Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap Bagian 3
tanpa lebih dulu dipikir panjang. 'Aku tak punya
maksud berprasangka jelek pada orangtua Mia.
Bagaimanapun... mereka calon mertuaku..."
"Eh- Sepertinya kau ini sudah melamar Mia!"
'Ah. aku..." Januar tergagap. Malu. Namun
setelah berpikir sejenak, ia bergumam setengah
menerawang: "Barangkali tak ada salahnya, oia
akan kulamar malam ini juga!"
UH...! itu melanggar adat. Di daerah ini..."
'Di daerah mana pun juga, Kakek," gumam
Januar lagi. tenang. setansetan tidak pernah
memandang adat!" Agak terperangah kakek Amsar mendengarnya. "Jangan kau bilang, salah satu setan itu
adalah kau sendiri!"
"Kalau perlu. Kakek. Kalau yang kita hadapi.
memang setan pula." aku dapat menangkap kiasanmu,"
desah kakek Amsar seraya menerangi jal an di
depan mereka dengan nyala senter. Mereka telah
semakin jauh meninggalkan kepadatan rumah
rumah penduduk. Titi bambu di jalan pintas
dekat ke tempat yang mereka tuju, sudah
samarsamar di depan sana. "Andai kiasanmu
justru menjadi kenyataan. Cucu. Sanggupkah kau
menghadapinya" Senjata apa yang kau miliki?"
Genggaman Januar semakin kuat di balik
jaket. 'Keris ini !' sahutnya. mantap.
Kakek Amsar geleng-geleng kepala. Berkomentar: "Kalau kau tanya aku, Cucu. Maka senjataku... bukanlah golok di tanganku ini. Senjataku
jauh lebih ampuh. Tak ada tandingan di dunia ini.
Yakni, pertolongan Allah."
Januar terdiam. Sadar, orangtua yang mendampinginya mencoba mengingatkan agar ia tidak takabur. Sekedar
meralat kesalahan omongannya. Januar bertanya
sambil lalu: "Keris ini, Kakek. Benarkah ini penjelmaan dari seorang tabib yang sakti mandraguna" "
'Siapa bilang?" 'Nenek yang cerita... "Dasar Perempuan. di mana pun. gampang
termakan kabar burung. Guru mengaji Kakek itu,
sayangnya tidak pernah pula membantah secara
tegas. Pada kami ia hanya menerangkan, bahwa
tabib itu memang mendadak raib dan di bekas
tempat duduknya. tampak sebilah keris. Lalu guru
mengajiku bilang. dapat saja keris itu sebelumnya
memang sudah diduduki si` tabib, bukan" Keterangan guru kami itu. menyebabkan banyak
orang yang mengenalnya lantas berpikir bahwa,
guru menghendaki agar iman kami tidak goyah...!
'Sebentar, Kakek !' "Ada apa. Cucu?" kakek Amsar tertegun. la
pegang goloknya dengan sikap siaga.
Januar mengawasi titi di depan mereka. Titi
bambu itu tampak terayun-ayun. Lemah. Terdengar pula suara berderit, berkeriut. berderit,
berkeriut lagi... dan titi itu mendadak diam. Bulk
Januar tegang: "Jangan-jangan...!
Setelah mengawasi titi, mengawasi pula semak belukar serta pepohonan di sekitar mereka
kakek Amsar tertawa kecil. "Hanya godaan angin
malam." katanya. 'Lihatlah ! lalu sebelum Januar
sempat menahan. orangtua itu sudah maju ke titi
lalu berjalan tenang-tenang melewatinya. Ternyata
ia selamat tiba di seberang. Dari sana. ia tertawa
lagi. 'Kalau kau takut. Cucu," katanya setengah
masem; 'Kau pulanglah. Biar aku yang menjaga
mia. Ditantang begitu. Januar nekad menyeberangi
Tak ada apa apa. Namun toh mata Januar
membelalak. Jelalatan mengawasi kegelapan air
sungai di bawahnya. berjaga-jaga kalau dari dalam
air atau dari balik bebatuan sungai ada makhluk
hidup yang mencurigakan. Setelah ternyata tidak
ada, barulah ia menarik nafas lega dan mengikuti
kakek Amsar yang berjalan lebih dulu di depannya.
Mendadak jalan setapak yang sempit dan curam,
melewati kebun-kebun ketela. jagung, barisan
pepohonan cengkeh dan kopi, sementara kesunyian malam semakin menganga pula karena
mulai dari titi, mereka tidak lagi melihat rumah
rumah penduduk. Tinggal satu saja rumah yang
masih tersisa di ujung jalan itu. Di kaki bukit.
Sungguh suatu tempat menyedihkan untuk di-diami keluarga lsmiaty....
'Nenekmu yang nyinyir itu." nyeletuk kakek
Amsar. Dengan sengaja. Supaya Januar tidak
terlalu tegang. "Cerita apa lagi dia?"
'Bidadari...' bisa juga Januar tersenyum.
"Apa" Bidadari?" kakek Amsar tertawa ngakak. Bergema di sekitar. bergaung seram. Di
belakangnya. diam-diam Januar merapat pada
orangtua itu. "Bidadari, hah! Dia itu cuma gadis
kudisan. Karena ingin kudis dibetis dan di pantatnya hilang, lantas ia berendam di sebuah lubuk
terpencil. Lubuk yang airnya suam suam kuku
serta mengandung belerang. Benar, akhirnya ia
sembuh. Tetapi pertama kali ia kukenal. la bukanlah bidadari. Ia cuma seorang gadis kudisan...."
"Kakek toh berlagak jadi Jaka Tarub. Diam-diam mencur i pakaian sang bidadari.. ."
'Sang gadis kudisan!" ralat kakek Amsar.
'Baiklah. Nenek dulunya semasa gadisnya
cantik sekali, sehingga kakek nekad mencuri
pakaiannya....' 'Tanpa kucuri pun pakaiannya, dia sudah
kumiliki. Orangtua Kakek telah melamarnya beberapa hari sebelum itu."
"Dan, nenek mau"
'Mau" Tolol. Sebagai seorang gadis, dia harus
diam. Diam, menurut, patuh pada kemaua n orang-tua Dan kakek tak mau itu. Lalu Kakek curi pa kaiannya selagi ia mandi. Kakek baru mau
mengembalikannya, kalau ia menjawab jujur pertanyaan Kakek...."
'Apa yang Kakek tanyakan?"
'la menerima lamaranku sebagai isteri. apakah
karena terpaksa atau setulus hati"
'Apa jawab nenek?" 'Tentu saja dia bilang cepat cepat: ikhlas."
"Karena takut pakaiannya tidak Kakek kembalikan."
"Bukan, tolol !' "Lantas"? "Karena, ia kudisan !"
Ketegangan Januar mengendur oleh tawa
yang meledak-ledak dari mulutnya. Kakek Arnsar
pun ikut pula tertawa. Dan kali ini. ia yang lebih
dulu berhenti melangkah. dan berbisik tajam:
"Sebentar Cucu!"
Teringat peristiwa titl tadi, Januar ingin membagi angka sama. Maka. seenaknya ia bergeser
ke samping. berusaha mendahului kakek Amsar
sambil berkata penuh kemenangan: 'Cuma angin
lalu. Kakek. Lihatlah...!
Dan, Januar melihatnya. Melihat sesosok bayangan hitam menghadang di depan mereka. Tingginya sebatas paha.
bertubuh kekar di atas empat kaki-kakinya yang
kokoh. Sergapan sekilas cahaya senter yang
bergoyang gugup di tangan kakek Amsar. menggambarkan sosok makhluk itu lebih jelas. Seekor
anjing berbulu hitam dengan bintik-bintik putih.
Hanya seekor jenis anjing kampung biasa Tetapi
mungkin terawat baik. karena disayangi dan banyak kegunaannya buat si pemilik, entah siapa"
Serangkai, anjing panggiring ternak.
"Kau lihat... matanya?" bisikan kakek Amsar
semakin rendah. ." ya.! "Pernah kau lihat mata anjing seperti itu"
Berwarna merah" Seperti darah?"
'Tidak " 'mundurlah, cucu. Eh. Kakek menghadapinya..." kata orangtua itu. dengan kebanggaan
seorang kakek yang merasa diri mampu melindungi sang cucu yang tidak berdaya. Goloknya
diamang-arnangkan. seraya menggeram. "Enyah
kau... anjing. Pergilah. Kami tidak mengganggu...
Jadi, jangan pula kau ganggu perjalanan kami.
Januar bergidik manakala makhluk bermata
' merah darah itu menggeram. Moncong makhluk
itu terangkat. Tengadah menatap rembulan. Dari
sela-sela taringnya, kemudian terdengar suara
lolongan lirih. panjang. menggetarkan tulang belulang.
Lolong anjing itu terdengar sampai ke rumah
Dumadi. ia tengah duduk menghadapi tungku
perapian. karena tak bisa tidur. Tangan Dumadi
yang tengah memegang mangkok kopi.
tergetar. lalu kejang, kaku, sakit bagai ditusuk-tusuk jarum. Di kamar tidur. lsmihty tertidur pulas.
Gadis itu yakin ia akan diperkenankan bertemu
dengan Januar. maka ia pun bermimpi indah.
Rebah d sebelahnya. Saniah. yang tiba-tiba
menggeliat. Gelisah. Sepasang kelopak mata perempuan itu membuka. Warna bening di matanya,
perlahan-lahan berubah merah... semakin merah.
Tahu-tahu, lsmiaty mengigau: 'Bang Nuar.
sayang. Oh. oh. Jangan lakukan itu. Aku... aku
belum jadi isterimu... oh, oh....' Gadis itu meronta-ronta, lalu terbangun. la gelagapan memandang~ sekelilingnya. lalu berdesah lirih: "Ahhhm untung
tak jadi!" Waktu lsmiaty tersentak bangun, rona merah
di sepasang mata Saniah berubah bening kembali.
Perempuan itu menggeliat, resah. kemudian berpaling pada anaknya. 'Oh. Kau terbangun, Anakku. Apakah kau juga mendengarnya" ia berbisik
pelan. "Mendengar apa. Ibu?"
"Lolongan anjing itu...!
Lolong sang makhluk makin lirih. Tinggi
menyentak-nyentak. sementara tubuh yang hitam berbintik putih, bergetar hebat. Moncongnya
kemudian merendah. Turun. Lalu mengarah lurus ke depan. Sepasang matanya yang semerah
saga berdarah. berkilauan dalam jilatan lampu
senter. Mata itu tidak menatap ke cahaya senter.
Tidak pula ke si pemegang senter. Mata yang
menakutkan itu. langsung menatap ke arah Januar.
'Awasi' bentak kakek Amsar. ketika menyadari arah tatapan makhluk menyeramkan yang
menghadang mereka. "Menjauhlah Cucu.
Larilah..' Januar menghunus kerisnya.
Hanya keinginan belaka. Keinginan yang be
gitu kuatnya, sehingga justru sekujur tubuhnya
justru tegang kaku. Tak berdaya. Tidak bereaksi.
Gagang keris memang tergenggam namun tak
mampu ia tarik keluar dari sarangnya.
Terdorong naluri ingin melindungi, kakek Amsar menyerbu ke depan. Golok di tangan kanan
la ayunkan, bersamaan dengan senter di tangan
kiri yang juga diayunkan. Berusaha menghantam
kepala anjing itu. Dengan gerakan pendek tetapi
tangkas, sang makhluk dapat menghindar. Kakek
Amsar terdorong ke depan oleh luapan tenaganya
yang kurang kontrol. la hampir jatuh terjerembab,
dan berusaha menguasai tubuh yang sempoyongan. "Anjing hina dina. Setan laknat..." ia memaki-maki, dan menyerbu lagi.
Yang diserbu menghindar lagi. Bedanya kali
ini. ia tidak sekedar menghindar. Dengan mengabaikan penyerang di sampingnya. makhluk itu
menghindar seraya melakukan suatu terkaman
kilat. Langsung ke perut Januar.
Saat itu Januar terpekik ngeri: "Jangan...!"
Dalam ketakutan serta otot-otot Januar akhirnya mau bekerjasama. Keris itu terhunus seketika
di tangannya. serbuan mendadak ia tangkis dengan tangan kiri yang disilangkan menjaga perut.
Taring-taring tajam segera merengkah lengan
yang menghadang itu, mengglgitnya kuat-kuat
sambil terus menggeram-geram buas. Tarikan
gigitan itu membawa tubuh Januar terseret kian
kemari seirama dengan gerakan sang makhluk.
Mata anjing itu semakin merah juga, suara meng-geramnya semakin mendirikan bulu roma.
'Jangan, aduh... jangaan!" jerit Januar berulang-ulang.
Lalu keris di tangannya terayun ke depan.
Membabi buta. LIMA BELAS ISMIATY terlonjak kaget. "itu... itu 'kan suara bang Nuar!" kal __
setengah berseru. "Aku pasti. Bang Nuar ada 'didekat-dekat sini. la dalam bahaya..." lanjutnya
pula, seraya meluncur turun dari tempat tidur
Sebelum ibunya sempat mencegah, Ismiaty sudah
berlari meninggalkan kamar, terus ke depan. Pintu
dipentangnya terbuka Lantas menghambur kepekarangan.
Di situ. la tertegun. Bingung. , Dari arah mana tadi, datangnya suara itu
Benarkah ia memang mendengarnya" Atau hanyalah
sekedar ilusi" Bukankah ia baru habis bermlmpi
Sepasang mata lsmiaty membelalak Jelalatan
mengawasi kegelapan malam di sekitarnya. Suasana begitu sunyi. Hening. Suara-suara itu telah
hilang, atau memang tidak pernah ada"
"Mla?" Gadis itu berpaling. Tampak ayahnya
mengawasi dari pintu. "Sebaiknya kau masuk kembali, Nak: bujuk
ayahnya. 'Tetapi. Ayah. Tadi aku mendengar suara
bang..." suara itu memang benar ada. Tak begitu jauh dari
tempatnya. seperti suara berdebuk debuk keras
di permukaan tanah. Disusul pekik histeri: "Lepaskan dia dari aku. Oh, lepaskan..."
'Bang Nuar. Memang dia!" lsmiaty hampir
menjerit Setelah dapat memastikan arah datangnya suara itu, ia berlari-lari menuruni jalan
setapak yang kelihatan samar-samar dalam
jilatan rembulan. Ayahnya lantas menyusul
berusaha mengejar puterinya dengan ...sangat
kuatir. Sekali, lsmiaty tergelincir. Sebelum ia
terjungkal melewati bibir tebing yang curam di
sebelah kiri jalan, sang ayah beruntung tiba pada
waktunya. Gadis itu ia sambar, diseret menjauh.
disertai gerutuan: "ltulah, kalau tak menurut kata orangtua"
"Aduh, Ayah. cepatlah. Kita harus menolong
dia!" jerit lsmiaty tak perduli.
"Aku tahu. Aku tahu. Tetapi biarlah Ayah
berjalan di depan. Namun tetaplah hati-hati melangkah di belakang Ayah..."
Dua tiga menit berikutnya, mereka sama-sama
berhenti waktu menyaksikan suatu pemandangan
ganjil didepan mereka. Di bawah sinar rembulan
yang temaram. tampak sesosok tubuh sedang
membanting-bantingkan suatu benda besar hitam
yang tergantung pada lengan kirinya. sesosok
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh lain dan lebih kecil berusaha membantu
dengan sia-sia. karena sosok pertama begitu
panik sehingga gerakannya menjadi kacau tidak
karuan. Tetapi akhirnya terpegang juga sosok hitam
yang tampaknya adalah anjing itu. oleh orang kedua yang langsung berseru memerintah: 'Lepaskan tanganmu dari keris itu, Cucu.Ayo, bebaskan
tanganmu darinya..."
lsmiaty mencengkeram lengan ayahnya
seraya memohon. "Dia bang Nuar, Ayah. Tolong dia
Dumadi berdesah kalem: "Agaknya, bantuan
kita tidak diperlukan lagi, Anakku..."
Apa yang dikatakan ayah lsmiaty memang
benar. Gerakan liar Januar sudah berkurang;
la berlutut di tanah dengan moncong anjing
masih tetap tergantung pada pergelangan jaketnya. Kakek Amsar yang lebih memahami
situasi mereka, buru-buru mencabut keris
yang terhunjam di lambung anjing yang diam'
tak berkutik itu. Setelah keris tercabut. secara
gaib gigitan anjing pada lengan jaket Januarpun terlepas dengan sendirinya Begitu ia
terbebas, Januar cepat-cepat mundur. Nafasnya tersengat-sangat, sementara bola matanya terpentang lebar mengawasi makhluk hitam berbintik-b intik putih di depannya- Makhluk yang tak berkutik lagi itu.
"Tak usah cemas, cucuku," ujar kakek Amsar
menghibur. 'Anjing sialan ini sudah mati!"
Mereka sama berpaling ketika ada seseorang berlarl-lari mendatangi. Sambil menyebut nama kekasihnya, lsmiaty melepaskan
diri dari pegangan ayahnya dan bergegas kearah Januar. Pemuda itu dirangkul dan dicluml
tanpa malu-malu, sementara isak tangisn ya
terdengar mengharukan. Pemuda itu ia bantu
berdiri. 'Ayo, ke rumah. Kita periksa apakah kau luka,"
ajaknya tersendat-sendat.
Tanpa memperdulikan yang lain, lsmiaty
membimbing Januar mendaki jalan setapak kerumah orangtuanya. Di tempat yang mereka
tinggalkan, Dumadi dan kakek Amsar saling
beradu pandang. Ada beberapa saat lamanya
berlalu, sampai akhirnya kakek Amsar tiba-tiba
meludah ke tanah. 'Maaf, Madi," ujarnya dengan sesungguh
hati. la meludah lagi, seraya menjauhkan keris
dari mukanya. 'Aku bukan bermaksud menghina. Tetapi bau darah yang tercium dari keris
ini, wah..." "Aku mengerti, Paman," sahut Dumadi. 'Perrutku pun terasa mual..."
Kakek Amsar memandangi bangkai anjing
yang tergeletak di dekat mereka. la kemudian
mencari-cari. Setelah menemukan sentemya yang
tadi terlempar. bangkai anjing itu ia terangi. 'Lihatlah," katanya, tercekat. 'Kecuali yang membasahi
kerisku. tak setetes darah pun yang mengalir dari
lambung anjing ini..."
"Barangkali tikaman Januar langsung mengenal jantung. Paman. Dan....'Dumadl tidak segera
meneruskan kata-katanya. la awasi bangkai yang
tergeletak dengan pandangan suram.
'Dan apa, Madi" 'Rasanya aku telah pemah berkenalan dengan anjing ini. Tepatnya, tadi sore. Kakek kan
tahu, atau pernah dengar... aku tidak menyukai
jenis makhluk yang satu ini. Jadi. perkenalan tadi
tentunya sangat tidak bersahabat. Untunglah aku
cukup gesit. sehingga anjing ini dapat kukalahkan
Setelah itu, la pun minggat. Kabur entah kemana
Matanya" Oh, ya, ya. Sempat juga."
"Ingat matanya berwarna apa?"
'Hem... mulanya biasa saja. Seperti mata
kebanyakan anjing lainnya. Lalu kemudian, matanya
tiba-tiba berubah merah."
Kakek Amsar terdiam Keris di tangannya, ia pandangi sejenak.
la membungkuk di tanah. Pada bagian tanah yang
lembut, keris ia hunjamkan sebanyak tujuh kali
Sambil berbuat begitu. mulut orangtua itu terus
berujar: 'Demi hari ke hari yang terus berlalu. Atas
kehendak Allah dan tanah ciptaanNya yang suci
semoga keris ini bersih dari segala noda - dan
dosa!" Dumadi mengerutkan dahi. Bertanya: "Bersih dari noda, aku sependapat.
Tetapi dosa. Paman mengapa Paman katakan"
keris itu berdosa?" "Jangan salah mengerti, Madi! jawab kakek
Amsar seraya membersihkan kotoran pada mata
keris dengan menggosok-gosokkan ke rerumputan. 'Keris ini hanyalah benda mati. Benda
mati tidak bisa melakukan sesuatu. di luar kemauannya sendiri. Sebuah benda mati. baru
mampu melakukan sesuatu itu apabila ada tenaga
penggerak dari luar. Lewat tangan manusia yang
mempergunakannya Atau, dengan bantuan
kekuatan alam dengan tenaga gaibnya yang
misterius...! 'Lalu. Paman. Kaitannya dengan dosa?"
"Tergantung" "Dari"' 'Tenaga penggerak itu."
. 'Januan Jadi, Januar yang membuat dosa itu
terjadi?" Kakek Amsar berdiri perlahan-lahan. Dipandanginya wajah lawan bicaranya dengan sorot mata
tajam. Menghunjam. seakan yang ingin dihunjamkannya bukanlah sorot matanya. melainkan mata
kerisnya Nada suaranya tenang dan datar ketika
re berusaha menjelaskan: 'Dosa itu tidak ada
sangkut pautnya dengan Januar. Ia melakukan
apa yang semestinya dilakukan oleh seorang
manusia lemah yang tak berdaya. Usaha pembelaan diri yang terpaksa ia lakukan pada saatsaat terakhir. Lebih tepat, kalau kukatakan bahwa
dosa itu datang dari pihak sl penyerang!
anjing ini?" Dumadi menuding ke bangkai di
samping . "Boleh jadi. Tetapi dapat pula berasal dari'
kekuatan yang mendorong anjing ini untuk menyerang Januar. Dan aku percaya, kekuatan itu
bersifat gaib. Dan, jahat!"
Dumadi batuk-batuk kering. 'itu pula yang
mendorong anjing ini menyerangku sore tadi?" ia
nyeletuk pelan. Kakek Amsar memikirkan kemungkinan itu
dalam benaknya. Muncul suatu gambaran yang.
kacau, yang membuat orangtua itu akhirnya ia mendesah tak menentu: 'Entahlah. Segala sesutu
tampaknya serba membingungkan."
Dumadi memungut bangkai itu. Melemparkannya jauh~jauh ke dalam kegelapan lembah di
bawah mereka. "Cara praktis." ia membela
'Daripada harus menambah kebingungan lagi
untuk menentukan di mana tempat yang layak buat
anjing itu kita kuburkan," ia kemudian tersenyum
"Mengapa kita tidak membicarakannya di rumah..
Paman?" 'Tak keberatan aku berkuniung?"
'Ah. Tak usahlah menyindirku lagi. Paman
Tahukah, sudah berapa lama waktu berlalu sia-sia
tanpa kita sempat omong omong panjang lagi
seperti sekarang ini?"
Undangan Dumadi disambut kakek Amsar
dengan gumaman haru: 'Alhamdulillah. Sianak
hilang telah kembali..."
Malu, Dumadi membela diri: "Keadaan yang
memisahkan kita, Paman. Jauh di sanubari, ikatan
keluarga masih berakar cukup dalam. Paling tidak.
ingatan. Bahwa Paman pernah jadi saksi pernikahanku."
Tersaruk-saruk di belakang Dumadi mendaki
jalan setapak yang membelok-belok di antara
hutan ilalang, kakek Amsar berdesah panjang.:
'Seolah baru kemarin terjadinya. Saniah menunduk. Menyembunyikan muka. Malu. Dan gugup.
setengah mati. Saking gugupnya. ketika dita
penghulu apakah dia bersedia kawin eh,
dia malah bangkit berdiri. Lalu tanpa permisi.
berlari-lari kecil ke kamar mandi. Tak kuat menahan kencing..."
Lengan jaket Januar robek-robek. Setengah
hancur. Untung jaketnya terbuat dari jeans tebal
dan keras. Sehingga gigitan taring-taring anjing
itu hanya menimbulkan goresan-goresan kecil
pada lengannya. Sementara lsmiaty terus memeluk dan menangisi Januar, ibunya sibuk membuatkan air panas yang direndami garam dapur.
Rendemen air garam itu dibasuhkan Saniah ke
Iuka~luka gores di lengan Januar. Rasanya menyengat. Membuat Januar meringis.
"Sabarlah ! bujuk Saniah. 'Yang penting, kuman-kumannya mati!
Januar berusaha menahan gengsi. Namun toh
ketika Saniah kemudian membalurkan kunyahan
sirih campur air tembakau ke luka-lukanya. Januar
berkeluh kesah juga. "Anjing bangsat itu" ia memaki-maki. "la menyerangku. Hanya aku !'
"Maksudmu kau suka apabila aning itu juga
menyerang kakek?" lsmiaty nyeletuk.
'Oh. bukan. Bukan begitu. Aku cuma merasa
heran saja..." desah Januar buru-buru. seraya
memperhatikan bagaimana Saniah membalut
lukanya dengan secarik kain bersih.
"Lebih enakan sekarang?" tanya perempuan
itu. tersenyum. 'Ya. Bu. Terimakasih."
"Tentang anjing itu tadi. Betulkah ia hanya
menyerangmu?" 'ltulah. Padahal, kakek Amsar beberapa kali
berusaha memukuli atau membacoknya. Wah,
hebat bila kuingat~ingat bagaimana pintarnya anjing itu berkelit. Selamat berkelit, ia tetap tak ambil
pusing orang yang mau menyerangnya Aku lagi,
aku lagi yang dikejar!"
"Heran ya," bisik lsmiaty. Kuatir.
"Tetapi anjing itu belum apa-apa. Warna mata
dan sikapnya memang aneh. Lebih aneh lagi,
adalah ular sanca itu....'
lsmiaty bergidik. "Ular"'
'Ular gaib, Mia. Muncul tiba-tiba, lalu raib pula
tiba-tiba setelah keris kakek Amsar..." Januar lalu
menceritakan peristiwa yang dia alami malam
sebelumnya. Juga malam-malam lain semasih ia
di kota dan tengah memikir-mikir untuk menyusul
lsmiaty ke kampung ini. Saniah ikut mendengarkan sebentar. sampai ia lihat suaminya muncul dipintu diiringi oleh kakek Amsar. Perempuan itu
segera pergi ke dapur. Membuatkan minuman
untuk tamu-tamunya Dumadi mengawasi puterinya sejenak. Kemudian menggamit kakek Amsar agar ikut bergabung saja dengan Saniah di dapur. "Biarlah
mereka ngobrol dengan leluasa," ujarnya seraya
mengerling ke arah lsmiaty. "Kita ngobrol di dapur
saja. Kukira Saniah masih punya persediaan tepung jagung. Akan kusuruh dia memasak bolu
kukus...! 'Ah. Perutku mendadak lapar mendengarnya,"
sambut kakek Amsar tersenyum. Sambil nguntit
di belakang Dumadi. tak lupa ia juga mengerling
ke arah Januar. Sebagai peringatan halus agar
memanfaatkan situasi sebaik-baiknya.
Usai menceritakan pengalamannya, Januar
langsung menembak: 'Mia. Mengapa kau tinggalkan aku tanpa bilang-bilang?"
Setelah agak lama terdiam, lsmiaty akhirnya
bergumam, setengah mengeluh: "Aku mendadak
sakit tanpa sebab yang jelas, Bang. Rasanya,
lambungku bagai ditusuk-tusuk di sebelah dalam."
"Tak ke dokter?"
"Sudah" "Apa dia bilang" Maag?"
"Dokter bilang, aku sehat-sehat saja. Mungkin
hanya masuk angin, katanya Lalu aku diberi
resep. Tetapi obat yang kubeli dari apotik, tidak
menolong. Rasa sakit itu malah menghebat. Oomku sampai panik. Untung ayah keburu datang dari
kampung. Lalu aku diboyong pulang."
'Berobat di sini?" "Yak 'Berhasil?" "Sakit perutku memang hilang. Tetapi, Bang
Nuar....' lsmiaty berpikir sebentar. Mencari kalimat
yang tepat dan bijaksana agar kekasihnya mau
mengerti. "Aku masih perlu berobat. Paling sedikit.
satu dua hari ini. Setelah itu..."
lsmiaty mendadak terdiam sendiri.
Setelah itu, apa" Kalau la beruntung tetap hidup,
Kalau tidak" Haruskah ia menjelaskannya pada
Januar" Menceritakan cara pengobatan terakhir,
yang akan dijalaninya, bersama ayahnya" `
Keliru tanggap, Januar bergumam cepat: "Aku
akan menunggu. Mia. Jangankan satu dua hari.
Berapa lama pun akan kutunggu. Aku tak akan
pulang, tanpa kau ikut denganku!"
'Jangan. Bang!" desis ismiaty. getir.
'Mengapa" Kau kuatir akan kuliahku" Pekerjaanku" Aku dapat..."
Ismlaty gelang-gelang kepala. "Bukan itu,
Bang," katanya. 'Ingat percekcokan kita tadi pagi?"
"Sudah kulupakan. Mia."
ismiaty tersenyum pahit. "Jangan berdusta.
Bang Nuar.' "Sungguh ! 'Kau berpura-pura." 'Apa boleh buat!" keluh Januar. Jujur. menyerah. 'Tetapi tak masuk di akalku, bahwa kau .
sudah..." ia genggam tangan gadis itu erat-erat. la
pandangi sepasang mata Ismiaty. penuh harap.
"Berterus teranglah Mia. Katakanlah bahwa kau
masih tetap Mia yang kudambakan. Mia dengan
cintanya yang murni. Mia yang dirinya tetap suci,
sebagaimana pernah kau janjikan!"
lsmiaty gemetar. Matanya basah. 'Kalau saja aku tidak begitu takut menghadapi
kematian. Bang Nuar..." katanya. gemetar.
"Apa yang kau bicarakan ini. Mia?"
"... aku akan mati. Bang Nuar."
'Setiap orang juga akan mati. Jadi...!
'Tetapi. Bang Nuar. Apakah setiap orang tahu
kapan ia _akan mati" Tahu bagaimana caranya
kita sadari, betapa sakit dan menyerahkannya
saat-saat kematian itu?"
'Kau membuatku bingung. Mia."
"Karena kau bukan orang yang kebetulan
termakan kutuk, Bang Nuar !'
"Omong kosong. emang ada kudengar. Tetapi sedikit pun aku tidak mempercayainya!"
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa aneh
yang kau alami, Bang Nuar?"
"Bagaimana dengan empat orang adik-adikku
yang sudah almarhum" Dua dari mereka, cara
kematiannya hanya kudengar-dengar. Tetapi dua
yang lain, kusaksikan dengan mata kepala sendiri..." lsmlaty berubah pucat pasi. la seakan
bicara pada dirl sendlri ketika melanjutkan: "Dapatkah kau bayangkan. bagaimana adikku yang
telah lumpuh semenjak lahir... mendadak dapat
berdiri merampas kapak yang sedang dipegang ayah"
aku sedang menjemur cucian ketika sobara tiba2 turun dengan terpincang2
dari pintu dapur. Terpincang pincang. Bukan
merayap sebagaimana biasa. la berjalan! Lalu
mendekati ayah yang tengah membelah kayu
bakar. Selagi ayah tercengang ta'jub, dia
tahu-tahu sudah memukulnya. Bayangkan!
luar biasa. Bayangkan, bagaimana ayah yang bertubuh kekar kokoh jatuh terkapar olehnya. hanya dengan sekali pukuL... Dan selagi ayah bangkit
sempoyongan dengan kepala pening, dan
masih terkesima tak tahu harus berbuat apa.
Sobara mendadak mengampaki diri sendiri.
mekampaki dada dan kepalanya sendiri..."
januar Lebih merinding lagi setelah merasa
tekanan demi tekanan suara lsmiaty, yang berbicara dengan tubuh tegang kaku dan kelopak'
mata tidak berkedip. Liar, bagai kesurupan. Nafas tersengal2
mlutnya terus juga menceracau: "Coba lihat si
Sunarti. Betapa gembiranya ia dibawa jalan-jalan
ke kota. Berteriak-teriak riang, berlari kian kemari
tanpa kenal cape. Padahal Kebon Binatang ragunan di Jakarta begitu luas, dan ia tetap ingin
berkeliling. Lagi dan lagi. Entah karena letih entah
karena apa. ketika ia digendong ayah untuk lebih
dekat melihat beruang-beruang liar dan ganas...
mendadak Sunarti terlepas begitu saja dari pegangan ayah. la jatuh ke bawah. Langsung disambut oleh cakar cakar dan taring-taring binatang buas yang kelaparan itu. Lihat wajahnya yang
rusak... tubuhnya yang hancur berantakan..."
Mulut lsmiaty masih terbuka.
seperti masih banyak yang ingin ia ceritakan.
Begitu pula matanya,... Terpana sesaat, Januar kemudian :menyentuh
pundak gadis itu. "Mia" bisiknya, tercekat
Dan, tubuh Mia meluncur dari kursi.
Pingsan. ENAM BELAS TENTANG adik-adiknya saja yang diceritakan.
ismiaty. Ia tidak menceritakan pengalaman lain
yang sama buruknya: dengan ibunya. Saniah.
Nasib malang perempuan yang satu itu. diceritakan oleh Santika,sang dukun di siang harinya.
kurang patut menceritakan hal ini sebenarnya." orangtua itu berusaha cuci tangan'Akan tetapi, untuk meyakinkan Anda berdua...
terutama Nak Januar betapa berat dan berbahayanya persoalan yang kita hadapi, apa boleh
buat. Barangkali kalian sudah pernah mendengar... apa sebab salah seorang adik ismiaty
menjadi lumpuh. Saniah berusaha menggugurkan
Sobara, selagi bayi itu masih dalam kandungan.
Saniah ingin menentang kemauan dan kekuatan
setan. la gagal. Anaknya tetap lahir. Cacat pula
Suatu aib. yang dikehendaki sang setan, karena
mencoba menentangnya. Tetapi setelah anak mereka kemudian tinggal satu-satunya, ismiaty....
Dumadi serta Saniah' kembali nekad."
Tak lama setelah Sunlarti meninggal dirobek-robek beruang, lsmiaty dibawa orangtuanya pergi
berobat ke seorang dukun masyhur di Pameungpeuk sebelah selatan Garut. Mereka ingin puteri
mereka itu dibersihkan dari kutuk. Sang dukun.
seorang kakek tua renta menerima mereka de
ngan uluran tangan terbuka. 'Yang lebih dulu
harus dibersihkan, adalah ibu yang melahirkan."
kata dukun tersebut. Dumadi dan puterinya disuruh menunggu di
ruang tamu. Saniah dibawa masuk ke sebuah
kamar. Karena terlalu lama menunggu. Dumadi
curiga la buka pintu kamar secara diam-diam.
Dan menemukan isterinya tengah disetubuhi oleh
lelaki tua renta itu. Dengan kalap, Dumadi memukuli dukun ltu sampai terpingsan-pingsan, disaksikan oleh lsmiaty. Sementara Saniah meratap
mengatakan dukun itu tidak bersalah.
' .. ada semacam dorongan gaib yang merangsangku tiba-tiba, begitu aku ia baringkan di
tempat tidur." tangis Saniah. 'Aku tidak tahu mengapa. Tiba-tiba saja aku berubah berlngas...."
Dukun yang kepayahan itu mengakui hal yang
sama Sambil mengusap darah yang membanjir
dari hidung dan mulutnya si tua renta itu mengeluh. "Mata isterimu tiba-tiba menjadi merah.
Selagi aku kebingungan, tahu-tahu ia menerkam
aku...." Ditanya mengapa ia mau diajak berbuat
tak senonoh. orangtua itu menjawab kalem: 'Aku
dipaksa, lagipula, aku kan laki-laki normal...."
Dumadi sangat terpukul dengan peristiwa memalukan itu. la tidak menuntut sang dukun, tidak
pula menceraikan isterinya. Peristiwa itu ia anggap
sebagai realisasi dari kutukan sang roh: usaha
menentang hanya akan menimbulkan aib. la beserta anak isterinya merahasiakan aib itu. Tetapi
kabar pun cepat tersiar di antara sesama dukun.
Hal ini dikarenakan. orangtua yang dimintai tolong
oleh Dumadi itu, justeru termasuk golongan dukun
berilmu putih! 'Sayangnya, ketika itu, aku dan Dumadi sudah
lama tidak saling berhubungan..." Santika menjelaskan. "Beberapa anak serta cucuku yang; sudah menikah. bertebar di berbagai daerah. Mereka
memaksa kukunjungi sebulan dua bulan di satu
orang. Aku setuju saja. Selain melepas rindu, juga
untuk menambah pengetahuan dengan mempelajari ilmu llmu setempat. Setelah akhirnya aku
pulang, kabar buruk itu sampai ke telingaku. Aku
segera menghubungi Dumadi. Setelah lama kubujuk-bujuk, barulah ia akhirnya menceritakan
semua isi hatinya. Bermula dari kepergiannya kehutan. Untuk mencari obat penyembuh isterinya
yang mati sebelah badan...."
Sembari mempersilahkan kedua tamunya menyantap hidangan yang disediakan oieh salah
seorang pembantunya, Santika kemudian bertanya: 'Keterangan apalagi yang kalian peroleh
dari Dumadi beserta anak isterinya?"
Januar menjawab lebih dulu. karena ia yang
pertama kali dipandang tuan rumah: "Tak ada lagi.
Setelah Mia siuman, ia hanya memohon agar aku
pulang dan menunggu..."
'Dan. Bapak?" Santika berpaling pada tamunya yang lain.
Kakek Amsar angkat bahu. 'Dumadi tetap
menerirnaku sebagai orang yang dituakan dalam
keluarga. Tetapi hanya sampai di situ. Mengenai
kesulitan yang la hadapi, la hanya mengatakan
agar aku tetap tidak melibatkan diri. Dengan
tambahan, kalau dalam hari-hari mendatang ini
ada terjadi sesuatu atas dirinya, ia memohon agar
aku bersedia menjaga dan mengurus anak serta
isterinya..." Kakek Amsar menghela nafas panjang. Lanjutnya "Karena itulah kami putuskan
untuk datang menemui Bapak sekarang ini. Siapa
tahu, kami dapat membantu..."
"Dumadi tahu kalian ke sini?"
'tidak' 'Baiklah." Santika mengelus dagu. 'Aku tidak
pernah meragukan kemampuanku sendiri. Namun
dengan jujur harus kuakui. Menghadapi masalah
yang satu ini, aku didatangi firasat yang kuat.
Membisikkan, bahwa resiko besar harus kuhadapi
kalau aku terus membantu Dumadi memerangi
roh jahat itu. Tetapi, yah,... orang orang semacam
kami. biar sudah langka, pantang menelan liur
yang sudah diludahkan. Meski, kematian sebagai
taruhannya. Benar, aku sudah punya gambaran
dan rencana sendiri untuk mengatasi kesulitan
yang dialami Dumadi beserta anak isterinya. Tetapi seperti telah kukatakan tadi. firasat buruk
menyebabkan aku masih ragu mengambil keputusan akhir. Bukan mengenai keselamatan diriku sendiri. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki
aku mati, bagaimana aku dapat menolak?" Santika
mengelus dagunya lagi. Wajahnya yang tadinya
tenang. pelan-pelan berubah keruh. Katanya:
"Yang kukuatirkan adalah. apakah aku tidak mengambil kesimpulan yang salah?"
la kemudian 'mengawasi Januar. Berkata: "Lebih banyak yang membantu, ada kalanya lebih
balk. Karena itu. coba Nak Januar katanya. _
dulu. Bagaimana asal muasal sampai Nak Januar
melibatkan diri?" Januar bercerita apa adanya.
Selesai Januar bercerita. tuan rumah berkata
tajam' Tahukah Nak Januar, apa yang kita'
hadapi" Sebelum menjawab, Januar lebih dulu mencuri pandang ke arah kakek Amsar. Orangtua itu.
tersenyum. menguatkan. Barulah Januar menjawab:
'Setan' --- Sepeninggal tamu-tamunya, Santika termenung-menung sendirian. Berpikir keras: "Mengapa justru dia?"
Pikiran serta ingatannya terus menerawang.
Dukun beranak itu pun terlibat langsung. karena
membantu usaha menggugurkan kandungan Saniah. Dukun beranak itu tidak mengalami nasib
buruk. Kecuali penyesalan setelah mendengar
bayi yang coba ia gugurkan. akhirnya terlahir
cacat Dukun sial dl Pameungiauk itu juga. Orang-tua itu memang sempat dipukuli Dumadi. Tetapi
hukuman itu terlalu kecil. Tidak berarti. dibanding
dengan kenlkmatan luar biasa yang la peroleh dari
tubuh Saniah. Kemudian, kakek Amsar. Ular jadijadian di kamar tidur cucunya. .
Juga anjing edan di dekat rumah dumadi.
Lalu. Santika sendiri. Sudah dua tiga tahun
terakhir ini ia terlibat dalam usaha membantu
Dumadi menentang kutukan roh jahat itu.
firasat buruk. Santika belum pemah mengalami
gangguan berarti apalagi ancaman langsung. Masih ada beberapa nama lainnya. Yang pernah
coba-coba membantu keluarga Dumadi. Yang
akhirnya ditolak, atau usahanya gagal total. Namun. seingat Santika tidak seorang pun yang
menerima akibat mengerikan.
Tiba tiba Santika menepuk jidat sendiri. Menggerutu: "Ya, ampun. Mengapa tidak kutanyakan
tadi silsilah keluarga Januar. Siapa tahu, ia punya
pertalian darah langsung dengan lsmiaty...."
Pertaiian darah" Bingung lagi Santika. Bukan satu dua orang
keluarga, baik itu dari pihak Saniah maupun Dumadi. yang pernah ikut-ikutan pula melibatkan diri.
Mereka juga tidak menderita apa-apa Kalaupun
ada yang sakit dan mati, maka sakitnya karena
sakit biasa; meninggalnya pun karena mati wajar.
Benar, kakek Saniah menerima nasib naas. Mati
tersate pagar pekarangan rumahnya. Tetapi itu
karena kakek Saniah melanggar pantangan, bukan karena maksud membantu cucunya dari akibat kutuk roh jahat di padang tandus
terpencil itu. Maka. pertalian darah bukanlah jawaban yang tepat. Lalu apa" Pikiran-pikiran yang membingungkan Santika,
juga menggelisahkan alam pikiran Januar. Mengapa hanya dia seorang yang mengalami ancaman langsung" Sepanjang perjalanan pulang
ke rumah, Januar sibuk memeras otak untuk
mencarikan jawabannya. Sementara kakek Amsar
yang seperjalanan dengannya, agaknya tak berselera pula untuk berbicara. Entah apa yang
dipikirkan orangtua itu 'tiba di rumah. nenek amsar meminta tolong
pada suaminya untuk menyembelihkan salah seekor ayam mereka buat hidangan makan malam.
Setelah ayam yang dimaksud berhasil ditangkap
kakek Amsar, sekedar merintang-rintang pikiran
gundah Januar menawarkan diri untuk mengerjakan tugas berikutnya. Ayam tangkapan itu seekor
ayam jantan muda yang gemuk dan sehat. Sementara jari jemari Januar mencabuti bulu-bulu
pada leher ayam. mulutnya kumat~kamit memanjatkan do'a. Kemudian pisaunya bekerja. Leher
ayam hampir putus oleh tajamnya mata pisau.
Pembuluh menganga. Darah pun menyembur...
'Berahi' rungut Januar tersentak, sementara
la membiarkan ayam yang sekarat itu terlonjak-lonjak d tanah untuk menentang datangnya el-maut. 'Aku ingat sekarang. Darah...."
' Kakek Amsar yang duduk sambil menyulut
sebatang rokok yang menempel di bibir tuanya,
bertanya ingin tahu: "Ingat apa. Cucu?"
'Darah !' jawab Januar. 'Darah apa" Ayam?"
'Bukan. Apa yang mendadak teringat olehku,
adalah bisikan gaib yang konon telah diterima oleh
pak Santika. Urutannya satu persatu aku tak jelas.
la menyebut nyebut empat perkataan: " cinta...
suci... perawan... darah...."
'Lantas "' "heem..." Januar menggeram. "Apa ya" Kok
urutan-urutan empat perkataan itu dapat kurangkaikan menjadi satu kalimat lengkap dan punya
makna. Darah suci perawan cinta. ah... bukan.
Cinta suci darah perawan... bukan juga. Cinta
darah perawan..." 'Sungguh suatu teka-teki yang rumit," nyeletuk
kakek Amsar sambil memungut bangkai ayam dari
tanah dan menyerahkan pada isterinya di dapur.
Tak berapa lama kemudian. ayam itu telah terhidang di atas meja makan dalam wujud yang
merangsang selera. Namun nenek Amsar terpaksa harus menelan kekecewaan. karena hidangan yang dimasaknya dengan susah payah
itu hanya dicoel sedikit-sedikit saja baik oleh suami
maupun Januar. Kedua orang itu lebih tertarik
untuk memecahkan jawaban teka-teki yang mereka hadapi. Karena sia-sia menemukannya, Januar lantas mengumpat:
'Akan kubunuh orangtua itu!"
Santika?" desah kakek Amsar. Terkejut.
'Bukan' "Siapa kalau begitu?"
"Ayah Mia." 'Lho...." 'Akan kubunuh dia!" umpat Januar tak perduli,
dengan tangan mengepel marah. "Sekali ia sentuh
kekasihku. ia akan rasakan sengatan tinjukul'
'Tetapi, Cucu. la calon mertuamu. bukan?"
"Calon mertua" Bah!"
'Lho. Kok gitu....' 'Habis. Ayah macam apa dia itu" Mau saja
disuruh memperkosa anak kandungnya sendiri."
'Terpaksa. Cucu..." jawab kakek Amsar. Sumbang. Setengah melecehkan.
"Hah, terpaksa ya. Padahal. hem. Sebenarnya, ia menggandrungi puterinya. ingin mencicipi
kesegaran perawan Mia....'
'Astagfirullah, Cucu. Mengucaplah !'
Januar membantingkan tinju ke pahanya sendiri. Sakit alang kepalang, tetapi tidak diperdulikannya benar. la terus memaki: "Semua ini karena
kebodohannya Ketololannya. Kemunafikannya.
Kedurhakaannya. Mengingkari Tuhan. dengan
pergi menyembah kuburan keramat di hutan belantara itu. Sungguh memalukan!"
"itu aku sependapat, Cucu. Tetapi agaknya
kita tidak boleh mengabaikan hal-hal lain. Waktu
itu, Dumadi sedang panik akibat penyakit isterinya.
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangan lupa pula. Daerah ini dulunya dikuasai
oleh orang-orang yang menganut kepercayaan
gaib, mereka hidup dalam dunia mistik... yang
sampai hari ini. masih dianut sebagian orang.
Masih ada lagi. Setiap manusia, punya kelemahannya sendiri-sendiri. Dan, sungguh celakalah seseorang kalau yang jadi titik lemahnya justru pada
iman!" Dalam rumah terpencil di kaki bukit, tokoh-tokoh manusia yang mereka percakapkan tak
kurang-kurang gelisah dan ketakutan. lsmiaty tidak bisa terpejam. ingatan mengenai hubungan
cintanya dengan Januar tenggelam oleh serbuan
ingatan peristiwa kematian demi kematian yang
menimpa adik-adiknya. Mereka berempat mati
dengan cara berbeda-beda, namun yang satu tak
kalah mengerikan dengan yang lain. Cara kematian bagaimana pula yang telah ditentukan atas
dirinya" lsmiaty mencoba mengingat Tuhan. Mendekatkan diri. Bertanya. Memohon tak putus-putus.
Tanpa memperdulikan pandangan prihatin kedua
orangtuanya, ia bersujud dl sajadah. Memohon
petunjuk dari' Yang Maha Pencipta. 'Tetes Rachman dan Rakhimmu kumohonkan ya Allah...l' ia
berdo'a. Diseling-seling dengan bayangan-bayangan mengerikan, perasaan takut berdosa, dan
akhirnya takut mati Saniah hanya bisa berlinang air mata. Sebentar-sebentar tangan kanannya diusap-usapkan ke lengan dan paha kiri, sampai ke ujung jari
kaki. Akan lumpuh kembalikah ia, sebagaimana
dijanjikan setan terkutuk itu" Oh, ohl Biarlah ia
lumpuh seluruh badan. Mati sekali pun jadi. Asal
puterinya tercinta selamat...
Dumadi mundar mandir di dalam dan di luar
rumah. Bara api di tungku membangkitkan kemarahannya. Sinar rembulan yang merangkak
perlahan di langit kelam. membangkitkan ketakutannya Di balik bara api itu la seakan melihat
sorot mata sang makhluk penghuni kubur yang
pernah mengutuknya. Di balik bayangan rembulan
seakan ia melihat sosok-sosok tubuh kecil
meliuk-liuk dl batu aitar. kemudian terbang terputus-putus oleh sabetan goioknya.
Terngiang di telinganya kutukan roh
itu: "Kau akan beralih rupa menjadi makhluk
dina, setimpal dengan pengkhianatanmu.
Dumadi meninju-niniu kepala. sampai
berdenging. la berlari masuk ke rumah. Hampir bertubrukan dengan Saniah yang memang bermaksud pergi
ke luar untuk melihat setinggi mana sudah rembulan mendaki bukit. Dalam kemarahannya. Dumadi menggeram pada isterinya:
"Mau ke mana kau?"
"Melihat waktu..." jawab Saniah. gemetar.
"Ha! Melihat waktu ! Pura-pura belaka. Padahal, waktu yang persis kau sudah tahu kapan
jatuhnya !' "Apa maksudmu. Kang Madi?"
"Jangan berlagak pilon. Kau kira aku tak tahu
siapa kau ini sebenarnya..."
'Kang Madi!" Saniah membelalak. Pucat. semakin pucat "Bila kau pikir akulah yang bertanggungjawab atas semua azab sengsara ini, baiklah.
Kuterima. Tapi hendaklah Kang Madi camkan. Aku
tak pernah menyuruh Kang Madi menemui roh
terkutuk itu... sambil menyetubuhinya pula!"
Bagai ditampar muka dumadi mendengarnya.
"Kau mau bangkit-bangkit kesalahanku ya?"
"Tidak ada gunanya mencari siapa yang salah.
Kang Madi. Nasi telah menjadi bubur. langkah
telah dilakukan Lebih baik kita hadapi kenyataan
di depan mata kita sekarang ini. Sebagai contoh:
kang Madi kukira merahasiakan sesuatu dari aku.
Kuperhatikan pula, tingkah laku Kang Madi agak
lain sejak kemarin sore. Kang Madi berubah kaku
dan tak mau ngobrol. Seakan Kang Madi berusaha
menjauhi aku. Mengapa?"
Diserang bertubi-tubi begitu, mau tak 'mau
membuat Dumadl tersadar seketika. Teringat penjeiasan Santika "Yang menyetujui rencana sebusuk itu, jelaslah pribadi lain. 'Bukan pribadi
Saniah!" Terbukti kini, bahwa sebenamya Saniah
tidak mengetahui puteri kesayangannya akan diperkosa Dumadl, suaminya sendiri... yang nota-bene adalah ayah kandung puterinya pula. Bukti
itu membuat Dumadi bergidik ngeri. Apa reaksi
Saniah, seandainya pribadinya yang asii mengetahui apa yang akan diperbuat Dumadl pada puteri
kesayangan mereka" Muncul pula pikiran sebaliknya: apakah yang bertanya 'itu pribadi lain. yang
telah memperbudak raga Saniah"
Roh jahat terkutuk itu mau menjebaknyal
Dumadl menghela nafas. Tanpa punya keberanian menatap langsung ke mata isterinya. ia
berpaling ke arah lain seraya bergumam kecut:
'Sudahlah. lyah. Tak usah kita perpanjang lagi
pertengkaran ini. Waktu kita tinggal sedikit !'
Dumadl benar. Malam terus merambat. Dan, rembulan terus merangkak. Tersentak-sentak dari balik awan yang satu ke balik awan
yang lain. Mengintip diam-diam. Dengan wajah.
setengah mencemooh manusia-manusia di permukaan bumi, yang berkeliaran dengan segalakehina-dinaan masing-masing.
TUJUH BELAS PUKUL sembilan malam Santika mengetuk
pintu rumah kakek Amsar di kampung Ciasem.
Satu jam lebih cepat dari waktu yang mereka
janjikan semula. Begitu ia berhadapan dengan
Januar. ia langsung bertanya: 'Apakah kau punya
pertalian darah dengan lsmiaty?"
'Pertalian darah" Januar keheranan. 'Bagaimana mungkin. Orangtua maupun leluhurku. semua asli orang Sumatera. Sedang Mia, setahuku
asli berdarah Sunda..."
Sambil menghenyakkan pantat di tempat duduk, Santika mendengus: "Kalau begitu. jawabannya adalah perpaduan darah."
"Perpaduan darah?" Januar makin heran.
"Ya, Apakah selama kau dan lsmiaty berhubungan, salah seorang dari kalian mengalami
kecelakaan yang seorang menyumbangkan darahnya untuk ditranfusikan ke yang lain"
'Lucu !' sahut Januar. Tetapi ia tidak tertawa.
Pikirannya bekerja: perpaduan darah" Dan mulutnya berkata antara sadar dan tidak: 'Mia sehat-sehat saja. Kuyakin, aku lebih sehat lagi. Mia
memang sekali dua marah2, terutama kalau
sedang menstruasi. Oh, ya. ya. Berbicara soal
darah. aku teringat oom Mia pemah cerita Tahun
tahun sebelumnya Mia selalu semaput kalau me
lihat darah. Jangan dikata lagi kalau ia menstruasi.
Mia alergi melihat darah. Baru kini aku tahu
sebabnya. Tentu dikarenakan peristiwa-peristiwa
berdarah yang disaksikan Mia terjadi atas diri `
adik-adiknya..." Januar geleng-geleng kepala,
matanya membayangkan keprihatinan. Oomnya
sangat menguatirkan masa depan Mia. Bisa berbahaya kalau penyakit alergi Mia dibiarkan. Setelah konsultasi ke dokter jiwa. oom Mia nekad
membawa gadis itu ke rumah jagat. atau ke rumah
sakit. Akibatnya memang merepotkan. Tetapi lama
kelamaan Mia terbiasa. Lalu diputuskanlah agar
Ma kuliah di Fakultas Kedokteran. Mia makin
banyak dan semakin sering melihat darah. Sehingga akhirnya penyakit alergi Mia lambat laun
hilang. Memang suatu metoda untung untungan.
namun ternyata memberikan hasil positif...."
'Begitu banyak darah," keluh Santika. setelah
mendengar cerita Januar. 'Namun aku belum
melihat hubungannya dengan dirimu. Mengapa
justru kau yang diancam, diperingati, bahkan
mendapat serangan langsung" Mengapa bukan
aku, atau misalnya dia?" tanya Santika, seraya
menuding ke arah kakek Amsar yang duduk
tegang di sebelahnya. Januar mengeluh pula: 'Tadi aku melihat titik
terang. Sayang tak keburu kutangkap. Titik itu jadi
gelap lagi. Entah nanti..." ?
'Pikirkan itu, Nak !' bisik Santika. tajam. "Setiap
kesempatan. walau kecil sekali pun harus kita
pikirkan dan manfaatkan. Sungguh mati. aku sangat tidak menyukai gagasan busuk itu. Seorang
ayah menyetubuhi anak kandungnya sendiri!"
Kakek Amsar yang diam saja dari tadi. nyeletuk sambil lalu: "Hampir tak masuk di akalku.
Kita saja sudah panik dan tegang begini. Konon
pula Dumadi. Bagaimana mungkin dalam suasana
perasaan begitu rupa, ia akan mampu menyetubuhi lsmiaty" Bicara soal..." ia mengintip ke pintu
dapur, kuatir isterinya ikut mendengar. "Bicara soal
jorok-jorokan," lanjutnya seraya menyeringal. "Dapatkah kejantanan Dumadi terbangkit pada saat
ia dilanda frustrasi dan ketakutan?"
"Aku pun memikirkan kemungkinan itu pula
jawab Santika. 'maka itu, jauh jauh hari telah
kusiapkan obatnya. Biji-biji tertentu kugiling bersama permen karet. Supaya menyatu.lengket.
Setelah diramu dan dijampi. permen itu pada
saatnya harus dimasukkan Dumadi ke mulutnya.
Begitu sarinya ia isap, birahinya akan terbangkit
seketika. Dengan mudah ia akan memasuki tubuh
lsmiaty. Begitu selaput darah lsmiaty pecah. dengan sendirinya darah akan memercik. Jadi Dumadi tidak usah masuk terlalu dalam. la langsung
dapat menarik diri, dan...."
'Menarik diri, hahl' cemooh Januar. sebal.
"Mana ia mau" Sekali ia masuk. ia akan
masuk dan masuk. Sampai nafsu bejatnya terlampiaskanl'
'Betul !' timpal kakek Amsar. sependapat. "itu
betul. Bagaimana pun, Dumadi tetap saja laki-laki.
Pakai obat perangsang pula!"
Santika tersenyum tipis. 'Bagus. Bagus!" cetusnya. "Kalau kalian saja bereaksi semacam itu,
memperbudak Saniah. Roh jahat yang mempunyai
sifat cabul pulal' 'Persetan dengan roh terkutuk itu!' umpat
Januar, muak. "Aku lebih mementingkan lsmiaty.
Kesuciannya tidak akan kurelakan dikotori benih-benih nafsu bejat ayahnya!"
'Tenanglah, anak muda! Santika menyabarkan. "Kau punya pandangan keliru mengenai sifat
Dumadi. Kemarin siang, waktu kami pergi mencari
biji-bijian itu, la tak henti hentinya menyumpah
serapah. Dia pula yang membuka pikiranku untuk
mencari obat pemunah...."
"Obat pemunah?" Januar tertarik minatnya.
'Benar. Obat pemunah rangsangan birahi.
ltulah sebabnya. setelah biji-bijian digiling bersama permen karet. aku menjampinya. Pengaruh
obat itu akan punah di saat selaput darah lsmiaty
pecah. Birahi Dumadi terbunuh pula seketika.
Dengan demikian ia akan segera menarik dirinya,
lantas bersiap-siap bersama puterinya untuk
menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi..." "Kemungkinan apa misalnya?"
'Ah. Nak. Baiklah kita teruskan pembicaraan
kita sambil kita pergi melaksanakan rencana kita
tadi siang. Bapak bersikeras untuk tetap ikut" ini
berbahaya!" ujar Santika seraya memaling pada
kakek Amsar. Orangtua itu menjawab tuntas: "Umurku tinggal sedikit. Kuingin yang sedikit itu kumanfaatkan
untuk menolong menyelamatkan jiwa dua orang
cucuku .!' Perhatian Santika kemudian teralih ke keris
yang diselipkan Januar ke balik jaket, yang lengan
kirinya robek-robek belum sempat diperbaiki.
'Tampaknya kau sudah siap, Nak,' katanya
lembut Januar menepuk-nepuk gagang keris yang
tersembul dari sarangnya. "Aku punya ini: jawabnya mantap.
'Bukan keris sembarangan, kuharap."
'Benar. lni keris sakti!" Januar tersenyum
bangga, sementara kakek Amsar geleng-geleng
kepala mendengarnya. Diam-diam menyesali Januar, yang lebih percaya akan kerisnya. daripada
kekuatan lain yang lebih ampuh, lebih berkuasa
atas segala makhluk dan benda yang ada di muka
bumi. Santika cukup arif menyelami pikiran tuan
rumah. Ia lalu membela Januar: 'Namanya juga
anak muda, Pak. Dan sebuah senjata tajam.
bagaimana pun tetap ada manfaatnya terutama
kalau kita harus membela diri. Terlepas dari anutan
kepercayaan atau agama, kita harus memahami
gejolak darah muda Januar,... Jangan lalai. Yang
kita hadapi bukan manusia biasa. Melainkan, roh
gaib yang kejam dan jahat."
"Atau setan !' timbal Januar, garang.
"Pengikut setan. menurutku' desah kakek
Amsar. la tidak menyembunyikan perasaan takut
dan kekuatiran di matanya. lebih-lebih ketika ia
berpisah dengan isterinya di pintu. "Tenang-tenanglah di rumah, Nenek pikun. Pahlawanmu
akan kembali dengan selamat," ujarnya, setengah
berseloroh setengah menghibur diri sendiri.
'Hati-hati. Kambing tua," nenek Amsar
memaksakan senyum di bibir kerlputnya, 'Jaga
jenggotmu tak sampai terbakar!"
Malam kelabu segera menelan ketiga
laki-laki itu sekeluar dari rumah. Rembulan ,kesebelas hari' mengawasi diam-diam dari balik awan,
Suasana sekitar mereka lengang. udara gersang
dan bila angin bertiup, betapa pun lemahnya.
gigitannya amat sangat tajam. Menusuk.
'... berapa kali sudah lsmiaty dimandikan
ayahnya di dekat air terjun itu, Pak Santika," bisik
Januar seraya mengawasi kegelapan di sekitarnya
dengan sikap waspada. la bertanya sekedar bertanya, agar suasana sunyi sepi tidak terlalu mencekik leher.
'Tiga kali, Nak. Tujuannya, untuk membersihkan pengaruh jahat dari tubuh kekasihmu
'Berhasil, kuharap.' "Rasa sakit-sakit pada lambungnya memang
hlang. Nak. Cuma aku belum merasa pasti. Apakah penyakit aneh itu hilang karena la mandi
ramuan yang kuberikan pada Dumadi. Atau, pengaruh jahat itu sudah tertanam, bersembunyi
tenang-tenang tanpa mengusik raga yang dltempatinya. Lalu, unjuk gigi pada waktunya..."
"Seperti nasib yang dialami Doni," bisik kakek
Amsar, seram. 'Siapa"' tanya Januar, berbisik pula.
'Adik Mia paling bungsu. Perutnya bengkak
membusung. lalu..." pundak kakek Amsar tergetar.
Dengan cepat ia alihkan pembicaraan pada yang
lain: 'Apakah memang malam inilah waktunya. Pak
Santika Jamnya cocok pula?"
'Begitulah petunjuk yang kuperoleh." jawab
yang ditanya. 'Siapa yang memberimu petunjuk" tanya
kakek Amsar lagi. Penasaran. _
"Roh abadi. Roh leluhur yang bersemayam dl
kedalaman alam gaib."
"Di syurga?" 'Di suatu tempat. Entah di mana."
--- Di kaki bukit, roh-roh gaib seakan berkeliaran
di dalam rumah setengah tembok yang letaknya
terasing dari perkampungan Penduduk. 'iSmiati
duduk tegang dan pucat pasi di atas tempat
tidur. "Tubuhku lemas sekali, Ibu," katanya, serak.
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saniah yang tak kurang tegang dan pucatnya.
mengawasi puterinya dengan mata iba. "Kuatkan
dirimu, Nak. Malam hi malam pemandianmu yang
terakhir kali. Air ramuan kembang yang akan kau
pakai mandi malam ini, akan melindungi tubuhmu
dari siksaan roh jahat. Dan bila malam ini berakhir...!
"Aku pun mati. Tinggal bangkai yang tersia-sia.
Mayat yang sedemikian rusaknya. Sehingga kalaupun Januar melihatnya, ia tidak akan dapat mengenali mayat siapa..."
Airmata Saniah membanjiri pipi, tanpa terdengar la menglsak tangis. la memandangi kegelapan malam di luar jendela. Ingin menengadah
untuk menatap setinggi mana rembulan smendaki, namun tidak punya keberanian untukmenatapkannya. la tidak sanggup melihat
bulan bertema di puncak malam, karena itu berarti
nasib anaknya sudah di ujung tanduk. Begitu pada
dirinya, serta suaminya...
Pintu diketuk dari luar. Pelan saja. Namun terdengar bagai bunyi hantaman palu
godam, sehingga Saniah terpekik lemah dan lsmiaty bertambah pucat. Matanya membelalak liar
mengawasi pintu terbuka. dan melihat ayahnya.
muncul berpakaian hitam. kain sarung hitam, ikat
kepala hitam... sampai wajahnya pun tampak.
menghitam. Kelam. Suaranya terdengar sama
hitamnya. "Kau sudah siap. Mia?"
lsmiaty merinding. Pada saat bersamaan, Januar juga merinding.
Merinding dan sekali lagi merinding. Ia ditinggalkan sendirian di dekat air terjun yang jatuh be rdebum-debum, berdesau desau, bergemuruh dalam ke gelapan dan kesunyia? malam. Suara jatuhnya air terju n bagaikan serak-serat suara gaib
yang menghina. mengejek, menciutkan hati.
Keris dihunus. Gagangnya digenggam erat.
Gagang yang dingin. Beku. Tak berdaya Tak
memiliki kekuatan apa-apa, rasanya. Januar memandangi mata keris dengan jantung berdegup.
"Mampukah keris ini menolongku" Bukankah ini
hanyalah sebuah benda mati belaka?" piki rnya,
gundah gulana Benda mati, memang. Tetapi keampuhannya
telah dibuktikan kakek Amsar di kamar tidur itu.
Dengan mengucap Bismillah...
Januar merasa dingin sekujur tubuhnya.
'Bismillah' ia berbisik sendirian "Dengan nama
Allah..., Oh. oh. Mengapa aku melupakanNya"
la lalu tengadah. Kedua lengan setengah
terangkat. Sebatas dada. Terkembang membuka.
Lalu ia berdo'a: 'Ya Allah. Ampunilah semua
dosa-dosaku. sebagaimana Kau mengampuni
dosa-dosa orang beriman yang telah mendahului
diriku. Perlihatkanlah aku tanda, bisikkan aku
petunjuk. jemihkan otakku yang butek...!
Serangkaian do'a panjang maupun pendek ia
panjatkan ke hadirat Ilahi. Suatu saat, ia benar-benar merasa khidmat, merasa khusuk. Di saat
lain. kelemahannya sebagai seorang manusia biasa, muncul mengganggu. Terbayang olehny a lsmiaty telanjang. Dihimpit ayahnya yang juga telanj ang. Terdengar di telinganya lsmiaty merintih,
dan ayahnya bemafas tersengal-sengal. tersenyum puas...,
"Ya Allah. Jangan sampai itu terjadi. Jauhkan
aku dari godaan syaitan yang terkutuk. Hindari
aku dari pikiran-pikiran sesat dan buruk!" bisik
Januar dengan perasaan ngeri. takut, panik.
Haruskah ia mempercayai begitu saja penjelasan Santika" Bahwa roh jahat terkutuk yang
bersemayam dalam tubuh Saniah akan berpikiran
sama seperti Januar berpikir" Roh haram jadah
itu akan menunggu. Menunggu sampai datang
waktu yang tepat. Roh itu tidak akan langsung
menyerbu. Tidak langsung melampiaskan
dendam kesumatnya. Sang roh, sekali lagi, akan menunggu.
Menunggu Dumadi benar-benar menyetubuhi
puteri kandungnya sendiri. Dalam pikiran sang roh
sebagaimana juga gangguan pikiran Januar,
muncul bayangan-bayangan bejat memuakkan. dumadi
tidak akan menarik diri dari tubuh puterhya. la akan
terus menggagahi lsmiaty. Menggagahinya sampai
tuntas. Sampai benih-benih kelelakiannya tertanam
dalam rahim lsmiaty yang suci. Maka. rahim itu akan
kehilangan kesuciannya. Rahim itu akan kotor
selamanya setelahnya, lsmiaty boleh mati. Dan rohnya akan gentayangan, penasaran, karena kematiannya, dan karena rahimnya yang sudah kotor.
Akan halnya Dumadi, tetap akan mengalamii penderitaan yang sama menyakitkan, sama memalukannya. Tak perduli, apakah setelah melakukan
perbuatannya yang hina dina itu, Dumadi mati atau
beruntung tetap hidup... Sorak sorai derum air terjun kian bergelora.
Di telinga Januar, terdengar bagai sorak sorai
setan-setan yang ke luar bergerombol-gerombol
dari pintu neraka... DELAPAN BELAS PINTU rumah kecil di kaki bukit terbuka perlahan-lahan. Derit engselnya terdengar berisik di
keheningan malam. Cahaya lampu minyak menerobos ke luar diiringi bayang-bayang sesosok
tubuh. Bayang-bayang itu terayun-ayun, seirama
dengan ayunan lampu minyak di tangan orang
yang memegangnya: Dumadi. Beberapa langkah
di luar pintu. ia berhenti. Menunggu.
lsmiaty keluar dari dalam rumah. Langkahnya
tertegun-tegun. Di ambang pintu ia membalikkan
tubuh. Memandangi ibunya. Saniah yang tampak
pucat dan kuatir. Beberapa saat lamanya anak
beranak itu saling berpandangan Kemudian lsmiaty berlari ke pelukan ibunya. Menangis terisak-isak. seraya memohon: "Do'akan aku. lbu...i"
Mulut Saniah kumat-kamit. namun tidak ada
suaranya yang ke luar. Hanya air mata saja yang
membanjiri pipinya yang cekung dan kering karena sedotan waktu serta tekanan bathin. la rangkul puterinya erat-erat, seakan tidak rela melepaskannya.
Terpaksa Dumadi menghardik: 'Jangan cengeng, Mial'
Mia melepaskan diri dari pelukan ibunya.
Memandanginya sekali lagi. sebelum mengikuti
ayahnya. Saniah tiba-tiba masuk ke dalam rumah,
dan berlari lagi ke luar seraya berseru: "Kalian
melupakan ini! Lalu ia serahkan ke tangan Mia
sebuah bakul kecil dan gayung plastik. "
Sambil lalu Dumadi mengawasi isi bakul. Tanyanya: "Semua lengkap, iyah" I
Saniah menganggukkan kepala Dan
menguatkan anggukannya dengan kata-kata: "Lengkap, Kang Madi. Kembang delapan warna, delapan jenis, kupetik dari delapan arah mata angin.
Sayang sebagian sudah layu...."
"Tak soal!" cetus Dumadi, acuh tak acuh: 'Ayo,
mia !' ' 'Kang Madi." Saniah memanggil pelan.
"Ya"' . Saniah tampaknya akan menghambur ke suaminya Mungkin ingin memeluk. Ingin mencium
Namun melihat sikap dan pandangan keras di
mata Dumadi, Saniah mengurungkan niat. Pundak
Sanlah terkulai lemas. la kemudian membalikkan
tubuh masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu
sekaligus. Sambil berjalan mengikuti ayahnya menerobos kegelapan malam yang diterangi rembulan
dan cahaya lampu minyak, lsmiaty menyesali
sikap ayahnya: 'Ayah mestinya tidak sekasar itu
padanya!" Dumadi diam saja. Dan tak berapa lama kemudian, ia beserta
puterinya menghilang ditelan kegelapan malam.
Hanya bias lampu minyak saja yang masih
tampak samar-samar. Kian lama kian menjauh,
kian kecil dan lemah, sampai kegelapan kembali
memekat, hitam. Kakek Amsar menghela nafas pajang. Berkata gugup: 'Tidakkah lebih baik kita ikuti mereka"
Aku merasa tak enak....' 'Sasaran kita ada di dalam rumah, Pak. Marilah." jawab Santika. Tegang.
la kemudian keluar dari balik pepohonan
diikuti oleh kakek Amsar.
Tiba di depan pintu. mereka berhenti sebentar.
Mendengarkan. Ada suara mengisak dari dalam.
Tersendat-sendat. "la menangis," bisik kakek Amsar.
"Untuk kemudian tertawa. Berpesta dengan
kemenangannya,' jawab Santika, juga dengan
berbisik. "la akan menunggu. Memperhitungkan
waktu, sampai kapan Dumadi dan puterinya tiba
di air terjun. Setelah itu, barulah tampak nanti
belangnya. Kubayangkan, ia akan menyerlngai
puas. Memikirkan Dumadi tengah menggagahi
puterinya. Setelah ia yakin kesucian lsmiaty dikotori oleh ayah kandungnya sendiri, barulah
makhluk terkutuk itu bertindak. Tetapi kita akan
mendahuluinya. bukan" Marilah. Kita mulai..."
Santika tegak dengan dua lengan bersidekap
di dada. Matanya nyalang mengawasi pintu, seakan ingin menembusnya dengan ketajaman pandang. Mulutnya pun kumat-kamit membaca mantera. Kakek Amsar menunggu sejenak. Setelah ia
mendapat anggukan dari Santika, barulah kakek
Amsar maju ke depan. Mengetuk pintu.
Dari dalam. suara isak tangis terhenti.
Sebagai gantinya terdengar pertanyaan ka
get: 'Kaukah itu, Kang Madi?"
Kakek Amsar membasahi bibirnya yang kering. Namun toh suaranya tetap juga kering waktu menyahuti: 'Ini aku, iyah. Pamanmu...."
Sesaat. sepi. Diam. Kakek Amsar berdiri tegang. Bungkusan kain
sarung di tangan, ia rapatkan ke dada. Didekap kuat-kuat. Takut lepas. Di sampingnya. Santika
terus membaca mantera Sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki. lalu pintu dibuka
perlahan-lahan dari dalam.
Kakek Amsar memaksakan seutas senyum di
bibir. "Ada apa, malam-malam begini Paman?" tanya
Saniah keheranan. "Dan... oh. Pak Santika ikut
pula. Apakah..." "Aku hanya ingin mengantarkan ini, iyah,"
potong kakek Amsar cepat-cepat. Untung cahaya
lampu minyak dari dalam rumah tak begitu terang,
sehingga tidak terlihat bagaimana tangan kakek
Amsar gemetaran ketika membuka bungkusannya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
Sebelum Saniah menyadari sesuatu, kakek Amsar
sudah berdesah: "Bismillah !" dan sesuatu di tangannya dengan ia kalungkan ke leher Saniah.
Detik berikutnya, kakek Amsar mundur menjauh,
seraya tangannya menghunus golok dari balik
punggung. Diacungkan di depan dada. Menjaga
diri dari segala kemungkinan.
Mula-mula yang terlihat hanya reaksi keheranan itu saja. Saniah mengawasi Santika yang
terus kumat-kamit tanpa beranjak dari tempatnya
berdiri. Lau ganti mengawasi kakek Amsar yang
mundur menjauh seraya menghunus golok. Kemudian. ia awasi kalung aneh yang melingkari
lehernya, dan lingkaran paling bawah tergantung
pada dadanya. Kalung itu dari benang hitam. Pada
benang mana dirangkaikan untaian biji-biji yang
terdiri dari melinjo, bawang merah, bawang putih,
cabe merah, cabe gembol, kunyit. jahe, kemiri.
Kalau Saniah sempat menghitung. maka akan
ia ketahui bahwa masing-masing jenis biji atau
buah itu terdiri dari tujuh macam. Namun mana
ada waktu untuk itu" Apalagi untuk mengetahui,
bahwa untaian biji dan buah itu dipetik atau diambil
dari tujuh bukit, diawetkan dengan ramuan tujuh
macam pula, di tujuh buah baskom, selama tujuh
hari. Baunya sukar dipastikan. Menyengat busuk,
harum semerbak, merangsang mulut. lidah, hidung, dan mata. Sesaat bagai bau bangkai. saat
berikutnya bagai bau menyan di pedupaan, lalu
seperti bau kembang gula. Bebauan itu terus
menyerang silih berganti. dan membuat Saniah
mulai mabuk. "Apa ini..." desisnya, bingung.
Lalu tangannya berusaha merenggut lepas
kalung itu. Namun begitu tersentak, Saniah memekik kaget bahkan kesakitan. 'Panasl Panas!
Panas...l" ia menjerit-jerit seraya berjalan mundur
ke dalam rumah. 'Aduh, tanganku. Leherku...
dadaku !' _ la terus mundur. sementara di depan pintu.
Santika berhenti kumat-kamit. Sepasang matanya
yang tadi menyorot tajam. mendadak heran campur bingung. Setelah mengawasi
saniah yang meloncat-loncat bagai cacing
kepanasan di dalam rumah, ia memallng ke arah
Amsar juga yang sama kebingungan.
"Apakah aku... salah dengar?" bisik Santika.
"Atau aku yang salah" sahut kakek amsar.
"Suara siapakah itu?"
'Entahl' 'Aneh. Mengapa justru suara... laki-laki?"
'Benar. Yang kita dengar suara laki -lakl. Bukan
suara perempuan. Suara makhluk yang kita bayangkan telah...!
Di dalam rumah, Saniah pelan-pelan rubuh kelantai.
Menggelepar. Liar. Matanya memerah. Seperti darah... Januar tersentak manakala terdengar suara
ranting bergerak terinjak. Ia melihat sesuatu
berkelip-kelip, terayun-ayun di antara pepohonan. Lalu tampak bayang-bayang dua sosok tubuh mendatang dari kejauhan. Yang seorang
menjinjing lampu minyak yang bersinar redup.
dan di sebelahnya sosok tubuh lebih kecil.
Terdengar jawaban getir dari mulut lsrniaty:
"Aku tak dapat melupakannya. Ayah."
"Hanya untuk malam ini saja, Mia!"
"Justru karena itu. Ayah!
Mereka makin mendekat. 'Kau harus memusatkan bathin, Mia."
"Dia juga mengatakan hai serupa'
jua?" mia
Dumadi menggerutu panjang pendek. Ayunan
lampu minyak di tangannya bergoyang tidak teratur. Sementara lsmiaty, tanpa memerhatikan
kegeiisahan ayahnya. terus saja berbicara:
"Dia bilang. itulah yang dipesankan ajengan
Zakaria. Agar aku khusuk. benar-benar khusuk.
tetapi...." Januar semakin rapat ke tanah. Lebih rapat
dari rayapan ular. "Apa yang akan kita perbuat. justru merusak
konsentrasiku," kata lsmiaty lagi. Gemetar dan
tersendat-senda suaranya 'Apa boleh buat. Mia."
'Tetapi aku punya janji. Ayah. Sumpah,
malah' '
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Sumpah" Sumpah apa?" _
'Sumpah dengan perpaduan darah," suara;
Ismiaty makin jauh. 'Bahwa. akan kujaga kesucian
perawanku. sampai tiba waktunya kami akan...!
Makin lemah dan sayup suara gadis itu. bersamaan dengan makin jauhnya mereka menuruti.;
sungai. sehingga suara-suara mereka akhirnya
lenyap ditelan gemuruh air terjun.
Di persembunyiannya, Januar terkesima.
'Ya Allah: bisiknya. tergetar. Tergetar baik
jiwa. maupun raganya. Bahkan jantungnya seakan
berhenti berdenyut. Bulu apa pun yang tumbuh di
tubuhnya. berdiri tegak. "Kau mengabulkan permohonanku. ya Allah. Aku ingat kini. Perpaduan
darah. Dan janji Mia. Kini aku dapat merangkaikan
kata-kata misterius itu dengan benar: DARAH
CINTA. Bukan darah perawan. Bukan pula kesucian cinta. Melainkan, KESUCIAN PERAWAN...
yang akan dipersembahkan di peIaminan....'
Lalu..., ` Bagaimana sekarang"!
.... Dalam rumah di kaki bukit. Saniah menceracau. Suaranya terdengar serat dan berat. Suara
seorang laki-laki: "Tolonglah. Lepaskan aku dari'
siksaan panas ini.. tubuhku... terbakar!"
Santika yang duduk bersila di dekat tubuh
yang menggelepur-gelepur itu. menjawab tenang:
"Kau akan kutolong. Tetapi katakan dulu. Siapa
kau ini?" "Udin .!" "Udin" Udin siapa?"
'Udin Kobeh..." "Siapa?" Santika mengernyitkan dahi.
"Udin Kober' jerit suara lakilaki dari mulut
Saniah. Gelupuran tubuh perempuan malang itu
makin lemah, lalu berhenti. Tinggal matanya yang
terus berputar-putar, kadang-kadang berbalik-balik. liar. Mulutnya megap-megap. mengikutkan
setiap ucapan yang ke luar: "Aku Udin Kober...
yang pernah mencintai perempuan yang raganya
kini kutempati... tetapi aku ditolak. Lalu... ia kuguna-gunai...."
'Oh. oh," Santika mendadak pucat wajahnya
Hal itu diperhatikan oleh kakek Amsar, yang meski
duduknya agak jauh, tetap tampak gelisah dan
ketakutan. Santika mendengus marah kini: "Mengapa kau tega menempati tubuh perempuan
lemah tak berdaya ini. Udin Kober?"
'Aku dipaksa' "Siapa memaksamu?"
"Roh lain. Roh yang lebih perkasa. Lebih kuat
Lebih menakutkan. la berwujud aneh... kalau tak
salah... roh dari masa silam. Roh seorang tabib
perempuan... yang diusir dari istana....'
'lstana" istana siapa"
'Prabu Siliwangi' Santika tergetar. Makin pucat. "Bukan roh
orang sembarangan," bisiknya, tercekat. Bernada
kecut, malah. la bertanya lagi: 'Mengapa ia suruh
kau menempati raga perempuan ini" '
'Agar aku dapat meludahinya. Meludahinya.
langsung dari sebelah dalam tubuhnya. Jadi guna-guna kirimanku, punah..."
'Mengapa kau mau?" 'Aku ditipu makhluk itu. Ditipu mentah-mentah. la kadang-kadang tampak cantik... kau tahu.
Cantik rupawan. tubuhnya montok berisi... sungguh menggiurkan.." mulut Saniah memperdengakan tawa acak dan tak senonoh dari seorang
laki-laki. "la janjikan, setelah perempuan yang
raganya kuludahi dari dalam ini, sembuh... maka
aku akan dijadikan suaminya. Suami tabib yang
merangsang birahi itu... Eh. tak tahunya, aku tidak
dapat lagi keluar. Si haram jadah itu terus menguasai rohku. memaksaku tetap menempati raga
perempuan ini...' 'Untuk apa?" 'Membantu tabib sialan itu!"
'Bantuan apa saja?" 'Banyak ! Sialan... banyak, tak henti-hentinya.
Sel telur perempuan ini termasuk subur. Sperma
suaminya lebih subur lagi. Tabib itu memaksaku
untuk membunuh setiap sel telur yang menyatu
dengan sperma agar tidak lahir terlalu banyak
anak. Yang boleh lahir. hanya lima....'
'Hem. Lantas?" 'Aku juga harus membantu... mencegah usaha penentangan. Penentangan perempuan ini dan
suaminya... terhadap kehendak-sang tabib. Akulah
yang membuat salah seorang anak mereka.. terlahir cacat. Aku pula yang... yang merangsang
birahi perempuan ini... sehingga ia menerkam
dukun tua renta itu. Mau bersetubuh...
Oh. oh, padahal, betapa inginnya agar aku yang
menyetubuhi perempuan ini... tetapi mana bisa"
Aku tak dapat ke luar..."
'Apa lagi" 'Masih banyak. Misalnya... aduh. aku tak tahan lagi. Kau lihatlah betapa kulit tubuhku mulai
mengelupas" Daging dagingku mulai terbakar.
Tuang-tulangku...! Berbarengan. Santika dan kakek Amsar memperhatikan.
Nyatanya, raga Saniah tetap utuh.
Yang hangus terbakar. tentunya raga sang roh
yang menempati tubuh Saniah.
Santika tersenyum. Puas. Katanya: "Apa yang
kau kehendaki?" "Kembali ke kuburku!"
"Di mana kuburanmu, Udin Kober"
"Jauh... jauh. Aku marakahyangan... memang
tak enak. Tetapi terus tidur, diam-diam saja di raga
yang kecil dan sempit menyesakkan ini... oh.
Mataku! Mataku hampir pecah. Tolonglah"
"Kau akan kutolong, Udin Kober. Tetapi jawablah dulu satu pertanyaanku. Hanya satu
saja..." 'Aduh. aku tak tahan. Aku bisa mati tanpa
kubur. Dengan tubuh hancur berantakan...!'
'Satu pertanyaan sala lagi. Udin Kober!
"cepatlah sebutkan!"
Santika menahan nafas. Lalu; "Roh tabib jahat
itu. Tahukah kau... di mana dia berada?"
Terdengar suara mengekeh. Setelah mengejek. Lalu jawaban mencemooh: "Kalian bodoh!
Apa yang paling dekat dengan tubuh seseorang"
Yang tetap mengikutinya ke mana pun orang itu
pergi" Yang selalu berada di sampingnya dengan
setia?" "Kau maksud..." peluh dingin membasahi jldat
Santika. Roh Udin Kober tertawa ngakak.
Desisnya: 'Nah. Baru sekarang kau tahu ya"
Tabib itu bersembunyi dl tangan kanan Dumadi"
PENUTUP lSMlATY telah duduk di atas batu besar hampir
datar permukaannya, dalam hempasan buih-buih
ombak yang ditimbulkan pusaran air di dekat air
terjun. la sudah setengah bugil. Tinggal kutang
dan celana dalam saija yang melekat di badan.
Tubuh bugilnya sudah basah kuyup pula. Lengan-Iengannya terangkat. Menggigil keras. Tangannya
memegangi bakul berisi kembang dan ramuan
lain. ' Tetapi ayahnya tetap saia tegak mematung di
hadapannya. Tidak segera menyiukkan gayung di tangannya yang semestinya ia lakukan. Ia harus menyiuk air delapan gayung berturut-turut. Disiramkan kedalam bakul, membasahi kembang dan ramuan
di dalamnya. Air ramuan kembang itu seterusnya
akan mengguyuri lengan-lengan. kepala dan sekujur tubuh lsmiaty yang bersimpuh dengan sabar.
tunggu apa lagi, Ayah?" tanya gadis itu.
Gemetar. Karena kedinginan. Dan karena. mulai
ketakutan. 'Rembulan' jawab ayahnya, lamat-lamat terdengar dl antara derum air terjun.
"Rembulan sudah naik, Ayah..."
"Tetapi belum sampai ke ubun-ubun.!'
'Astaga. Ayah. Bukankah mestinya kita mulai
sebelum rembulan sudah di atas ubun-ubun?"
"itu yang dikehendaki Santika. Yang kukehendaki lain."
"Apa maksudmu, Ayah?"
"Aku tak akan memandikanmu. Aku akan
langsung memperkosamu...' jawab Dumadi, keras
dan lantang. "Kau dengar" Kau akan kuperkosa,
gadis manis. Tubuhmu yang muda dan segar akan
kugagahl. Keperawananmu akan kucicipi...! Suara Dumadi makin lama makin mengecil, makin
nyaring. Bahkan Januar pun yang cukup jauh dari
mereka, dapat mendengarnya. Dan menyadari,
bahwa suara yang keluar dari mulut Dumadi
adalah suara perempuan! Dumadi melemparkan gayungnya jauh-jauh.
"Bangsat haram jadah itu!" jerit suara perempuan dari mulutnya: 'la pikir, ia dapat membodohi aku, ya" Tahukah kau, gadis manis" Aku
juga senang perempuan. Laki-laki terlalu kasar,
sering terburu-buru... adakalanya menjijikkan. Dengan kau... dan, ah. Ah... coba bayangkan. Aku
perempuan, kau perempuan. Tetapi kita melakukannya, dengan mempergunakan raga seorang
laki-laki. Kejantanannya yang akan bekerja.
lihat..." - Tangan Dumadi mengeluarkan sesuatu dari
kantong bajunya. lalu dimasukkan ke mulut. la
tanggalkan pakaiannya, dan tampaklah reaksi
obat perangsang yang diberikan Santika untuk
membangkitkan birahi Dumadi. Suara perempuan
yang Iengking nyaring itu terdengar lagi: 'Obat
perangsang ini memang akan punah setelah darah perawanmu memercik, gadis manis. Tetapi
kejantanan ayahmu... akan terus kurangsang, sehingga... Hei. Mau ke mana... Rupanya lsmiaty yang
sempat terperanjat ngeri sudah melemparkan bakul dari tangannya dan terjun dari batu. Berusaha
menerobos arus pusaran air menuju tepian. Dumadi hanya memperhatikan, tanpa mencegah.
Dari mulutnya terlontar cekikikan perempuan, disusul ringkikan seram, dan sumpah serapah:
'Kau tak akan dapat lari dari aku, gadis manis.
Kau tak akan pergi ke mana-mana... karena aku
tetap akan mampu menangkapmu!"
Lalu tangan kanan Dumadi terangkat.
Dalam bayangan rembulan dan sinar lampu
minyak yang diletakkan di tepi sungai,
tampaklah tangan itu secara aneh bin ajaib...
mulur, terus mulur, Memanjang. Makin panjang
tangan itu mulur, warna kulitnya pun berubah.
Dari coklat ke hitam, makin hitam, berkilauan.
Tumbuh sisik-sisik dengan bunyi gemerisik. Sementara telapak tangan mengatup. seperti akan
meninju. Tangan itu terus mengejar lsmiaty yang
berjuang melawan arus air ke tepian. Sambil
melarikan diri, lsmiaty menjeritjerit minta tolong.
Suaranya histeris, panik, putus asa... dan ia
meronta- ronta kuat ketika merasa salah satu
lengannya dibetot dengan kuat.
"Lepaskan... oh, lepaskan aku...!' jerit lsmiaty
meronta-ronta. Tetapi tangan yang mencengkeram lengannya membetot semakin kuat Dan menariknya dengan keras. Bukan kembali ke batu di
tengah sungai. Melainkan ke tepian.
'Cepat. Mia. Naiklah cepat..." ia dengar suara
lain. Suara Januar! Di atas batu besar mirip altar. sepasang mata
Dumadi' menyala merah. Nyala merah itu memercik-mercik. membersitkan titik-titik api. Demikian kuatnya sorot mata itu. sehingga
api yang membersit menimbulkan cahaya silau
kemerahan yang menerangi tempat di sekitarnya
"Siapa kau"!' desis tajam keluar dari mulutnya.
Tangannya yang sudah mulur panjang hampir tiga
meter. tetap terulur di udara dengan telapak mengepal.
Januar menyeret tubuh Isrniaty dari air, dan
menyembunyikannya di belakang tubuhnya Dengan mata ngeri ia memandangi makhluk aneh di
tengah sungai itu. Mulutnya gelagapan, gugup
dan panik. la raba gagang kerisnya, dihunus lepas.
Keris itu mengingatkannya pada cara penggunaannya. Dengan menyebut nama Allah. Dan
nama Allah mengingatkannya pula pada pesan
ajengan Zakaria, bagaimana ia harus menghadapi
kekuatan-kekuatan gaib dan jahat yang berada di
luar kemampuan manusia. "Aku...' ia mendengus gemetar. "Aku... hamba
Allah. HambaNya yang hina dina,... Atas kemuliaan
namaNya. kumohon... pergilah. Tinggalkan
kami....' - "Tidaaaakk...!' Jerit makhluk itu, melengking.
'Kau tidak dapat merampas hakku. Bukankah kau
telah beberapa kali kuperingatkan.... Kau. manusia
tak tahu diuntung. Kau ... .akan kusiksa. Seperti
aku menyiksa kekaslhmu. Menyiksa ayah ibunya
dalam azab sengsara tiada terperi..."
Selama berbicara itu, tangan sang makhluk
terus mulur mendekati tempat Januar dan lsmiaty.
Setelah cukup dekat dan Januar serta lsmiaty tak
dapat mundur lagi karena terhalang pepohonan
serta semak belukar yang rapat beronak duri,...
telapak tangan kanan yang aneh itu berubah pula.
Tidak lagi mengepel seperti tinju, tetapi telah
berubah rupa menjadi ciut. lancip ke depan... Dikiri kanan bagian lancip itu tampak sepasang
titik-titik kecil. titik merah kekuning-kuningan, berkedap-kedip. Sepasang mata yang bersinar mengerikan.
Tangan mulur itu meIiuk-liuk liar di udara.
Bagian depannya yang lancip mirip kepala ular.
berdesis-desis... lidah pun terjulur dari bagian
lancip itu, bercabang-cabang. mengeluarkan air
liur yang membusa dan berbau memualkan.
"Astagfirullah ! Januar mengucap istigfar. dan
kerisnya pun sudah terhunus kini. Begitu kepala
gaib roh jahat itu mematuk ke arahnya, Januar
yang dapat menahan kengerian karena dorongan
ingin menyelamatkan kekasihnya, berteriak menyebut nama Allah dan kerisnya pun menyambut
datangnya serangan itu. Dari mulut Dumadi terdengar jerit kesakitan
seorang perempuan. Lengan kanannya yang hitam pekat bersisik dan teramat panjang itu. berkelebatan liar di udara menghantam apa saja yang
terlewati. Cabang-cabang pepohonan yang lantas
berderak patah, batu-batuan yang lantas pecah
berhamburan. arus air yang lantas berkecipak liar
riuh rendah. 'Haram jadah terkutuk !' jerit sang makhluk
dan tangannya menyerbu lagi'. Dengan mata terbelalak Januar melihat bagaimana lengan hitam
itu bukan saja memanjang tetapi juga membesar
dan terus membesar. Saking besar dan beratnya,
tangan gaib misterius itu jatuh ke arus sungai.
merayap pelan di antara bebatuan. Kepalanya
yang lancip dengan lidah yang terjulur semakin
Tangan Tangan Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, terangkat dari dalam air dan meliuk ketepian. Mendekati mangsanya yang tak berdaya.
Terdengar pekik lemah di belakang Januar.
lsmiaty sudah meluncur ke tanah. Pingsan.
Januar tetap terpaku. Tegang kaku. Sepasang
mata di kepala yang mendekat itu berkilau semakin merah. semakin menyerupai darah.
Darah! Tanpa berpikir panjang lagi. Januar menggoreskan ujung keris ke kulit lengannya sendiri.
Darah pun memancur seketika. Secepat itu pula,
Januar membungkuk. Ia melakukan hal yang
sama pada lengan lsmiaty. Dalam pingsannya.
gadis itu mengerang dan menggeliat manakala
kulit lengannya tergores dan darahnya memancar.
Januar tahu kini apa yang harus dilakukan.
Santika telah salah duga. Menurut Santika'. apabila
ia gagal menguasai roh yang la duga bersemayam
di tubuh Saniah. maka Dumadi harus memercikkan darah perawan anaknya, dengan segenap
rasa cinta seorang ayah. Darah itu harus dioleskan
pada benda apa saja yang mungkin dapat di
pegang atau disambar, lalu benda yang diolesi
darah harus dilemparkan ke arah roh yang diduga
akan mendatangi mereka ke sungai untuk menagih janji, melampiaskan dendam...
Kepala ular panjang sebesar batang pohon
kelapa itu merayap mendekati kaki Januar yang
tengah membungkuk memadukan darahnya dengan darah Ismiaty pada mata keris. Dan begitu
kepala bermata merah mengerikan dan berlidah
panjang berbusa memualkan itu terangkat untuk
melakukan terkaman mematikan, Januar membalikkan tubuh.
Dengan nama Allah, mata keris ia jadikan
tameng di depan dada. Mata sang makhluk berkilat tajam. Tampaknya
menyadari apa yang ada di depannya, namun tak
keburu menghindar. Serbuannya sudah terlanjur
menerjang dengan kuat. Dan kepala makhluk itu
langsung menerpa mata keris, yang memerah
dibercaki paduan darah Januar dan Ismiaty. Darah
cinta. darah persembahan kasih sayang yang
tulus dan murni..., Terdengar desis panjang tersentak-sentak
Kepala sang makhluk ditarik mundur, membawa
serta keris yang tak dapat diperturutkan Januar
yang sudah hampir lumpuh karena hantaman
badai kengerian. Makin jauh kepala makhluk itu
mundur. makin mengecil pula Iingkarannya, makin
pendek jangkauannya. Lalu suatu ketika, sisa
tubuh makhluk dari lengan Dumadi itu meloncat
dari dalam air, melayang di udara lepas disertai
bunyi ledakan-ledakan membahana dan hem
pasan angin keras bagaikan topan yang muncul
entah dari mana. Segala sesuatu di sekitar tempat itu segera
berubah porak poranda. Pepohonan yang disambar amukan makhluk itu tumbang berantakan.
Bebatuan terbang melesat kian kemari. Tebing
sebelah atas air terjun kena sambar pula. lalu
dengan suara bergemuruh tebing batu karang itupun runtuh membahana. Di batu altar berpermukaan rata dekat pusaran air, tubuh Dumadi
tiba-tiba jatuh terbungkuk-bungkuk. la sepertinya
berjongkok. lalu merangkak. Ah, kaki maupun
tangannya telah berubah bentuk menyerupai kaki-kaki anjing. dengan kepala menyerupai ular, dan
dari pantatnya tersembul semacam ekor berwarna
putih keperakan. Ekor itu menggelepur... menggeliat memanjang lalu memendek... menyerupai
gelupuran cacing! Anehnya dari kepala ular dumadi justru terdengar lolongan anjing yang merintih lirih... tengadah menangisi rembulan. Luapan air menyambar tubuh anjing yang rnenyeretnya ke pusaran,
sementara dari bagian atas semakin banyak sisi
tebing jatuh runtuh. Longsor dengan suara hiruk
pikuk bagaikan suara jeritan ribuan roh-roh yang
tersiksa di neraka. Tanah. pasir. bebatuan dan
pepohonan di tebing itu runtuh terus menerus,
menimpa lalu menimbuni tubuh berbentuk aneh
yang masih terseret pusaran air. Tubuh itu melolong sesaat, lalu lenyap dalam timbunan bebatuan yang membukit
Aliran sungai beralih arah ke kiri kanan ong
gokan batu dan tanah mernbukit itu, kemudian
menyatu kembali di sebelah hilir. Getaran-getaran
serta suara-suara mirip gempa itu pun lambat laun
berhenti. Topan badai angin menjauh, tinggal
desis semilir. berhembus pelan. Kering. Dan
lembab. Agaknya, musim hujan akan segera tiba...
Syukurlah penderitaan Saniah tidak terlalu
lama Setelah terbaring dengan tubuh kembali lumpuh setengah badan seperti dulu. tiga hari kemudian ia menghembuskan nafas dengan tenang
di pelukan puterinya tercinta- Sebelum meninggal,
Saniah berpesan agar jenazahnya dikuburkan di
dekat kuburan suaminya. Keinginan Saniah dipenuhi.
Ia dikuburkan di tepi sungai yang kini tidak
lagi berair terjun itu. Kuburan Saniah dibuat menghadap kiblat, dan sungguh kebetulan menghadap
ke bukit batu karang yang membelah sungai,
tempat di mana suaminya mati terkubur.
Menatap ke bukit yang bentuknya menyeramkan itu, lsmiaty bergumam lirih: "Seperti apakah
ketika ayah menemui ajal, Bang Nuar?"
Jawab Januar sama seperti ia menjawab pertanyaan yang sama dari Saniah. Jawaban yang
bijaksana: "Seperti kalian pernah mengenalnya!"
"Apakah raganya berubah rupa?"
Dijawab Januar dengan pertanyaan pula:
"Raga siapa, Sayangku?"
Memang benar. Raga siapa yang berubah di balik kubur itu"
Kubur yang bentuknya tetap aneh. Tetap menyeramkan. Biarpun waktu terus berlalu. Dan
Januar beserta istrinya, Ismiaty, terus pula menziarahinya. Disertai putera-puteri mereka yang
terus lahir. Yang anehnya, berhenti setelah kelahiran anak mereka yang ke lima.
Januar sebenarnya hanya menghendaki dua
orang anak. Tetapi kalau disusul pula oleh kelahiran tiga
anak lagi, mengapa pula harus ditolak"
Manusia boleh saja berusaha.
Namun, tetap saja Tuhan yang menentukan.
Maka, sungguh tak pantas kalau timbul pertanyaan: "Mengapa lima?"
Jawabnya: . Tuhanlah yang tahu. T-A-M-A-T Gajah Kencana 4 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bangau Sakti 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama