Ceritasilat Novel Online

Misteri Arca Singa 1

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa Bagian 1


MISTERI ARCA SINGA Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Misteri Arca Singa
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Desa Granggas nampak menyajikan keindahan, saat matahari mengintip malu-malu sebelum keluar dari peraduannya. Dan manakala cahayanya yang bening menebar, suasana terlihat
menjadi lebih jelas. Suasana pagi yang cerah ini, tiba-tiba ditingkahi oleh....
"Haiiit..!"
Terdengar pekik menggelegar di pagi yang
baru saja disirami lembutnya cahaya matahari.
Tampak seorang gadis cantik berusia tak lebih dari sembilan belas tahun tengah
bergerak cepat Tubuhnya mencelat ke udara, sedangkan tangannya
bersiap-siap melecutkan selendang warna merah
dadu. "Hiyaaa...!"
Glar! Brak! Sebatang pohon besar kontan tumbang ketika ujung selendang merah dadu itu menghantamnya. Memang cukup mengagumkan apa yang
telah dilakukan gadis cantik berpakaian sutera putih mengkilat itu.
"Bagus! Bagus sekali ilmu yang kau kuasai
itu, Nalar"
Kekaguman itu tak mampu disembunyikan
oleh seorang lelaki berusia setengah baya yang sejak tadi memperhatikan gadis
baju putih yang
memperagakan kebolehannya. Nampak senyumnya tak putus memperhatikan gadis itu.
"Kau telah sempurna menguasai jurus
'Pukulan Selendang Merah'," lanjut lelaki berpakaian warna putih. Di pinggangnya
nampak terse- lip sebilah pedang cukup panjang bergagang kepala singa. "Ah, Ayah," gadis cantik berwajah putih yang dipanggil Nalar itu tersipu malu
mendengar pujian ayahnya. "Jangan terlalu membesarbesarkan seperti itu. Ayah. Nanti kepala Nalar
tambah besar."
Kemudian gadis yang bernama Dewi Nalar
itu segera berlari kecil menghampiri ayahnya. Sementara lelaki yang bernama asli
Ki Sapartoga pun melakukan hal yang sama. Segera disambutnya
keberhasilan putri tunggalnya.
"Ayah barusan tidak main-main, Nalar. Kau
memang pantas untuk mendapatkan pujian itu.
Ah! Kalau saja ibumu menyaksikannya sekarang,
betapa bahagianya dia," desah Ki Sapartoga. Tatapan matanya tertuju lurus pada
wajah cantik Dewi Nalar. Dari tatapan mata yang seolah tak berkedip itu,
rentetan peristiwa masa lalu tiba-tiba kembali terbayang. Ki Sapartoga teringat
istrinya yang bernama Nyi Istari, terbunuh di tangan Lima Jin Gunung Sampa, melalui tangan Jamtana. Dan di tangan Lima Jin Gunung Sampa juga Perguruan Singa Emas yang dipimpinnya runtuh.
Peristiwa menyakitkan itu terjadi pada sembilan tahun silam, yakni ketika Dewi Nalar baru
berusia sepuluh tahun. Pada malam itu, ketika
purnama sedang memancarkan sinarnya yang putih keperakan, lima sosok lelaki bertubuh besar tahu-tahu muncul dan mengamuk
bagai banteng luka di Perguruan Singa Emas.
Seluruh murid Perguruan Singa Emas dibantai habis. Ki Sapartoga dan Nyi Istari pun tak tinggal diam. Ki Sapartoga
yang banyak makan
asam garam dunia persilatan, mencoba menghadap Lima Jin Gunung Sampa dengan kelembutan
tutur kata, meskipun murid-muridnya tewas terbantai. Namun setelah melihat kekurangajaran Lima Jin Gunung Sampa yang merendahkan Ketua
Perguruan Singa Emas, maka kemarahan Ki Sapartoga pun tak mampu terbendung. Apalagi setelah orang tertua dari Lima Jin Gunung Sampa menyinggung-nyinggung masalah Arca Singa Emas.
Katanya, sebenarnya benda itu milik leluhur Lima Jin Gunung Sampa yang telah
dicuri seorang tokoh sakti yang tak lain dari Raja Rantai Emas,
guru Ki Sapartoga sendiri. Dan setelah Raja Rantai Emas wafat, Arca itu
diserahkan pada Ki Sapartoga.
Atas kemarahan Ki Sapartoga yang tak terkuasai itulah, maka pertarungannya melawan Lima Jin Gunung Sampa tak dapat dihindari. Dan
nyatanya Lima Jin Gunung Sampa lebih unggul
dalam segala hal.
Dalam pertarungan mempertahankan harga
diri itu, Nyi Istari yang merupakan istri Ki Sapartoga tewas. Sedangkan Ki
Sapartoga sendiri, setelah berpikir jernih demi kelangsungan dan kebaikan
hidup Dewi Nalar yang baru berusia sepuluh tahun, berusaha melarikan diri. Dia membawa serta
putrinya dan Arca Singa Emas yang tengah diincar Lima Jin Gunung Sampa.
"Kenapa Ayah melamun?" kata Dewi Nalar mengejutkan Ki Sapartoga.
"Eh, ah...."
Ki Sapartoga nampak gelagapan. Bayangan
masa lalu yang melintas sesaat, kini lenyap.
"Ayah pasti tengah mengingat ibu," duga Dewi Nalar, menanggapi keterpakuan
ayahnya. Ki Sapartoga mengangguk pelan membenarkan dugaan anaknya.
"Kau begitu mirip ibumu, Nalar. Itulah yang membuatku tak kuasa melupakannya.
Apalagi, melupakan kejadian menyakitkan itu," tukas Ki Sapartoga dengan suara terdengar
sendu. "Bukankah Ayah sering mengajarkan padaku untuk melupakan peristiwa pahit itu?"
"Betul, Nalar," jawab Ki Sapartoga. "Tapi manusia kadang-kadang sulit
melakukannya, meskipun kita sudah berusaha sebisanya. Ayah
tahu, masa lalu adalah masa yang tak mungkin
bisa terulang. Seperti kebersamaan kita dulu dengan ibumu. Sesungguhnya, ayah
mendambakan hal itu terulang kembali. Tapi, mana mungkin?"
"Ah! Sebaiknya kita mencoba terus untuk
melupakannya, Ayah. Kalau tidak, batin kita akan tersiksa terus-menerus," hibur
Dewi Nalar sambil menggelayuti lengan ayahnya. "Sebaiknya, aku memperagakan
ilmu-ilmu yang lain, ya Ayah?"
Sesaat Ki Sapartoga menatap wajah putrinya. "Ya. Lakukanlah dengan sungguhsungguh," ujar Ki Sapartoga dengan suara tegas dan berwibawa.
Gadis cantik berpakaian sutera putih
mengkilat itu tersenyum, sebelum benar-benar
memperagakan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya. Hatinya gembira
menyaksikan ketegaran
kembali hinggap pada diri ayahnya.
"Hups!"
Dewi Nalar melompat pendek. Kakinya yang
kembali menjejak tanah dengan kuda-kuda rendah, begitu kokoh. Kemudian, mulai ditunjukkannya jurus-jurus ampuh menggunakan tangan pada
sikap menebas, menotok dan meninju.
Angin berdecit terdengar dari setiap gerakan
menyerang yang dilakukan Dewi Nalar dalam
penggunaan tenaga dalam tinggi.
"Hops!"
Tiba-tiba saja Dewi Nalar melompat ke udara, melakukan putaran tubuh dua kali.
"Hup!"
Plash! Sebuah tendangan memutar saat kedua kaki menyentuh tanah dilakukan Dewi Nalar. Begitu
cepat dan keras tendangannya. Dua kali berturutturut tendangan memutar itu dilakukan. Dan ketika berada satu langkah di depan sebatang pohon
sebesar pelukan anak lelaki, maka tendangan lurus disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam
penuh langsung dilepaskannya.
"Haaat..!"
Drugh! Brakkk! Pohon yang terhajar tendangan keras Dewa
Nalar ambruk seketika. Sedangkan gadis itu berjumpalitan ke udara, menghindari pecahan batang
pohon dan tanah yang terbongkar.
"Hops!"
Jliegkh! "Bagus! Bagus sekali penguasaan ilmu menyerang dengan kaki dan tanganmu, Nalar. Ayah
senang sekali melihat perkembangan ilmumu yang
begitu pesat," puji Ki Sapartoga.
"Aku pun senang dengan anakmu itu, Sapartoga!" sambut sebuah suara cukup keras.
"Heh"!"
*** Ki Sapartoga dan Dewi Nalar kontan menoleh ke arah datangnya suara. Pada saat itulah
tampak sesosok tubuh keluar dari semak-semak,
lalu mendarat ringan di hadapan Ki Sapartoga dalam jarak tiga batang tombak.
"Datuk Lingga Merah!" sebut Ki Sapartoga.
Seruan Ki Sapartoga keluar bersamaan
dengan rasa keterkejutannya, menyaksikan kehadiran tokoh sakti golongan hitam yang sama sekali tidak diduga.
"Bagus kalau kau masih ingat denganku,
Sapartoga!"
Suara yang keluar dari mulut lelaki tinggi
kekar yang di punggungnya tersandang sebuah
senjata berupa tombak panjang bermata tiga itu
terdengar berat.
Ki Sapartoga mengembangkan senyum
mendengar ucapan Datuk Lingga Merah, sebagai
tanda kalau tengah berusaha tenang.
"Ah! Mana mungkin aku melupakanmu, Datuk Lingga Merah. Ada keperluan apakah kiranya
hingga kau jauh-jauh menemuiku?" kata Ki Sapartoga, dengan suara diatur sesopan
mungkin. Datuk Lingga Merah tak segera menjawab
pertanyaan Ki Sapartoga. Tatapan matanya kini
tertuju tepat ke seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.
Sementara itu, Dewi Nalar hanya memegangi tangan ayahnya. Memang, dia merasa kikuk ditatap sedemikian rupa oleh Datuk Lingga Merah.
"Persoalan sebelas tahun silam sebetulnya
belum tuntas, Sapartoga," kata Datuk Lingga Merah, seraya mengalihkan tatapannya
ke wajah Ki Sapartoga. "Namun persoalan itu akan kuanggap selesai, jika Arca Singa Emas kau
berikan padaku.
Dan jangan lupa, perkenankan putrimu untuk
ikut bersamaku."
"Tutup mulut busukmu itu, Tua Bangka!"
bentak Dewi Nalar, membalas kekurangajaran Datuk Lingga Merah.
Datuk Lingga Merah hanya tersenyum
mendengar bentakan putri Ki Sapartoga itu.
"Kalau sedang marah seperti itu, aku semakin menyukaimu, Nini," sahut Datuk Lingga Merah, menimpali kemarahan Dewi Nalar.
"Tua bangka gendeng!" maki Dewi Nalar seraya mengangkat kaki kanannya hendak
menye- rang Datuk Lingga Merah.
"Sabar, Nalar!"
Namun gerakan Dewi Nalar terhalang suara
Ki Sapartoga yang tegas melarangnya. Ki Sapartoga segera meraih pergelangan tangan anaknya.
"Dia bukan tandinganmu," bisik laki-laki setengah baya itu.
"Biarkan anakmu bermain-main sebentar
denganku, Sapartoga," ucap Datuk Lingga Merah.
"Anakmu jangan dikekang sedemikian rupa. Biarkan dia menikmati masa mudanya
denganku!"
Seketika merah padam wajah Ki Sapartoga
mendengar ucapan bernada kotor yang keluar dari
mulut Datuk Lingga Merah.
"Semakin tua, ternyata kau semakin bejat
saja, Datuk Gila!" maki Ki Sapartoga tak terkendali. "Langkahi dulu mayatku
kalau ingin bersenang-senang dengan anakku dan menguasai Arca Singa
Emas milik leluhurku!"
"Ha ha ha.... Nyalimu sekarang besar juga,
Sapartoga. Aku suka itu. Tapi, apa kau mampu
menghadapi datuk yang menguasai daerah selatan?" ledek Datuk Lingga Merah dengan tawanya yang keras.
"Jangan sombong, Datuk Botak! Sepuluh lelaki tua macam kau pun, aku tak gentar," balas Ki Sapartoga.
"Baik! Jangan menyesal kalau kau harus
mampus saat ini juga. Dan putrimu bisa jadi istri-ku. Demikian pula Arca itu! Ha
ha ha.... Bersiaplah menjemput kematianmu, Sapartoga!"
Usai berkata demikian, Datuk Lingga Merah
membawa maju kakinya satu langkah ke depan.
Kemudian.... Prrok! Prok! Prok!
Telapak tangan datuk sesat dari selatan itu


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak melakukan tepukan isyarat. Maka seketika berlompatan sosok-sosok berpakaian hitam.
Dan ternyata enam lelaki berpakaian hitam satu
persatu mendarat ringan di sisi kanan Datuk Ling-ga Merah. Tatapan mata mereka
langsung tertuju
pada seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.
"Kalian ringkus gadis cantik itu!" perintah Datuk Lingga Merah. "Tapi awas
jangan sampai terluka."
Enam lelaki bertampang kasar berpakaian
hitam dan bersenjatakan golok itu segera bergerak, memenuhi perintah
junjungannya. Mereka segera
menyebar, mengurung sosok cantik dan anggun
Dewi Nalar. Sementara itu, Datuk Lingga Merah sudah
bergerak ke arah Ki Sapartoga.
"Kita mulai sekarang saja, Sapartoga!" tegas Datuk Lingga Merah.
"Hm...," Ki Sapartoga hanya bergumam tak jelas.
*** Pertarungan antara Ki Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah tak dapat dihindari lagi.
Begitu juga dengan putri bekas Ketua Perguruan
Singa Emas. Gadis itu kini harus berhadapan dengan enam lelaki berpakaian hitam-hitam yang bersenjatakan golok terhunus. Tampak golok-golok
mereka berkilatan tertimpa sinar matahari.
"Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Dua lelaki berpakaian hitam langsung menyerbu dari samping kiri dan kanan. Golok yang
teracung-acung di atas kepala menimbulkan bunyi
menderu. Jelas serangan kedua lelaki itu disertai pengerahan tenaga dalam.
Akan tetapi, Dewi Nalar bukanlah gadis
cantik yang berotak tumpul. Ingatannya yang kuat pada kata-kata Datuk Lingga
Merah yang melarang enam lelaki anak buahnya ini untuk tidak
melukainya, membuat Dewi Nalar tak gentar
menghadapi serangan itu. Gadis itu yakin, serangan yang dilakukan dua lelaki ini hanyalah gertak sambal belaka.
Dan ketika serangan itu tiba, Dewi Nalar segera bergerak lincah dan menyambut serangan
dengan tangan kosong.
"Haiiit...!"
"Hih!"
Sodokan tangan Dewi Nalar mencoba masuk ke rusuk kiri lawan yang berada di kiri. Sedangkan kaki kanannya bergerak menendang,
mencecar bagian perut lawan yang menyerang dari
samping kanan. Melihat hal itu, dua lelaki itu
langsung mendoyongkan tubuhnya.
"Uts!"
Pertarungan antara Dewi Nalar menghadapi
enam lelaki berpakaian hitam berlangsung kurang
menarik. Namun, tidak bagi pertarungan antara Ki
Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah.
Pertarungan hidup dan mati itu berlangsung cukup alot dengan tempo yang cepat.
"Mampus kau, Sapartoga!"
Wuttt! "Uts!"
Tubuh Ki Sapartoga melenting ke belakang,
ketika Datuk Lingga Merah menghunjamkan tombak bermata tiga ke bagian dada. Indah dan cepat gerakan menghindar ayah kandung
Dewi Nalar ini,
sehingga dirinya terhindar dari incaran mata tombak milik lelaki berkepala
gundul sebelah yang
berjubah loreng merah itu.
Jligkh! Tubuh Ki Sapartoga kembali mendarat lunak di tanah. Tatapan matanya langsung tertuju
ke arah wajah Datuk Lingga Merah.
"Hm...," gumam Datuk Lingga Merah mendapatkan serangannya berhasil digagalkan lawan.
"Itu baru serangan awal, Sapartoga. Jangan ber-bangga hati dulu."
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Datuk
Sesat! Atau kau ingin mampus di tanganku!" balas Ki Sapartoga, tak kalah sengit.
"Keparat!" hardik Datuk Lingga Merah seraya menyilangkan senjata di depan dada.
"Kau terima jurus 'Menusuk Rembulan'-ku ini! Hiyaaa...!"
Tubuh Datuk Lingga Merah kembali melesat
cepat ke arah Ki Sapartoga. Tombaknya yang masih tersilang di atas dada belum digeser sedikit pun. Namun dua langkah lagi
tubuh Ki Sapartoga
terjangkau, kaki Datuk Lingga Merah menghentak
ke arah kiri. Kemudian tombak bermata tiganya dilepas dengan kekuatan tenaga
dalam tinggi, terarah ke pelipis kanan Ki Sapartoga.
Siiing...! Cepat bagai kilat tombak bermata tiga milik
Datuk Lingga Merah meluncur. Namun Ki Sapartoga bukanlah orang yang baru kenal ilmu silat.
Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya dilengkungkan ke belakang, hingga telapak tangannya
menyentuh tanah.
Cara menghindar yang dilakukan Ki Sapartoga memang cukup tepat. Terbukti, senjata yang
dilempar Datuk Lingga Merah tak menjumpai sasaran. "Huh!"
"Hop!"
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan serangannya gagal, segera mengejar tombaknya yang
terus meluncur. Cukup mengagumkan gerakan
datuk sesat dari selatan ini. Tak heran kalau tombak yang tengah meluncur cepat
berhasil dikejarnya. Tap! Senjata berupa tombak bermata tiga itu
kembali berada di genggaman tangan Datuk Lingga Merah. Lalu kembali dihampirinya Ki Sapartoga yang sudah bersiap-siap
menghadapi serangan be-rikutnya.
"Tak kusangka kalau perkembangan ilmu
silatmu cukup pesat, Sapartoga!" ucap Datuk Lingga Merah memuji. "Namun
sebaiknya, kegaga-lanku jangan dianggap remeh. Karena, seranganseranganku barusan hanya sekadar menguji kemampuanmu."
"Itu hanya cara untuk menutupi rasa malu
atas kegagalanmu, Datuk Gundul!" timpal Ki Sapartoga meledek.
"Cabut pedangmu, Sapartoga!" bentak Datuk Lingga Merah keras.
"Untuk apa?" tanya Ki Sapartoga meledek.
"Untuk memperlambat kematianmu! Aku
tak sudi lawanku mati tanpa perlawanan berarti!"
"Tunjukkan dulu sesumbarmu, Datuk
Edan!" tukas Ki Sapartoga.
"Setan alas! Rupanya kau memang betulbetul sudah bosan hidup! Ayo, jaga ilmu 'Tombak
Maut Datuk Sakti'" ujar Datuk Lingga Merah seraya mengangkat senjatanya sampai
sebatas leher. Lalu senjata itu diputar-putar dengan kecepatan
mengagumkan. Wuk! Wuk! Bunyi putaran tombak Datuk Lingga Merah
cukup keras. Bahkan Ki Sapartoga yang menyaksikannya jadi bergetar hatinya.
"Hm.... Kali ini ilmunya benar-benar dikeluarkan. Aku harus hati-hati," gumam Ki Sapartoga hati-hati. Diam-diam ilmunya
juga disiapkan untuk menangkal serangan Datuk Lingga Merah.
"Hiyaaa...!"
Datuk Lingga Merah melompat cepat. Tongkatnya yang berputaran dibabatkan miring ke arah lambung Ki Sapartoga.
Wuuung...! Bunyi seperti menggerung terdengar mengiringi kecepatan sambaran tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.
"Heh"!"
Terkejut bukan main Ki Sapartoga menyaksikan serangan Datuk Lingga Merah yang begitu
cepat. Akan tetapi, keberuntungan masih berada
di pihak Ki Sapartoga.
"Uts!"
Bret! Buktinya tubuhnya masih sempat dibawa
mundur ke belakang. Sehingga sambaran tombak
bermata tiga milik Datuk Lingga Merah hanya
sempat merobek pakaiannya saja.
"Sudah kubilang, jangan suka menganggap
remeh! Ini, terima kembali seranganku!"
"Hiaaa...!"
Wuuuk! Mata tombak Datuk Lingga Merah kembali
bergerak cepat ke arah leher Ki Sapartoga.
Ki Sapartoga tentu saja tak ingin lehernya
tertembus senjata lawan. Dengan kecepatan mengagumkan senjatanya yang tergantung di pinggang
diloloskan. Langsung ditangkisnya sambaran tombak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.
Srat! Trang! Bunyi berdentang dua logam keras beradu
seketika terdengar. Percikan bunga api terlihat jelas, menandakan kalau mereka
dalam menyerang
dan menangkis menggunakan tenaga dalam tinggi
Namun dalam adu tenaga dalam, kiranya Ki
Sapartoga harus mengakui keunggulan Datuk
Lingga Merah yang hanya terjajar dua langkah ke
belakang. Sedangkan bekas Ketua Perguruan Singa Emas itu terjajar empat langkah ke belakang,
dengan tangan terasa nyeri.
Mendapatkan kenyataan itu, Datuk Lingga
Merah tak mau kehilangan kesempatan. Maka melihat tubuh Ki Sapartoga dalam keadaan terhuyung, lelaki berkepala gundul sebelah itu kembali melesat melakukan serangan susulan. Kaki
kanannya langsung melepaskan tendangan lurus
bertenaga dalam tinggi.
Sementara Ki Sapartoga yang tak menyangka mendapat serangan susulan yang begitu cepat,
segera menggerakkan tangannya ke depan dada.
Blakkk! "Ukh...!"
Meski telah melindungi bagian dadanya
yang menjadi incaran dengan tangan, tak urung Ki Sapartoga merasakan sesak juga.
Tendangan Datuk Lingga Merah memang terlampau keras, dan
membuat tubuhnya terhuyung dan ambruk di tanah. "Ha ha ha.... Kiranya hanya sebegitu saja kepandaianmu, Sapartoga," ledek
Datuk Lingga Merah. "Sekarang, terimalah kematianmu!
Hiyaaa...!"
2 Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu
sudah meluruk deras ke arah Ki Sapartoga yang
jatuh terduduk di tanah. Datuk Lingga Merah menyerang dengan senjatanya yang terangkat di atas kepala, untuk menusuk kepala Ki
Sapartoga dari atas. Namun Ki Sapartoga yang meski dalam
keadaan seperti itu ternyata masih mampu membaca arah serangan lawan. Maka ketika sambaran
senjata Datuk Lingga Merah semakin mendekat,
cepat tubuhnya bergulingan di tanah, menghindari. Blesss...! "Setan belang!" rutuk Datuk Lingga Merah mendapatkan senjatanya hanya menusuk
tanah tempat Ki Sapartoga terduduk tadi.
"Huh!"
Slebs! Lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu
mencabut tombaknya dengan kejengkelan memuncak. Dan seketika tubuhnya berbalik menghadap Ki Sapartoga yang kini sudah kembali berdiri tegak. "Kau harus kubuat mampus, Sapartoga!"
dengus Datuk Lingga Merah dengan tatapan mencorong tajam. Sementara, Ki Sapartoga hanya menanggapi
ancaman dengan membalas tatapan mata lawannya. Namun di benaknya terencana sebuah siasat
untuk menyelamatkan Dewi Nalar dan Arca Singa
Emas. "Hm.... Ada baiknya Nalar kusuruh pergi menghindari pertarungan ini.
Sehingga dia bisa
menyelamatkan diri sambil membawa serta Arca
Singa Emas yang sudah puluhan tahun menjadi
miliknya," gumam Ki Sapartoga dalam hati. "Biar aku terus menghalangi Datuk
Lingga Merah, wa-laupun apa yang akan terjadi."
Ketika rencana di benak Ki Sapartoga matang, serangan Datuk Lingga Merah kembali datang. "Hiyaaa...!"
Kesempatan yang baik dilihat Ki Sapartoga.
Saat itu Datuk Lingga Merah berlari ke arahnya.
Sedangkan lelaki bekas Ketua Perguruan Singa
Emas ini melakukan hal yang sama. Namun larinya Ki Sapartoga tidaklah bermaksud memapak
serangan Datuk Lingga Merah. Hal itu dilakukan
karena ada yang direncanakannya.
"Hiyaaa...!"
Wuuung! "Hops!"
Ketika tombak bermata tiga milik Datuk
Lingga Merah berkelebat ke arah dada, Ki Saparto-ga sekuat-kuatnya menghentakkan
kaki ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas, melewati kepala datuk dari selatan
ini. Dan ketika kakinya menyentuh tanah, langsung dihentakkan
kembali Dan tubuhnya cepat melesat ke arah pertarungan Dewi Nalar yang menghadapi enam lelaki
pengeroyoknya.

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hop!"
Egkh! Bugkh! "Akh!"
"Aaakh...!"
Dua pekikan keras seketika terdengar ketika Ki Sapartoga langsung mengirimkan tendangan
keras ke arah lawan Dewi Nalar, begitu mendarat
di tanah. "Sebaiknya tinggalkan tempat itu, untuk
menyelamatkan dirimu, Nalar. Dan, bawa serta Arca Singa Emas itu," perintah Ki Sapartoga, berbi-sik. Dewi Nalar tentu saja
terkejut mendengar
perintah ayahnya.
"Ayah...?" ucap Dewi Nalar tidak percaya.
"Jangan bantah perintahku, Nalar!" tegas Ki Sapartoga. "Cepat laksanakan! Biar
ayah yang menghadang mereka!"
Semula Dewi Nalar ragu untuk memenuhi
permintaan ayahnya. Namun ketika mendapatkan
tatapan berharap dari ayahnya, tubuhnya segera
melesat ke rumahnya.
"Hops!"
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan gadis cantik berbaju sutera warna putih mengkilat
itu melarikan diri ke dalam rumahnya, seketika
timbul kecurigaannya. Dia menduga gadis putra Ki Sapartoga itu akan melarikan
Arca Singa Emas
yang telah lama menjadi incarannya. Maka seketika itu juga tubuhnya bergerak hendak mencegah
Dewi Nalar. "Hiaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketika tubuh Datuk Lingga Merah bergerak,
bersamaan dengan itu Ki Sapartoga juga bergerak
ke arahnya. Bahkan disertai tebasan senjatanya ke arah laju gerak lelaki
berkepala botak sebelah itu.
Wuuut! "Hups!"
Datuk Lingga Merah terpaksa menghentikan lesatannya, ketika mendapatkan sambaran
pedang berkepala singa yang dilancarkan Ki Sapartoga ke arah lambung. Datuk dari wilayah selatan itu segera menyelamatkan
diri dengan melempar tubuh ke samping kanan.
Jlig! Ketika mendarat selamat di tanah, Datuk
Lingga Merah langsung menyiapkan serangan balasan. "Keparat kau, Sapartoga!" hardik Datuk Lingga Merah kesal.
Tatapan mata laki-laki botak setengah itu
kini tertuju pada anak buahnya yang tak bertindak apa-apa.
"Kejar gadis itu! Bunuh saja!" perintah Datuk Lingga Merah.
Lelaki-lelaki berpakaian hitam anak buah
Datuk Lingga Merah seperti tersentak dari keterpakuannya. Seketika mereka semua bergerak ke
arah rumah yang dimasuki Dewi Nalar.
Ki Sapartoga yang menyaksikan hal ini tentu saja tak tinggal diam. Dengan teriakan nyaring, bekas Ketua Perguruan Singa
Emas itu melesat
dari tempatnya berpijak sambil mengibaskan pedangnya. "Hiaaa...!"
Brets! Brets! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua orang anak buah Datuk Lingga Merah
seketika terjungkal roboh berlumuran darah, tersambar pedang berhulu singa milik Ki Sapartoga.
Mereka kontan menggelepar dengan bagian tengkuk dan pinggang terkoyak, akibat ketajaman pedang Ki Sapartoga yang disertai kekuatan tenaga
dalam tinggi. Nyawa kedua anak buah Datuk Lingga Merah seketika itu juga berpisah dari raga.
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan kejadian yang begitu cepat menjadi semakin murka.
"Kubunuh kau, Sapartoga!" teriak datuk sesat itu. Tubuh lelaki berkepala botak
setengah itu kini melesat memberi serangan menggunakan senjata tombak bermata
tiga. Angin menderu mengawali kedatangan serangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wuuuts! "Hits!"
Ki Sapartoga cepat mendoyongkan tubuhnya, menghindari serangan Datuk Lingga Merah
yang mengarah ke bagian leher. Namun tanpa disadari, dua anak buah datuk sesat itu memang telah menunggunya. Seketika mereka menggerakkan
tangannya, melepaskan serangan gelap. Sehingga.... Crak! "Aaa...!"
Ki Sapartoga kontan memekik tertahan,
manakala dua senjata menghunjam bagian punggung dan bahunya, yang langsung mengucurkan
darah. Dengan kemarahan meluap, bekas Ketua
Perguruan Singa Emas ini berbalik sambil mengibaskan pedangnya ke arah dua lelaki yang telah
melukai tubuhnya.
"Haaa...!"
Brets! Brets! "Akh! Aaa...!"
Dua anak buah Datuk Lingga Merah kembali terjungkal tertebas ujung pedang Ki Saparto-ga. Namun, naas kembali dialami
ayah kandung Dewi Nalar ini. Karena begitu berhasil merobohkan dua lawannya, serangan
membokong cepat dilakukan Datuk Lingga Merah.
"Haiiit..!"
Blugkh! "Hegkh!"
Ki Sapartoga kontan terhuyung ke depan,
terhajar tendangan lurus berkekuatan tenaga dalam tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya ambruk ke tanah dan bergulingan.
"Sekarang saatnyalah kau mampus, Sapartoga!" bentak Datuk Lingga Merah, kembali menyiapkan serangan susulan
menggunakan senjata.
"Hiaaat..!"
Begitu tongkat Datuk Lingga Merah hampir
menyentuh sasaran, tiba-tiba berkelebat bayangan kuning yang langsung memapak
serangannya. Trak! "Heh"!"
*** Terkejut bukan kepalang datuk sesat dari
wilayah selatan itu ketika serangannya kembali
gagal. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung tiga
langkah ke belakang, ketika serangannya berhasil dipapak oleh orang lain.
"Setan usil!" bentak Datuk Lingga Merah.
Laki-laki berkepala botak setengah itu geram bukan kepalang, menyaksikan sosok muda
nan tampan dan gagah berdiri tegak pada jarak
empat batang tombak di depannya.
Pemuda berpakaian warna kuning keemasan itu hanya tersenyum sedikit menanggapi hardikan lelaki berpakaian warna loreng merah ini.
"Maaf, Kisanak. Sungguh, aku tidak bermaksud mengusili seleramu," ucap pemuda gagah berpakaian kuning keemasan.
"Hmh...!"
Datuk Lingga Merah menggereng mendengar ucapan pemuda itu.
"Aku sebenarnya tak berminat mencampuri
urusanmu. Tapi, aku kasihan sekali melihat Kisanak itu," tambah pemuda ini sambil menunjuk ke arah Ki Sapartoga yang terkulai
di tanah disertai erangan kesakitan.
"Keparat!" maki Datuk Lingga Merah.
"Sayang, kali ini aku tak berselera adu tanding dengan mu. Tapi lain kali,
jangan harap kau bisa melihat matahari esok pagi. Hm.... Sebutkan namamu, agar
aku mudah mencarimu!"
"Itu terserah, Kisanak. Catat saja. Namaku
Jaka Sembada. Kau boleh mencariku sesuka hatimu," timpal pemuda yang tak lain Jaka Sembada.
Dan dia sebenarnya lebih dikenal sebagai Raja Petir.
"Hhh!" dengus Datuk Lingga Merah. "Ayo ki-ta kejar gadis sial itu!"
Tatapan datuk dari selatan itu mengarah
kepada dua anak buahnya yang masih tersisa. Sepertinya, dia memberi isyarat untuk tidak melade-ni pemuda itu.
"Hops!"
Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu
segera melesat cepat, diikuti dua orang anak
buahnya yang berpakaian hitam.
Raja Petir sedikit pun tak bermaksud mencegah kepergian mereka. Langkahnya kini terayun
menghampiri Ki Sapartoga.
"Ah! Luka-lukamu terlalu parah, Kisanak,"
desah Jaka, seraya berjongkok di hadapan Ki Sapartoga. Ki Sapartoga tak menyahuti ucapan Raja
Petir. Hanya wajahnya yang meringis menahan rasa sakit Sementara, sepasang bola matanya menghunjam ke wajah Jaka.
"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" tanya Ki Sapartoga, bergetar.
Jaka tak menjawab ucapan Ki Sapartoga.
Hanya ditatapnya wajah lelaki tua itu dengan perasaan iba. "Kau telan pil ini dulu, Ki. Sekadar menghilangkan nyeri," tukas Jaka sambil
menyerahkan pil warna merah darah yang diambil dari balik pakaiannya.
Dengan wajah masih meringis, Ki Sapartoga
menelan pil pemberian Jaka. Hanya dalam beberapa saat saja, Ki Sapartoga merasakan perubahan pada dirinya. Rasa nyeri yang
diderita akibat benturan keras dan juga luka-luka pada tubuhnya telah sedikit berkurang.
"Seharusnya jangan kau biarkan Datuk
Lingga Merah mengejar putriku, Nak," keluh Ki Sapartoga, menyambung perkataannya
yang tak dijawab Jaka. "Apakah putrimu mengenakan pakaian sutera warna putih mengkilat, dan mengenakan selendang merah?" Jaka balik bertanya.
Ki Sapartoga membetulkan pertanyaan Jaka
dengan anggukan kepala.
"Kalau begitu, mudah-mudahan saja kawanku bisa melindunginya, Ki," ujar Jaka.
Raja Petir langsung teringat pada Mayang
Sutera yang tengah membuntuti gadis cantik berpakaian putih yang tengah dikejar-kejar dua lelaki berpakaian warna hitam dan
bersenjata golok
Tatapan mata Ki Sapartoga memancarkan
keheranan mendengar ucapan Jaka. Namun ketika
Raja Petir menjelaskan kalau kedatangannya tidak sendirian, Ki Sapartoga menjadi
mengerti. Maka Jaka segera menceritakan apa yang dilihatnya tentang Dewi Nalar kepada Ki
Sapartoga. *** "Begitulah ceritanya, Ki. Semoga saja
Mayang bisa membantu putrimu," tukas Jaka
mengakhiri penjelasannya.
Ki Sapartoga mengerang kembali, sesaat
Jaka menyelesaikan ucapannya.
"Ki...?"
Tubuh Ki Sapartoga diguncang tangan Jaka. "Sebenarnya apa yang tengah terjadi?"
tanya Jaka agak mencemaskan keadaan lelaki berusia setengah abad berpakaian putih ini.
"Siapa namamu, Nak?" Ki Sapartoga malah melempar pertanyaan.
"Panggil saja Jaka, Ki," jawab Jaka.
Mata Ki Sapartoga seketika itu juga terbelalak, setelah Jaka menyebutkan namanya.
"Kaukah Jaka Sembada?" tanya Ki Saparto-ga ingin menegaskan, dengan nada
keterkejutan yang kentara. Jaka menganggukkan kepala pelan, sebagai
jawabannya. Dan seketika itu juga, lelaki ayah
kandung Dewi Nalar ini mengencangkan pegangannya pada tangan Jaka.
"Raja Petir! Bantulah aku. Tolong selamatkan anakku dan juga Arca Singa Emas yang
berada di tangannya," pinta Ki Sapartoga seperti merengek.
Sebenarnya Jaka risih juga ketika Ki Sapartoga menyebut julukannya.
"Arca Singa Emas?" batin Jaka.
"Aku rela kalau kau yang akhirnya yang
menguasai Arca Singa Emas itu, Raja Petir. Karena aku yakin, kau akan mampu
menjaganya dari incaran tokoh-tokoh berilmu tinggi golongan hitam.
Lakukanlah itu untukku, Raja Petir. Selamatkan
anakku dan Arca Singa Emas itu," ujar Ki Sapartoga lagi meratap.
Jaka tak segera menyetujui ucapan Ki Sapartoga. Hatinya bertanya-tanya. Ada teka-teki
apakah di balik Arca Singa Emas itu, sehingga tokoh-tokoh sakti rimba persilatan
golongan hitam memburunya
"Ki...?"
Jaka mengguncang tubuh Ki Sapartoga ketika mata lelaki tua itu terpejam.
"Hhh...!"
Ki Sapartoga hanya menarik napas panjang
ketika bahunya diguncang Jaka. Dan pada saat itu pula, napasnya tak lagi ada di
dadanya. Nyawa Ki Sapartoga telah pergi meninggalkan raga, karena
terlalu banyak mengeluarkan darah.
"Ah! Kasihan sekali kau, Ki," desah Jaka sambil bangkit dari jongkoknya. "Dan
maafkan aku kalau tak sempat menguburkan mayatmu.
Aku harus memenuhi permintaan terakhirmu, untuk menyelamatkan putrimu dan juga Arca Singa


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emas itu."
Setelah menatap mayat Ki Sapartoga sebentar, Jaka segera berbalik. Dan dengan sekali hentak, tubuhnya sudah melayang
jauh meninggalkan
mayat Ki Sapartoga. Raja Petir berlari ke arah
Mayang Sutera yang membuntuti putri Ki Sapartoga. "Hops!"
*** Telah berpal-pal jauhnya Jaka berlari, namun sudah sejauh itu tak juga menemui tandatanda terlihatnya Mayang Sutera dan gadis cantik berpakaian warna putih
mengkilat yang tengah di-buntuti.
"Hm.... Pertigaan" Jalan mana yang harus
kuambil?" gumam Jaka ketika menemui jalan yang terbelah dua ke kiri dan kanan.
Beberapa saat lamanya Raja Petir hanya
berdiam diri. Namun pada saat selanjutnya, tubuhnya kembali bergerak cepat, yang dipilihnya
adalah jalan sebelah kiri.
"Hops!"
Baru dua pal Jaka bergerak mengambil jalan sebelah kiri Desa Granggas, tiba-tiba saja te-linganya yang tajam mendengar
suara pertarungan. Seketika diperhatikannya suara itu dengan te-liti. Dan Raja Petir
berkesimpulan, suara memekik geram yang terdengar adalah milik perempuan.
Raja Petir tentu saja tak mau membuangbuang waktu. Maka seketika itu juga, tempo larinya dipercepat agar segera sampai di tempat pertempuran.
"Mayang...," ucap Jaka pelan ketika tiba di tempat pertempuran.
Raja Petir langsung menyaksikan kekasihnya telah bertarung melawan lelaki berkepala botak sebelah, yang tak lain Datuk Lingga Merah.
Namun pemuda ini tak segera turun ke dalam
kancah pertarungan. Sementara, putri Ki Sapartoga tengah bertarung melawan dua orang laki-laki
berbaju hitam dan bersenjatakan golok. Jaka
hanya memperhatikan pertarungan dari jarak yang
terjaga. Dan tampaknya pertarungan berjalan
seimbang. Dan ketika lelaki berpakaian warna merah
loreng itu hendak melakukan kelicikan, maka Jaka segera bergerak sambil
melancarkan 'Pukulan
Pengacau Arah' yang didapat dari Eyang Putri Selasih. "Hiyaaa...!"
Wuusss! 3 Pusaran angin yang keluar dari ilmu
'Pukulan Pengacau Arah' dari Raja Petir bergulung deras ke arah jarum-jarum
beracun, yang meluruk
deras ke arah Mayang Sutera.
Pratps! Pratps!
Benturan keras pun seketika terjadi. Jarum-jarum beracun milik Datuk Lingga Merah
langsung berhamburan tak tentu arah. Bahkan
sebagian berpatahan dan runtuh ke tanah.
Jligkh! "Manusia licik!" maki Jaka ketika menda-ratkan kakinya tak jauh dari tempat
Mayang ber- diri. "Kakang...!" teriak Mayang, girang menyaksikan kemunculan kekasihnya.
"Raja Petir!" sentak Datuk Lingga Merah yang sudah mengenal, setelah pertemuan
pertama mereka tadi. "Ternyata kau betul-betul ingin menantangku!"
Jaka hanya menimpali bentakan itu dengan
tatapan menusuk ke wajah kasar lelaki berkepala
botak sebelah. "Semula aku tak berselera bertarung melawan bocah ingusan sepertimu! Tetapi karena masih lancang mencampuri urusan orang, maka kematianlah yang pantas kau dapatkan!" lanjut Datuk Lingga Merah lantang.
"Aku perlu bukti atas bacot besarmu itu,"
balas Jaka tenang.
"Hmh...! Garda, Maijan! Mainkan jurus
'Menusuk Rembulan' untuk memanggang leher
bocah angkuh itu!" teriak Datuk Lingga Merah pa-da dua anak buahnya yang masih
tersisa, disertai geraman keras.
Dua laki-laki yang dipanggil Garda dan Marjan bergerak cepat dengan senjata tersilang di depan dada.
Wuk! Wuk! Mayang yang menyaksikan tiga orang hendak mengeroyok Jaka, semula hendak ikut ambil
bagian. Akan tetapi tangan Jaka yang terangkat
membuat gadis cantik kekasih Raja Petir ini mengurungkan keinginannya.
"Seraaang...!"
Sekeras perintah yang keluar dari mulut
Datuk Lingga Merah, sekeras itu pula teriakan
Garda dan Marjan terdengar mengiringi tubuhnya
yang berkelebat
"Hiyaaa...!"
"Yeaaat..!"
Wiiing! Wuuung!
Raja Petir cepat merunduk, menghindari
terjangan dua bilah tombak lawan-lawannya. Dan
tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya bergerak cepat Tap! Tap! Dua bilah tombak yang mencecar langsung
tertangkap. Tombak milik Garda dan Marjan kini
tercekal kuat di telapak tangan Raja Petir.
Kedua orang itu berusaha menarik pulang
senjatanya. Namun, apakah arti tenaga dalam mereka yang masih berada jauh di bawah Raja Petir"
Dan tentu saja usaha keduanya pun menjadi belaka. Melihat kedua anak buahnya tak kuasa
menghadapi Raja Petir, Datuk Lingga Merah segera saja menerapkan kembali siasat
liciknya. Di tengah-tengah kedudukan Jaka yang
tengah menahan betotan Garda dan Marjan, tibatiba tubuh Datuk Lingga Merah melesat disertai
pengerahan jurus 'Tombak Maut Datuk Sakti'.
"Haaat..!"
Jaka tentu saja sadar akan kelicikan lelaki
berkepala botak sebelah itu. Dan dia tak tanggung-tanggung lagi ingin memberi
pelajaran padanya.
Maka seketika itu juga, ajian 'Kukuh Karang' ter-cipta. Tubuhnya kini terbungkus
sinar warna kuning menyilaukan.
Dan ketika tubuh Datuk Lingga Merah yang
berada di udara tiba, maka....
Trak! "Aaa...!"
Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian loreng merah itu seketika terpental balik, ketika
tombaknya menghantam tubuh Raja Petir. Bahkan
pada saat bersamaan, Dewi Nalar mencelat deras
sambil mengayunkan selendang merahnya disertai
ilmu 'Selendang Merah'.
"Mampus kau, Datuk Sesat Hiyaaa...!"
Tak ada kesempatan lagi bagi datuk sesat
dari selatan itu untuk menghindar. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara. Sehingga....
Ctar! Drak! "Aaa...!"
Jeritan kedua terdengar dari mulut Datuk
Lingga Merah begitu tersengat selendang merah
milik Dewi Nalar. Tubuhnya kembali terpental balik ke belakang, agak bergeser sedikit ke arah kanan. Bruk!
Tubuh Datuk Lingga Merah langsung ambruk tanpa nyawa. Bagian dadanya yang tersambar selendang milik Dewi Nalar nampak luka menganga lebar. "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Sementara itu dua jeritan kematian kembali
terdengar berturut-turut. Kali ini, keluar dari mulut Garda dan Marjan akibat
tak kuasa menerima
sengatan panas dari aji 'Kukuh Karang' yang sesungguhnya ditujukan untuk Datuk Lingga Merah.
Akibatnya, tubuh mereka pun menemui nasib sama dengan Datuk Lingga Merah.
*** Setelah kematian Datuk Lingga Merah dan
kedua anak buahnya, gadis cantik berambut dikuncir sebahu itu segera menghampiri Mayang
yang sudah bergabung dengan Jaka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini,"
ucap Dewi Nalar, pelan. "Dan juga kau, Kisanak."
Dewi Nalar menatap wajah tampan Raja Petir. Jelas, tatapannya menyiratkan kekaguman.
"Ah! Tak perlu kau ucapkan itu," kilah Mayang mengalihkan tatapan mata Dewi
Nalar yang terus-menerus menatap ketampanan wajah
Raja Petir. "Oh, ya. Panggil aku Mayang. Dan, Nisanak siapa?"
Mayang langsung menjulurkan telapak tangannya. Sedangkan Dewi Nalar tersenyum sebelum
membalas uluran tangan Mayang. Dan ketika tangannya menyambut tangan Mayang....
"Dewi Nalar...," sahut gadis berpakaian sutera putih ini, menyebutkan namanya.
Kini ganti Mayang yang tersenyum.
"Namamu bagus," puji Mayang terus terang.
"Sebagus parasmu."
Dewi Nalar tersipu-sipu mendengar pujian
Mayang. Padahal diakuinya sendiri, wajah Mayang
tak kalah cantik.
"Oh, ya. Kawanku ini bernama Jaka," tukas Mayang kemudian memperkenalkan
kekasihnya. Dewi Nalar segera mengulurkan tangan,
tanpa menyebutkan namanya lagi.
"Apakah nama lengkap Kakang adalah Jaka
Sembada?" tanya Dewi Nalar hati-hati.
Jaka menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaan gadis cantik di depannya.
"Berarti Kakang yang berjuluk Raja Petir?"
desak Dewi Nalar kemudian, ingin menegaskan.
"Lupakan julukan kosong itu, Dewi," bantah Jaka merendah.
"Julukanmu tidak kosong, Kakang," sangkal Dewi Nalar. "Ayahku...."
Dewi Nalar menghentikan ucapannya. Wajahnya yang baru sesaat terlihat cerah, kini kembali tersaput mendung.
"Eh! Aku..., aku harus menemui ayah dulu,"
ujar Dewi Nalar. Kemudian gadis itu hendak melangkahkan kakinya, meninggalkan Jaka dan
Mayang. "Tunggu dulu, Dewi," tahan Jaka dengan suara yang cukup tegas.
Apa yang dilakukan Jaka dengan menahan
kepergian gadis cantik berambut dikuncir sebahu
itu, tentu saja membuat Mayang heran. Rasa cemburu sepertinya nampak dari cara menatap wajah
kekasihnya. Dewi Nalar sendiri memang betul-betul
mengurungkan niatnya. Bahkan tatapan matanya
kini tertuju lurus ke wajah Jaka.
"Maafkan aku, Dewi. Aku gagal menyelamatkan nyawa ayahmu. Yang Kuasa telah memanggilnya," ucap Jaka pelan.
"Akh!"
Dewi Nalar memekik tertahan mendengar
penjelasan Raja Petir. Mendung di wajahnya kini
berubah menjadi sebuah hujan derai air mata. Bahu gadis itu tampak berguncang-guncang.
Mayang yang seolah ikut merasakan kedukaan Dewi Nalar, segera saja mendekatinya. Langsung dirangkulnya tubuh gadis berpakaian putih
itu. "Tabahkan hatimu, Dewi," hibur Mayang.
"Segalanya telah diatur sang Pencipta. Setiap makhluk yang bernyawa, pasti akan
menjumpai kematian. Dan kita semua bakalan menyusulnya,
meski entah kapan."
Isak Dewi Nalar semakin jelas, setelah mendengar kata-kata gadis berjuluk Dewi Payung
Emas itu. Sungguh! Dewi Nalar bukan saja mengingat kematian ayahnya. Tapi, juga bayangan
ibunya yang tewas terbantai Lima Jin Gunung
Sampa yang kembali melintas di pelupuk matanya.
Dia kini seorang diri. Sebatang kara!
"Aku belum sempat menguburkannya, karena khawatir dengan keselamatan kalian berdua,"
tukas Jaka lagi, seraya mendekati Mayang yang
tengah menghibur Dewi Nalar. "Kita bisa melakukannya sekarang, Dewi. Mari...."
"Ayo, Dewi," ajak Mayang pula dengan tangan merendeng tubuh putri tunggal
almarhum Ki Sapartoga ini. Apa yang dilakukan Jaka dan Mayang semakin membuat keterharuan di hati Dewi Nalar
semakin terasa.
"Ah! Aku semakin menyusahkan kalian saja," desah Dewi Nalar. Nada suaranya jelas ter-ganggu sisa isaknya.
"Jangan pikirkan itu, Dewi," kilah Mayang.
Angin berhembus semilir ketika Jaka,
Mayang, dan Dewi Nalar bergerak menuju ujung
Desa Granggas untuk menemui mayat Ki Sapartoga. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata
pun yang terucap. Mereka terus berjalan dengan
pikiran di benak masing-masing.
*** "Ayaaah...!"
Dewi Nalar memekik keras, langsung berhambur cepat ke jasad ayahnya yang terbujur kaku. Kemudian tubuhnya bersimpuh, seraya men

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ciumi wajah ayahnya.
"Ayaaah...!"
Kembali suara Dewi terdengar memanggilmanggil dengan perasaan bergetar. Sementara, air matanya pun memburai membasahi
pakaian Ki Sapartoga yang sudah ternodai bercak-bercak darah. "Ayah! Kenapa kau tinggalkan aku secepat ini. Aku masih membutuhkan
perhatian dan bim-binganmu. Ayah," ratap Dewi Nalar dengan telapak tangan
meraba-raba wajah pucat pasi ayahnya.
Suasana haru seperti itu tentu saja membuat Jaka dan Mayang ikut hanyut di dalamnya.
Sehingga, akhirnya Mayang menghampiri gadis
cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini.
"Sudahlah, Dewi. Jangan terlalu diratapi
kepergian orangtuamu. Lebih baik, kita makamkan
saja jenazahnya sekarang juga," hibur Mayang pelan. Dewi Nalar menatap wajah Mayang.
"Memang sebaiknya begitu, Nini Mayang,"
sambut Dewi Nalar dengan suara terdengar agak
"Ayo, Kakang. Bantu mengangkat tubuh
orangtua Dewi," ajak Mayang pada Jaka.
Raja Petir dengan gerak cepat segera memondong tubuh Ki Sapartoga. Lalu, matanya menatap ke arah Dewi Nalar.
"Di mana tempat yang baik menurutmu,
Dewi?" tanya Jaka sambil memondong mayat Ki Sapartoga.
Dewi Nalar tak segera menjawab. Sementara
bola matanya yang indah terlihat bergerak-gerak, mencari tempat untuk
menguburkan jasad ayahnya. "Bagaimana kalau di kamar pribadi ayah sa-ja, Kakang
Jaka?" kata Dewi Nalar meminta pen-dapat, ketika tak menemukan tempat yang cocok
untuk mengubur mayat ayahnya.
"Terserah kau saja, Dewi," desah Jaka, menyetujui usul putri almarhum Ki
Sapartoga ini. Bergegas Dewi Nalar bergerak lebih dulu ke
rumahnya. Dibukanya pintu, dan ditunjukkannya
letak kamar pribadi ayahnya. Sedangkan Jaka dan
Mayang mengikuti langkah kaki Dewi Nalar.
"Di dekat lemari itu saja, Kakang Jaka," ujar Dewi Nalar sambil menunjuk arah
utara kamar Ki Sapartoga yang cukup luas.
Jaka segera menurunkan mayat Ki Sapartoga yang berada dalam pondongannya. Kemudian,
dia bergerak ke arah yang ditunjuk Dewi Nalar.
Dengan peralatan seadanya, Raja Petir
menggali liang lahat untuk menguburkan mayat Ki
Sapartoga. Hanya dalam waktu singkat, lubang itu sudah selesai digali.
Dewi Nalar tentu saja terkagum-kagum menyaksikan kecepatan kerja tokoh muda yang berjuluk Raja Petir ini. Meski menggunakan peralatan seadanya, namun Jaka mampu
bekerja cepat tanpa bersimbah peluh di tubuhnya.
Selesai menggali liang lahat, Jaka kembali
mengangkat tubuh Ki Sapartoga. Lalu dibawanya
mayat itu turun dan diletakkan dengan hati-hati di dasar lubang.
"Jangan ditimbun dulu, Kakang Jaka," pinta Dewi Nalar, menahan gerakan Jaka yang
hen- dak menurunkan tanah bekas galian.
Jaka tentu saja segera menoleh dan menatapi wajah Dewi Nalar.
"Ada apa, Dewi?" tanya Jaka pelan.
Dewi Nalar membiarkan pertanyaan Jaka
beberapa saat, dengan tatapan tertuju ke mayat
ayahnya yang sudah rebah di lubang kubur.
Sedangkan Jaka tak kembali bertanya, melihat apa yang dilakukan gadis cantik putri Ki Sapartoga itu. Mungkin apa yang
dilakukannya adalah sesuatu yang bersifat penghormatan terhadap
hari-hari terakhir melihat ayahnya.
"Sebaiknya benda ini dibenam saja bersama
jasad ayah," ujar Dewi Nalar, seraya meraih sesuatu dari balik pakaiannya.
Tatapan mata Jaka dan Mayang terpaku,
menyaksikan sebuah benda warna kuning keemasan berbentuk seekor singa di tangan Dewi Nalar.
Sebuah benda yang besarnya tak melebihi seekor
anak ayam. "Itukah Arca Singa Emas, Dewi?" tanya Ja-ka, melihat keberadaan benda yang
pernah dis- ebut-sebut Ki Sapartoga.
"Betul!" jawab Dewi Nalar, tegas. "Apakah Kakang tahu nama benda ini dari
ayahku?" "Ya," jawab Jaka, singkat.
"Maaf, Kakang. Apa saja yang dikatakan
ayah tentang benda peninggalan leluhurku ini?"
tanya Dewi Nalar lagi, ingin tahu.
"Tak banyak. Ayahmu hanya beramanat padaku untuk menyelamatkan benda pusaka milik
leluhurnya," sahut Jaka.
Dewi Nalar terdiam mendengar cerita Jaka.
Sungguh hatinya bersyukur telah berjumpa dengan seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian
tinggi. Selama ini, dia hanya pernah mendengar
cerita dari ayahnya, tentang kesaktian dan kerendahan hati Raja Petir.
Dan Dewi Nalar juga beranggapan kalau Raja Petir adalah seorang tokoh muda yang memiliki ketampanan seperti tokoh-tokoh
yang dilihatnya.
Dan kenyataannya"
Dewi Nalar melihat Jaka sebagai pemuda
yang benar-benar memiliki daya tarik tersendiri.
Bahkan hatinya terasa bergetar, saat beradu pandang dengan Raja Petir Namun gadis putri Ki Sapartoga itu berusaha membunuh kekagumannya
sendiri. Dia tak ingin pada akhirnya perasaan itu malah mencabik-cabik hatinya.
Apalagi Dewi Nalar
juga tak ingin menyinggung hati perempuan yang
sudah dipastikan sebagai kekasih Jaka.
"Tak ada yang lain yang diceritakan ayahku, Kakang?" ucap Dewi Nalar setelah
sesaat lamanya terdiam.
"Ada. Ayahmu juga meminta agar aku menyelamatkan dirimu dari orang-orang yang mengincar Arca Singa Emas itu," jelas Jaka sambil menunjuk benda warna kuning
keemasan yang memang terbuat dari logam mulia.
Mayang hanya diam saja mendengarkan
percakapan antara Jaka dan Dewi Nalar.
"Dewi.... Kalau kau ingin mengubur benda
itu bersama jasad ayahmu, silakan saja. Mungkin
itu lebih baik," ujar Jaka.
"Ah...," desah Dewi Nalar tiba-tiba. 'Tidak"
Mayang dan Jaka saling bertatapan, mendengar
ucapan Dewi Nalar yang tak selesai.
"Aku harus mengikuti pesan ayah," ujar Dewi Nalar lagi. "Benda peninggalan
leluhurku ini harus kuserahkan pada Kakang. Di tanganmu,
benda ini pasti aman dan dunia peralatan tak
akan kacau"
"Apa maksud ucapanmu, Dewi. Masak karena Arca itu berada di tanganku, lantas dunia peralatan tak akan kacau?" tanya
Jaka menyelidiki teka-teki yang menyelimuti Arca Singa Emas itu.
"Nanti saja kujelaskan, Kakang. Sekarang,
terimalah Arca ini," selak Dewi Nalar seraya menyerahkan Arca Singa Emas pada
Jaka. "Dewi...."
"Terimalah, Kakang."
"Ha ha ha...!"
Belum lagi Jaka menerima Arca Singa Emas
yang disodorkan Dewi Nalar, sebuah tawa menggelegar terdengar jelas dari luar.
"Lebih baik, serahkan Arca itu padaku, Cah
Ayu. Dan kau akan kuangkat jadi istriku," ujar suara dari luar, disertai
pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Masukkan benda itu kembali, Dewi," ujar Jaka, memerintah.
Dewi Nalar segera menuruti ucapan Jaka.
Kemudian ketiganya bergerak ke luar, menghampiri pemilik suara lancang tadi.
4 Ketika keluar dari rumah yang sudah bertahun-tahun ditempati, Dewi Nalar terkejut menyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh seperti badut dengan perut buncit.
Mereka mengenakan
pakaian warna-warni dengan wajah coreng-moreng
merah, biru, dan hijau.
Keterkejutan Dewi Nalar ternyata dialami
pula oleh tiga lelaki layak badut itu. Maka ketiga lelaki yang berjuluk Tiga
Badut Pulau Angker ini sedikit terbelalak, mendapati kehadiran Raja Petir di
hadapannya. "Cah ayu! Cepat serahkan Arca Singa Emas
itu padaku!" bentak lelaki berperut buncit yang rambutnya kemerahan. "Atau,
kupukul pecah kepala mu!" Tiba-tiba salah seorang dari Tiga Badut Pulau Angker membentak kasar. Senjatanya yang berupa gada hitam berduri berukuran besar, terangkat ke atas kepala.
"Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin
memiliki benda leluhurku!" balas Dewi Nalar dengar keberanian luar biasa.
Jaka dan Mayang terkagum-kagum juga
menyaksikan keberanian gadis cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini. Begitu juga Tiga Badut Pulau Angker yang tak menyangka mendapatkan jawaban galak seperti itu.
"Aku senang mendapatkan gadis galakmu!
Namun sayang, hari ini aku lebih mementingkan
Arca Singa Emas. Hop!"
Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker
itu bergerak mendekati Dewi Nalar. Gerakannya
terlihat cepat dan ringan.
"Hop!" Jaka pun beringsut mendekati Dewi Nalar. "Sabar, Nisanak."
"Hm.... Rupanya kau juga menginginkan
benda itu. Raja Petir," gumam lelaki berambut kemerahan dengan tatapan tajam ke
arah Jaka. "Da-ri caramu itu lebih kotor, dengan merayu-rayu seperti hidung
belang!" 'Tutup mulutmu, Badut Gila!" maki Mayang
mendengar hinaan terhadap diri Jaka.
"Hi hi hi.... Kau juga galak, Nini. Hm.... Berarti aku mempunyai kesempatan
mendapatkan dua gadis galak untuk menjadi teman penghibur."
"Phuih!"
Berbarengan Mayang dan Dewi Nalar membuang ludah ke tanah.
"Wajahmu saja tak sedap untuk dipandang,
Badut Buruk! Mana mungkin ada gadis yang mau
jadi penghibur dirimu?" tukas Dewi Nalar balas meledek
"Kita buktikan sekarang saja, Kakang Baliga!" ujar orang kedua dari Tiga Badut Pulau Angker yang matanya tak beralis
sedikit pun. "Betul kata Kakang Baligu, Kakang," timpal lelaki yang berambut keriting halus.
"Kita sikat habis saja mereka. Jangan kasih hati. Bukankah
tujuan kita jauh-jauh mencari Arca keramat itu?"
"Ha ha ha.... Kalian berdua betul, Baligu
dan Balguli. Ayo!"
Rrrrttt..! Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker
yang bernama Baliga seketika itu juga mengacungkan gada berduri yang berwarna hitam tinggitinggi. Gada berduri itu terangkat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
hingga menimbulkan
bunyi yang mengerikan.
Apa yang dilakukan lelaki berambut kemerahan itu juga dilakukan Baligu dan Balguli.
"Biar aku yang menghadapi Raja Petir,"
ucap Baliga seraya melompat ke arah Jaka. Sementara Baligu lebih memilih Mayang. Sedangkan
Dewi Nalar menjadi lawan Balguli.
Pertarungan seketika pecah menjadi tiga
bagian. Putri almarhum Ki Sapartoga itu langsung menggunakan senjatanya yang
berupa selendang
warna merah darah untuk menghadapi Balguli.
"He he he.... Cah ayu, keluarkan seluruh
ilmumu kalau kau tak ingin kupeluk," ledek Balguli yang berambut keriting halus
dengan serin- gainya yang tak enak dilihat.
"Lakukanlah kalau kepalamu ingin pisah
dari badan," sentak Dewi Nalar.
"Hiyaaa..!"
Balguli yang berambut keriting ini bergerak
sambil mengayunkan gada ke arah dada Dewi Nalar. Bunyi menderu terdengar mengiringi serangan orang ketiga dari Tiga Badut
Pulau Angker ini.
Wurttt...! "Heits!"
Dewi Nalar langsung berkelit ke belakang,
manakala senjata milik Balguli memburu bagian
dadanya. Dalam keadaan tubuh yang doyong ke
belakang, kedua telapak tangannya dijatuhkan
dengan melenturkan tubuh. Lalu dengan gerakan
cukup memikat, gadis berpakaian putih mengkilat
itu melenting rendah dan cepat.
"Hops!"
"Hup!"
Jarak antara Balguli dengan Dewi Nalar kini
menjadi beberapa batang tombak. Namun laki-laki
berambut keriting itu terkagum-kagum menyaksikan keindahan dan kelenturan gerak lawannya.
Sehingga, dia tak mengejar gerakan menghindar
Dewi Nalar. "Ayo serang lagi, Badut Jelek!" ledek Dewi Nalar memancing kemarahan Balguli
yang berpakaian warna-warni. Sementara wajahnya terlihat
coreng-moreng oleh warna merah, hijau, dan biru.
"Ha ha ha.... Kau menantangku, Cah Ayu"
Rasakanlah nanti pelukanku," ujar Balguli. Langkah kakinya kembali terangkat
menghampiri Dewi
Nalar. Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja bersiap-siap menghadapi


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serbuan lawannya. Sebuah jurus yang didapat dari ayahnya akan digunakan untuk menghadapi serangan Balguli.
"Hops!"
Dengan kuda-kuda rendah, Dewi Nalar terlihat betul-betul telah siap memamerkan ilmu menyerang yang dahsyat
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Dewi Nalar langsung menghentakkan kaki
ketika badut berambut keriting itu kembali bergerak. Hentakan kakinya cukup
kuat, sehingga tubuhnya sekonyong-konyong melesat ke udara dengan kaki hendak memberi tendangan dari atas
mencecar pala. Wurrrrt...! "Eits!"
Gerakan Balguli yang hendak memotong laju gerakan kaki Dewi Nalar, segera bisa terbaca.
Putri almarhum Ki Sapartoga itu memindahkan
kakinya. Lalu dengan kecepatan mengagumkan,
tubuhnya kembali bergerak ke bagian leher lawan.
"Mampus kau!"
"Huts!"
Dengan gerakan lucu, seperti anak kecil ketakutan, dilakukan Balguli. Dan dengan gerakan
itu, mampu menyelamatkannya dari serbuan kaki
kanan Dewi Nalar.
"He he he...!" Balguli kembali terkekeh. "Rupanya hanya sampai di gitu jurus
menyerang yang kau miliki, Cah Ayu" Apa tak ada yang lebih dahsyat?" "Jangan sombong kau, Badut Jelek!" balas Dewi Nalar keras.
"Bukannya sombong, Cah Ayu. Kalau kau
tak memiliki kepandaian, bagaimana akan menjatuhkan lawan?" ulas Balguli.
"Keluarkan ilmumu, Badut Jelek! Biar kuhadapi dengan selendangku ini!"
"He he he.... Ayolah! Kita adu antara selen-dangmu yang lembut dengan gadaku
yang kasar,"
tantang orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker ini.
Wurk! Wurk! Wurk!
Balguli tiba-tiba saja memutar-mutar gada
yang berada di tangan kanannya. Bunyi berisik
terdengar dari putaran gada berwarna hitam yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin
bergulung pun keluar dari putaran gada yang begi-tu cepat, sehingga menerbangkan
batu-batu kerikil di sekitarnya.
Terkesiap juga hati Dewi Nalar menyaksikan
keganasan perputaran senjata yang dilakukan lawannya. Namun hatinya yakin, kalau selendang
merah yang akan dimainkan dalam jurus ilmu
'Selendang Merah' akan mampu meredam keganasan gada berduri milik Balguli.
"Hiyaaa...!"
Wuuurk! Balguli mengayunkan gadanya dalam kecepatan dahsyat. Ctar! Dewi Nalar tak kalah sigap. Cepat selendangnya dikebutkan untuk memapak ayunan gada
lawan. Sehingga....
Brrrrt...! Selendang warna merah milik Dewi Nalar
seketika bergulung di gerigi-gerigi gada milik Balguli. Putri almarhum Ki
Sapartoga ini tentu saja terkejut mendapat kenyataan seperti itu.
Seharusnya gada milik Balguli patah jadi
dua saat ujung selendang merah Dewi Nalar
menghantam keras. Namun nyatanya....
"Hm.... Hebat sekali dia," puji Dewi Nalar dalam hati.
"Ayo! Lepaskan senjatamu dari tubuh senjataku ini, Cah Ayu!" ejek Balguli pongah.
Kelakuan laki-laki berperut buncit dan berambut keriting itu tentu saja membuat Dewi Nalar naik darah. Segera saja
tenaganya dikerahkan untuk berputaran ke arah yang berlawanan dari selendang yang membelit di gada berduri itu.
"Hih!"
"Eits!"
Balguli ternyata mampu membaca maksud
Dewi Nalar yang hendak melepaskan selendang
dengan cara memutar belitan dari arah berlawanan. Maka lelaki berperut buncit itu juga ikut berputaran. Akibatnya, Dewi Nalar
tak kuasa melepaskan selendangnya yang membelit di gada hitam
berduri. "Hih!"
Kali ini Dewi Nalar berusaha menarik selendangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tetapi sedikit pun lawannya tak terpengaruh.
"Jangan bodoh, Cah Ayu. Nanti selendangmu bisa rusak," ledek orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker.
"Hhh...!"
Dewi Nalar tidak mempedulikan Balguli.
Dan dengan sebisanya terus berusaha melepaskan
selendangnya yang membelit di gada berduri lakilaki berperut buncit dan berambut keriting ini
*** Sementara itu, pada pertarungan Mayang
melawan Baligu yang merupakan orang kedua dari
Tiga Badut Pulau Angker, berlangsung cukup seru
dan cepat "Hiyaaa...!"
Sebuah tendangan menggeledek yang terangkum dalam jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air' dilakukan Mayang dengan sempurna. Baligu yang sama sekali tak menduga datangnya serangan, tak kuasa menghindarinya. Apalagi tendangan itu dilakukan cepat bagai kilat. Sehingga.... Bugk! "Aaakh...!"
Telapak kaki gadis berjuluk Dewi Payung
Emas ini menghantam tepat di dada laki-laki tanpa alis itu. Akibatnya, Baligu langsung terhuyunghuyung sambil menekap dadanya yang terasa sesak bukan kepalang.
Pada saat lawannya jatuh terjerembab,
Mayang menyaksikan Dewi Nalar dalam keadaan
genting. Gada bergerigi milik Balguli nampak semakin banyak menggulung selendang merah milik
Dewi Nalar. "Hiaaat..!"
Wuk..! Mayang langsung melesat ke arah Dewi Nalar yang tengah bertarung melawan orang termuda
dari Tiga Badut Pulau Angker. Senjatanya yang berupa payung besi warna kuning
keemasan lang- sung dimainkan dalam jurus 'Benteng Emas'. Jurus ini memang berguna untuk menyerang dan
bertahan. Suara menderu nyaring kontan terdengar
dari payung besi milik Dewi Payung Emas yang
berputar cepat "Lepaskan senjatanya, Badut!" sentak
Mayang sambil mengarahkan senjatanya yang
Golok Sakti 2 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 16

Cari Blog Ini