Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara Bagian 1
SETAN BUKIT CEMARA Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Setan Bukit Cemara
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 "Hi hi hi...!"
Suara tawa kecil seperti gurauan manja,
terdengar mengisi suasana siang yang telah mulai
bergeser menuju senja. Angin semilir bertiup dari arah utara, semakin menambah
perasaan syahdu
hati seorang gadis cantik, berambut panjang dikepang yang tengah berlari-lari kecil menghindari ke-jaran pemuda tampan
berpakaian kuning keemasan. "Sudah! Sudah!" teriak pemuda tampan berambut gondrong itu sambil
menghentikan larinya,
membiarkan si gadis berambut dikepang yang
memakai baju warna jingga. "Sedari tadi cekikikan terus, aku khawatir nanti kau
akan menangis, Mayang...," lanjutnya seraya tersenyum dan menatap gadis yang dipanggil Mayang.
Di punggung lelaki berwajah tampan itu
nampak menggelantung sebuah gagang pedang berukir bunga-bunga kecil nan indah.
"Aku tak akan pernah menangis, Kakang,"
sangkal gadis cantik berpakaian jingga yang ternyata Mayang Sutera.
"Kalau tiba-tiba saja ada gadis lain di sampingku, apa kau juga tak akan menangis?" ledek si pemuda berpakaian kuning
keemasan itu. "Kakang Jaka! Apakah kau mulai senakal
itu?" sanggah Mayang dengan mata terpicing dan tersenyum, menatap pemuda di
depannya. Pemuda yang ternyata Jaka tersenyum
mendengar ucapan sang Kekasih. Ucapan itu sangat tepat sebagai sanggahan dan sekaligus mampu
menutupi perasaan hati yang sebenarnya. "Tentu saja tidak, Mayang. Yang
kuucapkan barusan itu
hanya seandainya," elak Jaka.
"Ya, berarti aku tak akan pernah menangis,
karena aku tahu Kakang tak mungkin berbuat
itu," ujar Mayang dengan nada kemenangan.
"Kau memang pintar," puji Jaka.
"Aku mendapatkan kepintaran itu justru
darimu," balik Mayang merendah.
"Itu juga salah satu kepintaranmu untuk
selalu mengelak dari pujianku," ujar Jaka lagi.
Kali ini Mayang tak menyanggah. Diperhatikannya langkah kaki Jaka yang menghampirinya.
Dan ketika kemudian tangan Jaka meraih pergelangan tangannya, Mayang tak berusaha mengelak. "Begini seharusnya kita," ujar Jaka sambil melangkah dengan menggamit
tangan kekasihnya.
"Semua lelaki maunya begini," ledek
Mayang, "Mau enaknya saja."
"Jangan memancing lagi, Yang! Nanti
aku...." "Maaf, aku takut kalau kau ma...."
Mayang menggantung ucapannya ketika
melihat tangan Jaka bergerak hendak mencubit
pipinya. Angin masih terus bertiup lembut, sementara sore perlahan-lahan turun bersama suasana sejuk. Sepasang muda-mudi yang merupakan tokoh
terkenal di rimba persilatan itu terus bergelut dengan gurauan yang membuat keduanya kian akrab.
Akan tetapi ketika langkah Jaka dan
Mayang memasuki areal tanah pemakaman, tak
lagi terdengar ucapan-ucapan canda yang keluar
dari mulut mereka. Seketika wajah keduanya berubah tegang seolah ada suatu firasat buruk telah menyelinap di hati mereka.
"Aneh sekali keadaan di sekitar pemakaman
ini, Kang," ujar Mayang, meski dengan suara perlahan. "Bulu kudukku berdiri,"
lanjutnya sambil merapatkan tubuh pada kekasihnya.
"Aku juga merasakan ada hawa lain,
Mayang," sambut Jaka seraya menoleh ke wajah Mayang. "Kita harus mewaspadai
keadaan ini."
"Ya," sambut Mayang.
Dua muda-mudi itu terus melanjutkan perjalanan melintasi tanah pemakaman yang masih
dalam wilayah Desa Kober Utara. Setapak demi setapak Mayang dan Jaka menjejaki tanah pemakaman dengan kewaspadaan yang tinggi. Otot-otot
mereka nampak menegang.
Cukup lama ketegangan yang dirasakan Jaka dan Mayang berlangsung. Hal itu karena tanah
pemakaman yang tengah mereka lewati cukup
luas. "Hhh...."
Terdengar hembusan napas berat Mayang
ketika mereka berdua sampai di luar tanah kuburan. Gadis itu tampaknya merasakan keanehan
yang berselimut di hati telah lenyap.
"Baru sekarang aku mengalami ketakutan
seperti ini, Kakang. Hhh....! Ketakutan yang tanpa
alasan," ucap Mayang sambil kembali menghela napas dalam-dalam, seakan-akan
hendak men-gendorkan urat sarafnya yang menegang.
Jaka tak menimpali ucapan Mayang, tetapi
kemudian mulutnya sudah terbuka berkata dengan ketenangan yang menjadi ciri khasnya.
"Hm...," firasatku mengatakan, bahwa di Desa Kober Utara ini akan terjadi
sesuatu yang mengerikan, Mayang. Entah kejadian macam apa.
Yang jelas ketika kita memasuki mulut Desa Kober
Utara yang ditandai dengan sebuah batu bertuliskan nama desa ini, firasat seperti yang kusebutkan tadi sudah terbersit. Cuma, karena kau selalu mengajak bergurau, menyebabkan aku melupakan firasat itu," ujar Jaka sambil terus mengajak Mayang berjalan menjauhi
tanah pemakaman.
"Kalau firasatmu benar, apa yang harus kita
lakukan?" tanya Mayang.
"Tampaknya kita harus bermalam di desa
ini. Itu kalau kita ingin tahu bencana yang akan
menimpa desa ini. Kita bisa menumpang di rumah
penduduk atau kalau perlu menemui Kepala Desa
Kober Utara," jawab Jaka mantap.
"Aku setuju, Kakang," timpal Mayang.
"Setuju yang mana?" tanya Jaka berusaha menghilangkan ketegangan yang masih
sedikit dirasakan.
"Menginap di rumah penduduk setuju, di
rumah kepala desa pun setuju."
"Di kediaman kepala desa saja kalau begitu.
Barangkali keanehan yang kita rasakan barusan
mendapat keterangan lebih terperinci dan jelas,"
usul Jaka. Tanpa mengomentari usul Jaka, Mayang
mengikuti langkah kekasihnya menuju rumah Kepala Desa Kober Utara. Angin masih tetap bertiup
semilir, hawa dinginnya kini lebih kuat menusuk
permukaan kulit
*** Malam sebentar lagi turun. Suasana dingin
menyelimuti Desa Kober Utara. Di jalan utama desa itu tampak Jaka dan Mayang berjalan menuju
selatan. Mereka bermaksud mendatangi rumah
Kepala Desa Kober Utara. Tak lama kemudian keduanya melihat sebuah bangunan rumah besar
dan tampak kokoh yang diterangi cahaya api obor.
Di serambi depan rumah yang cukup luas
itu tampak beberapa orang lelaki. Beberapa di antara mereka tampak berjalan mondar-mandir di
bawah cahaya obor yang terpancang di dinding.
Dilihat dari tingkah laku mereka, tampaknya
orang-orang itu tengah dilanda suatu kegelisahan
yang hebat Jaka dan Mayang terus melangkah menuju
bangunan kokoh yang diyakini sebagai rumah Kepala Desa Kober Utara.
"Selamat malam, Kisanak sekalian!" sapa Jaka dengan tubuh sedikit dibungkukkan
memberi hormat. Padahal sebenarnya saat itu belum malam. Namun gelap telah mulai menyelimuti suasana lepas senja itu.
Ucapan tegas yang mengandung kewibawaan tinggi itu didengar beberapa lelaki yang tengah hilir-mudik di serambi
depan. Sejenak mereka
tercenung memperhatikan kehadiran sepasang
muda-mudi yang memiliki ketampanan dan kecantikan yang mengagumkan. Namun beberapa saat
kemudian salah seorang dari mereka segera menyadari ketercenungannya dan membalas sapaan
Jaka setelah terlebih dahulu menganggukkan kepala. "Selamat malam!" tukas lelaki bertubuh tinggi tegap yang mengenakan
pakaian serba coklat. Wajah tampannya yang berkulit putih menambah kegagahan. Ditambah pula kumis hitam tebal
yang bertengger di bawah hidung.
"Maaf, kalau kehadiran kami berdua mengganggu kisanak sekalian!" ucap Jaka lagi dengan kata-kata lembut namun
menyiratkan ketegasan.
"Ah, tidak," selak lelaki tampan berkumis tebal, "Kalau boleh ku tahu siapa
kalian dan ada perlu apa datang ke tempat ini?" lanjut lelaki berpakaian coklat
itu meminta sekaligus menyelidiki
keberadaan kedua tamunya.
"Kami adalah pengelana. Namaku Jaka
Sembada dan kawanku ini bernama Mayang Sutera," jawab Jaka memenuhi permintaan lelaki tampan berpakaian coklat
"Kedatanganku ke tempat ini untuk menemui Kepala Desa Kober Utara," lanjutnya
dengan suara mantap. Dirinya sengaja tak
menceritakan masalah yang akan diutarakan nanti
pada Kepala Desa Kober Utara.
"Untuk apa kau menemui, Ki Bernala?" selak salah seorang lelaki bertubuh pendek
dengan tatapan penuh kecurigaan. "Maaf Kakang Gunja-da, kedatangan mereka tepat sekali
dengan mala- petaka yang menimpa Ki Bernala. Terus terang
aku merasa curiga!" lanjutnya seraya menatap Ja-ka dan Mayang penuh selidik.
Lelaki berpakaian coklat yang ternyata bernama Gunjada seperti terpengaruh ucapan lelaki
bertubuh pendek. Terbukti kini Gunjada ikut menatap wajah Jaka dan Mayang dengan sorot mata
tajam dan penuh selidik.
"Em..., Jaka! Jawablah pertanyaan Marga!"
pinta Gunjada dingin.
Jaka mengembangkan senyum menyaksikan perubahan pada diri Gunjada yang mudah
terpengaruh ucapan temannya.
"Secara khusus aku memang tak memiliki
keperluan penting dengan Ki Bernala. Aku hanya
ingin bertemu dengannya. Maaf, keinginanku bersifat tak memaksa! Kalau kalian mengizinkan aku
bersyukur sekali. Itu pun jika Ki Bernala sendiri tak berkeberatan bertatap muka
dengan kami. Dan yang perlu Kisanak sekalian ketahui, kedatangan kami ke tempat ini sedikit pun tak membawa niat jahat," jawab Jaka tenang.
"Jangan percaya begitu saja dengan katakatanya, Kakang Gunjada!" selak Marga ketus.
"Tenanglah kau, Marga!" bentak Gunjada
sengit. Marga langsung tertunduk mendengar bentakan Gunjada yang disertai belalakkan mata.
"Keinginan kalian tak mungkin bisa kami
penuhi," tolak Gunjada dengan tatapan mata dingin menusuk wajah kedua tamunya.
"Kenapa?" kali ini Mayang yang bertanya pada Gunjada. Suaranya yang merdu sempat
membuat lelaki berwajah tampan dan berkumis
tebal tergeragap sesaat.
"Ki Bernala tak mungkin ditemui orang lain
yang tak dikenalnya," jawab Gunjada seraya
menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
"Maaf! Kalau boleh kami tahu, malapetaka
apa yang Kakang Marga maksudkan tadi?" pinta Jaka dengan menyebut kata 'Kakang'
sebagai tanda hormatnya pada Marga.
"Itulah yang kumaksudkan dengan ketidakmungkinan kalian untuk bertemu dengan Ki
Bernala. Dia tengah mengalami suatu penyakit
yang cukup aneh," jelas Gunjada. Kecurigaan terhadap kedua tamunya sedikit demi
sedikit mulai luntur. Itu tak lain karena sikap Jaka dan Mayang yang selalu menjaga kesopanan
dalam berbicara.
"Penyakit aneh" Penyakit macam apa yang
Kakang Gunjada maksudkan?" tanya Mayang hati-hati. "Kami tak tahu nama penyakit
itu, Nini Mayang. Namun, yang jelas penyakit itu datang
begitu tiba-tiba, pagi tadi keadaan Ki Bernala segar-bugar, namun ketika
menjelang siang dia merasakan permukaan kulitnya berdenyut-denyut
hebat. Nyeri dan panas, katanya. Dan sepenanak
nasi setelah Ki Bernala merasakan hal itu, sekujur tubuhnya, tiba-tiba ditumbuhi
benjolan-benjolan
merah. Seperti bisul yang sudah tua dan hendak
pecah," papar Gunjada menjelaskan keadaan Ki
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bernala yang sesungguhnya.
"Betul-betul penyakit aneh," gumam
Mayang. Tatapan matanya kini tertuju pada Jaka.
"Apakah kalian sudah berusaha mendatangkan tabib untuk mengobati penyakit Ki Bernala?" tanya Jaka kemudian.
"Itu sedang kami usahakan, Jaka," jawab Gunjada, "Kami sudah mengutus seseorang
untuk mendatangkan tabib."
Sesaat suasana berubah hening. Mata Jaka
dan Mayang saling tatap. Sementara itu Gunjada
melempar pandangan pada kawan-kawannya yang
masih nampak gelisah.
"Maaf, Kakang Gunjada! Kalau kau tak keberatan, bolehkah aku melihat keadaan Ki Bernala" Aku khawatir penyakitnya tak lekas teratasi.
Maaf, bukannya aku sok menjadi pahlawan, tetapi
mudah-mudahan saja aku bisa memberikan pertolongan pertama sebelum tabib yang kau usahakan
itu datang!" ujar Jaka menyampaikan permintaannya. Gunjada tak segera menjawab
permintaan Jaka. Tatapannya kini terpaku pada wajah lucu lelaki bertubuh pendek bernama Marga. Tampaknya
Marga sendiri tak berani memberi jawaban, karena
takut Gunjada akan membentak seperti tadi.
"Kakang Gunjada percayalah dengan ucapan Kakang Jaka!" ujar Mayang bernada membujuk. "Kami tak akan berbuat jahat pada Ki Bernala, bahkan sebaliknya."
Gunjada menatap wajah cantik Mayang. Perasaan lelakinya seketika bergetar hebat. Namun
Gunjada segera meredam dengan mengalihkan tatapan matanya ke wajah pemuda berwajah tampan
di depannya. Cukup lama mata Gunjada menatap wajah
Jaka, seakan-akan tengah mencari sebentuk kejujuran pada wajah tokoh muda yang berjuluk Raja
Petir itu. "Baiklah. Kupegang niat baik dan kejujuran
kalian," putus Gunjada akhirnya.
Gunjada segera beranjak dari tempatnya,
membawa masuk Jaka dan Mayang ke kediaman
Ki Bernala, Kepala Desa Kober Utara itu. Sementara Marga dan rekan-rekannya yang lain hanya
memandangi tubuh kedua muda-mudi yang beranjak, dari hadapan mereka. Sesungguhnya di
hati mereka tersinggahi keresahan, tapi mereka
berharap dua orang tamu tak diundang itu membawa kebaikan bagi mereka semua terutama Ki
Bernala. *** Memasuki kamar pribadi Ki Bernala yang
tertata rapi dan berbau harum, Jaka dan Mayang
dapat menduga kalau Ki Bernala seorang kepala
desa yang senang menjaga kebersihan. Dan jelas,
Ki Bernala sangat mementingkan arti kesehatan
lingkungan tempat tinggalnya. Namun kali ini penguasa Desa Kober Utara itu justru tengah menderita karena penyakit aneh.
"Apakah dia tabib yang kau maksudkan,
Gunjada?" seorang perempuan berusia empat puluh tahunan menyambut kedatangan
Raja Petir dan Mayang yang disertai Gunjada.
Perempuan yang mengenakan pakaian merah muda itu masih menampakkan sisa-sisa kecantikannya di masa muda. Kulitnya nampak terawat dengan baik. Kedua matanya pun masih
bening dan menawan. Sementara rambutnya yang
panjang tersanggul dengan rapi.
"Mereka bukan tabib, Nyi Rira," jawab Gunjada dengan kepala tertunduk.
Sepertinya Gunjada
begitu menghormati perempuan yang tak lain istri
Ki Bernala. "Bukan tabib?" tanya Nyi Rira Pangestu
agak terkejut, "Betul, Nyi," jawab Gunjada dengan kepala yang masih tertunduk.
"Apa yang dikatakan Kakang Gunjada betul,
Nyi. Kami bukan tabib. Kami berdua hanyalah para pengelana yang kebetulan lewat di desa ini,"
timpal Mayang dengan sikap yang sopan, "Setelah kami berbincang-bincang sebentar
dengan Kakang Gunjada, maka tahulah kami kalau keluarga ini
tengah tertimpa musibah. Maaf kalau kami terlalu
lancang mencampuri urusan keluarga ini!" lanjut Mayang.
"Apa yang bisa kalian lakukan untuk menanggulangi musibah ini?" tanya Nyi Rira bernada meremehkan keberadaan Jaka dan
Mayang. 'Tak ada yang bisa kami lakukan, sebelum
kami lihat penyakit yang diderita Ki Bernala, Nyi.
Ah, ya. Hampir lupa aku memperkenalkan diri.
Namaku Jaka Sembada dan kawanku, ini Mayang
Sutera," ujar Jaka terhadap ucapan Nyi Rira.
Tak ada jawaban dari mulut Nyi Rira Pangestu. Matanya menatap berganti-ganti ke wajah
Jaka dan Mayang. Beberapa saat lamanya hal itu
dilakukan Nyi Rira Pangestu. Sesaat kemudian
tangan perempuan itu memberi isyarat pertanda
memberi izin pada kedua tamu itu untuk melihat
keadaan sang Suami.
"Silakan kalian lihat keadaan Ki Bernala,"
ucap Nyi Rira Pangestu sambil melangkah mendekati ranjang yang tertutup kelambu putih.
Nyi Rira Pangestu kemudian menyibak kelambu perlahan. Seketika itu juga nampak seorang
lelaki berusia lima puluh tahunan tengah terbaring lemah. Keadaan Ki Bernala
yang hanya mengenakan sehelai celana pendek nampak begitu mengerikan. Seluruh tubuhnya dipenuhi benjolanbenjolan sebesar telur ayam dan berwarna kemerahan, seperti bisul-bisul yang hampir pecah.
Ki Bernala mengerang-erang merasakan
hawa panas dan rasa sakit yang mendera. Sedangkan Nyi Rira Pangestu tampak berusaha mengurangi hawa panas yang diderita suaminya dengan mengompreskan kain basah.
Raja Petir mulai memeriksa penuh perhatian penyakit yang diderita Ki Bernala dengan
mengerahkan kekuatan batinnya. Semula ditatapnya benjolan paling kecil yang berwarna merah
kehijauan dengan mata terbelalak. Namun sesaat
kemudian, tiba-tiba matanya terpejam.
"Ah...!"
Terdengar desahan panjang dari mulut Jaka. Matanya perlahan-lahan terbuka. Lalu menoleh ke wajah Nyi Rira Pangestu dan Gunjada.
"Kalau boleh aku menduga, penyakit ini
disebabkan perbuatan jahil seseorang yang berilmu cukup tinggi. Ini penyakit yang tak wajar," ujar Jaka dengan suara ditekan
pelan. "Berilah dia pertolongan kalau kau bisa,
Nak Jaka," pinta Nyi Rira Pangestu dengan penuh harap. Entah mengapa tiba-tiba
saja hatinya begitu percaya pada pemuda tampan berpakaian kuning keemasan itu.
"Seperti Nyai dan juga orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal ini, aku tak
punya kelebihan apa-apa. Namun karena Nyai
mempercayakan pertolongan itu kepadaku, maka
aku akan berusaha semampuku melakukan permintaan Nyai. Namun kuharapkan juga bantuan
Nyai, dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa
agar memberikan rahmat-Nya demi kesembuhan
Ki Bernala," pinta Jaka dengan perasaan merendah. "Tentu saja, Nak Jaka," sambut
Nyi Rira Pangestu seraya mengangguk.
Mendengar ucapan Nyi Rira Pangestu, Jaka
segera mendekatkan wajahnya ke salah satu benjolan di tubuh Ki Bernala.
"Maaf, Ki! Aku memang harus meraba benjolan di tubuhmu," ucap Jaka pelan.
Telapak tangan lelaki muda berwajah tampan itu segera bergerak meraba benjolan terkecil
yang berwarna kehijauan.
"Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terlontar dari mulut
Ki Bernala. Tubuh lelaki tanpa pakaian itu menggelinjang, seperti tengah menahan rasa nyeri yang hebat. Nyi Rira Pangestu
sempat terlonjak mendengar jeritan sang Suami. Begitu juga dengan
Gunjada. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu mundur satu langkah. Senjatanya yang berupa pedang
sudah lolos dari warangkanya.
"Tenang, Kakang Gunjada!" tegur Mayang
ketika melihat Gunjada sudah menghunus pedang. "Aku yakin Kakang Jaka sudah menemukan sumber penyakitnya. Itu sebabnya Ki
Bernala menjerit kesakitan...."
Ucapan Mayang berpengaruh pada diri
Gunjada, terbukti lelaki berwajah tampan dan
berkumis tebal itu kembali memasukkan pedang
ke warangkanya.
Sementara Jaka nampak tengah meraih sesuatu dari balik pakaiannya.
"Sebaiknya diminumkan dulu obat penawar
racun ini, Nyi," ucap Jaka seraya menyerahkan sebutir obat berwarna merah darah
pada istri Ki Bernala. Nyi Rira Pangestu tanpa menaruh curiga segera meraih obat penawar racun yang diberikan
Jaka, lalu memberikannya pada Ki Bernala.
"Aaakh...!"
Kembali Ki Bernala terpekik sesaat setelah
menelan obat yang dimasukkan Nyi Rira Pangestu
ke mulutnya. Tubuh Ki Bernala menggelinjanggelinjang beberapa saat. Sementara Nyi Rira Pangestu nampak kebingungan.
"Tak perlu cemas, Nyi! Obat yang telah masuk ke perut Ki Bernala tengah bekerja. Ki Bernala memang harus merasakan
pertentangan yang terjadi pada tubuhnya," ucap Jaka mencoba menenangkan perasaan istri Ki Bernala.
Mendengar ucapan pemuda tampan yang
tampak berwibawa itu Nyi Rira Pangestu tak menyahuti. Namun, tampaknya ucapan Jaka telah
membuat hati perempuan setengah baya itu tenang. Ucapan yang keluar dari mulut Jaka ternyata benar. Ketika pertentangan yang terjadi dalam
tubuh Ki Bernala berakhir, Kepala Desa Kober
Utara itu berubah tenang. Meskipun belum tampak adanya perubahan. Tubuhnya masih tetap dipenuhi benjolan-benjolan sebesar telur ayam.
"Menyingkirlah sedikit, Nyi! Biar aku menyalurkan kekuatan batinku ke tubuh Ki Bernala.
Doakan semoga aku berhasil mengusir pengaruh
jahat yang bersarang di tubuh Ki Bernala," pinta Jaka sopan.
"Silakan," ujar Nyi Rira Pangestu. Perempuan setengah baya itu tampak melangkah
ke be- lakang menjauhi pembaringan Ki Bernala.
Tanpa membuang waktu, tangan Jaka segera membalikkan tubuh Ki Bernala agar menelungkup. Setelah itu naik ke pembaringan agar dirinya lebih leluasa menyalurkan
kekuatan guna mengusir kekuatan jahat yang mengendap di tubuh Ki
Bernala. Sesaat kemudian Jaka memejamkan mata.
Kemudian tangannya bergerak perlahan ke punggung Ki Bernala yang tak terbungkus pakaian.
Pendekar muda itu tengah mengerahkan 'Aji Kukuh Karang' yang juga berguna untuk pengobatan
bagi penyakit-penyakit yang di luar kewajaran.
Sinar kuning seketika membias pada telapak tangan Jaka, ketika bersentuhan dengan
punggung Ki Bernala. Terlihat oleh Nyi Rira Pangestu dan orang-orang yang ada di dalam kamar Ki
Bernala, sinar keemasan yang berasal dari telapak tangan Jaka seolah bergerak
dan menyelusup ke
tubuh Kepala Desa Kober Utara itu.
Hanya sebentar Jaka menempelkan telapak
tangan ke punggung Ki Bernala, yang juga ditumbuhi benjolan-benjolan merah sebesar telur ayam.
Sesaat tubuh Ki Bernala yang diduduki Jaka tampak menggeliat-geliat pelan. Namun kemudian diam tak bergerak.
Setelah itu Jaka turun dari pembaringan Ki
Bernala. Lalu menghampiri Nyi Rira Pangestu.
"Semoga yang kulakukan barusan berhasil,
Nyi!" ujar Jaka pada Nyi Rira Pangestu.
Nyi Rira Pangestu hanya mengangguk perlahan. Matanya sejenak menatap wajah tampan
Jaka. "Kita tunggu sesaat hasil dari apa yang telah kulakukan, Nyi," ujar Jaka
lagi. Namun belum lagi gaung ucapan Jaka lenyap, rintihan kecil tiba-tiba terdengar dari mulut Ki Bernala. Bersamaan dengan
itu, Jaka, Mayang,
Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terkejut. Mereka
melihat benjolan-benjolan merah yang memenuhi
tubuh Ki Bernala mengeluarkan darah. Darah
yang mengalir deras itu membasahi selimut putih
penutup tubuh serta alas tempat tidur. Sehingga
warna putih itu berubah merah, rata!
"Akh!" Nyi Rira Pangestu memekik tertahan dengan mata terbelalak menyaksikan
suaminya. Namun dirinya jelas tak mungkin melakukan sesuatu untuk menolong sang Suami. Di samping itu
Jaka pun sudah mencegah Nyi Rira Pangestu agar
tak mendekati tubuh Ki Bernala.
"Bagaimana dia, Nak Jaka?" tanya Nyi Rira Pangestu dengan kecemasan yang luar
biasa.
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenanglah saja, Nyi! Yang keluar itu darah
kotor akibat perbuatan orang yang memiliki ilmu
kotor. Kuharapkan tak berapa lama lagi darah itu
berhenti mengucur dan Ki Bernala akan terbebas
dari ilmu sesat yang menyerangnya!" ujar Jaka ingin menenangkan hati Nyi Rira
Pangestu. Istri Ki Bernala tak lagi melemparkan pertanyaan, setelah mendengar penjelasan Jaka yang
begitu meyakinkan. Apalagi ketika terbukti darah
yang mengalir dari benjolan-benjolan di tubuh suaminya berhenti. Ki Bernala kini terlihat tenang, dengkur napasnya pun nampak
mulai teratur. "Sekarang, mari kita pindahkan tubuh Ki
Bernala ke tempat lain, Nyi!" ajak Jaka kemudian.
Tatapannya kini tertuju pada Gunjada yang tengah
terpaku kebingungan.
"Ayo, Gunjada! Bantulah mengangkat Ki
Bernala!" perintah Nyi Rira Pangestu.
Dengan tergeragap Gunjada menghampiri
tubuh Ki Bernala. Bersama Jaka dan dibantu
Mayang, Gunjada mengangkat tubuh Kepala Desa
Kober Utara itu dengan hati-hati.
Baru saja Ki Bernala dibaringkan di tempat
tidur yang lain dari luar terdengar suara ributribut dengan memanggil nama Gunjada!
"Coba kau temui mereka, Gunjada! Tanya,
apa yang terjadi! Setelah itu kau lapor ke sini," perintah Nyi Rira Pangestu.
Gunjada bergegas meninggalkan kamar pribadi Ki Bernala. Di serambi depan tampak orangorang berkumpul. Rata-rata di wajah mereka tergurat rasa takut.
"Ada apa ini"! Ada apa" Apa kalian tak tahu
Ki Bernala sedang sakit" Kenapa ribut-ribut di si-ni"!" tanya Gunjada dengan
suara membentak.
Wajahnya yang terhias kumis tebal seakan tak
mampu menyembunyikan kemarahannya.
"Anu, Kakang Gunjada..., anu!" jawab seorang lelaki tinggi kurus menggeragap
karena men- dengar kemarahan Gunjada.
"Anu apa! Bicara yang jelas!" bentak Gunjada keras.
"Anu, Kakang. Mayat-mayat di kuburan sana bangkit dan mengamuk, membantai para penduduk terdekat," jelas lelaki tinggi kurus masih dengan suara gugup.
"Jangan ngaco kamu, Gorari!" bentak Gunjada berang.
"Betul, Kakang Gunjada. Mayat-mayat itu
bangkit dari kuburnya," timpal lelaki bertubuh sedang yang mengenakan pakaian
biru dekil. "Mayat-mayat itu membantai penduduk yang tinggal di sekitar tanah pekuburan."
"Setan! Musibah apa lagi yang akan mengancam desa kita!" gumam Gunjada mirip bentakan keras. Hatinya marah bercampur
keheranan mendengar laporan itu.
Tangan kanan Kepala Desa Kober Utara itu
tampak terdiam. Sesaat kemudian kakinya bergegas melangkah, masuk ke dalam rumah.
"Nyai Rira harus segera diberitahu," batin Gunjada.
"Heh..."! Mayat-mayat di kuburan bangkit"!"
ulang Nyi Rira Pangestu dengan keterkejutan luar
biasa. "Aneh!"
2 "Betul, Nyi. Semula aku juga tak yakin, tapi kecemasan mereka yang berada di
depan sepertinya tak dibuat-buat," sahut Gunjada.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyi Rira Pangestu bingung. Tatapan matanya
kini tertuju pada wajah Jaka dan Mayang bergantian.
Mendengar pertanyaan Nyi Rira Pangestu
yang mengandung kecemasan, Jaka dan Mayang
seketika terlibat saling tatap. Sepertinya sepasang tokoh muda yang memiliki
kesaktian tinggi itu
tengah merencanakan suatu kepastian untuk menimpali pertanyaan istri Ki Bernala.
"Kalau begitu biar kami yang melihat kejadian di sana, Nyi!" ujar Jaka menjawab kebingungan Nyi Rira Pangestu.
"Terima kasih, Jaka! Hati-hatilah kalian!
Keanehan ini mungkin juga karena perbuatan tokoh-tokoh hitam yang usil," pesan Nyi Rira Pangestu. "Tentu, Nyi. Kami akan
selalu berhati-hati," jawab Mayang. "Ayo, Kakang! Kita harus segera
membantu penduduk dari pembantaian mayatmayat hidup itu."
"Aku ikut," selak Gunjada.
Jaka menoleh lalu memegang tangan lelaki
berwajah tampan dengan kumis tebal itu. "Sebaiknya kau temani saja Nyi Rira,
mengurus dan menjaga Ki Bernala! Percayakan saja kejadian ini pada kami! Aku dan Mayang akan
berusaha mengurus-nya sebaik mungkin," tahan Jaka hati-hati. Biar bagaimanapun
dirinya tak ingin perasaan tangan
kanan kepala desa itu tersinggung.
Gunjada kiranya memahami ucapan Jaka.
Kalau semua orang hendak menghadapi mayatmayat hidup, itu lalu siapa yang akan menjaga Ki
Bernala" Meskipun sebenarnya ingin sekali dia
dapat ikut melihat kejadian aneh itu.
"Maaf, Kakang Gunjada. Bukannya aku tak
membutuhkan tenagamu. Kurasa Ki Bernala lebih
membutuhkan. Jagalah dia, dan jika keadaan
menjadi semakin tak memungkinkan untuk menyelamatkan diri dari amukan mayat-mayat yang
mungkin mencapai sini, pindahkan segera Ki Bernala dari tempat ini!"
"Menjaga Ki Bernala memang yang harus
kulakukan, pergilah kalian!" ucap Gunjada.
Jaka dan Mayang melesat cepat melewati
pintu yang terbuka. Kedua pendekar muda yang
berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas itu bergerak begitu ringan, laksana terbang. Hal tak
mengherankan karena keduanya tokoh yang berilmu tinggi. Sementara itu di tempat kejadian mayatmayat yang bangkit dari kubur tengah berhadapan
dengan sekelompok penduduk. Antara para penduduk yang cukup berani dan mayat-mayat hidup
tengah berlangsung sebuah perang tanding sangat
seru dan aneh. Penduduk Desa Kober Utara yang memegang bermacam-macam senjata sekuat tenaga berusaha mengusir mayat-mayat hidup yang hendak
mengganggu keluarganya. Dengan cangkul, parang, dan golok-golok para penduduk memberikan
perlawanan semampu mereka.
Seorang lelaki penduduk Desa Kober Utara
yang tengah menghadapi serangan dari mayat hidup tersentak kaget. Matanya terbelalak heran
mendapati kenyataan yang ada. Dengan sekuat tenaga dibabatkan parang di tangannya ke leher
mayat hidup yang hendak mencengkeramnya.
"Hih!"
Bletak! "Heh"!"
Mayat hidup yang tak terbungkus kulit itu
sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Tak ada tulang-belulangnya yang patah
terbabat parang lelaki berpakaian hitam itu.
Crak! Knrkrk...! "Aaa...!"
Pekik melengking membumbung ke langit
terdengar, ketika jari-jari tangan mayat hidup itu menjamah leher lelaki
berpakaian hitam. Mata lelaki itu kontan mendelik, merasakan jemari tajam
mayat hidup menembus kulit lehernya. Darah
mengalir deras dari tenggorokan lelaki itu.
Brets! Kepala lelaki itu terlepas. Jemari tangan
mayat itu membetot keras lehernya. Tanpa bersuara apa pun mayat bertubuh kecoklatan tanpa kulit
pembungkus itu melemparkan kepala yang telah
direnggutnya. Kepala berlumuran darah itu menggelinding sampai di dekat kaki Jaka yang baru saja tiba. "Bedebah..!!" geram
Jaka dengan mata terbelalak.
"Mundur kalian!" bentakan kuat Raja Petir yang mengandung tenaga dalam tinggi
membuat para penduduk Desa Kober Utara yang tengah bertarung mempertahankan diri terlonjak mundur.
Ternyata begitu juga keadaan mayat-mayat yang
bangkit dari kubur. Makhluk-makhluk aneh yang
menyeramkan itu tergetar, lalu menghentikan serangan mereka terhadap para penduduk.
Raja Petir pun sempat merasa heran menyaksikan sikap mayat-mayat itu. Mengapa makhluk-makhluk aneh itu, berhenti"
Untuk sesaat pertarungan terhenti, karena
para penduduk Desa Kober Utara bergerak mundur mendekati Raja Petir dan Mayang yang berdiri
tegak dengan sorot mata tajam. Sementara itu
tampak mayat-mayat hidup itu selangkah pun tak
berani bergerak maju dari tempat mereka.
Beberapa saat suasana hening mencekam
berlangsung. Namun sesaat kemudian keanehan
kembali disaksikan Raja Petir dan Mayang serta
para penduduk yang terdiam tegang. Mayat-mayat
hidup itu bergerak mundur. Dengan membalikkan
tubuh mereka berlalu meninggalkan Jaka dan
Mayang yang telah siap menghadapi makhlukmakhluk aneh itu.
Gerakan mayat-mayat hidup yang begitu serempak membuat suatu gagasan melintas di benak
Jaka. Kelakuan makhluk-makhluk itu seperti ada
yang mengatur. Namun, siapa orangnya" Yang jelas dia seorang yang memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. "Kita harus menyelidiki keanehan ini,
Mayang," bisik Jaka setelah mayat-mayat hidup itu bergerak semakin jauh.
"Tentu, Kakang. Kita harus tahu siapa dalang di balik kejadian aneh ini," sahut Mayang ber-semangat. "Dan kita harus
menghentikan perbuatan terkutuk ini!"
"Itu memang harus kita lakukan, Mayang.
Ini kejadian yang tak dapat dibiarkan...," balas Ja-ka dengan tatapan mata tak
lepas pada beberapa
mayat penduduk Desa Kober Utara yang tergeletak
setelah tak mampu menghadapi lawan-lawan aneh
itu. "Kalau begitu mari kita urus mayat-mayat itu sekarang, Kakang! Biar
bagaimanapun jasad
mereka butuh penghormatan yang layak," ujar
Mayang. "Kisanak sekalian! Tolong bantu kami mengurus mayat-mayat mereka," teriak Jaka keras.
Belasan lelaki yang semenjak kepergian
mayat-mayat hidup itu hanya terpaku, tersentak
mendengar teriakan keras pemuda tampan berbaju kuning keemasan itu. Para penduduk merasa
heran dan hampir tak percaya terhadap kejadian
barusan. Mereka merasa bagaikan baru saja tersadar dari mimpi buruk yang mencekam. Belasan
lelaki itu kini berhamburan mendekati sosok-sosok mayat rekan mereka. Bersamasama Jaka dan Mayang, para penduduk mengurus mayat-mayat
untuk dimakamkan.
"Siapa sebenarnya kalian, sepertinya orang
asing di Desa Kober Utara ini?" tanya seorang lelaki berusia lima puluh tahunan.
Wajahnya berkerut-kerut, membuat dirinya tampak lebih tua dari
usia sebenarnya.
"Kami memang pendatang di Desa Kober
Utara ini, Ki," jawab Jaka. "Ah, ya. Namaku Jaka Sembada dan ini temanku, Mayang
Sutera." "Kalau boleh ku tahu. Di desa ini kau tinggal bersama siapa?" tanya lelaki tua itu lagi menyelidik.
"Entahlah! Mungkin di rumah Ki Bernala,"
jawab Jaka. "Kau kenal Ki Bernala?" tanya lelaki tua itu sedikit terkejut.
"Ya."
"Kau kerabat, Ki Lurah?" tanya lelaki tua itu lagi.
Jaka membiarkan pertanyaan lelaki tua itu.
"Sebaiknya kami ke tempat beliau dulu, Ki.
Ki Bernala sedang sakit, kami mencemaskan keadaannya," ujar Jaka mengelak dari pertanyaan lelaki tua penduduk desa itu.
Lelaki tua itu tak lagi melontarkan pertanyaan. Ketika Jaka dan Mayang sama-sama menganggukkan kepala dan berlalu dari hadapannya,
lelaki tua itu tertegun mengiringi kepergian kedua muda-mudi itu. Di hatinya
tersemat kekaguman
terhadap mereka berdua.
*** Ki Bernala tengah duduk di pembaringannya, ketika Jaka dan Mayang muncul kembali ke
kamarnya yang berbau harum dan terawat rapi. Di
samping Ki Bernala duduk istrinya yang kini berwajah agak cerah. Mungkin kekhawatirannya terhadap keselamatan Ki Bernala telah sirna.
"Kalian yang bernama Jaka dan Mayang?"
tanya Ki Bernala, ketika melihat kemunculan Jaka
yang diantar oleh Gunjada.
"Benar, Ki. Ah, bagaimana keadaanmu?"
tanya Jaka. "Baik. Dan terima kasih atas pertolonganmu," jawab Ki Bernala. "Benjolan-benjolan aneh itu kini benar-benar telah lenyap
dari tubuhku,"
lanjutnya sambil menyingkap pakaian yang dikenakan. "Syukurlah, Ki!" ucap Jaka. "Bagaimana dengan mayat-mayat yang bangkit dari
kubur itu, Jaka" Ah! Apa kau berhasil mengusir mereka?"
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Ki Bernala. Kali ini tatapan mata Ki Bernala merayapi sekujur tubuh pemuda
berambut gondrong dan berpakaian kuning keemasan yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap
mayat-mayat hidup itu. Ketika kami datang ke
tempat kejadian, mayat-mayat hidup itu serempak
menghentikan keganasan mereka. Semua berlalu
begitu saja, seperti ada yang mengendalikan," jawab Jaka.
"Aneh! Seaneh penyakit yang ku alami. Pasti
ada sesuatu di balik kejadian aneh ini. Dan sesua-tu itu pasti sebuah rencana
yang sudah diatur dan didalangi orang yang tak sembarangan...," ucap Ki Bernala
pelan. Nada keresahan terdengar jelas dari ucapannya.
Sementara Nyi Rira Pangestu istri Ki Bernala nampak menundukkan kepalanya.
"Kami semua sangat membutuhkan pertolonganmu. Raja Petir," ujar Kepala Desa Kober Utara itu dengan suara perlahan.
Tatapan matanya menghujam dalam di wajah tampan Jaka
yang disebut julukannya.
Jaka tampak tak merasa terkejut mendengar Ki Bernala menyebut julukannya. Meski dirinya tak tahu persis, apakah Ki Bernala memang
benar-benar mengenalnya sebagai sosok Raja Petir
atau cuma kenal dari ciri-ciri yang telah dikenal baik oleh para tokoh
persilatan maupun penduduk
biasa. Justru keterkejutan nampak pada wajah
Nyi Rira Pangestu. Wajah perempuan yang masih
memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya itu bersemu merah. Istri Ki Bernala itu tampak malu-malu ketika bertatapan
dengan Jaka dan Mayang. Sesungguhnya Nyi Rira Pangestu tak
menyangka kalau lelaki berwajah tampan yang telah menyelamatkan suaminya, ternyata seorang
yang cukup dikenal dan disegani tokoh-tokoh sakti rimba persilatan.
"Tak perlu diminta pun dengan senang hati
kami akan membantu kesulitan penduduk Desa
Kober Utara ini, Ki Bernala," ucap Jaka menjawab permintaan kepala desa itu.
"Bukan begitu,
Mayang?" lanjut Jaka melempar pertanyaan pada gadis cantik berpakaian jingga
yang berdiri di
sampingnya. "Benar Ki," timpal Mayang, "Ini kewajiban kami," lanjut gadis cantik yang
berjuluk Dewi Payung Emas itu.
"Ah, terima kasih kalau begitu!" ujar Ki Bernala dengan wajah memancarkan
kegembiraan. "Aku yakin kalian berdua adalah sepasang pendekar muda yang memiliki kesaktian
tinggi dan akan
mampu mengusir makhluk-makhluk aneh itu."
"Kita sama-sama berjuang untuk itu, Ki.
Tanpa bantuan Ki Bernala dan penduduk desa ini,
kami bukanlah apa-apa," kilah Jaka merendah.
"Tentu saja hal itu akan kulakukan, Jaka.
Nyawaku tak segan-segan kupertaruhkan demi ketenteraman desa yang telah ku pimpin selama puluhan tahun," terdengar ucapan mantap dari mulut Ki Bernala.
"Benar, Nak Jaka," timpal Nyi Rira Pangestu, "Apa pun akan kami korbankan demi
menjaga ketenteraman desa ini. Ah! Sungguh aku tak habis
pikir, siapa tokoh yang berdiri di balik keanehan ini. Puluhan tahun kami hidup
di desa ini, baru
kini kami mengalami kejadian aneh begini," keresahan kembali muncul dari ucapan
istri Ki Bernala. "Kami berusaha akan menyelidiki siapa tokoh itu, Nyi," ucap Mayang mencoba membesarkan hati Nyi Rira Pangestu.
Perempuan berusia tak lebih dari empat puluh tahun itu tak lagi berucap. Sementara, di luar rumah Ki Bernala, langit
nampak tertutup awan
hitam. Angin malam bertiup kencang menanggalkan dedaunan yang tak kuat berpegang pada
tangkai. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Dari kejauhan terdengar guntur mengisyaratkan bakal datangnya hujan.
3 Hujan lebat mengguyur bumi Desa Kober
Utara. Malam yang gelap kian mencekam. Suara
guntur menggelegar sesekali terdengar dan menerangi desa itu.
Pada saat guntur menggelegar, tampak sesosok bayangan melesat di antara pepohonan yang
tumbuh di sebelah barat Desa Kober Utara. Gerakan sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam
itu tampak begitu ringan dan lincah. Tanah yang
becek dan licin pun bukan penghalang baginya
untuk bergerak dengan cepat.
"Hhh...!" sosok tubuh yang tengah bergerak itu menghela napas berat. "Hujan
seperti ini agak-nya menandakan sebuah kegagalan," lanjut sosok berpakaian hitam
itu membatin. Namun sedikit
pun tidak mengurangi kecepatan larinya. Tubuhnya terus melesat ke timur, menembus gelap malam dan lebatnya hujan.
Ketika perbatasan Desa Kober Utara telah
tampak, sosok tubuh hitam itu mulai mengendurkan larinya. Hujan pun mulai mereda. Seiring dengan langkah kaki sosok berpakaian hitam yang,
meninggalkan perbatasan Desa Kober Utara hujan
telah reda. Sosok yang berlari tergesa itu kini mulai melangkah perlahan
menghampiri sebuah bangunan tua yang tak jauh dari mulut Desa Pagarayung. "Celaka, Ki Bandot!" ujar sosok berpakaian hitam ketika menguak pintu rumah tua
itu. Seorang lelaki tua berpakaian biru terang nampak
tengah duduk bersila di balai-balai bambu.
"Aku sudah merasakan getaran kegagalan
upaya kita dari sini, Manggale," sahut lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
dengan sorot mata
yang tak lepas memandangi lututnya. "Tapi kita akan tetap berusaha sampai Desa
Kober Utara dapat terkuasai. Banyak cara untuk kita berhasil melakukannya,
Manggale. Kau tak perlu cemas! Bapakmu pasti akan menjadi pemimpin dua desa
yang bersatu. Dan kekayaan bapakmu tak akan
habis dimakan seratus keturunan sekalipun," lanjut lelaki berpakaian biru terang yang bernama Ki Bandot.
"Kita memang harus berhasil, Ki," tegas sosok berpakaian hitam yang tadi
dipanggil Manggale. Lelaki muda berusia dua puluh delapan tahun itu memiliki wajah yang tampan. Namun
sayang, di bagian dahinya terdapat bekas luka
memanjang sepanjang alis, dari kiri dan kanan.
Bekas luka itu berwarna hitam hingga sedikit
mengganggu ketampanan.
"Percayakan semua ini padaku, Manggale!
Di kepalaku tersimpan banyak cara untuk menjatuhkan si sontoloyo Bernala itu. Kita akan menguasai Desa Kober Utara!" tandas Ki Bandot dengan angkuh.
Manggale hanya tersenyum mendengar
keyakinan yang keluar dari ucapan lelaki tua bercambang bauk dan jenggot putih itu. Mata lelaki
berlanjut itu menyorot tajam, walau bola matanya
agak menjorok ke dalam.
Namun, keyakinan Manggale tiba-tiba kembali terusik mengingat rencananya yang digagalkan pasangan tokoh muda. Diingatnya pula bagaimana mayat-mayat hidup itu bergerak mundur
setelah melihat kemunculan dua pendekar muda.
Perbawa sepasang tokoh muda itu dirasakan terlalu tinggi. "Tapi, Ki Bandot...," ucap Manggale terpeng-gal karena tatapan tajam Ki Bandot.
Manggale me- rasa tak enak hati untuk menyatakan keraguannya. "Tapi, apa, Manggale?" tanya Ki Bandot seraya menatap wajah Manggale.
Manggale tak segera menjawab pertanyaan
lelaki berpakaian biru terang yang di kiri-kanan
pinggangnya terselip sebilah parang yang berwarna merah darah.
"Katakan apa yang kau maksudkan barusan, Manggale!" desak Ki Bandot seraya menatap anak Kepala Desa Pagarayung yang
membiarkan pertanyaannya. "Apa kau belum yakin dengan kepandaian Ki Bandot?" tandas lelaki
tua bercambang bauk putih seraya menepuk dada tuanya cukup keras. "Ah, bu... bukan begitu yang ku maksud,
Ki," kilah Manggale kelabakan. Wajah lelaki tampan itu berubah kemerahan.
Hatinya merasa tak
enak mendengar ucapan Ki Bandot
"Lalu apa, Manggale?" tanya Ki Bandot lembut. Seakan-akan tahu perasaan tak enak
yang melanda hati putra Kepala Desa Pagarayung itu.
Diam-diam hatinya kagum melihat Manggale yang
begitu setia membantu ayahnya dalam menundukkan Ki Bernala dan menguasai Desa Kober
Utara. Pikiran Manggale kembali menerawang
membayangkan penampilan sepasang muda-mudi
yang mampu mengusir para mayat hidup. Penampilan kedua pendekar muda itu begitu memiliki
perbawa yang begitu kuat. Sehingga mayat-mayat
yang bangkit dari kubur itu seakan ketakutan
menghadapi mereka berdua, lalu kembali ke tempat asalnya masing-masing. Atau mungkin kedua
lelaki perempuan muda itu memiliki kesaktian
tinggi, hingga ilmu sihir yang dikerahkan Ki Bandot luntur. "Sepasang anak muda itu, Ki Bandot. Dialah yang menjadi pikiranku sekarang," jawab Manggale setelah beberapa saat
terdiam. "Hmmm...! Dari sini aku pun dapat merasakan getaran kekuatan orang yang kau maksudkan,
Manggale. Namun sayang, aku tak bisa merekareka siapa gerangan mereka," tutur Ki Bandot dengan mata yang sedikit
dipejamkan. Manggale tak berusaha memotong ucapan
Bandot. Lelaki muda yang ketampanannya terganggu oleh codet di atas alis itu hanya memperhatikan cara lelaki tua itu berbicara.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri mereka, Manggale!" pinta Ki Bandot seraya menatap wajah
Manggale. Manggale mengerutkan dahi seakan-akan
tengah berusaha mempertajam ingatannya terhadap keberadaan dua muda-mudi yang tak lain si
Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Aku ingat Ki. Yang pertama, seorang lelaki
berusia muda, berwajah tampan. Tubuhnya kekar
dan berisi. Dia mengenakan pakaian kuning keemasan dan di pinggangnya melilit sebuah sabuk
hijau. Ah, sabuk itu sepertinya bukan sembarangan sabuk, Ki. Apalagi dengan sebuah pedang bergagang indah yang menggelantung di punggungnya menjadikan perbawanya begitu mengerikan,"
papar Manggale dengan tatapan mata mengarah
ke luar rumah kediaman Ki Bandot.
Sementara itu Ki Bandot hanya menimpali
keterangan Manggale dengan kepala menganggukangguk. "Sedangkan yang wanita, Ki" lanjut Manggale, "Dia juga masih begitu muda dan
cantik. Pakaiannya yang berwarna jingga sangat mencolok
mata, pas dengan kecantikannya. Wanita itu memegang sebuah payung kecil, sepertinya terbuat
dari logam keras dan berwarna kuning keemasan...." "Hmmm...!"
Ki Bandot bergumam tak jelas. "Pantas!"
ujarnya kemudian.
"Ki Bandot mengenal mereka?" tanya Manggale dengan raut wajah yang terkesan
kaget. "Semua tokoh berilmu tinggi pasti mengenalnya, Manggale," jawab Ki Bandot seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Ah, siapa mereka, Ki?" desak Manggale ingin segera tahu.
Ki Bandot tersenyum melihat ketaksabaran
Manggale. "Kalau memang dia berdiri di pihak Ki Bernala, berarti dialah perintang utama cita-cita
ayahmu, Manggale. Kita harus menyingkirkan mereka agar usaha-usaha selanjutnya dapat kita
lampaui dengan mudah. Semudah membalikkan
telapak tangan. Percayalah Manggale! Aku dapat
menyingkirkan sepasang pendekar muda yang
mau ikut campur urusan orang lain itu. Pendekar
usil...!" kalimat terakhir yang diucapkan Ki Bandot cukup jelas dan kuat.
"Siapa mereka, Ki?" desah Manggale, karena
Ki Bandot belum juga menjawab pertanyaannya.
"Raja Petir dan Dewi Payung Emas," jawab Ki Bandot.
"Raja Petir?" ulang Manggale terkejut.
"Kau pernah mendengar julukan itu, Manggale?" tanya Ki Bandot memecah lamunan putra tunggal Ki Gambaga yang berhasrat
menguasai Desa Kober Utara dan menggabungkan dengan
Desa Pagarayung di bawah kepemimpinannya.
Manggale menatap wajah Ki Bandot sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku pernah mendengar julukan itu disebut-sebut
orang, waktu singgah di sebuah kedai. Menurut mereka kedua
tokoh itu memiliki kesaktian tinggi. Apa memang
begitu, Ki?" tanyanya.
"Menurut kabar yang kudapat memang begitu, Manggale. Namun aku tetap menyangsikan
kehebatannya. Apakah sepasang pendekar muda
itu mampu menghadapi Ki Bandot yang berjuluk
Setan Bukit Cemara?" ungkap Ki Bandot, menyombongkan dirinya sebagai Setan Bukit Cemara.
"Mudah-mudahan tidak, Ki!" sahut Manggale menimpali ucapan Ki Bandot.
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak pakai mudah-mudahan, Manggale!"
ucap Setan Bukit Cemara keras. "Aku pasti dapat mengalahkannya!'
Manggale tertunduk melihat kemarahan lelaki berusia enam puluh tahun lebih itu.
"Kau harus percaya itu, Manggale!" kembali ucapan Setan Bukit Cemara terdengar
lunak, dan itu cukup membuat Manggale kembali berani
mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Seluruh kemampuanku, seluruh ilmu kesaktianku akan ku keluarkan untuk menghadapi
Raja Petir dan pasangannya yang berjuluk Dewi
Payung Emas," lanjut Setan Bukit Cemara dengan gerakan tangan yang hendak meraih
tubuh Manggale. "Ah, maaf Ki. Kalau seandainya Ki Bandot memang membutuhkan
bantuan untuk meringankan tugas Ki Bandot, aku akan membicarakannya
pada ayah untuk mengizinkan kita mencari tokohtokoh sakti guna menghadapi Jaka," usul Manggale dengan hati-hati, karena takut
lelaki tua itu tersinggung.
Wajah Setan Bukit Cemara merah padam
ketika mendengar ucapan putra tunggal Ki Gambaga itu. Namun lelaki tua itu segera memaklumi
usul Manggale yang tengah dilanda kecemasan
akan kegagalan cita-cita sang Ayah dalam merebut
Desa Kober Utara.
"Kita tak perlu bantuan tokoh-tokoh lain,
Manggale. Cukup Ki Bandot saja yang menghadapi
Raja Petir. Buang kecemasanmu jauh-jauh! Percayakan semuanya padaku! Setan Bukit Cemara
akan mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan
cita-cita ayahmu," kilah Ki Bandot menenangkan gejolak hati putra Kepala Desa
Pagarayung. "Ah, maafkan aku, Ki! Bukan maksudku
meremehkan kesaktianmu. Ucapanku tadi keluar
dari rasa cemas yang tak mampu kubendung. Sekarang kecemasanku sedikit sirna, karena Setan
Bukit Cemara telah berjanji dengan keyakinan
akan membela ayah. Aku percaya sepenuhnya padamu, Ki. Dan kita pasti akan mampu mengusir si
Raja Petir, kita kuasai Desa Kober Utara," ujar Manggale dengan raut wajah
cerah. "Tapi kau harus ingatkan ayahmu, Manggale. Daerah selatan Desa Kober Utara, khususnya
darah Bukit Gandung itu adalah jatah untukku,"
ungkap Setan Bukit Cemara.
"Tentu saja, Ki. Lebih dari itu pun aku akan memintakannya pada ayah untukmu,
asalkan...,"
Manggale seperti sengaja menahan ucapannya.
"Asalkan apa, Manggale?" dengan tatapan keheranan Setan Bukit Cemara bertanya
pada lelaki muda bercodet itu.
"Kalau kita berhasil menyingkirkan Raja Petir kuharap kau sudi memaafkan teman wanitanya," ucap Manggale takut-takut.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa terkekeh, mendengar ucapan Manggale.
Meski ucapan itu baru separo keluar dari mulut Manggale, Ki Bandot sudah mengetahui kelanjutan dan
arti dari ucapan putra tunggal Ki Gambaga.
Sementara Manggale sendiri menundukkan
kepalanya setelah melihat tanggapan Ki Bandot.
"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada
jidat licin, Manggale. Akan kau jadikan apa si Dewi Payung Emas itu" Istri atau
hanya sekadar...?"
"Ki Bandot, lihat saja nanti!" selak Manggale cepat. "Selera mu memang tinggi,
Manggale," tukas Ki Bandot lagi.
"Kurasa kau pun begitu, Ki," balas Manggale seraya tersenyum.
Ucapan Manggale barusan memang terkesan sedikit kurang ajar. Namun bagi Setan Bukit
Cemara hal itu suatu yang wajar. Meskipun kedudukannya sebagai seorang guru lebih tinggi, dirinya juga ingin muridnya bisa berkelakar agar
keakraban semakin terasa. Dan Manggale telah
memperlihatkan kelakarnya tadi dengan ungkapan
hatinya sebagai lelaki yang juga gandrung akan
kecantikan wanita.
Malam makin larut. Setan Bukit Cemara
yang tengah berbicara dengan Manggale sesekali
melirikkan matanya melalui jendela kayu yang terbuka lebar. "Malam sudah larut, Manggale. Sebaiknya
sekarang juga kita menemui ayahmu," ucap Setan Bukit Cemara.
"Ya. Sekalian kita kabari ayah tentang Raja
Petir yang turut campur tangan dalam urusan kita!" "Ayahmu memang harus tahu, Manggale.
Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini! Tengah
malam nanti kita kembali ke sini," ujar Setan Bukit Cemara seraya bangkit dari
duduk bersilanya.
"Tengah malam?" tandas Manggale.
"Ya, tengah malam. Aku punya rencana
khusus untuk membuat seluruh penduduk Desa
Kober Utara gempar," jelas Setan Bukit Cemara.
Manggale tersenyum mendengar penjelasan
Ki Bandot. "Kau memang hebat, Ki! Dan juga licik," puji Manggale.
"Kelicikan itulah yang kita butuhkan untuk
dapat menyingkirkan si tua bangka Bernala," sahut Ki Bandot seraya tersenyum.
Selesai dengan ucapannya, Setan Bukit
Cemara beranjak menghampiri pintu yang terbuat
dari bambu berwarna coklat kehitaman.
Krrrttt...! Bunyi berkerekotan terdengar seiring terkuaknya pintu rumah. Langkah kaki Setan Bukit
Cemara pun terlihat di ambang pintu, diikuti
Mangggale yang kini berwajah cerah. Mata lelaki
muda bercodet di dahi itu membayang kecantikan
Mayang. "Tutup pintu rapat-rapat Manggale. Jangan
biarkan binatang-binatang hutan memasuki ruangan dan mengotori tempat memperagakan ilmuilmu sihirku," ucap Setan Bukit Cemara.
Manggale tak menjawab ucapan Ki Bandot,
karena dirinya memang tengah melakukan apa
yang diucapkan Setan Bukit Cemara.
Malam gelap meniupkan hawa dingin setelah hujan. Langit tak lagi mendung. Setan Bukit
Cemara dan Manggale melangkah cepat melewati
jalanan basah. Mereka menuju rumah Ki Gambaga, Kepala Desa Pagarayung.
4 Malam merangkak perlahan. Desir angin
yang meniupkan hawa dingin ditingkahi gesekan
ranting-ranting pohon dan suara binatangbinatang yang bersahutan.
Suasana gelap menyelimuti hutan di sebelah timur Desa Pagarayung yang membatasi desa
tersebut dengan Desa Kober Utara. Di tengah kegelapan itu tampak dua sosok tubuh tengah melangkah cepat menuju sebuah bangunan tua yang terbuat dari bambu.
"Tengah malam ini penduduk Desa Kober
Utara dan si tua bangka Bernala akan terganggu.
Dan sudah pasti si Raja Petir," ucap sosok lelaki tua berpakaian biru terang
yang tak lain Ki Bandot, atau Setan Bukit Cemara.
Lelaki muda berpakaian hitam yang di dahinya terdapat codet hitam hanya diam. Kakinya
terus mengikuti langkah Ki Bandot, menuju rumahnya. "Kau tahu apa yang akan aku perbuat,
Manggale?" sambung Setan Bukit Cemara dengan tatapan yang tepat di wajah
Manggale. "Kau akan kembali membangunkan mayatmayat pekuburan Desa Kober Utara?" jawab
Manggale dengan ucapan yang layak sebuah pertanyaan. Ki Bandot tersenyum sembari menggelengkan kepala, "Malam ini aku tak akan menggunakan mayat-mayat di pekuburan Kober
Utara, Manggale," sahutnya pelan.
"Lalu dengan apa lagi, Ki?" tanya Manggale ingin tahu.
"Kau lihat saja nanti, Manggale! Kau akan
saksikan bagaimana penduduk Desa Kober Utara
akan mengalami kegemparan atas pekerjaan yang
akan kita laksanakan sekarang. Ha ha ha...!" jelas
Setan Bukit Cemara dengan kegembiraan yang
meluap-luap. "Ha ha ha...!"
Manggale pun ikut terbahak mengiringi tawa Setan Bukit Cemara yang lebih dulu terbang
terbawa hembusan angin malam.
"Ayo, kita laksanakan sekarang juga, Manggale!" ajak Ki Bandot dengan langkah kaki yang tergerak lebih dulu memasuki
bangunan bambu tempat mempraktekkan ilmu-ilmu sihirnya.
Manggale segera saja mengikuti langkah
kaki Setan Bukit Cemara yang dalam hal ini sebagai gurunya. Dan lelaki tua itu duduk bersila di
balai-balai bambu, Manggale dengan sikap hormat
mengikutinya. Manggale tahu, setiap kali Ki Bandot akan memulai usahanya, siapa saja dilarang
mengucapkan sepatah kata pun. Maka Manggale
tenang tanpa sedikit pun menggerakkan tubuh
apalagi harus menoleh ke sana kemari.
Seperti halnya yang dilakukan Setan Bukit
Cemara, Manggale duduk bersila dengan kepala
yang menekur ke balai-balai bambu. Mulutnya
terkunci rapat tanpa suara. Sesaat kemudian matanya terpejam. Di samping kirinya, Ki Bandot
dengan telapak tangan dirapatkan dan diletakkan
di depan dada nampak tengah berkomat-kamit
mengucapkan suatu mantera.
Pada mulanya tak terdengar sedikit pun dari mulut Setan Bukit Cemara, hanya gerak-gerak
bibirnya yang tampak. Namun semakin lama terdengar, bahkan kemudian lebih jelas dan keras.
"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular penghuni Hutan Jalakdalu, bangunlah dari
tidurmu, berpesta-poralah di Desa Kober Utara! Lumat daging-daging empuk
penduduk Desa Kober Utara,
nikmati tulang-tulang mereka, reguk darah mere-ka...!" "Wahai, serigala-serigala
dan ular-ular penghuni Hutan Jalakdalu. Berpesta-poralah sekarang juga!
Berpesta-poralah sekarang...! Sekarang ju-ga...! Sekarang...! Sekaraaang...!"
Suara rapal mantera yang diucapkan Setan Bukit Cemara mengumandang ke angkasa
dan terus terbang dibawa angin malam nan dingin.
Manggale yang duduk bersila di samping
Setan Bukit Cemara tampak bergemetaran mendengar ucapan mantera yang bergema dari mulut
lelaki tua itu. Seketika tubuhnya merinding sedang mulutnya kelu bagaikan
terkunci. Sementara itu Setan Bukit Cemara perlahan-lahan mulai membuka matanya yang terpejam. *** Malam di Desa Kober Utara terasa begitu
mencekam. Angin dingin yang berhembus seakanakan mengisyaratkan bakal terjadi sesuatu petaka
yang mengerikan. Sementara itu, bulan sepotong
menyelusup di balik awan-awan kelabu yang berarak di langit. Empat lelaki peronda yang tengah melintas
di sekitar mulut Hutan Jalakdalu terlihat melangkah perlahan. Mereka berjalan saling merapat.
Tampaknya keempat penduduk Desa Kober Utara
itu tengah dilanda suatu perasaan mencekam yang
datang secara tiba-tiba.
"Hhh...! Rasanya malam ini ada yang aneh,
Di. Perasaanku tak enak," ujar seseorang peronda yang bertubuh pendek. Sikutnya
digerakkan me-nyentuh pinggang kawannya.
"Aku juga merasakan begitu, Jang," timpal lelaki bernama Patmin.
"Sama, bulu kudukku saja merinding,
Jang," timpal lelaki peronda yang lain. "Hhh..., ada apa ya?"
"Iya, ya" Tidak biasanya begini," sahut lelaki bertubuh gemuk seraya menoleh ke
wajah temannya bernama Patmin.
Namun belum lagi pertanyaan lelaki gemuk
itu terjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara seperti lolongan serigala
yang bersahut- sahutan. "Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...! Auuu...!"
"Kau dengar itu, Di?" tanya Ujang dan Patmin. "Ya, ya. Kudengar, Jang. Seperti
lolongan serigala sedang marah," tandas Pardi.
"Hiii...!"
Patmin dan Boyong menaikkan sepasang
pundak. Ada perasaan takut yang tiba-tiba menyemat di hati mereka.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" usul Ujang yang kelihatannya lebih berani
dari ketiga peronda yang lain.
Tanpa memberi sambutan pada ajakan
Ujang, ketiga lelaki itu telah berlari cepat meninggalkan mulut Hutan Jalakdalu.
Namun... "Zzzsttt...! Zzzssst...!"
"Zsssttt...!"
Baru beberapa langkah kaki empat peronda
tergerak, tiba-tiba mereka berhenti dengan hati di-liputi perasaan terkejut. Di
depan mereka kini
menghadang beberapa ekor ular besar dan kecil.
Tubuh-tubuh binatang berbisa itu berdiri, seakan
hendak mencegat keempat lelaki yang akan melewati tempat itu. Ular-ular itu mendesis-desis
memperlihatkan kebuasannya.
"Hah...!"
"Heh...!"
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Zsssttt! Zsssttt...!"
Lidah-lidah bercabang itu menjulur-julur.
Dan itu cukup membuat Patmin berdiri gemetar.
Sementara celana lelaki penakut itu sudah basah
oleh air kencingnya.
"Gawat...! Mampus kita," ujar Patmin ketakutan. "Ayo, kita balik arah!" ajak
Ujang mencari akal. Pardi, Boyong, dan Patmin segera mengikuti apa yang
dilakukan Ujang. Mereka segera membalikkan tubuh guna menghindari binatangbinatang melata yang beracun itu. Namun....
"Akh!"
"Gawat!"
"Hah...!"
Keempat petugas jaga malam itu terkejut
bukan kepalang. Mata mereka berbelalak hampir
tak percaya. Ternyata ular-ular yang lebih besar
telah menghadang di belakang mereka.
"Mampus kita, Min.'" seru Ujang dengan
mata terbelalak menatap ular-ular itu.
Tanpa diduga, Ujang segera memerintahkan
teman-temannya untuk mengadakan perlawanan.
"Jangan sampai kita mati konyol, ayo kita
lawan sebisanya!" teriak Ujang seraya mengacung-kan kayu yang digenggamnya.
Menyaksikan Ujang yang sedemikian berani, hanya Boyong yang mau mengikutinya. Lelaki
bertubuh besar itu mengangkat kayu bulat di tangan kanannya. Belasan ular yang berada di depan dan belakang keempat peronda itu seolah-olah mengerti
kalau calon korbannya akan mengadakan perlawanan. Seketika itu juga binatang-binatang beracun itu meluncur cepat menyerang keempat lelaki
peronda. Dengan ganas ular-ular itu menjulur cepat siap memagut tubuh lawan.
"Zsssttt....!"
Pletak! "Zsssttt...!"
"Aaakh!"
Tubuh Boyong seketika ambruk ke tanah,
ketika salah satu ular sebesar lengan berhasil
memagut pahanya. Pekikan keras menyayat seketika memecah suasana malam. Tubuh Boyong
menggelepar-gelepar saat racun ganas ular itu
menjalar ke tubuhnya. Dan keadaan lelaki bertubuh besar itu semakin menyeramkan, ketika ular
yang lain pun ikut memagutnya.
"Zsssttt...!"
Craps! "Aaa...!"
Saat itu juga lolong kematian membumbung
ke langit. Tubuh Boyong terkapar tak berkutik, seluruh permukaan kulitnya
membiru. "Aaa...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian yang lain pun terdengar susul-menyusul. Nampak tubuh Patmin, Pardi, dan
Ujang sudah tergeletak tak bernyawa. Tubuh ketiga lelaki itu membiru karena racun ganas yang telah menjalar di tubuhnya.
*** Malam yang penuh hawa maut terus merambat. Di dalam kamarnya Jaka merasakan sesuatu yang tak enak menggelayuti hatinya. Sedikit pun lelaki muda tampan yang
berjuluk Raja Petir
itu tak kuasa memejamkan mata. Pendekar muda
itu bangkit dari pembaringan, lalu berjalan mondar-mandir di kamarnya yang tertata rapi. Sesekali dirinya duduk di pinggiran
tempat tidur, tapi kemudian bangkit lagi, berjalan menghampiri jendela besar.
Perasaan yang sama ternyata dialami
Mayang Gadis cantik kekasih Jaka itu pun merasakan kegelisahan, hingga tak bisa tidur. Tubuhnya memang terbaring di kasur empuk yang beralaskan tilam kuning gading. Namun bola matanya
bergerak-gerak menatapi langit-langit rumah.
"Huh! Kenapa perasaanku tak tenteram seperti ini?" gumam Mayang dalam hati. "Mungkin-kah akan terjadi sesuatu malam
ini?" lanjutnya.
Mayang kemudian bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah perlahan menuju jendela
besar kamarnya.
"Ah, biar kulihat keadaan di luar," ujar Mayang dalam hati. Tangannya kemudian
terjulur untuk membuka jendela kamar.
Pada saat yang sama, Jaka pun ternyata
tengah membuka jendela kamarnya. Maka tak pelak lagi, keduanya saling berbenturan tatap ketika kepala masing-masing terjulur
keluar. "Hai! Kau pun tak bisa tidur, Mayang?"
tanya Jaka serta-merta, ketika melihat kepala kekasihnya menyembul sedikit dari bingkai jendela.
Gadis cantik berpakaian warna jingga itu
tersenyum, "Perasaanku resah malam ini, Kakang.
Entah firasat macam apa ini," sahut Mayang pelan.
"Mudah-mudahan hanya perasaan kita saja,
Mayang. Dan mudah-mudahan tak akan terjadi
sesuatu yang mengerikan malam ini," timpal Jaka.
"Mudah-mudahan begitu," sahut Mayang
penuh harap, "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar" Hitung-hitung meronda.
Kalau di dalam kamar terus, rasa-rasanya kegelisahanku akan
semakin bertambah, Kang," usul Mayang.
"Terserah kamu saja, Mayang. Di dalam pun
kita percuma, tidak bisa tidur!" jawab Jaka, "Aku tunggu di depan," lanjutnya
sambil merapatkan
jendela kamar. Mayang pun melakukan hal yang sama. Setelah mengunci kembali jendela kamar, gadis itu
segera beranjak menemui kekasih yang sangat dicintainya. "Hendak ke mana kita?" tanya Jaka, setelah keduanya berada di luar rumah
kediaman Kepala
Desa Kober Utara.
"Terserah ke mana kaki kita membawa, Kakang," jawab Mayang sekenanya. Namun kaki gadis cantik berambut panjang itu
terlihat melangkah ke sebelah kanan muka rumah Ki Bernala.
Sementara Jaka mengikuti saja apa yang dilakukan kekasihnya. Keduanya pun berjalan beriringan menuju ke arah timur. Melihat langkah kedua pendekar muda itu, berarti mereka menuju
Hutan Jalakdalu berada.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Baru setengah pal Jaka dan Mayang berlalu
dari rumah Ki Bernala, tiba-tiba keduanya tersentak kaget. Jeritan keras menyayat hati terdengar di kejauhan.
"Kakang...!" Mayang memanggil kekasihnya serta-merta. "Firasat kita benar,"
ucapnya. "Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
"Kakang dengar lolongan serigala itu?" tanya Mayang sambil mengguncang lengan
Jaka. "Sepertinya bakal terjadi bencana besar di
desa ini," gumam Jaka.
"Ayo, kita cari suara lengking kematian tadi,
Kakang!" ajak Mayang kemudian.
"Hop!"
"Hup!"
Raja Petir dan Dewi Payung Emas seketika
melesat cepat menuju tempat asal suara jeritan
yang telah mereka dengar. Gerakan sepasang pendekar muda itu begitu gesit dan cepat. Sehingga
dengan sekali lesatan saja, jarak puluhan tombak
telah berhasil dilalui.
"Kakang...!"
Mayang tersentak kaget menyaksikan pemandangan di depan matanya. Pada jarak sekitar
sepuluh tombak matanya yang tajam melihat tujuh ekor serigala buas tengah berhadapan dengan
penduduk desa yang entah kenapa berada di luar
rumah. Beberapa sosok tubuh lelaki tampak terkapar tak berdaya. Tampak di sekujur tubuh mereka
terdapat luka-luka besar seperti terkena cakaran
dan gigitan. Sehingga darah segar mengalir dan
berceceran di atas tanah berumput basah oleh air
hujan. Sementara beberapa lelaki lain tampak tengah berusaha mempertahankan diri dari amukan
binatang buas itu.
"Binatang Setan!" rutuk Jaka kesal, "Ayo, Mayang! Kita singkirkan makhlukmakhluk kepa-rat itu!" ajaknya seraya menghentakkan kaki di tanah tempatnya
berpijak. "Hop! Hiaaa...!"
Sekali bentakan saja tubuh Raja Petir telah
berada di hadapan serigala-serigala buas yang
hendak memangsa tubuh penduduk desa. Dan seketika itu juga kepalan tangan pendekar muda itu
melayang menghantam kepala seekor serigala yang
tengah menerkam tubuh lelaki penduduk desa.
"Hih!"
Plakkk! "Kaingh...! Khhhoaaah!"
Serigala bertubuh besar itu terpental tiga
tombak terhantam pukulan Jaka. Namun binatang
buas penghuni Hutan Jalakdalu itu seperti tak peduli dengan rasa sakit yang mendera bagian kepalanya. Serigala itu bangkit untuk menyerang bersama serigala-serigala yang lain.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
Lolongan kemarahan dari beberapa serigala
buas itu terdengar bersahut-sahutan. Bergidik juga tubuh Jaka dan Mayang mendengar suara keras dan menggetarkan itu. Suara yang mengandung hawa kematian.
"Menyingkirlah Kisanak sekalian! Biar kami
yang menghadapi binatang-binatang setan itu," perintah Jaka dengan suara
lantang. Karena ucapan pemuda tampan berpakaian
kuning keemasan itu tak main-main dan terdengar
sangat berwibawa, tanpa harus diucapkan dua kali
lelaki-lelaki penduduk Desa Kober Utara yang masih hidup segera menyingkir dari tempat pertarungan. Mereka menyaksikan apa yang akan diperbuat dua muda-mudi itu.
"Siapa mereka" Ah, kalau tak ada mereka...,
kita pasti jadi bangkai semua," ujar salah seorang lelaki penduduk desa yang
masih nampak segarbugar. Sedikit pun tak tampak ada luka di tubuhnya. "Ya. Sepertinya mereka pendekar," sahut lelaki yang luka pada pergelangan
tangannya. "Mudah-mudahan mereka dapat mengusir binatangbinatang jahanam itu!" lanjutnya dengan geram.
"Aku seperti pernah melihatnya di rumah Ki
Lurah...," timpal lelaki tinggi kurus yang pakaian di bagian dadanya koyak.
Sementara para penduduk desa yang terbebas dari ancaman maut tengah membicarakan keberadaan Jaka dan Mayang, sepasang pendekar
itu tengah bersiap-siap menghadapi serigalaserigala yang hendak menyerang.
Mayang nampak sudah mempersiapkan
payungnya dalam keadaan tertutup. Sementara
Jaka dengan tangan kosongnya hendak melancarkan jurus maut yang bernama 'Pukulan Pengacau
Arah'. Raja Petir sengaja mempersiapkan jurus
andalannya. Hal itu karena hatinya merasakan getaran lain dari kejadian yang menurutnya tak
hanya terjadi di satu tempat. Barangkali kejadian yang sama, kini juga tengah
dialami Ki Bernala
dan Nyi Rira Pangestu.
Atas pertimbangan ini Jaka bermaksud
membantai atau mengusir makhluk-makhluk aneh
itu secepat mungkin. Setelah itu dirinya akan segera kembali ke rumah Kepala Desa Kober Utara,
Ki Bernala. "Bersiaplah, Mayang!" seru Jaka ketika dis-aksikannya serigala-serigala buas itu
mulai mem- perlihatkan gerakan hendak menyerang.
"Auuuaaa...!"
Diiringi dengan lolongan panjang, binatangbinatang buas yang mulutnya meneteskan air liur
itu berkelebatan menyerang lawan. Pasangan pendekar muda itu tampaknya sudah bersiap mengadakan penyerangan.
"Hih!"
Wusss....! Raja Petir yang ingin secepatnya menyingkkan serigala-serigala aneh itu segera menghentakkan telapak tangan yang terbuka lebar dengan kuda-kuda rendah.
Serangkum angin yang mengeluarkan hawa
panas meluruk cepat ke depan. Angin bergulunggulung itu menyongsong serigala-serigala yang
tengah berlompatan menyerang Raja Petir dan
Payung Emas. Bettt "Kainghgh....!"
"Auuug...!"
Suara keras angin dari 'Pukulan Pengacau
Arah' terdengar ketika menerjang tubuh-tubuh serigala itu. Seketika suara erangan keras dan lolongan panjang menyusul. Beberapa
di antara bina
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tang buas itu terpental beberapa tombak ke belakang. Bruk! Brukkk!
Dua ekor serigala itu ambruk ke tanah tanpa nyawa. Tubuh kedua binatang itu hangus bagai
terbakar Sementara itu, Mayang dengan gerakannya
yang lincah berkelebat menghindari terkaman serigala-serigala yang menyerangnya. Gerakan yang
dilakukan Dewi Payung Emas begitu manis, hingga
tampak seperti tarian. Namun di balik kelincahan
dan keindahan gerak yang dilakukan gadis cantik
itu, tiba-tiba terlontar sebuah serangan balasan
yang mematikan. Maka, ketika tangan kanan
Mayang yang mencekal payung kuning keemasan
Pasangan Naga Dan Burung Hong 2 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Pedang Sakti Tongkat Mustika 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama