Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara Bagian 2
berkelebat, serangan itu tak terhindarkan lagi....
"Hih!"
Brets! "Kainghgh...!"
Bruk! Seekor serigala yang berada paling dekat
dengan si Dewi Payung Emas menjadi korban pertama. Tubuh binatang itu terbanting keras ke tanah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Darah
lalu mengalir dari bagian kepala yang tersambar
payung kecil di tangan gadis itu. Sesaat kemudian binatang buas itu telah diam
tak berkutik lagi.
"Cepat habisi lawan-lawanmu, Mayang! Kita
harus segera menemui Ki Bernala!" seru Jaka yang telah lebih dahulu membuat tak
berkutik serigala-serigala yang menyerangnya.
"Baik, Kakang!"
Gadis cantik berpakaian jingga itu seketika
bergerak cepat. Kali ini dia tak menunggu lagi serigala-serigala liar itu
menyerang. Mayanglah yang
ganti mengambil alih penyerangan.
"Hiyaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Dengan payung terkembang, tubuh Mayang
berkelebat dengan cepat diiringi teriakannya yang khas. Brat!
Brat! "Kainghgh...!"
"Kainghgh...!"
Dua ekor serigala terpental lalu menggelepar berlumuran darah di atas rerumputan. Payung
Emas Mayang Sutera yang menyambar secepat kilat menghantam telak bagian batok kepala dan perut lawan. Nampak batok kepala serigala itu pecah hingga mengeluarkan cairan
merah yang bercampur dengan isi kepala. Sementara pada serigala
yang lain terburai isi perutnya.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Mayang! Ki-ta harus cepat-cepat melihat
keadaan Ki Bernala,"
ajak Jaka setelah melihat Mayang telah berhasil
memusnahkan lawan-lawannya.
Dewi Payung Emas mengangguk, lalu melompat menghampiri Raja Petir.
"Maaf, kami harus ke rumah Ki Bernala! Kisanak sekalian, uruslah mayat-mayat itu!" ucap Jaka kepada penduduk desa yang
masih berdiri terpaku keheranan di sekitar tempat pertarungan.
Tadi mereka bersembunyi ketika pertarungan itu
berlangsung. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, sepasang pendekar muda itu pun melesat meninggalkan tempat itu. Sementara penduduk yang berhasil diselamatkan hanya menatap kepergian Raja
Petir dan Dewi Payung Emas dengan rasa terima
kasih yang tak sempat terucap.
5 "Kakang! Lihat itu!" seru Mayang, ketika sampai di dekat rumah kediaman Ki
Bernala. Seorang lelaki yang dikenalnya sebagai
Gunjada nampak tengah bertarung melawan ularular besar dan kecil. Di tempat yang tak berjauhan, beberapa lelaki yang bertugas menjaga rumah
kepala desa pun tengah disibukkan seranganserangan ganas belasan bahkan puluhan ular
aneh itu. Sementara itu, Ki Bernala pun tampak tengah kewalahan mengusir binatang-binatang berbisa yang hendak menyerang dirinya dan sang Istri.
Sebatang pedang di genggaman Ki Bernala berkelebat membabat setiap ular yang menyerbunya.
"Hih!"
Bret! Bret! Darah bercucuran dari kepala-kepala ular
tanggung yang terbabat pedang Ki Bernala. Namun
siapa mengira kalau ular-ular lain terus berdatangan menyerbu, seperti tak
pernah habis. "Kau bantulah Ki Bernala, Mayang! Biar aku
mencari jalan keluar untuk mengatasi kejadian
ini," perintah Jaka kepada kekasihnya. "Aku harus memusatkan pikiran guna
memusnahkan pengaruh gaib yang dikeluarkan oleh tokoh yang berdiri di belakang
kejadian ini. Hati-hatilah...!." pesannya kemudian.
Selesai dengan ucapan Jaka, Mayang segera
melesat cepat mendekati Ki Bernala dengan senjata yang dibabatkan ke sana kemari. Dua tiga ekor
ular yang terkena sambaran payung Mayang, langsung berpentalan dengan bagian tubuh terpotong
dua. Sementara itu. Raja Petir tampak segera
mengerahkan kemampuannya. Dengan meningkatkan daya kepekaannya, pendekar muda itu
mencoba menyelidiki secara batin terhadap pengaruh gaib yang tengah bekerja. Hatinya juga bermaksud mencari sumber dari tokoh yang berdiri di
belakang keanehan ini.
Dengan mata terpejam, Raja Petir mencoba
mempertajam rasa. Tangan kirinya nampak terkepal kuat, sedangkan yang kanan mencekal gagang Pedang Petir yang berukir bunga-bunga kecil.
Sekilas kalau diperhatikan, Raja Petir seperti hendak menyajikan ilmu pamungkas yang bernama 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Ilmu itu tidak hanya mampu menjatuhkan lawan-lawan
yang tangguh, tetapi juga dapat meredam kekuatan gaib yang tak terjangkau pikiran manusia.
Beberapa saat lamanya Raja Petir melakukan pemusatan pikiran dengan mata terpejam.
Sementara tangan kanannya tetap mencekal gagang Pedang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas
dilakukan pendekar berpakaian kuning keemasan
itu. Tarikan napas panjang itu kemudian disimpannya dalam perut. Sementara itu tingkat kepekaannya telah mulai memusat. Dan matanya tetap
katup rapat-rapat.
Tangan kanan Raja Petir tiba-tiba bergetar
sekali. Hal itu pertanda kalau dirinya tengah mengerahkan seluruh kekuatan batin
untuk menge- nyahkan pengaruh gaib yang dirasakan. Dan seiring dengan semakin dipereratnya pegangan pada
gagang Pedang Petir, tangan kanan Raja Petir terangkat perlahan ke atas. Perlahan tangkai Pedang Petir bergerak ke atas
mengikuti irama gerakan
yang dilakukan Raja Petir.
Sebuah keanehan segera terjadi ketika tangan kanan Raja Petir benar-benar tegak lurus di
atas kepala. Langit di atas Desa Kober Utara dan
sekitarnya yang semula disinari cahaya bulan sepotong, tiba-tiba berubah gelap gulita. Anehnya,
tiba-tiba pula bermunculan lidah-lidah petir disertai suara gemuruh yang
dahsyat. Lidah-lidah petir itu menjilati pedang yang teracung ke atas dan,
memendarkan sinar kemerahan.
Hanya sesaat saja pemandangan aneh itu
terjadi, pada saat selanjutnya langit kembali seperti sediakala, dengan sinar
bulan yang menerangi.
Pada saat itulah dengan cepat Raja Petir mengayunkan pedangnya dua kali di udara dengan diiringi pekikan keras, yang terdengar menggelegar
dan bergema. "Hiaaa...!"
"Haaa...!"
Sejenak keterpakuan pun melanda orangorang yang tengah bertarung menghadapi binatang-binatang yang diperintah pengaruh gaib. Namun kemudian orang-orang tersentak kaget dengan mata terbelalak. Mereka mungkin merasa baru
saja terjaga dari sebuah mimpi buruk yang mencekam. Sehingga hampir tak percaya ketika menyadari kalau ular-ular ganas itu telah ngeloyor
meninggalkan tempat itu, seakan tiada peduli terhadap mangsa mereka. Sementara ular-ular yang
masih tersisa seperti enggan dan tak bernafsu untuk membunuh. Hal itu karena, pengaruh gaib
yang ada pada binatang-binatang melata itu telah
lenyap. Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terlongo bengong, menyaksikan
keanehan itu. "Apa yang terjadi sebenarnya, Nini
Mayang?" tanya Nyi Rira Pangestu pada kekasihnya Jaka yang berdiri tak jauh
darinya. "Pengaruh gaib itu telah berhasil diusir Kakang Jaka, Nyi,"
jawab Mayang mantap. "Itu setidaknya menurutku. Tapi untuk jelasnya, Nyi Rira bisa bertanya pada Kakang Jaka," lanjutnya
dengan tatapan ma-ta tertuju pada wajah kekasihnya.
Nyi Rira Pangestu tak berkata apa-apa terhadap jawaban yang diberikan si Dewi Payung
Emas. Wajahnya lalu menoleh pada Raja Petir
yang tengah melangkah mendekati mereka.
"Apa yang telah kau lakukan, Kakang"
Hingga binatang-binatang itu seperti tak punya
nyali untuk kembali bertarung?" tanya Mayang mewakili keingintahuan Nyi Rira
Pangestu dan Ki
Bernala. "Aku hanya mengusir pengaruh gaib yang
kurasakan ada di desa ini. Namun sayang, aku tak
bisa memastikan siapa yang melakukannya. Ah,
biarlah, nanti pun pasti akan ketahuan juga. Yang terpenting, pengaruh gaib itu
sekarang sudah tidak terasa lagi dan biarkan binatang-binatang suruhan itu kembali ke tempat asal mereka," jawaban Petir bukan hanya ditujukan
pada Mayang, melainkan juga untuk Nyi Rira Pangestu, Ki Bernala, dan Gunjada.
Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjala
sama-sama menganggukkan kepala mendengar
penjelasan Raja Petir.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang
Kakang?" tanya Mayang kemudian.
"Mengurus para korban dan kemudian berkeliling, melihat keadaan penduduk yang lain. Itu kalau Ki Bernala setuju dan
bersedia bergabung,"
jawab Raja Petir.
"Tentu saja, Jaka. Biarlah malam ini aku
tak tidur, asalkan keadaan pulih seperti semula,"
sahut Ki Bernala.
"Aku ikut jika begitu," timpal Nyi Rira Pangestu.
*** Jaka ditemani Mayang, Ki Bernala, dan Nyi
Rira Pangestu berkeliling melihat keadaan penduduk Desa Kober Utara. Sementara itu di tempat
lain, yakni di sebuah hutan tak jauh dari Desa Pagarayung nampak sosok lelaki
tua berpakaian biru
terang terengah-engah di dalam sebuah rumah
yang terbuat dari bambu.
Lelaki tua berusia enam puluhan itu tak
lain Ki Bandot alias Setan Bukit Cemara. Peluh
nampak bercucuran di wajahnya, suara napasnya
terdengar memburu.
Sedangkan lelaki muda yang berdahi codet,
dengan hati cemas memandangi keadaan Setan
Bukit Cemara. "Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Manggale sambil memegangi tubuh Ki Bandot
Ki Bandot tentu saja merasa malu dengan
pertanyaan yang dilontarkan Manggale.
"Ah, tidak Manggale. Tidak apa-apa," jawab Setan Bukit Cemara masih dengan
napasnya yang memburu, "Ini semua salahku. Aku terlalu menganggap remeh lawanku. Sehingga
tanpa sepe- nuhnya kukerahkan ilmu sihir yang sepatutnya
aku sajikan," lanjut Ki Bandot dengan deru napas yang semakin mulai teratur.
"Apa ini juga ulah Raja Petir?" tanya Manggale seperti orang bodoh.
"Mungkin," jawab Ki Bandot seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu Raja Petir hebat sekali," gumam Manggale polos. "Apakah kita akan
berhasil menuntaskan cita-cita ayah?"
"Tentu saja berhasil, Manggale! Tentu saja.
Ilmu-ilmuku belum ku keluarkan semua dan aku
pun belum berhadapan langsung dengan Raja Petir. Akan kugorok batang leher pendekar usil itu
dengan sepasang parangku yang tak pernah gagal
menunaikan tugasnya," ucap Setan Bukit Cemara mencoba meyakinkan.
"Lalu, sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Manggale lagi.
"Kita tunggu di sini sampai fajar menyingsing. Setelah itu kita temui ayahmu untuk mengatur siasat selanjutnya," jawab Ki Bandot, merasa perbawanya sudah luntur sedikit
di mata Manggale. Sesungguhnya Setan Bukit Cemara tak percaya kalau ilmu sihirnya mampu ditandingi tokoh
lain. Dan padahal selama ini dirinya tak pernah
mengalami kegagalan seperti sekarang. Namun
nyatanya..."
Setelah fajar menyingsing, Ki Bandot dan
Manggale sama-sama melangkahkan kaki meninggalkan bangunan dari bambu, menuju ke kediaman Kepala Desa Pagarayung.
Setelah melewati perjalanan di tengah suasana pagi yang dingin, mereka akhirnya sampai di
kediaman Kepala Desa Pagarayung.
"Bagaimana Ki Bandot" Apa sudah ada tanda-tanda berhasilnya usaha kita?" sambut Kepala Desa Pagarayung ketika Setan
Bukit Cemara telah
memasuki rumah Ki Gambaga.
Ki Bandot tak segera menjawab pertanyaan
Ki Gambaga. Tatapan matanya tertuju lurus pada
wajah kasar Ki Gambaga yang berkumis tebal.
"Kita masih harus terus berusaha, Ki Gam
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baga," jawab Setan Bulut Cemara dengan bergetar dan terdengar agak parau.
"Hmmm...!" Ki Gambaga yang mengenakan
pakaian merah darah hanya menggumam tak jelas, mendengar jawaban Setan Bukit Cemara.
"Jadi usahamu semalaman itu sia-sia, Ki
Bandot?" sindir Ki Gambaga dengan suara yang dibuat selunak mungkin.
"Semalam memang gagal, Ki Gambaga. Tapi
tidak untuk yang selanjutnya," kilah Setan Bukit Cemara dengan wajah merah
padam. "Maafkan aku, Ki Bandot! Kalau boleh aku
beri saran, sebaiknya kita mencari bantuan dari
tokoh sakti yang lain. Biar tugasmu lebih ringan
dan cita-citaku lebih cepat terwujud. Jatahmu
akan tetap kuperhatikan sesuai dengan permintaanmu," ucap Ki Gambaga hati-hati.
Ucapan Kepala Desa Pagarayung itu di telinga Setan Bukit Cemara laksana ledakan guntur
di siang bolong. Menggelegar dan begitu mengejutkan. "Jangan sesekali kau meremehkanku, Ki Gambaga!" kecam Setan Bukit
Cemara. "Aku bukan anak kemarin sore yang langsung menyerah
jika menghadapi kegagalan. Aku belum kalah, Ki
Gambaga! Aku akan terus berusaha, meski nyawaku jadi taruhan! Pantang bagiku jika pekerjaan
yang tengah kutangani dikotori campur tangan
orang lain.... "
"Itu hanya saran dariku, Ki. Tak ada maksud sedikit pun pada hatiku untuk meremehkan
kemampuanmu," ucap Ki Gambaga merasa tak
enak hati. "Aku hanya khawatir kalau usahamu gagal dan rencanaku tak akan pernah
terwujud."
Suasana berubah hening sejenak. Ki Gambaga nampak terpekur sambil sesekali memandangi wajah anaknya, Manggale. Ki Bandot juga
terpekur dengan benak berputar keras.
"Sekarang juga aku akan berangkat ke pekuburan Kober Utara," ujar Setan Bukit Cemara
memecahkan keheningan.
"Kau ingin membangkitkan mayat-mayat
dari jarak dekat, Ki"!" selidik Ki Gambaga.
"Ya. Malahan aku akan ikut mengacau kediaman Ki Bernala secara langsung," sahut Setan Bukit Cemara merasa wibawanya
sudah jatuh di mata Kepala Desa Pagarayung itu.
"Bagaimana jika di sana ada Raja Petir, Ki?"
tanya Manggale tiba-tiba.
"Memang itu yang kucari. Dialah manusia
pertama yang akan kusingkirkan. Karena dia usahaku menjadi tersendat seperti ini," ujar Setan Bukit Cemara ketus.
"Aku boleh ikut, Ki?" tanya Manggale lagi.
"Kalau ayahmu mengizinkan, aku tak berkeberatan. Namun aku akan lebih leluasa bergerak
jika kau tak turut serta, Manggale," jawab Ki Bandot menoleh dan menatap sejenak
wajah Mang- gale. "Sebaiknya kau di sini saja, Manggale!" timpal Ki Gambaga. Dirinya memang
lebih senang kalau cuma Setan Bukit Cemara yang pergi ke pemakaman di Desa Kober Utara.
Tak ada sahutan dari Manggale. Lelaki bercodet itu tak kuasa membantah ucapan ayahnya.
Apalagi Ki Bandot jelas-jelas tak ingin campur tangannya, meski diucapkan dengan
lembut. "Hm...! Aku berangkat sekarang, Ki Gambaga," pamit Setan Bukit Cemara.
Ki Gambaga hanya menyambut ucapan Setan Bukit Cemara dengan anggukkan kepala. Dan
ketika Ki Bandot berangkat meninggalkan rumahnya, Ki Gambaga hanya mengiringi dengan tatapan
mata yang mengandung makna kengeriannya menerima kegagalan.
6 Matahari belum begitu tinggi ketika Setan
Bukit Cemara tiba di dekat tanah pemakaman Desa Kober Utara. Suasana di pemakaman itu sunyi
dan sepi. Ki Bandot memang mengharapkan keadaan seperti itu.
Dengan langkah cepat Setan Bukit Cemara
berjalan menuju sebatang pohon sebesar tiga kali
pelukan lelaki dewasa. Dedaunan pohon itu yang
cukup lebat, membuat sinar matahari tak kuasa
menerobos. Sesekali jika daun-daun itu terusik
hembusan angin, sinar matahari menyelusup.
Ki Bandot mengambil tempat tepat di sisi
barat pohon besar itu. Hal itu dilakukan agar tubuhnya tak tampak dari jalan yang biasa dilewati
orang Desa Kober Utara.
Kini Setan Bukit Cemara mulai melakukan
pekerjaannya dengan duduk bersila. Matanya terkatup rapat dan bibirnya tampak mulai berkomatkamit membaca mantera pembangkit mayat.
Beberapa saat lamanya Setan Bukit Cemara
mengucapkan mantera dengan khusyuk, hingga
akhirnya terdengar suara angin menderu, berdesir, bergulung-gulung di setiap
gundukan makam. Suasana di tanah pemakaman Desa Kober Utara bukan sejuk. Namun menjadi seperti semakin panas
saja. Ki Bandot terus merapalkan manteramantera pembangkit mayat, dan manakala angin
bergulung yang terjadi pada setiap gundukan tanah, maka peristiwa seperti gempa bumi pun terlihat. Tanah-tanah yang menonjol ke atas tibatiba retak, sebagian pecahan berhamburan ke
atas. Seiring dengan itu suara gerengan mayatmayat yang bangkit terdengar dengan jelas.
"Grhghghg...!"
"Grhghghg...!"
Setan Bukit Cemara mengembangkan senyumnya dalam keadaan mata terpejam.
"Bangkitlah kalian! Bangkit...! Bangkit...!
Bangkit...!" Ki Bandot berteriak keras, suaranya bergema ke pelosok areal
pemakaman. Dan ternyata usaha Setan Bukit Cemara
berhasil, puluhan mayat yang masih utuh bercampur dengan mayat-mayat yang sudah berbau
busuk dan tak utuh lagi keadaannya, kini bergerak bersamaan menuju rumah-rumah penduduk
terdekat. Sementara itu Ki Bandot yang telah
membuka matanya dengan senyum terkembang
menyaksikan dari kejauhan mayat-mayat suruhannya yang bergerak mencari korban.
"Habisi semua penduduk yang ada!' perintah, Setan Bukit Cemara seraya bangkit dan mengikuti mayat-mayat yang berjalan lebih dulu.
"Ayo habisi!" perintah Ki Bandot lagi ketika melihat rumah-rumah penduduk sudah
dekat Puluhan mayat yang bangkit dari kubur itu
seperti kerbau dicucuk hidung, langkah mereka
semakin dipercepat. Suara gemuruh yang berasal
dari mulut mayat-mayat itu sempat membangunkan para penduduk
"Lihat ada mayat-mayat bangkit lagi! Lihat!"
salah seorang penduduk yang menyaksikan pemandangan di depannya segera berteriak. Kegemparan seketika terjadi. Lelaki-lelaki yang pernah mengalami kejadian serupa
segera meraih senjata
seadanya untuk menghadapi mayat-mayat hidup
itu, sementara yang tak pernah segera bergerak,
masuk dan mengunci pintu.
"Grghghgr...!"
"Grghghgr...!"
Mayat-mayat suruhan Setan Bukit Cemara
menggereng-gereng. Kemudian ketika sudah dekat
dengan penduduk yang hendak mengadakan perlawanan, mayat-mayat itu bergerak cepat
"Grghghgr...!"
Krkh...! "Aaa...!"
Seorang penduduk yang tak sempat menghindari terkaman mayat hidup seketika menjerit
kesakitan. Batang leher lelaki naas itu dicengkeram dengan kuat oleh mayat yang menerkamnya.
Lalu dengan keganasannya, mayat hidup itu
menggigit dada lelaki naas itu.
"Aaa...!" kali ini pekik melengking lebih panjang terdengar mengiringi kematian
lelaki yang bagian perutnya tertembus cakar mayat hidup dan
meraih jantungnya hingga keluar.
Pemandangan seperti itu tentu saja membuat penduduk yang lain merasa ngeri. Namun karena kemarahan, kengerian itu tak diperlihatkan,
yang ada tinggal keberanian dan kenekatan mereka untuk melawan bahaya itu.
Setan Bukit Cemara yang memang berhasrat besar membantai penduduk Desa Kober Utara
segera saja bergerak. Tubuhnya berkelebat dengan
dua parang merah darah yang tercekal di tangan
kanan dan kirinya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak
terlihat tatapan mata biasa, tubuh tua yang terbalut pakaian biru terang
melesat. Bret! Bret! "Akh...!"
"Aaa...!"
Dua sosok tubuh bergelimpangan ke tanah,
ketika parang merah di tangan Setan Bukit Cemara berhasil membacok bagian dada dan leher penduduk desa. Darah seketika menyembur dari luka
memanjang akibat babatan senjata runcing milik
Ki Bandot. Hanya sesaat saja dua tubuh penduduk
Desa Kober Utara menggelepar, pada saat berikutnya tubuh itu tak berkutik lagi, nyawa mereka terbang meninggalkan raga.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa keras menyaksikan dua korban
pertamanya. "Kalian semua akan mengalami nasib yang sama! Ayo
beri perlawanan kalau kalian tak ingin mati konyol!" Penduduk yang tengah kerepotan menghadapi mayat-mayat hidup itu semakin bertambah
ngeri dan takut melihat keganasan lelaki bercambang bauk putih. Dua korban tetangga mereka sudah membuktikan kalau ucapan orang berpakaian
biru itu tidak sembarangan.
"Sebaiknya aku lapor pada Ki Bernala untuk meminta bantuan," ujar salah seorang penduduk. "Betul, Cah. Cepat lari
sana!" timpal teman yang diajak bicara.
Lelaki bertelanjang dada yang bernama
Rancah segera berlari menuju rumah kepala desa.
Namun baru lima langkah kaki Rancah terayun,
Setan Bukit Cemara telah mendahului dengan kelebatannya yang cepat.
"Mau ke mana kau, Bocah!" hardik Ki Bandot Rancah tentu saja menghentikan
larinya dan, menatap wajah bercambang bauk putih dengan
kengerian. "Sebaiknya kau mampus duluan! Hih!"
Wuttt...! Brats!
"Aaa...!"
Rancah terpekik keras ketika senjata Setan
Bukit Cemara membabat telak dadanya. Dada lelaki itu kontan terbelah, darah bermuncratan dari luka yang begitu besar.
"Hih!"
Blukh! Tak lagi ada suara erangan ketika Ki Bandot
sambil melompat menendang perut Rancah. Tubuh lelaki penduduk Desa Kober Utara melayang
deras ke belakang. Ketika itu pula nyawanya telah
melayang. Tewas!
Bruk! Tubuh tanpa nyawa itu terbanting keras setelah membentur sebatang pohon.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara kembali terbahak setelah menyaksikan kematian
penduduk Desa Kober Utara.
"Setan Durjana!" maki seseorang dengan
suara yang cukup lantang dan berani.
Setan Bukit Cemara menolehkan kepalanya
dengan cepat ke tempat asal suara bentakan yang
datang. "Hmmm...! Kau rupanya!" ucap Setan Bukit Cemara terkesan meremehkan ketika
menyaksikan kehadiran sepasang muda-mudi yang mengenakan
pakaian kuning keemasan dan jingga.
"Hm..., jadi ini orangnya yang mengacaukan
ketenteraman penduduk Desa Kober Utara dengan
ilmu setan, Tua Bangka!" bentak Mayang mendahului gerakan bibir Jaka yang hendak
berucap. "Seperti yang kau lihat, Nini Manis!" jawab Setan Bukit Cemara sinis. "Aku
memang tengah membantai penduduk desa ini dan semuanya akan
kubikin habis. Termasuk kalian berdua!" lanjutnya sambil menuding wajah Mayang
dan Jaka bergantian "Tutup mulut besarmu, Tua Bangka!" balas Mayang menghardik.
Langkah kakinya sudah terayun hendak menghajar Setan Bukit Cemara.
"Tahan, Mayang!" cegah Jaka sambil mencekal pergelangan tangan berkulit halus itu.
Mayang memang memenuhi ucapan kekasihnya, langkahnya tak dilanjutkan. Hanya matanya yang tak lepas terus menatap tajam lelaki
tua bercambang bauk putih itu.
"Kenapa kau melarangnya untuk bersenang-senang denganku, Raja Edan!" ledek Setan Bukit Cemara ketus.
Jaka hanya menanggapi ledekan Ki Bandot
dengan senyum terkembang.
"Aku tak pernah melarang kekasihku untuk, bersenang-senang dengan siapa saja, Kisanak," balas Jaka tenang.
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku Setan Bukit Cemara!" tukas Ki Bandot memperkenalkan julukannya.
"Ya ya ya! Aku hanya tak mau kau mampus
setelah bersenang-senang dengan kekasihku, Setan Bukit Cemara," lanjut Jaka bernada meremehkan. "Bukankah sebaiknya kau
bersenang-senang denganku, meskipun kalah kau tak mendapatkan
malu yang begitu besar. Karena kita sama-sama
lelaki" "Keparat!" maki Setan Bukit Cemara geram.
Prok! Prok! Prok!
Selesai menghardik Jaka suara tepuk tangan pun terdengar. Suara isyarat untuk memerintahkan mayat-mayat yang bangkit dari kubur agar
menghadapi musuh yang baru datang.
Mayat-mayat hidup itu kini benar-benar
berpaling dari para penduduk. Dan kini puluhan
mayat itu mengurung tubuh Jaka dan Mayang.
Prok! Prok! "Lumat tubuh cantik itu!" perintah Ki Bandot setelah bertepuk tangan dua kali.
Puluhan mayat hidup yang mengurung kedua lawan, seketika bergerak mendekati Mayang
yang bersiap dengan payung kecilnya yang sudah
berkembang. "Hati-hati, Mayang!" ujar Jaka memperingatkan.
*** "Tentu saja, Kakang," jawab Mayang.
Pertarungan antara Dewi Payung Emas
dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur tak
terhindari lagi. Teriakan-teriakan nyaring dan gerengan kesal mayat-mayat hidup
itu terdengar menyemaraki suasana pertarungan. Sesekali suara
benturan keras terdengar.
"Hih!"
Prak! "Heh"!"
Mayang terkejut ketika hantamannya mendarat telak tapi tak mampu mendorong mayat
ringkih yang bagian tubuhnya sudah tak utuh lagi.
Tangan kanannya yang sudah tak ada dan matanya yang tinggal sebelah menjadikan penampilan
mayat itu begitu menyeramkan.
Wuuut! "Eits!"
Mayang memiringkan tubuhnya, ketika
mayat ringkih itu memberikan serangan balasan
terarah ke lehernya. Dan ketika gadis itu berhasil mengelakkan, langsung
mengirimkan sebuah tendangan keras dengan gerakan memutar disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih! Pergi kau jauh-jauh!"
Blakh! "Grhghg...!"
Tubuh mayat ringkih itu terhuyung empat
langkah ke belakang ketika tendangan telak
Mayang mendarat tepat di dadanya.
Ternyata cukup tangguh mayat hidup yang
menjadi lawan Mayang. Namun, ketangguhannya
itulah yang membuat kekasih Raja Petir semakin
penasaran untuk lebih cepat menyelesaikan perlawanannya. Ketika tubuh mayat ringkih itu terhuyung,
Mayang kembali melesat cepat memberikan serangan susulan dengan senjata andalannya.
"Haaattt...!"
Pekikan Mayang dibarengi dengan babatan
payung besi yang terkembang dan terarah ke bagian lambung mayat hidup bertubuh ringkih itu.
Trakgkh! "Grghgh...!"
Mayat bertubuh ringkih yang hidup di bawah pengaruh sihir milik Setan Bukit Cemara seketika terjerembab ke tanah. Bagian lambungnya
yang terhajar senjata pemungkas milik Dewi
Payung Emas mengalami luka yang sangat lebar.
Namun luka yang menganga itu sempat membuat
Mayang terkejut. Luka yang menganga itu sedikit
pun tak mengucurkan darah.
"Hmmm...!"
Mayang hanya bergumam dalam hati menyaksikan kenyataan itu. Namun gadis itu tak
mau berlarut-larut memikirkannya karena kemudian dirinya harus sudah menghadapi serangan
yang dilancarkan mayat-mayat hidup yang lain.
"Grghgh...!"
Wuts! "Eits...!"
Mayang segera melentingkan tubuhnya dan
bersalto beberapa kali di udara.
Jligh! "Heh?"
Si Dewi Payung Emas baru mendarat di tanah, serangan susulan kembali harus dihadapinya. Dengan gerakan yang cepat Mayang segera
membentengi tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Benteng Emas'.
Payung kecil berwarna kuning keemasan di
tangan Dewi Payung Emas seketika berputaran
cepat, hingga wujud asli dari senjata itu tak nampak. Yang terlihat hanya
segulungan sinar kuning
yang berpendar-pendar.
Namun, ketika sambaran ganas mayat hidup yang mengancam bagian lehernya terhalau
oleh jurus 'Benteng Emas', suatu keanehan yang
sama kembali terulang.
Mayang menyaksikan kalau tangan mayat
yang putus terbabat senjata andalannya sedikit
pun tak mengucurkan darah. Namun kali ini
Mayang betul-betul tidak mempedulikan keanehan
itu. Dirinya tetap memusatkan pikiran pada serangan-serangan lawan yang datang silih berganti.
Sementara di tempat lain, Jaka nampak sedang beradu tatapan dengan Setan Bukit Cemara.
Sepertinya kedua tokoh yang memiliki kesaktian
tinggi itu tengah mengukur kekuatan lawan masing-masing. "Sebaiknya kau tak mencampuri urusanku,
Raja Gendeng! Aku tak suka itu," ujar Setan Bukit Cemara dingin. Tatapannya
menghujam tepat di
wajah Jaka. "Kalau kau merasa ini urusanmu, maka wajar pula jika aku menganggap apa yang menjadi
persoalanmu menjadi persoalanku. Karena itu menyangkut hak hidup manusia lain," bantah Raja Petir dengan suara yang cukup
berwibawa. "Jika begitu berarti kau mencari mampus!"
hardik Setan Bukit Cemara geram.
"Mampus tak perlu dicari, Tua Bangka!" balas Jaka dengan suara yang sedikit
meninggi. "Karena kematian memang sudah menjadi jatah bagi
setiap makhluk yang bernyawa, juga kau! Dan
mungkin jatah kematianmu yang bakal tiba sekarang ini," lanjutnya sambil menuding wajah Ki Bandot, si Setan Bukit Cemara.
Lelaki berusia enam puluh tahunan yang
mengenakan pakaian biru terang itu tersentak
mendengar ucapan Raja Petir. Wajahnya berubah
merah padam. Giginya gemeretukan menahan kemarahan yang telah menggelegak.
"Kulumat tubuhmu. Raja Usil!" geram Setan Bukit Cemara.
Seketika itu pula Ki Bandot meloloskan sepasang senjatanya yang berupa parang berwarna
merah darah. "Hiaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Dengan cepat sepasang parang merah itu
bergerak di depan wajah Setan Bukit Cemara yang
meluruk menyerang Raja Petir.
"Haiiit...!"
Melihat lawan menyerang dengan gencar.
Raja Petir segera melompat ke belakang untuk
menghindari tebasan sepasang parang yang mengincar bagian kepala dan dadanya. Nampak tubuh
berpakaian kuning keemasan itu berputaran beberapa kali di udara.
Namun betapa terkejutnya Raja Petir ketika
tubuhnya masih berada di udara, Setan Bukit Cemara dengan kekuatan tenaga dalam tinggi melempar sepasang parang miliknya.
Singngng...! Singngng...! "Heh"!"
Raja Petir segera melempar tubuh ke samping kanan untuk menghindari senjata yang meluruk dengan cepat.
Jlig! Singngng...! Singngng...!
Tap! Tap! Di luar dugaan Raja Petir, sepasang parang
merah yang memburu kembali di tangan Setan
Bukit Cemara. "Kalau gerakanmu tak gesit, maka jurus
'Parang Setan Maut' akan mengirimkan nyawamu
ke neraka. Raja Usil," ledek Ki Bandot dengan senyum terkulum.
"Aku tak memiliki gerakan yang gesit, Setan
Gila," balas Raja Petir merendah. "Hanya saja se-ranganmu yang kurang bermutu
dan tak berba- haya!" lanjutnya. Kali ini bernada melecehkan. Senyumnya tersungging sambil
menatap wajah lelaki
tua di depannya.
"Kurang ajar!" hardik Ki Bandot geram.
"Berilah aku pelajaran yang terbaik, Setan
Angkuh," balas Jaka.
"Tentu saja! Bersiaplah!" Ki Bandot membawa tubuhnya mundur dua langkah.
Kedudukan sepasang kakinya membentuk kuda-kuda rendah.
"Jangan coba-coba meremehkan aji 'Racun
Cemara Kematian'" peringatan Setan Bukit Cemara diucapkan dengan sinis.
"Jangan banyak omong, Setan! Cepat keluarkan seluruh ajian yang kau miliki," selak Jaka tak kalah sombong.
"Ngrgh...!"
Ki Bandot menggereng marah mendengar
ucapan Raja Petir. Lalu lelaki tua bercambang
bauk putih itu memejamkan mata. Sepasang tangannya yang dirapatkan satu sama lain, diletakkan di dahinya. Kemudian secara
perlahan dibawanya
turun sampai di depan dada. Hampir tiga kali tegukan teh lamanya telapak tangan yang merapat
itu diletakkan menempel di dada. Sesaat kemudian
tampak mulai merenggang sedikit demi sedikit. Ketika itulah terlihat asap tipis mengepul dari telapak tangan yang sudah
merenggang. Asap tipis yang tercipta berkat pengerahan
ajian 'Racun Cemara Kematian' menebarkan bau
seperti daun terbakar. Bau itu semakin lama semakin terasa menyengat hidung.
Raja Petir yang menyaksikan ilmu lawannya
seperti tak terpengaruh dengan bau yang semakin
menyengat. Namun tampak sikapnya yang tetap
waspada. Pendekar muda itu memang tak pernah
menganggap remeh setiap ilmu yang dikerahkan
lawan-lawannya. Termasuk ajian 'Racun Cemara
Kematian' yang sedang diperagakan Setan Bukit
Cemara. Dengan tatapan yang tak lepas memperhatikan setiap gerakan Ki Bandot, Raja Petir tetap
berdiri tegak di tempatnya. Selangkah pun tak
tampak kakinya bergerak.
"Hoarrrkh...!"
Tiba-tiba saja Setan Bukit Cemara memekik
keras. Pekikan yang terdengar aneh itu diiringi
dengan terhentaknya dua telapak tangan ke depan. Hentakan yang cukup kuat itu menjelmakan
dua gulung sinar kehijauan yang meluruk cepat
memburu Raja Petir.
Srrrttt! Srrrts...!
"Eits! Hops!"
Dengan cepat Raja Petir menghentakkan
kaki di tanah tempatnya berpijak. Seketika itu pu-la tubuhnya melesat ke atas.
Tubuh Raja Petir melayang di udara dan
berputaran beberapa kali. Dua rangkum sinar kehijauan yang meluruk ke tubuhnya berhasil dihindari. Namun, dengan cepat Ki Bandot kembali
mengirimkan serangan susulan yang tak kalah
dahsyat "Heaaa...!"
Srrrrttt! Srrrrts...!
Dua rangkum sinar kehijauan yang bergulungan melesat memburu Raja Petir yang masih
berada di udara.
Patut dipuji ketenangan tokoh muda pewaris ilmu mendiang Raja Petir itu. Dalam keadaan
yang sedemikian sulit Jaka mampu membaca suasana dan mencari jalan keluar untuk menggagalkan serangan dahsyat lawan.
Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah
Petir', tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan itu melesat ke samping kiri, lalu menjatuhkan diri di tanah. Dengan bertumpu
pada kedua telapak tangan Raja Petir bergulingan beberapa kali ke atas tanah
merah. "Hops!"
Tubuh Raja Petir kembali mencelat ke udara
menghindari serangan gencar Setan Bukit Cemara.
"Hrghrgh...! Hih!"
Setan Bukit Cemara menggeram keras. Hatinya bertambah marah. Beberapa kali serangan
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dilancarkan berhasil digagalkan lawan. Lalu.... "Hiaaa...!"
Srrrtirt! Srrrrats...!
Dua gulung sinar kehijauan melesat cepat
memburu Raja Petir. Namun kali ini pendekar muda itu tak nampak melakukan gerakan untuk
menghindar. Tokoh sakti yang mengenakan pakaian kuning keemasan tampak mengepalkan tangan, lalu menariknya ke atas pinggang.
"Hih!"
Wusss...! Serangkum angin berhawa panas melesat
dari dua telapak tangan Raja Petir yang terhentak kuat. Serangkum angin yang
tercipta berkat pengerahan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' meluruk
cepat, menyongsong dua gulungan sinar kehijauan
dari arah yang berlawanan. Angin panas itu berputar cepat. Dan....
Srrrttts! Glarrr...! Suara ledakan yang menggelegar keras terdengar memekakkan telinga ketika ilmu 'Pukulan
Pengacau Arah' beradu dengan ajian 'Racun Cemara Kematian' yang berupa dua gulungan sinar kehijauan. Akibat ledakan kuat itu tubuh Raja Petir
mundur satu langkah, sedangkan Setan Bukit
Cemara mengalami nasib yang lebih parah. Tubuhnya nampak terhuyung lima langkah ke belakang. Keadaan itu menandakan kalau tenaga dalam yang dimiliki Raja Petir berada di atas Ki Bandot
Ketika Setan Bukit Cemara dalam keadaan
terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan,
dengan kuat Raja Petir menghentakkan kaki seraya melancarkan serangan susulan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaaa...!"
Tubuh lelaki yang terbalut pakaian kuning
keemasan itu mencelat ke udara. Kedua tangannya yang terentang, bergerak cepat ke dada Setan
Bukit Cemara. Setan Bukit Cemara yang tak menyangka
akan datangnya serangan balasan yang begitu cepat tampak panik dan kebingungan. Semampunya
lelaki tua berpakaian biru itu bergerak untuk
menghindari serangan Raja Petir. Namun, kecepatan gerak lawan yang luar biasa membuat Bandot
tak sempat melakukan sesuatu. Maka....
Blukkk! "Ugkh!"
Tubuh Setan Bukit Cemara terpental ke belakang. Pukulan keras Raja Petir mendarat telak di dadanya.
Brukkk! "Hoekkk..!"
Tubuh Ki Bandot jatuh berdebum tanah.
Darah kental keluar melalui mulutnya. Lelaki tua
bercambang bauk putih itu tampaknya menderita
luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian biru terkulai lemas di atas tanah berumput.
Suasana tiba-tiba berubah hening. Ada
keanehan terjadi lagi. Ketika keadaan Setan Bukit Cemara terkapar tak berdaya
seperti itu, menda-dak mayat-mayat berjatuhan ke tanah. Mayatmayat hidup menyeramkan yang dengan ganas
menyerang Mayang tiba-tiba bagaikan makhluk
hidup yang kehilangan nyawa. Mati! Dan perlahanlahan mereka berubah ke asal semula.
"Hhh...."
Mayang sempat keheranan menyaksikan
keadaan itu, begitu juga dengan Raja Petir.
Namun ketika suasana aneh itu masih terasa, tiba-tiba pula muncul sesosok bayangan hitam
melesat dengan kecepatan yang sulit tertangkap
mata. Raja Petir dan Dewi Payung Emas belum
sempat menyadari benar, tahu-tahu sosok bayangan yang berkelebat itu telah menyambar tubuh
Setan Bukit Cemara yang terkulai tak berdaya di
atas rerumputan. Dengan cepat sosok bayangan
hitam itu meninggalkan tempat itu membawa tubuh Setan Bukit Cemara.
"Ayo, kita kejar mereka, Kakang!" ajak
Mayang menyadari kalau Setan Bukit Cemara telah diselamatkan seseorang.
Jaka tak segera menyetujui ucapan kekasihnya. Namun kemudian ketika hatinya tergerak
untuk menyelidiki keanehan-keanehan yang terjadi Raja Petir pun segera menganggukkan kepalanya "Ayolah! Hop!"
"Hops!"
7 Sosok bayangan hitam yang melarikan tubuh Setan Bukit Cemara terus melesat dengan kecepatan tinggi. Sambil memanggul tubuh Setan
Bukit Cemara, sosok bayangan hitam itu melesat
terus melintasi perbatasan Desa Kober Utara.
Sosok berpakaian hitam itu ternyata salah
seorang dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing Goa Tanjung yang sengaja
diutus Ki Gambaga Kepala Desa Pagarayung untuk mengawasi sepakterjang Setan Bukit Cemara.
Jaka dan Mayang yang menguntit lari sosok
penyelamat Ki Bandot tampaknya tak kehilangan
jejak. Karena ilmu meringankan tubuh yang dikerahkan dalam berlari telah mencapai tingkat kesempurnaan. "Dia masuk ke desa lain, Kakang," ujar
Mayang melihat sosok yang memanggul tubuh Setan Bukit Cemara melewati perbatasan Desa Kober
Utara dan masuk ke desa yang bernama Pagarayung. "Kita akan terus menguntit mereka. Namun
kita tetap harus meningkatkan kewaspadaan," sahut Jaka.
"Tentu saja, Kakang," timpal Mayang dengan lari yang tetap pada kecepatan
seperti semula.
"Rasanya kita perlu mengurangi kecepatan
kita Mayang. Firasatku mengatakan kalau sarang
yang dituju tak jauh dari sini," ujar Raja Petir menduga-duga. Dugaan pendekar
muda itu tentu saja dilandasi kepekaan panca indera yang tetap
terus dikerahkan selama pengejaran.
Mayang tentu saja menuruti apa yang diucapkan kekasihnya. Gadis cantik itu langsung
mengurangi kecepatan larinya. Bahkan tampak
berubah dengan langkah yang agak cepat.
"Sebaiknya kita berhenti di sini!" usul Jaka.
Mayang menatap wajah kekasihnya. Tak ada sepatah pertanyaan pun yang diucapkan.
"Aku akan melakukan sesuatu dari tempat
ini," papar Raja Petir lagi. "Kuharapkan kesiagaanmu saat aku melakukan pemusatan pikiran."
"Lakukanlah, Kang!" sahut Mayang menyetujui ucapan kekasihnya.
Raja Petir segera memusatkan pikiran. Pemuda berpakaian kuning keemasan itu tampak
mulai memejamkan mata. Kakinya yang berdiri tegak, agak direnggangkan. Sementara kedua tangannya yang terkepal ditarik sampai ke pinggang.
Dengan mengheningkan cipta seperti itu Raja Petir berusaha mengerahkan ilmu mendengar
jarah jauhnya. Mayang pun tak tinggal diam. Gadis itu segera memasang kewaspadaan tingkat
tinggi, bersiaga penuh di tempatnya berdiri. Matanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, mengawasi tempat di sekitar mereka.
"Setan Bukit Cemara kini ditemani empat
lelaki, Mayang," ujar Jaka memberitahu setelah melakukan pengerahan ilmu
mendengar jarak
jauh. Mendengar ucapan Raja Petir, gadis itu menoleh lalu mengangguk, tanda mengerti.
"Tiga di antara mereka mengaku berjuluk
'Tiga Bajing Goa Tanjung', sedangkan yang satunya mengaku sebagai Kepala Desa Pagarayung,"
papar Jaka, menurut apa yang di dengarnya dari
jarak jauh. "Lalu apa yang mereka rencanakan?" tanya Mayang ingin tahu.
"Aku hanya mendengar keinginan Kepala
Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober Utara untuk disatukan dengan desa yang
dipimpinnya. Namun terlebih dulu melenyapkan Ki
Bernala serta abdi setianya," papar Jaka.
"Dan Tiga Bajing Goa Tanjung bersedia
membantu setelah Setan Bukit Cemara gagal menunaikan tugasnya, begitu kan, Kang?" tanya
Mayang menduga cerita Jaka selanjutnya.
"Semakin pandai kau sekarang, Mayang!"
puji Jaka membenarkan kesimpulan kekasihnya.
"Lalu apa rencanamu, Kang?"
"Kita kembali ke kediaman Ki Bernala sekarang juga."
"Hmmm...!" Mayang menggumam tak jelas.
"Tidak kita satroni saja Setan Bukit Cemara dan empat lelaki yang kini
menemaninya?" tanya
Mayang mencoba memberikan pendapatnya.
"Pada saatnya mereka akan menyatroni kediaman Ki Bernala, Mayang. Itulah rencana mereka selanjutnya," ujar Jaka, lembut. "Kita harus memberitahukan Ki Bernala
tentang hal ini. Kita
jangan bertindak sebelum yang bersangkut-paut
dengan persoalan ini tahu dengan jelas masalahnya." Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk Dewi Payung Emas mengangkat
pundak seba- gai tanda menyerahkan keputusan sepenuhnya
pada Jaka. "Kau memang gadis penurut, Mayang. Ayo,
kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka sambil menggamit lengan Mayang dan pergi
meninggalkan perbatasan Desa Pagarayung.
*** Ada keterkejutan di hati Kepala Desa Kober
Utara setelah mendengar cerita hasil penyelidikan Jaka dan Mayang. Sesungguhnya
Ki Bernala tak menyangka kalau dalang di balik peristiwa belakangan ini ternyata Ki Gambaga.
"Ki Gambaga...," gumam Ki Bernala dengan wajah menegang.
"Nama Kepala Desa Pagarayung itu Ki Gambaga, Ki?" tanya Jaka ingin tahu.
"Ya," tegas Ki Bernala, "Dialah sahabatku yang paling baik."
"Maksud Ki Bernala?" tanya Mayang penasaran. "Desa Kober Utara dan Desa Pagarayung bertetangga sejak puluhan tahun
lalu. Kami sebagai kepala desa tentu saja saling menghormati
hak-hak desa masing-masing. Malahan kami sering saling mengunjungi satu sama lain, hingga
timbul persahabatan yang erat. Kuakui tanah di
Desa Kober Utara memang lebih subur daripada
tanah di Desa Pagarayung. Sungguh tak kusangka
kalau akhirnya persahabatan ini ternodai begitu
saja," papar Ki Bernala menjelaskan pertanyaan Mayang.
"Mungkin karena itulah Ki Gambaga menginginkan Desa Kober Utara menjadi wilayah kekuasaannya," duga Mayang menimpali.
"Apa tak ada hal lain yang membuat desa
itu melebihi Desa Pagarayung?" tanya Jaka ingin tahu. Ki Gambaga tak segera
menjawab pertanyaan Jaka. Mata lelaki berusia hampir enam puluh tahun itu menatap wajah pemuda tampan di
depannya. Bias keraguan nampak memancar dari
tatapan matanya.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Ki Bernala menarik napas panjang. "Mungkin Ki Gambaga
tahu hal ikhwal Bukit Gandung," jawab Ki Bernala setelah berhasil meyakinkan hati bahwa
Jaka memang harus tahu keadaan di desanya.
"Ada apa di Bukit Gandung, Ki?" tanya Jaka hati-hati.
"Konon, menurut orang-orang sebelum aku
menjadi kepala desa ini, pada sebuah bukit yang
bernama Bukit Gandung terpendam sebuah harta
kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan menurut
mereka bukan hanya kekayaan saja yang terpendam di sana, melainkan juga senjata dan kitabkitab pusaka," tutur Ki Bernala sejelas-jelasnya. Di sebelah Ki Bernala nampak
Nyi Rira Pangestu duduk dengan kepala tertunduk.
"Ki Bernala percaya dengan omonganomongan itu?" tanya Mayang.
"Entahlah, karena aku belum membuktikannya," jawab Ki Bernala.
"Kalau boleh aku tahu apa rencana Ki
Gambaga selanjutnya, Jaka?" suara Nyi Rira Pangestu terdengar bernada penuh
kecemasan. "Ki Gambaga yang kini dibantu Tiga Bajing
Goa Tanjung akan datang ke sini, Nyi. Dan berhasrat besar untuk membinasakan Ki Lurah Bernala
serta abdi-abdinya," jelas Jaka tanpa menutup-nutupi hal yang diketahuinya.
"Oh!" Nyi Rira Pangestu terpekik mendengar
penjelasan Jaka.
"Nyi Rira tak perlu terlalu cemas. Sebisanya kami akan membantu," tukas Mayang
mencoba menenangkan hati istri Ki Bernala.
"Kapan kira-kira mereka akan menyerbu
kemari?" tanya Ki Bernala.
"Entahlah," jawab Jaka, "Yang jelas kita harus bersiap-siap."
*** Malam demi malam terlewati dengan perasaan tercekam. Sudah tiga malam Ki Bernala tak
dapat tidur tenang. Begitu pun istrinya, Nyi Rira Pangestu. Kedua suami-istri
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penguasa Desa Kober
Utara itu selalu mengurungkan keinginannya untuk tidur nyenyak. Setiap kali ada suara gemerisik mereka tersentak kaget, lalu
bangun dari pembaringan. Padahal suara-suara itu ditimbulkan binatang malam atau angin yang bertiup kencang
menggoyang ranting pepohonan di sekitar rumahnya. Hingga malam ini, Ki Bernala dan istrinya
benar-benar tak bisa memejamkan mata. Perasaan
mereka semakin tercekam.
"Perasaanku semakin tak enak saja, Ki,"
ujar Nyi Rira Pangestu mirip bisikan. Matanya menatap wajah Ki Bernala yang terbaring di sampingnya. "Hatiku juga tak tenang, Nyi," timpal Ki Bernala, "Namun aku yakin kedatangan
mereka akan diketahui Gunjada dan kawan-kawannya,
bukankah mereka sedang berjaga-jaga di luar sana?" lanjuti Ki Bernala berusaha menenangkan ha-ti istrinya.
"Tapi, aku tetap khawatir, Ki," ujar Nyi Rira Pangestu tak kuasa menyembunyikan
ketakutan-nya. "Kalau begitu, kita bergabung saja dengan Jaka dan Mayang.
Barangkali dengan begitu hati-mu bisa tenang, Nyi," ujar Ki Bernala menyarankan
istrinya. Nyi Rira Pangestu menganggukkan kepala
menyetujui usul Ki Bernala. Keduanya melangkah
ke luar meninggalkan ruangan pribadinya, menuju
kamar Mayang dan Jaka.
"Aaa...!"
Namun baru tiga langkah kaki Ki Bernala
dan Nyi Rira Pangestu terayun, suara pekikan keras terdengar. "Ki...?"
Nyi Rira Pangestu segera saja merangkul
tubuh sang Suami. Kepalanya menoleh ke tempat
asal suara pekikan.
Pada saat puncak ketakutan Nyi Rira Pangestu tak terkuasai, tiba-tiba muncul Jaka dan
Mayang yang berlari dari kamar masing-masing.
"Ada apa, Ki?" tanya Jaka dan Mayang
hampir bersamaan.
"Aku tak tahu, Jaka," jawab Ki Bernala
sambil merangkul istrinya untuk memberi ketenangan. "Biar aku lihat keluar," ujar Jaka, "Kau temani Nyi Rira, Mayang!"
Jaka bergegas keluar menuju tempat asal
suara tadi. "Hei, ada apa ini?" tanya Jaka ketika menyaksikan Gunjada tengah membungkuk
meme- riksa keadaan rekannya yang tergeletak di tanah
depan rumah Ki Bernala.
"Aku tak tahu dengan jelas. Raja Petir," jawab Gunjada seraya bangkit. "Walinan
tahu-tahu saja memekik dan ambruk."
Jaka segera melompat turun dari serambi
untuk memeriksa keadaan lelaki bernama Walinan. "Dia sudah mati," ucap Jaka setelah meraba nadi Walinan yang sudah tak
berdenyut. Gunjada dan kawan-kawannya yang lain
terkejut mendengar ucapan Raja Petir. Semua
kembali menatapi tubuh Walinan.
"Hmmm...."
Raja Petir bergumam saat tangannya meraba bagian leher Walinan. Sebuah benda beracun
telah menembus kulit leher lelaki itu hingga ke dalam. "Seperti sebuah jarum,"
duga Jaka sambil terus meraba leher lelaki berpakaian hitam yang
sudah menjadi mayat itu.
Crrrt...! Tiba-tiba saja Jaka memijit kulit bagian leher Walinan. Sebuah jarum seketika keluar dari kulit leher Walinan. Darah kehitaman pun keluar dari bekas tembusan jarum.
"Bersiagalah kalian semua!" ujar Raja Petir memperingatkan bahaya yang diduga
bakal da- tang. Orang-orang yang bertugas menjaga keamanan rumah kediaman Ki Bernala segera saja
menghunus senjatanya masing-masing. Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara berdecit halus
yang meluruk ke tempat para penjaga keamanan
rumah Ki Bernala.
Jaka yang memang sudah terlatih kepekaannya segera dapat merasakan bahaya yang datang mengancam.
"Awaaasss...!" teriak Jaka, seraya melompat ke depan, tangannya seketika
bergerak cepat mengerahkan jurus pukulan pengacau arah.
Wuuusss...! 8 Trak! Trak! Trak!
Benda-benda yang melesat hingga menimbulkan suara berdecit itu berpentalan balik ketika serangkum angin bergulung
yang keluar dari telapak tangan Raja Petir menerjang dari arah berlawanan. Senjata-senjata gelap yang ternyata jarumjarum beracun itu sebagian terpental balik ke pemiliknya dan sebagian hancur berhamburan di tanah. "Hops!"
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan keras seketika terdengar
memecah suasana malam. Jarum-jarum yang terpental balik itu rupanya mengancam keselamatan
pemiliknya. Sehingga dari balik pepohonan di sekitar rumah itu berlompatan
beberapa sosok bayangan yang menghindari serangan balik senjata gelap mereka.
Tiga lelaki berpakaian gelap mendarat dengan ringan di tanah. Gerakan mereka pun sangat
lincah. Ketiga lelaki berwajah hampir mirip itu
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Namun, di antara para penyerang gelap itu
tampak seorang lelaki berwajah kasar. Dari gerakan dan cara mendaratnya memberi gambaran kalau dirinya tidak memiliki kemampuan dalam ilmu
silat. Lelaki berpakaian merah darah itu tak lain Ki Gambaga, Kepala Desa
Pagarayung. Mereka datang berempat, tanpa Manggale. Ki Gambaga sengaja meninggalkan putranya di rumah, agar menjaga Ki Bandot yang tengah menderita luka dalam
sangat parah setelah bentrok dengan Jaka.
"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu yang kau miliki, Bocah!" teriak seorang lelaki berpakaian kelabu dan berkepala botak plontos.
Mata lelaki yang besar sebelah itu terlihat berkedip-kedip lucu. Dan giginya
yang tonggos membuat penampilan lelaki
bertubuh tegap itu tampak lucu.
"Dialah Raja Petir, Lambuna," ujar lelaki berwajah kasar yang tak lain Kepala
Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober
Utara. Lelaki yang bernama Lambuna segera menoleh dan menatap sejenak wajah Ki Gambaga.
Tanpa diberitahu, sebenarnya Lambuna sudah
mengenal ciri-ciri pada diri pemuda berpakaian
kuning keemasan yang terkenal dengan julukan si
Raja Petir. Mendapat tatapan tak senang dari Lambuna, Ki Gambaga sedikit menundukkan wajahnya.
Keadaan seperti itu tak berlangsung lama, karena
kemudian Lambuna sudah kembali berkata, "Kau tahu dengan siapa sekarang
berhadapan. Raja
Goblok"!" tanya Lambuna setengah membentak.
"Aku tak tahu, tapi kalau boleh aku menduga, bukankah kau yang berjuluk Setan Tonggos
berwajah buruk?" balas Raja Petir dengan ejekan pula. "Kurang ajar!" maki
Lambuna, merasa tersinggung dengan julukan yang disebutkan Raja Petir. "Setan Alas!" hardik lelaki lain yang juga bergigi tonggos dan bermata sipit.
Dialah orang kedua dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing
Gua Tanjung. "Keparat!" caci orang ketiga tak mau keting-galan. "Kau tidak menghardikku?"
tanya Raja Petir pada Ki Gambaga yang hanya diam.
Ki Gambaga menatap tajam wajah Raja Petir. "Kau harus mampus sekarang!" bentaknya kemudian.
"Kau yang harus mampus, Gambaga!" balas Ki Bernala yang muncul bersama-sama
Mayang dan Nyi Rira Pangestu. "Sungguh aku tak menyangka kalau kau bisa menodai persahabatan kita dengan hal-hal yang keji seperti ini. Kau tahu,
banyak sudah penduduk Desa Kober Utara yang
menjadi korban karena ulahmu menyewa Setan
Bukit Cemara. Kelakuanmu sangat memalukan!
Hanya kematianlah yang pantas menebus dosadosamu, Ki Gambaga!"
"Jangan bermimpi dapat membunuhku,
Bernala!" bentak Ki Gambaga, "Kau tak lihat Tiga Bajing Gua Tanjung yang berdiri
di sebelahku" Sekarang juga mereka akan mengirim kalian semua
ke neraka," lanjut Ki Gambaga dengan menyanjung nama Tiga Bajing Gua Tanjung.
"Kurasa Raja Petir-lah yang pantas mengubur wajah-wajah jelek orang-orang bayaranmu, Ki
Gambaga!" balas Ki Bernala.
Bergetar hati Tiga Bajing Gua Tanjung
mendengar penghinaan tajam yang dilakukan Ki
Bernala. Kemudian salah seorang di antara Tiga
Bajing Gua Tanjung itu bergerak cepat hendak
menghantam Bernala dengan tinjunya. Namun....
"Hops!"
Mayang telah lebih dulu bergerak ke depan
untuk melindungi Ki Bernala.
"Sabar Kisanak!" ujar gadis itu sambil mengangkat senjatanya sebatas kepala.
"Kau tak pantas untuk berhadapan dengannya!"
Lelaki ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung
mengurungkan niatnya menyerang Ki Bernala.
"Apa kau sanggup menghadapiku, Gadis
Liar?" tanya lelaki berambut gondrong sebahu. Giginya yang tonggos tampak sangat
lucu. "Sepuluh lelaki macam kau pun akan kuladeni," balas Mayang ketus.
"Benar-benar gadis binal!"
"Kau lelaki kelaparan!"
"Hhh...!"
Orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung
mendengus kesal. Tanpa menunggu perintah dari
Lambuna sebagai orang tertua, lelaki berambut
gondrong dan bergigi tonggos itu langsung melancarkan serangannya terhadap Mayang.
Lambuna yang menyaksikan Rekoga telah
melakukan penyerangan, segera memerintahkan
Garbala untuk sama-sama menyerang Raja Petir.
"Ayo, Garbala! Kita lumat tubuh Raja Goblok itu!" seru Lambuna keras. Tubuh lelaki berkepala botak itu langsung melesat
ke tubuh Jaka diikuti Garbala. "Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
*** Di bawah sinar bulan yang tak begitu terang
pertarungan maut pun tak dapat terelakkan. Lambuna dan Garbala tampak sangat bernafsu untuk
membunuh lawan mereka.
Pertarungan yang berlangsung seru itu terpecah tiga bagian. Kepala Desa Kober Utara tampak mempertahankan kewibawaannya menghadapi Kepala Desa Pagarayung. Sementara dara manis
kekasih Raja Petir, nampak tak sungkan-sungkan
meladeni orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung. "Hiaaa...!"
Wuttt! "Haits...!"
Dengan cepat Rekoga mengayunkan senjata
menyerang Dewi Payung Emas. Seperti gerakan
penari tubuh Mayang meliuk menghindari tebasan, senjata Rekoga. Sangat ringan dan lentur gerakan yang dilakukan gadis berpakaian jingga itu
membuat serangan lawan luput.
"Setan!" hardik Rekoga geram, "Terimalah ini!" Slats! Slats!
Dengan gerakan cepat Rekoga meraih sumpit yang ditaruh di balik pakaian dan meniupkannya dengan kuat. Dua batang jarum beracun pun
melesat cepat memburu tubuh Mayang. Namun....
Wrrr...! Trak! Trak! Mayang yang sudah mampu membaca kelicikan lawannya segera saja mengerahkan jurus
'Benteng Emas' guna meredam serangan Rekoga
lewat ilmu 'Sumpit Maut Setan Tanjung'.
Senjata andalan Mayang yang berupa
payung logam yang berwarna kuning keemasan
berputaran kuat hingga membentuk semacam
benteng. Dan ternyata jurus 'Benteng Emas' lebih
ampuh dari ilmu lawan.
Sementara itu pada pertarungan lain. Raja
Petir yang menghadapi lelaki tertua dari Tiga Bajing Gua Tanjung tengah terlibat
pertarungan sengit. Jurus-jurus andalan yang dimiliki Lambuna
dan Garbala berkali-kali sudah digelar. Namun sejauh ini dua dari Tiga Bajing Gua Tanjung belum
mampu menunjukkan keperkasaan mereka. Berlawanan dengan sesumbar mereka yang hendak
melumat tubuh Raja Petir.
Sebaliknya, Raja Petir hanya dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sesekali menyerang dalam jurus 'Petir
Menyambar Elang'
mampu mengecoh lawan-lawannya. Bahkan Lambuna dan Garbala tampak mulai terdesak.
"Dia betul-betul tangguh, Kakang," desis Garbala seperti putus asa.
"Tidak Garbala, Kita hanya belum mengeluarkan ilmu-ilmu tingkat utama kita," sangkal Lambuna.
Raja Petir 17 Setan Bukit Cemara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu gunakan saja sekarang, Kakang," usul Garbala.
"Ayo! Aku memang sudah kepingin cepatcepat menyelesaikan urusan ini," jawab Lambuna.
Orang pertama dan kedua dari Tiga Bajing
Gua Tanjung itu kini sama-sama mundur dua
langkah. Keduanya kini berdiri tegak dengan tatapan mata lurus ke wajah Raja Petir. Sementara
tangan mereka saling ditautkan satu sama lain.
Dengan sikap tenang Raja Petir memperhatikan apa yang dilakukan kedua lawannya. Baginya gerakan yang dilakukan Lambuna dan Garbala dianggap seperti anak-anak kecil yang hendak bermain. Namun ketika melihat
kelanjutannya Ra-ja Petir tersentak.
"Ilmu Setan," gumam Raja Petir melihat
tangan yang saling bertautan itu semakin memanjang dan memanjang. Tangan itu melar bagai karet
dan semakin lama terulur melebihi ukuran kewajaran. Jaka dengan tatapan mata tak berkedip terus menanti-nanti apa yang akan dilakukan dua
orang lawannya.
"Aji Gua Maut!"
Tiba-tiba saja Lambuna berteriak lantang
menyebutkan ilmu yang sedang digunakannya.
Bersamaan dengan itu tubuh keduanya melesat
dengan cepat memburu Raja Petir. Tangan mereka
yang melar panjang tetap saling bergandengan.
Kedua tangan panjang itu tiba-tiba bergerak mengurung Raja Petir yang masih diam di tempatnya.
"Hmmm...! Apa yang akan mereka lakukan
dengan 'Aji Gua Maut' itu?" batin Jaka.
Jaka yang kini terkurung ilmu lawan sedikit
pun tak bergeser dari pijakannya. Dirinya masih
menanti-nanti serangan bagaimana yang akan dilancarkan Lambuna dan Garbala.
Beberapa saat lamanya tubuh Jaka, yang
terkurung tak terjadi perubahan apa-apa. Namun
kemudian asap kemerahan tiba-tiba muncul dari
tangan-tangan yang melingkar di seputar tubuh
Raja Petir. Mula-mula asap itu terlihat tipis, tapi kemudian semakin tebal
hingga akhirnya berubah
warnanya. Asap tebal yang mengurung itu kini merah pekat. "Uhugkh!"
Jaka terbatuk ketika asap ciptaan Lambuna
dan Garbala yang terangkum dalam ilmu 'Aji Gua
Maut' semakin dekat, seolah hendak membungkus
tubuhnya. "Hawa beracunnya semakin lama semakin
menyengat," kata hati Jaka. Kemudian secara perlahan dirinya mulai mengerahkan
'Ajian Kukuh Karang' untuk mengatasi serangan lawan.
Sebelum asap merah yang semakin tebal itu
benar-benar membungkus tubuh Raja Petir sinar
kuning keemasan yang perpendar-pendar dari bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung
kaki telah menjelma melindungi tubuhnya.
Karena tubuh lawan terkepung asap tebal
Lambuna dan Garbala tak tahu kalau Raja Petir
tengah berupaya melindungi diri dengan ilmunya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Raja Petir hanya dapat mendengar teriakan
Lambuna dan Garbala yang menggelegar. Firasatnya mengatakan kalau dua lawannya akan melakukan serangan gelap.
Dan ternyata benar. Lambuna dan Garbala
tengah melesat cepat, mengirimkan serangan dengan tendangan lurus ke kepala dan perut Raja Petir. Suara angin yang menderu menandakan
kalau kedua tokoh Setan Gua Tanjung menggunakan kekuatan tenaga dalamnya dalam serangan
itu. Namun.... Prats! Prats...!
"Aaakh...!"
"Akh...!"
Tubuh Garbala dan Lambuna seketika terpental balik ketika tendangan dahsyat yang mereka lancarkan seperti membentur logam yang sangat keras. Seketika keduanya terpekik kesakitan.
Hampir tiga batang tombak jauhnya tubuh
Lambuna dan Garbala terpental. Mereka merasakan sekujur tubuh bagaikan dirambati ribuan semut. Gemetaran dan linu. Sedangkan pengaruh
'Aji Gua Maut' yang mampu menjelmakan asap
merah dan tebal kini telah luntur. Tak lagi tercium bau yang menyesakkan
pernapasan, apalagi wujud
asap itu seolah-olah menguap ke langit.
"Keparat!" maki Lambuna geram, merasa telah mengalami kegagalan dengan ajian
yang dian- dalkannya. "Kalian masih punya hasrat untuk menghadapiku?" tanya Jaka dengan suara keras.
"Hhh...!"
Lambuna dan Garbala sama-sama menggeleng. Mulut Lambuna mendengus penuh kebencian, mendengar pertanyaan Jaka yang dianggapnya terlalu sombong.
"Lebih baik aku mampus daripada harus
menyerah di tanganmu, Raja Gila!" maki Garbala tak kuasa menahan kejengkelannya.
Srat! Tiba-tiba saja Garbala meloloskan pedang
dari warangkanya yang tergantung di pinggang.
Hal yang sama dilakukan Lambuna. Sementara
itu, Jaka terbelalak melihat pedang Garbala. Pedang itu tumpul dan berukuran pendek. Mungkin
hanya sekitar dua jengkal.
"Heaaa...!"
Garbala melesat cepat memburu tubuh Jaka. Sementara Lambuna dengan ringan sekali melenting ke atas sambil mengayunkan pedangnya.
Patut dipuji daya tahan kedua tokoh Tiga
Bajing Gua Tanjung itu. Apalagi daya tahan tubuh
Lambuna. Meski dalam keadaan persendian yang
masih linu, lelaki berkepala botak itu mampu melenting ke udara dan meluruk melewati batas kepala Raja Petir.
Melihat tindakan kedua lawannya, Jaka
mengetahui gelagat kalau mereka akan menyerangnya dari dua arah depan dan belakang dengan
menggunakan senjatanya.
Dugaan Raja Petir ternyata tak meleset, terbukti setelah tubuh Lambuna mendarat di belakangnya, Garbala mengangkat pedangnya sampai
di atas kepala. Jelas hal itu sebagai pertanda, kalau penyerangan dari dua arah
akan segera dimulai. "Sepasang Pedang Bajing Goa Tanjung!" pekik Lambuna yang berada di belakang Raja
Petir. "Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Garbala yang melesat lebih dulu dari depan
sempat dilihat gerakannya oleh Raja Petir. Seketi-ka itu juga kecerdikan Raja
Petir berperan.
Ketika pedang tumpul di tangan Garbala
melesat mengancam jantungnya. Raja Petir segera
menangkap senjata itu dengan dua telapak tangan
yang dirapatkan satu sama lain.
Crak! "Heh"!" Garbala terkejut mendapatkan serangannya ditahan dengan tangan
telanjang. Dan keterkejutan Garbala semakin menjadi-jadi ketika
pada saat yang hampir bersamaan Lambuna menusukkan pedangnya lurus ke batang leher lawan.
Sedangkan Raja Petir, dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa segera mengangkat tubuh Garbala hingga menghadapi Lambuna yang tengah
melancarkan serangan membokong. Maka kejadiannya.... "Hiaaa...!"
Jrrrabs! "Aaa...!" lengking kematian panjang pun terdengar membumbung tinggi, ketika
pedang Lambuna menghujam dada Garbala. Tubuh orang
kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu langsung
ambruk ke tanah. Darah muncrat dari dada Garbala ketika dengan cepat Lambuna menarik pedangnya. "Keparat kau. Raja Petir!" bentak Lambuna.
Lelaki berkepala botak itu menggeram marah. Matanya melotot kaget menyaksikan kematian Garbala. "Aaa...!"
Belum lagi kemarahan Lambuna terlampiaskan sebuah pekik kematian terdengar dari mulut Rekoga. Lambuna sempat menoleh ke tempat
asal pekikan itu. Dan hatinya terkejut bukan kepalang menyaksikan Rekoga
terhuyung-huyung dengan bagian perut terkoyak lebar. Darah bercucuran dari perut yang terbabat senjata andalan
Mayang. Bruk! "Aaakh...!"
Tubuh Rekoga ambruk. Masih terdengar
suara rintihan kesakitan, sebelum akhirnya tubuh
Rekoga kaku tak bernyawa.
Pada pertarungan lain Ki Gambaga tampak
terdesak menghadapi Ki Bernala, karena pada saat
itu Gunjada mulai memberi bantuan kepada kepala desanya. "Mampus kau, Ki Gambaga!" teriak Gunjada sambil membabatkan pedangnya ke lambung
Kepala Desa Pagarayung itu.
"Heaaa...!"
Brets! "Akh...!"
Tubuh Ki Gambaga seketika ambruk ke tanah dengan bagian lambung terkoyak dan mengucurkan darah. Tubuh kepala desa itu menggelepargelepar sesaat, tapi kemudian diam tak bergerak
lagi. "Bagaimana, bajing ompong"! Apakah kau juga ingin menyusul kawan-kawanmu
ke kubur?"
tanya Raja Petir mengejek Lambuna.
Merah padam wajah Lambuna mendengar
lecehan lawannya. "Kalau aku mundur sekarang, itu bukan berarti aku takut mati,
Raja Gendeng! Aku hanya tak ingin kematian saudara-saudaraku
menjadi sia-sia. Aku akan menuntut balas padamu. Dendamku akan terus membara!" lantang
ucapan Lambuna. Napasnya terdengar memburu
menahan kemarahan yang meluap-luap.
Raja Petir hanya tersenyum mendengar
ucapan lawan yang sudah kehilangan keberanian
itu. Dan senyumnya semakin melebar saat Lambuna menghentakkan kakinya.
"Hiaaa...!"
Di luar dugaan, Gunjada tiba-tiba melesat
cepat ke tubuh Lambuna seraya mengayunkan pedangnya. Bret! "Aaa...!"
Lambuna terpekik keras, ketika pedang
Gunjada membabat tepat batang lehernya. Darah
segar langsung tersembur dari leher yang terkoyak lebar. Tubuh lelaki berkepala
botak itu menggelepar-gelepar di tanah.
Hanya sesaat pemandangan seperti itu terlihat, pada saat selanjutnya tubuh Lambuna tak
berkutik lagi. Mati!
Menyaksikan kematian Lambuna, Raja Petir
hanya sempat menarik napas dan kemudian kakinya terayun menghampiri Ki Bernala dan Nyi Rira Pangestu. "Maaf, Ki dan Nyi! Kami tak bisa berlamalama tinggal di desa ini, masih banyak keperluan
yang harus kami urns," ucap Jaka.
"Tinggallah barang satu, dua malam lagi di
sini, Nak Jaka!" tahan Nyi Rira Pangestu.
"Maafkan kami, Nyi! Bukannya kami tak
berkenan," tolak Jaka lembut.
Nyi Rira Pangestu tak lagi berkata-kata
mendengar penolakan halus Raja Petir.
"Kalau begitu jangan lupakan kami, dan terima kasih atas bantuanmu!" tutur Ki Bernala.
Jaka dan Mayang sama-sama menganggukkan kepala. "Sama-sama, Ki. Kami mohon diri sekarang!" ucap Jaka. "Ayo, Mayang!"
Mayang pun segera mengikuti langkah panjang Jaka. Angin berhembus semilir mengiringi
kepergian sepasang pendekar muda yang telah
berhasil menunaikan tugasnya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Super Sakti 18 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Ikat Pinggang Kemala 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama