Ceritasilat Novel Online

Terjebak Di Gelombang Maut 1

Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU JLEGAAAARRRR!! Ledakan dahsyat yang membedah malam
itu mengejutkan seorang pemuda yang baru saja
memejamkan matanya. Kontan pemuda ini berdiri
dengan mata memperhatikan sekelilingnya. Saat
itu rembulan sedang terang bersinar, tak ada
gumpalan awan hitam yang menghalanginya. Di
sekitar tempat itu pun tak banyak tumbuh pepohonan tinggi hingga sinar rembulan dapat menyorot jelas siapa si pemuda.
Pemuda itu mengenakan rompi berwarna
ungu. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor
kuda, bergerak-gerak saat kepalanya dipalingkan
ke kanan kiri. Parasnya tampan dengan... astaga!
Sorot mata pemuda itu... gila, benar-benar gila!
Sorot mata si pemuda sangat mengerikan! Angker
berkilat-kilat dan mampu menciutkan nyali siapa
saja yang melihatnya.
Pemuda ini membatin, "Ledakan itu sungguh luar biasa kerasnya! Aku yakin, ledakan itu
berasal dari satu tempat yang agak jauh dari sini.
Tetapi... ledakannya membuat tempat ini bergetar...." Pelan-pelan pemuda berusia tujuh belas tahun ini mengangkat tangan
kanannya. Saat itulah terlihat tangan kanannya sebatas siku dipenuhi sisik berwarna coklat. Sisik yang sama pun
terdapat pada tangan kirinya.
Dari ciri yang melekat pada diri si pemuda,
dapat ditebak siapa dia adanya. Pemuda itu bukan lain Boma Paksi atau yang lebih dikenal dengan julukan Raja Naga.
Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja
memutuskan untuk beristirahat, melewati malam.
Dia memang tak punya tujuan tertentu. Yang dilakukannya hanyalah memuaskan jiwa petualangan yang ada di dadanya. Tetapi ledakan dahsyat
yang menggetarkan tempatnya, mengejutkannya.
"Hemmm... dari ilmu 'Rabaan Naga' dapat
kupastikan kalau ledakan itu berasal dari barat
laut," katanya sambil menurunkan lagi tangan kanannya. Pemuda bersisik coklat
ini terdiam beberapa saat sebelum berkelebat ke arah barat
laut. Sambil berlari, pemuda ini menajamkan
penglihatan dan pendengarannya. Tak ada sesuatu yang berubah kecuali malam yang terus bergerak. Ledakan itu pun tidak terdengar lagi. Raja
Naga masih mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga'
untuk menentukan sumber ledakan itu lebih tepat. Mendadak.... Jlegaaarrr!!
"Gila!" serunya tertahan sambil menghentikan larinya. "Ada apa ini" Apakah saat
ini bumi sedang mengamuk" Tanah ini lagi-lagi bergetar!"
Raja Naga terus memikirkan kemungkinan
asal ledakan itu. Diteruskan langkahnya. Setelah
melewati hampir sepenanakan nasi, dari kejauhan dilihatnya tanah berhamburan di udara.
Asap putih menyelimuti tempat itu.
Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat lebih jelas. Tetapi asap putih yang menyelimuti udara ditambah hamburan
tanah yang be- lum luruh, membuatnya tak dapat melihat secara
jelas. Diputuskan untuk segera mendekati tempat
itu. Dan entah mengapa dia menjadi sedikit tegang. "Asap putih itu masih mengepul di udara, tanah juga belum luruh," katanya
berjarak dua belas langkah dari kepulan asap dan tanah.
"Aneh! Tak ada tanda-tanda seseorang berada di sini! Lantas... apa yang
menyebabkan ledakan itu
terjadi" Apakah... hei! Di sana tanah dan asap
putih telah mereda. Berarti... kedua ledakan tadi memang berasal dari sini...."
Berhati-hati pemuda pewaris ilmu Dewa
Naga ini melangkah. Dari sela-sela asap putih
yang masih menghalangi pandangan, dilihatnya
sebuah lubang di bawah asap itu. Sebuah lubang
yang kecil! "Astaga! Apakah lubang sebesar lingkaran
jari telunjuk dan jempol itu yang menyebabkan
ledakan tadi?" desisnya sambil bergerak ke tempat yang satunya lagi. Di tempat
yang mulai lebih jelas terlihat karena tanah sudah luruh kembali
dan asap putih telah meregang lepas, Raja Naga
juga melihat lubang yang sama. "Aneh! Di tempat ini masing-masing ada dua buah
lubang! Berarti... sukar bagiku untuk mempercayai ini sebenarnya, kalau lubang itulah yang menyebabkan
ledakan tadi."
Raja Naga berlutut. Diperiksanya lubang
itu. Ada sedikit hawa panas yang menerpa tangannya saat dimasukkan tangannya ke dalam lubang. "Ledakan tadi benar-benar dahsyat! Tetapi hanya lubang sebesar ini yang
terbentuk! Rasanya tidak masuk di akal! Karena... heiii!!"
Pemuda berompi ungu ini memutus katakatanya, karena saat itu dari ekor matanya dilihatnya satu sosok tubuh bergerak sangat cepat.
Melompati ranggasan semak tanpa mengeluarkan
suara. Segera Raja Naga bergerak untuk menyusul bayangan tadi yang semakin menjauh. Yang
sempat dilihat, hanyalah warna kuning yang berasal dari pakaian yang dikenakan orang yang
berkelebat tadi.
Belum lagi Boma Paksi menemukan kejelasan dari kejadian aneh yang dialaminya ini, tibatiba terdengar seruan di belakangnya, "Pemuda celaka! Rupanya kau-ah pencuri
celaka yang telah
mencuri bunga-bunga keramat!"
Serta-merta Raja Naga membalikkan tubuh. Dilihatnya dua sosok tubuh telah berdiri
berjarak sepuluh langkah dari tempatnya. Mata
masing-masing orang tegang, bersinar penuh bahaya! "Ada apa lagi ini?" desis Raja Naga yang belum menemukan kejelasan dari
apa yang dialaminya. "Tadi yang laki-laki mengatakan aku mencuri bunga". Astaga Bunga"
Sekuntum bunga"!"
Orang yang berdiri di sebelah kanan mengertakkan rahangnya. Dia seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun. Bertubuh tegap dengan
cambang di pipi kanan kirinya, hingga menampakkan kejantanannya. Dia mengenakan pakaian
berwarna biru yang terbuka di dada, hingga
memperlihatkan dadanya yang bidang.
Lelaki itu telah membentak, "Pemuda keparat! Serahkan Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru!"
Raja Naga yang masih belum memahami
keadaan hanya mengerutkan kening. Dia tak buka suara. Matanya memandangi si lelaki.
Lelaki itu sudah siap untuk keluarkan bentakan lagi, tetapi nampak dia sedikit terkejut sekarang.
"Gila! Tatapan pencuri keparat ini sungguh
mengerikan! Jantungku seperti diremas-remas!"
desisnya dalam hati. "Dapat kupastikan kalau pemuda bermata angker ini bukan
orang semba-rangan! Terbukti dia dapat mencabut Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Biru, yang berarti berhasil menyingkirkan mantra yang dilakukan Guru!"
Perempuan berparas jelita yang berdiri di
sebelahnya sudah membentak, "Kakang Purwa!
Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar Ungu telah
lenyap beberapa hari lalu! Demikian pula dengan
Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Merah! Dan sekarang, Bunga Kecubung Putih dan
Bunga Anggrek Biru juga telah lenyap! Berharihari kita melacak pencuri terkutuk! Dan sekarang
dia sudah tertangkap basah! Kita tangkap sekarang juga, Kakang!!"
Habis bentakannya, perempuan berpakaian merah dengan baju dalam berwarna hijau
ini sudah melesat ke depan. Kedua tangannya dirangkapkan menjadi satu, lurus ke depan. Masih
melesat tiba-tiba saja kedua tangannya itu ditekuk, lalu diputar ke atas dan ke bawah.
Mendadak... wrrrrr!!
Gelombang angin dahsyat yang diiringi
dengan asap merah dan hijau yang menyilaukan
mata, menggebrak ke arah Raja Naga.
Sudah tentu Raja Naga tidak mau mati konyol. Tetapi dibiarkan saja gelombang serangan
itu mendekatinya. Berjarak tiga langkah, tiba-tiba dia mendeham.
Blaaammmm!! Gelombang angin deras itu putus di tengah
jalan, terhantam tenaga tak nampak yang keluar
dari dehemannya. Tetapi asap merah dan hijau
terus meluruk ke arahnya.
"Hebat!" desis anak muda ini sambil menggeser tubuhnya ke kanan. Bersamaan
dengan itu ditepuknya lengan kanannya.
Wuuuttt! Blaamm! Blaaammm!!
Asap merah dan hijau yang menerangi
tempat itu, putus di tengah jalan, muncrat ke
udara dan laksana air mancur berhamburan ke
sana kemari. Sebagian ranggasan semak mengering terkena siraman asap yang muncrat itu, sebagian tanah meletup di sana-sini.
"Tahan!" seru Raja Naga tatkala melihat si perempuan sudah siap menyerang
kembali. Juga dilihatnya lelaki bercambang itu siap membantu
si perempuan. Kedua orang itu menghentikan gerakan
mereka. Raja Naga tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Segera dia angkat bicara, "Kita sama-sama belum saling kenal! Tetapi
kalian telah menyerangku begitu saja tanpa memberikan satu
penjelasan! Yang lebih mengherankan lagi, kalian
menuduhku melakukan satu tindakan yang sama
sekali tak ku mengerti!"
"Di mana-mana... tak ada pencuri yang
mau mengaku sebagai pencuri!" seru si perempuan yang masih penasaran. Sesungguhnya dia
kaget karena serangannya tadi dapat dipatahkan
dengan mudah. "Tempat yang layak bagi seorang pencuri hanyalah di neraka!!"
Kembali si perempuan menggebrak, mengulangi serangannya seperti yang pertama. Raja
Naga pun bertindak cepat mengatasi serangan
itu. Tetapi sekarang, si lelaki yang dipanggil Pur-wa tadi sudah menerjang pula.
Serangannya lebih
mengerikan dari si perempuan. Setiap kali dikibaskan tangannya, gelombang angin yang mengeluarkan suara berdenging-denging menggebrak
dengan kecepatan tinggi.
Raja Naga menahan napas seraya menghindari serangan itu
"Ada sesuatu yang aneh di sini..." desisnya memaklumi apa yang dilakukan kedua
lawannya. Kendati demikian dia juga gusar karena tak diberi kesempatan untuk menjelaskan
keadaan yang sebenarnya. "Sibarani! Kurung dia dengan ilmu
'Bentang Gunung Banting Tanah'!" seru Purwa
sambil terus melancarkan serangan.
Mendengar seruan itu Raja Naga kembali
menahan napas. Matanya dijerengkan seraya
menghindar. Dia memang belum membalas. Tindakan itu dilakukan agar kedua orang ini mengerti kalau mereka salah paham terhadapnya.
Dilihatnya bagaimana perempuan jelita
bernama Sibarani itu tiba-tiba duduk berlutut.
Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada.
Kepalanya sedikit diangkat dengan mata berkilatkilat penuh amarah.
Seraya menghindari sergapan ganas Purwa,
Boma Paksi melihat tubuh Sibarani bergetar hebat. Dia terkejut ketika melihat dari kepala si perempuan mengeluarkan asap
putih yang sangat
pekat. "Astaga! Ini tidak main-main lagi! Keduanya tetap menyangkaku sebagai
seorang pencuri!
Tetapi mencuri bunga" Gila! Bunga apa" Mengapa
bunga-bunga itu membuat keduanya menjadi beringas liar seperti ini"!"
Tiba-tiba dilihatnya lelaki berpakaian biru
yang terbuka di dada itu mundur beberapa tindak. Sesaat Raja Naga tidak mengerti mengapa lelaki itu seperti sengaja menghentikan serangannya. Tetapi di lain saat, murid Raja Naga ini tersentak kaget dengan mata
membuka lebar. Karena mundurnya lelaki itu, bermaksud
memberi kesempatan pada Sibarani untuk melancarkan serangannya!!
Gemuruh liar laksana curahan air hujan
yang sangat deras, menggebrak ke arah Raja Naga! Anak muda ini tersentak. Dia buru-buru
mundur dua tindak seraya mendorong kedua tangannya. Wrrrrr!! Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak dari dorongan kedua tangannya.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blaaaammmm!! Bertemunya dua serangan itu membuat
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan
semak di sekitar tercabut dan berpentalan. Dua
buah potion bergetar dan tubuh bergemuruh. Tanah di mana bertemunya dua serangan itu berhamburan di udara setinggi dua tombak!
Yang mengejutkan Raja Naga, jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' yang dilepaskannya
tadi seperti tertelan ilmu aneh Sibarani yang masih berlutut dengan kedua tangan merangkap di
depan dada. Bahkan serangan Sibarani terus
menggebrak ke arahnya dengan kecepatan tinggi!
"Astaga! Ini memang tidak main-main! Aku
bisa celaka!!" serunya seraya bergulingan ke samping dan langsung berdiri tegak.
Saat itu pula dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk melancarkan jurus yang sama.
Ditambah dengan jejakan kaki kanan di atas tanah untuk melepaskan
jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang' yang seketika tanah berderak, bergelombang dan menggebah hebat. Blaaammm! Blaaaammmm!!
Kali ini serangan Sibarani putus. Tetapi itu
bukan berarti bahaya yang dihadapi Raja Naga
berakhir. Karena Purwa sudah menggebrak dengan jurus yang sama!
Pontang-panting Raja Naga dibuatnya.
"Pemuda keparat! Kembalikan bungabunga yang telah kau curi sebelum nyawamu lepas dari badan!"
Raja Naga tak sempat menjawab karena serangan itu benar-benar mengerikan. Dia hanya
bisa menghindar sekarang dengan kecepatan
tinggi. "Bila begini terus, nyawaku memang bisa putus tanpa kuketahui masalah
yang sebenarnya!!" serunya dalam hati.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini membuat
gerakan memutar dengan kepala meliuk dan kedua kaki berzig-zag. Purwa yang berlutut dengan
kedua tangan merangkap di depan dada, menggeram melihat tindakan si pemuda. Dipercepat serangannya! Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga berusaha menghindar, tiba-tiba saja dia melesat ke
depan dengan berzigzag. Melihat hal itu Purwa
semakin bernafsu. Dalam bayangannya pemuda
itu telah menyongsong maut!
Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karena mendadak saja Purwa terbanting di
atas tanah disertai seruan tertahan "Aaaakhhhh!!"
Melihat hal itu, Sibarani bertambah murka.
"Pencuri hina laknat! Kau semakin menambah beban dosamu saja!!"
Raja Naga menghindari sambaran asap merah dan hijau itu, lalu meluruk ke depan dengan
cara yang sama.
Dan... des!! Sibarani terjengkang pula di atas tanah.
Mulutnya menyembur darah segar!
Raja Naga sendiri melompat di udara beberapa kali sebelum hinggap di atas tanah. Rupanya
dia sudah mengeluarkan ilmu 'Hamparan Naga
Tidur' yang sulit diikuti oleh mata. Bahkan lawan tak mampu melihatnya.
Mata si pemuda yang angker memandang
kedua orang itu yang sedang berusaha untuk
berdiri. "Aku hanya mengenal kalian bernama
Purwa dan Sibarani! Tetapi aku tidak tahu mengapa kalian menuduhku telah mencuri bungabunga yang kalian sebutkan! Apakah tidak sebaiknya kalian jelaskan bunga-bunga apa yang
kalian maksud"!"
Sambil menahan sakit di dadanya, Purwa
menggeram. "Terkutuk! Kau bukan hanya telah mencuri
bunga-bunga keramat itu, tetapi kau juga mendustai telah melakukannya!!"
Kendati gusar karena pertanyaannya tak
dijawab, Boma Paksi masih dapat menindih kegusarannya. "Biar urusan tidak berlarut-larut, sebaiknya kalian jelaskan semuanya!"
"Setan alas! Apa yang harus dijelaskan lagi, hah"! Sebutkan siapa kau adanya
sebelum orang-orang rimba persilatan memburumu!!"
Raja Naga menahan napas. Rasa penasarannya membuatnya menjadi sangat gusar. Tetapi
lagi-lagi ditindih kegusarannya. Lalu dengan suara dingin dia berkata, "Namaku Boma Paksi...
orang-orang menjulukiku Raja Naga..."
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
berpandangan dengan mata membeliak. Di kejap
lain sama-sama mendengus.
Sibarani berseru, "Julukan Raja Naga telah
terdengar ke segenap penjuru sebagai seorang
pendekar yang membela kebenaran! Tetapi sekarang... ternyata tak ubahnya seorang pesakitan
belaka! Dan berani-beraninya mencuri bungabunga keramat yang tentunya bila sudah berjumlah tujuh akan dipakai sebagai penambah kekuatan!!" Raja Naga mengerutkan keningnya.
"Aku semakin tak mengerti apa yang mereka maksudkan. Tetapi untuk meminta penjelasan
rasanya... astaga! Aku ingat sekarang! Ya, ya...
aku mulai bisa memahaminya..."
Habis membatin demikian dia berkata,
"Aku mulai mengerti apa yang kalian maksudkan sekarang. Apakah kedua lubang
sebesar lingkaran jari telunjuk dan jempol itu tempat bunga
yang kalian maksudkan"!"
"Terkutuk! Seorang pendekar mulia ternyata tak Lebih dari setan hina!" bentak Purwa dengan wajah geram. Kemarahannya
semakin menja- di, terutama mengingat kalau dia tidak mampu
menghadapi pemuda di hadapannya yang ternyata Raja Naga. Raja Naga tak mempedulikan bentakan itu.
Dia berkata lagi, "Tadi Sibarani menyebutkan beberapa bunga yang telah dicuri
dan berjumlah enam buah! Lantas dikatakan masih ada sebuah
lagi sehingga berjumlah tujuh! Apakah...."
"Jangan banyak tanya!!" Sibarani telah
mendorong tangan kanannya.
Gelombang angin deras itu dihindari dengan mudah oleh Raja Naga. Tindakan yang dilakukan Sibarani tadi mencelakakannya sendiri.
Karena terluka dalam, dia memaksakan diri untuk menyerang. Akibatnya perempuan itu tersungkur ke depan dengan mulut mengeluarkan
darah. Raja Naga tercekat dan bermaksud menolong. Tetapi bentakan Purwa menghentikan gerakannya. "Jangan berlagak suci di hadapan kami!
Kau telah melakukan tindakan yang tak pernah
bisa dimaafkan!!" geramnya dan perlahan-lahan mengangkat tubuh Sibarani. Sambil
memanggul tubuh si perempuan, dengan suara bergetar karena marah, Purwa berseru, "Ingat Raja Naga...
semua ini belum berakhir! Dan tak akan kubiarkan kau mencuri Bunga Matahari Jingga!!"
Dipandanginya pemuda berompi ungu itu
dengan tatapan berapi-api. Kejap kemudian, dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Purwa
meninggalkan tempat itu dengan membopong Sibarani. Tinggal Raja Naga yang urung untuk menahan. Karena bila itu dilakukan, maka kesalahpahaman ini akan semakin terjadi. Kendati demikian, perasaannya mulai tidak enak.
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku ini menggeleng-gelengkan
kepalanya seraya menghela napas panjang.
"Belum kuketahui secara pasti penyebab
ledakan dahsyat tadi, telah datang tuduhan yang
membuatku tidak enak. Keduanya benar-benar
menginginkan nyawaku, terbukti seranganserangan yang mereka lakukan tadi sangat berbahaya. Ya... hanya seorang yang bisa menjelaskan semua ini. Orang berpakaian kuning yang
sempat kulihat sebelumnya. Ah, bisa jadi kalau
orang berpakaian kuning itu yang telah mencuri
Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Biru...." Anak muda dari Lembah Naga ini terdiam.
Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukannya.
"Jalan satu-satunya aku memang harus
menemukan orang berpakaian kuning yang tidak
kuketahui siapa dia adanya. Bahkan aku tidak
tahu apakah dia seorang perempuan atau lelaki.
Tetapi... nampaknya urusan ini tidak bisa ku diamkan saja. Mengingat bunga-bunga yang telah
dicuri dan dianggap keramat itu dapat menjadi
sebuah tenaga dahsyat bila telah terkumpul menjadi tujuh. Dan itu... tinggal Bunga Matahari
Jingga...."
Setelah terdiam beberapa saat, Raja Naga
segera meninggalkan tempat yang telah porak poranda itu, menuju ke arah orang berpakaian kuning yang sempat dilihat sebelumnya.
DUA DUA hari kemudian setelah peristiwa itu.
Di ruangan tengah sebuah bangunan yang
cukup besar, yang terletak di depan sebuah gunung yang menjulang tinggi, nampak beberapa
orang telah berkumpul di sana. Di hadapan mereka duduk seorang lelaki tua berpakaian serba
biru. Paras si kakek yang dipenuhi keriput ini kelihatan galau. Berulang kali
dia menarik dan
menghela napas seraya mengelus jenggotnya yang
putih. Mata teduhnya menatap satu per satu
orang-orang yang berada di sana. Di sana juga
duduk Purwa dan Sibarani yang sudah sembuh
dari luka dalamnya.
Saat ini matahari baru muncul di balik bukit. Sebagian sinarnya menerobos masuk melalui
jendela yang terbuka pada bangunan itu.
"Aku mengundang kalian ke sini, karena
ada peristiwa penting yang harus ku kabarkan,"
kata si kakek dengan suara lembutnya. "Dua puluh tahun yang lalu, kau Dewa
Seribu Mata telah
menanam Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar
Ungu! Dan kau Dewi Lembah Air Mata, telah menanam Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Merah! Sementara aku menanam Bunga Kecubung Putih, Bunga Anggrek Biru, dan Bunga Matahari Jingga! Ketujuh bunga keramat yang kita
tanam di tempat terpisah itu, telah kuberi mantra yang rasanya tak mungkin dapat
dilewati orang,
apalagi untuk mencabut bunga-bunga keramat
yang kita dapatkan di Bukit Genangan Setan! Tetapi sekarang, kejadian demi kejadian telah terja-di! Bunga-bunga itu telah
dicuri oleh se-seorang
yang sudah barang tentu memiliki ilmu tinggi
hingga dapat mengambilnya! Ketika orang itu sedang mencuri Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru, kedua muridku ini memergokinya...."
"Dewa Segala Dewa," panggil lelaki bertubuh gemuk yang duduk di sebelah
kanannya. Le- laki berusia sekitar enam puluh tahun ini jelasjelas kelebihan lemak di beberapa bagian tubuhnya. Dia mengenakan pakaian hitam yang tak bisa menutupi lemak di tubuhnya. Orang inilah
yang berjuluk Dewa Seribu Mata. "Siapakah pencuri laknat yang berilmu tinggi
itu?" Kakek bermata teduh yang berjuluk Dewa
Segala Dewa menarik napas pendek.
"Sesungguhnya, sangat sulit kupercaya.
Sangat sulit sekali. Tetapi kenyataan telah berbicara. Kedua muridku ini telah
memergoki si pencuri yang bukan lain... Raja Naga...."
Kepala Dewa Seribu Mata menegak.
"Raja Naga"!" serunya kaget.
Dewa Segala Dewa mengangguk lemah.
"Ya... Raja Naga-lah si pencuri itu...."
Perempuan tua berpakaian hijau dengan
kain kebaya lusuh berkata kaget, suaranya cempreng, "Apakah kedua muridmu itu tidak salah melihat"!"
Dewa Segala Dewa menggeleng.
"Mereka bukan hanya melihat, tetapi juga
bertarung dengan pemuda murid Dewa Naga itu,
Dewi Lembah Air Mata...."
"Terkutuk!" geram si perempuan berkonde warna hijau ini. "Tak kusangka... sama
sekali tak kusangka... Dewa Segala Dewa... memburu Raja
Naga, itu sama artinya memancing keluar Dewa
Naga...." "Aku pun memikirkan hal itu. Tetapi, kita
tak bisa berdiam diri. Raja Naga harus ditangkap.
Dan tentunya... saat ini dia sedang memburu
Bunga Matahari Jingga yang kutanam di sebuah
lembah yang sangat jauh dari sini...."
Dewa Seribu Mata berkata, "Apa yang dikatakan Dewi Lembah Air Mata sangat benar, Dewa
Segala Dewa. Raja Naga murid tunggal Dewa Naga. Memburunya dapat memancing kemarahan


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Naga. Kita sama-sama tahu, tokoh sakti itu
memiliki sifat angin-anginan. Kalau lagi datang sifat baiknya, mungkin dia tidak
akan mengambil pusing kita memburu muridnya. Tetapi bila dia
membantah, kita bisa diremuknya!"
Tak ada yang buka suara. Masing-masing
orang mengenal Dewa Naga, majikan Lembah Naga yang memiliki ilmu setinggi dewa. Ketegangan
meliputi wajah masing-masing orang.
Purwa berkata, "Guru... maaf bila aku lancang bicara. Tindakan yang dilakukan Raja Naga
tak bisa dimaafkan. Aku pikir. Dewa Naga dapat
mengerti bila kita memburu muridnya...."
Dewa Segala Dewa tersenyum.
"Kau belum pernah mengenal Dewa Naga,
Purwa. Tak ada yang bisa menebak kakek bersisik
hijau yang memiliki ilmu mengerikan. Aku tak ingin memancing pertikaian dengannya...."
"Tetapi Guru, tindakan Raja Naga dapat
mengacaukan rimba persilatan. Bukankah Guru
sendiri mengatakan, bila Bunga Matahari Jingga
yang masih tersisa itu berhasil dicurinya, dia
akan memiliki ilmu tiada banding" Dari tindakannya jelas-jelas Raja Naga mementingkan dirinya sendiri...."
"Dewa Segala Dewa... yang dikatakan muridmu itu memang benar. Dewa Naga tentunya
dapat mengerti tindakan yang akan kita lakukan...." "Kau benar, Dewi Lembah Air Mata. Tetapi..." "Apa yang kau khawatirkan?"
Dewa Segala Dewa tak buka suara. Diusapnya jenggot putihnya dengan wajah bertambah galau. Kemudian pelan-pelan dia berucap,
"Bagaimana bila ternyata bukan Raja Naga yang melakukan pencurian itu?"
"Hei! Apa maksudmu berkata demikian?"
seru Dewi Lembah Air Mata heran.
"Terkadang manusia yang telah berada di
jalan lurus, dapat berbelok arah dan mengubah
segalanya menjadi buruk. Hal itu tak luput dari
apa yang ada di diri Raja Naga. Tetapi... bagaima-na bila ternyata memang bukan
dia yang melakukannya" Maksudku, dia kebetulan berada di sana
dan masih berada di sana saat kedua muridku tiba?" Masing-masing orang bungkam. Tak ada
yang membantah kata-kata Dewa Segala Dewa
Kendati mulut mereka ingin berbunyi.
Sibarani memecah kesunyian, "Guru...
maaf aku juga lancang bicara. Pada kenyataanlah
kita harus berpijak. Raja Naga jelas-jelas telah
mencuri bunga-bunga keramat itu dan kami tidak
menyangsikannya lagi...."
Dewa Segala Dewa menghela napas pendek. "Ya... memang kita harus berpijak pada kenyataan yang ada. Mungkin memang
Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga keramat itu...."
"Guru... keadaan itu bukan lagi sesuatu
yang mungkin. Tetapi sebuah kenyataan...."
Dewa Segala Dewa mengangguk.
"Ya... kau benar, Sibarani."
"Kau harus mengambil keputusan sekarang juga," kata kakek bertubuh gemuk luar biasa. "Ya, aku memang harus
mengambil keputusan." "Segeralah kau putuskan," kata Dewi Lembah Air Mata. "Tak kupedulikan
lagi apakah kita memang harus berhadapan dengan Dewa Naga
atau tidak. Tindakan Raja Naga harus dihentikan
sebelum dia menemukan Bunga Matahari Jingga...." "Untuk menemukan Bunga Matahari Jingga, bukanlah sesuatu yang mudah.
Karena bunga keramat itu ditanam di antara tanaman bunga
matahari. Tetapi seperti kita ketahui, Raja Naga
memiliki ilmu tinggi hingga kemungkinan untuk
mendapatkan bunga itu bukanlah sesuatu yang
mustahil. Ya, aku harus mengambil keputusan.
Kita kesampingkan dulu masalah Dewa Naga
akan muncul dan ikut campur dalam urusan ini.
Kalaupun dia tidak mau mengerti, terpaksa kita
harus menghadapinya."
"Katakan keputusanmu," kata Dewa Seribu Mata. Dewa Segala Dewa tak segera
berbicara. Ditarik napasnya dalam-dalam. Dipandanginya
orang-orang yang berada di sana satu per satu.
Setelah itu barulah dia berkata, "Yah... kita harus memburu Raja Naga sekarang
juga. Kau Purwa
dan Sibarani, pergilah ke arah barat laut. Jangan kalian berhenti sebelum
menemukan sebuah
lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Di lembah itu banyak tumbuh Bunga Matahari Jingga.
Kalian harus menjaga bunga-bunga itu...."
"Guru... kami tidak mengetahui yang manakah Bunga yang dimaksudkan...," ujar Purwa.
"Dari dinding bukit sebelah kanan yang
menghadap ke utara, kalian bergerak ke depan.
Pada hitungan langkah kedua puluh tiga, kalian
berhenti. Tepat pada langkah kedua puluh empat,
Bunga Matahari Jingga berada. Ingat, kalian jangan mencabutnya. Jangan sama sekali...."
"Mengapa, Guru?"
"Kalian hanya menjaganya saja," kata Dewa Segala Dewa seperti menyembunyikan
sesuatu. Purwa tidak banyak bertanya lagi. Setelah
mengaturkan sembah, bersama Sibarani dia segera melaksanakan perintah itu.
Dewa Segala Dewa berkata, "Dewa Seribu
Mata... bila kau berkenan... kau kutugaskan untuk mendatangi Dinding Kematian di perbukitan
Mamerah!" "Hei! Mengapa kau menyuruhku ke tempat
itu" Apakah kau menyuruhku menjumpai Ratu
Dinding Kematian?" seru Dewa Seribu Mata dengan kening berkerut.
"Aku tidak menyuruhmu menjumpainya.
Tetapi aku menyuruhmu mengamat-ngamatinya
saja...." "Aku tidak memahami maksudmu...."
"Aku menduga ini berkaitan dengan Ratu
Dinding Kematian...."
"Kau terlalu mengada-ngada!" dengus Dewa Seribu Mata. Dia ingin meneruskan
bantahannya, tetapi diurungkan. Lalu dengan gerakan yang
sangat ringan, berlainan sekali dengan bobot tubuhnya, kakek itu bangkit dan meninggalkan
tempat itu dengan pinggul bergerak-gerak.
"Dewa Segala Dewa...," berkata Dewi Lembah Air Mata. "Selama ini dan sampai hari
ini aku dan kakek buntal itu tetap menganggap kau sebagai pemimpin dari Tiga
Penguasa Bumi. Aku
juga tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba mengaitkan urusan ini dengan Ratu Dinding Kematian?" "Aku hanya punya satu dugaan."
"Baiklah. Seperti sifatmu, kau memang tak
bisa terbuka sebelum mendapatkan kejelasan.
Lantas... apa tugasku?"
Kakek bermata teduh itu menatap si perempuan berkonde hijau.
"Cari Raja Naga dan bawa dia menghadapku. Sementara aku sendiri, akan bersiap-siap
bila Dewa Naga muncul..."
Dewi Lembah Air Mata mengangguk dengan wajah puas. Sambil berdiri dia berkata, "Aku sudah tidak sabar untuk
mencekik leher pemuda
celaka itu!"
Lalu dia berbalik dan melangkah, meninggalkan Dewa Segala Dewa yang terdiam di tempatnya. Dinding-dinding bangunan menatapnya
hampa, sehampa perasaan dalam dirinya.
*** Ketika senja menurun, pemuda dari Lembah Naga menghentikan langkahnya di hadapan
sebuah sungai yang mengalir deras. Mata angkernya memandangi arus sungai itu. Beberapa helai
daun kering yang dahannya menjuntai di atas
sungai, gugur dan terbawa arus yang entah akan
berakhir di mana.
"Dua hari aku melacak siapa orang berpakaian kuning itu, tetapi hingga hari ini belum kudapatkan jejak yang berarti,"
desisnya sambil menarik napas. "Persoalan yang datang ini begitu menghimpit
perasaanku. Dapat kubayangkan sekarang kalau aku menjadi seorang tertuduh...."
Anak muda dari Lembah Naga ini menendang sebuah kerikil yang ada di hadapannya.
Wuuuttt! Kerikil itu mencelat, melewati sungai yang
cukup lebar dan bergulingan di seberang entah
berhenti di mana.
"Purwa dan Sibarani telah menganggapku
sebagai pencuri. Bila berita ini menyebar, sudah
tentu aku laksana telur di ujung tanduk. Ah, sebelum masalah ini berlarut-larut... aku harus segera menyelesaikannya...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya. Tak jauh
dari tempatnya berdiri nampak sebuah jalan setapak. Raja Naga memutuskan untuk mengambil
jalan itu. Baru dua langkah dia bergerak, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap satu gerakan di belakangnya. Bersamaan dia balikkan
tubuh, satu sosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Tersenyum manis dengan sepasang bola
mata indah. "Maaf... kalau aku mengagetkanmu," kata orang yang baru muncul dan ternyata
seorang gadis. Raja Naga memandang tak berkedip pada
gadis itu. Wajahnya manis dengan tahi lalat pada
sisi kiri pelipisnya. Rambutnya indah dikuncir
ekor kuda dan diberi pita berwarna kuning. Di
punggung si gadis terdapat sebuah pedang berwarangka indah dan pada ujung tangkai pedang terdapat ukiran sebuah kepala burung elang.
Bukan karena keadaan itu yang membuat
Raja Naga tak berucap beberapa saat. Tetapi, karena dara itu mengenakan pakaian berwarna
kuning! Di pihak lain senyuman di bibir si dara lenyap. Keningnya berkerut karena tak mendapatkan sahutan apa-apa dari pemuda di hadapannya. Sesaat matanya membeliak ketika berbenturan dengan mata angker si pemuda.
"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Aku menyapanya baik-baik, dia justru
memandangku seperti aku ini tidak berpakaian!"
Raja Naga masih terpaku di tempatnya, tetap tak berkedip memandangi gadis di hadapannya. Si gadis berkata, "Heiii! Apakah kau tidak bisa bersuara?"
Mendengar ucapan si gadis, Raja Naga tergagap sejenak sebelum tersenyum.
"Oh! Sudah tentu aku bisa bersuara...."
"Bagus!" kata si gadis yang kembali tersenyum. Rupanya dia memiliki sifat ceria.
"Kupikir aku bertemu dengan orang bisu!"
Raja Naga mencoba tersenyum
"Setelah peristiwa tidak mengenakan itu
terjadi, baru sekarang aku berjumpa dengan
orang berpakaian kuning. Apakah gadis ini orang
yang sedang kucari" Tetapi sudah tentu aku tak
bisa menduga seperti itu sebelum mendapat kepastian," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku juga beruntung bertemu dengan
seorang gadis manis yang tidak bisu...."
Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan
lorong indah pada mulutnya. Sepasang dadanya
yang membusung sedikit bergerak.
"Ya, ya... kita sama-sama beruntung! Dan
kupikir, aku akan lebih beruntung bila kau dapat
menjawab pertanyaanku...."
"Aku tidak tahu apakah aku memang bisa
menjawab pertanyaanmu atau tidak. Tetapi sebaiknya segera kau perdengarkan sebelum aku
tiba-tiba menjadi tuli dan bisu?"
Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu
tertawa kecil. "Kau ternyata pandai melucu juga," katanya dan menyambung dalam hati, "Wajahmu
tampan kendati memiliki mata yang angker."
Masih tersenyum dilanjutkan katakatanya, "Sudah hampir tujuh hari ini aku mencari sebuah tempat yang bernama
Daerah Tak Bertuan." Mendengar kata-kata itu, kepala Raja Naga
sedikit menegak.
"Daerah Tak Bertuan" Baru kali ini kudengar nama tempat itu. Apakah... astaga! Aku ingat
sekarang! Sibarani dan Purwa mengatakan, masih
ada sebuah bunga keramat lagi yang bernama
Bunga Matahari Jingga. Jangan-jangan, gadis ini
mencari Daerah Tak Bertuan karena di sanalah
Bunga Matahari Jingga berada," kata Raja Naga dalam hati.
"Hei! Kenapa kau tidak menjawab" Kau
sudah mendadak tuli dan bisu, ya?" tegur si gadis sambil tertawa.
Raja Naga tersenyum tipis.
"Mengapa kau mencari tempat itu?"
"O ya" Karena... aku sedang mencari seseorang yang berjuluk Dewa Segala Dewa. Apakah
kau mengenal orang itu?"
Raja Naga mengerutkan kening. "Dugaanku
salah. Tetapi dia bisa saja mengelabuiku," katanya dalam hati.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan berkata, "Aku baru mendengar julukan itu." "Ah, sayang sekali."
"Kejadian yang kualami sebelumnya masih
membingungkanku. Pertemuanku dengan gadis
ini juga membingungkanku. Gadis ini mencari
Daerah Tak Bertuan untuk bertemu dengan orang
berjuluk Dewa Segala Dewa. Ah, apakah sebenarnya dia memang orang yang sedang kucari" Tetapi, nampaknya dia tidak membawa sesuatu atau
menyembunyikan sesuatu kalau memang dialah
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat
itu. Tetapi, bukankah dia bisa menyembunyikannya di satu tempat?" tanya Raja Naga pada dirinya sendiri dalam hati.
Sambil memandang si gadis anak muda
dari Lembah Naga Itu berkata, "Tempat bernama Daerah Tak Bertuan dan Dewa Segala
Dewa baru kali ini kudengar. Bila kau tak keberatan, sudilah kiranya kau menceritakan
padaku mengapa kau
mencari Dewa Segala Dewa."
"Maaf, aku tak bisa menceritakannya. Tetapi kau boleh mengetahui, kalau guruku yang
memerintahkanku melakukan semua ini...."
"Kau juga keberatan mengatakan siapa gurumu?" "Kalau mengatakan siapa namaku, aku tidak keberatan sama sekali. Namaku Puspa Dewi.
Dan tentunya...," si gadis menyeringai lucu, "Kau juga punya nama, bukan?"
Terpaksa Raja Naga menelan keingintahuannya itu. Sambil mengangguk dia berkata,
"Namaku Boma Paksi...."
"Nama yang bagus! Baiklah Boma... bukan
maksudku untuk menjauhimu. Tetapi aku belum
menyelesaikan tugasku ini. Bukankah lebih baik
kita berpisah di sini?"
Raja Naga yang masih berusaha mencari
kejelasan tentang siapa gadis ini adanya segera
berkata, "Aku sama sekali tak berkeberatan kau meninggalkan aku di sini. Dan aku
juga sama sekali tak berkeberatan bila kau berkenan kutemani
untuk mencari Dewa Segala Dewa."
Raja Naga terpaksa melakukan tindakan
itu. Karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa mengetahui siapa gadis ini.
Dengan berada di dekatnya, berarti dapat diketahuinya apa yang akan
dilakukannya. Di luar dugaannya, si gadis segera menganggukkan kepala.
"Sangat menyenangkan! Selama tujuh hari
aku melangkah sendiri dan rasanya sangat lebih
baik bila ada teman berbicara...."
Raja Naga mengangguk.
"Terima kasih atas kesediaanmu. Melangkah bersama gadis cantik juga merupakan kesenangan tersendiri..."
Puspa Dewi cuma tertawa dan segera melangkah yang diikuti oleh Raja Naga.
TIGA HAMPARAN malam kembali merambat.
Udara dingin menyengat hingga ke tulang sumsum bagian dalam. Namun satu sosok tubuh berpakaian kuning itu tak menghiraukan segalanya.
Dia tetap berdiri di hadapan sebuah bukit, di mana perbukitan yang lain berada di sekitarnya
mengelilingi lembah sunyi di mana dia berdiri sekarang. Saat ini gumpalan awan hitam berayunayun di mata langit, tak bergerak sama sekali
hingga sinar rembulan tak mampu menembusinya. Bayangan Kuning itu mendengus, "Tak kusangka kalau di tempat ini juga
ditumbuhi ba- nyak bunga matahari. Keparat! Sulit bagiku untuk menemukan bunga yang kucari..."
Untuk beberapa lama Bayangan Kuning ini
terdiam di tempatnya. Matanya memicing memperhatikan hamparan bunga-bunga matahari di
hadapannya. "Huh! Apakah sebenarnya aku salah tempat?" desisnya setengah meragu. "Tetapi tidak!
Lembah yang dikelilingi perbukitan ini adalah
tanda di mana bunga yang kuinginkan berada!
Hanya saja... bunga-bunga matahari banyak
tumbuh di sini! Keparat busuk! Ketimbang buang
waktu, biar kusingkirkan saja seluruh bunga matahari ini!" desisnya dan lambat-lambat tangan kanannya terangkat. Seketika
membersit cahaya
hitam menggumpal pada tangannya yang mengepal. Tetapi di saat lain sudah diturunkannya
tangannya itu. "Setan alas! Bila kuhancurkan bunga-bunga itu tak mustahil bunga
yang kuke-hendaki pun akan terbawa. Dan ini semakin sulit
bagiku untuk menemukan bunga yang kucari!"
Si Bayangan Kuning menggeram beberapa
kali pertanda dia sangat gusar. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau dia akan menghadapi halangan seperti ini.
"Enam bunga keramat lainnya telah kudapatkan dan dapat kupetik dengan mudah. Tetapi
Bunga Matahari Jingga... keparat busuk! Benarbenar di luar dugaanku!!"
Si Bayangan Kuning memaki-maki sendiri,
jengkel pada kenyataan yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba saja dihentikan makiannya tatkala pendengararmya menangkap dua kelebatan dari sebelah kanan. Dengan gerakan ringan, si Bayangan Kuning melompat ke balik sebuah batu besar yang
berada di sana. Dari balik batu itu, dilihatnya dua orang yang berlari semakin
mendekat. "Kakang Purwa! Kita telah tiba di tempat di
mana Bunga Matahari Jingga berada!" berseru salah seorang setelah menghentikan
larinya. "Ya! Seperti yang dikatakan Guru... di tempat ini banyak ditumbuhi bunga matahari," sahutan itu terdengar. "Sibarani...
apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Guru menyuruh kita untuk menjaga Bunga Matahari Jingga dari tangan si pencuri yang
kita ketahui Raja Naga! Sebaiknya, apa pun yang
terjadi kita memang harus tetap berada di sini!"
Di balik batu besar si Bayangan Kuning
mengerutkan keningnya
"Raja Naga yang telah mencuri" Astaga!
Mencuri bunga-bunga keramat" Hahaha... ini baru berita yang menyenangkan! Aku bisa menebak
siapa kedua orang itu sekarang. Dewa Seribu Mata dan Dewi Lembah Air Mata tak pernah terdengar memiliki murid. Hanya Dewa Segala Dewa
yang terdengar memiliki murid. Dan tiga orang
berjuluk Tiga Penguasa Bumi itulah yang telah
memiliki bunga-bunga keramat dan menanamnya
di tempat-tempat tertentu agar tak mudah ditemukan orang. Aku tahu siapa kedua orang ini,
mereka tentunya adalah murid-murid Dewa Segala Dewa...."
Terdengar lagi suara yang perempuan, "Kakang Purwa! Apakah menurutmu Raja Naga akan
muncul di sini?"
Purwa mendengus geram. Dipandanginya
Sibarani yang juga berwajah geram.
"Aku sangat berharap pencuri busuk itu
akan muncul di sini! Aku telah bulatkan tekad
untuk mengadu jiwa dengannya!"
Di balik batu besar itu, si Bayangan Kuning membatin senang, "Kerjaku memang bagus,
hingga tak seorang pun yang mengetahui kalau
akulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat
ini! Aha, aku tahu! Aku tahu! Tentunya pemuda
berompi ungu yang sempat kulihat mendatangi
tempat setelah Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru kucabut, yang dimaksud dengan
Raja Naga! Ini sesuatu yang sama sekali tak kusangka dan rasanya... aku dapat memuslihati kedua orang itu. Tapi... biarlah mereka tenggelam
dalam amarah pada Raja Naga...."
Si Bayangan Kuning terus mendekam di
balik batu besar itu dengan tajamkan pendengarannya. Purwa berkata lagi, "Dari dinding bukit sebelah kanan yang menghadap ke utara ini, kita
harus melangkah ke depan dan pada hitungan
langkah kedua puluh tiga kita harus berhenti, karena pada langkah kedua puluh empat itulah
Bunga Matahari Jingga berada...."
"Lantas, apakah kita hanya mengamatngamati saja dari sini, atau kita langsung menuju ke Bunga Matahari Jingga?"
"Sibarani... bila kita berada di dekat Bunga Matahari Jingga, sudah pasti Raja
Naga tak akan mau bertindak gegabah bila dia telah muncul di
sini. Sebaiknya kita bersembunyi saja untuk
mengamat-ngamati kedatangannya. Kita akan
mempergokinya lagi dan sekarang... akan ku korbankan nyawaku untuk menangkap pemuda celaka itu!"
Sibarani memandang kakak seperguruannya yang berwajah tampan. Dalam keremangan
malam, Purwa merasa kalau Sibarani sedang menatapnya. Tanpa sadar dia balas menatap. Masing-masing orang menajamkan penglihatan untuk
melihat satu sama lain.
Sibarani berkata tersendat, "Kakang Purwa... apa yang kita alami beberapa hari lalu itu
sebenarnya sangat memalukan. Pencuri busuk itu
telah kita pergoki tetapi kita tak mampu menangkapnya...."
"Kau benar, Sibarani. Beruntung Guru
memaklumi apa yang terjadi. Tetapi yang mengherankanku, mengapa Guru kelihatan masih tidak mempercayai kalau Raja Naga yang telah melakukan pencurian itu?"
Perempuan berpakaian merah dengan baju
dalam berwarna hijau di sampingnya tak segera
angkat bicara. Sesungguhnya Sibarani juga memikirkan akan hal itu.
Keheningan merambat pelan. Malam terus
menuju titik puncaknya. Sinar rembulan masih
tetap tak mampu menerobos gumpalan awan hitam yang menggelayut di hadapannya.
Lambat-lambat Sibarani buka mulut,
"Mungkin... Guru masih terpengaruh oleh nama besar Dewa Naga...."
"Apa yang dipikirkan Guru memang kita tidak tahu sama sekali. Tetapi menurutku, Dewa
Naga tentunya memaklumi apa yang akan dilakukan orang-orang rimba persilatan terhadap muridnya yang telah mencoreng arang di rimba persilatan ini" Seperti yang Guru katakan, kita memang tak mengenal siapa dan bagaimana sifat
Raja Naga, akan tetapi itu bukan berarti Raja Naga akan selalu membela muridnya bila berada di
jalan yang salah...."
Sibarani dapat memaklumi kegusaran hati
Purwa. Sedikit banyaknya dia juga gusar akan kejadian ini. Kemudian katanya, "Sudahlah, Kakang, kita tak perlu lagi memikirkan soal itu.
Yang pasti sekarang, kita akan tetap menunggu
Raja Naga datang ke tempat ini...."
Sibarani melangkah ke muka beberapa tindak. Lalu... hup!
Dia melompat dan hinggap dalam kedudukan bersila di sebuah batu besar. Berada di tempat yang lebih tinggi, angin lebih keras menerpanya. Purwa sendiri masih mencoba menemukan
apa yang dipikirkan gurunya. Setelah mencoba
dan tak mampu menemukan, akhirnya lelaki berpakaian biru terbuka di dada itu melompat ke belakang dan... hup! Hinggap di atas batu di sebelah batu yang diduduki Sibarani.
Tanpa sepengetahuan keduanya si Bayangan Kuning yang masih mendekam di balik batu
besar itu, membatin dengan kening berkerut, "Secara tidak sengaja aku mendapat
keterangan yang
lebih baik. Keterangan yang benar-benar menguntungkan. Raja Naga kini sebagai tersangka pelaku
pencurian dan pernah bentrok dengan muridmurid Dewa Segala Dewa. Dari mulut masingmasing orang, nampaknya mereka telah melaporkan semua ini pada Dewa Segala Dewa. Ini sangat
menguntungkan! Dan yang lebih membuatku beruntung, karena kini kuketahui yang mana bunga
yang kuinginkan dari sejumlah bunga matahari
yang berserakan itu...."
Si Bayangan Kuning mengikik puas dalam
hati. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan
Bunga Matahari Jingga, bunga terakhir dari tujuh
bunga keramat yang dicurinya. Tetapi saat ini
murid-murid Dewa Segala Dewa menjaganya. Si
Bayangan Kuning memaklumi kalau kedua murid
Dewa Segala Dewa tak bisa dipandang sebelah
mata kendati dia yakin dapat mengalahkan mereka. Tetapi itu artinya akan banyak tenaga dan
waktu yang terbuang.
Tiba-tiba senyuman cerah terpampang di
bibirnya. Dalam keremangan malam, matanya
berkilat-kilat karena satu rencana yang menda

Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak muncul di kepalanya.
"Sangat bodoh bila aku tidak melakukannya, karena tak ada alasan yang menyebabkan
aku harus tidak melakukannya," desisnya. "Mereka tidak tahu kalau akulah si
pencuri itu....?"
Berpikir demikian, dengan gerakan yang
tak menimbulkan suara si Bayangan Kuning berkelebat ke belakang, lalu memutar dengan cepat.
Dalam waktu singkat dia sudah berada di jalan
setapak menuju ke lembah itu. Dengan cara seperti ini si Bayangan Kuning berharap kedua
orang itu tidak tahu kalau sebelumnya dia berada
di sana dan mencuri dengar percakapan mereka.
Sengaja ditampilkan sosoknya agar kedua
orang yang menjaga di sana melihat kehadirannya. Dan seperti yang diharapkan, kedua orang
itu memang melihatnya dan melompat turun dari
batu besar yang diduduki masing-masing.
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
memicingkan mata. Karena saat ini malam sangat
pekat, mereka tak bisa melihat secara jelas paras
orang yang telah berhenti berjarak delapan langkah dari hadapan mereka. Yang dapat mereka
pastikan, kalau orang itu bukanlah Raja Naga.
Karena pakaian kuning yang dikenakan orang itu
cukup kentara. Si Bayangan Kuning tak buka suara. Diperhatikannya kedua orang itu dengan seksama.
Keheningan itu dipecahkan olehnya sendiri, "Maaf kalau kemunculanku di hadapan
kalian cukup mengejutkan...."
Purwa membatin, "Suaranya menunjukkan
dia seorang perempuan. Sayang aku tak bisa melihat wajahnya."
Sibarani sudah angkat bicara, "Orang dalam gelap... kemunculanmu di sini cukup mengejutkan sebenarnya. Tetapi kami memakluminya.
Apakah ada sesuatu yang penting?"
Si Bayangan Kuning mengangguk dan buru-buru berkata, "Ya... menurutku ini sangat penting dan kuharap, kalian dapat
membantuku untuk memecahkan persoalan yang kuhadapi...."
"Kami belum mengetahui apa persoalan
yang sedang kau hadapi. Tetapi, bila kami dapat
membantu, sudah tentu kami akan melakukannya...." Si Bayangan Kuning menarik napas dan menghembuskannya. Sengaja keraskeras agar kedua orang di hadapannya mendengar. Paling tidak, dia telah membuat helaan napasnya bernada
gelisah. "Saat ini aku sedang mencari Raja Naga...."
Kata-kata yang tak disangka itu membuat
Purwa dan Sibarani terdiam dengan mata makin
memicing. Kening mereka berkerut. Purwa yang
sesungguhnya tidak begitu senang karena kemunculan orang ini di saat dia sedang menjalankan perintah yang menurutnya cukup menegangkan, angkat bicara, "Mengapa kau mencari pemu-da itu?"
Sambutan seperti itulah yang dikehendaki
si Bayangan Kuning. Dengan suara sesekali dibuat geram dan masygul dia berkata, "Raja Naga telah membunuh adik
seperguruanku!"
"Keparat!" amarah di dada Purwa seketika menggelora. Kebenciannya pada Raja Naga
semakin menjadi-jadi mendengar kata-kata orang.
"Orang dalam gelap, kami dapat merasakan kemarahanmu, karena kami juga sedang murka pada pemuda celaka itu!"
Sibarani masih lebih dapat menguasai dirinya. "Bila kau tak keberatan, dapatkah kau menceritakan mengapa pemuda yang
juga kami cari itu membunuh adik seperguruanmu?"
Si Bayangan Kuning yang telah menyusun
rencana busuknya, sudah tentu dengan segera
dapat menciptakan cerita bohongnya. Dengan suara dibuat geram dia berkata, "Sepuluh hari yang lalu, secara tak sengaja adikku
berjumpa dengan
Raja Naga. Pemuda yang julukannya amat kesohor itu sudah tentu dikenal oleh adik seperguruanku kendati tidak pernah melihat sosoknya. Dalam perjumpaan itu, Raja Naga merayu adikku.
Sayangnya... adikku yang belum banyak makan
asam garam di rimba persilatan ini, terlena oleh
rayuannya. Dan... akh... aku tak bisa menceritakan kelanjutannya kecuali satu, kalau adikku
kemudian dibunuhnya."
"Terkutuk!!" geram Purwa seraya mengertakkan rahangnya.
Si Bayangan Kuning semakin menggila
dengan rencana busuknya. "Dan aku tak pernah membiarkan pemuda hidung belang itu
banyak menelan korbannya. Di balik tindakannya yang
selalu membela kebenaran, dia tak lebih dari manusia busuk!"
Purwa menggeram.
"Perlu kau ketahui, kami juga sedang mencari pemuda keparat itu!"
"Keberatankah kau menceritakannya padaku?" Kebencian yang ada di dada Purwa menyebabkan pemuda itu menceritakan
segala-galanya.
Sibarani sendiri sebenarnya tak menyetujui tindakan kakak seperguruannya, karena secara tidak langsung, dia telah mengungkapkan apa yang
sedang mereka lakukan saat ini.
"Aku pernah mendengar tentang bungabunga keramat itu," kata si Bayangan Kuning.
"Huh! Raja Naga ternyata bukan hanya telah me-malingkan kepala orang-orang
darinya, tetapi juga telah menorehkan peristiwa buruk rimba persilatan! Kawan... kita punya keinginan yang sama
untuk membunuh Raja Naga. Bagaimana bila kita
saling bantu?"
"Sudan tentu usulmu itu kami sambut
dengan gembira!" sahut Purwa.
Sibarani buka mulut, "Kawan berpakaian
kuning! Sejak tadi kita banyak bicara, tetapi kau belum memperkenalkan diri...."
Si Bayangan Kuning tak segera menjawab.
Dia berkata dalam hati, "Hemm... kejelasan sudah kudapatkan. Tinggal mencari
kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga. Tetapi untuk saat ini biarlah kutahan keinginan itu. Biar
kurasuki kebencian masing-masing orang pada
Raja Naga,..."
Kemudian katanya, "Kalian boleh mengenalku sebagai Nimas Herning!" Lalu sambungnya dalam hati, "Nama yang bagus. Ya,
Nimas Herning nama yang bagus dan mudah-mudahan mereka
tidak curiga kalau itu hanyalah nama palsu."
"Nimas Herning...." Purwa berkata lagi.
"Saat ini kami sedang menunggu kedatangan Raja Naga! Kami yakin kalau dia akan
datang ke sini untuk mendapatkan Bunga Matahari Jingga,
bunga keramat ketujuh! Seperti yang telah kita
sepakati sebaiknya kau tetap berada di sini!"
Purwa memutuskan demikian mengingat
dia dan Sibarani pernah dipecundangi oleh Raja
Naga. Dengan kehadiran Nimas Herning yang tentunya memiliki ilmu tak bisa dipandang sebelah
mata, itu berarti menambah kekuatan mereka.
Lain yang dipikirkan Purwa, lain pula yang
dipikirkan Sibarani. Perempuan berpakaian merah dengan baju dalam warna hijau itu sesungguhnya menyesali apa yang dilakukan kakak seperguruannya. Karena tugas yang mereka emban
sekarang ini adalah tugas sangat rahasia. Tak
seorang pun boleh mengetahuinya kecuali Dewa
Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi apa hendak dikata, Purwa
telah membeberkan semuanya.
Di pihak lain, Si Bayangan Kuning yang
sebenarnya bukan bernama asli Nimas Herning,
semakin mendapat kesempatan dengan kata-kata
Purwa. Dia akan menunggu kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga yang dicarinya. Menyerang keduanya saat ini, itu berarti
hanya akan membuang banyak tenaga. Terutama
setelah mengetahui kalau Raja Naga dapat dijadikan kambing hitam. Ketimbang membuang tenaga, lebih baik merasuki hati keduanya dengan kebencian pada Raja Naga. Juga, akan ditunggunya
kesempatan baik.
Si Bayangan Kuning memutuskan, paling
lambat besok senja dia sudah harus mendapatkan Bunga Matahari Jingga.
Lalu katanya, "Terima kasih atas kesediaan
dan penjelasan kalian hingga aku tak perlu bersusah payah melacak di mana Raja Naga berada!"
Purwa melenting ke belakang dan hinggap
di atas batu yang tadi didudukinya.
"Kita tunggu kedatangan pemuda itu...."
Si Bayangan Kuning sudah melompat ke
batu besar di dekatnya. Sibarani sendiri, walaupun menyesali apa yang dikatakan Purwa, mau
tak mau hanya menuruti saja. Perasaannya saat
ini mengatakan, sesuatu yang tidak enak akan
terjadi. EMPAT PADA saat yang bersamaan, Raja Naga
menghentikan larinya di sebuah tempat yang sepi. Di sekelilingnya ditumbuhi oleh ranggasan belukar dan pepohonan tinggi. Matanya yang angker
tak berkedip pada sebatang pohon, di mana tadi
Puspa Dewi berada sebelum ditinggalkannya
mencari makanan.
Dengan kening berkerut Raja Naga mendekati pohon itu.
"Hemmm... ke mana dia pergi?" desisnya.
Tiga ekor kelinci yang diburunya jatuh di atas tanah. Mats angkernya memandang
sekeliling. "Rupanya dia telah meninggalkanku. Bodoh! Bodoh
sekali aku ini!!"
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah
Naga ini terdiam, menyesali apa yang telah terjadi. "Bisa jadi kalau Puspa Dewi mengetahui
kalau sesungguhnya aku mencurigainya. Dengan
kepergiannya ini, semakin menguatkan dugaanku, kalau dialah si Bayangan Kuning yang kulihat
melarikan diri dan dialah si pencuri bunga-bunga
keramat sesungguhnya. Brengsek! Aku tertipu
mentah-mentah!"
Anak muda ini memaki-maki tak karuan,
menyesali kelalaiannya sendiri. Diingatnya bagaimana sebelumnya Puspa Dewi nampak begitu
kelelahan hingga memutuskan untuk beristirahat
dulu sebelum melanjutkan langkah menuju ke
Daerah Tak Bertuan.
Karena tak mau memancing kecurigaan si
gadis berpakaian kuning, Raja Naga menyetujui
usulnya. Bahkan disetujuinya untuk mencari
makanan. "Brengsek! Aku telah ditipunya! Huh! Pasti
saat ini dia sedang mencari Bunga Matahari Jingga! Sayang, aku tidak tahu di mana bunga keramat yang belum dicuri itu,..."
Kekesalan Raja Naga kian menjadi-jadi. Tetapi kemudian ditindih kekesalannya itu mengingat kalau itu memang kelalaiannya sendiri.
"Dia pasti belum jauh, karena aku belum
terlalu lama meninggalkannya. Tetapi, ke mana
arah yang harus kutempuh?"
Raja Naga menimbang-nimbang sesaat sebelum diangkat tangan kanannya yang dipenuhi
sisik sebatas siku. Dipergunakannya ilmu
'Rabaan Naga' yang dapat melacak jejak apa pun
yang diinginkannya. Namun dia terkejut ketika
tak mendapatkan jejak apa-apa!
"Astaga! Apa yang telah terjadi?" desisnya kaget seraya menurunkan tangan
kanannya lagi. "Ilmu 'Rabaan Naga' seperti tak berguna. Celaka!
Dia memang tahu kalau aku mencurigainya, dan
ini semakin menambah keyakinanku kalau dialah
si pencuri bunga-bunga keramat. Gadis itu tentunya telah mempergunakan ilmunya, entah ilmu
apa, hanya yang pasti dapat menangkap ilmu
'Rabaan Naga' yang kupergunakan...."
Raja Naga benar-benar di ambang kemarahannya mengingat semua itu.
"Huh! Saat ini namaku sudah coreng moreng karena tuduhan itu. Aku harus segera membersihkan namaku sebelum..."
"Ternyata ada manusia di sini! Bagus! Aku
bisa bertanya sesuatu padamu!" suara cempreng itu memutus kata-kata Raja Naga.
Belum lagi habis terdengar suara cempreng itu, satu sosok tubuh telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat siapa yang datang.
"Hemmm... seorang perempuan tua berkebaya lusuh dengan baju berwarna hijau. Rambutnya hitam, tetapi... kondenya berwarna hijau!"
katanya dalam hati.
Perempuan tua yang baru muncul itu me

Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

micingkan matanya sebelum berkata, "Anak mu-da! Kau berada di tempat sesunyi
ini, apakah sedang menunggu seseorang atau kau memang
hendak menjadikan tempat ini sebagai tempat pelepas lelah?"
Raja Naga tak segera menjawab. Kembali
diperhatikannya sosok si perempuan yang ternyata Dewi Lembah Air Mata adanya.
Setelah itu barulah dia berkata, "Aku sebenarnya bersama seseorang. Tetapi sayang, orang
itu sudah pergi.... "
"Satu pergi satu datang! Ya, aku yang datang ke hadapanmu sekarang! Anak muda... aku
tidak mengenal siapa kau adanya! Dan kau tentunya... hei!! Gila! Mengapa matamu bersorot
angker mengerikan seperti itu"! Apakah kau tidak
suka dengan kehadiranku di sini"!"
Raja Naga mendengus pelan.
"Tak perlu kau hiraukan tentang mataku
ini..." "Ya! Memang tak perlu kuhiraukan!" sahut Dewi Lembah Air Mata sambil
mengingat-ngingat
sesuatu. Raja Naga yang merasa harus segera mencari Puspa Dewi segera berkata, "Nek... aku tak punya banyak waktu. Aku harus
segera menemukan temanku itu."
"Mendengar nada bicaramu yang agak gelisah, aku dapat menebak siapa temanmu itu! Kau
masih muda, dan tentunya temanmu adalah seorang gadis belia! Atau boleh dikatakan, tentunya
dia adalah kekasihmu!"
Raja Naga tidak menyahut.
Dewi Lembah Air Mata berkata lagi, "Kau
tentunya orang rimba persilatan dari pakaian
yang kau kenakan! Dan tentunya tak asing bagi
seorang rimba persilatan pernah mendengar satu
julukan yang menggemparkan rimba persilatan!"
"Aku tak paham maksud kata-katamu...."
"Apakah kau pernah mendengar julukan
Raja Naga?" seru Dewi Lembah Air Mata.
Raja Naga sesaat meragu sebelum berkata,
"Ya... kenapa dengan dia?"
"Aku juga pernah mendengar julukan yang
menggemparkan rimba persilatan karena sepak
terjangnya yang menggegerkan! Tetapi sayangnya,
aku belum pernah berjumpa dengan pemuda berjuluk Raja Naga hingga aku kesulitan untuk menemukannya!"
Perasaan Raja Naga mulai dibaluri sesuatu
yang tidak enak. Dia menjadi gelisah sendiri.
"Harap jangan bicara berbelit-belit! Sebaiknya kau jelaskan saja apa maumu...."
"Orang yang hidup di rimba persilatan selalu mau bertindak cepat, tak mengherankan memang. Anak muda... saat ini aku sedang mencari
Raja Naga!"
Raja Naga menjerengkan matanya. "Kenapa
kau mencari Raja Naga?"
"Pemuda yang bersembunyi di balik tindakannya yang menggegerkan, ternyata seorang
pencundang yang pengecut! Dia telah menanamkan bibit permusuhan di rimba persilatan ini dan
mencoreng namanya yang sudah melambung!"
"Aku memang mendengar julukan orang
yang kau maksud, tetapi aku makin tidak mengerti tentang apa yang kau katakan," kata Raja Naga. Kendati mulutnya berbunyi
demikian, namun hatinya menduga sesuatu yang tidak enak.
Dewi Lembah Air Mata menyahut, "Raja
Naga telah mencuri bunga-bunga keramat! Kau
masih sedemikian muda, tentunya kau belum
mendengar tentang bunga-bunga keramat! Aku
tak punya waktu untuk menjelaskan tentang
bunga-bunga itu! Dan yang kuminta sekarang,
apakah kau tahu di mana Raja Naga berada?"
Murid Dewa Naga itu diam-diam menarik
napas masygul. "Firasat tidak enakku ini membawa kenyataan. Tentunya berita buruk itu telah menyebar.
Aku terpaksa harus berbohong sekarang agar
urusan tidak semakin kapiran," katanya dalam hati. Lalu dengan menindih gemuruh
di dadanya, pemuda berompi ungu itu berkata, "Nek... kalau kau tanyakan aku pernah mendengar
julukan itu atau tidak, kujawab pernah. Tetapi aku tidak tahu di mana orang yang kau maksudkan berada...." "Sayang sekali, sayang sekali. Padahal aku berharap kau dapat memberikan
kejelasan padaku." "Apa yang hendak kau lakukan bila kau berjumpa dengannya?"
tanya Raja Naga berhati-hati. "Kecuali menangkap dan membawanya ke
hadapan Dewa Segala Dewa, tak ada keinginan
yang lain di hatiku! Dia, harus mempertanggungjawabkan tindakan busuknya! Bahkan kalau dapat, dia harus dihadapkan pada gurunya sendiri
hingga tak terjadi kesalahpahaman!"
Raja Naga menahan napas sejenak. "Dewa
Segala Dewa?" katanya dalam hati. "Bukankah orang itu yang hendak dijumpai Puspa
Dewi?" Kemudian dia berkata, "Nek... apakah Dewa Segala Dewa orang yang berdiam di Daerah
Tak Bertuan?"
"Ya! Dialah majikan Daerah Tak Bertuan!
Dan tak mengherankan kalau kau mengetahuinya!" "Kau tadi mengatakan bunga-bunga keramat, apa yang kau maksudkan dengan bungabunga keramat itu?" tanya Raja Naga setelah terdiam beberapa jenak.
"Huh! Tadi sudah kukatakan, aku tak
punya banyak waktu untuk menjelaskannya! Tetapi kau boleh tahu sedikit saja! Bunga-bunga keramat berjumlah tujuh buah! Bila dijadikan satu
dan direndam di dalam air, maka air yang diminum oleh seseorang akan menjadikan orang itu
kebal terhadap senjata apa pun. Dan memiliki
kekuatan seorang raksasa!"
"Astaga! Sungguh menakjubkan! Dan
sungguh mengerikan bila orang yang meminum
air itu melakukannya untuk tindakan kejahatan...." desis anak muda dari Lembah Naga itu dalam hati. "Aku harus menemukan
Puspa Dewi. Gadis itu tentunya si pencuri yang sesungguhnya. Tetapi... mengapa dia mencari Dewa
Segala Dewa dan Daerah Tak Bertuan" Apakah
Bunga Matahari Jingga sesungguhnya berada di
Daerah Tak Bertuan?"
Raja Naga tak mencoba untuk menemukan
pertanyaannya sendiri. Kemudian berhati-hati
anak muda itu berkata, "Nek... sebaiknya kita berpisah di sini. Karena aku harus
menemukan temanku itu...."
"Baik! Bila kau berjumpa dengan Raja Naga, katakan padanya, Dewi Lembah Air Mata datang untuk menangkapnya!"
Raja Naga hanya mengangguk. Di kejap
lain dia sudah melangkah untuk meninggalkan
tempat itu. Perasaan tidak enaknya semakin,
menjadi-jadi. "Ah, beruntung dia mempercayai ucapanku. Kalau tidak, urusan bisa jadi panjang! Aku
akan banyak kehilangan waktu untuk mengejar
Puspa Dewi, sementara menjelaskan keadaan
yang sebenarnya pun percuma saja. Tentunya dia
telah berjumpa dengan Purwa dan Sibarani yang
menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi.
Ah, apakah Purwa dan Sibarani menganggap kalau ini hanya kesalahpahaman saja?"
Sambil terus melangkah, anak muda berompi ungu ini terus membatin. Tetapi apa yang
dipikirkannya hanya sesaat membawa sedikit ketenangan. Karena tiba-tiba saja satu suara cempreng yang sangat nyaring membentak keras,
"Pemuda celaka! Kau mencoba mengelabui Dewi
Lembah Air Mata rupanya! Untung aku ingat, kalau Raja Naga memiliki sorot mata angker!"
Bersamaan bentakan itu terdengar, menggebrak satu gelombang angin yang menyeret tanah ke arah si pemuda!
*** "Heeiiii!!" teriak Raja Naga tertahan dan kejap itu pula dia membuang tubuh ke
samping ka- nan. Blaaarrrr!!
Ranggasan belukar di hadapannya terpapas rata ujungnya. Dan tak jauh dari sana, suara
letupan disusul dengan gemuruh tumbangnya sebuah pohon terdengar keras.
"Menurut cerita orang, Raja Naga memiliki
sorot mata angker! Dan mengenakan pakaian berompi ungu! Dasar aku yang bodoh tidak tahu gelagat! Pemuda keparat, kau hampir berhasil memuslihatiku, padahal kaulah Raja Naga sebenarnya!!" Dewi Lembah Air Mata melesat diiringi teriakan mengguntur. Kemarahannya
tiba-tiba mencuat dan harus dituntaskan.
Raja Naga sendiri merasa tak akan ada gunanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Cepat didorong kedua tangannya ke depan.
Wuutttt!! Blaaam! Blaaammm!!
Suara letupan dua kali berturut-turut terdengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi
tanah itu luruh kembali, satu bayangan hijau telah melesat, menerobos ke depan dengan tangan
kanan kiri digerakkan.
Tap! Tap! Raja Naga mundur dua tindak. Lalu....
Buk! Buk! Dihadangnya jotosan si nenek dengan tangan kanan kirinya. Kedua tangannya sebatas siku
yang dipenuhi sisik coklat, memiliki kekuatan tersendiri yang mampu mematahkan
sebuah godam. Tetapi benturan yang terjadi itu tak membawa
akibat apa-apa pada Dewi Lembah Air Mata.
Bahkan tiba-tiba saja si nenek berkonde
hijau ini mencelat ke atas. Lalu meluruk ke bawah diiringi suara dengingan yang memekakkan
telinga. Cepat, Raja Naga palangkan kedua tangannya di depan dada. Didahului satu dehaman
keras, disentak kedua tangannya ke atas.
Dehaman yang mengandung tenaga tak
nampak itu tak mampu menahan lurukan tubuh
Dewi Lembah Air Mata. Tetapi ketika gelombang
angin disemburati asap merah yang keluar dari
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' menggebrak, membuat si nenek mengubah gerakannya.
Dia melenting ke samping dan hinggap di
atas tanah dengan ringannya.
Suara geramnya terdengar, "Tak mengherankan kalau julukan Raja Naga telah membedah
langit, karena memang memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata! Malam ini aku masih
memberimu kesempatan hidup, bila kau mau
menyerahkan bunga-bunga keramat yang telah
kau curi!"
Di tempatnya Raja Naga menjadi agak gelisah. "Apa yang harus kujelaskan kalau tuduhan itu telah melekat padaku" Tentunya
bukan hanya dia yang sedang mencariku, tetapi orang berjuluk
Dewa Segala Dewa juga sedang mencariku. Bisa
pula masih ada orang-orang yang lain...."
"Tak banyak waktu yang kau punyai, Pemuda keparat!!" bentak Dewi Lembah Air Mata geram. Raja Naga menghela napas
pendek. "Kau tak mengerti apa yang telah terjadi
dan tak seorang pun yang bisa mengerti...."
"Ya! Siapa pun orangnya tak akan mau
mengerti apa pun yang dikatakan pencuri busuk!
Serahkan bunga-bunga keramat itu padaku!!"
Raja Naga tak menjawab. Bergeming pun
tidak. Matanya yang angker semakin bertambah
angker. Dilihatnya bagaimana perlahan-lahan
Dewi Lembah Air Mata rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kalau sejak tadi dia memandang ke depan, kali ini kepalanya agak ditundukkan hingga tubuhnya membungkuk sedikit. Jelas kalau si nenek telah siap melancarkan satu serangan.
Kendati Raja Naga dapat memahami apa
yang akan dilakukan Dewi Lembah Air Mata, tetapi dia tercekat tatkala tiba-tiba mendengar perempuan tua itu terisak.
"Astaga! Apa yang terjadi" Mengapa dia terisak?" Untuk beberapa saat pemuda berkuncir kuda ini merasa heran dengan apa
yang diden-garnya. Namun di kejap lain, dia tersentak. Karena isakan yang pelan itu telah menggedor kedua
telinganya hingga berdenging-denging!
LIMA CELAKA! Apa yang terjadi" Ada apa ini?"
serunya seraya alirkan tenaga dalamnya pada indera pendengarannya. Tetapi isakan pelan yang
menerobos dahsyat ke kedua telinganya, semakin
keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja,
tubuh Raja Naga bergetar hebat.


Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusul suara letupan berulang kali terdengar. Tanah berhamburan ke udara yang segera membuat tempat itu laksana diselimuti kabut
tebal. "Aku harus berbuat sesuatu bila tidak ingin celaka!" seru anak muda itu
sambil tutup kedua telinganya dengan tangan kanan kirinya. Kini
disadari kalau isakan yang dilakukan si nenek
ternyata merupakan satu serangan mengerikan.
Tiba-tiba dia berteriak setinggi langit seraya mendehem berkali-kali.
Letupan demi letupan keras terdengar. Tenaga tak nampak yang keluar dari dehemannya
berbenturan dengan tenaga aneh yang keluar dari
isakan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi isakan yang
berdenging-denging keras itu semakin kuat menerpa kedua telinganya
Telinga adalah salah satu alat keseimbangan tubuh selain dagu dan kedua bahu. Akibat
dari terobosan suara isakan yang berdengingdenging itu, Raja Naga terhuyung ke belakang.
Sakit tak terkira membuat aliran darahnya bertambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti
dihantam gada besar berulang-ulang. Napasnya
mulai terasa sesak.
"Celaka... aku bisa celaka!" serunya berulang-ulang sambil terus mengerahkan
tenaga da- lamnya. Dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah segar. Keseimbangannya semakin terganggu,
sementara di seberang, Dewi Lembah Air Mata tetap bersikap seperti sebelumnya. Isakannya tetap
terdengar hanya pelan saja.
Mendadak anak muda dari Lembah Naga
itu melepaskan tangan kanan kirinya dari kedua
telinganya. Lalu diputar ke atas dan didorong ke
depan dengan wajah tegang.
Wuussss!! Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak deras dan.... Blaaammm!
Laksana terhantam tenaga tak nampak, serangan yang dilakukan Raja Naga guna memutuskan ilmu aneh si nenek putus di tengah jalan.
Raja Naga tidak putus nyali. Dia harus melepaskan diri dari isakan mengerikan itu.
Dengan mencoba mengembalikan keseimbangannya, dijejakkan kaki kanannya. Disusul
dengan kaki kirinya. Tanah di hadapannya seketika berderak, terangkat naik dan menyusur dengan suara bergemuruh ke arah Dewi Lembah Air
Mata yang masih menunduk.
Masih tetap terisak, Dewi Lembah Air Mata
tiba-tiba menepukkan kedua tangannya di tanah.
Akibatnya.... Jlegaaarrrr!! Letupan yang membuat tempat itu seperti
bergetar terjadi. Tanah semakin berhamburan ke
udara. Namun kali ini Raja Naga merasakan tekanan menyakitkan pada kedua telinganya sedikit
berkurang. Ini terjadi karena Dewi Lembah Air
Mata terpaksa menurunkan tangannya yang dirangkapkan di depan dada tadi.
Kesempatan itu dipergunakan Raja Naga
untuk melesat ke depan. Jalan satu-satunya untuk menghentikan serangan aneh itu dengan jalan menghentikan sumbernya. Tetapi....
"Aaaakkhhhh!!"
Anak muda itu menjerit keras bersamaan
tubuhnya terpelanting ke belakang, karena Dewi
Lembah Air Mata telah merangkapkan kembali
kedua tangannya di depan dada disertai isakannya yang tetap pelan namun terus terdengar.
Disusul dengan tubuhnya yang bergulingguling berulang-ulang.
"Kau terlalu keras kepala, Pemuda terkutuk! Tak mau menyerahkan kembali bunga-bunga
keramat yang telah kau curi, itu artinya akan
menambah penderitaan yang kau alami!" seru
Dewi Lembah Air Mata tetap terisak dan sejauh
ini tak ada air mata yang mengalir.
Raja Naga merasa punggungnya remuk setelah menghantam sebuah pohon. Sempoyongan
pemuda tampan ini mencoba berdiri. Tulangtulang pada kakinya seperti telah terlolosi.
"Aku yakin, dalam dua gebrakan berikutnya... aku tak akan mampu menghadapi serangan
aneh si nenek...," desisnya dengan wajah tegang.
Darah yang merembes melalui sela-sela bibirnya
makin banyak. Diusap dengan punggung tangan Pendekar Remaja 15 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pendekar Satu Jurus 14

Cari Blog Ini