02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 36
pasti menentukan. Kalau ayah berkata ya, maka semua itu akan
terjadi, tetapi kalau ayah berkata tidak, maka semuanya tidak
akan dapat terjadi."
"Aku tahu, aku tahu," nada suara Swandaru meninggi, "tetapi
aku ingin tahu perasaanmu sendiri. Kalau kau berkata ya, aku
akan berusaha melamarmu lewat ayahmu, meskipun memang
mungkin juga ditolak dan urung. Tetapi kalau kau berkata tidak,
maka aku tidak akan berbuat apa-apa. Meskipun seandainya
ayahmu mengijinkan, tetapi aku tidak mendapatkan kau
seutuhnya." Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi. Ketika Swandaru
kemudian bertanya lagi, "Bagaimana pendapatmu, Pandan
Wangi?" maka dengan wajah yang merah dan bibir yang
gemetar gadis itu menjawab parau, "Apakah kau akan menemui
ayah?" "Tentu. Seandainya bukan aku, karena itu juga tidak lazim,
tetapi ayah atau orang-orang tua yang lain, itu pun akan
tergantung kepada jawabanmu."
"Datanglah kepadanya. Bertanyalah kepada ayah."
"Aku akan melakukannya, tetapi setelah aku mendapat
kepastian. Aku juga mempunyai adik seorang gadis. Aku kira
adat kita tidak akan jauh berbeda. Kalau seseorang datang
melamar, maka orang tuanya akan menjawab "Aku akan
menanyakannya dahulu kepada gadisku". Bukankah ayahmu
nanti akan berkata begitu juga" Nah, sebelumnya aku sudah
membawa jawabnya. Meskipun aku tidak akan dapat
mendahului jawaban ayahmu, tetapi setidak-tidaknya aku
berpengharapan untuk mendapatkan kau seutuhnya. Kau dan
perasaanmu. Kalau kau kemudian mengiakannya, itu bukan
karena ayahmu yang mendesaknya. Aku tahu pasti, kalau kau
sendiri tidak berkeberatan."
Pandan Wangi benar-benar sudah tersudut. Sedang
Swandaru mendesaknya lagi, "Bagaimana, Wangi?"
Gadis itu tidak dapat menghindarinya. Karena itu, maka
betapa pun beratnya, dianggukkannya kepalanya.
"Terima kasih, terima kasih," terdengar Swandaru berdesis,
"aku sudah mengerti perasaanmu sekarang. Aku memang sudah
menduga. Tunggulah. Aku akan memenuhi segala macam
upacara adat kelak. Tetapi sudah tentu aku harus kembali
dahulu ke Sangkal Putung. Namun selain ayahku, aku
mempunyai orang tua di sini, guruku. Mungkin sebelum ayahku
datang, guruku akan dapat membicarakannya dengan ayahmu.
Guruku, guru adikku itu, dan Kakang Agung Sedayu." Swandaru
berhenti sejenak, lalu, "Begitu, bukankah begitu?"
Namun ketika ia tanpa sesadarnya menyentuh lengan
Pandan Wangi gadis itu beringsut sejengkal.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa
sentuhan di antara mereka memang tidak dibenarkan.
Pandan Wangi sendiri tidak tahu, kenapa ia harus bergeser.
Ia tidak mengelak, ketika tangannya dibimbing oleh gembala
yang lain di peperangan setelah mereka berkelahi melawan Ki
Peda Sura. "Saat itu, perasaanku telah dirampas oleh tegangnya
peperangan," ia mencoba mencari jawabnya.
"Nah," terdengar suara Swandaru, "nanti malam aku akan
dapat tidur nyenyak, Pandan Wangi. Dan aku akan
mengatakannya kepada guruku. Apakah ia dapat berbuat
sesuatu sebelumnya, mendahului ayah dan ibuku di Sangkal
Putung." Pandan Wangi tidak menyahut. Kembali kepalanya tunduk
dalam-dalam. Dan malam pun menjadi semakin malam.
Akhirnya kedua anak-anak muda itu menjadi seakan-akan
tersadar, bahwa mereka telah terlampau lama duduk berdua, di
dalam keremangan malam yang tidak langsung dicapai oleh
cahaya obor di kejauhan. Karena itu, ketika Swandaru mendengar tembang macapat
yang melontar dari gandok di sebelah Barat, ia berkata,
"Sudahlah Pandan Wangi, aku sudah puas dengan jawabanmu.
Aku merasa bahwa kehadiranku di atas Tanah Perdikan ini tidak
sia-sia. Bukan saja untuk kepentingan Tanah Perdikanmu, tetapi
untuk kepentinganku pula."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk
lemah. "Hari sudah menjadi semakin malam. Aku sudah mendengar
salah seorang pengawal membaca tembang macapat."
Sekali lagi kepala Pandan Wangi terangguk.
Swandaru kemudian berdiri dan melangkah menjauhi
serambi. Sekali ia berhenti dan berpaling.
"Apakah kau tidak akan masuk ke dalam," ia bertanya ketika
ia masih melihat Pandan Wangi duduk di tempatnya.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia masih
tetap berdiam diri. "Masuklah," berkata Swandaru, "malam akan menjadi
terlampau dingin." Perlahan-lahan Pandan Wangi pun berdiri. Seperti bukan
kehendaknya sendiri. Ia pun melangkah, menuju ke pintu
butulan. Sejenak kemudian ia pun segera hilang di balik pintu.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
meneruskan langkahnya kembali ke ujung gandok. Tugasnya
bersama Agung Sedayu masih belum dicabut, menunggui bilik
Argajaya, meskipun sudah tidak seketat semula.
Malam itu rasa-rasanya menjadi malam yang terlampau segar
bagi Swandaru. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri
mengenangkan pembicaraannya. Ia merasa sebagai seorang
pahlawan yang telah memenangkan perang.
"Apakah kau berhasil?" bertanya Agung Sedayu ketika ia
melihat Swandaru berbaring sambil memandang langit-langit
biliknya. "Agaknya aku merasa berhasil," jawab Swandaru, "aku masih
perlu meyakinkan." Agung Sedayu tersenyum, "Apa yang akan kau yakinkan?"
"Kebenaran kata-katanya."
Sambil tertawa Agung Sedayu menepuk bahunya, "Kau
memang harus yakin."
Swandaru tidak menjawab. Ia masih tetap berbaring ketika
Agung Sedayu meninggalkan biliknya. Dan Swandaru itu pun
tidak mendengar Agung Sedayu bergumam, "Mudah-mudahan
kau menemukan kebahagiaan."
Di ruang dalam, Sekar Mirah sempat juga mengganggu
Pandan Wangi yang tersipu-sipu. Karena Sekar Mirah tidak juga
berhenti, maka Pandan Wangi pun kemudian berlari menuju ke
pintu bilik ayahnya. Namun kemudian, berjingkat ia masuk.
Dengan demikian ia berhasil melepaskan dirinya dari Sekar
Mirah. Tetapi pertemuan dan pengakuan merupakan jenjang
kehidupan baru bagi keduanya. Keduanya tidak dapat
melepaskan diri dari pengaruh perasaan masing-masing,
sehingga hampir setiap orang segera dapat melihat, bahwa ada
sesuatu yang berkembang di hati keduanya.
Namun bukan saja hati Swandaru dan Pandan Wangi yang
telah berkembang. Keadaan di Tanah Perdikan Menoreh pun
telah berkembang pula. Ki Argapati yang mengikuti keadaan dengan seksama,
meskipun ia masih tetap berada di pembaringannya, pada suatu
kesempatan telah memanggil Argajaya untuk menghadap,
dikawani oleh Pandan Wangi, Samekta, dan Ki Kerti.
"Aku percaya kepadamu," berkata Ki Argapati kepada adiknya
setelah mereka berbincang panjang, "mudah-mudahan kau tidak
menyia-nyiakan kepercayaanku itu."
"Aku sudah menyesali semuanya itu, Kakang. Bukan karena
aku sudah tidak berdaya lagi. Tetapi aku melihat noda-noda
yang melekat di hati ini. Aku memang banyak dipengaruhi oleh
pamrih dan ketamakan. Kalau semula aku hanya dicemaskan
oleh kejaran orang-orang Pajang, namun kemudian masalahnya
menjadi berkembang terlampau jauh, sehingga aku harus malu
kepada diri sendiri."
"Baiklah. Atas persetujuan kami, kau kami ijinkan pulang ke
rumahmu." "Kakang?" "Ya. Aku kira kau tahu apa artinya." Ki Argapati menarik
nafas, kemudian, "kau telah ditunggu oleh suatu kewajiban bagi
Tanah perdikan ini."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ketahuilah, bahwa anakmu masih belum dapat kami
ketemukan. Ia masih berada di antara orang-orang yang belum
dapat diyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah siasia."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepala. Ia mengerti bahwa
anaknya telah berada di antara gerombolan orang-orang yang
dengan putus asa telah melakukan apa saja tanpa tujuan, selain
memuaskan nafsu kekerasan mereka.
"Pulanglah, mungkin anakmu akan datang kepadamu. Ia
masih terlampau muda."
"Baiklah, Kakang. Mudah-mudahan aku dapat menjumpainya
dan menjinakkannya."
"Cobalah," Argajaya berhenti sejenak. Ia tampak menjadi
ragu-ragu, namun kemudian, "Tetapi, kau pun jangan salah
mengerti. Apakah kau memerlukan perlindungan" Mungkin
seseorang telah menjadi sakit hati atau mencoba untuk
melakukan sesuatu atasmu."
Argajaya menarik nafas pula. Semakin dalam ia menyadari
bahwa kakaknya seharusnya tidak mengatakan bahwa ia perlu
dilindungi, tetapi ia agaknya memang perlu diawasi.
"Mana yang baik bagi, Kakang," jawab Argajaya.
"Jangan salah mengerti. Menurut perhitunganku, masih ada
orang yang akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagimu,
karena sikapmu. Kau pasti akan dianggap bersalah terhadap
mereka, karena justru kau menyadari keadaanmu yang
sebenarnya." Argajaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalamdalam.
Ia dapat mengerti sikap kakaknya. Dan karena itu maka
ia tidak menolaknya. Meskipun berat ia berkata, "Baiklah,
Kakang. Kalau Kakang menganggap perlu."
"Aku masih menganggap perlu," jawab Argapati. "Mungkin
dari orang-orangmu sendiri yang kini tidak dapat terkendali.
Tetapi mungkin juga dari pihak lain. Rakyat yang merasa
terjerumus ke dalam kesulitan karena peperangan yang baru lalu
dan mereka pasti akan melemparkan kesalahan kepada Sidanti
dan gurunya. Apabila yang ada kemudian tinggal kau sendiri,
maka kau akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka."
Ki Argajaya menganggukkan kepalanya. Memang alasan
kakaknya dapat diterima, di samping dugaannya yang lain,
bahwa kakaknya masih perlu mengawasinya.
Demikianlah maka Ki Argajaya pada hari itu juga telah
diijinkan meninggalkan bilik sempit yang dihuninya selama ini.
Bilik yang sempit, gelap, dan pengap. Kebebasan yang
didapatnya kali ini terasa sebagai suatu kurnia yang tidak ternilai
harganya. Kini ia dapat melihat alam yang terbentang. Tidak
hanya sesempit sebuah bilik dan bayangan dedaunan yang
kadang-kadang dapat dilihatnya dari sela-sela pintunya apabila
sedang terbuka. Diantar oleh sepasukan kecil pengawal, Argajaya akan
pulang ke rumahnya. Untuk mengurangi bahaya yang dapat
menerkamnya setiap saat, Ki Argapati telah berpesan dengan
sungguh-sungguh kepada pemimpin pengawal itu, "Ingat, kau
jangan sampai melakukan kesalahan. Aku sudah memaafkan
kesalahan Argajaya dengan beberapa macam pertimbangan.
Bahkan aku sudah mengumumkan pengampunan umum. Kau
harus mengawasi anak buahmu dan setiap orang di sekitar
rumah Argajaya. Tidak boleh ada dendam yang dilontarkan
kepadanya. Bukan karena Argajaya adikku, tetapi aku
mempunyai banyak pertimbangan. Aku mengampuni semua
orang yang mau mendengarkan seruanku dan dengan
kesungguhan hati berusaha ikut membangunkan kembali Tanah
yang sudah hampir runtuh ini."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tampaknya ia tidak begitu yakin. Bukan karena ia sendiri
tidak dapat menyingkirkan dendam di hatinya, tetapi apakah ia
akan mampu membendung perasaan seluruh anak buahnya dan
bahkan rakyat di sekitarnya"
"Apakah kau ragu-ragu?" bertanya Ki Argapati.
"Tugas ini sangat berat bagiku," jawab pemimpin pengawal
itu. "Ya, aku tahu bahwa tugasmu sangat berat. Tetapi aku harap
kau dapat melakukannya."
Orang itu tidak segera menyahut.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Mungkin kau memerlukan seorang kawan?"
Pemimpin itu menganggukkan kepalanya.
Ki Argapati berpikir sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi
tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Panggillah
gembala tua itu." Pemimpin pasukan itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun
kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati memanggil gembala
tua yang kini juga disebut Kiai Gringsing itu.
"Kiai," berkata Ki Argapati, "aku memerlukan bantuan Kiai."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Aku masih mengharap Kiai berada di Tanah Perdikan ini
beberapa saat. Hanya beberapa saat saja."
"Maksud Ki Gede?"
"Aku akan meminjam anak-anakmu. Salah seorang atau
keduanya." "Untuk?" Maka diceriterakannya maksudnya. Untuk melindungi
Argajaya ia memerlukan sepasukan prajurit. Tetapi pemimpin
prajurit itu memerlukan kawan, karena ia agak bimbang atas
kemampuannya melakukan tugas yang berat ini. Ia merasa
bahwa ia tidak hanya sekedar berhadapan dengan banyak
kemungkinan yang datang dari sekelilingnya. Mungkin sisa-sisa
pasukan Argajaya sendiri yang mendendam, mungkin rakyat
yang marah, tetapi juga mungkin timbul dari pasukannya itu
sendiri. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti kesulitan pemimpin pasukan itu. Karena itu maka
jawabnya, "Baiklah, Ki Gede. Aku akan menyuruh kedua anakanakku
itu mengikuti Ki Argajaya, karena tugas mereka selama
ini pun adalah menjaganya di dalam bilik itu."
"Terima kasih," Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ketika Kiai Gringsing mengatakannya kepada
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swandaru, tampak betapa ia menjadi kecewa. Bahkan sambil
berdesah ia menjawab, "Guru, apakah aku boleh beristirahat?"
Kiai Gringsing menjadi heran mendengar jawaban itu.
Swandaru adalah seorang anak muda yang lebih senang berada
dilingkungan ketegangan daripada duduk menunggu sambil
bertopang dagu. Tetapi tiba-tiba kini sikapnya menjadi lain.
"Lalu apakah yang akan kamu lakukan?"
"Aku minta ijin untuk beristirahat barang sejenak di rumah ini.
Aku ingin beberapa hari tidak lagi dibebani oleh tugas-tugas
yang berat." Kiai Gringsing masih belum mengerti, kenapa tiba-tiba tabiat
muridnya ini berubah. Namun sebelum orang tua itu
menanyakannya kepada Swandaru sendiri, Agung Sedayu telah
mendahuluinya, "Biarlah aku berangkat sendiri untuk kali ini,
Guru." "Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi sambil
tersenyum dipandanginya wajah Swandaru yang murung.
"Kenapa?" gurunya mendesak.
"Adi Swandaru sedang sakit."
"Sakit," guruya menjadi semakin heran, "apakah yang sakit"
Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku" Meskipun
segalanya tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita
wajib berusaha. Dan aku akan berusaha untuk mengobatinya."
(***) Buku 50 WAJAH Swandaru menjadi merah padam. Sambil bersungutsungut
ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Ketika ia
melihat Agung Sedayu masih juga tersenyum, Swandaru
bergumam, "Tidak. Aku tidak sedang sakit."
Gurunya tidak segera menyahut. Kini dipandanginya wajah
Agung Sedayu yang masih juga tersenyum.
"Benar, Guru. Adi Swandaru sedang sakit. Tetapi yang sakit
bukan badannya." Gurunya menjadi tegang. Dengan nada yang tinggi ia
bertanya, "Ya Swandaru, kau sakit" Tetapi yang sakit bukan
badanmu?" Kini sadarlah Swandaru yang gemuk itu, bahwa gurunya pun
agaknya telah dengan sengaja mengganggunya. Karena itu
maka jawabnya, "Ya. Yang sakit bukan badanku. Tetapi
ingatanku." Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa,
sedang Swandaru masih juga bersungut-sungut. Namun
akhirnya Kiai Gringsing berkata, "Baiklah. Kalau demikian biarlah
Angger Swandaru berada di sini. Aku agak kurang
menghiraukan perasaannya. Tetapi kini aku mengerti, bahwa
memang sebaiknya Anakmas Swandaru tidak ikut serta. Ia
memang perlu beristirahat sepekan dua pekan."
Swandaru tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agung Sedayu
yang melemparkan tatapan matanya jauh-jauh.
"Angger Agung Sedayu akan pergi sendiri bersama pa"sukan
kecil itu mengantarkan Ki Argajaya karena hal itu memang
diperlukan," berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Baik Guru," jawab Agung Sedayu. Namun tiba-tiba mereka
berpaling ketika terdengar suara Sekar Mirah, "Aku akan ikut
serta bersama Kakang Agung Sedayu menggantikan Kakang
Swandaru di dalam pasukan itu."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sekilas ia berpaling
ke arah Ki Sumangkar, seolah-olah ia berkata, "Apakah kita akan
dapat mengijinkannya?"
Ki Sumangkar pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah kau perlu ikut bersamanya?" Sumangkar bertanya.
"Ya, Guru," jawab Sekar Mirah, "Kakang Swandaru merasa
perlu untuk tinggal."
"Tetapi," berkata Kiai Gringsing, "aku menjadi bingung. Di
mana aku harus berada. Aku tinggal di sini atau aku harus pergi
bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah?"
"Kenapa Kiai harus pergi bersama aku dan Kakang Agung
Sedayu atau menunggui Kakang Swandaru?"
Kiai Gringsing tidak dapat segera menjawab. Tetapi ketika ia
memandang wajah Ki Sumangkar, orang tua itu pun
menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing
memerlukannya. Adalah kurang bijaksana bahwa yang tua-tua
membiarkan anak-anak muda itu tanpa pengawasan, justru
mereka telah menyatakan diri mereka saling mengikat.
"Kiai," berkata Ki Sumangkar kemudian, "aku akan ikut
bersama Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
agaknya anak-anak muda itu pun kemudian menyadari, kenapa
orang-orang tua itu menjadi bingung untuk melepaskan mereka
pergi berdua saja. Dengan demikian, maka meskipun dengan alasan yang lain,
Ki Sumangkar turut serta bersama dengan Agung Sedayu dan
Sekar Mirah di dalam pasukan kecil yang mengantarkan Ki
Argajaya. Atas pendapat Kiai Gringsing, Ki Argapati pun tidak
berkeberatan, bahwa kedua orang itu pun pergi bersama Agung
Sedayu untuk membantu kesulitan yang mungkin timbul.
Maka setelah pasukan kecil itu bersiap seluruhnya, mereka
pun kemudian berangkat meninggalkan induk padukuhan.
Agaknya rombongan kecil itu memang benar-benar telah
menarik perhatian. Beberapa orang yang melihatnya segera
memberitahukan kepada tetangga-tetangganya, bahwa
sekelompok pasukan pe"ngawal Menoreh telah lewat
mengantarkan Ki Argajaya.
"He," desis seseorang yang melihat pasukan itu, "bukankah di
antara mereka itu terdapat Ki Argajaya?"
"Ya, Ki Argajaya" Apakah ia akan dibawa ke tempat
hukumannya yang baru?"
"Mungkin, ia akan digantung di bawah Puncang Kembar."
"Tidak," seseorang menggeleng, "tidak ada tanda-tanda
bahwa ia akan menjalani hukuman. Mungkin ia akan
dibebaskan. Bukankah Ki Argapati telah menyerukan
pengampunan umum?" Orang-orang itu pun saling berpadangan. Salah seorang yang
tidak mau berteka-teki tiba-tiba berteriak, "He, akan dibawa ke
mana orang itu?" Hampir segenap isi rombongan kecil itu berpaling. Tetapi
tidak seorang pun yang menjawab.
"Apakah orang itu akan digantung di bawah Pucang
Kembar?" teriak orang itu pula.
Tidak seorang pun juga yang menjawabnya. Namun,
pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaan Ki
Argajaya. Kini ia menyadari, betapa tanggapan rakyat Menoreh
kepadanya. Kepada perbuatan yang telah dilakukannya.
Karena itu, maka kepalanya yang tunduk menjadi semakin
tunduk. Sebuah pengakuan yang mendalam telah menusuknusuk
jantungnya. Apalagi ketika dilihatnya sawah-sawah yang
kering dan tidak terpelihara. Di sana-sini para petani sedang
sibuk memperbaiki parit sehingga mereka masih belum sempat
menanami sawahnya yang memang tidak dapat dikerjakannya
selama peperangan berkecamuk.
Hatinya berdesir tajam ketika mereka melewati sebuah regol
yang sudah menjadi abu dan belum sempat diperbaiki. Para
pengawal terpaksa mendampingi Ki Argajaya ketika mereka
melihat anak-anak muda yang berkumpul di ujung jalan
padukuhannya itu berteriak, "Ha, inilah salah seorang yang telah
membakar regol kita."
"Bukan hanya regol kita," teriak yang lain, "tetapi ia sudah
membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh."
Terasa dada Ki Argajaya menjadi semakin pepat. Tetapi ia
sudah menemukan pengakuan yang pasrah. Ia memang telah
melakukan semua kesalahan itu, sehingga ia harus menelan
kepahitan perasaan itu tanpa dapat mengelak lagi.
Karena itu maka ia pun kemudian berjalan dengan kepala
yang tetap tunduk. Seakan-akan ia tidak berani lagi memandang
Tanah Perdikan Menoreh yang porak poranda itu.
"Apakah kita masih akan berjalan jauh?" tiba-tiba salah
seorang pengawal berdesis.
Pemimpin pengawal dan kawan-kawannya pun segera
berpaling kepadanya. Sudah tentu ia tahu bahwa mereka masih
akan berjalan beberapa lama lagi, melintasi beberapa buah
bulak dan padukuhan. "Kenapa?" bertanya pemimpin pengawal.
"Kenapa kita harus mengantarkannya pulang" Apakah orang
itu belum pernah melihat jalan di daerah ini?"
Dada Argajaya berdesir. Ternyata bukan saja orang-orang di
teptepi jalan yang mengumpatnya. Bahkan di dalam pasukan
pengawal ini pun terselip perasaan itu.
Pemimpin pengawal itu pun menjadi berdebar-debar pula.
Dugaannya ternyata tidak jauh keliru. Kalau perasaan itu
berkembang, maka keadaan akan menjadi panas. Karena itu
cepat-cepat ia menjawab, "Itu bukan persoalan kita. Kita
mengemban perintah Ki Gede Menoreh, apa pun alasannya."
Ternyata usahanya untuk sementara berhasil. Pengawal itu
tidak bertanya lebih lanjut, sedang orang-orang lain yamg mulai
dijalari oleh perasaan yang serupa, yang agaknya sudah mulai
akan terangkat oleh pertanyaan seorang kawannya itu, menjadi
terbungkam. Mereka menghormati Kepala Tanah Perdikannya,
sehingga mereka patuh menjalani tugas yang dibebankan
kepada mereka. Mengantarkan Ki Argajaya dengan selamat
sampai di rumahnya, kemudian mengawal rumah itu untuk
sementara sam"pai petugas yang akan menggantikan mereka
datang. Dalam pada itu, di balik gerumbul-gerumbul liar agak di
tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara, beberapa orang
melihat iring-iringan itu dengan wajah yang tegang. Salah
seorang daripadanya adalah seorang anak laklaki yang masih
sangat muda. "Kemana mereka akan pergi?" salah seorang dari me"reka itu
berdesis. "Ini adalah suatu pameran kebaikan hati Ki Argapati. Mungkin
ini adalah satu dari sekian banyak orang yang diampuninya
dalam rangka pengampunan umum yang telah diteriakkan oleh
Kepala Tanah Perdikan yang nyaris terbunuh itu."
Anak yang masih sangat muda yang ada di antara mereka
tidak segera dapat menyambung pembicaraan kawankawannya.
Ia melihat, bahwa di antara rombongan itu adalah
ayahnya. "Bukankah itu Ki Argajaya?" desis seorang kawannya. Anak
muda itu mengangguk. "Agaknya ayah akan diantarkan pulang," desisnya.
"Pulang" Atau mungkin ke suatu tujuan yang tidak diketahui."
"Jalan ini adalah jalan pulang. Mungkin ayah telah
mengucapkan sumpah untuk tetap setia kepada Ki Gede. Atau
janjjanji yang lain."
"Mungkin. Mungkin juga Ki Argajaya akan menjadi alat yang
baik untuk menangkap kita."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan kawannya
berkata seterusnya, "Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan
bersedia melakukannya."
"Apakah kau yakin bahwa ayah akan berbuat demikian?"
"Lalu apalagi?"
"Apakah ayah tidak sedang dibawa ke suatu tempat untuk
menjalani hukuman?" "Aku sependapat dengan kau. Jalan ini adalah jalan pulang
bagi Ki Argajaya." Anak muda itu terdiam. "Kita mengangkat senjata justru karena kita membela
pendirian Ki Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi. Aku
menaruh hormat yang tinggi kepada Sidanti yang memilih mati
dari segala keadaan yang lain. Ia tidak menyerah meskipun ia
berhadapan langsung dengan Ki Argapati, yang meskipun orang
itu adalah ayahnya sendiri. Itu adalah suatu sikap yang jantan."
Anak muda itu menjadi tegang.
"Tetapi Ki Argajaya memilih jalan lain."
"Persetan orang itu," geram anak muda itu, "aku akan memilih
jalan seperti Kakang Sidanti, meskipun ia adalah ayahku sendiri.
Tetapi ayah sudah ingkar pada perjuangan kita. Kita sudah
terlanjur menyingsingkan lengan baju kita. Kini ayah
menyerahkan diri seperti seorang pengecut."
"Kita akan berhenti bertempur kalau kita sudah mati.
Se"andainya kita menyerah sekalipun, apakah jaminannya
bahwa kita akan benar-benar diampuni seperti Ki Argajaya"
Seandainya Ki Argajaya tidak akan dipergunakan sebagai alat
untuk menjerat kita, aku kira Argapati tidak akan bersikap begitu
lunak kepadanya." "Kita akan memilih waktu. Aku mengenal halaman rumahku
dengan baik. Pasti jauh lebih baik dari pengawal-pengawal yang
bo"doh itu, sehingga meskipun halaman rumah itu dijaga, aku
pasti akan dapat memasukinya."
"Kita tidak akan ingkar pada perjuangan yang sudah kita
letakkan. Kalau kita tidak berputus asa, maka lambat laun kita
akan mendapat pengikut pula. Kita harus menumbuhkan
ketidakpuasan rakyat kepada keadaan yang berkembang
kemudian." "Aku akan pulang pada suatu saat," desis anak muda itu, "aku
akan menemui ayah di rumah. Kalau ayah berkeras hati, apa
boleh buat. Kakang Sidanti juga mati di tangan ayahnya.
Bagaimana kalau terjadi sebaliknya?"
"Sidanti mati dibunuh adiknya selagi ia beradu di hadapan
ayahnya." "Itu tentu sudah diatur sebelumnya."
Mereka pun kemudian terdiam sejenak. Mereka memandang
iring-iringan. itu semakin lama menjadi semakin jauh.
"Persetan dengan mereka," anak muda itu menggeram pula,
"akan datang saatnya kita menuntut."
"Ya, kita yang sudah dikorbankannya, kemudian
ditinggalkannya dalam keadaan yang sulit ini."
Sekelompok orang-orang itu pun masih memandangi iringiringan
itu untuk sejenak. Namun kemudian mereka segera
bergeser dan menghilang di antara tetanaman liar yang tumbuh
di sana sini. Mereka sudah berketetapan untuk membalas sakit
hati mereka yang mereka tanggungkan selama ini. Kekalahan
yang bertubtubi dan apalagi kini mereka, merasa tidak berharga
sama sekali. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk dapat
sekedar mengobati sakit hati itu adalah melakukan kekerasan.
Siapa pun korbannya. Dan kini mereka telah menemukan
sasaran yang menggairahkan. Ki Argajaya yang telah mereka
anggap berkhianat. Ki Argajaya sendiri merasa bahwa ia memang berada di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam keadaan yang sulit. Ternyata Ki Argapati bukan hanya
sekedar ingin mengawasinya, tetapi kecemasan Kepala Tanah
Perdikan itu kini benar-benar dapat dirasakannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam lingkungan para pengawal
sendiri ada orang-orang seperti yang dicemaskannya itu,
meskipua agaknya pemimpin pengawal telah menunjukkan
sikapnya yang baik. Demikianlah iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin
mendekati rumah Ki Argajaya. Tetapi semakin banyak pula
me"reka melihat wajah-wajah yang tidak puas dan bahkan
memancarkan dendam di hati mereka.
Dengan hati yang berdebar-debar Ki Argajaya kemudian
memasuki regol padukuhannya. Iring-iringan itu berhenti sejenak
di depan regol karena para pengawal padukuhan itu ingin
mende"ngar keputusan Ki Argapati tentang adiknya itu.
"Ki Argajaya sudah diampuni kesalahannya, seperti juga
orang-orang lain yang mendengar seruan Ki Argapati," pemimpin
rombongan pengawal yang mengantarkan Ki Argajaya itu
men"elaskan. Pemimpin pengawal padukuhan itu memandang Ki Argajaya
dari ujung kakinya sampai ke ikat kepalanya, seakan-akan belum
pernah melihat sebelumnya. Dengan nada yang kecut ia
bertanya, "Benarkah begitu Ki Argajaya?"
Ki Argajaya merasakan nada yang pahit itu menyentuh
perasaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga. Sambil
nengangguk ia menjawab, "Ya demikianlah agaknya."
"Apakah Ki Argajaya tidak memegang tekad perlawanan
seperti Sidanti yang mati oleh adiknya sendiri?"
"Aku mengalami perkembangan tanggapan terhadap
ke"adaanku dan keadaan Tanah ini. Ini adalah sikap yang
membuat aku dimaafkan oleh Kakang Argapati."
"Ternyata Sidanti agak lebih jantan dari Ki Argajaya. Ia mati
menggenggam tanggung jawab."
"Aku mengalami perkembangan perasaan, pikiran, dan
tanggapan. Ini adalah pertanda bahwa aku masih hidup, seperti
orang-orang lain pula. Kadang-kadang keputusan yang telah
dibuat hari ini akan disesali di keesokan harinya."
"Huh, kau memang pandai menyusun kalimat-kalimat itu.
Tetapi kau bagi kami tidak lebih dari seorang pengecut."
Ki Argajaya tidak menjawab. Ia harus menerima peng"hinaan
yang langsung menusuk jantungnya itu.
Pemimpin pengawal yang mengantarkannya pun tidak
menyahut. Ia menyadari keadaan yang sedang dihadapinya.
Kalau ia ikut campur dalam pembicaraan itu, maka suasananya
tidak akan menjadi semakin baik. Karena itu ia telah membatasi
dirinya untuk membiarkan Ki Argajaya menjawab sendiri
pertanyaan itu selama pembicaraan itu tidak berbahaya bagi
segala pihak. "Bukankah sekarang kau akan pulang ke rumahmu?" tanya
pemimpin pengawal itu. "Ya," jawab Ki Argajaya.
Tiba-tiba pemimpin pengawal itu menyingkir sambil
menbungkukkan kepalanya dalam-dalam, "Silahkan, Tuanku."
Sekali lagi dada Ki Argajaya berdesir. Tetapi sekali lagi ia
harus menelan penghinaan itu.
Sejenak kemudian maka iring-iringan itu pun melanjutkan
perjalanannya. Yang menarik perhatian bagi para pengawal
bukan saja Ki Argajaya, tetapi seorang gadis yang ada di dalam
iring-iringan itu. "Siapakah gadis itu?" desis salah seorang dari mereka.
Yang lain menggelengkan kepalanya, "Aku pernah
meli"hatnya di rumah Ki Argapati. Mungkin gadis itu kawan
Pandan Wangi dari daerah lain, atau mungkin masih ada
hubungan keluarga dengannya."
"Gadis itu datang dari Sangkal Putung," berkata yang lain.
"Gadis itu adalah adik gembala muda yang gemuk, yang ikut
membantu kita menumpas pemberontakan Sidanti."
"Darimana kau tahu."
"Semua orang mengetahuinya."
"Aku tidak tahu."
"Kau memang selalu ketinggalan."
Kawannya mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
berdesis, "Kenapa ia ikut bersama iring-iringan ini?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Nanti aku tanyakan kepada"nya.
Mungkin ia memang mencari aku."
"Huh, sebaiknya sekalsekali kau melihat bayangan wajahmu
di dalam air. Kau akan tahu bahwa kau sama sekali tidak
berbentuk." Mereka terdiam ketika mereka melihat pemimpin pengawal di
padukuhan itu berjalan di depan mereka sambil bersungutsungut.
Ia masih menyesali Ki Argajaya yang telah membakar
Tanah Perdikan ini dan meninggalkan bekas yang sukar untuk
dihapuskan. Sekarang, agaknya ia telah dibebaskan dari segala
tuntutan. Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu kemudian berhenti.
Ditatapnya para pengawal yang sedang berbicara itu. Dan tibatiba
saja ia bertanya, "Kenapa gadis Sangkal Putung yang
bernama Sekar Mirah itu ada pula di dalam rombongan ini?"
Pengawal-pengawal itu menggelengkan kepalanya, "Aku
tidak tahu," salah seorang dari mereka menjawab.
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia melanjutkan langkahnya.
"He, ada juga perhatiannya kepada gadis itu," desis salah
seorang dari mereka. Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah
pemimpin pengawal itu. Kemudian mereka pun saling
berpandangan satu sama lain. Tetapi mereka tidak berbicara
apa pun lagi. Sementara itu, Ki Argajaya bersama para pengawal yang
mengantarkannya menjadi semakin dekat dengan halaman
rumahnya. Namun ternyata dada Argajaya menjadi kian
berdebar-debar. Rumah itu baginya serasa menjadi asing.
Dirumah itulah ia mula-mula bersama Sidanti dan Ki Tambak
Wedi merencanakan perlawanan. Pengawal-pengawal yang
tinggal di sekitar rumahnya adalah inti dari pasukannya. Apalagi
ketika Sidanti menunjukkan beberapa kelebihannya bersama
gurunya, maka seakan-akan semakin yakinlah perjuangan
mereka untuk mendapatkan kemenangan.
Kemudian berdatanganlah orang-orang dari luar tlatah
Menoreh yang akan ikut serta di dalam pertarungan antara
keluarga itu. Meskipun Ki Argajaya sadar, bahwa mereka tidak
akan lebih baik dari perampok-perampok yang melihat medan
yang lunak di dalam kemelutnya peperangan, namun Argajaya,
Sidanti, dan Ki Tambak Wedi merasa, bahwa pada akhirnya
mereka akan dapat menguasai orang-orang itu.
Ternyata bahwa pergaruh mereka semakin lama menjadi
semakin besar, sehingga mereka berhasil merebut padukuhan
induk dan mendesak Ki Argapati.
Tetapi akhir dari semuanya itu adalah seperti yang
disaksi"kannya kini. Kuburan yang menjadi semakin padat,
sawah yang terbengkelai dan permusuhan yang tersebar di
mana-mana. Ki Argajaya seakan-akan tersedar dari lamunannya ketika ia
sampai di muka regol rumahnya. Terasa dadanya berdesir tajam
sekali. Rumah yang ditinggalkannya beberapa saat itu menjadi
seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kotor,
sepi, dan pintu pringgitan yang tertutup rapat. Tiang-tiang
pendapa yang tegak kaku itu bagaikan tubuh-tubuh yang tegang
menunggu berakhirnya masa yang pahit.
"Kita sudah sampai," desis pemimpin pengawal itu, "kami
persilahkan Ki Argajaya masuk bersama tamu-tamu itu. Kami
akan mengawal di halaman depan dan halaman belakang."
Ki Argajaya menjadi termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa
yang disebutnya sebagai tamu-tamunya adalah Agung Sedayu,
Sekar Mirah, dan gurunya.
"Kenapa mereka ikut kemari?" katanya di dalam hati,
meskipun ia menyadari bahwa mereka harus membantu
pemimpin pengawal apabila ia menghadapi kesulitan.
"Silahkan," pemimpin pengawal itu mengulangi.
"Terima kasih," sahut Argajaya. Kemudian kepada Agung
Sedayu, Sekar Mirah, dan Sumangkar ia berkata, "Marilah. Aku
persilahkan kalian melihat-lihat rumah yang menjadi seperti
tanah pekuburan ini."
Tetapi Agung Sedayu menyahut, "Aku akan berada di antara
para pengawal, karena aku merupakan bagian dari mereka
selagi aku berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu
berkata selanjutnya, "Silahkanlah Ki Sumangkar dan kau Sekar
Mirah. Kawanilah Ki Argajaya yang barangkali akan menjadi
kesepian." Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dipandanginya
muridnya sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Baiklah.
Aku dan Sekar Mirah akan mengawani Ki Argajaya."
Maka ditinggalkannya Agung Sedayu bersama para pengawal
di luar. Ki Sumangkar mengerti, bahwa Agung Sedayu memang
ditugaskan untuk mengawani pemimpin pengawal yang mungkin
pada suatu saat akan mengalami kesulitan dari anak buahnya
sendiri. Dikawani oleh Ki Sumangkar dan Sekar Mirah, Ki Argajaya
pun kemudian naik ke pendapa. Seperti orang asing ia
memandang ke sekitarnya dengan berbagai pertanyaan di dalam
hatinya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar ketika ia
meraba pintu pringgitan yang tertutup.
Perlahan-lahan Ki Argajaya mengetuk pintu rumahnya. Sekali,
dua kali. Tetapi ia tidak mendengar jawaban.
Ketukan itu pun semakin lama menjadi semakin keras.
Namun masih belum juga terdengar jawaban.
Ki Argajaya menjadi gelisah. "Apakah istriku tidak di rumah?"
ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana
ia harus menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnyalah Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa isterinya
benar-benar sudah berada di puncak ketakutannya. Setiap kali
pintu diketuk, maka setiap kali hatinya serasa tersayat. Kalau ia
membukakan pintu, maka yang ditemuinya adalah orang-orang
yang selalu menggetarkan perasaannya.
Kadang-kadang para pengawal Tanah Perdikan, muncul
dengan senjata terhunus sambil menggeram, "Aku melihat
seseorang bersembunyi di rumah ini."
Tanpa menunggu jawabnya, para pengawal itu pun langsung
memasuki rumahnya dan menggeledah setiap sudut. Tetapi
karena tidak diketemukan sesuatu, mereka pun pergi sambil
bersungut-sungut. Namun di saat lain, yang tiba-tiba saja menyusup masuk pada
saat pintu dibuka adalah sisa-sisa orang-orang suaminya.
Dengan kasar mereka minta persediaan apa saja yang ada.
Katanya, "Anakmulah yang memerlukan semua itu."
Dengan demikian maka perasaan perempuan yang menjadi
semakin tua itu bagaikan ilalang yang diombang-ambingkan oleh
angin prahara. Tanpa pegangan.
Kini setiap ketukan pintu terasa bagaikan pisau yang
menyengat jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi berani
bangkit dari amben bambu di ruang dalam.
"Kalau aku tidak membuka pintu itu, mereka pasti akan
mengelilingi rumah ini," desisnya. Dan perempuan itu memang
membiarkan pintu samping rumahnya tetap terbuka. Siang dan
malam. Ia tidak perlu lagi membuka pintu, seandainya laklaki
yang kasar dari pihak mana pun juga ingin memasuki rumahnya.
Namun Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa pintu samping
itu terbuka. Karena itu ia pun mengetuk semakin lama semakin
keras Nyi Argajaya yang mendengar ketukan itu pun menjadi
gelisah pula. Orang-orang yang biasa datang ke rumahnya
sudah mengetahui, bahwa pintu sebelah selalu terbuka.
Tetapi Nyai Argajaya masih tetap duduk di tempatnya.
Dicobanya untuk menduga-duga siapakah kira-kira yang telah
mengetuk pintunya itu semakin lama justru menjadi semakin
keras. "Mungkin para pengawal padukuhan ini baru saja diganti
dengan orang-orang baru," katanya di dalam hati, "mereka masih
belum tahu bahwa pintu disebelah selalu terbuka."
Nyai Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia
memutuskan, "Biar sajalah. Kalau mereka mau memecah pintu,
biarlah pintu itu dipecah. Kalau salah seorang dari mereka
sempat menengok ke samping, mereka pasti akan melihat pintu
terbuka." Ki Argajaya yang sedang mengetok pintu itu pun menjadi
gelisah pula. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, "Apakah
rumah ini benar-benar sudah kosong?"
Tetapi ia tidak berani membenarkan angan-angannya itu.
"Tidak," ia membantah sendiri di dalam hatinya pula, "istriku pasti
masih berada di rumah ini."
Karena itu, maka sekali lagi ia mengetuk semakin keras. Kali
ini ia memanggil isterinya dengan suara yang gemetar, "Nyai,
Nyai. Apakah kau tidak ada di rumah?"
Ternyata suara itu didengar oleh Nyai Argajaya. Semula ia
tidak dapat mengenal lagi suara itu. Namun lambat laun, warna
suara yang semula kabur itu, menjadi semakin lama semakin
jelas di depan mata hatinya.
"Nyai, Nyai." Tiba-tiba Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Ia tidak
percaya lagi pada pendengarnya yang sudah terlampau sering
keliru. Namun demikian, suara ini terlampau menarik baginya,
sehingga dipasangnya pendengarannya baik-baik.
"Nyai, Nyai." Terasa darah perempuan tua yang sudah hampir membeku
itu menjadi hangat kembali. Kini ia mulai berpengharapan,
bahwa ia tidak salah lagi dengan pendengarannya kali ini.
Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan selangkah-selangkah
mendekati pintu. Dengan suara parau tiba-tiba saja ia bertanya,
"Siapa di luar?"
Jawaban itu telah menyentuh perasaan Ki Argajaya,
se"hingga dengan serta-merta ia menjawab, "Aku, Nyai.
Argajaya." Dada perempuan tua itu berdesir. Tetapi ia tidak segera yakin
akan pendengarannya. Sekian lama ia mengalami kekecewaan.
Dan kali ini ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia benar-benar
mendengar suara itu. "Aku, Nyai. Bukakan pintu."
Kini Nyai Argajaya menjadi semakin yakin, bahwa yang
didengarnya itu adalah suara suaminya. Karena itu, maka
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tergesa-gesa ia pergi ke pintu pringgitan. Dengan
tergesa-gesa pula dilontarkannya selarak, sehingga suaranya
berderak-derak di lantai.
Dengan serta-merta, perempuan itu membuka daun pintu.
Namun hampir saja ia menjadi pingsan ketika yang berdiri di
hadapannya adalah seorang laklaki yang tidak dikenal.
Sumangkar. "O," terdengar ia mengeluh, "apa lagi yang akan datang di
rumah ini." Namun sebelum ia kehilangan tenaganya, terasa daun pintu
itu terdorong ke samping. Ketika pintu itu terbuka lebar, barulah
ia melihat orang-orang lain yang berdiri di luar. Seorang gadis
muda dan seorang laklaki yang pucat.
"Kakang. Kakang Argajaya. Benarkah?"
"Ya, Nyai. Aku Argajaya."
"O," tiba-tiba perempuan itu memekik sambil berlari ke arah
suaminya. "Akhirnya kau pulang juga."
Ki Argajaya memeluk isterinya yang menangis. Ia tidak
menghiraukan lagi, siapa saja yang ada di tempat itu. Tetapi ia
ingin menumpahkan segala macam kepahitan, kepedihan, dan
berbagai perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya.
Lewat air matanya yang seperti terperas dari pusat jantungnya,
Nyai Argajaya menangis sejadjadinya.
Ki Argajaya dapat mengerti, betapa berat penderitaan yang
dialami oleh isterinya saat ia tidak ada di rumah. Pasti tidak
kurang pedihnya dari yang dialaminya sendiri.
"Sudahlah, Nyai," Ki Argajaya berusaha menenteram"kan hati
istertnya itu, "kita mempunyai dua orang tamu."
Tetapi Nyai Argajaya seolah-olah tidak mendengar kata-kata
itu. Ia masih belum puas menumpahkan segala macam
perasaan yang selama ini menyumbat dadanya.
Ki Sumangkar hanya dapat menundukkan kepalanya, sedang
Sekar Mirah melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Betapa
keras hatinya, tetapi ia pun seorang gadis, sehingga terasa
matanya menjadi panas mendengar tangis Ki Argajaya yang
memelas. Seperti kepada Sidanti, kebencian Sekar Mirah kepada
Argajaya pun pernah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Namun
melihat keadaannya, ia tidak dapat mempertahankan
perasaannya itu. Seperti pada saat ia melihat mayat Sidanti
terbujur di lantai bermandi darah, maka kini ia menjadi iba hati
melihat pertemuan dua orang tua yang telah mengalami
kepahitan hidup masing-masing.
"Sudahlah, Nyai," Argajaya masih berusaha menenteram"kan
hati isterinya meskipun tenggorokannya sendiri serasa
ter"sumbat. "Anakmu, Kakang," desis perempuan itu.
"Bagaimana dengan anak itu," bertanya suaminya.
"Ia masih belum kembali."
"Sama sekali?" "Ya, sama sekali. Tetapi aku memang pernah melihatnya,
hanya seperti bayangan hantu yang tampak sekejap lalu
meng"hilang lagi."
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun
bertanya, "Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?"
"Dengan perempuan tua itu, pemomong anakmu."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ia masih di
sini?" "Ia mengawani aku dalam keadaan apa pun."
"Di mana ia sekarang?"
"Ia berada di rumah belakang. Jarang-jarang sekali ia masuk
ke dalam kalau aku tidak memanggilnya."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
dihadapi"nya keluarganya yang porak-poranda seperti Tanah
Perdikan Menoreh ini pula. Dengan demikian ia menjadi semakin
menya"dari, bahwa akibat dari sikap yang keras yang telah
menyalakan api peperangan di Tanah ini benar-benar tidak
bermanfaat bagi siapa pun.
Mereka pun kemudian bersama-sama duduk di atas sebuah
amben yang besar di ruang dalam. Seperti halamannya, maka
rumah itu pun seakan-akan sama sekali tidak berpenghuni. Kotor
dan tidak terawat. "Maaf," desis Nyai Argajaya, "kami tidak dapat me"nerima
kalian dengan cara yang lebih baik."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
menjawab, "Tidak apa, Nyai. Di dalam masa-masa seperti ini,
kita tidak akan dapat menuntut terlampau banyak. Kita harus
memahami keadaan." "Tetapi rumah ini benar-benar menjadi rumah hantu."
Ki Sumangkar tersenyum. "Aku sudah terbiasa berada di
tengah-tengah peperangan."
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba sorot
matanya seakan-akan bertanya tentang laklaki tua yang
mengawani Se"kar Mirah itu.
"Maksudku," dengan serta-merta Sumangkar menyam"bung,
"aku sudah sering mengalami masa-masa yang pahit. Aku
melihat bergesernya kekuasaan dari Denak ke Pajang.
Kemu"dian pergolakan yang seakan-akan tidak ada hentiTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
hentinya antara Pa"jang dan Jipang. Dengan demikian, aku
dapat banyak melihat akibat dari peperangan."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Perang itu
pasti lebih dahsyat dari yang kita alami di ini."
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Terkenang
olehnya sekilas, betapa ia tinggal di hutan-hutan dan di
pategalan-pategalan yang terbengkelai, pada saat ia mengikuti
pasukan Tohpati yang su"dah kehilangan arah perjuangannya.
Katanya di dalam hati, "Perang itu di mana-mana sama. Yang
menimbulkan kematian, kekerasan, dan penyimpangan dari
sifat-sifat kemanusiaan yang wajar."
Sejenak Sumangkar menundukkan kepalanya. Argajaya
hanyut ke dalam suatu kenangan yang mendebarkan. Ia
mengang"kat wajahnya ketika ia mendengar Nyai Argajaya
berdiri sambil berkata, "Maaf, aku akan ke dapur sejenak."
"Jangan menjadi sibuk karena kedatangan kami," jawab
Sumangkar. Nyai Argajaya menarik nafas, "Hanya airlah yang akan dapat
aku sediakan untuk menjamu tamu-tamu kami sekarang."
"Itu sudah cukup. Dan anggaplah bahwa kami sama se"kali
bukan tamu. Kami akan tinggal di sini beberapa hari."
"He," Nyai Argajaya terperanjat. Kemudian ditatapnya wajah
suaminya, seolah-olah ia minta pertimbangan.
"Ya," berkata Ki Argajaya, "mereka datang bersama
sepasukan kecil pengawal, mengawani aku di perjalanan.
Mereka akan tinggal di sini untuk beberapa lama, untuk
melindungi aku dan keluargaku dari dendam yang mungkin
tumbuh di pihak-pihak yang terlibat dalam pertengkaran di atas
Tanah Perdikan ini."
"Tetapi," Nyai Argajaya tidak melanjutkan kata-katanya.
Ki Argajaya ternyata menangkap kegelisahan di dalam hati
isterinya. Katanya, "Kita tidak usah malu mengatakan, bahwa
kita tidak akan dapat menjamu mereka selama mereka ada di
rumah ini. Bukankah begitu."
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun
menganggukkan kepalanya. "Bukan tanggungan kita, Nyai," berkata Ki Argajaya
kemudian. "Mereka akan mendapat rangsum mereka dari dapurdapur
yang khusus dibuat untuk anggauta-anggauta pengawal
yang bertugas di seluruh Tanah Perdikan ini."
Perempuan itu mengangguk-angguk pula. Tetapi kini
ditatapnya wajah kedua orang tamunya itu. Dan agaknya Ki
Argajaya pun menangkap maksudnya. Katanya, "Kedua tamu
kita ini pun akan mendapat bagian dari mereka."
Nyai Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Sokurlah. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Keadaanku sudah terlampau parah. Aku hanya mempunyai
persediaan yang sangat terbatas. Itu pun aku dapatkan dengan
susah payah. Perempuan tua pemomong anakmu itulah yang
mencari untuk kami di sini, dengan menukarkan macam-macam
barang yang ada dengan beras dan jagung."
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin
menyadari kepahitan hidup isterinya selama ini.
"Kami berdua jangan menjadi beban yang membuat Nyai
terlampau sibuk," ulang Sumangkar kemudian. "Kami sudah
mendapat bagian kami di antara pasukan pengawal. Tetapi
ha"nya karena kami termasuk orang-orang yang agak lain dari
anggauta pengawal yang lain, maka kami telah dipersilahkan
masuk ke" dalam rumah ini oleh Ki Argajaya."
Nyai Argajaya menjadi heran, dan bahkan Ki Argajaya pun
bertanya-tanya di dalam hatinya, "Apakah kelainan itu?"
Dan Ki Sumangkar pun meneruskan, "Perbedaan itu ada"lah,
karena aku adalah seorang tua yang barangkali tidak lagi dapat
berbuat terlampau banyak seperti anak-anak muda, sedang
anakku ini adalah seorang gadis."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
mengu"sap keningnya ia berkata, "Aku sudah menjadi bingung,
karena aku tidak dapat melihat kelainan itu. Justru sekarang aku
baru menyadari akan hal itu. Aku hanya menganggap bahwa
kalian adalah tamu-tamu kami. Tamu-tamu Tanah Perdikan
Menoreh." Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Karena itu, silahkan Nyai
duduk saja di sini. Kita dapat berbicara tentang banyak hal yang
kita alami masing-masing selama ini.
"Terima, kasih, tetapi aku akan merebus air," Nyai Argajaya
pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal adalah
Sumangkar, Sekar Mirah, dari Argajaya. Namun sejenak mereka
hanya saling berdiam diri, meskipun di dalam dada masingmasing
menggelepar berbagai masalah yang sedang mereka
hadapi di saat-saat yang akan segera datang.
Dalam pada itu, para pengawal segera mencari tempatnya
masing-masing tanpa menunggu Ki Argajaya. Mereka seakanakan
me"ngerti, bahwa Ki Argajaya tidak akan sempat
menunjukkan tempat bagi mereka. Karena itu sebagian dari
mereka pun segera naik ke pendapa, dan yang lain duduk-duduk
di serambi gandok. "Apakah di sini tidak ada selembar tikar pun?" desis sa"lah
seorang pengawal. Yang lain, yang duduk di tangga mengerutkan keningnya.
Katanya, "Huh, di sini kita akan mengalami kejemuan selama
beberapa hari." "Beberapa hari?"
"Ya. Apa kau sangka nanti sore kau dapat pulang ke rumah
isterimu?" Kawannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Kalau tidak ada tikar di sini, kita akan tidur di lantai."
"Tidak. Aku akan mencari belarak, dan aku akan mem"buat
ketepe. Apa bedanya dengan tikar?"
Kawannya tidak menyahut. Sambil menguap ia bersandar
pada sebuah tiang. Tetapi sejenak kemudian digelenggelengkannya
kepalanya. Desisnya, "Aku sudah mulai
mengantuk." "Persetan dengan Ki Argajaya. Biar saja kalau orang ini
dirampok rakyat seperti macan di alun-alun. Apakah
keberatannya" Mungkin karena ia adik Ki Argapati. Tetapi ia
sudah melawan kakaknya itu. Apa lagi yang harus
disayangkan?" Tidak seorang pun yang menjawab. Namun wajah-wajah
mereka telah membayangkan kelesuan. Sejak perang
berkecamuk, para pengawal itu seakan-akan belum pernah
beristirahat sepenuhnya. Setiap kali mereka masih harus bergilir
menjaga daerah-daerah yang terpencil. Dan kini mereka harus
mengawal orang yang telah membakar Tanah Perdikan ini
menjadi abu. Namun perintah yang mereka terima harus mereka kerjakan.
Betapa pun beratnya, mereka harus melakukannya di halaman
yang kotor dan menjemukan itu pula. Dengan hati yang berat
mereka harus mendengarkan nama mereka disebut oleh
pimpinan me"reka untuk berjaga-jaga pada waktu-waktu
tertentu, bergantgantian di depan regol halaman dan di bagian
belakang rumah itu. "Kita mencari tikar di gerbang padukuhan ini. Barangkali para
pengawal di sana mempunyai kelebihan," berkata salah seorang
dari antara pengawal itu. "Aku mengantuk sekali. Nanti malam
aku bertugas. Sekarang aku akan tidur."
"Carilah. Kalau ada, aku ikut tidur."
Tetapi yang lain berkata, "Aku akan bertanya kepada Ki
Argajaya, apakah di rumah ini tidak ada tikar sama sekali,
meskipun tikar lama."
Demikianlah, maka para pengawal itu pun mulai
menempat"kan dirinya. Tanpa dipersilahkan oleh Ki Argajaya
yang masih belum mapan benar meskipun di rumah sendiri, para
pengawal itu mencari tempatnya masing-masing. Mereka
mencari sendiri tikar di rumah itu. Ternyata mereka masih,
menemukan beberapa helai dan bahkan ada di antaranya yang
masih baru. Di antara para pengawal itu adalah Agung Sedayu
yang selalu dibawa ber"bincang oleh pimpinan pengawal itu,
sementara Sumangkar dan Sekar Mirah yang menjadi tamu Ki
Argajaya itu mendapat tempat di ruang dalam.
*** "Bilik kami terlampau kotor," berkata Nyai Argajaya, "sehingga
malam ini masih belum dapat dipergunakan."
"Sudahlah," sahut Sumangkar, "biarlah aku tidur di amben ini
bersama-sama dengan Ki Argajaya, sedang Sekar Mirah dapat
saja tidur di sembarang tempat di dalam rumah ini."
"Biarlah ia tidur di dalam bilik yang sering aku perguna"kan
seharhari. Aku akan tidur di bilik sebelah," berkata Nyai
Argajaya. "Dimana pun aku dapat tidur," berkata Sekar Mirah.
Demikianlah sambil minum dan makan ubi rebus mereka
mencoba untuk berbicara wajar, meskipun kadang-kadang
terasa juga pembicaraan mereka membeku.
Sekar Mirah yang sama sekali tidak mengetahui keadaan
rumah itu, tanpa prasangka apa pun kemudian memasuki bilik
yang diperuntukkan baginya. Bilik Nyai Argajaya.
Ketika malam pun kemudian turun, menyelubungi pedukuhan
itu maka masing-masing segera mengambil tempatnya untuk
beristi"rahat. Ki Sumangkar dan Ki Argajaya mempergunakan
amben besar di ruang tengah, sedang Nyai Argajaya tidur di bilik
di sebelah bilik Sekar Mirah, meskipun masih belum bersih
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar. Dalam pada itu, serombongan orang-orang yang benar-benar
sudah tidak dapat berpikir jernih, masih berusaha mendekati
rumah Ki Argajaya. Mereka itu justru dipimpin oleh seorang anak
muda, putera Ki Argajaya sendiri.
"Aku harus dapat bertemu dengan ayah dan ibu malam ini,"
berkata anak muda itu. "Berbahaya sekali," desis kawannya, "kenapa kita ti"dak
menunggu kesempatan lain yang lebih baik."
"Terlampau lama. Aku kira pengawal-pengawal itu akan tetap
berada di rumah itu untuk beberapa hari."
"Tetapi tidak di hari pertama," kawannya masih men"coba
meyakinkan. "Mereka masih segar, dan mereka masih ber"ada
di puncak kewaspadaan."
"Sudah aku katakan, aku mengenal halaman rumah itu lebih
baik dari siapa pun. Tidak seorang pun yang mengetahui lubang
di atap rumah itu. Aku dapat masuk lewat lubang itu langsung ke
bilik dalam." "Tetapi seluruh halaman diawasi oleh para pengawal."
"Mereka tidak akan dapat melihat segala sudut. Mereka tidak
akan melihat jalur yang telah dibuat di balik-balik gerumbul di
halaman samping di antara pagar batu dan lumbung yang
ko"song itu." Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjadi cemas,
bahwa kali ini mereka tidak akan dapat lolos lagi.
"Di siang hari pun beberapa orang di antara kita berhasil
melepaskan diri dari pengawal-pengawal yang bodoh itu. Apalagi
malam yang gelap seperti ini."
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun sorot
mata mereka masih juga dapat memancarkan kecemasan.
Meskipun mereka selama ini seakan-akan sudah tidak
berperhitungan lagi, namun untuk memasuki halaman itu pada
malam pertama dari kehadiran Ki Argajaya, merupakan suatu
tindakan yang seharus"nya tidak dilakukan.
"Apakah kalian takut?" tiba-tiba anak muda itu bertanya.
"Bukan, bukan karena takut," jawab salah seorang
ka"wannya, "tetapi kita masih dapat berbuat banyak. Kenapa
kita harus membunuh diri?"
"Huh, kalian memang sudah menjadi pengecut. Kalau kalian
memang tidak berani masuk, biar aku sajalah yang me"masuki
halaman rumah itu." "Sudah aku katakan, kami tidak takut. Tetapi itu suatu
tindakan yang kurang bijaksana."
"Aku tidak peduli. Tetapi aku yakin bahwa tidak se"orang pun
yang akan melihat aku memasuki halaman rumah itu dan
bahkan sampai aku masuk ke bilik dalam, bilik ibu."
Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Tetapi
kekhawatiran yang sangat, tidak dapat mereka sembunyikan.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Baiklah, kalau
kau memang berkeras untuk bertemu dengan ayah dan ibumu.
Tetapi bagaimana kalau ada di antara para pengawal itu yang
tidur di dalam rumahmu, sehingga ia dapat membahayakan
ke"datanganmu."
"Kalau hanya dua atau tiga orang pengawal, biarlah, aku akan
menyelesaikan." "Tetapi hal itu akan memanggil pengawal-pengawal yang lain
di luar rumah." "O, sejak kapan kalian mulai ragu-ragu untuk melakukan
se"suatu tindakan" Kalau kita semua berpikir serupa itu, kita
tidak akan sempat melakukan apa-apa. Sebaiknya kita
menyerah saja me"menuhi panggilan Ki Argapati. Kita akan
diampuni dan kita tidak akan dituntut apa pun juga. Tetapi
dengan demikian kita sudah berkhianat terhadap perjuangan
kita, terhadap Kakang Sidanti yang gagah berani dan gurunya Ki
Tambak Wedi. Di dalam bilik yang dijaga ketat Kakang Sidanti
masih melakukan perlawanan."
"Benar," sahut seorang yang sudah agak tua, "tetapi manakah
yang penting. Berhasil memasuki rumah itu dan me"nemui ayah
dan ibumu, entah akibat apa yang timbul dari per"temuan itu,
atau hanya sekedar menunjukkan keberanian?"
Anak muda itu tidak menjawab.
"Kalau kau hanya ingin sekedar menunjukkan keberanian,
marilah kita serang rumah itu dari depan. Tetapi kalau kau ingin
bertemu dengan ayah ibu, biarlah kita berpikir sejenak, cara
yang sebaik-baiknya kita tempuh."
Anak muda itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wa"jah
kawannya yang sudah agak tua itu.
"Bagaimana?" "Aku ingin bertemu dengan ayah dan ibu, meskipun ka"lau
pembicaraan kita tidak berhasil, aku akan mengambil sikap
tegas." "Nah, kalau begitu, kita harus membuat pertimbanganpertimbangan.
Kalau kita memang seorang pemberani, biarlah
kita mati, tetapi kalau persoalan yang ingin, kita lakukan itu
sesudah selesai. Dalam hal ini, setelah kau berhasil bertemu
dengan ayah dan ibumu."
"Ibu tidak bersalah," berkata anak muda itu, "tetapi ayah
sudah berkhianat." "Terserahlah menurut penilaianmu. Kami tidak berani
me"ngambil sikap, karena kami tidak tahu pasti bagaimana
tanggapanmu atas kelakuan ayahmu itu."
"Sikapku tegas. Ayah sudah mengkhianati perjuangan kami."
"Lalu maksudmu?"
"Ayah harus memilih. Berada di pihak kami dengan
me"ninggalkan rumah itu, menembus penjagaan atas dirinya,
atau ?"?" suaranya terputus.
"Atau," desak kawannya.
"Mati sajalah seperti Kakang Sidanti."
"Tidak mungkin. Ayahmu tidak akan mungkin mati jan"tan
seperti Sidanti. Kalau ia kau bunuh misalnya, maka ia akan
menjadi semakin hina."
"Memang ia pantas dihinakan."
Kawannya itu tidak menyahut lagi. Sejenak mereka saling
berpandangan. Tetapi mereka masih tetap saling berdiam diri.
"Marilah," berkata anak muda itu.
"Tunggu lewat tengah malam, kalau kau memang tidak dapat
dicegah lagi." Anak muda itu hampir tidak dapat menyabarkan dirinya lagi.
Tetapi kali ini ia menurut. Ia akan memasuki rumahnya lewat
tengah malam, langsung memanjat dan masuk ke dalam le"wat
lubang yang memang sudah disediakan di atas atap, langsung
memasuki bilik tidur ibunya. Tetapi anak muda itu sama sekali
tidak mengetahui, bahwa yang ada di dalam bilik itu kini sama
sekali bukan ibunya lagi, tetapi seorang gadis dari Sangkal
Putung yang bernama Sekar Mirah.
Demikianlah maka mereka menunggu dengan gelisah,
sam"pai bintang Gubug Penceng condong ke Barat. Putera Ki
Argajaya itu hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Setiap kali
dibelai"nya hulu pedangnya sambil menggeram.
Namun ia masih harus duduk termenung beberapa saat lagi
lamanya. Angin malam yang dingin bertiup semakin lama semakin
basah. Di kejauhan terdengar suara burung kedasih mengusik
se"pinya malam. Sedang bintang yang gemerlapan tergantung
me"nebar di seluruh dataran langit yang luas.
Anak muda yang sedang menunggu itu rasa-rasanya sudah
ti"dak dapat bersabar lagi. Bintang Gubug Penceng di atas
ujung Selatan rasa-rasanya tergeser terlampau lamban.
"Apakah ini belum tengah malam," anak muda itu ber"tanya.
"Kira-kira saat ini baru tengah malam," jawab yang lain.
"Aku akan pergi. Sendiri."
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Agaknya
anak itu sudah dihinggapi oleh kemarahan yang tidak dapat
dikendali"kannya lagi, sehingga ia terlampau bernafsu untuk
melakukan rencananya itu tanpa menghiraukan apa pun juga.
"Kalian menunggu aku di sini."
"Jangan tergesa-gesa," berkata kawannya yang sudah agak
tua, "kau tidak boleh pergi sendiri. Itu sangat berbahaya bagimu."
"Tetapi kemungkinan untuk diketahui oleh para penjaga itu
menjadi semakin berkurang. Aku dapat mencari jalan se"babnya
untuk dapat sampai ke dalam bilik ibu. Kalau ada orang lain yang
ikut bersamamu, maka ia hanya akan mengganggu saja."
"Jangan kehilangan akal. Kalau kau mempunyai kawan
meskipun hanya seorang, maka kau akan dapat berbincang
tentang sesuatu hal yang harus segera kau putuskan. Apalagi,
kalau kau harus melawan beberapa orang sekaligus di dalam
rumah itu. Kau mempunyai kawan pula agar perkelahian itu
cepat selesai sebelum para pengawal yang lain mengetahuinya."
Anak muda itu merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera
mengambil keputusan. Bahkan ia bertanya, "Kalau aku
mem"bawa seorang kawan, siapakah yang akan pergi
bersamaku?" "Kaulah yang harus memilih. Siapakah yang paling kau
percaya di antara kami."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia
berkata lemah, "Orang itu sudah mati."
"Jangan kau hiraukan lagi si kurus yang sudah dibunuh oleh
orang asing itu. Sekarang, pilihlah di antara kami yang ma"sih
ada. Kami tidak kalah tangguh dari si kurus itu."
Anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
dipandanginya seorang anak yang masih muda pula, meskipun
agak lebih tua dari dirinya sendiri. Seorang anak muda yang
berbadan ke"kar dan berdada bidang, meskipun tidak terlampau
tinggi. "Kau sajalah," berkata putera Ki Argajaya.
"Tepat," jawab kawannya yang sudah agak tua, "orang ini
adalah orang yang paling baik di antara kami."
"Badak itu memang akan berguna bagimu," desis ka"wannya
yang lain. Anak muda yang bertubuh kekar itu tersenyum. Ia merasa
mendapat kehormatan dari kawan-kawannya yang lain. Dan ia
kemu"dian menjawab, "Aku senang sekali ikut bersamamu. Aku
ingin melihat, apakah para pengawal yang ada di rumahmu itu
sudah ada yang aku kenal."
"Jangan mencari perkara. Kalian pergi untuk menemui Ki
Argajaya. Itulah masalahnya. Bukan melihat pengawal yang lagi
berjaga-jaga. Bukan menantang mereka berkelahi. Terserahlah
ka"lau persoalan yang sebenarnya telah selesai. Tetapi yang
pen"ting, kalian dapat bertemu dengan Ki Argajaya. Kalau Ki
Ar"gajaya bersedia meninggalkan rumahnya dan bergabung
bersama kita, maka lambat laun kita pasti akan berhasil
menyusun ke"kuatan lebih baik dari yang ada sekarang. Bahkan
mungkin akan dapat mengimbangi kekuatan Argapati lagi."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayang di rongga matanya peperangan yang baru saja terjadi
di atas Tanah Perdikan ini. Peperangan yang telah
menghancurkan sendsendi kehidupan rakyatnya.
Tetapi kalau perjuangannya menang, Ki Argajaya berhasil
mengusir kakaknya, maka garis kekuasaan Menoreh akan
ber"pindah pada garis keturunan keluarganya. Apalagi Sidanti
kini sudah tidak ada lagi. Maka tanggung jawab perjuangan
berpin"dah ke tangannya.
Anak yang masih terlalu muda itu merasa, sepeninggal
Sidanti ialah yang harus memimpin perjuangan. Namun kadangkadang
ia mengeluh di dalam hati. "Kakang Sidanti didampingi
sepe"nuhnya oleh gurunya, bahkan sampai mengorbankan
nyawanya. Tetapi aku tidak mendapat perlindungan dari siapa
pun. Bahkan ayah telah berkhianat."
"Nah, hathatilah. Perjuangan kita masih panjang. Kalau
kalian gagal, maka semuanya akan berhenti sampai di sini. Kita
harus menelan semua kekalahan, semua hinaan dan semua
ke"salahan," terdengar kawannya yang sudah agak tua itu
mem"peringatkan. "Tunggulah kalian di sini. Aku akan pergi sekarang."
"Sudah tentu kami tidak akan sekedar menunggu. Kami akan
memancing perhatian para pengawal itu. Pengawal yang ada di
regol padukuhan, dan pengawal yang ada di halaman ru"mah Ki
Argajaya." "Apa yang akan kalian lakukan."
"Bermain-main."
"Ya, tetapi apa yang akan kalian perbuat."
"Kami akan membakar rumah di pojok desa itu. Semua
perhatian akan tertumpah kepada api yang menyala."
"Tidak ada gunanya. Itu adalah tugas para pengawal di" regol
padukuhan dan kawan-kawannya. Yang ada di halaman rumah
ayah itu pasti tidak akan beranjak. Mereka justru akan menjadi
semakin bersiaga." "Tentu. Tetapi perhatian mereka sepenuhnya akan ter"tuju
kepada api itu. Dua orang di antara kami akan menyerang
halaman rumah itu dari depan dengan panah."
"Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka pasti akan
berlindung." "Soalnya bukan mengenai sasaran, tetapi menarik
per"hatian. Mereka memang akan bersiaga. Tetapi aku berani
ber"taruh kepala, bahwa perhatian mereka tertuju kepada lawan
di luar halaman. Kalau kalian menyusup di dalam gerumbulgerumbul
di sebelah kandang, dan naik ke atap rumah itu, pasti
tidak akan mereka duga sama sekali."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya
"Masuklah ke halaman rumah itu setelah api mulai me"nyala,"
berkata orang yang sudah agak tua itu. "Ingat. Tepat pada saat
api mulai menyala. Mereka belum sempat memikirkan apa-apa,
selain memperhatikan api itu. Baru kemudian mereka akan
bersikap. Dalam pada itu kau sudah ada di atas atap. Setidaktidaknya
kau sudah ada di halaman itu. Serangan kami
kemudian akan menarik perhatian mereka selanjutnya, sehingga
kau akan sela-mat memasuki rumah itu."
"Baiklah. Aku harap ibu tidak akan mengganggu aku, karena
aku akan langsung sampai ke biliknya." Anak itu ber"henti
sejenak, lalu, "Cepat, lakukanlah rencana kalian itu."
Kawan-kawannya kemudian segera meninggalkannya.
Mereka pergi ke sasaran yang telah mereka pilih. Sebuah rumah
di pojok desa. Dengan tanpa mendapat kesulitan sama sekali masingmasing
dapat mendekati sasaran mereka dengan segera. Para
pengawal hanya berada di sekitar regol padukuhan, sedang
mereka yang mengawal Ki Argajaya sama sekali tidak beranjak
dari halaman rumah itu, kecuali penghubungnya yang kadangkadang
pergi mengam"bil kebutuhan-kebutuhan lain bagi
mereka dan seisi halaman itu, termasuk Ki Argajaya dan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarganya. Memang kadang-kadang para pengawal di regol padukuhan
itu melepaskan sekelompok kecil orang-orangnya untuk
meronda dan berkeliling seluruh padukuhan, namun itu terjadi
hanya tiga kali dalam semalam suntuk, sehingga tidak akan
terlampau sulit untuk menghindari mereka.
Karena itu, maka kawan-kawan putera Ki Argajaya itu pun
segera mencapai rumah yang telah mereka tandai. Rumah kecil
dan beratap ilalang. "Sekarang?" bertanya salah seorang dari mereka perlahanlahan.
Orang yang sudah setengah tua menganggukkan kepalanya
sambil berdesis, "Apakah isi rumah itu sudah tidur?"
"Sudah." "Berapa orang?"
"Hanya dua orang. Seorang laklaki setengah umur dengan
seorang anaknya, seorang laklaki muda yang malas."
"Tidak ada perempuan?"
Kawannya menggeleng, "Tidak ada. Isteri laklaki itu sudah
meninggal hampir tiga bulan yang lalu."
Laklaki setengah tua itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Siapa yang akan
memancing para pengawal di rumah Ki Argajaya dengan
panah?" "Tentu dua di antara kami," jawab salah seorang dari mereka.
Orang tua itu pun kemudian menunjuk kedua orang yang
dimaksud. Katanya, "Hathatilah. Mendekatlah lewat jalan
depan. Tetapi kalian harus segera melarikan diri kalau kalian
masih be"lum jemu menjalani tata kehidupan yang kau tempuh
selama ini." "Aku akan lepas dari segala akibat serangan itu," ber"kata
salah seorang dari keduanya yang ditunjuk itu.
"Jangan terlampau sombong," desis kawannya yang lain.
Tetapi orang itu hanya tersenyum saja. Sambil menimang
busurnya ia pun kemudian berdesis, "Aku pergi sekarang."
Maka dua orang dari antara mereka itu pun segera
memi"sahkan diri. Dengan hathati mereka menyusup di antara
rimbunnya dedaunan di kebun-kebun, mendekati halaman
rumah Ki Argajaya jus"tru dari jurusan depan.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah siap di tempatnya.
Dengan dada berdebar-debar mereka menunggu api yang akan
segera menyala di sudut desa.
Orang tua yang sudah siap membakar rumah itu pun masih
sempat berkata, "Bangunkan pemilik rumah ini."
"Kenapa?" "Supaya mereka selamat meninggalkan rumahnya yang
terbakar." Kawan-kawannya menjadi heran. Namun salah seorang dari
mereka tertawa sambil berkata, "He, sejak kapan kau menjadi
se"orang yang luhur budi" Justru kami ingin membakarnya
hidup-hidup. Nyalakan lebih dahulu dinding di sekitar pintu
depan dan pintu butulan, supaya orang itu tidak dapat lari."
"Orang itu tidak tahu apa-apa. Bukankah seorang laklaki
setengah tua dan anaknya yang malas."
"Justru karena kemalasannya itulah ia pantas dibakar hi"duphidup
karena anak itu sama sekali tidak berguna."
Orang tua itu tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja ia
menghentakkan kakinya pada dinding rumah atap yang kecil itu
sambil berkata, "He, bangun, cepat!"
Orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Sayup-sayup ia
mendengar suara di luar rumahnya.
"Siapa?" Tetapi sudah tidak ada jawaban lagi. Yang didengarnya
adalah gemericik api yang mulai menjilat sudut rumahnya.
Orang tua yang ada di dalam rumah itu pun terkejut bukan
kepalang. Dengan serta-merta ia terloncat dari pembaringannya.
Dengan tubuh gemetar ia pergi ke amben di sudut. Anaknya lakilaki
masih saja tidur dengan nyenyaknya.
?"He, bangun, bangun. Rumah ini terbakar."
Anaknya masih sempat menggeliat, kemudian berkisar
seta"pak sambil melingkarkan tubuhnya kembali.
"Bangun, bangun. Rumah kita terbakar." Diguncangguncangnya
tubuh anaknya yang masih saja berusaha untuk
meneruskan mimpinya. Akhirnya anak itu terbangun juga. Tetapi ia menjadi agak
bingung. Terheran-heran ia melihat ayahnya menariknya dari
pem"baringannya, "Cepat, rumah kita terbakar."
Sebuah ledakan bambu telah mengejutkannya. Barulah ia kini
sadar, bahwa rumahnya telah mulai dimakan api.
Dengan tergesa-gesa ia pun bangkit. Tetapi api sudah cukup
besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk dipadamkannya. Yang
dapat mereka lakukan kemudian adalah menyambar pakaian
mereka yang sudah kumal di sampiran, kemudian segera berlarilari
ke luar rumah. Di emper depan orang tua itu masih melihat
kentongan kecilnya bergantungan, terayun-ayun seperti sedang
dibuai. Dengan serta-merta ia mencari sepotong kayu, dan
dipukulnya kentongannya itu sekuat-kuat tenaganya, tiga kali
berturut-turut. Ternyata, api itu benar-benar dapat menggoncangkan
kesenyapan malam. Sejenak kemudian suara kentongan itu pun
menjalar sam"pai ke telinga para peronda di gardu padukuhan.
"Kebakaran," desis salah seorang dan mereka, lalu, "lihat api
sudah mulai naik." "Marilah kita lihat."
"Hathati," tiba-tiba pemimpinnya memperingatkan, "pergilah
dengan kelompokmu. Yang lain tetap tinggal di sini. Aku yakin
bahwa ada kesengajaan untuk memancing kami sekarang."
Para pengawal itu tertegun sejenak. Dari sorot mata mereka,
terasa bahwa timbul berbagai pertanyaan di dalam dada. Sekilas
mereka memandang api yang menjadi semakin besar, kemudian
mereka pandangi wajah pemimpin mereka yang tegang.
"Maksudku," berkata pemimpin itu, "kalian harus pergi ke
tempat itu dalam kesiagaan tempur, bukan seperti rombongan
orang-orang ingin melihat tayub. Mengerti?"
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka terkejut ketika justru pemimpinnya yang kemudian
mendesak mereka, "Cepat! Jangan terlampau lamban berpikir."
Maka sekelompok pengawal pun segera bersiaga. Dengan
senjata masing-masing mereka berangkat ke tempat api yang
semakin lama menjadi semakin besar.
Pemimpin pengawal di regol padukuhan itu sebelahmenyebelah,
segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya
sesuatu memang telah terjadi, tepat pada saat Ki Argajaya siang
tadi kembali ke rumahnya.
"Mungkin mereka melakukan gerakan dengan seluruh
ke"kuatan mereka yang tersisa," berkata pemimpin pengawal di
padukuhan itu. "Tetapi kita tidak tahu pasti apakah maksud
mereka. Apakah mereka ingin mengambil Ki Argajaya untuk
memperkuat kedudukan mereka, atau justru mereka ingin,
mele"paskan dendam karena Ki Argajaya mereka anggap
berkhianat." Para pemimpin kelompok yang mendengarkan penjelasan itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cepat, hubungi para pengawal di pintu regol di ujung jalan
yang lain dari padukuhan ini. Tutup semua pintu. Tidak seorang
pun boleh masuk atau keluar. Awasi segala sudut sejauh dapat
dijangkau." Dengan demikian maka para pengawal di padukuhan itu pun
menjadi sibuk. Beberapa kelompok-kelompok kecil segera
memencar dengan alat-alat yang dapat memberikan tanda
setiap saat di samping senjata-senjata mereka yang siap di
tangan. Pada saat yang bersamaan, pengawal yang sedang bertugas
berjaga-jaga di depan regol halaman Ki Argajaya pun melihat api
itu. Sejenak mereka termangu-mangu, namun sejenak kemudian
mereka pun sadar, bahwa mereka harus melaporkannya. Maka
salah se"orang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa
menemui pemimpinnya. Ternyata api itu sudah mengejutkan seisi halaman. Para
pengawal, yang segera bersiap di halaman, terpaku melihat
nyala api yang semakin lama menjadi semakin besar.
"Semua bersiaga di tempat masing-masing seperti yang
sudah ditentukan, apabila keadaan menjadi panas," perintah
pemimpin pengawal itu. Perintah itu tidak perlu diulangi. Maka para pengawal itu pun
segera memencar ke tempat-tempat yang memang sudah
ditentukan di dalam halaman. Mereka mengerti, bahwa mereka
tidak dapat keluar dari halaman itu, apa pun yang terjadi, kecuali
keadaan sudah sangat memaksa. Tugas mereka adalah di
dalam halaman rumah Ki Argajaya, karena di luar halaman
rumah itu sudah menjadi tanggung jawab para pengawal yang di
tempatkan di padukuhan itu.
Namun para pengawal itu tiba-tiba terkejut ketika, mereka
mendengar anak panah berdesing tepat di atas kepala mereka.
Dengan gerak naluriah, maka para pengawal pun segera
mencari perlindungan. Di balik-balik pepohonan atau di balik
pagar batu, yang mengitari halaman.
"Gila," desis pemimpin pengawal, "apakah orang-orang itu
ingin membunuh dirinya?"
Agung Sedayu yang berada di dekat pemimpin pengawal itu
tidak segera menyahut. Ia mengetahui tepat, dari mana arah
anak panah itu. Beberapa anak panah yang lain pun segera menyusul,
melun"cur dari arah yang berbeda-beda, seolah-olah beberapa
orang telah mengepung halaman rumah Ki Argajaya.
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Terdengar ia
ber"desis, "Berapa orang kira-kira yang datang menyerang
halaman ini?" Agung Sedayu tidak segera menjawab. Dicobanya
meng"amati dengan cermat, dari mana saja anak panah itu
meluncur. Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, "Tidak lebih dari dua
atau tiga orang." "He," pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya.
"Mereka berpindah-pindah tempat."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita tidak dapat mengejar mereka. Nanti dapat terjadi
salah paham, apabila para pengawal di regol padukuhan itu pun
sudah melakukan pengejaran."
"Ya, kita bertahan di batas halaman ini," sahut Agung Sedayu.
Karena itu, maka para pengawal itu pun tetap tinggal di
tempat masing-masing. Di belakang pepohonan, dedaunan yang
rimbun di balik dinding-dinding batu dan di belakang regol.
Namun sejenak kemudian anak panah itu pun menjadi
sema"kin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali.
"Mereka sudah berhenti," desis pemimpin pengawal.
"Mungkin. Tetapi mungkin pula mereka menunggu sasaran."
Pemimpin pengawal itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku akan berada di halaman," desis Agung Sedayu.
"Jangan," jawab pemimpin itu, "berbahaya."
"Tidak. Aku akan membawa perisai."
"Apa perisaimu itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya ikat
kepalanya. Ujungnya dibalutkannya pada tangan kirinya.
Kata"nya, "Tunggulah di sini."
Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar.
Dipandanginya saja Agung Sedayu berjalan dengan tenangnya
ke tengah-tengah halaman rumah Ki Argajaya.
Meskipun disaput oleh keremangan malam, namun
bayangan"nya masih juga tampak dari jarak yang agak jauh.
Dan ternyata bahwa orang-orang yang melontarkan anak
panah itu masih belum meninggalkan halaman itu. Mereka
mengerutkan kening mereka, ketika tampak seseorang yang
dengan tenangnya justru menampakkan dirinya.
Sejenak kedua orang yang melontarkan anak panah itu
memandangi bayangan di halaman dengan herannya. Apalagi
ketika bayangan itu kemudian berhenti di tengah-tengah
halaman sam"bil menengadahkah dadanya.
"He, apakah di antara mereka ada juga orang yang
mem"bunuh diri," pertanyaan itu melonjak di dalam dada kedua
orang yang sedang bersembunyi dengan anak-panah yang siap
dilun"curkan. Tetapi ternyata bayangan yang hitam di halaman itu tidak
segera beranjak pergi. Salah seorang dari kedua orang yang sudah siap dengan
busur dan anak panah itu pun mendekati kawannya. Perlahan ia
berbisik, "He, kau lihat orang aneh itu?"
"Ya," sahut kawannya.
"Apa katamu tentang orang itu?"
"Mungkin ia sedang memancing anak panah kami, agar
mereka mengetahui arah tempat kami bersembunyi."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
"Lalu bagaimana dengan kita?"
"Kita tinggalkan tempat ini."
Kawannya mengangguk-angguk pula. Namun katanya,
"Tetapi orang itu tampaknya sengaja menghina kami. Apakah
kita tidak mencoba yang seorang itu, kemudian kita dengan
segera pergi?" Kawannya terdiam sejenak. Lalu, "Terserah kepadamu."
Yang tangannya menjadi gatal itu mengerutkan keningnya.
Kemudian diangkatnya busurnya. Dengan cermat dibidiknya
bayangan orang yang ada di tengah-tengah halaman itu.
"Aku ingin mengenai dadanya. Bidikanku tidak pernah
meleset apabila sasaran itu tetap di tempatnya."
Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya kawannya yang
telah mulai menarik tali busurnya sambil menahan nafas.
Sejenak kemudian anak panah itu meluncur secepat tatit
menyambar bayangan hitam di halaman. Suaranya berdesing di
dalam gelapnya malam. Agung Sedayu yang sudah terlatih baik segala alat
indera"nya, segera mendengar desing anak panah. Meskipun
malam masih tetap kelam, namun oleh ketajaman pendengaran
dan tatapan matanya, Agung Sedayu segera dapat mengerti
dengan pasti, dari mana dan kemana anak panah itu meluncur.
Karena itu, maka segera ia mengibaskan ikat kepalanya
berputaran di depan dadanya, sambil memiringkan tubuhnya.
Hampir tidak masuk akal, tetapi para pengawal dan bahkan
mereka yang sedang bersembunyi dengan busur dan anakpanah
itu, kemudian melihat panahnya tersangkut pada ikat
kepala yang sedang berputar itu.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He," desis salah seorang dari kedua orang yang sedang
bersembunyi itu, "apa yang kau lihat?"
"Ia mengibaskan selembar kain."
"Dan anak panah itu?"
"Agaknya tersangkut pada kain itu." Ia berhenti, lalu, "Lihat ia
rupa-rupanya ia sedang mencabut anak panah itu."
"Setan alas!" geram salah seorang dari mereka. "Siapa"kah
orang itu?" "Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan dapat
dijebaknya. Orang itu benar-benar luar biasa?"
"Apakah orang itu Ki Argajaya?"
Kawannya menggelengkan kepalanya, "Tidak jelas. Tetapi
menilik tinggi tubuhnya, agaknya bukan."
Keduanya tidak berkata-kata lagi. Tetapi seperti berjanji
mereka pun segera bergeser menjauhi tempat itu. Ketika mereka
telah berada di halaman yang rimbun di rumah sebelah, salah
se"orang dari mereka berdesis, "Kita harus menjauh
secepatnya." Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa merangkak di
antara pepohonan menjauhi rumah Ki Argajaya. Mereka sadar,
bahwa di padukuhan itu, para peronda pasti sedang berkeliaran,
menilik tanda yang bergema. Bunyi kentongan, tiga-tiga ganda
ber"turut-turut. "Hathati," desis salah seorang dari keduanya, "jangan
sampai terjebak oleh para peronda yang pasti sedang menyusuri
semua jalan-jalan di seluruh padukuhan ini."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia berdesis sambil
mele"takkan jarjarinya di depan bibirnya yang terkatup.
Sejenak mereka membeku. Lamat-lamat mereka mendengar
desir langkah semakin lama semakin dekat.
Keduanya segera berlindung semakin rapat, sambil menahan
nafas. Di sebuah lorong sempit di depan mereka, beberapa
orang peronda berjalan perlahan-lahan. Bahkan kedua orang itu
mendengar mereka berbicara, "Kalau kita dapat menangkap
salah seorang dan mereka, kita cincang saja di mulut
pedukuhan, supaya yang lain menjadi jera."
"Kita gantung pada kedua kakinya, dan kepalanya dijung"kir
di bawah. Sepantasnya mereka mendapat hukuman picis."
Kedua orang yang bersembunyi itu menjadi ngeri pula
kare"nanya, sehingga karena itu, serasa tubuh mereka berkerut
semakin kecil. Mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika para peronda itu
menjadi semakin jauh, akhirnya desir langkah mereka sudah
tidak terdengar lagi. "Cepat, kita seberangi lorong itu," Kawannya tidak menjawab,
namun mereka berdua pun segera menyusup menyeberangi
lorong kecil itu. Sementara itu, perhatian para pengawal di rumah Ki Argajaya
benar-benar sedang dicengkam oleh serangan anak panah di
halaman depan, sehingga seperti yang diperhitungkan oleh
kawan-kawan putera Ki Argajaya, mereka hampir tidak menaruh
perhatian sama sekali kepada segerumbul perdu yang rimbun di
samping kandang. Mereka benar-benar tidak melihat, ketika dua
orang anak muda meloncati dinding batu dan bersembunyi di
dalam gerambul itu. Meskipun ada beberapa orang penjaga di halaman belakang,
namun mereka pun sedang dipengaruhi oleh kemungkinan
serang"an-serangan anak panah yang tiba-tiba saja dapat
menyambar mereka seperti yang terjadi di halaman depan.
Dalam saat-saat yang demikian itulah dua orang anak muda
yang berada di balik gerumbul-gerumbul perdu itu berkisar
selangkah demi selangkah mendekati sudut rumah. Seperti yang
mereka harapkan, maka perhatian para penjaga benar-benar
telah terampas oleh api dan serangan anak panah yang tidak
mereka ketahui dari mana asalnya.
Agung Sedayu yang berada di halaman depan pun sama
sekali tidak menyangka, bahwa di dalam pengawasan yang
demikian rapatnya, masih juga ada seseorang yang berani
memasuki hala"man, sehingga karena itu, maka ia pun tidak
menduga sama sekali, bahwa ada dua orang yang kini sedang
memanjat sisi rumah di sebelah kandang.
Meskipun para pengawal sama sekali tidak menjadi lengah,
tetapi mereka benar-benar tidak melihat dua orang yang dengan
susah payah telah berhasil naik ke atas atap. Perhatian para
pengawal masih tetap tertuju kepada setiap kemungkinan yang
datang dari luar dinding halaman. Yang mereka bayangkan
adalah kemungkinan serangan kekuatan-kekuatan terakhir dari
sisa-sisa pasukan Sidanti.
Sejenak kemudian, pemimpin pengawal yang ada di halaman
depan rumah Ki Argajaya melihat beberapa peronda
mendatangi"nya. Kemudian salah seorang peronda itu bertanya,
"Bukankah halaman ini tidak mendapat gangguan?"
"Pada dasarnya tidak," jawab pemimpin pengawal.
"Kenapa pada dasarnya?"
"Ada beberapa anak panah yang meluncur ke halaman.
Te"tapi kemudian terhenti."
"Jadi ada orang-orang yang telah menyerang kalian dengan
anak panah?" "Hanya dua atau tiga orang," sahut Agung Sedayu.
"Di mana mereka sekarang?"
"Kami tidak tahu. Aku kira mereka sudah melarikan diri.
"Kalian membiarkan saja mereka lari?"
"Kami tidak dapat keluar dari halaman ini. Kami tidak ingin
terjadi salah paham dengan kalian. Di dalam gelap kadangkadang
kita sukar membedakan, siapakah yang kita hadapi."
Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita akan mencarinya di seluruh padukuhan," berkata
peronda itu, "tetapi jangan kalian harapkan, kami dapat
me"nemukan mereka. Masih ada satu dua orang yang bersedia
me"nyembunyikan orang-orang itu, atau barangkah mereka
sudah me"loncati dinding pedukuhan yang sekian panjangnya,
yang sudah tentu tidak dapat kami awasi seluruhnya dalam
waktu yang bersamaan."
Pemimpin pengawal di halaman itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti betapa sulitnya tugas para pengawal
padukuhan itu, karena pada suatu waktu ia pun pernah bertugas
di padakuhan itu pula. Ketika para peronda itu pergi, maka pemimpin pengawal itu
dan Agung Sedayu duduk di tangga pendapa rumah yang sepi
itu tanpa berprasangka apa pun. Apalagi menyangka, bahwa kini
dua orang anak-anak muda di atas atap itu sudah merambat
mende"kati sebuah lubang yang memang sudah mereka buat,
tepat di atas bilik yang malam itu dipergunakan oleh Sekar
Mirah. Dengan hathati keduanya berusaha membuka lubang itu.
Sekalsekali mereka mengamati suara-suara yang masih
mungkin terdengar di dalam rumah. Namun agaknya rumah itu
sudah sepi. "Apakah mereka tidak terbangun oleh suara kentongan?"
bisik kawannya. "Mungkin, kita masih harus menunggu sejenak."
Kawannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
tidak dapat tergesa-gesa masuk ke dalam bilik itu. Memang
kemungkinan bahwa isi rumah itu terbangun adalah besar sekali.
Tetapi rumah itu agaknya benar-benar sudah dicengkam oleh
kesenyapan. Lelah dan kantuk agaknya telah menguasai seluruh
isinya. Apalagi mereka mempercayai para pengawal yang ada di
luar rumah itu sepenuhnya, sehingga tidak seorang pun dari isi
rumah itu yang keluar meskipun mereka mendengar juga suara
kentongan di kejauhan. "Tak ada apa-apa di halaman," perasaan itulah yang telah
tumbuh di setiap dada orang-orang yang ada di dalam rumah itu.
Setelah menunggu sejenak, dan kedua anak-anak muda yang
ada di atas atap itu tidak mendengar suara apa-apa sama sekali,
maka mulailah mereka mencoba memasuki bilik dalam. Dalam
keremangan cahaya lampu yang kemerahan, dari lubang atap,
ke"dua anak-anak muda itu melihat seorang perempuan yang
sedang tidur dengan nyenyaknya.
"Ibu masih tidur nyenyak," desis putera Ki Argajaya.
"Hathati, jangan mengejutkannya. Kalau ibumu terkejut,
mungkin sekali ia akan berteriak."
Putera Ki Argajaya itu menganggukkan kepalanya. Per"lahan
ia mengikatkan ujung sebuah tali yang memang sudah
dibawanya. Kemudian dengau hathati sekali ia meluncur ke
bawah, tepat di sudut bilik. Dengan tangannya ia memberikan
isyarat kepada kawannya, dan kawannya itu pun meluncur pula
ke bawah. Sejenak mereka saling berdiam diri. Dipandanginya saja
tubuh yang sebagian terbesar ditutup oleh selimut, sebuah kain
panjang. Apalagi perempuan yang sedang tidur itu
membelaka"ngi kedua anak-anak muda itu, sehingga mereka
tidak segera me"ngenalinya.
"Apakah kita biarkan saja ibu tidur, dan kita langsung mencari
ayah," desis putera Ki Argajaya.
"Tidak. Sebaiknya ibumu kau bangunkan supaya ia tidak
terkejut dan justru berteriak-teriak."
Sejenak anak muda itu berpikir. Namun kemudian ia
menganggukkan kepalanya, "Baiklah."
Perlahan-lahan ia maju selangkah. Tetapi langkahnya
tertegun ketika ia melihat perempuan itu bergerak. Dan bahkan
darahnya tersirap ketika ia mendengar suara, "Kalian tidak usah
mem"bangunkan aku."
Putera Ki Argajaya itu surut selangkah. Matanya terbela"lak
ketika ia kemudian melihat siapakah yang tidur di dalam bi"lik
itu. Sekar Mirah yang ternyata mendengar seluruhnya apa yang
telah terjadi di atas biliknya, kemudian dua orang meluncur turun
itu, perlahan-lahan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.
Kedua anak muda yang memasuki bilik itu pun seakan-akan
membeku di tempatnya. Sejenak mereka terpesona melihat
se"orang gadis cantik berada di bilik itu, bilik yang biasanya
di"pakai oleh ibunya.
Sekar Mirah yang duduk di pembaringan itu masih saja
du"duk di tempatnya. Dipandanginya kedua anak muda yang
ter"heran-heran itu sambil tersenyum.
"Siapakah kau?" desis putera Ki Argajaya.
"Aku kira kaulah putera Ki Argajaya yang selama ini seakanakan
telah menghilang." "Siapa kau?" ulang putera Ki Argajaya itu, "dan ke"napa kau
ada di sini." Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya saja
anak muda yang berdiri termangu-mangu itu. Anak muda yang
ber"perawakan sedang, namun dengan sorot mata yang berapiapi.
"Kalau saja anak ini sempat memelihara dirinya, ia ada"lah
anak muda yang tampan," desis Sekar Mirah di dalam hati.
"He, kau belum menjawab."
"Aku," Sekar Mirah memiringkan kepalanya, "aku ada"lah
tamu Ki Argajaya. Apakah kau belum tahu bahwa ayahmu sudah
pulang hari ini." Anak muda itu tidak menjawab. Hatinya menjadi semakin
berdebar-debar setiap kali ia melihat gadis itu tersenyum.
Tiba-tiba saja, kawannya menggamitnya sambil bertanya,
"Apakah gadis itu bukan saudaramu. Saudara yang datang dari
jauh atau dari mana pun juga?"
Putera Ki Argajaya itu menggelengkan kepalanya.
"Jadi kau belum mengenalnya dan sama sekali tidak ada
hubungan apa pun?" Sekali lagi anak muda itu menggeleng.
Sekar Mirah yang masih duduk di pinggir pembaringan itu
memandangnya dengan seksama. Di dalam hatinya ia berkata,
"Anak ini memang agak mirip dengan Sidanti. Sorot matanya
yang berapapi, bibirnya yang terkatup dan apanya lagi?" Sekar
Mirah menarik nafas, "Keduanya adalah saudara sepupu."
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak mengerti bahwa
se"benarnya anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan
Si"danti. "Jadi siapa gadis ini," kawan putera Ki Argajaya itu bertanya.
Putera Ki Argajaya itu menggeleng, "Aku tidak tahu. Aku baru
melihatnya." "Aku sudah mengenalmu. Bukankah kau bernama Prastawa,"
tiba-tiba Sekar Mirah menyela.
"Kau tentu mendengar dari ayah atau ibu."
Sekar Mirah tertawa Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Silahkan.
Jangan berdiri saja di situ. Apakah kau ingin bertamu dengan
ayahmu" Ia ada di ruang dalam. Tidur di amben besar itu
ber"sama seorang tamu yang lain."
"Siapakah tamu yang lain itu?"
"Ayahku.?" "Kau datang bersama ayahmu?"
"Ya." "Siapakah kau sebenarnya?"
*** Sekar Mirah tertawa, "Apakah begitu penting bagimu untuk
mengetahui namaku." Prastawa, putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya.
Sikap Sekar Mirah dirasakannya sangat aneh. Gadis itu sama
sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan.
Namun di luar dugaan kawan Prastawa itu pun kemudian
berkata, "Prastawa. Kalau gadis ini memang bukan sanakka
"dangmu, kenapa ia berada di sini?"
"Aku tidak tahu," jawab Prastawa.
"Kalau begitu, biarlah aku mengurusnya."
Prastawa mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" ia bertanya.
Kawannya tiba-tiba saja tertawa, meskipun tidak bersuara.
Katanya, "Ia terlampau cantik."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" bertanya Prastawa.
Kawannya masih tertawa. Lalu, "Apakah kita akan mene"mui
Ki Argajaya lebih dahulu" Aku kira lebih baik kau menemui"nya
sendiri. Kau dapat berbicara dengan leluasa."
"Lalu kau?" "Aku tinggal di sini, mengawani gadis ini. Aku dapat
mencegahnya kalau ia berteriak dan mengejutkan para penjaga."
Putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian, "Tetapi aku belum melihat Ibu."
"Nah, carilah ibumu. Katakan maksudmu. Tetapi sebaik"nya
kau berbuat seperti seorang anak terhadap orang tuamu.
Berbicara dengan baik dan sopan. Aku yakin, bahwa ayahmu
akan mengerti, bahwa perjuangan kita masih panjang."
"Kau terpancang pada kepentinganmu sendiri."
"Bukankah kau sejak semula akan pergi sendiri" Tetapi
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertimbangan keamanan dirimulah yang membawa aku kemari.
Tetapi agaknya tidak ada seorang pengawal pun yang ada di
dalam rumah ini." Prastawa mengerutkan keningnya. Dan ia melihat kawannya
itu melangkah mendekati Sekar Mirah, "Kau sudah terdampar ke
suatu tempat yang barangkali tidak pernah kau impikan."
"Kenapa," bertanya Sekar Mirah tanpa beranjak dari
tempatnya. "Kau sangat diperlukan di sini. Kalau kau tetap tinggal di
rumah ini, sedang di halaman rumah ini berkerumun serigalaserigala
lapar, maka nasibmu tidak akan berketentuan."
"Aku datang bersama ayah."
"Siapa ayahmu."
"Ya ayahku." "Kalau ia mencoba menghalangi mereka, ayahmulah yang
akan disingkirkannya dahulu." Anak muda itu berhenti seben"tar.
Sambil berpaling kepada putera Ki Argajaya ia berkata, "Pergilah
ke ayahmu. Aku akan menyelamatkan gadis ini. Kau ma"sih
terlampau muda untuk memikirkan seorang gadis cantik ini."
Putera Ki Argajaya termenung sejenak. Dipandanginya wajah
kawannya yang aneh, kemudian ditatapnya Sekar Mirah yang
masih tersenyum-senyum saja.
"Apa yang kau tunggu?" bertanya kawan Prastawa itu.
"Aku tidak mengerti, kenapa gadis itu di sini."
"Jangan hiraukan. Biarlah aku yang mengurusnya. Seka"rang
kau temui ibu dan kemudian ayahmu."
Sekali lagi Prastawa memandang wajah Sekar Mirah. Ia tidak
dapat mengerti, kenapa sikapnya begitu ramah menerima
kedatangan orang yang belum dikenalnya, di tempat yang asing
baginya. "Jangan tunggu sampai pagi," desis kawannya.
Prastawa menganggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Aku
akan menemui Ibu dan Ayah. Tetapi kalau aku tidak dapat
berbicara dengan mulutku, maka aku akan berbicara dengan
sen"jataku." "Pertimbangkan baik-baik."
"Aku sudah mengerti."
"Terserahlah," ternyata kawannya itu sama sekali sudah tidak
menghiraukan lagi apa yang akan dilakukan oleh putera Ki
Argajaya itu. Perhatiannya seluruhnya telah ditumpahkannya
kepada Sekar Mirah yang masih duduk di tempatnya.
"Hathatilah dengan gadis itu," putera Ki Argajaya masih
berpesan, "jangan sampai ia dapat mengganggu acara kita."
"Serahkan kepadaku. Tetapi kau pun harus berhathati pula."
Putera Ki Argajaya itu pun kemudian dengan sangat hathati
menyibakkan pintu lereg di bilik itu. Ternyata ruang dalam
ru"mah itu pun sudah sepi. Cahaya lampu minyak yang remangremang
sama sekali tidak menyentuh seorang pun yang masih
terbangun. "He, kenapa kau belum juga keluar?" kawannya ber"desis.
Putera Ki Argajaya itu berpaling. Tetapi ia tidak berkata apa
pun. Namun kawannya menjadi tidak sabar lagi. Kalau saja ia
tidak sadar akan tugasnya, maka anak muda itu sudah
dilem"parkannya ke luar bilik.
"Bukankah kita sudah yakin bahwa rumah ini sepi. Aku tidak
mendengar apa-apa." "Bukankah aku harus berhathati?" sahut Prastawa.
Kawannya mengangguk kecil, meskipun ia mengumpat-umpat
di dalam hati. Namun ketika sekilas dipandanginya Sekar Mirah
masih saja duduk tenang di tempatnya, ia menarik nafas dalamdalam.
Perlahan-lahan putera Ki Argajaya itu pun kemudian
melangkah ke luar. Dengan ragu-ragu ia memandang berkeliling.
Sebuah perta"nyaan terbersit di hatinya, "Di manakah ibu tidur?"
Tetapi ketika ia melihat lampu yang kecil menyala di bilik
sebelah, ia pun segera mengetahuinya, bahwa ibunya ada di
dalam bilik itu. "Aku harus menemuinya dahulu, supaya ibu tidak berteriakteriak."
Prastawa pun kemudian dengan sangat hathati melangkah
melintasi ruangan dalam menuju ke pembaringan ibunya.
Perlahan-lahan pula ia menarik daun pintunya, kemudian
melangkah masuk. Sementara itu, kawannya masih berdiri tegak di hadapan
Sekar Mirah yang belum berkisar dari tempatnya.
"He, siapakah sebenarnya kau?" bertanya anak muda itu.
"Siapa aku itu tidak penting buatmu. Apakah yang kau
kehendaki dari aku" Aku bukan orang padukuhan ini, bukan
penghuni rumah ini sehingga aku tidak akan dapat memberikan
banyak keterangan yang kau ingini."
"Aku tidak memerlukan keterangan apa pun."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Kau." "Aku?" "Ya. Aku ingin membawamu ke luar dari rumah ini."
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin.
Ayahku ada di rumah ini dan di halaman rumah ini bertebaran
para pengawal." "Bodoh kau. Aku dapat masuk tanpa mereka ketahui."
"Kau memanjat?"
"Ya. Aku memanjat atap rumah ini, kemudian turun de"ngan
tali itu." "Aku tidak dapat memanjat."
"Aku dapat mendukungmu. Lihat, tubuhku hampir sebe"sar
tubuh gajah." "Akan kau bawa ke mana aku nanti?"
Anak muda itu terdiam sejenak. Ia tidak dapat menjawab
pertanyaan Sekar Mirah. "Ke mana?" Sekar Mirah mengulang.
Anak muda itu termenung sejenak. Sudah lama ia
mening"galkan rumahnya. Sudah tentu ia tidak dapat pulang
sambil membawa seorang gadis. Seandainya demikian, maka ia
pasti akan segera ditangkap oleh para pengawal yang sekarang
sudah menguasai hampir semua sudut-sudut Tanah Perdikan
ini. "Apakah kau mempunyai rumah?"
Tanpa sesadarnya anak muda itu mengangguk, "Ya. Aku
punya rumah." "Rumahmu sebesar ini?"
"Ya, rumahku sebesar ini."
"Dan aku akan kau bawa ke rumahmu"
Anak muda itu menjadi kian bingung. Ia tidak mengerti,
bagaimana ia harus menjawab.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia
berdesah, "Kau tidak mau mengatakan, ke mana aku akan kau
bawa." Tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi tegang. Katanya, "Kau
aku bawa ke tempatku sekarang."
"Kau tentu tinggal bersama kawan-kawanmu. Dan aku akan
kau ambil dari daerah serigala lapar dan kau masukkan ke
dalam kandang harimau yang juga kelaparan?"
Anak muda itu menjadi semakin bingung. Memang tidak
mungkin baginya untuk membawa gadis itu ke sarang
persem"bunyiannya. Di sana terdapat banyak sekali laklaki
yang liar se"perti dirinya sendiri. Kehadiran Sekar Mirah di
antara mereka pasti hanya akan menimbulkan keonaran saja.
Karena itu, maka untuk sejenak laklaki yang bertubuh
se"perti seekor badak itu berpikir sejenak. Sekalsekali
ditatapnya wa"jah Sekar Mirah di bawah remang-remang sorot
lampu minyak yang redup. Dan tiba-tiba tanpa sesadarnya laklaki muda itu bertanya,
"Lalu bagaimana sebaiknya?"
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Kaulah yang
menentu"kan, bagaimana sebaiknya."
Laklaki itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudiaan
katanya, "Kau ikut aku. Aku tidak tahu ke mana kau akan aku
bawa." "He, kau aneh sekali."
"Tidak. Ini bukan hal yang aneh. Aku memerlukan kau dan
aku tidak mau dibingungkan oleh tempat dan segala macam."
"Jadi bagaimana?"
Wajah anak muda itu tiba-tiba menjadi merah. "Ayo, ikut aku."
"Kau belum mengatakan, ke mana."
"Jangan bertanya lagi. Kita harus segera keluar dari tem"pat
ini." "Jangan tergesa-gesa. Duduklah. Bukankah kau masih
me"nunggu putera Ki Argajaya."
"Tidak, aku tidak menunggu lagi."
Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Kau seperti anak-anak yang
lapar melihat ibunya membawa makanan."
"Jangan membuat darahku semakin menggelegak."
"Duduklah." "Tidak, Kita harus segera pergi.
"Anak muda," berkata Sekar Mirah kemudian, "kalau kau
memang tidak mempunyai tempat tinggal, kenapa kau tidak
menetap di sini saja" Rumah ini terlampau besar untuk dihuni
keluarga Ki Argajaya yang sudah terpecah-pecah itu. Mungkin
rumah ini dahulu sangat baik dan bersih. Dihuni oleh beberapa
orang sanak saudara dan pelayan-pelayan yang sanggup
memelihara rumah ini. "Jangan mengigau," potong anak muda itu, "ayo, ikut aku.
Berdirilah." Tetapi Sekar Mirah masih saja tersenyum di tempatnya.
"Kau aneh," berkata Sekar Mirah, "kau ingin membawa aku
tanpa mengerti ke mana kau akan pergi. Sudah aku katakan
tinggallah di sini. Atau, aku yang akan membawamu?"
"He?" "Aku hanya mempunyai seorang saudara laklaki. Kau dapat
aku jadikan saudaraku yang kedua. Aku mempunyai kakak, dan
kau akan menjadi adikku."
"Gila. Gila kau," tiba-tiba anak muda itu mengumpat-umpat.
"Kau sendirilah yang berteriak. Kalau seisi rumah ini bangun,
itu bukan salahku." "Aku memerlukan kau tidak sebagai saudara. Aku
memer"lukan kau sebagai seorang perempuan," laklaki itu
menjadi te"gang. Lalu, "Ikut aku. Cepat!"
Agaknya ia sudah tidak sabar lagi. Selangkah ia maju
me"nyambar lengan Sekar Mirah dan menariknya. Sekar Mirah
tidak melawan. Ia pun terseret beberapa langkah. Namun
kemudian tangan anak muda itu dikibaskannya, sehingga
pegangannya pun terlepas.
"Kau menyakiti aku," desis Sekar Mirah.
Namun anak muda itu menjadi heran karenanya. Ia tidak
menyangka bahwa Sekar Mirah cukup kuat untuk mengibaskan
tangannya, dan apalagi setelah gadis itu berdiri, matanya
seakan-akan tidak berkedip lagi memandangi pakaian Sekar
Mirah. "Kenapa kau termenung?" bertanya Sekar Mirah.
"Pakaianmu." "Kenapa pakaianku?"
Anak muda itu tidak segera menjawab. Dipandanginya
Se"kar Mirah dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Dan
tiba-tiba saja ia berdesis, "Kenapa kau berpakaian seperti itu."
"Kenapa" Ya, kenapa" Bukankah aku berpakaian biasa?"
Hati anak muda itu kini menjadi semakin berdebaran.
Pa"kaian Sekar Mirah bukanlah pakaian gadis-gadis
sewajarnya. Di atas Tanah Perdikan ini, hanya Pandan Wangi
sajalah gadis yang mengenakan pakaian seperti yang dipakai
oleh Sekar Mirah itu. Karena pakaian itu semula ditutupinya
dengan kain panjang yang dipergunakannya sebagai selimut,
maka anak muda itu tidak begitu memperhatikannya. Namun
agaknya cara berpakaian gadis ini telah menunjukkan suatu ciri
yang lain dari gadis-gadis kebanyakan.
"Kenapa kau termenung" Apakah kau tidak mau aku ba"wa
pulang, dan aku jadikan adik laklaki."
Jantung anak muda itu kini menjadi semakin cepat
ber"dentang. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, "Persetan dengan
kau. Aku tidak peduli siapa kau dan kenapa kau berpakaian
seperti seorang laklaki. Tetapi aku tahu pasti, kau seorang
gadis. Dengan demikian aku memerlukan kau. Mau tidak mau,
kau harus aku bawa ke luar dari tempat ini. Aku dapat membuat
kau pingsan, kemudian aku dukung kau ke luar dari dalam bilik
ini lewat atap." "Aku tidak dapat membayangkan, apakah kau benar-benar
da"pat melakukannya. Kalau tanganmu memegangi tubuhku,
bagai"mana kau dapat memanjat."
"Gila," anak muda itu menggeram. Matanya menjadi nanar
memperhatikan barang-barang yang ada di dalam bilik itu. Ia
ingin mendapat alat yang dapat dipakainya untuk memanjat
atap. Tetapi ia tidak melihat sesuatu kecuali sebuah geledeg
bambu yang tua. "Nah, apakah kau menemukan jalan keluar."
"Gila," ia menggeram, dan tiba-tiba ia menjadi liar, "aku tidak
akan membawamu ke luar."
"Lalu?" "Aku memerlukan kau sekarang."
"Gila," tiba-tiba wajah Sekar Mirah menjadi merah, "sebaiknya
kau pikirkan setiap kalimat yang kau ucapkan."
"Persetan. Jangan banyak tingkah, supaya aku tidak
men"jadi kasar."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya, ketika ia melihat anak
muda itu melangkah maju. Matanya seakan-akan telah menyala
dan nafasnya menjadi terengah-engah.
Sekar Mirah surut selangkah. Tetapi ia tidak dapat mundur
lagi karena ia sudah berdiri melekat pinggir pembaringannya.
Karena itu, ia hanya dapat berdiri dengan tegang memandangi
anak muda yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat itu.
Sekar Mirah menjadi ngeri juga melihat sorot mata anak muda
itu, sehingga kulitnya serasa meremang. Terkenang sesaat
tingkah laku Alap-alap Jalatunda di Padepokan Tambak Wedi,
ketika ia diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung.
Tetapi Sekar Mirah sekarang bukanlah Sekar Mirah yang
dahulu. Anak muda itu menjadi semakin dekat kepadanya.
Terde"ngar kemudian ia berdesis, "Kau lebih baik tidak menolak.
Aku memang tidak akan dapat membawamu ke mana saja.
Tetapi se"karang kita cukup waktu. Prastawa masih harus
menyelesaikan persoalannya dengan ayah dan ibunya."
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kau
jangan menjadi gila dan liar. Ingat, di sekitar rumah ini para
pengawal bertebaran di segala sudut dan hampir di setiap
jengkal tanah."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak peduli."
"Jangan," desis Sekar Mirah.
Namun orang itu justru menjadi semakin liar. Matanya
menjadi merah dan dadanya berdentangan tidak menentu.
"Jangan menolak."
"Jangan." "Aku tidak dapat dicegah lagi."
"Aku dapat berteriak."
"Aku akan membungkam mulutmu."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Menilik sorot mata"nya,
anak muda itu memang tidak akan dapat dicegah lagi.
Belum lagi Sekar Mirah berbuat apa-apa, maka tiba-tiba saja
anak muda itu meloncat menerkamnya. Menurut
perhitungannya. Se"kar Mirah tidak akan dapat lolos lagi, karena
ia sudah berdiri melekat pembaringan.
Tetapi anak muda itu terkejut, ketika tanpa disangka-sangka
ia merasa tangannya yang terulur itu terdorong ke samping.
De"mikian keras dan apalagi didorong oleh kekuatannva sendiri,
sehingga anak muda itu terhuyung-huyung membentur dinding
kayu. "He," bertanya Sekar Mirah, "kenapa kau?"
Anak muda itu menggeram. Tetapi otaknya telah menjadi
gelap sehingga ia tidak segera dapat menilai apa yang telah
ter"jadi. Karena itu, maka sekali lagi ia bersiap. Dengan tangan
gemetar ia menunjuk wajah Sekar Mirah, "Kau mau mengelak,
he" Kaulah yang memulainya, sehingga kau tidak akan dapat
menghentikannya sekarang sebelum aku menjadi puas."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dengan sudut
mata"nya ia memandang gulungan tikar di pinggir
pembaringannya. Di situlah senjatanya disimpan.
"Aku belum tahu, apakah yang dapat dilakukan oleh anak ini,"
katanya di dalam hati. "Tetapi agaknya ia sudah kehilang"an
akal, sehingga tidak akan terlampau sulit mengurusnya."
Sebenarnyalah bahwa anak muda itu sudah kehilangan akal.
Ia sudah tidak tahu lagi apa saja yang mungkin dapat terjadi.
Sementara itu, Prastawa dengan ragu-ragu berdiri di sisi
pembaringan ibunya. Tampaknya ibunya tidur terlampau
nyenyak. Selama ini Nyai Argajaya memang tidak pernah dapat
tidur senyenyak itu. Namun agaknya kedatangan suaminya telah
membuat hatinya menjadi lebih tenteram, meskipun masih juga
di"bayangi oleh ketidak-tentuan. Karena itulah maka malam itu
ia dapat tidur dengan nyenyaknya.
Sekalsekali Prastawa menjulurkan tangannya untuk
membangunkannya, namun setiap kali tangannya itu ditariknya
kem"bali. Betapa pun juga perempuan yang tidur itu adalah
ibunya. Tetapi ketika teringat akan maksudnya memasuki rumah itu,
maka anak muda itu pun menggeretakkan giginya, seolah-olah
ia sedang mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam dirinya
untuk mengatasi getar perasaannya sebagai seorang anak.
Sejenak ia masih diam mematung. Namun sejenak kemudian
ia melangkah maju. Dengan tangan gemetar akhirnya ia
menyen"tuh kaki ibunya yang sedang tidur dengan nyenyaknya
itu. Sentuhan itu agaknya telah membagunkan ibunya. Dikedipkedipkannya
matanya yang buram. Seperti bermimpi ia melihat
anaknya berdiri tegak di hadapannya.
"Kau, kaukah itu?"
"Ya, Ibu." "O," dengan serta-merta ibunya bangkit, lalu katanya, "kali ini
kau tidak boleh pergi lagi, Prastawa. Ayahmu telah kem"bali.
Apakah kau sudah mengetahuinya."
"Sudah, Ibu." "Kau sudah menemuinya?"
Anak muda itu menggelengkan kepalanya.
"Ayahmu ada di ruang dalam," tiba-tiba ia mengerutkan
ke"ningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, "Dari mana kau
masuk?" "Dari lubang itu."
"Dan kau turun di bilik ibu?"
"Ya, Ibu." "Di bilik itu ada seorang gadis yang sedang tidur. Aku lupa
mengatakannya, bahwa di atas atap ada sebuah lubang yang
dapat ditutup dan dibuka. O, kalau ia tahu, ia pasti akan sangat
terkejut." "Gadis itu sudah tahu, Ibu."
"He, dan gadis itu tidak berteriak."
Anak muda itu mengerutkan keningnya, Tiba-tiba saja tim"bul
pertanyaan di dalam hatinya, "Ya, gadis itu tidak berteriak.
Tampaknya gadis itu seolah-olah justru menunggu kedatangan
ka"mi. Aneh." "Bagaimana dengan gadis itu" Apakah kau ?"." suara
ibunya terputus. "Maksud ibu, aku telah membunuhnya?"
Ibunya mengangguk lemah. "Tidak, Ibu. Gadis itu masih ada di dalam biliknya. Ia tidak
terkejut sama sekali melihat kehadiranku."
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam
sambil menatap wajah anaknya, seakan-akan ia tidak percaya
pada keterangannya. "Aku berkata sebenarnya, Ibu," seolah-olah anaknya itu pun
mengerti apa yang tersirat di dalam hatinya.
"Lalu apakah yang dilakukannya sekarang?"
"Ia masih ada di dalam bilik itu bersama seorang kawanku."
"He" Jadi kau datang tidak seorang diri?"
"Tidak. Aku datang bersama kawanku. Ia ada di dalam bi"lik
bersama gadis itu." "Lalu, lalu apakah yang mereka lakukan" Maksudku, apa"kah
Nenek Bongkok 2 Wiro Sableng 171 Malam Jahanam Di Mataram Jodoh Si Naga Langit 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama