Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 6

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 6


Esok pagi mereka akan berangkat menuju ke tempat yang
sudah disepakati oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
para cantrik yang telah mendapat perintah untuk mencari
seorang gadis yang bernama Widati.
Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera
dapat tidur lelap. Mereka merasa selalu gelisah. Seolah-olah
mereka dibayangi oleh tingkah laku Singatama yang kasar
dan memuakkan. Di dinihari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
dikejutkan oleh derap kaki kuda memasuki halaman
rumahnya. Ketika mereka menjenguk ke halaman, ternyata
Mahisa Bungalan telah berada di halaman bersama sepuluh
orang prajurit yartg berpakaian orang kebanyakan.
Dengan tergesa gesa kedua anak muda itu telah
menemui kakaknya. Dengan gembira pula Mahisa
Bungalan mendengarkan kedua adiknya itu berbicara
tentang rencananya. "Aku sependapat dengan sikapmu" berkata Mahisa
Bungalan "padepokan yang mempunyai ciri-ciri demikian
memang harus dihapuskan. Tetapi sudah tentu, bahwa kita
tidak dapat menuduh tanpa dapat membuktikan. Karena
itu, apa yang akan kalian lakukan akan dapat dengan
langsung menjebak mereka, apabila benar-benar seperti
yang kalian katakan, mereka adalah orang-orang yang tidak
mengharap lagi kepentingan dan kebebasan orang lain"
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka orangorang
yang akan melakukan perjalanan itu sudah siap untuk
berangkat. Menjelang matahari terbit, maka mereka telah
meninggalkan regol halaman.
Tetangga-tetangga Mahendra sudah tidak terkejut lagi
jika dirumah itu nampak beberapa ekor kuda. Merekapun
tahu, bahwa Mahisa Bungalan telah menjadi seorang
prajurit, sehingga kawan-kawannya sering datang
mengunjungi rumah itu. Atau kawan-kawan Mahendra
sendiri dalam hubungan dengan pekerjaannya, saudagar
wesi aji dan emas permata.
Dalam pada itu, iring-iringan itu tidak seterusnya
menempuh perjalanan dalam satu kelompok. Agar tidak
menarik banyak perhatian, maka mereka telah membagi
diri dalam beberapa kelompok kecil. Namun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang berada di paling depan telah
dengan sengaja membuat isyarat sehingga orang-orang lain
yang mengikutinya akan tidak kehilangan jejak.
Seperti pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kembali ke rumahnya, maka perjalanan itupun harus
disekat oleh pekatnya malam. Iring-iringan itupun harus
telah memilih satu tempat yang paling baik untuk
bermalam. Ternyata tidak terjadi sesuatu yang dapat menghambat
perjalahan mereka di hari berikutnya, sehingga mereka
dapat berangkat pagi-pagi sebelum cahaya matahari
menembus rimbunnya dedaunan hutan.
Dalam pada itu, agaknya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak dapat memilih ialan lain kecuali jalan yang
pernah mereka lalui. Meskipun mereka tidak menerobos
Kabuyutan Randumalang tetapi mereka telah melintas di
padang perdu di daerah Kabuyutan Randumalang itu pula.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang menjadi cemas, bahwa pada suatu saat Widati
akan dapat diketemukan oleh Singatama. Seandainya tidak
oleh para cantrik di padepokan Empu Nawamula, tetapi
oleh para cantrik di padepokan Singatama sendiri. Jika
terjadi demikian, maka keadaan gadis itu akan menjadi
semakin gawat. Ketika hal itu disampaikannya kepada Mahendra, maka
Mahendrapun berkata "Apakah tidak sebaiknya gadis itu
berada didalam perlindungan kita?"
"Apakah ayahnya akan mempercayai kita?" bertanya
Mahisa Pukat. "Bukankah kalian dapat menguraikan apa yangrnungkin
terjadi?" bertanya Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun akhirnya
mengambil satu keputusan untuk membagi diri. Mahisa
Pukat akan meneruskan perjalanan ke tempat yang sudah
disepakati oleh para cantrik, sementara Mahisa Murti akan
menempuh perjalanan kembali ke Randumalang. Untuk
meyakinkan Ki Buyut Randumalang, maka Mahisa
Bungalan akan menyertainya bersama Mahisa Agni.
Demikianlah, maka sepuluh orang prajurit yang tidak
mengenakan ciri-ciri keprajuritannya itupun telah dibagi
pula. Lima orang bersama Mahisa Pukat dan lima orang
bersama Mahisa Murti. Kedatangan Mahisa Murti di rumah Ki Buyut bersama
beberapa orang telah mengejutkan. Bahkan Ki Buyut telah
mempunyai prasangka buruk. Ia pernah menasehati anak
gadisnya agar anaknya itu memilih kawan, apalagi yang
nampaknya akan dapat menyentuh hatinya. Oleh karena itu
maka Ki Buyut menganggap bahwa anaknya merasa
dihalanginya, sehinga Mahisa Murti mengambil langkahlangkah
tertentu untuk menembus batasan yang telah
diberikannya kepada anak gadisnya.
Dengan cemas ia kemudian menerima Mahisa Murti dan
beberapa orang yang bersama di pendapa. Dengan cemas
pula ia menanyakan, apakah maksud kedatangan Mahisa
Murti dan beberapa orang itu.
Mahisa Murti melihat kecemasan di sorot mata Ki
Buyut. Iapun mengerti, bahwa Ki Buyut yang merasa
dirinya dan bahkan seisi Kabuyutannya itu terlalu lemah
untuk menghadapi Mahisa Muru apalagi dengan beberapa
orang yang tentu orang-orang pilihan, menemui
kedatangannya dengan kecemasan.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah berusaha untuk
menjelaskan, maksudnya dengan sangat hati-hati. Ia mulai
dengan pertemuannya dengan seorang anak muda yang
bernama Singatama. "Aku berada di padepokannya Dengan tidak kami
rencanakan sebelumnya, kami telah bermalam di sebuah
padepokan yang ditunggui oleh seorang Empu yang kami
kenal. Namun ternyata bahwa padepokan itu adalah
padepokan yang akan menjadi milik Singatama" berkata
Mahisa Murti lebih lanjut.
Dengan terperinci Mahisa Murti menceriterakan
pertemuannya dengan Ki Raganiti. Dari Ki Raganitilah
maka Mahisa Murti mengetahui semua persoalannya
dengan jelas. Ternyata bahwa gadis yang disebut-sebut oleh
Singatama itu adalah Widati.
Ki Buyut memang tidak segera mempercayainya. Tetapi
karena Mahisa Murti dapat menjelaskan dengan lengkap
dan terperinci, maka Ki Buyut mulai condong untuk
mempercayainya bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Murti
itu benar. Namun untuk mempercayakan anak gadisnya
kepada anak muda itu, Ki Buyutpun agaknya masih tetap
ragu-ragu. Bagi Ki Buyut. Mahisa Murti adalah anak muda
yang asing. Karena itulah, maka Mahisa Murti tidak dapat
menyembunyikan diri lagi terhadap Ki Buyut itu agar Ki
Buyut dapat mempercayainya. Bahkan Mahisa Bungalan
yaiig datang bersamanya kemudian menunjukkan timang
keprajuritannya yang berada dibawah bajunya sambil
berkata "Aku adalah seorang prajurit. Beberapa orang yang
ada disini sekarang ini adalah prajurit Singasari pula. Kami
sedang berusaha untuk mengamankan daerah ini dari
tangan-tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian,
ia masih juga meyakinkan, bahwa anaknya tidak akan
menemui kesulitan, sehingga karena itu, maka katanya
"Baiklah Ki Sanak. Tetapi aku minta, agar aku diijinkan
pergi bersama kalian. Aku dapat menyerahkan
pemerintahan di Kabuyutan ini kepada para bebahu yang
lain" Mahisa Agni yang datang pula bersama Mahisa Murti
sama sekali tidak merasa berkeberatan. Karena itu, maka
katanya "Bagi kami Ki Buyut, kesediaan Ki Buyut akan
merupakan penghargaan bagi kami. Bahkan mungkin
dalam keadaan yang sulit, Ki Buyut akan dapat
memberikan banyak bantuan kepada kami"
"Ah. Ki Sanak tentu sudah mendengar dari anak muda
ini, bahwa aku dan orang-orang Kabuyutan ini tidak berarti
apa-apa didalam olah kanuragan" jawab Ki Buyut.
"Karena itu Ki Buyut" sahut Mahisa Murti "Widati
harus mendapat perlindungan yang cukup. Singatama akan
dapat melakukan segala cara untuk mencapai maksudnya.
Bahkan mungkin dengan cara yang paling kasar"
Dalam pada itu, maka Ki Buyutpun telah membenahi
diri. Demikian pula dengan Widati. Meskipun Widati
tertarik kepada Mahisa Murti, tetapi perjalanan itu
membuatnya sangat berdebar-debar. Ia akan berada
didalam satu lingkungan yang tidak diketahuinya.
Sekelompok laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan yang
tinggi. Meskipun ia akan pergi bersama ayahnya, tetapi
ayahnya tentu tidak akan berarti apa-apa bagi orang-orang
itu seandainya mereka bermaksud buruk.
Karena itu, maka ketika mereka mulai dengan
perjalanannya, setelah Ki Buyut menyerahkan
pemerintahan Kabuyutan itu kepada para bebahu yang lain,
Widati tidak terpisah dengan sebilah patrem. Ia akan dapat
mempergunakan senjata itu untuk mempertahankan diri.
Tetapi juga untuk menghindarkan diri dan kepahitan yang
akan dapat menerkamnya. Dengan demikian, maka sebuah iring-iringan telah
menelusuri jalan yang kadang kadang terasa sangat sulit.
Terutama bagi Widati. Namun Mahisa Murti yang paling
mengetahui, kemana mereka akan pergi, berkuda di paling
depan dengan agak tergesa-gesa.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mendekat tempat
yang sudah mereka sepakati. Meskipun yang sepekan itu
masih belum habis, ternyata sudah ada beberapa orang
cantrik yang mendahului sampai ke tempat yang sudah
mereka sepakati itu. Bahkan mereka telah mulai mencari
lingkungan yang paling baik untuk disebut sebuah
padepokan baru yang akan di kembangkan untuk
memancing persoalan dengan sebuah padepokan yang
memiliki sumber ilmu hitam.
Kedatangan Mahisa Pukat dengan beberapa orang yang
belum mereka kenal, telah disambut oleh para cantrik
dengan gembira. Namun mereka menjadi heran, bahwa
diantara orang-orang yang datang itu, tidak terdapat
Mahisa Murti. "Ia akan segera menyusul" berkata Mahisa Pukat
"sementara kita akan membenahi diri"
"Kawan-kawan kita telah menemukan satu lingkungan
yang baik bagi sebuah padepokan. Lingkungan yang sepi
yang tidak banyak diketahui orang" berkata seorang cantrik.
"Dimana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Beberapa ratus langkah dari tempat ini. Ditepi hutan
yang tidak terlalu lebat. Kita akan mendapat banyak
kesempatan untuk melakukan banyak kegiatan tanpa
diketahui oleh Singatama" jawab cantrik itu.
Tetapi ternyata Mahisa Pukat tidak sependapat. Katanya
"Kau aneh. Kita tidak sedang bersembunyi. Kita justru
sedang memancing persoalan. Karena itu, kita akan
mencari tempat yang justru banyak di ketahui orang,
sehingga berita tentang sebuah padepokan baru yang akan
dibangun menjadi segera tersebar. Kitapun akan
mengatakan kepada orang-orang yang kita jumpai, bahkan
para pedagang yang akan kita hentikan karena kita
memerlukan untuk membeli barang jualannya, akan kita
beritahu, bahwa para cantrik dari padukuhan Empu
Nawamula telah berpindah kesebuah padukuhan baru yang
sedang dipersiapkan"
Wajah para cantrik menjadi tegang. Beberapa orang
diantara mereka saling berpandangan. Namun kemudian
seorang diantara mereka berkata "Kau benar. Kita memang
tidak sedang bersembunyi. Semakin cepat bersoalan ini
selesai, akan menjadi semakin baik Kita bukan binatang
yang dapat diperlakukan sekehendak hati Singatama.
Karena itu. segeralah terjadi. Mati atau mukti menurut
pengertian kita, para cantrik yang ingin hidup tenang di
padepokan sambil menuntut ilmu kejiwaan dan kenuragan"
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun
kemudian mengangguk-angguk. Bahkan beberapa orang
bergumam "Aku sependapat"
Dengan demikian, maka Mahisa Pukatlah yang
kemudian bersama beberapa orang cantrik telah
membicarakan tempat yang paling baik yang akan mereka
buka untuk menjadi sebuah padepokan. Padepokan yang
hanya akan mereka pergunakan beberapa saat saja.
Dalam pada itu, Mahendra, Witantra dan para prajurit
Singasari segera mencari tempat untuk beristirahat,
sementara Mahisa Pukat dan dua orang cantrik telah
menyusuri tempat disekeliling tempat peristirahatan itu
untuk mereka jadikan satu lingkungan padepokan baru.
Justru tempat yang banyak diketahui orang dan tidak
tersembunyi. Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Memang
sebuah padang perdu ditepi sebuah hutan kecil. Tetapi tidak
jauh dari sebuah jalan yang menghubungkan satu
padukuhan dengan padukuhan yang lain. Meskipun jalan
itu tidak terlalu besar, tetapi satu dua orang yang lewat
dijalan itu akan segera berceritera tentang sebuah
padepokan baru. Ceritera itu akan segera tersebar sehingga
akhirnya akan terdengar oleh Singatama atau orangorangnya.
Apalagi setelah ia menyadari, bahwa waktu yang
sepekan itu telah habis dan orang-orangnya tidak segera
kembali. Tanpa menunggu Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat
dan para cantrik telah mengambil satu keputusan. Mereka
akan mulai membuat patok-patok kayu disekeliling padang
perdu. Mereka akan mengambil satu lingkungan yang tidak


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu terlalu luas. Didalam pagar yang akan mereka buat.
mereka akan mendirikan barak-barak yang akan mereka
pergunakan untuk berteduh.
Ternyata bahwa perjalanan Mahisa Murti yang
membawa Widati bersamanya telah terhambat, sehingga
mereka harus bermalam semalam lagi diperjalanan. Dengan
hati yang berdebar-debar Widati sama sekali tidak mau
terpisah dari ayahnya dan tidak pula terpisah dari patrem
yang diselipkan di ikat pinggangnya.
Namun malam itu, mereka tidak mengalami sesuatu.
Ketika matahari menyingsing, mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke tempat yang sudah ditentukan.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan para cantrik, bahkan
para prajurit yang datang bersama Mahisa Pukat dalam
pakaian orang kebanyakan itu, telah membantu mereka
pula. Yang mula-mula mereka kerjakan, adalah memotong
beberapa batang pohon di hutan yang tidak begitu besar.
Mereka mengambil batang dan dahan-dahan yang rampak,
untuk membuat dinding disekeliling tanah yang mereka
perlukan. Mereka memotong dahan-dahan itu setinggi
orang, kemudian mereka tanam rapat sehingga merupakan
dinding yang cukup kuat. Apalagi mereka telah mengikat
batang dan dahan-dahan kayu itu dengan lulup.
Tetapi kerja itu ternyata adalah kerja yang besar. Kerja
yang sangat melelahkan. Namun mereka bertekad untuk
melanjutkan kerja itu, meskipun kemudian kerja itu tidak
lagi terlalu rapi, karena mereka sadar, bahwa padepokan itu
bukannya padepokan yang sebenarnya.
Ketika Mahisa Murti kemudian sampai ke tempat itu,
maka orang-orang yang datang bersamanya itupun segera
membantu Mahisa Pukat. Dengan tidak terlalu
menghiraukan mutu kerja yang mereka lakukan, mereka
ingin segera memberikan kesan, bahwa mereka telah
membuat satu lingkungan kehidupan tersendiri, yang
kemudian akan mereka sebut dengan sebuah padepokan.
Pada saat padepokan itu mulai dikerjakan, maka waktu
yang sepekan itu telah habis. Dengan berdebar-debar
Singatama menunggu kedatangan para cantrik yang telah
menyebar. Dihari pertama, Singatama menyangka, bahwa para
cantrik masih berada diperjalanan kembali. Tetapi di hari
kedua setelah batas waktu yang sepekan itu, belum juga ada
seorangpun yang datang. Singatama mulai menjadi gelisah. Tetapi ia masih tetap
yakin bahwa tidak seorangpun dari para cantrik itu yang
akan berani mengabaikan perintahnya, kecuali dua orang
cantrik baru yang telah melarikan diri.
"Agaknya belum seorangpun yang menemukan gadis
itu" berkata Singatama. Namun kemudian "Tetapi dapat
atau tidak dapat, mereka tentu akan kembali pada
waktunya, meskipun mereka akan dihukum. Bahkan
mungkin mereka dapat berharap, seorang kawannya telah
berhasil menemukan gadis yang mereka cari"
Pada hari ketiga, kemarahan Singatama mulai membakar
jantung. Dengan nada keras ia bertanya kepada Empu
Nawamula "Paman, kenapa para cantrik tidak seorangpun
yang datang kembali setelah tiga hari berselang dari waktu
yang telah aku berikan"
Tetapi jawab Empu Nawamula memang sangat
mengecewakan "Aku tidak tahu. Bukankah kau berhadapan
langsung dengan para cantrik itu"
"Apakah mereka bersama-sama melarikan diri?"
bertanya Singatama. "Aku tidak tahu. Sebenarnya akupun telah menantinanti.
Kebun dan halaman padepokan ini telah menjadi
sangat kotor. Kami yang tinggal tidak lagi mampu
membersihkan halaman sluas ini" jawab Empu Nawamula.
"Persetan dengan kebun dan halaman" geram Singatama
"aku memerlukan laporan perjalanan mereka semuanya.
Aku memerlukan keterangan tentang gadis itu"
Tetapi Empu Nawamula tidak membiarkannya
membentak-bentak. Karena itu iapun menjawab "Itu
urusanmu. Bukan urusanku"
Singatama menggeram. Tetapi ia tidak berani
membentak pamannya lagi. Jika pamannya benar-benar
marah dan melakukan kekerasan, ia tidak akan dapat
berbuat banyak. Karena itu, maka yang dilakukannya
kemudian adalah menunggu barang satu dua hari. Jika
dalam dua hari para cantrik tidak datang, bahkan
seorangpun, maka jelaslah bagi Singatama, bahwa para
cantrik itu memang melarikan diri.
"Aku akan menghukum keluarga mereka" geram
Singatama, yang kemudian berkata kepada pengikutnya
"Kita akan memburu keluarga mereka. Jangan berbelas
kasihan" Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mulai membuat barak-barak sederhana. Dengan kayu
mereka ambil dihutan dan atap ilalang, maka beberapa
gubug telah berdiri, sekedar untuk berteduh. Usaha mereka
untuk menarik perhatian, ternyata tidak sia-sia. Beberapa
orang yang lewat di jalan kecil tidak jauh dari sebuah
padepokan kecil yang mereka bangun itu, telah saling
memperbincangkannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dengan sengaja
menghubungi orang-orang padukuhan untuk membeli
makanan, telah mengatakan, bahwa mereka memang
sedang menyiapkan sebuah padepokan.
"Kami akan segera menghubungi Ki Buyut di Kabuyutan
ini" berkata Mahisa Murti.
"Kalian nampaknya aneh" berkata seorang penghuni
padukuhan diujung bulak "kalian tidak membuka sebuah
padepokan seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang
sebelumnya. Mereka mempersiapkan sebuah padepokan
untuk waktu yang lama. Mereka mengatur lingkungan
dengan saksama. Mereka memerlukan tanah yang luas
sebagai tanah garapan. Tetapi kalian membuat sebuah
padepokan dengan tergesa-gesa dan seolah-olah sekedar
gubug-gubug yang mirip dengan kandang ayam"
"Semuanya itu baru persiapan" jawab Mahisa Pukat
"dengan modal gubug-gubug kecil itu, kita akan
mempersiapkan sebuah padepokan yang baik. Hutan kecil
itu akan kami tebas dan akan kami jadikan daerah
persawahan yang subur. sudah tentu dengan ijin Ki Buyut"
"Ki Buyut tentu tidak akan berkeberatan. Disini hutan
masih sangat luas" jawab orang itu.
Dalam pada itu, dengan sengaja pula Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengatakan, bahwa orang-orang yang ikut
membangun padepokan itu adalah para cantrik dari sebuah
padepokan yang dipimpin oleh Empu Nawamula dan
kemenakannya yang bernama Singatama.
"Tetapi kami tidak ingin kembali lagi ke padepokan itu"
berkata Mahisa Pukat "kami ingin hidup disini. Bahkan
seorang adik perempuanku ikut pula bersama kami. Karena
sebenarnyalah sebuah padepokan memerlukan perempuan
untuk menyiapkan makanan dan minuman"
"Juga aneh" sahut orang padukuhan itu "bukankah para
cantrik harus mampu menanak nasi, memasak dengan
membuat minuman?" "Ia. Tetapi bukankah lebih baik hal itu dilakukan oleh
seorang perempuan?" Selebihnya adik perempuanku
memang sedang bersembunyi"
Dengan demikian, maka berita tentang padepokan baru
itu segera tersebar. Bukan hanya di satu dua padukuhan.
Tetapi telah tersebar semakin lama semakin luas.
Dalam pada itu, meskipun letak padepokain itu tidak
terlalu jauh dari sebuah sumber air dibawah sebatang pohon
raksasa dipinggir hutan, tetapi mereka telah mem buat
sebuah sumur pula. Dengan demikian, maka padepokan itu telah dilengkapi
dengan pemenuhan kebutuhan bagi satu lingkungan hidup,
meskipun tidak disiapkan untuk seterusnya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengatur diri sebaik-baiknya. Para cantrik harus tetap
berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Segalanya
akan dapat berlangsung dengan cepat, sehingga
memerlukan penanganan yang cepat pula.
Sebenarnyalah, yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itupun segera terjadi. Berita tentang sebuah
padepokan baru yang dihuni oleh para cantrik yang
melarikan diri dari sebuah padepokan yang lain, telah
terdengar oleh Singatama.
Berita itu rasa-rasanya telah membuat darahnya
mendidih. Jantungnya bagaikan berdentang semakin cepat.
"Orang-orang gila yang telah jemu hidup" geram
Singatama "aku harus menghukum mereka"
Kedua orang saudara seperguruan Singatama itupun
mempunyai tabiat yang serupa. Karena itu, berita itu rasarasanya
telah mendorong mereka untuk segera mencari
padepokan baru itu. Tetapi Empu Nawamula sempat
bertanya kepada mereka "Apa yang akan kalian lakukan?"
"Menghukum mereka" jawab Singatama "yang melawan
akan aku bunuh" "Apakah kau kira para cantrik itu tidak mampu
mengadakan perlawanan?" bertanya Empu Nawamula.
"Persetan dengan mereka" geram Singatama "kami
bertiga akan dapat membunuh mereka semua. Tidak
seorangpun yang akan mampu menyelamatkan diri"
kemudian hampir berteriak Singatama berkata "Mereka
memang sengaja menantang aku. Ternyata gadis yang
mereka cari itu sudah dapat mereka ketemukan. Sekarang
gadis itu berada di satu tempat yang mereka sebut dengan
sebuah padepokan baru"
Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
mengerti rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun
Empu Nawamula sebenarnya masih juga mencemaskan
kedua anak muda itu. Jika seluruh padepokan yang
dipimpin oleh guru Singatama itu bergerak, apakah
padepokan baru itu akan mampu melawannya.
Namun, seperti Empu Nawamula sendiri, maka tekad
untuk menghancurkan padepokan yang berlandaskan pada
ilmu hitam itu merupakan bagian dari pengabdian mereka
terhadap sesama. Karena itu, maka mereka memang tidak
mempunyai pilihan lain daripada melawan dengan sepenuh
kemampuan dan kekuatan. Karena itu, maka Empu Nawamula tidak lagi berbuat
sesuatu. Dibiarkannya saja Singatama mengambil satu
sikap. Sebenarnyalah dengan darah yang serasa mendidih,
Singatama dengan kedua orang saudara seperguruannya,
benar-benar telah mencari padepokan baru yang
didengarnya lewat orang-orang yang hilir mudik dari satu
pasar kepasar yang lain yang mendengar berita itu sambung
bersambung. Meskipun kedatangan Singatama itu memang
diharapkan, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terkejut juga, ketika seorang cantrik dengan pucat
melaporkan kepadanya, bahwa tiga orang berkuda telah
datang. "Siapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya"
jawab cantrik itu dengan gemetar.
"He, kenapa kau menjadi pucat dan gemetar?" bertanya
Mahisa Pukat tiba-tiba. Cantrik itu tidak menjawab.
Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun tertawa sambil
berkata "Bukankah kau sudah bertekad untuk menjadi
seorang laki-laki. Apapun yang terjadi tidak akan
menggetarkan tekad itu"
Cantrik itu mengangguk. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk
berbicara lebih panjang. Sementara itu terdengar suara
orang berteriak di luar pagar "He, orang-orang gila. Apakah
kali-an benar-benar menantang aku?"
Para cantrik yang mendengar suara Singatama itu
memang menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga
mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan mereka.
Mereka sudah terbiasa berada dibawah pengaruh ketakutan
yang sangat terhadap anak muda itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah membuka pintu regol yang ditutup rapat oleh para
cantrik dan diselarak rangkap. Sambil berdiri di muka pintu
Mahisa Murti berkata "He, bukankah kau Singatama?"
"Ya. Aku Singatama. Kaukah cantrik yang telah mencuri
dua ekor kuda dan melarikan diri di dini hari itu?" bertanya
Singatama. "Ya. Kami berdua memang telah melarikan diri. Tetapi
kali ini kami sama sekali tidak akan melarikan diri" jawab
Mahisa Pukat. Lalu "saat itupun sebenarnya kami tidak
melarikan diri. Tetapi kami sedang menyiapkan satu
rencana besar bagi kemanusiaan. Kami sedang
mempersiapkan sebuah padepokan untuk menampung para
cantrik yang tidak tahan lagi kau perlakukan dengan
sewenang-wenang. Tetapi lebih dari itu, kami sedang
menyiapkan sebuah perlawanan terhadap nafas kehidupan
padepokanmu yang penuh dengan tingkah laku dan tindak
tanduk yang bertentangan dengan peradaban manusia"
"Persetan" geram Singatama "aku tidak perlu
sesorahmu. Siapa yang akan melawan aku" Atau kalian
ingin berkelahi berbareng" Marilah, dengan demikian maka
tugasku akan segera selesai. Karena aku tahu, bahwa kalian
telah menyembunyikan gadis yang aku cari itu disini"
Tetapi sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sangat
mengejutkan Singatama. Keduanya sama sekali tidak
menjadi gentar. Tetapi keduanya justru tertawa.
"Kau jangan mengumpat-umpat disini" berkata Mahisa
Pukat "kau sangka bahwa dengan demikian, kami akan
menjadi ketakutan". Kami para cantrik telah bersepakat
untuk tidak kembali lagi kepadamu, meskipun kami sudah
berhasil menemukan gadis yang kau kehendaki" Kami telah
membawanya ke tempat ini agar kau tidak akan dapat


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambilnya" "Gila "Singatama berteriak "aku bunuh kau pertama.
Kau orang baru di padepokan kami, sehingga kau tidak
mengetahui tingkat kemampuan Singatama"
"Kau kira, kami akan silau melihat tingkat
kemampuanmu" Baiklah. Jika kau ingin mengambil gadis
itu, kau harus menempuh sayembara ini. Sayembara
tanding. Jika kau berhasil mengalahkan kami para cantrik,
maka kau akan dapat membawanya keluar dari padepokan
kami" sahut Mahisa Pukat.
Kemarahan Singatama benar-benar telah membakar
kepalanya. Dengan kemarahan yang meluap itu ia berteriak
"Bersiaplah untuk mati"
Singatama yang telah meloncat turun dari kudanya
diikuti oleh kedua orang saudara seperguruannya itu setelah
mengikatnya pada sebatang pohon perdu, telah melangkah
mendekat sambil berkata "Aku akan membakar padepokan
ini" Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan mereka berdua telah melangkah
keluar pintu regol padepokannya.
Namun dalam pada itu, dari dalam regol ia mendengar
Mahendra berkata perlahan-lahan "Jika mereka dapat kau
kalahkan, beri kesempatan mereka menyampaikan
persoalan ini kepada gurunya. Dengan demikian, kita
berharap bahwa seisi padepokannya akan datang kemari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Tetapi
mereka tidak menjawab. Dalam pada itu, Singatama yang marah itu sempat juga
menjadi heran. Yang keluar dari pagar kayu itu hanya dua
orang saja. Dua orang cantrik yang telah melarikan diri dari
padepokannya. "Jangan hanya kau berdua" teriak Singatama "apalagi
kalian adalah orang-orang baru yang tidak berarti. Biarlah
semua cantrik datang mengerubutku"
"Mereka hanya akan nonton" berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah, beberapa orang cantrik telah berdiri berjajar
disebelah menyebelah regol di bagian dalam dengan alas
kayu, batu atau dingklik-dingklik kecil. Mereka memang
hanya akan menonton perkelahian yang akan terjadi.
Dengan menunjukkan kelebihan dua orang diantara para
cantrik, maka mereka berharap, bahwa mereka akan dapat
memancing kedatangan bukan saja kawan-kawan
seperguruan Singatama, tetapi juga gurunya, yang
merupakan sumber penyebaran ilmu yang tidak pantas bagi
kehidupan manusia. Kemarahan Singatama memang sudah tidak tertahankan
lagi. Namun Mahisa Murti masih berkata "Lihat
Singatama. Kali ini dua orang diantara mereka akan
menghadapimu. Kau dapat membayangkan. Jika mereka
semuanya keluar dari padepokan ini, maka kau benar-benar
akan menjadi sayatan kulit dan daging"
"Tutup mulutmu" geram Singatama "kau jangan
membual saja. Marilah, aku antarkan kau ke batas maut"
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia berkata
kepada Mahisa Pukat "Kau sajalah yang menjadi saksi.
Aku sendiri akan menghadapi Singatama. Biarlah ia
mengerti, bahwa tidak semua orang yang memasuki sebuah
padepokan menjadi seorang cantrik akan dapat
diperlakukan sewenang-wenang"
"Aku sobek mulutmu" geram Singatama.
"Yang penting bagiku, bukan menang atau kalah. Tetapi
aku sudah menyatakan diriku. Aku tidak akan dapat
diperlakukan sewenang-wenang. Mungkin kau akan dapat
membunuh aku. Wadagku akan terbaring diam. Tetapi kau
tidak akan dapat memperbudak jiwaku. Meskipun tubuhku
dapat kau kuasai, tetapi kau tidak akan dapat mengikat
kebebasan jiwaku" berkata Mahisa Murti.
Singatama tidak dapat menahan diri lagi. Dengan
langkah panjang ia meloncat, langsung menyerang Mahisa
Murti. Tetapi Mahisa Murti memang sudah siap. Dengan
sigapnya iapun telah mengelakkan serangan itu, sehingga
serangan Singatama sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Dalam pada itu, kepala-kepala para cantrik dan orangorang
yang berada di balik pagar itupun menjadi semakin
banyak bermunculan di balik pagar. Mahisa Agni, Witantra
dan Mahendrapun telah melihat perkelahian itu pula,
sementara Mahisa Bungalan yang gelisah, berdiri disebelah
pintu. Seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk
meloncat ke arena jika diperlukan. Dari sela-sela batangbatang
kayu yang memagari padepokan itu, ia dapat
melihat, apa yang telah terjadi diluar.
Mahisa Pukatpun menjadi tegang. Tetapi ia mempunyai
kewajiban untuk mengawasi dua orang saudara
seperguruan Singatama. Jika mereka melibatkan diri. maka
Mahisa Pukat harus mencegahnya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Mahisa
Murti dan Singatama itupun menjadi semakin sengit.
Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya memiliki
ilmu yang cukup tinggi meskipun bersumber dan berwarna
lain. Singatama yang marah itu bertempur semakin lama
menjadi semakin kasar, sesuai dengan sifat ilmunya.
Namun Mahisa Murti dengan cepat menyesuaikan diri. Ia
melawan kekasaran lawannya dengan kemampuannya
bergerak secepat burung sikatan.
Dalam pada itu, di dalam padepokan yang dibuat untuk
menjebak Singatama dan perguruannya itu, seorang gadis
sedang menggigil ketakutan. Ia tahu apa yang telah terjadi
diluar. Seorang anak muda yang keras, kasar dan memiliki
ilmu yang tinggi telah datang untuk mencarinya.
"Apakah orang-orang didalam lingkungan pagar ini akan
dapat mencegahnya ayah" bertanya Widati kepada ayahnya
yang juga menjadi berdebar-debar.
"Diantara mereka terdapat beberapa orang prajurit
Widati. Tanpa mereka, aku tidak akan membiarkan kau
bersama dengan orang-orang yang belum aku kenal dengan
baik" berkata Ki Buyut.
"Tetapi orang-orang ditempat ini berbuat baik ayah.
Nampaknya mereka memegang satu paugeran yang teguh.
Namun yang mencemaskan aku, apakah pada suatu saat,
apabila anak muda yang kasar itu datang bersama kawankawannya,
padepokan ini akan dapat melawan" bertanya
Widati dengan suara bergetar.
"Anak itu hanya datang bertiga" jawab ayahnya.
"Sekarang mereka datang bertiga" berkata Widati "tetapi
aku tahu, ia adalah seorang murid dari satu perguruan yang
besar. Jika kali ini ia harus menelan kekalahan, maka esok
atau lusa mereka akan datang bersama banyak orang dan
yang barangkali bersama dengan gurunya pula"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Hal itu memang
mungkin terjadi. Tetapi untuk menenangkan anaknya ia
berkata "Widati, di padepokan bayangan ini terdapat
sejumlah orang yang terdiri dari bermacam-macam latar
belakang kehidupan. Ada diantara mereka benar-benar
cantrik dari sebuah padepokan. Ada diantara mereka
prajurit yang dalam tugas melindungi orang-orang yang
diperlakukan sewenang-wenang, seperti yang mungkin
terjadi atas dirimu. Dan ada diantara mereka adalah dua
orang perantau yang pernah berada di Kabuyutan kita. Aku
yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan olah kanuragan"
Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika ayahnya
bergeser gadis itu berkata "Ayah, jangan pergi"
"Aku akan melihat apa yang terjadi di luar pagar"
berkata ayahnya. "Jangan tinggalkan aku sendirian" pinta anaknya.
Ki Buyut mengurungkan niatnya. Tetapi ia mengetahui
bahwa yang berada diluar pagar adalah dua orang anak
muda yang pernah berada di Kabuyutan mereka Dua orang
anak muda yang memang memiliki kemampuan yang
tinggi. Seningga dengan demikian maka mereka sama sekali
tidak gentar menghadapi Singatama dengan dua orang
seperguruannya. Dalam pada itu, pertempuran antara Singatama dan
Mahisa Murti itupun menjadi semakin sengit. Keduanya
mulai mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada
mereka. Singatama yang kasar itupun menjadi semakin kasar.
Kedua tangannya kadang-kadang nampak mengembang
sebagaimana juga dengan jari-jarinya. Dengan teriakanteriakan
yang keras ia menyerang dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Murti mampu mengimbangi dgn
kecapaian geraknya. Serangan-serangan Singatama yang
keras dan kasar itu mampu dihindarinya. Bahkan seranganserangan
Mahisa Murti yang cepat, mampu menembus
pertahanan Singatama, sehingga sekali dua kali, justru
Mahisa Murfilah yang mulai mengenainya.
Singatama yang marah itu menggeram. Tata-geraknya
menjadi semakin kasar. Tanpa menghiraukan apapun juga,
kekasarannya semakin menjadi-jadi.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula,
bahwa sebenarnyalah Mahisa Murti masih mempunyai
kelebihan dari Singatama itu. Betapapun kasar dan liarnya
serangan-serangan yang datang membadai, namun Mahisa
Murti masih selalu dapat mengatasinya. Meskipun akhirnya
serangan-serangan lawannya itu dapat mengenainya juga,
namun Mahisa Murti masih mampu mengenai lawannya
lebih banyak lagi. Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra
mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Meraka
melihat sesuatu yang agak ialn pada Mahisa Murti. Namun
ketajaman pengamatannya segera mengetahui, bahwa ada
unsur-unsur gerak yang baru terselip dalam tata gerak
Mahisa Murti, tanpa merusakkan keseluruhan ilmunya.
Bahkan seolah-oiah mampu mengisi kekurangan yang
kadang-kadang terdapat diantara unsur-unsur gerak anak
muda itu didalam perkelahian yang cepat.
"Ia berhasil membuka diri atas pengalaman baru didalam
dunia kanuragan" berkata Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Sama sekali
tidak merugikan. Tetapi justru berhasil meningkatkan
kemampuannya dalam keseluruhan"
Mahendra tidak memberikan tanggapan sesuatu. Tetapi
ia sependapat, bahwa dengan demikian, ilmu Mahisa Murti menjadi
semakin lengkap. Dalam pada itu, maka perkelahian yang seru itupun
berlangsung semakin cepat. Keduanya bertempur dengan
segenap kemampuan mereka. Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah bahwa kemampuan Mahisa Murti memang
lebih tinggi dari Singatama. Meskipun Singatama
bertempur dengan garangnya, namun semakin lama
menjadi semakin jelas, bahwa ia mulai terdesak.
Sementara itu, kedua saudara seperguruannya
memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sekalisekali
terdengar keduanya mengumpat dengan kasarnya.
Namun akhirnya keduanyapun dapat melihat, bahwa ilmu
anak muda yang menyebut dirinya seorang diantara para
cantrik itupun ternyata lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki
oleh Singatama. "Gila" geram salah seorang diantara kedua orang itu
"tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Jika kedua orang itu
benar-benar cantrik di padepokan Empu Nawamula, maka
keduanya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan
Singatama. Tetapi kenyataan yang mereka hadapi tidak demikian.
Cantrik itu dapat mendesak Singatama, betapapun
Singatama mengerahkan kemampuannya. Bahkan sekalikali
Singatama telah terdorong oleh serangan Mahisa Murti
sehingga kadang-kadang Singatama harus berloncatan
menjauh. Namun semakin lama, kesulitan Singatamapun
mendekati saat yang menentukan. Serangan Mahisa Murti
menjadi semakin cepat. Sekali-sekali Singatama telah
terdorong beberapa langkah oleh serangan Mahisa Murti
yang mengenainya. Bahkan kadang-kadang terdengar
Singatama mengeluh tertahan.
Mahisa Murti justru mempergunakan saat-saat yang
demikian untuk menekan lawannya yang kasar itu. Ketika
Singatama berusaha meloncat menghindar sejauh-jauhnya
oleh serangan- beruntun, Mahisa Murti telah memburunya.
Demikian Singatama berhasil memperbaiki keadaannya,
Mahisa Murti telah menyerangnya dengan kekuatan yang
penuh. Singatama tidak sempat menghindar lagi. Karena itu,
maka serangan Mahisa Murti itu telah melemparkannya
beberapa langkah, sehingga Singatama itupun jatuh
berguling di tanah. Kedua saudara seperguruannya memperhatikannya
dengan jantung yang berdebaran. Namun mereka tidak
dapat menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta
merekapun telah melangkah mendekat.
Mahisa Pukat yang mengamatinyapun tidak
membiarkan mereka melibatkan diri dan bertiga bertempur
melawan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa
Pukatpun telah melangkah maju pula sambil berkata
"Marilah, jika kalian ingin bermain-main pula, aku akan
melayani kalian" "Persetan" geram seorang diantara mereka "aku tidak
mau bermain-main. Aku akan mempertaruhkan nyawaku.
Kita akan bertempur sampai mati"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Kedua saudara
seperguruan Singatama itu langsung menarik senjatanya.
Sebilah pedang yang panjang.
Mahisa Pukatpun tidak mau bertempur tanpa senjata.
Karena itu, maka iapun telah menarik pedangnya pula.
Pedang yang telah dipersiapkannya.
Tetapi dalam pada itu, keadaan Singatama benar-benar


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gawat ketika Mahisa Murti siap untuk menyerangnya selagi
ia berusaha untuk bangkit.
Karena itulah, maka salah seorang saudara
seperguruannya tidak membiarkannya dihancurkan oleh
cantrik yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat
menyerang Mahisa Murti dengan senjatanya.
Mahisa Murti mengurungkan niatnya untuk menyerang.
Ia harus memperhatikan serangan senjata lawannya yang
baru itu. Sementara itu, saudara seperguruan Singatama yang lain,
teiah dengan serta merta menyerang Mahisa Pukat yang
sudah siap untuk melawannya. Karena itu, maka serangan
lawannya itu sama sekali tidak membahayakannya. Bahkan
dengan mudahnya ia mengelak dan bahkan dengan cepat
pula, ia menjulurkan senjatanya mengarah ke lambung
lawan. Pada saat itu, Mahisa Murti tengah meloncat
menghindari serangan pedang lawannya yang baru.
Sementara itu Singatamapun telah bangkit pula. Betapa
perasaan sakit di tubuhnya, namun ia masih mampu
bangkit dan menggeram "Orang itu memang harus
dibunuh" Semula Singatama masih ingin menunjukkan
kelebihannya dengan bertempur tanpa senjata. Namun
ternyata bahwa ia tidak mampu mengatasi kemampuan
lawannya, sehingga karena itu, maka iapun kemudian telah
menarik senjatanya pula. Sebilah pedang sebagaimana
kedua orang saudara seperguruannya.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang melihat Singatama
juga menarik pedangnya dengan cepat berusaha untuk
menyesuaikan diri. Meskipun kemudian Mahisa Murti juga
menarik pedangnya, namun agaknya mereka harus
menempatkan diri dalam kedudukan yang sama.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukatpun telah bergeser
mendekati Mahisa Murti. Agaknya Mahisa Murtipun
menyadari, hahwa ketiga orang saudara seperguruan itu
memiliki ilmu yang berbahaya pula.
Karena itu, sebaiknya tidak seorang diantara mereka
berdua yang harus bertempur melawan dua orang. Karena
itu, maka mereka berdua, tanpa membicarakannya, telah
berusaha untuk saling mendekat. Sehingga akhirnya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itupun telah bertempur
perpasangan melawan tiga orang saudara seperguruan yang
dipimpin oleh Singatama. Tetapi sebenarnyalah Singatama sendiri sudah mulai
menjadi letih. Tubuhnya terasa sakit di beberapa tempat,
karena sentuhan serangan Mahisa Murti. Tulang-tulangnya
serasa retak dan kulitnya menjadi bengkak-bengkak.
Namun demikian, dengan senjata ditangan, ia masih
tetap seorang yang berbahaya.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang memperhatikan
pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka
telah memegang, senjata ditangan masing-masing.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin
sengit. Singatama dan kedua orang saudara
seperguruannya, bertempur dengan kasar. Senjata mereka
berputar di-antara teriakan-teriakan yang kasar.
Para cantrik yang berada di dalam pagar menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung berdebaran. Teriakanteriakan
Singatama dan kedua orang saudara
seperguruannya, rasa-rasanya bagaikan menusuk hati.
Bagaimanapun juga, mereka masih saja selalu dibayangi
oleh kecemasan. Meskipun mereka sudah berusaha untuk
tidak menjadi ketakutan, namun rasa-rasanya sikap ketiga
orang saudara seperguruan itu benar-benar mengerikan.
Tetapi merekapun melihat, bahwa dua orang perantau
yang datang dan kemudian menyebut diri mereka cantrik
juga bersama yang lain di padepokan Empu Nawamula itu,
dan bahkan dalam latihan-latihan olah kanuragan keduanya
tidak menunjukkan kelebihan dari para cantrik yang lain,
ternyata berhasil mengimbangi kemampuan Singatama dan
kedua saudara seperguruannya. Bahkan tiga orang saudara
seperguruan itu tidak mampu mendesak dua orang
lawannya yang masih sangat muda itu.
Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berbekal ilmu yang tinggi, mampu bertahan melawan
Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya.
Bagaimanapun juga garangnya serangan mereka yang
datang bagaikan prahara, namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berhasil melindungi diri mereka dengan rapatnya.
Bahkan merekapun sekali-sekali berhasil mendesak lawanlawannya
dengan serangan-serangan yang berbahaya.
Betapapun garang dan kasarnya Singatama dan kedua
saudara seperguruannya, namun ternyata bahwa kecepatan
gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat
mereka kadang-kadang menjadi bingung dan kehilangan
sasaran. Dengan bertempur berpasangan, ternyata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat merupakan kekuatan yang sulit untuk
dipatahkan. Sekali-sekali keduanya terlepas dari ikatan tata
gerak berpasangan. Dalam kesempatan yang demikian
keduanya justru berloncatan menyerang dengan senjata
mereka yang bergetar dengan dahsyatnya.
Demikianlah, semakin lama semakin ternyata bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berhasil menguasai
ketiga orang lawannya. Singatama yang letih menjadi
semakin letih. Tenaganya telah jauh susut, sementara
tubuhnya terasa semakin lemah dan sakit-sakit.
Dalam keadaan yang gawat, serangan Mahisa Murti
justru lebih banyak mengejarnya. Mahisa Murti yang
menganggapnya sebagai pemimpin dari ketiga orang
saudara seperguruan itu, berpendapat, apabila Singatama
itu dapat dilumpuhkan, maka kedua orang saudara
seperguruannya tidak akan banyak dapat berbuat.
Karena itulah, maka serangan-serangan Mahisa Murti
lebih banyak tertuju kepada Singatama daripada saudarasaudara
seperguruannya. Semula, Mahisa Pukat tidak begitu menyadari usaha
Mahisa Murti. Namun akhirnya iapun mengetahuinya juga,
sehingga karena itu, maka iapun telah melakukan hal yang
serupa. Karena itulah, maka keadaan Singatama semakin lama
menjadi semakin sulit. Meskipun kedua orang saudara
seperguruannya telah bertempur dengan sepenuh
kemampuan mereka, tetapi ternyata bahwa mereka tidak
berhasil membendung serangan Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti yang datang bergelombang atas Singatama.
Dengan demikian, maka keadaan Singatama yang sudah
menjadi sangat letih itu semakin lama menjadi semakin
sulit. Bahkan akhirnya, ia tidak mampu lagi menghindari
ujung senjata Mahisa Murti, sehingga terdengar ia
mengeluh tertahan ketika ujung pedang Mahisa Murti
menggores pundaknya. Singatama meloncat beberapa langkah surut. Kedua
orang saudara seperguruannya telah mencoba untuk
melindunginya. Luka di pundak Singatama itu tidak terlalu dalam. Tetapi
darah yang mengalir dari luka itu telah membuat hatinya
menjadi kecut. Apalagi iapun tidak dapat mengabaikan
kesulitan yang semakin lama menjadi semakin
mendesaknya bersama kedua orang saudara
seperguruannya. Sementara itu. selagi Singatama merenungi lukanya,
serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang
mem-badai, sehingga kedua orang lawannyapun telah
terdesak surut. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara
mereka mengumpat kasar ketika terasa segores luka di
lengannya. "Anak setan" geramnya. Tetapi lukanya itu kemudian
telah mengalirkan darah. Demikianlah ketiga saudara seperguruan itu semakin
lama menjadi semakin terdesak. Tidak ada lagi kesempatan
bagi mereka untuk bertahan lebih lama lagi. Seranganserangan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin lama
menjadi justru semakin cepat.
Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah merubah sikap mereka. Keduanya
tidak lagi bertempur berpasangan pada jarak dekat dan
kadang-kadang beradu punggung. Tetapi keduanya justru
telah berpencar. Keduanya menghadapi lawan mereka pada
jarak beberapa langkah setelah ketiga orang lawan mereka
menjadi sangat lemah. Pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sebenarnya mempunyai kesempatan yang
cukup untuk segera mengakhiri pertempuran. Bahkan
seandainya mereka ingin membunuh lawan mereka.
Menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
kemudian berpencar, Singatama dan kedua orang saudara
seperguruannya menjadi bingung. Apalagi ujung-ujung
senjata kedua anak muda itu telah menyentuh tubuh
mereka pula. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak melupakan
tujuan mereka yang sebenarnya. Apalagi dengan kehadiran
ayah dan paman-paman mereka. Bahkan Mahisa Bungalan
dengan beberapa orang prajurit Singasari dalam tugas
mereka. Yang penting adalah memancing sekelompok orang dari
sebuah padepokan yang telah menumbuhkan kegelisahan.
Dengan kekalahan Singatama dan kedua orang saudara
seperguruannya, maka orang-orang padepokan itu tentu
akan menjadi marah. Mereka akan terjebak kedalam satu
langkah yang dapat menjadi bukti tingkah laku mereka
yang tidak menghormati hak dan kebebasan orang lain. Jika
mereka memaksa untuk mengambil Widati yang berada di
lingkungan padepokan baru itu, maka hal itu akan menjadi
salah satu bukti bahwa mereka bertindak sewenangwenang.
Dengan ilmu yang ada pada mereka, dan kelebihan
mereka atas orang lain. ternyata telah mereka pergunakan
untuk melawan hubungan antara sesama. Tetapi justru
untuk me-nindas dengan tanpa menghiraukan peradaban
Karena itu, maka bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
yang penting bukannya satu kepuasan yang akan mereka
peroleh dengan melumpuhkan Singatama. Tetapi mereka
lebih mementingkan rencana mereka yang lebih besar.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak segera mengakhiri pertempuran. Bahkan kemudian
seolah-olah keduanya telah kesempatan kepada Singatama
dan saudara seperguruannya, atau salah seorang diantara
mereka, untuk meninggalkan arena.
Dalam pada itu, Singatama memang melihat, bahwa
tidak ada lagi kemungkinan baginya untuk memenangkan
kelahian itu. Setiap kali ia hanya dapat mengumpat. Tetapi
justru ujung senjata lawannyalah yang telah menyentuh
tubuhnya. Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain baginya,
dari menyingkir sejauh-jauhnya. Jika ia masih tetap dapat
hidup, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain masih
akan dapat terjadi. Mungkin ia mempunyai satu cara untuk
dapat mengambil gadis yang telah membuatnya hampir gila
itu. Karena itulah, maka selagi kedua saudara
seperguruannya sibuk melayani Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka dengan serta merta, Singatama telah melompat
meninggalkan arena. Dengan sisa tenaganya ia berlari
menuju ke kudanya yang tertambat.
Mahisa Muuti dan Mahisa Pukat sengaja tidak
mengejarnya. Dibiarkannya Singatama melepaskan diri
untuk menyampaikan persoalannya kepada gurunya
sehingga akan dapat membangkitkan kemarahan seisi
perguruannya. Namun agaknya kedua orang saudara Singatama tidak
mendapat kesempatan untuk lari. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak terlalu menahan mereka. Tetapi tubuh
mereka memang telah terlalu letih. Luka-luka yang tergores
di kulit mereka, lelah mengalirkan darah. Sehingga dengan
demikian. rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat melarikan
diri. meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membiarkannya. Tetapi yang seorang itu sudah cukup. Namun demikian
Mahisa Murti dan Mahis Pukat itu masih berkata didalam
hati "Mudah-mudahan Singatama dapat sampai ke
padepokan" Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang terpaksa melukai lawannya, tidak ingin membuat
mereka sama sekali tidak berdaya. Tetapi dalam
perkelahian yang seru, mereka memang sulit untuk berbuat
sebaik-baiknya, karena kemungkinan yang sebaliknya dapat
terjadi. Bahkan bagaimanapun juga ujung senjata lawannya
itu setajam ujung pedangnya pula
Dalam pada itu, kepergian Singatama telah
menghentikan pertempuran yang sengit itu. Kedua orang
saudara seperguruan Singatama tidak mampu lagi
memberikan perlawanan, sehingga karena itu, maka
merekapun telah melepaskan senjata mereka.
"Kalian menyerah?" bertanya Mahisa Murti.
Salah seorang dari kedua orang itu menjawab dengan
nada dalam "Ya. Kami menyerah"
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "masuklah kedalam
halaman padepokan kami"
Kedua orang itu tidak membantah. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memungut senjata mereka, dan
menggiring kedua orang itu memasuki halaman padepokan
yang mereka bangun itu. Beberapa orang cantrik yang melihat akhir dari
perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Singatama ternyata
dapat dikalahkan. Bahkan dua orang anak muda itu
berhasil mengalahkan tiga orang saudara seperguruan.
Ketika kedua orang yang dikalahkan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu memasuki regol, maka beberapa
orang segera mengerumuninya. Dengan wajah yang tegang,


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan mendekati mereka sambil berkata
"Ternyata kalian bukan orang yang pantas disegani"
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memang
sudah kalah. Sementara tubuh mereka terasa sakit dan
nyeri. Dalam pada itu, Mahisa Agnilah yang berkata "Biarlah
luka-luka itu diobati"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
menyerahkan kedua orang itu kepada Mahisa Agnii dan
Witantra yang temudian akan mengobati luka-luka mereka.
Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang cantrik
justru menjadi cemas karena Singatama telah terlepas.
Seorang cantrik dengan suara bergetar berkata ke pada
Mahisa Murti "Kenapa kau biarkan-orang itu pergi"
"Kita sudah dua orang saudara seperguruannya" jawab
Mahisa Murti. "Tetapi ia akan mengatakannya kepada gurunya, kepada
seisi padepokannya. Mereka akan segera datang dan
menggilas kita yang berada disini" berkata cantrik itu.
"Kau sudah dijangkiti oleh ketakutanmu lagi" jawat
Mahisa Murti "Tetapi aku berkata sebenarnya" jawab cantrik itu.
"Bukankah kita dengan sengaja mengundang mereka
untuk datang kemari" Kau tidak usah takut, Kau melihat
sendiri, bahwa Singatama bukan orang yang tidak
terkalahkan" Cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya
hatinya menjadi sangat cemas. Bahkan beberapa orang ka
wannyapun merasakan hal yang sama.
Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang
yang datang bersama mereka, sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan. Nampaknya mereka benar-benar
telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah dendam dihati Singatami
telah membakar jantungnya. Ia tidak lagi kembali ke
padepokannya yang untuk sementara dipimpin oleh
pamannya Empu Nawamula, tetapi ia langsung kembali ke
perguruannya. Singatama sadar, bahwa ia tidak dapat
mencapai padepokannya dalam waktu dekat.
Padepokannya memang cukup jauh. Tetapi kemarahan dan
dendam yang menyala telah mendorongnya untuk berpacu
secepat-cepatnya betapapun beberapa gores luka terdapat di
tubuhnya. Sementara itu, selagi Singatama memerlukan waktu dua
malam untuk kembali lagi kepadepokan itu, apabila ia
benar-benar ingin melakukannya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sempat berbicara dengan para cantrik.
Mereka sempat mengungkit kembali harga diri mereka
sebagai laki-laki. "Apakah kalian akan kembali ke telapak kaki Singatama.
Atau kalian ingin menghargai martahat kalian sendiri?"
bertanya Mahisa Murti. Lalu "Bukankah kita sudah
bertekad. Dan kita sudah mulai melangkah"
Tetapi seorang cantrik berkata "Tetapi kau sendiri telah
membuat kami salah tebak. Kau bukan seseorang yang
lemah seperti kami, sehingga kau mampu mempertahankan
dirimu. Tetapi kami tidak memiliki ilmu seperti kau,
meskipun di padepokan seolah-olah kau tidak lebih dari
kami para cantrik" "Itu bukan apa-apa" jawab Mahisa Pukat "yang penting
adalah keteguhan jiwa kita. Seandainya pendapat kalian itu
benar, bahwa kami memiliki kelebihan dari kalian, tetapi
jika kalian bersama-sama bergerak, maka kalianpun akan
merupakan kekuatan yang tidak mudah dikalahkan, kecuali
jika kalian memang berjiwa kelinci. Jika kalian sudah
menjadi ketakutan sebelum kalian mulai, maka kalian
benar-benar akan digilas oleh kawan-kawan dan saudarasaudara
seperguruan Singatama. Apalagi jika gurunya akan
datang bersamanya pula. Tetapi jika kalian menghadapinya
dengan wajah tengadah, maka seandainya kalian harus
mati, maka kalian mati sebagai laki-laki. Itu tentu lebih baik
daripada kalian masih akan tetap hidup tetapi dalam tingkat
martabat seekor lembu yang harus menarik pedati"
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Jiwa kejantanan
mereka tergugah kembali, meskipun mereka tidak dapat
menyingkirkan kecemasan mereka seluruhnya.
Sementara itu, selain memberikan keteguhan jiwa para
cantrik Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah mengatur
persiapan sebaik-baiknya dengan Mahisa Bungalan. Para
cantrik selain harus bekerja sebagaimana dilakukan di
padepokan, apalagi sebuah padepokan yang baru yang
dibuat dengan tergesa-gesa di tempat yang kurang
memenuhi persyaratan, merekapun harus mengawasi
keadaan di sekitar pagar padepokan mereka.
Kecuali kegelisahan para cantrik, ternyata Wigatipun
menjadi sangat gelisah. Ia sadar, bahwa ia telah
diumpamakan untuk satu tujuan pengabdian. Namun
bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskan kepentingan
pribadinya. Setelah beberapa hari ia berada diantara lakilaki
yang tidak dikenalnya dengan baik kecuali ayahnya,
maka kegelisahan-nyapun menjadi semakin meningkat
pula. Apalagi ketika ia sadar, bahwa Singatama yang
dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
dengan sengaja telah dibiarkan lepas untuk memancing
kedatangan saudara-saudara seperguruannya.
"Ayah" berkata Widati kepada ayahnya "apakah orangorang
itu tidak pernah mencemaskan keadaan kita
seandainya yang datang kemudian ternyata tidak
terlawan?" Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
kurang tahu Widati. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku
mereka, nampaknya mereka adalah orang-orang yang
berpengalaman. Mereka tentu memperhitungkan, bahwa
sebesar-besarnya sebuah perguruan, maka kekuatan itu
tidak akan dapat mengalahkan kekuatan yang mereka
siapkan disini" "Tetapi mereka belum tahu dan belum pernah menjajagi
kekuatan yang tersimpan di perguruan anak muda yang
bengis itu" sahut Widati.
"Kemungkinan yang salah itu memang ada Widati
berkata Ki Buyut kemudian "tetapi baiklah kita percayakan
segalanya kepada orang-orang yang sudah jauh lebih
berpengalaman dari kita sendiri. Apalagi menurut
keterangan mereka, Singatama telah menyebarkan orangorangnya
untuk mencarimu. Jika kau dapat mereka
ketemukan dari rumah, maka kau benar-benar tidak akan
mendapat perlindungan yang memadai"
Widati mengerutkan keningnya. Namun iapun mulai
membayangkan, seandainya ia berada di Kabuyutan,
sementara sekelompok orang yang dipimpin oleh
Singatama itu datang untuk mengambilnya, maka
keluarganya, bahkan orang se-Kabuyutan tidak akan dapat
menyelamatkannya. Bahkan mungkin akan jatuh korban
sia-sia. Tetapi di padepokan yang dibuat dengan tergesagesa
itu, ia berada dilingkungan orang-orang yang memang
dengan sengaja bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Apalagi diantara mereka terdapat prajurit Singasari.
Dalam pada itu, sebenarnyalah kedatangan Singatama
dalam keadaannya di padepokannya, telah menumbuhkan
kegelisahan dan kemarahan. Apalagi ketika kemudian
Singatama sempat mengatakan dengan tergesa-gesa dan
gagap, apa yang telah terjadi dengan dua orang saudara
seperguruannya. Seorang Putut yang telah memiliki ilmu yang lebih baik
dari Singatama itupun menggeram. Namun kemudian
katanya "Sebaiknya semuanya itu kau sampaikan langsung
kepada guru. Mungkin guru dapat mengambil satu sikap"
Singatama mengangguk-angguk. Nampaknya ia memang
sudah tidak sabar lagi. sehingga iapun bertanya "Dimana
guru?" "Di sanggar. Pergilah. Guru baru beristirahat. Tetapi
berita penting ini wajib segera didengarnya" jawab Putut
itu. Singatamapun kemudian pergi ke sanggar. Dengan raguragu
ia mengetuk pintu sanggar itu.
"Siapa?" bertanya seseorang dari dalam sanggar dengan
suara yang dalam dan bergetar.
"Aku guru" jawab Singatama "aku mempunyai
persoalan yang penting untuk aku sampaikan kepada guru"
Terdengar langkah mendekati pintu. Kemudian, pintu
itupun telah dibuka. "Kau" desis seorang tua yang berada didalam sanggar itu
"masuklah. Kau tentu akan berceritera tentang kegagalan.
Tetapi tidak apa. Aku memang ingin mendengarnya"
Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Sebenarnyalah aku memang ingin menyampaikan
beberapa keluhan guru"
"Tentang gadis itu?" bertanya gurunya.
"Ya guru" jawab Singatama
"Katakanlah. Ceritera mengenai perempuan selalu
menarik" berkata orang tua itu.
Singatama menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
duduk di sebuah amben kayu. Dengan wajah yang tegang ia
berkata "Aku terjebak guru"
"Terjebak" Apa maksudmu?" bertanya gurunya.
Singatama itupun kemudian menceriterakan apa yang
telah terjadi. Bahwa cantriknya telah berpindah
kepadepokan lain. Bahwa Empu Nawamula sama sekali
tidak menguntungkan baginya dan akhirnya iapun
menceriterakan apa yang telah terjadi di luar pagar sebuah
padepokan baru, sehingga ia telah terluka sementara dua
orang saudara seperguruannya telah tertawan.
Gurunya mendengarkan pengaduan Singatama dengan
seksama. Dengan caranya Singatama sengaja membakar
hati gurunya, karena jika gurunya kemudian marah dan
berniat untuk membalas sakit hati perguruannya, maka
Singatama berhadap bahwa padepokan baru itu tidak akan
dapat bertahan. Sebenarnyalah babwa Singatama berhasil menggelitik
telinga gurunya Apalagi ketika gurunya mendengar bahwa
dua orang muridnya telah tertawan.
"Kenapa mereka tidak mati saja atau bersamamu
menyingkir dari keadaan itu, tetapi untuk datang kembali
dan menghancurkan apa yang kau sebut sebuah padepokan
itu. Padepokan yang nampaknya sekedar pelarian cantrikcantrikmu
itu" "Ya guru. Apa yang disebut padepokan itu sama sekali
tidak memenuhi syarat sebuah padepokan. Halamannya
dibatasi dengan pagar kayu yang dibuat dengan tergesagesa.
Beberapa barak yang tidak lebih dari kandang ternak"
jawab Singatama. Kemudian "tetapi dengan bodoh, cantrikcantrik
dari padepokanku itu telah berada ditempat itu.
Mereka mencoba menentang perintahku untuk mencari
gadis yang bernama Widati itu. Yang ternyata bahwa gadis
itu dapat diketemukan dan disembunyikan dalam tempat
yang mereka sebut padepokan itu"
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya "Mereka
sengaja mencari perkara. Mereka sengaja memancing
persoalan dengan kita. Dengan demikian, maka sebenarnya
yang terjadi itu adalah satu tantangan. Aku tidak percaya
bahwa yang ada di tempat yang disebut padepokan itu
hanyalah para cantrik. Tetapi tentu ada orang lain pula
disana. Mungkin pamanmu Empu Nawamula. Mungkin
pula orang lain kawan pamanmu itu"
Singatama menganguk-ahgguk. Katanya "Memang
mungkin guru. Karena itu segalanya terserah kepada guru"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Meskipun sikapnya
tetap tenang, tetapi nyala matanya menunjukkan gejolak
jantungnya. Ceritera Singatama yang telah dibumbui
dengan beberapa macam keterangan, telah membuatnya
marah. Tetapi ternyata ia tidak tergesa-gesa. Ia masih bertanya
kepada Singatama. keadaan dari apa yang disebut
padepokan itu. Iapun bertanya tentang kemampuan dua
orang yang telah mengalahkan tiga orang murid padepokan
itu. termasuk Singatama. "Tidak ada orang lain yang menyaksikan perkelahian
itu?" bertanya gurunya.
"Para cantrik, tetapi dari dalam pagar. Mereka
menyaksikan dari balik pagar kayu" jawab Singatama
"Selain para cantrik?" desak gurunya.
Singatama termangu-mangu. Namun kemudian katanya
"Mungkin memang ada seperti yang guru katakan. Tetapi
ketika pertempuran itu berlangsung, tidak ada seorangpun
yang keluar dari lingkungan pagar dari apa yang mereka
sebut padepokan itu"
Guru Singatama menganggu-angguk. Meskipun ia masih
belum pasti, tetapi keterangan Singatama yang dengan
sengaja ingin membakar kemarahan gurunya itu, berhasil
mendorong Jurunya untuk menentukan sikap. Katanya
"Kita akan pergi ke tempat itu"
"Kita semuanya, guru?" bertanya Singatama.
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Kau memperkecil arti gurumu. Apakah gurumu seorang
diri dan kau sendiri tidak akan mengalahkan cantrik-cantrik
dungu itu?" "Cantrik-cantrik itu memang tidak berdaya. Aku bertiga
akan sanggup melakukannya. Tetapi tiba-tiba saja ada
orang baru yang juga menjadi cantrik dipadepokanku yang
untuk sementara dipimpin Oleh paman Empu Nawamula,
yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi"
jawab Singatama. "Kedua orang itu bukan apa-apa bagiku" berkata guru
Singatama "tetapi yang harus aku perhitungkan adalah
kehadiran orang yang justru menjadi pendorong keadaan
ini. Mungkin memang pamanmu Nawamula itu sendiri.
Kedua cantrik itu agaknya memang dibuat oleh Nawamula.
Aku tidak akan gentar, dan akupun yakin dapat
mengalahkan Nawamula. Tetapi mungkin ia masih
mempunyai tangan-tangan selain dua orang cantrik itu"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku kurang tahu guru" jawab Singatama "karena itu,
maka kau kira kita lebih baik memperhitungkan
kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi"
"Baiklah. Kita akan datang dengan kekuatan penuh. Aku
akan membawa para Putut dan murid-muridku terbaik
disini" berkata guru Singatama.
Singatama menarik nafas dalam-dalam. Iapun tersenyum
dalam hati. Dengan demikian apa yang disebut padepokan
itu tentu akan dapat dihancurkannya. Dengan demikian,
maka selain ia dapat membela sakit hatinya, ia akan dapat
membawa gadis yang telah membuatnya gelisah siang dan
malam. Demikianlah, maka guru Singatama itupun segera
memerintahkan para muridnya bersiap. Kepada mereka,
guru Singatama menceriterakan apa yang sudah terjadi.
"Dua orang diantara kita telah ditawan oleh para cantrik
dungu itu. Mereka agaknya tidak dapat membayangkan,
kekuatan apa saja yang tersimpan di padepokan ini" berkata
guru Singatama. Dengan nada marah, guru Singatama itu
memberitahukan niatnya untuk datang ke tempat yang
disebut padepokan itu, untuk membebaskan dua orang
keluarga perguruannya dan sekaligus membalas sakit hati
mereka. "Aku tidak mau penghinaan seperti itu dimaafkan"
berkata guru Singatama. Para muridnya yang lainpun ternyata telah membakar
pula hatinya. Mereka serentak menyatakan persetujuan
mereka dengan sikap gurunya.
"Tetapi aku tidak akan tergesa-gesa berangkat hari ini"
berkata gurunya "aku harus mencari hubungan dengan
pusat kekuatan kita. Darah dan api"
Demikianlah, maka Singatama tidak mendesak gurunya
untuk segera berangkat. Ternyata gurunya akan
mengadakan satu upacara sebelum berangkat.
"Kerja kita kali ini agaknya bersungguh-sungguh"
berkata guru Singatama itu "karena itu, kita harus
bersungguh-sungguh pula. Kita akan menghadapi kekuatan
yang belum kita ketahui dengan pasti. Mudah-mudahan
kita akan mendapat petunjuk dari sumber kekuatan kita.
Darah dan api" Dengan demikian, maka keberangkatan mereka baru
dapat dilakukan dikeesokan harinya, setelah pada malam
harinya mereka mengadakan satu upacara.
Sebagai kebiasaan mereka, maka para putut dan cantrik
mempersiapkan sebuah perapian yang besar. Menjelang
senja, dua orang diantara para putut telah pergi ke
padukuhan yang terdekat. Mereka mengambil seekor
kerbau jantan yang besar dan tanpa cacat. Mereka sama
sekali tidak menghiraukan, apakah pemiliknya memberikan
dengan aikhlas atau tidak. Setiap kali mereka mengatakan
upacara, maka hal yang serupa itu mereka lakukan.
Ketika malam turun, maka segala peralatan sudah
disiapkan. Api sudah dinyalakan, dan kerbau jantan yang
besar itu diikat pada sebatang pohon dengan tali yang
sangat kuat, sehingga tidak mungkin untuk melepaskan diri.
Ketika api mulai dinyalakan, maka guru Singatama itu
mulai membaca mantera. Suaranya meninggi seperti asap
api yang menjulang kelangit. Kemudian menurun rendah.
Tetapi tiba-tiba menghentak pula mengejut kan. Sesaat
kemudian, maka terdengar ia berkata "Murid-murid dari
perguruan api dan darah. Waktunya telah tiba. Persiapkan
dirimu untuk menghadapi tugas yang berat. Mencuci
kehinaan yang tercoreng diwajah perguruan ini. Sekarang,
cucilah senjatamu dengan darah, dan sentuhlah api yang
menyala dengan ujung senjatamu yang berdarah itu. Besok
kita akan melakukan tugas suci dari perguruan ini.
Sementara pedangku akan aku sucikan besok dengan darah
musuh-musuhku" Demikian guru Singatama itu terdiam, maka para pututpun
telah melangkah mendekati kerbau yang terikat dengan
senjata telanjang diikuti oleh para cantrik yang lain.
Peristiwa yang mengerikan itu selalu terjadi disetiap
mereka melakukan upacara, sehingga kerbau itupun akan
mati terkapar kehabisa darah. Sementara para putut dan
cantrik telah kembali mengerumuni api sambil menyentuh
lidah api yang menjilat dengan ujung senjata mereka yang
basah oleh darah. Dalam pada itu, Singatama sebagai murid terdekat dari
gurunya itupun telah menyentuh lidah api itu dengan
senjatanya pula, sehingga dengan demikian ia merasa
bahwa senjatanya akan menjadi jauh lebih berbahaya dari
sebelumnya. Apalagi ketika kemudian gurunya itu masih sekati lagi
mengucapkan mantera-mantera sementara murid-muridnya
masih melingkari api yang menyala sambil mengacungkan
senjata masing-masing Malam itu, para cantrik hampir tidak tertidur sama
sekali. Upacara itu kemudian diakhiri dengan minum tuak
sehingga hampir semua orang menjadi mabuk karenanya.
Dalam keadaan mabuk itulah, baru seisi padepokan itu
tertidur dengan gelisah. Di pagi hari berikutnya, masih terasa kepala mereka
menjadi pening. Namun rasa-rasanya mereka bagaikan
mendapat kekuatan baru. Disaat mereka sudah siap untuk
berangkat meninggalkan padepokan tiupun, guru mereka
sekali lagi masih memberikan pesan-pesan yang dapat
membakar jantung mereka. Baru sejenak kemudian, maka merekapun telah
berloncatan kepunggung kuda dan sambil bersorak-sorak
bagaikan hendak memecahkan langit mereka berangkat
menuju ke tempat yang disebut sebuah padepokan yang
baru. Ternyata merekapun .idak dapat mencapai sasaran di hari
itu juga. Mereka harus bermalam semalam di perjalanan.
Ketika di hari berikutnya matahari terbit, maka iring-iringan
itupun mulai bergerak lagi. Kuda kuda itupun mulai
berpacu menuju ke tempat dua orang diantara mereka
sedang tertawan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan
berdebar-debar menunggu orang-orang yang mereka
tunggu. Menurut perhitungan, maka saatnya telah lewat.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat yang
hampir tidak sabar itupun bergumam "Apakah mereka
tidak akan kembali lagi?"
"Kita akan menunggu barang satu dua hari lagi" sahut
Mahisa Murti "aku kira mereka sedang mempersiapkan
diri. Mungkin merekapun sedang menunggu satu dua orang
diantara mereka yang pergi, atau karena persoalanpersoalan
lain" Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi keduanya tetap
sadar, bahwa mereka tidak boleh lengah sama sekali. Setiap
saat bahaya akan datang. Mungkin siang. Mungkin malam.
Karena itu, tidak putus-putusnya setiap kejap mata, ada
beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan. Mereka
berada disudut-sudut pagar halaman apa yang mereka sebut
dengan padepokan itu. Dalam pada itu, para cantrik yang semula adalah cantrik
pada padepokan Singatama itupun menjadi gelisah. Mereka
harus melakukan sesuatu yang kurang pasti. Apalagi jika
mereka membayangkan bahwa pada suatu saat, Singatama
yang marah itu akan datang dengan seisi sebuah padepokan
yang besar dengan para penghuninya yang keras dan kasar.
Meskipun pada saat-saat tertentu, hati mereka menjadi
pasti, bahwa mereka tidak akan membiarkan diri mereka
untuk diperbudak dengan cara yang paling pahit, namun
pengaruh ketakutan yang sudah terlalu lama menekan
jantung mereka, tidak dapat dengan mudah dihindarinya.
Demikianlah, saat yang mendebarkan itupun datang.
Ketika dari kejauhan seorang cantrik yang bertugas di sudut
apa yang mereka sebut padepokan itu melihat debu yang
mengepul di udara, maka tiba-tiba saja tubuhnya menjadi
gemetar. Ia tidak akan salah lagi, bahwa yang datang itu
tentu sekelompok murid dari padepokan Singatama.
"O, jika yang datang itu gurunya, maka kami tentu akan
di bantainya disini" katanya didalam hati.
Hampir saja ia tidak kuasa memberikan pertanda apapun
juga. Namun seolah-olah diluar sadarnya, maka tangannya
telah menyentuh kentongan kecil dengan sepotong carang
bambu. Suara kentongan itu hanya lirih saja. Tetapi dua orang
prajurit Singasari yang kebetulan lewat disamping tempat
cantrik itu berjaga-jaga telah mendengarnya.
Karena itu, dengan tergesa-gesa iapun mendekati cantrik
yang gemetar itu. Dengan lantang salah seorang prajurit itu
bertanya "Apa yang kau lakukan" Kau memberikan
isyarat?" Cantrik itu masih saja berdebar-debar. Bahkan semakin
lama terasa menjadi semakin keras memukul dinding
jantungnya. Tanpa mendapat jawaban dari cantrik itu,
maka kedua orang prajurit itupun melihat sekelompok
orang-orang berkuda mendekati apa yang mereka sebut
padepokan itu. "Agaknya mereka telah datang" desis salah seorang dari
mereka "sebuah pasukan yang cukup besar"
"Itulah mereka" terdengar suara cantrik itu bergetar
"mereka datang untuk menghukum kita"
Kedua orang prajurit itu memandang cantrik itu dengan
tajamnya. Namun merekapun segera mengetahui, bahwa
cantrik itu telah disentuh lagi oleh kecemasan yang sangat.
"Jangan biarkan lehermu ditebas oleh orang-orang itu"
desis salah seorang prajurit.
"Mereka akan membunuh kita" berkata cantrik itu pula.
Jika kita biarkan kepala kita dipenggalnya, maka mereka
tentu akan melakukannya" jawab seorang diantara kedua
prajurit itu "tetapi aku tidak. Aku tidak akan membiarkan
orang-orang itu memotong kepalaku. Karena itu, aku akan
melakukannya sebelum mereka melakukan atasku"
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun ia tersentuh
juga oleh kata-kata itu. Apalagi ketika yang seorang lagi
dari kedua prajurit itu berkata "Kami bukan budak-budak
Yang setia dan memberikan jantung untuk ditusuk sampai
lembus. Kami adalah laki-laki yang siap untuk mati, tetapi
sebagai laki-laki. Bukan sebagai seekor kerbau yang dungu.
Cantrik itu tidak menjawab. Tetaoi sulit baginya untuk
dengan tiba-tiba merubah sikapnya. Meskipun demikian
sikap para prajurit yan tidak dalam ujud dan pakaian
prajurit itu agak membuatnya menjadi tenang.
Namun dalam pada itu. seorang diantara kedua prajurit
Singasari itulah yang kemudian telah memukul isyarat,
sehingga seisi apa yan mereka namakan sebuah padepokan
itupun telah mendengarnya.
Para cantrik yang berjaga-jaga dtempat lainpun
sebenarnya telah melihat kehediran sepasukan berkuda
mendekat. Tetapi seperti kawan-kawan mereka yang lain,
maka merekapun menjadi ragu-ragu. Dengan memberikan
isyarat itu, maka mereka merasa bahwa kesalahan mereka
menjadi semakin besar, sehingga hukuman yang akan
dijatuhkan atas merekapun menjadi semakin berat.
Tetapi ternyata bahwa isyarat itu sudah berbunyi, siapa
pun yang membunyikan. Dalam pada itu, aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun segera meneriakkan aba-aba. Mereka sadar,
bahwa tanpa dorongan dari luar dirinya, para cantrik itu
tidak akan berani berbuat apa-apa. karena itu, maka
terdengar suara Mahisa Pukat lantang "Lihat, mereka
sudah datang. Siapa yang masih ingin tetap hidup sebagai
seorang yang bebas untuk menentukan pilihannya sendiri
didalam perjalanan hidupnya, marilah bersama-sama
mempertahankan martabat kita sebagai manusia. Kita
bukan seekor binatang yang akan selalu tunduk, betapapun
tubuh kita selelu didera dengan cambuk dan tongkat. Tetapi
kita adalah manusia sebagaimana rneraka"
Para cantrik itu termangu-mangu. Namun kesibukan
para prajurit yang datang di tempat itu dengan ujud sebagai
orang kebanyakan telah mendorong mereka untuk berbuat
sesuatu. --ooo0ZHERAF.NET0ooo- Jilid 005 "SIAPKAN senjata kalian" teriak Mahisa Murti.
"mereka menjadi semakin dekat. Kecuali yang dengan
sengaja ingin membunuh dirinya, biarlah mereka mulai
meratapi nasibnya sejak sekarang"
Bagaimanapun juga, kata-kata dan sikap Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat serta orang-orang yang datang bersama
mereka telah membangunkan para cantrik itu dari
ketakutan mereka. Karena itu, maka beberapa orang
diantara merekapun telah menggenggam hulu pedang
mereka sambil menghentakkan perasaan sendiri "Akupun
seorang laki-laki" Sikap itu ternyata berpengaruh atas kawan-kawan
mereka. Seorang demi seorang mulai menengadahkan
kepala mereka, sementara orang-orang berkuda itupun
menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah menemui Ki Demang di Randumalang untuk
mempersilahkannya berdiri sebuah planggrangan bambu
yang telah tersedia di sebelah pintu gerbang, agar mereka
melihat dan tampak dari luar dinding apa yang mereka
sebut padepokan itu. "Aku takut ayah" desis Widati.
"Percayalah kepada mereka" jawab ayahnya
"nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Bukan saja
karena persoalan yang melibat dirimu, tetapi yang
dilakukan oleh orang-orang ini adalah satu usaha yang lebih
luas. Padepokan yang selalu melakukan tekanan terhadap
lingkungan di sekitarnya itu memang tidak selayaknya lagi
mendapat kesempatan untuk berkembang.
"Tetapi aku takut ayah" desis Widati kemudian "jika
ternyata mereka berhasil memecahkjn dinding kayu ini


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah. Nampaknya dinding ini tidak terlalu kuat"
"Mudah-mudahan kita yang berada di dalam dinding
kayu ini akan berhasil bukan saja bertahan, tetapi kemudian
menangkap mereka dan mernadamkan segala kegiatan
mereka yang melawan hubungan antar sesama manusia
itu" berkata ayahnya.
Namun bagaimanapun juga Widati masih tetap
menggigil. Ia sadar, bahwa ia akan dipergunakan untuk
memancing agar persoalan diantara kedua padepokan ini
akan menjadi semakin masak untuk meledakkan satu
pertempuran dan sekaligus meyakinkan para prajurit
Singasari bahwa sifat dan walak orang-orang padepokan
yang datang itu memang patut disesalkan dan bahkan
sepantasnya untuk dihentikan.
Karena itu, maka sejenak kemudian, dengan tubuh yang
gemetar Widati bersama ayahnya telah berdiri di atas
sebuah pelanggrangan bambu di sebelah regol, sehingga
mereka akan nampak oleh orang-orang yang berada di luar
regol. Sebenarnyalah, maka iring-iringan itupun menjadi
semakin dekat. Mereka langsung berkerumun di depan
regol yang sudah tertutup rapat. Namun beberapa orang
penghuni apa yang mereka sebut sebuah padepokan itu
telah berada di sebelah menyebelah regol, berdiri di atas
pelanggrangan yang memang sudah disiapkan.
Singatama yang melihat Widati ada diantara mereka
itupun menggeram. Dengan suara bergetar ia berkata
"Mereka memang sengaja menghina aku dan barangkali
kita semuanya" "Kenapa" bertanya gurunya.
"Perempuan itu adalah perempuan yang aku inginkan.
Para cantrik aku perintahkan untuk mencari dan mengambil
perempuan itu. Tetapi perempuan itu telah berada diantara
para cantrik dan tidak pernah mereka serahkan kepadaku"
Dalam padu itu, Mahisa Murti yang berdiri di sebelah
Widati itupun kemudian berkata lantang "He. Singatama.
Kenapa kau datang kembali"
Singatama menggeram. Katanya "Jangan terlalu
sombong anak iblis. Aku datang untuk menyatakan kepada
kalian, bahwa kalian adalah orang orang yang tidak tahu
diri" "Aku telah mengalahkanmu" berkata Mahisa Murti.
Wajah Singatama menjadi merah. Dengan suara bergetar
oleh kemarahan yang memuncak ia berkata "Sekarang aku
datang untuk membuktikan bahwa aku adalah murid
sebuah perguruan yang besar"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan
suara yang tiba-tiba menurun, ia berkata "Singatama. Aku
sengaja membawa Widati sekarang ini, agar kau dapat
mendengar sendiri sikapnya. Jika persoalan ini bermula dari
hubungannya dengan Widati, maka aku kira, persoalan ini
dapat dikembalikan kepada masalahnya tanpa
menimbulkan korban yang sebenarnya tidak perlu"
"Apa maksudmu" Kau akan menyerahkan gadis itu
kepadaku" bertanya Singatama.
"Masalahnya tidak pada menyerahkan atau tidak
menyerahkan" jawab Mahisa Murti "tetapi masalahnya
adalah, apakah Widati bersedia atau tidak" la mempunyai
wewenang untuk menentukan sikapnya. Mungkin ia akan
menyatakan kesediaannya. Jika demikian maka tidak akan
ada persoalan lagi diantara kita. Tetapi jika Widati menolak
lamaranmu. maka kau tidak akan dapat memaksanya"
"Persetan" geram Singatama "ia akan menerima
lamaranku. Ia memang sudah menerimanya. Tetapi
mungkin kalian telah mengancamnya. Mungkin di belakang
gadis itu sekarang, seseorang berdiri dengan ujung pedang
di punggungnya" "Jangan berbicara seperti orang dungu" jawab Mahisa
Murti" berkatalah dengan wajar. Bukankah kita masih
dapat menghargai pendapat seseorang" Apakah caramu itu
akan merubah kebenaran atas sikap Widati?"
"Persetan" geram Singatama "aku tidak peduli. Berikan
gadis itu kepadaku. Kalian akan mendapat pengampunan"
"Inilah yang harus kau pertimbangkan" jawab Mahisa
Murti "apakah kau dapat bersikap lebih baik, atau kau
memang termasuk seseorang yang selalu memaksakan
pendapat terhadap orang lain. Bahkan telah melanggar hak
menentukan sikap sebagaimana seorang gadis yang
bernama Widati" "Kau licik. Berikan gadis itu kepadaku. Ia akan
menjawab, dengan jujur jika ia terlepas dari ancamanmu"
teriak Singatama. Wajah Widati menjadi tegang. Kemarahan dan
ketakutan telah berbaur di dalam dirinya.
Dalam pada itu, Singatama berkata "Jangan
memperpanjang persoalan. Serahkan gadis itu kepadaku"
"Kau yakin bahwa ia akan menerimamu dengan ikhlas?"
bertanya Mahisa Murti. "Aku yakin" teriak Singatama lebih keras.
Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun tiba-tiba
katanya "Baiklah. Aku akan menyerahkan gadis ini
kepadamu" Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Semua orang
yang mendengarnya terkejut, termasuk Widati sendiri.
Sehingga dengan serta meria ia telah berteriak di luar
sadarnya "Tidak. Aku tidak mau"
Jawaban itu telah mencengkam setiap jantung.
Singatama yang berada di sebelah gurunyapun tercenung
sejenak mendengar suara Widati yang melengking itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Widati telah memeluk
ayahnya sambil berkata diantara isaknya "Aku tidak mau
ayah. Aku tidak mau"
Mahisa Pukat yang termangu-mangu telah melangkah
mendekati Mahisa Murti dengan tatapan mata yang tegang.
Hampir saja ia bertanya, apakah maksud Mahisa Murti
sebenarnya. Namun sementara itu, Mahisa Murti telah berkata
"Kata-kata itulah yang aku tunggu. Aku ingin
membuktikan, bahwa dengan-serta merta gadis itu menolak
untuk aku serahkan kepadamu. Nah, Singatama. Apakah
kau tahu artinya?" "Anak iblis" teriak Singatama "kau licik. Kau sudah
mempersiapkan permainan ini dengan sempurna. Kau
ancam gadis itu untuk bermain sebaik-baiknya dalam
peranannya sendiri" "Kau masih juga bermimpi Singatama" jawab Mahisa
Murti "semuanya sudah jelas. Karena itu, aku minta kau
kembali saja" "Tidak. Aku akan menghancurkan kalian semuanya.
Aku, atas persetujuan guru, akan membunuh kalian semua.
Semalam senjata kami sudah dilekati oleh darah. Sekarang,
senjata kami akan menjadi merah oleh darah kalian" geram
Singatama Dalam pada itu, maka guru Singatamapun bergeser
selangkah maju. Dengan tenang ia berkata "Aku puji
kemampuan kalian mempermainkan perasaan muridku.
Aku kagum atas kecerdikanmu anak muda. Tetapi apakah
kau tidak berpendapat, bahwa sebaiknya, permainan ini
diakhiri?" "Siapa kau?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku adalah guru Singatama" jawab orang itu "namaku
tidak penting bagimu. Tetapi orang memberi aku panggilan
yang aneh, yang sebenarnya aku kurang senang. Mereka
menyebutku Pulung Geni. Aku tidak tahu apa artinya.
Tetapi aku tidak menolak untuk dipanggil Empu Pulung
Geni" "Jadi kau guru Singatama. Dan kau telah terlibat pula
dalam tindak kekerasan seperti ini" bertanya Mahisa Murti
"aku berharap bahwa kau akan berusaha untuk mencegah
tindak sewenang-wenang dari muridmu. Tetapi kau justru
melibatkan diri kedalamnya"
Orang yang disebut Empu Pulung Geni itu tertawa.
Katanya "Kau memang senang bergurau anak muda. Adaada
saja yang kau ucapkan untuk memancing kegembiraan.
Aku senang mendengar guraumu yang segar itu"
"Aku bersungguh-sungguh" Mahisa Murtilah yang
kemudian hampir berteriak.
Tetapi orang yang disebut Empu Pulung Geni itu justru
tertawa semakin keras. Wajah Mahisa Murti telah membara. Namun yang lebih
tidak sabar lagi adalah Mahisa Pukat. Dengan lantang ia
berteriak "Kau sangka leluconmu itu baik?"
"O" guru Singatama itu masih tertawa "kau jadi marah"
Ternyata kau tidak mampu bergurau seperti kawanmu itu.
Nampaknya kau bukan seorang periang. Tetapi seorang
pemarah" "Tutup mulutmu. Apa maumu sebenarnya" teriak
Mahisa Pukat semakin keras"
Tetapi Empu Pulung Geni itu sama sekali tidak merubah
sikapnya. Ia masih saja dengan tenang dan tertawa
menanggapi sikap Mahisa Pukat. Katanya "Sebenarnya kita
dapat bersahabat. Terutama kawanmu yang pandai
bergurau itu. Jika kalian menyerahkan gadis itu dan dua
orang muridku yang kau tawan dengan sikap yang curang,
maka persoalan diantara kita sudah selesai. Kalian bebas
untuk kembali ke padepokan yang untuk sementara
dipimpin oleh Empu Nawamula, tanpa perasaan takut
untuk di hukum, meskipun tingkah laku kalian sampai saat
ini memang perlu dipertimbangkan"
Kemarahan Mahisa Pukat telah tidak terkendali lagi. Justru
karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam.
Tubuhnya bergetar dan sorot matanya bagaikan
melontarkan api. Karena itu. maka Mahendra merasa perlu untuk
menolong kedua anaknya itu. Kedua anak-anak muda yang
telah terpancing oleh sikap orang yang disebut Pulung Geni
itu. Karena itu, maka ia kemudian mendekati Mahisa Murti
sambil berkata "Tenanglah anak-anak. Jangan terbawa oleh
arus perasaanmu Kalian, aku mencoba menjawabnya.
Ketika kemudian Mahendra berdiri pula disisi Mahisa
Murti di atas sebuah pelanggrangan bambu, maka guru
Singatama itu memandanginya dengan tajamnya. Bahkan
kemudian dengan nada datar ia bertanya "Siapa kau"
Apakah kau juga akan turut campur?"
"Tidak Ki Sanak" jawab Mahendra "aku hanya ingin
menolong anak-anak ini untuk dapat mengendapkan
perasaannya, agar ia dapat menjawab pertanyaanmu
dengan baik" Empu Pulung Geni menganguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Ajarilah anak-anak itu berpikir bening.
Sebenarnya ia tidak dirugikan oleh tindakan Singatama,
karena ia bukan keluarga gadis itu. Ia tidak bersangkut paut
dan tidak wajib untuk ikut mencampurinya. Jika ia
melepaskan diri dari keterlibatannya, maka ia tidak akan
mengalami sesuatu yang akan dapat membuatnya
menyesal" Mahisa Murti sudah akan berteriak. Tetapi Mahendra
mendahului "Terima kasih Ki Sanak. Aku juga akan
memberinya nasehat seperti itu. Tetapi manakah yang lebih
baik. Tingkah laku anak-anak muda ini dengan muridmu
yang bernama Singatama itu. Anak-anak ini melibatkan diri
justru karena ia merasa tersinggung rasa keadilannya
melihat tingkah laku muridmu yang bernama Singatama,
karena Singatama telah memaksakan kehendaknya atas
seorang gadis yang bernama Widati ini"
Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya
"Pertanyaanmu tepat sekali Ki Sanak. Tetapi
bagaimanakah jika kita bersetuju untuk tidak saling
mengganggu. Soal hubungan antara Singatama dan gadis
itu, biarlah diselesaikan oleh Singatama dan keluarganya"
"Jika hal itu terjadi, maka anak-anak muda ini merasa,
bahwa mereka tidak bermanfaat bagi sesama di dalam
hubungannya dengan sikap seseorang yang memaksakan
kehendaknya atas orang lain" jawab Mahendra, lalu
"persoalan ini sebenarnya adalah persoalan manusia. Bukan
persoalan yang dapat dibatasi antara dua belah pihak yang
memaksakan kehendaknya dan yang tidak mempunyai
kemampuan untuk mengdakkan diri dari paksaan itu,
meskipun akibatnya adalah penderitaan"
"Jadi kalian benar-benar dengan sadar melibatkan diri
kedalam persoalan ini" bertanya Empu Pulung Geni.
"Benar Ki Sanak" jawab Mahendra "persoalannya tidak
terbatas pada persoalan seorang gadis. Tetapi dengan
demikian kami akan melihat pada pokok persoalannya.
Kami tidak sependapat bahwa seseorang dibenarkan untuk
memaksakan kehendaknya atas orang lain berdasarkan
kepada kekuatan dan kekerasan. Yang nampak sekarang
disini adalah keinginan Singatama untuk mengambil gadis
itu. Tetapi di tempat lain dan dalam kesempatan lain, kalian
akan dapat berbuat jauh lebih banyak. Mungkin kalian
ingin memaksakan kehendak kalian untuk mendapatkan
perempuan, harta benda, kekuasaan dan akhirnya dunia ini
ingin kau miliki" Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Sementara itu.
darah Singatama bagaikan sudah mendidih. Ia tidak
mengerti, kenapa gurunya masih saja bersabar menghadapi
orang-orang di dalam lingkungan dinding kayu itu.
"Baiklah Ki Sanak" berkata.Empu Pulung Geni
"agaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain. Soalnya
bukan sekedar gadis itu. Tetapi kalian sudah menghina
perguruan kami dengan menawan dua orang diantara kami.
Apalagi jika keduanya ternyata telah kalian bunuh, maka
kalian benar-benar akan menyesal"
"Jadi, apakah kalian ingin mengurungkan niat kalian"
bertanya Mahendra. "Tidak Ki Sanak" jawab guru Singatama itu dengan
tenang "kami akan membakar padepokanmu dan
membunuh semua orang yang ada di dalam barak yang kau
sebut padepokan itu. Kami akan mempergunakan darah
kalian sebagai darah manusia yang pertama bagi sebuah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

upacara. Biasanya kami mempergunakan darah binatang.
Tetapi pada saatnya, kami memang harus mempergunakan
darah manusia" Mahendra mengangguk-angguk. Sejenak ia memperhatikan
orang-orang yang menebar di luar dinding apa yang di
sebutnya padepokan itu. "Jumlah mereka terlalu banyak bagi penghuni sebuah
padepokan" berkata Mahendra di dalam hati.
"Apa yang sedang kau pikirkan Ki Sanak" tiba-tiba saja
Empu Pulung Geni bertanya.
Dalam keadaan yang demikiai Mahendra masih sempat
tersenyum sambil menjawab "Tidak apa-apa. Aku sedang
menghitung orang-orangmu"
"Terlalu banyak" bertanya Empu Pulung Geni.
"Cukupan untuk menghancurkannya hari ini" jawab
Mahendra. Anak-anak muda dikedua belah pihak sudah tidak
telaten lagi mendengar pembicaraan itu. Namun Empu
Pulung Geni masih dengan sareh berkata "Anak-anak.
Bersiaplah. Kita akan segera mulai"
Para Putut dan cantrik dari padepokan orang yang
disebut Empu Pulung Geni itupun segera mempersiapkan
diri. Merekapun kemudian menebar di bagian depan apa
yang disebut sebuah padepokan. Nampaknya mereka tidak
akan mengalami kesulitan untuk memecah dinding kayu
yang tidak begitu tinggi itu, atau bahkan meloncatinya.
Namun dalam pada itu, Mahendrapun telah memberikan
isyarat kepada Mahisa Bungalan untuk bersiap. Mereka
berada di belakang pintu regol yang tertutup. Sementara itu,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meninggalkan
tempatnya berusaha untuk membangkitkan keberanian para
cantrik yang masih saja ragu-ragu.
"Kita sudah berada di ujung tombak" berkata Mahisa
Murti "terserah kepada kita. Apakah kita akan membiarkan
tombak itu menghunjam di perut kita, atau kita akan
menghindarinya" Ternyata dalam keadaan yang paling gawat, para cantrik
itu sadar, bahwa mereka harus berusaha menyelamatkan
jiwa mereka masing-masing. Karena itu, maka Mahisa
Pukatpun berkata "Nah, sekarang kalian bersiap di dalam
dinding. Jika mereka meloncat kedalam atau berusaha
merusak dinding, maka adalah menjadi kewajiban kalian
untuk menghalau mereka"
Dalam pada itu, maka Empu Pulung Genipun kemudian
berkata tanpa kesan kemarahan, bahkan lebih mirip dengan
aba-aba dalam permainan "Lakukanlah anak-anak, kalian
dapat berbuat apa saja. Bahkan membakar padepokan itu
sampai lebur menjadi abu. Jika Singatama masih
menginginkan perempuan itu, biar perempuan itu sajalah
yang hidup. Tetapi jaga, agar kalian dapat menyelamatkan
kedua orang saudaramu yang tertawan. Tetapi jika
keduanya sudah terbunuh, maka aku minta kedua anak
muda yang menawannya itu kalian tangkap hidup-hidup.
Jangan beri kesempatan mereka membunuh diri, karena
keduanya adalah wadag yang paling baik untuk
mengantarkan upacara"
Sikapnya memang sangat menarik perhatian. Tetap
Mahendrapun sepenuhnya dapat menguasai dirinya,
sehingga katanya kepada orang-orang yang berada di dalam
dinding "Bersiaplah. Permainan akan segera dimulai"
Sebenarnyalah kedua belah pihak sudah bersiap. Para
murid Empu Pulung Geni sama sekali bersikap lain dari
gurunya. Bahkan merekapun merasa heran, bahwa gurunya
bersikap terlalu sabar menghadapi orang-orang di dalam
padepokan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah
bergerak dengan hentakan yang mengejutkan. Mereka
berteriak bersama dalam nada yang tinggi, seolah-olah
hendak meruntuhkan langit.
Satu suasana yang jauh berbeda dengan sikap Empu
Pulung Geni. Namun Mahendra, Witantra dan Mahisa Agnipun
segera dapat membaca sikap yang sebenarnya dari
perguruan yang sedang mereka hadapi itu.
Dalam pada itu, para cantrikpun segera bersiap di
belakang dinding. Sementara Widati yang menggigil
ketakutan dibimbing oleh ayahnya masuk kedalam barak.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memerintahkan empat orang cantrik untuk mengamati
gadis itu dan melindunginya jika di luar dugaan, satu atau
dua orang menyusup sampai ke tempatnya. Sementara di
lingkungan apa yang mereka namakan padepokan, lima
orang cantrik selalu berjaga-jaga. Untuk ketenangan hati
Mahisa Murti, maka seorang dari prajurit pilihan telah
berada bersama dengan para cantrik itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran
itupun telah berkobar. Para cantrik yang berada di dalam
dinding dengan ujung tombak dan pedang berusaha
mencegah saudara-saudara seperguruan Singatama untuk
memasuki dinding. Dipimpin oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang berdiri berseberangan di sebelah
menyebelah regol, para cantrik yang merasa dirinya tidak
mempunyai pilihan lain daripada mempertahankan
hidupnya itupun telah menentukan satu sikap yang pasti.
Dengan demikian, maka benturan kekuatanpun tidak
dapat dihindari lagi. Ujung-ujung senjata mulai berbicara di
dinding apa yang disebut sebuah padepokan itu.
Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan guru
Singatama yang disebut Empu Pulung Geni itu, ketika tibatiba
saja pintu regol terbuka. Dengan serta merta,
sekelompok orang dari dalam regolpun berlari-larian keluar
dengan senjata telanjang di tangan.
Mereka adalah para prajurit Singasari yang dipimpin
langsung oleh Mahisa Bungalan.
Sergapan yang tiba-tiba itu benar-benar mengejutkan
para pengikut Empu Pulung Geni. Sejenak, mereka justru
menyibak karena senjata yang berputaran. Namun beberapa
saat kemudian ternyata merekapun telah berhasil
menguasai diri mereka kembali.
Mahisa Agni dan Witantra masih mengamati
pertempuran itu dari dalam dinding, sementara Mahendra
tidak sampai hati membiarkan Mahisa Bungalan keluar
tanpa pengamatannya, apabila tiba-tiba saja ia harus
berhadapan dengan Guru Singatama. yang menurut
perhitungan Mahendra, tentu seorang yang berilmu sangat
tinggi. Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra
memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebardebar.
Di luar dugaan, maka Mahisa Agnipun berdesis
"Apakah kau yakin, bahwa yang kita hadapi sekarang ini
sebuah padepokan?" Witantra mengerutkan keningnya. Jawabnya "Memang
mungkin sebuah padepokan. Tetapi sebuah padepokan
yang khusus" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata "Sebuah padepokan yang memang sangat menarik
perhatian. Padepokan yang memiliki sebuah kekuatan yang
besar Bahkan mungkin belum semua kekuatan dikerahkan.
Witantra tidak menjawab. Diamatinya pertempuran
yang menjadi semakin dahsyat. Orang orang yang datang
menyerang itu benar-benar orang-orang yang kasar dan
keras. Namun mereka memang memiliki kelebihan dari
sebuah padepokan biasa dan cantrik-cantriknyapun
memiliki ilmu yang cukup baik. Lebih baik dari para cantrik
di padepokan Empu Nawamula"
"Lebih baik dan lebih Banyak" berkata Witantra
"cantrik-cantrik dari padepokan Empu Nawamula ini masih
dibayangi oleh ketakutan, sementara kemampuan mereka
memang masih pada tataran permulaan"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Untunglah
bahwa Mahisa Bungalan datang bersama sekelompok
prajurit yang dapat membantu kedudukan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat" "Tetapi yang sangat menarik adalah padepokan itu
sendiri" berkata Witantra "aku condong mempunyai
dugaan, bahwa padepokan itu bukan sebuah padepokan
yang biasa kita jumpai"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu
pertempuranpun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak
telah mengerahkan segenap kekuatannya.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Empu Pulung Geni
benar-benar merupakan sebuah pasukan yang sangat
menggetarkan. Mereka bertempur dengan kasar dan keras.
Mereka berteriak-teriak dengan liar dan mempergunakan
cara apapun untuk menguasai lawannya.
Namun prajurit Singasari di bawah pimpinan Mahisa
Bungalan itupun memiliki pengalaman yang luas. Karena
itu, maka mereka tidak menjadi bingung menghadapi
pasukan Empu Pulung Geni.
Para Putut dari padepokan Empu Pulung Geni itupun
telah memencar Mereka memimpin para cantrik dengan
sasaran yang berbeda. Ada diantara mereka yang berusaha
memasuki dinding. Tetapi sebagian dari mereka terpaksa
bertempur menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Mahisa
Bungalan, yang justru keluar dari batas dinding apa yang
disebut padepokan itu. Namun dalam pada itu ternyata, bahwa usaha para
pengikut Pulung Geni memasuki dinding padepokan itu,
semakin lama menjadi semakin mendesak. Meskipun
sebagian diantara mereka harus menghadapi sekelompok
prajurit Singasari yang tidak mempergunakan ujud
keprajuritannya, namun yang lain berhasil
mengguncangkan pertahanan para cantrik dari padepokan
yang dipimpin oleh Empu Nawamula. Ternyata bahwa
para pengikut Empu Pulung Geni memang mempunyai
kelebihan sehingga mereka memaksa para cantrik dari
padepokan Empu Nawamula yang memang masih selalu
dibayangi oleh keraguan dan ketakutan, untuk menjadi
semakin berdebar-debar. "Kita tidak dapat tinggal diam" berkata Mahisa Agni.
"Baiklah" jawab Witantra "kita akan membagi diri. Aku
disini. dan kau berada disebelan regol"
Dengan demikian, maka di sebelah rnenyebelah regol
terdapat Mahisa Murti dan Mahisa Agni. Sementara
diseberang yang lain Witantra dan Mahisa Pukat. Dengan
mereka, maka para cantrik berusaha untuk mengusir lawan
mereka yang berusaha untuk memanjat dan meloncat
dinding. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda
itupun bertempur dengan sepenuh hati. Karena itu, lawan
mereka yang secara kebetulan berhadapan dengan kedua
anak muda itu disaat mereka berusaha meiianjat dinding,
terpaksa harus meloncat surut dengan luka di tubuh.
Apalagi setelah Mahisa Agni dan Witantra ikut serta
berusaha menghalau mereka, meskipun dengan cara yang
agak berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih
tetap mengamatii cara yang dipergunakan oleh Empu
Pulung Geni dan orang-orangnya untuk memecahkan apa
yang disebut padepokan itu. Kekuatan yang ada pada Empu
Pulung Geni benar-benar satu kekuatan yang besar.
Seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak disertai
oleh Mahisa Bungalan dengan sekelompok pasukannya,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami
kesulitan. Sementara itu, meskipun di pihak Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah disertai sekelompok prajurit dibawah
pimpinan Mahisa Bungalan, namun mereka tidak segera
dapat menyelesaikan kewajiban mereka. Ternyata
pertempuran itu menjadi semakin seru. Empu Pulung Geni
ternyata mampu mempertahankan garis pertempuran dekat
dengan dinding apa yang disebut padepokan itu.
Mahisa Agni dan Witantra masih saja berusaha untuk
menilai lawan sambil berusaha mengusir mereka. Bahkan
perkiraannya sampai pada satu kesimpulan, bahwa
padepokan Empu Pulung Geni itu tentu bukan sekedar
sebuah padepokan yang menurut laporan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dan yang telah disaksikannya sendiri, sering
memaksakan kehendaknya atas orang Lain.
"Tentu lebih dari itu" berkata Manisa Agni di dalam
hatinya sebagaimana pendapat Witantra.
Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sendiri ternyata
masih belum terjun kedalam peperangan. Ia memperhatikan
dengan seksama apa ying terjadi. Dengan cermat ia
mengamati tingkah laku para pengikutnya dan lawanlawannya.
Seorang Putut yang paling tua di dalam
padepokannya, mendampinginya dengan senjata telanjang
di tangan. "Aneh" berkata Empu Pulung Geni "aku tidak percaya
bahwa yang bertempur di luar dinding itu juga para cantrik
dari padepokan Singatama yang untuk sementara dipimpin
oleh Empu Nawamula" Putut yang berdiri disampingnya itupun menganggukangguk.
Katanya "Aku sependapat Empu. Mereka terlalu
baik bagi seorang cantrik. Mereka lebih baik dari cantrikcantrik
kita. Bahkan jauh lebih baik"
Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya ketika ia
melihat, bagaimana Mahisa Bungalan bertempur
menghadapi lawan-lawannya.
"Anak muda itu aneh" berkata Empu Pulung Geni. Lalu
"Ia memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Jika kau
biarkan ia bergerak, maka ia akan menjadi pembunuh yang
tidak dapat dicegah lagi"
Putut itu mengangguk. Ia melihat dua orang putut yang
lain bertempur di ujung-ujung arena. Sementara itu,
Singatama sendiri tengah berusaha dengan sepenuh hati
untuk dapat memasuki apa yang disebut padepokan itu.
Agaknya Singatama berkeras hati untuk dapat mengambil
gadis yang diinginkannya.
Tetapi memasuki apa yang disebut padepokan itu
ternyata tidak terlalu mudah. Apalagi Mahisa Murti dan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra berada di
dinding itu pula. Putut yang semula mendampingi Empu Pulung Geni
itupun kemudian berusaha mendekati Mahisa Bungalan.
Sejenak ia memperhatikan anak muda itu. Namunkemudian
iapun bergeser maju sambil berdesis "Kau luar
biasa anak muda" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang yang menyapanya itu. Sementara
Putut itu berkata pula "Apakah kau termasuk salah seorang
cantrik dari padepokan Nawamula?"
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun
kemudian jawabnya "Ya. Aku adalah seorang cantrik"
Tetapi Putut itu tertawa. Katanya "Kau jangan
berbohong. Aku tahu, bahwa para cantrik tidak akan berani
melakukan hal seperti ini tanpa orang lain berdiri di
belakangnya. Agaknya kau termasuk salah seorang yang
telah menghasut para cantrik itu untuk memberontak
terhadap Singatama" Mahisa Bungalan tidak segera menjawab.
Dipandanginya Putut yang berdiri dihadapannya itu.
Nampaknya orang itu memang cukup meyakinkan.
"Siapa kau" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.
"Aku adalah salah seorang pembantu Empu Pulung
Geni" jawab Putut itu "aku adalah Putut tertua dari
padepokannya. Aku mendapat perintah oleh Empu Pulung
Geni, agar aku menghentikan tingkah lakumu yang
sewenang-wenang" "O" Mahisa Bungalan menjawab "aku sama sekali tidak
merasa berbuat sewenang-wenang. Aku berbuat wajar
sebagaimana dilakukan oleh seseorang di peperangan. Jika
kau sempat melihat, orang-orangrnu telah bertempur
dengan kasarnya. Bahkan liar dan tidak terkendali. Dengan
demikian aku dapat melihat watak dari padepokanmu.
Padepokan yang dipimpin oleh orang yang disebut Empu
Pulung Geni itu" Putut itu mengangguk-angguk. Katanya
"Pengamatanmu tajam sekali Ki Sanak"
"Tingkah laku Empu Pulung Geni sama sekali
bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya. Demikian
pula kau" berkata Mahisa Bungalan kemudian "kesabaran
kalian bukan kesabaran yang sebenarnya. Tetapi
merupakan satu bagian darai perhitungan kalian yang
cermat" Putut itu mengangguk-angguk. Katanya "Kau benar Ki
Sanak. Tetapi bukan berarti bahwa pendapatmu itu akan
mempengaruhi kami dalam keseluruhan. Kami memang
kasar dan bahkan buas. Karena itu, kalian akan mati dan
berkubur di tempat ini"
Mahisa Bungalan tidak menjawab "Tetapi iapun segera
bersiap untuk bertempur. Dalam pada itu, pertempuranpun telah menyala semakin
besar dan seru. Senjata berdentangan dan darahpun mulai
menitik dari luka. Sementara itu, Mahendra yang berada di arena di luar
regol apa yang disebut padepokan itu, masih belum
bertempur dengan sungguh-sungguh. Ia masih tetap berada
diantara para prajurit Singasari yang memulas diri,
sebagaimana orang kebanyakan. Namun Mahendra tetap
mengawasi, apa yang akan dilakukan oleh Empu Pulung
Geni. Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Mahisa
Bungalan telah terlibat kedalam pertempuran dengan Putut
tertua dari perguruan Empu Pulung Geni. Ternyata Putut
tertua itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang
bersumber dari alam yang gelap dengan ujud yang kasar
dan keras. Tetapi Mahisa Bungalan telah membekali diri dengan
ilmu yang mantap. Karena itu, sejenak kemudian mulai
nampak bahwa Mahisa Bungalan mampu mengimbangi
tingkat ilmu Putut tertua dari perguruan Empu Pulung
Geni.itu. Sementara itu, para pengikut Empu Pulung Geni yang
lain masih belum berhasil memasuki dinding padepokan.
Para cantrik yang berada di dalam dinding, ternyata mulai
dibasahi oleh keringat dan kepercayaan kepada diri sendiri.
Karena itu, maka merekapun bertempur semakin mantap.
Mereka berusaha menghalau setiap orang yang berusaha
meloncati dinding yang tidak begitu tinggi itu dipimpin oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu. Empu Pulung Geni menjadi
semakin cemas melihat perkembangan dari pertempuran
itu. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk segera ikut
menerjunkan diri kedalam kobaran api pertempuran yang
menjadi semakin menyala. Mahisa Bungalan menjadi
semakin garang menghadapi lawannya. Sehingga sejenak
kemudian, maka Putut tertua dari perguruan Pulung Geni
itu semakin terdesak. "Anak iblis" geram Putut itu di dalam hatinya "anak ini
memiliki ilmu yang tinggi"
Sebenarnyalah, meskipun Putut itu mengerahkan
segenap kemampuannya, namun ia menjadi semakin
terdesak pula, seperti para cantrik yang lainpun telah
semakin terdesak pula oleh para prajurit Singasari,
sementara kawan-kawan mereka masih belum berhasil
memasuki halaman apa yang disebut padepokan itu.
Namun dalam pada itu, Widati benar-benar menjadi
ketakutan. Ia merasa diumpankan untuk memancing
perselisihan. Jika orang-orang di dalam lingkungan apa
yang disebut padepokan itu gagal bertahan, maka ia akan
menjadi barang rampasan yang jauh lebih tidak berharga
dari apabila ia menerima lamaran Singatama.
Dengan hati yang berdebaran ia melihat para cantrik
yang mengawalnya. Nampaknya para cantrik itupun telah
bersiaga sepenuhnya. Tetapi wajah mereka agak kurang
meyakinkan, bahwa merekapun siap menghadapi setiap
kemungkinan. Namun apabila di muka barak itu lewat seorang yang
sebenarnya adalah prajurit Singasari yang mendapat tugas
untuk membantu para cantrik mengawasinya, rasa-rasanya
hatinya menjadi tenang. Sikap orang itu jauh lebih
meyakinkan dari sikap para cantrik yang ada disekitarnya,
Tetapi tanpa para cantrik itu, hatinya tentu akan menjadi
lebih ketakutan lagi. Sementara itu, sorak dan teriakan di muka apa yang
disebut padepokan itu menjadi semakin gemuruh. Orangorang
dari perguruan Pulung Geni bertempur sambil
berteriak-teriak. Kadang-kadang kasar dan bahkan
The Wednesday Letters 1 Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Pendekar Muka Buruk 6

Cari Blog Ini