Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton Bagian 1
Bab 1 Hari Pertama Liburan "SELAMAT pagi, Ibu. Selamat pagi, Ayah!" Roger setengah berlari melintas di belakang ayah dan ibunya. Sekilas tangannya terulur, iseng mengacaukan rambut sang ayah, dan sekilas ia menunduk, mencium rambut ibunya.
"Jangan lakukan itu lagi, Roger." Ayahnya agak kesal merapikan kembali rambutnya.
"Mengapa kau terlambat datang ke meja makan" Dan mana Diana?""Mana aku tahu," sahut Roger riang, mengisi piringnya penuh-penuh dengan bubur.
"Masih tidur mungkin."
"Biarlah," kata ibunya."Inikan hari kedua liburan mereka. Roger, apakah kau mampu menghabiskan bubur sebanyak itu" Ditambah susis lagi!"
"Jangan kuatir!" sambut Roger, dengan riang duduk menghadapi piringnya yang penuh.
"Ada bawang goreng?"
"Tidak, Roger. Kau kan tahu, kita tak pernah makan bawang goreng waktu sarapan."
"Mengapa tidak?" tanya Roger. la mulai makan dan menjulurkan kepalanya untuk bisa membaca bagian belakang koran yang sedang dibaca ayahnya.
"Roger! Untuk apa kau menjulurkan kepalamu seperti itu" Lehermu sakit?"
"Tidak. Aku hanya sedang membaca berita tentang anjing yang ..."
"Tak baik membaca surat kabar yang sedang dibaca orang lain," tukas ayahnya.
"Apakah kau tidak diberi pelajaran sopan santun di sekolah?"
"Tidak. Agaknya guru-guru mengira para murid belajar sopan santun dari orangtua mereka,"jawab Roger menggoda. - Pak Lynton memandang tajam pada Roger.
"Kalau begitu, biar selama liburan ini aku sendiri yang akan mengajarimu sopan santun," katanya. Percakapan itu putus oleh munculnya Diana, yang bergegas masuk dengan wajah berseri-seri.
"Halo, Ibu! Selamat pagi, Ayah! Cerah benar hari
ini, dan bunga-bunga mekar semua! Aku betul betul paling suka liburan Paskah!"
"Ambillah buburmu, Sayang," kata ibunya.
"Roger, kau belum menghabiskan krimnya, bukan?"
"Tidak, masih ada sedikit," kata Roger.
"Lagi pula,tak apakan, Diana minum susu biasa saja, dia toh sudah kegemukan."
"Siapa bilang!" tukas Diana.
"Aku tidak kegemukan kan, Bu?" katanya lagi dengan gusar. Ayahnya mendecakkan lidah kesal.
"Duduklah, Diana. Makanlah buburmu. Kalau memang tidak bisa datang tepat pada waktunya, ya bolehlah, tetapi jangan begini ribut! Sarapan jam delapan pagi, ingat! Dan ini sudah setengah sembilan!" Pak Lynton melipat kembali korannya, menaruhnya di samping tempat isterinya. Kemudian ia meninggalkan ruang makan.
"Kenapa sih Ayah pagi ini?" tanya Diana, membetulkan salah satu kaus kakinya.
"Sialan kaus kaki ini. Turuuuun terus. Mengapa Ayah begitu cemberut, Bu?"
"Jangan berkata seperti itu, Diana," kata Nyonya Lynton.
"Ayahmu hanya sedikit gusar karena kalian terlambat. la ingin kalian selalu tepat waktu. Lagi pula ia baru saja mendapat kabar bahwa Paman Robert akan berkunjung kemari. Kalian tahu, Paman Robert selalu membuat Ayah kesal."
"Astaga...betulkah Kakek Robert akan datang?" tanya Roger.
"Untuk apa" Di mana ia akan tidur"
Snubby besok akan datang, dan ia akan tidur di kamar tidur tamu. Lalu Kakek Robert di mana?"
"Tidak... Snubby terpaksa tidur di kamarmu. Di sana akan kita tambah satu tempat tidur lagi," kata Ibu.
"Maaf, Roger, tetapi kau tentu tahu, Paman Robert harus tidur di
kamar tidur tamu." "Ampuuun! Snubby tidur denganku" la nakal sekali. Pasti aku selalu jadi sasaran berbagai muslihatnya!" keluh Roger.
"Lebih baik tidur dengan si Sinting saja daripada tidur dengan Snubby!"
"Aku tak mau kau tidur dengan si Sinting di kamar tidurmu," kata Nyonya Lynton tegas.
"Memang ia anjing spaniel yang baik, walaupun sedikit sinting ... tetapi pokoknya aku tak suka anjing tidur di kamar tidur."
"Ibu! Selalu itu saja yang Ibu katakan setiap kali Snubby dan Sinting datang kemari," kata Diana.
"Padahal Ibu pasti tahu, kalau saja Ibu tempatkan Sinting dikandang anjing, Snubby akan menyusulnya tidur di sana."
"Ya, aku tahu," keluh nyonya Lynton.
"Aku tak tahu mana yang lebih buruk, Snubby atau Sinting!" Snubby adalah saudara sepupu Roger dan Diana. Ia memiliki seekor anjing spaniel hitam bernama Sinting. Snubby yatim piatu, dan bila liburan, ia terpaksa berlibur di rumah salah satu keluarganya. Nyonya Lynton sayang dan kasihan pada anak itu, karenanya Snubby lebih sering menghabiskan masa liburannya di rumahnya daripada di rumah-rumah keluarga yang lain.
"Ia akan datang besok, kan?"tanya Diana.
"Aku akan memesan tulang besar ke tukang daging, untuk Sinting. Si Sinting itu... liburan yang lalu ia tergila-gila pada sikat. Berbagai macam sikat disikatnya, dan disembunyikannya. Di antaranya di sebuah liang kelinci. Waktu kami temukan tempat persembunyian itu, banyak sekali sikat di sana." Nyonya Lynton segera mencatat dalam ingatannya untuk memperingkatkan semua pembantu rumah tangganya agar menyimpan sikat-sikat di luar jangkauan Sinting. Ampun! Dengan adanya Snubby, Sinting, dan Paman Robert, pasti ribut sekali minggu-minggu mendatang ini.
"Entah apa kata Snubby nanti pada Kakek Robert." Diana terkikik dan mengambil sebuah susis.
"Oh, aku tak bisa membayangkan keduanya bersama-sama. Kakek Robert begitu angkuh dan banyak peraturan, sedang Snubby begitu urakan ...."
"Kalian harus menjaga, jangan sampai Snubby dan Sinting terlalu sering berada bersama dengan Kakek kalian." Nyonya Lynton berdiri.
"Maaf, aku tak bisa menunggui kalian lebih lama. Ya ampun, setelah bubur itu kalian masih sanggup menghabiskan roti panggang dan roti" Ini sarapan atau makan siang" Kemana saja makanan semua tadi kalian simpan?"
"Wuah, ini belum seberapa, Bu." Roger menyeringai. Nyonya Lynton tersenyum, dan keluar dari ruangan itu. Menyenangkan juga anak-anak berada di rumah kembali, tetapi cukup payah untuk mengikuti napsu makan mereka serta kegemaran mereka untuk bertengkar. Beberapa saat hening di ruang itu sepeninggal Nyonya Lynton. Diana dan Roger sibuk mengunyah sambil melihat-lihat ke luar jendela. Di pinggir halaman bunga-bunga aneka warna tampak ceria, udara harum oleh semerbak bunga-bunga di taman. Sinar matahari menyirami taman, dan kedua anak tersebut sedang merasa begitu senang serta bersemangat. Hari-hari panjang membentang dihadapan mereka...tanpa pelajaran, tanpa berbagai peraturan yang mengikat. Hari demi hari penuh kehangatan sinar matahari dan makanan berlimpah, eskrim, bahkan si Sinting untuk diajak bermain-main dan berjalan-jalan.
"Sedaaap," gumam Diana, terbangun dari lamunannya. Roger tahu benar apa yang dipikirkannya, dan ia setuju.
"Ya, asyik!" katanya.
"Entah si Sinting nanti bisa akur tidak dengan si Sarden." Sarden adalah kucing hitam mereka; seekor kucing hitam besar, dan sangat suka
ikan sarden - karena itulah ia diberi nama Sarden. Si Sarden inilah yang menjadi sumber keheranan pemilik toko tempat Nyonya Lynton berbelanja. Nyonya Lynton selalu membeli sarden dalam jumlah yang sangat besar, dan si pemilik toko tak habis mengerti mengapa sebuah keluarga bisa menghabiskan sarden sebanyak itu. Ia tak tahu bahwa Sarden si kucinglah yang menghabiskannya.
"Dengan makanan yang selalu berkecukupan itu, maka si Sarden selalu tampak gagah, hitam mengkilap, dan tangkas.
"Aku yakin si Sinting akan membuat Sarden ketakutan," kata Roger, membersihkan sisa-sisa selai yang masih ada.
"Ya, rasanya Sarden takkan bisa menang," kata Diana.
"Jangan habiskan selai itu, Roger. Rakus benar sih kau ini."
"Alangkah baiknya kalau Kakek Robert tidak datang," kata Roger, mengulurkan tempat selai.
"Untuk apa sih dia datang" Padahal ia tak suka pada anak-anak, dan biasanya bila pun datang juga bukan pada masa liburan."
"Diana! Ya ampun, kalian berdua belum juga selesai?" tiba-tiba Nyonya Lynton berseru dari tingkat atas.
"Ayolah! Kalian harus membantuku menyiapkan tempat tidur Snubby. Aku menempatkan dipan yang ada dikamar bermain di kamarmu, Roger. Ayolah, bantu aku!"
"Yaaa, kerja lagi, kerja lagi, kapan kita bisa beristirahat!"Roger menyeringai pada Diana.
"Ayo, kita bantu Ibu!" Mereka berdua berlari ke atas, hampir saja menginjak Sarden. Kucing besar itu meloncat terkejut, marah, memandang mengancam.
"Sarden! Kau masih punya kebiasaan tidur di tangga?" seru Roger.
"Hati-hati besok! Bisa-bisa Sinting akan menerkammu!"
"Sinting akan menerkammu! Sinting akan
menerkammu! Sinting akan menerkammu!" goda Diana, sambil melompat-lompat menuju kamar Roger untuk membantu ibunya. Sarden telah menduluinya masuk ke kamar itu. Kini ia duduk di bingkai jendela, ekornya yang panjang bergoyanggoyang.
"Kalian apakan Sarden sehingga ia begitu marah?" tanya Nyonya Lynton.
"Kok kami ... dia yang cari gara-gara, tidur di tangga hingga kami hampirjatuh karena menghindarinya," kata Diana bersikeras.
"Kucing gering penipu tak tahu malu!" kata Roger dengan suara menggeram dari dalam leher.
"Oh, Roger, jangan tiru kebiasaan Snubby berbicara seperti itu," kata ibunya.
"Diana, bereskan tempat tidur Roger, sementara ia dan aku membawa masuk dipannya."
Hari itu mereka sangat sibuk. Mempersiapkan kamar-kamar bagi Kakek Robert dan Snubby - betapa bertentangannya pribadi kedua orang itu! Kakek Robert sudah tua sekali, sopan, agak angkuh, segalanya selalu mengikuti aturan. Sedangkan Snubby selalu nakal, urakan, dan tak pernah dapat diduga apa yang akan dilakukannya. Cemas juga Nyonya Lynton memikirkan apa yang terjadi bila mereka berdua berkumpul di satu rumah.
Si Sinting saja pasti akan membuat Kakek Robert gusar tak keruan. Tetapi si Sinting seekor anjing yang begitu manis, dan seperti orang-orang lain, Nyonya Lynton juga jatuh hati padanya. Lucu, berambut tebal hitam mengkilap, dan mata cerdik
cemerlang. Mungkin hanya satu yang membenci kehadiran si Sinting: Sarden. Akhirnya kedua kamar itu siap. Kamar tamu tampak bersih, cerah, dan rapi. Diana menaruh satu vas bunga di meja hias, berisi bunga-bunga kuning cemerlang yang serasi dengan warna kuning handuk yang tergantung ditempat cuci muka. Kamar Roger tampak berbeda karena tempat tidur tambahannya. Kamar itu memang tak begitu besar,
dan kini tampak sempit sekali. Apalagi ditambah dengan sebuah kursi lagi, di samping selembar permadani tua yang diletakkan di sudut untuk tempat tidur si Sinting.
"Oh, Ibu, untuk apa itu?" kata Roger.
"Ibu tahu di mana si Sinting selalu tidur. Diujung kaki Snubby!" Ibunya menghela napas panjang. Tampaknya liburan kali ini akan cukup membuat pusing. Dan ternyata memang demikianlah nanti.
Bab 2 Snubby Riang Gembira SNUBBY merasa sangat senang pergi ke rumah saudara sepupunya untuk menghabiskan masa liburan. la suka pada Nyonya Lynton, dan juga Pak Lynton-kecuali kalau Pak Lynton sedang marah. Dan pasti sangat menyenangkan bisa bertemu lagi dengan Diana dan Roger.
Barang-barangnya sudah dikirim lebih dulu. la kini hanya membawa sebuah tas kecil dan si Sinting. Kini ia sedang menunggu kedatangan kereta api yang akan membawanya - seorang anak berhidung gemuk pendek (karena itulah ia dijuluki Snubby, yang artinya 'si hidung gemuk pendek"), berambut merah, dengan bercak-bercak merah diwajahnya, dan berumur dua belas tahun. Iseng-iseng ia bersiul tanpa lagu, dan si Sinting menegakkan daun telinganya, seperti biasanya, bila majikannya mengeluarkan bunyi seperti itu.
Kereta datang dengan suara riuh rendah sehingga si Sinting amat terkejut. Ia melompat ketakutan dan berlari masuk ke ruang tunggu,
bersembunyi di bawah kursi. Dengan gusar Snubby mengejarnya.
"Tolol sekali, untuk apa lari seperti itu! Seperti tidak pernah lihat kereta api saja!" gerutu Snubby.
"Ayo, ke sini!" Kereta api membunyikan peluit, melengking meninggi. Si Sinting makin ketakutan, bersembunyi semakin dalam. Sulit juga Snubby mengeluarkannya.
"Ayo, keluar! Kalau tidak, kita ketinggalan kereta nanti!" bentak Snubby, kebingungan.
"Keluar! Kenapa sih kau ini!" Akhirnya ia berhasil menyeret Sinting yang ketakutan itu ke luar, mendekapnya dan sedikit terhuyung ia pergi ke kereta api. Petugas telah mulai menutup pintu-pintu gerbong.
"Hei, kau! Cepat naik!" seru petugas itu.
"Kereta akan segera berangkat!" Kasihan Snubby. Tak sempat ia memilih gerbong dengan teliti, seperti biasa dilakukannya. Biasanya ia memilih gerbong yang sama sekali kosong, agar ia bisa bergantian menempati sudut-sudutnya dan melihat ke luar dari jendela mana pun yang disukainya. Kini bahkan memilih tempat di dalam saja tak ada waktu. Dengan terpaksa mengerahkan kekuatan ia membuka sebuah pintu, melemparkan Sinting masuk, dan ia sendiri melompat ke dalam. Petugas membanting pintu itu tertutup, dan kereta pun berangkatlah. Si Sinting langsung masuk ke bawah sebuah kursi. Snubby gusar melotot, berkata,
"Anjingtolol! Hampir kita ketinggalan kereta!" Snubby tadi terjatuh waktu melompat. Dan kini
ia bangkit serta membersihkan dirinya dari debu. la melihat berkeliling. Hanya ada satu orang lain di gerbong itu. Untung. Orang tersebut memandang pada Snubby dengan pandang heran dan tak berkenan. la seorang tua. Rambutnya putih perak semua, matanya biru pudar, dan jenggotnya lancip, juga putih.
"Anakku," kata orang tersebut, sangatlah tidak bijaksana menyediakan waktu yang terlalu sempit bila mau naik kereta api."
"Aku sudah menyediakan waktu dua puluh menit," kata Snubby kesal.
"Ayolah, Sinting, keluarlah! Nanti kotor kau di bawah situ." Sinting muncul, mengempit ekor. Orang tua tersebut memandangnya dengan penuh rasa
benci. "Kukira anjing harus ditempatkan di kereta
bagasi," katanya. "Selalu bau dan pasti suka menggaruk-garuk. Suatu kebiasaan yang sangat menjijikkan," kata si orang tua.
"Tentu saja anjing berbau." Snubby duduk di hadapan orang tua itu.
"Baunya sungguh sedap! Bau khas anjing. Begitu juga bau kuda. Bau sapi. Bau .."
"Kukira lebih baik kita takusah berbicara tentang bau," kata si orang tua.
"Pokoknya aku tak suka bau anjing. Dan aku tak suka anjing yang menggaruk-garuk."
"Sinting tak pernah menggaruk-garuk," sahut
Snubby "Anjing hanya menggaruk-garuk bila :badannya banyak kutunya. Si Sinting selalu kurawat baik-baik. Aku memandikannya tiap hari, menyikat bulunya tiap hari ..."
Si Sinting duduk dalam sikap yang sangat aneh dan kemudian menggaruk punggungnya keras keras sehingga kakinya menghentak-hentak ke antai gerbong.
Snubby menendangnya dengan ujung sepatu.
"Diam, Tolol Tak terdengarkah olehmu apa yang kukatakan?"
Si Sinting mengangkat kepala dengan sopan. kemudian mulai menggaruk-garuk lagi. Si orang tua tampak jijik sekali.
"Bawa anjingmu ke ujung sana itu," katanya.
"Mengingat apa katamu tentang anjing hanya menggaruk bila badannya banyak kutunya, maka aku tak merasa aman duduk di dekatnya."
"Apa artinya itu?" tukas Snubby, tak beranjak dari tempatnya. Telah kukatakan, ia tak punya kutu. la tak pernah ..."
"Aku tak ingin berbicara tentangkutu. Kalaukau tak mau membawa anjingmu menjauh, biarlah aku yang pindah tempat duduk. Tapi sebelumnya ketahuilah, sungguh anak di zaman ini semua kurang ajar!"
Snubby cepat-cepat menyeret Sinting ke ujung gerbong, kemalu-maluan. Anjing spaniel itu ingin memanjat kursi. Tadinya Snubby akan membiarkannya saja. Tetapi melihat pandangan tajam mata si kakek tampak begitu tak setuju, Snubby memutuskan untuk tidak membiarkan si Sinting berbuat semaunya. Untung si Sinting segera tertidur. Snubby membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku bacaan. Tak lama ia telah asyik membaca. Buku tersebut gambar depannya menyolok dan judulnya luar biasa: MATA-MATA MATA-MATA MATA MATA Snubby begitu asyik hingga tak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Si orang tua heran melihat judul yang baginya agak aneh itu.
"Bukumu itu tentang apa?" tanyanya akhirnya. Bagi Snubby ini suatu pertanyaan tolol Bukankah sudah jelas tertulis di judulnya"
"Tentang mata-mata," jawabnya kesal."Mencuri peta, rencana rahasia, dan sebagainya. Dokumen dokumen kuno." Si orang tua memperhatikan Snubby sejenak, kemudian tiba-tiba berkata,
"Ya! Mata-mata! Mengapa aku tak memikirkan hal itu!" Snubby heran. Aneh sekali orang ini, pikirnya. Apa yang dimaksudnya"
"Aneh juga kau membaca tentang pencurian dokumen-dokumen kuno," kata orang tua tersebut,
"sebab aku baru saja meninggalkan sebuah tempat di mana terjadi pencurian dokumen dokumen kuno! Keterlaluan! Keterlaluan!" Snubby ternganga.
"Apa saja yang dicuri?"
"Surat dari Lord Macaulay, peta daerah Lincolnshire, surat-surat antara Lady Eleanor Ritchie dan saudara perempuannya ..." Orang itu menggelengkan kepala murung.
"Dan resep-resep kuno Nyonya janda Lady Lucy, dan ..." Ini semua asing sekali bagi Snubby. Ia mulai berpikir bahwa si orang tua hanyalah menggodanya. Baiklah, pikir, Snubby, aku juga bisa berbuat Serupa.
"Wah. Dan aku yakin, riwayat dan silsilah semua anjing mereka juga lenyap, begitu juga surat-surat Lord Popoffski," ia berkata dengan tenang dan ikut mengambil gaya murung. Kini giliran si orang tua melirik tajam padanya.
"Ah, kau pasti tak percaya padaku," katanya dengan nada dingin.
"Dengar baik-baik, Anak muda. Si pencuri telah memasuki kamar yang terkunci, tanpa membuka kuncinya. la memasuki kamar yang semua jendelanya tertutup dan terkunci rapat. Tanpa membuka satu pun jendela-jendela itu. Ia tak meninggalkan sidik jari. Tak menimbulkan suara sedikit pun."
Snubby sama sekali tak percaya. Dan ditunjukkannya hal itu dalam sikapnya memandang si orang tua.
"Sungguh aneh, bukan?" kata orang tua tersebut.
"Terlalu aneh bagiku. Telah kutinggalkan rumah itu, dan aku takkan pergi lagi ke sana. Aku tak suka pencuri yang bisa memasuki kamar yang pintunya terkunci. Bagaimana engkau?" Snubby menaruh bukunya. la tak mau kalah kalau hanya soal membual-bual saja.
"Aneh juga Anda menceritakan hal itu padaku," katanya.
"Aku juga sedang lari dari sebuah rumah.
Aku telah berhasil mencium adanya suatu komplotan jahat!"
"Ya, ampun!" seru si orang tua, terkejut.
"Komplotan apa?"
"Ya ... biasa, seperti komplotan pencuri bom atom, misalnya," kata Snubby, semakin lancar bercerita.
"Dan mereka hendak menangkapku, Pak, karena aku tahu rahasia mereka! Hampir saja aku tertangkap!" "Siapa yang mencoba menangkapmu?"
"Ssst!" desis Snubby, dengan wajah penuh ketakutan melihat ke sana kemari, seolah-olah takut kalau pembicaraan mereka ada yang mendengarkan.
"Komplotan Tangan Hijau, Pak Anda sudah pernah dengar nama itu, kan?"
"Tidak ... tidak, kukira aku tak pemah mendengar nama itu. Siapakah mereka?"
"Sebuah komplotan internasional," kata Snubby, makin lama semakin gembira dan merasa kagum sendiri akan kemampuannya berkhayal
"Mereka telah menemukan rahasia pembuatan bom atom, tetapi tak sengaja aku mengetahui rahasia itu. Mereka menangkapku dan memaksaku untuk bekerja pada mereka ..."
"Kau" Sekecil ini?"
"Mereka menggunakan anak-anak untuk percobaan! Nah, tentu saja aku tak mau diriku dihancurkan hingga cabik-cabik, bukan?"
"Ya, ampun!" Orang tua tersebut gugup sekali
"Mestinya kau segera melapor pada polisi."
"Aku baru saja melarikan diri dari mereka."Snubby membuat suaranya makin lama makin rendah, hingga kini ia hampir berbisik.
"Tetapi mereka terus mengejarku .... Komplotan Tangan Hijau! Aku yakin, mereka terus mengejarku. Mereka pasti bisa mencari jejakku. Mereka pasti akan bisa menangkapku."
"Hampir tak bisa dipercaya!" Si orangtua begitu tegang sehingga keringat membersit di dahinya, dan harus diusapnya dengan selembar sapu tangan putih lebar.
"Mula-mula aku tinggal di rumah yang kemasukan pencuri, walaupun pintu dan jendela terkunci rapat. Kini ... aku satu kereta dengan seorang anak yang diburu oleh ... oleh siapa" Tangan Hijau" Apakah tangan mereka hijau?"
"Mereka memakai sarung tangan hijau," dengan tangkas Snubby menjawab.
"Karena itu, Anda harus sangat berhati-hati bila melihat seseorang memakai sarung tangan hijau. Tak peduli pria ataupun wanita."
"Ya, akan kuingat itu. Kasihan sekali kau.... Kau tak punya orang tua?"
"Tidak...." Untuk pertama kali selama lima menit itu Snubby
mengatakan hal yang sebenarnya.
"Aku yatim piatu. Aku melarikan diri ke rumah saudara sepupuku. Mudah-mudahan Komplotan Tangan Hijau tidak mengejarku ke sana. Aku takut mereka akan
"membereskan" juga keluarga tempat aku tinggal."
"Astagal Tak masuk akal! Ada-ada saja zaman
)sekarang ini Turutilah kataku. Nak, kau harus
segera ke polisi!" Kereta api berhenti. Seolah iseng Snubby melirik ke luar jendela dan tiba-tiba melompat berdiri sehingga orang tua itu sangat terkejut dibuatnya.
"Waduh! Ini stasiun tujuanku Ayo, Sinting. bangun! Selamat jalan, Pak ... Mudah-mudahan pencuri Anda yang ajaib itu segera tertangkap."
"Selamat jalan, Nak. Sungguh menyenangkan
percakapan kita ini... dan turutilah kataku, pergilah
ke ... " Perkataannya terputus oleh pekikan peluit kereta dan terbantingnya pintu. Snubby lenyap, begitu juga Sinting. Orang tua itu merebahkan punggungnya ke kursi. Dunia sungguh semakin gila Bahkan seorang anak sekecil itu bisa terlibat dengan suatu komplotan kejahatan! Sungguh mengerikan!
"Tak seorang pun aman zaman sekarang ini," pikir orang tua tersebut murung.
"Sungguh mengerikan!"
Bab 3 Pertemuan yang Tak Terduga
SNUBBY bergegas turun, tersandung pada Sinting dan jatuh terduduk. Sebuah gelak tertawa menyambutnya.
"Oh, Snubby" seru Diana,"Kauselalu jatuh dari kereta api! Halo, Sinting!"
Sinting melontarkan diri pada Diana, hampir membuat anak itu terjatuh. Anjing hitam itu menyalak, mendengking, mencakar penuh semangat, gembira. Sulit sekali bagi Diana untukmembebaskan diri dari rangsakan Sinting.
"Sudah, Sinting, sudah!" seru Diana.
"Sinting! Sudah! Snubby, perintahkan padanya untuk diam! Masih sinting seperti dulu, ya"Oh, Roger menyesal tidak bisa menjemputmu. la pergi ke stasiun selatan untuk menjemput Kakek Robert. Heran. mestinya Kakek Robert bisa turun di stasiun utara ini. Dia merasa yakin bahwa rumah kami lebih dekat dengan stasiun selatan!"
"Kakek siapa?" tanya Snubby, heran.
"Belum pernah kudengar kau punya kakek bernama Robert. Ia akan tinggal di rumahmu?"
"Ya! Sial, ya" Padahal ini masa liburan," kata Diana, sementara mereka berdua berjalan meninggalkan stasiun.
"Sebetulnya dia sih tidak apa-apa, hanya terlalu banyak peraturan, terlalu mengikuti adat sopan santun! ibu baru tahu kemarin bahwa ia akan datang. Kau terpaksa tidur di kamar Roger."
"Bagus sekali," kata Snubby.
"Sinting pasti senang."
"Apakah ia masih tergila-gila pada sikat?" tanya Diana.
"Musim panas yang lalu semua sikat disikatnya habis."
"Ya, ia masih suka sikat," jawab Snubby.
"Dan ia juga sangat suka pada alas kaki. Dan kucing! Hei, kau sekarang punya kucing, ya?"
"Ya. Seekor kucing hitam besar. Namanya Sarden. Umurnya hampir setahun, jadi kadang kadang masih tolol. Aku tak tahu bagaimana hubungannya nanti dengan si Sinting."
"Pasti nanti rumahmu akan sangat meriah," kata Snubby senang.
"Anjing dan kucing beterbangan kian kemari, ditambah kita bertiga, dan kakekmu."
"Ya ... dia kakek dari pihak ayahku," Diana menerangkan.
"Dia paman ayahku. Nah, itu rumah kami. Lihat, si Sinting masih ingat. Wow, betapa cepatnya ia lari .... la pasti akan bertemu dengan Sa
rden. Biasanya Sarden tiduran di tembok itu! Cegah dia, Snubby!" Snubby mengejar Sinting. Tetapi Sinting telah menemukan Sarden. Bagaikan gila anjing itu mengejar si kucing, mengitari halaman depan, menyalak-nyalak tak keruan. Sarden melesat masuk ke rumah. Sinting terus mengejar. Dan Snubby mengejar Sinting. Heran sekali Nyonya Lynton melihat Sarden terbang bagaikan kilat di dekat kepalanya, langsung mendarat di lemari buku. Lebih heran lagi ia melihat Sinting menyerbu masuk bagaikan seleret petir hitam, diikuti Snubby yang berseruseru memanggil.
"Oh, kau sudah datang, Snubby!" seru Nyonya Lynton.
"Makanya ... hampir tak ada bedanya antara kau dan badai. Bagaimana kau selama ini, Sayang?" "Oh, halo, Bibi Susan!" sahut Snubby.
"Hei, Sinting! Kemarilah! Oh, bagus. Sarden telah melompat ke luar. Ampun, Sinting terus mengejarnya!" Snubby langsung lenyap pula. Nyonya Lynton terpaksa duduk sambil mengangkat tangan.
Ketenangan dan kedamaian senantiasa lenyap begitu Snubby muncul. Terdengar jeritan keras di taman kemudian teriakan Diana.
"Ibu! Kakek sudah datang! Naik taksi dengan Roger!" Nyonya Lynton segera berdiri. Entah bagaimana pendapat Kakek Robert, mendengar begitu ramainya taman depan dengan teriakan, jeritan, dan gonggongan campur aduk itu. Cepat ia keluar, mendesis pada Snubby,
"Segera tangkap si Sinting! Bawa pergi. Kemudian cuci tangan atau kerjakan sesuatu!" - Snubby tercengang. Jarang sekali bibinya kedengaran begitu kaku. Cepat ia bersuit, dan meadengar itu Sinting langsung berhenti mengejar Sarden, berbalik berlari kencang ke arah Snubby. Keduanya lenyap masuk rumah tepat pada saat Kakek Robert membuka pintu pagar. Diana merapikan rambutnya, baru maju untuk menyambut.
"Senang sekali berada di sini, Susan," kata Kakek Robert.
"Begitu tenang, damai ... jauh dari pencuri, perang, dan mata-mata." Nyonya Lynton tertegun.
"Oh, di sini memang cukup damai," katanya ragu-ragu.
"Mari masuk ke kamar Paman. Paman pasti ingin membasuh muka dan tangan, bukan?" "Terima kasih, Sayangku, terima kasih." Kakek | Robert mengikuti isteri keponakannya menaiki tangga, ke kamar tidur tamu.
"Kamar yang bagus sekali, pemandangan
bagus," kata Kakek Robert
"Bagus sekali. Ah ... siapa ini?"
SiSinting. Merasa bahwa ada orang baru datang, ia mencium-cium lantai dan ikut masuk ke kamar itu. Di pintu ia berhenti, mengibas-ngibaskan ekor pendeknya, telinga panjangnya terkulai bagaikan rambut palsu seorang hakim. Kakek Robert
memerhatikannya. "Aneh sekali," kata Kakek Robert.
"Tadi ada anjing sangat mirip dengan ini di keretaku .... Sangat mirip!"
"Anjing jenisini banyak yang mirip," kata Nyonya Lynton.
"Sekarang sebaiknya Paman membasuh tangan, kemudian turunlah untuk makan siang. Paman pasti lapar." - Nyonya Lynton pergi ke lemari di ujung tangga, untuk menyimpan sesuatu. Saat itu Snubby sedang bersiul-siul di kamar Roger, mencoba menyisir rambutnya yang kaku itu. Tiba-tiba ia merasa Sinting tak ada di dekatnya.
"Hei, Sinting! Di mana kau?" panggilnya, dan ia pergi untuk mencarinya. Ah, itu dia. Sinting berdiri di pintu di kamar samping. Snubby mendekat. Pada saat itu terlihat seseorang keluar dari kamar tadi, hati-hati melangkahi Sinting yang sama sekali tak mau minggir. Sinting memang tak pernah mau minggir bila orang yang akan melewatinya tak berani mengu
sirnya. Dan Snubby langsung tertegun. la berhadapan dengan Kakek Robert, dan ia tak percaya hal itu
bisa terjadi ternyata kakek Robert orang tua yang dijumpainya di kereta tadi! Kakek Robert juga ternganga.
"Aneh sekali!" desis Kakek Robert.
"Kau lagi Sedang apa kau di sini?" Kakek Robert mundur selangkah, hampir saja terjatuh, tersandung Sinting.
"Aku tinggal di sini, bersama saudara sepupuku," kata Snubby, masih kebingungan bagaimana orang yang tak dikenalnya di kereta tadi, kini tiba-tiba menjadi Kakek Robert Wah, bisa payah nih. Cerita yang diceritakannya tadi - tentang Komplotan Tangan Hijau itu - wah! Bagaimana kalau Kakek Robert bercerita pada Bibi Susan" Apa kata Bibi nanti" la pasti takkan bisa mengerti. la pasti akan sangat marah.
"Jadikau melarikan diri kesini, ya?" tanya Kakek Robert.
"Apakah saudara sepupumu tahu mengapa kau melarikan diri?"
"Ssssttt ..." Pikiran Snubby kacau.
"Jangan berkata pada siapa pun! Ingat, Tangan Hijau! Mereka pasti akan membalas pada Anda juga bila Anda tidak bungkam."
"Bungkam! Apa?" Kakek Robert tak segera bisa menangkap maksud kata-kata Snubby.
"Bungkam. Tutup mulut. Tak boleh bicara pada siapapun," Snubby tergesa menerangkan.
"Sepatah kata pun tak boleh! Ingat selalu ... Tangan Hijau!" Gong di depan ruang makan berbunyi tiba-tiba. Waktu makan siang. Dan tak terasa suara gong itu
membuat baik Kakek Robert maupun Snubby melompat kaget
"Sssstt ..." Snubby menengok kanan kiri, seolah-olah ia sedang diintai orang.
"Aku akan selalu ingat Tangan Hijau," kata Kakek Robert
"Tetapi kau juga harus hati-hati, Nak. harus hati-hati!" Kakek Robert mendului turun, mengusap keningnya dengan sapu tangan sutranya. la telah melarikan diri dari sebuah rumah di mana pencuri bisa menerobos sebuah pintu yang terkunci, dan temyata di rumah ini malahan ada seorang anak yang dikejar-kejar oleh Tangan Hijau. Susah, susah! Ke mana lagi dia akan pergi" Di ujung tangga, terlindung oleh lemari, Nyonya Lynton juga sangat tercengang. Apa-apaan Snubby dan Kakek Robert" Apa yang mereka bicarakan" Apa itu Tangan Hijau" Dan mengapa mereka berbisik-bisik"
"Snubby sedang melakukan muslihat apa lagi ini?" pikirnya bingung.
"Dan bagaimana ia kenal Paman Robert" Dan apaitu Tangan Hijau?" Karena kesal, tak terasa pintu lemari dibantingnya tertutup. Sebuah jeritan kesakitan membuatnya melompat terkejut. Cepat-cepat dibukanya kembali lemari itu, dan Sarden melompat ke luar.
"Kucing tolol! Mengapa kautaruh ekormu disitu, kan kau tahu aku hendak menutup pintunya!" kata Nyonya Lynton.
"Kau selalu begitu. Sudahlah, sudahlah, aku menyesal telah membuat ekormu sakit. Hati-hatilah terhadap Sinting. Aku tak ingin.
tiba-tiba kau lari di kamar makan, begitu kau melihat dia!" Sinting memang berada di kamar makan. Heran juga Diana melihat Sinting seakan lekat pada kaki Kakek Robert. Dicium-ciumnya kaki itu, dicakarnya dengan sentuhan bersahabat
"Heran, seolah-olah ia telah kenal Anda," kata Diana.
"Eh... apa iya?"tanya Kakek Robert, kebingungan, tak tahu harus menjawab apa.
"Snubby, tolong panggil dia. Akutakingin kutunya pindah padaku."
"Bagaimana Kakek tahu ia ada kutunya?" tanya Roger heran.
"Apakah dia ada kutunya, Snubby?" Agaknya percakapan akan berlangsung kaku Snubby menyeret Sinting dari kaki
Kakek Robert dan mendorongnya lebih jauh di bawah meja.
"Tentu saja ia tak ada kutunya," kata Snubby tersinggung.
"Kau pasti tahu itu. Dan kan bisa dilihat! Dengar, seorang temanku di sekolah mempunyai anjing yang kutunya sampai tiga ratus ...
" Nyonya Lynton muncul, terlihat masih kebingungan.
"Kalian bicara tentang apa ini?" tanyanya, duduk di kursi di ujung meja. Tak ada yang menjawab. Dan Nyonya Lynton juga tak mendesak bertanya lagi. la tak ingin pembicaraan tentang kutu itu muncul di meja makan. Kakek Robert begitu hati-hati duduknya, dan menengok sebentar ke bawah meja, untuk melihat di mana tempatnya Sinting berada.
"Suara apa itu?" tanya Nyonya Lynton, mendengar suara berdebam-debam di bawah meja.
Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sinting garuk-garuk," kata Diana.
"Oh, Snubby ... mestinya Sinting tak usah kaubawa kemari," kata Nyonya Lynton.
"Kalau ia ada kutunya ...
" "Tidak, Bibi Susan, si Sinting sangat bersih," kata Snubby tergesa-gesa.
"Wow, hebat sekali makanan kita hari ini.... Wow, ada kentanggoreng, daging besar, dan ... bawang putih! Wow! Bet, betul masakan luar biasa!" Dengan begitu pokok pembicaraan berubah. Sambil makan, tak habis-habisnya Nyonya Lynton memikirkan hal-hal aneh, seperti di antaranya tentang Tangan Hijau itu. Ia melirik pada Kakek Robert. Ia begitu sopan, dan lemah. Apa yang dimaksudkannya dengan melarikan diri dan Tangan Hijau saat ia berbicara dengan Snubby" Sungguh-sungguh luar biasa keadaan rumahnya kini.
Kakek Bercerita SELESAl makan, Snubby, Roger, dan Diana pergi ke taman. Sinting berlari-lari di dekat kak mereka. Mereka semua pergi ke pavilyun yang menghadap ke arah selatan dan sangat panas di bulan April itu.
"Ampun, panasnya!" keluh Roger.
"Seperti musim panas saja. Aku harus mencopot jaketku ini. Dengar ... Kakek sungguh kaku kan adatnya" Sedikit saja kita lupa sopan santun, ia langsung
bercerita tentang masa lalu, saat semua anak begitu sopan dan patuh, begitu tenang dan pendiam."
"Ada yang ingin kuceritakan," kata Snubby dengan perasaan kikuk,
"tentang Kakek."
"Ceritakanlah. Apa yang telah kaulakukan" Kaugunakan minyak rambut Kakek pada bulu si Sinting" Atau apa?" tanya Roger.
"Ngawur saja!" tukas Snubby.
"Bukan begitu. Dengar... aku tadi satu kereta dengannya.Tapiaku turun di stasiun utara dan ia diselatan, dimana kau menjemputnya. Kami cukup banyak juga ... ber. bercakap-cakap." - Roger dan Diana memandang heran padanya.
"Benar?" tanya Diana.
"Mengapa tak kaukatakan dari tadi" Mengapa kau merahasiakan hal itu?"
"Soalnya ... begini .... Kakek bercerita bahwa ia melarikan diri dari rumah seseorang yang ditinggalinya ... karena pencuri-pencuri telah berhasil memasuki ruang-ruang yang-terkunci rapat, mencuri kertas-kertas dan entah apa lagi.... Surat Lord Anu, resep Lady Anu... banyak sekali omong kosong yang dikatakannya. Maka aku tak mau kalah. Bukan dia saja yang bisa membuat isapan jempol. Maka kukarang sebuah cerita yang sangat seran."
"Kau menceritakan suatu dongeng padanya?" tanya Roger, tak percaya.
"Apa yang kauceritakan?" Snubby menceritakan kembali apa yang diceritakannya kepada Kakek Robert, dengan diakhiri
cerita tentang bagaimana ia melarikan diri dari sebuah komplotan penjahat bernama Tangan Hijau, yang selalu memakai sarung t
angan hijau. Diana dan Roger mendengarkan penuh perhatian dan keheranan, untuk kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
"Ya ampun, Snubby, kau ini orang paling tolol di dunia!" seru Roger akhirnya, setelah tertawanya bisa dihentikannya.
"Untuk apa kau mendustai Kakek seperti itu?"
"Aku kan waktu itu tak tahu dia kakekmu!" Snubby membela diri.
"Aku sama sekali tak tahu kau punya kakek! Dan jelas aku tak tahu bahwa ia akan tinggal di sini. Terus terang, terkejut juga aku ketika melihatnya di ruang tidur tamu. Hampir saja aku jatuh pingsan!"
"Kau pasti jatuh pingsan kalau ia nanti menceritakan ceritamu kepada Ayah," kata Roger.
"Ayah sama sekali tak sukaisapan jempol seperti itu. la tak mengerti bahwa itu hanyalah untuk melucu saja."
"Aku tahu," kata Snubby muram.
"Aku telah memperingatkan Kakek agar tutup mulut tentang itu. Kakek agaknya sangat percaya pada katakataku. Aku yakin, ia sangat ketakutan pada Komplotan Tangan Hijau - seperti juga ia ketakutan pada kelompok pencuri yang bisa memasuki pintu-pintu yang terkunci."
"Gila benar kalau ia percaya pada ceritamu," kata Diana.
"Tapi oh, Snubby, selalu ada-ada saja ulahmu untuk membuat kacau suasana. Jangan
"kautakuti orang tua itu lagi dengan surat kaleng, gambar tangan hijau, atau yang sebangsanya!"
"Wah, itu ide yang bagus sekali!" kata Snubby.
"Ya ... bagus sekali! la pasti ketakutan setengah mati!"
"Ya, memang, dan ia pasti akan melapor pada Ayah, dan kau akan dihajar oleh Ayah!" kata Roger.
"Wah, kalau begitu, lebih baik jangan," kata Snubby yang masih ingat betapa sakitnya dihajar Paman Richard, ayah Roger dan Diana.
"Aku tak ingin terlibat terlalu jauh dengan Paman Richard."
"Ya, lebih baik jangan," kata Roger. la sedang pemarah benar liburan ini. Mungkin karena Kakek tiba-tiba memutuskan untuk kemari. Dan hal itu, ditambah dengan kehadiranku, Diana, si Sinting, dan kamu. Rasa-rasanya ia akan memperoleh keributan terus selama liburan ini."
"Kasihan juga Ayah," kata Diana.
"Lebih baik kita tak memberi godaan padanya."
"Ya, begitu kukira sangat baik." Snubby mengangguk, dalam hati berjanji untuk tidak terlalu nakal hingga tak mengganggu pamannya. Tapi ... yah, mungkinkah Kakek akan menceritakan tentang pencuri-pencuri itu pada ayah dan bumu?" Ternyata mungkin. Dan dilakukan Kakek Robert malam itu juga, saat seluruh keluarga berkumpul di ruang tengah. Anak-anak bermain-main, Nyonya Lynton menjahit, suaminya membaca surat kabar dan si Sinting berguling-guling di lantai. Kakek Robert mengisi pipanya dan berkata padaNyonya Lynton,
"Kau sungguh baik hati, Susan,
mau menerimaku, padahal pemberitahuanku begitu mendadak. Terus terang saja, aku sungguh kebingungan. Aku harus meninggalkan istana di
Chelie itu." "Mengapa, Paman Robert" Apakah Anda tak senang tinggal di sana?" tanya Nyonya Lynton.
"Oh, bukan begitu.Akusihsenang sekali disana. Rumahnya besar, hangat, dan nyaman," kata Kakek,
"tetapi begitu banyak peristiwa luar biasa terjadi."
Nyonya Lynton terlihat agak terkejut. Anak-anak
saling pandang, berhenti bermain kartu, dan Snubby berbisik,
"Nah, ini dia!" Pak Lynton menaruh surat kabarnya, dan bertanya,
"Peristiwa luar biasa apa" Kukira tak akan ada apa-apa yang bisa terjadi di rumah yang l
ebih mirip gedung museum itu."
"Tetapi di situ tersimpan banyak sekali bendabenda berharga!" tukas Kakek, tersinggung.
"Kau kan tahu, tempat itu milik Sir John Huberry. Dan ia punya kegemaran mengumpulkan benda-benda antik apa saja... terutama kertas, surat, dokumen."
"Er... bukankah iajuga memiliki surat-surat Lord Macaulay dalam simpanannya?" tanya Snubby iseng, teringat akan cerita Kakek di kereta siang tadi. Sesaat semua terdiam, hingga terdengar jelas Sinting menggaruk-garuk keras.
"Diam, Sinting," kata Snubby, menendang Sinting. Sinting langsung terdiam.
|"Hei, baru kali ini kudengar kau mengucapkan
sesuatu yang cukup pandai." Pak Lynton heran.
"Aku takkan pernah bisa menduga bahwa kau tahu nama Lord Macaulay."
"Err ... Snubby benar," kata Kakek Robert cepat-cepat.
"Di antara yang tercuri terdapat surat-surat Lord Macaulay. Richard, pencurian ini sungguh luar biasa. Semua pintu terkunci. Begitu juga semua jendela. Tak ada tingkap atau lubang apa pun untuk masuk ke ruangan itu. Toh suatu malam kelompok pencuri ini berhasil masuk, mencuri semuanya dan lenyap tak meninggalkan bekas, dengan pintu dan jendela masih terkunci. Bagaimana pendapatmu?"
"Kukira agak tolol menyatakan bahwa pencuri berhasil masuk dan keluar, sedangkan pintu dan jendela terkunci. Aku yakin mereka takkan bisa masuk kalau mereka tidak memiliki kunci."
"Tetapi mereka tak punya kunci," Kakek ngotot.
"Semua kunci dibawa sendiri oleh Sir John. Tak ada kunci tiruan atau cadangan. Dan tambahan lagi... tak ada satu pun sidik jari di pintu ataupun jendela."
"Pasti para pencuri itu memakai sarung tangan," kata Nyonya Lynton.
"Sarung tangan hijau," bisik Snubby sebelum ada yang mencegahnya. Kakek tampak sangat terkejut. Nyonya Lynton memandang Snubby, bingung. Tadi ia berbicara tentang Tangan hijau, dan kini ia berbicara tentang sarung tangan hijau. Apa maksudnya"Pak Lynton sama sekali tak memperhatikan pendapat Snubby. Dikiranya Snubby sedang kambuh nakalnya.
"Wah, Paman Robert," kata Pak Lynton sambil mengambil kembali korannya,
"aku hanya bisa bilang bahwa tidak bijaksana Paman meninggalkan rumah besar itu hanya karena ada pencuri mampu masuk ke ruang-ruang terkunci. Mestinya Paman tinggal saja di sana dan mencoba untuk memecahkan persoalan itu. Kalau tuan rumah tidak begitu mengenal Paman, bisa-bisa Paman dianggap berkomplot dengan para pencuri dan kemudian melarikan diri."
"Tidak mungkin," Kakek Robert langsung menukas.
"Tidak, Richard, hal itu tidak mungkin."
"Pastilah pelakunya kaum gipsi") atau orang orang gelandangan," kata Nyonya Lynton mencoba menghibur. Kakek Robert mendengus tidak setuju.
"Tidak, Susan. Kau pikir seorang gipsi atau gelandangan bisa tahu mana kertas berharga mana tidak" Padahal pencuri-pencuri itu tahu benar apa yang mesti mereka ambil!"
"Aku yakin peristiwa penuh rahasia ini akan bisa dibongkar, cepat ataupun lambat," kata Pak Lynton, kembali membuka korannya.
"Jika komplotan pencuri itu sepandai apa yang Paman
(Gipsi suku bangsa pengembara di Eropa, diperkirakan berasa dari anak benua India, berkembang di Eropa Timur kemudian mengembara ke seluruh pelosok Eropa)
katakan, maka mereka pasti akan mencoba kepandaiannya lagi di tempat lain."
"Mereka telah mencobanya tiga kali," kata
Kakek Robert "Begitu kata Sir John padaku. Menurut dia, pasti komplotan pencurinya sama, sebab tiap kali
mereka berhasil mencuri benda-benda yang
berada di dalam kamar terkunci tanpa merusak kunci kamar tersebut." Tentang orang yang bisa masuk kamar terkunci tanpa merusak dan tanpa menggunakan kunci, itu masih harus dibuktikan," kata Pak Lynton tak acuh.
"Kakek ... apakah Kakek berpendapat bahwa komplotan pencuri itu akan beraksi lagi entah di mana?" tanya Diana.
"Aku ingin membaca beritanya di koran. Apakah diberitakan?"
"Oh ya, pasti," kata Kakek.
"Berita tentang pencurian yang terakhir juga dimuat di koran. Bahkan korannya kusimpan. Di tasku. Kalau kau mau membacanya, ambil saja."
Roger langsung berlari ke atas, diikuti oleh Sinting. Sinting selalu berlari keatas bila ada orang yang pergi ke atas, dan ia selalu menjadi penghalang bila orang tersebut turun kembali dengan jalan berlari di antara kaki orang tersebut atau tiba-tiba menubruk punggung orang itu dari
belakang. Sekitar dua-tiga menit kemudian terdengar suara ribut keras sekali, disusul oleh
suara berdebam dan dengkingan Sinting.
"Ya, ampun!" seru Nyonya Lynton.
"Kau luka, Roger?"
Roger muncul terpincang-pincang, diikuti oleh si i Sinting yang tampak sedih.
"Aku terpaksa memukulnya," katanya pada Snubby.
"Ditubruknya aku sehingga aku terguling-guling Makin lama ia makin sinting saja. Ini koran itu
Kakek" Di mana berita tentang pencurian itu" Kakek Robert menunjukkan berita yang dimaksudkannya. Berita tersebut pendek saja, hanyi beberapa baris. Roger, Diana, dan snubby membacanya dengan penuh perhatian. Kemudian Diana melihat iklan di sebelah itu.
"Pe "Hei, lihat,ada iklan tentang pasar malam yang sama dengan tempat pencurian itu," katanya
"Jangan-jangan Barney dan Miranda juga mengadakan pertunjukan."
"Kaumaksud Barney yang dulu pernah main denganmu saat musim panas yang lalu Natal Yang punya seekor monyet?" tanya ibunya. diana mengangguk.,"
"Ya. la anak yang baik sekali, Bu. Dan hidup aneh. Selalu berpindah-pindah ... . pasar malam ke sirkus, dari sirkus kepasar malam mencari nafkah dengan Miranda Miranda juga manis sekali."
"Aku tak yakin tentang itu, akutak sukamonyet kata Nyonya Lynton.
"Tetapi dari apa yang kau ceritakan tentang Barney, kedengarannya
memang anak baik...walaupun agaknya sedikit aneh."
"Entah ia ada dipasar malam yang diiklankan
. oleh sini ini atau tidak, ya?" tanya Diana pada dirinya sendiri, memperhatikan iklan tersebut sekali lagi. Lihat, Roger... disini disebutkan nama-nama para pemain - pemain utamanya tentu. Vosta dan kedua simpanse"nya, si Hurli dan si Burli... itu, lucu sekali namanya ... kemudian: Tonnerre dengan gajah-gajahnya ... dan arena menembak di bawah pimpinan penembak jitu Billy Tel -"
"Pasti itu singkatan dari William Tell"," kata Snubby, menyeringai
"Teruskan ..." "Permainan lempar gelang, roda putar, ayunan perahu , di sini tak disebutkan adanya pertunjukan anak dan monyet ...."
"Ada yang punya alamatnya?" tanya Snubby. Ternyata tidak ada. Barney hampir tak pernah be berkirim surat Surat terakhirnya mereka terima Natal yang lalu. Tanpa alamat.
"Ayolah, mari kita selesaikan permai
nan kartu kita," kata Roger, kehilangan minat pada koran . Tidak, kau tak boleh duduk di kakiku, Sinting. Pergilah bermain dengan Sarden ... entah bermain cakar-mencakar, desis-mendesis, ataupun menyalak-dan-mengeong. Kau pasti menyukainya."
(william tell pemanah jitu dari Swiss, yang menurut dongeng berhasil membelah sebuah apel di kepala anaknya dengan panahnya)
Bab 5 Diana Mendapat Ilham DUA hari berlalu. Kakek Robert mencoba melewatkan waktunya dengan jalan menulis naskah apa yang disebutkannya sebagai
"Riwayat Hidup". Tetapi Roger menamakannya
"Terkantuk kantuk Sambil Mengisap Pipa". Seperti biasanya, Snubby langsung bisa berbaur dengan seisi rumah. la merasa kerasan sekali sehingga kamar tidur Roger yang biasanya rapi itu kini selalu tampak bagaikan baru dilanda angin ribut.
"Kalau bukan Snubby, Sinting yang mengobrak. abrik kamarku," keluh Roger.
"Aku sudah capai mencoba menaruh sepatu atau sandal atau sikat rambut di tempatnya yang benar. Masa aku harus menaruh sepatu di laci, agar Sinting tidak bisa mencarinya?"
"Aku juga begitu," kata Diana.
"Dan dia juga suka sekali mengumpulkan semua alas kaki di ujung tangga sehingga kita bisa terjatuh bila
tersandung. Kakiku keseleo dua kali kemarin. Dan Kakek begitu takut kalau terjatuh ditumpukan alas
kaki atau sikat yang selalu berantakan di lantai sehingga kini kalau berjalan ia bagaikan berjalan di
atas bara api, mengangkat kakinya tinggi-tinggi."
Roger tertawa. "Anjing sinting itu tadi pagi menjatuhkan setengah lusin sikat ke dalam kolam. Dan dua di antaranya milik Kakek. Snubby mengembalikan sikat tersebut pada Kakek sambil berkata bahwa Ibu telah mencuci sikat tersebut dengan air kolam yang sangat bermanfaat bagi sikat. Dan Kakek percaya!"
"Itu suara Sinting, menyalak pada Sarden pasti," kata Diana. la melongok ke luar jendela dan berseru,
"Sinting! Sinting! Diamlah! Masa kau belum juga tahu, begitu Sarden berada di atas tembok, kau takkan dapat mencapainya! Sinting! Diam!"
Suara ibunya terdengar dari arah taman,
"Diana! Jangan berteriak-teriak seperti itu! Kau mengganggu Kakek saja!"
"Itu berarti Kakek terbangun oleh suara Sinting tadi," kata Diana pada Roger. Kemudian ia menjengukkan kepala ke luar jendela lagi dan berteriak,
"Ibu! Ibu! Apakah aku harus mengumpulkan bunga pagi ini?"
"Diana, jangan menjerit-jerit di jendela!" seru ibunya, sementara Kakek Robert dengan kesal membanting pipanya dan berdiri. la akan berjalanjalan saja! Dengan suara anjing menyalak, suara anak-anak berteriak-teriak, dan bahkan suara keponakannya berseru-seru itu ... rumah ini sama sekali bukan tempat yang cocok untuknya! Ya. la akan jalan-jalan saja.
Tetapi begitu Kakek Robert terlihat memakai jas,
topi, dan tongkat, si Sinting melompat-lompat girang. la tahu, bila orang berpakaian seperti ini hanya satu alasannya: ia akan berjalan-jalan! BERJALAN-JALAN! Sinting berlarian seputar pergelangan kaki kakek, menciuminya, meloncat kegirangan, berguling-guling seolah-olah sedang naik sepeda dengan punggung di bawah dan kaki di atas.
"Kau tak boleh ikut!" kata Kakek dengan tegas
"Aku tak senang padamu. Hanya ada dua kepandaianmu, dan dua-duanya aku tak suka Pertama, kau bisa menyalak lebih keras dari anjing mana pun juga, dan kedua,
kau selalu menggarukgaruk diri begitu keras!"
Tetapi Sinting telah membulatkan tekad untuk ikut. la terus membayangi kaki Kakek, begitu rapat sehingga Kakek harnpir terjatuh.
"Pulang!" bentak Kakek.
"PULANG!" "Guk!" seru Sinting, duduk menunggu, seolaholah ia mendengar Kakek berkata Tulang', dan bukannya Pulang'. Orang tua tersebut mencoba menyelinap cepat-cepat keluar pintu pagar. Tetapi Sinting sudah kenal betul siasat itu. Dengan cepat ia pun melesat ke luar, dan tak lama kemudian sudah berada di jalan, berlari menari-nari dekat kaki si Kakek. Kakek Robert habis kesabarannya.
"Snubby!" ia berseru.
"Panggil anjingmu ini! SURUH DIA PULANG! Kaudengar aku?" | Seorang wanita di seberang jalan cepat menyeberang mendekati Kakek dan berkata,?"Maaf, tapi harap Anda tidak berteriak-teriak begitu, dan harap anjing Anda jangan menyalak-nyalak seperti itu. Teriakan Anda dan salakan anjing Anda membuat bayiku tidak bisa tidur dari pagi tadi."
Kakek Robert geram sekali. Dengan kesal ia mempercepat langkah, menghantam jalanan keras-keras dengan tongkatnya.
"Aku membuat bayinya tidak bisa tidur! Huh! Tolol sekali! Dan dia kira Sinting ini anjingku" Diberi uang seratus pound juga aku takkan sudi memilikinya!"
Tetapi memang orang akan mengira bahwa Sinting milik Kakek. Dengan setia anjing itu selalu mengikutinya sepanjang perjalanan. Sekali-sekali ia menyelinap ke dalam semak-semak, tetapi selalu kembali lagi ke dekat kaki Kakek. Kasihan sekali Kakek.
Kakek Robert membeli koran, dan memutuskan untuk pulang saja. Sambil berjalan ia membaca koran tersebut. Tetapi tiba-tiba ia berhenti, berseru terkejut. Sinting juga langsung berhenti, duduk dekat kaki Kakek, memandangnya keheranan. Tuan Tua ini sekarang mau apa lagi" Sesungguhnya Sinting sama sekali tidak menaruh rasa sayang padanya. Sinting hanya ingin berjalan-jalan saja, dengan siapa pun jadi.
"Cobal Lihat ini!" kata Kakek.
"Pencurian lagi! Persis seperti yang dulu. Barang di dalam kamar terkunci, tanpa merusak kunci! Luar biasa!"
Begitu tiba kembali di rumah, ia menunjukkan berita tersebut kepada Nyonya Lynton. Anak-anak
mengerumuninya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Lihat ini," kata Kakek, menunjukkan berita itu dengan jari tangannya yang terawat rapi. Kukunya bersih, rapi, dan mengkilap.
"Pencurian lagi. Surat-surat antik yang tak ternilai harganya. Dan tak ada jejak sedikit pun. Pintu terkunci. Jendela terkunci. Tapi barang-barang berharga itu lenyap. Aneh, bukan?"
"Tangan Hijau," bisik Roger, menggoda di belakangnya. Kakek terkejut, cepat berpaling. Tetapi wajah Roger tidak menunjukkan bahwa dialah yang baru berbicara tadi
"Bolehkah kupinjam koran ini?" tanya Diana.
"Terima kasih."
la membawa koran tersebut ke pavilyun di taman. Bertiga mereka meneliti berita itu. Dan Diana tiba-tiba mendapat suatu ilham. Dengan bangga ia bertanya pada yang lain,
"Aku telah menemukan sesuatu. Bagaimana kalian?"
Roger berpikir sebentar. Tidak," katanya kemudian.
"Apa?" "Begini. Kalian ingat koran yang dibawa Kakek dulu itu?" tanya Diana.
"Yang memuat berita pencurian seperti ini" Kalian ingat iklan tentang pasar malam di dekatnya?"
"Ya," kata Roger."Lalu kenapa"Takada sesuatu tentang pasar malam di sini."
"Aku tahu. Telah kuperiksa. Tetapi kalian perhatikan t
idak di koran yang dulu itu, di mana pasar malam itu akan berada pada persinggahan berikutnya, setelah berada di tempat terjadinya
pencurian itu" Nah, disitu disebutkan bahwa giliran berikutnya yang akan dikunjungi pasar malam itu adalah Pilbury. Pilbury. Nah, apakah ini mengingatkan kalian pada sesuatu?"
"Astaga. Benar," kata Roger segera.
"Pencurian yang ini terjadi di Pilbury. Aku mengerti maksudmu. Kesimpulanmu: pasar malam tersebut selalu pergi ke tempat di mana terdapat surat-surat antik berharga, seseorang di pasar malam tersebut selalu menanyakan di mana lagi ada terdapat kumpulan surat-surat berharga di tempat yang berdekatan dengan tempat mereka main. Begitu?"
"Begitulah kesimpulanku." Diana mengangguk setuju.
"Mari kita selidiki, apakah memang ada pasar malam di Pilbury pada waktu terjadi pencurian ini."
"Ayolah, walaupun kukira kesimpulanmu tadi terlalu kau ambil secara tergesa-gesa," kata Roger.
"Kukira itu hanyalah suatu kebetulan."
"Aku yakin itu memang kebetulan," kata Snubby.
"Diana saja yang sok aksi, sok pandai menemukan sesuatu yang musykil." Diana dengan marah mendorongnya.
"Keluar kau dari sini kalaukau berkata seperti itu!" katanya geram.
"Ayol Pergilah! Kalau kau tak tertarik ya sudah, tak usah berbicara seperti itu."
"Aku tertarik," kilah Snubby.
"Dan jangan coba-coba mendorongku seperti itu. Kalau diadu dorong-dorongan, kau tahu siapa yang akan menang. Yang pasti bukan kau. Maksudku ..."
"Tutup mulut, dan pergilah!" Diana makin
marah. "Kau sungguh mengesalkan hari ini, Snubby. Keterlaluan! Telah kau sembunyikan sarungtanganku...ya,jangan kau kira aku tak tahu! Kemudian kaubiarkan pintu kamarku terbuka sehingga si Sinting berhasil menggondol alas kakiku lagi. Dan lihat si Sinting itu!la telah mencuri sebuah sikat ... sikat rambut Kakek!" Snubby melompat mengejar Sinting, untuk merampas sikat tersebut. Tetapisi Sinting mengira ini suatu permainan. la melompat-lompat menarinari, berlari berkeliling taman, melempar-lemparkan sikat tersebut ke udara dan menangkapnya kembali di dalam moncongnya
Diana berpaling pada Roger, berkata,
"Benar juga katamu, Roger, mungkin pendapatku tadi ternyata keliru. Karena itu biar kita saja dulu yang menyelidiki di Pilbury, apakah di sana ada pasar malam, dan pasar malam tersebut akan pindah ke mana, dan kemudian apakah ditempat berikutnya itu juga terjadi pencurian surat-surat antik."
"Aku setuju, Di," kata Roger.
"Baiklah kita bersepeda ke Pilbury nanti sore ... kan kira-kira hanya lima belas kilometer saja dari sini .... Kita tinggalkan Snubby. Aku juga agak kesal padanya hari ini."
Maka mereka takbercerita pada Snubby tentang rencana mereka. Diam-diam mereka memeriksa sepeda, apakah ban-bannya dalam keadaan baik. Ya. Sepeda-sepeda tersebut masih siap untuk dipakai
Selesai makan siang, mereka menyelinap keluar
rumah dan berangkat, sementara Snubby repot menerangkan pada Nyonya Lynton tentang beberapa sepatu yang hilang. Nyonya Lynton yakin bahwa sepatu-sepatu tersebut disembunyikan si Sinting, dan mestinya Snubby tahu di mana. Roger dan Diana menaiki sepeda mereka, dan meluncurlah mereka dengan hati riang.
"Puas si Snubby!" kata Roger.
"la pasti bagaikan gila mencari kita nanti!" Jalan ke Pilbury ternyata lebih jauh dari dugaan mereka. Tetapi akhirny
a mereka sampai juga ke sana. Kemudian mereka menjelajahi tempat itu, tetapi mereka tak melihat adanya pasar malam. Diana jadi sangat kecewa.
"Mari bertanya pada seseorang," kata Roger, menghentikan sepeda dan memanggil seorang anak kecil yang kebetulan berada di dekat tempat itu.
"Hei, Dik! Ada pasar malam tidak di sini?" tanyanya.
"Ada, tetapi sudah pergi kemarin," anak itu menyahut.
"Pindah ke Ricklesham." Terima kasih!" kata Roger, berseri-seri berpaling pada Diana dan berkata,
"Pasar malam itu pernah di sini! Bertepatan dengan pencurian itu, mungkin. Dan kini pindah ke Ricklesham. Kita tunggu saja, apakah akan terjadi pencurian di Ricklesham. Dan akan terbukti, apakah pendapatmuitu benar atau tidak. Cukup menegangkan,ya?"
Bab 6 Snubby Omong Sembarangan SNUBBY sangat kesal waktu Roger dan Diana pulang.
"Ke mana kalian berdua" Keterlaluan kalian, pergi bersepeda tidak mengajak aku!"
"Kau sih tidak mau percaya pada kata-kataku di pavilyun tadi," kata Diana.
"Jadiuntuk apa kau ikut! Puas kau, ya?"
"Kenapa si Sinting itu?" Roger heran melihat anjing spaniel hitam tersebut.
"Mengapa ia begitu murung bahkan tidak menyambut kedatangan kami."
"la mendapat sedikit kesulitan," kata Snubby,
"begitu juga Sarden. Mereka berdua main-main gulungan benang wol ibumu, ditendangi berkeliling kamar duduk. Mereka tak tahu bahwa gulungan benang tersebut berhubungan dengan suveater yang sedang dirajut ibumu. Rajutan tersebut mereka uraikan menjadi benang yang bermil-mil panjangnya dan kusut semua, digelindingkan ke dapur, terus ke kolam. Amboi.. Betapa gusarnya Bibi Susan. Sinting dipukulnya begitu keras sehingga selama setengah jam tak berani keluar dari bawah kursi panjang. Bibi Susan juga
mencoba memukul Sarden, tapi Sarden sempat lolos."
"Dasar kucing licik," kata Roger.
"Wah, kasihan betul kau, Sinting."
"Habiskan saja makanan Sarden," bujuk Diana.
"Kelaparan setengah mati pun ia takkan sudi menyentuh ikan sarden," kata Snubby.
"Kalian berdua dari mana sih?" Roger dan Diana bercerita tentang perjalanan mereka.
"Begitulah, pasar malam itu telah berpindah ke Ricklesham. Kini kita tinggal menunggu, apakah ada pencurian terjadi ditempat itu."
"Kalau kita bisa menghubungi Barney, tentu mudah," kata Diana. la pasti kenal beberapa orang dipasar malam itu. la telah mengembara ke seluruh pelosok negeri kita, mengikuti pasar malam, sirkus, ngamen ... pokoknya apa saja!"
"Ya, aku juga ingin sekali bertemu kembali dengan Barney," kata Snubby,
"juga dengan Miranda." Snubby memang sangat menyukai monyet milik Barney tersebut
"Bagaimana kalau kita berkirim surat ke alamat terakhir yang ada?"
"Tak ada gunanya," kata Roger.
"Telah kami coba, tetapi tak ada jawaban. Kita terpaksa harus menunggu sampai dialah yang menulis pada kita." Seekor anjing asing memasuki taman. Tetapi anjing tersebut langsung lari kembali ke luar dengan kecepatan puncak begitu Sinting melontarkan dirinya ke arahnya, sambil menyalak-nyalak bagaikan gila.
"Agaknya ia sudah tidak sedih lagi,"
kata Snubby. "Lihat, ekornya sudah bisa bergoyang-goyang lagi." Si Sinting masuk ke dalam rumah, dengan ekor kecilnya masih bergoyang-goyang. la keluar lagi denga
n membawa sikat yang biasa berada di atas perapian kamar duduk.
"Lihat itu!"Roger mengeluh.
"Akhir-akhir ini aku selalu membawa sikat ke sana kemari, mengembalikan sikat-sikat yang dibawa oleh Sinting! Benar-benar sinting!" Roger dan Diana masuk ke rumah, membawa sikat yang tadi dibawa oleh Sinting. Snubby mengambil buku dan pergi ke pavilyun di taman. Tetapi ternyata tempat itu sudah ditempati oleh Kakek.
"Oh maaf, Kek," kata Snubby, bergegas untuk mundur. "Tak apa-apa, Nak, kemarilah!" kata Kakek Robert.
"Masih banyak tempat di sini. Aku ingin berbicara denganmu."
Snubby tak pernah merasa senang bila mendengar bahwa seorang dewasa hendak berbicara dengannya. Paling-paling ia ditegur untuk sesuatu perbuatannya. Tapi terpaksa ia duduk, menanti.
"Tentang komplotan yang kaukatakan dulu itu," Kakek mulai dengan suara yang dibuat-buat berwibawa.
"Tentang mmm... Komplotan Tangan Hijau itu .... Berita apa lagi yang kaudapat tentang mereka..." Ataukah ... semua ini hanya khayalanmu belaka?"Snubby berpikir-pikir. Sebetulnya ia tak ingin memutuskan begitu saja khayalannya tentang Komplotan Tangan Hijau itu. Begitu seram, tapi nikmat rasanya. Tetapi memang tak baik bila membuat Kakek tegang oleh cerita itu. Sebab, mungkin saja Kakek bercerita pada Paman Richard, dan entah apa jadinya nanti. Paman Richard sama sekali takkan bisa mengerti bahwa itu semua cuma main-main. la akan menuduh bahwa itu suatu dusta, dan dusta harus dihukum.
"Mungkin komplotan itu telah kehilangan jejakku," kata Snubby akhirnya, mencari jalan yang aman.
"Sejak aku di sini, aku tak lagi mendengar berita apa pun tentang mereka." Paling tidak, kalimat terakhir tadi ada benarnya.
"Benar?" Kakek Robert memandang Snubby dengan pandang mengejek.
"Mmmm ... mungkin komplotan itu lebih tertarik untuk mencari korban yang lebih besar, ya" Sesuatu yang lebih penting daripada seorang anak seperti kau?" Snubby mengejap-ngejapkan matanya. Sialan! la malahan diejek! Tiba-tiba suatu pikiran muncul di otaknya, dan tanpa berpikir dua kali lagi, langsung diucapkannya,
"Ya, agaknya begitu, Kek. Aku yakin dalam waktu dekat ini Kakek akan mendengar kegiatan mereka di Ricklesham."
"Ricklesham?" Kakek sangat kaget.
"Mengapa Ricklesham?" Snubby menyesal telah sembarangan berbicara. Gugup ia mencari-cari alasan. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah
"Tak tahu, Kek. Mungkin hanya suatu firasat ,aku kenal benar mereka sehingga rasanya bisa kutebak di mana mereka akan ... akan bertindak."
"Diberkati Tuhan kiranya kita!" seru Kakek dan menatap wajah Snubby.
"Heran, aku sama sekali tak bisa mengerti dirimu. Enak saja kau berbicara tentang komplotan jahat serta cara mereka bekerja. Padahal...padahalkau begini kotor, nakal,. dan ... ih, kaulah anak dengan kuku yang paling menjijikkan yang pemah kujumpai!" :
Ini suatu pukulan telak bagi Snubby. Dilirik kuku-kuku jari tangannya. Setiap orang yang dijumpainya pasti suatu saat menegurnya tentang hal tersebut. Mengapa mereka tidak mengurus diri mereka sendiri" Bukankah ia tak pernah mengejek
kuku mereka yang bersih" Mengapa mereka mengejek kuku kotor"
"Baiklah, biar aku membersihkan kuku dulu ..." . Snubby bangkit, gembira memperoleh alasan untuk meninggalkan Kakek sebelum orangtua itu , bertanya hal-hal yang menyulitkan dirinya.
"Bagus sekali,"
kata Kakek
Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan mumpung kau lagi rajin, bersihkan juga bagian belakang telingamu. Dan coba lihat, apakah tanganmu mampu untuk membersihkan kudukmu."
Snubby lari. Pedas sekali sindiran orang tua itu. Dan saat itu juga Snubby menyikat kukunya keras-keras, sambil berharap moga-moga ada komplotan penjahat benar-benar yang datang untuk menakut-nakuti Kakek. Diana berseru dari kamarnya,
"Snubby" Kaukah a itu" Mari masuk!" Snubby pergi ke kamar Diana. Dilihatnya Diana dan Roger duduk ditempat tidur, memperhatikan peta yang terbentang di hadapan mereka. a
"Apa itu?" tanya Snubby.
"Peta yang ada Ricklesham," kata Diana.
"Kami pikir kita harus hapal jalan kesana, kalau-kalau kita harus ke sana untuk menonton pasar malam. Sekitar sembilan kilometer Kau boleh ikut, kalau kau bisa menahan diri untuk tidak terlalu nakal."
"Astagal Lihat: Kuku Snubby bersih!" Roger keheran-heranan.
"Kau ingin mengubah seluruh perangaimu, Snubby?"
"Ah, tutup mulutmu!" keluh Snubby, sangat malu akan jari-jari tangannya yang kini berkuku * bersih rapi.
"Aku didesak Kakek ... dan hei, aku
" telah mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tak boleh diketahuinya." "Mulutmu memang sering bocor," kata Roger. Apa sih yang kaukatakan?"
"Mula-mula ia mengejek Komplotan Tangan g Hijau yang kuceritakan dulu," kata Snubby.
"Dan ketika kukatakan bahwa hari-hari ini tidak ada.
" berita tentang komplotan itu, ia semakin mengejek, sehingga aku penasaran dan kukatakan bahwa Komplotan Tangan Hijau mungkin akan turun a tangan di Ricklesham." - Sesaat semua terdiam. Diana dan Roger memperhatikan Snubby dengan pandang kecewa.
"Kau ternyata si Tolol terbesar selama ini," kata
Roger akhirnya. "Misalkan benar-benar terjadi m pencurian di Ricklesham, lalu apa pendapat Kakek nanti" Kau dengan Komplotan Tangan Hijau-mu yang tolol itu! Pastilah akhirnya ia akan berbicara tentang itu kepada Ayah!" P:
"Aku tahu," keluh Snubby, murung.
"Sayang hal itu baru terpikir olehku setelah selesai kuucapkan."
"Kau gila," kata Diana.
"Kita bisa mengalami suatu petualangan yang mengasyikkan... dan enak saja kau menghancurkan semua rencana."
"Mudah-mudahan tak ada pencurian di Ricklesham," Snubby berkata lemah tapi penuh harapan. Tetapi semua ternyata tidak setuju.
"Itusih berarti mengharapkan rencanaku gagal," kata Diana.
"Sama saja dengan mengatakan bahwa semua yang kupikirkan sesungguhnya hanyalah khayalan saja!"
"Bukan begitu maksudku, Diana, bukan begitu," seru Snubby memohon.
"Aku percaya penuh pada apa saja yang kaukatakan!"
"Apakah ia kita perbolehkan ikut ke Ricklesham atau tidak?" tanya Roger masam pada Diana.
"Kali ini kita maafkan. Tetapi kelak kalau ada satu saja rahasia kita yang bocor dari mulutnya, kita tak akan mengajaknya berunding lagi!" Snubby meninggalkan mereka untuk mencari Sinting. la merasa amat sedih. Tiba-tiba terdengar ia jatuh terguling-guling di tangga. Roger dan Diana mendengar hal ini, dan mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Pasti itu Sarden," kata Diana.
"ia sering menghadang Snubby di tangga." Kedua anak itu saling menyeringai.
"Yakinkah kau bahwa akan ada pencurian di Ricklesham?" tanya Roger, melipat kembali petanya.
"Ya ... yakin betul sih tidak," kata Diana.
"Ini hanya suatu firasat saja. Rasanya tak mungkin terjadi, dan kukira takkan terjadi sesuatu pun di Ricklesham."
"Setiap hari kita mengikuti koran dengan setia,
dan betapa nikmat rasanya nanti kalau nama Ricklesham muncul di koran!"
Bab 7 Snubby Mendapat Kesulitan
EMPAT hari berlalu. Tiap pagi ketiga anak itu menyimak koran setelah orang-orang dewasa selesai membacanya. Tetapi Ricklesham belum juga menjadi berita Sungguh mengecewakan. Tapi kemudian...beri itu muncul juga!
Pak Lynton pagi itu memandang sekilas berita-berita di koran. Dan tiba-tiba pandang matanya terhenti Cepat ia membaca beri tersebut dan berkata pada Kakek Robert,
"Paman ini ada berita yang mungkin menarik bagi Pama Kalau tak salah Paman pernah ikut ambil bagi dalam penyusunan kembali surat-surat antik bab ketujuh belas untuk koleksi Forbes-King, bukan?"
"Ya, benar," kata Kakek
"Suatu koleksi yg sangat indah. Surat-surat antik yang begitu menarik. Lalu kenapa?"
"Surat-surat itu dicuri orang!" kata Pak Lynton dan ketiga anak itu serentak tegak deng perasaan tegang.
"Dicuri orang!" Kakek ternganga.
"Betulkah" mana?"
"Koleksi Forbes-King itu dipinjamkan kepada Curtice-Knowles, di Gedung Ricklesham,"kata Pak Lynton. Diana berseru tertahan. Di bawah meja kaki Roger menendang kaki Diana. Snubby gelisah memperhatikan Kakek.
"Gedung Ricklesham. Ricklesham, katamu tadi?" Kakek seakan-akan berpikir keras.
"Astagal Ricklesham!" la berpaling pada Snubby. Snubby pernah berkata Komplotan Tangan Hijau akan beraksi di Ricklesham-dan ternyata benar!Pasti merekalah yang mencuri surat-surat antik berharga itu. Kakek berpikir keras. Kalau begitu ... ya, itu berarti bahwa komplotan yang ditakuti Snubby adalah komplotan yang juga terlibat dalam pencurian surat-surat antik!
"Padahal mestinya komplotan tersebut sama dengan komplotan yang mencuri di Istana Chelie, sewaktu aku berada di sana," pikir Kakek.
"Ajaib sekali bahwa anak itu ternyata terlibat dalam peristiwa seperti itu. Sangat ajaib. Aku harus menanyainya lebih teliti. Dan ya, mestinya polisi harus segera diberi tahu."
Snubby tak berani memandang Kakek, takut kalau tiba-tiba orangtua itu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang pasti sulit dijawabnya. Untunglah Nyonya Lynton ikut berbicara,
"Tetapi, Richard, apa kau berpendapat bahwa para pencurinya adalah komplotan yang mencuri di Istana Chelie ketika Paman Robert ada di sana" Apa di situ disebutkan bahwa mereka berhasil mencuri
barang-barang tersebut dari kamar yang terkunci" Apakah jendelanya juga dikunci?"
"Ya Agaknya peristiwa ini sama anehnya derigan peristiwa di Chelie," kata suaminya.
"Di Gedung Ricklesham terdapat sebuah kamar yang terpisah dari kamar lain. Di sinilah kertas-kertas antik itu dipamerkan, di dalam peti-peti kaca. Pintu kamar ini kemudian dikunci, dan jendelanya bukan saja dikunci, tetapi juga diperkuat dengan terali. Begitulah kata koran."
"Dan ternyata benda-benda itu tercuri!" Nyonya Lynton keheranan.
"Sungguh aneh. Polisi pasti juga sangat kebingungan." | Kakek Robert mengambil koran itu, dan hati-hati membaca berita tersebut. Tak disebutkan tentang Komplotan Tangan Hijau. Entah bagaimana Snubby bisa tahu bahwa akan ada kejahatan
di Ricklesham. la mengangkat kepala untuk memandang Snubby. Tetapi anak itu telah pergi
Ia telah berkata pada bibinya bahwa sarapannya sudah cukup, karenanya ia ingin meninggalkan meja makan lebih dahulu.
"Apakah kau tak enak badan, Sayang?" tanya Nyonya Lynton. Tapi melihat bahwa pipi Snubby tetap semerah biasa dan tak ada tanda-tanda bahwa anak itu sakit, ia pun kemudian mengangguk. Snubby menyelinap ke luar, merasa beruntung bahwa Kakek sudah asyik dengan koran yang dibacanya.
Ramai sekali pertemuan ketiga anak itu di pavilyun dalam taman. Snubby, Roger, dan Dianasegera bergegas ke tempat itu setelah tugas-tugas pagi mereka selesai. Si Sinting juga ikut berlari ke tempat tersebut, merasa bahwa suasana sedang tegang.
"Roger, Kakek terus-menerus memandangku tadi," kata Snubby ketika mereka semua sudah berkumpul.
"Aku yakin, ia akan bertanya sesuatu yang pasti sulit kujawab. Aku tak ingin bertemu dengannya. Kalau kalian ditanya, katakan kaliantak tahu di mana aku."
"Tapi kami tak boleh berdusta. Kalau kami tahu di mana kau, maka terpaksa kami katakan," kata Diana.
"Baiklah, kami akan berusaha keras untuk tidak membuka rahasia persembunyianmu. Itulah akibatnya kalau sembarangan berbicara. Kini Kakek pasti percaya benar akan Komplotan Tangan Hijau-mu."
"Ya, memang begitu," keluh Snubby.
"Sinting, duduk kau di luar pintu, berjaga-jaga. Berjagajaga! Dengar" Kau tahu artinya. Menyalaklah bila kaulihat ada seseorang datang kemari."
Sinting duduk di luar, memukul-mukulkan ekornya ke lantai. la mengerti benar arti
"Berjagajaga". Sekali dia menyalak keras. Cepat Snubby bersembunyi di bawah bangku yang sempit, sementara Diana dan Roger duduk berdampingan sehingga kaki mereka menutupi Snubby. Tetapi ternyata yang muncul adalah Sarden. Kucing itu melihat Sinting duduk menganggur, maka ia datang untuk mengajaknya bermain-main. Berjalan di jalan setapak taman itu, ekor hitamnya
diangkat tinggi-tinggi, dan dari mulutnya keluar suara mendengkur berkepanjangan. Sinting tahu bahwa suara dengkur itu berarti,
"Jangan kejar aku", seperti diisyaratkan olehnya dengan jalan menggoyang-goyangkan ekor. Tetapi, ia toh sedang berjaga. Maka ia menyalak keras. Dan Sarden tertegun terkejut. Berhenti agak jauh, kemudian menjilat-jilat dirinya. Si Sinting heran juga, mengapa kucing begitu sering memandikan diri. "Aman, Snubby ... Sarden yang datang," kata Diana, mengintip keluar pavilyun.
"Diam, Sinting! Kau berjaga-jaga terhadap orang, bukannya kucing!" Si Sinting berhenti menyalak. Sarden berjalan santai mendekat, sambil menggeram-geram bangga. Si Sinting menggerak-gerakkan ekornya. Sarden berbaring, menjulurkan tubuhnya panjang- panjang, menyentuh hidung Sinting dengan cakarnya. Sinting menggeram perlahan, yang berarti,
"Maaf, aku tak bisa bermain kini; aku sedang berjaga." Maka Sarden memutuskan untuk tidur saja, dengan mata dibuka sedikit, siapa tahu si Sinting berubah pendirian. Sinting juga menaruh kepalanya dan tidur, tetapitelinganya yang panjang masih terus berjaga-jaga. Snubby keluar dari bawah bangku, badannya kotor kena debu dan sarang labah-labah-tempat itu namanya saja pavilyun, tetapi sesungguhnya bentuknya mirip gardu terbuka di tengah taman dan bagian bawah bangku itu tak terlalu sering dibersihkan.
"Si Sinting itu betul-betul gila," gerutunya.
"Lihat aku kini ... begini kotor!"
; "Memang agak lebih buruk dari biasanya," kata Diana setelah memperhatikan Snubby.
"Duduklah lagi. Masih banyak yang harus kita bicarakan."
Lama juga mereka berbicara tentang peristiwa yang sedang mereka hadapi. Mereka telah membaca berita dikoran itu berkali-kali. Sekali lagi surat-surat antik berharga telah dicuri. Sekali lagi pencurinya memasuki sebuah kamar yang terkunci rapat.
Dan yang paling penting: pencurian itu terjadi pada saat di distrik itu sedang diadakan pasar malam. Ini bukan suatu kebetulan lagi. Pasar malam tersebut - atau salah seorang di dalam pasar malam itu-pasti ada hubungannya dengan pencurian itu. Dan orang, atau orang-orang, tersebut pastilah sangat pandai. la tahu nilai surat-suratantik, ia tahu dimana tempatnya, dan ia tahu bagaimana harus mengambilnya.
"Tetapi sulit juga untuk menerima hal itu," kata Roger setelah berpikir agak lama.
"Orang-orang yang mengadakan pertunjukan itu rasanya tak mungkin punya pengetahuan tentang surat-surat antik. Surat-surat tersebut hanya bisa dinilai atau dinikmati oleh orang-orang seperti ... yah, seperti Kakek Robert. Harus melalui suatu pelajaran yang khusus."
"Jadi haruslah seorang ahli barang-barang
antik," tambah Diana, dan dengan sedikit menyombong berkata lagi,
"Orang-orang seperti itu disebut antiquarian. Begitulah kata Kakek Robert padaku."
"Astaga! Tadinya kukira seorang anti ... anti ... anti entah apa yang kausebut tadi adalah seseorang yang tidak setuju atau anti terhadap akuarium," kata Snubby betul-betul tercengang.
"Tak heran aku." Roger tertawa.
"Dengan pikiranmu, pastilah itu kesimpulanmu. Ingat saja, kata-katanya adalah antiquarian, bukan antiakuarium!"
"Kedengarannya sih sama saja," kata Snubby.
"Omong-omong ... kita pergi ke Ricklesham tidak?" Roger menoleh pada Diana, dan keduanya mengangguk perlahan.
"Ya, kita akan pergi ke pasar malam itu," kata Roger.
"Kita akan menyelidik berkeliling dan mencari-cari keterangan, apakah ada seseorang ahli barang-barang antik di antara para pesertanya. Kalau itu ternyata benar, maka mungkin kita berada di jejak yang benar."
"Pikiran yang bagus," kata Snubby.
"Kemudian kita bisa melapor pada polisi."
"Rasanya takkan semudah itu," kata Diana.
"Kita..." Perkataannya terputus. Sinting menyalak kalang kabut. Snubby langsung masuk ke dalam kolong bangku sekali lagi, dan Roger serta Diana menutupinya dengan kaki mereka."Kali ini betul-betul Kakek, Snubby,"bisik Roger.
"Jangan bergerak, jangan bersuara. Kami akan berusaha untuk menyembunyikanmu."
Kakek muncul di pintu dan melihat berkeliling.
"Ah, memang kuduga kalian ada di sini," katanya.
"Aku ingin berbicara pada Snubby."
"Akan kami katakan padanya, Kakek," kata Roger dengan sopan dan tidak berdusta.
"Ibumu berkata, ia mungkin ada di sini," kata Kakek.
"Betulkah?" tanya Diana.
"Apakah Ibu sibuk, Kek" Apakah aku harus menemuinya?"
"Hebat sekali cara Diana mengalihkan pembicaraan," pikir Snubby di bawah bangku dengan kagum.
"Tidak. Ibumu tidak memanggil kau ataupun Roger. Kalian tahu di mana Snubby?"
"Pasti ia tak terlalu jauh dari sini," kata Roger, dan ini pun bukan dusta.
"Si Sinting kan tak pernah jauh darinya." Sinting menggoyang-goyangkan ekorn
ya saat mendengar namanya disebut. la sangat heran melihat Snubby di bawah bangku, dan ia ingin menyusul masuk ke sana. Tetapi setiap kali ia
mendekat, selalu kaki Diana atau Roger menghadang mengancam.
"Apakah ia akan mendengar bila aku memanggilnya?" tanya Kakek.
"Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengannya."
"Coba saja Kakek berteriak," kata Diana.
|Kakek Robert segera berteriak,
"Snubby! . SNUBBY Kemarilah! SNUBEY" Tentu saja tak ada jawaban, kecuali salakan hebat Sinting yang membuat Sarden langsung n meloncat ke atas tembok.
"Kaupikir dia mendengar?" tanya Kakek. k
"Er... kalau ia cukup dekat, pasti ia mendengar," kata Roger hati-hati.
"Tapi tak apalah, biar nanti a kusampaikan padanya bahwa Kakek ingin berbicara dengannya." s
Kakek kembali berteriak, merasa yakin bahwa Snubby tak jauh dari tempatitu,
"SNUBBY! CEPAT KEMARI!"
"Kakek! Wanita di seberang jalan yang punya bayi itu kulihat menjulurkan kepalanya ke luar jendela!" kata Diana.
"Kuharap saja bayinya tidak sedang tidur."
"Ya, ampun! Aku lupa tentang bayi itu!" kata Kakek.
"Bisa-bisa aku didampratnya lagi. Baiklah tolong katakan pada Snubby bahwa aku mencarinya, ya?" Kakek pergi, dan Roger serta Diana bernapas
lega. "Kau bisa keluar kini, Snubby," kata Roger."la sudah jauh."
Snubby keluar, semakin kotor lagi badannya.
"Kalian sungguh pandai menghadapinya," ia berkata kagum.
"Tidak berdusta dan tidak mengatakan di mana aku berada. Terima kasih banyak."
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa menghindari sepanjang hari," kata Diana.
"Pasti sangat sulit."
"Aku punya usul," kata Snubby berseri.
"Bagai mana kalau sekarang juga kita pergi ke Richklesham" Kita bisa pergi dan baru pulang nanti sore, kita bawa bekal untuk makan siang."
"Bagus. Usul yang bagus," kata Roger
"Baiklah, aku akan minta izin Ibu dulu. Ayo, Di Kau di sini saja, Snubby. Kau akan kamijemput bilakami telah
siap." Bab 8 Berangkat ke Pasar Malam NYONYA Lynton segera menyetujui renc ketiga anak itu untuk pergi piknik. Pasti cukup menyenangkan bila sekali-sekali keadaan dirumah cukup tenang dan damai. Pasti Kakek Rober tak sangat menyukai hal itu.
"Dimana Snubby?"kata Nyonya Lynton.
"Kakek kalian tak henti-hentinya memanggilnya. Apakah ia berbuat salah?"
"Kukira tidak," kata Roger.
"Ibu ... bagaimana kalau kami dibekali telur rebus dan roti lapistom Dan mungkin masih ada selai sisa kemarin?"
"Banyak sekali yang kau bawa
" Ibunya tersenyum. "bagaimana kalau kau pergi saja ke juru masak didapur menanyakan dia punya apa saja" Agaknya sedang merasa senang pada kalian kare kemarin kalian membantu membawakan ikan.Akuyakin ia cukup murah hati menghadapi segala keinginan kalian.
Memang benar. Dengan senang hati juru masak memberi mereka telur rebus, dengan garam merica dibungkus di kertas, membuat selusin roti
lapis dengan isi tomat dan sla, roti tawar dan mentega, enam potong kuetar selai, dan sepotong besar kue jahe.
"Wuah, hebat benar! Betulkah Anda akan memberikan kue jahe itu pada kami?" tanya Roger.
"Kan baru kemarin Anda buat. Be
gitu penuh dengan potongan jahe dan buah ceri. Sedapnya selangit!" Kakek muncul di pintu.
"Oh, kau. Kudengar suaramu dari luar. Kau sudah bertemu Snubby?" Roger berpaling pada juru masak.
"Anda melihat Snubby?" Juru masak menggelengkan kepala.
"Kurasa belum kulihat dia sejak pagi tadi. Dan itu sungguh aneh. Biasanya anak itu keluar-masuk dapur saja kerjanya, sebentar-sebentar minta ini itu. Tidak. Anjingnya juga tak kulihat."
"Aneh sekali, ia takbisa kutemukan," kata Kakek
dekatku. Begitu diperlukan, ia lenyap. Padahal beberapa menit lagi aku akan kedatangan tamu."
Kakek pergi. Diana mengerjapkan mata pada Roger.
"Kau dengar itu" la kedatangan tamu. Jadi kita dengan mudah bisa menyelinap ke luar dengan Snubby. Ambil beberapa botol sari jahe, dan kita siap sudah."
Dalam waktu lima menit, mereka sudah siap. Makanan mereka bagi menjadi dua bungkus yang rapi. Roger dan Diana membawanya ke gudang tempat sepeda. Roger berkata,
"Biar Kakek kuintip dulu, apakah tamunya sudah datang." Ia pergi, dan segera kembali.
"Ya, ia sedang menemui tamunya.
- Snubby. Cepat!" katanya. : Mereka bergegas. Makanan mereka masukkan ke dalam keranjang. Sebuah kotak mereka ikatkan pada bagasi sepeda Snubby, dialasi dengan selembar alas kaki. Ini untuk si Sinting. Bila tak berlari, ia boleh duduk di kotak tersebut. Dan Sinting sudah berpengalaman dalam hal seperti ini. Mereka menuntun sepeda ke pavilyun. Sinting menyambut keduanya dengan salakan kegirangan. Sepeda berarti jalan-jalan sangat jauh. Tak bisa mampir-mampir, tetapi pasti sangat menyenangkan. Snubby mengintip ke luar, mendengar bel-bel sepeda dibunyikan, tanda keadaan aman. |"Semuanya beres" Bagus. Di mana Kakek tanyanya.
"Ia ada tamu," jawab Diana.
"Kita sudah siap dengan makanan dan minuman sari jahe. Kotak untuk Sinting juga sudah siap. Ayo, berangkat." Mereka berangkat. Bersepeda sepanjang jalan setapak di dalam taman itu, dan terpaksa melewati
bagian luar kamar yang dipakai Kakek untuk bertemu dengan tamunya. Dan tepat pada saat itu : Kakek sedang melihat ke luar jendela. Betapa kesalnya ia melihat Snubby.
" "Itu dia," keluhnya.
"Tepat seperti yang kuduga. Begitu aku tak bisa menemuinya, dia muncul!" Si Sinting berlari di samping sepeda Snubby, lidah merah terjulur panjang keluar, merasa sangat berbahagia. Ia tahu anak-anak itu akan menjaga
" kecepatan sepedanya, sehingga tak terlalu cepat
" baginya. Kalaupun ia capai, Snubby pasti segera
" melihat hal itu dan ia akan diperbolehkan naik di kotak di belakang Snubby, di bagasi sepedanya.
" Bagaikan seorang bangsawan naik kereta! Saat saat itu membuat Sinting berpikir bahwa anjinganjing lain beberapa tingkat jauh di bawahnya.
"Kita akan berpiknik di tempat pasar malam itu atau di dekatnya," kata Roger. Pasar malam tersebut memang juga mengadakan kegiatan di siang hari.
"Dengan begitu kita akan punya banyak waktu untuk melihat beberapa anggotanya."
"Kalian bawa uang?" Snubby mendencingkan uang di sakunya.
"Aku senang pasar malam. Aku akan naik komidi putar, ayunan, dan mencoba melempar gelang. Dulu aku berhasil memenangkan sebuah lampu senter hebat!"
"Aku masih punya cukup uang, uang saku liburanku," kata Roger.
"Diana juga. Malah lebih banyak dari punyaku. Kita akan cukup bis
a - senang-senang nanti."
"Kita bisa beli eskrim," kata Diana.
"Kau harus ingat untuk tidak membawa Sinting naik komidi putar, Snubby. Kau ingat, dulu ia pernah muntah-muntah karenanya."
"Ya, padahal ia baru saja makan makanan lezat!" kata Snubby.
"Bukankah begitu, Sinting" Apakah kami terlalu cepat?"
Sinting kehabisan napas sehingga tak bisa menjawab dengan salakannya. Tetapi ia belum tampak lelah. Dengan enak ia berlari mencongklang dengan kaki hitamnya yang mengkilap bagai sutra, daun telinganya berkepak-kepak.
Setelah bersepeda sekitar lima kilometer, mereka berhenti. Sinting dinaikkan ke kotaknya, terengah-engah dan lidahnya menjulur ke luar hampir sama panjang dengan telinganya.Memang sejauh itulah ia biasanya kuat berlari
"Diam-diam saja, Sinting," kata Snubby, naik kembali ke sepedanya.
"Kita berangkat!"
Sinting pandai menjaga keseimbangan, dan ia senang sekali naik di situ. Snubby sendiri tak begitu senang, sebab Sinting cukup berat! Walaupun begitu, lebih baik seperti itu daripada harus meninggalkan Sinting di rumah sendirian.
Akhirnya mereka tiba di Ricklesham. Mereka melewati gedung di mana terjadi pencurian kertas-kertas berharga itu. Di pintu pagarnya berdiri seorang polisi berjaga. Hal ini membuat ketiga anak itu sangat tertarik. Mereka berhenti dan mendekat.
"Dilarang masuk tanpa surat keterangan khusus," kata polisi yang menjaga itu.
"Peraturan ini juga berlaku bagi anjing."
Anak-anak itu tertawa. "Apakah sudah ada petunjuk siapa yang melakukan pencurian?"tanya Roger.
"Belum ada keterangan," kata polisi tersebut.
"Kalian juga sedang menyelidiki peristiwa ini?"
Kembali anak-anak itu tertawa dan melanjutkan perjalanan.
"Pasti polisi itu tak tahu bahwa sebetulnya kita memang sedang melakukan penyelidikan," kata Diana.
"Sekarang kita cari di mana letak pasar malam tersebut."
Mereka menanyakan pada seorang wanita tua.
"Dekat padang Longlands, di balik hutan," kata wanita tua itu.
Mereka mengucapkan terima kasih dan berangkat lagi. Sinting kembali naik di kotak sebab lalu lintas cukup ramai. Mereka mengitari hutan dan memasuki sebuah daerah terbuka. Dan di tepinya, di sebuah padang yang luas, pasar malam itu berada.
"Itu dia," kata Roger, berhenti dan bersandar pada sebuah pagar dengan masih duduk di atas sepedanya.
"Megah juga. Agaknya pasar malam itu cukup besar."
Beberapa tenda besar berdiri. Ada yang persegi, ada yang bundar. Berbagai karavan berhias mengitari tenda-tenda itu. Di padang rumput beberapa ekor kuda sedang merumput dan tampak pula dua ekor gajah diikatkan pada sebatang pohon. Besar-besar!
Komidi putar agaknya tidak dijalankan. Tampak meriah dengan warna-warni catnya, dan berbagai jenis binatang seperti: burung, singa, harimau,
angsa, anjing, kucing, beruang yang mirip
simpanse. Semuanya terbuat dari kayu, meriah tetapi sunyi. Ayunan ada di dekat tempat tersebut, tetapi tak ada seorang pun yang menaikinya.
"Mungkin waktu makan," kata Roger sambil melihat arlojinya.
"Ya. Jam satu kurang seperempat. Kukira sore ini akan cukup meriah bagi kita."
"Ada arena adu tembak di sebelah sana," kata Snubby.
"Nanti aku akan ikut perlombaan menembak itu. Dulu aku pernah jadi juara."
"Ya, tetapi bila kau akan menembak, cepat beritahukan aku agar aku bisa menjauh terlebih dulu," goda Diana.
"Tetapi pasar malam ini begitu luas! Begitu penuh isinya. Dan tak seorang pun mirip seorang anti ..."
"Hus!" kata Roger.
"Semua pagar, pagar hidup maupun tembok bisa saja mempunyai telinga. Ayolah, kita masuk lewat pintu gerbang. Nanti kita bisamakan dipadangnya. Kita bilang saja kita nanti akan ikut membuang uang di pasar malam ini."
Mereka mendekati pintu gerbang.Tetapi mereka segera dicegat dan ditegur oleh seorang anak berambut acak-acakan,
"Hei ... kalian dilarang masuk sebelum jam dua!"
"Kami akan menonton pasar malam sepanjang sore nanti," kata Roger.
"Sekarang kami hanya akan makan dulu. Apakah boleh?"
"Baiklah kalau begitu," kata anak tersebut
: akhirnya. Mukanya sungguh aneh. Rambutnya kuning tak keruan macamnya, telinganya besar tegak mencuat, dan bila menyeringai ujung h mulutnya hampir mencapai telinga. Tubuhnya kecil bahkan lebih kecil dari Snubby, tetapi
tampaknya lebih tua. Mungkin umurnya sekitar l lima belas tahun.
- "Entah apa yang dilakukannya di pasar malam i ini," kata Roger sambil membuka bungkusan makanan.
"Di, minuman ada padamu. Biskuit si Sinting ada di keranjangmu, Snubby. Lebih baik l jangan perbolehkan ia pergi jauh, bisa-bisa ia dimakan habis oleh kelompok anjing liar itu!"
Sinting tak pernah punya keinginan untuk pergi jauh bila ia tahu bahwa makanan sedang dipersiapkan. Lagi pula ia juga tak senang pada wajah kelaparan anjing-anjing liar yang duduk memperhatikannya dari kejauhan. Sinting menggeram sekali pada mereka, hanya untuk memberitahukan siapa dia.
Enak sekali makan mereka. Telur rebus segera habis, begitu juga roti-rotilapis. Si Sinting kebagian satu-dua, tetapi tak lebih dari itu, sebab anak-anak itujuga sangat kelaparan. Kue selai dan kuejaheia g tak dapat sama sekali, walaupun akhirnya ia berhasil meminta dua potong roti dan mentega 3 dari Diana.
"Jam berapa sekarang?"tanya Snubby.
"Sudah jam dua" Itu orang-orang mulai berdatangan ke
pintu gerbang. Mungkin komidi putarnya akan p segera mulai." Para anggota pasar malam juga tampak mulai bekerja. Beberapa orang mengangkut papan pemisah dari gudang. Seorang memeriksa perahu ayunan. Dan anak yang tadi menegur mereka sambil bersiul-siul membawa beberapa senapan, pergi ke tempat pelombaan menembak.
Seekor gajah mendengking keras sehingga si Sinting terlompat. Dari arah karawan-karavan beberapa orang muncul, bergegas pergi ke berbagai tenda. Pasar malam dibuka!
Anak-anak membersihkan bekas makan mereka. Bahkan Snubby yang biasanya malas juga ikut bekerja. Mereka tak pernah meninggalkan kertas secuil pun bila habis makan di tempat terbuka. Si Sinting mencium-cium tanah untuk mencari rontokan makanan.
"Lihat, apa itu yang berlari ke sini?" tanya Diana tiba-tiba.
"Ampun! Itu monyet! Ya, monyet Berpakaian lengkap! Hei ... ia menuju kemari Sangat mirip dengan Miranda, ya?"
Monyet tadi memang berlari ke arah mereka, dan bagaikan terbang meloncat ke bahu Snubby, mencereceh ribut sekali, mencengkeram rambutnya. Yang lain memperhatikannya dengan perasaan tegang.
"Roger! Ini Miranda!" teriak Diana. Dan ketika Monyet tersebut mendengar nama itu, ia pun melompat ke bahu Diana. Cakarnya yang keciperlahan membelai pipi gadis itu
- tepat seperti kebiasaan Miranda!
"Ya! Dia Miranda! Dan kalau ada Miranda ... Barney pasti juga ada di sini!" teriak Snubby kegirangan.
"Ayo, mari kita cari dia! Ajaib sekali. Barney ada di sini!"
MEREKA melewati tempat perlombaan menembak, di mana anak berambut kuning tadi masih
tanya Roger. "Ya. Monyet itu miliknya," sahut anak tersebut
Komplotan Tangan Hijau Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan menyeringai lebar.
"Ajaib, Miranda berpakaian seperti itu dan mau bermain dengan kalian."Barney ada di sini!" seru Diana, masih hampir tak percaya. Mereka saling pandang dan tersenyum.
"Untung sekali ... betul-betul tak terduga!"
Si Sinting melonjak-lonjak, mencoba meraih Miranda. Jadi anjing itu juga mengenalisi monyet! Dan tiba-tiba Miranda melompat turun, hinggap di punggung si Sinting seperti biasa dilakukannya, dan memperlakukan anjing itu sebagai kuda. Tetapi Sinting tahu cara menanggulangi hal seperti itu. Cepat ia berguling-guling di tanah sehingga Miranda terpaksa melompat pergi.
Ia melompat kembali ke bahu Snubby, mencereceh lagi. la memakai gaun merah, jaket biru dengan kancing perak. Begitulucu dan manis!
"Miranda," kata Roger, menjabat tangan kecil rnonyet itu,
"kau telah mengenali kami lebih dulu! Kau masih kenal pada kami!"
"Barney bekerja di tempat lempar gelang," kata si Rambut Kuning.
"Dia yang mengurus tempat itu."
Roger dan kawan-kawannya bergegas ke arah yang ditunjukkan. Seorang anak sedang membelakangi mereka di tempat itu, mengatur hadiah hadiah yang akan diperebutkan dengan jalan melontarkan sebuah gelang.
"Itu Barney!" seru Diana. Anak tadi menoleh. Dan ia memang Barney! Barney yang rambutnya bagaikan rambut jagung, mukanya coklat matang, mata birunya terpisah begitu berjauhan, serta senyumnya yang begitu menawan.
"Hai, ini baru kejutan!" seru Barney.
"Kalia bertiga ... bersama-sama! Hai, Roger, Diana! Hai Snubby dan Sinting! Masih segila dulu, tentunya!"
Si Sinting tentu saja juga segera mengenali Barney. la langsung melompat-lompat, menyalak, merintih, menjilat, mencium, dan entah mengapa lagi untuk menunjukkan pada Barney betapa gembiranya hatinya.
Miranda melompat ke bahu Barney dan mencereceh ribut.
"Miranda yang menemukan kami," kata Diana.
"la lari menyeberangi padang untuk menemui kami. Mula-mula kami tak mengenalinya, karena pakaiannya. Dulu diakan tidak berpakaian" Oh, ia manis sekali, Barney!"
"Sungguh senang berjumpa dengan kalian. Hebat sekali!" kata Barney dengan mata cemerlang bagai berlian.
"Aku selalu memikirkan kalian. Aku ingin sekali bertemu lagi dengan kalian. Apa yang kalian kerjakan di sini" Kalian tidak tahukan bahwa aku ikut pasar malam ini?"
"Tentu saja tidak," kata Roger.
"Kami datang kemari untuk suatu maksud...akan kami ceritakan nanti padamu bila tak ada orang lain bisa mendengar ... Kami sama sekali tak menduga kau ada di sini!"
"Mestinya kau bisa memberitahukan pada kami k bahwa kau akan datang kemari, Barney," kata Diana separuh menegur.
"Rumah kami tak jauh dari sini."
"Apa benar?" Barney sunguh heran. Tentu saja.
Ilmu buminya tidak begitu bagus, dan ia tak begitu
" mengerti nama-nama tempat di sekitar situ. la mengembara dari satu tempat ketempat lain tanpa mengetahui di mana sebenarnya ia berada.
"Tak pernah terpikir olehku hal itu. Aku memang tak terlalu bisa menulis surat. Tak apa, toh akhirnya
kita bertemu. Kalian sedang berlibur atau bagaimana?"
"Ya, kami sedang libur Paskah," kata Snubby.
"Kami masih punya waktu tiga minggu lagi. Berapa lama kau akan tinggal di sini?"
"Kira-kira satu minggu," kata Barney.
"Maaf, aku harus bekerja. Aku memegang kios lempar gelang ini. Tentu saja bukan milikku sendiri. Aku hanya menjalankannya. Perhatikan Miranda. Ia betul betul bintang kios ini!" Barney memberikan beberapa gelang pada seorang pengunjung, dan menerima uang untuk gelang-gelang tersebut. Si pengunjung berdiri di belakang palang yang memisahkan dirinya dari kios beserta sasaran lemparannya. Ia membidik.
"Anda ingin memperoleh jam weker itu, Nona?" seru Barney.
"Ayolah, bidik baik-baik ...." Gelang kayu itu meluncur, membentur rak, mental ke arah jam dan terjatuh, separuh bersandar ke jam tersebut. Gelang kedua dan ketiga menyusul Gagal semuanya.
"Sayang sekali, Nona," hibur Barney,
"hampir saja Anda memperoleh hadiah hebat! Ayo, Miranda, bekerjalah!"
Miranda sibuk, berlompatan kerak, dan dengar cekatan mengambili gelang-gelang yang berantakan. Anak-anak tertawa melihat tingkahnya.
"Oh, Barney! Pandai sekali dia!"
"Lihat saja nanti," kata Barney, sementara makin banyak pengunjung berdatangan.
"Ayo, Miranda lakukan tugasmu."
Miranda memandang bertanya pada Barney Sambil mencereceh ia mengambil kira-kira selusin gelang-gelang kayu. Dengan gelang-gelang di lengannya, Miranda mendekati para pengunjung mengacungkan tangannya yang kecil. Kepada yang memberinya uang, Miranda memberikan tiga buah gelang.
Para pengunjung merasa senang dan terhibur Mereka memanggil anak-anak mereka untuk melihat Miranda. Tak lama kios itu sudah penuh dengan pengunjung. "Miranda tak bisa menghitung lebih dari tiga," kata Barney.
"Untung juga kami hanya memberikan tiga buah gelang. Lagi pula bila Miranda memberikan kurang, pengunjung akan minta tambah."
"labetul-betul hebat," kata Diana.
"Barney, past banyak untungmu jika kau dan Miranda selalu mengumpulkan sekian banyak pengunjung."
"Memang," kata Barney,
"kurasa kiosku hasilkan uang terbanyak di sini. Tetapi hasil tentu saja bukan untukku. Semua harus kuberi pada Tonnerre, pemilik pasar malam ini penerima semua keuntungannya."
: "Tonnerre!" kata Diana.
"Aneh betul nama itu. * Apakah ia orang Prancis?"
"Ya, memang." Barney heran.
"Bagaimana kau tahu?" ini Tonnerre adalah bahasa Prancis untuk guntur." Diana menerangkan.
"Betulkah?"tanya Barney. Tak pernah kusangka ia punya nama sebagus itu. Cocok pula dengan pribadinya."
"Mengapa?"tanya Snubby, sambil memperhatikan Miranda memberikan gelang-gelang dan ia menerima uang lagi. *
"Pertama, suaranya mirip guntur. Dan badannya besar, selalu bergerak sehingga kakinya menimbulkan suara berdebam-debam," kata Barney
"Sifatnya menakutkan. Sering marah dan sangat pelit. Semua digaji rendah, dan ia akan marah besar bila ia tahu ada yang bermalas-malasan. Itu dia. dekat gajah-gajah. Gajah-gajah itu miliknya." Anak-anak berpaling ke arah yang ditunjukkan Barney. Mereka melihat dua ekor gajah sedang dilepaskan tambatannya dari batang pohon, untuk disewakan sebagai tungga
ngan berkeliling pasar malam. Orang yang memegang gajah-gajah tersebut berbadan tinggi besar: kakinya bagaikan batang pohon, bahunya lebar. la berteriak-teriak pada kedua ekor gajah tadi, dan suaranya begitu keras sehingga terdengar di mana-mana.
"Baterainya masih baru kali," kata Roger, menyeringai.
"Cocok sekali ia bernama Tonnerre. Mukanya juga semuram mendung."
"Selalu begitu," kata Barney.
"Tak mudah bekerja padanya. Anggota tetap pasar malam ini ada dua puluh orang. Yang lainnya tak tetap datang dan pergi sesuai dengan perjanjian. Aku telah ikut rombongan ini selama empat bulan, dan telah mengembara ke mana-mana."
"Aku tak suka suara Tuan Guntur itu," kata Diana.
"Apakah isterinya bernama Nyonya Petir?" Barney tertawa dengan tawanya yang begitu menular itu.
"Tidak, ia tidak menikah," katanya kemudi
"Kalaupun ada yang harus dipanggil Nyonya Petir maka orang itu adalah Mak Tua. Itu tuh, yang berdiri dekat karavan. Ampun, lidahnya begitu tajam. Siapa saja yang kena dampratnya, maka ia akan mengkerut kecut. Bahkan Tonnerre cepat menyingkir bila Mak Tua mulai marah padanya." Mak Tua tampangnya cukup aneh. Lebih mirip tukang tenung daripada entah apa. Ia berdiri di depan sebuah tungku besar, mengaduksesuatu d kuali besi yang tergantung di atas tungku itu Rambut Mak Tua sudah putih seluruhnya, mata coklat, hidung bengkok betet hingga hampir menyentuh ujung dagunya yang seruncing hidungnya. Kini ia berdiri menggerutu mengam masakannya di kuali besi.
"Aku yakin ia sedang membuat ramuan sihir, kata Diana, tertawa terkikik.
"Memang, banyak di antara kami yang berpendapat bahwa Mak Tua itu pandai sihir," Barney,
"dan mereka takutkena tenungnya.
aku tidakpercaya itu. Satu-satunya yang tidaktakut pada Mak Tua adalah si Bocah. Itu dia ... yang mengurus tempat perlombaan menembak itu."
"Oh, si Rambut Kuning," kata Snubby.
"Kami sudah bertemu tadi. Lucu ya dia" Mirip sekali dengan kurcaci, dengan kupingnya yang begitu besar mencuat. Kurcaci yang baik lho! Rambutnya
" mirip rambut Mak Tua, hanya warnanya yang berbeda, tetapi sama-sama kaku seperti kawat dan acak-acakan."
. "Mak Tua itu memang neneknya," kata Barney.
"Dan si Bocah sering mempermainkannya. Tapi orang lain takkan berani. Jangan dekati Mak Tua, lu bisa-bisa kalian diterkamnya nanti." ia
"Bisakah kami melihat simpanse yang diiklankan itu?"tanya Diana.
"Namanya Hurli dan Burli." "Oh, ya. Keduanya milik Pak Vosta," jawab p Barney.
"Kalian pasti menyukai Pak Vosta. Selalu dia gembira, dan selalu siap membantu apa saja .... . Kadang-kadangmalah rasanya kita jadi terganggu. Tae pernah menolak permintaan apa pun! . Mungkin sepanjang hidupnya ia telah mengikuti i pasar malam ini, dan seakan-akan sudah jadi budak Tonnerre siang malam. Aku tak mengerti ti hal itu. Aku takkan betah mengikuti pasar malam ini bila setiap hari harus ditendangi terus oleh Tonnerre pemarah itu." Menarik juga kehidupan di pasar malam ini, - dengan Tonnerre yang bermulut besar, Mak Tua yang berlidah tajam, si Bocah yang rambutnya acak-acakan, Vosta dengan kedua simpansenya
dantentu saja dengan adanya Barney dan Mira Ketiga anak itu dengan penuh perhatian dan rasa tertarik melihat berkeliling. Siapa kira-kira di anta para anggota pasar malam yang begitu cerdik bisa memasuki kamar dengan pintu dan jendela t
erkunci rapat" Mereka belum mengatakan hal itu pada Barney Tak ada waktu, sebab pengunjung begitu banyak Lebih baik tak mengatakan apa-apa sampai mereka bisa berbicara dengan leluasa.
"Pergilah kalian berkeliling," kata Barney,
"untu melihat-lihat. Sesungguhnya aku bisa menyuruh Miranda menjaga kios ini, ia agaknya bisa pandainya dengan aku. Tetapi kalau Tonnere melihat aku tidak berada disini, ia pasti mengamuk kalang kabut."
"Baiklah, kami akan kembali ke sini nanti. Wah betul-betul suatu kejutan menggembirakan bertemu denganmu di sini, Barney!"
Bab 10 Sore yang Berkesan MEREKA berkeliling, melihat-lihat dan mencicipiapa saja. Mereka naik komidi putar, naik ayunan perahu, naik gajah, dan bahkan menonton pertunjukan simpanse. Tak satu pun kelewatan!
"Coba putar komidi putar ini lebih cepat dari biasanya, yang tercepat yang kamu bisa!" kata Snubby pada anak yang mengurus komidi putar tersebut.
"Berpeganglah erat-erat kalau begitu," kata anak itu, menyeringai.
"Bagaimana dengan anjingmu?"
Tidak, ia akan muntah-muntah bila ikut naik," kata Snubby.
"Ia akan menunggu di sampingmu. Duduklah, Sinting, duduk!"
Snubby naik simpanse. Yang lain singa. Binatang-binatang dari kayu itu naik-turun sambil berputar cepat sekali, diiringi musik.
Pengurus komidi putar menepati janjinya. la memasang mesinnya sedemikian rupa sehingga putarannya luar biasa cepatnya. Anak-anak itu terpaksa berpegangan erat-erat. Kalau tidak, bisa terlontarjatuh. Diana merasa mulas perutnya, dan
akhirnya ketiga anak itu terpaksa menjerit-jerit minta diperlambat. Si pengurus memperlambat mesinnya dan menyeringai lagi.
"Bagaimana" Seperti ini cukup bagimu?"tanyanya pada Snubby yang kini tampak pucat, dan ternyata kemudian tak bisa berjalan lurus lagi. Kedua kawannya juga seperti itu.
"Gila," kata Snubby,
"jauh lebih cepat daripada yang pernah kunaiki! Cukup pantas bila harus membayar dua kali lipat."
Bukan saja putarannya cepat, tetapi musiknya juga jadi lebih cepat dari biasanya, dan ini terdengar oleh Tonnerre. Muka Tonnerre merah padam. la berteriak pada anak yang mengurus komidi putar itu. Tetapi anak itu tak mendengar teriakannya karena musik bermain begitu keras Baru setelah putaran berhenti, dan Tonnerre menambatkan gajahnya, si anak tahu bahwa ia akan mendapat bencana.
"Kau! Hei, kau! Anak kodok!" teriak Tonnerre dengan suaranya yang mirip guntur.
"Kaupikirapa yang kaulakukan" Kau ingin orang-orang sakit" Kau ingin mesinku rusak" Gr-rrh!"la mengakhir kalimatnya dengan menggeram gemas bagaikan suara seorang raksasa, begitu menggelegar sehingga Sinting meloncat terkejut. Plakkk Tiba-tiba Tonnerre menampar keras-keras anak yang mengurus komidi putar itu.
Snubby cepat maju, dan berkata,
"Pak Tonnerre Ini sesungguhnya kesalahanku. Aku yangmenyuruhnya mempercepat mesin itu dengan pembayaran dua kali lipat!" Tonnerre berpaling, dan tampaknya akan menampar Snubby pula. Tetapi tidak la berpaling kembali ke anak tadi dan berkata,
"Ah! Aha! Pembayaran dua kali lipat, ya" Mana uangnya" Kaupikir bisa kau sembunyikan,ya"Mana uangnya! Cepat! Cepat!" Nada suara Tonnerre aneh kedengarannya. Lagu bicaranya campuran Prancis, Inggris, Inggris kasar, serta Amerika. Badannya tinggi besar, lebih tinggi dari siapa pun. Kini ia b
erpaling pada Snubby. "Naik gajahku, ya" Tidak" Bayar dua kali lipat, dan aku buat gajah ini lari tunggang langgang. Ya?"
"Tidak, terima kasih ... maksudku, ya!" Snubby agak bingung menghadapi bahasa dengan lagu campur aduk itu.
"Aku mau naik gajah Anda. Tetapi tak mau tunggang langgang. Kurasa aku takkan tahan naik gajah yang lari tunggang langgang." Mereka pun naik gajah-gajah tersebut, yang membuat penunggangnya terayun ke kiri ke kanan, mengerikan. Si Sinting tak mau naik bersama Snubby. la duduk bersembunyi di balik sebatang pohon, sangat ketakutan melihat binatang-binatang raksasa yang agaknya punya ekor baik di depan maupun di belakang.
"Kini pergilah kalian menonton Pak Billy Tell," kata Tonnerre kemudian, sambil membantu mereka turun dari gajah-gajahnya.
"Ia orang amat, amat pandai. Dor, dor, senapannya. Dan plash! Apel hancur di atas kepala si Bocah."
"Agaknya Billy Tell melakonkan kembali pengalaman William Tell. Mungkin William Tell itu kakek-kakek-kakek kakeknya!" kata Roger saat mereka memasuki tenda dengan tulisan
"BlLLY TELL" yang tertulis besar-besar dengan warna merah. Mak Tua menggantikan si Bocah menjaga tempat perlombaan menembak. Sementara itu si Bocah sendirisudah mulai bermain-main didalam tenda Billy Tell dengan apel dikepalanya. la melihat Roger, Snubby, dan Diana masuk.
"Hai," sapa si Bocah,
"kalian ingin menonton rambutku di-papras?" Billy Tell memakai pakaian gaya kuno dari kulit berwarna merah. la tampak agung. Dan pasti lebih agung kalau saja pakaian dan tubuhnya tidak begitu kotor. Pertunjukan baru akan dimulai bila penonton telah cukup banyak, karenanya anakanak itu terpaksa menunggu lama juga.
Billy Tell tampak bosan menunggu, duduk dengan senapannya melintang di pangkuan. Si Bocah dengan tangkas berjalan tanpa apel di kepalanya terjatuh, mondar-mandir mengumpulkan uang dari para penonton.
Agaknya berita tentang Snubby membayar dua kali lipat untuk membuat komidi putar berputar sangat cepat sudah tersiar ke mana-mana. Si Bocah juga mendengarnya. Ia mendekat dan menyeringai pada Snubby,
"Hei, apakah kau telah
membayar dua kali lipat pada Billy Tell agar
menembak ujung telingaku?"
"Tentu!" Snubby tertawa. la segera merasa suka
pada anak ini. "Jadi hati-hatilah!"
Tentu saja ia hanya bercanda, dan si Bocah tahu
itu. la kemudian berdiri membelakangi sebuah
lempengan baja, apelnya siap di kepala. Billy Tell berjalan ke tempat ia akan menembak.
Billy Tell acuh tak acuh membidik. DOR.. Pecah
si apel di kepala si Bocah. Si Bocah usap
beberapa serpihan apel dari matanya.
Ia menaruh sebuah apel lagi di kepalanya. Billy
Tell kini membelakangi si Bocah. Kemudian ia in membungkuk, hingga kepalanya berada di antara
kedua kakinya. Dan dalam keadaan kepala terjungkir itu ia menembak. DORI Kembali hancur apel di kepala si Bocah. Semua bertepuktangan. Si Sinting sangat ketakutan, meringkuk di kaki Snubby.
Si Bocah menghapus mukanya dari percikan apel, kemudian mendekati kelompok Snubby.
"Tembakan bagus, bukan?" katanya.
"Aku juga : jagoan menembak. Sangat jitu! Sekali aku : menembak, ayam-ayaman diujung menara gereja ... hancur berantakan sekali tembak!"
"Hmmm," Billy Tell terdengar menggeram.
" Jangan membual saja. Bersihkan senapanku. Dan katakan pada Mak Tua, aku minta susis untuk
makan malam nanti." "Baik, Ayah," kata si Bocah. Heran. Ternyata si Bocah ini anak Billy Tell! Sedangkan Mak Tua
adalah neneknya! Suatu keluarga yang aneh!
"Ibumu di mana?" tanya Snubby.
"Tak punya. Satu perempuan sudah lebih dari cukup untuk sebuah keluarga," kata si
Bocah mengangguk ke arah Mak Tua.
"Suda kewalahan aku melayaninya."
Mereka mengikuti si Bocah mendapatkan Mak Tua di lapangan tembak. "Mak Tua," kata si Bocah kemudian,
"Billy Tel mau susis untuk makan malam nanti."
"Susis?" wanita tua itu hampir menjerit.
"Dia pikir aku ini apa" Susis perlu duit! Katakan itu padanya, si bajingan itu! Kelinci kan tidak usah bayar, tinggal nembak saja .... Untuk apa senapannya itu. Punya senapan hanya buat menembak apel saja! Di mana dia" Biar ku susis dia!"
"Dia memang minta susis kok!" Si Boc menggoda dan membuka tangannya lebar-lebar
di belakang telinganya yang sudah lebar, untuk bisa mendengar lebih jelas kata-kata makian yang keluar dari Mak Tua.
" Snubby mencoba kepandaiannya menembak Sebagai sasaran adalah beberapa bola pingpong yang meloncat-loncat di atas air mancur di ujung uji jalur tembakan. Tetapi tak satu pun tembakan mengena. Si Bocah cepat melihat kesana kemari. Billy Tel tak terlihat. MakTua maupun Tonnerre tak tampak.
Diambilnya senapan, dia membidik dan ...Sebuah bola pingpong lenyap. DOR. Satu lagi. DOR. Bola terakhir jatuh. Tak ragu lagi, si Bocah memang penembak jitu! Snubby yakin bahwa ceritanya tentang menembak ayam-ayaman di puncak menara gereja memang benar.
"Pilihlah hadiahnya," kata si Bocah.
"Ayolah ... akusuka padamu. Ambillah salah satu hadiahnya."
"Tetapi aku tak berhasil menembak bola itu keluar dari air!" kata Snubby heran.
"Tak apa. Toh aku bisa mengenai bola-bola itu. Dan tak ada yang tahu itu. Aku suka padamu. Kau begitu lugu. Kau dan anjingmu. Ayolah, cepat! Ambil hadiahnya. Bagaimana kalau permen itu" Sungguh enak lho!"
Lama juga Snubby harus menerangkan pada si Bocah bahwa tak baik untuk mengambil hadiah yang sesungguhnya tidak dimenangkannya. la agaknya tidak mengerti apa arti kejujuran dan bagaimana kata itu diamalkan dalam kehidupan.
"Kau sungguh baik hati," kata Snubby berulang ulang,
"tetapi ini tidak jujur namanya."
"Aw, baiklah," akhirnya si Bocah menyerah.
"Kau juga harus segera berangkat .... Tuh, teman-temanmu memanggil. Agaknya mereka ingin naik perahu ayunan. Ambillah yang paling ujung, ayunannya enak dan bisa sangat tinggi." Dengan begitu banyak kesibukan-naik komidi putar, naik gajah, menembak, ayunan, dan berbagai macam makanan - maka tak heran uang ketiga anak itu cepat juga menipis. Mereka telah membeli roti manis besar sekali, kue-kue,
minuman, dan memberikan sebagian dari makanan tersebut pada Barney yang masih menjaga tempat lempar gelang. Berkat bantuan Miranda, banyak juga pengunjung kios Barney itu.
"Kapan kau bisa bebas?" tanya Diana.
"Kami harus segera pulang. Bisakah kau pergi bersama kami, berkunjung ke rumah kami?"
"Oh, senang sekali!" kata Barney dengan mata bersinar, gembira oleh undangan itu.
"Baiklah, aku akan minta si Bocah untuk menggantikank
u. Pekerjaannya biasanya juga digantikan Mak Tua pada jam-jam seperti ini. Kalau kuberi dia enam pence, ia pasti mau. Dan lagi malam ini aku giliran cuti. Tonnerre takkan berhak untuk melarangku pergi. Tapi ... kalian yakin ibu kalian takkan berkeberatan kalau aku berkunjung?"
"Pasti. Ibu malahan ingin sekali bertemu denganmu," kata Roger.
"Kami telah bercerita
banyak tentang dirimu, bagaimana kita bertemu musim panas kemarin, dan mendapat pengalaman begitu hebat di Rockingdown. Bagaimana kau akan pergi ke tempat kami" Kami bersepeda."
"Oh, aku bisa meminjam sebuah sepeda," kata Barney.
"Miranda bisa bertengger dibahuku atau di kemudi sepeda. Di kedua tempat itu ia akan aman."
"Kalau ia mau, ia bisa naik di kotak bersama si Sinting," kata Snubby. Tetapi Miranda agaknyatak suka. la lebih suka duduk ditengah kemudisepeda Barney. Rambut monyetnya yang lembut berkibar
oleh angin, dan gaunnya yang lucu melambailambai. Mereka berangkat meninggalkan pasar malam. Kini tempatitu begitu meriah dan hiruk-pikuk. Para penjaga kios saling berteriak, para pengunjung tertawa-tawa, komidi putar memainkan musiknya yang begitu tajam di telinga. Snubby sesungguhnya ingin lebih lama di tempat itu.
"Ayolah, Snubby," kata Roger, melihat Snubby masih juga memandang dengan rasa ingin kearah pasar malam tersebut.
"Kalau tidak, bisa terlambat kita nanti. Dan lagi kita harus menceritakan rahasia kita pada Barney. Itu juga makan waktu!" Ya. Rahasia mereka! Barney mungkin bisa membantu. Tetapi ia pasti sangat terkejut bila mereka bercerita nanti.
Barney Bertamu "AKU harus hati-hati. Jangan sampai Kakek mendapat kesempatan memberiku pertanyaan yang menyudutkan," kata Snubby di perjalanan
"Itu mudah bila kita membawa seorang tamu Kakek akan merasa tak enak untuk menanyaimu Hei, lihat ke depan, Snubby!" tiba-tiba Roger berteriak.
"Ada lubang kauterjang saja. Si Sinting hampir saja terlempar dari kotaknya."
"Maaf, Sinting," kata Snubby.
Barney telah mencoba membersihkan diri sedikit untuk menghadapi pertemuannya dengan Nyonya Lynton. Dipakainya celana flanel bersih, dan sueater yang...yah, katakanlah hampir bersih.
Sepatunya rusak, tetapi ia tak punya sepatu lain. Terpaksa dipakainya juga, dengan beberapa jari kakinya menonjol keluar. Roger ingin memberikan salah satu sepatunya di rumah, tetapi kaki Barney jauh lebih besar dari kakinya.
Mereka tiba di rumah dalam keadaan sangat capai dan lapar. Si Sinting langsung meloncat turun dari keranjang dan berlari ke dapur untuk minta sesuatu pada juru masak. Juru masak ternyata tak ada di dapur. Tapi terlihat sebuah piring berisi sarden, santapan untuk si kucing. Sinting mencium-cium makanan itu. Baunya begitu tak menarik. Tapi ia begitu lapar. Bagaimana kalau dicicipinya" Tidak. Biarlah si Sarden saja yang memakan makanan tak keruan itu. Sarden masuk, langsung menghardiknya. Geram si Sinting menubruk Sarden. Sarden cekatan menghindar dan berlari ke atas, masuk ke kamar Roger, melompat naik ke atas lemari kecil. Ada lagi yang di situ! Ternyata Miranda si monyet, yang menunggu anak-anak muncul. Guncang rasa hati Sarden. la tak pernah melihat monyet sebelumnya. - Sarden bagaikan petasan luncur, dengan ribut sekali melompat melesat mendesis melengking,
ekornya membesar sampai tiga kali lipat. Miranda: juga sangat ketakutan melihatnya. Binatang apakah yang begi
ni ribut" Dengan sangat ketakutan Miranda melompat ke lantai dan berlari ke luar kamar, ke depan tangga
langsung masuk ke kamar Kakek. Kakek sedang menyisir rambutnya yang putih bagai perak. la sampai melonjak ketakutan melihat seekormonyet mendarat" di tempat tidurnya. Belum habis rasa terkejutnya, muncul Sarden. Dan sehabis Sarden muncul Sinting yang bagaikan gila menyerbu masuk. Ketiga binatang itu berkejaran dua kali mengelilingi kamar itu sebelum kembali lenyap ke luar. Kakek lemas terduduk. Rumah macam apa ini Seekor monyet! Betulkah apa yang dilihatnya tadi" Masa kamar tidurnya menjadi kebun binatang!la harus berbicara tentang ini dengan Susan. Masa tamu dikumpulkan dengan rombongan monyet kucing, dan anjing! | Roger sedang mencobakan sepatunya pada Barney. Kekecilan! Kemudian ia ingat bahwa Kakek membawa banyak sekali sepatu. Mungkinia bisa minta sepasang lapun mengetuk pintu kamar Kakek.
"Siapa lagi ini?" tanya Kakek ketus, seolah-ola ia mengira akan datang lagi rombongan binatang lain. .
"Aku, Roger," sahut Roger
"Kakek, dapatkah Kakek memberikan sepasang sepatu yang tak
terpakai padaku?"- "Bagaimana sih keluargamu ini!" keluh Kakek.
"Mula-mula kamarku kemasukan ... ah, biarlah! Untuk apa kauminta sepatuku" Takkan cocok untukmu!"
"Untuk seorang temanku. la datang untuk makan malam nanti," Roger menerangkan.
"Jadi dia datang tak memakai sepatu?" Kakek ternganga heran.
"Ya, ampun! Hai, itu monyet yang tadi Kalau saja bisa kutemukan siapa yang membawa monyet itu ke sini akan ku ... akan ku ..."
Roger segera bergegas pergi. Kalau Kakek tahu bahwa yang membawa monyet itu adalah yang akan diberinya sepatu, pastilah sepatu tersebut takkan diberikannya.
"Ayo, Miranda, ikut!" katanya pada Miranda yang sedang kebingungan itu.
"Penjahat cilik, jangan berkeliaran kemana-mana! ibuku bisa pingsan ketakutan bila berjumpa denganmu di tangga!"
Roger mengaduk-aduk lemari tempat segala barang digang, dan menemukan sepasang sepatu tenis tua milik ayahnya. Paling tidak, jari-jari kaki Barney takkan mencuat ke luar bila memakai sepatu itu. Dengan rasa lega Barney memakainya.
"Apakah penampilanku terlalu buruk untuk duduk semeja dengan ayah-ibumu?"tanya Barney pada Diana dengan was-was.
"Ah, tidak. Kau tak apa-apa," kata Diana, dalam hati berharap semoga ibunya tidak terlalu memperhatikan cara berpakaian tamunya yang*
satu ini. "Aku telah berkata pada ibu bahwa kau ada
di sini. Beliau sangat ingin bertemu denganmu." Barney agak gugup. Jarang sekali ia berada di sebuah rumah yang betul-betul rumah. la kuatir, kalau tingkah lakunya tidak sopan. Sesungguhnya secara wajar ia memiliki sopan santun yang memadai, dan suaranya sangat enak didengar. Ketika Nyonya Lynton melihat mata birunya yang berjarak lebar satu sama lain itu penuh rasa kuatir, sambutannya pada anak ini lebih hangat daripada yang direncanakannya sebelumnya.
"Oh, jadi kaulah Barney itu! Anak-anakku sudah begitu sering bercerita tentang dirimu. Richard, ini Barney, anak yang ikut ambil bagian dalam peristiwa mengerikan musim panas yang lalu dengan Snubby dan kedua orang anak kita."
" Pak Lynton mengangkat muka. Tadinya ia mengira Barney seorang anakberwajah gipsi, licik, dan cerdik. Tetapi yang dilihatnya adalah sebuah wajah jujur, berani, dengan mata cemerlang dan rambut berwarna
jagung. Pak Lynton mengulurkan Si tangan.
"Selamat datang, Barney," katanya.
"Semua sahabat Roger adalah sahabatku juga." Bangga sekali hati Roger. Ayahnya memang pemarah, keras, dan banyak lagi sikap yang biasanya tak disukainya-tetapi ia selalu bertindak itu dan bersikap tepat dalam setiap keadaan. Wajah Barney memerah karena rasa senang dan lega
Betapa baiknya kedua orangtua Roger dan Diana. ya Mereka sungguh beruntung."Ibu ... apakah Ibu keberatan dengan hadirnya
" Miranda?"tanya Diana, saat untuk pertama kalinya di mata ibunya melihat monyet itu. Miranda duduk kemalu-maluan di punggung sebuah kursi, lucu sekali dengan pakaiannya yang aneh itu. Diana telah memberinya sebuah topi boneka, dan kini Miranda memakainya juga.
"Ya, ampun!" seru Nyonya Lynton, dan kemudian ia tertawa terpingkal-pingkal.
"Richard... coba lihat itu! Kurasa aku takkan keberatan, Diana, asalkan dia tak mendekati aku saja! Aku betul-betul
tak berani pada monyet."
"Biarlah kusuruh dia ke luar," kata Barney Segera.
"Tidak, tidak, tak usah," kata Nyonya Lynton.
Balada Padang Pasir 10 First Love Never Die Karya Camarillo Maxwell Rukas Angel 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama