Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 4


dilihatnya keragu-raguan memancar pula pada sorot matanya.
Tetapi anak yang gemuk itu tidak terlampau membingungkannya
seperti Sekar Mirah. "Untara dan Wuranta menunggumu," berkata anak muda Jati
Anom itu pula. Nama Wuranta telah menggetarkan dada Agung Sedayu.
Tetapi ia lebih terpengaruh oleh keadaan Sekar Mirah kini.
Ki Tanu Metir melihat kegelisahan di dalam dada Agung
Sedayu kemudian mencoba untuk menolongnya. Katanya,
"Marilah Ngger. Kita sudah dipersilahkan. Adalah lebih baik bagi
kita untuk menerimanya. Kita adalah tamu-tamu yang baik."
"Anak muda itu tidak mempersilahkan kita Kiai," bisik Sekar
Mirah, yang berdiri tepat di samping Ki Tanu Metir.
"Kenapa?" "Ia hanya mengatakan bahwa Untara mencari adiknya. Itu
saja. Adalah kebetulan sekali kalau kita berdiri di sini bersamasama
dengan Kakang Agung Sedayu. Adalah sekedar sopansantun
saja ia mempersilahkan kita pula."
"Tidak, Ngger. Tentu tidak. Angger Untara tahu pasti bahwa
kita berada di antara mereka. Kita bersama-sama dengan
Angger Agung Sedayu. Mungkin anak muda itu belum mengenal
kita. Yang dikenalnya baru nama Agung Sedayu."
Anak muda Jati Anom itu berdiri saja dengan mulut
ternganga. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
dipercakapkan oleh gadis dan orang tua tamu-tamu Agung
Sedayu itu. Satu-dua ia mendengar desis gadis itu, tetapi ia tidak
jelas mendengar seluruh kalimatnya.
Tanpa prasangka apa pun anak muda itu bertanya,
"Bagaimana, Kiai?"
"Oh," Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya yang berkerut"
merut, "Tidak apa-apa, Anakmas. Kita akan berterima kasih. Kita
akan segera pergi ke gandok Wetan."
"Terima kasih. Mereka akan bergembira melihat kalian."
"Marilah, marilah kita ke gandok Wetan," berkata Ki Tanu
Metir itu kemudian sambil melangkahkan kakinya.
"Silahkan, silahkan," berkata anak muda Jati Anom itu. Tetapi
agaknya ia akan pergi ke arah yang lain. Cepat Ki Tanu Metir
melangkah ke sampingnya sambil menggandengnya. Katanya,
"Bukankah Angger akan menunjukkan kepada kami, di manakah
letak gandok Wetan itu."
Anak muda Jati Anom itu tidak dapat berbuat lain daripada
mengayunkan kakinya ke gandok Wetan. Sementara itu Agung
Sedayu yang ragu-ragu, memandangi Sekar Mirah dan
Swandaru bergantganti. Perlahan-lahan ia berkata, "Marilah Adi
Swandaru, marilah Mirah."
Ternyata Swandaru dapat merasakan kegelisahan dan
kebingungan Agung Sedayu. Meskipun sebersit perasaan sesal
meloncat pula di dalam hatinya atas perlakuan terhadap mereka,
namun ia berkata pula kepada adiknya, "Marilah Mirah. Kita
harus menjadi tamu yang baik di kademangan ini. Supaya
hubungan antara kademangan ini dan kademangan kita kelak
akan bertambah baik."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dan Swandaru
mendesaknya lagi, "Penilaian orang-orang Jati Anom atas kita
adalah penilaian mereka terhadap Sangkal Putung."
"Karena itu kita harus mempunyai harga diri."
"Tetapi kita harus mencerminkan keramahan kademangan
kita." Sekar Mirah tidak dapat menolak lagi. Dengan langkah yang
berat ia berjalan di belakang Agung Sedayu, bersama-sama
dengan kakaknya. Beberapa langkah di hadapan mereka adalah
Ki Tanu Metir yang berjalan bersama anak muda Jati Anom yang
mempersilahkan mereka kemudian masuk ke gandok.
Anak-anak muda, Untara dan Wuranta yang berada di
gandok itu, ternyata sedang menikmati makanan yang
dihidangkan kepada mereka. Sekalsekali terdengar gelak
tertawa mereka. Agaknya mereka sedang benar-benar
bergembira. Mereka berkelakar dan bertanya tentang banyak
masalah kepada Untara dan Wuranta.
Dalam keadaan yang demikian, Wuranta dapat sejenak
melupakan perasaannya sendiri. Ia kini tengah berada di antara
kawan-kawannya bermain dan bekerja. Itulah sebabnya, maka ia
dapat berceritera dengan lancar. Bahkan kadang-kadang
menggelikan, sehingga kawan-kawannya menjadi tertawa
tergelak-gelak. Tetapi suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar
langkah ke pintu. Sejenak kemudian mereka melihat seorang
anak muda masuk sambil mempersilahkan tamu-tamu mereka.
"Siapa?" bertanya salah seorang yang sudah duduk di dalam.
"Agung Sedayu," jawab anak muda yang baru masuk itu.
"He," yang bertanya itu terkejut "Agung Sedayu" Marilah.
Marilah. Kita hampir lupa kepadamu. Sedayu, di sini kami
sedang mendengarkan cerita Wuranta tentang padepokan
Tambak Wedi." Agung Sedayu yang kemudian menjulurkan kepalanya
mengerutkan keningnya. Diedarkannya pandangan matanya
berkeliling, dilihatnya kawan-kkawannya tengah berkumpul di
gandok itu bersama kakaknya dan Wuranta.
Namun, tiba-tiba dadanya berdesir. Kini ia melihat Wuranta
dengan sudut pandangan yang berbeda. Persoalan antara
mereka berdua telah menjauhkan mereka. Seolah-olah masingmasing
menjadi segan dan malas untuk saling bertemu.
Meskipun ia telah mendengar dari Kiai Gringsing, betapa
Wuranta telah menyadari dirinya, tetapi masih juga terasa
sesuatu yang berdesir di dalam dadanya.
Agung Sedayu itu terperanjat ketika tiba-tiba seseoraug
menariknya masuk ke dalam sambil berkata, "Ha, inilah anak itu.
Kau telah menggemparkan Jati Anom, Sedayu. Kita mengenal
kau sejak anak-anak. Tiba-tiba kita melihat kau kini menjadi
seorang raksasa yang perkasa. Bukankah begitu?"
"Ah." "Cerita tentang kau telah tersebar. Aku tidak tahu, siapakah
sumber cerita itu. Kau kini benar-benar seorang laklaki
melampaui kami." Sebelum Agung Sedayu menyahut, terdengar orang berkata,
"Ya, kami telah mendengar tentang kau, Sedayu. Kalau begitu
maka sambutan kali ini kami tujukan kepadamu juga. Marilah,
kenapa baru sekarang kau datang kemari" Untunglah kami
masih mempunyai ingkung ayam yang masih utuh. Marilah."
Tetapi, Agung Sedayu tidak sendiri. Ketika Untara melihatnya,
maka dahinya pun berkerut. Baru saat itu ia ingat kepada
adiknya. "Kemana selama ini kau Sedayu?" bertanya Untara.
"Di halaman, Kakang," jawab Agung Sedayu seadanya.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
memperhatikan jawaban itu lagi. Tak ada tempat di dalam
hatinya untuk mengerti bahwa seseorang sedang merajuk.
"Masuklah," katanya kemudian, "di mana yang lain?"
"Inilah, Kakang."
Untara kemudian terpaksa berdiri dau melangkah ke pintu. Di
luar pintu dilihatnya Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah,
"Marilah, Kiai," katanya mempersilahkan, "marilah, Adi
Swandaru dan Sekar Mirah."
Ketiganya menganggukkan kepala mereka.
"Aku takut kehilangan kau, Ngger," berkata Ki Tanu Metir
sambil tersenyum. Sekali lagi Untara mengerutkan keningnya. Kini ia menjawab
dengan jujur. "Maaf. Aku lupa kepada kalian. Begitu aku masuk
ke halaman ini, maka aku telah diseret oleh anak-anak muda ini
ke gandok Wetan. Sekarang marilah. Kami masih menyediakan
makan untuk kalian."
Mereka pun kemudian masuk ke gandok itu. Mereka ikut
duduk di antara anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan
Wuranta. Sejenak kemudian, maka kembali anak-anak muda Jati Anom
itu ribut dengan berbagai pertanyaan. Kini pusat perhatian
mereka adalah Agung Sedayu. Mereka telah mendengar sedikit
tentang anak muda yang mereka kenal sebagai penakut itu, kini
tiba-tiba telah menggenggam keberanian yang mennakjubkan.
Namun terasa bahwa suasana di gandok itu menjadi semakin
kaku. Wuranta sudah tidak banyak lagi berbicara, dan Agung
Sedayu pun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
seperlunya. Sekalsekali ia tersenyum, namun kemudian ia pun
terdiam pula. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir telah berhasil
menengahi keadaan. Ia mencoba untuk mengisi kekosongan itu
dengan berbagai macam cerita, yang justru lucu-lucu sehingga
gelak tertawa mulai menggetarkan gandok itu pula.
Namun dalam suasana yang demikian itu, keringat dingin
mengalir di punggung Wuranta. Terasa ruangan itu terlampau
menyiksanya. Wajah Sekar Mirah itu serasa sebagai duri yang
menusuk-nusuk hatinya. Sejenak dikenangnya masa-masa ia
pertama sekali bertemu dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum
kepadanya dan Alap-alap Jalatunda, serta berkata-kata dengan
ramahnya. Kemudian pada saat ia menerima pesan Alap-alap
Jalatunda untuk disampaikan kepada gadis itu, maka senyum
gadis itu seakan-akan telah meremas jantungnya. Hampir tidak
masuk di akalnya, bahwa pada saat itu Sekar Mirah berkata
kepadanya tentang Alap-alap Jalatunda "Aku menunggunya."
"Ternyata gadis itu pun mampu berpura-pura," desisnya di
dalam hati. "Agaknya ia telah menyusun rencana sebaikbaiknya,
menjebak Alap-alap Jalatunda unluk melarikannya dari
padepokan itu, dan menjerumuskannya ke dalam Kademangan
Sangkal Putung. Tetapi betapapun juga gadis itu telah membuat
aku hampir kehilangan akal dan keseimbangan."
Tetapi ternyata wajah itu kini sama sekali tidak
membayangkan senyum. Bahkan wajah Sekar Mirah tampak
berkerut-merut. Agaknya ada sesuatu yang tidak menyenangkan
hatinya. "Apakah ia tidak senang melihat kehadiranku di sini,"
pertanyaan itu sekilas menyambar hati Wuranta. Tetapi ia tidak
mendapat jawabnya. Gandok itu sejenak kemudian menjadi sunyi. Anak-anak
muda Jati Anom, Untara, dan yang lain-lain lagi sedang
melanjutkan menyuapi mulut-mulut mereka. Sedang Agung
Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Kiai Gringsing
dipersilahkan pula oleh mereka untuk makan. Namun dengan
kehadiran beberapa orang tamu itu, mereka kini tidak lagi makan
sambil berkelakar. Hari itu terasa oleh Sekar Mirah menjadi terlampau panjang.
Ketika kemudian malam datang perlahan-lahan seolah-olah
turun dari ujung Gunung Merapi, maka Agung Sedayu mendapat
ijin dari kakaknya untuk membawa tamu-tamunya bermalam di
rumahnya. "Kita masih menunggu sehari dan semalam besok," gumam
Sekar Mirah "aku tidak sabar lagi. Harhari terakhir ini terasa
sangat menyiksa. Aku ingin segera pulang."
"Beberapa hari kita menunggu untuk malam besok, Ngger,"
sahut Ki Tanu Metir, "dan kini tinggal sehari dan semalam. Kita
sebaiknya menunggunya."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tampaklah wajahnya
menjadi semakin suram. Namun Ki Tanu Metir pun dapat
mengerti pula. Betapa perasaan rindu mengamuk di dalam dada
gadis itu kepada ibu dan ayahnya.
Betapa lambatnya, tetapi akhirnya malam itu terlampaui juga.
Malam yang mendatang, Jati Anom disegarkan dengan
berbagai macam kata-kata sanjungan terhadap mereka yang
dianggap telah berhasil menumpas lawan-lawan mereka yang
bersarang di Padepokan Tambak Wedi.
Ternyata malam itu benar-benar telah melepaskan segenap
ketegangan bagi para prajurit Pajang. Mereka tertawa gembira
dalam kelakar mereka dengan kawan-kawan mereka. Mereka
menjadi terpesona melihat gerak tari anak-anak gadis Jati Anom
meskipun tidak sebaik-baik penarpenari Pajang. Mereka
bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti anak-anak kecil.
Sejenak mereka melupakan keadaan diri mereka masingmasing.
Tetapi, malam yang riuh itu sama sekali tidak memikat hati
Sekar Mirah. Namun, ditahannya perasaannya itu di dalam hati.
Kali ini ia duduk menonton tidak bersama-sama kakaknya,
Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir, tetapi ia duduk bersamasama
dengan perempuan-perempuan kademangan. Isteri
pemimpin-pemimpin kademangan.
Lebih menjemukan lagi bagi Sekar Mirah, bahwa setiap kali ia
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh
perempuan-perempuan itu. Beraneka macam. Dari yang paling
mudah hingga yang paling sulit untuk dijawab.
Ketika pertunjukan itu hampir selesai di tengah malam, serta
mereka telah menyelesaikan pula acara makan bersama, maka
malam yang menyenangkan itu mendekati pada akhirnya.
Sementara itu, para penjaga di gardu-gardu masih tetap pada
tugas masing-masing meskipun mereka mengumpat-umpat.
Suara gamelan yang menggelitik telinga mereka, membuat
mereka ingin meloncat meninggalkan gardunya dan berlari ke
kademangan. Tetapi mereka diikat oleh kuwajiban.
Namun kejengkelan mereka terhibur ketika beberapa orang
gadis datang ke gardu-gardu itu sambil membawa ancak berisi
makanan. Dengan ramah gadis itu memberikan ancak-ancak itu
kepada para penjaga. "He, Nduk, apakah kalian pergi tanpa pengantar?"
"Apakah yang kami takutkan?" jawab gadis-gadis itu.
"Bagaimana kalau hantu-hantu lereng Merapi itu menyusup
ke dalam kademangan ini dan menyergap kalian di dalam
gelap." "Kami akan berteriak."
"Kalau mulut kalian disumbat?"
"Salah seorang dari kami pasti sempat berteriak. Dengan
demikian kalian akan berlarlari menolong kami."
"Tidak mau, aku dan kawan-kawanku tidak akan menolong
kalian." "Kenapa?" "Apa upahnya?" bertanya seorang prajurit muda.
"Apa saja yang kau ingini," jawab gadis yang gemuk.
"Oh," prajurit muda itu menarik nafas dalam-dalam, "aku tidak
ingin apa-apa, supaya aku tidak menjadi pingsan
memikirkannya." Kawan-kawannya tertawa. Meskipun ditahankannya, tetapi
gadis-gadis itu tertawa pula.
Akhirnya malam yaug gembira itu berakhir pula. Namun
malam itu sama sekali tidak berkesan apa-apa bagi Sekar Mirah,
sebab ia selalu dicengkam oleh kerinduannya kepada ayah dan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibu di Sangkal Putung. Bahkan malam itu terasa jauh lebih panjang dari malammalam
yang dirasanya sudah terlampau panjang.
Ketika semuanya sudah selesai, maka Sekar Mirah dengan
tergesa-gesa kembali ke rumah Agung Sedayu bersama dengan
Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu. Seolah-olah ia
ingin mempercepat agar malam ini pun lekas berakhir. Besok
jika fajar menyingsing, maka akan berangkat dari Kademangan
Jati Anom kembali pulang kepada ayah bunda di Sangkal
Putung. Demikianlah, ketika fajar telah mengembang, maka cepatcepat
Sekar Mirah pergi ke perigi. Tetapi Swandaru berkata
kepadanya, "Mirah, semalam suntuk kau tidak dapat
memejamkan mata. Bahkan malam-malam sebelum ini pun kau
selalu kurang tidur. Karena itu kau jangan mandi."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi ia pergi juga ke perigi untuk
mandi. Sementara itu Agung Sedayu telah pergi ke kademangan. Ia
ingin menyampaikan kepada kakaknya, bahwa nanti Ki Tanu
Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah akan datang untuk minta diri.
"Mereka akan pergi ke Sangkal Putung hari ini," berkata
Agung Sedayu. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja
terasa sesuatu tergetar di dadanya. Terasa bahwa pada saatsaat
terakhir Ki Tanu Metir banyak tidak menyetujui sikapnya
tentang berbagai hal. Sebenarnya Untara sama sekali tidak ingin
untuk menyakiti hati orang tua itu, atau setidak-tidaknya
membuatnya kurang senang.
Tetapi Untara pun tidak ingin melepaskan beberapa
pendiriannya. Bahkan masalah Agung Sedayu itu pun
sebenarnya tidak diterimanya sepenuh hati.
"Baiklah," berkata Untara itu kemudian "aku akan
menerimanya. Aku akan menyiapkan pengawalan bagi Sekar
Mirah." "Kami akan mengantarkan Sekar Mirah bertiga, Kakang."
"Aku tahu," sahut Untara, "aku tahu bahwa kau pun akan
pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu dan Ki Tanu Metir.
Tetapi aku tidak mau menanggung akibat yang pahit bagi kalian
dan Sekar Mirah. Aku tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi telah
meninggalkan derah ini, dan aku tidak yakin bahwa tidak ada
satu dua orang yang masih mengikutinya. Karena itu, maka aku
akan menyediakan sejumlah prajurit untuk mengikuti kalian
sampai ke Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi, sebelum ia
menjawab kakaknya sudah berkata pula, "Jangan terlampau
sombong. Aku tahu, bahwa prajurit-prajurit itu akan memperkecil
arti perjuanganmu membebaskan Sekar Mirah. Dengan
demikian kau tidak datang menyerahkan Sekar Mirah dengan
tanganmu sediri, tetapi seolah-olah kau telah mendapat bantuan
dari prajurit-prajurit itu, sehingga bukan kau seorang sajalah
pahlawan yang mengagumkan di mata Ki Demang Sangkal
Putung." Terasa dada Aguag Sedayu berdentangan. Ia menyadari
bahwa kakaknya kini benar-benar tidak dapat menerima
hubungan yang terjadi antara dirinya dengan Sekar Mirah.
Alasan-alasan yang semula hanya sekedar dikemukakan untuk
melerai keadaan yang kurang baik antara dirinya dan Wuranta,
ternyata kemudian telah diyakini kebenarannya oleh kakaknya.
Agaknya ia dapat menerima pendapat Ki Tanu Metir tidak
sebulat hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah.
Perlahan-lahan ia menjawab, "Baiklah, Kakang. Akan aku
minta pertimbangan Ki Tanu Metir."
"Kau beritahukan saja keputusan ini kepada Ki Tanu Metir."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Baik,
Kakang." Agung Sedayu pun kemudian kembali ke rumahnya untuk
menjemput Swandaru, Sekar Mirah dan Ki Tanu Metir. Ternyata
gadis itu hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
"Kenapa kita masih harus singgah di kademangan?" bertanya
Sekar Mirah. "Kita minta diri kepada Kakang Untara," jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi alisnya menjadi berkerut.
Hal itu bagi Sekar Mirah hanya akan membuang waktu saja.
"Kakang Untara akan menyediakan pengawalan," berkata
Agung Sedayu pula. Ki Tanu Metir berpaling kepadanya, "Apakah pengawalan itu
perlu sekali?" desisnya.
"Menurut Kakang Untara hal itu perlu dilakukan, karena
Kakang Untara masih mempertimbangkan kemungkinan, bahwa
ada orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang masih
berkeliaran dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah,
kita akan berterima kasih."
Mereka berempat pun kemudian pergi ke kademangan.
Mereka menemui Untara, Ki Demang Jati Anom, dan para
pemimpin prajurit Pajang dan kademangan itu yang lain.
Ki Tanu Metir pun kemudian minta diri kepada mereka, dan
dengan berat orang-orang di kademangan itu terpaksa
melepasnya. Mereka menyadari bahwa orang tua yang selalu
tersenyum-senyum itu adalah satu-satunya orang di antara
mereka yang hanya seorang diri dapat mengimbangi Ki Tambak
Wedi. Tetapi kesan kepergian Swandaru, Sekar Mirah, dan
Agung Sedayu hampir tidak menyentuh perasaan mereka. Hal
yang demikian adalah hal yang wajar dan tidak menumbuhkan
banyak persoalan di antara mereka.
Namun ada di antara mereka, orang-orang yang berada di
kademangan itu merasa hatinya seolah-olah terpecah belah.
Meskipun ia tidak mengucapkan sepatah katapun, namun
tampak pada bintbintik keringat di keningnya, bahwa ia sedang
menahan hati. Bahkan sebelum pertemuan itu selesai, sebelum
Ki Tanu Metir yang minta diri itu meninggalkan ruangan, maka
anak muda itu, Wuranta, telah berdiri dan melangkah ke luar
lewat tangga samping. Melihat kepergian Wuranta, Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Terasa sesuatu bergerak di dalam dadanya. Debar
jantungnya menjadi bertambah cepat.
Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Dicobanya untuk
menenteramkan hatinya. Meskipun demikian terasa keringatnya
menjadi semakin deras membasahi bajunya.
Ki Tanu Metir ternyata tertarik juga melihat sikap Wuranta.
Tetapi seperti Agung Sedayu, ia pun sama sekali tidak bertanya
tentang anak muda itu. Ketika Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah
selesai dengan kata-katanya, minta diri kepada setiap orang di
ruangan itu, dan kemudian Agung Sedayu dengan kata-kata
yang lambat tertahan dan bernada datar, maka mereka pun
meninggalkan ruangan itu, diantar oleh Untara sampai ke
halaman. Ternyata di halaman itu itu telah bersiap beberapa
orang prajurit untuk mengantar mereka yang akan kembali ke
Sangkal Putung. Sejenak kemudian maka rombongan itu pun berangkat
dengan ucapan selamat jalan dari Untara dan para pemimpin
yang lain. Meskipun Sekar Mirah tidak biasa berkuda, namun kali
ini ia memberanikan diri, naik seekor kuda yang paling jinak. Di
sampingnya kakaknya Swandaru menjaganya agar ia tidak
menjadi cemas apabila kudanya berjalan terlampau cepat.
"Dalam waktu yang dekat, aku pun akan pergi ke Sangkal
Putang," berkata Untara.
"Kami menunggu kalian, Ngger," sahut Ki Tanu Metir.
"Aku ingin bertemu dengan Paman Widura. Tetapi sebelum
itu, sampaikan salamku dalam jabatanku kepada Paman Widura.
Paman harus tetap berhathati menghadapi keadaan yang
tampaknya sudah menjadi bertambah baik. Dan sampaikan
baktiku sebagai kemanakannya kepada paman," berkata Untara
kepada Agung Sedayu. "Baik, Kakang," jawab Agung Sedayu.
"Jaga dirimu baik-baik," berkata Untara, "hari depanmu masih
sangat panjang. Kalau kau sia-siakan harharimu kini, maka kau
pasti akan menyesal di hari tuamu."
"Baik, Kakang," sahut Agung Sedayu pula.
"Aku akan selalu mengawasimu."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
Kepada Ki Tanu Metir Untara kemudian berkata, "Aku titipkan
adikku yang keras kepala itu, Kiai. Mudah-mudahan Kiai akan
dapat berhasil, membawanya ke jalan yang lurus nenjelang hari
depannya." "Mudah-mudahan, Ngger. Aku akan berusaha sebaikbaiknya."
Dan kepada Swandaru Untara berkata, "Sampaikan salamku
kepada Ki Demang Sangkal Putung. Pajang sangat berterima
kasih kepadanya. Sangkal Putung ternyata telah berjasa sekali
bagi keutuhan wilayah Pajang di daerah Selatan ini."
"Ya, Kakang. Akan aku sampaikan kepada ayah," jawab
Swandaru. Ketika pesan-pesan Untara sudah selesai, maka rombongan
itu pun bergerak meninggalkan halaman Kademangan Jati
Anom. Demikian mereka keluar dari halaman kademangan itu,
mereka merasakan betapa cerahnya sinar matahari. Apalagi
Sekar Mirah. Ia merasa bahwa ia benar-benar telah terlepas dari
suatu lingkungan yang mengerikan. Kini ia berada dalam
perjalanan kembali kepada ayah dan ibunya.
Ketika iring-iringan itu hampir sampai ke mulut lorong
kademangan, maka tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebarTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
debar. Di ujung lorong itu dilihatnya Wuranta berdiri tegak seperti
sebatang tonggak. Tanpa disengaja Agung Sedayu berpaling memandangi Ki
Tanu Metir yang justru dalam saat yang bersamaan, Ki Tanu
Metir pun sedang berpaling kepadanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sorot matanya
seolah-olah minta pertimbangan kepada gurunya, apa yang
harus dilakukannya. Tetapi ia tidak menangkap kesan apa pun
pada wajah orang tua. Ketika iring-iringan itu sampai beberapa langkah di hadapan
Wuranta, maka Ki Tanu Metir yang berkuda di paling depan,
memperlambat langkah kudanya. Dengan sebuah senyum ia
menganggukkan kepalanya, "Kau di sini Angger Wuranta?"
bertanya orang tua itu. "Ya, Kiai," sahut Wuranta dengan nada yang dalam, "aku
ingin bertemu dengan Adi Agung Sedayu."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi
wajah Agung Sedayu, anak muda itu sedang memandangnya
pula. Agung Sedayu melihat gurunya itu mengangguk kecil. Karena
itu maka didorongnya kudanya beberapa langkah maju
mendekati Wuranta. "Maaf, Kiai," berkata Wuranta, "aku hanya ingin bertemu
dengan Agung Sedayu."
Sekali lagi Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi
sekali lagi ia mengangguk kecil. Tetapi tampak jelas di wajahnya
pertanyaan yang membersit dari dadanya. Agung Sedayu
menangkap percikan isyarat, supaya ia berhathati.
"Baiklah," berkata orang tua itu kemudian, "kami akan berjalan
mendahului." Swandaru menjadi agak ragu-ragu karenanya. Maka katanya,
"Apakah aku akan menemani Kakang Agung Sedayu di sini,
Kiai." Kiai Gringsing menggeleng, "Tinggalkan ia sendiri."
Dengan bimbang akhirnya Swandaru pun berlalu. Namun ia
masih sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Wuranta
dan pernyataan terima kasih. Hampir-hampir Wuranta tidak
dapat menjawab ketika Sekar Mirah pun kemudian
mengucapkan pernyataan terima kasihnya pula kepadanya.
"Aku mengharap suatu ketika kau akan dapat berkunjung ke
Sangkal Putung, Kakang Wuranta," berkata Sekar Mirah yang
sudah menemukan kegembiraannya kembali setelah ia mulai
dengan perjalanan pulang itu.
"Ya, ya," Wuranta menjadi tergagap, "aku akan datang."
"Tetapi tidak dengan Alap-alap Jalatunda," sambung Sekar
Mirah tanpa prasangka apa pun.
Wajah Wuranta tiba-tiba menjadi merah. Tetapi hanya
sejenak. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba menguasai
perasaannya yang mudah sekali tersentuh.
Dipaksakannya bibirnya bergerak dan menjawab, "Mudahmudahan
aku tidak akan bertemu lagi dengan anak itu."
"Bagaimana kalau hantu jadjadiannya mendatangimu?"
Sekar Mirah mencoba bergurau.
Namun Wuranta tidak segera dapat menanggapinya. Bahkan
terasa dadanya menjadi semakin pedih. Betapa sulitnya, ia
menjawab, "Mudah-mudahan tidak."
"Nah," berkata Sekar Marah kemudian, "aku minta diri. Aku
berterima kasih sekali kepadamu, Kakang Wuranta. Maaf,
bahwa aku pernah menyangka kau benar-benar seorang
sahabat yang baik dari Alap-alap Jalatunda. Datanglah ke
Kademangan Sangkal Putung. Aku akan memperkenalkan kau
kepada ayah." Wuranta mengangguk kaku. Tetapi kening Agung Sedayu
menjadi berkerut. "Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat memenuhinya,"
sahut Wuranta sendat. Dalam pada itu, Kiai Gringsing seorang yang telah berusia
cukup untuk melihat gelagat wajah seseorang, segera berkata,
"Marilah. Mumpung masih pagi."
Iring-iringan itu kemudian bergerak pula, hanya Agung
Sedayu sajalah yang kemudian tinggal bersama Wuranta.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh, maka Agung
Sedayu pun segera meloncat turun. Meskipun ia tampaknya
bersikap wajar, namun ia berada dalam kesiagaan penuh. Ia
tidak akan dapat ditipu dengan gerak jasmaniah seandainya
Wuranta ingin berbuat sesuatu karena jarak ilmu mereka
terlampau jauh. Tetapi Agung Sedayu harus tetap berwaspada
seandainya Wuranta mempunyai cara-cara yang lain.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun tampak betapa
wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Baru sesaat kemudian, setelah menelan ludahnya beberapa
kali Wuranta baru berhasil berkata, "Agung Sedayu. Aku
menemuimu hanya untuk minta maaf. Mudah-mudahan kau
melupakannya." Masih banyak sekali kata-kata yang tersimpan di dalam
hatinya. Masih bertumpuk-tumpuk kalimat-kalimat yang ingin


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diucapkannya. Tetapi tiba-tiba mulut Wuranta seolah-olah
tersumbat terlampau rapat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak
namun tidak sepatah kata pun yang dapat dilontarkannya.
Dada Agung Sedayu berdesir. Kalimat itu terlampau pendek.
Tetapi langsung menyentuh perasaan anak muda itu. Meskipun
ia tidak mendengar kata-kata lebih banyak lagi yang diucapkan
oleh Wuranta, namun dari sorot matanya ia dapat membaca apa
saja yang tersirat di dalam hatinya.
Sejenak Agung Sedayupun menjadi terdiam. Ia tidak segera
menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Sehingga seperti
juga Wuranta, maka Agung Sedayu pun sulit untuk
mengucapkan kalimat-kalimat yang seakan-akan berdesakan di
dalam dadanya. Akhirnya, terpatah-patah ia menjawab, "Marilah kita lupakan,
Kakang." Hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Agung Sedayu.
Namun meskipun demikian, meskipun tidak banyak kalimatkalimat
yang mereka ucapkan, tetapi di dalam tekanan kata-kata
mereka seakan-akan telah tercurah seluruh perasaan mereka.
Kini sekali lagi mereka berdiri berhadapan sambil berdiam diri.
Terasa dada mereka menjadi tegang dan bahkan serasa penuh
dengan desakan-desakan yang ingin meloncat ke luar. Tetapi
tidak sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Hanya lewat sorot
mata mereka sajalah mereka dapat merasakan perasaan
masing-masing. Baru sejenak kemudian terloncat kata-kata dari mulut
Wuranta untuk melepaskan ketegangan di dadanya, "Selamat
jalan, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kita masing-masing
mendapat perlindungan dari Tuhan."
"Terima kasih, Kakang," suara Agung Sedayu terlampau
dalam. Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah ke kudanya.
Perlahan-lahan pula ia meloncat ke punggungnya.
Sekali lagi ia berkata, "Terima kasih, Kakang. Aku akan
meneruskan perjalanan."
Wuranta tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk
perlahan-lahan. Sejenak kemudian kuda Agung Sedayu itu pun bergerak
perlahan-lahan. Tetapi semakin lama semakin cepat. Kemudian
dengan sebuah sentuhan pada perut kuda itu, maka kuda itu pun
meloncat dengan cepatnya menyusul iring-iringan yang sudah
agak jauh di hadapan mereka. Tetapi bagi Agung Sedayu, bukan
iring-iringan itulah yang telah memaksanya untuk berpacu. Ia
ingin secepatnya menjauhi Jati Anom. Tempat ia dilahirkan,
tetapi yang memberinya persoalan yang cukup berat dalam
usianya yang masih terlampau muda.
Wuranta memandangi kuda itu berlari semakin kencang.
Matanya hampir tidak berkedip meskipun terasa pedih karena
debu yang putih yang dilemparkan dari kakkaki kuda Agung
Sedayu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
terdengar ia bergumam lirih, "Anak itu luar biasa. Meskipun ia
seorang penakut di masa kanak-anak, tetapi ia kini menjadi
seorang laklaki yang perkasa. Hampir aku merusak harapan
bagi masa depannya karena kebodohanku."
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi terasa
dadanya berdesir. Ia belum dapat melupakan wajah Sekar Mirah
yang segar. Apalagi senyumnya yang seolah-olah langsung
menyentuh hati. Tetapi kini ia sudah dapat mengimbangi
perasaannya itu dengan nalarnya.
Sementara itu iring-iringan itu berjalan dengan kecepatan
sedang meluncur mendekati Sangka Putung. Sekalsekali Ki
Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah berpaling, untuk melihat
apakah Agung Sedayu sudah menyusul mereka.
Ternyata ada kekhawatiran juga di hati mereka tentang
Agung Sedayu. Terutama Ki Tanu Metir. Orang tua itu tidak
mencemaskan nasib Agung Sedayu sendiri, tetapi justru apabila
Agung Sedayu terdorong oleh perasaannya, berbuat hal-hal
yang tidak menguntungkannya.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat debu yang putih
mengepul ke atas di belakang mereka. Seekor kuda berlari
kencang menyusul iring-iringan itu. Di atas punggung kuda itu
adalah Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu menjadi semakin dekat, dan kemudian
telah berada di antara mereka, maka dengan serta-merta
Swandaru bertanya, "Apakah yang dikatakannya, Kakang?"
Agung Sedayu menjadi bingung. Sesaat ia tidak dapat
menjawab pertanyaan itu. Bahkan seperti seorang anak-anak
yang ingin mendapat pertolongan dipandanginya gurunya.
"Apakah Angger Wuranta mengucapkan selamat jalan
kepada Anakmas?" bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
"Ya, Kiai," sahut Agung Sedayu asal saja menjawab.
"Ya, aku sudah menyangka," berkata Ki Tanu Metir, "ia pasti
merasa kehilangan seorang kawan yang dapat mengerti tentang
dirinya. Kita dianggapnya sebagai kawan-kawan yang berbuat
sejak permulaan bersamanya."
"Tetapi sikapnya mengherankan. Aku melihat sesuatu yang
tidak wajar padanya," berkata Sekar Mirah.
"Anak itu seorang pemalu," jawab Ki Tanu Metir.
"Tidak. Ia bukan seorang pemalu," jawab Sekar Mirah.
Mendengar jawaban itu Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. "Darimana kau tahu Mirah?" Agung Sedayu bertanya.
Dan Sekar Mirah menjawab, "Di Padepokan Tambak Wedi ia
bersikap bukan sebagai seorang pemalu. Wuranta-lah yang
pertama-tama menegurku sebelum Alap-alap Jalalunda,
meskipun ia orang baru di padepokan itu. Ia menjadi
penghubung yang baik antara aku dan Alap-alap Jalatunda yang
hampir saja menerkam aku apabila Sidanti tidak segera datang."
Mereka yang mendengar kata-kata Sekar Mirah itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka telah
mendengar pula dari Wuranta. Dan soal itu pulalah yang telah
membakar padepokan Tambak Wedi menjadi karang abang.
Bentrokan antara orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang
tidak dapat dihindarkan lagi.
Sejenak kemudian mereka menjadi saling berdiam diri.
Mereka terbenam di dalam angan-angan masing-masing. Sekalisekali
Sekar Mirah mengerutkan lehernya apabila diingatnya apa
yang telah terjadi di padepokan Tambak Wedi.
Seandainya, ya seandainya Alap-alap Jalatunda tidak dapat
dicegah lagi, maka ia kini tidak lagi dapat berkuda bersamasama
dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Mungkin ia telah
membunuh dirinya dan tubuhnya telah hancur menjadi debu.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu menundukkan kepalanya.
Kebesaran Yang Maha Kasih telah menyelamatkannya dengan
cara yang hampir tidak dapat dimengertinya.
Tetapi dalam pada itu terbersit pula pikiran di kepalanya,
"Seandainya aku tidak selemah ini."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia bertanya pula di
dalam hatinya, "Apakah aku hanya dapat menjadi tanggungan
orang lain sepanjang hidupku?"
**** Gadis itu kemudian membayangkan tentang dirinya sendiri.
Seandainya ia mampu berbuat sesuatu. Seandainya ia tidak
hanya seorang gadis yang lemah dan tidak dapat berbuat apa
pun. Terbayanglah di dalam ingatannya cerita-cerita tentang masamasa
lampau. Dongeng-dongeng yang pernah didengarnya
tentang beberapa orang puteri. Di dalam ceritera wayang yang
terkenal, pernah juga didengarnya tentang seorang Srikandi dan
Larasati. Keduanya adalah puterputeri prajurit yang pilih
tanding. Bahkan di dalam perang besar Baratayuda, Srikandi
pernah menjadi senapati perang dan dalam masa jabatannya
itulah Senapati Besar Astina yang dikagumi terbunuh. Bisma.
Meskipun kematiannya itu ditangisi oleh kedua pihak yang
berperang. Kurawa dan Pendawa.
"Apakah pada jaman ini tidak mungkin seorang wanita
memegang busur dan anak panah seperti Srikandi?" pertanyaan
itu menggetarkan hatinya.
"Tentu mungkin," pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "dan aku
akan berusaha untuk dapat menjadi seorang wanita yang
demikian. Aku harus dapat menjaga diriku sendiri. Kalau suatu
ketika Sidanti kembali ke Sangkal Putung, aku tidak akan
menjadi barang rebutan antara Sidanti dan orang-orang Sangkal
Putung, Kakang Swandaru dan mungkin Kakang Agung
Sedayu." Sekar Mirah itu menengadahkan kepalanya, seolah-olah ia
sudah mendapat keputusan untuk memulai dengan langkahnya.
Menjadi seorang gadis yang mampu menjaga diri sendiri.
"Tetapi kepada siapa aku harus berguru supaya aku
mendapat tuntunan olah kanuragan?" pertanyaan itu mengusik
hatinya. Tanpa disengaja ia memandangi Ki Tanu Metir yang berkuda
beberapa langkah di mukanya. Dipandanginya punggung orang
tua itu yang berselimutkan kain gringsing. Kain ciri yang selalu
dipakainya meskipun sudah mulai tampak keputih-putihanan.
Tiba-tiba Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. "Orang tua
itu sedang sibuk dengan Kakang Swandaru dan Kakang Agung
Sedayu. Aku tidak yakin kalau ia mau menerimaku pula di dalam
lingkungannya. Aku sama sekali belum mengenal ilmu apa pun
dalam olah kanuragan. Aku harus mulai dari permulaan. Lalu
ditambahkannya keterangan di dalam hatinya itu "tetapi
seandainya ayah dan ibu mengijinkannya"."
Dan dicobanya untuk meyakinkan Dirinya, "Ayah dan ibu pasti
tidak akan berkebetatan. Setiap saat aku terancam bahaya,
karena aku kira Sidanti tidak akan berhenti sekian. Mungkin ia
akan kembali di saat-saat orang Sangkal Putung sudah hampir
melupakannya. Seandainya aku tidak mampu menjaga diriku,
maka akan terulanglah peristiwa itu. Dan Sidanti tentu tidak akan
sesabar beberapa saat yang lampau."
Sementara itu matahari di langit merayap semakin lama
semakin tinggi. Sinarnya yang cerah telah mulai menggatalkan
kulit. Angin yang berhembus dari Selatan menghalau debu-debu
yang dihamburkan oleh kakkaki kuda yang berjalan dalam iringiringan
itu. Beberapa prajurit yang ikut serta di dalamnya hampir
tidak mengucapkan kata-kata sama sekali. Satu dua di antara
mereka bercakap-cakap, tetapi kemudian terdiam. Memang tidak
banyak yang mereka perbincangkan.
Ketika mereka melampaui sebuah tikungan yang tajam di
antara gerumbul-gerumbul yang liar terdengar Agung Sedayu
berdesis, "Bukankah menerobos jalan kecil ini kita akan sampai
ke Dukuh Pakuwon Kiai?"
Ki Tanu Metir tersenyum. Dipandanginya jalan simpang yang
sempit itu. Katanya, "Sebenarnya aku telah merindukan rumahku
yang hampir roboh itu. Tetapi aku agaknya masih belum sempat.
Lain kali, aku akan menengok, apakah pohon kates yang aku
tanam sudah mulai berbuah."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kenangannya mulai menjelajahi kembali masa-masa yang
pernah dilampauinya. Ia hampir pingsan ketakutan ketika ia
bertemu dengan Alap-alap Jalatunda di daerah ini. Apalagi
ketika kemudian kakaknya menyuruhnya berangkat sendiri ke
Sangkal Putung untuk menemui pamannya. Seandainya
kakaknya tidak mengancam untuk membunuhnya, maka ia pun
pasti tidak akan berani berangkat.
Agung Sedayu itu tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir
bertanya, "Kita akan menempuh jalan yang mana, Ngger"
Apakah kita akan lewat Kali Asat dan melalui tikungan Randu
Alas" Barangkali Angger masih ingin bertemu dengan sahabat
Angger di sana, Gendruwo bermata Satu?"
"Ah," Agung Sedayu berdesah.
Swandaru yang tidak tahu maksud Kiai Gringsing tiba-tiba
menyahut, "Terlampau jauh, Kiai. Kita tidak akan melalui Kali
Asat." Perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat
dengan Sangkal Putung. Jarak, antara kedua kademangan itu
memang tidak terlampau jauh. Tetapi kekalutan yang timbul di
daerah itu, orang-orang Jipang yang berkeliaran, apalagi
kimudian setelah Tohpati mengambil tempat di hutan-hutan yang
tidak terlampau lebat di sebelah Barat Sangkal Putung, maka
kedua kademangan itu seakan-akan telah dipisahkan oleh
lautan. Perjalanan dari kademangan yang satu ke kademangan
yang lain terasa terlampau menakutkan. Padukuhan-padukuhan
kecil yang berada di antara kedua kademangan itu pun menjadi
semakin kecil. Bahkan penduduknya kadang-kadang merasa
tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga pada saatsaat
itu mereka tidak akan dapat menolak apabila orang-orang
Jipang, seperti Alap-alap Jalatunda, Pande Besi Sendang Gabus
yang terbunuh oleh Untara, Plasa Ireng yang kemudian dibunuh
oleh Sidanti, dan Sanakeling yang sudah terbunuh pula beserta
anak buah mereka, datang untuk mengambil persediaan
makanan mereka yang memang sudah terlampau tipis. Orangorang
Jipang itu mengambil apa saja yang dapat mereka ambil,
sebelum mereka berhasil merebut pusat lumbung makanan dan
kekayaan di daerah Selatan, Sangkal Putung.
Tetapi, dalam keadaan kini maka jarak antara kedua
kademangan itu terasa terlampau dekat. Belum lagi matahari
melampaui puncak langit, maka mereka sudah menjadi semakin
dekat dengan Sangkal Putung.
Sekar Mirah hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu jarak
yang sudah kian pendek itu. Seandainya ia mampu ia pasti akan
meloncat langsung ke halaman rumahnya berlari mendapatkan
ayahnya dan memeluk ibunya.
Tetapi ia masih harus tetap berada di punggung kudanya.
Beberapa saat kemudian mereka telah masuk ke daerah
Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah berada di tengahtengah
bulak persawahan. Bulak yang beberapa saat yang
lampau jarang-jarang sekali disentuh tangan karena keadaan,
tetapi kini sawah-sawah itu telah mulai tampak dibasahi oleh air.
Sebentar lagi sawah-sawah itu pasti akan menjadi hijau kembali,
apabila orang-orang Sangkal Putung telah yakin, bahwa tidak
akan ada gangguan lagi yang bakal datang ke kademangan
mereka. Agaknya beberapa orang telah mulai memperbaiki paritparit
dan mengalirkan air ke sawah-sawah yang selama ini tidak
sempat ditanaminya. Semakin dekat dengan induk kademangan, maka sawahsawah
telah menjadi hijau. Sawah-sawah itu masih tetap selalu
digarap meskipun dalam keadaan yang kalut, karena sawahsawah
itu terletak tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
Melihat induk kademangan yang terbentang di hadapannya,
dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Beberapa lama ia
tidak melihat wajah kampung halamannya, terasa seakan-akan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah bertahun-tahun. Apalagi apabila diingatnya, bahwa hampir
saja ia terjerumus ke dalam jurang yang terlampau dalam. Dan
ia yakin bahwa ia pasti tidak akan bangkit kembali."
Kademangan Sangkal Putung yang terbentang itu, seolaholah
seperti seorang raksasa yang baru berbaring diam.
Warnanya yang hijau segar langsung terasa menyentuh hati.
Ketika Sekar Mirah melihat ujung daun nyiur yang bargerakgerak
disentuh angin, seolah-o1ah melambai menyambut
kedatangannya, terasa kerongkongannya menjadi pepat. Ada
sesuatu ingin meledak di dadanya. Mata gadis itu pun kemudian
menjadi pedih. Bukan oleh debu yang menyentuhnya, tetapi
kenangan yang ngeri dan harapan bagi masa mendatang,
bercampur baur di dalam hatinya
Ki Tanu Metir yang berkuda di depan bersama Agung Sedayu
pun merasakan, seolah-olah kademangan itu benar-benar telah
siap menyambut kedatangan mereka
Tetapi dahi orang tua itu pun kemudian berkerut ketika
dilihatnya debu mengepul di kejauhan.
Ternyata tidak hanya Ki Tanu Metir sajalah yang tertarik
melihat debu yang keputih-purihan itu. Agung Sedayu,
Swandaru, dan prajurit pun memperhatikannya dengan penuh
perhatian. "Orang-orang berkuda, Kiai," desis Agung Sedayu. Ki Tanu
Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku kira
mereka adalah para peronda dari Sangkal Putung."
"Tetapi agaknya tidak hanya dua tiga orang. Mereka kira-kira
terdiri dari lima enam orang, Kiai?"
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Beberapa saat
kemudian orang-orang berkuda itu menjadi semakin jelas. Ketika
mereka muncul dari balik tanaman yang rimbun, tampaklah
bahwa mereka berjumlah lima orang.
"Mereka memang peronda dari Sangkal Putung," berkata Ki
Tanu Metir kemudian. "Mungkin," sahut Agung Sedayu. Tetapi matanya hampir tidak
berkedip melekat pada bintik-bintik yang berpacu menyongsong
mereka. Sejenak kemudian mereka melihat kelima orang itu berhenti
sejenak. Kemudian tiga di antara mereka meneruskan
perjalanan kearah Ki Tanu Metir dan iring-iringanya.
"Kenapa sebagian dari mereka berhenti Kiai?" bertanya
Agung Sedayu. "Suatu sikap hathati. Ketiga orang itu harus melihat siapa
yang datang. Kalau yang datang ini berbahaya bagi mereka,
maka kedua orang yang berhenti itu sempat memberikan
laporan atau tanda-tanda sandi kepada induk pasukannya,
sementara yang lain sedang menghadapi bahaya itu"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali
lagi ia bertanya, "Apakah mereka mencurigai kita" Maksudku,
mereka mencurigai iring-iringan yang belum mereka ketahui ini?"
"Mungkin." "Kalau demikian maka ada sesuatu yang penting terjadi di
sini," berkata Agung Sedayu.
"Sangkal Putung belum mendengar secara pasti bahwa
Tambak Wedi sudah jatuh."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
karena Jati Anom dan Sangkal Putung sebenarnya tidak
terlampau jauh, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Widura
telah mendengar berita tentang Tambak Wedi.
"Apakah Kakang Untara tidak segera mengirimkan utusan ke
Sangkal Putung untuk memberitahukan keadaan Tambak
Wedi?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku kira belum. Kita adalah utusan-utusan itu. Dan kitalah
yang akan memberitahukan kepada pamanmu Widura, bahwa
Tambak Wedi telah jatuh. Seandainya Angger Untara
mengirimkan utusan, maka angger Untara pasti tidak yakin
bahwa utusannya akan segera sampai. Apabila mereka bertemu
dengan Ki Tambak Wedi, maka utusan itu pasti akan menjadi
korban. Mungkin Angger Untara mempunyai perhitungan lain
pula, supaya Sangkal Putung tetap berada dalam kewaspadaan
dan tidak menjadi lengah. Sebab masih banyak sekali
kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin masih ada satu dua
orang Sanakeling yang terlepas dari kehancuran justru karena
mereka berkeliaran di daerah ini pada saat Tambak Wedi jatuh.
Atau mungkin hal-hal lain menurut pertimbangan Angger
Untara." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
memandang lurus-lurus ke depan kepada tiga orang prajurit
yang sudah menjadi semakin dekat.
Demikian para prajurit itu mengenali Ki Tanu Metir, Agung
Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, serta prajurit-prajurit
Pajang yang mengantarkan mereka, maka terdengar salah
seorang dari mereka berteriak gembira, "He, kaukah itu, Kiai?"
"Ya, iniah aku," sahut Ki Tanu Metir.
"Dengan Adi Sekar Mirah?"
"Ya," jawab Ki Tanu Metir pula.
"Syukurlah. Ibunya selalu menangis."
Mendengar kata-kata prajurit itu, Sekar Mirah yang berkuda di
samping kakaknya tiba-tiba memotong, "Apakah ibuku selalu
menangis saja?" Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
"Ya, tetapi setiap orang di Sangkal Putung yakin, bahwa kau
akan dapat dibebaskan."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin ingin
cepat-cepat sampai. Tetapi ia tidak cukup pandai untuk berpacu.
Karena itu maka ia menjadi gelisah. Serasa ingin ia meloncati
jarak yang sudah menjadi semakin pendek.
Yang bertanya kemudian adalah Ki Tanu Metir, "Kalian
agaknya terlampau hathati menghadapi keadaan. Kalian
tinggalkan kedua kawan kalian. Bukankah dengan demikian
kalian memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
berbahaya." Salah seorang dari ketiga prajurit itu mengangguk, "Ya. Kami
memang sedang gelisah."
"Kenapa?" Prajurit itu tidak segera menjawab. Mereka bertiga
menganggukkan kepala mereka kepada prajurit-prajurit Pajang
yang datang dari Jati Anom.
Perwira yang memimpin rombongan kecil itu pun maju
mendekati prajurit Sangkal Putung itu sambil bertanya, "Apakah
yang telah menggelisahkan kalian di SangKal Putung?"
Prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi
kemudian berkata, "Marilah. Kami antar kalian untuk menemui Ki
Widura." "Kami akan menemuinya," sahut perwira itu, "tetapi apa yang
menggelisahkan itu?"
Prajurit itu berpaling kepada kawan-kawannya. Tetapi kawankawannya
tidak dapat memberikan kesan apa pun kepadanya.
"Berkatalah," perintah perwira itu.
"Baiklah," sahut prajurit yang datang dari Sangkal Putung.
"Kami telah kehilangan beberapa orang peronda."
"He," perwira itu terkejut. Ki Tanu Metir pun mengerutkan
keningnya, sedang wajah Agung Sedayu dan Swandaru menjadi
tegang karenanya. Para prajurit yang datang dari Jati Anom pun pegera
mengerumuni ketiga orang prajurit itu sambil bertany-tanya di
dalam hati, apakah yang sudah terjadi di Sangkal Putung.
Dalam pada itu salah seorang prajurit yang datang dari
Sangkal Putung itu berkata, "Marilah, aku ceriterakan sambil
berjalan ke Sangkal Putung. Kedua kawan-kawanku yang
menunggu itu supaya tidak menjadi salah paham, dan dengan
serta-merta meluncurkan panah sendaren."
Perwira Pajang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Baiklah, marilah kita teruskan perjalanan ini." Kepada
Ki Tanu Metir ia berkata pula, "Marilah, Kiai."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil
menyahut, "Marilah."
Iring-iringan itu kemudian meneruskan perjalanan mereka ke
Sangkal Putung bersama ketiga prajurit Pajang yang sedang
meronda itu. Perwira yang datang dari Jati Anom itu kemudian bertanya,
"Kesiap-siagaan kalian ternyata cukup tinggi, sehingga kedua
kawan-kawanmu itu perlu mempergunakan panah sendaren."
"Ya, bahaya yang mengancam kami pun cukup berat."
"Katakan, apa yang telah terjadi."
Prajurit-prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Sejak empat lima
hari ini kami menjadi gelisah. Beberapa orang peronda kami
hilang di luar induk kademangan."
"Bagaimana mereka dapat hilang?"
"Itu yang tidak dapat kami ketahui. Beberapa dari mereka
dapat kami ketemukan mayatnya. Tetapi ada juga yang belum."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling
memandangi wajah Ki Tanu Metir yang kini berkuda di
belakangnya. "Bagaimana pendapat, Kiai?" bertanya perwira itu. "Apakah ini
ada hubungannya dengan jatuhnya Tambak Wedi dan
lenyapnya para pemimpinnya?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak dapat disangsikan lagi, Ngger."
"Memang Kakang Widura masih belum tahu tentang peristiwa
di Tambak Wedi," gumam perwira itu. Lalu kepada Ki Tanu Metir
ia berkata pula, "Kiai, selain mengantarkan Kiai dan anak-anak
muda ini, aku pun mendapat tugas khusus dari Kakang Untara."
"Tugas apa itu, Ngger?"
"Menyampaikan pesan Kakang Untara tentang Tambak
Wedi." "Aku memang sudah menyangka, tetapi aku tidak bertanya
kepadamu. Apabila nanti Angger Widura telah mendengar
laporanmu, maka ia pasti akan mampu memperhitungkan
keadaan. Kita pun telah dapat menduga, siapa yang melakukan
hal itu." Tiba-tiba Swandaru memotong, "Tambak Wedi. Pasti Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya."
Hampir semua orang berpaling kepadanya. Dan hampir
semua orang menganggukkan kepalanya. Hanya para prajurt
dari Sangkal Putung sajalah yang saling berpandangan. Mereka
tidak tahu alasan dari dugaan Swandaru yang tampaknya
disetujui oleh semua orang dalam iring-iringan itu.
"Kenapa Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya?" bertanya
salah seorang prajurit itu.
"Tak ada orang lain. Hal ini pula yang harus aku sampaikan
kepada Ki Widura nanti," sahut perwira itu. Lalu ia bertanya pula,
"Berapa orang yang telah hilang dan terbunuh?"
"Delapan orang," sahut salah seorang dari mereka.
"Delapan orang?" perwira itu mengulangi hampir bersamaan
dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Berkata perwira itu lebih
lanjut, "Sudah terlampau banyak. Jumlah itu harus dihentikan."
"Itulah sebabnya kami kini meronda dengan cara ini supaya
korban tidak bertambah-tambah."
"Lima orang prajurit tidak akan dapat melawan Ki Tambak
Wedi bertiga," berkata perwira yang datang dari Jati Anom itu.
"Itulah sebabnya kami harus memberitahukan kepada
pasukan peronda induk di mulut kademangan itu, dengan panah
sendaren. Peronda berkuda pasti akan segera datang."
"Berapa orang?" bertanya perwira itu.
"Sepuluh orang. Kalau perlu dapat ditambah lagi."
"Sepuluh orang itu pun hanya akan menambah jumlah
kematian. Duapuluh lima orang, barulah memadai buat ketiga
iblis yang sedang putus asa itu," geram perwira itu pula.
Prajurit-prajurit dari Sangkal Putung itu tidak menyahut.
Mereka masih belum tahu pasti apa yang sudah terjadi.
Sementara itu kedua kawannya yang menunggu di kejauhan
menjadi termangu-mangu. Ketika mereka melihat ketiga
kawannya dikerumuni oleh orang-orang yang ditemui, maka hati
mereka menjadi bedebar-debar. Mereka telah menyiapkan
busur-busur mereka untuk setiap saat dapat melepaskan panahpanah
sendaren sebelum mereka datang membantu ketiga
kawan-kawannya itu. Tetapi kemudian mereka melihat iring-iringan itu meneruskan
perjalanan dan tidak ada sesuatu yang terjadi. Meskipun
demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Busur mereka masih
tetap berada di tangan, bahkan kemudian anak panah sendaren
mereka telah mereka pasang pula, siap untuk meluncur di udara.
Baru ketika mereka dapat melihat dengan jelas, siapa yang
datang bersama dengan ketiga kawan-kawannya itulah, maka
mereka menjadi berlega hati. Hampir bersamaan mereka
menarik nafas dalam-dalam untuk melepaskan ketegangan yang
baru saja mencengkam mereka.
"Ki Tanu Metir," desis yang seorang.
"Ya," sahut yang lain. "Bukankah gadis itu Sekar Mirah?"
Prajurit yang lain mengerutkan dahinya, "Ya, itulah Sekar
Mirah yang hilang itu. Tetapi justru ia menjadi bertambah cantik."
Kawannya mengerutkan dahinya, tetapi ia tidak segera
menyahut. Diamatinya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan
dilihatnya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan dilihatnya
pula kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang
prajurit Pajang di bawah pimpinan seorang perwiranya.
"Hem, mereka cukup hathati," desis salah seorang dari
kedua prajurit itu. "Agaknya mereka mengetahui keadaan di sini
sehingga iring-iringan itu cukup kuat apabila mereka
menghadapi bahaya di sepanjang perjalanan."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang
dikatakannya, "Memang gadis itu agak kurus meskipun hanya
beberapa hari saja ia meninggalkan rumahnya."
"Hus," desis yang lain, "apakah kau sudah bersedia
berperang tanding dengan Sidanti" Bukankah gadis itu hilang
diambil Sidanti?" "Kenapa aku harus perang tanding?"
"Bukankah Sidanti menginginkan Sekar Mirah itu pula."
"Biar sajalah Sidanti menginginkannya. Tetapi aku tidak."
"Kenapa kau selalu memujinya?"
"Aku hanya memuji. Aku senang melihat sesuatu yang baik,
yang cantik, yang tampan. Apakah kau tidak?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya, aku
juga tertarik kepada semua yang baik."
"Nah, bukankah kalau kau melihat sesuatu yang indah kau
akan memujinya" Melihat Gunung Merapi yang biru kemerahmerahan
di ujungnya itu, atau melihat air terjun yang tinggi, atau
melihat padi yang menguning menggelombang dibuai angin
yang silir, atau taman bunga yang sedang berkembang, atau


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?".." "Cukup. Contoh yang kau ucapkan sudah terlampau
panjang." "Belum. Masih kurang satu, seorang gadis yang secantik
Sekar Mirah?" "Ya." "Apakah kau lebih senang melihat titah yang gemuk bulat dan
selalu memberengut itu?"
"Tentu tidak." "Nah, itulah sebabnya aku memujinya. Gadis itu memang
cantik." "Kau memang cukup cakap."
"Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik."
Prajurit yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi
kemudian ia pun tersenyum. Ia sebenarnya masih ingin
berbicara banyak, tetapi iring-iringan itu sudah terlampau dekat.
Karena itu mereka pun menepi untuk memberi kesempatan
mereka lewat. Ketika iring-iringan itu berjalan di depan kedua prajurit itu,
mereka pun menganggukkan kepala mereka, memberi hormat
kepada mereka yang lewat, terutama kepada perwira prajurit
Pajang yang ada di dalam iring-iringan itu pula.
Ketika iring-iringan in. sudah melampaui mereka, maka
mereka pun menempatkan diri mereka di ujung belakang.
Sejenak mereka terdiam diri, tetapi yang seorang segera mulai
berbicara lagi. Katanya, "Nah, apakah kau masih juga tidak
percaya bahwa gadis itu memang cantik. Lihatlah punggungnya,
lehernya, rambutnya yang meskipun agak kusut."
Kawannya berpaling. Alisnya tampak berkerut. Katanya
sambil mengangkat panah sendarennya, "Lihat, mulutmu
ternyata tidak berbeda dengan sendaren ini. Kalau sudah mulai
mengiang, maka ia tidak akan berhenti sebelum jatuh di tanah."
Sekali lagi prajurit yang satu itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia pun tersenyum pula.
"Ah," katanya, "sebaiknya panah dan busur-busur ini
disingkirkan saja. Bukankah sudah pasti tidak akan terpakai
lagi." "Apakah akan kau buang saja."
Yang lain menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menyahut. Meskipun demikian, mulut lorong Kademangan Sangkal
Putung sudah menjadi semakin jelas, seperti mulut goa yang
selalu menganga. Namun dengan demikian hati Sekar Mirah
menjadi semakin berdebar-debar. Terasa seolah-olah kudanya
berjalan semakin lambat. Tetapi ia tidak berani mempercepat,
karena ia belum terlampau biasa berkuda.
Kini iring-iringan itu pun akhimya memasuki mulut lorong itu
pula. Satu-satu berurutan seperti ditelan oleh mulut seekor ular
raksasa. Sejenak kemudian maka mereka itu pun telah hilang ke
dalam induk Kademangan Sangkal Putung.
Sekar Mirah yang gelisah menjadi hampir tidak sabar
menunggu kudanya memasuki halaman rumahnya. Setiap kali ia
lihat orang-orang berlarlarian ke luar dari rumahnya sambil
menyebut namanya. Gadis-gadis kawannya bermain berteriakteriak
memanggil namanya, sedang anak-anak muda saling
berbisik di antara mereka, "Itu Sekar Mirah. Ternyata adik Untara
telah berhasil membebaskannya."
Sekar Mirah sendiri hampir tidak dapat menahan perasaan
harunya. Tetapi ia tidak mau berhenti di antara kawan-kawan
gadisnya. Ia ingin segera pulang. Ia ingin segera menyatakan diri
kepada ibunya, bahwa ia masih Sekar Mirah yang dulu. Sekar
Mirah seperti saat meninggalkan Sangkal Putung.
Kabar tentang Sekar Miiah itu segera sampai ke kademangan
mendahului Sekar Mirah sendiri. Beberapa orang berlarlarian
meloncat pagar-pagar batu menyampaikan kabar kedatangan
Sekar itu kepada ayah ibunya.
Sesaat kademangan itu dicengkam oleh perasaan haru dan
tegang. Widura yang berada di kademangan itu menjadi
berdebar-debar pula. Namun tiba-tiba mereka terpaksa menyusul ibu Sekar Mirah
yang tidak dapat menahan hati, berlarlarian turun tangga
pendapa menyongsong anak gadisnya yang kembali pulang.
Meskipun Ki Demang memanggilnya untuk menunggu saja di
halaman, namun Nyai Demang sama sekali sudah tidak
menghiraukannya. Dengan mata yang basah dan rambut terurai
Nyai Demang berlari melintasi halaman. Beberapa orang prajurit
yang melihathya berdiri saja termangu-mangu, tanpa dapat
berbuat apa pun, meskipun mereka tahu, bahwa Ki Demang
sedang memanggil-manggil isterinya itu.
Tetapi ternyata Nyai Demang tidak perlu berlarlarian
terlampau jauh. Tiba-tiba, ia melihat iring-iringan muncul di regol
halaman. Ketika dilihatnya Sekar Mirah yang kemudian berada di paling
depan bersama kakaknya Swandaru, maka tiba-tiba perempuan
itu pun menjerit tinggi menyebut nama anaknya yang pernah
hilang itu Sekar Mirah pun segera melihat ibunya berlarlarian
menyongsongnya. Ia kini tidak lagi dapat menahan hatinya.
Dengan serta-merta ia meloncat turun dari kudanya. Tetapi
karena terlampau tergesa-gesa dan kurang dapat membawakan
diri, maka gadis itu terjatuh di tanah.
"Mirah," Swandaru mencoba mencegahnya. Tetapi terlambat.
Gadis itu telah jatuh menelungkup.
Hampir bersamaan Swandaru dan Agung Sedayu meloncat
dari punggung kudanya pula, disusul oleh Ki Tanu Metir dan
para prajurit. Dengan cekatan Swandaru menolong adiknya,
mengangkat dan memapahnya berdiri.
"Mirah," sekali lagi terdengar pekik ibunya.
Ternyata Sekar Mirah tidak dapat merasakan sakit pada
tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia pun meronta dan melepaskan diri
dari tangan kakaknya, langsung berlari kepada ibunya.
Keduanya pun kemudian berpelukan. Keduanya melepaskan
tekanan-tekanan perasaan yang berdesakan di dalam dada
masing-masing, sehingga meledaklah tangis yang mengharukan.
Swandaru, Agung Sedayu, Ki Tanu Metir, Widura, dan Ki
Demang sendiri dan orang-orang lain yang menyaksikan, berdiri
saja termangu-mangu. Dibiarkannya kedua perempuan ibu dan
anak itu melepaskan perasaannya.
Sejenak halaman kademangan itu seolah-olah dicengkam
oleh suasana yang tegang. Yang terdengar hanyalah suara
tangis Nyai Demang Sangkal Putung dan anaknya Sekar Mirah.
Sesaat kemudian, ketika tangis mereka sudah menurun,
maka berkatalah Ki Demang Sangkal Putung dengan nada yang
dalam, "Nyai, bawalah anakmu itu masuk."
Keduauya tidak menyahut. Keduanya tidak mengucapkan
kata-kata sepatah kata pun, kecuali tangis mereka. Tetapi titiktitik
air mata mereka telah menyatakan perasaan mereka sampai
tuntas. Melampaui kata-kata yang beribu-ribu jumlahnya.
"Nyai," sekali lagi terdengar suara Ki Demang Sangkal
Putung, "bawalah anakmu masuk. Mungkin ia lelah, dan
mungkin ia lapar." Nyai Demang menganggukkan kepalanya. Kemudian
dibimbingnya Sekar Mirah masuk ke dalam rumah, melintasi
pendapa, kemudian pringgitan dan langsung dibawanya ke
ruang dalam. Ketika Sekar Mirah telah dibimbing masuk, maka barulah
orang-orang yang berada di halaman itu mulai bergerak. Mereka
mulai berbisik-bisik dan bercakap-cakap di antara mereka.
Beberapa orang prajurit sedang mempercakapkan kawan-kawan
mereka yang datang dari Jati Anom bersama dengan Ki Tanu
Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru dipimpin oleh seorang
perwira. Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru mulai
mengangkat kepala mereka, memandang berkeliling.
Dipandanginya wajah-wajah yang sudah lama ditinggalkannya.
Beberapa orang yang akrab dengan mereka segera
mendekatinya dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Hudaya,
Sonya, dan beberapa orang lain. Jagabaya Sangkal Putung dan
anak-anak muda yang lain.
Tetapi Ki Tanu Metir, Agung. Sedayu, dan Swandaru itu pun
terkejut ketika kemudian seorang laklaki berdiri di hadapan
mereka sambil tersenyum. Rambutnya yang telah mulai memutih
serta kerut-merut di dahinya menyatakan bahwa sudah
melampaui setengah abad ia menghuni dunia ini.
"Kau, Adi," desis Ki Tanu Metir itu.
"Ya, Kakang Tanu Metir. Aku. sekarang berada di
kademangan ini." Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
sejenak kemudian ia berkata, "Syukurlah. Apakah kau sudah
dibebaskan dari setiap persoalan?"
"Aku tidak tahu, Kakang. Tetapi aku mendapat kesempatan
dan kepercayaan membantu Angger Widura di sini."
Ki Tanu Metir masih mengangguk-anggukan kepalanya,
Ketika ia berpaling dan memandangi wajah Widura, maka
Widura itu pun menganggukkan kepalanya pula.
"Sudah berapa lama kau berada di tempat ini?" bertanya Ki
Tanu Metir. Tetapi sebelum ia menjawab, maka berkatalah Widura,
"Marilah. Aku persilahkan Kiai masuk."
"Marilah," sambung Ki Demang. "Ah, maafkan. Aku hampir
kehilangan akal ketika aku melihat gadisku kembali."
Mereka pun segera masuk ke pringgitan. Ki Tanu Metir
dengan kawannya berbicara, Agung Sedayu, Swandaru. Ki
Demang Sangkal Putung, Widura, dan perwira yang datang dari
Jati Anom, beserta beberapa orang lain.
Ketika mereka duduk di dalam pringgitan itu, mereka masih
mendengar isak Nyai Demaug dan Sekar Mirah. Mereka
mendengar pula beberapa perempuan bertanya-tanya tidak
henthentinya, seperti berpuluh-puluh burung sedang berkicau
bersama-sama. Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing,
maka Ki Demang pun kemudian berkata, "Tidak ada kesenangan
melampaui kesenanganku hari ini, Ngger. Ternyata anakku itu
dapat aku ketemukan kembali."
Tak ada yang menyahut, tetapi hampir semuanya
menganggukkan kepala mereka.
"Aku harus mengadakan keramaian untuk menyambut anakku
itu," berkata Ki Demang kemudian. Tetapi Widura yang duduk di
sampingnya agaknya mempunyai pendapat lain.
Sebagai seorang perwira yang memimpin prajurit-prajurit
Pajang di Sangkal Putung ia mempunyai pertimbanganpertimbangan
tentang keamanan dan keselamatan daerahnya.
Keramaian dalam keadaan ini agaknya masih belum dapat
disetujui oleh Widura. Meskipun demikian Widura tidak segera memotong kata-kata
Ki Demang yang dilanjutkannya, "Aku akan memotong kerbau
dan sapi berapa saja diperlukan untuk menjamu seluruh
penduduk Kademangan Sangkal Putung dan para prajurit yang
berada di sini. Kegembiraan ini bukan saja kegembiraan buat
keluargaku, tetapi juga kegembiraan seluruh rakyat Sangkal
Putung. Meskipun kita tidak dapat menangani pembebasan
Sekar Mirah itu sendiri, tetapi dengan demikian Sangkal Putung
telah terlepas dari aib yang akan dapat menodai sepanjang umur
kita, bahkan akan selalu dikenang oleh anak cucu kita bahwa
kita pernah kehilangan seorang gadis tanpa berbuat sesuatu.
Tetapi sekarang, atas bantuan beberapa pihak, Sekar Mirah
telah terbebaskan. Aku harus menyatakan kegembiraan itu.
Sebagai pernyataan terima kasihku, terutama kepada Yang
Maha Kuasa, yang telah memperkenankan semuanya itu
tenjadi." Dibiarkannya Ki Demang melimpahkan segala perasaannya.
Widura mengerti, bahwa perasaan yang demikian itu tidak akan
dapat ditahan-tahankannya. Apabila pelepasan perasaannya itu
terdapat dikendalikan. Tetapi agaknya Ki Demang telah merasa puas melepaskan
kata-kata yang menyesak di dadanya. Orang tua itu pun
kemudian terdiam. Sejenak ruangan itu menjadi sepi, seperti sedang dijamah
hantu. Masing-masing duduk sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sedang di ruang dalam masih terdengar isak tangis
Nyai Demang dan Sekar Mirah. Bahkan beberapa perempuan
yang lain dan pelayan Sekar Mirah yang gemuk itu pun
menangis pula. Lebih keras dari Sekar Mirah sendiri.
"Untung, bukan aku yang diambilnya," tangis pelayan yang
gemuk itu. "Seandainya aku maka aku pasti telah mati
membeku." "Siapa yang mengambilmu itu?" bertanya suara yang lain.
"Seandainya, ya, seandainya saja yang diambil Sidanti itu
aku, maka aku pasti akan mati di tengah jalan, selama aku
dibawa ke sarang hantu itu."
"Buat apa Sidanti mengambilmu?" terdengar suara lain pula.
Tiba-tiba perempuan yang gemuk itu. Menyadari dirinya.
Sekar Mirah diambil karena kecantikannya. Karena itu maka
jawabnya, "Tidak. Sidanti tidak akan mengambil aku. Tetapi
seandainya orang lain pun yang mengambil, aku akan mati
pula." "Tidak ada orang yang berpikir begitu gila untuk
mengambilmu," teriak Swandaru jengkel dari pringgitan. "Orang
itu harus membawa gerobak untuk mengangkutmu."
Pelayan yang gemuk itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa
suaranya itu didengar oleh orang-orang yang duduk di
pringgitan. Dengan demikian maka mulutnya pun segera
terkatup. Bukan saja ia tidak berani berbicara lagi, tetapi
tengisnya pun tiba-tiba terdiam pula.
Dan sejenak kemudian barulah Widura berkata, "Ki Demang.
Aku akan senang sekali ikut menyelenggarakan keramaian itu.
Para prajurit pun pasti akan senang sekali menerima rangsum
yang jauh lebih baik dari rangsumnya seharhari. Apalagi
apabila Ki Demang menyelenggarakan wayang beber semalam
suntuk. Alangkah senangnya. Tetapi Ki Demang, aku kira kita
harus mempertimbangkan waktu. Kapan saja keramaian itu
dapat diadakan, sesudah kita pasti bahwa keramaian itu tidak
akan terganggu." Wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi berkerut-merut, Perlahanlahan
ia bergumam, "Ya, ya. Benar. Aku melupakan keadaan
terakhir di kademangan ini. Setelah beberapa saat kami bebas
dari ketakutan dan kegelisahan, tiba-tiba suasana yang demikian
itu kini dimulai lagi. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Ya. Itu
harus dipertimbangkan. Tamu-tamu kita ini pun harus tahu


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan kita di sini."
"Aku sudah mendengar," sahut perwira yang datang dari Jati
Anom. "Dari siapa kau mendengarnya?"
"Dari para peronda yang aku temui di luar induk
kademangan." "Begitulah keadaan kami di sini," berkata Widura. "Aku sudah
berusaha untuk mencari sebab dari kematian dan hilangnya
beberapa orang peronda. Tetapi aku belum menemukannya."
"Kau akan segera mengerti," sahut perwira itu. "Aku ingin
mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan Ki Untara
kepadamu, Kakang Widura."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tidak
ada orang lain di sini. Katakanlah."
Perwira itu menebarkan pandangan matanya berkeliling.
Seolah-olah ingin mengenal setiap orang yang ada di dalam
pringgitan itu. Kemudian dipandanginya pintu yang terbuka, yang
menghubungkan ruangan itu dengan ruangan dalam.
"Apakah perempuan-perempuan itu tidak boleh
mendengarnya?" bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Sebenarnya
tidak ada keberatannya, tetapi apakah berita ini dapat membuat
mereka gelisah dan orang-orang di seluruh kademangan ini
menjadi gelisah, itulah soalnya."
"Tutuplah pintu itu, Swandaru," berkata Ki Demang. "Kalau
Angger berbicara tidak terlampau keras mereka tidak akan
mendengar." Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sama sekali
bukan rahasia," katanya. Tetapi ia terdiam lagi. Memandanginya
seorang yang rambutnya sudah memutih yang duduk di samping
Ki Tanu Metir. Rasa-rasanya ia pernah melihat orang itu, tetapi perwira itu
tidak dapat lagi mengingatnya, kapan dan di mana. Sejak ia
datang ke Sangkal Putung untuk menggabungkan diri pada
Untara, maka ia tidak melihat orang itu.
"Apakah ia orang kademangan ini yang pada saat aku
singgah di sini sebelum aku berangkat ke Jati Anom kebetulan
tidak ikut menemui prajurit-prajurit Pajang di sini?" pertanyaan itu
timbul di dalam hatinya. Tetapi kemudian dibantahnya sendiri,
"Bukan, pasti bukan. Ia bukan sekedar orang kademangan. ini.
Sorot matanya adalah sorot mata yang terlampau tajam dan
dalam." Agaknya Widura melihat keragu-raguan perwira itu, sehingga
dengan demikian maka ia perlu bertanya kepada perwira itu,
"Apakah kau belum pernah melihatnya?"
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dan dijawabnya dengan
jujur, "Aku merasa pernah mengenalnya, tetapi di mana dan
kapan aku tidak ingat lagi."
"Aku kira kau memang pernah melihatnya. Di Jipang
barangkali?" Perwira itu mencoba mengingat-ingat. Sebelum pecah perang
yang sama-sama tidak dikehendaki itu, antara Pajang dan
Jipang, ia memang pernah pergi ke Kadipaten Jipang, menjadi
salah seorang pengawal Ki Gede Pemanahan.
"Apakah orang ini orang Jipang, dan kenapa ia berada di
sini?" pertanyaan itu tumbuh pula di dalam hatinya. "Sayang aku
tidak sempat melihat orang-orang Jipang yang menyerah
sebelum aku bertugas di sini itu. Mungkin orang ini salah
seorang daripadanya."
Orang tua yang sedang dipercakapkan itu sendiri hanya
tersenyum-senyum saja. Sekali ia menengadahkan wajahnya
dan sekalsekali kepalanya ditundukkannya.
"Kau masih. belum ingat?" bertanya Widura.
Perwira itu menggelengkan kepalanya, "Belum."
"Nah, Kiai. Cobalah memperkenalkan dirimu kepada utusan
Untara ini. Sebab kelak Untara-lah yang akan menerima Kiai di
sini secara resmi." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
dalam nada yang datar, "Ya, Ngger. Aku memang termasuk
salah seorang dari Kadipaten Jipang. Mungkin Angger memang
pernah melihat aku."
Perwira ilu mengangguk-angguk pula.
"Seperti barangkali Angger pernah juga melihat Ki Tambak
Wedi di Kepatihan Jipang, karena Ki Tambak Wedi pun
termasuk salah seorang kawan dari Ki Patih Mantahun."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dari keterangan itu ia
dapat mengambil kesimpulan bahwa orang tua ini pun adalah
salah seorang kawan Ki Patih Mantahun. Patih yang hampirhampir
tidak ada lawannya itu. Untunglah bahwa Pajang juga
memiliki orang-orang yang mampu mengimbangi kekuatan dan
kesaktian ki Patih Mantahun.
*** Dengan demikian maka orang ini pun pasti seorang yang
memiliki kekuatan ilmu seperti Ki Patih Mantahun dan Ki Tambak
Wedi. "Tetapi apa kerjanya di sini?" ia bertanya pula kepada dirinya
sendiri. Orang tua itu melihat berbagai pertanyaan bergelut di dalam
pandangan mata perwira yang selalu memandanginya dengan
saksama. Maka katanya kemudian, "Angger pasti tidak akan
terkejut mendengar namaku. Bahkan mungkin belum pernah
mendengarnya sama sekali, karena aku hanya seorang abdi
saja di Kepatihan Jipang. Namaku adalah Sumangkar."
"He," perwira itu terperanjat. Nama itu telah pernah
didengarnya dan bahkan cukup menggetarkan jantungnya.
"Sumangkar," ia mengulanginya.
"Ya, Ngger, aku adalah Sumangkar. Seorang abdi Kepatihan
Jipang, yang hanya karena kebetulan saja aku menjadi saudara
seperguruan Ki Patih Mantahun."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ditatapnya wajah Widura, seolah-olah ia ingin mendapat
keterangan, kenapa Sumangkar itu berada di Sangkal Putung.
Pertanyaan itu sebenarnya tidak saja bergolak di dalam dada
perwira itu saja, tetapi di dalam dada Swandaru, Agung Sedayu,
dan bahkan Ki Tanu Metir.
Widura dapat menangkap siratan sorot mata perwira itu dan
mereka yaag baru saja datang dari Jati Anom. Karena itu maka
ia pun berkata, "Mungkin kehadiran Paman Sumangkar di sini
dapat menumbuhkan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan
yang sebenamya tumbuh pula di dalam dadaku. Tetapi aku kira
Paman Sumangkar dapat pula menjelaskannya."
Orang tua yang rambutnya telah menjadi keputih-putihan itu
berkata, "Ya. Jangankan pada diri Angger sekalian, dan pada
Kakang Tanu Metir yang sering menyebut dirinya Kiai Gringsing
ini. Aku sendiri pun semula terkejut menerima keputusan Ki
Gede Pemanahan, bahwa aku harus pergi ke Sangkal Putung."
"Apa katanya?" potong Ki Tanu Metir.
"Aku diperbantukan kepada Angger Untara dan Angger
Widura. Menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan, Ki Tambak
Wedi pasti akan menumbuhkan bahaya yang akan dapat lebih
besar dari bahaya yang pernah ditimbulkan oleh Tohpati di
daerah ini. Ki Gede Pemanahan menilai Tohpati masih lebih baik
dari Ki Tambak Wedi. Tohpati, meskipun masih cukup muda,
tetapi ia memiliki kematangan sikap. Ia bukan seorang yang
membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh nafsu saja.
Tohpati telah memilih sasaran yang dianggapnya perlu, dan ia
tidak akan berbuat lain daripada menuju kepada sasaran yang
telah ditentukannya, meskipun ada juga satu dua orang
bawahannya yang sering berbuat lain. Tetapi, Tambak Wedi
adalah seorang yang licik. Seorang yang jauh lebih berbahaya
dari Tohpati. Justru karena ilmunya yang tinggi dan kelicikannya
itulah." Ki Tanu Metir dan orang-orang lain yang mendengar
keterangan Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka dapat mengerti alasan Ki Gede Pemanahan untuk
mengirimkan seseorang yang cukup kuat menghadapi Ki
Tambak Wedi. Tetapi kenapa yang dikirim justru Sumangkar"
Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, namun agaknya
orang tua itu dapat menangkap dari sorot mata, beberapa orang
yang duduk di pendapa itu. Maka katanya, "Aku tidak tahu
kenapa pilihan itu jatuh kepadaku. Aku tidak tahu kenapa Ki
Gede Pemanahan tidak menunjuk orang lain. Tetapi dengan
demikian aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas
kesempatan ini. Mungkin aku dianggap tidak berbahaya lagi bagi
Pajang, atau barangkali dosaku tidak dianggap terlampau besar
sehingga cukup alasan untuk menggantung aku di alun-alun.
Aku tidak tahu." Ki Tanu Metir masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Dosamu memang tidak terlampau besar. Di saat-saat
terakhir kau menunjukkan sikap yang dapat menolong dirimu
sendiri." "Penyerahan itu?" bertanya Sumangkar.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya.
Penyerahan itu. Kita dapat membedakan sikap yang didasari
oleh alasan yang berbeda untuk menyerah. Dan kau ternyata
menyerah karena di dalam dirimu telah tumbuh kesadaran,
bahwa perlawananmu tidak akan berguna. Bukan karena
keringkihan pasukanmu, tetapi secara lahir maupun batin,
perbuatan maupun tujuan, kau menganggap bahwa perlawanan
itu tidak akan ada gunanya buat kepentingan apa pun."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin
alasan itu pulalah yang dipakai oleh Ki Gede Pemanahan atas
persetujuan Adiwijaya. "Satu-satunya yang dapat dimengerti adalah alasan itu."
"Ternyata bukan aku saja yang mendapat pengampunan.
Setelah dipertimbangkan, maka sebagian kecil dari para prajurit
Jipang telah dipekerjakan pula oleh Ki Gede Pemanahan untuk
membantu pasukan-pasukan Pajang yang sedang bertugas.
Selebihnya masih dalam pengawasan."
"Ya, perlakuan atasmu dan orang-orangmu yang menyerah
akan berbeda sekali dengan orang-orang Jipang yang menyerah
di Tambbak Wedi," sahut Ki Tanu Metir.
"Bagaimana dengan mereka?" bertanya Sumangkar. Ki Tanu
Metir tidak menjawab. Dipandanginya perwira yang memimpin
serombongan kecil prajurit yang datang bersamanya. Agaknya
prajurit itu mengerti maksud Kiai Gringsing, bahwa
kuwajibannyalah untuk menyampaikan persoalan prajurit-prajurit
Pajang yang telah menduduki Tambak Wedi.
Perwira itu menarik nafas da1am-dalam. Kemudian katanya,
"Inilah yang akan aku sampaikan kepada Kakang Widura.
Dengan demikian Kakang Widura akan mendapat gambaran
yang lengkap tentang keadaan di Jati Anom dan di padepokan
Tambak Wedi." Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya,
aku memerlukan keterangan itu selengkap-lengkapnya supaya
aku dapat memperhitungkan keadaanku di sini."
Sekali lagi perwira itu memandangi Sumangkar yang duduk di
samping Kiai Gringsing. Orang itu adalah orang yang penting
bagi Jipang. Namanya telah dikenalnya dengan baik tetapi
orangnya baru sekali dua kali dilihatnya, sehingga ketika ia
melihat kali ini untuk pertama kali, ia sama sekali tidak
menyangka bahwa orang itulah yang bernama Sumangkar.
Tetapi Ki Gede Pemanahan telah mengirimkannya kepada
Widura pasti dengan buktbukti yang dapat meyakinkan Widura,
sehingga Widura dapat menerimanya dengan tanpa ragu-ragu.
Widura yang segera ingin mendengar keterangan perwira itu
tentang Tambak Wedi, melihat bahwa perwira itu masih disaput
oleh keragu-raguan betapapun tipisnya. Karena itu, maka ia
berkata, "Kedatangan Ki Sumangkar kemari disertai oleh dua
prajurit yang membawa penjelasan dari Ki Gede Pemanahaan di
atas rontal." Perwira itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun
tersenyum, seperti juga Sumangkar yang tersenyum pula
mendengar penjelasan Widura itu.
"Baiklah," berkata perwira itu, "aku akan bercerita tentang
Tambak Wedi kecuali pesan-pesan yang khusus hanya dapat
aku sampaikan kepada Kakang Widura di sini."
"Ya," sahut Widura.
Maka perwira itu pun kemudian menceritakan apa yang telah
terjadi di Padepokan Tambak Wedi. Semuanya. Tidak ada yang
dilampauinya. Sejak Ki Tanu Metir sampai di Jati Anom dan
berhubungan dengan anak muda yang bernama Wuranta.
Kemudian permainan Wuranta yang berbahaya. Hubungan
Wuranta dengan Alap-alap Jalatunda dan kemudian keretakan
hubungan antara Alap-alap Jalatunda dan Sidanti.
Orang-orang yang berada di ruangan itu mendengarkan
keterangan perwira itu dengan saksama. Swandaru, Agung
Sedayu, dan Ki Tanu Metir yang mengalami peristiwa-peristiwa
itu sendiri pun, mendengarkannya dengan penuh minat. Kadangkadang
terasa betapa berbahaya permainan yang telah mereka
lakukan dan dilakukan oleh Wuranta. Tetapi pada saat-saat
mereka melakukannya, maka bahaya itu seolah-olah tidak
mereka lihat. Urung-urung di Padepokan Tambak Wedi itu pun telah
direnanginya. Swandaru masih teringat, bahwa kepalanya telah
membentur langit-langit urung-urung itu. Seandainya benturan
itu terjadi cukup keras, dan ia pingsan selagi masih berada di
bawah urung-urung itu, maka ia pasti tidak akan, dapat
menyelesaikan tugasnya dan bertemu kembali dengan adiknya.
Tetapi betapapun berbahayanya, namun usaha harus dilakukan.
Widura seolah-olah terpaku mendengar ceritera itu.
Terbayang peristiwa-peristiwa itu terjadi di depan matanya.
Ternyata menghadapi Tambak Wedi tidak lebih ringan dari
menghadapi Tohpati. Hanya karena keadaan yang khusus sajalah, maka Untara
dapat menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Keadaan yang
memberinya kesempatan. Ternyata Sekar Mirah yang diambil
oleh Sidanti dari Sangkal Putung hanya mempercepat
keruntuhan Tambak Wedi itu saja.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Widura itu
berkata, "Jadi kini Padepokan Tambak Wedi itu telah pecah?"
"Ya," jawab perwira yang ditugaskan oleh Untara itu.
"Dan Ki Tambak Wedi sendiri beserta Sidanti dan Argajaya
mampu melepaskan diri?"
"Ya." "Dengan demikian kita dapat menilai keadaan," gumam
Widura seolah-olah kepada diri sendiri. "Kehilangan yang kami
alami di sini pasti ada sangkut pautnya yang erat dengan ketiga
orang yang berhasil lolos itu."
"Itu sudah pasti."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Widura menarik nafas panjang. Tanpa dikehendakinya maka
ia berpaling kepada Ki Sumangkar. Katanya, "Agaknya
perhitungan Ki Gede Pemanahan cukup tajam. Meskipun tidak
tepat benar, tetapi kelicikan Ki Tambak Wedi benar-benar telah
dibuktikannya tanpa malu-malu. Aku di sini telah kehilangan
beberapa orang peronda. Agaknya orang-orang itu ingin
melepaskan dendamnya."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Jawabnya, "Ya, orang tua itu benar-benar tidak tahu diri."
"Kemudian adalah kewajibanmu, Adi," sahut Ki Tanu Metir.
"Kau, harus menyelesaikan Tambak Wedi bersama kedua orang
yang mengikutinya itu."
Sumangkar tersenyum. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir.
Kemudian katanya, "Perhitungan Ki Gede Pemanahan yang lain
juga cukup mengenai sasaran.Menurut Ki Gede Pemanahan,
meskipun di Sangkal Putung ada seorang yang bernama Kiai
Gringsing, tetapi orang itu tidak dapat diikat oleh suatu
kuwajiban, karena ia bukan seorang prajurit. Begitu?"
"Ah," Ki Tanu Metir berdesah.
"Ki Gede Pemanahan belum dapat mengerti dengan tepat,
siapakah Ki Tanu Metir itu. Ia hanya menduga dari keterangan
yang didengarnya. Dari puteranda Mas Ngabehi Loring Pasar,
dan dari orang-orang yang pernah bergaul rapat dengan
Kakang. Akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata "Orang iu adalah
orang yang mempunyai perhitungan-perhitungan tersendiri.
Karena itu, maka harus ada orang lain yang pasti dapat
dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi yang dapat saja berbuat
aneh." Dan orang itu adalah aku."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian bertanya,
"Apa kata Ki Gede tentang aku?"
Sumangkar Tersenyum. "Tidak apa-apa. Hanya begitulah. Ki
Gede hanya dapat menduga-duga, siapakah Ki Tanu Metir itu."
"Kenapa harus menduga-duga. Bukankah setiap orang di sini
tahu, bahwa orang inilah, dukun inilah yang bernama Ki Tanu
Metir." "Salahmu sendiri," sahut Sumangkar.
"Kenapa pula salahku?"
"Kakang Tanu Metir tidak pernah berdiri berhadapan
langsung dengan Ki Gede Pemanahan agaknya. Kalau Kiai
Gringsing tidak selalu menghindar ketika Ki Gede datang kemari,
maka Ki Gede akan dapat berkata dengan tegas. O, Ki Tanu
Metir itu adalah orang ini, dukun yang aneh dari Dukuh
Pakuwon." "Ki Gede Pemanahan memang belum pernah mengenal aku."
"Ya, memang belum pernah mengenal Ki Tanu Metir atau Kiai
Gringsing. Tetapi dalam bentuk-bentuknya yang lain?"
"Ah, sudahlah. Kau dan Ki Gede Pemanahan bersama-sama
sedang memimpikan hal-hal yang tidak pernah ada," potong Kiai
Gringsing. Kemudian kepada Widura ia berkata, "Maaf Angger,
agaknya percakapan ini agak berkisar kepada persoalan yang
tidak bemanfaat bagi Angger di sini."
Tetapi Kiai Gringsing justru melihat Widura menganggukanggukkan
kepalanya. Katanya, "Aku menemukan Kiai Gringsing
dalam keadaan yang khusus. Kemudian aku menyangka bahwa
aku adalah orang yang akhirnya dapat mengenalnya setelah Kiai
tidak lagi bermain-main dengan topeng. Ternyata topeng Kiai
berangkap tujuh." "Ah, ada-ada saja. Kalian sudah dijalari penyakit mimpi.
Sudahlah. Sekarang bagaimana dengan Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya" Kalian hanya membuat anak-anakku menjadi
semakin bingung. Untunglah Angger Agung Sedayu pernah
mendatangi aku di rumahku, sehingga baginya tidak ada lagi
persoalan tentang Ki Tanu Metir."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi sebenarnya
pertanyaan yang demikian itu sudah lama pula bersarang di
dalam dirinya. Pertama sekali ia melihat orang tua itu sebagai
seorang dukun. Hanya seorang dukun yang selalu mencoba
mengobati orang-orang yang sakit dengan berbagai macam
dedaunan. Hanya itu, tidak lebih. Namun adalah mengejutkan
sekali bahwa Ki Tanu Metir itu mampu melindungi kakaknya.
Bahkan kemudian mengambil peranan yang pasti di dalam
penyelesaian masalah orang-orang Jipang dan kemudian di
Padepokan Tambak Wedi. Tetapi beberapa orang lain di dalam ruangan itu benar-benar
duduk terpaku tanpa dapat mengerti arah pembicaraan itu.
Meskipun demikian mereka membiarkan saja persoalan itu
berlangsung. Tetapi ternyata Ki Tanu Metir sendirilah yang
mengakhirinya, dan menggeser pembicaraan itu kembali kepada
persoalan Ki Tambak Wedi.
"Ternyata Ki Gede Pemanahan telah berbuat tepat, bahkan
seandainya Tambak Wedi belum pecah," berkata Ki Tanu Metir
kemudian. "Kedatangan adi pasti akan sangat berarti."
"Mudah-mudahan," sahut Sumangkar.
"Lalu bagaimana menurut pertimbanganmu, Angger Widura,"
bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
Widura tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mempertimbangkan
segala pembicaraan itu di dalam hatinya. Ia kini mendapat
gambaran yang semakin jelas tentang peronda-perondanya
yang hilang. Tidak ada orang lain yang melakukan pembunuhan
terhadap prajurit-prajurit itu selain Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya untuk sekedar memuaskan hatinya. Mereka sudah
pasti tidak akan dapat lagi mengharap untuk merebut Sangkal
Putung hanya bertiga saja atau mungkin satu dua orang yang
dapat mereka temui di perjalanan mereka karena kebetulan
mereka tidak berada di Padepokan Tambak Wedi pada saat
padepokan itu pecah. Betapapun saktinya hantu lereng Merapi
itu, tetapi mereka tidak akan dapat menghadapi pasukan Widura
dan anak-anak muda Sangkal Putung segelar-sepapan.
Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah
membuat kegelisahan dan kecemasan dengan cara yang sangat
licik dan kejam. Tetapi, persoalan itu kini sudah jelas bagi Widura. Ia sudah
dapat membayangkan apa yang terjadi, sehingga dengan
demikian ia akan dapat menghadapinya. Tidak cukup dengan
menambah jumlah para peronda menjadi lima orang. Tetapi
harus dilipatkan. Sejenak kemudian barulah ia menjawab penanyaan Ki Tanu
Metir. "Kita harus lebih hathati Kiai. Iblis itu seo1ah-olah dapat
berada di segala tempat pada setiap saat dan kemudian dapat
melenyapkan diri dengan tiba-tiba."
Tetapi Ki Tanu Metir menggeleng, "Tidak terlampau sulit,
Ngger. Setiap kali mereka bertemu dengan para peronda, maka
peronda-peronda itu lalu mereka bunuh. Mereka tidak perlu
dengan tergesa-gesa pergi. Bukankah sebelum peristiwapersitiwa
ini terjadi, setiap peronda tidak lebih dari dua orang
bersama-sama." Widura menganggukkan kepalanya. "Ya Kiai."
"Nah, sekarang Angger harus berbuat lain."
"Ya." "Tetapi di Sangkal Putung kini telah tinggal seorang yang
dapat dihadapkan langsung kepada Ki Tambak Wedi, Adi
Sumangkar ini," berkata Ki Tanu Metir kemudian.
"Dan Kiai Gringsing," sambung Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Namun tampaklah bahwa masih ada
persoalan yang membayang pada Ki Tanu Metir. Meskipun ia
masih juga tersenyum, namun tampaklah ia menganggukangguk
perlahan. "Adi," berkata Ki Tanu Metir itu kemudian, keningnya tampak
berkerut. "Ada daerah lain yang dapat mengalami nasib seperti
daerah ini. Bahkan lebih parah, karena di sana tidak ada
kekuatan seperti di Sangkal Putung."
Sumangkar mengerutkan keningnya dan bahkan Widura
segera bertanya, "Jati Anom?"
Ki Tanu Metir menggelengkan kepalanya. "Di Jati Anom ada
Angger Untara dan pasukannya yang cukup kuat. Apalagi hanya
menghadapi tiga orang itu."
Widura mengerutkan keningnya. Dan Sumangkar bertanya,
"Lalu manakah yang Kiai cemaskan?"
"Argajaya pernah mempunyai persoalan dengan prajuritprajurit
Pajang di Prambanan. Ia pernah dikalahkan dalam
perang tanding oleh Angger Sutawijaya di ujung Gunung Baka.
Mungkin dendamnya yang semakin bertimbun-timbun itu akan
dapat menumbuhkan keinginan yang tidak terkekang seperti apa
yang pernah dilakukan di daerah ini."
Tanpa berjanji maka mereka yang mendengarkan
pendjelasan Ki Tanu Metir itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pernah mendengar serba sedikit apa yang
pernah terjadi di Prambanan.
Dalam pada itu, terdengar Swandaru berkata, "Kiai pada saat
itu bukankah orang-orang Prambanan, terutama beberapa orang
prajurit berpihak kepadanya?"
"Tetapi ia tahu dengan pasti, siapakah yang tidak
menyenanginya. Apalagi apabila ia sengaja singgah ditempat itu,
dan ditemuinya tanggapan yang berbeda dengan tanggapan
yang pernah didapatinya sebelum ia pergi ke Tambak Wedi.
Kekecewaan yang bertimbun-timbun ditambah dengan sifatTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
sifatnya yang keras dan sifat-sifat Sidanti akan sangat
berbahaya bagi Kademangan itu."
"Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti apa yang terjadi dan kira-kira dapat terjadi di waktu
yang akan datang. "Ya, kademangan itu memerlukan perlindungan," desisnya.
"Apakah tidak ada perlindungan dari prajurit-prajurit Pajang
yang berada di sana seperti terhadap Sangkal Putung dan Jati
Anom," bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
"Daerah itu dianggap oleh pimpinan prajurit Pajang, sebagai
daerah yang tidak berbahaya karena sisa-sisa prajurit Jipang
hampir tidak tertarik sama sekali kepada daerah itu, karena
mereka terikat kepada keinginan mereka untuk menduduki
lumbung di daerah ini. Tetapi pimpinan Wira Tamtama tidak
akan segera melihat kepentingan yang lain dari Argajaya,
seorang tamu dari seberang hutan Mentaok, dan keadaan di
Prambanan sendiri, karena sikap para prajurit yang berada di
sana. Kehadiran Angger Sutawijaya agaknya mempunyai akibat
yang baik, tetapi juga mencemaskan apabila Argajaya datang
kembali ke daerah itu, apalagi bersama dengan Ki Tambak Wedi
dan Sidanti." Ki Tanu Metir berhenti sejenak, lalu, "Hanya ada
beberapa saja prajurit yang ditempatkan di Prambanan.
Semuanya itu akan tidak berarti sama sekali bagi Ki Tambak
Wedi, seandainya mereka yang sakit hati, akan dengan
mudahnya jatuh dalam pengaruh Argajaya yang keras kepala
itu." Yang mendengarkan kata-kata Kiai Gringsing itu dapat
membayangkan bahwa Prambanan memang berada dalam
keadaan yang mencemaskan apabila ketiga orang itu benarbenar
akan singgah di sana. Apalagi mereka yang telah berada di Prambanan dan melihat
dari dekat apa yang telah terjadi sebelumnya. Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian menjadi sangat cemas pula. Anakanak
muda Prambanan yang berdiri berseberangan, akan dapat
menjadi kambuh kembali. Keadaan yang demikian akan sangat
mudah dimanfaatkan oleh Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak
Wedi untuk membuat kekisruhan, meskipun sudah pasti bahwa
Ki Tambak Wedi tidak akan dapat membuat Prambanan menjadi
pancadan untuk melakukan perlawanan terhadap Pajang,
karena Prambanan tidak memiliki syarat-syarat yang cukup
untuk itu. Dengan demikian yang dapat mereka lakukan hanyalah
perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kesan bahwa
sejak Pajang berdiri telah tumbuh keributan di mana-mana.
Masalah pesisir Utara masih belum selesai seluruhnya, Sangkal
Putung masih belum aman benar, kemudian Tambak Wedi di
lereng Merapi. Sebelum daerah itu bersih sama sekali maka
kembali Sangkal Putung dan kemudian ditimbulkan pula di
Prambanan. Belum terhitung keributan-keributan kecil,
perampokan oleh orang-orang yang putus asa, kejadian-kejadian
yang lain di seluruh wilayah Pajang.
Tetapi, yang mencemaskan Ki Tanu Metir sebenarnya,
bukanlah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya di dalam
perjalanan mereka pulang ke Menoreh, tetapi bagaimana
sesudah itu. Bagaimanakah sikap Ki Argapati setelah ia melihat
dan mendengar, Sidanti pulang dengan luka di hati.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Prambanan harus
dibiarkan saja. Bukan berarti bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya akan mendapat kesempatan untuk melakukan apa
saja sekehendak hati mereka.
Tetapi Prambanan dalam keadaannya seperti pada saat
mereka tinggalkan, pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa,
selain membiarkan ketiga orang itu berbuat apa saja yang
mereka kehendaki. Dalam pada itu terdengar Widura bergumam, "Lalu apa yang
sebaiknya dilakukan untuk Prambanan?"
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, "Angger
dapat menyampaikan laporan ini kepada Angger Untara.
Mungkin Angger Untara dapat berbuat sesuatu. Bukankah
Prambanan masih termasuk di dalam lingkungan
kekuasaannya?" Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya," desisnya di
dalam hati, "atasanku adalah Untara."
Hadirnya seorang perwira dari Jati Anom merupakan
kesempatan yang baik bagi Widura. Pesan itu langsung
diserahkannya kepada perwira yang besok pagi akan segera
kembali ke Jati Anom. "Daerah itu perlu segera mendapat perhatian." berkata
Widura. "Kedudukan prajurit-prajurit Pajang di sana sangat
lemah, sedangkan mereka tidak dapat berbuat banyak atas
anak-anak mudanya karena kesalahan-kesalahan yang mereka
lakukan sendiri." Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sendiri
dapat mengerti, bahwa seharusnya Untara tidak berdiam diri
atas persoalan itu. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi perwira
itu dapat menghubungkan dengan rencana Untara untuk
mengirim beberapa orang langsung ke daerah-daerah terpencil,
yang setiap saat harus menyampaikan laporan kepadanya.
Untara memang akan segera mengirimkan pengawasan ke
daerah Prambanan, dan beberapa daerah yang mungkin dilalui
oleh Sidanti apabila karena hatinya yang panas benar-benar
akan datang dengan membawa pasukan dari Menoreh.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun daerah Menoreh itu agak terpisah, tetapi keadaan
alamnya ternyata telah membuat orang-orangnya menjadi kuat
dan keras hati, seperti Sidanti dan Argajaya.
Tetapi, baik Untara, Ki Tanu Metir, maupun Widura
sebenarnya masih mempunyai harapan, bahwa Argapati tidak
segera terbakar mendengar laporan anak dan adiknya. Argapati
meskipun seorang yang keras hati pula, tetapi ia mampu
membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak menghadapi
setiap persoalan. Namun Argapati bagi orang-orang Pajang,
bukanlah nama yang seharusnya sangat dicurigai. Tetapi
bagaimana dan sampai seberapa jauh pengaruh Ki Tambak
Wedi atasnya, itulah yang tidak dimengerti.
Pertemuan itu pun kemudian diakhiri setelah beberapa orang
pelayan menghidangkan makan bagi mereka. Betapa
sederhananya, namun terasa bahwa makanan yang mereka
suapkan ke dalam mulut mereka adalah makanan yang selezatlezatnya.
Setelah mereka selesai, maka Ki Demang pun segera
meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bertemu dengan puterinya
yang telah sekian lama terpisah. Swandaru dan Agung Sedayu
beserta beberapa orang yang lain meninggalkan ruangan itu
pula. "Silahkan kau beristirahat, Adi," berkata Widura kepada
perwira yang datang dari Jati Anom.
"Baik, Kakang, tetapi aku memerlukan kesempatan untuk
berbicara. Aku ingin menyampaikan pesan Ki Untara, yang harus
langsung aku sampaikan kepadamu."
Widura mengerutkan keningnya. "Baiklah," katanya, "apakah
soalnya?" "Pesan pribadi," sahut perwira itu.
Kening Widura masih berkerut. Tetapi kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Kau akan
mendapat cukup kesempatan. Sekarang, silahkanlah
beristirahat." Perwira itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula. Di
pendapa ia melihat orang-orangnya sedang makan pula. Sambil
tersenyum ia berkata, "Makanlah, aku sudah cukup kenyang."
Kemudian ditemuinya beberapa orang kawan-kawannya yang
berada di Sangkal Putung bersama dengan Widura. Mereka
saling berceritera tentang diri masing-masing."
Dalam pada itu, Ki Tanu Metir dan Sumangkar masih tinggal
bersama-sama dengan Widura. Ketika di dalam ruangan itu
sudah tidak ada orang lain, maka Ki Tanu Metir pun berkata "Aku
pun membawa pesan pribadi untukmu, Ngger."
Widura mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Tanu Metir
dan Sumangkar bergantganti, seolah-olah ia ingin bertanya,
apakah pesan itu dapat didengar oleh Sumangkar.
Tetapi sebelum ia bertanya, Ki Tanu Metir berkata, "Pesan
pribadi Angger Untara agaknya berhubungan dengan pesan
yang dibawa oleh perwira bawahannya itu pula."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
bertanya, "Apakah Untara berpesan kepadanya dan kepada Kiai
bersama-sama?" "Tidak," sahut Ki Tanu Metir. "Pesan yang aku bawa agak
berbeda segi pandangannya dengan pesan yang dibawa oleh
perwira itu." Kening Widura menjadi semakin berkerut-merut. "Bagaimana
dapat terjadi demikian?"
Ki Tanu Metir tersenyum. Ketika ia melihat Widura sekali lagi
memandang Sumangkar, maka berkatalah Ki Tanu Metir, "Tidak
apa-apa. Biarlah Adi Sumangkar mendengarnya."
Widura menarik nafas dalam-dalam.
"Pesan itu menyangkut kemanakan Angger, Agung Sedayu,"
berkata Ki Tanu Metir kemudian. "Pendapat Angger Untara
ternyata agak berbeda dengan pendapatku. Agaknya Angger
Untara tidak begitu senang dengan keinginanku untuk membawa
Angger Agung Sedayu menempuh jalan yang diingininya."
Kemudian dengan agak berbisik Ki Tanu Metir berkata, "Ada
sangkut pautnya dengan Angger Sekar Mirah. Agaknya Angger
Untara ingin melihat adiknya tumbuh tanpa terganggu, apalagi
oleh seorang wanita."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia bergumam, "Aku mempercayainya, Kiai. Demikianlah agaknya
sifat Untara, seorang anak muda yang berada dalam jabatannya
sekarang. Semua segi pandangan hidupnya terlampau
dipengaruhi oleh tugasnya itu."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu
diceriterakan sikap sebenarnya dari Untara terhadap adiknya.
Dikatakannya pula bagaimana ia mencari penyelesaian yang
sebaik-baiknya dengan tidak terlampau menyinggung perasaan
keduanya, apalagi membenturkan sikap kakak beradik itu.
"Aku sependapat dengan Kiai," berkata Widura kemudian.
"Memang Untara bersikap terlampau keras apabila demikian. Ia
seorang senapati yang menganggap semua persoalan dapat
diatasinya dengan sikap seorang senapati perang. Aku akan
mencobanya sebagai seorang paman, bukan sebagai seorang
perwira bawahannya."
"Mudah-mudahan," desis Ki Tanu Metir. "Tetapi untuk
sementara aku telah mendapat jalan. Membawa Angger Agung
Sedayu pergi. Kemana saja untuk mendapatkan pengalaman
yang akan berguna bagi masa depannya."
"Kemana?" bertanya Widura.
Ki Tanu Metir mengerutkan dahinya yang telah dilukisi oleh
garis-garis usianya yang semakin tua.
"Angger Widura," Berkata orang tua itu, "seperti yang telah
aku katakan, jalan ke Menoreh kini berada dalam bahaya.
Apabila Ki Tambak Wedi membiarkan Sidanti dan Argajaya
melepaskan dendamnya di sepanjang jalan, maka Keadaan
daerah-daerah yang dilaluinya cukup mencemaskan, apalagi
Prambanan." "Lalu?" wajah Widura menjadi menegang.
"Kami, maksudku aku, Agung Sedayu, dan Swandaru akan
menyusur jalan itu pula."
"Oh," Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia bergumam, "Apakah Kiai beranggapan bahwa Sidanti telah
mulai dengan perjalanan itu sekarang?"
"Belum," sahut Ki Tanu Metir, "tetapi apabila Ki Tambak Wedi
mengetahui bahwa aku dan Adi Sumangkar berada di sini, ia
pasti segera akan pergi."
"Baru kemarin dulu aku masih kehilangan dua orang peronda
dekat sekali dari induk kademangan."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ketika ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, maka orang itu
segera berkata, "Aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku belum
mulai, dan wilayah Sangkal Putung terlampau luas. Ki Tambak
Wedi dapat berada di segala arah. Itulah yang masih harus aku
usahakan, agar aku dapat menjumpainya."
"Ya, ya aku tahu," sahut Ki Tanu Metir. Kemudian kepada
Widura ia berkata, "Kita harus mencoba bertemu dengan orangorang
itu. Sebelum aku pergi, aku akan berusaha bersama Adi
Sumangkar. Tetapi apabila usaha itu tidak membawa hasil apa
pun, aku akan segera pergi ke Prambanan. Ada dua
keuntungan. Bagi Prambanan dan bagi murid-muridku. Agaknya
kami tidak akan berhenti di Prambanan untuk seterusnya, tetapi
kami akan langsung menuju ke barat, melintasi Hutan Mentaok,
dan memasuki daerah Menoreh."
Wajah Widura menjadi semakin menegang.
"Kami ingin tahu langsung, apakah yang akan dilakukan oleh
Sidanti di daerahnya sendiri. Apakah ia akan menyusun
kekuatan dan dibawanya ke Sangkal Putung atau Tambak Wedi,
atau bahkan langsung menusuk jantung Pajang, atau rencanarencana
yang lain yang mungkin akan lebih berbahaya."
"Kiai," berkata Widura kemudian, "apakah hal itu tidak akan
sangat berbahaya bagi Kiai dan kedua anak-anak itu?"
"Mereka memerlukan pengalaman, Ngger. Sebelum aku
berangkat, aku masih akan membuat kedua anak-anak itu
semakin banyak mempunyai bekal di dalam diri masing-masing.
Setiap malam kami berada di Gunung Gowok. Apakah Angger
akan ikut serta" Menyenangkan sekali apabila tiba-tiba Ki
Tambak Wedi muncul pula untuk ikut berlatih. Dengan demikian
aku tidak perlu lagi menempuh jalan yang terlampau panjang.
Tidak perlu lagi melintas Hutan Mentaok mendaki Pegunungan
Menoreh." Widura menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan itu adalah
perjalanan yang cukup berbahaya. Memang Agung Sedayu dan
Swandaru memerlukan pengalaman buat hari depannya, tetapi
untuk langsung masuk ke daerah Menoreh akan mengandung
kemungkinan yang sangat pahit.
Meskipun demikian, maka ia harus mempercayai Ki Tanu
Metir yang memiliki ilmu dan pengalaman jauh lebih banyak
daripada Widura itu sendiri.
"Angger Widura," berkata Ki Tanu Metir, "sekarang
perkenankan aku beristirahat pula. Nanti Angger akan
mendengar pesan Angger Untara lewat perwira utusannya itu,
yang aku kira juga berkisar pada Angger Agung Sedayu.
Mungkin Angger Widura harus mengawasinya atau bahkan
Angger Untara akan menitipkannya kepada Angger di sini."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Mudah-mudahan aku dapat memenuhi keinginan Untara tanpa
menyinggung perasaan Agung Sedayu. Bukankah Untara telah
memperkendor keinginan-keinginannya tentang Agung Sedayu?"
"Ya. Beberapa hal telah dilepaskannya. Tetapi akulah yang
harus mempertanggung-jawabkannya."
Widura masih mengangguk-angguk. Sahutnya, "Aku
mengharap semuanya dapat teratasi."
"Baiklah," berkata Ki Tanu Metir sambil mengangkat dadanya
dan menarik nafas dalam-dalam, "aku minta diri." Kemudian
kepada Sumangkar ia berkata, "Kita masih mempunyai banyak
kesempatan untuk bercerita. Marilah sekarang kita beristirahat.
Aku ingin tidur." "Silahkan, Kakang. Aku agaknya terlampau banyak tidur
semalam, sehingga aku tidak juga berhasil menemukan Ki
Tambak Wedi." Kiai Gringsing tersenyum. Kemudian ditinggalkannya ruangan
itu. Untuknya telah disediakan tempat di gandok kulon di
kademangan, sehingga orang tua itu tidak usah pergi ke banjar
kademangan. Ternyata pada malam harinya Widura benar-benar mendapat
pesan yang berkisar pada Agung Sedayu dari perwira utusan
Untara. Sebenarnya bahwa Untara minta tolong kepada Widura
untuk mengawasi adiknya yang dianggapnya kurang dapat
menyesuaikan diri pada masa perkembangannya.
Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir
telah berada di Gunung Gowok. Orang tua itu berusaha
mempergunakan setiap waktu yang terluang untuk menambah
ilmu kedua murid-muridnya.
"Sebentar lagi kita akan mulai dengan sebuah perjalanan
yang barangkali kurang menyenangkan. Karena itu, berbuatlah
sejauh mungkin dapat kita lakukan di sini. Berlatihlah sebaikbaiknya.
Aku akan memberikan beberapa petunjuk-petunjuk
baru." Kedua anak-anak muda itu pun dengan patuh melakukannya.
Kiai Gringsing ingin memberikan ciri perguruannya lebih banyak
lagi kepada kedua muridnya. Itulah sebabnya untuk seterusnya,
maka keduanya di samping memperdalam ilmu pedang, mereka
juga mulai memperdalam ilmu senjata lemas dan lentur. Kadangkadang
mereka mempergunakan cambuk, namun di lain
kesempatan mereka mempergunakan cemeti yang lentur.
Bahkan kadang-kadang mereka belajar mempergunakan
pasangan daripadanya. Pedang dan cambuk di tangan kiri, atau
sebaliknya. Sepeninggal rombongan kecil prajurit dari Jati Anom di hari
berikutnya, maka Sangkal Putung semakin memperketat setiap
pengawasan. Ketika Widura melepaskan para prajurit dari Jati
Anom untuk kembali ke induk pasukannya, terasa juga
kecemasan merambati hatinya. Bagaimanakah seandainya
pasukan yang kecil itu bertemu dengan Ki Tambak Wedi di
perjalanan. "Kami sudah siap untuk menghadapinya, Kakang," berkata
perwira itu. "Yang mengawani aku kali ini adalah prajurit-prajurit
pilihan. Aku kira kita bersama-sama akan berhasil, setidaktidaknya
menyelamatkan diri kami dari tangan iblis-iblis itu."
"Mudah-mudahan," sahut Widura. Tetapi tawarannya untuk
memberikan beberapa orang prajurit pilihan telah pula ditolak
oleh perwira itu. "Kalau aku terpaksa diantar kembali ke Jati Anom, maka
besok Ki Untara memerintahkan untuk mengantar prajurit-prajurit
dari Sangkal Putung dan demikian pula sebaliknya, maka jalan
antara Sangkal Putung dan Jati Anom akan menjadi sangat
licin." Keduanya tersenyum. Ki Tanu Metir, Sumangkar, dan
beberapa orang lain yang mendengar jawaban itu pun
tersenyum pula. Ternyata di harhari berikutnya, tidak terjadi persoalanpersoalan
yang dapat menambah kegelisahan orang-orang
Sangkal Putung. Para peronda yang diperkuat, selalu kembali ke
gardu masing-masing dengan selamat.
"Mungkin orang-orang itu telah pergi," gumam salah seorang
prajurit. "Belum pasti," tiba-tiba terdengar jawaban di belakangnya.
Ternyata Sumangkar-lah yang berdiri di situ sambil tersenyum.
Katanya seterusnya, "Jangan lengah. Setiap saat bahaya dapat
menerkam kalian." Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka menyadari betapa liciknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Ketika malam turun perlahan-lahan di atas Kademangan
Sangkal Putung, maka tiga buah bayangan telah mulai
berloncat-loncatan di pinggir Gunung Gowok. Tak ada waktu
terluang bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini bukan saja
mereka bertiga yang berada di gumuk kecil itu, tetapi seseorang
yang lain duduk dengan tenangnya melihat anak-anak muda
yang sedang berlatih itu. Orang itu adalah Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menyaksikan
kemajuan yang pesat dari murid-murid Kiai Gringsing. Mau tidak
mau maka orang tua itu harus mengaguminya. Kelincahan
Agung Sedayu, kecepatannya bergerak dan betapa tenaga
Swandaru yang luar biasa kuatnya.
Namun tiba-tiba orang tua yang duduk di atas sebuah puntuk
itu memiringkan kepalanya. Lalu diangkatnya wajahnya.
Perlahan-lahan ia berdesis, "Aku mendengar suara panah
sendaren."

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan belum lagi ia sempat mengulangi kata-katanya, maka
terdengarlah desing panah sendaren untuk yang kedua kalinya.
"Aku harus pergi," orang tua itu berkata lantang. Sebelum Kiai
Gringsing menjawab, maka Sumangkar telah meloncat ke atas
punggungg kudanya dan hilang ditelan gelapnya malam.
Latihan yang berat itu pun terpaksa terhenti. Kiai Gringsing
yang juga telah mendengar suara panah sendaren itu
bergumam, "Agaknya para peronda bertemu dengan iblis dari
lereng Merapi itu." Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian sempat
mendengar suara panah sendaren itu pula. Bahkan kemudian
sekali lagi lamat-lamat terdengar suara desing panah sendaren
yang ketiga. "Guru," berkata Swandaru, "apakah kita akan pergi juga ke
sana?" Kiai Gringsing mengerutkan teningnya. "Kami tidak membawa
kuda." "Kita dapat berlari."
Sejenak Kiai Gringsing berpikir. Tetapi tentu ia tidak dapat
Petualangan Sherlock Holmes 3 Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon Petualangan Manusia Harimau 7

Cari Blog Ini