatinya, tiba-tiba Pandan
Wangi menengadahkan wajahnya, "Wrahasta, apa kau dengar
ayah memanggil?" Wrahasta tertegun. "Dengarlah baik-baik." Pandan Wangi memiringkan
kepalanya, "o, aku harus segera menghadap."
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
Pandan Wangi menghambur keluar. Tetapi terasa hatinya
berdesir. Ia sama sekali tidak mendengar suara Ki Argapati. Dan
seandainya benar, bukan jalan itu yang akan dilalui Pandan
Wangi. Gadis itu pasti akan masuk ke dalam lewat pintu masuk,
bukan pintu keluar. *** Tiba-tiba Wrahasta menyusul sampai ke pintu. Ia masih
melihat Pandan Wangi berputar, kemudian hilang di balik sudut.
Namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat
Gupala dan Gupita menjadi semakin jauh di halaman belakang.
Agaknya mereka akan melalui butulan, pergi ke sungai kecil
yang mengalir di pinggir padukuhan ini.
Namun hatinya menjadi semakin tidak tenteram. Anak muda
itu seakan-akan menjadi semakin rapat bergaul dengan Pandan
Wangi, dan agaknya Pandan Wangi pun menerima kehadiran
mereka dengan hati terbuka. Apalagi agaknya anak yang gemuk
itu mempunyai tanggapan yang lain kepadanya. Tidak seperti
kakaknya agak lebih tenang.
"Sayang, Ki Argapati sedang membutuhkan ayah mereka.
Kalau tidak, keduanya pasti sudah aku usir dengan paksa. Aku
tidak senang melihat kehadiran mereka dipadukuhan ini," desis
Wrahasta. "Tetapi untuk sementara aku tidak dapat berbuat apaapa."
Pandan Wangi yang kemudian masuk kembali ke dalam
rumah itu lewat butulan samping, langsung pergi ke bilik
ayahnya. Dengan hathati ia memasukinya dan kemudian duduk
di atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan.
Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa debar
jantungnya menjadi semakin cepat.
"Bagaimana aku harus menghindarinya?" pertanyaan itu
selalu mengganggunya. Namun Pandan Wangi memasa, bahwa
pada suatu saat ia harus mengambil suatu sikap. Ia tidak akan
dapat untuk seterusnya menghindar dan menghindar. Karena ia
menyadarinya, bahwa bukanlah suatu penyelesaian. Pada
saatnya ia harus menjawab "Ya" atau "Tidak."
Selama ini, meskipun hanya setitik, agaknya Wrahasta selalu
berpengharapan. Sehingga apabila kelak pada saatnya ia
mendengar jawaban yang lain, maka hatinya pasti akan patah.
Akibatnya akan dapat terungkap dalam berbagabagai bentuk.
Karena itu Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Sekalisekali
dipandanginya wajah ayahnya yang pucat, kemudian
dilemparkannya tatapan matanya ke sudut bilik, ke atas sebuah
ajuk-ajuk lampu minyak. Warna yang kehitam-hitaman
membayang di dinding di sebelah ajuk-ajuk itu. Di malam hari,
apabila lampu menyala, maka asapnya selalu menyentuh
dinding itu. Pandan Wangi tidak menyadari, berapa lama ia duduk di
tempat itu. Ia seakan-akan tersadar ketika ia mendengar desah
napas ayahnya. Dengan serta-merta Pandan Wangi berdiri. Dihampirinya
pembaringan ayahnya perlahan-lahan.
"Wangi," desis ayahnya.
"Ya, Ayah." "Apakah sejak tadi kau berada di sini?"
"Tidak Ayah. Aku sudah pergi ke dapur dan ke luar."
"O," Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya perlahanlahan,
"di manakah orang-orang yang lain?"
"Di luar, Ayah. Mereka pun sedang beristirahat di serambi
depan. Bahkan mungkin paman-paman sedang tidur pula."
"Kedua prajurit itu?"
"Juga di luar."
"Dan kedua gembala muda itu?"
"Mereka berada di belakang, Ayah. Apakah Ayah akan
memanggilnya?" Tetapi Ki Argapati menggelengkan kepalanya, "Tidak
sekarang, Wangi. Aku masih ingin beristirahat. Tetapi badanku
sudah terasa jauh lebih baik." Ki Argaparti berhenti sejenak,
"Beritahukan kepada pamanmu Samekta. Aku memerlukannya
dan para pemimpin yang lain. Aku ingin berbicara nanti sesudah
senja." "Baik, Ayah." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia ingin
menanyakan apakah ayahnya ingin makan. Tetapi ia cemas,
kalau-kalau Wrahasta masih berada di dapur.
Namun demikian, ia terpaksa mengesampingkan
kecemasannya itu dan bertanya kepada ayahnya, "Apakah Ayah
ingin makan?" Ki Argapati menggelengkan kepalanya, "Tidak, Wangi. Tetapi
berilah aku minum." Pandan Wangi pun kemudian mendekatkan mangkuk
minuman ke mulut ayahnya yang berusaha mengangkat
kepalanya. "Terima kasih," desis ayahnya kemudian. "Sekarang temuilah
pamanmu Samekta. Kita harus membicarakan kelanjutan dari
peperangan ini supaya kita tidak terlambat. Aku kira saat ini
Tambak Wedi dan Sidanti pun sedang memikirkan suatu cara
untuk menebus kekalahannya hari ini."
Sebenarnyalah bahwa Tambak Wedi yang sedang dilanda
oleh kemarahan, kekecewaan, keragu-raguan, dan segala
macam perasaan yang bercampur baur, lagi duduk bersama
Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, dan beberapa orang pemimpin
pasukannya yang lain. Setiap kali orang tua itu menggeram,
menghentak-hentakkan tangannya dan kadang-kadang berteriak
tanpa sebab. Sidanti adalah salah seorang yang paling kecewa karena
pasukannya harus ditarik mundur. Tetapi di hadapan gurunya
yang sedang marah itu, Sidanti sama sekali tidak berkata apa
pun. Ia mengenal tabiat guru dan sekaligus ayahnya itu dengan
baik, selama ia berada di padepokan Tambak Wedi. Dalam
keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang berani
membantahnya. "Kita telah salah menilai," geramnya. "Ternyata di dalam
lingkungan setan itu terdapat orang-orang yang tidak pernah kita
perhitungkan." Sidanti menundukkan kepalanya, sedang Argajaya
mengangguk-angguk. "Ki Peda Sura," tiba-tiba Tambak Wedi bertanya, "kenapa kau
menghindari lawanmu?"
"Aku tidak mau mati," jawab Ki Peda Sura.
"Gila. Apakah kau sudah mcnjadi seorang pengecut. Di
peperangan, mati adalah akibat yang wajar. Tetapi aku memang
tidak ingin kau mati. Aku ingin kau membunuh musuhmu."
"Aku telah membunuh dan melukai lebih dari sepuluh orang.
Kalau aku tidak menghindari orang berkumis lebat itu, akulah
yang mati dan dengan demikian aku tidak dapat membunuh lagi.
Orang berkumis itu pun sebenarnya tidak begitu mengecutkan
hati. Tetapi ia bekerja bersama beberapa orang. Kerja sama
yang sangat baik, sehingga aku menghindarinya."
Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tidak
pernah menaruh perhatian terhadap seseorang yang berkumis.
Ada seribu orang berkumis di dalam pasukan Ki Argapati.
"Kita tidak boleh menunggu Argapati sembuh dan dapat maju
ke peperangan lagi," berkata Ki Tambak Wedi. "Kita harus cepatcepat
menyusun kekuatan. Tanpa Ki Muni dan Ki Wasi. Ternyata
mereka hanya mampu berbicara saja, berteriak-teriak. Tetapi
mereka sama sekali tidak berarti apa-apa di peperangan."
"Ki Wasi terbunuh oleh orangnya sendiri," desis Argajaya.
"Itu lebih baik daripada ia berkhianat," jawab Ki Tambak Wedi.
"Nah, kalian harus segera mempersiapkan diri. Seluruh pasukan
harus segera dapat digerakkan kembali dalam waktu yang
sangat dekat." Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya ragu-ragu,
"Tidak mungkin terlampau cepat Ki Tambak Wedi. Pasukan kita
telah terpukul cukup parah. Aku kira kita memerlukan waktu dua
tiga hari untuk menyusun pasukan itu kembali. Kalau benar
Kakang Argapati tidak dapat bertahan, dan terjatuh di
peperangan, itu berarti bahwa lukanya memang terlampau
parah. Kalau tidak, ia pasti mampu tetap berdiri sampai tidak
seorang lawan pun yang melihatnya. Karena itu, maka aku kira,
dalam waktu dua tiga hari ini, Kakang Argapati pasti masih
belum akan dapat bangun."
"Tiga hari adalah batas terakhir," jawab Ki Tambak Wedi. Lalu
kepada Ki Peda Sura, "Bagaimana dengan orang-orangmu?"
"Kenapa dengan mereka?"
"Aku memerlukan beberapa orang terkuat lagi dari orangorangmu
untuk melawan setan-setan yang sekarang ada di
Menoreh ini. Kau harus menyusun kelompok-kelompok kecil dari
orang-orangmu yang terkuat."
"Kenapa hanya orang-orangku" Di sini ada orang-orang lain
yang cukup kuat pula."
"Tetapi kau adalah gerombolan yang terbesar dan terpercaya.
Aku lebih percaya kepadamu daripada orang-orang lain."
Ki Peda Sura menggeleng-gelengkan kepalanya, "Berat.
Terlampau berat menghadapi orang-orang Argapati."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Aku lebih baik menarik diri."
"Gila. Kau gila. Dalam keadaan serupa ini kau menarik diri"
Itu juga suatu pengkhianatan."
"Lawan-lawanmu ternyata terlampau sulit untuk dikalahkan."
"Tetapi Argapati sendiri sudah hampir mati."
"Seperti saat-saat lampau, ia akan tiba-tiba muncul lagi di
peperangan." "Mungkin, tetapi ia tidak akan dapat bertempur sepenuh
tenaganya." "Tetapi aku lebih baik membawa orang-orangku merampok
daripada harus berperang melawan Ki Argapati."
"Gila. Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak" Aku bukan orangmu yang harus tunduk
kepadamu." "Tetapi kita sudah membuat perjanjian."
"Aku ingin membatalkan perjanjian."
"Gila, kau gila Peda Sura. Kau tidak dapat membatalkan
perjanjian itu. Itu adalah suatu pengkhianatan. Dan kau harus
menyadari, hukuman dari seorang pengkhianat."
"Apa?" tiba-tiba Ki Peda Sura tersenyum, "Kau akan
menghukum aku" Kau sangka aku semacam katak yang begitu
saja dapat kau injak-injak?"
"Tapi aku mampu membunuhmu."
"Mungkin aku akan mati, tetapi separo dari anak buahmu
pasti akan mati juga. Orang-orangku yang tersisa akan dapat
memanggil beberapa orang yang dapat membakar tanahmu
menjadi abu. Kami meskipun tanpa aku, dapat menjelajahi ujung
tanahmu ini sampai ke ujung yang lain, membunuh setiap orang
dan merampas semua milik mereka, selagi kau berkelahi
melawan Argapati." "Baik," tiba-tiba Sidanti tidak dapat menahan hati, "marilah kita
bertempur sampai sampyuh. Biarlah kita binasa semuanya.
Apakah kau kira kau dapat menakut-nakuti kami?"
"Apakah begitu yang kau kehendaki, Sidanti?" jawab Ki Peda
Sura. Hampir saja Sidanti meloncat menerkam orang itu. Tetapi Ki
Tambak Wedi berhasil menahannya. "Duduklah yang baik,
Sidanti." Sadanti menggeram, tetapi ia duduk kembali di tempatnya.
Ternyata betapa kemarahan membakar dada gurunya, orang tua
itu masih dapat lebih menahan hati daripadanya sendiri.
Peda Sura masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya.
Bahkan ketika Sidanti telah duduk kembali ia berkata, "Kenapa
tidak kau biarkan saja anak itu mati?"
"Jangan membakar hatinya lagi," bentak Ki Tambak Wedi.
"Kita ternyata adalah orang-orang yang paling bodoh di dunia.
Kita bercita-cita setinggi langit, tetapi kita tidak pernah setia


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada cita-cita itu sendiri. Masalah-masalah yang tidak berarti
kadang-kadang selalu kita anggap lebih penting dan lebih
berharga untuk dipersoalkan."
Sidanti hanya dapat menundukkan kepalanya untuk
menyembunyikan sorot matanya yang membara.
Dalam pada itu Argajaya masih mematung di tempatnya.
Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya, kadang-kadang
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kadang-kadang ia
mengeretakkan giginya. Ki Peda Sura seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun ternyata orangorangnyalah
yang telah mempersiapkan diri mereka diam-diam.
"Ki Peda Sura," berkata Ki Tambak Wedi kemudian, "marilah
kita persoalkan masalah yang sedang kita garap sekarang. Kita
sudah tidak dapat berhenti di tengah-tengah jalan. Kita harus
berjalan terus. Memang kau dapat memeras kami dalam saatsaat
seperti ini. Tetapi seperti kau, kami pun dapat berbuat
dengan sikap putus asa. Kalau kita membenturkan diri kita satu
sama lain, maka akulah yang pasti akan tetap hidup. Harapan
terbesar Sidanti dan Argajaya pun akan tetap hidup pula.
Kematian orang lain dapat kami kesampingkan, apabila kami
telah kehilangan arah perjuangan kami. Tetapi tidak demikian
dengan kami. Aku, Sidanti, Argajaya, dan anak-anak muda,
bahkan setiap laklaki di atas Bukit Menoreh ini akan tetap
berjuang untuk mencapai suatu cita-cita yang telah kita pahatkan
di dalam hati." "Cita-cita itu adalah cita-cita kalian. Bukan cita-cita kami."
"Benar, tetapi bukankah di dalam perjanjian itu telah
tersebutkan bahwa kau akan mendapat banyak manfaat dari
kemenangan ini" Dan bukankah manfaat itu juga suatu cita-cita
bagimu?" "Terlampau berat. Sama sekali tidak seimbang dengan
korban yang harus aku berikan."
"Tetapi itu lebih baik daripada kau tumpas di sini bersamasama
dengan kami. Katakanlah seperti yang kau ramalkan,
separo dari kami. Kemudian kami menyerah, dan Sidanti akan
diterima kembali oleh ayahnya. Sementara itu, kami akan
menumpas sisa-sisa orang-orangmu di sarangmu."
"Gila. Kalian jangan mencoba menakut-nakuti dan
memperbodoh kami." "Dan kau jangan mencoba berkhianat."
"Aku akan bekerja terus buat kau, tetapi selain yang tersebut
dalam perjanjian, aku memerlukan tanahmu di bagian selatan
membujur ke timur sampai ke kali Praga."
"Gila," sekali lagi Sidanti meloncat berdiri, bahkan kali ini
bersama-sama dengan Argajaya. Dengan suara yang bergetar
Argajaya berkata, "Kau akan memeras kami dengan cara yang
licik itu, Peda Sura?"
Peda Sura mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat duduk
tenang-tenang saja, karena agaknya Sidanti dan Argajaya
menjadi benar-benar marah mendengar tuntutannya itu.
"Ya, aku memang memerlukan tanah itu."
Mata Sidanti telah menjadi semerah darah. Namun Ki
Tambak Wedi berkata, "Duduklah. Duduklah. Kita tidak boleh
menjadi gila oleh kekalahan kecil yang baru saja terjadi."
Sidanti dan Argajaya masih saja berdiri di tempatnya.
"Dudukkah," sekali lagi terdengar suara Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya menggeram, tetapi mereka duduk
kembali di tempatnya. "Permintaanmu telah membuat kami merasa tersinggung Ki
Peda Sura," berkata Ki Tambak Wedi.
"Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami tidak akan
dapat membiarkan orang-orang kami mati terbunuh di sini tanpa
imbalan yang cukup."
"Apakah kau telah merencanakan untuk memperluas daerah
perampasanmu sampai ke Mangir, Pliridan dan bahkan langsung
ke seberang Hutan Mentaok?"
Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya
terangguk-angguk kecil. "Begitu?" desak Ki Tambak Wedi.
"Ya," akhirnya Ki Peda Sura menjawab.
"Kau gila. Kau sangka Ki Ageng Mangir itu anak kecil yang
dapat kau takut-takuti."
"Persetan." "Dan kau sangka kau dapat melawan Daruka dan orangorangnya
dari Alas Mentaok?" "Persetan pula dengan kelinckelinci kecil di Alas Mentaok
itu." "Bagus. Kalau sudah kau pertimbangkan masak-masak, kau
tentu akan tetap pada pendirianmu."
"Tentu. Dan itu akan lebih baik buat kau. Kau akan mendapat
seluruh Tanah Perdikan ini, selain seleret tanah di pasisir sampai
ke Kali Praga itu." Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baiklah. Aku sependapat."
"Guru," Sidanti tiba-tiba memotong.
"Jangan gelisah Sidanti. Kita tidak mempunyai pilihan lain
dalam keadaan serupa ini. Kita harus memenangkan
peperangan ini." "Tetapi ?""." sambung Argajaya.
"Itu adalah keputusanku."
Sidanti dan Argajaya terdiam. Namun serasa mereka
menyimpan segumpal bara di dalam dada mereka.
"Jadi, kau terima syaratku, Tambak Wedi," berkata Ki Peda
Sura sambil menyipitkan matanya.
"Ya, aku terima syarat itu."
Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum sambil memandang wajah Sidanti dan Argajaya
bergantganti. Wajah-wajah yang seolah-olah telah terbakar.
"Aku percaya kepadamu, Ki Tambak Wedi," berkata Ki Peda
Sura. "Kita adalah orang laklaki yang meletakkan nilai diri pada
kata-kata dan perbuatan. Dan kau adalah salah seorang yang
mempunyai nama yang menggemparkan, tidak saja di sebelah
Selatan bumi Pajang, tetapi kau telah benar-benar mampu
mengguncang pimpinan pemerintahan. Karena itu, kau tidak
akan menelan ludah yang telah titik di atas tanah."
"Ya. Aku pertaruhkan namaku atas janjiku."
"Terimu kasih," sahut Ki Peda Sura, "biarlah aku menyiapkan
orang-orangku untuk peperangan yang lebih besar dan waktu
yang tidak terbatas."
"Ya, lakukanlah. Aku memerlukan setiap orang di dalam
pasukanku. Secepat mungkin. Aku tidak dapat menunggu
sampai terlambat. Apalagi sampai orang-orang Pajang semakin
banyak berdatangan."
Ki Peda Sura tertawa. Kemudian ia pun berdiri meninggalkan
ruangan itu, diikuti oleh beberapa orang yang lain.
Begitu Ki Peda Sura keluar dari pintu, Sidanti dan Argajaya
tidak dapat bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka bertanya,
"Kenapa Guru memenuhi permintaan itu?"
Tetapi Ki Tambak Wedi tersenyum. Jawabnya, "Apakah kau
kira aku akan memenuhinya kelak."
"Tetapi Kiai telah mempertaruhkan nama Kiai."
"O, kau sangka namaku adalah nama yang bersih seputih
kapas" Biarlah. Namaku adalah nama yang memang aku
korbankan untuk kepentingan kalian, untuk kepentingan Tanah
Perdikan ini." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, "Setelah
kita selesai dengan Argapati, maka kita akan segera
menyelesaikan tikus-tikus yang hanya akan meringkihkan kita
saja." Sidanti tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk. Ia tidak
begitu senang mempergunakan cara itu. Cara seorang
pengecut. "Jangan terlampau terikat oleh kejantanan dalam hubungan
dengan orang-orang seperti Ki Peda Sura," berkata Ki Tambak
Wedi kemudian. "Orang itu terlampau licik. Dan kita pun harus
licik pula menghadapinya."
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut
lagi. Juga Argajaya tidak berkata sepatah kata pun lagi.
"Beristirahatlah kalian. Sebentar lagi kalian harus bekerja
keras. Menghimpun semua kekuatan yang ada. Kalian harus
segera mendapat tenaga baru dari ujung sampai ke ujung Tanah
Perdikan ini yang kira-kira dapat kita pergunakan. Kita harus
mendapatkan kekuatan sedikit-dikitnya sebanyak yang telah kita
pergunakan." "Hampir setiap orang telah berada di dalam barisan," jawab
Argajaya. "Kita masih menyimpan banyak tenaga. Kalian belum
memanggil orang-orang yang berada di lereng-lereng Bukit
Menoreh dan di pesisir Selatan."
"Aku sangsi, apakah mereka sependirian dengan kita.
Samekta pasti telah sampai ke sana pula. Dan sebagian dari
mereka pasti telah terpengaruh olehnya."
"Kita jelajahi Tanah Perdikan ini."
"Baiklah," jawab Argajaya, "aku akan mencobanya. Aku
memerlukan waktu sehari. Kemudian sehari lagi untuk
menghimpun setiap kekuatan yang telah terkumpul."
"Di hari ketiga kita telah siap untuk menggempur pedukuhan
yang dibentengi dengan pring ori itu," geram Ki Tambak Wedi,
lalu, "semakin cepat selesai, pasti akan semakin baik. Di pihak
Argapati pun jumlah pasukannya pasti sudah berkurang. Dan
mereka tidak akan berkesempatan untuk mendapatkannya lagi
dari luar pagar itu."
"Mudah-mudahan," desis Argajaya.
"Kita harus yakin," sahut Ki Tambak Wedi. "Nah, aku pun
akan beristirahat pula. Kalian harus melakukan tugas kalian
sebaik-baiknya tanpa menunggu perintah lagi. Ingat, jagalah
perasaan kalian, sehingga tidak menimbulkan persoalan yang
dapat mengganggu kekuatan kita."
Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Dan sejenak kemudian mereka pun segera pergi
meninggalkan ruangan itu.
Ketika Ki Tambak Wedi tinggal duduk seorang diri, maka
tampaklah ia merenung. Ia menjadi sangat kecewa atas
kekalahan yang baru saja dialaminya. Orang-orang yang tidak
diperhitungkan ternyata tiba-tiba saja telah muncul di
peperangan. Dan justru orang-orang itu adalah orang-orang
yang ikut menentukan. "Secepatnya Argapati harus terbunuh. Secepatnya."
Iblis lereng Merapi itu menggeretakkan giginya. Ia pun
kemudian berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Seperti orang
yang kurang yakin, maka ia pun melihat orang-orangnya yang
masih mampu untuk bertempur di waktu-waktu yang dekat.
"Jangan berkecil hati. Kesalahan yang terjadi adalah
kesalahan kecil dalam penempatan pimpinan. Kesalahan itu
adalah kesalahan yang memang sulit untuk dihindari. Tetapi kita
sekarang telah mengetahui kekuatan lawan dengan pasti.
Mereka mempergunakan orang-orang yang datang dari luar
Tanah ini. Karena itu, kita harus menghancurkan mereka,
merebut tanah ini dari kekuasaan orang gila pangkat dan derajat,
sehingga melupakan kepentingan seluruh rakyat Tanah Perdikan
Menoreh." Orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun sebagian
dari mereka menjadi ragu-ragu, namun setiap kali mereka
memantapkan pendirian mereka, "Sidanti adalah anak Argapati,
dan Argajaya adalah adiknya. Mereka bersama-sama telah
melawannya. Apalagi aku. Bukan sanak bukan kadangnya.
Kalau Argapati tidak mempunyai kesalahan yang besar, maka
keduanya pasti tidak akan sampai pada perlawanan antara hidup
dan mati seperti ini."
Dengan demikian, maka mereka pun telah menentapkan diri
mereka sendiri dalam pilihannya, tanpa mengerti arti yang
sesungguhnya. Apakah sebenarnya yang sedang mereka
lakukan itu. Pada saat Sidanti, Argajaya dan pembantu-pembantunya
sedang sibuk mempersiapkan orang-orang mereka, memberikan
pengharapan dan beberapa macam janjjanji, dan Ki Peda Sura
yang sedang tertawa-tawa di antara anak buahnya, maka pada
saat itu pula Ki Argapati sedang berbaring di pembaringannya,
dikerumuni oleh para pemimpin pasukannya.
Mereka berpaling ketika mereka melihat seorang gadis yang
memasang lampu di ajuk-ajuk di sudut ruangan.
"Duduklah pula di sini, Pandan Wangi," desis ayahnya.
Pandan Wangi pun kemudian melangkah mendekat dan
duduk di pembaringan ayahnya pula.
"Kita akan berbicara tentang peperangan," berkata ayahnya.
Dan Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kemarilah, mendekatlah semua," berkata Ki Argapati kepada
para pemimpin itu. Mereka pun kemudian menarik dingklik-dingklik kayu mereka
mendekati pembaringan Ki Argapati. Mereka adalah gembala tua
yang telah mengobati Ki Argapati, kedua orang pengawal
Sutawijaya, Hanggapati dan Dipasanga, kemudian Samekta,
Kerti, dan Wrahasta. Tetapi Ki Argapati masih mencarcari di antara mereka.
Sehingga kemudian ia bertanya, "Dimana kedua anak-anak itu?"
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang menjadi gelisah
karenanya. Hampir saja ia mengatakan tentang keduanya,
namun ketika dilihatnya alis Wrahasta yang berkerut, maka ia
pun mengurungkan niatnya. "Biar orang lain sajalah yang
menjawabnya," katanya di dalam hati.
"Dimana?" ulang Ki Argapati.
"Mereka berada di halaman, Ki Gede," jawab gurunya.
"Suruhlah mereka masuk."
"Sudahlah, Ki Gede, biarlah mereka berada di halaman.
Mereka hanya akan memenuhi ruangan ini saja. Biarlah aku
nanti menyampaikan kepada mereka setiap keputusan."
"Tetapi aku belum bertemu dengan mereka sejak
pertempuran berakhir."
"Mereka baik-baik saja, Ki Gede. Hanya Gupala tersentuh
senjata Ki Muni yang tajamnya memang bukan main. Itulah yang
telah membakar perasaannya, sehingga ia kehilangan kendali."
"Tidak, bukan karena kehilangan kendali," jawab Ki Argapati.
"Adalah wajar sekali, di setiap peperangan, pada suatu saat
terpaksa membasahi senjata dengan darah lawan. Justru aku
akan mengucapkan terima kasih kepada mereka."
"Akan aku sampaikan kepada mereka, Ki Gede," berkata
gembala tua itu. Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak menaruh suatu kecurigaan apa pun tentang kedua
anak-anak muda itu. Ki Argapati yang masih harus tetap
berbaring itu sama sekali tidak mengerti, perasaan apa yang
sebenarnya sedang bergolak di dada puterinya, di dada
Wrahasta, dan pengamatan gembala tua itu atas kedua anakanaknya.
Gembala itu sudah mendengar ceritera tentang kedua
anak-anaknya, sikap Wrahasta dan hubungan-hubungan lain
yang memungkinkan persoalan-persoalan yang tidak
menyenangkan. Karena itu, sebagai orang tua yang mencoba
untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka
ia sudah berusaha, membatasi kedua anak-anaknya.
"Baiklah," berkata Ki Argapati kemudian, "kalau mereka lebih
senang menunggu di luar. Aku kira yang ada di dalam ruangan
ini sudah cukup lengkap untuk mewakili setiap orang di dalam
pasukan kita." "Begitulah," jawab gembala tua itu.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
merenung, dan sejenak kemudian ia berkata, "Sayang, lukaku
menjadi kambuh. Padahal kita sudah tersudut dalam suatu
keadaan yang harus cepat kita tanggapi."
Mereka yang mendengar, mengangguk-anggukkkan kepala
tanpa mereka sadari. Karena apa yang dikatakan oleh Ki
Argapati itu adalah yang mereka katakan di dalam hati masingmasing.
"Kalau kita terlambat, maka Tambak Wedi akan datang lagi
bersama pasukannya yang lebih kuat."
"Ya, Ki Gede," jawab Samekta, "mungkin Ki Tambak Wedi
menjadi mata gelap dan berbuat semakin jauh menyesatkan
orang-orang dari Tanah Perdikan ini. Hubungan dengan orangorang
semacam Ki Peda Sura, sebenarnya sama sekali tidak
menguntungkan bagi Tanah ini."
"Tentu. Dan tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi akan
terdorong semakin jauh lagi dalam hubungan itu."
"Dengan demikian kita harus menanggapinya secepatcepatnya."
"Jadi bagaimana pendapatmu, Samekta?"
Samekta tidak segera menjawab. Tanpa disadarinya ia
berpaling, memandangi wajah gembala tua yang sedang
berkerut-merut. "Ki Gede," berkata Samekta kemudian, "meskipun bukan
orang Menoreh, tetapi mereka yang sudah membantu kita,
agaknya akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
yang baik meskipun tidak mengikat."
"Tentu, tentu," sahut Ki Argapati. "Nah, bagaimana
pertimbangan kalian?"
Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu merenung
sejenak. Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua itu,
"Kalau aku diperkenankan memberikan pertimbangan, Ki Gede,
maka sebaiknya kita tidak menunggu saja di dalam lingkungan
pring ori ini. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi setelah
peperangan ini, sebaiknya kita menyusul mereka, masuk
kembali ke induk Tanah Perdikan ini."
Ki argapati mengerutkan keningnya. Namun ia melihat setiap
orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan Wrahasta
menyambung, "Ya Ki, Gede. Itu adalah jalan yang paling dekat
untuk mengambil kembali Tanah ini dari tangan mereka. Saatsaat
ini mereka pasti sedang menyusun kekuatan mereka
kembali. Aku kira apabila kita menyusul mereka, mereka pasti
akan terperanjat. Sedang induk Tanah Perdikan itu justru tidak
mempunyai pagar pring ori serapat ini."
Ki Argapati masih belum menjawab. Tampaklah wajahnya
yang suram itu menegang. Kemudian perlahan-lahan terdengar
ia berdesis, "Tetapi aku masih belum dapat bangkit dari
pembaringan ini." Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka mengerti, betapa Ki Argapati sedang
dikungkung oleh luka yang parah di dadanya itu. Selain daripada
itu, mereka pun mengerti pula, bahwa Ki Gede telah
memperingatkan, siapakah di antara mereka yang sanggup
untuk melawan Ki Tambak Wedi"
Karena itu, maka ruangan itu menjadi hening sejenak.
"Tetapi," Ki Argapati pun kemudian berbicara pula perlahanlahan,
"kita memang tidak dapat menunggu lagi. Soalnya
sekarang, bagaimana kita harus melawan iblis yang paling licik
itu." Gembala tua yang ada di dalam bilik itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia telah sampai pada suatu batas tertentu, di
mana ia tidak akan dapat bergurau lagi. Kalau ia kali ini harus
menyatakan cirinya, maka ia pun harus menyelesaikannya
sekaligus. Karena itu, maka ia pun tidak segera menemukan
suatu sikap yang mantap untuk segera menyanggupi untuk
melawan Ki Tambak Wedi. Hanggapati dan Dipasanga pun hanya dapat menganggukanggukkan
kepala mereka. Mereka berdua tidak akan dapat
menyatakan diri mereka untuk bersama-sama melawan Ki
Tambak Wedi, karena mereka berdua pun tidak yakin, bahwa Ki
Tambak Wedi dapat mereka tundukkan.
Dengan demikian maka sekali lagi mereka yang ada di dalam
ruangan itu terdiam sejenak.
"Ki Gede," Samekta-lah kemudian yang memecahkan
kediaman mereka, "kalau Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan
pasukannya dan bahkan mungkin menghimpun orang-orang
yang masih bertebaran di desa-desa kecil di atas Tanah
Perdikan ini, entah dengan cara apa pun yang akan
ditempuhnya, maka kita akan menghadapi kesulitan."
"Ya, aku mengerti Samekta," jawab Ki Argapati, "pendapat itu
adalah pendapat yang paling baik saat ini. Tetapi yang membuat
kita bertanya-tanya, siapakah lawan Ki Tambak Wedi. Hanya
itu." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia
memandangi wajah gembala tua yang duduk sambil
mengangguk-angguk kecil. "Apakah ia mampu," desis Samekta di dalam hatinya, "di
dalam peperangan ini ternyata ia dapat mengusir Ki Peda Sura
yang tingkat ilmunya tidak terlampau jauh dibawah Ki Tambak
Wedi. Tetapi apakah ia bersedia dan mampu untuk berhadapan
dengan Ki Tambak Wedi sendiri, meskipun seandainya
diperlukan satu atau dua orang untuk membantunya."
Dalam keragu-raguan itu Wrahasta berkata, "Ki Gede. Kita
memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu,
bagaimanakah seandainya kita menyusun suatu kelompok kecil
dari orang-orang pilihan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi?"
Ki Argapati mengangguk-angguk, "Memang mungkin
dilakukan, Wrahasta. Nah, bagaimana menurut
pertimbanganmu." "Mungkin dua tiga orang yang akan memimpin kelompok kecil
itu. Ki Hanggapati, Ki Dipasanga, dan salah seorang dari kami,
maksudku, Paman Samekta, Paman Kerti, atau aku."
Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Lalu bagaimana pertimbanganmu mengenai Sidanti
dan Argajaya?" "Kita dapat membuat kelompok-kelompok serupa. Pandan
Wangi didampingi oleh salah seorang dari kami, dan yang lain
bersama-sama melawan yang seorang dari mereka."
Gembala tua yang duduk terangguk-angguk itu pun masih
juga terangguk-angguk. Ia merasakan keanehan sikap Wrahasta
ini. Di dalam susunannya sama sekali tidak disinggung-singgung
Gupala dan Gupita, juga dirinya sendiri. Tetapi gembala tua itu
masih juga berdiam diri. "Wrahasta," berkata Ki Argapati itu, "pada dasarnya, pikiran
itu adalah pikiran yang sebaik-baiknya. Kita harus mengambil
jalan itu untuk melawan para pemimpin di dalam pasukan Ki
Tambak Wedi. Hanya mungkin kau masih melupakan beberapa
orang yang ada diantara kita. Dukun tua ini, dan kedua anakanaknya."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Dipandanginya gembala
tua itu. Kemudian katanya, "Kita akan berterima kasih kalau ia
bersedia membantu kita Ki Gede. Kita masih mempunyai
seorang lawan. Ki Peda Sura. Biarlah mereka bersama-sama
melawan Ki Peda Sura."
Argapati mengerutkan keningnya. Katanya, "Wrahasta,
bukankah kau tahu, bahwa gembala tua itu seorang diri dapat
mengalahkan Ki Peda Sura, dan salah seorang anaknya
bersama-sama dengan Pandan Wangi mampu melukainya" Kau
dapat mengambil kesimpulan, kemungkinan yang dapat mereka
lakukan untuk peperangan ini."
"Itu adalah pertimbangan yang bijaksana," sahut Kerti, "Ki
Sanak ini memiliki kemampuan di atas kita. Setidak-tidaknya ia
mampu melawan Ki Peda Sura. Nah, bagaimana kalau pikiran
Wrahasta itu mendapat perubahan sedikit. Maksudku, biarlah
dukun tua ini menempatkan diri bersama satu dua orang untuk
melawan Ki Tambak Wedi."
Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia
mengakui, bahwa memang kemungkinan itulah yang paling baik.
Tetapi dengan demikian, kedudukan gembala itu akan menjadi
semakin kuat, sehingga kedua anak-anaknya pun menjadi
semakin mantap pula berada di lingkungan Tanah Perdikan ini.
Padahal bagi Wrahasta, kedua anak-anak gembala itu
merupakan duri yang serasa selalu menyengat dagingnya.
Hampir saja Wrahasta berteriak menolak pendapat Kerti itu.
Namun ternyata ia tidak dapat mencari alasan yang lebih baik
lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan jawaban ia
menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kesan di
wajahnya. Yang terdengar adalah suara Ki Argapati lambat,
"Pendapatmu tepat Kerti. Tetapi biarlah aku bertanya
kepadanya, karena ia seorang tamu bagi kita di sini, apakah ia
bersedia melakukannya. Seandainya ia bersedia, maka aku
percaya, bahwa ia tidak memerlukan orang lain untuk melawan
Ki Tambak Wedi." Kerti mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk
perlahan. Dipandanginya wajah gembala tua yang masih
menunduk itu. Kemudian wajah Ki Argapati yang pucat. Ketika
terpandang olehnya wajah Wrahasta, maka orang tua itu melihat
sepercik kekecewaan membayang di sorot matanya.
Tetapi Wrahasta tidak dapat mencegah pertimbangan Ki
Argapati itu. Karena ia tidak akan dapat membuat kemungkinan
yang lebih baik daripada itu.
Ruangan itu menjadi hening sejenak. Mereka seakan-akan
menunggu sikap gembala tua yang masih tetap berdiam diri itu.
"Bagaimana pendapat Ki Sanak?" bertanya Ki Argapati. "Kau
sudah mendengar apa yang seharusnya aku katakan
kepadamu." Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
"Tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu.
Kami sudah tidak dapat melihat kekuatan di atas bukit ini yang
mampu untuk melakukannya."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Berbagai per-timbangan telah memenuhi dadanya. Namun
akhirnya ia sampai pada kepentingan yang lebih dekat pada diri
sendiri. "Aku seharusnya tidak melibatkan diri terlampau jauh di dalam
persoalan ini," katanya di dalam hati. "Tetapi apabila aku
melepaskan kemungkinan kali ini, maka akibatnya akan menjadi
sangat jauh. Memang tidak ada orang yang dapat ditempatkan di
ujung pasukan untuk melawan Ki Tambak Wedi. Kalau aku tidak
bersedia melakukannya kali ini, maka sudah pasti, bahwa
perjuangan Ki Argapati tidak akan segera berhasil. Bahkan
mungkin pada suatu ketika Ki Tambak Wedi akan berhasil
menguasai seluruh daerah perbekalan pasukan pengawal ini,
sehingga lambat atau cepat, Menoreh akan jatuh ke tangannya
pula. Akibatnya tidak hanya akan berpengaruh di atas tanah ini,
tetapi pasti akan sampai ke seberang Kali Praga. Apalagi Alas
Mentaok yang akan tumbuh. Mangir, Pliridan, dan akan sampai
pula ke sebelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya."
Gembala tua itu menarik nafas. Bahkan terbayang di
kepalanya, Ki Tambak Wedi akan terus melawat ke Timur, ke
Pajang dan daerah di sekitarnya. Apalagi agaknya Pajang baru
disaput oleh awan yang suram, sepeninggal Ki Gede
Pemanahan. "Bagaimana Kiai?" bertanya Ki Argapati kemudian karena
gembala tua itu masih belum menjawab.
Perlahan-lahan orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun bertanya, "Tetapi apakah kalian percaya
kepadaku bahwa aku akan dapat melawan Ki Tambak Wedi."
Ki Argapati yang sedang terluka itu tersenyum. Katanya,
"Betapa kami dapat menduga akhir dari pertempuran itu" Namun
menurut perhitunganku, maka kau akan dapat melakukannya.
Bagaimanapun kau mencoba merendahkan dirimu, tetapi kami
tidak akan salah memandang kemampuan yang ada padamu,
Kiai." "Hem," gembala tua itu menarik nafas. Sekilas disambarnya
wajah Wrahasta yang tegang.
"Kami sangat mengharap bantuanmu, Ki Sanak," berkata Ki
Argapati. "Mungkin kau mentertawakan aku, bahwa dalam
penyelesaian Tanah ini aku harus mencari bantuan kepada
orang lain." Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi
Tanah ini berada dalam keadaan darurat. Kami harus melawan
kekuatan yang membahayakan. Dan kami tahu, bahwa kau dan
anak-anakmu pun mempunyai tujuan serupa."
Gembala tua itu tidak segera menjawab. Ia masih dicengkam
oleh kebimbangan. "Kami, seluruh tanah perdikan ini menunggu keputusanmu,"
desis Ki Argapati. Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak sependapat
dengan Ki Argapati, yang seolah-olah menggantungkan nasib
tanah perdikan ini kepada orang tua itu.
"Apakah yang dapat dilakukannya tanpa kami" Tanpa seluruh
pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpinnya?"
Namun dadanya berdesir ketika ia mendengar justru orang
tua itu yang mengucapkannya. Katanya, "apakah artinya aku
seorang diri, Ki Gede" Kekuatan Menoreh terletak pada para
pengawalnya. Kalau aku kemudian ikut serta di dalamnya, aku
hanyalah setitik air di dalam lautan."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Wradrasta
yang tegang itu menundukkan kepalanya, seolah-olah orang tua
itu melihat isi dadanya dan telah menyebutkannya.
Namun dengan demikian, Wrahasta melihat suatu kelebihan
pada orang tua itu. Orang tua yang oleh orang-orang Menoreh
sendiri telah dianggap sebagai satu-satunya penolong yang
dapat melepaskan tanah ini dari bencana, ternyata orang itu
sendiri tidak melepaskan pengakuan, bahwa sebenarnya
kekuatan terbesar adalah terletak pada orang-orang Menoreh


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. "Kiai," berkata Ki Gede, "kau memang seorang yang aneh.
Tetapi baiklah aku bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia
bekerja bersama kami mengalahkan kekelaman maksud Ki
Tambak Wedi untuk menguasai Tanah ini?"
Gembala tua itu termenung. Namun kemudian perlahan-lahan
kepalanya bergerak-gerak. Sambil mengangguk-angguk kecil ia
berkata, "Baiklah, Ki Gede. Lepas dari masalah Tanah Perdikan
Menoreh, aku memang mempunyai persoalan dengan orang itu."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia
bertanya, "Persoalan apakah yang telah melibat kalian?"
Gembala itu menggelengkan kepalanya, "Persoalan yang
langsung dan bahkan terlampau pribadi."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya,
persoalan yang terlampau pribadi." Ia berhenti sejenak,
kemudian, "Adalah kebetulan sekali. Kebetulan bagi tanah
perdikan ini, bahwa kau berada di sini dengan persoalanmu itu,
sehingga kau akan terlibat dalam pertentangan di antara
keluarga Menoreh." Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah," berkata Ki Argapati, "masalah yang lain tidak akan
terlampau sulit. Gembala tua ini akan langsung berhadapan
dengan iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Aku percaya
kepadanya dan aku sama sekali tidak meragukan kemenangan
yang bakal datang." Beberapa orang di dalam ruangan itu menganggukanggukkan
kepala mereka. Pandan Wangi menunggu keputusan
ayahnya dengan hati yang berdebar-debar. Dan ia melihat,
bahwa pembicaraan itu agaknya sudah akan segera selesai.
Namun sekilas Pandan Wangi melihat juga wajah Wrahasta
yang menegang. Dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar
karenanya. Apabila pada suatu ketika Wrahasta tidak dapat
mengekang dirinya lagi, maka akibatnya tidak akan
menyenangkannya, dan bahkan tidak akan menyenangkan bagi
tanah perdikan ini. "Setiap unsur di dalam pasukan ini memang menentukan,"
desis Pandan Wangi di dalam hatinya. "Apabila salah satu dari
unsur-unsur ini tanggal, maka akibatnya akan membuat kita
menyesak untuk waktu yang lama. Agaknya kekuatan yang ada
di dalam pasukan ini terlampau terbatas, sehingga kita
memerlukan seluruhanya. Tidak boleh ada satu pun yang
tinggal." *** Dalam pada itu Pandan Wangi mendengar gembala tua itu
berkata, "Aku berterima kasih atas kepercayaan ini, Ki Gede.
Selanjutnya marilah kita bersama-sama berdoa, mudahmudahan
kita berhasil kali ini."
"Ya, kita akan bersama-sama berdoa," sahut Ki Argapati. "Kita
merasa bahwa kita berada dipihak yang benar." Ki Argapati itu
berhenti sejenak, kemudian, "Kita harus segera menentukan,
kapan kita akan berangkat. Aku akan ikut dalam pasukan itu."
"Ki Gede," setiap orang terperanjat mendengar keinginan itu.
"Ki Gede masih belum sehat sama sekali."
"Tetapi aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Dalam
peperangan yang menentukan, aku tidak boleh duduk bertopang
dagu." "Ki Gede tidak sedang bertopang dagu," desis gembala tua
itu. "Sedang duduk saja Ki Gede masih terlampau sulit.
Bagaimana Ki Gede dapat bertopang dagu sambil berbaring?"
"Hem," Ki Gede menarik nafas. Katanya kemudian, "Tetapi
aku ingin memimpin penyerangan itu. Aku ingin ikut memasuki
induk tanah perdikan itu bersama pasukanku."
"Bagaimana hal itu dapat dilakukan, Ki Gede?" bertanya
Samekta. "Samekta," berkata Ki Gede, "kau harus menyiapkan
sekelompok kecil pengawal yang dapat kau percaya. Aku akan
pergi bersama mereka dengan sebuah tandu. Aku harus
memimpin sendiri peperangan ini. Sementara aku
mempercayakan perlawanan langsung atas Ki Tambak Wedi
kepada dukun tua ini."
"Ayah," desis Pandan Wangi, "sebaiknya Ayah tinggal di sini.
Kami yang berangkat ke medan, akan selalu mencoba berbuat
sebaik-baiknya. Kami mengharap bahwa salah seorang dari
kami akan dapat menghadap Ayah untuk melaporkan bahwa
kami telah merebut kembali padukuhan induk itu."
Tetapi Ki Argapati menggeleng, "Tidak. Aku adalah seorang
prajurit bagi tanah perdikan, sehingga aku harus berada di
medan." Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Ki Gede
akan mengganggu tugas yang telah dipercayakan kepadaku.
Aku harus memperhatikan nenggala Ki Tambak Wedi di satu
pihak, di lain pihak aku harus memperhatikan obat yang harus
aku sediakan buat Ki Gede."
Ki Argapati mengusap keringat di keningnya. Katanya, "Tidak.
Di peperangan aku tidak memerlukan apa pun juga. Entahlah
setelah peperangan itu selesai."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya niat Ki
Argapati sudah tidak dapat dihalanginya lagi. Sehingga, karena
itu maka katanya, "Ki Gede, memang suatu kebahagiaan bagi
seorang prajurit dalam keadaan perang seperti ini, apabila ia
berkesempatan untuk memimpin pasukannya langsung di
medan perang. Karena itu, apabila Ki Gede memang ingin
berada di medan, dan itu sudah menjadi suatu keputusan, kami
tidak akan dapat mencegahnya. Namun kita tidak boleh
meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, aku ingin mengusulkan,
apabila Ki Gede benar-benar akan berada di peperangan, maka
pengawalan terhadap Ki Gede harus sempurna. Menurut
pendapatku tidak ada orang yang paling tepat untuk memimpin
pengawalan itu selain Angger Pandan Wangi."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah
gembala tua itu sejenak, kemudian kepalanya itu pun tertunduk
lagi. Ia dapat mengerti pikiran gembala tua itu, dan ia sendiri
sama sekali tidak berkeberatan untuk selalu berada, di samping
ayahnya. Memang tidak ada orang yang dapat dipercayanya
lebih dari dirinya sendiri.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, aku
mengerti dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku minta
kecuali Pandan Wangi, Samekta harus juga selalu berada di
dekatku. Kau akan menjadi saluran pimpinanku atas
pasukanku." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, Ki
Gede." "Nah, selanjutnya terserahlah kepadamu, siapakah yang akan
kau bawa di dalam kelompok kecil di sekitarku."
"Baik, Ki Gede," jawab Samekta.
"Selanjutnya, kita harus segera bersiap sejak sekarang. Kita
akan datang ke induk tanah perdikan itu di malam hari, supaya
perasaanku tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitar rumah itu,
setidaknya masih ada satu dua orang di sekitar padukuhan itu
yang aku kenal baik sebelumnya." Ki Gede berhenti sejenak,
lalu, "Siapkan susunan barisanmu Samekta. Besok malam kita
akan menyusul orang-orang Ki Tambak Wedi. Tempatkan kedua
anak-anak muda yang bernama Gupala dan Gupita itu sebagai
lawan Ki Peda Sura. Kalau mereka segera berhasil, maka
mereka akan segera dapat membantu Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga yang masih harus berhadapan dengan lawanlawannya
yang lama." Dengan serta-merta gembala tua itu mengangkat dadanya.
Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia
mengharap biarlah kedua muridnya itulah yang berhadapan
dengan Sidanti dan Argajaya. Tetapi apabila demikian yang
dikehendaki oleh Ki Gede, ia tidak akan dapat merubahnya.
Perintah itu sudah terucapkan, sehingga apabila ia berusaha
untuk merubahnya, maka mungkin sekali perasaan kedua
pengawal Sutawijaya itu akan tersinggung karenanya.
Maka gembala tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya
kembali sambil mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak
berkata apa pun lagi. Agaknya pembicaraan itu memang sudah
selesai. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Dan mudahmudahan
pelaksanaannya dapat sesuai dengan rencana itu.
Dalam pada itu terdengar Ki Gede Menoreh berkata kepada
Samekta, "Kau harus menjaga rapat-rapat, agar rencana ini tidak
terdengar oleh lawan. Setiap pengawal harus ikut bertanggung
jawab, bahwa kita akan berhasil masuk ke induk tanah perdikan.
Tetapi kau tidak perlu memberitahukan sekarang, kapan kita
akan berangkat. Kau wajib mempersiapkan mereka, tanpa
mereka ketahui waktu yang telah kita pilih. Sebab siapa tahu, di
antara mereka ada orang-orang yang akan berkhianat."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Baik, Ki Gede."
"Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kalian akan
melakukan tugas kalian masing-masing. Ingat, rahasia ini harus
dipegang teguh apabila kita ingin berhasil." Ki Argapati berhenti
sejenak, kemudian, "Dan sebaiknya kau mengirimkan beberapa
orang petugas sandi. Kita harus tahu, bahwa mereka tidak akan
mendahului kita. Seandainya rencana waktu yang kita tentukan
bersamaan, kita harus segera mengambil keputusan."
"Baik, Ki Gede. Beberapa orang akan berusaha menghubungi
orang-orang yang masih setia kepada Tanah ini, yang mungkin
dapat memberikan keterangan."
"Setidak-tidaknya para petugas dapat mengawasi gerakan
mereka, apalagi apabila mereka akan menyerang padukuhan
ini." "Ya, Ki Gede." "Baklah. Aku kira pembicaraan ini memang telah selesai."
Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera keluar dari ruangan itu.
Kemudian disusul oleh Hanggapati dan Dipasanga. Yang
terakhir adalah gembala tua itu setelah melihat luka-luka Ki
Argapati. "Mudah-mudahan obatku menolong," katanya.
"Aku menjadi semakin baik," sahut Ki Argapati.
"Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Waktu kita hanya
tinggal malam ini dan sehari besok. Di malam berikutnya kita
sudah berada di peperangan."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, Kiai.
Aku akan tidur semalam suntuk dan apabila mungkin ditambah
dengan sehari besok."
Gembala itu tersenyum. Katanya, "Tetapi apabila Ki Gede
tidak bangun pada saat kami berangkat, Ki Gede akan kami
tinggalkan di padukuhan ini."
Ki Gede Menoreh tertawa, "Aku akan bangun pada saatnya."
Gembala itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula.
Sehingga di dalam bilik itu tinggallah Ki Argapati ditunggui oleh
puterinya, Pandan Wangi. "Kalau kau ingin beristirahat, tinggalkan aku sendiri, Wangi,"
berkata ayahnya. Pandan Wangi memandang wajah ayahnya yang pucat,
meskipun sudah tidak mencemaskannya seperti pada saat
ayahnya keluar dari peperangan dalam keadaan pingsan.
"Ayah memang terlalu keras hati," desis Pandan Wangi.
"Dalam keadaan demikian, masih juga ia ingin berada di medan."
"Kalau kau ingin tidur, tidurlah Wangi," ulang ayahnya.
"Apakah Ayah tidak memerlukan sesuatu?"
"Sediakan minumku saja."
"Baik, Ayah." Pandan Wangi pun kemudian meletakkan minum ayahnya di
atas dingklik kayu dekat di pembaringannya. Kemudian ia pun
keluar dan bilik ayahnya.
Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak segera pergi tidur ke
biliknya. Tanpa disengajanya, ia telah berjalan ke ruang depan.
Ia tertegun ketika ia melihat beberapa orang masih duduk sambil
berbincang. Mereka adalah Hanggapati, Dipasanga, dan
gembala tua itu. "Apakah Ki Argapati memerlukan kami, Ngger?" bertanya
gembala tua itu. "Tidak, Kiai, Ayah akan beristirahat."
"O, sebaiknya kau pun beristirahat pula," sahut Ki Hanggapati.
"Ya, aku pun ingin tidur," Pandan Wangi menjawab. "Aku
hanya sekedar menengok, apakah Paman-paman tidak juga
ingin beristirahat?"
"Sebentar lagi kami pun akan tidur," jawab Dipasanga.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Silahkan, Paman. Aku akan beristirahat dulu."
Pandan Wangi pun kemudian masuk ke ruang dalam. Tetapi
serasa ada yang memaksanya untuk tidak segera masuk ke
dalam biliknya. Kakinya seakan-akan telah membawanya ke
belakang dan tanpa sesadarnya, gadis itu telah membuka pintu
butulan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sepi. Sepi sekali.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Terasa angin yang silir telah menyentuh tubuhnya, membelai
rambutnya yang kusut. Tiba-tiba terasa tubuhnya menjadi segar.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.
"Alangkah segarnya udara diatas Tanah ini," desisnya, "tanah
yang harus dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir."
Pandan Wangi pun kemudian melangkah surut. Kemudian
menutup pintu kembali sambil berdesah. Dan tiba-tiba saja ia
pun menguap. Dengan langkah satu-satu dan kepala tunduk, Pandan Wangi
pergi ke biliknya. Kini terbayang di dunia angan-angan,
pertempuran yang dahsyat di induk tanah perdikan ini.
Padukuhan besar yang beberapa saat yang lampau terpaksa
dilepaskan karena tekanan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak
tertahankan pada saat ayahnya sedang berperang tanding, di
bawah Pucamg Kembar. "Kami harus merebut Tanah itu kembali, dan seluruh tanah
perdikan ini." Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam biliknya.
Perlahan ia meletakkan dirinya di pembaringan tanpa
melepaskan sepasang pedang di lambungnya.
Demikian lelah gadis itu, sehingga sejenak kemudian ia pun
telah tertidur nyenyak. Jarang sekali ia dapat tidur senyenyak itu
sejak kemelutnya api pertengkaran di antara keluarga di atas
Bukit Menoreh ini. Setiap kali ia selalu diganggu oleh berbagai
macam kepedihan perasaan dan kecemasan tentang masa
depan Tanah ini. Namun kini Pandan Wangi serasa
mendapatkan suatu kepastian, bahwa ayahnya pada suatu saat
akan dapat mengembalikan keutuhan Tanah ini meskipun harus
melalui banyak sekali rintangan dan kesulitan.
Dalam pada itu dua orang anak-anak muda sedang duduk
bersandar sebatang pohon rambutan di halaman belakang.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun mereka sudah terkantuk-kantuk, namun mereka masih
juga berbicara dengan suara yang parau. "Kenapa ia hanya
sekedar membuka pintu kemudian masuk lagi?" bertanya
Gupala. "Bertanyalah kepadanya," jawab Gupita.
Gupala tersenyum. Katanya, "Mungkin gadis itu mencari aku.
Tetapi karena ia tidak melihat seseorang karena kita terlindung
oleh kehitaman bayang-bayang, maka ia segera masuk
kembali." "Ya." "He" Begitukah kira-kira?"
"Ya." "Persetan, kau tidur?"
Gupita mengusap matanya. Sebenarnya ia lebih suka tidur
dari pada berbincang tanpa ujung dan pangkal.
"Pembicaraan pasti sudah selesai. Mari kita mencari Guru.
Mungkin kita akan mendapat tugas baru."
"Sebentar. Aku masih menunggu kalau-kalau gadis itu
membuka pintu itu kembali."
"Kau sudah menjadi gila. Terserahlah kau. Aku tidak tahan
gigitan nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya," desis Gupita.
"Huh, apa katamu seandainya kau menjadi seorang prajurit"
Mungkin pada suatu saat kau harus mengendap mengintai
musuh tanah yang berawa-rawa" Mungkin tidak hanya sehari
dua hari, tetapi berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan?"
"Tetapi sekarang kita tidak sedang mengintai musuh. Kau
mengintai menurut seleramu sendiri."
Gupala tertawa. Jawabnya, "Baiklah. Kau menjadi pemarah
sekarang. Marilah kita mendapatkan Guru di ruang depan.
Mungkin Guru sudah menanti kita pula."
Gupita tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berdiri sambil
mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu. Kemudian
mereka pun berjalan di antara pepohonan di kebun menuju ke
ruang depan. Tetapi langkah mereka tertegun, ketika mereka melihat Guru
mereka sedang turun dari tangga pendapa, seorang diri.
"Guru," desis Gupala.
Gurunnya berpaling. Kemudian katanya, "Marilah kita
beristirahat. Kita akan segera mendapat pekerjaan yang penting
besok malam." "Dimana kita akan tidur?"
"Di gardu." "Di regol desa" Apakah kira-kira kita dapat tidur di sana?"
"Kita tidak akan pergi ke regol desa. Di sana terlampau,
banyak orang. Kita akan berbicara saja sepanjang malam,"
jawab orang tua itu. "Kita akan pergi ke regol di perapatan
sebelah. Kita akan menumpang tidur. Di situ hanya ada dua
orang penjaga, karena tempat itu bukan tempat yang dianggap
pen-ting." Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Sementara itu kaki mereka pun melangkah menyusur jalan desa,
menuju ke gardu di perapatan.
Kedua peronda digardu itu dengan senang hati menerima
mereka bertiga. Dengan demikian maka mereka mendapat
kawan di malam yang terlampau sepi itu, meskipun, ketiganya
hanya sekedar datang untuk tidur.
"Tidurlah," berkata peronda itu, "aku akan menjaga kalian.
Kalau ada nyamuk yang akan menggigit kalian, biarlah aku
bunuh sekali." Yang mendengar kata-kata itu pun tertawa. Tetapi Gupala
tidak mempedulikannya. Langsung saja ia membaringkan dirinya
di atas jajaran bambu apus tanpa galar. Meskipun demikian,
terasa tubuhnya menjadi nyaman di sejuknya angin yang silir.
"Apakah aku harus berdendang pula," bertanya salah seorang
peronda. "Jangan," jawab Gupala antara sadar dan tidak, "suaramu
seperti gerobag di jalan yang berbatu-batu."
Peronda itu pun tertawa, dan Gupala berdesis, "Jangam ribut.
Aku akan tidur. Besok aku harus bangun pagpagi, sebelum
matahari terbit, supaya aku tidak kamanungsan."
Peronda-peronda itu masih saja tertawa, tetapi mereka tidak
menjawab lagi. Dibiarkannya mereka bertiga berbaring bersamasama.
Kemudian mereka tidak mengusiknya lagi ketika ketiga
orang itu mendekur. Tidur.
Sementara itu Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih sibuk
menghubungi para pemimpin kelompok pasukan Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengatur segala sesuatu
yang perlu. Mempersiapkan mereka dengan segala
perlengkapan dan senjata.
"Kalian harus dapat mengatur anak buah kalian," berkata
Samekta. "Sebagian dari mereka harus mendapat kesempatan
beristirahat. Bergantganti sehingga mereka akan mendapat
tenaga baru apabila setiap saat diperlukan."
Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. "Nah, kalian pun harus beristirahat pula," berkata Kerti.
"Sebentar lagi kami juga akan beristirahat. Namun setiap saat
kita harus siap untuk bertempur."
Para pemimpin tertinggi pasukan pengawal itu pun kemudian
berpencar. Mereka mendapat bagian tersendiri agar tugas
mereka segera selesai, karena mereka pun memerlukan waktu
untuk sekedar beristirahat.
Padukuhan itu pun kemudian semakin lama menjadi semakin
sepi. Hanya para peronda dan para petugas sajalah yang masih
tetap di tempatnya. Sekalsekali mereka berdua atau bertiga,
berjalan mengelilingi padukuhan mereka, singgah dari gardu ke
gardu dan dari perondan ke perondan yang lain.
Ketika fajar memerah di ujung Timur, para pemimpin
pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terbangun dan
langsung membenahi diri mereka. Kemudian seperti biasanya
mereka memencar mengelilingi padukuhan yang diputari oleh
pring ori itu. Para prajurit dan para pemimpin kelompok pun telah
terbangun pula. Demikian juga gembala tua yang tidur di gardu
perondan di perapatan. "Aku akan pergi ke parit," desis gembala tua itu.
"Aku juga, Guru," berkata Gupita.
"Marilah. Bagaimana dengan Gupala?"
Gupala menggeliat. Namun ia berkata, "Aku juga. Tetapi
pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul."
Ketika guru dan kakak seperguruannya pergi meninggalkan
mereka, maka Gupala melingkar lagi di gardu perondan itu dan
tanpa disadarinya, ia telah tertidur lagi.
Gupala tidak melihat ketika Wrahasta datang ke gardu itu
bersama dua orang pengawal.
"He, siapa yang masih tidur itu?" ia bertanya kepada kedua
peronda yang berdiri di muka gardu.
"Gupala," jawab salah seorang dari mereka.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka
kepada anak yang gemuk itu seperti juga kepada kakaknya.
Bahkan anak yang gemuk ini agak lebih banyak bicara. Karena
itu untuk melepaskan perasaannya, tiba-tiba ia memukul lantai
gardu, itu sambil berteriak, "He, siapa yang masih tidur di tengah
hari ini?" Gupala benar-benar terkejut. Meskipun lamat-lamat ia telah
mendengar pembicaraan Wrahasta dan kedua peronda di gardu
itu, dan dengan sengaja ia tetap berselimut kain panjangnya,
namun ia tidak mengira bahwa Wrahasta akan membentaknya
begitu keras sambil memukul gardu itu sehingga berderak-derak.
Meskipun demikian, Gupala tidak cepat-cepat bangkit dan
meloncat turun. Bahkan sekali lagi ia menggeliat sambil
bertanya, "Siapa yang berteriak-teriak di pagi buta ini, he?"
"Bangun anak malas. Cepat! Semua orang telah sibuk
dengan berbagai macam pekerjaan, dan kau masih saja tidur
mendekur. Kau kira gardu ini disediakan untuk pemalas seperti
kau." Perlahan-lahan Gupala bangkit. Ditatapnya wajah Wrahasta
yang tegang. Namun kemudian anak yang gemuk itu menguap.
Katanya, "Semalam aku bangun sampai lewat tengah malam.
Sekarang aku masih terlampau kantuk."
"Setiap orang di sini bangun sampai lewat tengah malam.
Bahkan aku hampir tidak tidur semalam suntuk. Kau orang asing
di sini, dan kau tidak dapat bermalas-malasan saja. Kau harus
mengikuti arus kesibukan yang ada di padukuhan ini."
"Eh, bukankah aku seorang tamu?" bertanya Gupala.
"Kau bukan seorang tamu yang kami harapkan di sini."
"Bohong! Ki Argapati memerlukan ayahku dan kami berdua
bersama Kakang Gupita. Kami berdua telah membantu kalian di
dalam peperangan. Apakah dengan demikian, kau menganggap
kami sebagai pemalas yang hanya dapat mengurangi rangsum
nasi para pengawal tanah perdikan ini?"
Dada Wrahasta berdesir mendengar jawaban itu. Memang
telah ternyata bahwa anak yang gemuk inilah yang telah
membunuh Ki Muni, dan bahkan anak yang gemuk ini telah
terlukai pula. Karena itu, sejenak Wrahasta terbungkam. Namun
ketika terkilas di dadanya, perhubungan yang semakin baik
antara kedua anak-anak muda itu dengan Pandan Wangi, maka
hatinya telah mulai memanas lagi.
"Aku yang telah berbuat apa saja untuk Tanah ini," katanya di
dalam hati. "Apakah aku akan didesak oleh pendatang yang baru
saja hadir di tanah perdikan ini?"
Karena itu, maka kemarahannya pun tumbuh kembali.
Katanya, "Apa pun yang telah kau lakukan, aku adalah salah
seorang pemimpin pengawal yang mempunyai wewenang untuk
memerintah setiap orang di dalam lingkungan pedukuhan ini. Di
dalam keadaan perang ini setiap orang harus tunduk kepada
perintahku sebagai salah seorang pemimpin."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Aku akan bangun. Bukankah perintahmu kali ini agar
aku bangun?" Kemarahan Wrahasta hampir tidak tertahankan lagi. Apalagi
ketika ia melihat Gupala beringsut setapak demi setapak menepi
dari gardu perondan. Anak yang gemuk itu serasa acuh tak acuh
saja terhadapnya, betapa ia membentak-bentak dan berteriakteriak.
Para pengawal yang menyaksikan percakapan itu menjadi
berdebar-debar. Wrahasta agaknya benar-benar menjadi marah,
dan anak yang gemuk itu pun berbuat sekehendak hatinya.
Namun para pengawal itu pun menyadari, bahwa sebenarnya
Gupala telah dengan sengaja berbuat demikian. Ia pasti merasa
tersinggung dan bahkan marah karena bentakan-bentakan
Wrahasta. Para pengawal itu pun menjadi heran, bahwa
Wrahasta seakan-akan telah menjadi marah tanpa sebab.
Mereka tidak mengetahui, bahwa sebab yang sebenamya telah
lama tersembunyi di dalam dada anak muda yang bertubuh
raksasa itu. Wrahasta yang dadanya seakan-akan membara itu berteriak,
"Kalau kau tidak senang di sini, pergilah. Ki Argapati hanya
memerlukan gembala tua itu. Bukan kau dan bukan kakakmu
yang cengeng itu." "Tidak," Gupala menggeleng. "Aku dan Kakang Gupita juga
diperlukan. Setiap orang diperlukan."
"Tetapi tanpa kau kami masih akan tetap dapat berbuat apa
saja," Wrahasta menjadi semakin marah.
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ada perbedaan di antara
kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu.
Seandainya yang dibentak-bentak itu Gupita, mungkin ia akan
segera menghindar dan pergi menyusul gurunya ke parit di
pinggir padukuhan. Tetapi Gupala tidak berbuat demikian. Ia
mempunyai sifat yang agak berbeda, betapapun gurunya
berusaha melunakkannya. Gupala yang telah mencoba menahan diri itu akhirnya tidak
dapat melawan hentakan perasaannya. Wajahnya pun telah
mulai semburat merah. Dengan nada yang tinggi ia bertanya, "Apakah sebenarnya
maksudmu, Wrahasta?"
Wrahasta yang sedang marah itu pun menjadi semakin marah
melihat sikap Gupala yang seakan-akan sengaja menentangnya.
Apalagi di hadapan beberapa orang pengawal tanah perdikan.
Menurut penilaiannya, ketika ia memaksa Gupita berkelahi
melawannya, gembala itu tidak dapat mengalahkannya. Apalagi
yang ada kini adalah adiknya yang gemuk itu.
Karena itu, maka dengan suara mengguntur ia menjawab,
"Aku ingin sekalsekali memukul kepalamu, agar kau tidak
terlalu sombong di atas Tanah ini. Apa kau sangka Tanah ini
memberi tempat kepada orang-orang yang merasa dirinya
terlampau diperlukan seperti kau?"
"Aku tidak mengerti," sahut Gupala. "Aku kira aku tidak
pernah menyombongkan diriku. Aku berbuat wajar seperti apa
yang sebaiknya aku lakukan. Kalau aku menurut anggapanmu
terlambat bangun kemudian kau nilai sebagai suatu
kesombongan, alangkah dangkalnya penilaianmu atas
seseorang. Dengan demikian maka kaulah yang dapat disebut
anak muda yang sombong."
Wrahasta menggeram. Ia tidak dapat mengekang diri lagi.
Karena itu maka selangkah ia maju sambil menunjuk wajah
Gupala, "Kau harus minta maaf kepadaku. Kemudian berjanji
tidak akan mendekati setiap pimpinan Tanah ini, agar aku tidak
menjadi muak. Kalau kau ingin tinggal di sini bersama ayahmu
yang memang diperlukan oleh Ki Gede, kau harus berada di
regol depan bersama para pengawal yang lain. Kau tidak lebih
dari mereka. Kau tidak dapat memanjakan dirimu. Makanmu
harus sama seperti mereka, pelayanan terhadapmu harus sama
pula." "E," Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, "kau benarbenar
seorang pemimpin yang sangat teliti. Apakah kau tidak
mempunyai urusan lain kecuali mengurusi orang tidur dan
makan?" "Persetan!" Wrahasta kian menjadi panas. Serasa segumpal
bara tersimpan di dalam dadanya. "Gupala," katanya kemudian,
"aku benar-benar ingin memukul mulutmu."
"Mulutku masih cukup berharga buatku. Karena itu, jangan
kau lakukan supaya aku tidak berusaha membalas."
Wrahasta sudah tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba ia
meloncat sambil menampar mulut Gupala. Tetapi Gupala benarbenar
tidak mau tersentuh tangan Wrahasta. Karena itu, maka ia
pun menghindarinya dengan memiringkan mukanya tanpa
bergeser dari tempatnya. Sikap Gupala membuat Wrahasta semakin kehilangan
kendali. Dengan serta-merta ia menyerang anak muda yang
gemuk itu. Tetapi Gupala kini telah siap untuk menghadapi


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemungkinan. Berbeda dengan Gupita, Gupala sama sekali tidak bermaksud
untuk mengalah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, "Anak ini
sekalsekali harus diberi pelajaran menghargai orang lain."
Karena itu, maka Gupala pun kemudian tidak mengekang
dirinya lagi. Ketika Wrahasta menyerangnya dengan sebuah
pukulan yang keras, maka Gupala pun memiringkan kepalanya.
Dengan suatu sentakan ia menarik tangan Wrahasta lewat di
atas pundaknya. Berbareng dengan lontaran kekuatannya
sendiri, maka Wrahasta pun terseret dan terpelanting jatuh.
Para pengawal terkejut melihat hal itu. Semuanya itu terjadi
begitu cepatnya dan tiba-tiba. Karena itu maka sejenak mereka
hanya saling memandang. Namun kemudian salah seorang dari
mereka segera menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun
berdesis, "Aku akan memberitahukannya kepada Ki Samekta.
Kalau kau mampu lerailah. Kalau tidak, carilah gembala tua,
ayah anak muda yang gemuk itu, agar ia berusaha menahan
anaknya." Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku tidak
akan dapat melerainya. Mungkin kepalaku sendiri akan terkilir."
Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat
berlarlari mencari Samekta, sedang yang seorang lagi pergi
mencari gembala tua yang oleh salah seorang peronda di gardu
itu diberitahu bahwa gembala tua itu sedang pergi ke parit.
Sementara itu, sambil menyeringai Wrahasta meloncat
berdiri. Ia tidak menyangka, bahwa anak yang gemuk itu
demikian tangkas dan cepat.
Namun hal itu telah membuat Wrahasta seakan-akan menjadi
gila. Ia sama sekali tidak dapat lagi membuat pertimbanganpertimbangan
apa pun, sehingga ia telah bertekad untuk benarbenar
berkelahi. Terdengar anak muda yang bertubuh raksasa itu menggeram.
Kemudian meloncat menerkam lawannya. Gupala yang melihat
serangan yang semakin garang itu pun terpaksa harus
mengimbanginya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan
bahkan kemudian ia pun telah menyerang pula. Meskipun tubuh
Wrahasta jauh lebih besar dari Gupala, namun Gupala adalah
seorang yang memiliki kekuatan yang cukup besar. Sehingga
dalam benturan tenaga yang terjadi, Wrahasta telah terdorong
beberapa langkah surut. Sejenak Wrahasta menjadi heran. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa anak yang gemuk itu mampu menyamai
kekuatannya, bahkan melebihinya.
"Ini hanyalah suatu kebetulan," katanya di dalam hati. "Ia
berada dalam keadaan yang lebih baik. Tetapi kalau aku sempat
membenturkan seluruh kekuatanku, ia pasti akan menjadi
lumat." Dengan demikian, maka Wrahasta pun telah menyiapkan
dirinya. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia menyerang
kembali. Sebuah ayuman yang dahsyat telah mengarah ke
kening Gupala. Namun betapa anehnya sifat Gupala, tetapi ia masih juga
sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi setelah
ia melihat Wrahasta benar telah kehilangan akal dalam tingkat
permulaan dari perkelahian itu. Dengan demikian, maka Gupala
justru menjadi agak tenang, karena Wrahasta memanglah bukan
lawannya. Kalau ia mau maka ia akan segera dapat
mengalahkannya dan bahkan apa pun yang akan dilakukannya.
Tetapi kali ini ia tidak akan berbuat lebih jauh dari memberi
sedikit pelajaran kepada Wrahasta. Karena itu, maka ia pun
kemudian telah menyerang Wrahasta semakin cepat, tetapi tidak
cukup berbahaya. Serangan Gupala seakan-akan datang dari segenap penjuru.
Dengan lincahnya anak yang gemuk itu berloncatan. Tangannya
menyambar-nyambar seakan-akan berpuluh-puluh pasang
tangan bergerak bersama-sama.
Ternyata bahwa Wrahasta menjadi bingung karenanya. Ia
sama sekali tidak berdaya untuk menangkis atau menghindari
sentuhan-sentuhan tangan Gupala. Meskipun Gupala tidak
bermaksud melumpuhkan lawannya, namun terasa pukulanpukulan
itu semakin lama menjadi semakin sakit. Sekalsekali
Gupala memukul pundak Wrahasta, kemudian tanpa dapat
mengelak, Wrahasta terdorong oleh kaki Gupala yang mengenai
lambungnya. Demikian Wrahasta berusaha tegak kembali,
Gupala telah berhasil menangkap tangan Wrahasta dan
menariknya dengan hentakan yang keras berbareng dengan
tangannya menampar dagu. Betapapun juga Wrahasta mencoba mengerahkan segenap
kemampuannya, namun ia sama sekali tidak berdaya
menghadapi lawannya yang gemuk namun cukup lincah itu.
Beradu tenaga pun ternyata Wrahasta yang bertubuh raksasa itu
tidak dapat mengatasi lawannya.
Dalam kebingungan dan kegugupannya, Wrahasta tidak
dapat berpikir lain kecuali mencabut pedangnya. Namun
demikian tangannya meraba hulu senjatanya itu, seperti tatit
Gupala meloncat menangkap pergelangan tangannya, kemudian
diputarnya ke belakang sambil berdesis, "Jangan bodoh. Kalau
kau mengambil pedangmu, berarti kau akan membunuh diri. Kau
lihat, bahwa aku pun berpedang" Dan kau harus menyadari
bahwa aku dapat bergerak lebih cepat daripadamu. Karena itu,
kalau kita berkelahi dengan pedang, maka kau tidak akan dapat
ikut dalam peperangan yang akan datang."
Tetapi Wrahasta yang keras kepala itu menyeringai sambil
menggeram, "Persetan! Kau tidak akan mampu melawan
pedangku. Kaulah yang harus aku bunuh."
Tangkapan tangan Gupala itu menjadi semakin keras, dan
Wrahasta merasa semakin sakit karenanya. Karena itu
betapapun ia menahan diri, tetapi raksasa itu terpaksa berdesis
menahan sakit. "Kau sudah gila," Gupala pun menggeram. "Jangan mainmain
dengan pedang kalau kau tidak yakin bahwa kau akan
menang." "Aku tidak takut mati seandainya kau mampu membunuh
aku." Seperti dugaan gurunya, Gupala memang bukan seorang
yang cukup sabar. Karena itu, maka didorongnya tangan
Wrahasta yang terpilin itu, sehingga raksasa itu terhuyunghuyung.
Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun ia berhasil
menguasai keseimbangan dan berdiri tegak di atas sepasang
kakinya yang renggang. Dikibas-kibaskannya tangannya sambil menggeram, "Kita
bertempur sampai mati."
"Bukan salahku," sahut Gupala. Kemudian kepada peronda
yang melihat dengan kaki gemetar ia berkata, "Kalian menjadi
saksi. Aku telah dipaksa untuk melawannya."
Tetapi para peronda itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan
mereka menjadi semakin pucat dan gemetar.
Wrahasta yang sudah bermata gelap itu pun tiba-tiba
mencabut pedangnya yang besar dan panjang Kemudian
berkata dalam nada yang dalam dan datar, "Ayo, cabut
senjatamu." Tiba-tiba saja Gupala menjadi ragu-ragu. Sekilas
dipandanginya peronda yang gemetar. Kemudian ditatapnya
wajah Wrahasta yang membara. Namun sementara ia masih
ragu-ragu, ia mendengar langkah beberapa orang berlarlari
mendekat. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa orang
pengawal datang beramaramai. Mereka agaknya mendengar
dari pengawal yang berusaha memberitahukan peristiwa itu
kepada Samekta. Dengan demikian Gupala menjadi semakin ragu-ragu.
Terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, bahwa orang tua itu
tidak dapat melepaskannya sendiri. Karena itu pula maka setiap
kali Gupita-lah yang mendapat kesempatan.
"Seandainya Gupita yang mengalami hal ini, apakah yang
akan dilakukan?" pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.
Beberapa orang pengawal segera memutari kedua orang
yang sedang berhadapan itu. Dan mereka pun segera menjadi
berdebar-debar karenanya. Wrahasta telah menggenggam
senjata di tangannya, namun Gupala masih nampak berdiri
termangu-mangu. "Cepat!" teriak Wrahasta. "Cepat cabut senjatamu!"
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Diedarkannya
pandangan matanya berkeliling, ke arah wajah-wajah yang
tegang di sekitarnya. "Cepat!" sekali lagi ia mendengar Wrahasta berteriak. "Aku
akan mulai. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan
dengan pedangmu atau tidak. Aku benar-benar akan
membunuhmu." Gupala menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat
Wrahasta melangkah maju. Sudah tentu ia tidak akan dengan
begitu saja menyerahkan lehernya. Apalagi kepada raksasa
yang dianggapnya terlampau bodoh itu.
Gupala melangkah surut ketika Wrahasta sudah mulai
memutar pedangnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya,
"Apakah kau sudah benar-benar gila, Wrahasta?"
"Persetan!" mata Wrahasta menjadi semakin membara.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah, Samekta datang
tergesa-gesa bersama Kerti. Langsung disibakkannya orangorang
yang berada di sekitar Wrahasta dan Gupala yang sedang
berhadapan itu. Dengan lantang Samekta berteriak, "He, apakah
kalian sudah menjadi gila semua?"
Keduanya serentak berpaling. Mereka melihat wajah Samekta
yang merah menahan gelora di dalam perasaannya. Dengan
tangan gemetar ia menunjuk kedua orang itu bergantganti,
"Beginilah jalan yang paling baik bagi kalian?"
"Ia menghina aku," sahut Wrahasta. "Anak gila itu sama sekali
tidak menghiraukan lagi ketetapan yang ada di atas tanah
perdikan ini. Bagaimanapun juga aku adalah salah seorang
pemimpin di sini. Dan ia adalah seorang pendatang."
"Apa yang telah dilakukannya?"
"Ia tidak menghiraukan perintahku."
Samekta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apakah perintahmu itu?"
"Aku tidak boleh makan di dapur," sahut Gupala dengan
serta-merta. "Aku tidak bertanya kepadamu," bentak Samekta yang
sedang marah itu. Terasa sesuatu melonjak di dada Gupala. Orang ini pun telah
menyakitkan hatinya pula. Namun ia masih mencoba menahan
diri. Agaknya Samekta pun telah benar-benar menjadi marah.
Sebagai pimpinan tertua ia merasa tersinggung sekali atas
peristiwa itu. Selagi seluruh kekuatan dihimpun untuk
menghadapi puncak pertentangan di Tanah Perdikan Menoreh,
maka telah terjadi perselisihan di dalam kandang sendiri.
"Wrahasta," berkata Samekta, "aku minta, setiap diri kita
masing-masing harus mencoba menyingkirkan persoalanpersoalan
yang tidak menguntungkan bagi Tanah ini. Kalau kita
masing-masing masih saja membiarkan perasaan kita berbicara,
maka kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalanpersoalan
yang jauh lebih besar dari persoalan-persoalan seharihari,
persoalan tetek-bengek yang sama sekali tidak berarti."
Wrahasta yang masih dibakar oleh perasaannya, dan apalagi
ketidak-mampuannya melawan Gupala, masih belum dapat
menahan dirinya sehingga ia menjawab, "Jadi, kau menyalahkan
aku?" Samekta mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku
menyalahkan kalian berdua. Apa pun alasannya tetapi kalian
telah berkelahi, sedang kalian tahu, bahwa kita sedang berada di
ambang pintu perang yang akan menentukan keadaan kita."
"Tetapi apakah dengan demikian aku harus membiarkan
orang asing menginjak-injak semua ketetapan dan ketentuan
yang berlaku di atas tanah perdikan ini?" teriak Wrahasta.
Samekta yang marah menjadi semakin marah. Namun
sebelum ia berteriak pula, terdengar suara Kerti, "Sebaiknya kita
yang mencoba memadamkan pertentangan ini jangan terlibat
dalam pertentangan baru." Lalu kepada Wrahasta ia bertanya,
"Wrahasta, cobalah kau menuai persoalan yang baru saja
terjadi. Apakah sudah sepatutnya kalian bertempur apalagi
dengan pedang di tangan" Apakah sebenarnya sumber
persoalannya?" "Aku tidak dapat dihina." jawab Wrahasta.
"Kalau kalian telah terlibat di dalam pertengkaran, maka
sudah tentu masing-masing merasa terhina. Tetapi apabila
kalian sempat, cobalah melihat, apakah yang menyebabkan
pertentangan dan pertengkaran itu" Dengan demikian maka
persoalannya akan dapat diletakkan pada tempat yang
sewajarnya dan pada saat yang lebih tepat."
Wrahasta tidak segera menjawab. Dahinya menjadi berkerutmerut.
"Sudah tentu bahwa kalian tidak sedang mempertengkarkan
Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Sudah tentu kalian tidak sedang
mempertahankan kebenaran Argajaya, bahwa ia telah memihak
orang lain dan memusuhi kakaknya sendiri. Nah, sekarang lihat
kepada diri sendiri apakah yang kalian pertentangkan" Tentang
makan pagi, atau tentang bangun yang terlampau siang atau
tentang pelayanan yang berbeda dan yang dapat dianggap
pelayanan yang khusus" Begitu" Dan masalah-masalah serupa
itu telah mem-buat kalian mempertaruhkan nyawa kalian yang
akan menjad" jauh lebih berharga apabila nyawa-nyawa itu
kalian pertaruhkan di medan peperangan?"
Wrahasta masih tetap diam. Namun kata-kata Kerti itu
berhasil menyentuh hatinya. Tanpa sesadarnya ia mencoba
menelusur, sebab-sebab kemarahannya. Namun tiba-tiba ia
menggeretakkan giginya, meskipun kepalanya masih tertunduk.
Ternyata Wrahasta tidak berani melihat sebab yang sebenarnya
dari semua peristiwa itu. Meskipun sekilas melintas pula di
kepalanya, perkelahiannya dengan Gupita dan kini dengan
Gupala. Dalam pada itu, ketika semua wajah menjadi tegang, dengan
tergesa-gesa Gupita dan gurunya menerobos ke dalam lingkaran
yang mengelilingi Wrahasta dan Gupala. Dengan sorot mata
yang tajam gembala tua itu memandangi wajah Gupala yang
kemudian menunduk dalam-dalam.
"Gupala," terdengar ia berdesis, "apakah yang telah kau
lakukan?" Gupala tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah suara
Kerti, "Tidak ada apa-apa, Kiai. Semuanya sudah selesai." Lalu
kepada kedua anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran,
"Bukankah begitu?"
Keduanya tidak menjawab. Dan Kerti berkata lagi untuk


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendorkan suasana yang tegang, "Nah, bukankan mereka
diam" Seperti gadis yang ditawari lamaran jejaka, kalau ia diam,
berarti ya." Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Sukurlah kalau
semuanya sudah selesai. Aku mendengar bahwa Gupala telah
berkelahi dengan Angger Wrahasta selagi aku berada di parit.
Terpaksa aku dengan tergesa-gesa kemari."
"Nah, masalah ini tidak usah kita perbincangkan lagi," lalu
Kerti berkata kepada para pengawal yang berkerumun, "Semua
kembali ke tempat kalian."
Maka kerumunan orang-orang Menoreh itu pun kemudian
menipis, semakin lama semakin habis. Wrahasta pun kemudian
meninggalkan tempat itu pergi ke regol induk sambil bersungutsungut.
Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Sejenak
mereka memandangi gembala tua beserta kedua anaknya yang
kemudian duduk di gardu itu kembali.
"Wrahasta tidak dapat mengendalikan perasaannya," desis
Samekta. "Dan kau pun juga. Hampir saja," sahut Kerti.
Samekta menarik nafas. "Ya. Aku menjadi sangat kecewa
atas peristiwa ini. Sudah tentu Wrahasta telah dibakar oleh
perasaan cemburu itu. Dan agaknya anak muda yang gemuk ini
tabiatnya agak berbeda dari kakaknya. Mungkin ia masih
terlampau muda untuk menanggulangi keadaan sebaik-baiknya."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Gembala
tua itu pun agaknya sedang menasehati anaknya."
Keduanya pun kemudian mendekat ke gardu. Beberapa
langkah dari gardu itu Samekta berhenti sambil berkata, "Maaf,
Kiai. Mudah-mudahan hal yang serupa tidak terjadi lagi."
"Ya, aku pun minta maaf. Anakku yang seorang ini memang
agak bengal." Samekta dan Kerti pun kemudian meninggalkan gembala tua
itu bersama kedua anaknya untuk menemui Wrahasta. Mereka
mengharap bahwa Wrahasta tidak menjadi semakin gila
karenanya. Kedua orang itu menemukan Wrahasta sedang berdiri di
muka regol memandang jauh ke dalam rimbunnya batang lalang
yang tumbuh semakin liar di luar padukuhan itu.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa hati
Wrahasta pasti lagi sakit. Ia merasa semakin jauh dari harapan
yang sudah lama diletakkannya kepada gadis puteri Kepala
Tanah Perdikannya. Kehadiran kedua gembala muda itu telah
merusak segenap impiannya, sehingga karena itu, maka
pertimbangannya telah menjadi sumbang.
Samekta dan Kerti tidak segera menyapanya. Tetapi
keduanya berhenti beberapa langkah di belakang anak muda
yang bertubuh raksasa itu.
Keduanya mengerutkan keningnya ketika mereka melihat
Wrahasta berpaling. Dengan tajamnya anak muda itu
memandang kedua pemimpin Menoreh itu.
"Apa yang kita tunggu lagi?" tiba-tiba anak muda itu berkata
lantang. "Apakah yang kita tunggu" Sekarang dan nanti petang
tidak ada bedanya lagi bagi kita. Justru sekarang kita akan
mendapat waktu untuk mengejutkan mereka, selagi mereka
belum bersiaga." "Sabarlah, Anak Muda," jawab Kerti. "Nanti petang pun
mereka pasti belum mengetahui, bahwa kitalah yang akan
datang menjenguk mereka."
*** "Tetapi kemungkinan itu pasti ada."
"Kalau kita tidak mengatakannya kepada siapa pun, maka
kemungkinan itu akan sangat dibatasi," jawab Kerti.
Wrahasta mengerutkan keningnya, kemudian menarik nafas
dalam-dalam. "Aku sudah tidak sabar lagi. Aku tidak betah lagi tinggal di
dalam lingkaran pring ori yang sempit ini."
"Semuanya bersikap serupa. Kami pun sudah tidak tahan lagi
tinggal berjejal-jejal di padukuhan yang miskin ini. Makan tidak
teratur dan bahkan kadang-kadang tidak memenuhi keinginan
dan selera kita masing-masing. Tetapi bagaimanapun juga kita
harus mematangkan perhitungan di setiap gerakan, supaya kita
tidak akan menyesal lagi kelak."
Wrahasta tidak menjawab. Tetapi kembali ia memandang ke
kejauhan. Seakan-akan ia ingin melihat langsung ke padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dibakar oleh api
pertengkaran di antara keluarga sendiri.
Tiba-tiba raksasa itu menggeram, "Hidup matiku untuk Tanah
ini." Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Kemudian
mereka seperti berjanji menarik nafas dalam-dalam.
"Beristirahatlah, Ngger," desis Kerti.
"Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di atas tanah ini.
Aku akan menghubungi setiap pemimpin kelompok, agar mereka
menyiapkan diri mereka sebaik-baiknya."
"Tetapi perintah penyerangan petang nanti belum dapat
dijatuhkan." "Aku tahu, aku tahu."
Wrahasta tidak menunggu jawaban lagi. Ia pun segera
melangkah pergi meninggalkan Samekta dan Kerti termangumangu
ditempatnya. Beberapa orang yang berada di gardu di samping regol itu
pun melihat, betapa Wrahasta bersikap kaku dengan wajah yang
berkerut-merut. Mereka pun mengerti apa yang baru saja terjadi
atas anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun mereka
tidak mendengar dengan jelas percakapan raksasa yang sedang
kecewa itu dengan Samekta dan Kerti.
"Sayang bahwa pertengkaran itu telah terjadi," desis salah
seorang dari para peronda itu.
"Wrahasta kurang dapat mengendalikan diri," jawab yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau
mereka tidak tahu benar apa yang terjadi di gardu itu, maka
mereka pun akan dibakar pula oleh kekecewaan terhadap anak
gembala yang gemuk itu. Tetapi mereka telah mendengar pula,
bahwa dengan tiba-tiba seakan-akan tanpa sebab Wrahasta
menjadi marah, sehingga keduanya bertengkar. Apalagi anak
gembala yang gemuk itu telah menunjukkan kemampuannya di
dalam peperangan. Banyak orang yang melihat, bagaimana ia
membunuh Ki Muni setelah Ki Muni itu melukainya. Kemudian
bagaimana ia bertempur di antara hiruk-pikuk peperangan dan
menjatuhkan banyak korban pada lawan.
Sementara itu Samekta dan Kerti pun kemudian pergi ke
rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka
memasuki halaman rumah itu terdengar Samekta berdesis,
"Mudah-mudahan Wrahasta dapat melihat kepentingan yang
lebih besar dari kepentingannya sendiri."
"Aku masih tetap percaya kepadanya," sahut Kerti.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Bagi para pemimpin Menoreh, hari terasa terlampau lamban
bergerak. Matahari mengambang dengan malasnya, seakanakan
tidak bergerak dari tempatnya. Setiap kali Samekta dan
Kerti dengan gelisah melangkah ke luar, memandang ke langit
dan berjalan hilir-mudik.
"Aku akan tidur," berkata Samekta. "Aku akan melupakan
waktu yang menjemukan ini."
"Tidurlah. Kemudian bergantian."
"Tetapi aku kurang biasa tidur di siang hari."
"Berbaringlah."
Samekta pun mencoba untuk tidur. Ia merasa telah disiksa
oleh waktu. Sementara Kerti pun kemudian pergi ke gardu di
sebelah regol di jalan induk padukuhan itu.
Ketika gembala tua itu pergi ke pondok yang dipakai oleh Ki
Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya, maka
mawantwanti ia berpesan kepada Gupala, "Kau jangan berbuat
bodoh lagi. Jagalah dirimu. Kita masih diperlukan."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pergilah ke gardu induk. Ingat, jangan berbuat sesuatu yang
dapat menyulitkan keadaan. Kehancuran Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya menjadi kepentingan kita pula. Sadarilah."
Gupala masih mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
ia berkata di dalam hatinya, "Asal anak itu tidak menginjak
kepalaku. Kalau hal itu dilakukannya, apa boleh buat." Tetapi
bagaimanapun juga. Gupala menyadari, bahwa ia pun
berkepentingan juga atas orang-orang yang telah disebut oleh
gurunya itu. Berdua bersama Gupita, Gupala pun pergi ke gardu induk di
regol padukuhan. Sambil menundukkan kepalanya, Gupala
mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya.
Anak muda yang gemuk itu tiba-tiba saja menarik nafas
sambil berdesah. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Argapati pun
sedang berusaha membinasakan Ki Tambak Wedi. Kalau ia
bersama kakak seperguruannya dan gurunya bertiga saja,
mustahil mereka dapat menghancurkan iblis itu.
"Kita saling memanfaatkan," desisnya. "Ki Argapati
memerlukan kami, dan kami memerlukan pasukan. Betapa
dahsyatnya ilmu Guru, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat
melawan seluruh pasukan Ki Tambak Wedi. Dan ternyata Ki
Argapati sudah menyediakan pasukan itu buat kami."
Tanpa sesadarnya Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini terasa olehnya, memang sama sekali tidak
menguntungkan bertengkar dengan orang-orang Menoreh dalam
keadaan serupa ini. Tetapi ia tidak tahu, kenapa Wrahasta tibatiba
saja telah membentak-bentaknya. "Orang itu agaknya
memang seorang pemarah," desisnya, "atau seseorang yang
menaruh prasangka terlampau tajam di dalam hatinya. Mungkin
ia menyangka bahwa kami adalah orang-orang serupa dengan
Ki Peda Sura, yang mendapat janjjanji dari Ki Argapati."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, "Mungkin ia
berpendapat demikian. Mungkin."
Tetapi Gupala tidak bertanya kepada Gupita. Sekilas anak
muda yang gemuk itu memandang wajah kakak
seperguruannya, tetapi Gupita berjalan sambil menundukkan
kepalanya. "Kakang Gupita pernah mengalami perlakuan serupa,"
desisnya di dalam hati. Ketika keduanya sampai di gardu di dekat regol, mereka
melihat beberapa orang sedang berkerumun. Tiba-tiba terasa
sesuatu bergetar di dalam dada anak-anak muda itu. Apalagi
Gupala. Katanya di dalam hati, "Apakah Wrahasta berada di situ
pula?" Tetapi ternyata Wrahasta tidak ada. Mereka menyambut
kedatangan keduanya dengan ramah. Bahkan salah seorang
dari mereka, yang pernah mengenal bahwa anak yang gemuk itu
senang berkelakar, bertanya, "He, lain kali kalau kau ingin tidur
sampai tengah hari, tidurlah di sini. Di belakang gardu, sehingga
tidak ada orang yang melihatmu."
Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya. Namun
kemudian mereka tersenyum. Sapa itu telah memberikan kesan
kepada mereka, bahwa anak-anak muda dari tanah perdikan ini
tidak mudah diseret oleh perasaan tanpa pertimbangan. Mereka
tidak dengan serta-merta berpihak kepada Wrahasta, apa pun
yang sebenarnya telah terjadi.
"Terima kasih," sahut Gupala, "lain kali. Tetapi apabila tibatiba
saja kepalaku dipenggal oleh Ki Tambak Wedi, maka aku
tidak akan dapat tidur lagi di padukuhan ini."
Anak-anak di dalam gardu itu tertawa. Salah seorang dari
mereka bertanya, "Apakah kau ingin begitu?"
Gupala menggeleng, "Tentu tidak. Apalagi aku masih ingin
makan jenang jagung."
Anak-anak muda di dalam gardu itu tertawa semakin keras.
Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja meloncat mendekati
Gupala, dan langsung membimbingnya.
"Mari, aku tunjukkan di mana kau harus tidur."
Gupala tidak menolak. Ia mengikuti saja kemana ia dibawa.
"He, menepi," berkata anak muda yang menarik tangan
Gupala itu. "Tidurlah melekat dinding itu. Kami akan duduk
berjajar melindungimu."
Gupala tertawa. Beberapa orang telah menyibak. Salah
seorang berkata, "Nah, tidurlah di situ."
Tetapi tiba-tiba Gupala mengerutkan keningnya, "He, daun
bekas bungkus apa saja itu?"
"Makan pagi kami."
"Kalian sudah makan pagi?"
"Baru saja." "Celakalah kita," berkata Gupala kepada Gupita, "di gardu di
simpang empat itu makanan belum datang. Ketika kami sampai
kemari makan sudah lampau."
"Hus," desis Gupita. Tetapi anak-anak muda yang
mendengarnya tertawa semakin riuh. Salah seorang dari mereka
tiba-tiba saja berlari ke belakang gardu itu. Sejenak kemudian ia
kembali sambil membawa dua bungkus nasi, "Ini kami masih
menyediakan buat kalian."
Gupita tersenyum kecut, tetapi Gupala menjawab, "Nah,
terima kasih. Tetapi mana buat Kakang Gupita?"
"Bukankah itu dua bungkus?"
"O, aku kira ini buat aku sendiri."
"Macammu," desis Gupita. Tetapi ia menerima juga sambil
tertawa ketika Gupala memberinya sebungkus, "Marilah kita
makan, Kakang. Kita tidak perlu malu. Kalau perut kita ingin
berisi juga." Gupita masih saja tersenyum-senyum. Tetapi ia tidak dapat
berbuat seperti Gupala, yang langsung membuka bungkusannya
dan makan sendiri di antara anak-anak muda yang terbawa
berkepanjangan. Gupita terpaksa menepi dan duduk di sisi
gardu itu sambil membuka bungkusannya.
Demikianlah anak-anak muda itu mengisi waktunya sambil
berkelakar Tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan
kewaspadaan. Di muka regol dua orang penjaga tetap di
tempatnya mengawasi keadaan. Setiap kali petugas-petugas
sandi datang dan pergi dengan keterangannya msasing-masing
yang langsung disampaikannya kepada Kerti.
Lewat tengah hari Wrahasta datang ke gardu itu pula. Ketika
ia melihat kedua anak-anak muda itu berada di sana juga, ia
mengerutkan keningnya. Namun kemudian acuh tidak acuh ia
meninggalkan gardu itu. Sejenak ia singgah ke regol.
Dipadanginya batang-batang ilalang yang terbentang di
hadapannya. Tanpa sesadarnya ia berdesis, "Kalau peperangan
ini selesai, maka ilalang itu pun harus dibabat."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para penjaga regol, yang mendengar desis itu berpaling.
Namun mereka tidak menyahut. Mereka melihat Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menekan
dadanya dengan sebelah telapak tangannya. Tetapi raksasa itu
tidak berkata sepatah kata pun lagi. Bahkan dengan tergesagesa
ia pergi meninggalkan regol itu menuju ke tempat pimpinan
pasukan pengawal. Semakin condong matahari ke Barat, maka padukuhan itu
menjadi semakin sibuk. Samekta yang tidurnya ternyata tidak
juga dapat dirubah di siang hari, telah memanggil setiap
pemimpin kelompok. Meskipun ia belum mengatakan sesuatu,
namun para pemimpin kelompok itu telah merasa, bahwa pasti
akan ada sesuatu yang penting.
Beberapa orang pemimpin kelompok duduk sambil
berbincang di halaman, yang lain di tangga pendapa sambil
membelai senjata masing-masing. Sedang yang lain lagi berada
bersama para pengawal yang sedang bertugas di regol halaman.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih berada di pringgitan.
Mereka sedang memperbincangkan kemungkinan untuk
memberitahukan rencana penyerangan itu kepada para
pemimpin kelompok. "Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu hadir di antara
kita," desis Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku sependapat.
Bagaimana kau, Wrahasta."
Wrahasta terperanjat. Ternyata ia tidak mendengar
pertanyaan itu dengan baik, sehingga ia bertanya, "Bagaimana
Paman?" Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia mengulangi,
"Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu ada di antara kita
sekarang, selagi kita menyampaikan persoalan rencana
penyerangan ini kepada para pengawal."
"O," Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, "baik. Aku
sependapat." Namun Wrahasta itu pun kemudian menundukkan
kepalanya kembali. Sesuatu agaknya telah mengganggu anganangannya.
Dan orang-orang tua itu pun segera memahami.
"Aku akan menyuruh seorang penghubung memanggilnya,"
desis Samekta. "Tetapi," Wrahasta memotong, "pimpinan Tanah Perdikan ini
masih belum lengkap. Masih ada seorang lagi yang justru
terpenting di antara kita."
"Siapa" Ki Argapati?"
"Tidak. Sudah jelas bagi kita, Ki Argapati sedang sakit. Kalau
ia memaksa diri untuk ikut ke medan perang sebenarnya
malahan akan menambah pekerjaan kita saja."
"Lalu siapakah yang kau maksud?"
"Yang mewakilinya. Satu-satunya keluarganya yang masih
setia kepada tanah perdikan ini."
"Pandan Wangi maksudmu?" bertanya Kerti.
"Ya." Kedua orang tua-tua itu menarik nafas dalam-dalam, "Kalau
Ki Argapati tidak berkeberatan, baik juga kiranya ia hadir,"
gumam Samekta kemudian. "Baiklah aku sendiri akan memanggil mereka," berkata
Wrahasta kemudian. "Jangan," Kerti memotong, "biarlah anak-anak saja yang
pergi. Kau tetap di sini. Banyak masalah yang harus kita
percakapkan sebelumnya."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
mengangguk sambil berkata. "Terserahlah kepada Paman kalau
aku memang diperlukan di sini."
"Baiklah kau tinggal di sini," berkata Samekta pula, "aku akan
menyuruh para pengawal yang ada di halaman."
"Siapakah yang akan Paman suruh?"
Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian ia menarik
nafas sambil menjawab, "Salah seorang dari para pengawal di
halaman." Wrahasta tidak menjawab. Tetapi ia pun berdiri juga dan
berjalan di belakang Samekta keluar pringgitan.
Ketika ternyata Samekta menyuruh seorang pengawal tanah
perdikan untuk menemui Ki Hanggapati dan Dipasanga serta
gembala tua itu, maka Wrahasta pun kemudian masuk pula ke
dalam pringgitan. Ia telah mendengar juga, penghubung itu
harus mencoba menemui Pandan Wangi, apakah ia dapat hadir
dalam pembicaraan ini."
Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlampau lama.
Setiap orang menyadari, bahwa waktu pada saat-saat yang
demikian itu, menjadi sangat berharga. Dan ternyata bahwa Ki
Argapati pun telah melepaskan Pandan Wangi untuk ikut
mendengar pembicaraan para pemimpin itu.
"Waktunya telah hampir tiba," desis Samekta di hadapan
mereka, "sebentar lagi matahari akan turun dengan cepat."
Belum seorang pun yang menyahut.
"Petugas sandi yang terakhir datang melaporkan, bahwa tidak
ada tanda-tanda yang khusus dapat dilihatnya di padukuhan
induk, meskipun orang itu tidak berhasil mendekat. Tetapi
kesibukan yang dilihatnya tidak meningkat. Peronda yang
nganglang pun tidak bertambah, dan pemusatan itu pun tidak
dapat mengatakan, bahwa mereka telah menyiapkan diri seperti
kita, dengan diam-diam."
"Ada perbedaan," potong Kerti. "mereka tidak dapat melihat
kita begitu jelas seperti kita melihat mereka, karena padukuhan
ini dikelilingi oleh pring ori."
"Ya, tetapi padukuhan ini jauh lebih sempit dari padukuhan
induk," sahut Samekta.
"Tetapi kita akan datang dengan gelar. Kita akan datang dari
depan beradu dada," geram Wrahasta.
"Ya," sahut Samektla, "justru karena itu kita harus benarbenar
siap lahir dan batin."
Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah kita sudah siap memberitahukan rencana ini?"
bertanya Samekta. Sejenak mereka saling berpandangan.
"Bagaimanakah pendapat kalian?"
Hanggapati beringsut sejengkal. Katanya, "Kita sudah dikejar
waktu. Aku kira saatnya sudah tepat. Kita tidak akan terlambat
dengan persiapan kita, dan kesempatan bagi petugas sandi
lawan pun sudah dapat dibatasi."
Yang mendengar kata-kata Hanggapati itu pun menganggukanggukkan
kepala mereka. Memang sudah datang waktunya.
Dan waktu itu kini serasa mudah berkejaran setelah sekian lama
mereka menunggu dengan gelisah.
"Baiklah," berkata Samekta. "Apakah ada pikiran lain?"
Tidak ada seorang pun yang berbicara. "Jika demikian, aku
akan segera menemui para pemimpin kelompok untuk
mempersiapkan diri mereka dengan segera. Sebentar lagi,
apabila matahari telah terbenam, kita akan segera berangkat."
Orang-orang yang ada di ruangan itu menganggukanggukkan
kepala mereka. "Aku akan menemui para pemimpin di pendapa rumah
sebelah," berkata Samekta.
Maka sebentar kemudian, Samekta telah duduk di hadapan
para pemimpin kelompok yang sebentar lagi harus menyusun
barisan yang akan pergi ke induk padukuhan. Induk dari Tanah
Perdikan Menoreh yang beberapa saat yang lampau telah
diambil oleh Sidanti beserta gurunya.
Pada saat Samekta sedang sibuk berbicara tentang
rencananya, maka Pandan Wangi yang ikut mendengarkan
dengan sepenuh minat, terkejut ketika seseorang
menggamitnya. Ketika gadis itu berpaling, dilihatnya dekat di belakangnya
duduk Wrahasta yang justru beringsut maju.
"Maaf, Pandan Wangi," bisiknya, "aku sudah tidak mempunyai
waktu lagi." "Ah," desah Pandan Wangi, "besok atau lusa kita masih akan
bertemu." Wrahasta menggelengkan kepalanya, "Belum tentu, Pandan
Wangi. Siapa tahu aku akan mati malam nanti."
"Jangan berkata begitu."
"Kalau hal itu harus terjadi, pasti akan terjadi."
"Tetapi kita tidak mengharapkan. Aku dan kau mengharap
bahwa kita akan bertemu besok, lusa, dan seterusnya."
"Hanya sekedar bertemu?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk
dalam-dalam. Sesaat-sesaat ia mendengar keterangan Samekta
kepada para pemimpin kelompok, namun suaranya kadangkadang
hilang di dalam gemerisik gejolak di hatinya.
"Kau tinggal menjawab sepatah kata," desak Wrahasta. "Atau
kau dapat mempergunakan isyarat. Kau dapat mengangguk atau
menggelengkan kepalamu."
Pandan Wangi masih menunduk.
"Wangi." Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab dan tidak
menggerakkan kepalanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Perang
malam nanti adalah perang yang dahsyat. Kita akan berjuang
matmatian untuk merebut padukuhan induk itu. Kita tidak akan
meninggalkan medan selagi kita masih hidup. Namun agaknya
Sidanti dan Ki Tambak Wedi pun akan bertekad serupa. Mereka
tidak akan meninggalkan padukuhan yang telah mereka rebut.
Karena itu perang yang akan terjadi adalah perang antara hidup
dan mati." Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
"Dengan demikian, Pandan Wangi, aku tidak tahu, apakah
aku masih akan dapat melihat kau lagi."
Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin
menunduk. Hatinya serasa tergores oleh perasaan iba. Ia sama
sekali tidak bermimpi untuk menganggapi perasaan Wrahasta
terhadapnya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menggelengkan
kepalanya mendengar kata-kata anak muda yang mendekati
keputus-asaan itu. "Bagaimana, Wangi?"
Dada Pandan Wangi menjadi pepat. Tenggorokannya serasa
tersumbat dan pelupuk matanya menjadi panas. Hampir saja ia
lupa bahwa ia sedang duduk di hadapan para pemimpin
kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Hampir
saja ia lupa kini membawa sepasang pedang di lambungnya.
Betapa ia bersusah payah menahan perasaannya sebagai
seorang gadis di antara hiruk-pikuk pembicaraan mengenai
perang. Pandan Wangi tersentak ketika ia mendengar suara gemuruh,
"Kami bersedia untuk mati demi Tanah ini. Demi Tanah ini."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat beberapa
orang mengepalkan tinjunya.
Namun kembali dadanya serasa retak ketika ia mendengar
desis, "Aku pun bersedia mati demi Tanah ini." Kemudian, "Dan
demi kau, Wangi." "Oh," Pandan Wangi mengeluh. Ditekannya telapak
tangannya di dadanya. "Jawablah Wangi, sebelum aku mati."
Pandan Wangi tidak dapat menahan iba hatinya. Ia tidak
dapat bertahan untuk tetap membatu. Karena itu, hatinya yang
luluh telah menggerakkan kepalanya. Hampir saja sebuah
anggukan kecil. Namun tiba-tiba anggukan kepala itu urung
ketika ia mendengar Samekta berkata lantang, "Nah, kembalilah
ke pasukanmu. Cepat. Siapkan mereka. Malam ini kita akan
merebut kembali padukuhan induk lambang pusat pemerintahan
Menoreh, Tanah Perdikan Menoreh."
Terdengar sejenak hiruk-pikuk di antara para pemimpin
kelompok itu. Semuanya ingin menyatakan kesediaan mereka
untuk merebut padukuhan induk itu. Namun dengan demikian
suara mereka tidak terdengar satu demi satu.
Meskipun demikian Samekta menanggapinya, "Terima kasih.
Terima kasih atas kesediaan kalian. Sekarang, pertemuan ini
aku bubarkan." Hampir serentak orang-orang yang berada di pendapa itu
berdiri. Pandan Wangi pun berdiri pula bersama para pemimpin
yang lain. Dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu pun
segera menghambur turun dari pendapa untuk dengan tergesagesa
kembali ke kelompok masing-masing. Namun dalam pada
itu Samekta pun telah mengeluarkan perintah, tidak boleh
seorang pun keluar dari padukuhan ini, supaya rencana ini tidak
sampai terdengar oleh orang-orang yang tidak berkepentingan,
dan bahkan oleh petugas sandi Ki Tambak Wedi. Bahkan Ki
Samekta telah memerintahkan untuk mencegah kemungkinan
segala macam tanda dan isyarat yang dapat dilontarkan.
Dalam hiruk-pikuk itu Wrahasta telah kehilangan
kesempatannya pula untuk dapat berbicara dengan Pandan
Wangi. Kerti, Hanggapati, Dipasanga pun kemudian berbicara di
antara mereka. Dan Pandan Wangi ikut pula di dalam
pembicaraan itu. Sedang Wrahasta yang sedang berdiri dalam
kekecewaan itu berpaling ketika Samekta berkata kepadanya,
"Kita pun harus berbagi."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita harus bekerja bersama dalam pimpinan seluruh
pasukan. Aku akan berada di tengah. Kerti di sayap kiri dan kau
berada di sayap kanan."
"Bagaimana dengan orang-orang yang datang dari luar
lingkungan kita itu?"
"Kita tidak dapat menyerahkan pimpinan kepada mereka,
biarlah mereka berada di dalam barisan, tetapi supaya pimpinan
gelar dapat berlangsung dengan baik, kitalah yang akan
memegangnya. Kita akan dapat bekerja bersama dengan cara
dan kebiasaan kita seperti yang diajarkan oleh Ki Argapati.
Orang lain itu mungkin mempunyai cara dan kebiasaan yang
berbeda." Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Siapakah yang akan pergi bersamaku?" bertanya Wrahasta.
"Salah satu dari Ki Hanggapati atau Ki Dipasanga."
"Lalu bagaimana dengan gembala tua itu."
"Tugasnya menemui Ki Tambak Wedi. Dimana pun Ki
Tambak Wedi berada."
"Lalu kedua anak-anak gila itu?"
"Mereka pun harus mencari Ki Peda Sura."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia
melihat Pandan Wangi yang berbicara dengan Kerti. Wrahasta
tahu benar, bahwa Kerti adalah orang terdekat dari Pandan
Wangi sesudah ayahnya. Pada saat-saat Tanah Perdikan
Menoreh tidak sedang dilanda api pertentangan, Kerti selalu
pergi mengantar gadis itu berburu di hutan perburuan. Untunglah


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa umur Kerti sudah berada di seputar setengah abad,
sehingga tidak menumbuhkan perasaan apa pun di hati raksasa
itu. Tetapi tiba-tiba saja datang anak-anak muda yang telah
menggelisahkannya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan
kesempatan untuk mendengar jawaban Pandan Wangi. Kalau
pasukan ini telah mulai tersusun, dan kemudian bergerak, maka
ia tidak akan dapat berbicara dan mendengar apa pun lagi dari
Pandan Wangi. Tetapi Wrahasta sama sekali tidak ingkar dari kuwajibannya.
Betapa hatinya dicengkam oleh kekecewaan tentang dirinya
sendiri, namun sebagai seorang pemimpin pengawal ia tetap
menengadahkan dadanya. Ia sadar, bahwa terutama anak-anak
muda Tanah Perdikan Menoreh selalu memperhatikannya. Kalau
ia kehilangan gairah perjuangannya, maka anak-anak muda itu
pun akan kehilangan kemantapannya pula. Dan Wrahasta tidak
mau menjadi penyebab, apalagi menjadi penentu, dari
kekalahan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, hanya
sekedar karena ia tenggelam di dalam kepahitan perasaan
secara pribadi. Dan Samekta pun kemudian berkata, "Nah, marilah, kita mulai
menyusun barisan. Pada saat matahari terbenam, kita keluar
dari regol padukuhan ini, langsung menuju ke padukuhan induk
dari tanah perdikan ini."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta
pun kemudian memberitahukannya kepada Kerti dan Pandan
Wangi. "Angger akan berada bersama Ki Gede," berkata Kerti.
"Baik, Paman, dan aku akan segera menyampaikannya
kepada ayah." Sepercik harapan tumbuh di dada Wrahasta, apabila ia dapat
pergi bersama Pandan Wangi. Tetapi sekali lagi ia menjadi
kecewa ketika gembala tua itu berkata, "Aku pun akan pergi
menghadap Ki Gede. Sebelum kita berangkat. Ki Gede harus
mendapat pengobatan yang baik. Dan bahwa harus disediakan
persedaan obat di perjalanan, apabila tiba-tiba saja Ki Gede
memerlukan." Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada
Pandan Wangi, "Tetapi Angger harus selalu ingat, dan setiap kali
memperingatkan, bahwa Ki Gede harus tetap di atas tandunya.
Ki Gede tidak boleh dibakar oleh perasaannya sehingga
melupakan luka-lukanya yang masih belum sembuh benar."
"Baik, Kiai," jawab Pandan Wangi.
"Nah, marilah kita pergi bersama-sama."
Ketika Pandan Wangi minta diri kepada para pemimpin yang
hadir di pendapa itu, ia melihat mata Wrahasta yang redup.
Terasa dada gadis itu berdesir, dan kepalanya pun tertunduk
karenanya. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika Samekta
Kidung Senja Di Mataram 2 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Angrek Tengah Malam 2

Cari Blog Ini