Dewi Ular 50. Ciuman Neraka Bagian 1
Tara 2agita 50. Ciuman Neraka. PEDAGANG sate keliling itu namanya mudah diingat dan mudah diketahui oleh siapa pun, karena pada kaca gerobak satenya ia menuliskan namanya sendiri dengan jelas:
"SATE CAK SOLEH". Maka siapa pun yang bertemu dengannya, ia akan mengetahui nama si pedagang sate itu adalah Cak Soleh. Dan memang di beberapa daerah, terutama di sekitar perumahan Bendungan Hilir, nama Cak Soleh sudah bukan asing lagi. Seolah-olah sudah men-jadi jaminan bahwa sate Cak Soleh adalah hidangan malam yang tidak pernah mengecewakan para pembelinya.
"Aneh..." Sejak tadi saya kok jadi keliling keliling di sekitar sini terus sih" Apa ndak ada jalan lain kecuali jalanan ini?" guman hati Cak Soleh yang merasa heran. Ia merasa sejak tadi hanya berputar-putar di sekitar pinggiran Kuburan Karet. Padahal menurutnya ia sudah berjalan jauh, tapi sebentar-sebentar ia sadari bahwa gerobak satenya didorong mondar mandir di jalanan depan Kuburan Karet.
"Tueeeeee...! Suaaaateeeee...!!" Cak Soleh sengaja berteriak keras-keras untuk meredakan perasaan herannya. Rasa heran atas keanehan yang dialami telah menimbulkan rasa takut yang merongrong ketenangan hatinya. Selama menjadi pedagang sate ayam keliling baru sekarang Cak Soleh dihinggapi perasaan takut yang membuat sekujur tubuhnya jadi merinding berkali-kali
"Aduh, Dik... malamnya sudah sepi, ndak ada manusia sepotong yang lewat, sate ayam kenapa jadi dar-mandir terus begini" Apa ndak ada jalan lain yang bisa saya lewati selain lan-jalan kuburan ini, Cong"!" Cak Soleh menggerutu dalam hatinya dengan aksen Madura-nya yang kental. - Memang aneh. Malam itu menurutnya memang tidak seperti malam biasanya. Padahal masih pukul sebelas lewat sedikit, tapi jalanan sudah terasa lengang, sepi sekali. Nyaris tak ada kendaraan yang lewat di jalanan tersebut Tak satu pun orang yang kelihatan berlalu di sekitar jalan itu. Anehnya lagi, sepertinya Cak Soleh kehilangan arah langkahnya. Ia merasa sudah menyeberang jalan dan menjauhi Kuburan Karet, tapi beberapa saat kemudian ia sadar bahwa ternyata dirinya masih berada di sekitar jalanan pinggir Kuburan Karet yang luas itu.
"Pasti ada yang ndak beres ini!" geramnya jengkel-jengkel takut,
"Pasti ada yang mau ganggu saya ini. Lho... disangkanya Cak Soleh takut sama tan-setan kuburan sini"! Hmmmh, belum tahu dia" Tak sembur satu kali, pasti matek dua kali dia"!" - Dari kejauhan tampak sebuah biskota berhenti di halte. Ada dua orang yang turun di halte itu. Mereka adalah gadis-gadis berpakaian sexy, masing-masing menggantungkan tas di pundaknya. Melihat dandanan dua gadis itu, Cak Soleh mencibir dalam hati sambil sesekali berpikir mencari cara untuk keluar dari daerah tersebut.
"Bang, sini...!" panggil salah satu dari mereka. Cak Soleh yang memang sedang berjalan mengarah ke halte sempat tersenyum sinis tanpa diketahui kedua gadis tersebut.
"Rek-perek itu mau apa lagi" Kemarin yang satu makan sate ndak cukup doitnya, sekarang apa mau makan sate secara gratis" Aduh... sori saja kalau mereka mau makan gratis, bisa tak bacok-bacok giginya jadi delapan potong!"
"Bang, bikinin sate sepuluh tusuk dong. Lontongnya dua, ya?"
"Sampean mau makan pakai bayar apa pakai alasan nggak punya doit, Neng" Kalau
ndak punya doit, saya ndak sanggup bakarin sate buat sampean berdua, Neng."
"Idiih, si Abang... menghina, ya" Dikiranya kita nggak punya duit, Ris"! Tunjukin duit kita, Ris!" Yang dipanggil Ris segera mengeluarkan sejumlah uang dan saku celana jeans-nya.
"Nih, lihat.... Duit kami cukup buat bayar semua satemu, Bang!"
"Oo, ya kalau begitu saya sendiri lega, Neng Soalnya sampean kemarin makan sate doitnya kurang seribu rupiah, kan?"
"Alaa... bakarin dua puluh deh! Jangan banyak omong. Ntar kekurangan yang kemarin gue bayar juga!" kata Rista sambil bersungut sungut, lalu bic ara kasak-kusuk kepada Erna, teman sesama perek. M ereka tertawa-tawa membicarakan tentang obyekan y ang mereka dapat dari seorang oom tua yang tadi habi s membawa mereka ke hotel kecil. Cak Soleh sengaja nguping, tapi sambil membakar dua puluh tusuk sateny a. Diam-diam merasa geli mendengar cerita lucu kedua ABG bandel yang habis 'ngerjain seorang lelaki berduit.
"Sepuluh tusuknya berapa duit, Bang?" hampir saja Cak Soleh terlonjak kaget ka. karena tiba-tiba seorang wanita cantik bertanya
padanya, berdiri di depan gerobak satenya. Cahaya lampu patromak menampakkan wajah wanita itu dengan jelas. Cantik, tapi pucat. Kalem, tapi berkesan dingin. Cak Soleh buru
buru menetralisir kekagetannya dengan senyum cengar-cengir. "Ndak mahal kok, Neng. Sepuluh tusuknya cuma tiga ribu rupiah." "Sudah pakai lontong itu?"
"O, ya jelas sudah. pakai lontong, Neng. Masa' mau pakai roti"!" canda Cak Soleh memancing keramahan agar wanita cantik itu tersenyum. Belum sempat si cantik berambut panjang dan bergaun putih itu tersenyum, tiba-tiba suara Erna sudah terdengar dari tempat duduk yang ada di halte tersebut, bernada ketus dan konyol sekali. "Bang, kami duluan lho yang pesan! Layani dulu kami. Jangan layani orang lain!" Rista menimpali lebih konyol lagi. "Kalau kami sudah pasti bayar, kalau orang lain kan belum tentu bayar, Bang!" "Waduuuh, ini anak..." Ndak mikir kalau kata-katanya bisa bikin orang lain tersinggung," kata Cak Soleh dalam hatinya dengan cemas. - - "Ndak usah didengar omongan itu, Neng.
Maklum mulut perek, kalau jeplak ya seenaknya begitu." Si cantik berwajah oval itu tersenyum sinis. Matanya melirik ke arah Erna dan Rista dengan tetap berdiri di tempatnya. Khawatir akan terjadi perselisihan, Cak Soleh berkata lagi dengan suara masih sepelan tadi, bahkan seperti orang berbisik.
"Sudah, ndak perlu dilayani omongan perek itu, Neng."
Kipas sate bekerja secara stabil. Asap yang mengepul menyebarkan aroma sedap, memancing gairah untuk segera makan sekenyang-kenyangnya. Bau sate dan bumbu yang terbakar ibarat obat nafsu makan bagi siapa pun yang menghirup asap tersebut. Dalam waktu relatif singkat, sate pesanan Erna dan Rista pun siap dihidangkan. Kedua ABG berambut cekak itu menghampiri Cak Soleh, seakan tak sabar ingin segera mendapatkan pesanan mereka. Maka masing-masing pun menerima sepuluh tusuk sate dengan lontongnya di atas daun berlapis kertas pembungkus makanan.
"Waah... sedap banget baunya," puji Erna.
"Pesan sepuluh lagi buat kami, Bang!"
"Dua puluh lagi deh!" timpal Rista.
"Bikin dua buat kami lho, Bang Jangan bikin buat orang lain dulu. Soalnya kami yang pesan duluan tadi, ya kan"!" - - "Iya, iya,...," kata Cak Soleh dengan rasa tak enak, sebab agaknya kedua perek itu sengaja bikin jengkel hati pembeli yang lain. "Sampean mau pesan berapa busuk, Neng?" bisik Cak Soleh kepada si cantik yang lebih sering menunduk itu.
"Layani aja dulu punya mereka. Habis itu baru aku," kata si cantik dengan suara pelan juga. Tiba-tiba aroma sedap dari daging ayam bakar itu memancing kecurigaan bagi mereka. Aroma sedap itu berubah menjadi aroma bangkai busuk. Bahkan tak lama kemudian terdengar suara Rista memekik kaget sambil melemparkan sate di tangannya. "Aaaaow...!! Hiiiiih...!!"
"Lho, ada apa, Neng?" "Satenya bau bangkai, Bang! Lihat tuh, ada belatungnya!" "Hahh..."! Punyaku juga berbelatung. Hiii...!!" Erna ikut-ikutan membuang satenya sambil bergidik mundur. Sate-sate yang masih panas dan mengepulkan asap itu ternyata sudah berubah menjadi tusukan daging-daging buruk. Berasap tapi juga mengeluarkan belatung-belatung sebesar beras. Bau busuk bangkai itu sangat tajam memualkan perut, sehingga Erna dan Rista sempat muntah-muntah. Bahkan Cak Soleh sendiri yang terperangah kaget juga ikut-ikutan muntah di tempat hingga terbungkuk-bungkuk. "Hiiik, hiiiik, hiiiik...!" terdengar suara mengikik mengerikan di depan gerobak sate. Si cantik itulah yang tertawa mengikik sambil bergerak pelan-pelan mendekati Erna dan Rista. Cak Soleh mendengar suara si cantik berkata sambil sesekali menghamburkan tawanya yang mendirikan bulu roma.
"itulah akibatnya kalau kalian menyepelekan diriku. Hiik, hilik, hiiik..! Siapa pun orangnya tak kuizinkan merendahkan diriku. Biar keadaan Niken seperti ini, tapi siapa pun yang berani merendahkan dan menghina Niken, akan mendapat ganjaran yang setimpal. Hiik... hiii... hiiiikk...!" Cak Soleh melihat jelas tubuh Niken melayang mundur, makin lama kakinya semakin mengambang di atas permukaan tanah. Tinggi dan tinggi sekali, hingga akhirnya Cak Soleh Jatuh pingsan, tak tahu lagi ke mana perginya perempuan cantik yang ternyata adalah roh halus penghuni kuburan tersebut. RISTA lari terbirit-birit dengan sempoyongan, sedangkan Erna jatuh tersungkur dan ping
san juga seperti Cak Soleh. Tak satu pun dari
mereka yang pingsan mengetahui bahwa Rista
ternyata dikejar oleh roh Niken yang melayang cepat hingga melintasi atas kepalanya sambil
menyebarkan bau bangkai ke mana-mana.
*
Sebuah mobil baru saja meninggalkan rumahnya Dewi Ular yang juga dikenal dengan nama populernya: Kumala Dewi. Mobil itu milik seorang lelaki muda berusia sekitar 28 tahun; Jehans Irawan. Ia seorang karyawan bank - yang punya posisi penting dan sedang dipromosikan sebagai kepala cabang untuk bulan mendatang.
"Kamu harus lebih waspada dan hati-hati, sebab banyak teman seniormu yang kurang menyukai dengan promosi tersebut. Mereka merasa iri dan tidak rela kalau kamu benar benar dijadikan sebagai kepala cabang di Pakan Baru nanti," kata Kumala ketika Jehans yang akrab dipanggil Hans, itu meminta pendapat mengenai jabatan yang akan diterimanya bulan depan.
"Mungkinkah mereka akan bermain curang, Kumala?"
"Kemungkinan seperti itu sangat besar sekali peluangnya. Sebab, jujur saja kukatakan padamu, ada tanda bahaya yang kulihat dari sinar matamu saat ini."
"Tanda bahaya"!" Hans mulai tampak cem aS.
"Aku nggak tahu apakah tanda bahaya itu datang dari rival karirmu atau dari pihak lain, yang jelas dapat merugikan dirimu seumur hidup. Bahkan bisa membuatmu rnengalami bencana fatal!" "Maksudmu... tanda bahaya berupa guna guna ilmu hitam untuk mencelakaiku, begitu?"
"Kira-kira begitu." Hans tersenyum berkesan kurang percaya dengan kata-kata Kumala. Sebelum Hans menyatakan rasa kurang percayanya itu, Kumala sudah lebih dulu berkata kepadanya. "Apa alasanmu kurang mempercayai kata kataku, Hans?" Tentu saja hati kecil Hans merasa terkejut. Tapi ia tutupi dengan senyum ketenangannya.
"Begini, Kumala... beberapa hari yang lalu aku pernah diajak temanku untuk pergi ke rumah seorang paranormal, letaknya di luar kota Mungkin kau kenal dengan 'orang pintar" yang bernama Eyang Upas, di Desa Kalijaga
"Aku mengenalnya baru sekarang, dan melihat rupanya pun baru sekarang," potong Kumala. - "Melihat rupanya baru sekarang?"
"Aku melihatnya lewat kedua bola matamu. Orang itu bertubuh kurus, berjenggot panjang warna abu-abu dengan rambut ikal abu abu sepanjang bahu, bukan?" "Be... benar," jawab Hans semakin heran. "Dia suka mengenakan kalung manik-manik dari biji buah liar yang berwarna coklat kehitam-hitaman, seperti biji salak."
"Hmm, iya, memang benar. Beliau suka mengenakan kalung tasbih seperti yang kau sebutkan itu, Kumala." Dewi Ular hanya manggut manggut sambil tersenyurn tipis. Kalem dan anggun kecantikannya yang terpampang di depan Hans malam itu. Hans adalah temannya Niko Madawi, reporter teve swasta yang sedang ada hasrat kepada Kumala. Karena teman dekat, maka Niko menganjurkan Hans agar datang menemui kekasihnya untuk meminta saran tentang rencana pengangkatannya sebagai kepala cabang di bulan depan. Tapi agaknya Hans datang menemui Kumala bukan bersungguh-sungguh meminta saran, melainkan sekedar ingin menikmati kecantikan anak bidadari asli dari Kahyangan itu, sekaligus ingin menguji kehebatan kekuatan ilmu supranaturalnya Kumala. Karena apa yang didengar dari Niko tentang kehebatan Kumala dianggapnya hanya sebagai bualan belakan. "Apa yang kau dapat dari Eyang Upas itu?" "Sebilah keris kecil dari bahan kuningan berbentuk seperti ular." Lalu, Hans mengeluarkan keris kecil yang disimpan dalarn dompetnya. Ia menyerahkannya kepada Kumala dengan senyum bangga terhadap barang pusaka pemberian Eyang Upas. Tapi sebelum keris itu dipegang oleh Kumala, gadis cantik jelita yang mirip anak remaja berpotensi sebagai foto model itu sudah lebih dulu tertawa dalam senyum lebar dan berkata dengan suara yang tegas. - "Barang itu kosong." Hans jadi menarik kembali benda yang sudah dipegangnya itu.
"Kosong bagaimana?" . Kumala Dewi memandangi benda di tangan Hans seraya menambahkan keterangannya,
"Kosong tanpa isi apa-apa. Nggak ada kekuatan gaib di dalamnya. Sama saja benda mati biasa Nggak beda jauh dengan sebuah
bolpoint. Isinya cuma tinta. Itu masih mending, tapi benda yang kau pegang itu, jangankan kekuatan gaib, tinta pun nggak ada. Jadi masih lebih berharga dari bolpoint yang ada di saku bajumu itu, Hans." "Ah, masa sih?"
"Kalau nggak percaya, ya silakan kau simpan saja dalam dompetmu. Fungsinya hanya membuat dompetmu semakin berat satu ons persis." - Agak kesal hati Hans mendengar penjelasan itu, Ia merasa kecewa terhadap penilaian Kumala yang berkesan meremehkan benda pusaka yang sudah telanjur diyakininya sebagai penolak gangguan gaib dari manapun juga datangnya. Dengan nada kesal, Hans pun berkata seraya memasukkan kembali keris kecilnya ke dalam dompet. "Mungkin hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat isi benda pusaka ini. Sebab, Eyang Upas pun mengatakannya demikian. Tidak sembarang orang bisa mengetahui isi Keris Naga Buntung ini." Kumala tak sanggup menahan tawa begitu mendengar nama pusaka: Keris Naga Buntung. Tapi tawanya buru-buru ditutup dengan tangan, berusaha dikendalikan supaya tidak berkepanjangan dan tidak menyinggung perasaan Hans. "Ada baiknya kalau kau bawa jepit rambutku ini," kata Kumala sambil melepaskan jepit rambut berwarna hitam. Biasa-biasa saja. Hans sering melihat adik perempuannya mengenakan jepit rambut seperti itu. Bahkan Hans juga sering melihat jepit rambut seperti itu dijual orang di kios-kios atau toko-toko kecil di mana-mana. Hans menjadi sangsi dan semakin meremehkan jepit rambut itu. Tapi ia tetap menerimanya dengan senyum tawar.
"Selama kau membawa jepit rambutku itu, kekuatan gaib dari mana pun nggak bakalan bisa menyentuhmu, apalagi mencelakaimu, sangat mustahil bisa terjadi. Maka kuharap, jangan pernah kau lupa membawa jepit rambutku itu, Hans. Demi keselamatanmu!"
"Mudah-mudahan aku akan ingat selamanya," kata Hans bernada malas-malasan. Kumala Dewi hanya angkat bahu tanda terserah dengan apa pun keputusan dan keyakinan hati Hans. - Gadis anak Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu menarik napas dalam dalam saat menghantarkan kepulangan Hans sampai depan teras rumahnya. Entah apa arti tarikan napas Kumala itu, yang jelas Hans segera ter tawa kecil dalam mobil yang dikemudikan sendiri. Suzuki Side Kick hitam itu meluncur dengan tenang di kesunyian malam, manakala jalan-jalan mulai terasa lengang.
"Jepit rambut kayak gini dikasihin aku, uuuh... di rumah pun ada banyak kalau cuma barang kayak gini sih!" gerutu Hans sambil menurunkan kaca pintu, kemudian jepit rambut itu diambilnya dari saku d an dibuang sembarangan.
Duaaaaarrr...! Hans terpekik kaget mendengar suara ledakan setelah ia membuang jepit rambut itu. Buru-buru ia kendalikan stiran mobil karena ia segera sadar bahwa ban belakang meletus. Jalan mobil pun mulai terseok-seok karena ban belakang sebelah kanan kempes total. Mobil masih bisa dikuasai keseimbangannya, sehingga Hans segera membawanya ke tepian dan berhenti di tempat yang sepi itu, 25 meter dari tiang lampu mercury yang memancarkan cahaya kuning terang. "Sialan! Kenapa ban mobilku tahu-tahu bisa meletus begini, ya"!" pikirnya sambil bergegas turun dan memeriksa ban belakang. Hans terkejut melihat ban yang meletus itu ternyata mengalami keanehan. Ban itu meletus karena ada benda yang menancap dari samping luar. Benda yang menancap mirip paku itu ternyata adalah jepit rambut yang dibuangnya tadi. Hans terbelalak tegang melihat jepit rambut itu bagaikan telah mengutuk perjalanan malamnya.
"Kenapa jepit rambut ini bisa menancap di
ban yang tebalnya seperti ini"! Ban ini masih baru, masih keras, nggak mungkin bisa tertancap tembus oleh benda selunak ini. Tapi... kenyataannya begitu, mau dibilang apa"!" Hans mencabut jepit rambut tersebut. Sleeb...! Mudah sekali. "Brengsek!" makinya jengkel sambil dibuang ke belakang. Tanpa disangka-sangka saat itu ada sebuah sedan sedang melintas berlawanan arah. Sedan itu tiba-tiba terbanting ke kiri pada saat terdengar letusan yang lebih mengejutkan lagi. Bueeeerrr...! "Gila..."!" Hans bangkit secepatnya dan memandang sedan tersebut dengan bertambah tegang. Ternyata jepit rambut tadi menancap pada ban belakang sedan tersebut dan mengakibatkan ban sedan meletus dengan suara keras membahana. Si sopir sedan kebingungan mengendalikan bantingan keseimbangan mobil. Hampir saja menabrak tiang listrik di samping kirinya kalau tidak buru-buru menginjak rem dan berhenti total dalam keadaan melintang jalan. Hans ikut mendekati sedan itu, dan menjadi tahu bahwa penyebab ban meletus itu adalah jepit rambut yang menancap kuat seperti yang dialami oleh ban mobilnya sendiri. Tentu saja Hans berpura-pura tidak tahumenahu tentang jepit rambut tersebut. Sopir sedan memaki-rnaki sendiri dan mencabut jepit rambut itu, lalu memasukkan ke dalam lubang gorong-gorong di bawah trotoar jalan. Hans pun kembali ke mobilnya, bermaksud ingin menggantinya dengan ban serep yang dipajang di belakang mobil. Namun niatnya itu jadi tertunda, bahkan mungkin akan batal total karena ia melihat keanehan lain yang membuat bulu kuduknya merinding. Ternyata ban yang meletus itu dalam keadaan utuh seperti sediakala. Tanpa kempes sedikit pun. tidak ada Tanda bekas lubang sebesar jarum pun. Dan dalam kondisi siap jalan kembali, tak perlu diganti dengan ban cadangan. "Aneh..."! Kenapa jadi begini, ya"!" sambil Jehans menendang-nendang ban tersebut.: Ternyata cukup angin, keras dan seperti tidak pernah mengalami kerusakan sedikit pun.
"Kalau begitu jepit rambut tadi benar-benar punya kekuatan gaib yang semestinya kurawat dan... aduh, sayang sekali. Kulihat tadi si sopir sedan itu membuatnya ke dalam gorong-gorong di bawah trotoar. Nggak mungkin bisa kuambil kembali!" Hans menghela napas, menahan rasa sesalnya dalam hati Tiba-tiba seraut wajah manis muncul dari samping kiri mobilnya. Teguran lembut itu hampir saja membuat Hans terlompat kaget
"Hei, boleh numpang sampai depan, Oom?" - Ternyata teguran dan sapaan lembut itu berasal dari seorang gadis ABG berambut pendek. Senyum gadis itu terlihat menawan sekali, karena cahaya lampu mercury meneranginya dengan jelas. Hans terpukau sesaat karena tak menyangka, akan mendapat sapaan selembut itu.
"Kamu mau ke mana, Dik?" tanya Hans dengan pandangan terpana.
"Mau ke daerah Tomang, Oom. Kalau boleh sih saya mau numpang sampai Semanggi aja deh."
"Kenapa sampai Semanggi aja" Ikut aja sampai Tomang, toh aku mau ke arah Pluit.".
"O, iya deh kalau begitu. Kebetulan sekali."
"Naiklah, tapi tunggu... sebutkan dulu na
mamu?" sambil Hans memancing dengan senyunan menggoda, dan gadis ABG itu ganti membalas dengan senyuman nakalnya.
"Nama saya Rista, Oom."
"Panggil aku Abang aja. Bang atau Kak. Namaku Hans!" - Mereka pun segera meluncur meninggalkan tempat sial yang membuat dua ban meletus, tapi akhirnya kembali dalam keadaan normal. Tampaknya ban sedan itu pun mengalami hal yang sama, terbukti begitu mobilnya Hans pergi, sebentar kernudian mobil sedan itu juga pergi tanpa harus meng ganti ban belakangnya. Dalam perhitungan benak Hans, gadis ABG itu jelas-jelas disimpulkan sebagai gadis nak al, Tak mungkin ia gadis baik-baik keluyuran semalam i tu di tempat yang rawan tadi. Hans pun memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia menyukai tipe gadis m ungil berkulit bersih dan bermata bening indah itu.
"Dari mana kamu tadi, Ris?"
"Dari rumah teman, Kak Ada teman ultah, aku terpaksa datang. Habis dia teman karibku sejak kecil sih."
"Kenapa pulangnya sendirian" Nggak minta diantar pacar aja?"
"Pacar apaan?" Rista tertawa dengan suaraE
renyah. Enak sekali didengar, menghadirkan selusin khayalan mesra di benak Jehans.
"Memangnya kamu belum punya pacar?" pancing Jehans.
"Kalau udah punya sih nggak bakalan pulang sendiri, Kak."
"Kenapa nggak cari pacar?"
"Nggak ada yang cocok. Banyak sih teman cowok, tapi, nggak sesuai dengan selera hati. Kalau dipaksain nanti malah bikin kacau aja kan?"
"Memangnya teman cowok yang kayak apa sih yang cocok dengan selera hatimu?"
"Yaahh... yang... yang... kayak Kak Hans deh," sambil Rista tertawa malu-malu. Hans meliriknya dengan senyum berseri-seri. Hatinya mulai berdebar-debar, karena jawaban Rista dianggap point pembuka jalan menuju ke lembah asmara. "Sekarang sudah pukul dua belas kurang dikit lho. Apa kamu nggak takut dimarahi orang tua kalau pulang semalam ini, Ris?"
"Saya tinggal di tempat kost kok."
"Oo... tempat kost-nya di mana?"
"Ya di Tomang saja. Kak Hans mau mampir dulu nanti?"
"Boleh juga sih. Tapi... tapi aku mau mampir ke hotel dulu, mau menemui temanku. Kamu mau ikut?" "Asal pulangnya dianterin, mau aja sih," jawab Rista dengan enteng sekali, tanpa kesan ragu-ragu sedikit pun. Hans sudah dapat memahami bahwa gadis seperti Rista pasti terlalu sering dibawa keluar-masuk hotel oleh kelaki hidung belang. Tapi karena Hans menyukai tipe gadis seperti Rista, maka ia tidak pedulikan. lagi kesimpulan tersebut.
"Kalau aku ternyata nanti nginep di hotel itu bagaimana" Nggak bisa nganterin kau dong, Ris." "Yaaah... gimana ya?" Kali ini Rista seperti dalam kebimbangan. "Ikut nginep aja sekalian, mau nggak?" "Kalau... kalau Kak Hans nggak keberatan sih, saya mau-mau aja. Asalkan... asalkan...." "Asalkan apaan?" desak Hans sambil tertawa girang. "Nggak apa-apa deh," Risia tak jadi melanjutkan ucapannya. "Asalkan pulangnya dapat uang buat naik taksi, begitu?"
"Itu sih terserah... terserah Kakak aja," jawab Rista semakin tampak tersipu malu.
"Kalau soal itu sih gampang, Ris. Hmmm, sebaiknya kita nggak usah ke hotelnya temanku aja, ya" Kita cari hotel lain, ya?" "Boleh aja," jawab Rista tanpa beban sedikit pun. Mereka pun menemukan hotel berkelas menengah. Hans segera booking kamar di hotel tersebut. Rupanya Rista sudah sering dibawa pria hidung belang ke hotel itu, sehingga salah satu pelayan hotel menyapanya dengan lirih.
"Hallo, Ris... kok baru nongol sekarang nih?" "ya." Hanya itu jawaban Rista sambil menyembunyikan rasa malu. Tak enak hati terhadap Hans yang meliriknya dengan senyum penuh makna. Hans berlagak cuek, lalu membawanya masuk ke sebuah kamar yang letaknya paling sudut. Setelah mereka berada di dalam kamar yang sunyi dan dingin karena udara ber-AC itu, Rista justru melepas rompinya, melemparkan rompi itu di sofa kecil, juga meletakkan tasnya di meja rias. Ia langsung berdiri di depan cermin rias, merapikan rambutnya. Dan saat itu Hans mendekat dari belakang, kemudian
memeluknya sambil memberikan ciuman di telinga Rista.
"Kamu cantik sekali, Rista. Menggairahkan sekali bagiku." "Ah, Kak... jangan begitu, ah...!" Rista berlagak meronta, tapi dengan gerakan lemah, tak berarti apa-apa. Ketika Hans mencium pipinya, Rista justru mendesah. Wajahnya berpaling ke belakang dan akhirnya ciuman Hans menyentuh bibir mungil ranum itu. Rista pun membiarkan bibirnya dilumat Jehans, justru lidahnya bereaksi dengan ganas, sehingga bibir Jehans ganti dilumatnya penuh gairah.
Petugas hotel yang ada di lobby tiba-tiba terkejut oleh suara teriakan histeris yang panjang dan memecah kesunyian malain. "Aaaaaaaaaaaaa...!"
Mereka yang ada di lobby terlompat dari tempat duduknya dan saling berlarian menuju ke kamar ujung.
"Ada apa itu"!"
"Mana kutahu"!" seru petugas lainnya. Beberapa tamu hotel ikut keluar dari kamarnya masing-masing dan memandang ke arah kamar paling ujung. Wajah mereka diliputi ketegangan yang diikuti meremangnya bulu kuduk mereka.
MELALUI telepon antar ruangan yang ada di meja front office, Sandhi bicara dengan majikan cantiknya yang ada di ruang kerjanya. Untuk menggunakan telepon itu, Sandhi harus minta izin dulu kepada Tiara, sebab gadis bermata bundar yang punya wajah manis dan hidung bangir itu adalah petugas fron t office. Dialah yang berhak mengizinkan tamu-tamu un tuk bertemu para pegawai di kantor tersebut.
"Aku cuma mau kasih unjuk Kumala tentang berita di koran ini!" kata Sandhi.
"Pinjam teleponnya, ya" Sebentar aja kok."
"Nggak boleh!" Tiara berlaga ketus. Tapi sebenarnya gadis itu hanya sengaja menggoda Sandhi, dan sikap itu sangat diketahui oleh sopir pribadinya Kumala yang sudah dianggap seperti saudara sendiri itu
"Jangan pelit-pelit kamu, Ra Ntar nggak gue beliin nasi Padang luh," kata Sandhi sambil nekat mengangkat gagang telpon
"Ah, janjimu selalu gombal!" Tiara cemberut
"Tempo hari bilang mau mengantarku
jalan-jalan ke mall, tapi nyatanya... mana" Sampai malam nggak ada telepon darimu, lupa deh kalau udah ketemu cewek baru."
"Waktu itu aku harus dampingi Kumala ke rumahnya Pak Pramuda. Mana bisa aku antarkan kamu jalan-jalan ke mall. Ntar sore deh. Kamu ntar sore ada acara nggak, Ra?" seraya Sandhi menunggu telepon disambut Kumala.
"Nggak tahu, ada acara atau nggak. Memangnya kalau aku nggak ada acara kamu mau anterin aku jalan-jalan ke mal!?"
"Mau aja. Kebetulan entar sore aku juga mau cari T-shirt dan sandal kulit, ah. Buat jalan-jalan santai T-shirtku dihabisin sama si Buron. Baju kalau udah dipakai Buron, bau kambingnya nggak hilang-hilang, biarpun direndam pakai parfum seember."
"Idiiih, jahat kamu, San!" sambil Tiara tertawa geli memukul lergan Sandhi. Tapi canda itu tak bisa dilayani Sandhi karena di telepon Kumala sudah menyapa lebih dulu. "Hallo...."
"Lama amat nggak diangkat-angkat sih?" gerutu Sandhi.
"Gue lagi ke kamar mandi. Ada apaan?"
"Ada yang mau kubicarakan denganmu, Mala. Bisa menghadap nggak, Boss?"
"Sekalian bawain buku bacaan gue yang tadi kutaruh di mobil!" - "Yeeeeh.. pakai turun lagi ke bawah dong?"
"Udah buruan, jangan banyak ngeluh!" Sandhi terpaksa turun kembali ke lantai dasar. Masuk ke BMW kuningnya Kumala, mengambil buku yang dimaksud, lalu naik lagi ke lantai empat dan masuk ke ruang kerjanya Kumala Dewi yang menjabat sebagai konsultan di perusahaan besar tersebut. "Aku cuma mau kasih tahu kamu tentang berita di koran ini," Sandhi menyodorkan koran tersebut di meja depan Kurnala. Posisi koran sudah dilipat pada halaman kedua dan berita yang dimaksud tinggal dibaca oleh Kumala, tanpa menyentuh koran tersebut "PRIA TAMPAN TEWAS SECARA MISTERIUS Di MOTEL KN.
" - Berita tersebut menjelaskan tentang kasus kematian misterius di sebuah hotel di mana korbannya adalah seorang pria tampan bermana Paul. Korban ditemukan petugas dalam keadaan matang, seperti babi panggang, meringkuk kaku tanpa busana di atas ranjang Beberapa saksi mata mengatakan, telah melihat korban check-in bersama wanita cantik bernama Nolly, seorang pelayan toko .Wanita
cantik itu berhasil diamankan oleh pihak kepolisian. Tapi ia mengaku tidak tahu apa-apa tentang kematian Paul. Bahkan merasa sangat terkejut dan kebingungan menyadari dirinya berada di motel tersebut. - "Kasus ini sama dengan kematiannya Jehans, temanmu itu, kan?" kata Sandhi setelah Kumala selesai membaca berita di koran itu. Agaknya berita tersebut tidak begitu mengejutkan bagi Dewi Ular. Sama seperti saat ia mendengar kabar kematian Jehans, seminggu yang lalu, juga tidak terkejut sedikit pun. Kumala hanya menarik napas, merasa prihatin atas kematian yang dialami Jehans, sebab ia tahu jepit rambut pemberiannya itu pasti telah dibuang oleh Jehans, sehingga permuda itu tewas di kamar hotel dalam keadaan terpanggang matang, seperti babi panggang siap disantap. Tapi keadaan Jehans waktu itu masih mengenakan pakaian, dan kain baju serta celananya tidak ikut terbakar
"Sama halnya dengan gadis bernama Rista," tambah Sandhi.
"Ia juga merasa tidak tahu-menahu tentang kematian Jehans. Padahal dari usia yang disebutkan dalam koran ini, jelas berbeda sekali antara Rista dengan Nolly."
"Berbeda jauh dengan Rinni," sambung Kumala seperti orang menggumam. Sandhipun segera ingat tentang kasusnya Rinni, seorang waitress yang juga dicurigai sebagai pembunuh pria bernama Dannu di sebuah sisi pantai. Dannu ditemukan mati terpanggang dalam keadaan separuh berbusana, di dalam mobilnya. Kematian Dannu diketahui massa setelah Rinni menjerit-jerit ketakutan dan memberitahukan hal itu kepada keamanan pantai. . "Hampir tiga hari sekali terjadi pembunuhan misterius seperti ini. Apakah kau nggak tergerak untuk menanganinya, Mala?" "Sedang kupelajari penyebabnya." "Menurutku sih penyebab utamanya adalah kencan. Pria kencan dengan wanita yang baru dikenal, lalu mengalami nasib seperti itu. Coba perhatikan pengakuan para wanita yang dicurigai sebagai pelakunya. Mereka bertiga mengaku baru kenal korban, dan selalu mengaku tidak tahu-menahu tentang keadaan korban yang mati secara menyedihkan itu."
"Memang. Tapi aku yakin, pasti ada penyebab utamanya."
"Waktu kau menemui Rita, toh gadis itu nggak mau menjelaskan penyebab utamanya, kan?"
"Karena dia benar-benar jujur dan tak tahu Getaran gaibku telah mendeteksi kejujurannya, dan kusimpulkan bahwa apa yang dikatakan Rista memang jujur. Dia memang nggak tahu penyebab utamanya." Sebagai anak dewa tentunya Kumala Dewi bukan hanya bisa mendeteksi tingkat kejujuran seseorang, namun juga bisa mengetahui adanya gelombang getaran gaib pada diri seseorang. Ketika ia menemui Rista, ia tidak menemukan gelombang getaran gaib pada diri ABG tersebut. Gadis itu dalam keadaan polos, tanpa ada kekuatan gaib yang dapat membunuh Jehans sedemikian sadisnya. Itulah sebabnya Kumala sangsi untuk mempermasalahkan Ris ta sebagai pelaku pembunuhan misterius terhadap diri J ehans. Demikian pula halnya pada Rinni, Kumala pun tid ak menemukan getaran gaib pada diri waitress tersebu t. Ia juga memantau kejujuran pengakuan Rinni, dan su lit baginya untuk memperkuat dugaan bahwa Rinni me mang pelaku pembunuhan atas diri Dannu, seorang pen gusaha muda yang bergerak di bidang retail. Kini ia sec ara tak langsung dihadapkan pada kasus kematian yan g sama. Dalam dugaannya, wanita yang bernama Nolly itu pasti akan seperti Rista maupun Rinni.
"Saya benar-benar nggak tahu, Mbak," kata Nolly yang usianya sebenarnya tampak lebih
tua dari Kumala, namun ia merasa tidak lebih
terhormat sehingga memanggil Kumala dengan sebutan Mbak.
"Jadi apa yang kau lakukan saat itu di dalam kamar bersama Paul?" tanya Kumala dengan kalem.
"Saya... saya menciumnya. Ketika... ketika kami saling melumat mulut, tiba-tiba... tiba-tiba Paul meronta dari menjerit kelojotan. Saya takut, ikut menjerit dan lompat dari ranjang.
Lalu... lalu saya lihat tubuh Paul mengepulkan asap. Baunya seperti daging bakar, dan... dan
seterusnya saya nggak ingat lagi karena saya buru-buru lari keluar dari kamar sambil menjerit-jerit minta tolong siapa pun yang ada di sana!" Nolly menuturkan dengan tangis dan ekspresi wajahnya penuh ungkapan rasa takut. Kumala Dewi yang siang itu didampingi sopir pribadinya menemui Nolly di kantor polisi, terpaksa menarik napas panjang-panjang. Ia menemukan jalan buntu sebagai konsultan kriminal tak resmi dari pihak kepolisian, Kumala memang punya hak untuk menanyai beberapa orang yang terlibat dalam kasus kriminal apa pun. Kali ini kumala merasa tak memperoleh apa-apa dari si nolly, hingga ia tampak kebingungan.
"Dia memang kosong. Nggak ada apa apa.
Nggak punya ilmu gaib apa pun pada dirinya. Dan apa yang dikatakannya itu memang benar," ujar Kumala di depan polwan cantik yang dikenal dengan panggilan : Mbak Mer itu.
"Kalau benar dia nggak punya kekuatan gaib apa pun, lalu apa yang membuat korban tewas seperti terpanggang begitu" Kira-kira menurut dugaanmu apa, Kumala?"
"Jelas suatu kekuatan gaib, tapi entah dari mana datangnya. Tes air liur si terdakwa sudah dilakukan?" "Sudah. Tapi hasilnya normal-normal saja. Tidak mengandung zat pembakar apa pun."
"Inilah sulitnya...," gumam Kumala Dewi
sambil tertegun merenungi kemisteriusan yang sulit diungkapkan itu.
Bukan hanya Niko Madawi yang mendesak Kumala agar mengusut kematian Jehans secara tuntas, tapi ada pihak lain yang juga mengharapkan hal yang sama. Seorang pria berusia 32 tahun yang juga kenalannya Niko, malam itu datang ke rumah Dewi Ular dengan sisa kesedihan masih membayang diwajahnya yang berkumis tipis itu. Pria tersebut adalah
Hastomo, seorang ayah dengan dua anak yang
dulu pernah terlibat urusan gaib yang membuat Kumala jadi kenal Niko, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "ILUSI ALAM KUBUR"). "Mungkin gadis itu perlu kau desak dengan ancaman atau dengan cara apa pun, Kumala. Sebab aku yakin, gadis bernama Rista itu pasti mengetahui penyebab kematian adikku."
"dugaanku dulu juga begitu, Hastomo. Tapi ternyata dugaan itu meleset. Rista sama sekali nggak ngerti apa-apa. Percuma saja didesak atau diancam dengan model apa pun, jawabannya akan sama dengan yang sudah sudah." "Masa iya sih adikku mati tanpa penyebab gaib" Kalau toh bukan penyebab gaib, nggak mungkin kematian Jehans akan sedemikian mengerikannya, Kumala
" "Memang. Penyebabnya memang sesuatu yang bersifat gaib. Tapi melacak kekuatan gaibnya itu yang sulit, karena pada diri setiap tersangka nggak ada kekualan gaib apa pun yang bisa dipakai untuk membunuh korbannya." Hastomo menarik napas tampak sekali rasa kecewa dan sedihnya yang membaur menjadi satu. Sandhi yang waktu ilu ikut mememani Kumala dalam menerima kedatangan Hastomo juga sempat terheran heran. Baru
malam itu Sandhi tahu bahwa Jehans adalah adik kandung Hastomo, karena menurut Sandhi kedua wajah kakak-beradik itu hanya punya sedikit kemiripan. Wajar jika ia dan beberapa orang lainnya sama sekali tidak menyangka bahwa Jehans adalah adiknya Hastomo. "Kekuatan gaib pembunuh seperti itu bisa hadir oleh karena beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya kutukkan, adanya kiriman santet, dan...." - "Kami dari keluarga baik-baik, Kumala," potong Hastomo. "Bukan aku bermaksud sombong, kami sekeluarga bukan berasal dari keturunan biasa-biasa saja." "Maksudmu?"
"Leluhur kami punya garis vertikal dengan raja-raja Tanah Jawa. Bagaimanapun juga kami adalah masih keturunan ningrat dan terhormat. Rasa-rasanya nggak mungkin dalam diri adikku ada kekuatan gaib kutukan yang menjadi penyebab kematiannya. Kalau memang dia mempunyai darah kutukan, maka mestinya aku pun akan mati seperti dia, karena dalam diriku juga mengalir darah bangsawan yang tentunya ikut tercemar kutukan, kalau benar kematian tersebut disebabkan karena kutukan.
Dengan senyum kalem Kumala berkata,
"Kutukan tidak harus mengalir dalam darah satu keturunan, Has, Kutukan juga tidak harus mengalir dalam diri orang berdarah non-bangsawan dan bangsawan asli. Lagipula, apa yang kukatakan tadi hanya sebuah alternatif, bukan maksudku mengatakan bahwa kematian Jehans mutlak karena kutukan."
"Bisa juga karena faktor lain," sahut Sandhi. Ia berani menimpali dalam percakapan seperti itu karena Kumala Dewi tidak pernah membedakan hak bicara kepada orang-orang kepercayaannya, termasuk kepada Mak Bariah, pelayan setianya, atau termasuk kepada Buron, pemuda berambut kucai jelmaan dari Jin Layon yang menjadi asistennya untuk urusan gaib.
Kala itu Buron sedang ditugaskan untuk melacak ke mana perginya gaib pembantai yang telah menewaskan tiga lelaki tampan itu. Jelmaan dari Jin Layon itu selalu mengerjakan tugas-tugas seperti itu tanpa bisa dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga kadang-kadang kemunculannya pun terjadi secara tiba-tiba. Sebab hanya Buron-lah yang bisa menembus alam gaib dan dimensi mistik lainnya. Sandhi tidak punya kemampuan seperti itu, sebab ia dulunya bekas sopir taksi yang kemudian
mengabdi menjadi sopir pribadinya si Dewi Ular.
"Aku tahu kau menyimpan dendam kepada pembunuh adikmu, Has."
"Paling tidak rasa penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya pelakunya dan dengan kekuatan apa ia membunuh Jehans sampai sedemikian rupa sadisnya." "Kalau cuma sekedar ingin tahu, cepat atau lambat aku bisa membantumu," kata Kumala setelah termenung sesaat.
"Tapi aku nggak rela kalau kau ingin balas dendam pada pelakunya. Kita belum tabu siapa yang salah sebenamya." Hastomo pun manggut-manggut, m encoba menghibur hatinya sendiri, dari kekecewaan. A khirnya pria yang bekerja di biro iklan itu pun pamit pul ang. Namun sebelum Hastomo melangkah meninggalk an teras, tiba-tiba Kumala Dewi mencegahnya dengan sebuah teguran yang bersifat mendadak sekali. "Tunggu , Has...!" Hastomo menatap gadis cantik jelita berambut panjang yang diurai dengan sisiran belah samping. Seb agian rambutnya yang kiri dijepit rapi. Sebagian lagi dib iarkan meriap lepas. Kumala bukan bermaksud ingin m emamerkan kecantikannya yang memukau dan mengagumkan itu, tapi ia melihat sesuatu yang mencurigakan di wajah Hastomo. Bahkan kini Kumala melepas salah satu jepit rambutnya yang berwarna hitam, sederhana sekali. "Bawalah jepit rambutku ini," ia menyerahkannya kepada Hastomo.
"Kenapa" Maksudmu apa memberiku jepit rambut ini?" Hastomo bingung walau sudah memegang jepit rambut warna hitam seperti sepasang lidi itu. \ '. "Bawalah sebagai penolak bencana. Jangan lakukan seperti Jehans. Ia telah membuang jepit rambut pemberianku. Seandainya ia tidak membuang jepit rambutku itu, mungkin, peristiwa mengerikan tidak akan menimpanya." "Ta... tapi kenapa kau sekarang memberiku jepit rambut juga?" hastomo penasaran dan semakin ingin tahu. "Aku melihat ada tanda-tanda bahaya yang akan mendekatimu." Jawaban bernada tegas tanpa main-main sedikit pun itu membuat hastomo bergidik merinding. Sekujur bulu di tubuhnya meremang tegang. Agaknya Hastomo lebih percaya dengan kekuatan gaib yang dimiliki Dewi Ular itu ketimbang almarhum adiknya hingga jepit rambut tersebut diterimanya
dan diselipkan di - bajunya. Terjepit di sana, di samping sebatang pulpen Parker.
"Ke mana-mana bawalah terus jepit rambut itu, ya?" "Okey," jawab Hastomo sambil inenganggukkan kepala. "Terima kasih atas bantuanmu, Kumala." - Setelah Hastomo pulang, Sandhi bertanya kepada majikan cantiknya,
"Benarkah ada bahaya yang mengancam Hastomo?" "Aurora sekeliling tubuhnya mulai memerah."
"Ooo...," Sandhi manggut-manggut. "Apakah setiap aurora seseorang mulai memerah berarti dia dalam ancaman bahaya?" "Ya. Dan.... Jehans pun tempo hari juga demikian. Makanya dia kuberi jepit rambutku. Mudah-mudahan kali ini Hastomo tidak melakukan hal yang bodoh seperti yang dilakukan adiknya." - Hastomo memang tidak lebih bodoh dari adiknya. Jepit itu tetap tersemat di tepian saku bajunya. Maka malam yang menghembuskan udara dingin dan menyebarkan ancaman maut bagi nyawa setiap manusia itu dapat dilaluinya dengan aman, tanpa tanda-tanda kematian
yang terasa olehnya. Karena pada saat itu ia bertemu dengan relasi bisnisnya di sebuah cafe. Pria berusia lebih muda darinya itu bernama Kahar, manager marketing sebuah perusahaan yang memproduksi minuman suplemen. - Tujuan Hastomo singgah ke Luwis Cafe itu sebenarnya ingin menemui seorang relasi lain yang minggu depan akan menyerahkan proyek pembuatan spot iklan teve kepada Hastomo. Orang tersebut memang sering nongkrong di Luwis Cafe, dan tadi siang mereka sudah janjian untuk bertemu di cafe tersebut. Tapi setibanya di sana, ternyata handphone Hastomo berdering. Orang tersebut membatalkan pertemuannya karena suatu hal yang amat mendesak. Akhirnya, Hastomo justru bertemu dengan Kahar yang juga batal menemui seseorang di cafe itu. Sebelum itu, Hastomo sempat dikejutkan oleh kemunculan seorang wanita cantik berusia sebaya dengannya. Wanita itu dikenalnya bernama Lianni, teman sekampusnya dulu. Hal yang membuat Hastomo terkejut adalah pengakuan Lianni yang merasa gerah menjadi janda selama dua tahun. "Kawinnya aja aku nggak di tua, kenapa sekarang tahu -tahu kamu udah jadi janda sih,
Li"!" "Itulah kehidupan, Tom. Perkawinanku itu memang sangat singkat. Cuma satu tahun."
"Ya, ampun..."! Singkat amat"!" Lianni yang berambut panjang sepunggung itu hanya angkat bahu.
"Itu yang namanya nasib. Kalau kutahu suamiku sudah punya istri di Australia, mungkin aku akan menolak mentah-mentah niatnya untuk mengawiniku. Aku sama sekali nggak tahu kalau dia sudah punya istri dan dua anak di Sydney. Akhirnya, yaaah... lebih baik kulepaskan dia dengan resiko hidup menjanda dan tersiksa oleh hari-hari sepi." "Gila luh. Nekat bener. Memangnya kamu udah siap untuk menderita hari-hari sepi" Sakit lho sebagai perempuan harus menahan rasa kesepian saban harinya, kedinginan tiap malamnya dan...." - "Makanya aku banyak nongkrong di tempat-tempat seperti ini, siapa tahu ada lelaki yang mau mengisi kesepianku, misalnya... seperti dirimu," sambil Lianni menatap makal dengan mata sedikit sayu. Hastomo tertawa . kecil. Ia tak berani membalas tatapan itu.
"Sayang aku sendiri sudah beristri," kata Hastomo pelan.
"Toh istrimu di rumah" Apa salahnya kalau sekali tempo kita bernostalgia" Kamu masih ingat saat mencium aku di belakang kantin kampus kita?" Hastomo semakin kikuk. Tersipu malu sendiri mengenang kenakalannya semasa kuliah dulu. Tapi untunglah saat itu segera datang seorang lelaki berambut ikal yang dikenalnya sebagai marketing manager perusahaan minuman suplemen itu. Hastomo
segera mengenalkan Lianni kepada Kahar. Percakapan mereka semakin seru, penuh tawa dan canda yang semakin lama semakin berbau ranjang. Kahar mempunyai banyak joke berbau ranjang, dan agaknya Lianni sangat menyukainya. Semakin larut malah semakin akrab komunikasi antara Kahar dengan Lianni. Hastomo dapat menyimpulkan bahwa Kahar tertarik akan kecantikan Lianni yang mempunyai bibir sensual dan dada sekria itu. Bahkan ketika Lianni pergi ke toilet, Kahar terang-terangan berkata kepada Hastomo bahwa dia tergiur oleh keindahan bentuk dada lainni. "Bisa dibawa nggak dia itu, lom?" "Ngomong aja sendiri. Yaitu jelas dia memang udah janda."
"Hah..." Janda"! Ah, yang benar. Tom"!" Kahar tampak berseri-seri. Ekspresi wajahnya
menampakkan kegirangan dalam hatinya. "Dia sedang cari pasangan yang bisa mengisi hari-hari sepinya." "Bilangin deh, aku bersedia jadi pasangannya, gitu."
"Bilang aja sendiri. Memangnya aku germo, apa"!" Kahar tertawa lepas, terbahak-bahak. Namun tawa itu segera reda karena Lianni sudah kembali dari toilet. Hastomo memberi kesempatan kepada mereka berdua. Ia menghampiri seorang kenalan lainnya yang tampak asyik bergabung dengan rekan-rekan di meja lain. Rupanya peluang yang diberikan Hastomo itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kahar untuk melakukan pendekatan pribadi kepada Lianni. "Alangkah sayangnya kecantikan seperti yang kau miliki itu dibiarkan susut karena penderitaan batin. Kalau aku jadi dirimu, nggak mau disiksa oleh rasa sepi yang amat menderitakan batin sendiri. Aku akan berontak kalau sampai mengalami masa seperti itu."
"Memang iya. Buktinya aku sekarang kan sedang berontak dari siksaan seperti itu. Cuma... belum dapat pengisi kekosongan hatiku. Kalau saja...."
"Kalau saja aku yang mengisi kekosongan
hatimu, bagaimana?" sahut Kahar tanpa basabasi lebih panjang lagi. Lianni tersenyum malu, tapi pancaran wajahnya menampakkan debar debar kegembiraan dalam hatinya. Ketika Kahar mendesak jawaban dari pertanyaannya itu, Lianni justru ganti bertanya pelan. "Apa kamu mampu mengisi hatiku?" "Apa yang membuatmu sangsi pada kemampuanku?"
"Aku perempuan dahaga, dan selalu dahaga. Tak cukup segelas air dapat mengusir dahagaku. Aku butuh empat atau lima gelas air untuk mengusir dahagaku. Apakah kau sanggup memberikannya sebanyak yang kubutuhkan?"
"Bagaimana kalau kita buktikan saja. Percuma kalau hanya kujawab dengan kata 'sanggup', toh nantinya kamu butuh bukti." Tanpa pamit Hastomo, Kahar membereskan bill minuman mereka bertiga, kemudian membawa keluar Lianni dari cafe tersebut. Karena cafe itu berada di lantai dasar sebuah hotel berbintang, maka tanpa susah payah, Kahar dan Lianni dengan cepat menemukan tempat yang romantis dan dijadikan ajang pembuktian atas kesanggupan Kahar terhadap tantangan Lianni tadi.
"Ke mana kedua temanku tadi?" tanya
Hastomo kepada seorang pelayan cafe yang berdiri tak jauh dari pintu keluar. "Mereka ke atas, Pak." "Ke atas" Maksudmu..." "Biasa, check-in...," sambil pelayan itu tertawa.
"Tadi saya lihat mereka menuju ke lobby sih, bukan ke tempat parkir."
"Gila...," Hastomo geleng-geleng kepala sambil tertawa geli sendiri. Ia memang tidak perlu menunggu mereka selesai bercengkerama. Ia bebas mau pulang kapan saja. Tapi karena masih ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan teman lainnya, Hastomo terpaksa kembali ke meja para eksekutif muda itu. Hal itu ia lakukan setelah mendapat keterangan dari bagian kasir bahwa bill-nya sudah diberesi oleh Kahar. Kira-kira satu jam kemudian, Hastomo merasa sudah cukup berbincang-bincang dengan para eksekutif muda kenalannya itu. Arlojinya : sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam lewat 30 menit. Ia pun bergegas pulang, meninggalkan cafe itu dengan kepala sedikit berat karena kebanyakan minum whisky. Untungnya ia masih bisa mengendalikan konsentrasinya, sehingga masih tahu arah menuju mobilnya. Namun ketika ia melihat ke arah lobby,
ternyata di sana sedang terjadi sesuatu yang melibatkan orang banyak. Bahkan ada mobil patroli polisi yang diparkir di depan pintu masuk lobby. Hastomo sempat punya perasaan tak enak dan ingin tahu keadaan di lobby. Maka ia pun tak jadi menuju ke ruang parkir, melainkan justru masuk ke lobby lewat pintu samping. "Ada apa sih?" tanyanya kepada seorang roomboy yang berwajah tegang, pucat dan gernetaran.
"Ada pembunuhan, Tuan. Pembunuhan di lantai tiga."
"Hahh..."! Siapa yang...." Belum habis Hastomo berkata, ia sudah tercengang tanpa suara melihat Lianni keluar dari lift dikawal oleh dua orang petugas kepolisiari. Hastomo berlari menghampiri petugas kepolisian begitu terlepas dari rasa tercengangnya. "Pak, ada apa ini" Wanita ini kenalan saya dan...."
"Tomo, tolong aku...," Lianni menangis, ingin memeluk Hastomo namun tak bisa karena kedua tanganya diborgol ke belakang. "Apa yang terjadi, Li..."! Katakan apa yang
terjadi"!" Pihak kepolisian yang menjelaskan bahwa :Lianni perlu diamankan sehubungan dengan kematian seorang lelaki di dalam kamar mandi.. Lelaki itu tak lain adalah Kahar, yang menurut pengakuan Lianni nekat masuk ke kamar mandi sewaktu Lianni ingin buang air kecil. Lianni juga menjelaskan, Kahar punya gairah yang berkobar-kobar sehingga nekat masuk ke kamar mandi dan menciumi Lianni. Ciuman yang mencecar hangat itu membangkitkan gairah Lianni sehingga janda cantik itu membalasnya. Setelah itu, Lianni tak ingat apa-apa lagi. Ia , seperti terlelap dalam tidur sepintas. Ketika sadar, ia melihat Kahar sudah terkapar di lantai kamar mandi dengan tubuh matang seperti babi panggang disiram kecap. "Astagaaaaaa..."!" Hastomo terbengong bengong dengan detak jantung seperti berhenti total mendengar kabar tersebut. .
"Aku langsung lari keluar kamar dan berteriak-teriak sebisaku. Aku takut sekali, sampai akhirnya hampir jatuh terpelanting. Untung waktu itu ada seorang wanita yang sedang mengenakan handuk keluar dari kamarnya, ingin melihat teriakanku atau entah... mau apa dia, sehingga tubuhku berhasil tertangkap olehnya. Yang jelas semua penghuni kamar
di sebelah kamar kami keluar dan ikut menghambur masuk ke kamar mandi," tutur Lianni setelah
Hastomo ikut sampai ke kantor polisi. Hastomo pun segera menelepon Kumala Dewi dan mengharapkan kedatangan si anak dewa itu.
"Tolong bebaskan temanku itu, Kumala. Aku yakin dia benar-benar nggak punya salah apa-apa. Dia bukan dukun sihir dan bukan orang yang punya ilmu gaib. Tapi... tapi... oh, entahlah apa yang terjadi pada dirinya, sehingga Kahar bisa mati seperti almarhum adikku itu..." Dewi Ular tertegun sejenak setelah menerima telepon dari Hastomo. Sandhi yang segera mendapat penjelasan dari Kumala juga ikut terbengong dengan hati bertanya-tanya, "Dapatkah Kumala membebaskan Lianni dan menemukan sumber bencana yang sebenarnya?"
BUKAN jelmaan sesosok jin jika Buron tidak bisa melayang-layang di udara dalam wujud sinar kuning kecil. Salah satu kesaktian Jin Layon adalah mengubah sosok dirinya menjadi sinar kuning kecil yang mempunyai kecepatan terbang menyamai kecepatan bias cahaya. Keberadaan sinar kuning kecil itu sendiri sulit ditangkap penglihatan mata manusia biasa, apalagi gerakannya zig-zag tak beraturan arahnya. Seorang paranormal pun akan sulit mengikuti gerakan sinar kuning tersebut, kecuali yang berilmu tinggi.
Tugasnya memburu pembantai berdarah api ternyata masih belum berhasil. Pembantai berdarah api itu, demikian menurut istilah dari Kumala terhadap para pembunuh yang membuat korbannya seperti babi panggang, ternyata memang sulit dilacak dengan getaran gaib yang dimiliki Jin Layon. Menurutnya, pembunuh berdarah api itu mempunyai lapisan pelindung berupa getaran gelombang gaib yang tidak mudah dipantau dari jarak jauh.
Namun si pemuda berambut kucai yang
-.berubah menjadi sinar kuning kecil itu mengaku telah menangkap getaran gelombang arus panas yang bergolak hebat. Gelombang arus panas itu berasal dari sebuah bangunan berlantai tiga yang dikenal dengan nama supermarket. - "Tadinya kusangka di supermarket itu sedang diadakan demo masak-masak," tutur Buron saat menghadap Kumala Dewi yang didampingi oleh Sandhi di ruang tengah.
"... tapi setelah kudekati dan kucermati, ternyata gelombang arus panas itu bukan berasal dari demo masak-masak, melainkan dari sekumpulan energi gaib yang dihimpun di lantai dasar supermarket itu."
"Energi gaib di lantai dasar supermarket"!" Sandhi berkerut kening, merasa aneh mendengar penjelasan tersebut. "Nggak semua orang tahu jalan masuk ke lantai dasar itu. Sebab lantai dasar tersebut sebenarnya adalah ruangan besar atau semacam hall bawah tanah. Nggak ada lift menuju ke sana. Jalan masuknya lewat sebuah tangga darurat yang disamarkan seperti pintu gudang, khusus karyawan."
"oooo...," Sandhi manggut manggut, sementara Kumala Dewi diam menyimak seluruh laporan asistennya yang membidangi urusan
gaib itu. - "Aku berhasil masuk ke sana. Tentu saja menggunakan aji lenyap pandang. Tapi ternyata ada seseorang yang bisa melihat kehadiranku, dan ia menyerangku. Aku buru-buru lari, karena belum dapat izin untuk menghancurkan tempat itu darimu, Kumala."
"Ada apa sebenarnya di sana?" desak Sandhi.
"Sekelompok anggota sekte aliran sesat. Mereka mengadakan upacara religi, entah berapa hari sekali. Yang jelas, mereka menyembah Mammon." "Apa itu Mammon?" Kumala langsung menyahut
"Dewa kekayaan dunia."
"Benar. Dan sepintas kulihat anggotanya justru dari golongan para eksekutif muda. Imam mereka atau pendita mereka adalah tokoh tua berkepala gundul dan berjenggot panjang wama merah."
"Gandha Songka," sahut Dewi Ular lagi
"Orang itu bertubuh gemuk, perutnya membuncit, mengenakan jubah merah berhias benang hitam-hitam dengan alis lebat panjang, hampir menutupi kedua matanya?"
"Ya. Dia itulah yang bernama Gandha Songka." "Siapa itu Gandha Songka" Aku baru mendengarnya sekarang," kata Buron dengan dahi berkerut tajarn. "Gandha Songka adalah abdi setianya Mammon. Tugasnya mencari pengikut sebanyak-banyaknya, sekaligus mempersembahkan korban setiap bulan purnama untuk Sang Mammon. Dia termasuk manusia setengah iblis. Hati-hatilah jika kau bertemu dengannya. Dia punya ilmu dan kesaktian cukup tinggi, karena usianya sudah ribuan tahun, dan ribuan tahun juga dia mendapat titisan ilmu dari Mammon." "Pantas dia hampir berhasil mengejarku melalui lorong tembus demensi gaib," gumam Buron sambil bersungut-sungut. "Apakah di sana ada tanda-tanda yang mencurigakan berhubungan dengan pembantai berdarah api itu?" tanya Kumala setelah diam'sesaat. Buron menerawang sambil menjawab pertanyaan itu.
"Sepertinya nggak ada tuh. Sepertinya roh para korban nggak ada di sana, dan roh perempuan yang dicurigai sebagai pembunuhnya juga nggak ada. Sepertinya tempat itu nggak ada kaitannya dengan kematian misterius yang
dialami Jehans serta yang lainnya. sepertinya "Sepertinya, sepertinya...!" potong Dewi Ular sambil mencibir lucu.
"Kenapa kamu nggak bisa melacak kekuatan iblis yang sekarang sedang berkeliaran di kota ini sih, Ron" Payah juga kau ini!" Buron diam tertunduk. Meski sebagai jin, Buron tidak akan berani terlalu ngotot dengan kecaman gadis cantik jelita itu, sebab dia dulu pernah ditaklukkan oleh si bidadari cantik tersebut, (Baca serial Dewi Ular dalam episode. "MISTERI PERUSAK MAHKOTA"). Oleh karenanya, Buron hanya cengar-cengir saja Ia siap dikritik setiap gagal menjalankan tugasnya. Kecaman si gadis paranormal itu berhenti setelah ada telepon untuknya. Kali ini yang meneleponnya adalah Pramuda, si perjaka tua yang pertama kali menemukan Dewi Ular ketika anak bidadari itu turun ke bumi, (Paca serial Dewi Ular dalam episode.
"ROH PEMBURU CINTA"). Pramuda adalah saudara angkat nya yang memiliki perusahaan di mana Kumala sebagai konsultannya. "Tolong datang ke King's Pub sekarang juga. Aku ada di sini!" "Sudah pukul sebelas kurang tuh."
"Apakah mengganggu ketenangan masa istirahatmu?"
"Memang nggak sih. Tapi...."
"Temanku tewas di sini, baru sepuluh menit yang lalu." "Ooh..."!" Kumala sedikit terperanjat. "Bagaimana keadaan mayatnya dan siapa pembunuhnya?"
"Pembunuhnya... entahlah. Yang jelas, mayatnya dalam keadaan seperti habis terbakar setela h ia berciuman dengan seorang gadis bawahannya yan g bernama Herlis. Gadis itu masih ada di sini. Mungkin k au bisa memeriksanya sebelum ia jatuh ke tangan polis i."
"Cegah polisi agar jangan membawanya ke mana-mana! Aku akan segera datang!" Selesai bicara dengan Pramuda, Kumala serukan perintah kepada Sandhi dan Buron. "San, susul aku di King's Pub secepatnya pakai mobil. Buron, ikut aku ke sana. Gunakan jalur gaib!" Bluuubbs...! Dewi Ular berubah menjadi sinar hijau berbentuk seekor naga kecil yang melesat menembus dinding, menembus kaca dan menembus apa saja. Sementara itu, Buron tanpa komentar sedikit pun segera berubah menjadi sinar kuning yang melesai sama cepatnya dengan sinar hijau berbentuk seekor naga
-kecil itu. Tinggal Sandhi yang kebingungan berlari ke garasi mengeluarkan BMW kuning menyala dan meluncur ke King's Pub Tentu saja kecepatan mobil itu tak akan bisa menyamai kecepatan kedua sinar gaib tersebut. Ketika Sandhi tiba di King's Pub, majikan cantiknya dan Buron sudah berhadapan dengan seorang gadis berambut pendek dan bermata bundar bening yang sedang menangis dicekam ketakutan. Kebetulan yang menangani kasus misterius di pub tersebut adalah Sersan Burhan. Sersan tampan yang masih single itu bukan orang asing lagi bagi Kumala Dewi, karena mereka sering bekerja sama dalam menangani beberapa kasus yang bersifat mistik. Sersan Burhan tak keberatan jika gadis yang bernama Herlis itu dibawa ke ruang manager untuk diperiksa secara gaib oleh Kumala. Kematian teman Pramuda y ang bernama Wiyaksa alias Yaksa itu agak berbeda de ngan kematian Jehans atau yang lainnya. Yaksa tewas secara mengerikan di depan banyak orang. Bahkan Pra muda sendiri yang malam itu sedang menjamu rekana n bisnisnya, melihat jelas bagaimana Yaksa menggelep ar di lantai setelah menumbangkan sebuah meja dan g elas-gelas minuman di atasnya.
Menurut teman dekat Yaksa yang datang bersama-sama, mereka semula dari sebuah pertemuan di hotel. Mereka menghadiri sebuah seminar yang selesai pukul delapan malam tadi. Dari sana, Yaksa bersama Eddy, temannya, bermaksud melepaskan lelah ke sebuah pub. Tapi sebelumnya dari hotel itu mereka berkenalan dengan Herlis dan Uci. Dua wanita cantik yang sexy itu dibawa mereka ke pub tersebut Rencananya mereka akan menikmati masa refreshing di kamar sebuah cottage yang sebelumnya sudah mereka booking. Eddy berpasangan dengan Uci dan Yaksa dengan Herlis.
Namun agaknya obrolan mesra mereka di pub tersebut telah memancing gairah Yaksa semakin membara. Posisi mereka yang berada di meja sudut dan agak gelap membuat Yaksa tak malu-malu menciumi Herlis berkali-kali. Bahkan tangan Yaksa pun bergerilya menelusup ke pangkuan herlis tanpa dihalangi oleh apa pun, karena Herlis sendiri agaknya menyukai kenakalan tangau pria muda yang berpenampilan perlente itu.
Ketika mereka saling melumat bibir dengan tangan sibuk dalam kenakalan masing-masing, tiba-tiba Yaksa tersentak ke belakang sambil mendorong tubuh Herlis. Yaksa menjerit kuat
kuat, sementara Heriis memekik karena terlempar jatuh menabrak seorang waitress yang sedang lewat membawa minuman. Herlis dan waitress yang bernama Fenna itu sama-sama jatuh saling tindih bersama minuman yang mengguyur tubuh mereka. Namun Herlis sempat tak sadarkan diri selama sekitar dua menit kurang. Perhatian para tamu pub bukan tertuju pada Herlis dan Fenna, melainkan ke arah Yaksa. Tubuh pria muda itu mengeluarkan asap berbau daging bakar. Beberapa pelayan lelaki mengguyurkan air es ke tubuh Yaksa yang kelojotan di lantai, namun justru asap yang keluar dari tubuh Yaksa semakin banyak, Jeritan Yaksa pun kian melengking tinggi, memilukan hati. Sampai akhirnya suara jeritan tersebut terhenti dan asap pun hilang. Tahu-tahu keadaan Yaksa sudah kaku dengan kulit tubuh seperti babi panggang, rambut kepalanya habis. Tapi anehnya pakaian yang dikenakan Yaksa sama sekali tidak ikut terbakar. Sedikit pun tak ada yang hangus. Yaksa pun tewas dalam keadaan mengerikan. Semua tamu pub menjadi panik dan berhamburan keluar sambil melontarkan jeritan ketegangan. Pramuda sendiri terkesiap, seperti terpaku kakinya di tempatnya berdiri,
berjarak 5 meter dari tempat mayat Yaksa meringkuk kaku dan kecoklat-coklatan. Herlis mengakui seluruh perbuatannya, dalam arti, bahwa ia memang berciuman dan saling raba dengan Yaksa. Namun menurutnya hanya itu yang ia lakukan, tanpa menggunakan zat kimia apa pun yang dapat menimbulkan panas api membakar tubuh Yaksa. Ia justru merasa heran serta sempat marah ketika tubuhnya didorong Yaksa seperti dibuang begitu saja. Kasar sekali tindakan itu, menurutnya. Tapi karena ia langsung pingsan sesaat, maka rasa sakit hatinya terlupakan. Semakin hilang rasa tersinggungnya itu setelah melihat Yaksa telah menjadi mayat. Gadis yang berprofesi sebagai wanita malam high class itu menangis terisak-isak, nyaris tak bisa memberikan keterangan apa pun. Ia terlihat sebagai orang yang sangat shock mengalami peristiwa seperti itu. Ia sangat ketakutan sekali. Sampai akhirnya guncangan jiwanya itu menjadi pulih netral seperti sediakala setelah kedatangan Dewi Ular. Tengkuknya dipegang oleh Kumala, selain mengalirkan hawa sejuk penenang jiwa, juga mendeteksi kekuatan gaib yang ada pada diri Herlis. Tapi anehnya, Kumala merasa tidak ada kekuatan gaib apa pun pada diri gadis berdada montok itu.
-"Saya takut sekali Sangat takut. Padahal beberapa hari yang lalu saya melihat kematian seperti itu. Saya sudah merasa ngeri. Tapi kenapa sekarang justru saya berhadapan langsung dengan korban kematian seperti itu?"
"Kapan kau melihat kematian seperti itu?" tanya Kumala.
"Beberapa hari yang lalu, waktu korban yang bernama Kahar itu tewas dan perempuan yang bersamanya hampir jatuh terpelanting, untung berhasil kutangkap tubuhnya. Saat itu aku sudah berjanji nggak mau melihat lagi mayat seperti itu. Aku nggak bisa tidur selama dua hari dua malam. Tapi, ooh... kemapa sekarang hal itu kualami sendiri"!"
"Aneh...," gumam Kumala pelan. Ia berkata kepada Sersan Burhan.
"Nggak ada getaran gaib apa pun pada dirinya. Mustahil dialah penyebab kematian misterius itu." "Tapi beberapa orang melihatnya saat ia ciuman dengan korban," timpal Pramuda yang merasa sangat prihatin temannya mengalam nasib sebegitu menyedihkannya
"Mungkin ada pihak lain yang nggak suka melihat dia ciuman dengan korban dan ini lepaskan kekuatan gaibnya untuk membakar korban.".
Kumala Dewi segera memberi perintah kepada Buron,
"Cari di sekitar para tamu yang memiliki gaib itu!" - Buron tidak langsung menghilang secara gaib, seperti biasanya. Ia pergi keluar dari ruang manager pub. Ia tidak mau pamer ilmu di depan orang banyak, takut kena damprat Kumala. Maka satu persatu tamu pub yang belum diizinkan pulang oleh pihak kepolisian diperiksa dengan kekuatan matanya. Ternyata hasilnya.nihil.
"Dia sudah kabur lebih dulu," kata Buron memberi laporan kepada Kumala Dewi.
"Belum ada seorang pun tamu yang meninggalkan cafe ini," sahut Sersan Burhan. - Buron berkata,
"Memang belum seorang pun tamu yang meninggalkan pub ini," sambil ia meralat
"Tapi kekuatan gaib dapat pergi kapan saja dan tidak bisa dicegah, Sersan." Dewi Ular hanya menghembuskan napas panjang. Kesal hatinya. :
Dewi Ular 50. Ciuman Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Herlis, apakah kau melihat sesuatu sebelum berciuman dengan Yaksa?" tanya Pramuda. Gadis itu menggeleng. Tapi sorot matanya menandakan ia tak mengerti betul apa maksud Pramuda.
"Misalnya seberkas sinar aneh yang menyerang Yaksa atau benda aneh yang mengenai tubuh Yaksa?" "Suasananya gelap. Saya nggak bisa lihat apa-apa kecuali melihat wajah Yaksa."
"Apakah ada perubahan pada wajah YakSa?" - Heriis menggeleng lagi.
"Saya memejamkan mata waktu bibir saya dikecup oleh Yaksa. Saya menikmati dan...."
"Ya, sudah," potong Kumala. Merasa riskan mendengar keterangan sedetil itu, Karena Yaksa termasuk teman lamanya Pramuda, maka Kumala Dewi ikut hadir dalam upacara pemakamannya pada esok siangnya. Kumala hadir bukan saja bersama Pramuda, tapi juga bersama Niko Madawi dan Sandhi. Mereka mengikuti upacara pemakaman itu sampai selesai. Bahkan ketika para pelayat mulai pergi meninggalkan makam baru, Kumala masih berdiri dalam jarak tujuh meter memandangi makam itu. "Kita ke mobil, Dewi," bisik Niko Madawi sambil merenteng kamera handycam-nya. Kamera itu tak pernah lepas darinya, karena sewaktu-waktu melihat kejadian aneh yang dapat dipakai untuk materi acara 'Lorong Gaib"-nya di televisi, ia dapat merekamnya dengan cepat, Tadi pun ia merekam pemakaman jenazah Wijayaksa sebentar, sqperti yang dilakukan sewaktu menghadiri pemakaman Kahar dan Jehans. Tujuannya hanya sekedar sebagai pelengkap mater berita gaib dalam penayangan acara 'Lorong Gaib"-nya minggu depan. Namun agaknya rekaman itu punya makna sendiri bagi Kumala Dewi. Bisikan Niko tadi menyadarkan Kumala dari pandangan matanya yang tertuju pada makam baru tersebut. Gadis itu pun melangkah diiringi Niko dan Sandhi, sementara Pramuda sudah berjalan lebih dulu bersama seorang investor yang kenal dekat dengan almarhum Wijayaksa. "Aku menemukan sesuatu yang ganjil," katanya pelan, entah ditujukan pada siapa. Tapi Niko segera menyahut dengan pelan juga.
"Keganjilan apa maksudmu?" "Nama korban." "Ada apa dengan nama korban?" tanya Sandhi setelah mereka sama-sama berada dalam satu mobil. Dari jok belakang, bersebelahan dengan Niko. Kumala memperdengarkan suaranya yang terasa datar dan tawar.
"Nama lengkap korban selalu diawali dengan gelar kebangsawanan. Raden, Raden Mas, Andy dan Sutan...."
"Sutan Bahandi Rahmat," sebut Niko ber
nada mengenang seseorang "Rahmat adalah korban kesekian setelah Paulus...," sahut Kumala. Sandhi menggumam pula,
"Raden Paulus Handaka, alias Paul Himm... benar juga, kayaknya semua korban punya gelar bangsawan sesuai daerah asal masing-masing, ya" Seperti tadi.... RM Wijayaksa Pambudi. Aku yakin singkatan RM di depan nama Yaksa bukan berarti Rumah Makan, pasti kependekan dari Raden Mas." "Begitu pula huruf F di depan nama Jehans," tambah Kumala.
"Jangan-jangan apa yang kau katakan kepada Hastomo itu benar. Ingat nggak waktu Hastomo menyinggung-nyinggung tentang darah kebangsawanannya?"
"Ya, tapi aku belum tahu apakah benar ada unsur kutukan dalam darah biru mereka itu."
"Tapi kenapa Hastomo nggak jadi korban" Kenapa malam itu justru Kahar yang jadi korban?"
"Hastomo dan Kahar sama-sama darah bangsawan, tapi Hastomo membawa jepit rambutku. Seandainya ia tidak membawa jepit rambutku, mungkin dialah yang jadi korban saat kencan dengan Lianni.?"Hanya dengan jepit rambut saja cewekku ini bisa menolak datangnya malapetaka. Hebat sekali dia. Nggak ada ruginya kalau hubunganku ini dilanjutkan kejenjang perkawinan, sebab punya istri macam dia rasa-rasanya punya polis asuransi jaminan hidup kekal. Wah, ngaco banget otakku jadinya. Hii, hii, hii...." Niko tertawa sendiri dalam hatinya.
Kisah Para Penggetar Langit 8 Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal Sembilan Bintang Biru 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama