Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Berdarah 1

Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah Bagian 1


PEMBALASAN BERDARAH oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
Dalam episode 001:
Pembalasan Berdarah
136 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Usia senja nampaknya sudah semakin
larut saja. Bahkan keindahannya makin terganggu oleh ledakan guntur yang
terdengar saling bersahutan. Sebentar kemudian, air mengucur cukup deras,
ditumpahkan langsung dari langit.
Sehingga membuat para penduduk Desa
Tegalreja sedikit sibuk.
Sementara sebagian penghuni rumah
yang terbuat dari papan, tampaknya lebih suka berada di dalamnya. Memang,
rata-rata rumah penduduk di desa itu
terbuat dari papan.
"Hujan seperti ini biasanya
bertahan lama," kata lelaki di dalam sebuah pondok sambil menempatkan lampu di
dinding kayu. Lelaki berpakaian serba putih itu
melangkah perlahan, menghampiri
istrinya yang tengah menyusui anaknya yang berusia baru empat puluh lima hari.
Seorang bayi laki-laki yang nampak
begitu montok. Lelaki itu berhenti agak jauh dari
sisi tempat tidur. Matanya yang begitu sarat oleh kegembiraan, diarahkan pada
istrinya lamat-lamat. Tak lama kemudian, lelaki berumur tak lebih dari tiga
puluh tahun itu duduk di bibir tempat tidur.
Sebentar tangannya mencekal paha anak lelakinya yang dirasakan begitu kenyal.
"Kulitnya tebal dan berotot," kata lelaki itu lagi seraya mencium bayinya yang
nampak begitu sehat.
Sementara di luar sana, hujan
semakin deras mengucur diiringi guntur yang bersahut-sahutan. Udara dingin
nampak semakin menusuk kulit. Tidak ada yang tahu kalau tiba-tiba dari balik
kerimbunan pohon sebelah Timur,
melenting beberapa sosok bayangan hitam yang jumlahnya sekitar sepuluh orang.
Mereka sudah menjejakkan kakinya dengan indah di atas tanah becek. Sedikit pun
tak terdengar suara saat kaki mereka
mendarat bersamaan. Jelas, kesepuluh bayangan itu bukanlah orang-orang
sembarangan! Paling tidak, kepandaian mereka tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu bayangan itu tampak
mengangkat tangannya tinggi-tinggi,
kemudian merentangkannya. Rupanya dia memberi aba-aba agar kesembilan bayangan
lainnya berpencar ke empat penjuru rumah yang menjadi sasarannya.
Tak lama setelah kesembilan
bayangan tadi menghilang dari
hadapannya, lelaki yang nampak berwajah kasar dengan sebaris luka memanjang di
pipi sebelah kiri itu melangkah
perlahan. Dia menuju pintu rumah yang dihuni suami istri yang sedang tenggelam
dalam kebahagiaan karena telah
dikaruniai seorang bayi.
Tiba di depan pintu kayu, kepala
lelaki bertampang angker itu menoleh
kekanan, kekiri, dan kebelakang. Entah apa yang dicarinya. Yang jelas, setelah
tak ada sesuatu yang dikhawatirkan,
tanpa ragu lagi dia mengetuk pintu di hadapannya.
Sebentar laki-laki itu menunggu,
tak lama kemudian terdengar suara ayunan langkah dari balik pintu. Lalu,
terdengar suara berderak pintu yang
terbuka. "Kakang!" sebut lelaki berbaju putih yang baru dikaruniai anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu, seperti
menahan perasaan. Tapi sebentar
kemudian, dia mampu menguasai keadaan.
Langsung dipersilakannya lelaki yang
sudah dikenalnya itu untuk masuk. Maka, laki-laki berwajah angker itu segera
masuk. "Tak kusangka, Kakang akan datang
kemari," ujar lelaki berbaju putih itu sambil menggeser bangku kayu. "Duduklah,
Kakang." Lelaki berbaju merah menyala yang
dipanggil kakang melepas senyum sinisnya sambil mengangkat kaki, dan
meletakkannya di atas bangku yang
disediakan oleh tuan rumah tadi.
"Sepertinya ada perlu penting,
sehingga Kakang datang ke sini," duga si tuan rumah.
Lelaki berbaju serba putih itu
melipat kedua tangan dan menyilangkan di depan dada. Dia sesungguhnya sudah tahu
maksud kedatangan orang di hadapannya ini.
"Sangat penting!" sentak lelaki berwajah angker itu.
Suara lelaki berpakaian merah
menyala dan berkepala botak itu
terdengar menggelegar. Bahkan kursi yang ada dalam pijakannya langsung dihantam
dengan kakinya sambil menyeringai buas.
Tampangnya benar-benar angker. Sepasang palu bergerigi warna hitam dengan rantai
baja, yang dililitkan di pinggang,
memberi kesan kuat akan keangkerannya.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin aku bisa membantu," ujar lelaki berbaju putih,
tenang. Sedikit pun tak nampak kegugupan pada ucapannya. Wajahnya pun tidak
nampak ada ketegangan.
"Aku akan menjemput Purwakanti!"
keras suara lelaki botak itu.
Purwakanti adalah istri lelaki
berbaju putih itu. Dia yang mendengar ucapan tadi menjadi tersentak. Tapi,
hatinya sedikit pun tak ada rasa takut Purwakanti yakin, suaminya yang bernama
Sempani itu akan mampu menandingi
kedigdayaan kakak seperguruannya yang saat ini tengah mengadu urat dengan
suaminya. Lelaki berbaju merah menyala yang
merupakan kakak seperguruan Sempani
memang mempunyai watak telengas. Sepak terjangnya benar-benar merugikan orang
banyak. "Kau tidak lihat, Kakang Gandewa"
Antara aku dan Kakang Sempani sudah
terjalin suatu ikatan yang tak mungkin dapat dipisahkan! Bahkan di antara kami
telah hadir sosok bayi yang menandakan, betapa kuatnya hubunganku dengan Kakang
Sempani. Jadi, untuk apa kau
menjemputku?" sentak Purwakanti.
Lelaki berkepala botak yang
ternyata bernama Gandewa tersenyum
nyinyir. Sebentar kemudian, senyumnya ditukar dengan ledakan tawa yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sempani sangat terkejut mendapat
serangan tawa ini. Cepat-cepat
dikerahkan tenaga dalamnya untuk
mengimbangi tawa lelaki berkepala botak itu. Begitu juga yang dilakukan
Purwakanti. Tapi, bagaimana dengan bayi yang berada dalam pelukannya"
Tiba-tiba secara berbarengan,
Sempani dan Purwakanti mengibaskan
tangan kanannya. Dari gerakan yang cukup kuat itu, terciptalah hembusan angin
dahsyat yang mampu mengusir tawa
Gandewa. "Apa maumu, Gandewa"!" sentak Sempani, mulai naik pitam.
Lelaki berkepala botak yang bernama
Gandewa itu kembali terkekeh. Namun,
kali ini tak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Sudah kukatakan, kedatanganku ke sini untuk menjemput Purwakanti,
kekasihku," jawab Gandewa sambil memandang genit ke arah Purwakanti.
"Kekasihmu"!" teriak Purwakanti, meleceh. "Cih! Tak tahu malu! Siapa yang sudi
jadi kekasihmu."
Purwakanti langsung maju menyerang.
Tapi, Sempani lebih cepat menahan
langkah istrinya. Sehingga, Purwakanti hanya mampu menahan geram saja.
"Jangan gegabah! Dia bukan Kakang Gandewa yang bisa dianggap remeh seperti
dulu," ujar Sempani, mengingatkan.
Purwakanti kini hanya menatap sinis
ke arah lelaki botak yang tak tahu diri itu.
"Kau masih tetap cantik dan galak seperti tiga tahun lalu, Kanti. Namun itulah
yang membuatku tak mampu
melupakan dirimu. Kecantikanmu,
kegalakanmu, dan..., suaramu. Ya,
suaramu yang merdu membuatku tak mampu melupakanmu. Itulah sebabnya, aku datang
menjemputmu sekarang."
Gandewa menyebar senyumnya.
Sedangkan Sempani begitu jijik
menyaksikan senyum itu. Namun sejauh
ini, amarahnya berusaha dikekang.
"Jangan harap aku sudi menerima
ajakanmu!"
"Hm..., Jangan sampai aku bertindak kasar, Kanti!" bentak Gandewa.
"Kau pikir, bisa semudah itu?"
Purwakanti mencibir, seraya melirik ke arah Sempani.
"Mestinya kau sadar, dengan siapa sekarang berhadapan, Kanti. Namaku
memang tetap seperti yang pernah kau
kenal dulu. Gandewa! Tapi, aku bukanlah Gandewa tiga tahun lalu, yang selalu kau
lecehkan. Dan sekarang kau harus
mematuhi perintah dan keinginanku. Aku sekarang adalah penguasa di daerah ini!"
"Kalau aku tidak mematuhi?" pancing Purwakanti kesal.
"Aku akan menurunkan tangan kejam.
Dan kalian, kuharap jangan menyesal!"
"Setan gundul!"
Purwakanti langsung bergerak cepat
sehingga Sempani sampai terkejut Namun ia tak mampu lagi membendung kemarahan
istrinya yang tiba-tiba menyerang
Gandewa. Luar biasa! Apa yang dirasakan Purwakanti betul-betul di luar
dugaannya. Serangannya yang tiba-tiba dilancarkan, mampu dielakkan Gandewa
begitu saja dengan memiringkan tubuhnya sedikit
Dan begitu serangan pertamanya
gagal, Purwakanti kembali mengirim
serangan dengan menyodokkan tangan kanan ke arah ulu hati Gandewa. Sementara,
tangan kirinya digunakan untuk
menggendong bayinya.
"Akh!" pekik Purwakanti.
Seketika dia merasakan sengatan
yang teramat kuat di pergelangan
tangannya, ketika tangan Gandewa
berhasil menepis serangannya.
"Sudah kukatakan, Gandewa sekarang lain dengan Gandewa tiga tahun lalu.
Turuti sajalah keinginanku, Kanti."
"Keparat!"
Purwakanti kembali menyerang, tapi
Sempani lebih cepat meneegah.
"Jangan gegabah, Kanti! Ingat bayi kita," cegah Sempani sedikit keras.
Purwakanti kontan mengurungkan niatnya.
Didekapnya bayinya kuat-kuat, dan
dikecupnya sebentar.
"Kakang Gandewa, bisa kumaklumi apa yang menjadi keinginanmu. Tapi sayang, aku
tak bisa mengabulkan keinginan
Kakang yang tak masuk akal itu," tukas Sempani.
Betapa terkejutnya Gandewa
mendengar ucapan adik seperguruannya.
Giginya beradu, dan tangannya terkepal kuat. Lalu....
Brakkk...! Seketika meja yang ada di hadapan
lelaki berkepala botak itu hancur
terhantam kepalannya.
"Rupanya kau sudah punya nyali,
Sempani!" bentak Gandewa keras.
Sempani hanya menimpali dengan
senyum. "Kau masih seperti dulu, Sempani.
Masih suka merendahkan orang lain.
Padahal kau tahu, siapa aku dan bagaimana aku menyingkirkan Eyang Seleguri dari
muka bumi ini. Hm.... Lelaki tua busuk itu memang pantas kulenyapkan. Dialah
yang selama ini jadi penghalangku untuk mendapatkan Purwakanti. Dia rupanya
pilih kasih, sehingga memilihmu daripada aku. Kau masih ingat itu, Sempani?"
"Tentu ingat, Kakang Gandewa. Aku juga ingat kelicikanmu. Mana mungkin kau mampu
menandingi kehebatan Eyang
Seleguri kalau tidak menggunakan empat pembokong gelap. Kakang telah keluar
sebagai pemenang tapi dengan cara licik.
Dan itu tindakan yang tidak ksatria,
Kakang." "Bedebah laknat!" Gandewa langsung bergerak cepat mengirim serangan
bertenaga dalam penuh ke lambung
Sempani. Menyaksikan gelagat yang tidak
baik, Sempani secepat kilat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pukulan
bertenaga dalam penuh yang dikerahkan Gandewa hanya menyambar ruang kosong.
Namun demikian, Sempani merasakan angin keras dari pukulan Gandewa. Dan belum
lagi Sempani membetulkan letak
berdirinya, Gandewa kembali menyerang.
Bahkan kali ini menggunakan jurus
'Seribu Topan Membelah Samudera' yang didapat dari Eyang Seleguri.
"Hup!"
Sempani melentingkan tubuhnya ke
belakang. Namun, Gandewa terus mencecar dengan jurus-jurus yang berubah-ubah.
Tidak heran dalam waktu singkat, sepuluh Jurus sudah digelar Gandewa. Tapi
sampai sejauh ini, belum ada satu pun yang bisa untuk mendesak Sempani. Padahal,
Sempani sendiri hanya menghindar, meladeni
serangannya. Tentu saja hal ini membuat geram
hati Gandewa. Padahal, serangan yang
dilontarkannya tidak main-main.


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sempani!" bentak Gandewa keras.
"Jangan menyesal bila malaikat maut menjemputmu sekarang, dihadapan anak
istrimu!" "Lakukanlah apa yang ingin kau
lakukan, Kakang!"
"Bedebah!"
Semakin geram hati Gandewa
mendengar ucapan Sempani. Langkah
kakinya yang sudah telanjur maju,
ditariknya kembali. Gandewa kini
bermaksud memberi pelajaran terakhir
pada Sempani. Laki-laki berkepala botak dan
berwajah angker itu merenggangkan
sedikit kakinya. Sedangkan kedua telapak tangannya ditempelkan satu sama lain,
kemudian diangkat tinggi-tinggi hingga melewati ubun-ubun. Dan kini tangannya
diturunkan, lalu berhenti tepat di depan dadanya yang bidang.
Sempani sebenarnya sedikit bingung
juga menyaksikan gerakan yang dilakukan bekas saudara seperguruannya. Betapa
tidak" Kini kedua telapak tangan Gandewa nampak dikelilingi cahaya merah yang
menyebarkan panas ke seluruh ruangan.
"Seluruh kemampuanmu harus kau
kerahkan, Sempani. Itu jika kau masih ingin menikmati matahari esok pagi,"
ancam Gandewa sambil menatap tajam.
"Ajian ini sangat langka. Rasanya sukar sekali bagi orang yang memiliki ilmu
olah kanuragan rendah sepertimu untuk
mengelak. Bersiaplah menghadapi aji
'Pembeku Darah'."
Setelah berkata demikian, Gandewa
langsung menaikkan tangannya melewati kepala. Sinar merah yang mengelilingi
telapak tangannya terlihat berpencar.
"Haaat...!"
Seberkas sinar melesat cepat dari
sampokan tangan Gandewa ke arah Sempani.
"Hip!"
Sempani memasang kuda-kuda dengan
kedua tangan disilangkan di atas.
"Aku ingin tahu, sampai di mana
keampuhan aji 'Pembeku Darah' yang kau miliki, Kakang," tantang Sempani, tak
kalah dingin. Tubuhnya kini sudah
terbungkus sinar keperakan. Dan ketika sinar merah yang dikirim Gandewa itu
membentur tubuh Sempani, maka....
Blarrr...! Betapa terkejutnya hati Gandewa
menyaksikan keadaan Sempani yang masih seperti sediakala.
"Hebat kau, Sempani," puji Gandewa menutupi keterkejutannya. 'Tiga tahun lamanya
kita tak berjumpa. Dan ternyata, kau sudah punya kebolehan yang patut
diandalkan. Sungguh tak kusangka."
"Kebolehan yang kumiliki
sesungguhnya tidak terlalu hebat. Hanya aji 'Pembeku Darah' milikmu itu terlalu
dangkal, karena tak ada kekuatan di
dalamnya. Buang saja ajianmu itu,
Kakang," ejek Sempani. "Dan perlu kau ketahui. Aji 'Baja Raga' yang kupamerkan
tadi merupakan pemberian Eyang Seleguri.
Itu merupakan hadiah untuk muridnya yang berbakti. Tidak seperti Kakang yang
selalu membangkang!"
"Persetan dengan Seleguri!" pekik Gandewa keras.
Sungguh tak disangka kalau seiring
pekikan itu, Gandewa menyertakannya
dengan sebuah ajian dengan sambaran
tangan kanannya. Aji 'Dewa Api' namanya.
"Akh...!"
Sempani menjerit kesakitan ketika
bahunya terasa seperti terbakar. Bau
sangit dan kulit terbakar seketika
tercium hidung Sempani. Tampak bahu
sebelah kirinya hangus, setelah tangan kanan Gandewa berhasil mendarat telak.
"Licik kau, Gandewa!" maki Sempani sambil mencabut pedang dari balik
punggungnya. Gandewa hanya terkekeh melihat
pedang wama keemasan yang siap
menantangnya. "Tahanlah, Sempani!" sentak
Gandewa. Gandewa kembali mengirim aji 'Dewa
Api' ke arah Sempani dengan sambaran
tangan kiri. Namun, kali ini Sempani
lebih waspada. Cepat-cepat dia membuang dirinya ke kanan, lalu berjumpalitan di
lantai. Kemudian, dia bangkit berdiri sambil mengibaskan pedang keemasan di
tangannya. Gandewa terkekeh-kekeh menyaksikan
Sempani sibuk menghindari
serangan-serangannya.
"Tahan lagi, Sempani!"
Sempani tak bergeming sedikit pun
melihat Gandewa kembali melancarkan
serangan. Dia hanya berdiri mantap,
dengan meletakkan pedang keemasannya
sejajar hidung. Sementara itu, kedua
tangan Gandewa sudah tercipta api yang membentuk seperti bola. Dan ketika
tangannya dihentakkan, maka seketika
meluncur bulatan api yang mengarah ke tubuh Sempani.
Namun bulatan api ciptaan Gandewa
itu dibiarkan meluruk maju. Dan ketika sudah semakin dekat, Sempani memajukan
sedikit pedang keemasannya. Baru kerika menyentuh pedang yang berada di
tangannya, bara api itu seperti tak
berpengaruh apa-apa, seperti tertelan sinar keemasan yang keluar dari bilah
pedang Sempani.
Melihat hal ini, Gandewa kembali
tercengang. "Sudah kukatakan, jangan terlalu banyak bermain-main, Gandewa!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara
teguran keras yang datangnya entah dari mana. Dan belum lagi gema suara itu
hilang, mendadak muncul empat sosok
tubuh yang berlompatan ringan di samping kiri-kanan Gandewa. Melihat dari
gerakan mereka, jelas kalau ilmu meringankan
tubuh mereka sudah cukup tinggi.
Sempani terkejut juga menyaksikan
keberadaan empat tokoh aliran sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat. Begitu
juga dengan Purwakanti yang sedang
menggendong bayinya. Bagaimanapun juga, suami istri itu sadar, dengan siapa
sekarang sedang berhadapan. Bahkan Eyang Seleguri sendiri tak akan mampu
menghadapi Empat Setan Goa Mayat.
Apalagi suami istri itu.
"Kau rupanya terkejut juga,
Sempani!" ujar salah seorang dari Empat Setan Goa Mayat
Dia mempunyai nama asli Regita.
Konon, sepak terjangnya sangat ditakuti.
Julukannya dalam rimba persilatan adalah Telapak Setan. Walaupun berjenis
kelamin perempuan, namun dia betul-betul berhati setan!
"Terkejut?" ledek Sempani. "Kalian pikir, aku anak baru kemarin, heh!?"
"Ha ha ha.... Ini tantangan yang menarik, Gandewa! Ayo, jangan
buang-buang waktu. Sebentar lagi ayam berkokok. Kita sudahi saja permainan
ini." Dia adalah laki-laki kekar berotot
dan berjubah hitam. Selesai menuntaskan ucapannya, tangannya diangkat
tinggi-tinggi. Gerakan yang nampak aneh itu segera diikuti rekannya. Hanya
Gandewa yang kelihatan malah melepaskan lilitan rantai baja di pinggangnya.
Sepasang palu bergerigi warna hitam
nampak terikat pada ujung rantai.
"Hiaaat...!"
Gandewa meluruk maju mendahului
Empat Setan Goa Mayat. Sepasang palu
bergeriginya berputar-putar cepat di
atas kepalanya. Hawa dingin menggigilkan seketika keluar dari putaran palu
bergerigi yang tak tampak wujudnya.
Hanya lingkaran kehitaman saja yang
nampak di atas kepala Gandewa.
"Alirkan hawa murnimu ke tubuh Jaka Sembada, Kanti!" teriak Sempani lantang.
Biar bagaimanapun juga, dia
mengkhawatirkan keadaan anaknya.
"Tak ada artinya, Sempani!" ejek Gandewa. "Kalian semua harus mati, kecuali
Purwakanti."
"Setan!"
Sempani memutar pedang keemasannya
untuk mengusir hawa dingin yang semakin menggigit.
Blarrr...! Salah satu palu bergerigi milik
Gandewa yang diluncurkan membentur
dinding, ketika Sempani mengegos ke
kiri. "Satu lagi, Sempani!"
Gandewa kembali melepas Palu
bergerigi ke arah Sempani yang seketika juga memutar tubuhnya dan melakukan
lompatan dua kali.
"Biar aku saja yang menghabisinya, Gandewa!" pinta Telapak Setan. Perempuan itu
kemudian melompat ke hadapan
Sempani, diikuti ketiga rekannya.
Sementara, Gandewa mengurungkan niatnya untuk menyerang. Dibiarkan saja empat
orang lawannya menyerang dari empat
penjuru. Beberapa saat kemudian.
Wusss...! Perempuan setan itu segera
mengibaskan tangannya. Begitu juga yang dilakukan ketiga rekannya. Gerakan
mereka begitu serempak, dan sepertinya tak mengeluarkan apa-apa. Tapi dari bau
yang keluar, sudah membuat Sempani sibuk memutar-mutar pedang keemasannya.
"Hiyaaa...!"
Wusss! Mendapat serangan dari empat
penjuru, Sempani benar-benar kelabakan.
Bahkan ketika empat lawannya melepaskan benda lembut berwama keperakan, dia jadi
terkesiap. Cepat-cepat tubuhnya
melenting dan bersalto dua kali. Tapi, tetap saja salah seorang pengeroyoknya
telah membaca gerakannya. Maka, serangan yang rupanya berupa jarum-jarum beracun
itu tak bisa dihindari. Maka....
"Aaakh...!"
Sempani menjerit keras ketika dada
sebelah kanannya terkena tusukan puluhan jarum beracun. Pedang keemasannya pun
terpental agak jauh.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang sejak tadi. Serahkan saja Purwakanti padaku, habis
perkara. Dan kau tak perlu
susah-susah merasakan sakit seperti itu.
Kau bisa selamat dan mencari perempuan lain. Tapi sekarang..., ha ha ha.... Kau
akan mati dengan tubuh membiru."
Sempani bangkit hendak meraih
pedangnya, tetapi....
Bug! Tendangan telak mendadak
dilancarkan oleh lelaki berbaju biru
langit, sehingga membuat Sempani
terjengkang mencium tanah. Laki-laki
yang baru saja menendang itu namanya
Angkara. Badannya kurus, tapi wataknya telengas. Melihat lawannya sudah tak
berdaya, tapi tetap saja dia masih
memberikan tendangan.
Purwakanti tersedak. Bayinya segera
diletakkan di atas tempat tidur. Lalu dengan cepat, dia menghambur dan
menubruk Sempani.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Purwakanti khawatir sambil memegangi
tubuh suaminya.
"Sebaiknya kau melarikan diri,
Kanti. Selamatkan anak kita. Biar aku yang menghadang mereka. Cepat, Kanti!"
Sempani berusaha bangkit, seraya
mendorong sedikit tubuh Purwakanti.
"Cepat, Kanti! Selamatkan Jaka Sembada."
"Tak ada gunanya kalian lakukan
itu," perempuan yang berjuluk Telapak Setan itu terkekah. "Anak buahku sudah
mengepung bangunan ini. Lagi pula,
dengan tubuh yang membiru seperti itu, mana kuat kau menghadang kami."
"Cepat, Kanti!" ujar Sempani kembali, agar Purwakanti cepat pergi.
"Tapi, Kakang...."
"Cepat kataku!"
Purwakanti baru hendak melesat
pergi, namun tiba-tiba tubuhnya terasa ada yang menahan. Ternyata segulung
sinar kehitaman ciptaan seorang lelaki yang mengenakan topeng berbentuk tak
karuan telah berputar-putar di leher dan pergelangan kakinya. Sehingga, mau tak
mau gerakannya jadi tertahan.
Sementara, Sempani tengah sibuk
melawan hawa dingin yang sudah merasuk ke tulang sumsum. Sedangkan Gandewa sudah
maju mendekati Purwakanti yang tak
berdaya terkurung sinar kehitaman lelaki bertopeng. Nama sebenarnya lelaki
bertopeng itu adalah Barrot. Tapi karena setiap kemunculannya menggunakan topeng
hitam, dia dijuluki si Topeng Hitam.
Tuk! . "Akh!" Purwakanti mengeluh terkena totokan Gandewa. Maka, seketika tubuhnya
terasa tanpa daya.
Sempani makin pasrah saja saat si
Topeng Hitam mendekatinya dengan golok terhunus. Mata Sempani hanya mampu
terbeliak lebar saat dengan cepat golok Barrot siap menghunjam tubuhnya. Dan....
Blesss! "Akh...!"
Pekikan tertahan yang keluar dari
mulut Sempani, semakin membuat
Purwakanti terkejut. Namun dengan
keadaan tanpa daya seperti ini, dia tak mampu berbuat apa-apa.
"Kakang...!" panggil Purwakanti.
Dengan linangan air mata,
disaksikannya tubuh Sempani terbujur
kaku dengan sebilah golok berbentuk aneh tertanam tepat di jantung.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!"
ujar Gandewa sambil menggendong tubuh Purwakanti.
"Bagaimana dengan bayi itu?" selak Barrot.
"Biar aku yang habisi," kata lelaki yang bersenjatakan cambuk berduri.
Dia bernama Jatianom. Tubuhnya
tinggi besar. Wajahnya yang kasar
dihiasi cambang bauk. Sehingga menambah keangkeran wajahnya. Kini dihampirinya
ranjang yang terbuat dari jati ukir itu.
Cambuk berdurinya pun sudah diangkat
tinggi-tinggi. Ada sinar kebencian
ketika cambuknya diarahkan ke bayi merah anak Sempani dan Purwakanti itu.


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan kau kotori cambukmu dengan darah bayi yang tak berdosa, Jatianom!"
tahan Regita ketika cambuk berduri
Jatianom mulai terayun.
Jatianom mengurungkan niatnya.
Dipandanginya Regita dengan tatapan
aneh. "Apa maksudmu, Regita?" tanyanya tak puas. "Anak ini akan jadi penghalang kalau
tidak dibinasakan sekarang."
Regita tak segera menyahuti
pertanyaan Jatianom yang disertai nada kekecewaan. Si Telapak Setan yang
berhati setan itu hanya menyunggingkan senyum dingin.
"Aku tak bermaksud membiarkan bayi itu hidup, Jatianom," lanjut Regita setelah
sekian saat membalas tatapan
tajam Jatianom.
Jatianom tersenyum mendengar ucapan
Regita. "Biarkan bayi itu terkubur oleh abu bangunan rumah ini. Ayo..., hup!"
Regita melempar lampu yang menempel
di dinding. Tubuhnya melesat cepat
meninggalkan rumah Sempani yang mulai dimakan api. Sementara, Gandewa yang
membopong tubuh Purwakanti, Angkara,
Jatianom dan Barrot melesat tak kalah cepat.
*** Ayam mulai berkokok satu-satu dari
kejauhan, seiring semakin benderangnya api yang menjilati bangunan rumah
Sempani. Tiang-tiang penyangga yang terlalap
api satu-satu berjatuhan ke lantai.
Sementara di atas tempat tidur yang belum terjamah api, seorang bayi tengah
bergerak-gerak dengan tangisan yang
melengking. Seolah-olah hendak
menandingi suara dinding-dinding papan yang berguguran ke lantai rumah akibat
termakan api. Seiring lengking tangis yang
memilukan, selarik bayangan biru meluruk masuk menerobos kobaran api yang
berkobar dengan ganas. Bayangan itu
ternyata adalah seorang kakek.
Gerakannya sangat cepat, walaupun
usianya sudah lanjut Dia berhenti tepat di depan tempat tidur dari jati ukir.
Kakek berjubah biru itu menatap bayi
yang terus menangis! Sementara keadaan di dalam kediaman Sempani layaknya
seperti neraka saja. Begitu panas!
Segera kakek beijubah biru itu
menggendong bayi yang kepanasan. Begitu cepatnya kakek berjubah biru itu
bergerak, sehingga sebentar saja
tubuhnya sudah jauh meninggalkan rumah yang semakin habis dijilart api. Sulit
untuk menerka, setinggi apa ilmu yang dimiliki kakek itu.
*** 2 Hari terus berjalan dari waktu ke
waktu. Bulan berganti bulan. Tahun
berganti tahun. Tak terasa, sudah
sepuluh tahun peristiwa pembantaian di Desa Tegalreja berlalu. Bahkan telah
dilupakan orang.
Sementara itu, di puncak Gunung
Kalaban, tampak kabut tebal masih
menyelimuti. Gerakannya perlahan-lahan, mulai turun. Kemudian, kabut itu mulai
tergeser oleh sinar matahari yang keluar dari peraduannya.
Seorang kakek beijubah biru tampak
sedang duduk bersila di sebuah ruangan yang lebih mirip lorong. Tak jauh dari
situ, duduk seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun lebih. Tampaknya, dia
sedang melatih diri.
"Sempurnakan jurus yang terakhir, Jaka!" perintah kakek berjubah biru, setelah
meneguk air yang ada di depannya.
Kakek berjubah biru itu kemudian menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
kuat-kuat. Ditatapinya bocah kecil yang bernama Jaka yang tengah begitu tekun
melatih ilmu olah kanuragan.
Sesungguhnya ada yang mengusik hati
kakek berjubah biru itu manakala
menyaksikan kesungguhan Jaka berlatih.
Lagi pula..., kakek berjubah biru itu kembali menarik napas.
Betapa inginnya seluruh ilmu yang
dimilikinya diturunkan. Tapi, mana
mungkin hatinya tega memperkenalkan Jaka di mata orang-orang rimba persilatan
sebagai pewaris ilmu golongan hitam"
Kembali kakek itu meneguk minuman
yang ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering mengingat sepak terjangnya
pada masa lalu yang sudah merenggut
puluhan, bahkan ratusan nyawa orang tak bersalah. Bukan itu saja. Akibat
perbuatannya juga, nyawa kepala-kepala suatu padepokan telah hilang. Bahkan tak
jarang dia menghancurkan beberapa
padepokan, dan membakarnya hingga rata dengan tanah.
Kakek berjubah biru itu juga ingat
saat dirinya pernah menyelamatkan nyawa seorang perempuan dari keroyokan tokoh
aliran hitam. Tujuannya sebetulnya bukan karena tak tega melihat kesewenangan.
Tapi justru sebaliknya. Dia telah
tertarik pada kecantikan perempuan yang ditolongnya, yang ternyata bernama
Selasih. *** Selasih memang begitu santun
budinya. Rasa terima kasihnya yang
begitu besar, diperlihatkan pada Legar yang telah membebaskannya dari keroyokan
tokoh-tokoh aliran hitam. Dan itu
dibuktikan ketika Legar menginginkannya untuk menjadi seorang sahabat. Selasih
tak menolak, meski belakangan ia tahu kalau Legar sesungguhnya seorang lelaki
dari golongan hitam yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa!
Dan ketika terang-terangan si Hantu
Pemburu Nyawa yang dengan jubah birunya, hingga penampilannya begitu angker,
mengungkapkan perasaannya. Waktu itu
Selasih tak menolak. Karena, perempuan itu beranggapan kalau manusia itu pada
dasarnya baik. Begitu juga Legar yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa. Hanya
saja, hatinya sejak dulu tertanam
keangkaramurkaan dan nafsu setan yang tak terkendali.
"Kau mau menerima diriku, Selasih?"
begitu lembut pertanyaan yang keluar
melalui bibir Legar waktu itu.
Ucapannya yang tersusun rapi, tak
mencerminkan kalau Legar adalah seorang tokoh aliran hitam yang sering berurusan
dengan darah dan kematian.
Namun justru hal inilah yang menjadi
pertimbangan Selasih. Ada suatu
ketulusan dalam penuturan Legar. Maka, Selasih perlahan menganggukkan kepala,
untuk menerima kehadiran Legar di
sampingnya. Tentu saja ada satu syarat yang menyertai anggukannya.
"Ada syaratnya, Kakang Legar," kata Selasih, lembut.
"Apa syarat itu, Selasih?" juga masih begitu lembut suara si Hantu
Pemburu Nyawa. "Kau bersedia meninggalkan
kebiasaan burukmu selama ini, Kakang
Legar?" pinta Selasih, disertai
senyumnya yang manis sekali.
Ada keterenyuhan yang menyejukkan,
menyelusup rongga dada si Hantu Pemburu Nyawa. Tak biasanya dia mengalami
perasaan itu. Tapi, kali ini" Perasaan Legar benar-benar terkuasai kata-kata
lembut yang diucapkan Selasih sebagai persyaratan.
Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa
begitu yakin ketika menganggukkan
kepalanya. Namun, Selasih juga ingin
penegasan dari arti anggukan kepala itu.
"Aku bersungguh-sungguh, Selasih.
Duniaku yang selama ini tercemar oleh keonaran dan kekejian, akan segera
kutinggalkan," tegas Legar.
Manusia memang hanya berusaha, dan
Tuhanlah yang menentukan. Walaupun Legar menunjukkan kesungguhannya, namun tetap
saja nasib menentukan lain. Ternyata
tokoh-tokoh aliran putih menentang
hubungan mereka habis-habisan. Bahkan menuduh Legar telah meracuni Selasih
dengan janji-janji kosong.
"Manusia keji selamanya akan tetap keji," begitu yang selalu diucapkan mereka
terhadap si Hantu Pemburu Nyawa.
Dan pada kenyataannya, Legar tak kuasa membantah. Apalagi bukti-bukti janjinya
itu belum mampu diperlihatkannya.
Begitu pula yang dialami Selasih.
Dirinya tak bisa menentang keinginan
orang-orang yang dekat dengannya agar menjauhi Legar. Dia benar-benar tak
mampu berbuat apa-apa.
"Akan kubuktikan tuntutan
orang-orang yang dekat denganmu,
Selasih. Meski aku yakin antara kita tak dapat bersatu, namun akan tetap
kuwujudkan niat baikku. Aku akan
mengasingkan diri, meninggalkan
keramaian rimba persilatan yang tak
pernah selesai ini."
*** "Eyang. Sudah tujuh kali aku
mengulangi jurus yang terakhir,
tapi...." Kakek berjubah biru yang bernama
Legar itu masih pada ketermenungannya.
Sungguh tak disadari kalau bocah berusia sepuluh tahun sudah bersila di
hadapannya dengan tutur kata lembut.
"Eyang... Eyang Legar," Jaka kembali memanggil kakek beijubah biru itu. "Eyang
Le...." "Heh! Eh, oh.... Sudah berapa kali kau mengulangi jurus terakhir, Jaka?"
Eyang Legar seketika tergagap,
lamunannya tentang masa lalu bersama
Selasih seketika lenyap.
"Tujuh kali, Eyang."
"Tujuh kali?"
"Benar, Eyang. Apa sudah ada
peningkatan?"
Eyang Legar tak segera menjawab
pertanyaan bocah kecil di hadapannya.
Hatinya seketika tersentak. Baru
disadari kalau sejak tadi dia tidak
memperhatikan latihan cucu angkatnya.
Pikirannya terlalu asyik dengan masa
lalunya. Wajah Eyang Legar sebenarnya memerah, namun segera cepat dapat
ditahannya. "Coba kau ulangi sekali lagi,"
pintanya. Jaka tak membantah. Ia segera
bangkit, dan langsung memainkan jurus terakhir dengan sungguh-sungguh.
Plok, plok, plok...!
"Bagus! Bagus sekali, peningkatan yang luar biasa. Jurus terakhir yang kau
mainkan begitu sempurna, Jaka," puji Eyang Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa,
seraya mengelus-elus jenggotnya.
"Apa Eyang akan menurunkan jurus yang lainnya?"
Eyang Legar tak menjawab pertanyaan
bocah kecil di hadapannya. Mata tuanya yang tajam langsung menatap wajah Jaka.
Seolah-olah, kakek berjubah biru itu
ingin mengetahui, apa saja yang
tersimpan di dalam benak bocah di
hadapannya. Sebentar kemudian, Eyang Legar
menarik napas dalam-dalam. Mungkin
inilah saatnya dia menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, sekaligus
memberikan alasan kenapa dirinya tak
menurunkan seluruh ilmu yang
dimilikinya. "Maafkan Eyang, Jaka. Rasanya
seluruh ilmu yang kumiliki tak pantas diwarisi oleh bocah bagus sepertimu,"
lembut namun pasti ucapan yang keluar dari mulut Eyang Legar.
"Kenapa bisa begitu, Eyang" Apakah karena aku masih terlalu kecil untuk
mewarisi seluruh kepandaianmu?"
Eyang Legar menggelengkan
kepalanya. "Kau belum tahu, siapa diri Eyang yang sesungguhnya, Jaka."
"Maksud Eyang?" Jaka menatap lurus, langsung menusuk ke bola mata Eyang
Legar. "Semasa muda, aku adalah seorang tokoh rimba persilatan yang disegani
lawan maupun kawan. Tak satu pun tokoh rimba persilatan yang mampu menandingi
kedigdayaanku. Eyang memang bangga akan apa yang telah Eyang miliki. Namun,
kebanggaan itu telah membawa diriku pada kesombongan yang akhirnya melahirkan
banyak keresahan. Eyang berubah menjadi seorang tokoh persilatan yang kejam.
Pemerasan dan pembunuhan sering
kulakukan. Hingga pada akhirnya, aku menggelari diri sebagai Hantu Pemburu
Nyawa," tutur Eyang Legar.
Si Hantu Pemburu Nyawa itu
menghentikan ceritanya sebentar.
Ditatapnya bocah kecil di hadapannya.
Sepertinya, dia ingin menuangkan
segala perasaannya.
Sementara yang ditatap hanya
menunduk, seperti berusaha memahami
ucapan gurunya.
"Julukan itu memang begitu angker terdengar di telinga. Namun, aku begitu bangga
waktu itu. Pembantaian pun lebih sering lagi kulakukan. Siapa saja yang berani
berurusan denganku, maka harus berani pula menyerahkan nyawanya. Berapa banyak
tokoh sakti yang telah
kutaklukkan dan kukirim ke akhirat.
Namun, ketika suatu hari Eyang berjumpa dengan Selasih...," kakek beijubah biru
itu menghentikan ceritanya seraya
membuang mukanya ke kanan, untuk
menghindari agar cucu angkatnya tak
melihat kalau matanya mulai merembang.
Dia tak ingin tangisnya diketahui Jaka.
"Eyang berhasil ditaklukkan
Selasih?" tanya Jaka ingin tahu.
"Tidak Jaka," kata Eyang Legar sambil menggelengkan kepala.
"Lalu...."
Hantu Pemburu Nyawa mengarahkan
pandangannya pada wajah Jaka, matanya seperti tak berkedip. Sebentar kemudian
dari mulutnya mengalir cerita tentang dirinya dan Selasih.
"Karena Selasih, aku rela
meninggalkan kebiasaanku yang selalu
berurusan dengan darah dan kematian
Karena Selasih pula aku rela menghilang dari rimba persilatan dan pergi jauh


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengasingkan diri ke gunung ini."
Kembali Jaka tertunduk mendengar
cerita Eyang Legar.
"Aku rasa kau mengerti, kenapa aku tak mewarisi ilmu yang kumiliki. Aku tak
ingin nantinya kau dikenal sebagai
seorang tokoh dari golongan hitam.
Mereka yang berkecimpung dalam rimba
persilatan, telah mengenal betul
jurus-jurus yang kumiliki. Dan mereka juga telah menggolongkanku dalam aliran
sesat," jelas Eyang Legar. Kakek berjubah biru ini meletakkan kedua
tangannya yang nampak masih kekar pada bahu Jaka. Sementara bocah berusia
sepuluh tahun itu tetap duduk terpekur.
"Tapi jangan khawatir, Jaka,"
lanjut Eyang Legar. "Aku akan berusaha mempertemukan kau dengan Selasih."
Jaka mengangkat kepalanya. Sinar
kegembiraan terpancar jelas dari
wajahnya yang putih bersih. "Eyang akan membawaku menjadi murid...."
"Panggil dia Eyang Putri Selasih."
*** Malam merangkak perlahan. Angin
kering berhembus cukup kuat. Meskipun begitu, hawa dingin yang menggigit itu
seperti tak dipedulikan oleh dua
bayangan hitam yang tengah bergerak
cepat. Sementara bulan sabit yang
menggantung di atas, tak kuasa menerangi orang yang tengah bergerak cepat itu.
Sehingga, wajah mereka sulit
dimengerti. "Masih jauhkah kediaman Eyang Putri Selasih, Eyang?" tanya salah seorang yang
ternyata masih berusia sangat muda.
Usianya sekitar sepuluh tahun. Namun, ilmu lari cepatnya patut dibanggakan.
"Kau sudah lelah?" yang ditanya malah balik bertanya sambil menatap
wajah bocah kecil yang tertimpa sinar bulan sabit.
"Sedikit, Eyang," kata bocah sepuluh tahun itu sambil mengatur
napasnya yang agak memburu.
"Masih kuat untuk berlari jauh?"
tanya kakek beijubah biru ingin tahu.
Bocah kecil yang ditanya tak segera
menjawab. Kembali kakinya bergerak
cepat. Kakek berjubah biru yang memang Eyang Legar dan berjuluk Hantu Pemburu
Nyawa itu tersenyum menyaksikan tingkah cucu angkatnya.
Mereka kembali berlari cepat
menembus malam yang semakin jauh,
disertai hawa dingin yang semakin
menusuk ke tulang sumsum. Di tengah lari cepatnya, Eyang Legar masih sempat
mendengar suara napas memburu yang
keluar dari hidung cucu angkatnya.
"Kalau sudah tidak kuat, katakan terus terang, Jaka!" ujar Eyang Legar sambil
memperlambat larinya.
Jaka hendak menanggapi ucapan
eyangnya, tapi sebelum niatnya itu
tersampaikan, tiba-tiba....
"Hup...! Begini lebih baik untukmu, Jaka," Eyang Legar mengangkat tubuh bocah
kecil itu ke atas pundaknya.
"Dengan begini kita akan lebih cepat sam-pai.
Setelah berkata demikian, Eyang
Legar langsung mempercepat larinya.
Sementara, malam sudah semakin lanjut umurnya. Dua sosok bayangan hitam kini
sudah menjadi satu, berlari dengan
kecepatan yang sukar diukur. Dan kini, mereka berhenti di depan sebuah bangunan
besar yang sekelilingnya dijejeri
pohon-pohon mahoni.
Kakek berjubah biru itu melayangkan
pandangan ke seluruh bangunan besar
berkesan sederhana. Di depan rumah itu terdapat anak tangga beberapa undak
untuk menghubungi ke ruang utama. Eyang Legar terus melayangkan pandangan pada
rumah yang temaram oleh beberapa lampu yang menempel di dinding. Tiba-tiba....
"Hip! Hip...!"
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu tiga sosok tubuh meluruk maju dengan pedang keperakan melintang di
depan dada. Mereka ternyata anak-anak muda yang memiliki potongan tubuh cukup
bagus. Tinggi dan kekar.
"Siapa kau"!" bentak salah seorang yang berkumis tebal, namun berperawakan lebih
pendek dari kedua rekannya. "Dan untuk apa berada di sini malam-malam
begini?" "Aku Legar, dan ini cucuku. Namanya Jaka. Keberadaanku di sini untuk menemui Nyi
Selasih," lembut jawaban yang keluar dari bibir Eyang Legar.
Ketiga anak muda yang menghadang
kakek berjubah biru itu saling
berpandangan. "Apa hubungan Kakek dengan guru
kami?" "Aku sahabat lamanya. Katakan saja, Legar ingin bertemu."
"Malam-malam begini" Pasti kau
membawa niat yang tidak baik!" selak anak muda yang bertubuh lebih tinggi.
"Mana mungkin seorang sahabat
berniat tidak baik, Anak Muda. Tolonglah pertemukan kami dengan gurumu," kata
Eyang Legar lembut, disertai senyumnya yang manis.
"Besok pagi saja Kakek kembali
lagi!" "Aku harus bertemu Nyi Selasih
sekarang," masih lembut suara kakek berjubah biru itu.
"Kami tidak mungkin membangunkan guru. Kalau itu kami lakukan, berarti telah
mengganggu tidurnya. Sedangkan
guru kami paling tidak suka jika tidurnya diganggu. Maka lebih baik Kakek datang
lagi besok pagi," putus anak muda berparas tampan, namun berahang
menonjol. Anak muda itu memang sedikit tenang dibanding kedua temannya.
"Sudah kubilang, aku harus bertemu guru kalian malam ini juga," tegas Eyang
Legar pelan, namun tekanan suaranya
cukup membangunkan amarah ketiga anak muda yang menghadangnya.
"Tidak bisa! Dan jangan paksa kami mengambil jalan kekerasan!"
"Sabar, Anak Muda," tahan Eyang Legar kerika pedang salah seorang yang
menghadangnya terayun ke atas. "Aku tidak akan memaksa, kalau kalian memang
tidak ingin membangunkan guru kalian.
Tapi, ijinkanlah aku yang membangunkan guru kalian."
"Kurang ajar!"
Anak muda yang barusan mengurungkan
ayunan pedangnya, kini tanpa ragu-ragu lagi mengangkat senjatanya. Dan dengan
kuat pedangnya ditebaskan ke pangkal
leher Eyang Legar.
"Uts!"
Eyang Legar merundukkan kepalanya
sedikit, sehingga sambaran pedang
keperakan anak muda itu hanya membentur tempat kosong. Namun kakek berjubah biru
itu menyadari kalau serangan yang
dilakukan lawan tadi tidak main-main.
Disertai pengerahan tenaga dalam,
tebasan anak muda itu cukup membahayakan juga.
"Keparat!" maki anak muda itu, menyaksikan serangannya tidak menemui sasaran.
Namun dia tak putus asa. Kembali pedangnya diayunkan dan menebas bagian bawah
kakek berjubah biru itu.
Wuttt...! "Hip!"
Eyang Legar melentingkan tubuhnya
ke atas. Begitu juga dengan bocah kecil yang berada di sebelahnya. Mereka
bersamaan melenting ke atas dan mendarat ringan secara berbarengan di tanah.
"Menyingkirlah, Jaka. Biar aku
urusi dulu orang-orang ini," ujar Eyang Legar.
"Baik, Eyang," sahut Jaka. Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu segera
menyingkir dari arena pertarungan. Dan memang, orang-orang itu lebih
menginginkan Eyang Legar.
Sementara itu, menyaksikan temannya
selalu membentur ruang kosong, anak muda yang berperawakan tinggi dan sedikit
kurus maju membantu serangan. Pedang
keperakannya yang sejak tadi terhunus, ditusukkan ke arah perut kakek berjubah
biru itu. "Eit!"
Eyang Legar cepat-cepat memiringkan
tubuhnya ke kanan. Maka serangan anak muda berperawakan tinggi itu melesat
beberapa tombak dari, pinggang lawan.
Namun belum lagi Eyang Legar
membetulkan letak berdirinya, kembali datang serangan dari anak muda yang
berkumis tebal.
Wuttt! "Hup...!"
Eyang Legar menggenjot kakinya ke
udara dan melakukan putaran dua kali
untuk menghindari serangan selanjutnya.
Akan tetapi, belum lagi kakinya
menginjak tanah, kelebatan pedang
keperakan kembali mengancam kakinya.
"Hip!"
Eyang Legar cepat-cepat mengangkat
sedikit kakinya. Dan begitu pedang
keperakan tepat berada di bawah kakinya, dengan sedikit pengerahan tenaga dalam,
senjata itu dijadikan pijakan untuk
kembali melenting ke udara.
"Awas...!" teriak Eyang Legar, seraya menyerang balik ke arah tubuh anak muda
berkumis lebat Anak muda itu memiringkan tubuhnya
ke kiri, menghindari serangan kakek
beijubah biru yang seper-tinya
main-main. Namun dia kembali terperangah menyaksikan kecepatan tendangan Eyang
Legar yang tiba-tiba sudah berada di
depan wajahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat anak muda berkumis
lebat itu menjatuhkan dirinya ke
sarnping kiri, lalu bergulingan beberapa kali. Namun Eyang Legar tak mengejar.
Sementara itu, sebuah serangan tengah mengancam pinggang Hantu Pemburu Nyawa
itu. Dan.... "Hip...!"
Dug! "Akh...!"
Anak muda berperawakan tinggi yang
mem-bokong kakek berjubah biru itu
memegangi perutnya yang terkena sodokan kaki. Mulutnya tampak meringis, menahan
rasa sakit dan mual yang menyerang
perutnya. Sungguh tak diduga kalau kakek beijubah biru itu menyertai tenaga
dalam pada tendangannya.
"Sudah kukatakan, maksudku ke sini tidak disertai niat jahat," tukas Eyang Legar
mencoba menahan anak muda berparas tampan yang hendak turut menyerang.
Sementara itu, anak muda lainnya
hanya saling pandang. Sedangkan anak
muda yang tadi tertendang, sudah bangkit berdiri
dan menghampiri
kawan-kawan-nya.
"Kalau aku bermaksud jahat,
sebentar saja nyawa kalian telah kukirim ke akhirat," lanjut Eyang Legar sambil
menghampiri bocah kecil yang sejak tadi menjadi penonton.
"Kalau memang bermaksud baik,
kenapa tidak kau turuti permintaan kami untuk datang lagi besok pagi?" tanya
pemuda tampan berahang menonjol.
"Karena aku mempunyai keperluan
yang tak bisa ditunda sampai besok, Anak Muda," sahut Eyang Legar sambil
melempar senyuman.
"Itu hanya alasanmu! Hiyaaat...!"
Anak muda berkumis lebat yang punya
watak keras, kembali menyerang. Kali ini tusukan pedang keperakannya mengarah ke
jantung Eyang Legar. Namun kembali kakek beijubah biru itu melenting sambil
membopong Jaka. Kemudian, mereka
mendarat lunak beberapa tombak dari
penyerangnya. "Hiaaat...!"
"Tahan!"
Bentakan kuat tiba-tiba datang dari
arah pintu utama. Sehingga, membuat anak muda berperawakan tinggi dan berkumis
lebat itu mengurungkan serangannya.
"Ada tamu tak diundang rupanya,"
lembut sekali ucapan yang keluar dari bibir wanita yang sudah cukup punya usia.
"Kenapa kalian tak membangunkan aku, kalau yang datang Legar?"
Semua anak muda yang ada di situ
hanya diam membisu. Wajah mereka pun
langsung tertunduk.
"Dan kau, Kakang Legar. Kenapa
datang tak memberi kabar lebih dahulu"
Kau telah membuat mereka bertiga
terkejut, Kakang. Hei! Sentanu, Raharja, Sudana, kenapa bengong di situ" Kembali
ke tempat kalian!"
"Kami kembali, Nyi," tukas Sentanu sambil memberi isyarat pada kedua
temannya. Perempuan tua itu kemudian
mengembangkan senyum seraya
menganggukkan kepala. Sementara ketiga lelaki muda itu segera membalikkan
badannya, setelah lebih dahulu
menganggukkan kepala pada kakek beijubah biru. Maka, Eyang Legar juga membalas
dengan anggukan tanda pamit ketiga anak muda di hadapannya.
"Mereka bertiga muridmu, Selasih?"
tanya Eyang Legar, setelah ketiga anak muda yang barusan menyerang, menghilang
dari hadapannya.
"Seperti yang kau ketahui tentang watak ayahku. Nah, seperti itulah aku, Legar."
"Sampai setua ini kau belum
mengangkat seorang murid pun?" Eyang Legar membelalakkan matanya sedikit.
"Lalu, ketiga anak muda tadi apa bukan muridmu?"
"Nada pertanyaanmu masih seperti belasan tahun lalu, Kakang. Jangan
curiga seperti itu. Ketiga anak muda tadi memang mengaku sebagai murid. Tapi,
aku sendiri tidak mengaku sebagai gurunya,"
sahut Selasih, seraya melirik bocah
kecil yang berdiri di sarnping Eyang
Legar. "Kau masih seperti dulu, Selasih.
Masih suka merendah dan senang
bergurau," selak Eyang Legar polos.
"Aku tidak bergurau, Kakang Legar,"
bantah Nyi Selasih. "Bisa kau lihat, bagaimana jurus-jurus yang mereka
gunakan untuk menyerangmu. Tak ada
keistimewaannya sedikit pun, bukan" Kau tahu, Kakang. Itulah jurus yang
kuciptakan sambil lalu, atas desakan
mereka. Mereka bertiga memang memiliki kemauan keras untuk mempelajari ilmu
olah kanuragan."


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau memang begitu, kenapa tidak kau turunkan sedikit kepandaianmu?"
"Entahlah. Sampai saat ini, aku
memang belum tertarik."
"Kasihan mereka," desah Eyang Legar, pelan sekali.
Nyi Selasih membelalakkan matanya.
Telinganya yang memang sudah terlatih, mendengar juga ucapan Eyang Legar.
"Kalau merasa kasihan, Kakang saja yang mengangkat mereka sebagai murid,"
sahut Nyi Selasih.
Eyang Legar mengerutkan dahinya,
lalu tersenyum lepas.
"Ilmuku tak baik dituruni pada orang baik-baik, Selasih. Kau paham, bukan?"
"Dan anak kecil di sampingmu itu?"
Nyi Selasih menatap mata Jaka.
Nyi Selasih nampak terkejut. Dia
merasakan hatinya berdesir aneh ketika tatapannya membentur bola mata hitam
pekat milik bocah kecil yang berdiri di sarnping kakek beijubah biru itu.
"Ah! Mari masuk ke dalam, Kang,"
putus Nyi Selasih mencoba menutupi
keterkejutannya sambil meraih tangan
bocah kecil di samping Eyang Legar.
Kembali Nyi Selasih terkejut
setelah kulit tangannya bersentuhan
dengan kulit tangan Jaka. Terasa ada hawa lain yang keluar dari kulit bocah
kecil yang begitu tebal itu. Apakah bocah ini yang akan menjadi muridnya,
seperti yang pernah diceritakan mendiang ayahnya"
Nyi Selasih terus bertanya-tanya
dalam hati, sambil terus menuntun tangan Jaka masuk ke ruang utama.
*** "Kau bisa ceritakan, siapa anak
kecil itu, Kakang?" desak Nyi Selasih setelah kembali mengantar Jaka ke kamar
tidur. "Kau suka padanya?" pancing Eyang Legar.
Nyi Selasih tak menimpali
pertanyaan Eyang Legar, si Hantu Pemburu Nyawa. Seorang tokoh persilatan
golongan hitam yang sudah insyaf.
"Aku khawatir, kau tak menyukai dan tak sudi mengangkatnya sebagai murid.
Bukankah kau sudah berjanji untuk itu, Selasih?"
"Sampai kutemukan seseorang yang betul-betul pas menjadi muridku,
Kakang," tegas Nyi Selasih.
"Itu berarti tak tertutup
kemungkinan bagi Jaka Sembada untuk jadi muridmu?"
"Namanya Jaka Sembada, Kakang?"
Eyang Legar menganggukkan kepalanya
sambil mengusap jenggotnya yang hampir memutih sebagian.
"Nama yang begitu bagus. Dia pasti anakmu, Kakang," tebak Nyi Selasih.
Si Hantu Pemburu Nyawa melepas
tawanya perlahan.
"Semenjak kegagalanku dalam
mengawinimu, Selasih. Tak pernah sekali pun aku berurusan dengan perempuan,"
tegas Eyang Legar.
"Kau...," sebut Nyi Selasih, sambil menundukkan kepalanya.
"Tak ada perempuan lain yang
kucintai selain kau, Selasih. Itulah
suratan dari sang Pencipta yang tak bisa digugat. Ah! Lupakan masa lalu yang
hanya membuat kita bersedih, Selasih," ujar Eyang Legar periahan, sambil
memegang punggung Nyi Selasih dengan kedua
telapak tangannya.
"Sebagai penerus hubungan kita,
kuingin kau menuruni seluruh kemampuanmu kepada Jaka. Dia seorang anak kecil
yang penuh keistimewaan. Dan kuharap, kau
menyukainya."
"Tapi...."
"Tanpa kau minta pun, aku akan
menjelaskan asal-usul anak itu,
Selasih," potong Eyang Legar yang kemudian mengarahkan pandangannya ke
arah jendela yang tak tertutup rapat
Mata kakek berjubah biru itu tampak
tak berkedip ke arah jendela. Mata tuanya yang masih kelihatan segar seperti
hendak menembus kepekatan malam.
"Aku tak tahu, kenapa malam itu
perasaanku begitu kuat untuk keluar dari persembunyianku," ungkap Eyang Legar
periahan. "Semula, aku tak menurutinya.
Tapi ketika keinginan itu terasa semakin kuat, akhirnya kaki ini melangkah. Aku
menggunakan langkah biasa ketika
menuruni gunung. Namun lama kelamaan, langkah yang sudah lama tak kugunakan
semakin cepat saja, tanpa kuhendaki sama sekali. Setelah kusadari, ternyata aku
telah jauh meninggalkan kaki gunung."
Eyang Legar menghentikan ceritanya
sejenak. Matanya kini beralih ke wajah Nyi Selasih. Nampak wanita tua itu
mengharapkan agar Eyang Legar untuk
segera melanjutkan ceritanya.
"Aku baru menghentikan Iangkah
kerika samar-samar kudengar suara
pertengkaran, yang kemudian berlanjut pertarungan. Hal ini bisa kuduga dari
suara senjata yang beradu. Semula, aku tak mau ikut campur. Aku sudah berjanji
tak ingin berurusan lagi dengan
kekerasan sejak kita berpisah puluhan tahun lalu. Namun, perasaanku yang lain
mengajakku untuk menyaksikan
pertempuran itu. Aku memang mampu
menekan ajakan itu, tapi aku tak mampu beranjak dari situ. Aku tersentak ketika
mendengar pekik seorang perempuan.
Bahkan aku langsung ingat kau, Selasih.
Kuhentakkan kakiku cepat-cepat, namun kembali kuhentikan ketika nama perempuan
itu disebut seseorang," lanjut Eyang Legar.
"Siapa nama perempuan itu, Kakang?"
potong Nyi Selasih.
"Kalau tak salah aku mendengarnya, namanya Purwakanti."
"Purwakanti?" ulang Nyi Selasih sedikit terkejut
"Kau mengenalnya?" selidik Eyang Legar.
"Nama Purwakanti tidak hanya satu di jagat ini, Kakang. Teruskan ceritamu,"
ujar Nyi Selasih.
"Aku kembali mengayun langkah
dengan kecepatan penuh, manakala
kudengar tangis seorang bayi. Lalu, aku berhenti di depan rumah yang ternyata
sudah dilahap api. Sementara lengking tangis bayi semakin kuat menusuk
telinga, seolah-olah menyuruhku untuk menerobos lingkaran api yang sudah
membumbung tinggi. Aku melakukannya,
Selasih. Lingkaran api itu kuterobos.
Dan di dalamnya kutemukan sosok mungil di atas tempat tidur. Sementara di tempat
lain, sosok tubuh lelaki kulihat
tergeletak. Dan tak jauh darinya,
tergeletak sebilah pedang yang berwarna kuning keemasan...."
"Pedang keemasan"! Pasti dia
Sempani," gumam Nyi Selasih perlahan.
"Sempani...?" ulang Eyang Legar.
"Ya, ya. Nama itu juga disebut-sebut ketika pertarungan itu kudengar dari
kejauhan. Sempani. Kau kenal dengan
lelaki itu, Selasih?"
"Aku yakin, lelaki itu adalah
pemilik pedang keemasan yang kau lihat.
Dialah Sempani. Ya, Sempani murid Ki
Seleguri dari Perguruan Soka Merah."
"Tentunya kau juga kenal
Purwakanti?"
Nyi Selasih mengangguk.
"Dia anak sahabatku. Namanya,
Seroja. Dan bocah bagus yang sedang
terlelap di kamar pasti anak Purwakanti, cucu Seroja. Dan berarti, bocah bagus
itu cucuku juga."
Kakek berjubah biru yang berjuluk
Hantu Pemburu Nyawa itu menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam. Seolah-olah, dia
mencari kesungguhan dari ucapan
perempuan tua di hadapannya. Sementara dari wajah Eyang Legar juga terpancar
seberkas sinar kegembiraan.
"Itu berarti juga dia cucuku."
"Aku berjanji akan menjaganya dan menuruni seluruh kemampuanku, Kakang
Legar." "Terima kasih, Selasih.... Ternyata harapanku terkabul," bola mata Eyang Legar
tampak berbinar-binar.
"Kau belum menceritakan keadaan
Purwakanti waktu itu, Kakang Legar. Kau tidak menceritakan kalau kau melihat
mayatnya."
"Ya. Di rumah yang tengah dilalap api itu tak kutemukan sosok lain, selain sosok
lelaki yang kau pastikan bernama Sempani."
"Itu berarti membuka kemungkinan kalau Purwakanti masih hidup."
"Kemungkinan itu bisa saja
terjadi." "Kakang! Dalam pertempuran itu,
telingamu mampu mendengar nama
Purwakanti, Sempani, dan Jaka Sembada disebut-sebut. Apakah ada nama lain yang
kau dengar?"
"Ada."
"Siapa?" desak Nyi Selasih, tak sabar.
"Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat"
"Gandewa?" gumam Nyi Selasih. Dahi perempuan tua berusia lebih dari enam puluh
tahun itu berkerut.
"Sepertinya, nama itu pernah
kukenal. Hei! Bukankah dia yang pernah dikenalkan Ki Seleguri kerika aku
membawa Purwakanti ke Perguruan Soka
Merah?" "Dia kakak seperguruan Purwakanti.
Lalu, apa hubungannya dengan Empat Setan Goa Mayat?"
"Aku tak tahu, siapa itu Gandewa.
Tapi Empat Setan Goa Mayat pernah
kudengar sepak terjangnya," tukas perempuan tua itu seraya pikirannya
menerawang jauh.
"Hari semakin larut, Selasih.
Keteranganku sudah tidak kau butuhkan lagi. Sekarang aku mohon diri. Aku yakin,
di tanganmu Jaka akan hadir sebagai sosok pendekar welas asih, yang selalu
membela kebenaran dan memerangi kebathilan."
"Mudah-mudahan, Kakang. Kelak, jika saat yang tepat sudah datang, Pusaka Raja
Petir akan kuserahkan padanya."
"Pusaka" Ayahmu meninggalkan
pusaka" Pusaka apa?"
"Entahlah. Aku sendiri belum berani membukanya. Tapi menunjt ayah, pusaka itu
berupa sebuah kitab, sebuah sabuk, dan dua buah bambu kuning sebesar ibu jari
lelaki dewasa, sepanjang jengkalan bocah umur tiga tahun," jelas Nyi Selasih.
"Kalau boleh kuduga, kitab itu
berisi pelajaran ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian yang ditinggalkan
leluhur Raja Petir."
"Dugaanmu itu tak meleset, Kakang.
Menurut ayah, isi kitab itu
seperempatnya telah diturunkan padaku."
"Sebuah kitab yang mengagumkan
kalau begitu. Aku yakin, Jaka akan mampu menguasai pelajaran yang terkandung di
dalamnya. Dia cerdas dan memiliki
kemauan keras."
"Mudah-mudahan keyakinanmu menjadi kenyataan, Kakang," timpal Nyi Selasih.
"Aku pamit sekarang."
"Terima kasih, Kakang."
"Hip!"
Sekali hentakan saja, tubuh kakek
berjubah biru itu melesat cepat dari
hadapan Nyi Selasih. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar
saja sudah menghibng dari pandangan.
Sementara, malam beranjak semakin tua.
Angin dingin pun berhembus semakin kuat.
*** 3 Malam merangkak semakin jauh.
Bahkan tanda-tanda fajar akan
menyingsing sudah semakin kuat. Pada
sebuah ruangan yang cukup luas, tampak seorang perempuan yang sudah cukup umur
tengah mondar-mandir dari ujung ruangan yang satu ke ujung ruangan yang lain.
Dahi perempuan yang berusia sekitar
enam puluh dua tahun itu nampak berkerut.
Kulit dahinya yang memang sudah keriput nampak turun naik. Itu menandakan kalau
dia sedang memikirkan sesuatu yang cukup membutuhkan banyak pertimbangan.
"Diakah bocah yang dimaksud ayah?"
perempuan tua berpakaian longgar
berwarna putih itu memindahkan kerut di dahinya menjadi sebuah pertanyaan yang
menggema di sudut hatinya.
Perempuan tua yang memang bernama
Selasih itu kini menyunggingkan senyum sekilas, untuk sebuah keyakinan yang
tertanam dalam hatinya.
Dia sesungguhnya senang mendapatkan
seorang bocah yang kehadirannya memang sudah bertahun-tahun ditunggu. Namun,
bukan hanya itu saja yang membuat nenek berpakaian longgar warna putih ini
bersenang hati. Ada hal lain yang
membuatnya bersuka cita. Yakni,
keberadaan bocah yang ditunggu-tunggu ternyata masih
ada kaitan dengan
kehidupan masa lalunya.
Bocah yang sudah lama ditunggu itu
ternyata cucu dari sahabat karibnya,
yang memang sudah seperti adik kandung sendiri. Bahkan Almarhum Raja Petir
pernah mengukuhkan Seroja sebagai anak angkatnya. Dan itu berarti, bocah yang
kini tengah terlelap di kamarnya adalah buyutnya. Sedangkan buat Nyi Selasih,
Jaka Sembada adalah cucunya. Karena, dia sendiri tetap menganggap Purwakanti,
ibu si bocah, sebagai anak kandungnya.
Kembali senyum Nyi Selasih
berkembang. Dan kali ini diiringi
langkah kakinya menuju kamar Jaka yang tergolek dengan irama napas teratur.
Perempuan tua berpakaian longgar
warna putih itu melangkahkan kakinya
dengan ringan, hampir tidak menimbulkan suara. Sinar matanya yang masih tetap
tajam, tak lekang menatapi wajah keras namun lembut milik Jaka yang tengah
terlelap. Ada keinginan untuk memeluk tubuh
yang selama ini ditunggu-tunggunya.
Namun, Nyi Selasih mengurungkan
keinginannya itu. Dia merasa tak tega untuk mengganggu tidur bocah yang
mungkin terlalu lelah, karena telah
menempuh perjalanan jauh bersama Eyang Legar.
Mengingat nama Legar, ada perasaan
menggiriskan yang tiba-tiba mengisi hati Nyi Selasih. Nama seorang lelaki yang
telah salah jalan, namun telah bertobat karena dirinya semata. Tapi, tobatnya
tak menghadirkan apa yang diharapkan.
Tobat yang tidak pernah diterima


Raja Petir 01 Pembalasan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang golongan putih.
"Uhhh...!"
Nyi Selasih mencoba mengusir
bayangan masa lalunya bersama Eyang
Legar. Putri tunggal Raja Petir itu
kembali menatap ke arah bocah kecil yang tak terusik oleh desah napasnya
barusan. Kembali Nyi Selasih terkejut ketika
matanya seolah-olah dapat menembus
kelopak mata yang terpejam rapat itu. Dan bola mata bocah itu nampak seperti
menariknya untuk mendekat. Dan anehnya, hati Nyi Selasih langsung berdesir kuat
Ada keterkejutan lain yang melanda
Suling Emas 14 Pendekar Pulau Neraka 29 Misteri Penunggang Kuda Bertopeng Pendekar Wanita Penyebar Bunga 5

Cari Blog Ini